ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI"

Transkripsi

1 ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dalam Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mau pun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

3 ABSTRAK DHONA YULIANTI. Analisis Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dalam Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat. (HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan ERNAN RUSTIADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Dewasa ini, pemerintah dan lembaga keuangan belum banyak berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi regional, khususnya di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan kredit dan konsumsi rumah tangga dengan faktor sosial ekonomi lainnya, dan dampak persebaran kredit dan konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian wilayah. Analisis yang digunakan adalah analisis ekonometrik, input-output, korelasi, dan deskriptif. Ditemukan bahwa persebaran rata-rata kredit dan konsumsi rumah tangga antar wilayah di Jawa Barat masih timpang. Tingginya rata-rata tingkat kredit dan konsumsi rumah tangga di Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung diikuti oleh tingginya tingkat kesejahteraan dan perekonomian masing-masing wilayah tersebut, tetapi korelasi ini tidak terjadi pada wilayah kota dan kabupaten lainnya di Jawa Barat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong upaya untuk meningkatkan investasi (kredit), khususnya bagi usaha mikro, kecil dan menengah pada sektor industri dan perdagangan, yang merupakan sektor paling berkembang di Jawa Barat.

4 Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

5 ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

6 Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dalam Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat Nama Mahasiswa : Dhona Yulianti NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 31 Juli 2007 Tanggal Lulus :

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini. Pada tulisan ini penulis mengambil judul Analisis Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dalam Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada 1. Bapak Prof. Isang Gonarsyah, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu-Imu Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs-IPB). 2. Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi M.Agr selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan dan bantuannya selama penulis kuliah dan menyelesaikan tesis, serta Bapak Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Penguji Luar Komisi. 3. Rekan-rekan di Program Studi PWD serta teman-teman Triregina yang telah banyak menyumbangkan pemikiran demi kesempurnaan tesis ini. 4. Kedua orang tua (Bapak Moh.Nasir dan Mama Lindawati), kedua adik-adik (Audi dan Affan M) serta ka (Irwan K) atas segala cinta, kasih sayang, bimbingan, dukungan, pengorbanan, dan perjuangan yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan jenjang S2. Harapan penulis tesis ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca. Bogor, Agustus 2007 Dhona Yulianti

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada hari Minggu tanggal 05 Juli 1981, dari pasangan Bapak Mohammad Nasir dan Ibu Lindawati, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara; Audi Fahd dan Affan Muhammad. Riwayat pendidikan penulis dimulai tahun 1987 memasuki jenjang pendidikan SD di SDN Bendogerit III Blitar. Penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri I Blitar pada tahun 1993 dan SMU Negeri 7 Tangerang pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor tepatnya Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah lulus S1 tahun 2004 penulis langsung melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor.

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iii vi ix I II III IV PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 7 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masalah Kemiskinan Indikator Kemiskinan Penyebab Kemiskinan Disparitas Antar Wilayah Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Kredit Pengertian Kredit Peranan Kredit Aspek Sosial Ekonomi dalam Analisis Kredit Permintaan Turunan (Derived demand) dan Penawaran Kredit Kajian Pola Konsumsi Penelitian Terdahulu KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Hipotesis METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penelitian... 36

10 4.3.1 Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga serta Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Lainnya Analisis Statistik Deskriptif untuk Melihat Karakteristik Peubah Sosial-Ekonomi Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Model Ekonometrika dalam Hubungan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga serta Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Lainnya Spesifikasi Model Fixed Panel Heterogenous Slope Analisis Korelasi antara Kredit, Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga dan Indeks Pembangunan Manusia Dampak Persebaran Spasial Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap Perekonomian Regional Provinsi Jawa Barat Analisis Statistik Deskriptif untuk Karakteristik Peubah Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap Perekonomian Jawa Barat Analisis Indeks Williamson Analisis Panel Data dalam Keterkaitan antara Pembangunan Perekonomian Regional Jawa Barat dengan Sosial Ekonomi Rumah Tangga Analisis Input Output (I-O) Analisis Deskriptif untuk Implikasi Kebijakan V VI GAMBARAN UMUM 5.1 Geografis dan Administratif Kependudukan Perekonomian Pembangunan Manusia Kredit Bank di Jawa Barat HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Keragaan Konsumsi/Pengeluaran, Pendapatan, Kredit, dan Tabungan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dengan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Lainnya Dampak Kredit dan Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga terhadap Tingkat Kesejahteraan dan Pembangunan Ekonomi Jawa Barat Implikasi Kebijakan Kredit terhadap Kesejahteraan Masyarakat dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat

11 6.5 Keterkaitan Kesejahteraan Rumah Tangga dengan Pembangunan Perekonomian Jawa Barat VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Uraian tujuan, variabel, alat analisis, jenis dan sumber data Kerangka model input-output wilayah Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk dirinci menurut kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dan share di wilayah Provinsi Jawa Barat dirinci menurut kabupaten/kota tahun 2002 dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dan share di wilayah Provinsi Jawa Barat dirinci menurut lapangan usaha tahun 2002 dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dan share di wilayah Provinsi Jawa Barat dirinci menurut penggunaan tahun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Jawa Barat, 2002 dan Posisi kredit bank umum pada kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat (dalam juta rupiah) tahun Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kredit rumah tangga di Provinsi Jawa Barat Jumlah kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit konsumtif di Provinsi Jawa Barat Jumlah kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Suku bunga kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat Tingkat pendapatan kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat... 70

13 15 Tingkatan umur kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Tingkat pendidikan kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Jenis pekerjaan utama kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan di Provinsi Jawa Barat Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa di Provinsi Jawa Barat Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas di Provinsi Jawa Barat Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang tahan lama di Provinsi Jawa Barat Jumlah tanggungan keluarga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Tingkat konsumsi/pengeluaran rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi tabungan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat Tingkat tabungan rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Korelasi antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan dirinci menurut kabupaten di Provinsi Jawa Barat, tahun Korelasi antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan dirinci menurut kota di Provinsi Jawa Barat, tahun Komponen struktur nilai tambah Provinsi Jawa Barat tahun 1999 dan Indonesia tahun 2005(milyar rupiah) Struktur nilai tambah berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar Provinsi Jawa Barat tahun 1999 (milyar rupiah)... 97

14 30 Struktur nilai tambah berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar di Indonesia tahun 2005 (milyar rupiah) Komponen struktur permintaan akhir di Provinsi Jawa Barat tahun 1999 dan Indonesia tahun 2005 (milyar rupiah) Struktur permintaan akhir berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar Provinsi Jawa Barat tahun 1999(milyar rupiah) Struktur konsumsi rumah tangga sektoral peringkat lima sektor terbesar Provinsi Jawa Barat tahun Multiplier pendapatan tipe I sektor-sektor di Provinsi Jawa Barat tahun Multiplier pendapatan tipe II sektor-sektor di Provinsi Jawa Barat tahun Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Lampiran Halaman 1 Hasil analisis input output Provinsi Jawa Barat

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Lingkaran perangkap kemiskinan Kurva primary demand dan derived demand Pengaruh elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran terhadap suku bunga Penurunan kredit akibat menurunnya permintaan Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran Perubahan permintaan barang pengeluaran Kerangka pemikiran penelitian Kerangka analisis penelitian Peta wilayah penelitian, Provinsi Jawa Barat Pola rata-rata konsumsi atau pengeluaran per kapita sebulan tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat Pola persentase rata-rata konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat Pola persentase rata-rata konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat Pola perbandingan persentase konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat Pola rata-rata pendapatan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat Pola rata-rata kredit rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat Perbandingan rata-rata tabungan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat... 62

16 17 Perbandingan rata-rata tabungan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat Sebaran kredit rumah tangga dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Sebaran kredit rumah tangga dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Sebaran konsumsi/pengeluaran per kapita sebulan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Sebaran konsumsi/pengeluaran per kapita sebulan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Sebaran rata-rata konsumsi/pengeluaran per kapita setahun rumah tangga dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat, tahun Sebaran rata-rata kredit oleh rumah tangga dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat, tahun Periode excess demand credit dan excess supply credit di Indonesia

17 LAMPIRAN Halaman 1 Lembar kuisioner keadaan sosial ekonomi rumah tangga pengguna kredit produktif di Kabupaten Sukabumi Lembar kuisioner keadaan sosial ekonomi rumah tangga pengguna kredit konsumtif di Kota Bogor

18 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, juga penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan (Todaro 2000). Namun pada kenyataannya yang dihadapi pada daerah-daerah berkembang seperti di Indonesia adalah keterbelakangan dan kemiskinan, sehingga pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sangat ditekankan. Untuk itu paradigma baru pembangunan harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan (quity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Tujuan utama (goal target) dari suatu program pembangunan sosialekonomi ialah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah pembangunan tersebut. Suatu fenomena hasil pembangunan ekonomi, sebelum terjadinya krisis moneter 1997, yang tidak dapat dimungkiri oleh berbagai pihak, baik itu kalangan pelaku bisnis, kelompok ilmuwan, kelompok pemerintahan, kelompok masyarakat awam, ialah adanya pergeseran secara nyata struktur perekonomian (yang dalam istilah ilmu ekonomi regional disebut transformasi perekonomian) di Provinsi Jawa Barat, yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri. Dari hasil kompilasi PDRB Jawa Barat (tanpa wilayah yang menjadi area Provinsi Banten) tahun 2001, kontribusi sektor industri Jawa Barat menunjukkan angka 39,26 persen, yang berarti posisi Jawa Barat masih tetap sebagai daerah industri. Selama ini diakui, bahwa sasaran utama dari keberadaan usaha industri di wilayah ini semata-mata dirancang untuk menghasilkan produk barang ekspor (export oriented), dengan bahan baku utama sebagian besar terdiri atas bahanbahan impor (import content). Dengan demikian, pangsa pasar domestik secara relatif terabaikan. Selain daripada itu, akibat terfokusnya sektor industri mengakibatkan sektor lain yang dominan di Jawa Barat, yaitu sektor pertanian terabaikan. Hal ini mengakibatkan terjadinya disparitas kota dan desa atau antara wilayah industri

19 dengan wilayah pertanian disebabkan karena ketidak serasian pertumbuhan ekonomi di antara kedua wilayah tersebut. Perkembangan kota yang pesat dengan industri dan jasa sebagai basis ekonominya menyebabkan sektor formal di wilayah perkotaan bercirikan perkembangan industri yang modern, bisnis besar, upah yang tinggi dan tingkat kehidupan yang nyaman. Berbeda keadaannya dengan sektor informal yang dicirikan dengan kemiskinan dan kekumuhan. Lebih lanjut di wilayah perdesaan yang berbasis ekonomi pertanian, kemiskinan, lahan garapan yang bertambah sempit, pengangguran, pendidikan yang rendah, usaha tani yang tidal (efisien, pertumbuhan ekonomi yang rendah, migrasi spasial dan sektoral) menyebabkan wilayah perdesaan sangat sulit untuk dikembangkan. Kemampuan suatu wilayah mengelola sumberdaya yang dimiliki akan menentukan laju pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak tahun 2000 (Penerapan UU: 22/99) dan diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dipandang sebagai bagian dari upaya mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan antar wilayah (inter-regional), termasuk ketidakseimbangan kewenangan antara pusat dan daerah (Rustiadi, et al. 2006). Selain itu kebijakan otonomi daerah memberikan pengaruh yang luas dalam penentuan sistem perencanaan pembangunan wilayah. Strategi dan peran pemerintah dalam perekonomian wilayah adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatur penyediaan barang publik (alokasi), mengurangi inflasi dan pengangguran (stabilisasi), dan melaksanakan pemerataan (keadilan sosial) atau distribusi. Peran tersebut dilakukan melalui sektor riil (sektor barang), sektor moneter (sektor keuangan), sektor internasional (perdagangan internasional dan keuangan internasional), dan sektor tenaga kerja serta sektor pemerataan (di Indonesia dikenal adanya Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil). Peranan total UKM Jawa Barat pada tahun 2001 terhadap PDRB Jawa Barat adalah 55,60 persen yang terbagi ke dalam peranan usaha kecil 39,79 persen dan usaha menengah 15,81 persen. Jika dilihat lebih jauh sektor-sektor yang punya peranan besar yang dilakukan oleh usaha kecil adalah sektor pertanian 13,57 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran 10,13 persen dan industri pengolahan 7,16 persen. Di skala usaha menengah, sektor

20 yang dominan adalah sektor industri pengolahan 9,09 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat. Namun demikian upaya pemerintah untuk meningkatkan pemerataan di sektor pelaku ekonomi masih rendah, terlihat dari masih adanya gap (celah) antara kelompok pelaku usaha skala besar dan kelompok Koperasi Usaha Kecil & Menengah (KUKM). Sehingga perlu ditingkatkannya aktivitas ekonomi kelompok KUKM yang identik dengan meningkatkan nilai tambah (value added) ekonomi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan membentuk sentra usaha komoditas unggulan. Selain daripada itu, strategi pembangunan wilayah perlu juga mempertimbangkan keberagaman potensi sesuai potensi yang dimiliki wilayah tersebut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonominya. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), secara langsung dan tidak langsung dapat dilakukan melalui penggalian dan pengembangan potensi yang ada di daerah yang meliputi sumberdaya manusia, alam, man-made capital, dan social capital. Pembangunan di daerah diselenggarakan dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada dan diarahkan untuk pemerataan sosial dan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Potensi dan daya dukung atau sumberdaya yang dimiliki setiap wilayah berbeda antar wilayah, sehingga akan ada hubungan yang saling ketergantungan antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Adanya ketergantungan antar wilayah akan mengakibatkan tejadinya interaksi ekonomi lintas wilayah yang didasarkan atas dasar kebutuhan pemenuhan kebutuhan hidup. Perekonomian lintas wilayah akan membawa pengaruh pada pola konsumsi dan belanja rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi laju pertumbuhan suatu ekonomi wilayah. Salah satu kunci keberhasilan pembangunan wilayah adalah adanya keterkaitan lintas sektor, sebab setiap kegiatan di suatu sektor selalu menggunakan input dari sektor yang lain. Tingkat dan pola konsumsi masyarakat pada suatu wilayah dalam waktu tertentu merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Sedangkan kredit merupakan salah satu input sekaligus insentif bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas baik produktif maupun pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Sehingga kredit dan konsumsi memiliki

21 keterkaitan hubungan yang dapat menentukan produktivitas dan mempengaruhi pertumbuhan pembangunan di suatu wilayah. Tingkat dan pola konsumsi serta serapan kredit antara daerah satu dengan daerah yang lain dalam suatu wilayah tentunya berbeda-beda yang dipengaruhi banyak faktor. Kajian komprehensif yang memadukan antara ekonomi dan geografis yang mempengaruhi penawaran dan permintaan kredit, serta mengidentifikasi hambatan-bambatan yang relevan mempengaruhinya merupakan kebutuhan penting dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Tingkat serta pola kredit dan konsumsi rumah tangga dalam suatu wilayah dapat dibuat dalam suatu model keterkaitan sehingga dapat dilihat faktorfaktor dominan, baik dari dalam maupun luar, baik terkendali maupun tidak terkendali dalam meningkatkan pendapatan per kapita yang siap dibelanjakan pada suatu wilayah dalam satu tahun tertentu. 1.2 Perumusan Masalah Isu adanya ketimpangan pembangunan wilayah berkaitan dengan masalah arah kebijakan pembangunan yang lebih diperluas dengan adanya disparitas pembangunan ekonomi. Hal-hal tersebut juga sangat berpengaruh terhadap kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat yang pada dasarnya diakibatkan oleh faktor-faktor: 1) Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, 2) Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, 3) Potensi regional (sumberdaya alam dan lingkungan serta infrastrukur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan 4) Kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Laporan Badan Pusat Statistik Tahun 2005 menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Barat sebesar 5,06 persen, dimana nilai tersebut hampir mencapai pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,60 persen. Namun demikian, keberhasilan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan bahwa Provinsi Jawa Barat masih memiliki masyarakat yang tergolong miskin. Kemiskinan penduduk di Provinsi Jawa Barat sebesar 24,04 persen per tahunnya yang jauh lebih tinggi daripada penduduk miskin di Indonesia yang tercatat sebesar 20,54 persen per tahunnya. Hal ini menunjukkan

22 bahwa masih terjadinya ketimpangan-ketimpangan khususnya antara kota dan kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat. Untuk dapat meningkat pertumbuhan ekonomi regional di wilayah Indonesia umumnya dan di wilayah Jawa Barat, khususnya ada tiga sektor yang diunggulkan, yaitu sektor pertanian, sektor industri dan sektor perdagangan. Namun pada 4 sampai 5 tahun terakhir diketahui sektor-sektor tersebut memiliki nilai share dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang semakin menurun. Sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif lain untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Di luar ketiga sektor tersebut salah satu sektor yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi regional adalah sektor jasa khususnya jasa perbankan, dalam hal ini berkaitan erat dengan kredit-kredit perbankan. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tidak akan pernah terlepas dari pelaku ekonomi. Sebagian besar pelaku ekonomi sektor jasa perbankan adalah rumah tangga yang mencapai 67 persen. Salah satu sumbangan PDB berasal dari konsumsi rumah tangga, sehingga peran serta rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi sangat besar dan dapat meningkatkan PDB. Namun masih banyak terjadi ketimpangan-ketimpangan, pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang miskin dilandasi dengan masih rendahnya tingkat pertumbuhan kredit yang disalurkan dalam rangka pembiayaan sektor-sektor produktif berupa kredit investasi dan kredit modal kerja. Pada tiwulan I-2006 kredit yang disalurkan oleh bank-bank umum di Jawa Barat mencapai 41,86 triliun rupiah. Secara nominal, jumlah kredit di awal tahun 2006 ini relatif cukup besar dan mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan IV Tetapi dilihat dari pertumbuhan kredit sebenarnya masih rendah yaitu 2,89 persen. Dibandingkan dengan potensi besar yang dimiliki sektor-sektor ekonomi di Jawa Barat maka sesungguhnya pertumbuhan itu masih sangat rendah. Untuk mendorong akselerasi perbaikan perekonomian Jawa Barat pada level intensitas yang tinggi LDR masih menyimpan potensi yang besar. Apabila kredit yang disalurkan tumbuh dengan pertumbuhan yang tinggi, dapat dipastikan akselerasi peningkatan kegiatan ekonomi daerah akan mengalami pergerakan yang signifikan terutama dalam menciptakan iklim perekonomian

23 daerah yang berpeluang menjanjikan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat dan sebaliknya. Dilihat dari sisi penggunaannya, sebagian besar kredit yang disalurkan oleh bank-bank umum untuk masyarakat di Jawa Barat digunakan untuk kegiatan konsumtif. Pada triwulan I-2006 kredit konsumsi yang disalurkan mencapai 20,74 triliun rupiah atau sebesar 49,55 persen dari total kredit yang disalurkan dengan pertumbuhan kredit secara triwulan 5,71 persen dan sebesar 31,60 persen secara tahunan. Sedangkan kredit yang disalurkan untuk kegiatan produktif berupa kredit investasi dan modal kerja pada triwulan I-2006 sebesar 21,12 triliun rupiah (50,45%). Jika ditinjau dari aspek pertumbuhan, untuk pertumbuhan kredit produktif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan kredit konsumtif. Hal ini menunjukkan dukungan sektor perbankan terhadap perkembangan investasi dan kegiatan ekonomi lainnya di Jawa Barat perlu dipacu dengan maksimal sehingga dapat berpengaruh positif terhadap intensitas program akselerasi pemulihan perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Besarnya kredit yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan per kapita masyarakat untuk konsumsi rumah tangga yang menunjang terhadap pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana keterkaitan kredit dan konsumsi rumah tangga dengan faktorfaktor sosial ekonomi lainnya? 2. Bagaimana dampak persebaran spasial kredit dan konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian regional Jawa Barat? 3. Implikasi kebijakan apa yang didapatkan dari analisis di atas? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilaksanakan penelitian ini sebagai berikut: 1. Menganalisis keterkaitan kredit dan konsumsi rumah tangga dengan faktorfaktor sosial ekonomi lainnya di Jawa Barat 2. Menganalisis dampak persebaran spasial kredit dan konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian regional Provinsi Jawa Barat 3. Merumuskan implikasi kebijakan dari hasil analisis di atas

24 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari adanya penelitian ini sebagai berikut: 1. Memberikan masukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat (rumah tangga) di Jawa Barat 2. Memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam peningkatan pembangunan ekonomi regionalnya 3. Memberikan pertimbangan kepada pihak lembaga keuangan dalam mengambil keputusan untuk memberikan akses kredit kepada pelaku rumah tangga baik dalam sektor usaha kecil, menengah maupun besar 4. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya

25 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masalah Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua provinsi di Indonesia. Provinsi yang miskin menghadapi masalah klasik, yaitu pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Kemiskinan setidaknya dapat dilihat dari dua sisi yaitu : Pertama, kemiskinan absolut, dimana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan daerah yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Dengan kata lain, kemiskinan relatif berkaitan dengan masalah distribusi pendapatan (Kuncoro 2006) Indikator Kemiskinan Pengertian kemiskinan yang perlu diketahui dan dipahami adalah sebagai berikut: 1) Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per kapita per hari, 2) Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila: a) Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, b) Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, c) Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, d) Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah, e) Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan, 3) Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari (Kuncoro 2006). Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup banyak segi, dan ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan yang nantinya menjadi ketimpangan antar sektor, wilayah dan kelompok atau golongan masyarakat (sosial). Keadaan kemiskinan pada umumnya diukur dengan tingkat pendapatan. Kondisi kemiskian dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan kondisi keterisolasian, motivasi dan kesadaran untuk lepas dari kungkungan kemiskinan yang menghimpit.

26 Untuk mengidentifikasi kemiskinan selama ini yang sering digunakan adalah garis kemiskinan (poverty line), yaitu suatu tolok ukur yang menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampaui ukuran garis kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan (kebutuhan perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang lain, dan jasa). Kuncoro (2006), menyatakan bahwa garis kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang dalam studinya menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga dasar beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Namun demikian, pendekatan Sajogyo memiliki kelemahan mendasar, yaitu tidak mempertimbangkan perkembangan tingkat biaya riil. Dengan menerapkan garis kemiskinan ini ke dalam data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, akan diperoleh persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, Esmara menetapkan suatu garis kemiskinan dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial. Karena ukuran Esmara mampu menangkap dampak inflasi maupun dampak penghasilan riil yang meningkat terhadap kualitas barang-barang esensial yang dikonsumsi (Kuncoro 2006). Beberapa penetapan tolok ukur kemiskinan (Rustiadi, et al. 2006) sebagai berikut: a) Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-service Ratio, GSR), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa, b) Persentase atau rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, yang bertolok berdasarkan semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahterannya, c) Pendapatan setara harga beras, hal ini didasarkan pada kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun, ditentukan ambang batas kemiskinan di wilayah masing-masing jika pendapatannya kurang dari 240 kkal/kapita/tahun, d) Kebutuhan pokok, pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan sembilan bahan pokok.

27 2.1.2 Penyebab Kemiskinan Ada banyak penyebab kemiskinan. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya yang dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Kekayaan alam kurang dikembangkan (1) Kekayaan alam kurang dikembangkan (1) Masyarakat masih terbelakang (2) Masyarakat masih terbelakang (2) Kekurangan modal (3) (3) Pembentukan modal rendah (8) Tabungan rendah (6) Produktivitas rendah (4) Rangsangan investasi rendah (7) Pendapatan Rill rendah (5) Gambar 1 Lingkaran perangkap kemiskinan. Ketiga penyebab kemiskinan bermuara pada akibat adanya berbagai dualisme sosial ekonomi, yaitu lingkaran perangkap kemiskinan masyarakat tradisional (Rustiadi, et al. 2006). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Lingkaran perangkap kemiskinan ini diformulasikan oleh Geertz sebagai Agriculture Involution yang

28 sebelumnya diungkapkan oleh Nurkse (1953), diacu dalam Rustiadi, et al. (2006) sebagai The Vicious Circles. Skematik lingkaran perangkap kemiskinan dapat dilihat pada Gambar Disparitas Antar Wilayah Disparitas pembangunan merupakan masalah regional yang tidak merata. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro cenderung akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, kemiskinan disuatu tempat akan sangat berbahaya bagi wilayah lainnya (Rustiadi, et al. 2006). Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah. Faktor-faktor ini antara lain adalah: 1) Geografi, 2) Sejarah, 3) Politik, 4) Kebijakan pemerintah, 5) Administrasi, 6) Sosial budaya, dan 7) Ekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas adalah: 1) Faktor ekonomi yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki, 2) Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor yang salah satunya adalah lingkaran setan kemiskinan, 3) Faktor ekonomi yang terkait dengan pasar bebas dan pengaruhnya terhadap spread effect dan backwash effect, serta 4) Faktor ekonomi yang berkaitan dengan distorsi pasar. Untuk membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi terjadinya disparitas antar wilayah, maka ada beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain (Rustiadi, et al. 2006): 1. Mendorong pemerataan investasi, investasi harus terjadi pada semua sektor dan wilayah secara simultan sehingga infrastruktur bisa berkembang. 2. Mendorong pemerataan permintaan (demand). 3. Mendorong pemerataan tabungan, tabungan sangat diperlukan untuk bisa memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat maka potensi investasi juga akan meningkat.

29 Faktor sosial ekonomi dapat memiliki efek positif atau negatif yang berantai terhadap disparitas antar wilayah. Faktor sosial seperti tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah, selanjutnya akan menyebabkan tingkat produksi yang rendah, akibatnya pendapatan yang menentukan tingkat kesejahteraan masyarakatpun juga rendah dan ini akan menjadi lingkaran setan yang membuat suatu wilayah makin terbelakang. 2.3 Pembangunan dan Pengembangan Wilayah Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah akan berimplikasi luas dalam sistem peningkatan aktivitas perekonomian daerah, pemerintah daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam merencanakan arah pembangunan di daerahnya. Disisi lain pemerintah daerah akan semakin dituntut lebih mandiri dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan di daerahnya masing-masing. Penyelenggaraan desentralisasi erat kaitannya dengan pola pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini karena penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen penting yang salah satu elemennya sangat terkait dengan pembagian kekuasaan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk mengatur dan mengurus bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum (Kunarjo 2002). Pembangunan pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat umum. Ini berarti pembangunan merupakan impelementasi dari tugas pelayanan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, pertimbangan atas upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat luas harus menjadi perhatian utama. Oleh karena itu untuk melihat/mengukur berhasil tidaknya suatu proses pembangunan adalah sampai sejauh mana atau seberapa besar tingkat kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat dari bagaimana masyarakat dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mudah, seperti listrik, air bersih, BBM, sarana prasarana penghubung/transportasi, dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan tersebut akan mengarah pada tingkat kepuasan masyarakat, yang dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan yang diberikan

30 pemerintah. Untuk mencapai hal itu, konsep pembangunan sejak dari perencanaan harus diarahkan pada perwujudan pada pusat-pusat pelayanan secara adil dan merata (Riyadi dan Bratakusumah 2005). Banyak masalah-masalah yang dihadapi negara sedang berkembang yaitu masalah rendahnya pendapatan, tingkat pengangguran yang tinggi, distribusi pendapatan yang tidak merata dan tingkat kesehatan, gizi, pendidikan yang relatif rendah. Kesulitan perhitungan pendapatan nasional, penentuan tingkat pendapatan sebagai batas antara maju dan belum maju adalah tidak tepat. Tetapi pendapatan per kapita tetap dipakai sebagai indeks perkembangan karena memiliki beberapa alasan sebagai berikut: 1) Pendapatan per kapita merupakan indeks tunggal yang dipunyai, 2) Memang tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan, 3) Pendapatan per kapita merupakan petunjuk yang cukup baik bagi struktur ekonomi dan sosial masyarakat (Irawan dan Suparmoko 2002). Rustiadi, et al. (2006) menyatakan pengembangan wilayah dapat dianggap sebagai suatu intervensi positif terhadap suatu wilayah. Terdapat teori pengembangan wilayah, yaitu demand side strategy dan supply side strategy. 1. Strategi Demand Side Strategi Demand Side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang dan jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi total. Tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup penduduk. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa yang lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. 2. Strategi Supply Side Strategi Supply Side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi. Dengan adanya peningkatan penawaran diharapkan dapat meningkatkan pendapatan lokal.

