MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI"

Transkripsi

1 MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 ABSTRAK ENDANG SARASWATI. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung). Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Pengelolaan sampah Kota Bandung mempunyai masalah utama berupa keterbatasan dalam kapasitas pelayanan, yaitu hanya sekitar 60% dari sampah kota. Hal ini hanya bisa ditanggulangi melalui reduksi sampah oleh masyarakat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat menjadi basis pengelolaan sampah. Tujuan penelitian adalah membuat model pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota yang berbasis partisipasi masyarakat. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah kota adalah masyarakat penghasil sampah, pengelola sampah, pemanfaat sampah, pemerhati masalah sampah, dan pemerintah. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis statistik, organizational capacity assessment tool (OCAT) dan analisis prospektif. Responden yang terlibat meliputi 520 orang kepala rumah tangga, 26 orang Ketua RT, 26 orang Ketua RW, 26 orang Lurah, 26 orang Camat, 100 orang pemulung, 20 orang lapak, 4 orang pengusaha daur ulang, 3 orang pengusaha kompos, dan 4 lembaga swadaya masyarakat. Analisis statistik menghasilkan tujuh faktor dari rumah tangga yang berpengaruh nyata terhadap pengelolaan persampahan. Ketujuh faktor tersebut adalah (1) jumlah sampah (2) yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang, (3) pengetahuan tentang 3R (reduce, reuse, recycle), (4) pemilahan, (5) pelaksanaan reduce, (6) pelaksanaan reuse dan (7) kesediaan melakukan recycle (daur ulang). Ibu rumah tangga merupakan pihak yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang. Masyarakat pengelola sampah adalah RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) yang merupakan community based organization. Masyarakat pemanfaat sampah meliputi pemulung, lapak (bandar), perusahaan pembuatan kompos dan produk daur ulang. Analisis terhadap kapasitas organisasi pengelola persampahan kota, menunjukkan lembaga tersebut masih dalam taraf pengembangan (expanding). Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi adalah aspek pelayanan. Faktor kunci dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang, pemasaran produk daur ulang. Skenario yang terpilih dalam model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat adalah skenario Agak Optimis. Strategi untuk pencapaian skenario tersebut adalah dengan sosialisasi untuk pemahaman 3R. Sasaran utama sosialisasi adalah ibu rumah tangga. Model kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat adalah rangkaian kegiatan pengelolaan sampah yang sinergis antara masyarakat penghasil, pengelola, pemanfaat sampah dan masyarakat pemerhati lingkungan serta pemerintah dalam aspek sosialisasi 3R dan pemasaran kompos dan produk daur ulang. Hasil simulasi reduksi jumlah sampah sebesar 40% dicapai dalam 20 tahun yang terbagi dalam 3 tahapan yaitu jangka pendek, menengah dan panjang. Hal tersebut dapat dicapai bila sosialisasi 3R (reduce, reuse dan recycle) dilakukan serentak di 26 kecamatan. Kata kunci : pengembangan kelembagaan, pengelolaan sampah kota, partisipasi masyarakat

3 ABSTRACT ENDANG SARASWATI. Institutional Development Model of Municipal Solid Waste Management in Community Participation Based (with special reference to Bandung City). Under direction of HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO. Waste management becomes a major problem for municipal institution and the community of Bandung City. The major problem is waste generation exceeding municipal waste management capacity. It is about 40% of municipal solid waste could not be transported to final disposal site. To overcome this problem waste minimization must be conducted from the source i.e. households by integrating institution and community participation in waste management. The objective of the study is to develop integrated institution in municipal waste management based on community participation. The method was used in the study were statistical analysis, organizational capacity assessment tool (OCAT) and prospective analysis. The respondents were 520 households, 26 neighborhood association heads, 26 sub district heads, 100 scavengers, 4 recycling business and 3 composting business and 4 non government organizations (NGO s). The statistical analysis from household level showed that there were seven factors of household characteristics significantly related to waste management in three regions of population density i.e. :(1) waste volume, (2) person in charge in handling domestic waste at home before disposing, (3) understanding level of 3R (4) waste separation; (5) reduce, (6) reuse, and (7) willingness to recycle. The housewife had a major role in handling domestic waste. Neighborhood associations (RT and RW) were community based organizations who collecting domestic waste. Communities that used waste domestic were scavengers, buyers, compost and recycling product business. Organizational capacity assessment tool (OCAT) was conducted to show the capacity of municipal waste management organization. The result shows that the organization was in expanding level; however the weakest factor in organizational capacity was service aspect. Prospective analysis was conducted by workshop method involving stakeholders in waste management of Bandung City to create scenario to build synergy between institutions and community participation. Identified key factors were 3R socialization, 3R comprehension, the housewife role, composting business, composting marketing, recycling product business, recycling product marketing. The scenario created was rather optimistic scenario that socialized of 3R program should be encouraged; in order to increase 3R comprehension with the main target of socialization were the housewives. The model of institutional development in municipal solid waste management was a synergy of waste management activities between the communities and government in 3R socialization. The simulation of 40% waste reduction would be achieved in 20 years, that is divided into 3 phase (short, medium and long term) of socialization that should be implement in 26 districts. Keywords: institutional development, solid waste management, community participation

4 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya

5 MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

6 Judul Disertasi : Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung) Nama Mahasiswa : Endang Saraswati NIM : P Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri Anggota Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 19 Februari 2007 Tanggal Lulus : 5 Maret 2007

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia yang dilimpahkannya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan, meskipun waktu penyelesaiannya lebih lama daripada waktu yang seharusnya. Penelitian dilakukan sejak pertengahan tahun 2004 sampai Januari Tema yang dipilih adalah pengelolaan persampahan dengan judul disertasi: Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing juga kepada Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri dan Dr. Ir. Hartrisari H Hardjomidjojo, DEA selaku anggota komisi pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Perusahaan Daerah Kebersihan yang telah memberikan kesempatan untuk dilakukannya penelitian ini. Perhargaan yang sama disampaikan kepada Pemerintah Kota Bandung yang telah memfasilitasi penyelenggaraan lokakarya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2007 Endang Saraswati

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1956 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Almarhum Prof. Ir. Suryono dan Sutjiningroem Pendidikan sarjana ditempuh pada jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, dan lulus pada tahun Tahun 1998 mengikuti program pasca sarjana pada Ilmu Geografi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia, dan lulus pada tahun Tahun 2001 mengikuti program S3 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor dengan peminatan Kebijakan Manajemen Lingkungan (KML). Sejak tahun 1986, penulis menjadi tenaga pengajar pada Institut Teknologi Adityawarman Bandung. sekarang Universitas Kebangsaan, pada jurusan Teknik Lingkungan. Selama mengikuti program S3, karya ilmiah yang telah diterbitkan adalah Dinamika Pembangunan Fisik Permukiman Kota: Kasus Kota Jakarta pada buku Dimensi Keruangan Kota terbitan UI Press tahun 2001 dengan penyunting Raldi Hendro Koestoer dkk. Selanjutnya adalah tulisan dengan judul Ecotourism Potency of Pulau Dua and Suroundings dalam Dynamic Situation in Indonesia, terbitan Department of Geography, University of Indonesia (2002). Makalah penulis telah disajikan dalam 3rd International Convention of Asia Scholar (ICAS3) di Singapura pada tanggal 19 sampai 22 Juni 2003 dengan judul The Spatial Analysis in Determining Municipal Solid Waste Disposal Site in Bandung, West Java.

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN xv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Manfaat Penelitian Novelty (Kebaruan) II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Persampahan Kota Aspek Teknik Operasional Aspek Organisasi Aspek Pembiayaan Aspek Peraturan Aspek Peranserta Masyarakat Teori Kelembagaan Lembaga/ Institusi Organisasi Kelembagaan Lingkungan Penelitian Aspek Kelembagaan Pengembangan Kelembagaan Peranserta (Partisipasi) Masyarakat Metode Penelitian Analisis Kelembagaan & Peranserta Masyarakat Model III. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Formulasi Permasalahan Rancangan Penelitian Metode Pengumpulan Data

10 Variabel/ Peubah yang Diamati Metode Analisis Data Analisis Statistik dengan Uji khi-kuadrat Organizational Capacity Assessment Tool (OCAT) Analisis Prospektif dengan Metode Lokakarya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Sampah Kota Bandung Teknik Operasional Organisasi Pembiayaan Peraturan Peranserta Masyarakat Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Sampah Masyarakat Penghasil Sampah Masyarakat Pengelola Sampah Masyarakat Pemanfaat Sampah Pemulung Lapak (Bandar) Perusahaan Pembuatan Kompos Perusahaan Daur Ulang Masyarakat Pemerhati Lingkungan Pemerintah Pengembangan Kelembagaan Skenario dan Implikasi Pengembangan Skenario Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat Simulasi Reduksi Jumlah Sampah Berdasarkan Skenario Pengembangan Kelembagaan Strategi Sosialisasi 3R Strategi Pemasaran Kompos V. KESIMPULAN DAN SARAN

11 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Jumlah responden dan metode pengumpulan data Variabel yang diamati Skor untuk lembaran asesmen analisis kelembagaan dengan OCAT 39 4 Skala rating disetarakan dengan tingkat pengembangan Skor atau nilai pengaruh antar faktor pada analisis prospektif Jumlah sampah Kota Bandung tahun (BPS ) Tingkat kemampuan pengangkutan sampah (PD Kebersihan 2005) Jumlah penerimaan dan pengeluaran (PD Kebersihan 2005) Ringkasan hubungan karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan samapah pada tiga wilayah kepadatan (hasil analisis) 10 Ringkasan dari hasil uji pada masyarakat penghasil sampah (hasil analisis) Ringkasan hubungan karakteristik rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, dan kecamatan dengan aspek pengelolaan sampah pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) Kondisi mayoritas pemulung pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) Kondisi mayoritas lapak yang ada pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) Daftar perusahaan pembuatan kompos (hasil analisis) Perusahaan daur ulang (hasil analisis) Hasil penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan menggunakan OCAT (hasil analisis) Daftar faktor yang teridentifikasi dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Bandung Keadaan faktor kunci pada pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat

13 19 Skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat (hasil analisis) Hasil penilaian untuk skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat Hasil analisis, pengembangan dan implementasi skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat Target sosialisasi 3R pertahun dari tahun 2005 sampai 2024 (hasil analisis) Strategi jangka pendek, menengah dan panjang pada sosialisasi 3R dan pemasaran kompos dan produk daur ulang (hasil analisis)

14 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Kerangka pemikiran berdasarkan kelompok pelaku yang terlibat dalam pengelolaan persampahan kota Produksi dan pengelolaan sampah di Jakarta (CSI 2005) Diagram alir teknik operasional pengelolaan sampah (PD Kebersihan 2005) Proses pengembangan kelembagaan (DFID 2003) Pengembangan kelembagaan (Wenban-Smith 2002) Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000) Peta wilayah Kota Bandung dengan 26 Kecamatan Sampling responden sampel camat, lurah, ketua RW, ketua RT dan kepala rumah tangga Lokasi sampel responden rumah tangga, rukun tetangga, rukun warga, kelurahan dan kecamatan terpilih Diagram metode penelitian yang digunakan Diagram operasional PD Kebersihan Struktur organisasi Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung Hasil perhitungan penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan dengan OCAT Hasil analisis peran stakeholder dalam pengelolaan sampah eksisting Gambar tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat (hasil analisis) Jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA selama tahun tanpa dan dengan pemilahan oleh rumah tangga (hasil analisis) Pergerakan radius sosialisasi pada setiap kecamatan (hasil analisis) Jumlah sampah layak kompos, produksi kompos dan sampah layak daur ulang tahun (hasil analisis)

15 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Analisis hubungan karakteristik rumah tangga pada tiga wilayah kepadatan (Tabel 1 sampai 62) Analisis karakteristik RT, RW, Kecamatan, Kelurahan (Tabel 63 sampai 73) Profil perusahaan kompos Profil perusahaan daur ulang Profil lembaga swadaya masyarakat (LSM) Ringkasan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota

16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Secara nasional, hanya 40% dari sampah kota yang dapat dikelola sedangkan sisanya dibakar atau dibuang ke badan air dan lahan terbuka (KMNLH 1997). Dampak yang terjadi adalah pencemaran udara, air dan tanah dengan resiko pada kesehatan lingkungan. Permasalahan pengelolaan persampahan meliputi koordinasi yang buruk, tidak ada unit perencana, sistem akuntansi lemah, terbatasnya dana, produktivitas pekerja lemah dan pengelola merupakan organisasi yang kecil di lingkungan pemerintah kota (Anschütz 1996). Jumlah sampah tergantung dari jumlah penduduk dan tingkat timbulan sampah (waste generation). Masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk adalah kenyataan bahwa sebagian penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan dengan tingkat kepadatan tinggi. Agenda 21 menyebutkan bahwa pada tahun 1990 sebanyak 30% dari penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Persentase ini akan meningkat menjadi 50% pada tahun 2020 dengan konsentrasi pertumbuhan di kota besar dan metropolitan. Tingkat timbulan sampah juga akan meningkat sebanyak lima kali lipat sebagai akibat dari berubahnya pola konsumsi karena meningkatnya kesejahteraan. Agenda 21 juga menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai kebijakan untuk berpegang pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan, sehingga strategi dalam pengelolaan sampah pun harus mengikuti prinsip tersebut. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pengelolaan limbah padat (sampah) mengikuti prinsip bahwa sampah tidak boleh terakumulasi di alam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa pembuangan sampah harus dibatasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan menerapkan sistem tertutup dalam penggunaan materi seperti daur ulang dan pengomposan harus dimaksimalkan. Berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan maka strategi pengelolaan sampah harus dimulai dari sumber sampah sampai tempat

17 2 pembuangan akhir. Terdapat empat komponen yang menentukan keberhasilan pengelolaan sampah. Pertama, minimasi limbah, yaitu upaya mengurangi jumlah sampah baik dari proses produksi industri maupun dari rumah tangga. Kedua, daur ulang dan pembuatan kompos, yaitu memanfaatkan sampah baik organik maupun anorganik yang masih bernilai untuk didaur ulang atau dijadikan kompos. Ketiga, peningkatan pelayanan umum. Tidak seluruh sampah dapat didaur ulang atau dijadikan kompos, selalu saja ada sebagian sampah yang tetap harus dibuang. Karena itu, pelayanan umum diperlukan untuk mengelola sampah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan. Keempat, meningkatkan pengolahan dan pembuangan sampah yang akrab lingkungan, yaitu usaha pengelolaan tempat pembuangan akhir secara benar tanpa mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Pengelolaan sampah kota terdiri dari 6 elemen, yaitu sumber sampah, pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et al. 1993). Keterbatasan lahan pembuangan mengharuskan dilakukannya usaha mengurangi sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir (WasteNet 2006). Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai permasalahan dengan ketersediaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Sebagai Kota Metropolitan Secara topografi Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 Meter di atas permukaan laut (dpl), titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian meter dan terendah di sebelah Selatan 675 Meter di atas permukaan laut. Kota Bandung terdiri dari 26 kecamatan mempunyai luas 167,29 km 2 atau hektar dengan jumlah penduduk jiwa dan kepadatan penduduk 133 jiwa per hektar (BPS 2003). Sampai dengan bulan Februari 2005, seluruh sampah Kota Bandung dibuang ke TPA Leuwigajah yang berjarak 15 km dari pusat kota. Namun pada tanggal 21 Februari 2005 terjadi longsor di TPA tersebut sehingga pembuangan dialihkan ke TPA lain. Salah satu TPA pengganti adalah TPA Cicabe yang sebenarnya sudah ditutup. Saraswati (2003) melakukan penentuan lokasi TPA berdasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan pendekatan sistem informasi geografis. Berdasarkan studi tersebut lokasi yang sesuai untuk TPA sampah berada di

18 3 Kabupaten Bandung. Bila lokasi TPA sampah terpilih semakin jauh jaraknya dari pusat Kota Bandung, akan mengakibatkan biaya pengangkutan lebih tinggi sehingga biaya operasional pengelolaan sampah di Kota Bandung akan semakin tinggi. Berdasarkan permasalahan ketersediaan lahan untuk TPA sampah di Kota Bandung, perlu dilakukan usaha untuk meminimalkan timbulan sampah di sumber. Usaha tersebut dilakukan melalui 3R (reduce, reuse, recycle) oleh sumber sampah. Reduce adalah meminimalkan jumlah sampah yang timbul, misalnya dengan tidak menggunakan barang sekali pakai. Reuse adalah menggunakan barang yang sifatnya tidak sekali pakai. Recycle adalah mendaur ulang sampah menjadi bahan baku dalam pembuatan kompos dan produk daur ulang. Melalui 3R maka jumlah sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir akan menyusut karena hanya berupa sampah sisa. Usaha recycle hanya bisa berjalan bila sumber sampah bersedia untuk melakukan pemilahan pada sampah, yaitu memisahkan antara sampah yang berupa bahan organik dan non organik. Sampah organik dapat dijadikan kompos, sedangkan sampah anorganik dapat dijadikan bahan baku produk daur ulang. Aspek kelembagaan sering ditafsirkan sebagai organisasi. Sebenarnya organisasi merupakan salah satu bentuk dari aspek kelembagaan. Dalam mengkaji aspek kelembagaan selain organisasi yang menjadi perhatian, juga aspek peraturan, norma dan etika. Pada prinsipnya, aspek kelembagaan melibatkan aktor atau pelaku yang terlibat dalam pengelolaan. Agar pengelolaan persampahan secara terpadu dapat dicapai, peran sumberdaya manusia perlu diperhatikan. Karena itu, aspek partisipasi atau peranserta masyarakat perlu ditingkatkan dalam pengelolaan persampahan ini (Djogo et al. 2003). Diperlukan pengkajian untuk mengintegrasikan partisipasi masyarakat ke dalam aspek kelembagaan dalam pengelolaan persampahan kota.

