KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT RHAMA BUDHIANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) DI KAWASAN HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT RHAMA BUDHIANA Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan Di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

3 Judul Skripsi : Karakteristik Habitat dan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Kawasan Hutan batang Hari, Solok Selatan, Sumatera Barat Nama Mahasiswa : Rhama Budhiana NIM : E Menyetujui: Komisi Pembimbing Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F NIP Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP Tanggal Lulus:

4 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Wali Achmad dan Ibu Djumsih. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1992 di SD Negeri 01 Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pada tahun 1998 melanjutkan ke SLTP Negeri 223 Jakarta dan lulus pada tahun Kemudian, penulis melanjutkan ke SLTA Negeri 104 Jakarta dan pada tahun 2004 penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Uni Konservasi Fauna (UKF) pada tahun 2005 sampai sekarang, serta menjadi kepala departemen kemasyarakatan pada periode kepengurusan dan kepala departemen eksternal pada periode kepengurusan Penulis pernah melaksanakan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA/TWA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang, dan Perum Perhutani KPH Cimais. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur pada tahun Penulis juga pernah menjabat sebagai koordinator volunteer di Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) pada tahun Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul Karakteristik Habitat dan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Kawasan Hutan Batan Hari, Solok Selatan, Sumatera Barat dibawah bimbingan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F.

5 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya. Alhamdulillah atas izin-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul Karakteristik Habitat dan Populasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Kawasan Hutan Batan Hari, Solok Selatan, sumatera Barat dibawah bimbingan Ir. Jarwadi Budi Hernowo, M.Sc F. Informasi mengenai karakteristik habitat harimau dan penyebaran populasi harimau di luar kawasan konservasi perlu mendapatkan perhatian lebih. Skripsi ini membahas mengenai karakteristik habitat dan populasi dari harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari, Solok Selatan, Sumatera Barat. Dengan selesainya penulisan karya ilmiah ini, diharapkan memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Terima kasih Penulis

6 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... iii vi v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Pelestarian Harimau di Indonesia Populasi dan Distribusi Habitat Satwa Mangsa Wilayah Jelajah dan Teritory Perilaku Perilaku Berburu Perilaku Reproduksi Perangkap Kamera (Camera trap) Program Capture III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Status Kawasan Kondisi Fisik Kawasan Topografi Iklim Hidrologi Kondisi Biologis Kawasan Flora Fauna IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Peralatan Studi Jenis Data Data Primer Data Sekunder Teknik Pengambilan Data Metode captured-mark-recaptured Metode Garis Berpetak Analisis Data Analisis Foto untuk Individu Harimau Kepadatan Absolut Harimau Tingkat Perjumpaan... 21

7 ii Analisis Vegetasi V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Habitat Harimau Satwa Mangsa Cover Air Karakteristik Habitat Harimau Sumatera Cover Satwa Mangsa Populasi Harimau Sumatera Kepadatan Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio) Struktur Umur Wilayah Jelajah Perilaku Harimau Pola Aktifitas Harian Mengasuh Anak Gangguan Habitat Harimau Pembahasan Kondisi Habitat Harimau Satwa Mangsa Cover Air Karakteristik Habitat Harimau Cover Satwa Mangsa Populasi Harimau Sumatera Kepadatan Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio) Struktur Umur Wilayah Jelajah Perilaku Harimau Pola Aktifitas Harimau Mengasuh Anak Gangguan Habitat Harimau Perburuan dan Penambanggan Illegal Perambahan Hutan dan Pembalakan liar Implikasi Pengelolaan VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

8 iii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Status Harimau... 4 Tabel 2. Daerah konservasi utama dan perkiraan luasan habitat harimau sumatera... 6 Tabel 3. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan perbukitan Tabel 4. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang pada tipe hutan perbukitan Tabel 5. Hasil analisis vegetasi tingkat semai pada tipe hutan perbukitan Tabel 6. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon tipe hutan sub pegunungan Tabel 7. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang tipe hutan sub pegunungan Tabel 8. Hasil analisis vegetasi tingkat semai pada tipe hutan sub pegunungan 26 Tabel 9. Tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau Tabel 10. Jenis satwa mangsa potensial pada masing-masing tipe hutan Tabel 11. Jenis satwa mangsa potensial yang tertangkap oleh kamera selama penelitian Tabel 12. Daftar jenis satwa yang tertangkap pada masing-masing lokasi kamera selama penelitian Tabel 13. Hasil dari analisa program CAPTURE Tabel 14. Penyebaran individu harimau pada masing-masing tipe hutan Tabel 15. Individu harimau berdasarkan jenis kelamin pada masing-masing tipe hutan Tabel 16. Individu harimau berdasarkan kelas umur pada masing-masing tipe hutan Tabel 17. Jenis gangguan habitat di dalam kawasan hutan Batang hari... 45

9 iv DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Peta lokasi penelitian Gambar 2. Bentuk jalur pengamatan vegetasi Gambar 3. Hamparan kawasan hutan Batang hari Gambar 4. Kijang (a) dan Babi jenggot (b) merupakan satwa mangsa harimau yang ada di kawasan hutan batang hari Gambar 5. Kancil merupakan salah satu satwa alternatif bagi harimau Gambar 6. Lapisan tajuk utama atau strata A pada hutan sub pegunungan Gambar 7. Lapisan tajuk pertengahan atau strata B pada hutan perbukitan Gambar 8. Karakteristik fisik sungai di lokasi penelitian yang berbatu (a,b dan c), memiliki arus deras (a dan c) dan terbentuk dari substrat tanah berpasir Gambar 9. Jalan bekas logging yang sering dijadikan perlintasan oleh harimau Gambar 10. Jejak kaki (pugmark) harimau yang ditemukan di jalan bekas logging Gambar 11. Kondisi habitat pada tipe hutan sub pegunungan Gambar 12. Tempat mengasin (salt lick) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mineral satwa Gambar 13. Kambing hutan (a) dan rusa sambar (b) sebagai satwa mangsa utama harimau Gambar 14. Beruk (a) dan (b) landak adalah satwa mangsa potensial bagi harimau Gambar 15. Damar, individu harimau jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah paling luas Gambar 16. Peta penyebaran lokasi kamera dan wilayah jelajah harimau Gambar 17. Harimau yang tertangkap kamera sedang melakukan pergerakan pada sore hari dan menjelang pagi Gambar 18. Induk harimau sedang bersama dengan kedua anaknya Gambar 19. Jerat yang digunakan oleh masyarakat untuk berburu satwaliar di dalam hutan Gambar 20. Kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat di pinggir kawasan hutan Gambar 21. Bangunan sisa kegiatan logging yang sudah tidak digunakan lagi, dan balok kayu yang ttidak sempat terangkut dari dalam kawasan. 45

10 v DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Foto individu harimau yang berhasil diidentifikasi Lampiran 2. Hasil analisa pendugaan kepadatan dan populasi harimau dengan menggunakan software CAPTURE Lampiran 3. Tingkat perjumpaan harimau dan satwa mangsa Lampiran 4. Frekuensi Individu tertangkap kamera

11 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Harimau merupakan salah satu satwa pemangsa teratas didalam jaring makanan. Dari 8 subspesies harimau (Grzimek, 1975) yang ada didunia, kini hanya tersisa 5 subspesies yang masih bertahan hidup di muka bumi. Indonesia memiliki peranan penting dalam hal pelestarian harimau di dunia karena memiliki 3 subspesies, 2 spesies diantaranya yaitu Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan Harimau Bali (Panthera tigris balica) telah dinyatakan punah. Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) kini menjadi satu-satunya kucing besar yang ada di Indonesia, juga sedang menunggu nasib kepunahannya. Laju deforestasi yang tinggi, perburuan, dan perubahan alih fungsi hutan menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah harimau di alam. Kelangsungan hidup suatu populasi di alam berhubungan erat dengan demografi, genetik dan faktor-faktor lingkungan. Selain itu, angka kelahiran rendah, angka kematian anak cukup tinggi, tingkat ancaman tinggi dan rendahnya populasi mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi jenis di alam (Alikodra 2002). Sebelum tahun 1990, status, distribusi dan ancaman terhadap populasi harimau sumatera di alam sebagian besar tidak diketahui. Berdasarkan survei wawancara pada akhir tahun 1970-an, populasi harimau sumatera diperkirakan ekor (Borner, 1978). Pada tahun 1985, angka tersebut direvisi menjadi maksimum 800 ekor (Santiapillai & Widodo, 1985). Saat ini jumlah harimau sumatera yang tersisa adalah sekitar 500 ekor. Siswomartono (1994) menyatakan 400 ekor harimau diduga hidup dikawasan-kawasan konservasi, sedangkan 100 ekor lainnya hidup di kawasan yang tidak dilindungi, yang cepat atau lambat areal non konservasi tersebut akan berubah menjadi lahan perkebunan atau pertanian. Angka tersebut perlu terus dimonitor dan dievaluasi agar dapat dijadikan gambaran bagi populasi harimau mengingat banyaknya kasus perburuan dan pengurangan habitat disetiap tahunnya. Saat ini, harimau sumatera dinyatakan terancam punah (Critically Endangered) oleh The International Union for Conservation of Nature and Resources (IUCN) atau satwa langka yang kritis yang merupakan kategori tertinggi dari ancaman kepunahan. Penyebaran populasi harimau sumatera masih belum sepenuhnya teridentifikasi dengan akurat. Masih banyak kawasan-kawasan hutan yang belum

12 2 dilakukan survei untuk mengidentifikasi status penyebarannya. Kawasan hutan Batang hari merupakan salah satu kawasan hutan yang memiliki populasi harimau. Belum adanya data yang pasti mengenai populasi menjadi kendala utama bagi pengelolaan kawasan ini. Kawasan hutan Batang hari terbagi menjadi 6 bentuk pengelolaan yaitu hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata, hutan produksi terbatas, hutan produksi, area penggunaan lain, dan hutan produksi dapat di konversi. Pentingnya kegiatan pemantauan dan penelitian mengenai segala hal informasi yang menyangkut Harimau Sumatra akan sangat membantu pembuatan kebijakan pelestarian. Kawasan hutan batang hari memiliki potensi yang besar dalam pelestarian harimau. Kondisi hutan yang masih terjaga membuat keanekaragaman satwa tergolong tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk membantu melengkapi informasi mengenai keberadaan harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : a. Mempelajari karakteristik habitat Harimau Sumatera di kawasan hutan Batang hari b. Mengetahui populasi Harimau Sumatera di kawasan hutan Batang hari c. Identifikasi bentuk gangguan habitat harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari 1.3 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi harimau sumatera berdasarkan karakteristik habitat dan populasinya. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan dalam kegiatan pengelolaan kawasan hutan dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan kebijakan pengelolaan pelestarian harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari.

13 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Pelestarian Harimau di Indonesia Sumatera adalah pulau terakhir di Indonesia yang memiliki populasi harimau setelah harimau bali dan harimau jawa telah punah di akhir abad 20. Harimau bali terakhir kali tertangkap pada akhir tahun Taman Nasional Bali Barat yang dibangun pada tahun 1941 di tengah-tengah habitat harimau bali ternyata tidak dapat mencegah kepunahan satwa tersebut. Harimau Bali dinyatakan punah pada tahun 1950an. Penyebab kepunahan tidak lain disebabkan oleh perburuan dan pengurangan areal hutan sebagai habitat harimau dan juga mangsanya (Nowell, 2003). Penyebaran harimau jawa pernah merata di seluruh pulau, namun pada tahun 1970an habitat mereka hanya berada di ujung timur pulau jawa, tepatnya di Cagar Alam Meru Betiri. Keberadaan harimau jawa terdeteksi terakhir kali pada survey terakhir pada tahun 1976 dan tidak pernah tertangkap lagi setelah itu. Beberapa kali dilakukan kegiatan survey dan hanya mendapatkan hasil yang bias, karena terjadi kesalahan identifikasi tanda-tanda keberadaan macan tutul yang dianggap harimau. Penyebab utama pengurangan harimau jawa adalah hilangnya hutan sebagai habitat dan perburuan, hal ini juga ditandai dengan berkurangnya satwa mangsa bagi harimau jawa. Tidak adanya subspesies ini di penangkaran membuat dunia kehilangan untuk selamanya. Harimau sumatera (Panthera tigris sumaterae) kini telah masuk kedalam red list IUCN sebagai endangered species. Jumlahnya yang semakin sedikit membuat para ahli berpikir untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada harimau jawa dan bali. Borner (1978) memperkirakan populasi harimau sumatera berada pada angka 1000 ekor, namun 10 tahun kemudian, Santipillai dan Ramono (1985) menyatakan bahwa populasi harimau tidak berada pada angka ribuan melainkan hanya ratusan. Status konservasinya yang semakin meningkat menjadi critically endangered menandakan satwa ini melangkah dengan pasti menuju kepunahannya. Pada konferensi internasional pada tahun 1992 (Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis), menyatakan bahwa kurang dari 400 ekor harimau sumatera yang hidup di alam, sedangkan 100 ekor lainnya hidup di luar area pelestarian kemungkinan tidak akan bertahan lama (Tilson, 1994). Hasil dari konfrensi pada tahun 1992 tersebut membantu pemerintah Indonesia dalam mengambil langkah pelestarian harimau sumatra

14 4 adalah dengan membuat Strategi Konservasi Harimau Sumatra pada tahun Dengan strategy plan tersebut diharapkan dapat menyaring pihak-pihak yang ingin bekerja sama dengan pihak pemerintah Indonesia dalam pelestarian harimau sumatera. Tabel 1. Status harimau (Panthera tigris Linnaeus, 1758) pada bulan Mei Sub spesies harimau Minimum Maksimum Harimau Benggala (P. t. tigris Linnaeus, 1758) Bangladesh Bhutan China India Myanmar, bagian barat Nepal (dewasa) (dewasa) (dewasa) (dewasa) Harimau Amur (P t altaica Temminck, 1844) China Korea (utara) Rusia < (dewasa) < (dewasa) Harimau Jawa (P. t javanica Temminck, 1844) Punah 1980 Harimau Amoy (P t amoyensis Hilzheimer, 1905) Harimau Bali (P. t balica Schwarz, 1912) Punah 1940 Harimau Sumatera (P. t sumatrae Pocock, 1929) Harimau Indochina (P. t corbetti Mazak, 1968) Kamboja China Laos Malaysia Myanmar (bagian timu) Thailand Vietnam Total Total rata rata (mendekati 500) Harimau Kaspia ( P. t virgata Illiger, 1815) Afghanistan, Iran, China dan Turketan, Turki (650) Punah Sebelumnya pada tahun 1990 perusahaan industri minyak Exxon mobil mendirikan Save the Tiger Fund dan menggunakan harimau sebagai logonya. Organisasi tersebut mengelola dana pelestarian harimau yang berasal dari seluruh dunia. Kegiatan pelestarian harimau di Indonesia mendapatkan dukungan penuh dari pendonor seluruh dunia sebagai usaha pelestarian harimau sumatera. Informasi terbaru mengenai perkiraan populasi harimau yang berasal

15 5 dari hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sudah ada, tapi estimasi populasi harimau ekor tetap digunakan untuk acuan umum oleh IUCN dan Cat spesialis Group (Seidensticker et al., 1999). 2.2 Populasi dan Distribusi Penyebaran harimau sumatera hanya terletak di pulau Sumatera. Harimau sumatera tesebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Habitat di Sumatera ini terdiri dari hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan. Hasil analisa terkini mengenai status harimau sumatera, secara global menetapkan dua belas bentang alam konservasi harimau (Tiger Conservation Landscape) di pulau Sumatera. Dua di antaranya dikategorikan sebagai prioritas global, Kerinci Seblat dan Bukit Tiga Puluh, sedangkan prioritas regional terletak di Kuala Kampar dan Bukit Balai Rejang Selatan (Sanderson et al,, 2006). Harimau sumatera tersebar terutama di Sumatera bagian utara dan di daerah pegunungan Sumatera bagian barat daya. Sebelumnya, harimau sumatera banyak terdapat di Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalem, Sungan Litur, Batang Serangan dan sekitarnya, Jambi dan Sungai Siak (Suwelo dan Somantri, 1978), Pada tahun , jumlah harimau sumatera masih mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978 diperkirakan jumlah harimau sumatera adalah sekitar 1000 ekor. Menurut perkiraan pada saat ini jumlah yang tersisa adalah 500 ekor. Diperkirakan 400 ekor hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di Sumatera, sedangkan 100 ekor harimau hidup di kawasan yang tidak dilindungi dimana cepat atau lambat kawasan tersebut berubah menjadi tanah pertanian dan perkebunan (Siswomartono et al, 1994). Wikramanayake et al. (1998) menganalisis luasan habitat harimau Sumatera pada area yang dilindungi di kawasan dikonservasi. Sistem yang digunakan oleh TCU (Tiger Conservation Unit) telah banyak digunakan oleh praktisi konservasi. Tiga wilayah terbesar yang ada di Sumatera masuk kedalam level 1, yang mempunyai peluang terbaik bagi keberlangsungan yang panjang bagi populasi harimau adalah daerah sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Gunung Leuser, dan Bukit Barisan Selatan. Wikramanayake et al (1998) menyatakan bahwa Sumatera diperkirakan masih mempunyai area seluas km2 untuk menjadi habitat harimau sumatera, dan hanya sepertiganya

16 6 atau sekitar km2 yang masuk kedalam kawasan bebas pembangunan dan logging. Tabel 2. Daerah konservasi utama dan perkiraan luasan habitat harimau sumatra (Wikramanayake et al., 1998) Tiger Conservation Unit Total area of unit (km 2 ) Total protected of area Unit (km 2 ) Level 1 : Highest probaility of persistence of tiger populations over the long term Kerinci seblat-seberida 50,884 16,605 Gunung Leuser-Lingga Isaq 36,530 11,403 Bukit Barisan Selatan-Bukit hitam 6,594 4,784 Level II : Medium probability of persistence of tiger populations over the long term Kerumutan-Istana Sultan Siak 11,816 1,742 Berbak-Sembilang 6,670 2,196 Siak Kecil-Pdang Lawas 2,235 1,995 Way Kambas 1,300 1,300 Level III : Low probability of persistence of tiger populations over the long term four small areas were identified 1,309 0 Areas recommended for immediate survey as potential significant tiger habitat Sibolga-Dolok Surungan 4, Dangku 3, Padang Sugihan 2, Air Sawan 2, Total 130,403 42,002 Enam Taman Nasional di Sumatera memberikan proteksi tingkat tinggi bagi harimau sumatera. Namun sayangnya area tersebut telah terisolasi begitu jauh dari bagian habitat yang lainnya oleh kegiatan logging dan konversi hutan menjadi area pertanian dan pembudidayaan masyarakat, sehingga meninggalkan sedikit atau bahkan tidak ada lagi populasi harimau didalamnya dan juga memisahkan aliran genetik diantara populasi tersebut (Tilson, et al., 1994).