31 2.4 Kredit Pengertian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Kredit dalam arti ekonomi adalah penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk barang, uang maupun jasa. Suyatno, et al. (1999) menyatakan bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan barang-barang sekarang. Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok-Pokok Perbankan mendefinisikan kredit sebagai berikut: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Menurut Suyatno, et al. (1999), unsur-unsur yang terdapat dalam kredit sebagai berikut: 1) Kepercayaan, yaitu dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang, 2) Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang, 3) Degree of risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari, 4) Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Menurut Muljono (1996), terdapat unsur-unsur kredit antara lain : 1. Waktu, yang menyatakan bahwa ada jarak antara saat persetujuan pemberian kredit dan pelunasannya. 2. Kepercayaan, yang mendasari pemberian kredit oleh pihak kreditur kepada debitur, bahwa setelah jangka waktu tertentu debitur akan mengembalikan sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak.

32 3. Penyerahan, yang menyatakan bahwa pihak debitur menyerahkan nilai ekonomi kepada debitur yang harus dikembalikan setelah jatuh tempo. 4. Risiko, yang menyatakan adanya risiko yang mungkin timbul sepanjang jarak antara saat memberikan dan pelunasannya. 5. Persetujuan dan perjanjian, yang menyatakan bahwa antara kreditur dan debitur terdapat suatu persetujuan dan dibuktikan dengan suatu perjanjian. Jenis-Jenis Kredit Perbankan Untuk Masyarakat (Suyatno, et al. 1999) sebagai berikut : 1. Kredit Dilihat dari Sudut Tujuannya Kredit konsumtif, yaitu kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian barang-barang dan jasa-jasa yang dapat memberikan kepuasan langsung kepada konsumen. Jenis kredit ini digunakan untuk membiayai hal-hal yang bersifat konsumtif seperti kredit perumahan, kredit kendaraan, serta kredit untuk membeli makanan dan pakaian. Secara tidak langsung kredit konsumtif akan memberikan efek produktif dengan cara meningkatkan produksi dari barang dan jasa yang telah dibeli olen peminjam. Kredit produktif, yaitu kredit yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang produktif. Kredit ini dipakai untuk membeli barang-barang modal yang bersifat tetap maupun untuk membiayai kegiatan pengadaan barang yang habis dalam sekali produksi. 2. Kredit Dilihat dari Sudut Jangka Waktunya Kredit jangka pendek (short term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 tahun. Yang dapat berbentuk kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli, kredit wesel, kredit eksploitasi. Kredit jangka menengah (medium term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu antara 1 sampai 3 tahun. Kredit jangka panjang (long term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. 3. Kredit Dilihat dari Sudut Jaminannya Kredit tanpa jaminan Kredit dengan jaminan

33 4. Kredit Dilihat dari Sudut Penggunaannya Kredit ekploitasi, yaitu kredit berjangka waktu pendek yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan sehingga lancar. Kredit investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk melakukan investasi atau penanaman modal Peranan Kredit Fungsi Kredit dalam Perekonomian dan Perdagangan (Suyatno, et al. 1999) sebagai berikut: a. Kredit pada hakikatnya dapat meningkatkan daya guna uang, 1) Para pemilik uang/modal dapat secara langsung meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan, untuk meningkatkan produksi atau usahanya, 2) Para pemilik uang/modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. b. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, kredit uang yang disalurkan melalui rekening giro dapat menciptakan pembayaran baru seperti cek, giro, bilyet dan wesel sehingga dapat meningkatkan peredaran uang giral. Kredit yang ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang kartal, sehingga arus lalu lintas uang akan berkembang. c. Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang, dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproes bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi meningkat. d. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi, kebijaksanaan diarahkan kepada usaha: 1) Pengendalian inflasi, 2) Peningkatan ekspor, 3) Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. e. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha, bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurangmampuan para pengusaha di bidang permodalan, sehingga para pengusaha akan dapat meningkatkan usahanya. f. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan, bantuan kredit dapat memperluas usaha pengusaha dan dapat mendirikan proyek-proyek baru,

34 sehingga dapat terserapnya tenaga kerja yang akhirnya terjadi pemerataan pendapatan. g. Kredit sebagai alat untuk meningkatkan hubungan internasional, bankbank besar di luar negeri yang mempunyai jaringan usaha dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Bantuan dalam bentuk kredit dapat mempererat hubungan ekonomi antarnegara yang bersangkutan tetapi juga meningkatkan hubungan internasional. Muljono (1996), menyatakan fungsi pokok kredit pada dasarnya ialah pemenuhan untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam rangka mendorong dan memperlancar perdagangan, mendorong dan melancarkan produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang semuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan taraf hidup manusia Aspek Sosial Ekonomi dalam Analisis Kredit Bahsan (2003), menyatakan bahwa suatu usaha (kegiatan) antara lain yang dilakukan di bidang perekonomian, akan mempunyai suatu pengaruh terhadap kegiatan lainnya. Dalam hal ini dapat diperhatikan terjadinya keterkaitan atau dampak yang disebut sebagai aspek sosio ekonomi dari suatu usaha (kegiatan). Pengaruh suatu usaha dalam analisis kredit berdampak pada: 1. Adanya Nilai Tambah Terhadap Produk yang Dihasilkan Pendirian suatu usaha (kegiatan) diharapkan dapat memberikan nilai tambah terhadap jumlah produk nasional dan regional, yaitu berupa penambahan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan. Barang yang dihasilkan oleh usaha dapat berupa barang mentah, barang setengah jadi ataupun barang jadi. Terdapatnya usaha (kegiatan) baru yang melakukan pengolahan lebih lanjut dari suatu produk yang berupa barang mentah menjadi barang jadi ataupun barang setengah jadi akan lebih meningkatkan jumlah produk yang dihasilkan secara keseluruhan. 2. Penggunaan Sumber Dalam Negeri Suatu usaha (kegiatan) yang baru didirikan dapat dipastikan memerlukan berbagai kebutuhan. Sebagian diantara kebutuhan itu dapat dipenuhi dari dalam negeri terutama dari daerah setempat, misalnya berupa tenaga kerja,

35 barang mentah atau barang setengah jadi, peralatan, dan lain-lain. Penggunaan tenaga keja dari daerah setempat akan memberikan pengaruh positif terhadap: a) Pengurangan pengangguran karena adanya lapangan kerja baru, b) Penambahan penghasilan terhadap penduduk yang dipekerjakan, c) Peningkatan ketrampilan dan keahlian penduduk yang dipekerjakan, d) Pengurangan masalah tindak kejahatan yang mengganggu keamanan masyarakat, e) Peningkatan harga diri dari penduduk yang dipekerjakan, f) Pengurangan urbanisasi, dan lain-lain. Sementara itu suatu usaha yang menggunakan bahan baku yang dihasilkan oleh produsen-produsen di dalam negeri akan sangat mendorong peningkatan produksi barang mentah dan barang setengah jadi yang sudah ada. Terjadinya pengolahan barang mentah dan barang setengah jadi oleh pihak lain sehingga menghasilkan barang baru sebagai barang jadi akan memberikan banyak pengaruh positif. 3. Pengaruh Terhadap Timbulnya Usaha (Kegiatan) Lain Suatu usaha (kegiatan) yang baru dibuka sering mendorong pembukaan usaha lain. Usaha lain tersebut dapat mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan usaha yang didirikan. Keterkaitan langsung berupa timbulnya usaha lain sebagai pemasok bahan baku, sedangkan keterkaitan tidak langsung berupa usaha penyewaan tempat tinggal, rumah makan, dll. Juga terdapat keterkaitan antara industri seperti keterkaitan industri hulu dengan industri hilir. 4. Pengaruh Terhadap Perekonomian Regional Lokasi pendirian usaha mempunyai dampak terhadap pembangunan di sekitarnya, terutama bila didirikan di luar daerah yang berpenduduk padat. Mengingat beberapa kota besar terutama yang terletak di Pulau Jawa secara umum sudah sangat berkembang perekonomiannya, maka pendirian usaha baru di daerah lainnya akan sangat mendukung perkembangan perekonomian di daerah tempat berdirinya usaha. 5. Pengaruh Terhadap Penerimaan Pemerintah Salah satu penerimaan Pemerintah berasal dari pungutan pajak. Sejauh mana dari suatu usaha yang baru didirikan dapat memberikan sumbangan

36 bagi penerimaan Pemerintah melalui pembayaran berbagai pungutan pajak yang terkait. Pembayaran pajak diperlukan dalam rangka membantu penerimaan pendapatan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 6. Keterkaitan Beban Biaya Investasi dengan Kerugian Masyarakat Suatu usaha dapat disimpulkan akan merugikan masyarakat dengan memperhatikan beban biaya investasi yang harus ditanggung Pemerintah. Keputusan untuk melaksanakan suatu investasi di bidang publik merupakan wewenang penuh dari Pemerintah meskipun terdapat kemungkinan kerugian bagi masyarakat. 7. Dampak Terhadap Fasilitas Sosial Berdirinya usaha dapat memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat disekitarnya antara lain adanya pembukaan rumah sakit, sekolah, pasar. Fasilitas sosial tersebut akan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkatkan kesehatan, pendidikan, pelayanan kebutuhan sehari-hari. 2.5 Permintaan Turunan (Derived Demand) dan Penawaran kredit Permintaan terhadap suatu produk dapat berupa permintaan primer (primary demand) dan atau permintaan turunan (derived demand). Derived demand digunakan untuk menunjukkan daftar permintaan bagi input yang dipakai dalam menghasilkan produk akhir. Derived demand juga menyangkut sistem pemasaran secara keseluruhan ataupun fungsi permintaan ditingkat petani. Kurva derived demand dapat berubah salah satunya karena pergeseran kurva primary demand (Tomek dan Robinson 1972). Harga Pr Pf Primary demand Derived demand Jumlah per unit waktu Sumber: Tomek dan Robinson 1972 Gambar 2 Kurva primary demand dan derived demand.

37 Derived demand merupakan demand untuk sebuah input yang tergantung pada, dan berasal dari tingkat output dari perusahaan dan harga input (Pindyck dan Rubinfeld 2005). Dalam menghasilkan produk atau output hasil pertanian diperlukan input antara (faktor produksi) yang terdiri dari faktor produksi yang tetap dan tidak tetap (variabel). Bila sektor pertanian ingin meningkatkan produksi, salah satunya adalah dengan meningkatkan penggunaan input. Kredit yang diperoleh petani dapat digunakan sebagai penambah modal untuk membiayai input produksi sehingga petani dapat meningkatkan produknya pada tingkat yang lebih tinggi. Input yang dibiayai dengan kredit juga akan memiliki biaya tambahan sebesar bunga kredit dan biaya transaksi lainnya. Suku bunga kredit r 2 r 1 r 3 D 1 A B S 1 C S 2 Keterangan: S 1 : Kurva penawaran kredit pertama S 2 : Kurva Penawaran kredit kedua D 1 : Kurva permintaan kredit pertama D 2 : Kurva permintaan kredit kedua D 2 Q 1 Q 2 Q 3 Jumlah Sumber: Stevens dan Jabara 1988 Gambar 3 Pengaruh elastisitas permintaan kredit dan elastisitas penawaran kredit terhadap suku bunga. Bunga pinjaman (kredit) ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran kredit. Stevens dan Jabara (1988) menyatakan bunga pinjaman yang tinggi di pedesaan disebabkan oleh permintaan dan penawaran kredit yang tidak elastis (inelastis) seperti terlihat pada Gambar 3. Lebih lanjut Stevens dan Jabara (1988) menyatakan bunga pinjaman dapat menjadi lebih rendah dengan cara mengeser kurva penawaran dengan (supply) kredit yang lebih elastis ke kanan. Pergeseran kurva penawaran ini ke kanan dapat ditempuh dengan cara: 1) Memperluas sumber-sumber kredit di pedesaan. Semakin banyak sumber kredit maka kurva penawaran kredit akan bergeser ke kanan, yang berarti pada tingkat bunga pinjaman yang sama besar maka jumlah

38 kredit yang tersedia akan lebih besar, 2) Memperbanyak jenis-jenis pelayanan yang sudah ada. Semakin banyak jenis pelayanan yang dapat diberikan bank (tabungan, deposito, kredit, pengiriman uang) maka semakin besar nasabah yang dapat dilayani bank, yang berarti juga akan menggeser kurva penawaran bank ke kanan, 3) Perubahan teknologi dari kelembagaan kredit. Perubahan teknologi akan membuat produktivitas masukan meningkat, sehingga biaya marginal semakin rendah. Perubahan teknologi akan membuat kurva penawaran bergeser ke kanan dan kurva ini mempunyai elastisitas lebih besar dibandingkan dengan kurva penawaran semula. Dalam dunia perbankan terdapat istilah Credit Crunch, yang didefinisikan sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit perbankan secara tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit kepada dunia usaha (Agung, et al. 2001). Dalam kondisi yang ekstrim terjadi dalam bentuk credit rationing, yaitu bank menolak dalam memberikan kredit terhadap nasabah tertentu atau sebagian besar nasabah pada tingkat suku bunga manapun. Dengan adanya credit crunch, fungsi intermediasi perbankan akan terganggu. Perbankan yang seharusnya menjadi perantara antara sektor moneter dengan sektor riil menjadi tidak mampu lagi menggerakkan perkembangan dunia usaha melalui kredit yang mereka salurkan. Dengan terhambatnya penyaluran kredit oleh perbankan pada dunia usaha, maka dunia usaha akan mengalami kelesuan. Investasi dan aktivitas ekonomi lainnya akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran sehingga pendapatan nasional (output) pada akhirnya akan mengalami penurunan. Adapun penurunan kredit yang disalurkan perbankan tersebut bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi demand maupun supply. Penurunan kredit akibat faktor-faktor permintaan (demand) merupakan sesuatu yang wajar terjadi ketika perekonomian suatu bangsa mengalami kelesuan (resesi). Dari sisi mikro perusahaan, masalah struktural seperti penyesuaian untuk mengurangi debt-equity ratio yang meningkat akibat krisis merupakan penyebab turunnya permintaan kredit. Adanya ketidakpastian (uncertainty) dan iklim berusaha (business confidence) yang rendah juga merupakan penyebab rendahnya

39 keinginan untuk melakukan investasi sehingga permintaan kredit juga mengalami penurunan, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4. Suku Bunga Kredit S r 0 r 1 E 1 E 0 Keterangan: S : Kurva penawaran kredit D 0 : Kurva permintaan kredit mula-mula D 1 : Kurva permintaan kredit bergeser ke kiri D 1 D 0 Sumber: Agung, et al L 1 L 0 Kuantitas Kredit Gambar 4 Penurunan kredit akibat menurunnya permintaan. Penurunan kredit dari sisi penawaran disebabkan oleh turunnya kemauan bank untuk memberikan pinjaman pada tingkat suku bunga yang berlaku. Faktorfaktor yang dapat menyebabkan menurunnya keinginan perbankan untuk memberikan kredit dapat bersumber dari faktor internal maupun faktor eksternal (Agung, et al. 2001). Faktor internal berupa rendahnya kualitas aset perbankan, tingginya non-performing loans (NPLs) dan anjloknya modal perbankan akibat depresiasi dan negative interest margin menurunkan kemampuan bank untuk memberikan kredit. Faktor eksternal berupa menurunnya tingkat kelayakan kredit (creditworthiness) dari debitur akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan, sehingga bank akan mengalami kesulitan untuk membedakan creditworthiness dari debitur. Suku Bunga Kredit r 1 E 1 r 0 E 0 S 1 S 0 Keterangan: S 0 : Kurva penawaran kredit mula-mula S 1 : Kurva penawaran kredit bergeser ke kiri D : Kurva permintaan kredit D L 1 Kuantitas L 0 Kredit Sumber: Agung, et al Gambar 5 Penurunan kredit akibat menurunnya penawaran.

40 2.6 Kajian Pola Konsumsi Konsumsi agregat merupakan salah satu komponen penentu tingkat kegiatan ekonomi dari pengeluaran agregat yang mendorong kenaikan pendapatan nasional/daerah. Tingkat konsumsi masyarakat terutama ditentukan oleh tingkat pendapatan rumah tangga, dan besarnya permintaan konsumsi tersebut tergantung pada kecenderungan untuk mengkonsumsi atau Marginal Propensity to Consume (MPC) yang dirumuskan menjadi C/ Y dimana C = konsumsi, Y = pendapatan agregat. Jurang antara pendapatan dan konsumsi dijembatani oleh investasi dimana tingkat investasi yang dibutuhkan relatif sedikit atau menurun, maka tingkat permintaan agregat akan menurun (Mankiw 2003). Hal tersebut disebabkan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja berkurang sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang didalam perekonomian. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif. Disamping pendapatan, faktor lain yang menentukan jumlah konsumsi adalah: 1) Jumlah kekayaan, 2) Tingkat suku bunga, 3) Kondisi perekonomian, dan 4) Distribusi pendapatan. Menurut Tarigan (2002), untuk dapat menghitung pendapatan regional, salah satu metode yang di pakai adalah metode langsung dengan pendekatan pengeluaran, dimana pendekatan ini menjumlahkan nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Dari segi penggunaan maka total penyediaan/produksi barang dan jasa itu digunakan untuk: 1) Konsumsi rumah tangga, 2) Konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung, 3) Konsumsi pemerintah, 4) Pembentukan modal tetap bruto (investasi), 5) Perubahan stok, dan 6) Eksport. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menduga pendapatan masyarakat adalah tingkat pengeluaran rumah tangga. Dari analisis data Susenas dapat disimpulkan bahwa: 1) Perbedaan pengeluaran antara kota dan pedesaan lebih besar perbedaan pengeluaran antar wilayah, 2) Secara umum ketimpangan pengeluaran di kota lebih besar dari ketimpangan di desa, 3) Rumah tangga pedesaan mengeluarkan 39,4 sampai 44,2 persen dari pendapatannya untuk

41 makanan pokok, sedangkan rumah tangga perkotaan hanya berkisar antara 22,8 sampai 33,9 persen (Hermanto dan Andriati 1985). Harga barang konsumsi D 1 D 2 S 1 S 2 P 1 W 1 P 0 W 2 P 2 Q 0 Q 1 Q 2 Sumber: Hermanto dan Andriati 1985 Gambar 6 Perubahan permintaan barang konsumsi. Jumlah barang konsumen Keterangan Gambar : S 1 : kurva penawaran mula-mula S 2 : kurva penawaran bergeser ke kanan D 1 : kurva permintaan mula-mula D 2 : kurva permintaan bergeser ke kanan W 1 : kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan ke kanan : kebijaksanaan yang menggeser kurva penawaran ke kanan W 2 Banyak ragam kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Dari berbagai alternatif kebijaksanaan tersebut dapat dibedakan kedalam tiga kategori kebijaksanaan. Yang pertama adalah kelompok kebijaksanaan yang dapat menggeser kurva penawaran ke kanan. Kedua adalah kelompok kebijaksanaan yang menggeser kurva permintaan ke kanan. Dan ketiga, kelompok kebijaksanaan yang memberikan subsidi harga, baik kepada konsumen maupun kepada produsen. Secara grafis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6 (Hermanto dan Andriati 1985). Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi bahan makanan menunjukkan indikasi adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Walaupun demikian ada suatu indikator yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat semakin kecil proporsi pengeluaran yang dipergunakan untuk

42 pembelian bahan makanan pokok yaitu beras, tetapi proporsi pengeluaran yang gunakan untuk pembelian bahan makanan sumber protein semakin meningkat. Konsumsi bahan bakar mempunyai kedudukan penting setelah konsumsi bahan makanan. Kebutuhan bahan bakar bensin dari pengeluaran bahan bakar memberikan indikator tingginya mobilitas penduduk. Makin besar konsumsi bensin yang dipakai untuk menjalankan kendaran bermotor perorangan, semakin banyak pula jarak yang ditempuh per satuan waktu. Semakin jauh jarak yang dapat ditempuh per satuan waktu, berarti makin tinggi mobilitas pengendara. Begitu juga pola konsumsi untuk melengkapi kesejahteraannya, seperti kebutuhan akan pakaian, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi/transportasi dan estetika, dikenal dengan kelompok kebutuhan untuk non pangan dan energi. Halhal di atas mengindikasikan adanya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (Kuntjoro 1984). 2.7 Penelitian Terdahulu Mengenai Perkreditan Pursito (2003), dalam kajian efektivitas dan faktor-faktor penyaluran kredit dalam pembiayaan industri kecil menengah pangan oleh Bank Rakyat Indonesia di Semarang, menyatakan bahwa pemberian kredit perbankan di Jawa Tengah mengalami peningkatan walaupun kecil (0,7%). Hal ini menunjukan bahwa dalam berbagai sektor usaha perekonomian yang ada masih membutuhkan suntikan dana, walaupun di sisi lain banyak juga yang masih enggan untuk mengambil kredit, karena suku bunga yang masih dianggap terlalu tinggi (19-27%). Penyaluran kredit secara sektoral, perbankan Jawa Tengah pada triwulan I masih cenderung menyalurkan kredit pada sektor ekonomi tertentu, yaitu sektor perindustrian dan sektor perdagangan serta jasa (restoran dan hotel), yang masing-masing mencapai pangsa sebesar 38,9 persen dan 24,5 persen dari total kredit perbankan. Kondisi tersebut tidak terlepas dari posisi Jawa Tengah sebagai salah satu kawasan industri utama di Indonesia dan memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Jika dilihat dari penggolongan kredit menurut jenis penggunaannya adalah investasi sebesar 62,9 persen, modal sebesar 16 persen dan konsumsi sebesar 21,1 persen. Sudarma (1991), dalam analisis permintaan kredit usahatani padi sawah di Provinsi Bali, menyatakan bahwa besarnya pendapatan petani ditentukan oleh

43 besarnya penerimaan dan biaya yang diinvestasikan untuk kegiatan usahatani. Dari model analisis diturunkan fungsi permintaan kredit dari fungsi keuntungan. Besarnya elastisitas permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh harga produksi dan besarnya nilai masukan tetap, hal ini apabila petani tidak memaksimumkan keuntungan. Jika petani memaksimumkan keuntungan maka besarnya elastisitas permintaan kredit oleh petani ditentukan oleh faktor harga produksi dan besarnya keuntungan yang diraih pada musim tanam sebelumnya. Kalangi (1993) dalam peranan perkreditan dalam pembangunan pertanian di Provinsi Sulawesi Utara, menyatakan bahwa situasi dan kondisi dengan adanya Pakto 27 (Paket 27 Oktober 1988) mendorong perbankan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas usahanya agar tetap hidup dan berkembang, sehingga dikeluarkan peraturan tentang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, diharapkan sektor-sektor ataupun pelaku-pelaku ekonomi yang belum tersentuh oleh perbankan merasakan keuntungan-keuntungan dari kredit perbankan. Pada bulan April 1993, posisi kredit pada Bank Perkreditan Rakyat sebesar 5,835 juta rupiah, dimana kredit untuk modal kerja 3,301 juta rupiah, kredit konsumsi 2,132 juta rupiah dan yang paling kecil kredit investasi 402 juta rupiah. Sehingga sektor 36,5 persen yang disalurkan oleh Bank Perkreditan Rakyat di Sulawesi Utara adalah kredit konsumsi. Sedangkan pada waktu yang sama kredit konsumsi yang disalurkan oleh seluruh bank di Sulawesi Utara sebesar 96,253 juta rupiah atau 12,7 persen dari kredit yang disalurkan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kredit yang disalurkan oleh Bank Perkreditan Rakyat digunakan oleh masyarakat menengah ke bawah karena besarnya kredit untuk konsumsi berarti masyarakat ini menggunakan kredit yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dahulu. Suciani (1996), dalam peranan lembaga perkreditan terhadap peningkatan usaha masyarakat pedesaan di Kabupaten Tabanan Bali, menyatakan bahwa pendapatan nasabah sebelum dan setelah menerima kredit pada Bank Perkreditan Rakyat menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, walaupun pendapatan nasabah Bank Perkreditan Rakyat mengalami peningkatan secara absolut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kredit yang diterima nasabah menggunakan kredit untuk kredit konsumtif dan hanya sebagian kecil nasabah menggunakan

44 untuk hal produktif. Sehingga rata-rata peningkatan pendapatan secara absolut kelihatan meningkat tetapi secara statistik menunjukkan hasil berbeda tidak nyata, dimana jenis penggunaan modal kerja berperan besar terhadap kredit perbankan di Bali yaitu 59,7 persen, kredit investasi sebesar 28,6 persen dan kredit konsumsi sebesar 11,7 persen. Sariwulan (2000), dalam perkreditan perdesaan dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat kecil, menyatakan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan suatu program kredit adalah perubahan pendapatan, karena pada dasarnya program kredit selain berorientasi pada peningkatan produktivitas atau optimalisasi penggunaan sumberdaya yang lain, juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga, perbaikan ekonomi masyarakat di pedesaan, meningkatkan taraf hidup rumah tangga, meningkatkan pendidikan anak-anak, dan kesejahteraan lainnya. Rachmina (1994), dalam analisis permintaan kredit pada industri kecil (kasus Jawa Barat dan Jawa Timur), menyatakan dalam mengantisipasi permasalahan dana, terutama di pedesaan, pemerintah Indonesia telah banyak mengembangkan program dan kebijaksanaan tentang perkreditan. Kebijaksanaan tersebut tidak hanya ditujukan untuk petani, melainkan juga pedagang, industri rumah dan kecil, dan usaha kecil lainnya. Sartiyah (2001), dalam dampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara: Suatu analisis simulasi, menyatakan turunnya investasi mengakibatkan kesempatan kerja berkurang sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang di dalam peerkonomian. Demikian sebaliknya konsumsi akan meningkat pada tingkat investasi yang tinggi, karena kesempatan kerja akan meningkat dan menambah pendapatan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif. Surbakti (2004), dalam sistem pengorganisasian kredit mikro dan dampaknya terhadap kinerjanya, menyatakan pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan sosial budaya, dan pemberdayaan pendidikan. Pemberdayaan ekonomi dengan upaya untuk

45 menumbuhkan mata pencaharian orang/keluarga miskin, sehingga mereka mampu memperoleh penghasilan tetap dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara layak yang dilaksanakan melalui pemberian kredit mikro kepada kelompok-kelompok usaha yang dibentuk. Karina (2005), dalam faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran kredit bank umum terhadap usaha kecil di indonesia, menyatakan peran bank umum dalam memberdayakan usaha kecil adalah dengan mendorong perbankan untuk membiayai usaha mikro, kecil, dan menengah, yaitu dengan meningkatkan kerjasama antara usaha kecil dan perbankan. Pada kenyataannya programprogram tersebut belum direalisasi secara sempurna karena perbankan masih berhati-hati dalam penyaluran kredit kepada sektor riil. Hal ini dikarenakan perbankan dituntut untuk meningkatkan sistem manajemen berbasis risiko, dimana dari sisi aset kredit belum memberikan jaminan bagi perbankan, serta perbankan masih berupaya mengoptimalkan pendapatannya dari sisi aset nonkreditnya.