19 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menyusun model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota, untuk itu tujuan antaranya adalah: 1. Menganalisis kelembagaan eksisting pada pengelolaan persampahan Kota Bandung. 2. Menyusun skenario untuk mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat. 3. Mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat. 4. Membuat simulasi reduksi jumlah sampah dan strategi pencapaiannya Kerangka Pemikiran Aspek kelembagaan dan partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam pengelolaan persampahan. Bila pengembangan pada kedua aspek ini dilakukan tepat dan sinergis dengan aspek operasional pengelolaan sampah maka diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan persampahan kota. Pada pengelolaan persampahan, lembaga yang menangani pengelolaan persampahan secara umum belum optimal, jika ditinjau dari komponen organisasi, peraturan, pembiayaan dan sumberdaya manusia. Ketidakoptimalan tersebut perlu untuk dikuantifikasi dengan pengkajian (assessment) dan analisis. Hasil pengkajian dan analisis ini merupakan masukan untuk pengembangan kelembagaan (Patan Conservation and Development Program 1996). Teknik operasional pengelolaan sampah terdiri dari penanganan sampah disumber, pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et.al. 1993). Penelitian akan dibatasi pada sumber sampah berupa rumah tangga. Pengumpulan sampah rumah tangga dikelola oleh organisasi Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) setempat, berupa pengambilan sampah dari setiap rumah. Sampah dari hasil pengumpulan kemudian dibawa ke suatu tempat pembuangan sementara (TPS) yang merupakan milik organisasi pengelola sampah kota. Oleh organisasi pengelola sampah kota

20 5 tersebut, sampah selanjutnya diangkut untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Di TPA terdapat kegiatan pemanfaatan sampah oleh pemulung yang mengambil barang bekas yang masih bernilai dan produsen kompos yang memanfaatkan sampah organik. Diluar sistem pengelolaan sampah terdapat lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kegiatan yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian terhadap masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, dan masyarakat pemanfaat sampah, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), (Gambar 1). Gambar 1. Kerangka pemikiran berdasarkan kelompok pelaku yang terlibat dalam pengelolaan persampahan kota (diadopsi dari Tchobanoglous et.al. 1993)

21 6 Pada Gambar 1, tampak bahwa terdapat lima kelompok besar pelaku pengelolaan persampahan kota, yaitu masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, pemerintah, dan masyarakat pemanfaat sampah serta masyarakat pemerhati lingkungan. Masyarakat penghasil sampah terbagi menjadi dua, yaitu penghasil sampah domestik (rumah tangga) dan non domestik (pasar, pertokoan, industri rumah tangga). Sampah domestik dikelola oleh organisasi masyarakat, umumnya dari organisasi Rukun Tetangga (RT/RW), sedangkan sampah non domestik dikelola langsung oleh Dinas atau Perusahaan Daerah. Sampah kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Masyarakat pemanfaat sampah adalah mereka yang mengambil material yang masih bernilai dari sampah. Terdapat dua jenis material yaitu yang bersifat organik untuk dijadikan kompos dan yang bersifat anorganik untuk didaur ulang. Material ini dapat diperoleh langsung dari sumber, dari RT/RW, atau TPA. Dilihat dari terkonsentrasinya para pemulung di TPA maka tampak bahwa kegiatan pengambilan material daur ulang hampir seluruhnya terjadi di TPA. Keadaan ini secara tidak langsung merugikan karena seluruh sampah harus diangkut ke TPA sehingga membutuhkan biaya besar. Bahan organik sudah tidak dalam kondisi segar untuk dikomposkan, dan material daur ulang relatif kotor dan sulit untuk dipilah karena sudah dalam kondisi tercampur. Masyarakat pemanfaat sampah perlu ditingkatkan perannya dalam pengelolaan sampah, dengan cara mengintegrasikannya kedalam lembaga pengelola sampah. Pengintegrasian lembaga berbasis masyarakat ini dapat dilakukan dengan beberapa skenario. Konsep pengembangan kelembagaan ini diperoleh dengan bantuan para pakar melalui analisis prospektif. Para pakar yang terlibat meliputi pakar di bidang persampahan, pakar kelembagaan, wakil dari pengelola persampahan kota dan wakil dari LSM Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah terhadap ilmu pengetahuan, para stakeholders dan pemerintah. 1. Bagi ilmu pengetahuan agar dapat menambah khasanah ilmu bidang lingkungan terutama pengelolaan persampahan kota.

22 7 2. Bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah kota. 3. Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan acuan untuk menetapkan suatu kebijakan Novelty (Kebaruan) Jumlah sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Keterbatasan lahan tempat pembuangan akhir membuat pengelolaan sampah harus mengarah pada usaha menekan jumlah sampah yang harus dibuang dengan cara memanfaatkan sampah. Penelitian-penelitian sudah ada bersifat partial, yaitu hanya difokuskan pada salah satu stakeholder. Schenberg et al. (1999) dan Bulle S. (1999) melakukan penelitian tentang hubungan gender dan sampah. Moningka (2000) dan Anschutz (1996) melakukan penelitian tentang jenis partisipasi masyarakat. Damanhuri (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui potensi daur ulang sampah Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian yang utuh yaitu meliputi semua stakeholder yang berperan dari hulu sampai dengan hilir, yaitu mulai dari sumber sampah sampai dengan usaha pemanfaatan sampah melalui program reduce, reuse dan recycle (3R).

23 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Persampahan Kota Sampah adalah buangan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan hewan, berbentuk padat, dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diinginkan keberadaannya Pengelolaan sampah dilakukan dengan tujuan mengendalikan secara sistematik semua kegiatan yang berhubungan dengan timbulnya sampah, penanganan sampah di sumbernya; penanganan, pemilahan, dan pengolahan sampah di sumbernya; pengumpulan; pengolahan dan daur ulang sampah; pemindahan dan pengangkutan; dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et. al. 1993). Timbulnya sampah merupakan salah satu konsekuensi dari kegiatan kota. Sampah berasal dari daerah permukiman, pasar, pertokoan, fasilitas umum, dan sebagainya. Secara umum, sebagian besar dari sampah kota berasal dari permukiman yaitu berupa sampah dapur (garbage). Hal inilah yang menyebabkan lebih dari 60% volume sampah kota bersifat organik atau dapat membusuk. Terhadap sampah dapat dilakukan usaha daur ulang, misalnya pembuatan kompos dari sampah organik dan pemanfaatan barang bekas dari sampah anorganik (kertas, plastik, dan sebagainya). Sampah yang tidak didaurulang harus dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPA). Pengelolaan sampah di Indonesia secara umum terdiri dari lima aspek, yaitu teknik operasional, organisasi, pembiayaan, peraturan, dan peranserta masyarakat. Kelima aspek tersebut diharapkan dapat berjalan secara terintegrasi sehingga diperoleh hasil pengelolaan persampahan yang optimal. Pada tahun 1997, Yayasan Kirai Indonesia bersama UNESCO menganalisis dan mendata timbulan sampah di Jakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintah kota. Jumlah sampah penduduk kota Jabotabek (Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang) mencapai lebih dari m3 per hari, m3 diantaranya berasal dari Jakarta (CSI 2003). Sebesar 83% sampah dikumpulkan oleh masyarakat lokal, pemulung, pemerintah lokal dan perusahaan swasta. Sisanya sebesar 17% dibuang ke sungai. Di luar kota Jakarta, hanya sekitar 50% sampah yang dikumpulkan, dan 20% diantaranya tidak sampai ke tempat

24 pembuangan akhir sampah, kemungkinan besar dibuang di tempat pembuangan liar (Gambar 2). 9 SUMBER PENGELOLAAN SAMPAH DI JAKARTA Rumah tangga 52% Pasar lokal Organik Anorganik Usaha daur ulang Pasar produk daur ulang Pasar tradisional 17% Pasar moderen 15% m3/hr Pemulung Anorganik Lapak Pengelolaan oleh DKI m3/hr 85% Organik dan anorganik Pengolahan Industri daur ulang Tempat Pembuangan Sementara atau Tempat Pembuangan Akhir Industri 15% Perusahaan swasta untuk jalan protokol Dikumpulkan dari sungai (DKI) 400 m3/hr Jalan 1% m3/hr 5% Sampah terbuang ke sungai Ke Teluk Jakarta m3/hr Gambar 2 Produksi dan pengelolaan sampah di Jakarta (CSI 2003) Pembuangan sebagian sampah Jakarta ke laut mengakibatkan tertutupnya dasar laut Kepulauan Seribu dengan plastik. Keadaan ini mengganggu kehidupan bentos seperti terumbu karang, rumput laut dan spesies lain yang berkembang biak di dasar laut. Kerugian ekonomi akan dirasakan oleh para nelayan dan semua kehidupan dalam laut. Untuk menghadapi sampah yang timbul setiap hari di Jakarta, kota ini membutuhkan organisasi dengan program manajemen dan infrastruktur persampahan yang baik Aspek Teknik Operasional Aspek teknik operasional pengelolaan persampahan terdiri dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir. Diagram alir aspek teknik operasional tersebut digambarkan pada Gambar 3. Pewadahan

25 10 dilakukan oleh sumber sampah, yaitu rumah tangga, toko, pedagang pasar, pengelola sekolah, dan sebagainya. Bentuk wadah yang digunakan ditentukan sendiri sesuai selera dan kemampuan pemiliknya, dapat berupa tong logam, bin plastik, kotak kayu, atau bak pasangan bata. Setelah terkumpul di dalam wadah, sampah dapat diolah sendiri oleh pemiliknya, misalnya dijadikan kompos, atau menunggu untuk diambil oleh petugas. Pada beberapa tahun terakhir ini, terdapat gerakan dunia berupa 3R (reduce, reuse, recycle) terutama untuk sampah rumah tangga. Gerakan ini diharapkan bisa menekan persen pertumbuhan jumlah sampah. Pewadahan Pengumpulan Pemindahan Pengangkutan Pembuangan akhir Sumber Masyarakat / Pengelola Pengelola Gambar 3 Diagram alir teknik operasional pengelolaan sampah (PD Kebersihan 2005) Pengumpulan sampah adalah mengambil sampah dari sumber untuk dikelola lebih lanjut. Pekerjaan pengumpulan sampah di daerah permukiman umumnya dikelola dan dilakukan oleh organisasi masyarakat, misalnya RT/RW (Rukun Tetangga/Rukun Warga), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan sebagainya. Kegiatan ini dibiayai dari iuran yang dipungut dari masyarakat yang dilayani. Pengumpulan sampah di daerah non permukiman, termasuk penyapuan jalan, umumnya dilakukan oleh pengelola persampahan kota, misalnya pada daerah komersial, taman kota, pasar, dan sebagainya. Selain oleh masyarakat dan pengelola persampahan kota, pengumpulan sampah juga dapat dilakukan oleh perusahaan swasta yang bekerja sesuai kontrak kerja.

26 11 Teknis pengumpulan adalah dengan cara mendatangi sumber untuk mengambil sampah. Pengumpulan dilakukan secara manual dengan peralatan bantu berupa gerobak atau sejenisnya. Bila sampah dari suatu sumber jumlahnya cukup tinggi, misalnya dari pasar atau supermarket, pengumpulan dilakukan dengan truk yang akan langsung mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir. Pemindahan sampai dengan pembuangan sampah umumnya dilakukan oleh pengelola persampahan. Sampah hasil pengumpulan akan dikumpulkan di lokasi pemindahan (transfer depo) untuk nantinya diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Lokasi pemindahan secara prinsip berupa area tempat menumpahkan sampah dari alat pengumpul (gerobak). Untuk menjaga kebersihan, lokasi pemindahaan saat ini umumnya berupa kontainer tertutup yang selanjutnya akan diangkut ke TPA. Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan berbagai jenis truk, mulai dari truk terbuka sampai truk yang dilengkapi dengan alat pemadat (kompaktor). Metode pembuangan akhir yang umum dipakai di Indonesia adalah open dumping (penimbunan terbuka). Mengingat akibat yang banyak timbul, yaitu bau dan pencemaran air tanah oleh leachate, metode ini secara berangsur telah diganti dengan sanitary atau controlled landfill (Schubeler 1996) Aspek Organisasi Organisasi pengelola persampahan di Indonesia tampak cukup beragam, umumnya disesuaikan dengan jumlah sampah yang harus ditangani. Beberapa bentuk organisasi yang dikenal ada Seksi, Sub Dinas, Dinas, dan Perusahaan Daerah Kebersihan. Organisasi tersebut bisa khusus menangani sampah atau campuran. Kabupaten Sleman, misalnya, pengelolaan persampahan dilakukan oleh Seksi Kebersihan dan Pertamanan Sub Dinas Cipta Karya - Dinas Pekerjaan Umum, Pengairan dan Pertambangan (PUPP) Kabupaten Sleman. Penangan secara tercampur juga ditemui di Kota Balikpapan, yaitu pengelolaan persampahan yang berada dibawah tanggung jawab Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman. Namun ada pula kota-kota yang sudah mempunyai organisasi yang khusus menangani sampah, misalnya Kota Bekasi yang sampahnya dikelola

27 12 oleh Sub Dinas Kebersihan DPU, atau sampah Kota Mataram dan Palembang yang dikelola oleh Dinas Kebersihan. Di Kota Makassar, pengelolaan sampah dilakukan oleh 3 badan, yaitu Dinas Keindahan untuk kota Makassar, Perusahaan Daerah Kebersihan untuk Kecamatan Tamalan Rea dan Kecamatan Birikanay, dan perusahaan swasta untuk daerah permukiman (real estate). Ada pula kerjasama antara beberapa kota dalam pengelolaan persampahan, misalnya dalam hal pembuangan akhir. Sebagai contoh adalah TPA Piyungan yang berada di Kabupaten Bantul yang berfungsi sebagai TPA gabungan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Semula, Kabupaten Sleman mempunyai TPA sendiri yang berada di Tambak Boyo. Namun TPA ini berada pada elevasi tinggi, sedemikian rupa sehingga berpotensi mencemari daerahdaerah yang lebih rendah. Penggunaan TPA Piyungan merupakan solusi yang paling aman karena terletak pada elevasi terendah terhadap Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Kota Bandung telah memiliki organisasi yang lebih mandiri, yaitu Perusahaan Daerah Kebersihan (Departemen Kimpraswil 2003). Kondisi yang beragam dari organisasi pengelolaan persampahan secara langsung juga memperlihatkan adanya keragaman dalam lingkup tanggung jawab dan kewenangan. Organisasi dengan bentuk Seksi, misalnya, memperlihatkan relatif kecilnya kewenangan yang dimiliki dan panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui dalam pengajuan sarana untuk pelaksanaan operasi dilapangan. Perusahaan Daerah lebih memiliki keleluasaan namun pada umumnya belum mampu mandiri, terutama dalam hal pendanaan mengingat terbatasnya kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah. Bentuk badan pengelola persampahan dan dasar hukum pembentukan badan pengelola umumnya sesuai dengan kategori kota berdasarkan kriteria Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) yaitu untuk kota besar & metropolitan (dengan jumlah penduduk antara sampai dengan jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Perusahaan Daerah atau Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk kota sedang (dengan jumlah penduduk antara sampai jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk kota kecil (dengan jumlah penduduk sebesar

28 antara sampai jiwa) bentuk organisasi pengelola Suku Dinas Kebersihan dan Pertamanan atau Seksi dibawah Dinas PU Aspek Pembiayaan Aspek pembiayaan meliputi sumber dana dan biaya pengelolaan persampahan yang terdiri dari biaya operasi, pemeliharaan dan administrasi. Mengingat adanya dua tahap pengelolaan sampah, yaitu pengumpulan oleh RT/RW atau organisasi masyarakat dan pengelolaan selanjutnya oleh pengelola persampahan kota, maka terdapat dua macam pungutan yang harus dibayar oleh masyarakat. Masyarakat membayar iuran sampah kepada RT/RW, dan membayar retribusi kepada pengelola persampahan. Selain dari retribusi, sumber dana lainnya adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pemungutan retribusi dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat, misalnya melalui RT/RW yang membuang sampahnya ke lokasi pemindahan. Namun dapat pula dipungut secara tidak langsung dengan cara menumpang pada pungutan lain. Di Bandung, misalnya, retribusi sampah dipungut pada saat rumah tangga membayar rekening listrik. Di Bekasi, pemungutan retribusi dilakukan langsung dari masyarakat oleh petugas atau pengemudi truk sampah yang bekerja sama dengan RT/RW. Hasil pemungutan kemudian disetorkan kepada Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah (Bakukeda) yang kemudian memasukkannya ke kas daerah. Anggaran biaya rutin dan pembangunan kemudian dialokasikan dalam DIPDA. Retribusi sebagai sumber dana belumlah mampu membiayai seluruh kegiatan pengelolaan persampahan. Pemungutan retribusi sampah di Kota Bekasi pada tahun 2002, misalnya, baru terealisasi sebesar 81% dari target sesuai wajib retribusi. Retribusi tersebut diperoleh dari daerah permukiman (71%), pertokoan/ komersial (25%), dan lainnya (4%). Bila dibandingkan dengan besarnya kebutuhan biaya pengelolaan persampahan maka masih dibutuhkan subsidi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah. Subsidi pada tahun 2002 adalah sebesar 40% dari biaya pengelolaan (Departemen Kimpraswil 2003).

