HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda Total jumlah sampel ikan yang diamati sebanyak 32 ekor. Untuk mengetahui kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang total dan berat ikan. Dari 32 sampel diperoleh ukuran panjang total terendah yaitu 7 cm dan panjang total tertinggi 11 cm dengan berat terendah 2,1 g dan berat tertinggi 8,9 g. Ukuran panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran S (<8,5 cm), M (8,5-10 cm) dan L (>10 cm). Data ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengamatan infestasi cacing parasitik berdasarkan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara Ukuran Panjang Jumlah S M L Jumlah Sampel yang diamati Jumlah Sampel terinfestasi cacing Prevalensi (%) 47, ,86 46,88 Chi Kuadrat (X 2 ) = 5,991 Data pada Tabel 2 menunjukkan hubungan prevalensi infestasi cacing parasitik dengan ukuran panjang tubuh ikan Bunglon Batik Jepara. Total sampel yang diamati 32 ekor dan 15 sampel terinfestasi cacing parasitik (46,88%). Prevalensi infestasi cacing parasitik dari setiap kelompok ukuran sampel relatif tinggi. Hasil uji statistik non parametrik Chi Kuadrat (X 2 ) menunjukkan bahwa nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih rendah dari nilai Chi Kuadrat tabel (Chi Kuadrat = 5,991). Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara ukuran panjang ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik. Berdasarkan waktu pengambilan sampel, jumlah sampel ikan yang diamati terdiri dari 20 ekor pada bulan April dan 12 ekor pada bulan September. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan

2 19 April yaitu S, M dan L. Pada bulan September ukuran panjang sampel ikan terdiri dari ukuran S dan M. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan April dan September disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan ukuran panjang tubuh Bulan Ukuran Panjang Jumlah Ikan yang Diamati Jumlah Ikan yang Terinfestasi Jumlah Total Cacing Parasitik Prevalensi (%) Intensitas Cacing Parasitik April S ,57 6,50 (6-7) M ,33 3 (2-4) L ,86 1,67 (1-2) Jumlah ,40 (1-7) September S (1-7) M (2-11) L Jumlah ,66 4 (1-11) Data hasil penelitian menunjukkan prevalensi infestasi parasit pada bulan April lebih rendah daripada bulan September. Prevalensi terendah infestasi cacing parasitik pada bulan April ditemukan pada ikan yang berukuran S yaitu sebesar 28,57%, kemudian meningkat menjadi 33,33% pada ikan ukuran M, dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran L yaitu sebesar 42,86%. Pada bulan September, prevalensi infestasi cacing parasitik terendah pada ikan dengan ukuran S yaitu 60% dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran M sebesar 100%. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan prevalensi infestasi cacing parasitik seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Prevalensi infestasi cacing parasitik relatif tinggi pada ikan berukuran lebih besar (M dan L). Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Akinsanya et al. (2007) yang menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil lebih sering terinfestasi parasit dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar. Namun hasil penelitian ini selaras dengan Poulin (2000) diacu dalam Dezfuli et al. (2001) bahwa adanya kecenderungan akumulasi parasit pada inang dari waktu ke waktu sehingga parasit sering ditemukan pada inang yang lebih besar daripada inang yang lebih kecil.

3 20 Faktor lain yang mempengaruhi tingginya tingkat infestasi cacing parasitik pada ikan berukuran besar diduga karena adanya pengaruh jenis makanan yang dikonsumsi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bush et al. (2001) diacu dalam Tavares et al. (2005) bahwa ikan yang lebih besar sering mengalami perubahan jenis makanan sehingga lebih mudah terpapar oleh parasit. Selain kebiasaan makanan (feeding habit), tingkat aktifitas yang tinggi dari ikan dewasa juga merupakan salah satu faktor penyebab tingginya infestasi parasit pada ikan dewasa dibandingkan dengan juvenil. Ikan dewasa lebih aktif mencari makan dan kontak dengan makanan lebih banyak sehingga cenderung lebih mudah terinfestasi parasit (Ayanda 2008). Identifikasi Cacing Parasitik Total jumlah sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati sebanyak 32 ekor dan 15 ekor terinfestasi cacing parasitik. Dari hasil pengamatan 15 sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik ditemukan 7 jenis cacing parasitik dan larva nematoda. Jenis-jenis cacing parasitik terdiri dari 2 monogenea, Pseudempleurosoma sp. dan Benedenia sp.; 2 digenea, Podocotyle sp. dan Plagioporus sp.; dan 3 nematoda Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda. Deskripsi masing-masing cacing parasitik diuraikan sebagai berikut : Monogenea Pseudempleurosoma sp. (Gambar 4) Filum : Platyhelminthes Kelas : Monogenea Ordo : Dactylogyrida Famili : Ancyrocephalidae Genus : Pseudempleurosoma Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki 1 pasang head organ yang bentuknya belum sempurna; memiliki 2 pasang bintik mata; pharinx berbentuk bulat; sistem genital terdiri dari cirrus sac, ovary dan testis. Testis berbentuk oval dan terdapat dibawah ovary; vitellaria terdapat disepanjang tubuh; Haptor berbentuk rudimeter, memiliki 14 hook, 2