17 7 2.3 Habitat Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra, 2002). Lebih lanjut dikemukakan, bahwa habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan pelindung serta habitat yang baik bagi satu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Sunquist et al (1999) menyatakan bahwa harimau dapat hidup mulai dari daerah hutan dataran rendah, tepi pantai, hutan rawa, hutan savana, daerah hutan perbukitan dan pegunungan hingga hutan primer sepanjang khatulistiwa dan hutan cemara di semenanjung Kamchatka, Rusia. Harimau dapat ditemukan di berbagai tipe habitat asal tersedia makanan berupa satwa mangsa yang cukup, terdapat sumber air yang selalu tersedia dan adanya vegetasi cover sebagai pelindung dari sinar matahari. Tempat yang memungkinkan bagi harimau untuk bertemu dengan lawan jenisnya, kadang-kadang juga berpengaruh terhadap pemilihan habitat oleh harimau (McDougal, 1979). Habitat harimau sumatera beranekaragam dari dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder,padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Habitat yang paling disukai adalah daerah perbatasan antara hutan dan areal garapan masyarakat yang biasanya banyak dihuni oleh jenis-jenis yang dapat dimangsa seperti babi hutan, rusa, kijang, dan kancil. Harimau sumatera menyukai pula daerah basah, seperti daerah rawa dan sekitar sungai untuk bermain-main dan berendam (Setijati et al, 1992). Sedangkan menurut Siswomartono et al., (1994) habitat yang optimal untuk harimau sumatera adalah daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Tidak seperti keluarga kucing yang lain, harimau sangat menyukai air dan dapat berenang (Lekagul dan McNeely, 1977). Harimau sumatera, seperti halnya jenis-jenis harimau lainnya adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas, akan tetapi satwa ini bersifat neofobi, yaitu kurang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan terutama perubahan panas.

18 8 2.4 Satwa Mangsa Pengurangan jumlah satwa mangsa merupakan faktor penting yang menentukan kelangsungan populasi harimau, namun faktor ini sering dilupakan oleh para ahli pelestarian. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, pertama efek pengurangan jumlah hewan mangsa nyaris tidak kentara, tidak seperti perburuan harimau dan musnahnya habitat yang dramatis; kedua, penurunan kepadatan hewan mangsa tidak dirasakan karena tidak adanya survey tentang kepadatan hewan mangsa yang dilakukan secara rutin (Karanth, 1998 dan Singh, 1999). Kitchener (1991) juga melaporkan bahwa kajian jenis pakan dari kucing besar di hutan tropis yang telah ada sangat sedikit, bahkan preferensi pakan sangat jarang diketahui khususnya pakan harimau sumatera. Hewan mangsa harimau sumatera belum dikaji secara mendalam. Diduga jenis-jenis hewan mangsa mempengaruhi dinamika dan ekologi harimau sumatra di area yang bersangkutan. Tidak seperti hewan karnivora lainnya, kelompok kucing besar termasuk harimau tidak dapat menggantikan pakannya dengan pakan berupa tumbuhan karena sifat anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson, 1990; Kitcener, 1991; Sriyanto, 2003). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), landak (Hystrik brachyura), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), monyet (Macaca sp), dan trenggiling (Manis javanica). Selain itu juga memangsa jenis jenis reptil seperti kura kura, ular dan biawak serta berbagai jenis ikan dan burung. Hewan peliharaan seperti kambing, domba, sapi dan ayam juga menjadi incaran harimau. (Heryatin dan Resubun, 1992; McDougal, 1979; Lekagul dan McNeely, 1977). 2.5 Wilayah Jelajah dan Teritori Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa harimau merupakan jenis satwa yang soliter kecuali selama musim kawin atau melahirkan anak. Wilayah jelajah untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km 2 sedangkan untuk harimau jantan sekitar km 2. Angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti karena dalam menentukan teritorinya juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Harimau harus mendapatkan semua komponen habitat di dalam wilayah jelajahnya (Bailey, 1982).

19 9 Harimau meniggalkan tanda-tanda berupa cakaran pada tanah (scrape), cakaran pada pohon (scratch), urin dan feses, untuk menandakan daerah teritorinya. Biasanya daerah teritori jantan lebih besar 3-4 kali lebih luas dibandingkan dengan harimau betina. Ukuran teritori untuk sekor harimau sumatera biasanya tergantung banyaknya persediaan makanan yang ada di daerah tersebut (MacDonald, 1984 ; Treep, 1973 dalam Hutabarat, 2005). Untuk harimau jantan, teritori merupakan hal yang sangat penting dan tidak boleh dibagi dengan harimau lainnya, tetapi kadang-kadang tidak keberatan jika ada satu atau lebih harimau betina di daerah tersebut, terutama pada musim kawin. Harimau betina memiliki toleransi yang lebih tinggi sehubungan dengan teritorinya, baik terhadap harimau jantan maupun sesama harimau betina lainnya (McDougal, 1979). 2.6 Perilaku Perilaku Berburu Harimau sering mengintai mangsanya di sekitar sumber air atau di alangalang yang tinggi. Ia selalu memilih tempat di bawah angin, sehingga angin yang bertiup tidak akan membawa baunya ke penciuman calon mangsa. Harimau mendapatkan mangsanya pada saat berburu dengan cara mengintai dan menunggu dengan sabar pada jarak tertentu untuk menunggu waktu yang tepat (Mountfort, 1973 ; Soeseno, 1977 ; Treep, 1973 dalam hutabarat 2005). Harimau menggunakan teknik berburu yang mengandalkan tak-tik perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh mangsanya. Namun tidak semua mangsa dibunuh dengan cara yang sama. Ada beberapa mangsa yang diterkam pada panggul belakangnya, ada yang diterkam dibagian lehernya, dan ada pula yang digigit secara mematikan pada bagian tenggorokannya atau pada bagian belakang tengkuknya. Sifat memangsa ini mungkin berbeda berdasarkan ukuran atau spesies mangsa dan berbeda berdasarkan tipe habitatnya, dan ada pula sifat pemangsa yang berubah karena berdasarkan pengalaman (Sunquist et al., 1999). Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali tergantung ukuran mangsanya. Seekor harimau betina dapat membunuh seekor kijang seberat 20 kg tiap dua atau tiga hari sekali atau seekor rusa sambar seberat 200 kg setiap beberapa minggu. Seekor harimau membutuhkan 5-6 kg

20 10 daging per hari (Seidensticker et al,. 1999). Besarnya jumlah kebutuhan harimau akan mangsa tergantung dari apakah harimau tersebut mancari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anaknya. Bila mangsa merupakan jenis satwa yang berukuran besar, bagian kepala dan kaki tidak dimakan sedangkan bila mangsa berukuran kecil akan dimakan sampai habis. Biasanya mangsa tidak dihabiskan seluruhnya, melainkan hanya sekitar 70 % dimakan. Setelah makan, sisa makanan yang belum habis disimpan dengan cara ditutupi oleh rumput atau daun-daunan untuk dimakan kemudian dan agar tidak ditemukan binatang lain (Mountfort, 1973 ; Soeseno, 1977 ; Treep, 1973 dalam Hutabarat 2005). Harimau sumatera merupakan satwa karnivora yang biasanya memangsa babi hutan (Sus sp), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (tragulus sp), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), kera (Macaca sp), landak (Hystrix brachyuran) dan trenggiling (Manis javanica). Selain itu juga memangsa jenis reptil seperti kura-kura, ular dan biawak, serta berbagai jenis burung, ikan dan kodok. Hewan peliharaa seperti kambing, domba, sapi dan ayam juga menjadi incaran harimau (Heryatin dan Resubun, 1992 ; McDougal, 1979) Perilaku Reproduksi Masa hidup harimau adalah sekitar tahun. Harimau yang tinggal di penangkaran umumnya dapat mencapai tahun. Populasi dapat berkembang dengan pesat pada situasi yang menguntungkan. Masa kehamilannya pendek yaitu sekitar 103 hari. Setiap tahun, harimau dapat melahirkan dua atau tiga ekor anak dan kadang-kadang sampai 4 ekor anak (Suwelo dan Sumantri, 1978 dalam Suryana, 2004). Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urinnya. Bila terdapat dua ekor harimau jantan mengikuti seekor harimau betina yang sedang birahi maka akan terjadi perkelahian antara kedua harimau jantan untuk memperebutkan harimau betina. Perkawinan harimau dapat berlangsung setiap waktu sepanjang tahun. Selama masa birahi harimau betina memperihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara badan dan hanya sedikit beristirahat. Tingkah laku yang menunjukkan seekor harimau betina dalam masa birahi : sikap tubuh lordosis atau melengkung yaitu suatu sikap yang menunjukkan

21 11 kesiapan untuk kopulasi (telungkup dan bagian belakang tubuhnya diangkat sehingga membentuk lengkungan), berguling-guling pada punggung, menggosok-gosokkan tubuh dan pipi ke benda lain, mengeluarkan suara yang disebut prusten yaitu jenis suara yang dihasilkan oleh udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan (McDougal, 1979). 2.7 Peragkap kamera (Camera trap) Metode yang efisien dan dapat dipercaya bagi kegiatan assessment kekayaan dan kepadatan suatu jenis menjadi sangat penting dalam kegiatan mengetahui keberadaan mamalia mungkin sudah menjadi metode yang kuno saat ini. Beberapa tahun belakangan ini telah ditemukan metode baru yang lebih efisien dalam melakukan kegiatan invetarisasi mamalia yaitu dengan menggunakan perangkap kamera atau kamera trap. Metode ini dinilai sangat efisien dalam kegiatan inventarisasi satwa terutama untuk satwa yang samar, untuk mempelajari populasi dari spesies tersebut karena masing masing individu dapat dibedakan berdasarkan tanda atau pola pada tubuhnya (Karanth, 1995; Carbone, 2001; diacu dalam Silveira, 2003). Sistem kamera otomatis atau lebih dikenal dengan kamera trap merupakan suatu alat dan sistem yang dapat memantau satwaliar secara lebih efektif dan akurat guna mendukung usaha konservasi terhadap satwaliar khususnya untuk pendugaan kepadatan harimau sumatera (Karanth & Nichols, 2002), situasi perubahan satwa karnivora dan herbivora di hutan tropika (Sanderson et al., 2004). Generasi kamera trap dalam pengembangan model capture-recapture telah meningkatkan keefektifan dalam metode survey dan monitoring untuk sebagian besar satwa terestrial dan beberapa mamalia arboreal (Karanth & Nichols, 2002). Teknologi berupa kamera trap telah banyak membantu usaha konservasi satwa liar di dunia termasuk Indonesia. Dengan adanya sistem kamera trap dapat digunakan untuk memantau populasi satwa liar yang terancam punah keberadaannya di alam liar. Penggunaan metode kamera trap untuk memantau populasi karnivora besar pertama kali dilakukan oleh Karanth (1995) di empat taman nasional di India. Di Indonesia, metode ini pertama kali diterapkan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara (Griffith, 1994). Kamera trap bekerja dengan menggunakan sistem infra merah yang dapat mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas tubuh satwa tersebut. Setiap satwa yang melintas akan terekam gambarnya oleh kamera. Gambar-

22 12 gambar tersebut dilengkapi dengan data tentang waktu pengambilan, bulan, tanggal dan nomor gambar yang tersimpan dalam data logger dan di transformasikan kedalam sofware komputer. Keberadaan set kamera tidak mempengaruhi aktivitas satwa yang melintas didepan kamera sehingga tidak mengganggu kegiatan hariannya. Penempatan kamera diusahakan tidak pada celah yang lebar sehingga pada saat harimau melintasi kamera trap akan mengaktifkan secara otomatis dan menangkap gambar individu yang melintas (Karanth & Nichols, 2002). 2.8 Program CAPTURE Program CAPTURE merupakan alat bantu berupa sofware komputer yang dipergunakan untuk analisis capture-recapture dalam pendugaan suatu populasi. Untuk memperkirakan kepadatan dan kelimpahan relatif harimau menggunakan metode yang dikembangkan oleh Karanth (1995) serta Karanth dan Nichols (2002) berdasarkan foto dengan memakai program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991). Perkiraan populasi pada CAPTURE membolehkan untuk cathability atau kesempatan penangkapan tidak sama (heterogenitas) dan kamera trap tidak mempengaruhi perilaku satwa dan peluang tangkap bervariasi untuk setiap periode sampling. CAPTURE menghasilkan estimasi populasi berdasarkan data capture-recapture populasi tertutup (Closed Population). Maksudnya adalah selama periode pemasangan kamera trap tidak terjadi penambahan individu baru (imigrasi dan kelahiran) atau yang hilang (emigrasi atau mati). Jika hal ini terjadi maka populasi tersebut dikategorikan terbuka satu dan suatu analisa yang berbeda harus dilakukan (Otis et al., 1978 dalam Linkie, 2006a). Linkie (2006a) selanjutnya menyebutkan bahwa selama analisis data, asumsi-asumsi dalam populasi tertutup yang perlu diperhatikan sebagai berikut : a. Penandaan tidak hilang yaitu pola garis atau belang harimau permanen. b. Penandaan dicatat dengan benar, identifikasi harimau dan foto dengan melihat pola garis pada bagian perut, bagian atas kaki belakang dan jika perlu bagian ekor. Pola belang harimau bersifat asimetris (pola belang sisi bagian kiri dan kanan harimau terlihat berbeda). c. Peluang tertangkapnya individu harimau sama dalam waktu periode sampling, kamera sebaiknya dipasang pada daerah yang membagi dua daerah jelajah individu untuk kemungkinan menghindari bias.

23 13 Dengan menggunakan program CAPTURE diperoleh beberapa model yang cocok untuk untuk ukuran populasi (D-hat). Model-model dalam CAPTURE yang sering dipergunakan dalam pendugaan suatu populasi (Linkie, 2006a) yaitu : a. M, yaitu kemungkinan penangkapan seluruh harimau adalah sama dan 0 tidak terpengaruh respon perilaku (b), waktu (t), atau heterogenitas individu (h). b. M (Jackknife, N ), yaitu kemungkinan penangkapan bersifat heterogen pada h h masing-masing individu harimau (setiap individu mempunyai kemungkinan penangkapan yang unik), tetapi tidak dipengaruhi respon perangkap dan waktu. Hal ini mungkin dikarenakan aksesbilitas trap yang ditentukan oleh status kediaman (penetap atau tidak) dari harimau. c. M (Zippin, N ) yaitu kemungkinan penangkapan berbeda pada penangkapan b b sebelumnya dan harimau yang belum pernah tertangkap yang disebabkan respon perilaku tangkap, tetapi tidak dipengaruhi oleh heterogenitas atau waktu. Model M memperkirakan untuk trap happines atau trap shyness b yaitu satwa tersebut merubah perilakunya setelah tertangkap kamera untuk pertama kalinya. Walaupun trap secara fisik tidak menandai satwa tekanan mungkin karena adanya kilatan atau flash kamera. d. M (Darroch, N ) yaitu kemungkinan penangkapan adalah sama untuk seluruh t t individu harimau, tetapi bervariasi selama survey yang hanya disebabkan faktor waktu spesifik. Misalnya tangkapan sedikit jika cuaca tidak menentu yang selanjutnya akan mengurangi aktivitas satwa seperti selama musim hujan harimau mengurangi ukuran daerah jelajahnya. Seekor harimau saat setelah melahirkan akan mengurangi peningkatan aktivitas berburunya yang biasanya 9 hari menjadi 7 hari, peluang tangkap harimau pada masa tersebut akan semakin kecil karena harimau tersebut akan tetap selalu dekat dengan anaknya.

24 14 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Status Kawasan Kawasan hutan batang hari yang terletak di provinsi Sumatera Barat memiliki luas ha. Secara administratif kawasan hutan batang hari terletak di 4 kabupaten yaitu Solok, Solok selatan, Dhamasraya, dan Sijunjung. Kawasan ini merupakan hasil pemekaran kabupaten berdasarkan penetapan pemerintah provinsi Sumatera Barat. Kawasan hutan Batang hari masuk ke dalam wilayah sebelum terjadi pemekaran kabupaten,taman Nasional Kerinci Seblat. Saat ini pengelolaan kawasan tersebut diserahkan kepada dinas kehutanan masing-masing kabupaten. Pengelolaan kawasan hutan batang hari terbagi atas 6 fungsi kawasan yaitu Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Suaka Alam dan Wisata, Hutan Produksi dapat di Konversi, dan Areal Penggunaan Lain. Berdasarkan klasifikasi hutannya kawasan hutan batang hari terbagi atas 3 yaitu pegunungan, sub-pegunungan, perbukitan. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati yang ada di kawasan hutan batang hari menjadi salah satu alasan utama perlunya perhatian khusus dalam hal pengelolaan kawasan. Kawasan ini juga menjadi habitat bagi harimau sumatera yang kini semakin terdesak keberadaannya karena fragmentasi habitat. Disamping itu kawasan hutan batang hari juga memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, yaitu sebagai daerah pencipta iklim mikro yang berguna mengatur siklus air bagi desa di sekitar kawasan tersebut, merupakan daerah tangkapan air, juga sebagai sumber air bagi masyarakat. Daerah ini juga merupakan hulu sungai Batang hari, sungai terpanjang di Sumatera. 3.2 Kondisi Fisik Kawasan Topografi Kondisi topografi kawasan hutan Batang hari adalah bergelombang, berlereng curam dan tajam dengan ketinggian 300 sampai dengan 1600 meter dpl. Daerah pinggir kawasan hutan batang hari merupakan hutan perbukitan yang disambung dengan rangkaian hutan sub pegunungan hingga ketinggian 1500 mdpl. Kondisi topografi hutan perbukitan yang datar hingga bergelombang terbentuk dari tanah Latosol dan atau gabungan antara Latosol dengan podsolik merah kuning, sedangkan topografi di tipe hutan sub pegunungan didominasi oleh tebing batu yang curam dengan kemiringan hingga 70%.