29 Aspek Peraturan Peraturan yang hampir selalu ada meliputi peraturan tentang organisasi pengelola persampahan dan tarif retribusi yang umumnya berupa Peraturan Daerah (Perda). Peraturan lainnya biasanya tidak banyak berfungsi dikarenakan kurangnya kekuatan hukum yang menyertai pemberlakukan suatu peraturan. Hal yang terjadi di Kota Bekasi, misalnya, peraturan tentang K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) dan peraturan tentang larangan dan sanksi yang berkaitan dengan persampahan belum dapat berfungsi. Hal ini dikarenakan belum adanya badan hukum yang mengawasi pelaksanaan Perda dan dapat melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat atau badan usaha berkaitan dengan Perda tentang K Aspek Peranserta Masyarakat Peranserta masyarakat yang sudah berjalan relatif baik sampai saat ini adalah melakukan pengumpulan sampah yang dikoordinasi oleh organisasiorganisasi kemasyarakatan dan membayar retribusi sampah. Sejalan dengan gerakan 3R, kampanye dan penyuluhan kepada masyarakat sudah banyak dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mau mengurangi sampahnya, menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan, dan mendaur ulang sampahnya. Untuk tujuan ini masyarakat diminta kesediaannya untuk melakukan pemilahan sampah, yaitu memisahkan antara sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). Sampah basah bisa dimanfaatkan untuk dijadikan kompos, sedangkan sampah kering berupa kertas, plastik, logam, kaca, dan sebagainya dapat dijadikan bahan baku industri daur ulang. Di Kota Bandung, misalnya, pada tahun 1999 telah dilakukan Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat dalam Hal Pengelolaan dan Daur Ulang Sampah yang merupakan kerjasama antara PD Kebersihan dengan GTZ. Program ini bertujuan mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah berkenaan dengan terus meningkatnya jumlah sampah, salah satunya adalah mengajak masyarakat untuk mau memilah sampahnya. Melalui program ini, masyarakat diharapkan akan sadar atas konsekuensi dari terus meningkatnya jumlah sampah, yaitu akan

30 15 terus meningkatnya kebutuhan lahan untuk TPA, masalah pencemaran tanah dan air tanah, masalah kesehatan lingkungan, dan semakin tingginya biaya lingkungan dimasa yang akan datang. Konsekuensi tersebut juga mendorong keinginan Kota Bandung untuk mendirikan Pusat Daur Ulang Sampah Terpadu. Keinginan ini banyak disebabkan oleh komposisi sampah Kota Bandung yang berpotensi besar untuk didaur ulang, yaitu 70% berupa sampah basah dan hampir 30% berupa sampah kering (PD Kebersihan 2005). Kenyataan yang banyak ditemui dalam hal peranserta masyarakat adalah rendahnya kesadaran tentang persampahan dan tidak adanya perangkat hukum yang mampu mengatur perilaku masyarakat, misalnya sanksi terhadap orang yang membuang sampah secara tidak semestinya, sanksi terhadap rumah tangga yang tidak mau memilah sampahnya, atau penghargaan terhadap rumah tangga yang sudah melakukan daur ulang. Meskipun demikian telah mulai tampak adanya kegairahan masyarakat untuk melakukan pembuatan kompos. Di Jakarta, misalnya, kegiatan pembuatan kompos untuk media tanaman telah dilakukan di daerah Cilandak dibawah pembinaan Ibu Bambang Wahono di daerah Banjarsari Cilandak. Melalui kegiatan tersebut masyarakat diajak untuk menanam tanaman obat untuk keperluan sendiri. Vermikomposting, yaitu pembuatan kompos dengan cacing, telah dilakukan di SMU 34 Pondok Labu Jakarta Selatan. Permasalahannya adalah bahwa kegiatan masyarakat tersebut belum mampu bersinergi dengan pengelolaan persampahan kota, selain itu relatif masih sangat kecilnya jumlah sampah yang diolah oleh masyarakat terhadap jumlah sampah secara keseluruhan Teori Kelembagaan Lembaga/ Institusi Menurut Scott (2001) institusi atau lembaga memiliki tiga pilar. Tiga pilar dari institution adalah sistem regulasi, sistem norma dan sistem kultur kognitif. Pilar regulatif dari institusi adalah institusi menjaga dan mengatur perilaku (behaviour). Proses pengaturan atau regulasi meliputi keadaan aturan (rule-

31 16 setting), pemantauan (monitoring) dan sanksi. Proses regulasi meliputi penetapan peraturan, pemeriksaan, penentuan sanksi (rewards dan punishment) dalam rangka mempengaruhi perilaku di masa datang. Proses ini akan terjadi melalui mekanisme difusi informal maupun dengan secara formal. Pilar normatif meliputi dimensi ketentuan (prescriptive), penilaian (evaluative) dan kewajiban (obligatory) dalam kehidupan sosial. Sistem normatif meliputi nilai dan norma. Nilai merupakan konsep disukai atau diinginkannya sesuatu, sesuai dengan standar yang ada dalam struktur atau perilaku yang berlaku. Norma menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan, norma menetapkan atau mensahkan maksud untuk mengejar nilai. Pilar kultural kognitif dari institution adalah dengan menjembatani antara dunia luar dari stimulus dan respons dari organisme (individu). Hal ini merupakan internalisasi simbolis dari hal-hal yang merepresentasikan objek yang ada. Simbol, kata-kata, tanda-tanda, gesture memiliki pengaruh dengan menentukan maksud yang ditentukan terhadap objek dan kegiatan. Kelembagaan dan kebijakan selalu menjadi isu penting dalam pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju kelembagaan yang baik merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan, pasar, perdagangan atau bisnis. Selama ini pemerintah Indonesia cenderung lebih menekankan pada pembangunan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, teknologi, ekonomi dan politik. Sangat sedikit diperhatikan pembangunan infrastruktur kelembagaan (institusi). Di lain pihak kebijakan pemerintah cenderung tidak konsisten selalu berubah dan sulit dilaksanakan secara utuh. Ini memerlukan perhatian yang serius, karena pada dasarnya hampir semua kegagalan pembangunan bersumber dari dua persoalan fundamental yaitu kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan. Institusi atau kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan dan institusi dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Misalnya kebanyakan kebijakan ditetapkan dalam bentuk aturan dan ketetapan yang merupakan unsur-unsur utama dalam kelembagaan. Kebijakan yang dibuat pemerintah biasanya disebut kebijakan publik karena dibuat untuk kepentingan publik (rakyat atau masyarakat banyak). Analisis tentang keterkaitan dan dampak

32 17 institusi pada kebijakan publik dianggap tidak lengkap atau dapat dikatakan pincang tanpa memperhatikan perpaduan antara analisis kebijakan publik dan analisis kelembagaan. Menurut Djogo et. al. (2003), unsur-unsur dan aspek kelembagaan antara lain meliputi: (a) institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat; (b) norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur; (c) peraturan dan penegakan aturan/ hukum; (d) aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota; (e) kode etik; (f) kontrak; (g) pasar; (h) hak milik (property rights atau tenureship) (i) organisasi; (j) insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan Dari unsur dan aspek kelembagaan tersebut di atas tampak bahwa lingkup kajian kelembagaan cukup luas. Karena itu pembatasan atau pendefinisian wilayah kajian kelembagaan perlu ditentukan. Hal ini penting agar dalam pengembangan kelambagaan yang akan dilakukan menjadi lebih terarah Organisasi Organisasi adalah jaringan dari peran yang diatur dalam hirarki dengan tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi kegiatan sesuai dengan sistem aturan dan prosedur (Bandaragoda 2000). Organisasi adalah kelompok individu dengan peran tertentu dan terikat oleh beberapa kebutuhan, peraturan, dan prosedur untuk mencapai suatu tujuan. Seperti halnya lembaga, organisasi juga membentuk kegiatan manusia. Scott (2001) mendefinisikan organisasi sebagai sesuatu yang diciptakan untuk memaksimalkan kesejahteraan, pendapatan, atau tujuan lainnya dengan cara menciptakan kesempatan melalui struktur kelembagaan dalam masyarakat. Hubungan antar lembaga dan organisasi dapat dilihat dengan dua cara yaitu: (1) Melihat bagaimana suatu organisasi tumbuh menjadi mantap dan bagaimana organisasi tersebut tumbuh dengan dipengaruhi oleh suatu kerangka kerja

33 18 kelembagaan; dan (2) Organisasi yang telah mapan, yang didalamnya telah berlaku norma dan kebiasaan, pada kenyataannya adalah sebuah lembaga. Berdasarkan definisinya, lembaga adalah alat yang mengatur terbentuknya kegiatan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga dapat berfungsi memberikan batasan dan sekaligus keleluasaan bagi suatu kelompok untuk melakukan suatu kegiatan (Scott 2001). Sebagai contoh adalah sistem hukum dan pengadilan yang membatasi tingkah laku manusia namun sekaligus juga membebaskan manusia untuk melakukan kegiatan yang tidak melawan hukum. Fungsi lembaga ini juga berlaku dibidang persampahan. Masyarakat mempunyai keleluasaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan sampah. Namun untuk hal tersebut terdapat batasan norma yang membatasi masyarakat untuk tidak membuang sampahnya secara sembarangan. Norma ini diperkuat dengan peraturan tentang tata cara membuang sampah dan sanksi hukum bagi masyarakat yang melanggar peraturan tersebut (Moningka 2000) Kelembagaan Lingkungan Menurut Muller-Glodde (1994) kelembagaan lingkungan (environmental institution) merupakan norma dan nilai sosial, kerangka politis, program-program lingkungan, pola perilaku dan komunikasi serta pergerakan sosial, yang membentuk interaksi sosial dari individu-individu yang menyusun organisasi dan kelompok secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi peraturan yang mengatur sumber daya alam. Individu-individu menciptakan bentuk dan substansi dari lembaga-lembaga melalui perilaku dan permintaan mereka, sementara lembaga (institusi) pada gilirannya mempengaruhi kehidupan individu dan pilihan-pilihan yang ada. Struktur kelembagaan merupakan kaitan (links), saluran komunikasi, yang memfasilitasi interaksi yang kompleks dari tiga variabel sistem yaitu individu, organisasi dan norma sosial. Hal ini menggambarkan hubungan antara variabel dan cara berinteraksi. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan harus dilihat sebagai proses supra-sektoral dan supra-media, yang menghasilkan struktur kelembagaan yang memperbaiki sinergi dan komunikasi antara variabel

34 19 dalam sistem. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan merupakan prosedur metodologis untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan, keterampilan, norma-norma, dan struktur Penelitian Aspek Kelembagaan Institutional assessment (pengkajian kelembagaan) merupakan pendekatan komprehensif untuk menggambarkan kapasitas dan kinerja kelembagaan. Pendekatannya dapat berupa pendeskripsian dari beragam faktor yang berperan dalam pengembangan kelembagaan yang meliputi : (1) kekuatan dari faktor luar lingkungan (administrasi dan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang termasuk dalam analisis stakeholder); (2) faktor kelembagaan (sejarah, misi, budaya, kepemimpinan, struktur, sumberdaya manusia & finansial, sistem pengelolaan formal & informal, dan pengkajian kinerja); (3) keterkaitan antar lembaga (Morgan & Taschereasu 1996). Penelitian di Jamaika mengamati perilaku institusi dan warganegara atau rumahtangga berkaitan dengan pengelolaan persampahan. Penelitian ini juga meneliti hubungan warganegara dan pemerintah lokal dalam mengimplementasikan teknologi pengelolaan persampahan. Juga memeriksa penataan dan hubungan antara pemerintah pusat dan lokal dalam merumuskan teknologi-teknologi baru (Pap 2003). Secara umum penelitian hubungan dan perilaku institusi sektor persampahan di Jamaika meneliti tiga hal yang meliputi : (1) Apa perspektif warga lokal dalam pengelolaan persampahan dan bagaimana hal ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan.; (2) Bagaimana hubungan kelembagaan saat ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan; (3) Apa hubungan antara pemerintah pusat dan pemimpin lokal dan bagaimana hal ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku di level rumah tangga dalam pengelolaan persampahan tergantung pada hubungan dan perilaku dalam lingkup kelembagaan yang lebih luas. Masalah kelembagan dari pemerintah pusat dan lokal mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan

35 20 persampahan yang selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah lokal dan teknologi baru. Teknologi dalam bentuk kebijakan baru dan teknik pembuangan baru tidak dapat mengatasi masalah lingkungan. Hal ini harus diikuti dengan analisis kelembagaan dan dilakukan reformasi agar teknologi baru cocok dengan situasi lokal dan dapat diimplementasikan. Pada tingkat lokal hubungan antara warganegara dan pemerintah pusat perlu perbaikan. Reformasi kelembagaan antara pemerintah pusat dan lokal perlu diperlihatkan perbaikannya. Pemerintah pusat harus diberikan kekuatan untuk mengatasi masalah persampahan yang berbeda di setiap area. Karena itu perlu dilibatkan perwakilan lembaga lokal di dalam perencanaan nasional Pengembangan Kelembagaan Menurut Peters (2000) terdapat dua jenis perubahan kelembagaan yaitu pengembangan internal atau disebut institutionalization dan perubahan dalam nilai dan struktur. Tipe pertama, yaitu pengembangan internal melalui empat faktor yaitu otonomi, kemampuan beradaptasi, kompleksitas dan kohernsi. Otonomi berhubungan dengan lembaga atau institusi untuk dapat mengimplementasikan keputusannya sendiri, atau tanpa ketergantungan pada institusi lainnya. Kemampuan beradaptasi mengandung arti sejauh mana institusi dapat beradaptasi dengan adanya perubahan dari lingkungannya. Kompleksitas menggambarkan kapasitas institusi dalam membangun struktur internal yang dapat memenuhi tujuan. Koherensi menggambarkan kapasitas institusi untuk dapat mengelola beban kerja dan mengembangkan prosedur kerja. Tipe kedua, adalah perubahan nilai dan struktur yang meliputi perubahan isi atau kandungan dari institusi dan apa yang dipercaya/dianut oleh institusi. Proses pengembangan kelembagaan, memiliki lima tahapan yang meliputi (1) Analisis dan diagnosis kerangka kerja kelembagaan, (2) Analisis dan diagnosis organisasi dalam konteks kelembagaan, (3) desain, (4) implementasi dan (5) monitoring dan evaluasi. Tahapan tersebut berjalan sesuai siklus terus menerus, seperti disajikan pada Gambar 4 (DFID 2003).