4 21 pasang anchor (1 pasang menyerupai marginal hook), memiliki 2 pasang transfer bar (1 pasang jarang terlihat); memiliki 2 anchor root (inner root dan dorsal root). ho es ph o v h a Gambar 4 Pseudempleurosoma sp. Keterangan gambar : ho-head organ; eseyes spot; ph-pharinx; o-ovary; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor. Benedenia sp. (Gambar 5) Filum : Platyhelminthes Kelas : Monogenea Ordo : Dactylogyrida Famili : Capsalidae Genus : Pseudempleurosoma Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; pada bagian anterior terdapat 1 pasang sucker; memiliki 2 pasang bintik mata; ukuran bintik mata pada bagian anterior lebih kecil dibandingkan dengan posterior; memiliki pharinx; ovary berada ditengah, testis berjumlah 1 pasang dan

5 22 terdapat dibawah ovary, memiliki vagina; haptor berbentuk cakra/bulat, memiliki 14 hook, 2 pasang anchor. os e ph v h a Gambar 5 Benedenia sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; e-eyes spot; phpharinx; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor. Digenea Podocotyle sp. (Gambar 6) Filum Kelas : Platyhelminthes : Digenea Famili : Opecoelidae Genus : Podocotyle Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada pharinx dan posisinya dibagian tengah tubuh. Pada bagian atas acetabulum tertutup oleh pinggiran yang berbentuk lipatan dari sucker; usus memanjang sampai ke bagian posterior; vitellaria berada di belakang tubuh; saluran excretory memanjang hingga bagian anterior ovary.

6 23 os v a ev ds Gambar 6 Podocotyle sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; ac-acetabulum; ds-digestive system; ev-excretory vesicle; v-vitellaria. Skala 100 µm. Plagioporus sp. (Gambar 7) Filum : Platyhelminthes Kelas : Digenea Famili : Opecoelidae Genus : Plagioporus Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada oral sucker dan posisinya equatorial; vitellaria menyebar disepanjang tubuh; memiliki excretory vesicle yang berbentuk tubular. Gambar 7 Plagioporus sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; a-acetabulum; evexcretory vesicle.

7 24 Nematoda Procamallanus sp. (Gambar 8) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Famili : Camallanidae Genus : Procamallanus Deskripsi : Buccal capsul menyatu; memiliki nerve ring, oesophagus dan intestine; bagian ekor berukuran kecil dan pada bagian ujung terdapat mucrones yang berukuran kecil. A bc oes B cg i m Gambar 8 Procamallanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bcbuccal capsul; oes-oesophagus; i-intestine. (B) Bagian posterior : cgcaudal glands; m-mucrones. Gnathostoma sp. (Gambar 9) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Famili : Gnathostomatidae Genus : Gnathostoma Deskripsi : Bagian kepala seperti balon dan memiliki kumpulan hook; memiliki oesophagus; tubuh diliputi dengan lapisan cuticular.

8 25 A h B oes a Gambar 9 Gnathostoma sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : h-head; oes-oesophagus. (B) bagian posterior: a-anus. Skala 100 µm. Cucullanus sp. (Gambar 10) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Famili : Cucullanidae Genus : Cucullanus Deskripsi : Tidak terdapat chitin pada bagian buccal capsul; usus sederhana; memiliki ovary, bersifat ovipar, telur memiliki selaput yang tipis dan tersebar pada bagian tengah tubuh sampai ke bagian posterior. A B bc nr Gambar 10 Cucullanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; nr-nerve ring. (B) Bagian posterior : t-tail. Skala 100 µm. t

9 26 Berdasarkan hasil identifikasi, cacing parasitik yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu sebanyak 7 jenis yang terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Kvach (2005), dari 10 jenis ikan goby yang diamati ditemukan 24 jenis cacing parasitik dari kelompok digenea, cestoda, nematode dan acanthocephala dan tidak ditemukan cacing monogenea. Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa terdapat infestasi monogenea Gyrodactylus spp. pada ikan goby dari jenis Pamataschistus microps dan Clupea harengus dari perairan Belgia, Prancis dan Belanda. Perbedaan jenis-jenis cacing parasitik dari hasil penelitian ini terjadi karena jenis ikan goby dan lingkungan geografis yang diamati berbeda. Menurut Kvach (2005), komposisi jenis fauna cacing dari kelompok ikan goby yang diamati sangat tergantung pada kondisi geografis dan ekologi inang. Cacing parasitik yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan habitat pada tubuh inang terdiri dari ektoparasit dan endoparasit. Jenis ektoparasit yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Benedenia sp. Menurut Ogawa et al. (1995) diacu dalam Jithendran et al. (2005), diantara genus Benedenia, B. epinepheli dan B. hawaiensis merupakan spesies yang memiliki kisaran inang yang sangat luas. Sekitar 25 jenis ikan dapat berperan sebagai inang dari B. epinepheli. Benedenia sp. merupakan salah satu jenis monogenea yang ditemukan pada ikan air laut dan menginfeksi insang. Selain menginfeksi insang, monogenea dari family capsalidae juga menginfeksi kulit (Jithendran et al. 2005). Endoparasit yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari monogenea : Pseudempleurosoma sp.; digenea : Podocotyle sp., Plagioporus sp.; dan nematoda : Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda. Dari hasil penelitian, pada usus ikan Bunglon Batik Jepara ditemukan endoparasit Pseudempleurosoma sp. yang termasuk dalam kelompok monogenea. Menurut Santos et al. (2001), umumnya monogenea merupakan ektoparasit. Namun beberapa monogenea ada yang dapat beradaptasi menjadi endoparasit seperti Diplectanotrema, Pseudempleurosoma, Neodiplectanotrema,