46 III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pemberantasan kemiskinan merupakan langkah yang harus ditempuh dalam menghadapi bahaya akibat kemiskinan, terutama di Provinsi Jawa Barat. Penduduk di Provinsi Jawa Barat hampir 50 persen adalah masyarakat miskin, hal ini ditandai pula oleh jumlah penganggurannya yang menempati urutan pertama di Indonesia yaitu sebesar 35,14 persen. Salah satu permasalahan dalam proses pembangunan daerah di Jawa Barat selama ini adalah adanya disparitas/ketimpangan pembangunan antara kawasan pedesaan dan perkotaan. Pembangunan cenderung terpusat pada perkotaan sehingga masyarakat perkotaan memiliki akses yang lebih baik terhadap sumber daya ekonomi dan cenderung memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dengan kinerja makroekonomi yang membaik, ternyata Jawa Barat belum mampu meningkatkan kinerja sektor riil dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama kesempatan kerja, pendidikan dan kesehatan. Ini ditandai dengan masih stagnasinya sektor riil, tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang masih tinggi. Terlihat tidak adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Secara teoritis, jika perekonomian mengalami pertumbuhan, maka penyerapan tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja akan meningkat. Pola-pola pertumbuhan yang pro masyarakat akan mendukung efektifitas pembangunan yang dapat mengurangi ketidakmerataan (inequality) melalui investasi kepada modal manusia dan sosial (social and human capital) untuk meningkatkan kemampuan kelompok rumah tangga sehingga mereka memiliki akses terhadap modal finansial (antara lain melalui kredit). Sumber daya alam merupakan endowment factor yang memiliki berbagai alternatif penggunaan. Sekalipun ada beberapa wilayah di Jawa Barat yang memiliki kesamaan sebagai wilayah pertanian, namun masing-masing memiliki keunikan sehingga jika dieksploitasi akan memberikan nilai tambah (value added) yang beragam. Sedangkan modal sosial adalah organisasi sosial (khususnya asosiasi horizontal)

47 seperti jaringan, norma dan kepercayaan (trust) yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama yang saling menguntungkan. Dalam rangka penciptaan kesempatan kerja, pemerintah perlu berhati-hati dalam menerima investasi. Investasi yang dibutuhkan adalah investasi yang berbasis pada sumber daya ekonomi yang ada di perdesaan dan memberikan nilai tambah yang besar dalam penciptaan kesempatan kerja. Diperlukan juga revitalisasi pada sektor pertanian, karena sektor inilah penyumbang pengangguran tertinggi. Sedangkan dalam mendorong sektor nonformal seperti UMKM ke dalam sektor formal. Kelangkaan modal yang mudah untuk diakses bagi penduduk miskin maupun pengusaha mikro dan kecil-menengah (UMKM), kurangnya infrastruktur fisik dan sosial, kurangnya akses terhadap pelayanan dan informasi serta beberapa faktor sosial budaya masyarakat adalah faktor-faktor penting yang membatasi masyarakat miskin maupun masyarakat lainnya yang bergerak dalam sektor usaha mikro dan kecil menengah (UMKM) di perdesaan untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan sosial. Sehingga masyarakat dalam pemenuhan untuk kebutuhan rumah tangga dapat meningkat dengan mendorong dan melancarkan produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang semuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk menaikkan taraf hidup manusia. Selain daripada itu peningkatan produktifitas rumah tangga sangat dipengaruhi oleh potensi yang ada di daerah yang meliputi sumberdaya manusia, alam, man-made capital dan social capital. Dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksudkan agar suatu wilayah dengan keunggulan komparatif dan kompetitifnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan peningkatan pertumbuhan ekonominya. Tingkat dan pola konsumsi rumah tangga dari hasil penerimaan (pendapatan) yang diperoleh oleh rumah tangga pada suatu wilayah dalam waktu tertentu merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat (output) di wilayah tersebut. Sedangkan kredit merupakan salah satu input sekaligus insentif bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas baik produktif maupun pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Sehingga kredit dan konsumsi serta faktorfaktor sosial ekonomi lainnya memiliki keterkaitan hubungan yang dapat menentukan produktifitas khususnya kesejahteraan pelaku ekonomi rumah tangga.

48 Sedangkan tabungan merupakan selisih dari pendapatan rumah tangga dengan pengeluaran/konsumsi dan pajak-pajak rumah tangga, sebagai simpanan yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu. Tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah dapat diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Mencermati ukuran dan komponen di atas maka IPM yang dicapai oleh suatu wilayah atau dapat mencerminkan keberhasilan membangun unsur manusia dari tiga sisi yang paling mendasar yaitu melek huruf, harapan hidup dan daya beli. IPM tidak mengukur aspek-aspek kebutuhan mendasar lainnya seperti perumahan, lingkungan, kualitas gizi dan sebagainya. Akan tetapi seandainya ketiga unsur tersebut juga masih rendah pencapaiannya hal itu dapat menggambarkan betapa pembangunan manusia di wilayah tersebut masih jauh dari memadai. Jika dilihat bahwa IPM di Jawa Barat dipengaruhi oleh unsur budaya dan gaya hidup. Kesenjangan target dan realisasi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat semakin besar. Tiga hal utama yang memengaruhinya adalah peningkatan indeks rendah di beberapa daerah, minimnya pemahaman aparatur pemerintahan, dan rendahnya indeks daya beli masyarakat. Untuk mewujudkan cita-cita sebagai provinsi termaju pada tahun 2010, Jawa Barat menetapkan IPM mencapai angka 80. Saat ini dengan IPM sebesar 69,10, target per tahun peningkatan IPM minimal sebanyak 1,5, tetapi kenyataannya kenaikan IPM tertinggi di Jawa Barat sejak hanya 0,99. Hal-hal yang menyebabkan rendahnya IPM di Jawa Barat adalah: 1) rata-rata masyarakat belum memiliki pemahaman yang baik tentang pentingnya pendidikan formal dan belum mengerti tentang kesehatan, 2) Masyarakat lebih mementingkan membeli barang-barang bukan kebutuhan pokok, seperti alat elektronik atau kendaraan bermotor. Keadaan itu merupakan situasi yang tidak menguntungkan bagi peningkatan IPM. Peningkatan daya beli yang terjadi bukan daya beli untuk kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan energi, tapi cenderung pada barang-barang tersier. Lebih lanjut, ada dua hal lain yang harus dipenuhi untuk meningkatkan daya beli masyarakat, yaitu peningkatan pendapatan masyarakat dan ketersediaan barang yang akan dibeli. Dalam pembangunan ekonomi regional, pemerintah menggunakan dasar Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebagai tolak ukur perekonomian wilayah.

49 Salah satu penyumbang PDB adalah dari pengeluaran/konsumsi rumah tangga serta pajak-pajak. Sehingga besaran pengeluaran/konsumsi rumah tangga akan berpengaruh terhadap pendapatan regional Jawa Barat. Ditinjau dari segi lain, penyumbang PDB terbesar antara lain sektor pertanian, sektor industri dan sektor perdagangan memiliki kecenderungan yang semakin menurun semenjak krisis terjadi. Sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif lain untuk dapat terus meningkatkan pendapatan regionalnya, salah satunya adalah dengan mempertimbangkan sektor lain yaitu sektor jasa khususnya jasa perbankan. Dimana pengguna sektor jasa perbankan sebagian besar adalah pelaku ekonomi rumah tangga sebesar 67 persen. Dalam teori ekonomi pembangunan, lembaga keuangan dianggap sebagai salah satu input dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Lembaga keuangan merupakan komplemen input lain dalam pengalokasian sumberdaya pembangunan agar tercapai efisiensi dan efektifitas pembangunan. Penawaran kredit oleh lembaga perkreditan terhadap pelaku ekonomi rumah tangga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang mempengaruhi pergerakan pola konsumsi dan pola kredit dari masyarakat yang dapat menggeser kurva penawaran dan permintaan terhadap suatu barang dan jasa suatu wilayah tersebut dan secara linear akan mempengaruhi pembangunan ekonomi wilayahnya. Di sektor rumah tangga banyak sekali sumberdaya yang belum dikembangkan secara optimal sebagai akibat dari masih rendahnya kualitas rumah tangga, yaitu baik tingkat pendidikan, banyaknya jumlah keluarga. Selain daripada itu, kurangnya modal rumah tangga merupakan salah satu penyebab kemiskinan terjadi. Kenyataan ini mengakibatkan tingkat produktivitas rumah tangga rendah dan berimplikasi tingkat pendapatan rumah tangga juga rendah. Akibat tingkat pendapatan yang rendah akan berdampak pada tingkat konsumsi/pengeluaran rumah tangga dan rangsangan menabung rumah tangga. Permintaan rumah tangga yang rendah akan kurang mendorong pembangunan perekonomian wilayah tersebut sehingga jumlah modal yang terbentuk rendah. Selanjutnya akan berdampak pada modal/investasi untuk rumah tanggapun juga rendah. Secara lebih jelas kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 7.

50 Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai perkreditan hanya lebih menekankan pada keterkaitan penyaluran kredit khususnya baik kredit produktif dan kredit konsumtif oleh lembaga perkreditan terhadap perubahan pendapatan yang menerima kredit tersebut. Di dalam penelitian ini, selain permasalahan keterkaitan antara kredit yang disalurkan oleh pihak lembaga perkreditan terhadap perubahan sosial ekonomi penerima kredit yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga, hubungan antara sektor jasa lembaga keuangan yang menyalurkan kredit kepada pelaku ekonomi rumah tangga terhadap pembangunan ekonomi regional akan menjadi fokus perhatian. Pembangunan ekonomi tiap wilayah berbeda-beda sehingga perlu diketahui identifikasi wilayah secara spesifik khususnya para pelaku ekonomi rumah tangganya. Dengan demikian perlu adanya kajian komprehensif yang memadukan antara ekonomi dan geografis yang mempengaruhi penawaran dan permintaan kredit, serta mengidentifikasi hambatan-bambatan yang relevan mempengaruhinya merupakan kebutuhan penting dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. 3.2 Hipotesis Dari kerangka penelitian yang dirangkumkan di atas maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Diduga ada keterkaitan yang tinggi antara kredit dan konsumsi rumah tangga dengan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya 2. Diduga ada perbedaan sebaran kredit dan konsumsi rumah tangga yang besar antar kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat

51 Jumlah Anggota Kel Pendidikan Keluarga Modal (Kredit) RT Modal Pemerintah atau Swasta Tabungan Rumah Tangga Produktifitas Rumah Tangga Pendapatan Regional Pengeluaran/Konsumsi RT dan Pajak-Pajak Pendapatan Rumah Tangga Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian.

52 IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat memiliki 25 kabupaten/kota. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu dimulai dari Bulan Februari sampai dengan Mei tahun Penelitian ini dilakukan karena Jawa Barat memiliki potensi besar dalam memperbaiki pertumbuhan perekonomian khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang masih relatif miskin dengan peningkatan sektor-sektor yang sedang berkembang khususnya sektor jasa perbankan dari pelaku ekonomi rumah tangga. Dimana Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer pada penelitian dilakukan melalui observasi lapangan (field observation). Kegiatan ini dilakukan langsung di lapangan dengan melakukan wawancara (interview) terhadap rumah tangga sasaran. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (Data SUSENAS 2002 dan 2005, Data Jawa Barat Dalam Angka, Indeks Pembangunan Manusia), Bank Indonesia (Data Sosial Ekonomi Daerah) dan instansi terkait serta pustaka yang relevan dengan penelitian. Data sekunder tersebut meliputi data rumah tangga berupa pendapatan, pengeluaran (konsumsi pangan dan non pangan), tabungan, kredit, dan sosial ekonomi rumah tangga lainnya. Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer, alat tulis, dan perangkat lunak (software). Perangkat lunak yang digunakan terdiri dari E-Views 5, SPSS 11.5 dan Microsoft Office Excel 2003.

53 Tabel 1 Uraian tujuan, variabel, alat analisis, jenis dan sumber data No Tujuan Variabel Teknik Analisa Jenis Data Sumber Data Menganalisis keterkaitan kredit dan konsumsi 1. rumah tangga dengan faktor-faktor ekonomi lainnya sosial - Pendapatan RT - Pengeluaran RT - Tabungan RT - Konsumsi RT - Kredit/meminjam RT - Pendidikan KRT - Umur KRT - Sektor Usaha - Jumlah Anggota RT - Analisis Statistik Deskriptif - Tabulasi Data - Analisis Ekonometrika Panel Data - Data primer, wawancara - Data sekunder - Responden - Data BPS, Susenas 2002 dan Menganalisis dampak persebaran spasial kredit dan konsumsi terhadap perekonomian regional Provinsi Jawa Barat Merumuskan implikasi kebijakan di Provinsi Jawa Barat dari hasil kedua butir diatas - Pendapatan RT - Pengeluaran RT - Tabungan RT - Konsumsi RT - Kredit RT - IPM - PDRB - Pertumbuhan Penduduk - Pertumbuhan Ekonomi - Jumlah Kantor Bank - Jumlah Kredit Variabel dari kedua tujuan diatas - Analisis Statistik Deskriptif - Analisis Indeks Kesenjangan Williamson - Analisis Panel Data - Analisis Korelasi Data Sekunder Analisis Deskriptif - Data sekunder - Data BPS, Susenas 2002 dan Data BPS, Jabar Dalam Angka - Data Bappenas, HDI - Data BPS, Input Output - Data BI - Data BPS, Susenas 2002 dan Data BI 4.3 Metode Penelitian Setelah dilakukan pengumpulan semua data (sekunder) dan data primer yang dibutuhkan kemudian dilakukan analisis sesuai dengan tujuan penelitian sebagai berikut: Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dengan Faktor- Faktor Sosial Ekonomi Lainnya Analisis Statistik Deskriptif untuk Melihat Karakteristik Peubah Sosial Ekonomi Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Analisis ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik sosial-ekonomi rumah tangga pada tiap kabupaten/kota terhadap IPM. Gambaran ini penting untuk memberikan informasi-informasi tentang keadaan peubah yang dijadikan sampel. Analisis statistik deskriptif meliputi penyajian data dalam bentuk grafik, scatter guna memudahkan dalam pembacaan karakteristik peubah Model Ekonometrika dalam Hubungan Kredit dan Konsumsi Rumah tangga serta Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Lainnya

54 Analisis ini dilakukan untuk mengetahui keterkaitan serta dampak kredit dan konsumsi rumah tangga serta faktor-faktor sosial ekonomi lainnya. Hal ini didasarkan pada fenomena yang ada, dimana rumah tangga dicirikan dengan adanya hubungan yang sifatnya simultan antara pengeluaran dan pendapatan. Dalam penelitian ini, fokus perhatian pada model ekonomi dengan adanya penambahan dari dana kredit Spesifikasi Model Model adalah representasi dari fenomena aktual. Karena itu model merupakan abstraksi dan simplifikasi dari suatu kondisi dunia nyata (Mankiw 2003). Menurut Koutsoyiannis (1979) pembentukan model bertujuan untuk menjelaskan perilaku ekonomi dari suatu unit individu (rumah tangga, perusahaan, lembaga pemerintahan) dan interaksi yang terjadi antar unit tersebut Fixed Panel Heterogenous Slope Model fixed menggunakan peubah boneka untuk memungkinkan perubahan-perubahan dalam intersep-intersep kerat lintang dan runtut waktu akibat adanya peubah-peubah yang dihilangkan. Intersep hanya bervariasi terhadap individu namun konstan terhadap waktu sedangkan slopenya konstan baik terhadap individu maupun waktu. Jadi α i adalah sebuah grup dari spesifik nilai konstan pada model regresi. Formulasi umum model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar unit dapat diketahui dari perbedaan nilai konstannya. Kelemahan model efek tetap adalah penggunaan jumlah derajat kebebasan yang banyak serta penggunaan peubah boneka tidak secara langsung mengidentifikasikan apa yang menyebabkan garis regresi bergeser lintas waktu dan lintas individu Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah modal, permintaan kredit, tabungan, umur, tingkat pendidikan. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: PTR it = a o + a 1 PK it + a 2 TAB it + a 3 UMR it + a 4 TPK it + u 1 Dimana :

55 PTR : Rata-rata pendapatan rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) PK : Rata-rata permintaan kredit/meminjam rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) UMR : Rata-rata umur kepala rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Tahun) TPK : Rata-rata lama pendidikan kepala rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Tahun) TAB : Rata-rata tabungan rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) Tanda parameter dugaan yang diharapkan a 1, a 2, a 3, a 4 > Permintaan Kredit Rumah Tangga Permintaan kredit dalam penelitian ini diduga merupakan fungsi dari pendapatan yang siap dibelanjakan, tabungan, pengeluaran rumah tangga, tingkat pendidikan. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: PK it = b 0 + b 1 INCD it + b 2 TAB it + b 3 EXPD it + b 4 TPK it + u 2 Dimana: INCD : Rata-rata pendapatan siap dibelanjakan rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) EXPD : Rata-rata pengeluaran rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) Tanda parameter dugaan yang diharapkan b 1, b 2, b 3 > 0, b Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga untuk Pangan Pengeluaran konsumsi pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Karakteristik rumah tangga yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan antara lain adalah jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan, permintaan kredit dan konsumsi non pangan. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: CFOD it = c 0 + c 1 JART it + c 2 PTR it + c 3 TPK it + c 4 PK it + c 5 CNFO it + u 3 Dimana: CFOD : Rata-rata konsumsi pangan RT di wilayah i tahun ke t (Rp) JART : Rata-rata jumlah anggota keluarga di wilayah i tahun ke t (orang) CNFO : Rata-rata konsumsi non pangan RT di wilayah i tahun ke t (Rp) CBJ : Rata-rata konsumsi untuk barang dan jasa RT di wilayah i tahun ke t (Rp) Tanda parameter dugaan yang diharapkan c 1 > 0, c 2, c 3, c 4, c 5 < Pengeluaran Rumah Tangga untuk Barang dan Jasa

56 Pengeluaran untuk barang dan jasa terkait erat dengan tingkat pendidikan, pendapatan yang siap dibelanjakan, tabungan, permintaan kredit, konsumsi pangan, pengeluaran untuk perumahan dengan fasilitasnya. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: CBJ it = d 0 + d 1 TPK it + d 2 INCD it + d 3 TAB it + d 4 PK it + d 5 CFOD it + d 6 CRMH it + u 4 Dimana: CRMH : Rata-rata konsumsi perumahan dan fasilitasnya RT di wilayah i tahun ke t (Rp) Tanda parameter dugaan yang diharapkan d 1, d 2, d 3, d 4 > 0, d 5 < 0, d Pengeluaran Rumah Tangga untuk Perumahan dan Fasilitas Pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitasnya dipengaruhi oleh benyak faktor. Faktor yang dapat diidentifikasi berpengaruh adalah tingkat pendidikan, pendapatan rumah tangga, tabungan, permintaan kredit, pengeluaran konsumsi pangan, pengeluaran barang dan jasa, pengeluaran barang-barang tahan lama. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: CRMH it = e 0 + e 1 TPK it + e 2 PTR it + e 3 TAB it + e 4 PK it + e 5 CFOD it + e 6 CBJ it + e 7 CBTL it + u 5 Dimana: CBTL : Rata-rata konsumsi barang-barang tahan lama RT di wilayah i tahun ke t (Rp) Tanda parameter dugaan yang diharapkan e 1, e 2, e 3, e 4 > 0, e 5, e 6 < 0, e Pengeluaran Rumah Tangga untuk Barang-Barang Tahan Lama Pengeluaran untuk barang-barang tahan lama merupakan fungsi dari tingkat pendidikan, pendapatan rumah tangga, tabungan, permintaan kredit, konsumsi pangan, konsumsi barang dan jasa. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: CBTL it = f 0 + f 1 TPK it + f 2 PTR it + f 3 TAB it + f 4 PK it + f 5 CFOD it + f 6 CBJ it + u 6 Tanda parameter dugaan yang diharapkan f 1, f 2, f 3, f 4 > 0, f 5 < 0, f Tabungan Rumah Tangga

57 Tabungan merupakan fungsi dari tingkat pendidikan, pendapatan rumah tangga, konsumsi pangan, konsumsi non pangan, permintaan kredit. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: TAB it = g 0 + g 1 TPK it + g 2 PTR it + g 3 CFOD it + g 4 CNFO it + g 5 PK it + u 7 Tanda parameter dugaan yang diharapkan g 1, g 2, g 3 < 0, g 4, g 5 > Pendapatan Disposible Rumah Tangga Pendapatan disposible (pendapatan yang siap dibelanjakan) adalah selisih antara pendapatan total rumah tangga dikurangi dengan pajak-pajak atau iuraniuran yang dikeluarkan selama satu tahun. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut: INCD it = PTR it - PJK it Dimana: PJK : Rata-rata pajak atau iuran yang dikeluarkan RT di wilayah i tahun ke t (Rp) Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga Konsumsi/pengeluaran rumah tangga adalah penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Dengan demikian pengeluaran rumah tangga adalah persamaan identitas yang dapat dirumuskan sebagai berikut : EXPD it = CFOD it + CNFO it Konsumsi Non Pangan Rumah Tangga Konsumsi non pangan adalah penjumlahan dari pengeluaran untuk barang dan jasa, pengeluaran untuk perumahan dengan fasilitasnya, pengeluaran untuk barang-barang tahan lama, pengeluaran untuk pajak dan iuran-iuran. Persamaan identitas yang dapat dirumuskan sebagai berikut: CNFO it = CBJ it + CRMH it + CBTL it + PJK it + CBL it Dimana: CBL : Rata-rata konsumsi barang-barang lainnya RT di wilayah i tahun ke t (Rp) Analisis Korelasi antara Kredit, Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga dan Indeks Pembangunan Manusia

58 Analisis korelasi merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua peubah sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam melihat ada atau tidaknya hubungan sebab-akibat antar peubah tersebut. Di dalam analisis korelasi sederhana, keeratan sifat antara dua peubah akan ditunjukkan dari koefisien korelasi baik bertanda positif maupun negatif. Apabila dua peubah memiliki kecenderungan yang searah maka berkorelasi positif dan bila memiliki kecenderungan yang berlawanan arah maka berkorelasi negatif. Dua peubah disebut tidak berkorelasi atau tidak ada hubungan sama sekali, jika nilai koefisien korelasi mendekati nol. Koefisien korelasi yang menyatakan besarnya hubungan antara dua peubah dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut (Walpole 1995): r xy = n x n 2 i x i y i [( x i )( y i )] 2 ( ) 2 2 ( ) x i n y i y i dimana : n = ukuran populasi xi = nilai peubah x untuk anggota populasi ke-i yi = nilai peubah y untuk anggota populasi ke-i Dampak Persebaran Spasial Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap Perekonomian Regional Provinsi Jawa Barat Analisis Statistik Deskriptif untuk Karakteristik Peubah Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap Perekonomian Jawa Barat Analisis ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik, ciri kredit dan konsumsi tiap kabupaten/kota dari peubah yang ada terhadap PDRB. Gambaran ini penting untuk memberikan informasi-informasi tentang keadaan peubah yang dijadikan sampel. Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan penyajian data dalam bentuk scatter guna memudahkan dalam pembacaan karakteristik peubah Analisis Indeks Williamson Rustiadi, et al. (2006), Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Pengembangan Indeks kesenjangan wilayah diformulasikan sebagai berikut:

59 2 Rumus : ( Yi Y ) Pi Vw = Y Dimana : Vw : Indeks Kesenjangan Williamson (Iw) Y i : PDRB per kapita wilayah ke-i Y : Rata-rata PDRB per kapita provinsi P i : f i /n, f i = jumlah penduduk kab/kota, n = total penduduk provinsi Kriteria pengukuran adalah semakin besar nilai indeks menunjukkan variasi ekonomi antar region semakin besar pula dari masing-masing region dengan rata-ratanya, sebaliknya semakin kecil nilai ini menunjukkan pemerataan antar region yang baik Analisis Panel Data dalam keterkaitan antara Pembangunan Perekonomian Regional Jawa Barat dengan Sosial Ekonomi Rumah Tangga Analisis ini dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto sebagai cerminan pembangunan wilayah Jawa Barat dalam mempengaruhi berbagai faktor sosial-ekonomi rumah tangga wilayah Jawa Barat. Model yang digunakan adalah: PDRB it = f(expd it, PP it, KB it, PK it, TAB it, PDPTN it ) Dimana: PDRB : Produk Domestik Regional Bruto di wilayah i tahun ke t (Rp, konstan 2000) EXPD : Rata-rata pengeluaran/konsumsi RT di wilayah i tahun ke t (Rp) PP : Pertumbuhan penduduk di wilayah i tahun ke t (%) KB : Jumlah kantor bank di wilayah i tahun ke t (unit) PK : Rata-rata kredit/meminjam rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) TAB : Rata-rata tabungan rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) PDPTN : Rata-rata pendapatan rumah tangga di wilayah i tahun ke t (Rp) Analisis Input Output (I-O)

60 Sebagai model kuantitatif, model I-O mampu memberi gambaran menyeluruh tentang (BPS 2000): 1 Struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing kegiatan ekonomi di suatu daerah. 2 Struktur input antara (intermediate input), yaitu penggunaan barang dan jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah. 3 Struktur penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam negeri maupun barang-barang yang berasal dari impor. 4 Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh kegiatan produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Sesuai dengan namanya, model I-O pada dasarnya berisikan gambaran mengenai saling keterkaitan suatu sektor yang digunakan sebagai input, baik untuk menghasilkan output sektor itu sendiri maupun sektor lain. Seperti diketahui, untuk menghasilkan output, suatu sektor memerlukan input baik berupa barang, jasa dan faktor produksi lainnya. Keterkaitan antara input dan output tersebut digambarkan dalam kerangka model I-O seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Kerangka model input-output wilayah Input Sektor Permintaan antara Permintaan Total 1 2 N akhir Output 1 X 11 x 12 X 1n F 1 X 1 Input 2 X 21 x 22 X 2n F 2 X 2 Antara n x n1 x n1 X nn F 3 X 3 Input Primer/NTB V 1 V 2 V n Total Input X 1 X 2 X n Sumber: Tabel Input-Output BPS 2000 Secara umum matriks dalam Tabel I-O dapat dibagi menjadi 4 (empat) kuadran yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Isi dan pengertian masing-masing kuadran tersebut adalah sebagai berikut : a. Kuadran I (Intermediate Quadrant) Setiap sel pada kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan informasi mengenai saling ketergantungan antar sektor produksi dalam suatu perekonomian. Dalam analisa I-O kuadran ini memiliki peranan yang sangat

61 penting karena kuadran inilah yang menunjukkan keterkaitan antar sektor ekonomi dalam melakukan proses produksinya. b. Kuadran II (Final Demand Quadrant) Menunjukkan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektorsektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir adalah output suatu sektor yang langsung dipergunakan oleh rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor. c. Kuadran III (Primary Input Quadrant) Menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran ini terdiri dari pendapatan rumah tangga (upah/gaji), pajak tak langsung, surplus usaha dan penyusutan. Jumlah keseluruhan nilai tambah ini akan menghasilkan produk domestik bruto yang dihasilkan oleh wilayah tersebut. d. Kuadran IV ( Primary input-final Demand Quadrant) Merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang menunjukkan transkasi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara. Format dari Tabel I-O terdiri dari suatu kerangka matriks berukuran n x n dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap format Tabel I-O disajikan pada Tabel 2. Isian angka-angka sepanjang baris (bagian horisontal) memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagian lagi dipakai untuk memenuhi permintaan akhir (final demand). Sedangkan isian angka menurut garis vertikal (kolom) menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi suatu sektor. Apabila tabel tersebut dilihat secara baris (bagian horisontal) maka alokasi output secara keseluruhan dapat dituliskan dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut:

62 x 11 + x x 1n + F 1 = X 1 x 21 + x x 2n + F 2 = X x n1 + x n x nn + F n = X n dan secara umum persamaan di atas dapat dirumuskan kembali menjadi: i j= 1 x + Fi = ij X i ; untuk i = 1, 2,3 dst dimana x ij adalah banyaknya output sektor i yang dipergunakan sebagai input oleh sektor j dan F i adalah permintaan akhir terhadap sektor i serta X i adalah jumlah output sektor i. Sebaliknya jika Tabel 2 tersebut dibaca secara kolom (vertikal), terutama di sektor produksi, angka-angka itu menunjukkan susunan input suatu sektor. Dengan mengikuti cara-cara membaca seperti secara baris di atas, maka persamaan secara aljabar menurut kolom dapat dituliskan menjadi: x 11 + x x n1 + V 1 = X 1 x 12 + x x n2 + V 2 = X x 1n + x 2n x nn + V n = X n dan secara ringkas dapat ditulis menjadi j i= 1 x ij + V j = X j ; untuk j = 1, 2,3 dst dimana V j adalah input primer (nilai tambah bruto) dari sektor j. Berdasarkan persamaan di atas, jika diketahui matriks koefisien teknologi, a ij sebagai berikut: xij a ij = X j dan jika persamaan di atas saling disubstitusikan ke persamaan lainnya maka didapat persamaan sebagai berikut: a 11 X 1 + a 12 X a 1n X n + F 1 = X 1 a 21 X 1 + a 22 X a 2n X n + F 2 = X a n1 X 1 + a n2 X a nn X n + F n = X n Jika ditulis dalam bentuk persamaan matrik, persamaan di atas akan menjadi persamaan berikut:

63 AX + F = X atau ( I - A ) X = F atau X = ( I - A ) -1 F dimana: I = matrik identitas yang elemennya memuat angka satu pada diagonalnya dan nol pada selainnya F = permintaan akhir X = jumlah output ( I -A ) = matrik Leontief ( I - A ) -1 = matrik kebalikan Leontief Dari persamaan di atas terlihat bahwa output setiap sektor memiliki hubungan fungsional terhadap permintaan akhir, dengan ( I - A ) -1 sebagai koefisien antaranya. Matrik kebalikan ini mempunyai peranan penting sebagai alat analisis ekonomi karena menunjukkan adanya saling keterkaitan antara tingkat permintaan akhir terhadap tingkat produksi. Multiplier Dikenal multiplier Tipe I dan Tipe II. Multiplier tipe I dihitung berdasarkan matriks ( I - A ) -1, dimana sektor rumah tangga exogenous. Bila sektor rumah tangga dimasukkan dalam matriks saling ketergantungan, dengan menambahkan satu baris berupa pendapatan rumah tangga adalah endogenous dalam sistem. Dalam multiplier tipe II, bukan dampak langsung dan tidak langsung yang dihitung tetapi termasuk pula dampak dari peningkatan pendapatan rumah tangga terhadap perubahan konsumsi rumah tangga, atau dikenal dengan induced effect. Multiplier Pendapatan Multiplier pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel I-O, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga. Pengertian pendapatan disini tidak hanya mencakup beberapa jenis pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga, tetapi juga dividen dan bunga bank. Untuk keperluan analisis, akan dihitung berbagai jenis multiplier baik Tipe I maupun Tipe II. Tipe I: Dampak (H) H i V k : B ij V kj Multiplier(M) = H i V k V kj

64 Dimana : H i V k : dampak peningkatan permintaan akhir sektor i terhadap total input primer k : vektor kolom ke j dari matriks B B ij V k V kj : vektor baris koefisien teknologi input primer ke k : koefisien hubungan langsung pemakaian input primer ke k untuk sektor j Tipe II: Dampak (H) H i V k : q ij V kj H i V k Multiplier(M) = V kj Dimana : q ij : vektor kolom ke j matrik (i-d) -1 V kj : vektor baris koefisien teknologi input primer ke-k Analisis Deskriptif untuk Implikasi Kebijakan Analisis ini dilakukan untuk memberikan implikasi-implikasi kebijakan dari keterkaitan kredit, konsumsi rumah tangga maupun faktor-faktor sosial-ekonomi lainnya dengan pembangunan perekonomian regional. Implikasi kebijakan ini ditujukan untuk pemerintah setempat dan perbankan (lembaga keuangan), masyarakat yang terkait.