25 Iklim Sebagai bagian dari iklim pulau Sumatera, kawasan hutan Batang hari memiliki iklim tropis basah dengan curah hujan yang relatif tinggi dan merata. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara mm. Musim hujan berlangsung dari bulan September - Februari dengan puncak musim hujan pada bulan Desember. Sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan April Agustus. Suhu udara rata-rata bervariasi yaitu mulai dari 20º C hingga 28º C. Sedangkan kelembaban udara mencapai 80% - 90% Hidrologi Pengelolaan kawasan hutan batang hari yang terdiri atas 6 fungsi kawasan yaitu Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Suaka Alam dan Wisata, Hutan Produksi dapat di Konversi, dan Areal Penggunaan Lain. kesatuan hutan tersebut telah membentuk fungsi hidrologis yang sangat penting bagi daerah di sekitarnya. Kelompok hutan tersebut memiliki daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Batang Hari, DAS Batarum Gadang dan DAS Gumanti, dan DAS Anduring. DAS tersebut sangat vital peranannya terutama dalam pemenuhan kebutuhan air bagi hidup dan kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tersebut. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berukuran lebar di kawasan ini antara lain Batang hari, Batarum gadang, Gumanti, Anduring, Sungai Batang hari sebagai sungai terpanjang di pulau Sumatra jelas memiliki peran hidrologis yang tinggi sebagai pemasok air bagi daerah sepanjang alirannya. 3.3 Kondisi Biologis Kawasan Flora Kawasan hutan Batang hari menyimpan keanekaragamn hayati yang tinggi didalamnya. Hal ini dikarenakan masih banyak spesies-spesies penting sebagai indikator kelestarian alam. Selain itu kondisi hutan primer yang masih dalam kondisi baik membuat ekosistem didalamnya tetap terjaga. Kawasan ini merupakan bagian dari hutan hujan tropis terbesar Sumatera bagian selatan. Beberapa jenis tumbuhan langka yang dapat ditemukan di dalam kawasan hutan Batang hari adalah bunga Rafflesia (Rafflesia hasselti), bunga bangkai (Amorpophallus titanium), kantung semar (Nephenthes spp), dan jenis anggrek hutan yang dilindungi, sedangkan beberapa jenis pohon dominan yang

26 16 menyusun hutan ini adalah Damar (Aghatis spp), Meranti (Shorea spp), Paningpaning (Quercus spp), Banio (Dipterocarpus borneensis), Keling (Dalbergia latifolia), dan Ulin (Eusideroxylon zwagerii) Fauna Fauna yang terdapat di dalam kawasan hutan Batang hari antara lain adalah : babi jenggot (Sus barbatus), kijang (Muntiacus muntjak), harimau (Panthera tigris sumatrae), ajag (Cuon alpinus), macan dahan (Neofelis nebulosa), kucing mas (Catopuma temincki), kucing batu (Felis marmorata), siamang (Sympalangus syndactilus), ungko (Hylobates agilis), simpai (Presbytis melalophos), Beruk (Macaca nemestrina), tapir (Tapirus indicus), kura-kura darat (Tryonix sp.), gagak (Corvus sp.), kambing hutan (Capricornis sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), dan lain-lain. Sedangkan beberapa jenis burung yang ada di kawasanbutan batang hari adalah rangkong badak, rangkong vigil, julang mas, serak jawa, kuau sumatera, kuau kerdil sumatera, elang ular, elang tikus.

27 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar 1. Peta lokasi penelitian 4.2 Peralatan Studi Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah perangkap kamera Photoscout TM (Highlander sport, Inc. Huntsville,Alabama) dan stealth cam, LLC (805 W.N Carrier Parkway, Grand Prairie, Texas) yang dilengkapi sensor pendeteksi panas (infra red), Roll Fuji Film ASA 100 (24 film), baterai Alkaline dan Energizer, Silica gel, kamera digital olympus 10.2 Megapixel, Global Positioning System (GPS), kompas, peta kerja kawasan hutan Batang hari 1 : , A Guide Tracks Mammals (Van strien, 1983), panduan lapang mamalia (Payne, 2000), alkohol 70 %, pengukur waktu (jam), meteran, worksheet dan alat tulis. Program software Arc View versi 3.3, Arc GIS versi 9.2 dan program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991). Bahan penelitian ini adalah hutan Batang hari sebagai habitat, harimau dan satwa mangsanya.

28 Jenis Data Data Primer Data primer yaitu berupa foto yang diperoleh dari perangkap kamera. Hasil pengukuran analisis vegetasi pada tingkat pohon untuk mengetahui struktur dan komposisi vagetasi pembentuk cover Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari berbagai sumber antara lain: buku teks, laporan, makalah dan skripsi. Wawancara dengan masyarakat mengenai kondisi kawasan hutan juga menjadi informasi penting. 4.4 Teknik Pengambilan Data Metode Capture-Mark-Recaptured Metode penelitian yang digunakan adalah metode tangkap tandai (capture-mark-recapture) menggunakan perangkap kamera. Data pada kamera mencetak foto dengan waktu dan tanggal kejadian. Kamera dipasang sebanyak 36 unit di 20 titik lokasi dengan jarak antar kamera rata-rata 3 grid atau 3 km pada peta. Kamera trap dipasang pada batang pohon dengan ketinggian ratarata 40 cm di atas tanah, posisi kamera menghadap ke jalur pada jarak 2 meter (Karanth & Nichols, 2000). Setiap unit di program untuk merekam gambar satwa dengan selang waktu 1 menit dan beroperasi selama 24 jam/hari. Pengecekan kamera dilakukan satu kali dalam periode 2 minggu untuk penggantian film, baterai, silica gel dan sebagainya. Perangkap kamera ditempatkan di lapangan tidak secara random tetapi berdasarkan probabilitas optimum untuk mendapatkan foto harimau (Karanthet al. 2002; McClurgh et al. 2000; Silver 2004). Lama periode sampling adalah tiga bulan dengan asumsi populasi tertutup yaitu tidak ada perubahan jumlah populasi selama periode sampling. Pembagian waktu periode sampling digunakan sebagai ulangan (occassion) captures (Karanth 1995; Karanth & Nichols 1998; 2000) untuk mengestimasi jumlah populasi suatu jenis pada suatu lokasi dan waktu tertentu. Pembagian waktu periode sampling dibagi per 10 hari kamera aktif.

29 Metode Garis Berpetak Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis penyusun cover dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan cara sampling pada lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak contoh disepanjang jalur pengamatan. Pengukuran dilakukan hanya pada tingkat pohon, yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik pohon pembentuk cover hutan. Ukuran petak adalah 20 m x 20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang dan tinggi total (Soerianegara dan Indrawan, 1998). C D 10m 10m A B A B Lintasan pengamatan 20m D C 1000m Gambar 2. Bentuk jalur pengamatan vegetasi Keterangan: A = Petak pengamatan tingkat semai dan herba B = Petak pengamatan tingkat pancang C = Petak pengamatan tingkat tiang D = Petak pengamatan tingkat pohon

30 Analisis data Analisis Foto Untuk Identifikasi Individu Harimau Harimau diidentifikasi berdasarkan pola loreng (McDougal, 1979; Karanth, 1995; Franklin et al., 1999), jenis kelamin, ciri-ciri yang berbeda seperti morfologis dan berdasarkan dimensi badan yang mendasar. Pengembangan database dilakukan untuk memilih foto-foto harimau yang bermutu, sehingga terlihat gambar harimau yang telah diidentifikasi dari arah kanan dan kiri, dan mungkin juga dari arah depan dan belakang serta penunjuk waktu. Setelah individu harimau benar-benar telah teridentifikasi maka semua foto individu harimau dapat diklasifikasikan secara tepat (Franklin et al., 1999). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991) dan Arc View 3.3. Beberapa istilah penting yang sering ditemukan dalam analisis foto akan dideskripsikan untuk standarisasi istilah yaitu: 1. Trap night merupakan lama hari aktual camera trap beroperasi selama 24 jam per hari mulai saat pemasangan hingga akhir periode sampling pada suatu lokasi kamera dengan memperhitungkan camera trap yang tidak beroperasi baik karena hilang atau rusak. 2. Trap night effective merupakan lama hari aktual camera trap aktif beroperasi selama periode sampling pada suatu lokasi. Waktu camera trap yang tidak beroperasi akibat rusak dan hilang tidak diperhitungkan. 3. Deteksi (detection) adalah kehadiran jenis berdasarkan foto pada suatu waktu dan lokasi. Nilai deteksi suatu jenis adalah satu (1) dan nilai nondeteksi suatu jenis adalah nol (0). 4. Frame adalah jumlah foto dalam satu nomor film. Film yang digunakan memiliki isi 36 frame. 5. Occassion merupakan ulangan berdasarkan trap night dengan pembagi waktu (t). 6. Periode sampling (sampling period) merupakan total lama waktu camera trap beroperasi pada satu blok penelitian di lokasi studi. 7. Capture history harimau merupakan matriks deteksi individu harimau pada suatu lokasi dan occassion tertentu. 8. Independent photo (foto independen) adalah foto yang terekam secara berurutan/sekuel pada satu frame foto dalam satu nomor film yang telah disaring berdasarkan waktu. Dapat dikatakan foto independen (nilai 1) bila

31 21 memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1). Foto yang berurutan/sekuel dari individu berbeda atau spesies berbeda pada satu nomor film. 2). Foto berurutan/sekuel dari individu yang sama (spesies sama) pada satu nomor film dengan rentang waktu lebih dari 1 jam atau foto berurutan/sekuel dari individu berbeda bila dapat dibedakan dengan jelas. 3). Foto individu yang sama atau jenis sama yang tidak berurutan/sekuel pada satu nomor film. Kriteria foto independen ini merujuk pada O Brien et al. (2003) Kepadatan Absolut Harimau Analisis kepadatan absolut (harimau/100km 2 ) digunakan dengan mengetahui jumlah individu yang telah diidentifikasi. Selanjutnya data hasil identifikasi foto untuk analisis capture recapture untuk memperkirakan populasi (N-hat). Dengan asumsi tertutup (Closure Test) dan menggunakan model analisis Mh untuk heterogenetik dari harimau (Karanth, 2002) melalui Program CAPTURE (Rexstad & Burnham, 1991). Asumsi menggunakan capture-recapture model M dimana populasi yang diambil sampelnya adalah sampel tertutup h secara demografi dengan asumsi tak ada kelahiran, kematian, imigrasi, emigrasi selama survey. Keterangan : D : Estimasi kepadatan harimau N : Jumlah individu yang telah diidentifikasi A (W) : Efektif sampling area Luas efektif sampling area diperoleh dengan menghubungkan titik koordinat kamera terluar hingga membentuk poligon (A) kemudian ditambahkan dengan lebar garis batas (W ) (Karanth & Nichols, 1998) yang didapatkan dari ½ Mean Maximum Distance Move (½MMDV) (Karanth & Nichols, 1998, 2000) yaitu dengan menghitung rataan jarak perpindahan maksimum setiap individu harimau yang tertangkap kamera lebih dari sekali dan pada dua lokasi berbeda (Linkie, 2005b).

32 22 Keterangan : w = lebar garis batas m = Jumlah recapture Individu d = rata-rata jarak individu recapture di = Jarak dari tiap individu recapture ke Tingkat Perjumpaan (Encounter Rate/ER) Harimau dan Mangsa Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat dari perhitungan total jumlah foto dibagi total hari kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi 100 hari untuk menyamakan waktu satuan usaha yang digunakan (Lynam, 2000). Keterangan : ER : Tingkat perjumpaan (Encounter rate) Σf : Jumlah total foto yang diperoleh Σd : Jumlah total hari operasi kamera

33 Analisis Vegetasi Data kondisi vegetasi yaitu hasil analisis vegetasi di tiap tipe hutan. Data hasil inventarisasi selanjutnya dianalisis untuk menentukan besarnya nilai Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Dominasi (D), Dominasi Relatif (DR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR) serta Indeks Nilai Penting (INP). Untuk vegetasi tingkat bawah maka indeks nilai penting merupakan penjumlahan antara kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR). Persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988) : Kerapatan Jenis (K) = Jumlahindividu jenis ke-i Luas total petak contoh Kerapatan Relatif (KR) = Dominasi Jenis (D) = Dominasi Relatif (DR) = Kerapatanjeniske-i x100% Kerapatanseluruhjenis Luas bidang dasar Luas total plot contoh Dominasi suatu Dominasi semua jenis x100% jenis Frekuensi Jenis (F) = Jumlah petak ditemukan Jumlah seluruh petak jenis ke - i contoh Frekuensi Relatif (FR) = INP = KR + DR + FR. Frekuensikerapatanjeniske-i x100% Jumlahfrekuensiseluruhjenis

34 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Kondisi Habitat Harimau Tipe hutan yang masuk kedalam lokasi penelitian terdiri atas dua yaitu hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan. Perbedaan tipe hutan ini dibagi berdasarkan ketinggian pada masing masing lokasi, dimana tipe hutan perbukitan berada pada ketinggian antara mdpl dan tipe hutan sub pegunungan berada pada ketinggian mdpl. Vegetasi dominan yang menyusun habitat pada kedua tipe hutan tersebut adalah famili Dipterocarpaceae (4 jenis), Fabaceae (2 jenis), dan Ebenaceae (2 jenis). Jenis pohon yang mendominasi di lokasi penelitian adalah jenis Meranti, Borneo, dan Damar. Tabel 3. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan perbukitan No Nama lokal Jumlah F FR K KR INP (%) (%) 1 Meranti Borneo Pening-pening kapur Asem-asem Medang sungai Melangir Kalek Keling Ulin Rambutan Arang-arang Beringin hutan Damar Durian hutan Medang kunyit Ketapang hutan Jumlah Tipe hutan perbukitan memiliki kondisi topografi sebagian besar bergelombang dan sedikit datar yang memudahkan harimau dalam melakukan pergerakan hariannya. Sungai pada hutan perbukitan memiliki lebar antara m dan mengalir sepanjang tahun. Sungai pada lokasi penelitian merupakan sumber air bagi masyarakat sekitar kawasan dan juga satwa yang ada didalam hutan. Sumber air lainnya yaitu cekungan yang terisi oleh air hujan atau bekas kubangan satwa. Lokasi yang biasa digunakan untuk mengasin bagi satwa

35 25 terdapat di pinggir sungai besar. Sekitar lokasi tersebut banyak ditemukan jejak satwa mangsa seperti rusa sambar dan kijang. Harimau melakukan pengintaian di tempat-tempat yang sering didatangi oleh satwa mangsa seperti sungai dan tempat mengasin Pohon-pohon berukuran sedang hingga besar dengan diameter cm banyak terdapat pada tipe hutan perbukitan. Bentuk tajuknya yang lebar dan rapat membantu mengurangi panas sinar matahari. Strata tajuk pembentuk cover pada lokasi ini terdiri atas lapisan tajuk utama atau strata A (>25 m), lapisan tajuk pertengahan atau strata B (10-25 m), strata C dan lapisan vegetasi pembentuk tumbuhan bawah atau strata D dan E. Strata tajuk yang berlapis memenuhi kriteria habitat bagi harimau untuk menghindari panas dan dalam melakukan pengintaian. Gambar 3. Hamparan kawasan hutan Batang hari Lokasi hutan sub pegunungan memiliki tingkat topografi yang lebih curam dan banyak terdapat tebing batu. Tebing batu ini digunakan kambing hutan yang merupakan satwa mangsa harimau untuk cover. Lokasi hutan sub pegunungan sangat jarang ditemukan sumber air di sepanjang jalur pengamatan. Sumber air kecil biasanya terdapat pada lereng-lereng curam dengan kemiringan hampir 70 o dengan beda ketinggian lebih dari 100 m. Sumber air pada lokasi ini tergantung oleh hujan yang akan membuka mata air atau mengisi cekungan-cekungan.