36 21 (1) Analisis dan diagnosis: kerangka kerja kelembagaan secara keseluruhan (2) Analisis dan diagnosis: organisasiorganisasi dalam konteks Pengembangan kelembagaan (3) Desain (5) Monitoring dan evaluasi (4) Implementasi Gambar 4 Proses pengembangan kelembagaan (DFID 2003) Pada tahap pertama ini, kerangka kerja kelembagaan dianalisis untuk melihat tujuan apa yang ingin dicapai dan mengapa termasuk peran para stakeholder. Kelemahan dan kekurangan dari kelembagaan perlu diidentifikasi. Tahap kedua adalah melihat organisasi-organisasi yang terlibat dalam kerangka kerja kelambagaan. Masalah-masalah dalam organisasi-organisasi diidentifikasi dalam lingkungan kelembagaan. Tahap ketiga adalah merancang intervensi. Dicari cara yang terbaik dalam menentukan perubahan. Ditentukan alternatifalternatif intervensi dengan panduan untuk pemilihan alternative. Tahap keempat adalah implemantasi, bagaimana mengimplementasikan program perubahan. Harus ditekankan bahwa kepentingan pengelolaan intervensi merupakan suatu proses dan faktor yang penting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan. Tahap kelima adalah monitoring dan evaluasi untuk melihat bagaimana tujuan telah dicapai dengan menetapkan proses untuk pemantauan.

37 22 Wenban-Smith (2002) menyebutkan bahwa pengembangan kelembagaan merupakan proses yang terus menerus seperti siklus. Faktor-faktor yang membantu pengembangan kapasitas kelembagaan adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi modal sosial, politik dan intelektual yang diekpresikan dengan kemampuan untuk menentukan konsensus terhadap isu tertentu, pemahaman terhadap persepsi dan nilai yang berlaku di masyarakat, tingkat kepercayaan yang cukup antar stakeholder, adanya keyakinan pihak lain akan menjaga komitmen, dukungan organisasi dan sumberdaya untuk melakukan hubungan terus menerus, informasi dasar dan adanya tanggapan terhadap tantangan dari luar. Faktor eksternal meliputi pemerintahan yang mengakui adanya penghargaan dari masyarakat yang memberikan dukungan atau usaha kolaborasi. Kapasitas kelembagaan yang kuat Pengelaman keberhasilan Kapasitas untuk negosiasi trade-off Modal sosial, politik, intelektual Tantangan eksternal Pengakuan eksternal Informasi, Sumberdaya, Keahlian, Proses kolaborasi Kapasitas untuk memperluas wawasan Nilai masyarakat dan persepsi Gambar 5 Pengembangan kelembagaan (Wenban-Smith 2002)

38 Peranserta (Partisipasi) Masyarakat Partisipasi masyarakat dalam sistem manajemen persampahan dapat berupa partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung pada sistem, selain itu juga dapat dilakukan secara individual atau berkelompok. Partisipasi langsung dapat berupa melakukan pengumpulan primer dan membayar retribusi. Masyarakat membentuk organisasi (misalnya Rukun Tetangga) yang salah satu tugasnya adalah mengumpulkan sampah dari rumah tangga di wilayahnya. Sampah yang terkumpul kemudian dibawa ke tempat pembuangan sementara (TPS). Pengelola sampah kota selanjutnya akan mengangkut sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk jasa ini masyarakat membayar retribusi pengelolaan sampah. Sementara partisipasi tidak langsung pada sistem merupakan upaya masyarakat untuk menurunkan tingkat timbulan sampah. Upaya ini akan menurunkan jumlah sampah sehingga akan meringankan beban kerja sistem manajemen persampahan. Tindakan yang dilakukan masyarakat dapat berupa upaya menghindari terjadinya sampah, penggunaan kembali, daur ulang, pengomposan, dan sebagainya. Setiap anggota masyarakat berperan dengan cara yang bervariasi dalam partisipasinya terhadap pengelolaan sampah. Pada tingkat individual, rumah tangga bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa menempatkan sampah di dalam wadah yang sesuai, memilah sampah, meletakkan wadah sampah pada tempat dan waktu yang tepat, dan membersihkan lingkungan sekitar rumahnya. Secara berkelompok, masyarakat dapat membentuk organisasi untuk melakukan kegiatan kampanye kebersihan dan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dapat berupa kontribusi secara fisik atau finansial, misalnya menjadi penyapu jalan atau membayar retribusi sampah. Pada tahap lebih lanjut lagi, partisipasi dapat berupa ikut serta dalam memformulasi proyek dalam arti mengikuti secara aktif mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan proyek pengelolaan persampahan. Bentuk partisipasi tertinggi adalah menjadi anggota dalam organisasi pengelolaan persampahan dengan kegiatan berupa pemantauan atas mutu pengelolaan (Moningka 2000).

39 24 Sejalan dengan Moningka (2000), Anschütz (1996) memberikan gambaran tentang jenis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah ada empat yaitu (1) dengan cara menunjukkan perilaku dalam menjaga kebersihan, (2) dengan memberikan kontribusi uang atau tenaga, (3) dengan memberikan bantuan dalam administrasi dan (4) memberikan kontribusi dalam jasa pelayanan. Perilaku menjaga kebersihan dengan cara mengikuti aturan (jadwal dan tempat) dalam pengumpulan sampah, membawa sampah ke tempat pengumpulan, menaruh sampah dalam kantung atau tong, mengikuti penyuluhan kebersihan, menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya, memisahkan sampah basah dan kering, mengomposkan sampah halaman. Memberikan kontribusi uang atau tenaga dengan cara membayar iuran pengumpulan sampah, menyumbang atau meminjamkan peralatan, menyumbang tenaga untuk pengumpulan. Memberikan bantuan dalam administrasi dengan cara menjawab pertanyaan bila ada survey atau penelitian, mengikuti pertemuan, memilih pemimpin atau wakil yang akan mengelola sampah, memberikan umpan balik terhadap pengelola tentang sistem pengumpulan dan pelayanan. Memberikan bantuan dalam jasa pelayanan dengan cara menjadi anggota komite, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan yang mengelola persampahan, berperan serta dalam pengambilan keputusan. Terdapat tiga manfaat yang diperoleh dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota yaitu membangun kapasitas/ kemampuan lokal, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan strategi dalam pengelolaan sampah kota. Partisipasi masyarakat dapat membantu terbentuknya integrasi antara perbedaan kebutuhan dan masalah dalam pengelolaan sampah kota (Moningka 2000). Menurut Bulle (1999) setiap anggota dari suatu komunitas mempunyai peran yang berbeda, maka terdapat banyak cara partisipasi dalam pengelolaan sampah kota. Partisipasi masyarakat sebagai individu yang dapat dilakukan adalah menyimpan sampah pada wadah yang tepat, memilah sampah yang dapat didaur ulang dengan bahan organik, meletakan sampah di tempat dan waktu yang telah tertentu, dan menjaga kebersihan lingkungan rumah. Partisipasi masyarakat

40 25 secara bersama-sama adalah dalam aktivitas organisasi untuk meningkatkan kepedulian terhadap kebersihan kota. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dapat terlibat dalam manajemen persampahan dalam bentuk kontribusi misalnya bekerja sebagai penyapu atau membayar retribusi pengumpulan sampah. Partisipasi masyarakat yang lebih maju adalah dengan memberikan pendapat dan usulan untuk perbaikan pengelolaan persampahan kota. Partsipasi masyarakat paling tinggi adalah membentuk organisasi kemasyarakatan untuk memberikan masukan kepada pengambil keputusan dalam pengelolaan persampahan kota serta melakukan pengawasan. Menurut Wilson et.al. (2001), untuk mencapai keberhasilan kampanye diperlukan kemahiran dalam mengkombinasikan berbagai cara kampanye. Terdapat berbagai seni untuk mengkombinasikan cara yang sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat atau kelompok target terhadap isu manajemen persampahan Metode Penelitian Analisis Kelembagaan dan Peranserta Masyarakat Bandaragoda (2000) menjelaskan panduan dalam menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air. Terdapat tiga komponen yang dianalisis yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Sedangkan langkah analisisnya adalah seperti ditunjukkan oleh Gambar 4 berikut.

41 26 (1) Evaluasi hasil dari studi diagnostik komponenkomponen (2) Lakukan analisis tren untuk melacak perkembangan sejarah (3) Melacak perkembangan dari kelembagaan (4) Mengevaluasi implikasi kelembagaan dari kinerja saat ini (5) Kaji secara tepat lembagalembaga yang ada (6) Mengidentifikasi perubahan kelembagaan yang mungkin Gambar 6 Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000) Dari Gambar 6 tersebut di atas tergambar bahwa langkah pertama adalah evaluasi hasil studi sebelumnya terhadap komponen kelembagaan yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis kecenderungan (tren) untuk melihat perkembangannya. Kemudian melacak perkembangan kelembagaan yang diikuti dengan mengevauasi dari implikasi kinerja kembagaan saat ini. Selanjutnya mengkaji secara tepat dan memadai berdasarkan langkah 1 sampai 4 terhadap lembaga-lembaga yang ada. Kemudian pada akhirnya mengidentifikasi perubahan kelembagaan yang mungkin. Cullivan et. Al. (1988) menyusun panduan untuk pengkajian kelembagaan untuk bidang pengelolaan air dan air buangan. Pengkajian kelembagaan adalah prosedur yang sistematis dalam mengkaji kinerja suatu institusi berdasarkan pada indikator kinerja standar. Hasil pengkajian adalah profil kekuatan dan kelemahan dari kelembagaan yang telah dianalisis berdasarkan kategori utama dari fungsi

42 27 kelembagaan. Langkah pertama adalah melakukan studi lapangan langsung kepada lembaga yang akan dikaji. Hasil dari studi lapangan diperoleh kategori kinerja kelembagaan pengelolaan air dan air buangan. Untuk setiap kategori kinerja tersebut dilakukan interview dan pengamatan langsung. Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis. Analisis dilakukan oleh individual asesor dan asesor tim. Kemudian dilakukan presentasi atau lokakarya seluruh tim asesor. Hasil akhir berupa profil kelembagaan. Penelitian kelembagaan pada kehutanan masyarakat di di Nusa Tenggara Barat yaitu di Pulau Lombok dan Sumbawa (Awang et. al. 2000) menggambarkan potret kelembagaan masyarakat. Unsur kelembagaan dalam kehutanan masyarakat meliputi: (1) Organisasi terdiri dari ketertataan, keanggotaan, daya akomodasi aspirasi, kepengurusan, aturan organisasi dan aset organisasi; (2) Kepemimpinan yang digambarkan oleh gaya kepemimpinan. (3) Kegiatan produktif (4) Potensi konflik Model Model merupakan usaha untuk menggambarkan, menganalisis, menyederhanakan atau menunjukkan sistem. Suatu model dibuat berdasarkan pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut akan lebih mudah bila dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah: blueprint untuk pekerjaan arsitektur, grafik untuk pekerjaan ahli ekonomi (Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Oleh karena model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri. Salah satu dasar utama dalam pengembangan model adalah guna menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Klasifikasi dari jenis-jenis

43 28 model adalah sebagai berikut : (1) Model fisik atau model skala, merupakan perwakilan fisik dari bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Misalnya maket suatu bangunan; (2) Model diagramatik atau model konseptual, dapat mewakili situasi dinamik (keadaan yang berubah menurut waktu). Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi dan diagram alir. ; (3) Model matematik, dapat berupa persamaan atau formula (rumus). Persamaan merupakan bahasa universal yang menggunakan suatu logika simbolis (Eriyatno 1999). Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan sistem, seringkali disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan diperoleh dapat digambarkan dengan kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model analitis. Model matematis ini dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model dinamik mempunyai kekuatan yang lebih tinggi dalam analisis dunia nyata.

44 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Bandung, dengan luas wilayah ,00 hektar, terdiri dari 26 kecamatan. Gambar 8 menunjukkan peta administratif Kota Bandung yang terdiri dari 26 kecamatan. Kegiatan penelitian dilakukan dari pertengahan tahun 2004 sampai dengan awal tahun Gambar 7 Peta wilayah Kota Bandung 3.2. Formulasi Permasalahan Permasalahan umum dalam pengelolaan sampah di Indonesia adalah kapasitas atau kemampuan institusi atau pengelola yang lebih kecil dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Keadaan ini disebabkan oleh tidak seimbangnya sarana pengelolaan dengan jumlah sampah yang harus dikelola. Partisipasi nyata dari masyarakat sampai saat ini baru pada tahap membayar retribusi pengelolaan sampah. Di negara maju, misalnya Jepang, partisipasi sudah

45 30 sampai pada tingkat pemanfaatan sampah dengan tujuan memperkecil jumlah sampah yang harus dibuang (Budi 2006). Pemanfaatan sampah dapat dilakukan melalui usaha 3R yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang) dengan tujuan menekan jumlah sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Beberapa negara telah mengarah kepada program 3R, salah satunya adalah negara bagian Victoria di Australia. Pada tahun 2004 negara bagian Victoria mencanangkan The Towards Zero Strategy dengan target pemanfaatan sampah mencapai 75% pada tahun 2014 (the State of Victoria, 2005). Kota Bandung dengan komposisi sampah kota yaitu 63,56% sampah organik dan 36,44% sampah anorganik (BPS 2003) berpotensi untuk melakukan pemanfaatan sampah menjadi kompos dan produk daur ulang. Sumber sampah terbesar dari sampah kota adalah rumah tangga. Jumlah sampah dari rumah tangga di Kota Bandung mencapai 66% dari jumlah sampah kota (BPS 2003). Bila rumah tangga sudah melakukan 3R maka jumlah sampah kota bisa dipastikan akan menurun. Karena itu diperlukan analisis karakteristik pada tingkat rumah tangga terhadap pengelolaan persampahan kota, untuk melihat tingkat partisipasi pada pengelolaan sampah rumah tangga dan tingkat kesediaan untuk berpartisipasi. Berdasarkan kerangka pemikiran terdapat lima kelompok yang terlibat dalam pengelolaan persampahan kota yaitu: (1) kelompok penghasil sampah, (2) kelompok pemanfaat sampah, (3) kelompok pengelola sampah, (4) kelompok pemerhati lingkungan dan (5) pemerintah. Pada kelompok penghasil sampah yang terdiri dari rumah tangga akan dianalisis hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan pengelolaan sampah rumah tangga. Pada kelompok pengelola yang terdiri dari tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan; akan dianalisis hubungan karakteristik individu ketua dan lembaga terhadap pengelolaan sampah. Pada Perusahaan Daerah Kebersihan yang akan dikaji adalah kapasitas organisaasi meliputi: aspek kepemimpinan, manajemen, sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan dan manajemen, aspek pelayanan dan hubungan eksternal. Pada kelompok pemanfaat sampah yang terdiri dari pemulung, bandar/ lapak, pengusaha daur ulang dan pengusaha kompos akan dianalisis potensi dan kendala

46 31 yang dihadapi. Kelompok pemerhati lingkungan dan pemerintah tidak dianalisis, tetapi diikut sertakan dalam lokakarya untuk membangun skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat Rancangan Penelitian Metode Pengumpulan Data Data primer diperoleh dari observasi terhadap responden sampel. Responden sampel terdiri dari kepala rumah tangga, ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW), lurah, dan camat. Pemilihan responden dilakukan dengan metode sampling acak klaster (random cluster sampling). Data primer diperoleh dari pemulung, bandar, lapak, pengusaha kompos, pengusaha barang daur ulang, dan lembaga swadaya masyarakat. Seluruh camat dari 26 kecamatan di Bandung terpilih sebagai responden. Dari setiap kecamatan, dipilih secara acak satu kelurahan. Kelurahan yang terpilih ditetapkan lurahnya sebagai sampel. Kelurahan dengan lurah yang terpilih sebagai sampel dipilih lagi secara acak satu rukun warga. Ketua dari rukun warga terpilih dijadikan sebagai sampel. Dari rukun warga terpilih, dipilih secara acak satu rukun tetangga (RT). Ketua dari rukun tetangga tersebut dijadikan sampel. Dari rukun tetangga terpilih dipilih secara acak 20 rumah tangga. Kepala dari rumah tangga terpilih dijadikan sebagai sampel, sehingga jumlah sampel adalah 26 camat, 26 lurah, 26 ketua RW, 26 ketua RT dan 520 kepala rumah tangga (Gambar 9). Kecamatan sebagai lokasi sampel dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu kepadatan tinggi (jumlah penduduk lebih dari 200 jiwa per hektar), wilayah dengan kepadatan sedang (jumlah penduduk adalah 100 sampai 200 jiwa per hektar) dan wilayah dengan kepadatan rendah (jumlah penduduk kurang dari 100 jiwa per hektar). Pada Gambar 10 ditunjukkan lokasi wilayah sampel terpilih yaitu wilayah dengan kepadatan tinggi berwarna merah, kepadatan sedang berwarna kuning dan kepadatan rendah berwarna hijau.