10 27 Paradiplectanotrema, Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang ditemukan pada organ pharinx dan oesophagus ikan air laut. Jenis endoparasit yang menginfeksi ikan Bunglon Batik Jepara umumnya dari dari kelompok nematoda yaitu 4 jenis. Nematoda ini ditemukan di usus dan rongga tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moller dan Anders (1986) bahwa nematoda sering ditemukan menempel pada dinding usus, lambung dan lumen. Pada ikan Bunglon Batik Jepara, juga ditemukan cacing parasitik jenis Gnathostoma sp. yang termasuk dalam jenis parasit zoonosis. Infestasi Gnathostoma sp. pada rongga tubuh ikan Bunglon Batik Jepara diduga berasal dari makanan. Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam kelompok ikan karnivora dan jenis makanannya antara lain zooplankton dan invertebrata yang berukuran kecil yang terdapat di dasar perairan (MAE 2009, MC 2009). Mengacu pada Hoffman (1999), inang antara pertama dari cacing nematoda adalah invertebrata seperti copepoda, insekta dan polychaeta. Gnathostoma spinigerum merupakan cacing parasitik penyebab penyakit creeping disease yang dapat menimbulkan kerusakan serius pada jaringan tubuh manusia. Meskipun cacing parasitik ini tidak berkembang menjadi dewasa pada tubuh manusia, Gnathostoma spinigerum dapat bertahan hidup selama beberapa tahun didalam tubuh manusia dan bermigrasi keberbagai organ seperti otot, paru-paru dan kornea. Penyebaran cacing parasitik pada manusia terjadi melalui konsumsi ikan air tawar mentah (Miyazaki 1960 diacu dalam Moller dan Anders 1983). Menurut Akester (1988) diacu dalam Hoffman (1999), infestasi Gnathostoma spinigerum di Mexico berasal dari konsumsi ikan air tawar yang diasinkan. Hasil penelitian ini merupakan data awal infestasi Gnathostoma sp. yang terjadi pada ikan hias laut sehingga belum diperoleh informasi lebih lanjut mengenai peranan ikan Bunglon Batik Jepara dalam penyebaran cacing zoonosis Gnathostoma sp. di perairan laut. Menurut Hoffman (1999), Gnathostoma merupakan jenis parasit di perairan tawar yang menginfeksi dinding lambung dan esophagus mamalia. Tahap larva, Gnathostoma terdapat pada copepoda dan ikan. Infestasi Gnathostoma sp. pada ikan Bunglon Batik Jepara diduga karena

11 28 pengaruh perubahan iklim. Menurut Dobson dan Carper (1992), perubahan iklim dapat mempengaruhi penyebaran parasit dan penyakit di daerah tropis. Perubahan iklim memungkinkan parasit dengan siklus hidup heteroxenic memanfaatkan inang yang baru dari habitat yang berbeda. Prevalensi dan Intensitas Cacing Parasitik Pengukuran prevalensi dan intensitas dilakukan untuk mengetahui tingkat infestasi masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara. Prevalensi dan intensitas masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis-jenis cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara No Jenis Cacing Parasitik Lokasi Jumlah Ikan yang Terinfestasi Prevalensi (%) Intensitas Cacing 1 Monogenea Pseudempleurosoma sp. Usus 8 21,87 2,71 (1 6) Benedenia sp. Insang 4 12,5 1,75 (1 3) 2 Digenea Podocotyle sp. Usus 1 3,10 3 (0 3) Plagioporus sp. Usus 1 3,10 1 (0 1) 3 Nematoda Procamallanus sp. Usus 2 6,25 1 (0 1) Gnathostoma sp. Usus 1 3,10 1 (0 1) Cucullanus sp. Usus 1 3,10 2 (0 2) Larva Nematoda Usus 4 12,5 5 (1 11) Lokasi infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara lebih banyak di usus. Jenis cacing parasitik di usus ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Pseudempleurosoma sp., Podocotyle sp.,, Plagioporus sp., Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda sedangkan cacing parasitik di insang yaitu Benedenia sp. Prevalensi dan intensitas cacing parasitik yang terdapat diusus lebih tinggi daripada di insang. Pseudempleurosoma sp. merupakan monogenea yang terdapat di usus yang memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 21,87%. Jumlah parasit di usus cukup tinggi karena terkait dengan aktifitas pencernaan makanan di usus yang kemungkinan menyebabkan terjadinya perpindahan kista atau telur parasit