36 26 Harimau akan menggunakan sumbaer air tersebut jika tidak menemukan sumber air lainnya. Kondisi lantai hutan berupa lumut tebal dan serasah yang selalu basah, sehingga tanda-tanda keberadaan harimau pada lokasi ini sangat sulit ditemukan. Kondisi penutupan tajuknya yang rapat membuat udara pada lokasi ini terasa lebih sejuk dan selalu basah. Penutupan tajuk pada lokasi ini berlapis seperti pada hutan perbukitan yang terdiri dari strata A hingga E. Pohon-pohon besar dominan penyusun tajuk hutan diantaranya adalah meranti (Shorea spp), borneo (Dipterocarpus borneensis) dan damar (Agathis damara). Tabel 4. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon pada tipe hutan sub pegunungan No Nama lokal Jumlah F FR K KR INP 1 Meranti Borneo Kalek Pening-pening hitam Rambutan Beringin hutan Medang batu Damar Kecapi hutan Jumlah Satwa Mangsa Tingkat keanekaragaman satwa ungulata di kawasan hutan Batang hari cukup tinggi. Variasi ini lebih disebabkan kebutuhan pakan yang berbeda-beda dari tiap jenis satwa karnivora sehingga lokasi tempat ditemukannya satwa mangsa juga berbeda-beda. Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan Batang hari antara lain rusa sambar, kambing hutan, kijang, dan babi jenggot. Tabel 5. Tingkat perjumpaan satwa mangsa harimau No Nama Lokal Nama Ilmiah Foto Independen Tingkat perjumpaan Standar deviasi 1 Landak Hystrix braciura Beruk Macaca nemestrina Kijang Muntiacus muntjak Beruang Helarctos malayanus Babi jenggot Sus Barbatus Tapir Tapirus indicus Kancil Tragulus napu Rusa sambar Cervus unicolor Kambing hutan Capricornis sumatraensis

37 27 (a) Gambar 4. Kijang (a) dan Babi jenggot (b) merupakan satwa mangsa harimau yang ada di kawasan hutan batang hari. (b) Berdasarkan jumlah foto independen yang didapat selama perangkap kamera terpasang, satwa mangsa dominant yang ada di kawasan hutan Batang hari adalah beruk (56 foto), beruang (46 foto), landak (39 foto), babi jenggot (33 foto), kijang (16 foto). Selain jenis satwa mangsa utama, beberapa jenis satwa menjadi alternatif sasaran mangsa bagi harimau, seperti pelanduk napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina) dan tapir (Tapirus indicus). Gambar 5. Kancil merupakan salah satu satwa alternatif bagi harimau

38 28 Satwa mangsa yang tertangkap kamera pada lokasi hutan perbukitan adalah beruang madu (Hystrix brachyura), babi jenggot (Sus Barbatus), beruk (Macaca nemestrina), kijang (Muntiacus muntjak), rusa sambar (Cervus unicolor) dan landak (Hystrix brachyura). Sedangkan jenis satwa mangsa yang terdapat pada lokasi hutan sub pegunungan adalah beruang madu (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), kijang (Muntiacus muntjak), pelanduk napu (Tragulus napu), tapir (Tapirus indicus) dan landak (Hystrix brachyura). Beruk sering tertangkap kamera karena aktivitas hariannya dilakukan di tanah (terrestrial) Jenis satwa yang paling sering tertangkap oleh kamera adalah kuau raya (Argusianus argus). Jenis ini merupakan salah satu mangsa potensial bagi harimau. Kuau sering tertangkap pada salah satu titik kamera karena satwa ini membuat gelanggang untuk menarik pasangannya. Tabel 6. Jenis satwa mangsa potensial pada masing-masing tipe hutan No Jenis satwa Nama Ilmiah Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Beruang madu Helarctos malayanus 2 Musang galing Paguma larvata 3 Musang leher kuning Martes flavigulata 4 Beruk Macaca nemestrina 5 Babi jenggot Sus Barbatus 6 Rusa sambar Cervus unicolor 7 Kambing hutan Capricornis sumatraensis 8 Kijang Muntiacus muntjak 9 Pelanduk napu Tragulus napu 10 Tapir Tapirus indicus 11 Landak Hystrix brachyura 12 Bajing tanah bergaris tiga Lariscus insignis 13 Kuau raya Argusianus argus 14 Sempidan sumatera Lophura inornata Cover Secara umum struktur vegetasi di kawasan hutan Batang hari memiliki strata tajuk dari lapisan A hingga E. Berdasarkan hasil pengukuran analisis vegetasi diketahui bahwa jenis pohon dominan yang menjadi cover pada habitat harimau sumatra di kawasan hutan batang hari adalah jenis meranti (Shorea spp.), borneo (Dipterocarpus borneensis), dan damar (Agathis spp.). Hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging di hutan perbukitan memiliki penutupan tajuk yang jarang hingga terbuka,

39 29 dan di sepanjang jalan banyak ditumbuhi semak belukar yang rapat. Kondisi hutan perbukitan memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi pada tingkat pohon, sehingga membantu harimau menghindari panas matahari dan membantu dalam pengintaian. Hutan sub pegunungan juga memiliki tingkat kerapatan pohon yang tinggi dengan komposisi vegetasi pembentuk tumbuhan bawah berupa rotan. Pada lokasi ini harimau menggunakan cover untuk berlindung dari gangguan yang banyak terdapat di hutan perbukitan. Gambar 6. Lapisan tajuk utama atau strata A pada hutan sub pegunungan Gambar 7. Lapisan tajuk pertengahan atau strata B pada hutan perbukitan

40 Air Air merupakan salah satu komponen penting penyusun habitat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup satwaliar. Air menjadi komponen habitat yang penting bagi harimau untuk berendam dan mandi karena satwa ini tidak suka denganudara panas. Sumber air pada lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi sungai, kubangan atau cekungan yang terisi air hujan, dan mata air. Sumber air berupa sungai hanya terdapat di tipe hutan perbukitan. Sungai yang terdapat di lokasi ini adalah sungai Batang hari, Anduring, Gumanti, Kandi dan Batarum gadang. Karakteristik sungai yang ada di lokasi penelitian adalah berarus deras, berbatu, serta memiliki substrat berpasir. Sungai Batang hari memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, airnya berwarna kuning kecoklatan karena substratnya yang berlempung dan berpasir. Sungai Anduring memiliki air yang jernih, berarus deras, dan berbatu. Sungai ini sering menjadi tempat perlintasan satwa. Beberapa kali pergerakan satwa seperti rusa sambar, kijang, dan musang leher kuning terlihat langsung. Selain itu, di tepi sungai anduring ditemukan tempat mengasin bagi satwa. Jejak kaki rusa sambar dan kijang banyak ditemukan di sekitar lokasi tersebut, dan beberapa kali rusa sambar terlihat langsung melakukan aktifitas disana. Sungai Gumanti, sungai Kandi dan sungai Batarum gadang memilki karakter yang tidak jauh berbeda dengan sungai Anduring yang berbatu dan memiliki substrat tanah berpasir, hanya saja pada ketiga sungai tersebut arusnya tidak terlalu deras dan berukuran lebih kecil. Sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun tersebut cenderung terletak pada tipe hutan perbukitan. Sedangkan pada tipe hutan sub pegunungan hanya terdapat sumber-sumber air kecil, kubangan, dan cekungan yang terisi oleh air hujan. Lokasi hutan sub pegunungan banyak ditemukan sumber-sumber air kecil yang berasal dari mata air. Biasanya sumber air yang kecil ini bersifat sementara dan akan hilang pada saat musim kemarau. Kubangan pada lokasi ini ada yang masih aktif dan ada yang sudah lama tidak dijadikan tempat berkubang bagi satwa.

41 31 (a) (b) (c) Gambar 8. Karakteristik fisik sungai di lokasi penelitian yang berbatu (a,b dan c), memiliki arus deras (a dan c) dan terbentuk dari substrat tanah berpasir Karakteristik Habitat Harimau Sumatera Cover Strata tajuk pada kawasan hutan yang diteliti meliputi lapisan tajuk utama (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m). Harimau butuh perlindungan dari panas matahari, sehingga bentuk tajuk yang berlapis pada hutan sangat membantu. Selain itu strata tajuk yang berlapis mengurangi ancaman dari perburuan oleh manusia serta menambah efektifitas dalam perburuan. Penutupan tajuk tipe hutan perbukitan bervariasi dari mulai terbuka hingga rapat. Pada jalur bekas logging penutupan tajuk berada pada lapisan tajuk pertengahan dan terbuka. Akan tetapi pada jalur ini banyak ditumbuhi oleh semak dan belukar yang yang tidak terlalu rapat, sehingga dapat membantu menyamarkan tubuh harimau dalam melakukan pemangsaan. Walaupun arealnya yang sedikit terbuka dan cenderung lebih panas, tanda-tanda keberadaan harimau seperti jejak kaki (pugmark) dan garukan pada tanah (scrape) lebih banyak ditemukan pada lokasi ini. Begitu pula dengan satwa mangsanya, pada jalur bekas logging juga banyak ditemukan tanda-tanda keberadaannya.

42 32 Gambar 9. Jalan bekas logging yang sering dijadikan perlintasan oleh harimau Berdasarkan kondisi di lokasi pada tiap-tiap tipe habitat, keberadaan jejak harimau lebih mudah dideteksi pada tipe hutan perbukitan daripada tipe hutan sub pegunungan. Pada umumnya kedua tipe hutan tersebut masih dalam kondisi yang baik, hal ini didasari masih dapat ditemukannya satwa dengan perilaku yang sensitif terhadap perubahan lingkungannya, selain itu kawasan hutan Batang hari merupakan daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya dan juga merupakan sumber air bagi sungai Batang hari. Gambar 10. Jejak kaki (pugmark) harimau yang ditemukan di jalan bekas logging

43 33 Harimau di tipe hutan sub pegunungan lebih cenderung menggunakan tutupan tajuk untuk menghindari sinar matahari dan menghindari gangguan oleh manusia. Gangguan yang banyak terjadi pada lokasi hutan perbukitan membuat harimau lebih sering melalui lokasi ini. Walaupun tingkat perjumpaan satwa mangsa pada hutan sub pegunungan terbilang rendah, namun jumlah jenis yang terdapat pada lokasi ini tidak jauh berbeda dengan hutan perbukitan. Strata tajuk pada lokasi hutan sub pegunungan didominasi oleh pohon borneo pada lapisan tajuk utama. Lapisan tajuk pertengahan banyak didominasi oleh meranti dan borneo. Semak belukar banyak ditumbuhi oleh rotan dan pandan yang cukup rapat. Harimau cenderung menghindari jalur ini dan memilih jalur yang sudah ada. Tanda-tanda keberadaan harimau pada lokasi ini sangat sulit ditemukan. Lantai hutannya yang ditutupi oleh lumut tebal dan serasah tidak memungkinkan ditemukannya jejak tapak kaki. Tanda keberadaan yang dapat dijumpai pada lokasi ini hanya sebatas kotoran. Gambar 11. Kondisi habitat pada tipe hutan sub pegunungan Satwa Mangsa Satwa mangsa yang berhasil diidentifikasi melalui fofo hasil perangkap kamera adalah sebanyak 9 jenis. Satwa mangsa utama harimau merupakan satwa ungulata dengan biomassa yang besar. Namun tidak jarang harimau memangsa satwa yang lebih kecil ukurannya seperti pelanduk napu, landak, dan beruk. Hal tersebut dilakukannya sebagai alternatif jika sulit mendapatkan mangsa yang lebih besar. Babi jenggot merupakan satwa mangsa yang penyebarannya merata hampir di seluruh lokasi kamera pada tipe hutan perbukitan.

44 34 Pola penyebaran satwa mangsa yang ditemukan bersifat acak dan tersebar pada kedua tipe hutan, akan tetapi ada beberapa jenis satwa yang hanya tertangkap pada satu salah satu tipe hutan saja. Rusa sambar dan kambing hutan merupakan satwa mangsa utama harimau, namun selama perangkap kamera aktif, kedua satwa ini hanya satu kali tertangkap kamera dan hanya ada di satu titik lokasi kamera. Rusa sambar tertangkap kamera pada jalur bekas logging di hutan perbukitan, sedangkan kambing hutan tertangkap kamera pada hutan sub pegunungan. Kebutuhan akan habitat bagi satwa mangsa lebih terpenuhi pada tipe hutan perbukitan. Tempat mengasin (Salt lick) yang digunakan satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan mineralnya ditemukan di pinggir sungai pada tipe hutan ini. Aktifitas yang tinggi terlihat dari beberapa kali perjumpaan langsung yang terjadi. Beberapa jenis satwa yang terlihat langsung melakukan aktifitas di lokasi mengasin dan kubangan adalah kijang dan rusa sambar. Gambar 12. Tempat mengasin (salt lick) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mineral satwa

45 35 Tabel 7. Jenis satwa mangsa potensial yang tertangkap oleh kamera selama penelitian. No Nama lokal Nama inggris Total Foto Foto Independen 1 Harimau sumatera Sumatran Tiger Kucing emas Asian Golden Cat Kucing batu Marbled Cat Macan dahan Clouded leopard Beruang madu Malayan Sun Bear Ajag Asian wild dog Musang galing Masked palm civet Musang leher kuning Yellow throated marten Beruk Pig tailed macaque Babi jenggot Bearded Pig Rusa sambar Sambar Deer Kambing hutan Serow Kijang Red muntjac Pelanduk napu Grater mouse-deer Tapir Malayan tapir Landak Common porcupine Bajing tanah bergaris tiga Three-striped Ground Squirrel Kuau raya Great argus Sempidan sumatera Salvadori's Pheasant Unidentified Manusia Jumlah foto independen rusa sambar dan kambing hutan yang menjadi mangsa utama harimau sangat sedikit. Selama penelitian, foto yang berhasil dikumpulkan untuk kedua jenis satwa mangsa tersebut hanya 1 foto. Rusa sambar terfoto pada kamera K16 sedangkan kambing hutan terfoto pada kamera K01. Rusa sambar terfoto di jalur bekas logging pada hutan perbukitan yang masih digunakan oleh masyarakat untuk masuk kedalam hutan. Sepanjang jalur tersebut banyak ditemukan jejak satwa mangsa lainnya seperti babi jenggot, kijang, dan napu. (a) Gambar 13. Kambing hutan (a) dan rusa sambar (b) sebagai satwa mangsa utama harimau (b)

46 36 Beruk adalah satwa mangsa yang paling sering tertangkap oleh kamera dan memiliki kelimpahan yang bervariasi pada berbagai kondisi habitat karena tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Kambing hutan tertangkap kamera pada hutan sub pegunungan yang banyak terdapat tebing batu. Tandatanda keberadaan kambing hutan seperti gua peristirahatan dan shelter banyak ditemukan di sekitar lokasi tebing. (a) (b) Gambar 14. Beruk (a) dan (b) landak adalah satwa mangsa potensial bagi harimau Tapir yang merupakan satwa mangsa potensial bagi harimau hanya terfoto dua kali pada hutan sub pegunungan, setelah itu tidak pernah tertangkap oleh kamera lagi. Tapir merupakan satwa mangsa potensial bagi harimau yang memiliki biomassa besar, namun satwa ini dijadikan pilihan terakhir dalam hal pemangsaannya.

47 37 Tabel 8. Daftar jenis satwa yang tertangkap pada masing-masing lokasi kamera selama penelitian No Nama lokal Nama latin Titik kamera Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae 2 Kucing emas Catopuma temminckii 3 Kucing batu Pardofelis marmorata 4 Macan dahan Neofalis nebulosa 5 Beruang madu Helarctos malayanus 6 Ajag Cuon alpinus 7 Musang galing Paguma larvata 8 Musang leher kuning Martes flavigulata 9 Beruk Macaca nemestrina 10 Babi jenggot Sus barbatus 11 Rusa sambar Cervus unicolor 12 Kambing hutan Capricornis sumatraensis 13 Kijang Muntiacus muntjak 14 Pelanduk napu Tragulus napu 15 Tapir Tapirus indicus 16 Landak Hystrix brachyura 17 Bajing tanah bergaris tiga Lariscus insignis 18 Kuau raja Argusianus argus 19 Sempidan sumatera Lophura inornata 20 Manusia 21 Unidentified

48 Populasi Harimau Sumatera Kepadatan Hasil analisis program CAPTURE menyatakan bahwa populasi (N) harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari adalah 5 (4,88) ekor dengan nilai standar error sebesar 1,35. Dengan menggunakan selang kepercayaan 95%, individu harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari berkisar antara 5 11 ekor dengan kepadatan 1,43 3,13 ekor/100 km2. Tabel 9. Hasil dari analisa program CAPTURE Effektif sampling area 351,26 Kriteria model yang digunakan Mh Jumlah Individu (Mt+1) 4 Rata-rata (p-hat) 0,22 Peluang capture 0,8 Populasi (N) dan standar error (SE) 4,88 (1,35) Populasi Cl 95% (individu) 5-11 ekor Kepadatan Harimau/100 km2 1,43-3,13 ekor/100km2 Dengan menggunakan asumsi populasi tertutup, didapatkan nilai rata-rata probablitas capture (p-hat) sebesar 0,22. Nilai ini mempengaruhi besarnya peluang suatu jenis tertangkap oleh kamera dalam satu ulangan. Peluang tertangkapnya suatu jenis oleh kamera sangat dipengaruhi oleh lokasi pemasangan kamera dan perilaku keberadaan suatu jenis (penetap atau penjelajah). Peluang kemungkinan harimau tertangkap oleh kamera pada seluruh occasion adalah sebesar 80%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa mudah untuk menemukan tanda-tanda keberadaan harimau sumatra. Tabel 10. Jumlah foto individu harimau pada masing-masing tipe hutan No Jenis satwa Jumlah foto Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Damar Gumanti Meranti Bulan 1 4 Pergerakan individu harimau yang berbeda-beda menyebabkan sebaran lokal harimau pada tiap tipe hutan menjadi berbeda. Jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah yang paling luas berhasil tertangkap kamera yang terletak pada kedua tipe hutan. Berdasarkan tabel 12, sebaran lokal harimau pada hutan perbukitan lebih tinggi daripada hutan sub pegunungan.