47 32 Tabel 1 Jumlah responden dan metode pengumpulan data No Responden Jumlah Metode pengumpulan data 1. Kepala rumah tangga 520 orang kuesioner dan wawancara 2. Ketua rukun warga (RT) 26 orang kuesioner dan wawancara 3. Ketua rukun warga (RW) 26 orang kuesioner dan wawancara 4. Lurah 26 orang kuesioner dan wawancara 5. Camat 26 orang kuesioner dan wawancara 6. Pemulung 100 orang kuesioner dan wawancara 7. Bandar 20 orang kuesioner dan wawancara 8. Pengusaha Daur Ulang 4 orang wawancara 9. Pengusaha kompos 3 orang wawancara 10 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 4 LSM wawancara Penentuan jumlah sampel pemulung berdasarkan pada perhitungan dengan menggunakan rumus penentuan sampel. Penentuan sampel berdasarkan populasi diketahui, menggunakan rumus: n = N/ (N x d 2 ) + 1 (Riduwan dan Akdon 2006), dimana n merupakan jumlah anggota sampel, N adalah jumlah anggota populasi dan d adalah tingkat presisi. Jumlah populasi pemulung telah diketahui yaitu 5782 orang (BPS 2003). Bila tingkat presisi (taraf nyata) adalah 10%, maka jumlah sampel yang akan diambil adalah 5782/ {5782 x (0.1) 2 } + 1 = 98,299. Jumlah sampel pemulung dibulatkan menjadi 100 orang. Penentuan sampel selain pemulung ditentukan dengan perkiraan dan alasan kemudahan karena jumlah populasi tidak diketahui. Jumlah responden pengusaha daur ulang sampah adalah empat orang, sedangkan jumlah responden pengusaha kompos hanya tiga orang. Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang pengelolaan persampahan diwakili oleh empat LSM. Jumlah sampel dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 1.

48 33 26 orang Camat dari 26 Kecamatan terpilih seluruhnya sebagai responden C1 C2 C C26 26 orang lurah terpilih secara acak dari setiap kecamatan L1 L2 L L26 26 orang ketua RW terpilih secara acak dari setiap kelurahan terpilih sebelumnya KRW1 KRW2 KRW KRW26 26 orang ketua RT terpilih secara acak dari setiap rukun warga (RW) terpilih sebelumnya KRT1 KRT2 KRT KRT26 Dari tiap RT terpilih, secara acak diambil 20 orang kepala rumah tangga RT1 RT2 RT3... RT20 RT1 RT2 RT3... RT20 Keterangan: C1 sampai C26 : Camat dari Kecamatan 1 sampai dengan Kecamatan 26 L1 sampai L26 Lurah dari Kelurahan 1 sampai dengan Kelurahan 26 KRW1 sampai KRW26 : Ketua Rukun Warga dari RW1 sampai RW26 KRT1 sampai KRT26 : Ketua Rukun Tetangga dari RT1 sampai RT26 RT 1 sampai RT20: Kepala rumah tangga pada rumah ke 1 sampai rumah ke 20. Gambar 8 Sampling responden sampel camat, lurah, ketua RW, ketua RT dan kepala rumah tangga (hasil analisis) Data sekunder berupa data jumlah sampah dan data jumlah penduduk. Data tersebut diperoleh dari PD Kebersihan dan Badan Pusat Statistik (BPS Kota Bandung).

49 34 Gambar 9 Lokasi sampel responden rumah tangga, rukun tetangga, rukun warga, kelurahan dan kecamatan terpilih Variabel/ Peubah yang Diamati Variabel atau peubah yang diamati berbeda pada setiap kelompok reponden. Pada tingkat rumah tangga dengan jumlah sampel 520 kepala rumah tangga variabel yang diamati adalah profil (data umum) responden. Profil responden meliputi usia, tingkat pendapatan pendidikan dan pekerjaan serta kondisi rumah tangga. Data cara pengelolaan sampah rumah tangga meliputi tingkat timbulan sampah dan cara penanganan sampah di sumber serta biaya yang dikeluarkan untuk penanganan sampah. Data persepsi tentang partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah kota meliputi tingkat pengetahuan tentang 3R dan kesediaan melakukan 3 R (Tabel 2).

50 35 Tabel 2 Variabel yang diamati Responden Tingkat rumah tangga Tingkat Rukun Tetangga, Rukun Warga, Kelurahan dan Kecamatan Pemulung, bandar (lapak) Pabrik daur ulang/ kompos Lembaga Swadaya Masyarakat Perusahaan Daerah Kebersihan Komponen pengamatan Profil kepala rumah tangga Pengelolaan sampah Persepsi tentang partisipasi masyarakat Profil Pengelolaan sampah Profil Profil Profil Kapasitas organisasi Variabel Usia Tingkat pendapatan Pendidikan Pekerjaan Kondisi rumah tinggal Tingkat timbulan sampah (jumlah sampah) Cara penanganan sampah di sumber Biaya untuk penanganan sampah Pengetahuan tentang 3 R Kesediaan melakukan 3R Usia Pendidikan Pekerjaan Penyediaan pelayanan sampah Tingkat pelayanan Biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan Sumber biaya Topik sosialisasi pengelolaan sampah Hubungan dengan pihak lain Usia Pendidikan Pendapatan per hari Jenis barang yang dipulung/ dijual Harga barang yang dipulung/ dijual Jenis usaha Sumber bahan baku Produk Harga jual produk Bentuk kegiatan Bentuk pelayanan Pembinaan Kepemimpinan Manajemen Sumberdaya manusia Sumberdaya keuangan Cara pelayanan Hubungan dengan pihak luar

51 36 Pada tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan vaiabel yang diamati adalah data umum (profil) dan pengelolaan sampah. Pada aspek pengelolaan sampah variabel yang diamati meliputi penyediaan pelayanan sampah, tingkat pelayanan, biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan, sumber biaya, topik sosialisasi pengelolaan sampah dan hubungan dengan pihak luar.pada tingkat pemulung dan lapak variabel yang diamati meliputi barang dipulung atau dijual, harga, jenis/ macam barang, pendapatan per hari. Pada tingkat pabrik daur ulang dan kompos, variabel yang diamati adalah sumber bahan baku, produk dan harga jual. Pada tingkat LSM, aspek yang diamati adalah bentuk kegiatan, bentuk pelayanan dan pembinaan. Pada tingkat PD Kebersihan variabel yang diamati meliputi kepemimpinan, manajemen, sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan dan cara pelayanan serta hubungan dengan pihak luar (Tabel 2) Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis statistik, analisis deskriptif, analisis kelembagaan dengan menggunakan Organisasional Capacity Assessment Tool (OCAT), analisis prospektif. Gambar 11 memperlihatkan diagram metode yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis statistik dengan menggunakan uji khi kuadrat (chi-square test) dilakukan terhadap data sampel rumah tangga, ketua RT, ketua RW, lurah dan camat. Variabel pengamatan dari sampel diklasifikasikan/tabulasi secara silang (cross-classified/cross-tabulation) menurut dua kriteria. Hasilnya adalah kriteria/variabel klasifikasi tidak saling bebas (ada hubungan) atau tidak ada hubungan. Analisis deskriptif dilakukan terhadap sampel pemulung, lapak, bandar, pengusaha kompos/ daur ulang dan LSM. Hasil dari analisis adalah peran dari responden sampel tersebut terhadap pengelolaan sampah kota yang berbasis partisipasi masyarakat.

52 37 Rumah tangga dari wilayah dengan kepadatan rendah Rumah tangga dari wilayah dengan kepadatan sedang Rumah tangga dari wilayah dengan kepadatan tinggi Analisis statistik Rumah tangga dari seluruh wilayah Kota Bandung RT, RW, Kelurahan, Kecamatan Analisis prospektif dengan metode lokakarya Pemulung / Bandar (Lapak) Pengusaha daur ulang/ kompos Analisis deskriptif Lembaga Swadaya Masyarakat Perusahaan Daerah Kebersihan Organisasional Capacity Assessment Tool (OCAT) Gambar 10 Diagram metode penelitian yang digunakan (hasil analisis) Analisis kelembagaan dengan menggunakan Organisasional Capacity Assessment Tool (OCAT) terhadap PD Kebersihan dilakukan baik oleh peneliti maupun pihak PD Kebersihan. Hasil dari asesmen ini adalah level atau tingkat kapasitas organisasi pada saat ini. Analisis prospektif dilakukan dengan metode lokakarya. Hasil analisis adalah skenario yang diperoleh untuk menentukan model pengembangan kelembagaan yang berbasis partisipasi masyarakat pada pengelolaan sampah.

53 Analisis Statistik dengan Uji Khi-kuadrat Uji khi-kuadrat ini pada hakikatnya adalah uji keselarasan (goodness of fit tests). Baik-buruknya keselarasan antara frekuensi-frekuensi yang teramati dan yang diharapkan ditentukan dengan cara memperbandingkan ukuran keselarasan hasil perhitungan terhadap suatu harga yang sesuai pada suatu distribusi yang dikenal sebagai distribusi kai-kuadrat (chi-square distribution). Asumsi-yang mendasari uji kai-kuadrat yaitu data terdiri atas sebuah sampel acak sederhana berukuran n dari suatu populasi yang diminati (Agresti & Finlay 1997) Hasil-hasil pengamatan dalam sampel diklasifikasikan/tabulasi secara silang (cross-classified/cross-tabulation) menurut dua kriteria, sehingga masing-masing hasil pengamatan memenuhi salah satu kriteria. Hipotesis yang diuji (Ho) adalah kedua kriteria/variabel klasifikasi saling bebas (tidak ada hubungan), dan hipotesis tandingan (H1) adalah kedua kriteria/variabel klasifikasi tidak saling bebas (ada hubungan). Dasar pengambilan keputusan adalah jika Chi Square lebih kecil dari Chi Square Tabel, maka Ho diterima, bila Chi Square lebih besar dari Chi Square Tabel, maka Ho ditolak. Dasar pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas adalah jika probabilitas lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima, jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak (Santoso 2000) Organisational Capacity Assessment Tool (OCAT) Organisational Capacity Assessment Tool (OCAT) merupakan tool yang didisain untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan relatif organisasi, tool ini menyediakan informasi dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan atau melakukan intervensi/ pengembangan. Sebagai alat OCAT dapat digunakan untuk memantau kemajuan organisasi. Alat ini dapat dibakukan untuk digunakan lintas organisasi. Organisational Capacity Assessment Tool (OCAT) sebagai alat asesmen organisasi dimaksudkan untuk mengkaji secara partisipatif tetapi dapat dilakukan dengan cara penilaian oleh pihak dari luar organisasi (eksternal). Tim pengkaji terdiri dari anggota organisasi dan beberapa anggota eksternal. Aspek yang diberi nilai/skor meliputi Governance, Management Practice, Human

54 39 Resources, Financial Resources, Service Delivery & External Relations.(Booth et al. 1998, GTZ 2005). Lembaran asesmen (assessment sheet) berisi skor dari setiap aspek organsiasi. Pemberian skor dengan skala 0 sampai 6 dengan arti skor seperti disajikan pada tabel 3. Tabel 3 Skor untuk asesmen analisis kelembagaan dengan OCAT (GTZ 2005) Skor Arti 0 tidak tersedia data, informasi tidak tersedia untuk asesmen 1 baru berjalan seadanya 2 hasilnya masih jauh dari yang diharapkan 3 hasilnya sudah ada namun belum maksimal 4 memerlukan perbaikan agar hasil dapat maksimal 5 memerlukan sedikit perbaikan agar hasil maksimal 6 tidak perlu perbaikan Hasil dari pemberian skor ini disajikan secara grafik. Hasil dari pemberian skor dirata-ratakan untuk setiap aspek organisasi. Skor akhir diberikan skala rate yang menggambarkan tingkat organisasi (stages of development) disajikan pada tabel 4 berikut. Tabel 4 Skala rating disetarakan dengan tingkat pengembangan (GTZ 2005) Rating Tahap 0 1,4 Nascent (baru muncul) 1,5 2,9 Emerging (akan berkembang) 3 4,4 Expanding (pengembangan) 4,5 6 Mature (dewasa) Analisis Prospektif Metode Lokakarya Analisis prospektif ini dapat digunakan untuk mempersiapkan tindakan strategis dan melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan (Treyer 2003).

55 40 Tahapan analisis prospektif dengan metode lokakarya adalah (1) menerangkan tujuan studi; (2) identifikasi kriteria; (3) analisis pengaruh antar faktor; (4) membuat keadaan suatu faktor; (5) membangun dan memilih skenario; (6) implikasi skenario. Pada tahap pertama dilakukan penjelsan dari tujuan studi kepada peserta lokakarya. Selanjutnya, pada tahap kedua dilakukan identifikasi kriteria-kritera. Seluruh kriteria yang diajukan peserta didiskusikan, kemudian ditetapkan kriteria yang terpilih untuk ditetapkan sebagai faktor. Setelah faktor ditetapkan, dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu analisis antar faktor. Seluruh peserta lokakarya memberikan penilaian terhadap faktor. Nilai hubungan antar faktor ditetapkan sebagai berikut: untuk dua faktor yang tidak ada saling pengaruh diberi nilai nol, sedangkan bila ada pengaruh antar faktor diberi nilai satu sampai tiga, nilai makin tinggimenunjukkan pengaruh makin kuat. Penilaian antar faktor pada analisis prospektif disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Skor atau nilai pengaruh antar faktor pada analisis prospektif (Treyer 2003, Godet 2000) Skor Keterangan 0 Tidak ada pengaruh 1 Berpengaruh kecil 2 Berpengaruh sedang 3 Berpengaruh besar Hasil penilaian peserta dirata-ratakan untuk mendapat satu hasil penilaian. Hasil penilaian ini kemudian dimasukkan kedalam software analisis prospektif untuk mendapatkan faktor kunci. Faktor yang menjadi kunci adalah faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang tinggi. Tahap selanjutnya adalah membuat keadaan atau state dari faktor kunci. Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi. Selanjutnya, dari keadaan ini disusun skenario yang mungkin terjadi dan kemudian dibahas implikasi dari skenario.

56 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengelolaan Sampah Kota Bandung Pengelola persampahan Kota Bandung adalah Perusahaan Daerah Kebersihan. Sebagian besar sampah Kota Bandung berasal dari rumah tangga (66%), sedangkan sisanya berasal dari pasar, daerah komersial, jalan, industri, fasilitas umum, dan saluran drainase. Sampah organik mendominasi sampah kota Bandung yaitu sekitar 63,56% dari berat sampah. Sampah anorganik sebanyak 36,44% terdiri dari berbagai benda kering, yaitu kertas (10,42%), plastik (9,79%), kaca (1,45%), kain (1,70%), dan lainnya 13,08% (BPS 2003). Gambaran tentang perkembangan jumlah sampah Kota Bandung selama kurun waktu disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah sampah Kota Bandung tahun (BPS ) Sumber jiwa jiwa jiwa jiwa jiwa Volume Volume Volume Volume Volume % % % % % (m3/hr) (m3/hr) (m3/hr) (m3/hr) (m3/hr) Pemukiman 4.283,95 60, ,90 60, ,76 57, ,76 60, ,98 66,02 Pasar 675,70 9,56 615,50 9,50 618,58 9,14 618,58 9,56 618,50 8,25 Pertokoan, Restoran 330,78 4,68 303,20 4,68 602,82 8,90 302,82 4,68 302,80 4,04 & Hotel Penyapuan Jalan 494,05 6,99 447,10 6,90 452,29 6,68 452,29 6,99 452,30 6,03 Kawasan Industri 872,19 12,34 799,50 12,34 798,46 11,79 798,46 12,34 798,50 10,65 Fasilitas Umum 397,22 5,62 364,10 5,62 363,64 5,37 363,64 5,62 363,60 4,85 Saluran, Lain-lain 14,13 0,20 22,51 0,35 12,94 0,20 12,91 0,20 12,90 0,16 Jumlah sampah per hari 7.068,03 100, ,81 100, ,49 100, ,46 100, ,58 100, Teknik Operasional Kota Bandung dibagi menjadi 3 wilayah operasional penanganan persampahan, yaitu Bandung Barat (9 kecamatan), Bandung Tengah (9

57 42 kecamatan), dan Bandung Timur (8 kecamatan). Pengelolaan sampah oleh PD Kebersihan terbatas pada sampah dari rumah tangga, jalan, pasar, pertokoan dan terminal. Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan sampah dari sumber, pemindahan di tempat pembuangan sementara (TPS), pengangkutan ke tempat pembuangan akhir (TPA), dan pengolahan dan pembuangan di TPA. Diagram operasional PD Kebersihan disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Diagram operasional PD Kebersihan Pengumpulan sampah dari rumah tangga dilakukan oleh Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW), sedangkan penyapuan dan pengumpulan sampah jalan dan pasar dilakukan oleh PD Kebersihan. Peralatan yang digunakan untuk pengumpulan sampah adalah gerobak kapasitas 1 m3. Sampah hasil pengumpulan selanjutnya dibawa ke TPS. Sampah kemudian dituang ke dalam kontainer 10 m3 yang terdapat di TPS. Jumlah TPS yang tersebar di Kota Bandung adalah 237 lokasi. Kontainer kemudian diangkut oleh truk arm-roll ke TPA. Pengumpulan sampah pertokoan dan terminal dilakukan dengan truk yang secara langsung akan membawa sampah hasil pengumpulan ke TPA. Cara ini digunakan mengingat jumlah sampah pertokoan dan terminal yang relatif tinggi dan kecilnya kemungkinan memperoleh lahan untuk TPS di area tersebut. Tingkat kemampuan PD Kebersihan dalam pengangkutan sampah baru mencapai sekitar 60-75% dari jumlah sampah. Keadaan ini terutama disebabkan oleh terbatasnya

58 jumlah peralatan pengangkutan. Tabel 7 berikut memberikan gambaran tingkat kemampuan pengangkutan sampah dibandingkan jumlah sampah. 43 Tabel 7 Tingkat kemampuan pengangkutan sampah (PD Kebersihan 2005) Keadaan Volume sampah (m3) Volume terangkut (m3) Persentase terangkut (%) Tahun , , , , , , , , , ,90 62,00 71,70 62,73 75,80 60,00 Salah satu penyebab dari rendahnya tingkat kemampuan pengangkutan sampah adalah terbatasnya sarana pengangkut sampah berupa truk. Bila sebuah truk dengan kapasitas angkut 10 m3 bisa bekerja 3 rit per hari maka dibutuhkan 250 buah truk. Pada kenyataannya PD Kebersihan mempunyai 110 buah truk dengan kondisi hanya 57 buah yang berfungsi layak jalan. Tingkat kemampuan pengangkutan akan semakin menurun mengingat tidak berfungsinya TPA Leuwigajah sehingga harus digunakan TPA lain yang jaraknya semakin jauh dari Kota Bandung. Jarak yang semakin jauh membuat truk hanya mampu bekerja kurang dari 3 rit per hari. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pelayanan Persampahan sesuai Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 menyebutkan bahwa perbandingan antara jumlah truk dengan jumlah penduduk adalah satu truk per 5000 jiwa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pada tahun 2004 sebenarnya dibutuhkan 446 buah truk untuk melayani penduduk Kota Bandung.