65 Data Susenas 2002 dan 2005 Pendapatan RT Pengeluaran RT Tabungan RT Kredit RT (Meminjam) Pendidikan KRT Umur KRT Sektor Usaha Anggota Keluarga Konsumsi Pangan Barang2 Tahan Lama Perumahan dan Fasilitas Barang dan Jasa RT Pakaian Pajak dan Asuransi Analisis Ekonometrika Panel Data Analisis Statistik Deskriptif Kesejahteraan Masyarakat PDRB IPM Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Penduduk Jumlah Kredit Jumlah Kantor Bank Ekonometrika Korelasi Analisis I-O Pembangunan Perekonomian Wilayah Implikasi Kebijakan Gambar 8 Kerangka analisis penelitian.

66 V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang Selatan dan Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta Sebelah Timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten Letak geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdataran rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah. Gambar 9 Peta wilayah penelitian, Provinsi Jawa Barat. Administratif pemerintahan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2005 terdiri dari 16 Kabupaten dan 9 Kota yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikamalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Perwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota

67 Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar. Serta Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah kecamatan, yaitu 592 kecamatan yang tersebar di kabupaten/kota. 5.2 Kependudukan Jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2005 mencapai 39,14 juta orang. Pertumbuhan penduduk Jawa Barat sebesar 1,29 persen, yang mana pada tahun 2004 sebesar 36,46 juta orang. Pada tahun 2005 penduduk terbanyak di Jawa Barat ada di Kabupaten Bandung, yaitu sebesar 4,14 juta orang kemudian diikuti oleh Kabupaten Bogor 3,95 juta orang sedangkan jumlah penduduk terkecil tahun 2005 sebanyak 0,17 juta orang berada di Kota Banjar. Jumlah penduduk menurut Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3. Penduduk Jawa Barat pada umumnya terkonsentrasi padat di dua wilayah pembangunan Bandung Raya (Kota Bandung dan sekitarnya) dan Bodebek (Kabupaten dan Kota Bogor, Depok dan Bekasi). Ini disebabkan wilayah Bandung Raya merupakan ibu kota Jawa Barat sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan berbagai sarana dan prasarana. Sedangkan wilayah Bodebek merupakan daerah perluasan dari Provinsi DKI Jakarta ke pinggiran (suburban). Di wilayah Bandung Raya (Kota Bandung) pada tahun 2004, penduduknya mencapai 2,3 juta orang dengan sumbangan (share) terhadap total penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 6,3 persen. Kemudian tahun 2005 menurun menjadi 2,29 juta orang dengan share mengalami penurunan menjadi 5,85 persen dari total penduduk pada tahun Penurunan ini disebabkan karena kejenuhan dan adanya serapan wilayah pinggiran kota (hinterland) yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung di sebelah selatan, timur dan barat dan Kabupaten Sumedang di sebelah utara. Sedangkan penduduk di wilayah Bodebek pada tahun 2004, penduduknya mencapai 8,46 juta orang dengan sumbangan (share) terhadap total penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 23,22 persen. Kemudian meningkat menjadi 9,98 juta orang dengan share mengalami penimgkatan menjadi 25,5 persen dari total penduduk pada tahun 2005.

68 Tabel 3 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk dirinci menurut kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Barat tahun 2004 dan 2005 Jumlah Penduduk Laju Kabupaten/Kota Pertumbuhan Penduduk Jumlah Share Jumlah Share (%) Kab Bogor , ,08 15,26 Kab Sukabumi , ,65 1,23 Kab Cianjur , ,31 4,45 Kab Bandung , ,56 8,71 Kab Garut , ,77 4,14 Kab Tasikmalaya , ,18 1,99 Kab Ciamis , ,89 4,80 Kab Kuningan , ,74 5,51 Kab Cirebon , ,33 3,83 Kab Majalengka , ,03 1,44 Kab Sumedang , ,67 7,72 Kab Indramayu , ,47 7,42 Kab Subang , ,59 4,56 Kab Purwakarta , ,94 6,94 Kab Karawang , ,96 4,98 Kab Bekasi , ,90 14,41 Kota Bogor , ,13 11,96 Kota Sukabumi , ,71 7,91 Kota Bandung , ,85-0,30 Kota Cirebon , ,71 3,69 Kota Bekasi , ,94 17,85 Kota Depok , ,46 37,66 Kota Cimahi , ,23-14,47 Kota Tasikmalaya , ,48 6,60 Kota Banjar , ,43 3,63 Jawa Barat ,37 Bandung Raya , ,85-0,30 Bodebek , ,50 17,90 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Peningkatan penduduk di wilayah Bodebek sebagian dapat dicirikan sebagai peningkatan urbanis dari wilayah perdesaan dan suburbanis dari wilayah Provinsi DKI Jakarta. Ini dapat dijelaskan mengingat pertumbuhan pembangunan yang sangat pesat pada sektor industri di wilayah Bodebek dengan dukungan fasilitas dan infrastruktur dari DKI Jakarta telah menjadi faktor penarik yang sangat kuat bagi para urbanis. 5.3 Perekonomian Perekonomian wilayah Provinsi Jawa Barat antara tahun 2002 dan 2004 mengalami peningkatan. Perekonomian wilayah dapat diukur dengan Produk

69 Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB adalah total nilai barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah yang telah dihilangkan unsur-unsur intermediate cost, atau dapat diartikan sebagai nilai tambah dari aktivitas produktif manusia. Pada wilayah Bandung Raya dan Bodebek, share PDRB wilayahnya merupakan penyumbang tersebesar perekonomian Jawa Barat sebesar 42,25 persen pada tahun 2002 dan 43,45 persen pada tahun 2004 yang menunjukkan bahwa kedua zona tersebut pantas dikatakan sebagai pusat perekonomian wilayah Provinsi Jawa Barat. Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dan share di wilayah Provinsi Jawa Barat dirinci menurut kabupaten/kota tahun 2002 dan 2004 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dan share di wilayah Provinsi Jawa Barat dirinci menurut kabupaten/kota tahun 2002 dan 2004 Kabupaten/Kota Laju Pertumbuhan PDRB (dalam Share PDRB (dalam Share PDRB Per Tahun Juta Rupiah) Juta Rupiah) (%) Kab Bogor ,32 9, ,25 9,65 10,65 Kab Sukabumi ,77 3, ,45 3,54 13,30 Kab Cianjur ,49 2, ,17 2,89 7,76 Kab Bandung ,53 8, ,25 8,76 10,93 Kab Garut ,43 3, ,43 3,71 6,82 Kab Tasikmalaya ,37 1, ,19 1,84 7,08 Kab Ciamis ,67 2, ,47 2,43 8,61 Kab Kuningan ,92 1, ,06 1,33 7,56 Kab Cirebon ,25 2, ,67 2,61 8,90 Kab Majalengka ,18 1, ,13 1,44 7,47 Kab Sumedang ,63 1, ,91 1,90 8,34 Kab Indramayu ,00 10, ,83 8,89-5,67 Kab Subang ,76 2, ,43 3,10 18,93 Kab Purwakarta ,63 2, ,54 2,26 6,85 Kab Karawang ,06 5, ,56 5,63 8,72 Kab Bekasi ,67 16, ,04 16,60 11,72 Kota Bogor ,37 1, ,13 1,48 12,55 Kota Sukabumi ,11 0, ,25 0,59 11,48 Kota Bandung ,10 8, ,92 8,76 15,37 Kota Cirebon ,79 2, ,41 2,03 9,06 Kota Bekasi ,00 4, ,00 5,02 11,85 Kota Depok ,26 1, ,90 1,95 13,10 Kota Cimahi ,74 2, ,21 2,11 8,71 Kota Tasikmalaya ,14 1, ,59 1,25 9,64 Kota Banjar ,15 0, ,33 0,25 8,79 Jawa Barat , , ,21 Bandung raya ,10 8, ,92 8,76 15,37 Bodebek ,62 33, ,32 34,69 11,55 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

70 Tabel 5 Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dan share di wilayah Provinsi Jawa Barat dirinci menurut lapangan usaha tahun 2002 dan 2005 LAPANGAN USAHA Jumlah Share Jumlah Share 1. PERTANIAN ,11 14, ,65 14,11 a. Tanaman Bahan Makanan ,97 10, ,65 10,37 b. Tanaman Perkebunan ,17 1, ,64 0,77 c. Peternakan dan Hasil-hasilnya ,45 2, ,15 d. Kehutanan ,63 0, ,22 0,08 e. Perikanan ,88 1, ,55 0,74 2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN ,21 8, ,89 2,93 a. Minyak dan Gas Bumi ,99 7, ,89 2,68 b. Pertambangan tanpa Migas ,76 0, ,06 0,08 c. Penggalian ,46 0, ,28 0,17 3. INDUSTRI PENGOLAHAN ,29 3, ,46 42,67 a. Industri Migas ,55 1, ,99 0,93 1. Pengilangan Minyak Bumi ,55 1, ,99 0,93 2. Gas Alam Cair ,00 0,00 0,00 b. Industri Tanpa Migas **) ,74 38, ,47 41,74 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH ,34 1, ,62 2,30 a. Listrik ,81 1, ,47 1,99 b. Gas 68659,91 0, ,53 0,18 c. Air Bersih ,63 0, ,62 0,13 5. BANGUNAN ,54 3, ,72 3,17 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN ,04 18, ,72 19,23 a. Perdagangan Besar & Eceran ,32 15, ,58 16,49 b. Hotel ,34 0, ,98 2,33 c. Restoran ,38 3, ,16 4,19 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI ,90 4, ,17 4,19 a. Pengangkutan ,55 3, ,29 2,96 1. Angkutan Rel ,75 0, ,33 0,07 2. Angkutan Jalan Raya ,70 3, ,46 2,42 3. Angkutan Laut ,84 0, ,22 0,09 4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 1217,89 0,00 322,54 0,00 5. Angkutan Udara 26048,95 0, ,87 0,18 6. Jasa Penunjang Angkutan ,42 0, ,88 0,21 b. Komunikasi ,35 0, ,87 1,22 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN ,37 2, ,17 3,08 a. Bank ,50 0, ,32 0,79 b. Lembaga Keuangan tanpa Bank ,07 0, ,52 0,29 c. Jasa Penunjang Keuangan 0,00 0,00 0,00 1,51 d. Sewa Bangunan ,33 1, ,75 0,50 e. Jasa Perusahaan ,46 0, ,58 8,33 9. JASA-JASA ,55 6, ,35 8,33 a. Pemerintahan Umum ,09 3, ,00 5,23 1. Adm. Pemerintah & Pertahanan ,09 3, ,00 5,23 2. Jasa Pemerintah lainnya 0,00 0,00 0,00 0,00 b. Swasta ,46 2, ,35 3,10 1. Sosial Kemasyarakatan ,29 0, ,79 0,53 2. Hiburan & Rekreasi ,61 0, ,80 0,08 3. Perorangan & Rumah tangga ,56 1, ,76 2,49 PDRB DENGAN MIGAS ,34 100, ,00 100,00 PDRB TANPA MIGAS , ,21 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

71 Sedangkan sektor yang mendominasi dan memberi sumbangan terbesar perekonomian Jawa Barat pada tahun 2002 dan 2005 adalah industri pengolahan; perdagangan, hotel dan restoran serta pertanian. Untuk sektor industri pengolahan; dan perdagangan, hotel, restoran mengalami peningkatan sharenya terhadap total perekonomian Jawa Barat dari tahun 2002 ke tahun 2005, yaitu industri pengolahan dari 39,85 persen menjadi 42,67 persen, dan perdagangan, hotel, restoran share sebesar 18,88 persen menjadi 19,23 persen tetapi sektor pertanian mengalami penurunan share dari 14,31 persen menjadi 14,11 persen (Tabel 5). Peningkatan share sektor industri pengolahan dan penurunan sektor pertanian terhadap total perekonomian Jawa Barat tercatat seperti menurut Rustiadi dan Kitamura (1997) dalam Basic trand in Land Use /Cover in Indonesia menyatakan bahwa faktor yang sangat penting dalam ekonomi urbanisasi adalah perubahan dari utamanya ekonomi pertanian ke arah suatu ekonomi industri. Artinya suatu perubahan dalam ketenagakerjaan dan pendapatan dari sektor primer (pertanian) kepada sektor sekunder (industri, perdagangan dan sebagainya). Perubahan tersebut biasanya timbul secara bersamaan dengan adanya kehadiran secara fisik para urbanis, karena penggunaan lahan yang intensif oleh industri menyebabkan konsentrasi penduduk dekat dengan area industri dan perdagangan. Sehingga seperti ditunjukkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan jumlah penduduk di wilayah Bandung Raya dan Bodebek seiring dengan peningkatan share sektor industri dan perdagangan yang berkembang di wilayah tersebut. Produk Domestik Regional Bruto menurut penggunaannya didominasi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan nilai share sebesar 64,53 persen dari total PDRB. PDRB menurut penggunaannya yang kedua disominasi oleh ekspor dengan nilai share 48,29 persen diikuti oleh import sebesar 38,30 persen terhadap total PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga suatu daerah sangat berpengaruh besar terhadap pendapatan perekonomian wilayah. Lebih jelasnya PDRB menurut penggunaannya dapat dilihat Tabel 6.

72 Tabel 6 Produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan tahun 2000 dan share di wilayah Provinsi Jawa Barat dirinci menurut penggunaan tahun 2005 Uraian PDRB Nilai Share Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga ,64 36,54 a. Makanan ,64 20,93 b. Bukan Makanan ,00 15,61 Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nirlaba ,20 0,29 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah ,00 4,19 Pembentukan Modal Tetap Bruto ,90 9,44 Perubahan Stok ,66 0,51 Ekspor ,14 27,34 a. Antar Negara ,39 16,66 b. Antar Provinsi ,75 10,68 Impor ,79 21,69 a. Antar Negara ,88 10,17 b. Antar Provinsi ,91 11,52 Total ,75 100,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 5.4 Pembangunan Manusia Indikator keberhasilan pembangunan daerah salah satunya dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari : (1) Indeks harapan hidup (2) Indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah dan (3) Indeks standar hidup layak. Adapun Komponen IPM adalah : (1) Kesehatan (usia hidup), yang diukur dengan angka harapan hidup, (2) Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, (3) Standar hidup layak (pendapatan) yang diukur dengan rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. IPM Jawa Barat menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Dengan harapan tahun 2010, IPM Jawa Barat dapat mencapai nilai sebesar 80. Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Indeks pembangunan manusia (IPM) di Jawa Barat tahun 2002 dan 2003 Indikator IPM 67,45 67,87 a. Indeks Kesehatan 78,30 78,40 b. Indeks Pendidikan 66,50 66,57 c. Indeks Daya Beli 57,53 58,63 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

73 5.5 Kredit Bank di Jawa Barat Kontribusi Bank dalam pembangunan sangat signifikan dalam menggerakkan roda perekonomian. Bank sebagai lembaga finansial akan menarik dunia bisnis sebagai mitra untuk meningkatkan investasinya sehingga saling memperoleh keuntungan. Di lain pihak, secara makro akan meningkatkan Nilai Tambah Bruto. Posisi kredit (baik kredit modal kerja, investasi maupun konsumsi) Bank Umum di Provinsi Jawa Barat terbesar pada Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi. Sedangkan kredit Bank Umum di Provinsi Jawa Barat terendah pada Kota Banjar. Posisi kredit Bank Umum pada Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Posisi kredit bank umum pada kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat (dalam juta rupiah) tahun 2004 Kabupaten/Kota Jenis Penggunaan Modal Kerja Investasi Konsumsi Jumlah Kabupaten Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Kota Bogor Sukabumi Bandung Cirebon Bekasi Depok Cimahi Tasikmalaya Banjar Total Jawa Barat Sumber : Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat

74 VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Keragaan Konsumsi/Pengeluaran, Pendapatan, Kredit dan Tabungan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat Konsumsi atau pengeluaran rumah tangga adalah seluruh biaya atau pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, baik konsumsi pangan maupun konsumsi non pangan. Konsumsi pangan meliputi konsumsi padi-padian, umbi-umbian, daging, telur, ikan, sayur-sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak, dan konsumsi makanan lainnya. Sedangkan konsumsi non pangan meliputi pengeluaran untuk perumahan, aneka barang dan jasa, pakaian, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan lainnya. 700, , , , , , ,000 Rp/ - Kapita/ Bln Rata-rata Tahun 2002 Rata-rata Tahun 2005 Sumber: data Susenas, olahan 2007 Gambar 10 Pola rata-rata konsumsi atau pengeluaran per kapita sebulan, tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat. Rata-rata konsumsi/pengeluaran per kapita sebulan pada tahun 2005 menurut Kota/Kabupaten di Jawa Barat cenderung meningkat dari tahun Pada Gambar 10 dapat dijelaskan bahwa Kota Depok memiliki rumah tangga yang cenderung mengkonsumsi paling besar pada tahun 2005, begitu juga dengan rumah tangga di Kota Bekasi dan Kota Bandung dalam mengkonsumsi meningkat tajam. Hal ini terjadi karena baik Kota Depok maupun Kota Bekasi memiliki jumlah share penduduk yang besar di Jawa Barat (Tabel 3) akibat dari daerah

75 perluasan dari Provinsi DKI Jakarta ke pinggiran (suburban) sehingga diperlukan konsumsi yang besar pula. Sedangkan Kota Bandung Raya merupakan Ibu Kota Jawa Barat sebagai pusat kegiatan ekonomi dengan berbagai sarana dan prasarananya menjadikan penduduk terkonsentrasi padat di Kota Bandung dan meningkatkan konsumsi/pengeluarannya. Konsumsi/pengeluaran rumah tangga terbagi menjadi dua yaitu konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Pada tahun 2002, persentase konsumsi/pengeluaran rumah tangga di Kota/Kabupaten Jawa Barat cenderung beragam. Dilihat dari Gambar 11, kabupaten-kabupaten di Jawa Barat masyarakatnya lebih cenderung mengeluarkan pendapatannya untuk konsumsi yang bersifat pangan daripada non pangan. Sedangkan rumah tangga pada kotakota di Jawa Barat lebih cenderung sama antara konsumsi pangan dan konsumsi non pangan Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan Wilayah Sumber: data Susenas, olahan 2007 Gambar 11 Pola persentase rata-rata konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Banyak hal-hal yang mempengaruhi pola konsumsi suatu rumah tangga yaitu tingkat pendidikan/pengetahuan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, kemudahan memperoleh pinjaman (kredit). Karakteristik yang dimiliki masyarakat perdesaan (kabupaten) umumnya ditandai dengan rendahnya tingkat pengetahuan, keterikatan tradisi yang masih kuat, sukar menyesuaikan terhadap inovasi yang ada khususnya di negara-negara berkembang ditandai dengan

76 langkanya modal sehingga pendapatan yang ada hanya cukup untuk memenuhi konsumsi pangannya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut yang mendasari pola konsumsi rumah tangga kabupaten-kabupaten di Jawa Barat. Berbeda dengan pola konsumsi rumah tangga di perkotaan yang cenderung kebalikan dengan perdesaan. Kebutuhan akan sarana, prasarana, teknologi dan informasi yang semakin tinggi dan cukupnya modal maka rumah tangga perkotaan lebih konsumtif terhadap barang-barang sekunder dan tersier setelah konsumsi pangannya terpenuhi. Adapun kota-kota yang memiliki rumah tangga dengan konsumsi non pangan lebih besar daripada konsumsi pangan adalah Kota Bandung dan Kota Bekasi Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan Wilayah Sumber: data Susenas, olahan 2007 Gambar 12 Pola persentase rata-rata konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Pola konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2005 pada kota/kabupaten di Jawa Barat, baik kabupaten maupun kota memiliki peningkatan pada konsumsi non pangannya dibandingkan tahun Walaupun masih sebagian besar rumah tangga pada kabupaten di Jawa Barat cenderung lebih konsumtif terhadap pangan namun terjadi peningkatan yang berarti khususnya Kabupaten Bekasi yang rumah tangganya lebih konsumtif terhadap konsumsi non pangan (Gambar 12). Rustiadi, et al. (2006), tolak ukur kemiskinan adalah a) rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good-service Ratio, GSR), yang menunjukkan

77 bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa, b) Persentase atau rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, yang bertolok berdasarkan semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahterannya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Jawa Barat tahun 2005 lebih sejahtera daripada tahun Pada tahun 2002 secara umum rumah tangga di Jawa Barat lebih konsumtif terhadap konsumsi pangan daripada konsumsi non pangan yaitu konsumsi pangan sebesar 60,32 persen. Sedangkan tahun 2005, konsumsi non pangan, mendominasi rumah tangga Jawa Barat pada umumnya sebesar 50,99 persen dari seluruh total konsumsi. Pola perbandingan persentase konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar rata2 konsumsi pangan/thn rata2 konsumsi non pangan/thn Sumber: data Susenas, olahan 2007 Tahun 2002 Tahun 2005 Gambar 13 Pola perbandingan persentase konsumsi/pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat. Pendapatan atau penerimaan rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh rumah tangga yang bersumber dari pendapatan upah/gaji, pendapatan dari usaha rumah tangga pertanian, pendapatan dari usaha rumah tangga bukan pertanian dan pendapatan kepemilikan dan bukan dari usaha. Gambar 14 menunjukkan pola rata-rata pendapatan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Dari gambar dapat dilihat pendapatan masyarakat tahun 2005 lebih besar daripada tahun Khususnya

78 pendapatan rumah tangga Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kota Bandung memiliki nilai rata-rata pendapatan rumah tangga yang paling tinggi di Jawa Barat. Sedangkan rata-rata pendapatan yang terkecil adalah dari rumah tangga Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjar. Kota Banjar memiliki rata-rata pendapatan rumah tangganya rendah karena memiliki jumlah penduduk yang rendah yaitu 0,43 persen dari total jumlah penduduk Jawa Barat. Ketimpangan rata-rata pendapatan rumah tangga kota dan kabupaten akibat dari pesatnya pertumbuhan di kota dengan dukungan adanya sektor industri yang memberikan pendapatan bagi tenaga kerjanya lebih besar daripada pendapatan tenaga kerja pada sektor pertanian di perdesaan (kabupaten). Dan kota-kota di Jawa Barat merupakan daerah pusat-pusat perekonomian di Provinsi Jawa Barat. 35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 - Rata-rata pendapatan RT (Rp) Tahun 2002 Tahun 2005 Wilayah Sumber: data Susenas, olahan 2007 Gambar 14 Pola rata-rata pendapatan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Peningkatan perbaikan ekonomi masyarakat merupakan potensi yang baik bagi pasar uang. Dengan semakin baiknya perekonomian berarti fungsi uang sebagai mesin perputaran ekonomi menjadi semakin penting, sehingga peran lembaga-lembaga keuangan juga penting. Dalam hal ini lembaga keuangan dapat membantu masyarakat guna meningkatkan pendapatannya dan memberikan tambahan modal pada masyarakat dengan jalan kredit. Pola rata-rata kredit rumah tangga semakin meningkat pada tahun 2005 daripada tahun 2002, seperti Kota Depok, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sukabumi, Kota Bekasi, dan Kabupaten Ciamis. Dengan demikian dapat dilihat, besarnya permintaan kredit

79 oleh rumah tangga lebih besar di kota-kota karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari seperti pemenuhan kebutuhan konsumsi non pangan yang terlihat sangat besar di kota-kota. Sehingga produktivitas rumah tangga khususnya di kabupaten masih sulit untuk ditingkatkan. Pola rata-rata kredit rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar Rata-rata 0.00 kredit RT (Rp) Tahun 2002 Tahun 2005 Wilayah Sumber: data Susenas, olahan 2007 Gambar 15 Pola rata-rata kredit rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Menurut teori ekonomi apabila semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga dan suku bunga tabungan maka tabungan akan semakin tinggi. Selanjutnya apabila tabungan yang diakumulir semakin tinggi maka tingkat investasi semakin tinggi pula rata-rata tabungan (Rp) tahun Sumber: data Susenas, olahan 2007 Gambar 16 Perbandingan rata-rata tabungan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 di Provinsi Jawa Barat.