49 Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio) Sex ratio dari individu yang terfoto oleh kamera adalah 1 jantan dan 3 betina. Satu dari betina dewasa tersebut memiliki 2 ekor anak. Hal ini dapat dipastikan karena salah satu dari anak tersebut tertangkap kembali oleh kamera, namun yang lainnya tidak tertangkap kamera lagi sehingga tidak dapat diidentifikasi. Setelah semua individu harimau berhasil diidentifikasi lalu diberi identitas (ID) atau nama harimau yaitu Gumanti, Bulan, Damar, dan Meranti. Tabel 11. Individu harimau berdasarkan jenis kelamin pada masing-masing tipe hutan No ID Harimau Jenis Tipe hutan kelamin Hutan sub Hutan perbukitan pegunungan 1 Damar Jantan 2 Gumanti Betina 3 Meranti Betina 4 Bulan Betina 5 Anak Gumanti 2 Unidentified Struktur Umur Proses identifikasi individu harimau dilakukan dari foto hasil camera trap dengan membandingkan 2 sisi tubuh harimau yang tertangkap oleh perangkap, dan diketahui bahwa terdapat 4 ekor harimau sumatera. Berdasarkan tingkat umurnya individu harimau yang terfoto merupakan individu sub-adult hingga dewasa. Individu dewasa berjumlah 3 ekor, sedangkan individu sub adult berjumlah 2 ekor. Individu dengan tingkat umur sub adult merupakan anak dari salah satu individu betina dewasa yaitu Gumanti. Tabel 12. Individu harimau berdasarkan kelas umur pada masing-masing tipe hutan. Tipe hutan No ID Harimau Kelas umur Hutan sub Hutan perbukitan pegunungan 1 Damar Dewasa 2 Gumanti Dewasa 3 Meranti Dewasa 4 Bulan Sub adult 5 Anak Gumanti 2 Sub adult

50 Wilayah Jelajah Dari hasil analisis dengan menggunakan program ArcGis 9.2 dan ArcView 3.2 diketahui bahwa Damar merupakan individu jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah yang paling luas. Titik kamera yang paling sering menangkap keberadaan Damar adalah K02 dengan jumlah 4 foto. Sedangkan 3 individu lainnya yaitu Gumanti, Meranti, dan Bulan hanya tertangkap di beberapa lokasi kamera saja. Gumanti dan Meranti hanya ditemukan di tiga lokasi kamera, sedangkan Bulan hanya ditemukan di dua lokasi kamera saja. Aktifitas harimau lebih banyak terlihat pada lokasi kamera yang terletak pada tipe hutan perbukitan. Dari keseluruhan harimau yang berhasil diidentifikasi, hampir semua individu harimau memiliki daerah jelajah yang melewati kedua tipe hutan. Berdasarkan peta penyebaran harimau, Damar lebih banyak melewati daerah hutan sub pegunungan. Individu betina (Gumanti dan Meranti) lebih banyak melakukan pergerakan di lokasi hutan perbukitan. Sedangkan jantan dewasa (Damar) melintasi kedua tipe hutan baik perbukitan maupun sub pegunungan. Namun berdasarkan analisis yang dilakukan melalui foto, individu jantan lebih banyak melintas di hutan sub pegunungan. Individu sub adult (Bulan) terlihat pada kedua tipe hutan, namun berulang kali tertangkap pada lokasi kamera di hutan sub pegunungan. Gambar 15. Damar, individu harimau jantan dewasa yang memiliki daerah jelajah paling luas

51 Gambar 16. Peta penyebaran lokasi kamera dan wilayah jelajah harimau 41

52 Perilaku Harimau Pola Aktifitas Harian Aktifitas harimau di lokasi penelitian lebih banyak dilakukan pada malam hari (58%) daripada siang hari (42%). Pola aktifitas harimau dapat dikategorikan crepuscular dan diurnal. Hal ini ditandai dengan adanya aktifitas harimau pada pukul dini hari hingga Pada siang hari aktifitas harimau mulai tertangkap oleh kamera pada pukul hingga sore hari pukul Tingkat perjumpaan harimau lebih tinggi pada hutan perbukitan diikuti dengan tingginya tingkat perjumpaan satwa mangsa. Gambar 17. Harimau yang tertangkap kamera sedang melakukan pergerakan pada sore hari dan menjelang pagi Mengasuh Anak Perilaku membesarkan anak ditunjukkan oleh Gumanti yang terlihat masih bersama kedua anaknya. Gumanti tertangkap bersama kedua anaknya pada lokasi kamera K 04. Lokasi kamera terletak di hutan perbukitan pada jalan bekas logging. Tanda-tanda keberadaan induk dan anaknya ini terdeteksi pada dua tempat. Lokasi pertama pada titik kamera, dan lokasi kedua pada tanah lapang di jalan bekas logging. Setelah berpisah dengan induknya, masingmasing anaknya memiliki daerah jelajah sendiri namun masih dalam pengawasan induknya. Bulan, salah satu anak dari Gumanti tertangkap melakukan pergerakan harian sendiri pada lokasi kamera yang tidak terlalu jauh menangkap kehadiran Gumanti.

53 43 Gambar 18. Induk harimau sedang bersama dengan kedua anaknya Gangguan Habitat Harimau Tingkat aktifitas masyarakat yang tinggi didalam maupun dipenggir hutan dapat mempengaruhi kualitas hutan sebagai habitat. Beberapa hasil pengamatan selama di lapangan masih ditemukan sisa-sisa kegiatan masyarakat yang dilakukan di dalam hutan. Kegiatan berburu dan mencari hasil tambang seperti emas merupakan kegiatan rutin yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Minimal dalam waktu satu bulan mereka akan kembali kedalam hutan. Kegiatan berburu masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan memasang jerat. Di beberapa jalur ditemukan jerat-jerat yang terpasang. Jerat dipasang untuk menjerat satwa dari ukuran kecil seperti kancil hingga besar seperti rusa sambar. Kegiatan perambahan dilakukan dengan cara mengkonversi lahan hutan menjadi kebun. Komoditi utama hasil perkebunan dari desa sekitar kawasan hutan Batang hari adalah Kapulaga dan kopi. Kegiatan perambahan juga terjadi akibat perjalanan yang mereka lakukan didalam kawasan. Sisa-sisa sampah plastik dan botol yang mereka bawa dari desa berserakan di sepanjang jalur, sehingga kondisi lantai hutan menjadi telihat kumuh.

54 44 Gambar 19. Jerat yang digunakan oleh masyarakat untuk berburu satwaliar di dalam hutan. Kegiatan penebangan liar masih terjadi disekitar pinggiran hutan. Kegiatan penebangan olh masyarakat dilakukan dengan skala kecil namun rutin. Meski rumah bekas kegiatan penebangan sudah tidak dipakai lagi, terkadang masih digunakan untuk tempat bermalam bagi masyarakat yang masuk ke dalam kawasan. Gambar 20. Kegiatan perambahan yang dilakukan oleh masyarakat di pinggir kawasan hutan

55 45 Didalam hutan masih terdapat balok-balok kayu siap angkut yang sudah terbengkalai, karena jalur yang rusak dan pertimbangan biaya maka kayu tersebut dibiarkan begitu saja. Di desa masih terdapat tempat-tempat pengolahan kayu (sawmill) dengan skala kecil. Kayu yang diambil dari hutan selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga juga untuk memenuhi pesanan dari luar desa. Tabel 13. Jenis gangguan habitat di dalam kawasan hutan Batang hari No Jenis gangguan Hutan perbukitan Hutan sub pegunungan 1 Penambangan liar 2 Perburuan 3 Perambahan 4 Illegal logging Gambar 21. Bangunan sisa kegiatan logging yang sudah tidak digunakan lagi, dan balok kayu yang ttidak sempat terangkut dari dalam kawasan

56 Pembahasan Kondisi Habitat Harimau Kawasan hutan Batang hari memiliki dua tipe hutan yaitu hutan perbukitan dan sub pegunungan. Jenis pohon yang paling banyak ditemui yaitu meranti (Shorea spp) dan borneo (Dipterocarpus borneensis). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, pohon dominan yang ada di hutan perbukitan berasal dari famili Dipterocarpaceae, Fabaceae, dan Ebenaceae. Bentuk tajuknya yang lebar dan rapat sangat berguna bagi harimau untuk menghindari panas matahari pada siang hari. Keanekaragaman vegetasi yang tinggi mengindikasikan struktur komunitas yang mantap dan stabil. Suatu keanekaragaman yang besar mengenai bentuk kehidupan mengisyaratkan terdapat suatu keanekaragaman yang besar juga pada rantai makanan dengan tingkat trofik, yaitu penyediaan makanan dan kebutuhan nutrisi (Kartawinata et al., 1991 dalam Lestari, 2006). Sungai sebagai sumber air bagi satwaliar menjadi tempat yang vital bagi pemenuhan kebutuhan akan air. Alikodra (2002) menyatakan bahwa ketersedian air pada suatu habitat secara langsung dipengaruhi oleh iklim lokal. Karakteristik sungai yang besar, berbatu, dan panjang menjadi salah satu tempat yang sering di kunjungi oleh satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan akan air. Harimau mengunjungi kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan akan air dan satwa mangsa. Hutan sub pegunungan memiliki kontur yang lebih curam dan terjal karena banyak terdapat tebing batu. Tanda-tanda keberadaan harimau di kawasan hutan Batang hari dapat dijumpai hingga ketinggian 1500 mdpl pada daerah yang berlereng curam. Setijati et al., (1992) menyatakan bahwa harimau sumatera dapat ditemukan disemua tipe habitat hutan mulai hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Harimau dapat hidup dan berkembang biak dengan baik di kawasan hutan yang relatif dekat dengan aktivitas manusia yang tinggi selama di hutan tersebut masih tersedia cukup satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhannya (Endri, 2006). Lokasi yang berlereng curam dan banyak tebing berbatu merupakan ciri khas dari habitat kambing hutan yang menjadi satwa mangsa harimau. Kambing hutan suka menghuni tebing-tebing yang menghadap ke lembah atau jurang untuk bersembunyi pada siang hari (Endri,2006). Sumber air yang terdapat di lokasi

57 47 hutan sub pegunungan berupa cekungan-cekungan atau sisa kubangan. Sumber air tersebut bersifat temporal, sehingga pemenuhan kebutuhan akan air bagi harimau tidak dilakukan di lokasi ini melainkan pada sungai-sungai besar yang terdapat di hutan perbukitan. Kondisi habitat menjelaskan keadaan harimau dan satwa mangsanya dalam memilih tempat hidupnya. Jika salah satu komponen dalam habitat terganggu, maka baik harimau dan satwa mangsanya akan mengalami pergeseran ekosistem. Berkurangnya satwa mangsa bagi harimau berarti penurunan populasi bagi harimau. Kegiatan pembinaan habitat yang maksimum merupakan langkah awal pencegahan kepunahan harimau Satwa mangsa Kondisi habitat dapat dikenali dari keadaan kelimpahan satwaliar yang dimangsa, sedang pemangsa tidak mencerminkan keadaan habitatnya (Alikodra, 2002). Satwa mangsa harimau berupa satwa-satwa herbivor yang bergantung pada kelimpahan dan penyebaran jenis-jenis tumbuhan sebagai pakannya. Berdasarkan jumlah foto independent, jenis satwa mangsa yang sering tertangkap kamera adalah beruk (Macaca nemestrina). Populasinya yang menyebar pada kedua tipe hutan membuat satwa ini mudah dijumpai. Satwa ini sering melakukan aktifitas hariannya di atas tanah (terrestrial) walaupun sering di jumpai berada di atas pohon. Perilaku sosial yang bergerombol membuat satwa ini selalu melakukan pergerakan hariannya dalam kelompok. Sistem berkelompok satwa ini juga berfungsi sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan predator (Dinata, 2002). Jumlah kelompok dapat mencapai 40 ekor dan paling sering ditemukan dihutan perbukitan (Payne et al., 2000). Selain beruk jenis satwa mangsa yang memiliki foto independent tertinggi adalah beruang (46 foto), landak (39 foto), babi jenggot (33 foto), kijang (16 foto). Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan Batang hari adalah babi jenggot (Sus barbatus). Penyebaran satwa ini tergolong luas namun hanya terkonsentrasi pada hutan perbukitan saja. Satwa ini memiliki perilaku sosial dalam melakukan pergerakan hariannya. Jenis babi ini hidup dalam kelompokkelompok besar dan dalam pergerakan hariannya sering dijumpai secara bergerombol (Riansyah, 2007). Penyebaran kijang terdapat pada kedua tipe hutan, namun tingkat perjumpaan kijang lebih sering pada tipe hutan perbukitan. Kijang merupakan jenis satwa mangsa bertipe browser yang lebih menyukai memakan tunas-tunas daun (Endri, 2006).

58 48 Jenis satwa mangsa alternatif biasanya berukuran kecil dan cenderung mudah didapatkan. Jenis satwa ini menjadi pilihan bagi harimau karena lebih mudah didapat dalam proses pemangsaannya. Jenis satwa mangsa alternatif bagi harimau antara lain adalah pelanduk napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), beruk (Macaca nemestrina) dan tapir (Tapirus indicus). Tapir merupakan satwa mangsa potensial dengan biomassa yang besar bagi harimau. Namun dalam hal pemangsaannya, tapir dijadikan pilihan terakhir dalam daftar menu mangsa harimau. Tapir merupakan satwa nokturnal yang ketika mencari makan selalu bergerak dalam jalur zig-zag (Anonimus, 2004) dan berjalan melalui semak-semak. Perilaku tapir tersebut menyebabkan jejak tapir lebih mudah dijumpai karena secara proporsi tapir mampu memanfaatkan ruang habitat yang lebih luas (Endri, 2006). Tanda keberadaan tapir dan foto hasil perangkap kamera dijumpai pada tipe hutan sub pegunungan. Jenis ini menunjukkan kecenderungan yang signifikan terhadap tipe hutan dengan elevasi yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jejak tapir lebih banyak dijumpai di tipe hutan yang memiliki elevasi lebih tinggi. Meijaard & Van Strien (2003) menyatakan bahwa di Sumatera, tapir sering terdapat di pegunungan karena di daerah pegunungan sering ditemukan daerah yang ada mineralnya seperti saltlick. Jenis satwa mangsa potensial harimau cenderung lebih mudah dijumpai pada hutan perbukitan. Hal ini didasarkan pada faktor-faktor habitat yang terdapat pada hutan berbukitan lebih lengkap dibandingkan hutan sub pegunungan. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan bagi harimau untuk menjelajah hutan sub pegunungan karena masih terdapat satwa mangsa yang merupakan faktor utama penunjang habitat. Adanya gangguan yang banyak terjadi di hutan perbukitan membuat harimau menghabiskan waktu di hutan sub pegunungan.

59 Cover Secara umum struktur vegetasi di kawasan hutan Batang hari memiliki lapisan strata yang cukup lengkap. Strata tajuk pada kawasan hutan yang diteliti meliputi lapisan tajuk utama atau strata A (>25 m), lapisan tajuk pertengahan (10-25 m),. Kondisi strata tajuk pohon yang berlapis tersebut menaungi lantai hutan dari cahaya matahari langsung sehingga menciptakan suasana hutan yang teduh dan sejuk pada waktu siang hari (Endri, 2006). Pada hutan perbukitan vegetasi pembentuk tajuk didominasi oleh jenis meranti (Shorea spp.) dan borneo (Dipterocarpus borneensis). Tipe hutan ini memiliki tingkat strata A dan B. Kondisi penutupan tajuknya yang berlapis mulai dari jarang pada jalur bekas logging hingga rapat pada jalur hutan primer. Jalur bekas logging yang terdapat pada tipe hutan perbukitan memiliki fungsi cover sebagai tempat membesarkan anak dan berburu. Hal ini diperkuat dari foto hasil kamera trap dan juga jejak tapak kaki yang banyak ditemukan disekitar daerah tersebut selama beberapa kali pengamatan. Walaupun penutupan tajuknya jarang, namun disepanjang jalan terdapat alang-alang yang biasa digunakan dalam berburu. Kondisi tajuk yang terbuka memudahkan harimau dalam melakukan pengintaian, dan kondisi alang-alang tang cukup rapat sangat efektif untuk menyamarkan kehadirannya. Harimau membutuhkan tajuk hutan yang rimbun untuk melindunginya dari sengatan matahari. Harimau juga menghindari hutan yang terbuka karena badannya yang besar dapat dengan mudah terlihat. Untuk itu harimau membutuhkan vegetasi hutan sebagai cover, namun juga menghindari menerobos semak belukar yang rapat (Endri, 2006). Semak sering digunakan untuk menyamarkan tubuh harimau dalam perburuan dan juga untuk menghabiskan sisa makanannya. Karakteristik lantai hutan pada lokasi ini merupakan tanah yang tertutup oleh serasah. Pada lantai hutan, harimau lebih menggunakannya sebagai tempat beristirahat (shelter). Serasah daun pada lantai hutan mampu menghangatkan suhu tubuh harimau dari suhu tanah yang lembab dan dingin (Riansyah, 2007). Hutan sub pegunungan di kawasan hutan Batang hari merupakan hutan primer. Didalamnya masih banyak terdapat pohon-pohon berdiameter besar dan memiliki tinggi di atas 25 m. Jenis pohon yang mendominasi pada tipe hutan ini adalah meranti. Penutupan tajuknya yang rapat membuat sinar matahari sedikit menyentuh lantai hutan. Kondisi ini membuat keadaan di dalamnya lembab, lantai hutan yang tertutup lumut tebal, dan juga menyebabkan batang pohon