59 Organisasi Pada Gambar 12 yang menunjukkan struktur organisasi tampak bahwa Kota Bandung dibagi menjadi empat wilayah operasional yaitu Wilayah Bandung Utara, Wilayah Bandung Barat, Wilayah Bandung Timur dan Wilayah Bandung Selatan. Setiap wilayah operasional membawahi Seksi Kebersihan untun setiap kecamatan. Seksi Kebersihan ini merupakan perpanjangan tangan dari PD Kebersihan di setiap kecamatan. Visi dari Perusahaan Daerah Kebersihan adalah Bandung Bersih Tanggung Jawab Bersama, dengan misi yaitu menyelenggarakan usaha jasa pengelolaan sampah/ kebersihan kepada masyarakat di permukiman, pasar dan tempat kegiatan usaha dan Pemerintah Kota dalam mengelola kebersihan jalan dan fasilitas umum. Tugas pokok dari PD Kebersihan adalah melestarikan lingkungan, secara khusus memelihara dan meningkatkan kebersihan kota sebagai usaha menjamin terwujudnya kota yang rapi, bersih dan sehat. Jumlah pegawai PD Kebersihan orang, terdiri dari pegawai administrasi sebanyak 440 orang dan pegawai operasional orang, diantaranya terdapat 225 orang berstatus pegawai harian. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2005, yaitu jiwa, maka perbandingan antara personil pengelolaan sampah dengan penduduk adalah 1 : 1300 (PD Kebersihan 2005). Sesuai fungsinya sebagai pengelola sampah Kota Bandung, PD Kebersihan berfungsi sebagai operator dan regulator. Sebagai operator, PD Kebersihan adalah pengelola tunggal dalam arti tidak melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam melaksanakan tugas pelayanan persampahan. Keadaan ini membuat fungsi regulator tidak berjalan optimal.

60

61 Pembiayaan Pembiayaan pengelolaan persampahan Kota Bandung diperoleh dari retribusi yang dibayar oleh masyarakat dan dana dari pemerintah kota. Jumlah penerimaan dan pengeluaran PD Kebersihan dari tahun 2000 sampai 2004 disajikan pada Tabel 8. Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 PD Kebersihan mengalami defisit namun pada tahun 2004 jumlah penerimaan sudah lebih besar dibandingkan pengeluaran. Besarnya retribusi sampah bagi setiap jenis sumber sampah ditentukan sesuai Surat Keputusan Walikota Nomor 44 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Pelayanan Kebersihan. Sumber sampah atau objek retribusi dibagi menjadi empat kategori yaitu rumah tinggal, usaha komersial dan non komersial, panti sosial dan tempat ibadah, pedagang pasar dan pedagang tidak tetap, dan kendaraan umum. Bagi rumah tinggal, retribusi adalah untuk membiayai operasi di TPS, pengangkutan sampah ke TPA dan pembuangan sampah di TPA. Rumah tinggal dibagi menjadi enam kelas berdasarkan luas tanah atau luas bangunan atau daya listrik terpasang. Pemungutan retribusi untuk rumah tinggal dilakukan dengan bekerja sama dengan Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN), sehingga besarnya retribusi ditentukan berdasarkan daya listrik terpasang. Pada prakteknya, retribusi sampah sifatnya tidak menyatu dengan rekening listrik sehingga tidak semua pelanggan listrik membayar retribusi sampah. Hal ini menyebabkan hasil pungutan retribusi hanya mencapai 56% dari target (PD Kebersihan 2005). Berdasarkan hal ini maka perlu dibuat sistem pemungutan retribusi yang lebih efektif, misalnya dilakukan oleh RT/RW yaitu bersamaan dengan saat pemungutan iuran sampah lokal. Tabel 8 Jumlah penerimaan dan pengeluaran (PD Kebersihan 2005) Keadaan Tahun Penerimaan *) Pengeluaran *) *) dalam juta rupiah

62 Peraturan Peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan persampahan Kota Bandung meliputi : 1. Peraturan Walikota Bandung Nomor 101 tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. 2. Peraturan Daerah Nomor 27 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung. 3. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. 4. Keputusan Walikota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung. Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, terdapat peraturan yang mengatur masalah usaha 3R dengan tujuan minimasi jumlah sampah yaitu Peraturan Daerah Nomor 27 tahun Sehubungan dengan kejadian longsor pada TPA Leuwigajah diterbitkan beberapa kali Surat Edaran Walikota Bandung yang berisi himbauan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan 3R Peranserta Masyarakat Bentuk peranserta masyarakat yang sudah berjalan adalah membayar iuran sampah untuk biaya opersional pengumpulan sampah oleh RT/RW dan retribusi untuk biaya opersional pemindahan, pengangkutan dan pembuangan sampah ke TPS oleh PD Kebersihan. Sistem operasi yang digunakan baik oleh RT/RW maupun PD Kebersihan adalah sistem tercampur sehingga masyarakat tidak terdorong untuk melakukan pemilahan di sumber. Pembinaan masyarakat untuk mau melakukan pemilahan juga belum tampak dilakukan oleh RT/RW ataupun PD Kebersihan. Aspek peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota dalam model pengembangan kelembagaan melibatkan seluruh stakeholder. Penelitian melibatkan masyarakat penghasil sampah yaitu rumah tangga; masyarakat pengelola sampah yaitu RT, RW, kelurahan dan kecamatan;

63 48 masyarakat pemanfaat sampah yang meliputi pemulung, lapak, bandar, pabrik kompos dan produk daur ulang; masyarakat pemerhati lingkungan dan pemerintah. Dengan mengkaji keinginan dan potensi dari setiap kelompok masyarakat dapat meningkatkan tingkat partispasi dalam usaha mengurangi atau meminimalkan sampah di sumber Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Sampah Masyarakat Penghasil Sampah Menurut Matsunaga dan Themelis (2002) pengelolaan sampah menjadi suatu masalah pada wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Bila tingkat kepadatan masih rendah atau dibawah 50 jiwa per hektar maka pengelolaan sampah kota bisa dilakukan secara swakelola atau oleh masyarakat secara langsung. Hal ini ditunjukkan di wilayah pedesaan tidak diperlukan pengelolaan sampah. Berdasarkan hal tersebut maka pengkajian karakteristik rumah tangga terhadap pengelolaan sampah dilakukan terhadap tiga wilayah dengan tiga tingkatan kepadatan yaitu kepadatan tinggi, sedang dan rendah. Masyarakat penghasil sampah domestik adalah rumah tangga. Sebagai salah satu stakeholder dalam pengelolaan sampah kota, rumah tangga dianalisis dalam tiga wilayah kepadatan. Masyarakat penghasil sampah merupakan faktor penting dalam pengelolaan sampah, karena merupakan sumber sampah terbesar. Bila penghasil sampah ini dapat menurunkan timbulan sampah, maka akan mengurangi beban pengelola sampah. Metode cross tabulation (chi square) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan sampah di rumah. Hubungan yang diperoleh adalah dalam hal (1) jumlah sampah perhari, (2) yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang, (3) pengetahuan tentang 3R (reduce, reuse, recycling), (4) pemilahan, (5) pelaksanaan reduce, (6) pelaksanaan reuse dan (7) kesediaan melakukan recycling (daur ulang). Aspek nomor (4) sampai nomor (7) merupakan komponen partisipasi masyarakat. Hasil uji hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan pengelolaan sampah di rumah dengan menggunakan cross tabulation (chi square) disajikan pada Lampiran 5.

64 49 Analisis pertama adalah pada aspek jumlah sampah. Pada kepadatan tinggi, faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan jumlah sampah adalah jenis rumah yang didiami saat ini. Pada kepadatan sedang, terdapat lima faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan jumlah sampah, yaitu faktor: (1) pendidikan terakhir kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, (4) jumlah jiwa dalam rumah, dan (5) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini. Pada kepadatan rendah, terdapat tiga faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan jumlah sampah, yaitu faktor: (1) pendapatan kepala keluarga, (2) jumlah jiwa dalam rumah, dan (3) keberadaan halaman rumah. Analisis kedua adalah pada aspek yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang. Pada kepadatan tinggi, tidak ada faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan yang menangani sampah sebelum dibuang. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat dua faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan yang menangani sampah di rumah, yaitu faktor pendidikan terakhir kepala keluarga dan pendidikan terakhir isteri. Pada wilayah dengan kepadatan rendah terdapat enam faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) pendidikan terakhir kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, (4) pendidikan terakhir isteri, (5) pekerjaan isteri dan (6) jumlah jiwa dalam rumah. Analisis ketiga adalah pada aspek pengetahuan tentang 3R (reduce, reuse dan recycling). Pada kepadatan tinggi, terdapat satu faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pengetahuan tentang 3R yaitu pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat tiga faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pengetahuan tentang 3R, yaitu faktor pendidikan terakhir kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga dan pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan rendah terdapat lima faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) umur kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, (4) status kepemilikan rumah dan (5) keberadaan halaman rumah. Analisis keempat adalah pada aspek pemilahan. Pada kepadatan tinggi, terdapat dua faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan

65 50 pemilahan yaitu pendidikan terakhir kepala keluarga dan pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat satu faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pemilahan yaitu status kepemilikan rumah yang didiami saat ini. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) pendidikan terakhir isteri (2) pekerjaan isteri, (3) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini, dan (4) keberadaan halaman. Analisis kelima adalah pada aspek pelaksanaan reduce. Pada wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi, terdapat satu faktor yang berhubungan yaitu pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksanan reduce, yaitu faktor: (1) pekerjaan kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, (3) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini, dan (4) keberadaan halaman rumah. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, juga terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) umur kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, dan (4) keberadaan halaman rumah. Analisis keenam adalah aspek pelaksanaan reuse pada tingkat rumah tangga. Pada kepadatan tinggi, terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksanaan reuse pada tingkat rumah tangga. Keempat faktor tersebut adalah: (1) umur kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, (3) pekerjaan isteri dan (4) status kepemilikan rumah yang didiami. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksaan reuse, yaitu: (1) pekerjaan kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, (3) pekerjaan isteri dan (4) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, terdapat tiga faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksaan reuse. Ketiga faktor tersebut yaitu: (1) pendidikan terakhir kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, dan (3) pekerjaan isteri. Analisis ketujuh adalah aspek kesediaan untuk melaksanakan daur ulang pada tingkat rumah tangga. Pada kepadatan tinggi, hanya terdapat satu faktor yaitu umur kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang juga hanya terdapat satu faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan kesediaan untuk

66 Tabel 9 Ringkasan hubungan karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan sampah pada tiga wilayah kepadatan (hasil analisis) Jumlah sampah per hari Yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang Pengetahuan tentang 3 R (reduce, reuse, recycling) Pemilahan Pelaksanaan reduce Pelaksanaan reuse Kesediaan melakukan recycling (daur ulang) T S R T S R T S R T S R T S R T S R T S R Umur kepala keluarga Pendidikan terakhir kepala keluarga Pekerjaan kepala keluarga Pendapatan kepala keluarga Pendidikan terakhir istri kepala keluarga Pekerjaan istri Jumlah jiwa dalam rumah Status kepemilikan rumah Keberadaan halaman rumah Keterangan : T S R : : : kepadatan tinggi kepadatan sedang kepadatan rendah : ada hubungan : tidak ada hubungan

67 52 melaksanakan daur ulang yaitu pekerjaan isteri. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, tidak terdapat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan kesediaan untuk melaksanakan daur ulang. Keseluruhan hasil analisis disajikan pada Lampiran 1, sedangkan rangkuman hasil analisis disajikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 10 Ringkasan dari hasil uji pada masyarakat penghasil sampah (hasil analisis) Faktor Keadaan mayoritas Wilayah dengan kepadatan Tinggi Sedang Rendah Jumlah sampah 10 liter X X Yang menangani sampah sebelum dibuang Ibu X X Pengetahuan tentang 3R Pemilahan Pelaksanaan reduce Pelaksanaan reuse Pernah dengar tetapi tidak paham Tidak melakukan pemilahan Pernah dengan membeli produk isi ulang Melakukan reuse dengan menggunakan kembali botol bekas air mineral untuk tempat air minum X X X X X X Kesediaan untuk mendaur ulang Tidak bersedia X Keterangan : : ada hubungan, X : tidak ada hubungan Tabel 10 ini merupakan ringkasan hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan sampah berdasarkan kondisi mayoritas. Tabel rinci dan lengkap disajikan pada Lampiran 1. Mayoritas masyarakat penghasil sampah memproduksi sampah rumah tangga adalah 10 liter per rumah per hari. Kondisi ini nyata terdapat pada wilayah kepadatan sedang, namun tidak nyata pada wilayah dengan kepadatan tinggi dan rendah. Pada aspek yang menangani sampah sebelum dibuang, mayoritas menetapkan ibu (isteri) sebagai orang yang bertanggung jawab. Aspek ini nyata pada wilayah dengan kepadatan rendah. Pada

68 53 wilayah dengan kepadatan tinggi dan sedang kondisinya tidak nyata. Mayoritas masyarakat pernah mendengar tentang 3R namun tidak memahaminya. Keadaan ini tampak nyata pada wilayah dengan kepadatan rendah, namun tidak nyata pada wilayah dengan kepadatan tinggi dan sedang. Demikian juga dengan pemilahan, mayoritas masyarakat tidak melakukan pemilahan. Keadaan ini nyata di wilayah dengan kepadatan rendah. Usaha reduce berupa pernah membeli produk ulang telah dilakukan oleh mayoritas masyarakat, dan nyata di wilayah kepadatan sedang dan rendah. Mayoritas masyarakat juga telah melakukan reuse berupa menggunakan botol bekas air mineral untuk tempat air minum. Keadaan ini nyata di wilayah dengan kepadatan tinggi dan sedang, dan tidak nyata di wilayah kepadatan rendah. Mayoritas masyarakat tidak bersedia untuk melakukan daur ulang sampah. Hal ini nyata di wilayah kepadatan tinggi dan sedang, dan tidak nyata di wilayah kepadatan rendah. Berdasarkan keadaan mayoritas tersebut di atas tampak bahwa dibutuhkan upaya sosialisasi tentang 3R kepada masyarakat, terutama kepada kaum ibu yang mayoritas adalah orang yang menangani sampah sebelum dibuang. Pengetahuan tentang pentingnya pemilahan menjadi sangat penting karena merupakan langkah awal dalam 3R. Besarnya peran ibu juga dinyatakan oleh Schenberg et al. (1999) yang melakukan penelitian tentang gender dan sampah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perempuan bertanggung jawab untuk kebersihan dan kesehatan di dalam rumah tangga. Perempuan dengan kelas sosial lebih tinggi cenderung mendelegasikan tugas menangani sampah kepada pembantu rumah tangga, sedangkan perempuan dengan kelas sosial lebih rendah lebih berperan langsung berupa melakukan minimisasi sampah dengan cara pemilahan Masyarakat Pengelola Sampah Masyarakat pengelola sampah terdiri dari kelompok Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan dan Kecamatan. Sebagai salah satu dari stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah, peran kelompok masyarakat pengelola sampah ini dikaji perannya dalam pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat. Hasil pengkajian adalah berupa hubungan antara RT, RW,