80 Dari perbandingan tahun 2002 dan 2005 terjadi peningkatan rata-rata tabungan rumah tangga (Gambar 16). Masyarakat Jawa Barat sudah menunjukkan adanya keinginan untuk menanamkan investasinya dengan cara menabung sehingga secara ekonomi makro sebagai salah satu cara menghimpun dana melalui proses pasar uang yang digunakan sebagai modal pembangunan melalui fungsi invetasi. Namun demikian, distribusi keinginan menabung rumah tangga di Jawa Barat masih belum merata. Terlihat pada Gambar 17 sebaran dari menabung hanya pada wilayah-wilayah tertentu yang tinggi, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Ciamis. Kelesuan pola menabung pada wilayah-wilayah kota diduga karena semakin besarnya pengeluaran untuk konsumsi baik konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga (Seperti terlihat pada Gambar 11 dan Gambar 12) wilayah Sumber: data Susenas, olahan 2007 Gambar 17 Perbandingan rata-rata tabungan rumah tangga tahun 2002 dan 2005 menurut kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. 6.2 Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dengan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Lainnya serta Sebaran-Sebarannya di Jawa Barat Kredit Rumah Tangga Kredit adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan barang-barang sekarang (Suyatno, et al. 1999). Kredit

81 dalam sosial ekonomi dinyatakan bahwa suatu usaha (kegiatan), antara lain yang dilakukan di bidang perekonomian, akan mempunyai suatu pengaruh terhadap kegiatan lainnya. Dalam hal ini dapat diperhatikan terjadinya keterkaitan atau dampak disebut sebagai aspek sosio-ekonomi dari suatu usaha (Bahsan 2003). Untuk lebih memahami keterkaitan dalam sosial ekonomi rumah tangga maka dilakukan dugaan model ekonomi rumah tangga. Hal ini didasarkan pada fenomena yang ada, dimana rumah tangga dicirikan dengan adanya hubungan yang sifatnya saling berkaitan antara pengeluaran dan pendapatan serta faktor sosial ekonomi lainnya khususnya modal rumah tangga (kredit). Kredit rumah tangga diduga dipengaruhi oleh tabungan, pengeluaran dan pendidikan. Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keempat peubah akan mempengaruhi total kredit rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0, Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari kredit rumah tangga sebanyak 97,56 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 9 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi kredit rumah tangga di Provinsi Jawa Barat Peubah Koefisien Std. Eror t-statistic Prob. Konstanta Tabungan RT Pengeluaran RT Lama Pendidikan KRT Fixed Effects (Cross) C_Bogor C_Purwakarta C_Sukabumi C_Karawang C_Cianjur C_Bekasi C_Bandung C_Kota Bogor C_Garut C_Kota Sukabumi C_Tasikmalaya C_Kota Bandung C_Ciamis C_Kota Cirebon C_Kuningan C_Kota Bekasi C_Cirebon C_Kota Depok C_Majalengka C_Kota Cimahi C_Sumedang C_Kota Tasikmalaya C_Indramayu C_Kota Banjar C_Subang R-squared Prob(F-statistic)

82 Model estimasi kredit rumah tangga berpengaruh positif terhadap pengeluaran/konsumsi rumah tangga dan lama/tingkat pendidikan kepala rumah tangga, sedangkan tabungan berpengaruh positif terhadap kredit RT. Hal ini sesuai dengan harapan. Semakin tinggi pengeluaran diikuti oleh semakin tingginya tingkat kredit oleh rumah tangga. Hal ini berarti kredit merupakan penambah modal bagi rumah tangga untuk produksi dan konsumsi rumah tangga. Tingkat pendidikan berpengaruh positif berarti semakin tinggi pengetahuan kepala rumah tangga dalam memanfaatkan input yang ada maka semakin besar pula kredit yang diambil. Sedangkan tabungan yang berpengaruh positif menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengambil kredit memiliki cukup simpanan untuk memenuhi kegiatan prodiktif dan konsumtifnya. Nilai kredit yang diambil oleh rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Terjadi perbedaan yang sangat tinggi antara pengguna kredit konsumtif dan produktif, dimana nilai kredit konsumtif lebih tinggi daripada nilai kredit produktif. Tabel 10 Jumlah kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit konsumtif di Provinsi Jawa Barat Jumlah Kredit (rupiah/ bulan) Persentase , , ,7 > ,0 Jumlah 100 Sumber : data primer, olahan 2007 Tabel 11 Jumlah kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Jumlah Kredit (rupiah/per tahun) Persentase < , , ,7 > ,7 Jumlah 100 Sumber : data primer, olahan 2007 Perbedaan permintaan nilai kredit oleh rumah tangga disebabkan oleh banyak faktor. Kredit konsumtif merupakan kredit yang digunakan untuk membiayai pembelian barang-barang dan jasa-jasa yang dapat memberikan kepuasan langsung kepada konsumen. Jenis kredit ini digunakan untuk membiayai

83 hal-hal yang bersifat konsumtif seperti kredit perumahan, kredit kendaraan, serta kredit untuk membeli makanan dan pakaian. Sedangkan kredit produktif merupakan kredit yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang produktif. Kredit ini dipakai untuk membeli barang-barang modal yang bersifat tetap maupun untuk membiayai kegiatan pengadaan barang yang habis dalam sekali produksi. Permintaan terhadap kredit konsumtif oleh rumah tangga dinilai jauh dari resiko dan mudah dalam proses peminjamnya, sedangkan permintaan terhadap kredit produktif dinilai sangat tinggi resiko dan sulit proses peminjamannya. Dari sisi penawaran, pihak lembaga keuanganpun lebih memilih menawarkan kredit konsumtif daripada kredit produktif karena kredit konsumtif jauh dari resiko krisis dan lebih cepat perputaran uangnya karena bersifat konsumtif. Dalam menghasilkan produk atau output hasil pertanian/usaha kecil lainnya diperlukan input antara (faktor produksi) yang terdiri dari faktor produksi yang tetap dan tidak tetap (variabel). Bila sektor pertanian/usaha kecil lainnya ingin meningkatkan produksi, salah satunya adalah dengan meningkatkan penggunaan input. Kredit yang diperoleh petani/usaha kecil lainnya dapat digunakan sebagai penambah modal untuk membiayai input produksi sehingga petani/usaha kecil lainnya dapat meningkatkan produknya pada tingkat yang lebih tinggi. Input yang dibiayai dengan kredit juga akan memiliki biaya tambahan sebesar bunga kredit dan biaya transaksi lainnya. Tabel 12 Suku bunga kredit yang diambil rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Suku Bunga (persen/ bulan) Kredit konsumtif (%) Kredit produktif (%) < 10 63,3 16, ,7 63, ,0 6,7 > 40 0,0 13,3 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Biaya tambahan dari kredit adalah bunga kredit. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa tingkat suku bunga untuk kredit produktif lebih tinggi dari kredit konsumtif. Stevens dan Jabara (1988), bunga pinjaman (kredit) ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran kredit. Bunga pinjaman yang tinggi di pedesaan disebabkan oleh permintaan dan penawaran kredit yang tidak elastis

84 (inelastis). Seperti yang telah dijelaskan di atas permintaan terhadap kredit konsumtif yang tinggi akan mempengaruhi penawaran lembaga keuangan dalam tingkat bunga pinjaman. Bunga pinjaman khususnya kredit produktif dapat menjadi lebih rendah dengan cara: 1) Memperluas sumber-sumber kredit di pedesaan, yang berarti pada tingkat bunga pinjaman yang sama besar maka jumlah kredit yang tersedia akan lebih besar, 2) Memperbanyak jenis-jenis pelayanan yang sudah ada. Semakin banyak jenis pelayanan yang dapat diberikan bank (tabungan, deposito, kredit, pengiriman uang) maka semakin besar nasabah yang dapat dilayani bank, 3) Perubahan teknologi dari kelembagaan kredit. Perubahan teknologi akan membuat produktivitas masukan meningkat, sehingga biaya marginal semakin rendah. Sebaran kredit dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada kota/kabupaten di Jawa Barat terbesar adalah Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. Kota Depok dan Kota Bekasi memiliki rata-rata nilai kredit yang cukup besar pada posisi kredit modal kerja dan investasi (Tabel 8). Kredit modal kerja dan investasi yang disalurkan oleh pihak lembaga keuangan sebagian besar mengarah pada sektor perdagangan, hotel dan restoran serta industri pengolahan. Dari posisi tertinggi penyaluran kredit oleh bank umum yaitu pada Kota Bandung khususnya kredit modal kerja dan investasi, dimana sektor yang berkembang dengan kredit tersebut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran serta industri pengolahan. Pada Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung memiliki posisi kredit tertinggi pada kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Penyaluran kredit modal kerja yang cukup tinggi didukung dengan banyak berkembangnya sektor industri pengolahan. Sedangkan besarnya posisi kredit konsumsi akibat dari tingginya jumlah penduduk di wilayah tersebut sehingga besar pula tingkat konsumsinya. Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, masyarakatnya berkembang dengan sektor pertanian. Posisi kredit yang mendukungpun sesuai yaitu kredit modal kerja. Dan didukung oleh besarnya kredit konsumsi yang disalurkan oleh pihak lembaga keuangan karena merupakan wilayah pengembangan dari pusat kota dan memiliki jumlah penduduk yang relatif tinggi.

85 Sebaran kota/kabupaten dengan rata-rata kredit terkecil adalah Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kuningan, dan Kota Banjar. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa sektor pertanian ataupun usah kecil dengan kredit produktif sangat rendah permintaan dan penawaran kreditnya. Begitupula pada Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kuningan, Kota Banjar memiliki potensi sektor pertanian yang sangat besar tetapi permintaan dan penawaran terhadap kredit relatif kecil, padahal seperti yang diketahui bahwa kredit merupakan salah satu input untuk dapat meningkatkan produktivitas sehingga dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatan yang diterima dari usaha tersebut. Kabupaten Subang juga memiliki potensi dari sektor lain yang dapat meningkatkan nilai tambah yaitu sektor pertambangan. Sedangkan pada Kabupaten Karawang juga berkembang sektor perdagangan, hotel dan restoran. Jika dilihat dari posisi kredit yang disalurkan oleh bank umum pada Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kuningan, dan Kota Banjar, kredit modal kerja yang disalurkan relatif sama dan bahwa lebih kecil dibandingkan dengan kredit konsumsi. Sedangkan sektor-sektor yang berkembang pada wilayah tersebut perlu didorong oleh input lain seperti kredit Pendapatan Rumah Tangga Pendapatan rumah tangga merupakan hasil dan implikasi dari produktivitas rumah tangga. Pendapatan rumah tangga diduga dipengaruhi oleh kredit, tabungan, umur dan pendidikan. Dari hasil estimasi Tabel 13 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keempat peubah akan mempengaruhi total pendapatan rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan nilai probabilitas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9898 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari pendapatan rumah tangga sebanyak 98,98 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Model tersebut menjelaskan bahwa kredit, tabungan dan pendidikan berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga, sedangkan umur

86 berpengaruh negatif. Hal ini sesuai dengan harapan. Kenaikan kredit 1 rupiah akan menaikkan pendapatan rumah tangga sebesar 0,2067 rupiah. Kondisi ini sejalan dengan fenomena umum yang sering ditemui, dimana modal akan memberikan pengaruh positif khususnya terhadap produktivitas rumah tangga. Mengingat salah satu modal rumah tangga berasal dari kredit maka secara tidak langsung dapat dinyatakan bahwa kredit memiliki peranan yang nyata dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga seperti telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Tabel 13 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat Peubah Koefisien Std. Eror t-statistic Prob. Konstanta Kredit RT Tabungan RT Tingkat Umur KRT Lama Pendidikan KRT Fixed Effects (Cross) C_Bogor C_Purwakarta C_Sukabumi C_Karawang C_Cianjur C_Bekasi C_Bandung C_Kota Bogor C_Garut C_Kota Sukabumi C_Tasikmalaya C_Kota Bandung C_Ciamis C_Kota Cirebon C_Kuningan C_Kota Bekasi C_Cirebon C_Kota Depok C_Majalengka C_Kota Cimahi C_Sumedang C_Kota Tasikmalaya C_Indramayu C_Kota Banjar C_Subang R-squared Prob(F-statistic) Tabungan rumah tangga berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah tangga yang menunjukkan perubahan tabungan rumah tangga akan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pengaruh positif ini disebabkan karena pengelolaan dana yang baik dengan tabungan/simpanan akan meningkatkan kualitas pendapatan di rumah tangga. Dan semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga akan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Dimana tingkat pendidikan kepala rumah tangga secara langsung dapat meningkatkan kemampuan sumberdaya

87 manusia (human capital) untuk selanjutnya dapat mengelola sumberdaya yang dimiliki secara lebih baik. Sedangkan usia berpengaruh negatif, hal ini terjadi karena usia rata-rata kepala rumah tangga di wilayah Jawa Barat tergolong berada di atas usia produktif yaitu lebih dari 50 tahun. Oleh karena itu pertambahan usia akan menurunkan pendapatan rumah tangga. Hal ini adalah logis bahwa usia yang akan berpengaruh positif adalah yang berusia produktif yaitu 15 tahun hingga 50 tahun. Tabel 14 Tingkat pendapatan kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Pendapatan (rupiah/ bulan) Kredit konsumtif (%) Kredit produktif (%) ,3 83, ,0 16, ,0 0,0 > ,7 0,0 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Tingkat pendapatan rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan produktif dapat dilihat pada Tabel 14. Terdapat kesenjangan yang sangat tinggi, dimana rata-rata pendapatan pengguna kredit konsumtif terbanyak antara 4 sampai 6 juta rupiah, sedangkan pengguna kredit produktif, rata-rata pendapatan rumah tangga terbanyak kurang dari 2 juta rupiah. Perbedaan pendapatan rumah tangga antara pengguna kredit konsumtif dan produktif dipengaruhi oleh tingkat umur kepala rumah tangga dan lama pendidikan kepala rumah tangga (Tabel 15 dan 16). Selain daripada itu, pekerjaan utama kepala rumah tangga juga berpengaruh sangat besar terhadap pendapatan rumah tangga (Tabel 17). Tabel 15 Tingkatan umur kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Umur Kredit konsumtif (%) Kredit produktif (%) < 30 3,3 0, ,0 0, ,7 56,7 > 50 0,0 43,3 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Rata-rata umur kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif adalah berusia produktif yaitu antara 30 sampai 50 tahun. Umur kepala rumah tangga

88 yang produktif akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Semakin tinggi umur dalam usia produktif akan meningkatkan produktivitas usaha dan akan berdampak pada pendapatannya. Selain daripada itu, kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif sebagian besar berpendidikan di atas S1/setara yang memiliki pengalaman ataupun pemahaman yang lebih guna meningkatkan produktivitasnya. Tabel 16 Tingkat pendidikan kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Pendidikan Kredit konsumtif (%) Kredit produktif (%) SD/Setara 0,0 40,0 SMP/Setara 0,0 46,7 SMU/Setara 6,7 13,3 D3/Setara 20,0 0,0 S1/Setara 66,7 0,0 > S1/Setara 6,7 0,0 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Sedangkan rata-rata umur kepala rumah tangga pengguna kredit produktif yaitu lebih dari 41 tahun. Umur kepala rumah tangga yang produktif memungkinkan pemahaman dan pengalaman yang lebih tinggi untuk peningkatan produktivitas usahanya. Tetapi terdapat keterbatasan yaitu dalam tingkat pendidikan kepala rumah tangga pengguna kredit produktif, dimana sebagian besar berpendidikan hanya sampai SMP/setara, sehingga sulit mengembangkan diri dalam berbagai bidang usaha. Tabel 17 Jenis pekerjaan utama kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Pekerjaan Kredit konsumtif (%) Kredit produktif (%) Usaha Tanpa Buruh 0,0 33,3 Usaha Dengan Buruh 0,0 66,7 PNS 26,7 0,0 Swasta/BUMN 73,3 0,0 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Pekerjaan utama kepala rumah tangga sangat mempengaruhi pendapatan kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga pengguna kredit konsumtif sebagian besar memiliki pekerjaan utama swasta dan PNS, sedangkan kepala rumah tangga pengguna kredit produktif sebagian pekerjaan utama adalah usaha baik tanpa

89 buruh maupun dengan buruh. Dapat dilihat bahwa pada jenis pekerjaan kepala rumah tangga pun terjadi kesenjangan yang besar dan berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Pendapatan selain dari pekerjaan utama untuk meningkatkan produktivitas usaha/kerjanya, salah satunya didukung oleh input lain yaitu kredit. Penyaluran kredit konsumtif (oleh lembaga keuangan juga memperhitungkan jenis pekerjaan dari pengguna kredit konsumtif tersebut karena berpengaruh terhadap kemampuan peminjam dalam mengembalikan kreditnya yang sesuai dengan penghasilannya. Dan jenis pekerjaan pengguna kredit produktif untuk dapat memenuhi dan meningkatkan kegiatan produksinya baik sebagai modal kerja maupun produksi memerlukan dukungan tambahan modal baik modal kerja maupun investasi. Sebaran kota/kabupaten di Jawa Barat yang mempunyai rata-rata pendapatan rumah tangga terbesar adalah Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bandung. Pada wilayah kota/kabupaten tersebut banyak tersedia sektor-sektor baik formal maupun non formal sehingga masyarakat (rumah tangga) mudah dalam mendapatkan pekerjaan, guna meningkatkan produktivitas rumah tangganya dan berdampak pada pendapatan yang diperoleh. Sedangkan sebaran kota/kabupaten dengan rata-rata pendapatan terkecil adalah Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Garut. Kota/kabupaten di wilayah tersebut didominasi oleh sektor pertanian, dimana sektor tersebut sulit berkembang khususnya di pedesaan. Sehingga mangakibatkan rendahnya produktivitas rumah tangga dan berdampak pada pendapatan rumah tangga yang juga rendah Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga Konsumsi/pengeluaran rumah tangga merupakan semua total pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam waktu tertentu dan dapat dikatakan sebagai cerminan dari kesejahteraan rumah tangga. Konsumsi/pengeluaran rumah tangga dapat dibagi menjadi empat, yaitu: 1) konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan, 2) konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa, 3) konsumsi/pengeluaran rumah tangga

90 untuk perumahan dan fasilitasnya, 4) konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang tahan lama. a. Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pangan Konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan diduga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pendapatan, pendidikan, kredit dan konsumsi non pangan. Dari hasil estimasi Tabel 18 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum kelima peubah akan mempengaruhi total konsumsi rumah tangga untuk pangan. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9789 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari pengeluaran rumah tangga untuk pangan sebanyak 97,89 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 18 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan di Provinsi Jawa Barat Peubah Koefisien Std. Eror t-statistic Prob. Konstanta Jumlah Anggta Kel Pendapatan RT Lama Pendidikan KRT Kredit RT Knsms NonPangan RT Fixed Effects (Cross) C_Bogor C_Purwakarta C_Sukabumi C_Karawang C_Cianjur C_Bekasi C_Bandung C_Kota Bogor C_Garut C_Kota Sukabumi C_Tasikmalaya C_Kota Bandung C_Ciamis C_Kota Cirebon C_Kuningan C_Kota Bekasi C_Cirebon C_Kota Depok C_Majalengka C_Kota Cimahi C_Sumedang C_Kota Tasikmalaya C_Indramayu C_Kota Banjar C_Subang R-squared Prob(F-statistic) Konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan berpengaruh positif dengan jumlah anggota keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka

91 akan semakin besar pula konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan. Pendapatan berpengaruh positif terhadap konsumsi pangan rumah tangga. Semakin besar pendapatan rumah tangga akan meningkatkan kebutuhan pengeluaran/konsumsi pangannya. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga juga berpengaruh positif terhadap konsumsi pangan. Sumberdaya manusia (tingkat pendidikan kepala rumah tangga) yang semakin tinggi akan mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam menentukan pengeluaran/konsumsi rumah tangga untuk pangannya. Penambahan kredit berpengaruh positif menunjukkan besarnya pengaruh pendapatan lain untuk meningkatkan konsumsi pangan. Dan konsumsi non pangan berpengaruh negatif terhadap konsumsi pangan. Pengaruh negatif konsumsi non pangan terhadap konsumsi pangan adalah logis. Hal ini menunjukkan adanya kompetisi antara konsumsi pangan dan konsumsi non pangan. Mengingat pendapatan yang terbatas, maka rumah tangga akan membuat pilihan-pilihan dalam mengalokasikan pendapatan yang dimilikinya. Sebaran rata-rata konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan pada kota/kabupaten di Jawa Barat terbesar pada Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung memiliki rata-rata modal (kredit) rumah tangga, pendapatan rumah tangga bahkan produktivitas rumah tangga yang relatif tinggi maka akan berdampak pada pola konsumsi/pengeluaran rumah tangganya khususnya konsumsi/pengeluaran untuk pangan. Sedangkan sebaran rata-rata konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk pangan pada kota/kabupaten di Jawa Barat terkecil pada Kabupaten Kuningan, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Kabupaten-kabupaten tersebut memiliki sektor unggulan berupa sektor pertanian, tetapi kesejahteraan masyarakatnya masih tergolong rendah, apabila dilihat dari konsumsi/pengeluaran untuk pangannya. Rendah konsumsi/pengeluaran untuk pangan terjadi karena masih rendahnya produktivitas rumah tangga berupa modal yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, ataupun usia yang tidak produktif lagi. Menurut Rustiadi, et al. (2006), ketidakseimbangan antar sektor akan mengakibatkan

92 rendahnya kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari pola konsumsi masyarakat dan berdampak pada rendahnya pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan, dan berakibat pada semakin langkanya komoditi pertanian. b. Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga untuk Barang dan Jasa Konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa diduga dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan siap dibelanjakan, tabungan, kredit, konsumsi pangan dan konsumsi perumahan. Dari hasil estimasi Tabel 19 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keenam peubah akan mempengaruhi total konsumsi rumah tangga untuk barang dan jasa. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9692 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa sebanyak 96,92 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan siap dibelanjakan oleh rumah tangga, tingkat permintaan kredit rumah tangga, dan konsumsi untuk perumahan berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi/pengeluaran untuk barang dan jasa, sedangkan tabungan rumah tangga dan konsumsi pangan berpengaruh negatif terhadap konsumsi barang dan jasa. Tingkat/lama pendidikan kepala rumah tangga yang tinggi meningkatkan pula konsumsi untuk barang dan jasa. Pendapatan yang siap dibelanjakan oleh rumah tangga yang besar menentukan besarnya konsumsi untuk barang dan jasa. Tingkat permintaan kredit rumah tangga yang besar akan mempermudah dan memperbesar suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga akan barang dan jasa. Besarnya pengeluaran rumah tangga akan perumahan maka memperbesar pula konsumsi barang dan jasa dalam menambah kebutuhannya. Sedangkan tabungan berpengaruh negatif terhadap konsumsi barang dan jasa. Artinya tabungan yang semakin besar akan berdampak pada berkurangnya pengeluaran/konsumsi untuk barang dan jasa. Begitupula dengan konsumsi

93 pangan yang berpengaruh negatif terhadap konsumsi barang dan jasa, yang menunjukkan bahwa terjadinya kompetisi kebutuhan akan konsumsi/pengeluaran dalam rumah tangga, dimana semakin besar konsumsi untuk pangan akan menurunkan pengeluaran/konsumsi untuk barang dan jasa. Tabel 19 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa di Provinsi Jawa Barat Peubah Koefisien Std. Eror t-statistic Prob. Konstanta Lama Pendidikan KRT Pndptn Siap Blnj RT Tabungan RT Kredit RT Knsms Pangan KnsmsPrmhan Fixed Effects (Cross) C_Bogor C_Purwakarta C_Sukabumi C_Karawang C_Cianjur C_Bekasi C_Bandung C_Kota Bogor C_Garut C_Kota Sukabumi C_Tasikmalaya C_Kota Bandung C_Ciamis C_Kota Cirebon C_Kuningan C_Kota Bekasi C_Cirebon C_Kota Depok C_Majalengka C_Kota Cimahi C_Sumedang C_Kota Tasikmalaya C_Indramayu C_Kota Banjar C_Subang R-squared Prob(F-statistic) Sebaran kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata konsumsi rumah tangga untuk barang dan jasa terbesar dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, dan Kabupaten Bandung. Besarnya rata-rata konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa pada kota-kota tersebut akibat tingginya jumlah penduduk dan tersedianya barang dan jasa di wilayah-wilayah tersebut. Selain daripada itu, rata-rata rumah tangga di wilayah tersebut di atas, kebutuhan akan konsumsi barang dan jasa sudah menjadi kebutuhan primer sehari-hari. Konsumsi untuk barang dan jasa, dipengaruhi juga oleh jumlah pendapatan dan produktivitas rumah tangga di wilayah tersebut.

94 Sedangkan kota/kabupaten dengan rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa terkecil adalah Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Tasikmalaya. Rendahnya rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa pada kabupaten-kabupaten di atas karena rendahnya produktivitas rumah tangga yang mengakibatkan pendapatan rumah tangga juga rendah dan berdampak pada tingkat konsumsi rumah tangga khususnya konsumsi untuk barang dan jasa. Selain daripada itu, jika dilihat dari sektor-sektor yang berkembang pada wilayah tersebut, pasokan barang dan jasa untuk rumah tangga relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduknya. c. Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga untuk Perumahan dan Fasilitas Konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas diduga dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, tabungan, kredit, konsumsi pangan, konsumsi barang dan jasa dan konsumsi barang tahan lama. Dari hasil estimasi Tabel 20 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum ketujuh peubah akan mempengaruhi total konsumsi rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9989 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas sebanyak 99,89 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Peubah yang berpengaruh positif terhadap konsumsi perumahan dan fasilitasnya adalah lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, kredit rumah tangga dan konsumsi barang dan jasa. Sedangkan peubah yang berpengaruh negatif adalah tabungan rumah tangga, konsumsi pangan dan konsumsi barang tahan lama. Perubahan lama pendidikan kepala rumah tangga akan meningkatkan konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitasnya. Pendapatan yang besar akan meningkatkan pengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya. Begitupula dengan semakin besarnya kredit rumah tangga akan meningkatkan pengeluaran perumahan dan fasilitasnya. Dimana hal

95 ini menunjukkan bahwa rumah tangga memanfaatkan adanya fasilitas kredit khususnya untuk kredit konsumtif untuk perumahan dan fasilitasnya. Pengeluaran untuk barang dan jasa berpengaruh positif menunjukkan antara pengeluaran barang dan jasa dengan pengeluaran perumahan dan fasilitasnya bersifat komplementer. Tabel 20 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas di Provinsi Jawa Barat Peubah Koefisien Std. Eror t-statistic Prob. Konstanta Lama Pendidikan KRT Pendapatan RT Tabungan RT Kredit RT Knsms Pangan Knsms Brg jasa Knsms Brg Thn Lama Fixed Effects (Cross) C_Bogor C_Purwakarta C_Sukabumi C_Karawang C_Cianjur C_Bekasi C_Bandung C_Kota Bogor C_Garut C_Kota Sukabumi C_Tasikmalaya C_Kota Bandung C_Ciamis C_Kota Cirebon C_Kuningan C_Kota Bekasi C_Cirebon C_Kota Depok C_Majalengka C_Kota Cimahi C_Sumedang C_Kota Tasikmalaya C_Indramayu C_Kota Banjar C_Subang R-squared Prob(F-statistic) Sedangkan untuk tabungan berpengaruh negatif, berarti semakin besar tabungan maka akan mengurangi pengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya. Hal ini logis, karena rumah tangga mempertimbangkan hal lain untuk menabung daripada untuk pengeluaran perumahan. Besarnya pengeluaran pangan akan menurunkan peengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya. Begitupula dengan besarnya pengeluaran barang tahan lama akan menurunkan pengeluaran barang tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga mengambil keputusan untuk memenuhi kebutuhan yang primer lebih dahulu dibandingkan kebutuhan sekunder maupun tersiernya.