12 29 dari makanan dan kemudian berkembang di saluran pencernaan. Sedangkan sedikitnya jumlah parasit yang ditemukan di insang mungkin disebabkan oleh adanya gerakan air kedalam insang secara terus menerus sehingga tidak mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup parasit. (Onyedineke et al. 2010). Hal sesuai dengan hasil penelitian bahwa dari kelompok nematoda yang terdapat di usus, larva nematoda memiliki prevalensi tinggi yaitu 12,5%. Selain prevalensi yang tinggi, intensitas larva nematoda juga tinggi yaitu sebesar 5 (1-11). Berdasarkan Luque dan Poulin (2004), kelimpahan larva nematoda pada inang dipengaruhi oleh jenis makanan. Kelimpahan larva nematoda lebih tinggi pada ikan predator dibandingkan dengan ikan herbivor dan pemakan plankton. Adanya infestasi beberapa jenis cacing parasitik menunjukkan bahwa ikan Bunglon Batik Jepara merupakan inang defenitif, inang antara atau inang paratenik beberapa jenis parasit. Hal ini sesuai dengan pendapat Kvach (2005), ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang paratenik parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan ikan. Diferensial Leukosit Pengamatan diferensial leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Sampel yang diamati terdiri dari 3 sampel darah ikan yang diasumsikan tidak terinfestasi cacing parasitik dan 5 sampel darah ikan yang terinfestasi cacing parasitik. Data diferensial leukosit dapat dilihat pada Lampiran 3. Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit, eosinofil, neutrofil dan basofil (Gambar 11). Hasil pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara Jenis Leukosit Kondisi Ikan Tidak Terinfestasi (%) Terinfestasi (%) Trombosit 62,3 38,4 Limfosit 23,3 42,4 Monosit 6,3 6 Eosinofil 2,7 3,4 Neutrofil 5,3 7,8 Basofil - 1,8

13 30 a. Basofil b. Eosinofil c. Trombosit d. Neutrofil c Gambar 11 Jenis dan bentuk sel darah (tanda panah) ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Keterangan gambar (a) : basofil; (b) : eosinofil; (c): trombosit; (d) : neutrofil. Komposisi leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara berbeda. Tabel 5 menunjukkan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak terinfeksi cacing parasitik terdiri dari 23,3% limfosit, 6,3% monosit, 2,7% eosinofil, dan 5,3% neutrofil sedangkan komposis leukosit pada ikan yang terinfeksi cacing parasitik yaitu 42,4 % limfosit, 7,8% neutrofil, 6% monosit, 3,4% eosinofil dan 1,8% basofil. Jumlah dan persentase komposisi leukosit dalam sirkulasi darah ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit, dan tahapan siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002). Pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara menunjukkan bahwa persentase eosinofil dan basofil rendah. Pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak terinfestasi cacing parasitik tidak ditemukan adanya sel basofil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tavares-Dias et al. (2008) bahwa hanya sedikit jenis ikan yang memiliki eosinofil atau basofil, dan jarang sekali

14 31 ditemukan ikan yang memiliki sel eosinofil dan basofil secara bersama dalam sirkulasi leukosit. Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami penurunan jumlah trombosit, namun presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil meningkat. Leukosit merupakan komponen sel yang berperan dalam respon kekebalan tubuh. Peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga merupakan respon yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Jenkins (2003) menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil mengindikasikan terjadinya stres atau adanya infeksi penyakit. Neutrofil merupakan jenis leukosit yang pertama kali bermigrasi ke lokasi infeksi parasit dan pada ikan yang terinfeksi cacing parasitik D. dendriticum juga terdapat jumlah neutrofil dan limfosit yang tinggi (Rahkonen dan Pasternack 1999). Selain itu, infestasi cacing parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang terinfeksi (Martins et al. 2004). Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga ditemukan adanya basofil. Basofil yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara berperan dalam mengatasi inflamasi yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Suzuki (1992), pada ikan puffer terjadi migrasi basofil dalam jumlah besar akibat adanya peradangan. Patologi Perubahan Patologi Anatomi Berdasarkan pengamatan perubahan makroskopis PA pada ikan Bunglon Batik Jepara umumnya dalam keadaan normal. Perubahan makroskopis PA yang diamati pada organ sirip, insang, kulit dan hati berupa sirip rontok, insang pucat, warna tubuh menjadi pudar, dan hati pucat. Jenis parasit yang berbeda dalam kondisi lingkungan yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda terhadap inang (Overstreet 1993). Hasil penelitian Martins et al. (2004) menunjukkan bahwa insang, hati, jantung dan kantung empedu ikan yang terinfeksi cacing nematoda mengalami perubahan warna menjadi pucat. Data perubahan makroskopis PA secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.

15 32 Secara umum, perubahan makroskopis PA yang diamati pada ikan Bunglon Batik Jepara tidak spesifik menunjukan perubahan yang disebabkan oleh infestasi cacing parasitik. Perubahan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan patologi yang disebabkan oleh infestasi cacing parsitik pada organ insang dan usus ikan Bunglon Batik Jepara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat lesio mikroskopis pada organ yang terinfeksi cacing parasitik. Lesio mikroskopis organ insang dan usus di skor untuk melihat derajat keparahan. Skor histopatologi organ insang dan usus disajikan pada Gambar Jumlah organ Insang Usus Skor Lesio Gambar 12 Histogram skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara. Gambar 12 merupakan data hasil pengamatan skor lesio organ insang dan usus yang terdiri dari skor 1, 2, 3 dan 4. Skor lesio 1 menunjukkan derajat keparahan sangat ringan, skor 2 adalah lesio dengan derajat keparahan ringan, skor lesio 3 menunjukkan derajat keparahan sedang dan skor lesio 4 menggambarkan derajat keparahan berat. Berdasarkan data histogram diatas, skor lesio terbanyak yang ditemukan pada organ insang dan usus adalah 2 dengan derajat keparah ringan. Organ Insang Jaringan insang normal dituangkan pada Gambar 13. Hasil pemeriksaan HP menunjukkan terjadinya kongesti (Gambar 14), peradangan (Gambar 16), fusi dan