69 54 kelurahan, dan kecamatan dalam pengelolaan sampah (Tabel 11). Secara keseluruhan keadaan tersebut disajikan pada Lampiran 2. Aspek kegiatan di lingkungan RT yang berkaitan cukup signifikan dengan pengelolaan sampah adalah aspek topik sosialisasi. Umur dan jenis pekerjaan ketua RT mempunyai hubungan yang nyata dengan topik sosialisasi dan pelatihan tentang pengelolaan sampah. Aspek kegiatan di lingkungan RW yang berkaitan cukup signifikan dengan pengelolaan sampah adalah aspek topik sosialisasi, penetapan besaran iuran sampah, sanksi bagi masyarakat yang tidak membayar iuran, partisipasi kaum ibu, dan hubungan dengan RT. Berdasarkan keadaan tersebut, ketua RT dan RW sangat berperan dalam menentukan topik sosialisasi yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam hal pengelolaan sampah. Sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat maka diperlukan sosialisasi tentang 3R. Mengingat bahwa ibu adalah sosok yang paling berperan dalam mengelola sampah rumah tangga maka sosialisasi dapat difokuskan kepada kaum ibu. Bulle (1999) mengatakan bahwa dihampir semua situasi, perempuan adalah pengatur atau manajer rumah tangga dan karenanya bertanggung jawab atas pengelolaan sampah demi kebersihan di dalam dan di sekitar rumah. Ketua RW adalah koordinator dari pengelolaan sampah oleh RT dilingkungan RW. Untuk itu maka ketua RW mempunyai hubungan dengan ketua RT dalam bentuk pembinaan, berupa penetapan besarnya iuran beserta sanksi bagi yang tidak membayar iuran sampah. Kedua hal ini dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Bulle (1999) menyebutkan bahwa pembayaran iuran sampah juga dilakukan oleh ibu rumah tangga sehingga perempuan penting untuk dilibatkan dalam menentukan besarnya retribusi pelayanan sampah. Aspek partisipasi kaum ibu ditingkatkan melalui sosialisasi dengan topik peningkatan pengetahuan tentang pentingnya 3R. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa kaum ibu berpotensi besar untuk diikutsertakan dalam program-program partisipasi dalam pengelolaan sampah.

70 Tabel 11 Ringkasan hubungan karakteristik rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, dan kecamatan dengan aspek pengelolaan sampah pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) Rukun Tetangga (RT) Rukun Warga (RW) Kelurahan Kecamatan Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dgn R. Tangga Hubungan dengan RW Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dengan RT Hubungan dgn Kelurahan Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dengan RW Hubungan dgn Kecamatan Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dengan Kelurahan Hubungan dgn PD Kebersihan Topik sosialisasi pengelolaan sampah Penetapan besaran iuran sampah Sanksi tidak membayar iuran Partisipasi ibu rumah tangga Keterangan : : ada hubungan : tidak ada hubungan

71 56 Iyer (2001) menyebutkan pada proyek partisipasi masyarakat pada pengelolaan persampahan di Bangalore India, wanita mempunyai peranan yang besar mulai dari pengumpulan sampah. Para wanita ikut dalam komite persampahan kota, berperanserta dalam pertemuan dan penyuluhan dan berperan dalam memberikan motivasi kepada anggota masyarakat lainnya. Jumlah wanita yang berperan dalam partisipasi masyarakat dalam proyek ini sekitar 60%. Sudah lebih dari 20 tahun pengelola persampahan kota bekerjasama dengan organisasi wanita. Pada tingkat lurah dan camat analisis kelembagaan tidak memberikan hasil yang nyata. Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena lurah dan camat tidak langsung berhubungan dengan warga (rumah tangga) dalam pengelolaan sampah, sementara RT dan RW mempunyai hubungan yang langsung dalam pengelolaan sampah. Secara kelembagaan RT dan RW merupakan community based organisation. Karena itu, aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah perlu dikembangkan di tingkat RW dan RT. Hal ini dapat ditunjukkan dengan keberhasilan Banjarsari, Cilandak, Jakarta dibawah pembinaan Ibu Bambang Wahono, yaitu kegiatan pembuatan kompos untuk media tanaman. Melalui kegiatan tersebut masyarakat diajak untuk menanam tanaman obat untuk keperluan sendiri. Dari 26 Kelurahan yang disurvei, hanya 11 Kelurahan yang menugaskan Seksi Ketenteraman dan Ketertiban untuk mengurus sampah, selebihnya tidak menugaskan karena menganggap bahwa Kelurahan tidak mengurus soal sampah. Terdapat hubungan antara adanya seksi yang mengurus sampah dengan kemungkinan mengajak ibu rumah tangga untuk berpartisipasi dalam mengelola sampah. Adanya seksi yang mengurus sampah cenderung mempermudah untuk mengajak para ibu untuk berpartisipasi, misalnya dengan memilah sampah. Hal ini akan lebih terbantu bila Lurah berpendidikan tinggi, karena cenderung lebih berkemampuan dalam melakukan sosialisasi atau pelatihan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, misalnya dalam 3R. Dalam hal persampahan, Kecamatan berpegang pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota

72 57 Bandung dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3). Dari 26 kecamatan yang diobservasi, sebagian besar kecamatan yaitu sejumlah 22 kecamatan yang menugaskan Seksi Ketenteraman dan Ketertiban untuk mengurus sampah, selebihnya tidak menugaskan karena menganggap bahwa kecamatan tidak mengurus soal sampah. Terdapat hubungan antara adanya seksi yang mengurus sampah dengan kemungkinan mengajak ibu rumah tangga untuk berpartisipasi dalam mengelola sampah. Adanya seksi yang mengurus sampah cenderung mempermudah untuk mengajak warga, misalnya aktif dalam kegiatan membersihkan lingkungan. Terdapat 9 kecamatan dari 26 kecamatan yang diobservasi pernah terkena wabah penyakit demam berdarah pada tahun 2004/2005. Wabah ini menandakan adanya lingkungan yang berpotensi terhadap berkembangbiaknya nyamuk aedes aegepty. Penyakit ini dapat dikatakan tidak berkait langsung dengan masalah sampah, meskipun faktor kebersihan lingkungan juga berpengaruh pada terjadinya wabah demam berdarah Masyarakat Pemanfaat Sampah Masyarakat pemanfaat sampah terdiri dari: (1) pemulung, (2) bandar (lapak), (3) pengusaha daur ulang dan (4) pengusaha kompos. Peranan masyarakat pemanfaat sampah dalam mereduksi jumlah sampah yang harus diangkut ke tempat pembuangan akhir sampah cukup signifikan. Karena itu, sebagai stakeholder dalam pengelolaan persampahan kelompok ini perlu dikaji potensi dan kendala dalam kegiatan pemanfaatan sampah. Informasi yang diperoleh akan dijadikan bahan dalam penyusunan model pengembangan kelembagaan Pemulung Pemulung yang menjadi sampel terdiri dari pemulung yang berada di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan kawasan perumahan. Pemulung yang berada di TPA diwakili oleh 80 pemulung dan pemulung dari lokasi perumahan diwakili oleh 22 orang pemulung. Profil mayoritas pemulung tersebut disajikan di Tabel 12.

73 58 Tabel 12 Kondisi mayoritas pemulung pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) Kondisi mayoritas pemulung Persentase (%) Jenis kelamin laki-laki 75 Umur tahun 29 Status kawin 75 Daerah asal Jawa Barat 100 Rumah milik sendiri 65 Pendidikan Sekolah Dasar 64 Sebelumnya adalah petani 34 Menjadi pemulung daripada menganggur 89 Telah lebih dari 5 tahun menjadi pemulung 45 Penghasilan Rp ,- per hari 55 Tidak mempunyai pekerjaan selain menjadi pemulung 84 Bekerja lebih dari 8 jam per hari 75 TPA adalah tempat yang disukai 61 Logam = barang yang paling dicari 19 Plastik = barang yang paling mudah didapat 22 Logam = barang yang paling jarang didapat 34 Plastik + logam = barang yang paling laku dijual 42 Karet = barang yang paling tidak laku dijual 37 Pemulung yang berada di kota Bandung di dominasi oleh laki-laki dengan proporsi 75%. Kisaran umur para pemulung tersebar dari dibawah umur 25 tahun sampai lebih dari 45 tahun dengan merata dengan persentase terbesar yaitu 29% berumur tahun, dengan 75% dari mereka berstatus telah menikah. Mayoritas dari pemulung berasal dari Jawa Barat, dan 65% dari jumlah pemulung responden telah memiliki rumah sendiri. Sebesar 64% pemulung hanya berpendidikan sekolah dasar, dan 23% lulus dari sekolah menengah pertama. Adapula responden yang memiliki pendidikan cukup, sejumlah 4% lulus sekolah menengah tingkat atas dan 1% lulus dari pendidikan tinggi.

74 59 Pekerjaan sebelum menjadi pemulung cukup bervariasi, namun yang cukup menonjol adalah 34% adalah petani, 28% buruh pabrik, dan 20% penganggur. Hampir semua pemulung (89%) beralasan memilih pekerjaan sebagai pemulung adalah karena kesulitan mencari pekerjaan lain (daripada menganggur). Hampir separuh (45%) telah lebih dari 5 tahun bekerja sebagai pemulung dan 25% baru bekerja kurang dari setahun sebagai pemulung. Penghasilan rata-rata perhari berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,-, sebagian kecil (12%) memperoleh sampai Rp ,- per hari. Hampir semua pemulung (84%) tidak mempunyai pekerjaan lain, namun ada pemulung (10%) yang juga bekerja sebagai petani. Jam dan hari kerja pemulung tidak tertentu, namun sebagian besar (75%) bekerja lebih dari 8 jam per hari. Kondisi cuaca dan ketersediaan sampah sangat berpengaruh pada jumlah jam kerja tersebut. Tempat yang paling disukai adalah TPA karena terdapat cukup banyak sampah yang dapat dipulung. Perumahan juga cukup disukai karena barang pulungan relatif lebih bersih dibandingkan TPA. Daerah pertokoan dianggap paling sulit oleh pemulung untuk memperoleh barang pulungan. Selain ketersediaan barang pulungan, lokasi pemulungan juga dipilih karena alasan dekat dengan lapak sehingga memudahkan untuk menjual barang pulungan. Lokasi pemulungan relatif menetap dan baru berpindah ketempat lain bila di lokasi semula tidak terdapat cukup barang pulungan. Barang pulungan yang paling banyak diambil adalah kertas, kardus, plastik, dan logam. Selain terdapat cukup banyak, jenis barang ini relatif mudah untuk dijual ke lapak. Logam besi termasuk barang pulungan yang jarang diperoleh, sedangkan karet dan kayu adalah jenis barang yang paling sulit untuk dijual. Harga jual barang pulungan dari TPA relatif lebih rendah dibandingkan dengan dari daerah permukiman karena relatif lebih bersih. Tidak ada standar harga jual, umumnya ditentukan oleh pihak lapak. Sampai saat ini belum ada pembinaan bagi pemulung di Kota Bandung, baik berupa organisasi atau akses terhadap segala bentuk informasi. Hasil obeservasi memperlihatkan bahwa para pemulung lebih menyukai cara kerja secara individual dengan sikap bebas terhadap waktu kerja. Namun terdapat minat untuk

75 60 bekerja dibawah suatu perusahaan dengan tujuan memperoleh kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Hal tersebut diatas sejalan dengan penelitian Nas dan Jaffe (2004) yang meneliti pemulung di Kota Bandung. Pembinaan terhadap pemulung pernah dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1986, untuk meningkatkan pendapatan pemulung dengan mendirikan koperasi pemulung. Koperasi berjalan dan cukup membantu pemulung, tetapi setelah pembinaan dihentikan, koperasi pemulung tersebut juga secara perlahan-lahan berhenti. Para pemulung bekerja sama kembali dengan lapak/ bandar. Penelitian Djuwendah (2005) yang mengamati kegiatan daur ulang di Kota Bandung menyebutkan bahwa hubungan antara pemulung, lapak atau bandar merupakan hubungan yang bersifat kooperatif dan saling menguntungkan. Kelembagaan transaksi yang ada memperlihatkan adanya distribusi biaya dan keuntungan yang seimbang. Hubungan ini merupakan hubungan saling membutuhkan, yaitu pemulung sebagai pihak pencari barang, sedangkan lapak adalah pihak yang membeli barang dari pemulung. Lapak akan menjual barang kepada bandar yang selanjutnya menjualnya kepada pihak produsen barang daur ulang Lapak (Bandar) Lapak yang menjadi sampel terdiri dari lapak yang berada di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, sebanyak 20 orang. Para lapak membeli barang pulungan dari pemulung, kemudian menjualnya kepada bandar. Profil mayoritas lapak tersebut disajikan di Tabel 13 berikut ini.

76 Tabel 13 Kondisi mayoritas lapak yang ada pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) 61 Kondisi mayoritas lapak Persentase (%) Jenis kelamin laki-laki 78 Status kawin 100 Memiliki rumah sendiri 87 Daerah asal Jawa Barat 96 Pendidikan SD sampai SMP 74 Sebelumnya adalah buruh pabrik 30 Menjadi lapak daripada menganggur 57 Telah lebih dari 5 tahun menjadi pemulung 57 Penghasilan Rp ,- per hari 60 Bekerja lebih dari 8 jam per hari 87 TPA adalah tempat yang disukai 71 Sebagian besar lapak (78%) adalah laki-laki dengan status kawin. Sebagian lapak (87%) mempunyai rumah milik sendiri, sedangkan selebihnya tinggal di rumah sewa atau menumpang pada keluarga. Tingkat pendidikan rata-rata adalah Sekolah Dasar sampai SMU, namun juga terdapat (4%) lapak berpendidikan perguruan tinggi. Pekerjaan sebelum menjadi lapak cukup bervariasi, namun yang cukup menonjol adalah 17% adalah pemulung, 22% adalah petani, dan 30% buruh pabrik. Lebih dari separuh (57%) beralasan menjadi lapak adalah karena kesulitan mencari pekerjaan lain, dan telah bekerja sebagai lapak lebih dari 5 tahun (57%) sedangkan 39% baru bekerja 1-5 tahun. Hampir semua lapak (83%) memulai usaha dengan modal sendiri ditambah pinjaman. Penghasilan rata-rata perhari tergantung dari besarnya modal, 17% berpenghasilan kurang dari Rp ,-, 60% berpenghasilan antara Rp ,- sampai Rp ,-, dan 22% berpenghasilan lebih dari Rp ,- per hari. Jam dan hari kerja lapak tidak tertentu, namun sebagian besar (87%) bekerja lebih dari 8 jam per hari. Lapak umumnya mencari lokasi kerja yang mudah didatangi oleh pemulung, sehingga sebagian besar lapak (71%) berada di sekitar TPA. Barang pulungan yang paling banyak dibeli oleh lapak adalah kertas,

77 62 kardus, plastik, logam, dan gelas. Selain terdapat cukup banyak, jenis barang ini relatif mudah untuk dijual ke pabrik daur ulang. Tidak ada standar harga jual, umumnya ditentukan oleh pihak pabrik. Sampai saat ini belum ada pembinaan bagi lapak, baik berupa organisasi atau akses terhadap segala bentuk informasi. Para lapak masih menyukai cara kerja secara individual dengan sikap bebas terhadap waktu kerja. Sikap ini didorong oleh kemudahan untuk menentukan harga beli dari pemulung tanpa dipengaruhi oleh lapak lainnya. Namun terdapat minat untuk bekerja dibawah suatu perusahaan dengan tujuan memperoleh kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Menurut Djuwendah (2005) lapak dalam kegiatan daur ulang sampah merupakan penampung dan perantara yang membeli dari pemulung dan akan menjual kembali kepada bandar (pedagang besar). Bandar biasanya melakukan spesialisasi dalam membeli bahan dauran sampah dan omsetnya relatif besar. Lapak melakukan kerjasama dengan bandar dengan tujuan agar terhindar dari resiko fluktuasi harga, ketersediaan modal operasional besar, biaya pemasaran, biaya bongkar muat dan transportasi Perusahaan Pembuatan Kompos Perusahaan pembuatan kompos yang menjadi sampel berjumlah tiga perusahaan. Ringkasan jumlah dan keadaan perusahaan kompos disajikan pada Tabel 14. Secara lengkap daftar dan kondisi perusahaan pembuatan kompos ada pada Lampiran 3. Sampah basah sebagai bahan baku kompos tidak menjadi masalah mengingat sebagian besar sampah kota adalah sampah basah. Pembuat kompos harus melakukan pemilahan sendiri karena masyarakat belum mempunyai kebiasaan untuk memilah sampah. Pembuatan kompos dilakukan secara windrow (alamiah) yang membutuhkan waktu sekitar dua bulan atau dengan penambahan zat aktivator, misalnya EM4, untuk mempercepat proses pematangan kompos menjadi hanya sekitar dua minggu saja.