96 Sebaran kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata konsumsi rumah tangga untuk perumahan dan fasilitas terbesar dengan faktorfaktor yang mempengaruhinya adalah Kota Depok, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bekasi. Kesenjangan perkembangan antara wilayah kota dan kabupaten di Jawa Barat dapat dilihat dari pertumbuhan wilayah pada pertumbuhan tempat tinggal (rumah). Wilayahwilayah kota didominasi oleh semakin maraknya pengembangan perumahan akibat meningkatnya pertumbuhan penduduk. Data BPS (2006) menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Kota Depok (37,66%), Kota Bekasi (17,85%), Kota Bogor (11,96%), Kabupaten Bandung (8,71%), Kabupaten Bekasi (14,41%). Pada Kota Bandung mengalami penurunan laju pertumbuhan penduduk sebesar (-0,30%), namun demikian jumlah penduduk di Kota Bandung masih di atas ratarata jumlah penduduk di Jawa Barat. Kebutuhan rumah tangga akan perumahan dan fasilitasnya didukung juga oleh tempat bekerja. Rendah dan sedikitnya pekerjaan di wilayah pedesaan mengakibatkan berpindahnya masyarakat pedesaan ke perkotaan yang mengakibatkan semakin banyaknya lahan yang dibangun untuk perumahan guna pemenuhan kebutuhan akan rumah oleh masyarakat tersebut. Sedangkan sebaran kota/kabupaten dengan rata-rata pengeluaran untuk perumahan dan fasilitas terkecil adalah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Purwakarta, Kota Cimahi, dan Kota Banjar. Rendahnya konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk wilayah kota/kabupaten di atas disebabkan karena rendahnya kebutuhan akan perumahan dan fasilitasnya, serta relatif kecil laju pertumbuhan penduduk, yaitu Kabupaten Sukabumi (1,23%), Kabupaten Tasikmalaya (1,99%), Kabupaten Majalengka (1,44%), Kota Cimahi dan (-14,47%). Kabupaten Kuningan, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Banjar memiliki laju pertumbuhan yang meningkat tetapi jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan luas wilayahnya yang besar. Sehingga pertumbuhan penduduk pada kota/kabupaten di atas tidak signifikan dalam peningkatan konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk perumahan dan fasilitasnya. Selain daripada itu, kebutuhan akan perumaha dan fasilitasnya sangat bergantung dari produktivitas dan tingkat pendapatan rumah tangga dalam suatu wilayah tersebut.

97 d. Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga untuk Barang Tahan Lama Konsumsi/pengeluaran barang-barang tahan lama diduga dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, tabungan, kredit, konsumsi pangan, konsumsi barang, dan jasa. Dari hasil estimasi Tabel 21 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keenam peubah akan mempengaruhi total konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang-barang tahan lama. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0, Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9659 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari pengeluaran rumah tangga untuk barang tahan lama sebanyak 96,59 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 21 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi/pengeluaran rumah tangga untuk barang tahan lama di Provinsi Jawa Barat Peubah Koefisien Std. Eror t-statistic Prob. Konstanta Lama Pendidikan KRT Pendapatan RT Tabungan RT Kredit RT Knsms Pangan Knsms Brg jasa Fixed Effects (Cross) C_Bogor C_Purwakarta C_Sukabumi C_Karawang C_Cianjur C_Bekasi C_Bandung C_Kota Bogor C_Garut C_Kota Sukabumi C_Tasikmalaya C_Kota Bandung C_Ciamis C_Kota Cirebon C_Kuningan C_Kota Bekasi C_Cirebon C_Kota Depok C_Majalengka C_Kota Cimahi C_Sumedang C_Kota Tasikmalaya C_Indramayu C_Kota Banjar C_Subang R-squared Prob(F-statistic) Peubah lama/tingkat pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, tingkat permintaan kredit, dan konsumsi untuk barang dan jasa berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga untuk barang tahan lama.

98 Tingginya lama/tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan meningkatkan konsumsi rumah tangga untuk barang tahan lama. Semakin besar pendapatan rumah tangga akan meningkatkan konsumsi barang tahan lama. Begitupula dengan semakin besar tingkat permintaan kredit suatu rumah tangga yang merupakan modal rumah tangga maka akan memperbesar pengeluaran/konsumsi untuk barang tahan lama. Dan besarnya pengeluaran/konsumsi untuk barang dan jasa akan meningkatkan pengeluaran konsumsi barang tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa antara peubah pengeluaran barang tahan lama dan pengeluaran barang dan jasa adalah bersifat komplementer. Sedangkan peubah tabungan rumah tangga dan konsumsi untuk pangan berpengaruh negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tabungan rumah tangga akan menurunkan konsumsi untuk barang tahan lama. Dan semakin besar konsumsi untuk pangan akan menurunkan konsumsi untuk barang dan jasa. Sebaran kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata konsumsi untuk barang tahan lama terbesar dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bandung. Kebutuhan akan barang-barang tahan lama merupakan kebutuhan barang tersier, dimana rata-rata rumah tangga dengan produktivitas dan pendapatan yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan tersebut, begitu juga sebaliknya. Dari penjelasan sebelumnya dapat diketahui bahwa ratarata rumah tangga di wilayah tersebut memiliki rata-rata pendapatan dan sumberdaya modal (kredit) yang relatif tinggi, sehingga dalam pemenuhan kebutuhan akan barang tahan lamapun tinggi. Sebaran kota/kabupaten dengan rata-rata konsumsi/pengeluaran untuk barang tahan lama terkecil adalah Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar. Rendahnya pendapatan yang diperoleh oleh rata-rata rumah tangga pada wilayah kabupaten di atas menyebabkan pengeluaran akan barang tahan lama rendah. Pendapatan yang mereka peroleh lebih banyak dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan primer seperti kebutuhan rumah tangga untuk pangan dan barang jasa lainnya. Sedangkan pada Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar memiliki rata-rata pendapatan rumah tangga yang

99 cukup tinggi tetapi kebutuhan akan barang tahan lama rendah, hal ini disebabkan karena pembentukan modal untuk kebutuhan barang tahan lama relatif kecil dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Tabel 22 Jumlah tanggungan keluarga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Jumlah Keluarga Kredit konsumtif Kredit produktif ,7 0, ,7 86,7 > 6 6,7 13,3 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Pemenuhan kebutuhan konsumsi/pengeluaran rumah tangga baik pangan maupun non pangan berkaitan dengan jumlah tanggungan keluarga. Rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan produktif memiliki rata-rata jumlah tanggungan keluarga terbesar pada empat sampai enam orang (Tabel 22). Semakin besar jumlah tanggungan keluarga maka akan semakin besar konsumsi/pengeluaran rumah tangga. Konsumsi/pengeluaran rumah tangga juga bergantung pada pendapatan rumah tangga. Seperti terdahulu telah dipaparkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga pengguna kredit produktif lebih kecil daripada kredit konsumtif. Jika dibandingkan antara jumlah keluarganya dengan pendapatan rumah tangga yang diperoleh oleh rumah tangga pengguna kredit produktif maka dapat dikatakan rata-rata rumah tangga tersebut tergolong rendah kesejahteraannya dibandingkan rumah tangga pengguna kredit konsumtif. Tabel 23 Tingkat pengeluaran/konsumsi rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Pengeluaran Kredit konsumtif Kredit produktif (rupiah/ bulan) Pangan Non Pangan Pangan Non Pangan ,3 20,0 86,7 83, ,7 53,3 13,3 16, ,0 26,7 0,0 0,0 > ,0 0,0 0,0 0,0 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Konsumsi/pengeluaran rumah tangga baik pangan maupun non pangan pengguna kredit konsumtif lebih besar dibandingkan rumah tangga pengguna kredit produktif. Rumah tangga pengguna kredit konsumtif memiliki jumlah

100 pengeluaran untuk non pangan lebih besar daripada pangannya, dan sebaliknya untuk rumah tangga pengguna kredit produktif (Tabel 23). Cerminan kesejahteraan rumah tangga dapat dilihat dari konsumsi/pengeluaran rumah tangganya. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menduga pendapatan masyarakat adalah tingkat pengeluaran rumah tangga. Hermanto dan Andriati (1985) menyatakan bahwa: 1) Perbedaan pengeluaran antara kota dan pedesaan lebih besar perbedaan pengeluaran antar wilayah, 2) Secara umum ketimpangan pengeluaran di kota lebih besar dari ketimpangan di desa, 3) Rumah tangga pedesaan mengeluarkan 39,4 sampai 44,2 persen dari pendapatannya untuk makanan pokok, sedangkan rumah tangga perkotaan hanya berkisar antara 22,8 sampai 33,9 persen Tabungan Rumah Tangga Tabungan rumah tangga merupakan selisih antara pendapatan rumah tangga dengan pengeluaran-pengeluaran rumah tangga dalam waktu tertentu. Tabungan diduga dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, tabungan, kredit, konsumsi pangan, konsumsi barang dan jasa. Dari hasil estimasi Tabel 24 dapat dilihat bahwa pada tingkat signifikasi berapapun dipercaya bahwa secara umum keenam peubah akan mempengaruhi total tabungan rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan nilai probalititas dari F-statistik yang benilai 0,0000. Tingkat kepercayan ini didukung dengan nilai R-squared hasil estimasi sebesar 0,9908 yang berarti bahwa model dapat menjelaskan keragaman dari tabungan rumah tangga sebesar 99,08 persen. Peubah lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, dan kredit rumah tangga berpengaruh positif terhadap tabungan rumah tangga. Sedangkan peubah konsumsi pangan, konsumsi non pangan berpengaruh negatif terhadap tabungan rumah tangga. Tingginya lama pendidikan kepala rumah tangga akan meningkatkan tabungan rumah tangga, hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya manusia berpengaruh besar terhadap sumberdaya modal rumah tangga. Pendapatan rumah tangga yang besar juga akan meningkatkan tabungan rumah tangga, hal ini adalah logis dalam model. Pengeluaran/konsumsi untuk pangan berpengaruh negatif terhadap tabungan rumah tangga, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar pengeluaran

101 untuk konsumsi pangan maka akan mengurangi tabungan rumah tangga. Begitupula dengan semakin besarnya pengeluaran untuk non pangan juga akan mengurangi besarnya tabungan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan harapan. Sedangkan apabila kredit ditingkatkan, maka kemungkinan untuk tabungan adalah besar, sehingga pengambilan kredit oleh rumah tangga sebagian besar adalah dapat digunakan sebagian untuk menabung. Tabel 24 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi tabungan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat Peubah Koefisien Std. Eror t-statistic Prob. Konstanta Pendidikan Pendapatan Knsms Pangan Knsms NonPangan Kredit Fixed Effects (Cross) C_Bogor C_Purwakarta C_Sukabumi C_Karawang C_Cianjur C_Bekasi C_Bandung C_Kota Bogor C_Garut C_Kota Sukabumi C_Tasikmalaya C_Kota Bandung C_Ciamis C_Kota Cirebon C_Kuningan C_Kota Bekasi C_Cirebon C_Kota Depok C_Majalengka C_Kota Cimahi C_Sumedang C_Kota Tasikmalaya C_Indramayu C_Kota Banjar C_Subang R-squared Prob(F-statistic) Sebaran kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang mempunyai rata-rata tabungan rumah tangga terbesar dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kota Sukabumi, dan Kota Cimahi. Tingginya tabungan pada wilayah tersebut di atas dapat dikatakan bahwa didasari oleh besarnya kesadaran rumah tangga dalam menabung walaupun telah dijelaskan di atas bahwa kota/kabupaten tersebut tergolong dengan rumah tangga yang pendapatan dan pengeluaran rumah tangganya rendah. Sedangkan pada wilayah Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bandung,

102 dengan pendapatan yang tinggi ternyata memiliki rata-rata tabungan rumah tangga yang tidak terlalu tinggi, hal ini didasari oleh besarnya konsumsi/pengeluaran rumah tangganya sehingga menurunkan tingkat tabungan. Sedangkan sebaran kota/kabupaten dengan rata-rata tabungan rumah tangga di bawah rata-rata adalah Kota Banjar, Kabupaten Subang, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Bogor, Kota Cirebon, dan Kota Tasikmalaya. Kota/kabupaten tersebut memiliki rata-rata rumah tangga dengan pendapatan yang juga rendah sehingga berdampak pada rendahnya tabungan oleh rumah tangga. Tabel 25 Tingkat tabungan rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif di Provinsi Jawa Barat Tabungan (rupiah/ bulan) Kredit konsumtif Kredit produktif ,0 83, ,0 16, ,0 0,0 > ,0 0,0 Jumlah Sumber : data primer, olahan 2007 Berdasarkan tingkat tabungan rumah tangga antara pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif dapat dilihat bahwa pada rumah tangga pengguna kredit konsumtif memiliki jumlah tabungan lebih besar daripada rumah tangga pengguna kredit produktif (Tabel 25). Hal ini terjadi karena pada rumah tangga pengguna kredit konsumtif memiliki tingkat pendapatan yang relatif besar. 6.3 Dampak Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap Tingkat Kesejahteraan dan Pembangunan Ekonomi Jawa Barat Tingkat dan pola konsumsi masyarakat pada suatu wilayah dalam waktu tertentu merupakan cerminan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Sedangkan kredit merupakan salah satu input sekaligus insentif bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas baik produktif maupun pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga. Banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat dan pola konsumsi serta serapan kredit setiap wilayahnya, seperti yang telah dijabarkan pada bahasan sebelumnya (Bab 6.1). IPM yang mendasarkan kepada indeks pendidikan (IP), indeks kesehatan (IK), serta indeks daya beli

103 (IDB) menjadi instrumen untuk melihat kesejahteraan masyarakat dan berkesinambungan berpengaruh terhadap pembangunan wilayah. Sebaran pola hubungan antara salah satu input (yaitu:kredit) bagi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan baik produktif maupun konsumsi rumah tangganya dengan IPM sebagai cerminan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada Gambar 18. Kecenderungan sebaran rata-rata rumah tangga pada kota di Jawa Barat dengan nilai IPM menunjukkan bahwa rata-rata wilayah kota dengan nilai IPM tinggi memiliki nilai kredit rumah tangga yang juga tinggi. Kredit merupakan salah satu input pendapatan rumah tangga atau modal rumah tangga yang dimanfaatkan untuk kegiatan produktif maupun konsumtif. Secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, dimana juga dapat meningkatkan konsumsi/pengeluaran rumah tangga dalam hal ini adalah peningkatan daya beli serta pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan yang diukur dengan IPM. Dengan nilai kredit yang besar maka tinggi pula kesejahteraan rumah tangga (masyarakat) tersebut. Untuk wilayah kota di Jawa Barat, rata-rata rumah tangga dengan nilai kredit rumah tangga dan IPM yang tinggi adalah Kota Depok, Kota Bandung, dan Kota Bekasi. Namun Kota Cirebon diantara kota-kota di Jawa Barat memiliki nilai yang paling rendah, hal ini karena masih rendahnya penyaluran kredit oleh pihak-pihak lembaga keuangan bagi rumah tangga yang ditunjukkan dengan nilai negatif pada estimasi kredit rumah tangga diatas (Tabel 12), serta masih rendahnya daya beli rumah tangga dan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan yang juga memiliki nilai estimasi negatif (Tabel 19). Sedangkan Kota Sukabumi memiliki rata-rata nilai kredit rumah tangga yang cukup tinggi tetapi pada estimasi kredit juga memiliki nilai yang negatif sama dengan Kota Cirebon. Nilai IPM Kota Sukabumi juga rendah, hal ini terjadi karena masih rendahnya pengeluaran-pengeluaran rumah tangga akibat rendahnya modal atau pendapatan rumah tangga yang diperoleh. Rendahnya penyaluran kredit dari pihak lembaga keuangan kepada masyarakat adalah belum sembuhnya akibat terperangkap pada krisis berkepanjangan yang melemahkan perekonomian secara makro.

104 Kota Depok Rata-Rata Kredit RT/Tahun (Rp) Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bandung Kota Bekasi Kota Bogor IPM Sumber: data BPS, olahan 2007 Gambar 18 Sebaran kredit rumah tangga dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Setelah krisis berkepanjangan, lembaga keuangan mulai kembali ke fungsinya sebagai lembaga intermediasi namun demikian masih memberikan kredit dalam jumlah yang belum terlalu besar, dan agak rumit dalam persyaratan serta persetujuan kredit. Dengan adanya ketentuan-ketentuan yang terlalu rumit maka hanya sebagian masyarakat khususnya hanya masyarakat menengah ke atas yang dapat memanfaatkan jasa lembaga keuangan. Sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai langkah, yaitu penciptaan iklim investasi yang kondusif dan penyerapan tenaga kerja yang signifikan. Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah pengangguran terbesar di Indonesia mencapai 10,2 persen. Suyatno, et al. (1999), salah satu fungsi kredit adalah dapat meningkatkan pemerataan pendapatan, bantuan kredit dapat memperluas usaha pengusaha dan dapat mendirikan proyek-proyek baru, sehingga dapat terserapnya tenaga kerja yang akhirnya terjadi pemerataan pendapatan. Dengan penyaluran kredit yang lebih mudah dapat memunculkan kegiatan produktif dan dapat menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran yang semakin besar. Kuncoro (2006), menyatakan bahwa untuk mengidentifikasi kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan (poverty line), yaitu suatu tolok ukur

105 yang menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampui ukuran garis kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan (misalnya kebutuhan perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang lain dan jasa). Semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa, selain daripada itu persentase atau rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan, yang bertolok berdasarkan semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahterannya (Rustiadi, et al. 2006) Kab. Kuningan Kab. Sumedang Rata-Rata Kredit RT (Rp/Thn) Kab. Indramayu Kab. Tasimalaya Kab. Garut Kab. Ciamis Kab. Bekasi Kab. Sukabumi Kab. Cirebon Kab. Cianjur Kab. Subang Kab. Bogor Kab. Majalengka Kab. Purwakarta 68 Kab. Bandung 70 IPM Sumber: data BPS, olahan 2007 Gambar 19 Sebaran kredit rumah tangga dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Gambar 19 menunjukkan scatter sebaran rata-rata nilai kredit rumah tangga dengan nilai IPM pada wilayah kabupaten di Jawa Barat. Rata-rata pada wilayah kabupaten di Jawa Barat memiliki nilai IPM yang rendah, yaitu dibawah 70 dan nilai rata-rata kredit yang rendah pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa

106 wilayah kabupaten di Jawa Barat masih banyaknya masyarakat dengan kesejahteraan yang rendah atau dibawah rata-rata. Kabupaten Bandung memiliki nilai IPM yang relatif tinggi dibandingkan kabupaten-kabupaten lain, hal ini didukung oleh wilayah Kabupaten Bandung yang berdekatan dengan Kota Bandung yang relatif tinggi kesejahteraan masyarakatnya. Untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dapat dibantu dengan meningkatkan nilai kredit rumah tangga, karena jika dilihat dari scatter nilai kredit yang dimiliki masih rendah. Sedangkan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Sumedang memiliki ratarata nilai kredit yang cukup tinggi. Sektor usaha terbesar di Kabupaten Kuningan adalah sektor pertanian, dimana pada kabupaten ini memiliki lembaga keuangan yang berperan sangat besar dalam kemajuan sektor tersebut, yaitu dengan pemberian kredit produktif untuk sektor pertanian, namun demikian tingkat kesejahteraan masyarakatnya masih rendah. Rendahnya kesejahteraan masyarakat sangat berkaitan erat dengan pendapatan yang rendah khususnya di sektor pertanian. Sedangkan di Kabupaten Sumedang, sektor usaha terbesar adalah pertanian dan industri pengolahan. Tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Sumedang lebih tinggi daripada Kabupaten Kuningan, hal ini didukung dengan cukup besarnya pendapatan masyarakat dari sektor industri pengolahan selain sektor pertaniannya. Pada Gambar 20 menunjukkan bahwa ada pola keterkaitan yang searah antara nilai IPM dan tingkat pengeluaran/konsumsi rumah tangga. Pada wilayah kota memiliki nilai IPM tinggi dengan rata-rata tingkat pengeluaran/konsumsi rumah tangga yang juga tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat pada kota-kota di Jawa Barat memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Tingginya konsumsi rumah tangga di perkotaan diimbangi oleh kepadatan penduduk di kota yang memang lebih tinggi daripada di kabupaten. Pada wilayah Kota Depok, Kota Bekasi dan Kota Bogor didukung pula oleh wilayah yang stategis dimana merupakan daerah hinterland dari Jakarta, yang sebagian besar adalah masyarakat commuter. Sedangkan Kota Cirebon memiliki rata-rata tingkat konsumsi yang paling rendah.

107 Kota Bandung Rata-Rata Konsumsi/Kapita/Tahun Bulan (Rp) Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Depok Kota Bekasi Kota Bogor IPM Sumber: data BPS, olahan 2007 Gambar 20 Sebaran konsumsi/pengeluaran per kapita sebulan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Sedangkan pada wilayah kabupaten-kabupaten di Jawa Barat memiliki masyarakat dengan rata-rata tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal ini dapat terlihat dari wilayah kabupaten bergerombol pada nilai IPM dan pengeluaran yang cukup rendah (Gambar 21). Kabupaten yang memiliki rata-rata rumah tangga yang cukup sejahtera adalah Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan adalah rendahnya daya beli masyarakat karena kombinasi rendahnya pendapatan dan tingginya nilai bahan-bahan pokok, besarnya insiden pengangguran akibat kontraksi sektor formal serta tekanan kondisi pasar tenaga kerja (Irawan dan Suparmoko 2002).

108 Rata-Rata Konsumsi/Kapita/Thn Bulan (Rp) (Rp) IPM Sumber: data BPS, olahan 2007 Gambar 21 Sebaran konsumsi/pengeluaran per kapita sebulan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, tahun Keterangan : 1 = Kab Bogor 9 = Kab Cirebon 2 = Kab Sukabumi 10 = Kab Majalengka 3 = Kab Cianjur 11 = Kab Sumedang 4 = Kab Bandung 12 = Kab Indramayu 5 = Kab Garut 13 = Kab Subang 6 = Kab Tasikmalaya 14 = Kab Purwakarta 7 = Kab Ciamis 15 = Kab Karawang 8 = Kab Kuningan 16 = Kab Bekasi Keterkaitan antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita per bulan dapat dilihat pada Tabel 26. Dimana pada kabupaten-kabupaten di Jawa Barat tidak adanya hubungan yang signifikan baik antara Indeks Pembangunan Manusia, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah kabupaten memiliki nilai Indeks Pembangunan Manusia, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan yang masih rendah. Sehingga perlunya pembenahan di kabupaten baik dengan meningkatkan IPM yang mendasarkan kepada indeks pendidikan (IP), indeks kesehatan (IK), serta indeks daya beli (IDB), merangsang pengeluaran/konsumsi rumah tangga serta perlunya pihak

109 lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit/pinjaman sehingga dapat merangsang produktivitas rumah tangga. Tabel 26 Korelasi antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan dirinci menurut kabupaten di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002 Variabel IPM Kredit Pengeluaran/kapita/bln IPM Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Kredit Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pengeluaran/kpt/bln Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Sumber: Hasil analisis Sedangkan pada keterkaitan antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita per bulan pada wilayah kota di Jawa Barat terjadi korelasi positif yaitu antara IPM dengan kredit rumah tangga (Gambar 27). Hal ini sangat berkaitan dengan daya beli masyarakat yang semakin meningkat pada wilayah perkotaan. Dimana semakin tinggi kredit yang diperoleh rumah tangga maka pemenuhan kebutuhan akan pengeluaran baik untuk pendidikan, konsumsi rumah tangga serta kesehatan akan terpenuhi. Tetapi antara kredit dengan pengeluaran/kapita/bulan ataupun IPM dengan pengeluaran/kapita/bulan tidak ada hubungan yang signifikan. Tabel 27 Korelasi antara IPM, kredit dan pengeluaran per kapita sebulan dirinci menurut kota di Provinsi Jawa Barat, tahun 2002 Variabel IPM Kredit Pengeluaran/kapita/bln IPM Pearson Correlation * 0.54 Sig. (2-tailed) N Kredit Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pengeluaran/kpt/bln Pearson Correlation 0.84* Sig. (2-tailed) N Keterangan: * = Nilai korelasi berbeda nyata pada level 0,05 Sumber: Hasil analisis Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan cerminan kesejahteraan masyarakat dapat terlaksana dengan peningkatan pendapatan rumah tangga yang perhitungannya didekati oleh pengeluaran per

110 kapita sebulan yaitu dengan penambahan input lain seperti kredit kepada rumah tangga sehingga diperlukan korelasi yang positif diantara ketiganya. Seperti dijelaskan dalam lingkaran perangkap kemiskinan yang diformulasikan oleh Clifford Geertz sebagai Agriculture Involution yang sebelumnya diungkapkan oleh Nurkse (1953) diacu dalam Rustiadi, et al. (2006) sebagai The Vicious Circles, menyatakan ada tiga penyebab kemiskinan, yaitu adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal yang menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan atau rendahnya kesejahteraan rumah tangga (Lihat Gambar 1) Kota Depok Kota Bekasi Kota Bandung Kota Cirebon Konsumsi/Kapita/Thn Kab.Bekasi PDRB/Kapita Sumber: data BPS, olahan 2007 Gambar 22 Sebaran rata-rata konsumsi/pendapatan per kapita setahun dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat, tahun Sehingga untuk dapat meningkatkan modal rumah tangga untuk kegiatan produktif dan konsumtifnya perlu bantuan lembaga keuangan. Karena selam ini masih adanya credit crunch, yang didefinisikan sebagai suatu situasi dimana terjadi penurunan supply kredit lembaga keuangan secara tajam sebagai akibat dari menurunnya kemauan bank dalam menyalurkan kredit kepada dunia usaha

111 sehingga fungsi intermediasi lembaga keuangan akan terganggu. Lembaga keuangan yang seharusnya menjadi perantara antara sektor moneter dengan sektor riil menjadi tidak mampu lagi menggerakkan perkembangan dunia usaha melalui kredit yang mereka salurkan. Dengan terhambatnya penyaluran kredit oleh lembaga keuangan pada dunia usaha, maka dunia usaha akan mengalami kelesuan serta investasi dan aktivitas ekonomi lainnya akan mengalami stagnasi (Siregar 2006). Tujuan pembangunan nasional adalah harus dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan hasilnya dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Dan tujuan pembangunan tersebut erat kaitannya dengan upaya mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Salah satu indikator dari tolak ukur pembangunan wilayah dapat dilihat dari nilai Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita (PDRB/kapita), serta kesejahteraan masyarakat berkaitan erat dengan konsumsi/pengeluaran per kapita setahun. Dimana konsumsi/pengeluaran per kapita setahun merupakan bagian dari PDRB per kapita. Pada Gambar 22 dapat dilihat scatter antara pengeluaran/konsumsi per kapita rumah tangga dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat dalam kota/kabupaten cenderung masih banyak memiliki kota/kabupaten yang rendah pembangunan ekonominya. Pembangunan ekonomi yang rendah ditunjukkan oleh sebaran kota/kabupaten yang meng-cluster pada nilai pengeluaran/konsumsi per kapita rumah tangga dan PDRB per kapitanya rendah. Diagram scatter diatas berkorelasi positif, dimana kecenderungan kota/kabupaten yang memiliki nilai rata-rata pengeluaran/konsumsi per kapita rumah tangganya rendah maka PDRB per kapitanyapun rendah, dan begitupula sebaliknya. Kota/kabupaten yang memiliki rata-rata rumah tangga dengan pengeluaran/konsumsi per kapita rumah tangga dan PDRB per kapita tinggi adalah Kabupaten Bekasi dan Kota Cirebon. Sedangkan untuk Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kota Depok yang memiliki rata-rata pengeluaran/konsumsi per kapita rumah tangganya tinggi ternyata tidak mempengaruhi nilai PDRB per kapitanya yaitu cukup rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kota-kota besar lebih banyak pengeluaran/konsumsi khususnya konsumsi non pangan yang