60 50 ditumbuhi lumut dan selalu dalam kondisi basah. Fungsi cover pada tipe hutan sub pegunungan bagi harimau lebih kepada pemenuhan kebutuhan tempat berlindung. Harimau melintasi daerah ini untuk menghindari gangguan yang banyak terjadi pada hutan perbukitan juga karena terdapat satwa mangsa didalamnya. Menurut van Steenis (2006) menyebutkan bahwa semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit jenis vegetasi. Ketinggian tempat (elevasi) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Primack et al., (1998) menyebutkan bahwa semakin tinggi tipe hutan maka semakin rendah kelimpahan satwanya. Kelimpahan jenis satwa mangsa utama pada lokasi ini memang tergolong rendah, namun tidak berarti pada jumlah jenis yang ditemukan Air Air menjadi komponen habitat yang sangat penting bagi harimau untuk memenuhi kebutuhannya untuk, berendam, mandi dan membersihkan tubuhnya karena satwa ini merupakan satwa yang bersih. Perilaku tersebut dikarenakan harimau sebagai satwa pemburu aktif menyebabkan harimau mempunyai kadar metabolisme dan suhu badan yang tinggi (Yong, 2005). Karanth (2001) menyatakan bahwa harimau merupakan jenis yang suka air dan perenang yang handal. Sungai yang dapat di temukan di lokasi penelitian dan mengalir sepanjang tahun adalah Batang hari, Anduring, Gumanti, dan Batarum gadang. Hutan perbukitan memiliki sumber air yang mengalir sepanjang tahun berupa sungai. Sungai-sungai yang ditemukan di lokasi penelitian memiliki karakter fisik sungai yang hampir sama yaitu bersubstrat tanah berpasir. Dari keseluruhan sungai yang ada hanya sungai Batang hari yang memiliki air yang keruh. Substratnya yang berupa tanah lempung berpasir membuat sungai ini terlihat keruh. Sunquist (1981) menemukan bahwa harimau menyukai habitat pinggir sungai (riverine habitat). Sungai merupakan tempat berkumpul satwa dan keberadaan harimau dekat dengan sungai kemungkinan berhubungan dengan pemangsaan. Menurut Lestari (2006) karakteristik sumber air yang dipakai oleh harimau secara umum memiliki warna keruh sampai jernih, ph tergolong asam yaitu enam, tepian sumber air yang landai dan teduh, serta dekat dengan jalur satwa mangsa. Contoh sumber air yang tidak jernih airnya yang dijumpai di lokasi

61 51 penelitian adalah kubangan dan cekungan yang terisi air hujan ketika hujan. Sumber air tersebut tidaklah jernih namun tetap digunakan oleh satwa mangsa untuk memenuhi kebutuhan akan air pada hutan sub pegunungan. Berdasarkan fakta tersebut diduga harimau juga menggunakan sumber air yang sama. Hutan sub pegunungan tidak memiliki sumber air yang mengalir sepanjang tahun seperti sungai. Lokasinya yang lebih banyak berada pada topografi tebing berbatu yang curam menyebabkan sumber air jarang ditemukan. Pada lokasi ini sumber air hanya berupa mata air yang sangat kecil dan bersifat temporary atau sementara Karakteristik habitat harimau Cover Cover bagi harimau adalah tempat yang digunakan sebagai tempat berlindung dari panas sinar matahari. Stuktur vegetasi hutan sebagai salah satu bentuk pelindung, berfungsi sebagai tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Hal ini dapat dilihat dari kondisi kerapatan vegetasi yang berpengaruh terhadap intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan (Alikodra, 1990). Kondisi penutupan tajuk yang beragam pada tipe semua hutan dapat memenuhi segala kebutuhan utama bagi harimau. Hal ini terkait dengan kebutuhan harimau terhadap sinar cahaya yang akan mempengaruhi aktivitas pergerakan hariannya. Pada siang hari, harimau akan menghabiskan waktunya untuk berteduh dan bernaung pada pepohonan yang rimbun. Endri (2006) menyatakan hutan yang disukai harimau adalah hutan dengan tutupan tajuk yang rimbun tetapi lantai hutannya tidak dipenuhi oleh semak belukar atau tumbuhan berduri yang terlalu rapat. Kondisi penutupan tajuk pada jalan bekas logging dapat dikatakan belum dapat memenuhi kebutuhan harimau akan cover sebagai pelindung dari panas matahari. Pada lokasi ini harimau cenderung menggunakan cover untuk berburu dan istirahat. Pemanfaatan cover oleh harimau dapat dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu pemanfaatan penutupan tajuk atas (overstory), penutupan semak (understory), dan penutupan lantai hutan (ground story) (Alikodra, 2002). Pemanfaatan understory digunakan pada aktifitas berburu yang bertujuan untuk menyamarkan tubuhnya. Kondisi semak belukar yang tidak terlalu rapat merupakan tempat yang disukai oleh harimau ketika berburu. Harimau

62 52 merupakan satwa karnivora yang menangkap mangsanya dengan teknik mendekat secara diam-diam dari dalam semak-semak atau alang-alang dan kemudian langsung menyergapnya dalam sekali terkam (Sangkhala, 2004). Tipe hutan perbukitan memiliki tingkat kerapatan tajuk yang tinggi sehingga kondisi semak belukar atau tumbuhan bawah tidak terlalu rapat (Rudiansyah, 2007). Sedangkan bentuk ground story yang digunakan oleh harimau berupa serasah yang berguna untuk menghangatkan tubuh. Cover bagi beberapa jenis satwa mungkin berbeda dengan cover untuk jenis satwa liar lainnya. Pada lokasi ini, kondisi ground story berupa lumut yang tebal dan serasah (Suryana, 2004). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, bentuk cover yang digunakan oleh harimau sebagai tempat berkembang biak dan membesarkan anak yaitu berupa bekas jalan logging yang telah tertutup semai dan alang-alang. Lokasi hutan sub pegunungan merupakan hutan peralihan menuju hutan pegunungan. Pohon-pohon yang terdapat pada tipe hutan ini memiliki batang yang tertutup lumut dan selalu dalam kondisi basah. Van Steenis (2006) mengatakan bahwa semakin naik ketinggian tempat, semakin sedikit jenis vegetasi dan semakin kecil ukuran vegetasi. Faktor elevasi atau ketinggian tempat memberikan pengaruh yang nyata terhadap keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang sering terjadi di tipe hutan perbukitan. Hutan sub pegunungan masih dalam kondisi sangat baik daripada tipe hutan perbukitan yang sering dilalui oleh masyarakat. Harimau sumatera memiliki kecendrungan tidak melalui semak belukar pada hutan sub pegunungan dalam pergerakannya dan memilih jalur yang ada seperti bekas jalur yang dibuat oleh manusia dan binatang. Hal ini dikarenakan pada semak belukar yang rapat juga banyak terdapat jenis-jenis rotan dan pandan yang berduri (Riansyah, 2007). Udara yang sejuk dan suhu yang rendah membuat lokasi ini selalu dalam kondisi lembab. Tipe hutan sub pegunungan memiliki banyak tebing batu. Tempat tersebut sering dijadikan cover dan shelter bagi kambing hutan.

63 Satwa mangsa Mangsa yang cukup banyak, air tersedia dan tanaman pelindung (cover) merupakan tiga hal yang berpengaruh penting sebagai faktor ekologi harimau (Grzimek, 1975). Harimau memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya. Setijati et al., (1992) menyatakan bahwa harimau sumatera dapat ditemukan disemua tipe habitat hutan mulai hutan dataran rendah sampai hutan dataran tinggi, meliputi dataran pantai berawa payau dengan tipe vegetasi hutan primer, hutan sekunder, padang rumput, sampai lahan perkebunan dan pertanian masyarakat. Ketersediaan mangsa yang beragam dengan jumlah yang banyak serta memiliki penyebaran yang merata memungkinkan harimau untuk tidak terkonsentrasi pada satu daerah saja yang memiliki tingkat konsentrasi keberadaan mangsa. Mangsa yang beragam memiliki dampak positif bagi kelangsungan harimau karena tidak akan bergantung pada keberadaan mangsa utama saja (Riansyah, 2007). Satwa mangsa utama harimau berasal dari jenis ungulata berukuran besar, seperti rusa sambar, babi hutan, kijang, dan kambing hutan. Akan tetapi tidak jarang pula harimau memangsa jenis satwa yang berukuran kecil seperti beruk, landak, dan kancil. Jenis satwa mangsa utama harimau adalah babi hutan (Suryana, 2004). Harimau lebih menyukai mangsa dengan biomass diatas 20 kg sedangkan macan dahan menyukai dengan biomass lebih kecil (Karanth & Sunquist 1995; Sunquist et al. 1999). Keragaman dan kelimpahan jenis satwa mangsa pada satu lokasi dapat mengubah preferensi pemangsaan harimau (Sunquist et al. 1999). Harimau juga cenderung akan memangsa jenis dengan biomass kecil bila keberadaan satwa mangsa dengan biomass besar sudah berkurang. Pada hutan perbukitan tingkat perjumpaan satwa mangsa tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan faktor pendukung ekologis tersedia dengan baik, terutama air sebagai penunjang kehidupan satwa dan lokasi mengasin yang terletak dipinggir sungai. Jenis satwa mangsa yang dapat ditemukan pada tipe hutan perbukitan adalah beruang madu, babi jenggot, beruk, kijang, rusa sambar, dan landak. Pada dasarnya setiap tipe hutan yang mampu menyediakan kebutuhan hidup harimau (air, mangsa yang cukup, dan cover ), maka diperkirakan terdapat tingkat perjumpaan harimau walaupun pada tingkat yang paling rendah. Hal ini dikarenakan harimau merupakan satwa yang aktif dalam pergerakan hariannya,

64 54 baik untuk berburu, patroli maupun aktivitas lainnya sehingga memerlukan wilayah jelajah yang luas. Hutan sub pegunungan yang cenderung memiliki elevasi yang lebih tinggi menyebabkan tingkat perjumpaan satwa mangsa lebih rendah dari tipe hutan perbukitan. Primack et al., (1998) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tipe hutan maka semakin rendah kelimpahan satwanya. Harimau cenderung melewati daerah ini untuk menghindari gangguan yang banyak terjadi pada tipe hutan perbukitan. Satwa mangsa yang ada pada tipe hutan ini adalah beruang madu, beruk, kambing hutan, kijang, pelanduk napu, tapir dan landak. Babi merupakan hewan yang mudah berkembang biak; dengan pengembang-biakan pertama di usia dini dan jumlah per kelahirannya yang besar, babi dapat bertahan hidup dengan memakan tanaman, sehingga mereka merupakan menu yang ideal bagi harimau (Mauget, 1991 dalam Sunquist et al., 1999). Penyebarannya yang luas dan jumlahnya yang melimpah membuat satwa ini menjadi sasaran utama bagi harimau. Beberapa jenis satwa dijadikan alternatif mangsa jika mangsa berukuran besar sulit ditemukan seperti beruang dan tapir. Pada dasarnya satwa karnivora lebih mementingkan kuantitas dan ketersediaan makanan daripada kualitasnya, juga selalu memilih jenis makanan yang tersedia dan mudah untuk dikuasai (Lestari, 2006), dan tidak seperti hewan karnivora yang lainnya, kelompok kucing besar (termasuk harimau) tidak dapat mengganti pakannya dengan pakan tumbuhan karena sifat anatomi alat pencernaannya khusus sebagai pemakan daging (Jackson, 1990; Kitchener, 1991). Kijang dan rusa memiliki mobilitas yang tinggi dan dapat menyesuaikan dengan tipe hutan tempat tinggalnya (Endri, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Riansyah (2007) menyatakan bahwa pada saat tingkat perjumpaan kijang meningkat juga diikuti oleh peningkatan tingkat perjumpaan harimau. Penyebaran kijang di kawasan hutan Batang hari meliputi kedua tipe hutan dan selalu diikuti dengan kemunculan harimau. Apabila populasi kijang seimbang maka kijang dapat mendukung populasi harimau secara berkelanjutan (Seidensticker et al., 1999). Griffiths (1996) mengatakan skenario kijang muncak di Taman Nasional Gunung Leuser memberi jaminan tentang makanan untuk populasi harimau yang berkepadatan rendah (1 ekor individu harimau/100 km 2 ). Menurut Seidensticker et al., (1999), pada hutan dengan ketinggian lebih dari 600 meter sebagian besar mangsa dari harimau sumatera adalah kijang dan

65 55 kadang-kadang kambing hutan. Adanya jenis satwa mangsa lain seperti babi dan rusa dapat memungkinkan terjadinya pengembangbiakan kijang secara berkala (Seidensticker, 1999). Hasil penelitian dari Karanth (1991) dalam Seidensticker (1999) menunjukkan bahwa penyusutan mangsa memiliki efek yang kuat terhadap dinamika populasi harimau. Oleh karena itu penyusutan mangsa mungkin menjadi faktor utama menyusutnya populasi harimau liar. Potensi untuk mempertahankan populasi harimau yang kecil tetapi produktif tergantung terutama pada usaha mempertahankan kepadatan mangsa yang tinggi. Ungulata besar yang merupakan mangsa utama harimau memiliki kepadatan populasi yang tinggi pada hutan tropis yang sering diganggu oleh manusia. Oleh karena itu penyusutan habitat secara fisik bukanlah kendala bagi pemulihan populasi harimau di sebagian besar wilayah (Seidensticker & McDougal, 1993; Karanth & Sunquist, 1995). Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya (Macdonald, 1984). Smith (1997) menyatakan bahwa wilayah jelajah rata-rata seekor harimau adalah 33 kilometer. Seperti diketahui bahwa luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan mangsa, pada tingkat kepadatan mangsa yang rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. (Sriyanto & Rustiadi, 1997).

66 Populasi Harimau Sumatera Kepadatan Sejak pengembangannya pada tahun 1980, camera trap menjadi alat utama bagi kegiatan monitoring satwa cryptic dan juga digunakan untuk memperkirakan kepadatan absolut dengan metode capture recapture (Carbone et. al, 2000 dan Karanth & Nichols, 2002). Jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi selama sembilan periode sampling (satu periode sampling = sepuluh hari) adalah 4 individu. Model yang digunakan dalam program CAPTURE adalah Mh dengan harapan adanya variasi kemungkinan tertangkap pada masing-masing individu (Karanth & Nichols, 2003). Estimasi populasi harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari adalah 5 11 ekor dengan total luas ekektif sampling area 351,26 km 2. Sehingga diperoleh kepadatan harimau di kawasan hutan Batang hari dengan selang kepercayaan 95% yaitu (X + SE) 1 3 ekor (1,4 3,1 + 1,35% individu harimau/100 km2). Estimasi ini mengatakan bahwa terdapat satu individu harimau per 100 km2. Berdasarkan analisis tersebut kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Batang Hari tergolong rendah jika dibandingkan dengan kepadatan harimau di Ipuh-Seblat dengan luas efektif sampling area yang tidak terlalu berbeda jauh yaitu 2 4 ekor individu/100 km2 (Riansyah, 2007). Akan tetapi hasil ini tidak berbeda jauh dengan Kawanishi (2002) yang melakukan penelitian di kawasan hutan tropis Taman Negara dengan luas efektif sampling area 338,2 km2 (X + SE) (1,18 + 0,54% individu harimau/100 km2). Namun harimau sumatera yang berada pada tingkat kepadatan rendah yaitu 1-3 ekor harimau dewasa/100 km² memiliki daerah jelajah yang luas sekitar 180 km² untuk jantan dewasa (Linkie, 2006b). Selanjutnya Linkie (2005b) mengatakan kamera trap bekerja lebih baik pada wilayah yang mempunyai kepadatan harimau yang tinggi sedangkan pada wilayah yang dengan kepadatan yang rendah seperti hutan pegunungan atau hutan dengan tingkat perburuan yang tinggi, harimau lebih baik dimonitor dan selanjutnya dilakukan perkiraan kelimpahan relatif. Periode sampling selama tiga bulan dengan metode capture-markrecapture untuk estimasi jumlah populasi harimau tidak melanggar asumsi populasi tertutup (Nichols & Karanth 2002). Model ini dalam analisis populasi lebih disukai dengan pertimbangan ketepatan estimasi dan kesempurnaan penduga (estimator robustness) (Karanth et al 2004). Estimasi jumlah populasi secara cepat dalam penelitian tentu dengan pertimbangan waktu dan kecukupan

67 57 ketersediaan biaya. Perangkap kamera dapat digunakan untuk memperkirakan kepadatan absolut harimau melalui metode capture-mark-recapture (Karanth & Nichols, 2002) serta kelimpahan relatif harimau. Tiap individu harimau memiliki corak permanen yang spesifik (Karanth & Nichols, 2002). Setiap individu harimau dibedakan berdasarkan pola garis belang (ekor, pundak, badan, kaki, kepala/face) dan pengidentifikasian terhadap individu harimau menggunakan perkiraan presence - absence untuk setiap pengambilan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Karanth dan Sunquist (1992) dan Lynam (2000), kepadatan harimau di pulau Sumatera masih tergolong rendah. Tidak jauh berbeda dengan beberapa penelitian yang dilakukan di Thailand di kawasan Narathiwat, Yala, Chaiyaphum, dan Nakhon Ratchasima, kepadatan harimau hanya berkisar antara 1 3 individu/100 km2 (Lynam, 2004, Carbone, 2000). Di India seperti di Bandipur, Nagarahole, Kanha dan Kaziranga tingkat kepadatan tertinggi hingga mencapai individu harimau/100 km 2 (Karanth & Sunquist, 1992). Kepadatan harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari sebesar 1,3 individu /100km2 dapat dikatakan normal. Dengan memepertimbangkan dua faktor yang sama yaitu waktu dan luasan yang tidak jauh berbeda maka daerah yang memiliki kemiripan tipe hutan dengan kawasan hutan Batang Hari akan menghasilkan kepadatan harimau yang tidak jauh berbeda pula. Nilai kepadatan harimau dapat digunakan untuk menjelaskan daya dukung habitat. Dalam hal ini kawasan hutan Batang hari memiliki daya dukung yang mencukupi bagi kehidupan harimau didalamnya. Kepadatan harimau pada hutan perbukitan lebih padat daripada hutan sub pegunungan. Hal ini karena daya dukung habitat yang mencukupi menunjang keberlangsungan hidup suatu makhluk hidup Periode sampling adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam melakukan analisis kepadatan harimau sumatera dengan menggunakan program CAPTURE. Periode sampling berkaitan dengan capture history, semakin pendek periode sampling maka semakin teliti rata-rata tangkap (P) yang diperoleh, sehingga nilai pendugaan individu dalam luasan efektif sampling area juga akan semakin detail. Jika periode sampling dalam waktu yang relatif panjang, maka asumsi closed population kemungkinan tidak akan tercapai dan akan menghasilkan data yang bias (Linkie, 2005b). Dalam hal ini penggunaan periode sampling selama sepuluh hari sama dengan yang dilakukan di Kaziranga, India, dan memiliki tingkat keakuratan yang cukup baik (Karanth & Nichols, 2000).