16 33 erosi lamella sekunder (Gambar 15). Dari perubahan diatas disimpulkan bahwa insang mengalami brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti, hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang. Menurut Noga (2000), lesio brankhitis dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit. Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan Parameter terjadinya nekrosa seperti ekskresi lendir berlebihan dan penggabungan (fusi) lamella merupakan suatu indikasi adanya respon sistem kekebalan tubuh terhadap cacing parasitik. Kerusakan pada sel epithel insang disebabkan oleh haptor monegenea yang menempel pada lamella sekunder ikan Bunglon Batik Jepara. Sekresi yang dihasilkan parasit menyebabkan kerusakan sel epithel (Buchmann 1999). Menurut Camargo dan Martinez (2007), perubahan lapisan epithelial, hyperplasia dan hypertrofi sel epithel, fusi lamella sekunder merupakan mekanisme pertahan tubuh ikan. Menurut Leong (2001) diacu dalam Jithendran et al. (2005), infeksi monogenea B. epinepheli tidak hanya menyebabkan terjadinya hemoragi dan lesio abrasif, tetapi juga dapat menyebabkan kematian pada ikan laut yang dibudidayakan karena nekrosa berat pada jaringan insang sehingga mengganggu sistem pernafasan. Gambar 13 Jaringan insang normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.

17 34 Gambar 14 Lesio lamella sekunder berupa kongesti yang menyebabkan pembengkakan pada ujung lamella sekunder (tanda panah) dan hemoragi lamella sekunder (tanda asterik). Pewarnaan HE. Skala 50 µm. Gambar 15 Lesio pada lamella sekunder berupa akumulasi sel radang sehingga menyebabkan fusi lamella sekunder (tanda asterik) dan erosi lamella sekunder (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.

18 35 Gambar 16 Perubahan lamella insang berupa hyperplasia sel epithel lamella sekunder (tanda asterik), sel radang (tanda kepala anak panah) dan MMC (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 10 µm. Perubahan pada insang digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti dan hyperplasia epithel; skor 2 ditandai dengan fusi lamella sekunder, hemoragi peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat. Skoring terhadap perubahan histopatologi insang diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa peradangan ringan, hemoragi ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan bahwa organ insang mengalami kerusakan derajat ringan. Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), insang merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan homeostasis lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, dan pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang terdiri dari lapisan yang tipis yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama

19 36 penyakit. Kerusakan ringan pada struktur insang ikan dapat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan. Organ Usus Dari hasil pengamatan histopatologi, lesio yang terjadi pada organ usus adalah hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis, edema, hemoragi pada lapisan muskularis (Gambar 19), adanya MMC pada lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina propria dan infiltrasi cacing parasitik pada villi (Gambar 20). Usus ikan yang terinfeksi cacing parasitik menunjukkan enteritis. Enteritis diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (limfosit dan EGC) di mukosa. Jaringan usus normal dapat dilihat pada Gambar 17. Alat penempel dan sekresi yang dihasilkan cacing parasitik menyebabkan sel-sel pada mukosa mengalami peradangan yang diindikasikan dengan kongesti (Gambar 18) dan infiltrasi EGC. Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan mukosa dan lamina propria usus yang mengandung pembuluh darah. Gambar 17 Usus normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.

20 37 Gambar 18 Perubahan pada organ usus berupa kongesti (tanda kepala anak panah) dan proliferasi sel goblet (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm. Gambar 19 Perubahan pada organ usus berupa hemoragi pada lapisan mukosa (tanda panah) dan adanya sel radang (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.

21 38 Gambar 20 Infestasi cacing parasitik pada organ usus (tanda panah) dan infiltrasi EGC pada lamina propria (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm. Perubahan histopatologi pada organ usus diduga karena adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Roberts (2001), parasit cacing yang terdapat di dalam gastrointestinal dapat menyebabkan lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi pada usus yang mengakibatkan terjadinya anemia pada ikan. Umumnya cacing parasitik pada saluran pencernaan ikan bersifat patogenik. Perubahan patologi oleh cacing berupa kerusakan yang disebabkan oleh organ penempel (Akinsanya dan Otubanjo 2006). Adanya cacing parasitik pada permukaan villi akan memacu terjadi produksi mukus sebagai bentuk pertahan diri terhadap infestasi cacing parasitik. Menurut McGavin et al. (2001), hiperplasia sel goblet pada epitel saluran cerna merupakan reaksi pertahanan awal terhadap berbagai kerusakan yang ada di saluran cerna. Sel goblet merupakan sel penghasil mukus. Hiperplasia sel goblet menyebabkan produksi mukus berlebihan yang berfungsi melindungi epitel permukaan dari agen penyebab kerusakan.