112 mendominasi pengeluaran rumah tangga (seperti telah dijelaskan pada Gambar 12) beralih ke luar kota (luar Provinsi Jawa Barat) sepeti DKI Jakarta sehingga mengurangi nilai tambah pendapatan wilayah Jawa Barat yang diukur lewat PDRB per kapita dan secara otomatis pembangunan ekonomi di Jawa Barat kurang berkembang. Adanya konsumsi/pengeluaran rumah tangga khususnya kota-kota besar tersebut yang mengalir keluar mengakibatkan sebagian dari nilai tambah yang dihasilkan pada akhirnya bocor mengalir keluar yang disebut dengan capital outflow. Selain daripada itu, konsumsi/pengeluaran rumah tangga di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan diakibatkan oleh jumlah penduduk di perkotaan yang lebih banyak. Pembangunan ekonomi di Jawa Barat yang kurang berkembang disebabkan pula oleh distribusi pendapatan rumah tangga yang tidak merata atau terjadi kesenjangan ekonomi antara kota/kabupaten. Hal ini terbukti dari angka indeks williamson yaitu indeks yang digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah dengan pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan ekonomi antar wilayah berupa besaran PDRB, sebesar 0,7 dan artinya niali indeks tersebut menunjukkan cukup besar tingkat perbedaan ekonomi dari kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Namun jika dibandingkan dengan rata-rata indeks tingkat disparitas antar provinsi di Indonesia, Jawa Barat masih memiliki nilai di bawah rata-rata indeks Indonesia yang sebesar 1,56. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas antar kota/kabupaten di Jawa Barat yaitu salah satunya adalah faktor sosial ekonomi. Faktor sosial seperti tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah, selanjutnya akan menyebabkan tingkat produksi rendah dan pendapatannyapun rendah sehingga berakibat pada tingkat kesejahteraan yang juga rendah (seperti telah dijelaskan dalam bab 6.2 sebelumnya). Rustiadi, et al. (2006), menyatakan pula bahwa disparitas antar wilayah di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat terutama karena aktivitas ekonomi di kawasan pusat-pusat perekonomian yang menyebabkan aliran bahan baku dan tenaga kerja dari wilayah pendukungnya ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Salah satu penyebab hal tersebut diatas adalah lemahnya keterkaitan antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakang atau antara satu wilayah dengan

113 wilayah lainnya. Oleh karena itu perlu diciptakan keterkaitan yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keterkaitan antar sektoral dapat dipahami lebih dalam dari hasil Analisis Input Output (Analisis IO) di bawah ini. Struktur Nilai Tambah Bruto Input primer disebut juga Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal dan kewiraswastaan. Adapun komponen NTB perekonomian Provinsi Jawa Barat meliputi penerimaan upah dan gaji, penerimaan surplus usaha, penyusutan nilai barang dan modal, pajak tak langsung netto dan subsidi. Tabel 28 Komponen struktur nilai tambah Provinsi Jawa Barat tahun 1999 dan Indonesia tahun 2005 (milyar rupiah) No Komponen Jawa Barat (1999) Indonesia (2005) Nilai Persentase Nilai Persentase 1 Upah dan gaji 44377,73 27, ,87 2 Surplus usaha 96811,17 60, ,21 3 Penyusutan 12686,22 7, ,21 4 Pajak tidak langsung 5823,92 3, ,37 5 Subsidi ,66 Total , Sumber: Hasil analisis 2007 Berdasarkan Tabel 28 didapatkan bahwa komponen input primer tertinggi Provinsi Jawa Barat dan Indonesia oleh surplus usaha diikuti tingkat kedua, ketiga dan keempat adalah komponen upah/gaji, penyusutan, pajak tak langsung. Komponen surplus usaha serta upah gaji merupakan komponen dengan persentase tertinggi dibandingkan dengan komponen lainnya. Komponen upah dan gaji merupakan satu-satunya komponen nilai tambah yang langsung diterima (dibawa pulang) oleh pekerja. Sedangkan, komponen surplus usaha merupakan nilai tambah yang diterima oleh pengusaha. Surplus usaha belum tentu hasilnya langsung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tetapi sebagian besar ada yang tersimpan di perusahaan dalam bentuk laba ditahan. Komponen upah dan gaji pada NTB di Provinsi Jawa Barat hampir mendekati nilai komponen upah gaji nasional. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya peluang masyarakat yang tinggal di Jawa Barat untuk dapat

114 meningkatkan taraf hidupnya dan bahkan dapat menarik orang untuk bermigrasi ke Jawa Barat. Tetapi nilai komponen upah dan gaji yang relatif besar di Jawa Barat tidak mengurangi disparitas pendapatan masyarakat (rumah tangga). Disparitas tersebut terjadi akibat dari sebaran yang tidak merata pada kota/kabupaten di Jawa Barat terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat dengan menitikberatkan hanya pada perkembangan wilayah perkotaan dan tidak di perdesaan. Nilai komponen surplus usaha Jawa Barat lebih besar daripada nasional. Walaupun surplus usaha Jawa Barat tinggi, ternyata masih terjadi ketimpangan dalam penyaluran investasi di dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah rumah tangga, sehingga diharapkan adanya pemerataan investasi di dunia usaha dan dapat meningkatkan produktivitas rumah tangga, lalu akan berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga tersebut. Tabel 29 Struktur nilai tambah berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar di Provinsi Jawa Barat tahun 1999 (milyar rupiah) No Sektor Nilai Persentase 1 Perdagangan 24883,53 15,58 2 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 16181,27 10,13 3 Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 13922,13 8,72 4 Padi 10947,87 6,86 5 Industri pupuk, kimia dan barang dari karet dan mineral nonlogam 9842,29 6,16 Sumber: Hasil analisis 2007 Berdasarkan sektoral, NTB Provinsi Jawa Barat dan nasional tidak berbeda jauh. Di Jawa Barat sektor pertama yang menyumbangkan NTB adalah adalah perdagangan, sedangkan nasional adalah industri. Namun demikian, peringkat lima besar sektor terbesar antara Jawa Barat dan nasional sama. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor yang berkembang di Jawa Barat yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat adalah sektor perdagangan dan industri. Provinsi Jawa Barat sendiri merupakan salah satu provinsi yang menyumbangkan nilai tambah terbesar dalam sektor industri dan perdagangan nasional (Tabel 30). Tetapi seperti yang diketahui bahwa sektor industri dan perdagangan di Jawa Barat tidak tersebar merata pada kota/kabupatennya. Sektor-sektor tersebut hanya terpusat pada wilayah-wilayah tertentu, seperti kota-kota dan kabupaten yang berdekatan dengan kota yang berkembang daripada wilayah kabupaten yang lainnya. Hal ini dapat terjadi akibat dari: 1) Corak perpindahan penduduk dari

115 yang masih terbelakang ke wilayah maju, 2) Arus investasi yang tidak seimbang, 3) Pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh industri-industri di wilayah yang lebih maju, 4) Jaringan pengangkutan yang lebih baik di wilayah yang lebih maju (Rustiadi, et al. 2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak seimbangnya sebaran pertumbuhan ekonomi pada kota/kabupaten di Jawa Barat. Tabel 30 Struktur nilai tambah berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar di Indonesia tahun 2005 (milyar rupiah) No Sektor Nilai Persentase 1 Industri ,32 2 Perdagangan ,62 3 Pertambangan dan Penggalian ,89 4 Tanaman Bahan Makanan ,10 5 Pemerintah dan Hankam ,11 Sumber: Hasil analisis 2007 Struktur Permintaan Akhir Permintaan akhir merupakan penghela perekonomian karena setiap permintaan akhir akan timbul baik secara keseluruhan maupun masing-masing komponennya akan mempengaruhi output, pendapatan, tenaga kerja dan nilai tambah. Permintaan akhir dapat memicu produsen menghasilkan output dan dapat merangsang perekonomian khususnya produksi barang dan jasa. Berdasarkan Tabel 31 dapat dilihat bahwa komponen permintaan akhir terbesar di Jawa Barat yaitu konsumsi rumah tangga (46,97%), begitupula komponen permintaan akhir nasional terbesar berada pada komponen konsumsi rumah tangga (54,78%). Permintaan akhir oleh rumah tangga yang sangat besar menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi wilayah Jawa Barat sangat dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga dan bahkan menjadi prioritas. Tabel 31 Komponen struktur permintaan akhir Provinsi Jawa Barat tahun 1999 dan Indonesia tahun 2005 (milyar rupiah) No Komponen Jawa Barat (1999) Indonesia (2005) Nilai Persentase Nilai Persentase 1 Konsumsi Rumah Tangga ,8 46, ,78 2 Konsumsi Pemerintah 10843,9 4, ,17 3 Pembentukan Modal 35428,9 14, ,39 4 Perubahan Stock -3187,9-1, ,72 5 Ekspor 82900,8 34, ,94 Total , Sumber: Hasil analisis 2007

116 Secara sektoral bahwa permintaan akhir penyumbang terbesar adalah sektor industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (12,49%), sektor industri makanan minuman dan tembakau (11,96%), sektor industri alat angkutan, mesin dan peralataanya (9,45%), sektor pertambangan minyak, gas dan panas bumi (6,83%) dan sektor perdagangan (5,94) dari total permintaan akhir (Tabel 32). Tingginya permintaan akhir oleh industri di Jawa Barat mendorong investasi masuk, sehingga perlunya peningkatan investasi dalam bidang industri dan perdagangan yang merata khususnya UKM pada rumah tangga untuk dapat peningkatan kesejahteraan masyarakat yang seimbang antara wilayah yang maju dan wilayah terbelakang. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah. Ketimpangan ini menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Tabel 32 Struktur permintaan akhir berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar di Provinsi Jawa Barat tahun 1999 (milyar rupiah) No Sektor Nilai Persentase 1 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 29664,3 12,49 2 Industri makanan minuman dan tembakau 28417,8 11,96 3 Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 22448,2 9,45 4 Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 16228,8 6,83 5 Perdagangan 14101,5 5,94 Sumber: Hasil analisis 2007 Struktur Konsumsi Rumah Tangga Struktur konsumsi rumah tangga terhadap barang dan jasa penduduk Jawa Barat berasal dari sektor yang didominasi oleh sektor industri makanan, minuman dan tembakau (25,38%) (Tabel 33). Sumbangan konsumsi rumah tangga terbesar dalam sektor industri makanan, minuman dan tembakau sesuai dengan share dari lapangan usaha pada PDRB terbesar di Jawa Barat yaitu industri pengolahan khususnya industri pengolahan bukan migas sebesar 41,74 persen dari total PDRB Jawa Barat, tahun 2005 (Lihat Tabel 5). Seperti telah dijelaskan pada pembahsan terdahulu bahwa sebaran pembangunan ekonomi di Jawa Barat antar kota/kabupaten tidak merata. Rustiadi, et al. (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa upaya untuk membangun keterkaitan dan mengatasi masalah disparitas antar wilayah: 1) Mendorong pemerataan investasi, investasi harus terjadi pada

117 semua sektor dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah bisa berkembang 2) Mendorong pemerataan permintaan, setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga bisa menciptakan demand untuk masing-masing produk, 3) mendorong pemerataan tabungan, tabungan sangat diperlukan untuk bisa memacu investasi. Tabel 33 Struktur konsumsi rumah tangga berdasarkan sektoral peringkat lima sektor terbesar di Provinsi Jawa Barat tahun 1999 (milyar rupiah) No Sektor Nilai Persentase 1 Industri makanan minuman dan tembakau 28320,4 25,38 2 Hotel dan Restoran 11053,9 9,91 3 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 9521,6 8,53 4 Perdagangan 8452,2 7,58 5 Jasa-jasa lainnya 8160,6 7,31 Sumber: Hasil analisis 2007 Pertumbuhan ekonomi regional Jawa Barat dapat berkembang dengan meningkatkan komponen konsumsi rumah tangga. Terdapat strategi pengembangan wilayah yaitu strategi demand side yaitu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah tersebut dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. Analisis Multiplier Analisis multiplier bertujuan untuk melihat dampak perubahan atau peningkatan permintaan akhir di suatu sektor ekonomi terhadap semua sektor yang ada tiap satu satuan perubahan jenis multiplier. Multiplier kali ini hanya membahas tentang multiplier pendapatan. Multiplier Pendapatan Multiplier pendapatan menghitung jumlah kenaikan upah dan gaji atau pendapatan rumah tangga diseluruh perekonomian jika permintaan akhir disuatu sektor meningkat satu-satuan. Hasil analisis multiplier pendapatan dideskripsikan pada Tabel 34.

118 Sub sektor yang memiliki nilai multiplier pendapatan tipe I terbesar adalah industri barang-barang dari plastik sebesar 4,57, artinya jika ada peningkatan permintaan akhir di sektor industri barang-barang dari plastik sebesar 1 rupiah maka akan meningkatkan pendapatan di semua sektor sebesar 4,57 rupiah. Sektor kedua dan seterusnya adalah industri karet dan barang-barang dari karet (4,49), industri mesin peralatan dan perlengkapannya (3,36), industri kertas, barang dari kertas, dan sejenisnya (3,28), serta industri tekstil (3,13). Berdasarkan Tabel 35 nilai multiplier pendapatan tipe II adalah industri barang-barang dari plastik sebesar 6.25 menunjukkan bahwa pendapatan akan meningkat sebesar 6,25 rupiah jika sektor rumah tangga dimasukkan dalam model. Sektor kedua dan seterusnya adalah industri karet dan barang-barang dari karet (6,14), industri mesin peralatan dan perlengkapannya (4,60), industri kertas, barang dari kertas, dan sejenisnya (4,49), industri tekstil (4,28). Tabel 34 Multiplier pendapatan tipe I sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Barat tahun 1999 Peringkat Sektor Tipe I 1 Industri barang-barang dari plastik 4,57 2 Industri karet dan barang-barang dari karet 4,49 3 Industri mesin peralatan dan perlengkapannya 3,36 4 Industri kertas, barang dari kertas, dan sejenisnya 3,28 5 Industri tekstil 3,13 6 Real estat dan usaha persewaan bangunan 3,09 7 Industri semen 2,96 8 Minyak dan gas bumi 2,93 9 Jasa angkutan udara 2,83 10 Industri pengolahan lainnya 2,79 Sumber: Hasil analisis 2007 Berdasarkan Tabel 34 dan 35, sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat adalah sektor industri. Sehingga perlu didorong peningkatan investasi atau penambahan input (kredit) terhadap sektor industri. Dorongan investasi terhadap sektor industri akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan berdampak pada pola pengeluaran rumah tangga. Investasi tersebut dapat secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan semakin tingginya tingkat produksi

119 yang akan mengurangi tingkat pengangguran dan mendorong konsumsi sehingga masyarakat lebih maju. Tabel 35 Multiplier pendapatan tipe II sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Barat tahun 1999 Peringkat Sektor Tipe II 1 Industri barang-barang dari plastik 6,25 2 Industri karet dan barang-barang dari karet 6,14 3 Industri mesin peralatan dan perlengkapannya 4,60 4 Industri kertas, barang dari kertas, dan sejenisnya 4,49 5 Industri tekstil 4,28 6 Real estat dan usaha persewaan bangunan 4,22 7 Industri semen 4,06 8 Minyak dan gas bumi 4,00 9 Jasa angkutan udara 3,87 10 Industri pengolahan lainnya 3,81 Sumber: Hasil analisis 2007 Dorongan investasi terhadap sektor industri akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan berdampak pada pola pengeluaran rumah tangga. Investasi tersebut dapat secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan semakin tingginya tingkat produksi yang akan mengurangi tingkat pengangguran dan mendorong konsumsi sehingga masyarakat lebih maju. Besarnya pengaruh pengeluaran/konsumsi rumah tangga terhadap PDRB Jawa barat dapat dilihat juga pada Tabel 6 (Bab V). Pengeluaran/konsumsi rumah tangga sebesar 64,53 persen dari total PDRB, dengan konsumsi makanan sebesar 36,96 persen dan konsumsi bukan makanan sebesar 27,56 persen dari total PDRB Jawa Barat. Sehingga pembangunan ekonomi Jawa Barat akan dapat meningkat dengan semakin besarnya konsumsi rumah tangga. Keterkaitan antara konsumsi/pengeluaran per kapita rumah tangga dengan PDRB per kapita tidak terlepas pula dari pendapatan yang diterima oleh rumah tangga itu sendiri. Kredit sebagai salah satu input dalam pendapatan rumah tangga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi/pengeluaran rumah tangga dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi PDRB per kapita wilayah Provinsi Jawa Barat.

120 Kab. Kuningan Kab. Ciamis Kab. Indramayu Kab. Bekasi Kota Cirebon Kredit (Rp) Kab Cirebon Kota Bogor 0 Kota Banjar PDRB/Kapita Sumber: data BPS, olahan 2007 Gambar 23 Sebaran rata-rata kredit rumah tangga dengan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Barat, tahun Gambar 23 menggambarkan scatter antara kredit dan PDRB per kapita. Hubungan antara kredit dengan PDRB per kapita tidak linear artinya rata-rata nilai kredit yang diambil rumah tangga tiap kota/kabupaten besar tidak berarti nilai PDRB per kapita yang dihasilkan juga besar. Namun sebagian lagi, rata-rata nilai kredit kota/kabupaten kecil maka PDRB per kapita cenderung juga kecil. Sehingga dapat dikatakan bahwa secara rata-rata masyarakat Jawa Barat belum memanfaatkan secara maksimal dan optimal adanya lembaga keuangan khususnya dalam meminjam dan investasi serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan manfaat kredit itu sendiri karena sebagian besar masyarakat Jawa Barat berada di perdesaan, dimana masyarakat perdesaan masih memegang tradisi yang kuat serta terlalu banyaknya prosedur yang diajukan oleh lembaga keuangan yang sangat menyulitkan masyarakt perdesaan. Wilayah di Jawa Barat yang dengan nilai kredit dan PDRB per kapita yang cukup besar terdapat pada Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu dapat berkembang karena besarnya share PDRB dari sektor pertambangan, industri migas dan pertanian yang pelaku ekonominya sebagian besar adalah pengusaha dan mudah dalam mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan. Sedangkan Kabupaten Bekasi share PDRB terbesar adalah sektor

121 industri pengolahan non migas. Wilayah dengan rata-rata nilai kredit yang besar tetapi memiliki PDRB yang kecil adalah Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Ciamis, dimana kedua kabupaten tersebut memiliki share terbesar dari PDRB adalah sektor pertanian yang sangat sulit untuk berkembang dan maju karena upah/gaji petani yang sangat kecil dan kesejahteraan masyarakatnya rendah. Apabila kedua Kabupaten tersebut ingin dapat meningkatkan PDRB, maka secara tidak langsung harus dapat meningkatkan kesejahteraan petaninya yaitu salah satunya dengan adanya penambahan modal seperti pemberian rangsangan investasi (kredit produktif) dan pengetahuan yang cukup khususnya dalam kegiatan produktif, sehingga produktivitasnya meningkat dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan riilnya. Sedangkan wilayah yang memiliki nilai ratarata kredit dan PDRB per kapitanya rendah adalah Kota Banjar, Kota Bogor, dan Kabupaten Cianjur. Ketiga wilayah tersebut memiliki share terbesar PDRB adalah dari sektor perdagangan. Untuk mendorong akselerasi pemulihan ekonomi Jawa Barat pada level intensitas yang tinggi dapat dianggap LDR ini masih menyimpan potensi yang besar. Sebab dilihat dari sisi penggunaannya, sebagian besar kredit yang disalurkan oleh bank-bank umum di Jawa Barat digunakan untuk kegiatan konsumsi. Pada triwulan I-2005 kredit konsumsi yang disalurkan mencapai 20,74 triliun rupiah atau sebesar 49,55 persen dari total kredit yang disalurkan dengan pertumbuhan kredit secara triwulanan sebesar 5,71 persen dan 31,60 persen secara tahunan. Sedangkan kredit yang disalurkan untuk kegiatan produktif berupa kredit investasi dan modal kerja pada triwulan I-2005 sebesar 21,12 triliun rupiah (50,45%) atau tumbuh sebesar 0,44 persen. Dengan demikian ditinjau dari aspek pertumbuhan, maka pertumbuhan kredit produktif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan kredit konsumsi. Hal ini menunjukkan dukungan sektor lembaga keuangan terhadap perkembangan investasi dan kegiatan ekonomi lainnya di Jawa Barat perlu dipacu dengan maksimal sehingga dapat berpengaruh positif terhadap intensitas program akselerasi pemulihan ekonomi Jawa Barat. Selain daripada itu pemulihan perekonomian Jawa Barat dengan nilai kredit investasi dan modal kerja dapat ditingkatkan dengan memfokuskan pada pembiayaan bagi sektor-sektor produktif yang berprospek seperti industri

122 pengolahan (manufaktur). Potensi industri manufaktur di Jawa Barat cukup besar terutama untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri kenderaan bermotor, barang-barang elektronika, mesin-mesin, industri alas kaki, industri makanan olahan, industri kulit dan besi, kerajinan keramik, produk agroindustri, pupuk, industri peralatan informasi dan komunikasi, dan industri barang-barang rumah tangga. Semua produk-produk yang berasal dari sektor industri tanpa migas tersebut telah menyumbang 95 persen dari pangsa sektor industri pengolahan di Jawa Barat. Sedangkan sektor industri pengolahan yang merupakan leading sector sebesar 9,30 triliun rupiah hingga 11,4 triliun rupiah serta sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar 7,76 triliun rupiah, diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian Jawa Barat. Rendahnya nilai kredit yang disalurkan pada sektor tersebut tidak sebanding dengan potensi sektor industri pengolahan di Jawa Barat. Posisi kredit yang disalurkan ke sektor pertanian pada triwulan I-2005 hanya sebesar 1,14 triliun rupiah. Kondisi ini sangatlah kontras dengan wilayah pertanian dan perkebunan Jawa Barat yang sangat luas serta dijadikannya subsektor agrobisnis sebagai bisnis inti (core business) dalam program pembangunan ekonomi Jawa Barat. Dari hasil estimasi pada Tabel 36 antara pembangunan perekonomian Jawa Barat (PDRB) dengan sosial ekonomi rumah tangga menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi Jawa Barat dipengaruhi oleh jumlah bank di tiap wilayah kota/kabupaten, kredit rumah tangga dan tabungan rumah tangga. Dimana semakin banyak jumlah bank maka akan dapat meningkatkan pendapatan wilayah dengan besarnya investasi-investasi yang dilakukan oleh lembaga keuangan. Begitupula dengan tabungan rumah tangga, semakin besar minat rumah tangga dalam menginvestasikan uangnya ke lembaga keuangan maka akan besar pula dalam menggerakkan perekonomian Jawa Barat. Peningkatan permintaan dan penyaluran kredit oleh lembaga keuangan akan mendorong produktivitas masyarakat dan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga sehingga dapat meningkatkan perkembangan ekonomi Jawa Barat.

123 Tabel 36 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi produk domestik regional bruto (PDRB) di Provinsi Jawa Barat Variabel Bebas Koefisien Std.Error t-statistik Prob. (constanta) 16, , pertumbuhan penduduk 0, , kredit 0, ,893* pengeluaran 2, , Jumlah bank 1, ,592* pendapatan -3, , tabungan 0, ,979* R-squared 0.85 Prob(F-statistic) Implikasi Kebijakan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga terhadap Kesejaheraan Masyarakat dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat Hasil tinjauan Kebijakan Moneter tahun 2007 menunjukkan kinerja perekonomian Indonesia di awal tahun 2007 berpeluang cukup tinggi dan bahkan berpeluang untuk tumbuh lebih tinggi lagi. Peningkatan kegiatan perekonomian terlihat antara lain dari adanya tanda-tanda awal kenaikan minat investasi, perbaikan persepsi bisnis, peningkatan impor barang modal, peningkatan penjualan dan penurunan inventori. Namun, respon sisi penawaran tampak masih terkendala baik untuk peningkatan kapasitas (karena adanya masalah infrastruktur, energi dan iklim investasi) maupun untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas (karena biaya tinggi dalam perekonomian, rendahnya kualitas tenaga kerja dan semakin menurunnya usia produktif kapital). Selain daripada itu kondisi industri lembaga keuangan selama tahun 2006 cukup membaik, tercermin dari perkembangan positif berbagai indikator utama kinerja lembaga keuangan. Pertumbuhan kredit sudah menunjukkan beberapa hasil yang menggembirakan seperti yang tercermin pada pertumbuhan kredit yang cukup tinggi di awal tahun Sebagaimana yang dikemukakan dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM) Triwulan IV-2006, selama tahun 2006 perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan yang semakin membaik disertai dengan stabilitas makroekonomi dan keuangan yang tetap terjaga. Untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi, sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah perlu terus ditempuh guna mempercepat pembalikan siklus ekonomi atau mengurangi akselerasi

124 perlambatan pertumbuhan. Demikian pula, upaya mendorong perekonomian menuju keseimbangan internal dan eksternal perlu diprioritaskan dengan menerapkan kebijakan fiskal dan moneter secara lebih konsisten. Baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal perlu terus diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Begitupula, pada Provinsi Jawa Barat program-program akselerasi pemulihan ekonomi sudah berjalan cukup baik meskipun belum begitu optimal terutama dalam mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh guna meningkatkan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, perlunya sektor lembaga keuangan lebih meningkatkan komitmennya untuk berperan dalam mendorong perekonomian, khususnya perekonomian daerah. Hal itu dilandasi dengan masih rendahnya tingkat pertumbuhan kredit yang disalurkan dalam rangka pembiayaan sektor-sektor produktif berupa kredit investasi dan modal kerja Sedangkan peranan lembaga keuangan sangat strategis sebagai pemicu bagi berkembangnya iklim investasi dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi daerah yang meningkat. Bilamana kredit yang disalurkan tumbuh dengan pertumbuhan yang tinggi, dapat dipastikan akselerasi peningkatan kegiatan ekonomi daerah akan mengalami pergerakan yang signifikan terutama dalam menciptakan iklim perekonomian daerah yang berpeluang menjanjikan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat. Hal yang menyebabkan agak tersendatnya perekonomian Jawa Barat dan bahkan tidak memberikan perubahan yang berarti pada sektor riil, diindikasikan oleh BI rate yang berfungsi sebagai monetary tool yang menghubungkan antara sektor riil dengan moneter tidak dapat memberikan insentif kepada sektor riil untuk bergerak. Fenomena ini mengindikasikan telah terjadi disintermediasi lembaga keuangan yang diindikasikan oleh sedikitnya kucuran dana pihak ketiga (DPK) dalam bentuk kredit investasi dan tidak adanya peningkatan investasi yang signifikan mulai pertengahan tahun 2006 sampai awal tahun Bahkan kecenderungan investasi pada periode tersebut malah menurun. Padahal dalam tataran teori jika suku bunga turun maka Investasi akan meningkat. Hal ini menjadi salah satu penyebab pergerakan di sektor riil masih terhambat. Indikator

125 lain terhambatnya pergerakan sektor riil adalah pertumbuhan GDP per sektor masih rendah terhadap sektor yang memiliki sumbangan yang cukup besar dalam penerapan tenaga kerja contohnya pertanian dan industri tekstil. Efeknya adalah pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat di tahun Salah satu indikasi adanya hambatan di sektor riil adalah terjadinya disintermediasi lembaga keuangan. Bank sebagai pihak intermediasi antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak kekurangan dana diharapkan mampu untuk menjadi pemacu pembangunan ekonomi. Dana pihak ketiga yang dikumpulkan oleh bank jika disalurkan dengan baik kepada debitur akan menjadi pemacu pertumbuhan dan stimulus disektor riil. Tetapi yang terjadi di Jawa Barat adalah penurunan BI rate masih belum dapat meningkatkan investasi. Besarnya dana pihak ketiga yang disalurkan lembaga keuangan dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu pada saat sebelum krisis pada tahun 1997 dimana terjadi excess demand kredit lembaga keuangan dan periode setelah krisis dimana terjadi excess supply kredit seperti terlihat pada Gambar 24. Pada periode sebelum krisis (1993 sampai 1996) di mana perekonomian mengalami booming, penyaluran kredit lembaga keuangan lebih banyak didorong oleh permintaan kredit (demand driven). Kredit lembaga keuangan mengalami pertumbuhan yang relatif cepat rata-rata sebesar 25,58 persen per tahun, atau lebih tinggi dari pertumbuhan lending capacity sektor lembaga keuangan yang tumbuh sebesar 22,05 persen per tahun. Pertumbuhan kredit yang pesat di atas pertumbuhan lending capacity tercermin dari tingginya tingkat LDR selama periode tersebut yakni mencapai rata-rata 108,72 persen. Keadaan tersebut didorong oleh euphoria, keadaan yang mengagumkan karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu lama, yang digambarkan sebagai economic miracle. Permintaan kredit yang tinggi ini disebabkan juga oleh ketergantungan sektor riil kepada lembaga keuangan yang sangat tinggi untuk membiayai usaha di sektor riil. Hal ini diindikasikan oleh debt to equity ratio yang tinggi pada perusahaanperusahaan di sektor riil.