68 58 Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah jumlah perangkap kamera yang dipasang. Semakin banyak perangkap yang dipasang akan menambah peluang tertangkapnya individu harimau. Selanjutnya penempatan kamera yang dilakukan pada satu sisi juga mempengaruhi jumlah individu yang berhasil diidentifikasi. Sebuah titik penempatan kamera memerlukan dua kamera untuk dipasang di sisi yang berhadapan pada jalur yang sama. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan diperoleh foto dari dua sisi harimau yang melintas dan menghasilkan identifikasi individu-individu harimau yang lebih akurat (Linkie, 2006) Perbandingan jenis kelamin (Sex ratio) Keadaan populasi harimau di alam ditunjukkan oleh indikator perbandingan jumlah jantan (male), betina (female). Berdasarkan identifikasi jenis kelamin harimau melalui foto hasil camera trap, sex ratio jantan dan betina secara positif adalah 1:3. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi harimau di kawasan hutan Batang hari adalah normal. Menurut Primack (1999) bahwa populasi stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas, dengan perbandingan khas antara anak, individu muda, dewasa dan tua. Perbandingan jumlah betina yang lebih banyak daripada jantan sesuai dengan kebutuhan akan perilaku reproduksi harimau yang berlangsung sepanjang tahun. Harimau mempunyai struktur sosial pada perkawinan terbatas yaitu poligami, satu jantan dengan banyak betina (Smith, 1994 dalam Suryana, 2004). Pada harimau betina terdapat periode estrous, yaitu waktu dimana harimau betina mau menerima harimau jantan untuk melakukan perkawinan. Harimau jantan dapat mengenali harimau betina dalam masa birahi dari aroma khas urin harimau betina. Selama masa birahi harimau betina memperlihatkan tingkah laku yang lebih agresif, banyak mengeluarkan suara dan hanya sedikit beristirahat. Suara yang dikeluarkan harimau betina yang birahi disebut prusten yaitu jenis suara yang dihasilkan oleh udara dalam rongga hidung serta mengaum dan menggeram pelan (McDougal, 1979).

69 Struktur Umur Struktur umur harimau yang ada di kawasan hutan Batang hari adalah 3 individu dewasa dan 1 individu sub adult. Kondisi populasi harimau di kawasan hutan batang hari dapat dikatakan baik karena berhasil ditemukan individu muda. Hal ini mengindikasikan populasi akan berada dalam kondisi stabil atau mungkin akan mengalami peningkatan (Primack, 1998). Gumanti tertangkap pertama kali bersama dua anaknya, akan tetapi hanya satu anaknya (Bulan) yang berhasil tertangkap kembali oleh kamera. Anak harimau disapih ketika berumur bulan. Beberapa harimau bahkan masih ada yang tetap bersama induknya sampai berumur lebih dari dua tahun, bahkan ketika anak tersebut telah menemukan pasangannya. Sherpa dan Makey (1998) dalam Suryana (2004) juga menyebutkan bahwa harimau betina akan mencapai dewasa secara kelamin ketika berumur tiga tahun, sedangkan jantan empat tahun. Setelah berumur tiga tahun, harimau betina dapat melahirkan setiap dua tahun sekali sampai mereka berumur sembilan atau sepuluh tahun. Rata-rata masa berkembang biak bagi tiap harimau betina selama hidupnya adalah 6,1 tahun. Umur harimau di alam adalah antara tahun. Hanya beberapa saja yang dapat bertahan hidup hingga umur 17 tahun atau lebih. Singh (1999) menyatakan bahwa panjang jejak anak harimau berkisar antara 7-10 cm, sedangkan harimau dewasa memiliki ukuran panjang jejak 10,5-17 cm. Berdasarkan analisis, kedua anak dari Gumanti telah memiliki daerah jelajahnya sendiri, namun masih tidak terlalu jauh dari daerah jelajah induknya. Populasi harimau normal dan berkelanjutan harus memiliki 25 % anak (Karanth & stith, 1999) Wilayah Jelajah Tingkat perjumpaan harimau cenderung terlihat merata dimasing-masing lokasi kamera. Hasil dari camera trap menunjukan lokasi kamera K07, K20 dan K22 memiliki tingkat perjumpaan harimau yang tinggi dengan nilai masingmasing 3,85, 3,79, dan 3,19. Lokasi kamera K07 dan K20 terletak pada tipe hutan sub pegunungan, hanya K22 yang terletak di hutan perbukitan. Hasil ini berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Endri (2006) dan Gunawan (2006) yang menyatakan bahwa tingkat perjumpaan harimau paling tinggi yaitu pada hutan dataran rendah lalu hutan perbukitan dan yang terakhir hutan sub

70 60 pegunungan. Keduanya merupakan lokasi kamera terluar dan terjauh pembentuk polygon yang hanya didatangi oleh Damar. Sedangkan lokasi kamera K22 merupakan lokasi kamera yang terletak di jalur ex logging dan hanya didatangi oleh Meranti. Tipe hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan yang mendominasi kawasan hutan Batang hari merupakan hutan primer yang masih alami. Kondisi kawasan hutan yang belum terganggu masih dapat memenuhi kebutuhan dari satwa mangsa yang menjadi kunci keberadaan harimau. Karena apabila kualitas habitat menurun, cenderung mengurangi kepadatan suatu jenis pada wilayah tertentu (Meijaard et al, 2005). Menurunnya kelimpahan satwa mangsa tentunya akan mempengaruhi dinamika populasi harimau di suatu wilayah (Karanth & Stith, 1999). Kawasan hutan Batang hari yang memiliki tipe hutan perbukitan yang tidak terlalu curam dan bergelombang, memudahkan pergerakan harimau dalam mengikuti pergerakan satwa mangsa. Kondisi topografi yang datar dan bergelombang cenderung disukai oleh harimau (Seidensticker et al., 1999). Sedangkan tipe hutan sub pegunungan yang ada di kawasan hutan batang hari memiliki topografi yang curam dan terjal. Banyak ditemukan tebing-tebing batu karang yang menjadi tempat istirahat bagi kambing gunung. Walaupun dengan topografi yang curam dan terjal, pada bagian punggung tebing batu masih dapat ditemukan tanda-tanda keberadaan harimau. Kondisi topografi terebut sebenarnya kurang baik bagi harimau. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutajulu (2007) di Suaka Margasatwa Rimbang Baling.pernah ditemukan harimau mati karena jatuh terperosok ke jurang saat mengejar mangsa. Tingkat perjumpaan harimau terendah terletak pada lokasi kamera K 06 dan K 08 yaitu dengan nilai sama 1,25 foto/100 hari. Hal ini dikuti dengan rendahnya tingkat pertemuan satwa mangsa di lokasi tersebut. Satwa mangsa yang terdapat di kedua lokasi tersebut adalah beruang, kijang, dan landak. Harimau membutuhkan mangsa untuk dapat bertahan hidup, jika pada suatu lokasi dimana tingkat perjumpaan mangsa berkurang, harimau cenderung untuk berpindah dan mencari lokasi dimana terdapat kelimpahan mangsa yang cukup. Sumber makanan yang jumlahnya sedikit akan menyebabkan rendahnya kepadatan herbivora yang kemudian dapat menentukan pola keberadaan karnivora besar. Pada dasarnya setiap tipe hutan yang mampu menyediakan kebutuhan hidup harimau (air, mangsa yang cukup, dan cover ), maka diperkirakan terdapat

71 61 tingkat perjumpaan harimau walaupun pada tingkat yang paling rendah. Hal ini dikarenakan harimau merupakan satwa yang aktif dalam pergerakan hariannya, baik untuk berburu, patroli maupun aktivitas lainnya sehingga memerlukan wilayah jelajah yang luas. Smith (1997) menyatakan bahwa wilayah jelajah ratarata seekor harimau adalah 33 kilometer. Seperti diketahui bahwa luas wilayah jelajah erat kaitannya dengan keberadaan mangsa, pada tingkat kepadatan mangsa yang rendah maka wilayah jelajah harimau akan menjadi lebih luas. (Sriyanto & Rustiadi, 1997). Untuk mengetahui jarak jelajah hariantiidak dapat menggunakan teknologi perangkap kamera. Dibutuhkan teknologi yang lebih maju seperrti radio telemetri untuk mengetahui secara pasti jarak jelajah dari individu harimau Perilaku Pola Aktifitas Harimau Menurut Tilson (1997), harimau umumnya memulai berburu pada sore hari. Pada waktu-waktu tertentu, beberapa jenis satwa mangsa sudah mengurangi pergerakan hariannya. Harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas pada siang hari, seperti babi hutan, beruk dan kijang dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap rusa dan pelanduk. Pada hutan perbukitan harimau banyak menghabiskan waktu pada malam hari menjelang pagi hari karena untuk menghindari gangguan yang disebabkan oleh manusia disekitar daerah ini. Karanth & Sunquist (1995) menyatakan bahwa harimau memerlukan makanan tiga kali lebih banyak daripada macan dahan. Harimau yang ada di hutan sub pegunungan lebih banyak menghabiskan waktunya pada siang hari. Walaupun dengan kepadatan satwa mangsa yang tidak terlalu tinggi, namun pada daerah ini masih terdapat kambing hutan dan babi hutan yang memiliki biomassa besar. Oleh sebab itu, dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencari mangsa yang juga berhubungan dengan kepadatan satwa mangsa pada suatu lokasi (Hutajulu, 2007). Perubahan pola aktivitas harian harimau sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama.

72 Mengasuh Anak Pada lokasi penelitian ditemukan perilaku membesarkan anak oleh harimau. Berdasarkan foto dari perangkap kamera, harimau betina dewasa bernama gumanti sedang bersama dua ekor harimau muda lainnya yang diduga adalah anaknya. Salah satu anak dari gumanti kemudian tertangkap oleh perangkap kamera beberapa kali sedang melakukan pergerakan harian. Tilson dan Jackson (2004) menyatakan bahwa saat umur 6 bulan, anak harimau secara lambat belajar berburu dan membunuh mangsa. Lebih lanjut Tilson dan Jackson (1994) menyatakan bahwa pada umur 18 bulan, anak jantan akan pergi untuk mencari wilayah teritorialnya sendiri. Anak betina cenderung tinggal lebih lama dengan induknya. Dalam membesarkan anaknya pejantan tidak ambil bagian karena diduga kan membahayakan anak-anaknya. Tilson dan Jackson (1994) menyatakan bahwa pada umumnya betina muda meninggalkan wilayah territorial induknya ketika induknya estrus kembali dan bersikap lebih agresif, namun terkadang induknya memperbolehkan salh satu dari anak betinanya untuk mendirikan wilayahnya sendiri dalam wilayah teritorialnya (wilayah territorial si induk). Anak betina tersebut kemungkinan kawin dengan bapaknya setelah dewasa. Setelah semua anaknya sudah dewasa, induk akan mengusir semua anak-anaknya dari wilayah teritorinya. Selama hidup harimau betina kemungkinan kawin dengan beberapa pejantan, karena struktur social pada perkawinannya yaitu poligami, satu jantan dengan banyak betina (Smith, 1994).

73 Gangguan Habitat Harimau Perburuan dan Penambangan Illegal Pada kawasan hutan Batang hari gangguan cenderung terjadi di hutan perbukitan. Lokasi kawasan hutan berbukitan berbatasan langsung dengan aktifitas masyarakat. Namun terkadang masyarakat melakukan kegiatan penambangan emas hingga hutan sub pegunungan. Aktifitas yang sering dilakukan oleh masyarakat didalam kawasan hutan seperti berburu dan mencari barang tambang sudah menjadi aktifitas rutin setiap bulannya. Aktivitas manusia identik dengan adanya ancaman (perburuan dan konversi habitat) terhadap penyebaran harimau (Riansyah, 2007). Tingkat aktivitas manusia pada suatu wilayah (tekanan antropogenis) juga mempengaruhi penyebaran harimau. Konversi lahan yang tinggi dan telah mencapai tempat tinggal harimau menyebabkan berkurangnya daerah jelajah. Disamping itu, ketersediaan jenisjenis ungulata sebagai mangsa harimau cenderung akan berkurang. Hal tersebut dapat menyebabkan harimau dapat keluar dari habitat asalnya dan memasuki ladang maupun pemukiman masyarakat untuk mencari mangsa. Kegiatan berburu masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu menggunakan perangkap jerat. Sasaran berburu yaitu satwa ungulata. Hasil buruan mulai dari kancil hingga rusa sambar. Jerat-jerat ini banyak dipasang di sepanjang jalan bekas logging pada lokasi hutan perbukitan. Berdasarkan wawancara langsung dengan beberapa masyarakat, hasil buruan sebagian untuk dikonsumsi pribadi dan sebagian lagi akan dijual ke pasar. Menurut pengakuan salah satu masyarakat, kegiatan berburu ini semakin ramai ketika mendekati hari besar agama seperti lebaran, idul kurban dan natal. Perburuan terhadap satwa mangsa akan berpengaruh terhadap populasi harimau, karena ketergantungan harimau terhadap satwa mangsa (Lestari, 2006). Kasus perburuan terhadap harimau atau satwa karnivor lainnya juga sering terjadi. Harimau diburu karma satwa ini masih memiliki nilai kepercayaan adapt yang tinggi di sepanjang sumatera. Dengan alasan tersebut banyak orang yang berani membayar mahal untuk setiap bagian tubuh harimau. Harga jual yang tinggi dan nilai estetika yang mampu dikeluarkan oleh satwa ini menjadi daya tarik masyarakat untuk terus memburunya. Konflik antara manusia dengan harimau menambah alasan satwa ini patut diburu.

74 Perambahan Hutan dan Pembalakan Liar Akses yang mudah untuk masuk ke dalam hutan menjadi modal utama bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan didalamnya termasuk perambahan hutan dan pembalakan liar. Kegiatan perambahan hutan dan pembalakan liar dilakukan oleh masyarakat disekitar ladang. Awalnya kegiatan perambahan dilakukan untuk mempeluas areal ladang, namun kegiatan itu ditujukan untuk mendapatkan komoditi kayu dari dalam kawasan hutan. Kegiatan pembukaan lahan dilakukan dengan penebangan secara langsung. Kegiatan pembalakan liar disekitar ladang pun dilakukan secara terang-terangan. Lemahnya pengawasan aparat pengamanan setempat membuat beberapa kelompok masyarakat melakukan pembalakan illegal. Usaha penggergajian (sawmill) tersedia di desa. Usaha tersebut dijalankan oleh perorangan yang mengambil bahan bakunya langsung dari dalam kawasan hutan Batang hari. Di dalam kawasan masih banyak tersisa kayu sisa pembalakan liar yang belum terangkut hingga ke desa. Kendala akses yang sulit serta tingginya biaya yang harus dikeluarkan membuat masyarakat tidak mau membawanya keluar dari dalam hutan. Sisa-sisa kegiatan pembalakan liar seperti gubuk serta tempat penggergajian masih ada di dalam kawasan hutan dan terkadang digunakan sebagai tempat bermalam bagi masyarakat yang pergi ke hutan. Bekas jalan logging memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk masuk kedalam hutan. Namun kondisi jalan ini juga yang memuat satwa mudah masuk kedalam desa Implikasi Pengelolaan Penelitian dan monitoring mengenai habitat dan populasi harimau sumatera di luar kawasan konservasi haruslah menajdi perhatian utama. Kawasan hutan Batang hari merupakan salah satu kawasan non konservasi yang memiliki populasi harimau. Kondisi habitat yang masih baik dapat menopang keberadaan harimau di kawasan ini. Komponen habitat yang lengkap (satwa mangsa, cover, dan air) dan memiliki kualitas yang baik, menjadikan kawasan ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari pihak terkait. Kegiatan pelestarian harimau di pulau sumatera tidak akan berhasil selama belum terjalinnya integrasi antar instansi pengelola kawasan hutan dan peneliti. Hal ini beralasan mengingat habitat dari harimau sudah terfragmentasi di sepanjang pulau Sumatera.

75 65 Kegiatan monitoring dan penelitian mengenai harimau sumatera dan permasalahannya, akan menambah informasi yang dapat digunakan dalam pembuatan kebijakan pelestarian. Kegiatan monitoring dengan menggunakan perangkap kamera (camera trap) akan menambah tingkat keakuratan dalam pengambilan data sehingga menghasilkan informasi yang diinginkan dan berkualitas. Peran peneliti dalam kegiatan pelestarian harimau adalah dengan memberikan rekomendasi mengenai langkah terbaik dalam mengatasi permasalahan harimau dari data yang berkualitas.