22 39 Selain produksi mukus yang berlebihan, adanya infestasi cacing parasitik pada villi usus juga memicu terjadinya proliferasi MMC dan infiltrasi sel radang EGC. Proliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada ikan (Roberts 2001). Peradangan berupa infiltrasi EGC merupakan respon yang diberikan ikan terhadap alergen. EGC merupakan bagian dari respon inflamasi pada inang yang disebabkan oleh infeksi parasit (Reite 1998 diacu dalam Dezfuli et al. 2000). Hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan radang pada usus. Peradangan pada dasarnya merupakan suatu mekanisme perlindungan yang reaksinya bisa merupakan indikasi awal terjadinya suatu penyakit. Keberadaan EGC yang rusak di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan (Tizard 1982). Peradangan didefenisikan rangkaian reaksi yang terjadi pada suatu jaringan apapun penyebabnya termasuk yang diakibatkan agen patogen (Nabib dan Pasaribu 1989). Perubahan histopatologi berupa kongesti mengindikasikan adanya kenaikan jumlah darah di dalam pembuluh darah, kapiler darah tampak melebar penuh terisi eritrosit. Hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak adanya bintik hemoragi di lapisan mukosa pada organ tubuh. Perdarahan yang terbatas disebut hematoma. Bila perdarahan meluas akan terjadi purpura, dan eritrosit terlihat di luar pembuluh darah (Robert 2001). Pada penelitian ini, cacing parasitik terbukti menyebabkan gangguan sirkulasi darah yaitu dengan timbulnya kongesti dan hemoragi pada usus ikan Bunglon Batik Jepara. Perubahan pada usus digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti, hiperplasia sel goblet dan edema; skor 2 ditandai dengan hemoragi, peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat. Skoring terhadap perubahan histopatologi usus diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa hiperplasia sel goblet,

23 40 peradangan ringan berupa akumulasi sel radang EGC, hemoragi ringan, dan proliferasi MMC. Ini menunjukkan bahwa organ usus mengalami kerusakan derajat ringan. Ringannya tingkat lesio pada organ usus dipengaruhi oleh jenis dan tingkat intensitas infestasi cacing parasitik pada ikan. Berdasarkan data pengamatan, jenis cacing parasitik yang terdapat pada usus ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Menurut Dezfuli et al. (2003), kerusakan yang disebabkan oleh cacing parasitik sangat berkaitan erat dengan intensitas infeksi dan dalamnya penetrasi parasit pada jaringan inang. Trematoda, cestoda dan nematoda yang terdapat di usus secara umum tidak menyebabkan kerusakan parah pada saluran pencernaan vertebrata.

IDENTIFIKASI CACING PARASITIK DAN PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PADA IKAN BUNGLON BATIK JEPARA (Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU

IDENTIFIKASI CACING PARASITIK DAN PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PADA IKAN BUNGLON BATIK JEPARA (Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU IDENTIFIKASI CACING PARASITIK DAN PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PADA IKAN BUNGLON BATIK JEPARA (Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU A S N I T A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan April 2010. Sampel diperoleh dari Kepulauan Seribu. Identifikasi cacing parasitik dilakukan di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Kecacingan Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma macropomum) Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan bawal air tawar dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Tingkat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistematika dan Morfologi Ikan Patin Menurut Mahyuddin (2010), ikan patin dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Sub Kelas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas (Cyprinus carpio) 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Spesies Kingdom : Animalia Filum : Chordata Class

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pewarnaan Proses selanjutnya yaitu deparafinisasi dengan xylol III, II, I, alkohol absolut III, II, I, alkohol 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 2 menit. Selanjutnya seluruh preparat organ

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Identifikasi Parasit Jenis parasit yang ditemukan adalah Trichodina (Gambar 2), Chilodonella (Gambar 3), Dactylogyrus (Gambar 4), Gyrodactylus (Gambar 5), dan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Intensitas Trichodina sp pada Ukuran Ikan Nila yang Berbeda

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Intensitas Trichodina sp pada Ukuran Ikan Nila yang Berbeda BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Intensitas Trichodina sp pada Ukuran Ikan Nila yang Berbeda Hasil pengamatan secara mikroskopis yang dilakukan terhadap 90 ekor sampel ikan nila (Oreochromis nilotica),

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta Hasil penangkapan ikan air tawar dari Kali progo, Yogyakarta diketahui terdapat 7 jenis

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl 2 ) menggunakan konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat diisolasi dari ikan, sel trophont menunjukan pergerakan yang aktif selama 4 jam pengamatan. Selanjutnya sel parasit pada suhu kontrol menempel pada dasar petri dan

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Morfologi ikan bawal air tawar (C. macropomum)

Gambar 2.1. Morfologi ikan bawal air tawar (C. macropomum) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Ikan Bawal Air Tawar (C.macropomum) Ikan bawal air tawar (C.macropomum) atau lebih dikenal dengan sebutan tambaqui adalah ikan introduksi yang berasal dari Amerika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistematika dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1984) dalam Hadiroseyani et al. (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 didehidrasi dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol dua kali ulangan masing-masing selama 2 menit. Setelah semuanya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah sel tumor limfoid pada lamina propria Hasil pengamatan terhadap jumlah sel tumor limfoid pada lamina propria vili usus yang diperoleh dari setiap kelompok percobaan telah dihitung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perubahan histopatologi trakea Parameter yang diperiksa pada organ trakea adalah keutuhan silia, keutuhan epitel, jumlah sel goblet, dan sel radang. Pada lapisan mukosa, tampak

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen 3 TINJAUAN PUSTAKA Nematoda Entomopatogen 1. Taksonomi dan Karakter Morfologi Nematoda entomopatogen tergolong dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae termasuk dalam kelas Secernenta, super

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem pemeliharaan yang kurang baik salah satunya disebabkan oleh parasit (Murtidjo, 1992). Menurut Satrija

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data KKP menunjukkan bahwa produksi ikan mas pada tahun 2010 mencapai 282.695 ton, dengan persentasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah LeukositTotal Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan sel-sel rusak

Lebih terperinci

PROTOZOA ATAU ENDOPARASIT PADA IKAN AIR TAWAR BAB I PENDAHULUAN Parasit adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan yang berada pada tubuh, insang, maupun