126 Sumber: Bank Indonesia 2004 Gambar 24 Periode excess demand credit dan excess supply credit di Indonesia. Dimasa krisis ekonomi, kapasitas untuk memberikan kredit oleh lembaga keuangan turun, karena disamping risiko yang tinggi bank tidak mempunyai cukup liquiditas dalam menyalurkan kreditnya kepada sektor riil diamping itu DPK yang ada di bank sangat rendah, karena pada saat krisis terjadi rush di sektor lembaga keuangan. Oleh karena itu bank lebih memilih untuk memperbaiki modalnya dalam bentuk penambahan credit adequacy ratio (CAR). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penuruan kredit disebabkan oleh faktor penawaran kredit lembaga keuangan yang biasa disebut dengan credit crunch. Pasca krisis ekonomi sampai dengan saat ini masalah penyaluran kredit adalah terjadinya kelebihan penawaran pada penyaluran kredit. Hal ini dikarenakan peningkatan DPK yang cukup signifikan sampai tahun Pada tahun 2006 DPK mencapai 10,4 persen namun akibat dari penanggulangan pasca krisis, BI rate yang tinggi menyebabkan DPK lebih banyak disimpan dalam bentuk SBI. Implikasi dari hal ini adalah bank lebih suka menanamkan DPK yang telah dikumpulkan kedalam bentuk SBI dan cenderung enggan untuk menyalurkan kreditnya ke sektor riil. Hal ini juga terjadi karena pemerintah belum menerapkan regulasi yang mengatur tentang berapa besar proporsi penyimpanan DPK kedalam SBI oleh bank.

127 Pergeseran paradigma SBI dari penyangga likuiditas kepada investasi menyebabkan penurunan BI rate tidak berpengaruh banyak kepada sektor riil. SBI dijadikan alat investasi oleh bank-bank komersial untuk mendapatkan untuk melalui DPK yang telah mereka kumpulkan. Hal ini menyebabkan loan to deposit ratio (LDR) lembaga keuangan komersial kini rendah, secara keseluruhan DPK bank-bank komersil di Indonesia sekitar 64 persen. Padahal LDR suatu bank yang baik adalah sekitar persen. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya ada dana yang siap untuk dikucurkan untuk kredit tetapi lembaga keuangan enggan untuk menyalurkannya kepada sektor riil. Belum optimalnya fenomena penurunan BI rate juga diindikasikan oleh penurunan BI rate tidak didukung oleh penurunan sukubunga kredit lembaga keuangan sehingga sulit untuk mentransmisikan kebijakan ini kepada sektor riil. Yang pada akhirnya terjadi kelebihan penawaran kredit akibat sedikitnya kredit yang diambil oleh sektor riil, walaupun sebenarnya sektor riil sangat mengharapkan kucuran kredit tersebut. Sehingga dalam pemulihan ekonomi Jawa Barat diperlukan suatu pendekatan interpolasi horizontal dan diagonal yang berlandaskan pada iklim partisipasional antara kelompok lembaga keuangan, kelompok dunia usaha, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kabupaten dan kota, serta komponen pendukung lainnya untuk menciptakan suatu program big push dengan sasaran menciptakan nilai tambah yang menguntungkan. Untuk mendukung pendekatan tersebut hendaknya sektor lembaga keuangan lebih membuka diri melalui suatu peran dialogis yang intens bagi perluasan akses dalam mendapatkan kredit investasi dan modal kerja. Pertimbangan sektor lembaga keuangan atas potensi terjadinya kredit macet hendaknya tidak menjadi dasar bagi tertahannya laju pengucuran kredit, melainkan harus dilihat secara proporsional dengan tidak menyamaratakan (generalisasi) posisi debitur berpredikat baik dengan debitur berpotensi bermasalah. Sektor lembaga keuangan seharusnya lebih meningkatkan profesionalisme dan kepiawaiannya dalam merumuskan skema penyaluran kreditnya kepada para calon debitur namun tetap pada jalur manajemen yang berbasis risiko. Selain daripada itu lembaga keuangan perlu lebih menggalakkan penyaluran kreditnya khususnya pada wilayah kabupaten-kabupaten dalam kredit

128 produktif baik kredit modal kerja atau produksi. Kredit konsumtif juga dipertahankan bahkan ditingkatkan penyalurannya sehingga dapat meningkatkan konsumsi rumahtangga (sektor riil) di Jawa Barat Keterkaitan Kesejahteraan Rumah Tangga dengan Pembangunan Perekonomian di Jawa Barat Peningkatan produktivitas rumah tangga secara langsung dan tidak langsung dapat dilakukan melalui penggalian dan pengembangan potensi yang ada di rumah tangga yang meliputi sumberdaya manusia, alam, man-made capital dan social capital. Produktivitas di rumah tangga berjalan dengan memanfaatkan potensi rumah tangga yang dapat menjamin keberlanjutan kesejahteraan rumah tangga itu. Produktivitas rumah tangga juga sangat dipengaruhi oleh modal yang dimiliki rumah tangga sebagai sarana penunjang kegiatan produktif dan konsumtifnya, dalam hal ini salah satu modal atau input rumah tangga yang dapat meningkatkan produktivitas rumah tangga adalah kredit rumah tangga. Kredit rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan siap dibelanjakan, tabungan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga dan lama pendidikan kepala rumah tangga. Hasil estimasi rata-rata kredit rumah tangga di Jawa Barat menunjukkan bahwa apabila pendapatan siap dibelanjakan, tabungan rumah tangga, pengeluaran rumah tangga dan lama pendidikan kepala rumah tangga meningkat maka akan meningkatkan kredit rumah tangga. Dimana sebaran ratarata kredit di Jawa Barat pada wilayah kota dan kabupaten tidak tersebar secara merata. Rata-rata kredit rumah tangga baik kredit produktif maupun konsumtifnya pada wilayah kota di Jawa Barat lebih besar daripada wilayah kabupatennya. Sebaran rata-rata produktivitas rumah tangga antar wilayah berbeda bahkan terjadi disparitas, dimana pada wilayah yang maju lebih tinggi rata-rata produktivitasnya daripada wilayah lainnya. Produktivitas rumah tangga akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Pendapatan rumah tangga itu sendiri dipengaruhi oleh kredit rumah tangga, tabungan rumah tangga, umur kepala rumah tangga dan lama pendidikan kepala rumah tangga. Hasil estimasi rata-rata pendapatan rumah tangga di Jawa Barat menunjukkan bahwa apabila kredit rumah tangga, tabungan rumah tangga

129 dan lama pendidikan kepala rumah tangga meningkat maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga, tetapi apabila umur kepala rumah tangga meningkat akan menurunkan pendapatan rumah tangga, hal ini karena sebagian besar umur kepala rumah tangga berusia hampir diatas usia produktif. Sebaran rata-rata pendapatan rumah tangga pada wilayah kota dan kabupaten tersebar tidak merata. Pendapatan rumah tangga secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi tabungan rumah tangga dan pengeluaran rumah tangga, dimana pengeluaran rumah tangga terdiri dari pengeluaran untuk pangan, pengeluaran untuk barang dan jasa, pengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya, dan pengeluaran untuk barang tahan lama. Pengeluaran untuk pangan dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, lama pendidikan kepala rumah tangga, kredit rumah tangga dan konsumsi non pangan. Hasil estimasi ratarata pendapatan rumah tangga di Jawa barat menunjukkan bahwa apabila jumlah anggota keluarga, pendapatan rumah tangga, lama pendidikan kepala rumah tangga dan kredit rumah tangga meningkat maka akan meningkatkan pengeluaran untuk pangan, sedangkan jika pengeluaran untuk non pangan meningkat maka akan menurunkan pengeluaran untuk pangan. Dimana sebaran rata-rata pengeluaran untuk pangan di Jawa Barat pada wilayah kota lebih besar daripada wilayah kabupaten. Pengeluaran untuk barang dan jasa dipengaruhi oleh lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan siap dibelanjakan, tabungan rumah tangga, kredit rumah tangga, pengeluaran pangan dan pengeluaran perumahan. Hasil estimasi rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa di Jawa Barat menunjukkan bahwa apabila lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan siap dibelanjakan, kredit rumah tangga dan pengeluaran perumahan meningkat maka akan meningkatkan pengeluaran untuk barang dan jasa, sedangkan tabungan rumah tangga dan konsumsi perumahan meningkat akan menurunkan pengeluaran untuk barang dan jasa. Pengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya dipengaruhi oleh lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, tabungan rumah tangga, kredit rumah tangga, pengeluaran pangan, pengeluaran barang jasa dan pengeluaran barang tahan lama. Hasil estimasi rata-rata pengeluaran untuk

130 perumahan dan fasilitasnya di Jawa Barat menunjukkan bahwa apabila lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, kredit rumah tangga dan pengeluaran barang jasa meningkat maka akan meningkatkan pengeluaran untuk perumahan dan fasiltasnya, sedangkan tabungan rumah tangga, pengeluaran pangan dan pengeluaran barang tahan lama meningkat akan menurunkan pengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya. Pengeluaran untuk barang tahan lama dipengaruhi oleh lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, tabungan rumah tangga, kredit rumah tangga, pengeluaran pangan dan pengeluaran barang jasa. Hasil estimasi rata-rata pengeluaran untuk barang tahan lama di Jawa Barat menunjukkan bahwa apabila lama pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan rumah tangga, kredit rumah tangga dan pengeluaran barang jasa meningkat maka akan meningkatkan pengeluaran untuk barang tahan lama, sedangkan tabungan rumah tangga dan pengeluaran pangan meningkat akan menurunkan pengeluaran barang tahan lama. Selain daripada pengeluaran-pengeluaran rumah tangga terdapat tabungan rumah tangga yang dipengaruhi pendapatan rumah tangga. Hasil estimasi rata-rata tabungan rumah tangga di Jawa Barat menunjukkan bahwa apabila lama pendidikan, pendapatan rumah tangga dan kredit rumah tangga meningkat akan meningkatkan tabungan rumah tangga, sedangkan apabila pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan meningkat akan menurunkan tabungan rumah tangga. Sebaran rata-rata tabungan rumah tangga pada wilayah kota di Jawa Barat lebih besar daripada wilayah kabupaten. Cerminan tingkat kesejahteraan rumah tangga pada suatu wilayah dapat dilihat dari tingkat pengeluaran-pengeluaran rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan rata-rata tingkat kesejahteraan rumah tangga pada kota seperti Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bandung lebih besar daripada wilayah kota/kabupaten lainnya. Selain daripada itu tingkat pengeluaran/konsumsi rumah tangga yang merupakan cerminan dari kesejahteraan rumah tangga di Jawa Barat akan mempengaruhi perekonomian Jawa Barat. Komponen struktur nilai tambah rumah tangga terhadap perekonomian Jawa Barat dapat dilihat pada komponen upah dan gaji yang sebesar 27,79 persen,

131 angka ini cukup besar dalam mempengaruhi pembangunan perekonomian Jawa Barat. Komponen struktur permintaan akhir di Jawa Barat terbesar berada pada konsumsi rumah tangga sebesar 46,97 persen dari total komponen struktur nilai tambah, dengan sektoral terbesarnya adalah sektor industri. Dengan demikian dalam peningkatan pembangunan perekonomian Jawa Barat perlunya peningkatan investasi dalam sektor industri dan perdagangan guna peningkatan konsumsi/pengeluaran masyarakat lebih meningkat dan dapat mengurangi pengangguran dengan menambahkan usaha modal dan tenaga kerja dalam sektor tersebut. Pendapatan regional Jawa Barat salah satunya dimanfaatkan sebagai investasi. Apabila pendapatan regional meningkat maka investasi juga akan meningkat serta akan memperbesar modal regional yang disalurkan melalui lembaga keuangan di Jawa Barat. Begitupula tabungan rumah tangga akan memperbesar modal lembaga keuangan yang dapat dimanfaatkan kembali oleh rumah tangga sebagai salah satu input sebagai kredit rumah tangga. Namun demikian masih terdapat kesenjangan pembangunan perkonomian antara wilayah wilayah di Jawa Barat, dimana wilayah yang maju semakin maju sedangkan wilayah yang terbelakang semakin tertinggal. Sehingga perlunya kebijakankebijakan yang berbeda antar wilayah khususnya penanganan yang berbeda antara Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Depok dengan wilayah kota/kabupaten lainnya yang lebih terbelakang dalam penanganan peningkatan perekonomian wilayahnya dengan meningkatkan modal/input rumah tangga (UKM) sehingga dapat meningkatkan produktivitas rumah tangga, meningkatkan pendapatan dan konsumsi rumah tangga.

132 VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Semakin besar kredit rumah tangga akan meningkatkan produktivitas rumah tangga, pendapatan rumah tangga, konsumsi/pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan baik pengeluran untuk barang dan jasa, pengeluaran untuk perumahan dan fasilitasnya, pengeluaran untuk barang tahan lama dan tabungan. Namun demikian masih terdapat kesenjangan tingkat kesejahteraan antara rumah tangga pengguna kredit konsumtif dan kredit produktif. Dimana rumah tangga pengguna kredit konsumtif lebih sejahtera dibandingkan dengan rumah tangga pengguna kredit produktif. 2. Sebaran tingkat rata-rata kredit rumah tangga di Jawa Barat antar wilayah masih terdapat kesenjangan. Tingkat rata-rata kredit terbesar hanya pada wilayah yang telah berkembang yaitu Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bekasi, sedangkan wilayah lainnya masih rendah. Tinggi dan rendahnya tingkat kredit antar wilayah berdampak pula pada tingkat konsumi/pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi tingkat rata-rata kredit maka semakin tinggi tingkat rata-rata konsumi/pengeluaran rumah tangga. Disparitas sosial ekonomi rumah tangga yang terjadi antar wilayah berdampak pada persebaran perekonomian Jawa Barat. Tetapi secara umum peranan konsumsi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap perekonomian Jawa Barat sebesar 46,97 persen. Hasil estimsi menunjukkan peran lembaga keuangan sangat besar dalam perekonomian Jawa Barat khususnya tingkat kredit rumah tangga, tabungan rumah tangga serta jumlah bank pada suatu wilayah. 3. Implikasi kebijakan untuk meningkatkan terciptanya iklim perekonomian wilayah yang lebih baik serta dapat meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat Jawa Barat perlu adanya pendekatan interpolasi horizontal dan diagonal yang berlandaskan pada iklim partisipasional antara kelompok perbankan, kelompok dunia usaha, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kabupaten dan kota, serta komponen pendukung lainnya. Untuk mendukung pendekatan tersebut hendaknya sektor lembaga keuangan lebih membuka diri

133 melalui suatu peran dialogis yang intens bagi perluasan akses dalam menyalurkan kredit investasi dan modal kerja guna peningkatan produksi serta kredit konsumsi dalam mendorong peningkatan ekonomi regional. Selain daripada itu, pemerintah perlu memperhatikan wilayah-wilayah yang kurang berkembang dengan penambahan investasi di sektor industri dan perdagangan. 7.2 Saran 1. Pemulihan perekonomian Jawa Barat dapat dibantu dengan peran lembaga keuangan dan pemerintah yaitu peningkatan penyaluran kredit untuk rumah tangga dengan mengembangkan usaha kecil dan menengah serta tidak menanamkannya ke dalam bentuk SBI. 2. Pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dan mengurangi pengangguran di Jawa Barat dengan lebih mengembangkan potensi sektor industri dan perdagangan. Sehingga perlunya modal (input) dalam sektor tersebut yang lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. 3. Dalam pembangunan perekonomian Jawa Barat, pemerintah perlu lebih meningkatkan pemerataan perekonomian antar wilayah di Jawa Barat dan tidak menitikberatkan pada wilayah tertentu yang telah berkembang seperti Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bekasi. Pengembangan yang dilakukan dengan pemerataan investasi, pemerataan permintaan, dan pemerataan tabungan. 4. Pemerintah kota dan kabupaten perlu mempertimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam wilayahnya sehingga dapat merangsang masyarakat dalam mengkonsumsi baik konsumsi pangan dan non pangan.

134 DAFTAR PUSTAKA Agung Juda, Bambang Kumiarso, Bambang Pramono, Erwin G.H, Andry Prasmuko, Nugroho, Joko Pastowo Credit Crunch di Indonesia, Setelah Krisis: Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan. Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia. [BPS] Badan Pusat Statistik Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input Output. Jakarta: BPS Jawa Barat Dalam Angka. Bandung: BPS Jawa Barat Dalam Angka. Bandung: BPS. Bahsan M Pengantar Analisis Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: CV. Rejeki Agung. Hermanto dan Andriati Struktur Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga Pedesaan di Jawa Timur. Prosiding Hasil Seminar Patanas Ke II, Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor: Departemen Pertanian. Irawan dan Suparmoko Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta: FE UGM. Kalangi Peranan Perkreditan dalam Pembangunan Pertanian di Provinsi Sulawesi Utara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Karina R Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyaluran Kredit Bank Umum terhadap Usaha Kecil di Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Koutsoyiannis A Theory of Econometrics, Edisi ke 2. New Jersey: Barnes dan Noble Books. Kunarjo Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Jakarta: UI Press. Kuncoro M Ekonomika Pembangunan (Teori, Masalah dan Kebijakan). Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Kuntjoro SU Permintaan Bahan Pangan Penting di Indonesia [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Mankiw NG Teori Makroekonomi. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomic 5 th Edition. Newyork and Basingstoke: Worth Publishers.

135 Muljono EL Eksekusi Grosse Akta Hipotek oleh Bank. Jakarta: Rineka Cipta. Pindyck RS dan DL Rubinfeld Microeconomic. Sixth Edition. Pearson Education inc. Pursito Kajian Efektivitas dan Faktor-Faktor Penyaluran Kredit dalam Pembiayaan Industri Kecil Menengah Pangan oleh Bank Rakyat Indonesia di Semarang [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachmina D Analisis Permintaan Kredit pada Industri Kecil (Kasus Jawa Barat dan Jawa Timur) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Riyadi dan DS Bratakusumah Perencanaan Pembanguan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rustiadi E, T. Kitamura Basic Trend in Land Use/Cover Change in Indonesia [paper]. Tokyo : Faculty of International Agricultural and Food Studies, Tokyo University of Agiculture. Rustiadi E, S Saefulhakim, dan DR Panuju Perencanaan dan Pengembangan Wilayah [diktat]. Bogor: Faperta IPB. Sariwulan T Perkreditan Perdesaan dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kecil (Studi Kasus Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Sartiyah Dampak Implementasi Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Utara: Suatu Analisis Simulasi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Siregar H Pembiayaan Pertanian: Potensi, Masalah Dan Pengembangan ke Depan [makalah]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Stevens RD dan CL Jabara Agricultural Development Principles, Economic Theory and Empirical Evidence. Baltimore and London: The Jhons Hopkins University. Suciani Peranan Lembaga Perkreditan terhadap Peningkatan Usaha Masyarakat Pedesaan di Kabupaten Tabanan Bali [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Sudarma Analisis Permintaan Kredit Usahatani Padi Sawah di Provinsi Bali [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor.

136 Surbakti HB Sistem Pengorganisasian Kredit Mikro dan Dampaknya terhadap Kinerjanya [tesis]. Bogor: Sekolah Pascarjana, Institut Pertanian Bogor. Suyatno T, HA Chalik, M Sukada, CTY Ananda dan DT Marala Dasar- Dasar Perkreditan. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tarigan R Ekonomi Regional (Teori dan Aplikasi). Jakarta: Bumi Aksara. Todaro MP Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development in the Third World Seventh Edition. New York: Pearson Education Limitied. Tomek WG dan KL Robinson Agricultural Product Prices. Ithaca and London: Cornell University Press. Walpole RE Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistics 3 rd Edition. Macmillan Publishing Co.Inc.

137 L A M P I R A N

138 Lampiran 1 Lembaran Kuisioner Kredit Konsumtif dan Sosial Ekonomi Rumah Tangga di Kota Bogor Analisis Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dalam Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 (DhonaYulianti/ A ) Kami mohon Bapak/ibu dapat mengisinya secara objektif dan benar karena kuisioner ini adalah untuk penelitian tesis dengan tujuan ilmiah Kabupaten/Kota Kecamatan I. Pengenalan Tempat Tinggal Jumlah Anggota Rumahtangga Jenis Pekerjaan Kepala RT Umur Kepala RT (tahun) Tingkat Pendidikan Kepala RT II. Sosial Rumahtangga III. Ekonomi Rumahtangga 1. Apakah lapangan usaha/bidang pekerjaan utama selama ini? a. Perdagangan b. Petanian c. Jasa-jasa d. Lainnya, tuliskan Berapakah pendapatan yang diterima selama sebulan dari pekerjaan utama? a b c d. > Berapakah pengeluaran pangan yang dikeluarkan selama sebulan? a b c d. > Berapakah pengeluaran non pangan yang dikeluarkan selama sebulan? a b c d. >

139 5. Berapakah tabungan rumah tangga selama sebulan? a b c d. > Apakah mempunyai kredit konsumtif pada sebulan terakhir? a. Ya b. Tidak 7. Berapakah jumlah kredit yang diambil selama sebulan terakhir? a b c d. > Berapa persen bunga per bulan yang harus dibayarkan? a. < 10 b c d. > Sumber kredit konsumtif : a. Program Bank b. Program Pemerintah c. Program Koperasi d. Perorangan e. Lainnya Apakah kredit yang bapak/ibu ambil berpengaruh terhadap pendapatan? a. Ya b. Tidak 11. Apakah kredit yang bapak/ibu ambil berpengaruh terhadap konsumsi rumahtangga? a. Ya b. Tidak

140 Lampiran 2 Lembaran Kuisioner Kredit Produktif dan Sosial Ekonomi Rumah Tangga di Kabupaten Sukabumi Analisis Keterkaitan Kredit dan Konsumsi Rumah Tangga dalam Pembangunan Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 (DhonaYulianti/ A ) Kami mohon Bapak/ibu dapat mengisinya secara objektif dan benar karena kuisioner ini adalah untuk penelitian tesis dengan tujuan ilmiah Kabupaten/Kota Kecamatan I. Pengenalan Tempat Tinggal Jumlah Anggota Rumahtangga Jenis Pekerjaan Kepala RT Umur Kepala RT (tahun) Tingkat Pendidikan Kepala RT II. Sosial Rumahtangga III. Ekonomi Rumahtangga 1. Apakah lapangan usaha/bidang pekerjaan utama selama ini? a. Perdagangan b. Petanian c. Jasa-jasa d. Lainnya, tuliskan Berapakah pendapatan yang diterima selama sebulan dari pekerjaan utama? a b c d. > Berapakah pengeluaran pangan yang dikeluarkan selama sebulan? a b c d. > Berapakah pengeluaran non pangan yang dikeluarkan selama sebulan? a b c d. >

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masalah Kemiskinan Indikator Kemiskinan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masalah Kemiskinan Indikator Kemiskinan II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masalah Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua provinsi di Indonesia. Provinsi yang miskin menghadapi masalah klasik, yaitu pertumbuhan versus distribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan indeks pembangunan manusia juga telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja melalui penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 Daftar Isi Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Isu-isu Pokok Pembangunan Ekonomi Daerah... 2 1.1.2 Tujuan... 5 1.1.3 Keluaran... 5

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat memiliki 25 kabupaten/kota. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10.

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dalam suatu negara sangat penting, karena pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal dan mandiri. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus dilaksanakan dengan berpedoman

Lebih terperinci

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Boks I Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Gambaran Umum Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang meningkat seiring masih berlangsungnya krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memacu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN BANK & LEMBAGA KEUANGAN 1

GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN BANK & LEMBAGA KEUANGAN 1 GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN BANK & LEMBAGA KEUANGAN 1 IX. KREDIT PERBANKAN A. Pengertian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa latin credo atau credere, yang berarti I believe, I trust, saya percaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemerataan pembangunan ekonomi merupakan hasil yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bagi sebuah negara. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang sangat luas. Menurut akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai suatu fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti pertumbuhan pendapatan perkapita, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia mempunyai cita cita yang luhur sebagaimana tertuang dalam Pembukuan UUD Tahun 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum menuju masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan tersebut, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih serius dengan penyebab

Lebih terperinci

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013

Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai 2013 i ANALISIS PENDAPATAN REGIONAL KABUPATEN PULAU MOROTAI 2013 ii KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas terbitnya publikasi Analisis Pendapatan Regional Kabupaten Pulau Morotai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Disparitas perekonomian antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Disparitas ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang teori-teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Selain itu akan dikemukakan hasil penelitian terdahulu

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya ialah kredit melalui perbankan. penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha. Bank

BAB I PENDAHULUAN. satunya ialah kredit melalui perbankan. penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha. Bank BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian suatu negara didukung oleh adanya suntikan dana dari pihak pemerintah baik melalui Lembaga Keuangan Bank (selanjutnya disingkat menjadi LKB) ataupun Lembaga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENERAPAN ISO 9001 DI PERUSAHAAN JASA KONSTRUKSI DAN KONTRIBUSINYA PADA PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) SERTA PENYERAPAN TENAGA KERJA KASUS DI KABUPATEN KAMPAR TRIANDI CHANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bank selain sebagai tempat menyimpan uang juga dikenal sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bank selain sebagai tempat menyimpan uang juga dikenal sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Tentang Kredit 2.1.1. Pengertian Kredit Bank selain sebagai tempat menyimpan uang juga dikenal sebagai tempat meminjam uang (kredit) bagi masyarakat yang membutuhkannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Secara umum perekonomian Indonesia 2005 menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang Berkembang (NSB) pada awalnya identik dengan strategi pertumbuhan ekonomi, yaitu usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghimpun dana dari masyarakat (tabungan, giro, deposito) dan menyalurkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghimpun dana dari masyarakat (tabungan, giro, deposito) dan menyalurkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Pengertian Kredit Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang, kegiatan bank ialah menghimpun dana dari masyarakat (tabungan, giro, deposito)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar yang dihadapi oleh setiap negara di dunia dan setiap negara berusaha untuk mengatasinya. Kemiskinan adalah faktor yang

Lebih terperinci

08. Tabel biaya dan produksi suatu barang sebagai berikut : Jumlah produksi Biaya tetap Biaya variabel Biaya total 4000 unit 5000 unit 6000 unit

08. Tabel biaya dan produksi suatu barang sebagai berikut : Jumlah produksi Biaya tetap Biaya variabel Biaya total 4000 unit 5000 unit 6000 unit EKONOMI KHUSUS 01. Dalam rangka menjaga kestabilan arus uang dan arus barang dalam perekonomian, bank sentral dapat melakukan penjualan dan pembelian surat-surat berharga di bursa efek. Kebijaksanaan bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). Salah satu indikator kemajuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang merata. Namun, dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pendapatan yang merata. Namun, dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan pembangunan ekonomi tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera dengan cara mencapai pertumbuhan ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk di suatu negara dalam jangka panjang yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Seseorang yang melakukan

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan dasarnya. Seseorang yang melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya memenuhi kebutuhannya, seseorang akan melakukan sesuatu kegiatan yang disebut konsumsi. Konsumsi merupakan suatu kegiatan menikmati nilai daya guna dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Pendapatan Pendapatan merupakan jumlah dari seluruh uang yang diterima seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA)

ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA) ANALISIS PERKEMBANGAN PASAR TENAGA KERJA INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS DKI JAKARTA) DITA FIDIANI H14104050 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI Oleh ARISA SANTRI H14050903 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara berkembang hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi yang mengakibatkan lambatnya

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang teori teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Selain itu akan dikemukakan juga hasil hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mengantisipasi ketidak seimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif, artinya perubahan yang terjadi pada sebuah ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

L A M P I R A N. Kantor Bank Indonesia Ambon 1 PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL

L A M P I R A N. Kantor Bank Indonesia Ambon 1 PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL No. Sektor 2006 2007 2008. 1 Pertanian 3.90% 4.01% 3.77% 0.31% 2.43% 3.29% 2.57% 8.18% 5.37% 4.23% 2.69% -0.49% 2 Pertambangan dan Penggalian -3.24% 77.11% 8.98%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang terencana menuju keadaan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik daripada kondisi yang lalu (Tanuwidjaya,

Lebih terperinci