76 66 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1 Habitat harimau sumatera di kawasan Hutan batang hari terdiri atas hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan yang memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai penyedia satwa mangsa, cover, dan air. 2 Habitat harimau Sumatra di kawasan hutan Batang hari memiliki karakteristik Cover yang memiliki bentuk tajuk yang berlapis dapat melindungi harimau dari panas matahari. Bentuk semak yang tidak terlalu rapat memudahkan harimau untuk berburu. Sedangkan bentuk lantai hutannya yang terbentuk oleh serasah dan lumut tebal berfungsi sebagai selimut untuk menghangatkan tubu ketika beristirahat. Satwa mangsa potensial harimau sumatra yang tersedia di kawasan hutan Batang hari adalah sebanyak 14 jenis. Satwa mangsa utama harimau di kawasan hutan batang hari adalah rusa sambar, kambing hutan, babi jenggot, dan kijang. Sumber air yang ada di kawasan hutan batang hari meliputi sungai, cekungan, dan bekas kubangan. Pada hutan perbukitan terdapat sungai yang memiliki karakteristik fisik berbatu, berarus deras, berbatu dan memiliki substrat berpasir. Sumber air yang terdapat di hutan sub pegunungan berupa sumber air kecil serta cekungancekungan yang terisi air ketika hujan. 3 Estimasi kepadatan harimau Sumatra di kawasan hutan batang hari adalah 1-3 ekor/100 km2 dari total luas sampling area 351,26 km 2. Jumlah individu yang berhasil diidentifikasi sebanyak 4 ekor dengan perbandingan jenis kelamin jantan dan betina 1:3. Harimau Sumatra yang ada di kawasan hutan batang hari memiliki struktur umur sub adult hingga dewasa. 6.2 Saran 1. Kegiatan monitoring menggunakan teknologi kamera trap perlu di terapkan untuk menghasilkan informasi yang lebih akurat mengenai populasi dan segala aspek tentang harimau sumatera. 2. Perlu adanya tindakan preventif dari pihak terkait dan masyarakat menyangkut keberadaan harimau sumatera di kawasan hutan Batang hari.

77 67 DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor [Anonim] Teritori. Bahan Kuliah Perilaku Satwa. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bailey JA Principles of Wildlife Management. John Wiley & Sons Inc. New York. Bastoni and Apriawan Metode Monitor Satwa Liar Secara Intensif di Hutan Tropis Oleh Remote Camera System (Trailmaster). Proyek Penyelamatan Harimau Sumatera. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bernardi Studi Populasi Harimau (Panthera tigris sumatrae) di Kawasan Hutan Batang Tebo-Batang Ule, Bungo [Skripsi]. Program Studi Biologi Universitas Bengkulu. Borner M Status and conservation of the Sumatran tiger. Carnivore 1: Carbone C, Christie S, Conforti K, Coulson T, Franklin N, Ginsberg JR, Griffiths M, Holden J, Kawanishi K, Kinnaird M, Laidlaw R, Lynam A, Macdonald D, Martyr DJ, McDougal C, Nath L, O'Brien T, Seidensticker J, Smith DJL, Sunquist M, Tilson R and Wan Shahruddin WN The use of photographic rates to estimate densities of tigers and other cryptic mammals. Animal Conservation 4: Dinata Y Preferensi Habitat Pada Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan Hewan Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera [Skripsi]. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. Endri N Kelimpahan dan Distribusi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) dan Satwa Mangsa di Blok Hutan Sipurak Taman Nasional Kerinci Seblat [Skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Franklin N, Bastoni, Sriyanto, Siswomartono, Manansang JD, Tilson R Harimau Terakhir Indonesia : Alasan Untuk Bersikap Optimis dalam Menunggang Harimau : Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Ed. : J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson. Cambridge University Press. London Griffith M Population Density of Sumatran Tiger in Gunung Leuser National Park in Tilson, R et al.,(eds) : Sumatran Tiger Population and Habitat Viability Analysis Report. Pp IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Apple Valley MN.

78 68 Grzimek B Grzimek s Animal Life Encyclopedia. Volume 12. Van Nostrand Reinhold Company. New York Gunawan Studi Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) dan Hewan Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat [Skripsi]. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. Hasiholan W Pengalaman Dalam Implementasi Konservasi Harimau Sumatera Secara Insitu di Pulau Sumatera. PKHS. Bogor Holden J, Yanuar A, Martyr DJ The Asian Tapir in Kerinci Seblat National Park, Sumatra: evidence collected through photo-trapping. Oryx 37: Hoogerwerf A Ujung Kulon : The Land of Last Javan Rhinoceros. E, J. Bril Laiden : Hutajulu MB Studi Karakteristik Ekologi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) Berdasarkan Camera Trap di Lanskap Tesso Nillo-Bukit Tiga Puluh, Riau [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jackson P Endangered Species Tigers. Chartwell Books, Inc. New Jersey. United Kingdom. Karanth KU and Sunquist M Population Structure, Density and Biomass of Large Herbivores in the Tropical Forest of Nagarahole, India. Journal of Tropical Ecology. Volume 8, issue 1 (Feb, 1992) : Prey Selection By Tiger,Leopard And Dhole In Tropical Forest, J. Animal Ecology. Karanth KS and Nichols JD Estimation of tiger densities in India using photographic captures and recaptures. Ecology 79: Ecological Status and Conservation of Tigers in India. Final Technical Report to the Division of International Conservation. United States Monitoring tigers and their prey: a manual for researchers, managers and conservationists in tropical Asia. Bangalore: Centre for Wildlife Studies. Karanth KU, Raghunandan S, Chundawat, Nichols JD, Kumar NS Estimation of tiger densities in the tropical dry forests of Panna, Central India, using photographic capture-recapture sampling. Animal Conservation (2004) 7, C. The Zoological Society of London. Karanth KU Scientific and Technical Issues involved In Monitoring Tiger Population in India. Centre for Wildlife Studies and Senior Conservation.

79 69 Kartono AP Teknik Inventarisasi Satwaliar dan Habitatnya. Laboratorium Ekologi Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kawanishi K Population Status of Tiger (Panthera tigris) In A Primary Rain Forest of Peninsular Malaysia [Disertasi]. Universitas Florida. USA. Kawanishi K and Sunquist M Conservation Status of Tigers in Primaru Rainforest of Peninsular Malaysia. Biological Conservation (120) : Departement of Wildlife Ecology and Conservation University of Florida. USA. Kitchener AC Masalah Penyebaran, Variasi Phenotypic dan Usaha Konservasi Harimau dalam Menunggang Harimau : Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Ed. : J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson. Cambridge University Press. London Lekagul B and McNeely JA Mammals of Thailand. Sahakarnbhat Co. Bangkok. Linkie M, Martyr D, Holden J, Yanuar A, Hartana AT, Sugardjito J, William NL Habitat Destruction and Poaching Threaten the Sumatran Tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatera. Oryx, 37, Linkie M Tigers, prey loss and deforestation patterns in Sumatra [Disertasi]. [DICE] Durrell Institute of Conservation and Ecology University of Kent. England. 2005a. Pelatihan GIS harimau. Terjemahan Alex Sumadijaya dan Yoan Dinata. [DICE] Durrell Institute of Conservation and Ecology University of Kent kerjasama US Fish and Wildlife Service b. Memperkirakan Kepadatan Absolut Harimau. Monitoring Status Populasi Harimau dan Hewan Mangsa di TNKS. [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology University of Kent. England a. Estimasi Kepadatan Harimau Menggunakan Fotografi Dengan Pengambilan Sampel Penangkapan Kembali. Monitoring Status Populasi Harimau dan Hewan Mangsa di TNKS. [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology. University of Kent. England b. Protokol Baru Metode Kamera Trap dan Line Transect Untuk Taman Nasional Kerinci Seblat. [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology. University of Kent. England c. Bahan Pelatihan Analisis Statistik Di Taman Nasional Kerinci Seblat. [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology University of Kent. England.

80 70 Linkie M, Chapron G, Martyr DJ, Holden J, William NL Assessing the viability of tiger subpopulations in a fragmented landscape. Journal compilation (43) : British Ecological Society. Lynam AJ, Palasuwan T, Ray J, Galster S Tiger Survey Techniques and Conservation Training Handbook. Khao Yai Forestry Taining Center March th. Bangkok-Thailand. Macdonald D The Encyclopedia Of Mammals : 1.Grolier International Inc. Oxford. McDougal C The Face of the Tiger. Rivington Book and Andre Deutsch. London Meijaard E, Rijksen HD, Kartikasari SN Di Ambang Kepunahan : Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta. [MHS] Monitoring Harimau Sumatera Monitoring Status Populasi Harimau Sumatera dan Hewan Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera [Laporan Akhir Maret 2004 Februari 2005]. Kerjasama Fauna & Flora Internasional [FFI], TNKS, dan [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology University of Kent Monitoring Status Populasi Harimau Sumatera dan Hewan Mangsa di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera [Laporan Akhir Maret 2005 Februari 2006]. Kerjasama Fauna & Flora Internasional, TNKS, dan [DICE] Durrell Institute Conservation and Ecology University of Kent. O Brien T, Wibisono, H, Kinnaird, M Status Harimau Sumatera dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Dalam Ruang dan Waktu. [Laporan Hasil Penelitian ]. Direktorat Jenderal PHKA- Wildlife Conservation Society Indonesian Program Crouching tigers, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation) 6, The Zoological Society of London Payne J, Francis CM, Phillips K, Kartikasari, SN Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam. Prima Centra Indonesia, Jakarta. [PHPA] Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Indonesian Sumatran Tiger Conservation Conservation Strategy. Departemen Kehutanan. Jakarta. Indonesia. Primack R, Jatna S, Jakarta Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia.

81 71 Rexstad E and Burnham KP User s guide for interactive program CAPTURE. Abundance estimation of closed animal populations. Fort Collins: Colorado State University. Riansyah, A Kepadatan dan Tingkat Perjumpaan Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Ipuh-Seblat Seksi Konservasi Wilayah II Bengkulu Taman Nasional Kerinci Seblat [Skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sankhala K Tiger : The Story of Indian Tiger. Veena Arora. New Delhi. Santiapillai C and Ramono WS On the Status of the Tiger (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1829) in Sumatera. World Wide Fund (WWF) & International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Jakarta Sanderson JG Camera Phototrapping Monitoring Protocol, Version 2.0. TEAM Initiative. Washington DC. USASeidensticker J and Suyono, I The Javan tiger and the Meru Betiri Reserve, a plan for management, pp Gland: IUCN. Seidensticker J, Christie S, Jackson P Menunggang Harimau; Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Cambridge University Press Seidensticker J On the Ecological Separation Between Tigers and Leopards. JSTOR. Biotropica, volume 8 issue 4 (Des,1976), Setijati I, Sastrapradja, Soemartono SA, Rifai MA Khasanah Flora dan Fauna Nusantara. Yayasan obor Indonesia. Jakarta. Singh L Tracking Tiger. WWF Tiger Conservation Programme. Lodhi Estate. New Delhi. Smith. J. D. L., S. C. Ahearn, & C. McDougal Lanscape analysis of tiger distribution and habitat quality in Nepal. Conservation Biology 12 (6): Soerianegara I and Indrawan A Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sriyanto and Rustiadi Hewan Mangsa Potensial Harimau Sumatera di Taman Nasional Way Kambas. Lampung. Proyek Penyelamatan Harimau Sumatera. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sriyanto Kajian Mangsa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929) di Taman Nasional Way Kambas [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

82 72 Sunquist M, Karanth KU, Sunquist F Ekologi, Perilaku dan Keuletan Harimau Serta Perlunya Usaha Konservasi Harimau dalam Menunggang Harimau : Pelestarian Harimau di Lingkungan yang Didominasi Manusia. Ed. : J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson. Cambridge University Press. London Sunquist ME The Social Organization of Tigers in Royal Chitwan National Park. Smithsonian Contributions to Zoology 36: 1-98 Suryana, RT Studi Karakteristik Cover harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae Pocock, 1929) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Propinsi Riau dan Jambi (Studi Kasus di Rantau Langsat, Granit dan Datai). Laporan Tugas Akhir. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tilson R, Sriyanto, Rustiati EL, Bastoni, Yunus M, Sumianto, Apriawan, Franklin N Proyek Penyelamatan Harimau Sumatera Langkah-langkah Konservasi dan Manajemen In-Situ Dalam Penyelamatan Harimau Sumatera. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta The Tiger Information Centre. [13 Maret 2007]. van Strien NJ A Guide to The Tracks of Mammals of western Indonesia. School of environmental Conservation Management. Ciawi. Indonesia Wikramanayake ED, Dinerstein E, Robinson JG, Karanth KU, Rabinowitz A, Oslon D, Mathew T, Hedao P, Conne M, Hemley G, Bolze D An Ecology-Based Method for Defining Priorities for Large Mammal Conservation : The Tiger as Case Study. Conservation Biology Volume 12, No. 4 (August 1999) : [WWF-US] World Wide Fund-United States and [WCS] World Conservation Society A Framework for Identifying High Priority Area for The Conservation of Free Ranging Tiger. Kerjasama The National Fish Wildlife Foundation s and Save The Tiger Fund. Yong MYM Ancaman kepada Harimau. National Geographic. Desember Wild Tiger Geoffrey C Ward, ms

83 LAMPIRAN

84

85 Lampiran 1. Foto individu harimau yang berhasil diidentifikasi Yoan Dinata - Yoan Dinata - Yoan Dinata Yoan Dinata - Damar Yoan Dinata - DICE Meranti Yoan Dinata -

86 Yoan Dinata - DICE Gumanti Yoan Yoan Dinata Dinata - - DICE Bulan Yoan Dinata - DICE

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 17 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai Juni 2008 hingga Agustus 2008 di kawasan hutan Batang hari, Solok selatan, Sumatera barat. Gambar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau Kalimantan dan Papua, Hutan Sumatera mengalami kerusakan yang cukup tinggi. Sejak Tahun

Lebih terperinci

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti)

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti) ) terbagi menjadi sembilan subspesies yang tersebar di Asia, mulai dari daratan Turki hingga ke Rusia dan Indonesia. Namun saat ini hanya tersisa enam subspesies harimau saja di dunia. Tiga subspesies

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, TINJAUAN PUSTAKA Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Kondisi Habitat Harimau Tipe hutan yang masuk kedalam lokasi penelitian terdiri atas dua yaitu hutan perbukitan dan hutan sub pegunungan. Perbedaan tipe hutan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Harimau Sumatera yang ditemukan di pulau Sumatera biasa juga disebut dengan harimau loreng. Hal ini dikarenakan warna kuning-oranye dengan garis hitam vertikal pada tubuhnya. Taksonomi

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Gunardi Djoko Winarno dan Revi Ameliya Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Abstract

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG) SKRIPSI Oleh: RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT. Fauziah Syamsi

KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT. Fauziah Syamsi KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT Fauziah Syamsi Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau Kepulauan Koresponden : fauziah@unrika.ac.id

Lebih terperinci

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara) BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI PENDAHULUAN Ekowisata berkembang seiringin meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Pergerakan Harimau Translokasi Berdasarkan GPS Collar Berdasarkan data GPS Collar yang dipakai, pergerakan harimau translokasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. status Nature Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. status Nature Reserve (cagar alam) seluas 298 ha. Kemudian berdasarkan Surat IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Status Kawasan Kawasan ini ditunjuk berdasarkan Besluit Van Der Gouverneur General Van Netherlanch Indie No. 15 Stbl 24 tahun 1933 tanggal 10 Januari 1933 dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel : 19-20 November KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA Yusrina Avianti Setiawan 1), Muhammad Kanedi 1), Sumianto 2), Agus Subagyo 3), Nur Alim

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Burung merupakan salah satu jenis hewan yang banyak disukai oleh manusia, hal ini di karenakan burung memiliki beberapa nilai penting, seperti nilai estetika, ekologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan sub spesies macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) yang memiliki morfologi dan genetika sangat berbeda

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 MENGGUNAKAN METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK

PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 MENGGUNAKAN METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 MENGGUNAKAN METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK EVINE KEMALA OLVIANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2011. Lokasi penelitian berada di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia besar yang hidup di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1823), satwa berkuku genap ini mempunyai peranan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE

Profil Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Tutupan Lahan Gunung Aseupan Banten BAB II METODE BAB II METODE A. Waktu Pelaksanaan Kajian profil keanekaragaman hayati dan dan kerusakan tutupan lahan di kawasan Gunung Aseupan dilaksanakan selama 60 hari kerja, yaitu tanggal 2 Juni s/d 31 Juli 2014.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

IV APLIKASI PERMASALAHAN

IV APLIKASI PERMASALAHAN IV APLIKASI PERMASALAHAN Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan alam yang sangat besar dengan aneka tipe ekosistem mulai dari pegunungan, hutan kapur, lahan basah, kawasan laut, terumbu

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Harimau yang ditranslokasikan dan dipasangi kalung GPS selama penelitian adalah sebanyak enam ekor. Namun demikian, harimau yang ditranslokasikan ke TNKS (JD-4) ditemukan mati

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PERBANDINGAN PERILAKU BERSARANG ORANGUTAN JANTAN DENGAN ORANGUTAN BETINA DEWASA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN SUAQ BALIMBING Fauziah

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-ekologi 1. Taksonomi Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and Napier, 1986). Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53 SIARAN PERS Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Jakarta, 29 Desember 2011 Badak jawa merupakan satu dari dua jenis spesies badak yang ada di Indonesia dan terkonsentrasi hanya di wilayah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER Disusun oleh : Nama NIM : Mohammad Farhan Arfiansyah : 13/346668/GE/07490 Hari, tanggal : Rabu, 4 November 2014

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON STUDI KARAKTERISTIK KUBANGAN BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (Study of Wallow Characteristics of Javan Rhinoceros - Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822 in

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Mamalia Mamalia berasal dari kata mammilae yang berarti hewan menyusui, suatu kelas vertebrata (hewan bertulang belakang) dengan ciri seperti adanya bulu di badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

STUDI HABITAT HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS NURUL SILVA LESTARI

STUDI HABITAT HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS NURUL SILVA LESTARI STUDI HABITAT HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS NURUL SILVA LESTARI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Harimau Taksonomi harimau dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Harimau Taksonomi harimau dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia TINJAUAN PUSTAKA Harimau berada di bawah subfamili Pantherinae, bersama dengan singa, panther, dan jaguar. Seluruh subspesies harimau berada di bawah spesies Panthera tigris. Di dalam bukunya, Mongillo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan kematangannya serta memiliki sifat-sifat

Lebih terperinci