PROTOZOA ATAU ENDOPARASIT PADA IKAN AIR TAWAR BAB I PENDAHULUAN Parasit adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan yang berada pada tubuh, insang, maupun PROTOZOA ATAU ENDOPARASIT PADA IKAN AIR TAWAR BAB I PENDAHULUAN Parasit adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan yang berada pada tubuh, insang, maupun lendir inangnya dan mengambil manfaat dari inang tersebut.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

BAHAN DAN METODA PENELITIAN 10 BAHAN DAN METODA PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel ikan diambil dari beberapa lokasi yang mewakili perairan Indonesia bagian Selatan (Selat Sunda, Bali, dan Nusa Tenggara Timur) yang terletak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada 2. Morfologi dan Anatomi Nematoda 2.1. Bentuk tubuh nematoda secara umum Bentuk tubuh nematoda parasit tanaman adalah silindris memanjang atau vermiform, meruncing pada bagian ujung kepala dan ekor, mikroskopis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protozoa Bersilia, Ichtyophthirius multifiliis Forquet Epidemiologi I. multifiliis Siklus Hidup Parasit

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protozoa Bersilia, Ichtyophthirius multifiliis Forquet Epidemiologi I. multifiliis Siklus Hidup Parasit 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protozoa Bersilia, Ichtyophthirius multifiliis Forquet Ichtyophthirius multifiliis adalah satu-satunya spesies parasit di dalam genusnya (Lee et al. 1985 dalam Dickerson 2006).

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri Hasil uji biokimia (gula-gula) E. ictaluri menghasilkan enzim katalase, memfermentasi glukosa, tidak memfermentasi laktosa, tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

JENIS-JENIS PARASIT PADA IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V.) DARI PERAIRAN SUNGAI SIAK KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU

JENIS-JENIS PARASIT PADA IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V.) DARI PERAIRAN SUNGAI SIAK KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU JENIS-JENIS PARASIT PADA IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V.) DARI PERAIRAN SUNGAI SIAK KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU Ranti Yuni Arpia 1, Titrawani 2, Roza Elvyra 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Biologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Leukosit Total Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ikan paradise Sampel yang digunakan pada penelitian adalah ikan paradise. Ikan paradise merupakan ikan tropis yang memiliki ukuran tubuh mencapai lebih kurang 5 cm dengan pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang berfungsi serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) SIONITA GLORIANA GUNAWAN

INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) SIONITA GLORIANA GUNAWAN INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) SIONITA GLORIANA GUNAWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK SIONITA GLORIANA GUNAWAN. B04104180. Infestasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

STRUKTUR & PERKEMBANGAN HEWAN. Achmad Farajallah

STRUKTUR & PERKEMBANGAN HEWAN. Achmad Farajallah STRUKTUR & PERKEMBANGAN HEWAN Achmad Farajallah Sistem Sirkulasi: mode umum Sistem transportasi internal akibat ukuran & strukturnya menempatkan sel-sel tubuh berada jauh dari lingkungan luar sistem yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta KESEHATAN IKAN Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta Penyakit adalah Akumulasi dari fenomena-fenomena abnormalitas yang muncul pada organisme (bentuk tubuh, fungsi organ tubuh, produksi lendir,

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alergi makanan merupakan gejala yang mengenai banyak organ atau sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang sebagian besar diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan sekitar 5,8 juta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan sekitar 5,8 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan sekitar 5,8 juta km 2, sehingga memiliki potensi perikanan baik laut maupun tawar (Anonimous, 2010). Permintaan

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistematika dan Morfologi Ikan Gurami Menurut Saanin (1984) ikan gurami dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Pisces Sub Kelas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara umum A. salmonicida merupakan penyebab utama penyakit infeksi pada ikanikan salmonid yang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT DAN ENDOPARASIT PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus Linn) Di KOLAM BUDIDAYA PALEMBANG,SUMATERA SELATAN

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT DAN ENDOPARASIT PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus Linn) Di KOLAM BUDIDAYA PALEMBANG,SUMATERA SELATAN IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT DAN ENDOPARASIT PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus Linn) Di KOLAM BUDIDAYA PALEMBANG,SUMATERA SELATAN Erwin Nofyan 1, Moch Rasyid Ridho 1, Riska Fitri 1 Jurusan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU CANTANG

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU CANTANG IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU CANTANG (Ephinephelus fuscoguttatus-lanceolatus) HASIL BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG (KJA) DI BPBAP SITUBONDO DAN GUNDIL SITUBONDO Karlina Nurhayati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) TINJAUAN PUSTAKA Kuda Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) Kuda (Equus caballus) masih satu famili dengan keledai dan zebra, berjalan menggunakan kuku, memiliki sistem pencernaan monogastrik, dan memiliki sistem

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat:

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: Cacing Tanah (Lumbricus terrestris) I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus digestorius

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah Leukosit Data perhitungan terhadap jumlah leukosit pada tikus yang diberikan dari perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Rata-rata leukosit pada tikus dari perlakuan

Lebih terperinci

PRINSIP BIOENERGETIKA PADA HEWAN

PRINSIP BIOENERGETIKA PADA HEWAN PRINSIP BIOENERGETIKA PADA HEWAN BAHAN MAKANAN (MOLEKUL ORGANIK) Lingkungan eksternal Hewan KONSUMSI MAKANAN PROSES PENCERNAAN PROSES PENYERAPAN PANAS energi yg hilang dalam feses MOLEKUL NUTRIEN (dalam

Lebih terperinci

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1 MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1 KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA MADRASAH ALIYAH NEGERI SURADE 2016 KATA PENGANTAR Assallamu alaikum

Lebih terperinci

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi dan Materi Kuliah Hewan 1 Homeostasis Koordinasi dan Pengendalian Kuliah Kontinuitas Kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benih dan untuk membina usaha budidaya ikan rakyat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. benih dan untuk membina usaha budidaya ikan rakyat dalam rangka 59 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Balai Benih Ikan (BBI) adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan benih dan untuk membina usaha budidaya ikan rakyat dalam rangka peningkatan produksi perikanan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan hasil pengumpulan data dari observasi makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang pengaruh kasa hidrogel paduan kitosan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

INVENTARISASI CACING PARASIT PADA IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI TAMBAK DESA KETAPANG KECAMATAN MAUK KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN

INVENTARISASI CACING PARASIT PADA IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI TAMBAK DESA KETAPANG KECAMATAN MAUK KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN INVENTARISASI CACING PARASIT PADA IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI TAMBAK DESA KETAPANG KECAMATAN MAUK KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN (The Inventory of Parasites Worms in Milkfish Chanos chanos in

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus Ikan kerapu tergolong dalam famili Serrenidae, tubuhnya tertutup oleh sisik-sisik kecil. Kebanyakan hidup di perairan terumbu karang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. a b C d

TINJAUAN PUSTAKA. a b C d TINJAUAN PUSTAKA Ikan Nila BEST (Oreochromis niloticus) Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar yang berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal Hewan yang digunakan adalah anjing lokal berjumlah 2 ekor berjenis kelamin betina dengan umur 6 bulan. Pemilihan anjing betina bukan suatu perlakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, secara otomatis tubuh akan memberi tanggapan berupa respon imun. Respon imun dibagi menjadi imunitas

Lebih terperinci

CACING TANAH (Lumbricus terrestris)

CACING TANAH (Lumbricus terrestris) CACING TANAH (Lumbricus terrestris) Kode MPB2b Fapet I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA CIBANTENG DWI SUSANTO

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA CIBANTENG DWI SUSANTO GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA CIBANTENG DWI SUSANTO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG,

Lebih terperinci

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011 1 Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di Indonesia dan merupakan ikan budidaya yang menjadi salah satu komoditas ekspor.

Lebih terperinci

Annelida. lembab terletak di sebelah atas epithel columnar yang banyak mengandung sel-sel kelenjar

Annelida. lembab terletak di sebelah atas epithel columnar yang banyak mengandung sel-sel kelenjar Annelida Karakteristik 1.Bilateral simetris, memiliki tiga lapisan sel (triploblastik), tubuhnya bulat dan memanjang biasanya dengan segmen yang jelas baik eksternal maupun internal. 2.Appendages kecil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan Ayam yang Diinfeksi C. jejuni Asal Kudus dan Demak Bobot badan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Bobot badan ayam yang diinfeksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada tahun Ikan nila merupakan ikan konsumsi air tawar yang diminati oleh

I. PENDAHULUAN. pada tahun Ikan nila merupakan ikan konsumsi air tawar yang diminati oleh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus L.) adalah ikan yang hidup di air tawar dan berasal dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan nila mulai didatangkan ke Bogor

Lebih terperinci

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN (Dibawah bimbingan Dr. Djong Hon Tjong, dan Dr. Indra Junaidi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit inflamasi saluran pencernaan dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Ikan Patin

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Ikan Patin 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Ikan Patin Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang berasal dari kelompok lele lelean. Secara anatomi ikan ini memiliki bentuk tubuh memanjang dan agak pipih. Tubuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien

Lebih terperinci

Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia

Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia Setiap manusia memerlukan makanan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sari makanan dapat diangkut oleh darah dalam bentuk molekul-molekul yang kecil dan sederhana. Oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

Prevalensi dan Distribusi Cacing Pada Berbagai Organ Ikan Selar Bentong

Prevalensi dan Distribusi Cacing Pada Berbagai Organ Ikan Selar Bentong Prevalensi dan Distribusi Cacing Pada Berbagai Organ Ikan Selar Bentong MORI FRISKA TAMBA 1, I MADE DAMRIYASA 2, NYOMAN ADI SURATMA 1, STEFAN THEISEN 3 1 Lab Parasitologi, 2 Lab Patologi Klinik, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas 2.1.1 Klasifikasi Ikan Mas (Cyprinus carpio) Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia :

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Toksoplasmosis merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan ke manusia. Gejala klinis dari penyakit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam dunia internasional kerapu dikenal dengan nama grouper yang

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam dunia internasional kerapu dikenal dengan nama grouper yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ikan Kerapu Dalam dunia internasional kerapu dikenal dengan nama grouper yang mempunyai sekitar 46 spesies yang tersebar di berbagai jenis habitat. Semua spesies tersebut dapat

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies Pangasius hypophthalmus yang hidup di perairan tropis Indo Pasifik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, sebagai negara kepulauan dan memiliki dua per tiga wilayah yang merupakan perairan. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata

Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata Ima Yudha Perwira, SPi, MP, MSc (Aquatic) Para saintis menempatkan hewan pada dua katergori utama, yaitu: invertebrata (in = tanpa, vertebrae

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada April hingga Juni 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri, cendawan serta parasit dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen

Lebih terperinci