78 63 Tabel 14 Daftar perusahaan pembuatan kompos (hasil analisis) No Nama perusahaan Tahun mulai usaha Lahan usaha Jumlah karyawan Pemasok bahan baku Produk 1 PT Cakra Mandiri Pratama Indonesia 1992 Milik sendiri - orang Sampah dari lingkungan sekitar Kompos 2 Torik Kompos 2000 Pinjam 6 orang Rumah tangga Kompos 3 Bitari (yayasan) 2004 Tanah negara 15 orang Dinas pasar Ko mpos Harga jual kompos berkisar antara rupiah per kilogram. Kendala utama dalam produksi kompos adalah masalah pemasaran. Sampai saat ini belum ada organisasi produsen dan campur tangan dari pihak PD Kebersihan yang bisa membantu pemasaran kompos. Keadaan ini membuat banyak produsen kompos mengalami kebangkrutan. Bantuan membuka pasar bagi produksi kompos sangat diperlukan bila usaha pembuatan kompos dipandang dapat membantu menekan jumlah sampah mengingat sekitar 60% sampah kota adalah bahan organik yang dapat dijadikan kompos Perusahaan Daur Ulang Perusahan daur ulang yang menjadi sampel penelitian berjumlah empat perusahaan. Tabel 15 menunjukkan profil ringkas dari perusahaan daur ulang. Profil lengkap disajikan pada Lampiran 4. Daur ulang adalah usaha mengubah sampah menjadi produk baru. Sampah kering relatif mudah diperoleh dari pemulung dan lapak. Pemasaran tidak menjadi masalah karena produk selalu terjual habis, bahkan jumlahnya lebih kecil dibandingkan permintaan. Bahkan kertas seni (dibuat dari kertas bekas) yang diproduksi oleh Suhuf Kertaseni Nusantara telah diekspor ke negara-negara Timur Tengah. Kendala utama yang dirasakan adalah keterbatasan modal untuk membeli bahan baku.

79 64 Tabel 15 Perusahaan Daur Ulang (Hasil analisis) No Nama perusahaan Tahun mulai usaha Lahan usaha Jumlah karyawan Pemasok bahan baku Produk 1 Suhuf Kertas Seni Nusantara 1995 sewa 60 orang pengumpul kertas 2 Penggilingan plastik 3 CV Nikori 1987 Milik sendiri 2004 sewa 4 orang Pemulung, bandar 8 orang Pemulung, lapak kecil 4 Sumardjiman 2000 pinjam 6 orang Rumah tangga Kertas, kardus, plastik giling, kresek Kertas, kardus, plastik, kresek, logam, gelas, logam murni, botol Kertas duplek, kardus, koran, kresek, logam, gelas, karung Sebagian besar perusahaan tidak berbadan hukum karena alasan resiko berupa kewajiban membayar pajak. Sampai saat juga belum ada organisasi pengusaha daur ulang. Kondisi ini menimbulkan kesulitan untuk melihat besarnya potensi penyerapan sampah oleh usaha daur ulang terhadap jumlah sampah kota. Sistem manajemen perusahaan yang relatif sederhana juga membuat pengusaha sulit untuk mengetahui secara benar jumlah produksi mereka. Salah satu kendala adalah keterbatasan modal sehingga produksi juga banyak tergantung dari modal yang ada. Solusi atas keadaan ini sangat diperlukan bila usaha daur ulang dipandang sebagai salah satu cara menekan jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA Masyarakat Pemerhati Lingkungan Sampel adalah 4 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kota Bandung. Di Kota Bandung terdapat sekitar 10 buah LSM pemerhati masalah lingkungan, berusia antara 2 30 tahun. Keanggotaan terbuka bagi semua golongan, mulai dari masyarakat umum sampai dengan perguruan tinggi. Kegiatan LSM dibidang persampahan sebagian besar berupa sosialisasi 3R dan pelatihan pembuatan kompos. Kendala utama dalam melaksanakan kegiatan adalah keterbatasan dana

80 65 yang sebagian besar berasal donatur. Hasil kegiatan belum banyak memberikan pengaruh positif karena rendahnya respon dari masyarakat. LSM berpendapat bahwa merubah sikap masyarakat terhadap sampah adalah persoalan merubah pola pandang dan perilaku. Pandangan bahwa sampah adalah benda buangan harus diganti dengan pandangan bahwa sampah adalah benda yang masih berguna. Perubahan ini akan terjadi bila masyarakat sudah mau melakukan 3R, yaitu reduce berupa mengurangi jumlah sampah, reuse berupa menggunakan kembali benda yang masih bisa digunakan kembali, dan recycle berupa mengubah sampah menjadi benda berguna misalnya menggunakan sampah basah sebagai bahan baku kompos. Dasar keberhasilan dari 3R adalah kesediaan sumber sampah untuk memilah sampah menjadi sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). Permasalahan utama adalah 3R yang baru merupakan wacana. Belum ada perangkat hukum yang mengatur penghargaan (reward) bagi yang melakukan dan hukuman (punishment) bagi yang tidak melakukan 3R. Selain itu sistem operasi penanganan sampah oleh PD Kebersihan juga belum mendukung program 3R. Pemilahan sampah menjadi sampah kering dan basah oleh sumber sampah akan menjadi sia-sia karena sistem operasi masih bersifat sampah tercampur. Kondisi ini membuat sumber sampah enggan untuk melakukan pemilahan sampah karena pada akhirnya sampah akan tercampur kembali dan seluruhnya dibuang ke TPA. LSM berpendapat bahwa mewujudkan pola 3R membutuhkan waktu lama namun akan menjadi semakin lama bila tidak ada keselarasan antara 3R, sistem operasi penanganan sampah, dan hukum yang jelas (Lampiran 5) Pemerintah Peranan pemerintah dalam pengelolaan sampah kota adalah dilakukan oleh PD Kebersihan sebagai satu-satunya lembaga formal yang memberikan pelayanan persampahan kepada masyarakat. Analisis kapasitas lembaga menggunakan tool yang dikembangkan oleh Booth et al 2001 dan GTZ Aspek yang dianalisis meliputi Kepemimpinan (Governance), Manajemen (Management Practice), Sumber Daya Manusia/ SDM (Human Resources), Sumber Daya Keuangan (Financial Resources), Aspek Pelayanan (Service Delivery) & Hubungan

81 66 Eksternal (External Relations). Jumlah responden yang menjadi penilai dari kapasitas organisasi PD Kebersihan adalah 12 orang. Responden ini merupakan unsur internal organisasi dengan jabatan direktur, kepala bagian dan kepala seksi. Hasil interview dengan penilai kapasitas disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan menggunakan OCAT (hasil analisis) Komponen Responden A B C D E F Sumberdaya Aspek Hubungan Kepemimpinan Manajemen SDM Keuangan Pelayanan Eksternal 1 4,4 4,2 3,5 4,2 3,7 4,6 2 4,0 3,5 3,2 3,3 3,1 3,9 3 2,7 3,1 1,7 2,5 1,7 3,0 4 3,2 3,4 3,1 3,5 2,8 3,0 5 2,2 2,6 2,4 3,2 2,3 3,5 6 4,8 4,1 3,7 3,9 3,3 4,4 7 3,3 3,1 2,9 3,2 3,0 3,3 8 3,5 3,3 3,0 4,0 3,1 3,5 9 3,9 3,5 3,9 3,7 3,3 3,7 10 3,1 3,1 3,1 3,3 3,0 3,4 11 3,6 3,1 2,4 4,5 2,3 3,8 12 4,8 4,4 4,2 3,8 3,6 4,0 Total 43,5 41,4 37,1 43,1 35,2 44,1 Rata-rata 3,6 3,5 3,1 3,6 2,9 3,7 Hasil penilaian dari unsur pejabat-pejabat dalam organisasi PD Kebersihan disajikan pada Tabel 16 di atas. Tampak bawa bahwa nilai terendah yang diberikan adalah 2,2 dan nilai tertinggi adalah 4,6. Nilai 2,2 diberikan oleh pejabat nomor 5 pada aspek kepemimpinan. Sedangkan nilai 4,6 diberikan oleh pejabat nomor 1 untuk aspek hubungan eksternal. Skala penilaian berkisar antara 0 sampai 6. Organisasi yang sempurna dalam seluruh aspek akan mendapat nilai 6. Jadi secara umum seluruh aspek dari kapasitas organisasi masih berada di tengah skala yang berarti bahwa posisi organisasi relatif jauh untuk mencapai taraf sempurna.

82 67 Kepemimpinan Manajemen Sumberdaya Manusia Sumberdaya Keuangan Aspek Pelayanan Hubungan Eksternal 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 nascent emerging expanding mature Gambar 13 Hasil perhitungan penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan dengan OCAT Dari hasil perhitungan dengan mengunakan lembar asesmen OCAT (Organisasional Capacity Assessment Tool) diperoleh kondisi kapasitas organisasi. Kapasitas organisasi seluruh komponen berada pada level expanding atau pada level pengembangan, perluasan atau semakin besar/ baik (Gambar 13). Komponen yang tertinggi dari penilaian adalah komponen hubungan eksternal dengan nilai 3,7 selanjutnya diikuti oleh sumber daya keuangan dan kepemimpinan dengan nilai 3,6 kemudian manajemen dengan nilai 3,5. Nilai yang terkecil adalah aspek pelayanan dengan nilai 2,9 dan sumber daya manusia 3,1. Aspek pelayanan merupakan aspek dengan nilai terkecil, hal ini kontradiktif dengan tugas dan fungsi dari organisasi yaitu jasa pelayanan persampahan di tingkat pemukiman, daerah komersial, fasilitas publik dan pemerintah kota. Tetapi aspek hubungan eksternal mendapat penilaian paling tinggi, hal ini menggambarkan terdapat koordinasi dengan pihak luar. Aspek pelayanan yang masih rendah juga terdapat di Kota Surabaya dengan jiwa penduduk dan jumlah sampah sebesar m3 per hari pada tahun 2005 (Pemerintah Kota Surabaya, 2006). Pengelola sampah adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan dengan kemampuan pengangkutan sampah ke TPA hanya sebesar m3 perhari atau 77% dari jumlah sampah. Rendahnya tingkat pelayanan disebabkan oleh tingginya jumlah sampah yang tidak sebanding dengan kemampuan pengangkutan sampah ke TPA. Tingginya jumlah sampah tersebut disebabkan oleh belum adanya upaya pemilahan dan pemanfaatan sampah secara optimal. Peraturan Daerah Kota

83 68 Bandung Nomor 27 Tahun 2001 sudah mengatur tentang 3R, yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang memasukkan aspek pemilahan didalam kegiatan pengelolaan kebersihan di lingkungan permukiman, dan pasal 6 ayat 1 yang mengatakan bahwa pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan kebijakan pengurangan sampah dari sumbernya, pemanfaatan atau penggunaan kembali, daur ulang dan pengomposan sampah secara maksimal. Sosialisasi atas peraturan ini sudah dilakukan namun dengan cara yang tidak terstruktur dan tidak disertai dengan peraturan tentang insentif dan disinsentif bagi masyarakat yang sudah dan belum melakukan 3R. Hal ini tampak pada Keputusan Walikota Bandung tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 yang hanya menetapkan besarnya tarif berdasarkan kondisi rumah tinggal atau daya listrik terpasang. Penetapan sanksi terhadap pelanggaran kebersihan berupa denda dan sanksi administratif juga sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Pada Lampiran 6 dapat dilihat ringkasan dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota. Namun dalam peraturan tersebut tidak tercantum sanksi terhadap penghasil sampah yang tidak melakukan pemilahan sampah. Hasil analisis peran stakeholder dalam pengelolaan sampah eksisting digambarkan pada Gambar 14.

84 69 Gambar 14 Hasil analisis peran stakeholder dalam pengelolaan sampah eksisting Peraturan pemerintah dan sosialisasi 3R dilakukan secara tidak terstruktur sehingga tidak mampu memberikan pemahaman 3R kepada masyarakat. Penanganan sampah oleh masyarakat penghasil sampah dilakukan tanpa 3R atau pemilahan. Penanganan sampah oleh masyarakat pengelola sampah (RT/RW) selanjutnya dilakukan terhadap sampah tercampur. PD Kebersihan pada akhirnya harus mengelola seluruh sampah, yaitu mengangkut sampagh dari TPS ke TPA. Besarnya beban pekerjaan membuat PD Kebersihan berfungsi lebih sebagai operator dibandingkan sebagai regulator. Pengolahan sampah oleh masyarakat pemanfaat sampah sudah ada namun dilakukan terhadap sampah yang sudah berada di TPA atau TPS. Produk daur ulang yang tercipta dapat berupa kompos dari sampah organik atau produk daur ulang berbahan baku sampah anorganik. Pemasaran produk daur ulang dilakukan langsung oleh produsen tanpa adanya campur tangan dari pemerintah.

85 Pengembangan Kelembagaan Skenario dan Implikasi Pengembangan Skenario Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat Kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat Kota Bandung melibatkan berbagai pelaku. Penelitian terhadap pelaku dalam pengelolaan persampahan dilakukan terhadap rumah tinggal, organisasi masyarakat yang meliputi Rukun Tetangga, Rukun Warga, Kelurahan dan Kecamatan. Selain itu, dilakukan penelitian terhadap pemulung, lapak, pengusaha kompos dan pabrik daur ulang serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengkajian organisasi dilakukan terhadap PD Kebersihan dengan menggunakan Organisasional Capacity Assessment Tools (OCAT). Metode yang digunakan dalam membuat skenario adalah analisis prospektif dengan lokakarya yang melibatkan seluruh stakeholder. Langkah pertama dalam analisis prospektif adalah identifikasi faktor-faktor yang terlibat dalam pengelolaan persampahan. Hasil identifikasi faktor disajikan pada Tabel 17. Faktor yang diperoleh melalui identifikasi faktor pada lokakarya analisis prospektif. Identifikasi faktor yang diperoleh pada tahap awal lokakarya analisis prospektif merupakan hasil kesepakatan seluruh peserta lokakarya. Sebagai bahan untuk identifikasi faktor adalah hasil penelitian terhadap kelompok penghasil, kelompok pengelola, kelompok pemanfaat dan organisasi pengelola sampah. Para peserta kemudian memberikan penilaian terhadap hubungan antar faktor. Hasil penilaian tersebut kemudian dihitung tingkat saling ketergantungan dan pengaruh. Faktor-faktor dengan tingkat ketergantungan dan pengaruh yang tinggi akan terpilih sebagai faktor-faktor kunci.

86 Tabel 17 Daftar faktor yang teridentifikasi dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Bandung No Faktor 1. Kapasitas Perusahaan Daerah Kebersihan 2. Biaya Operasi 3. Lahan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) 4. Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) 5. Sosialialisasi 3R (Reuce, Reduce, Recycle) 6. Kebijakan pemerintah 7. Peran Pemerintah Kota (Pemkot) 8. Jumlah Sampah 9. Tingkat Pendapatan Masyarakat 10. Peran Ibu rumah tangga 11. Kesediaan membayar iuran 12. Kesediaan membayar retribusi 13. Pemahaman 3R (Reuce, Reduce, Recycle) 14. Pemilahan 15. Reduce 16. Reuse 17. Komposting rumah tangga 18. Peran Rukun Tetangga (RT) / Rukun Warga (RW) 19. Peran Kelurahan 20. Peran Kecamatan 21. Kegiatan usaha kompos 22. Kegiatan usaha daur ulang 23. Pemasaran kompos 24. Pemasaran produksi daur ulang 25. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat 71

87 72 2,50 2,00 Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji Sosialialisasi 3R Pemasaran kompos Kegiatan usaha daur ulang Pmasar prod daur ulang Pengaruh 1,50 1,00 0,50 Peran Ibu rumah tangga Pemahaman 3R Tkt Pdpt Masy Lahan TPS Reuse Reduce Biaya Operasi Kebijakan pemerintah Pemilahan Peran LSM Peran Pemkot Jumlah Sampah Lahan TPA Ksedia byr retrib Kapasitas PDK Ksedia byr iuran Kegiatan usaha kompos Peran RT/RW Komposting rmh tangga Peran Kelurahan Peran Kecamatan - - 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 2,00 Ketergantungan Gambar 15 Gambar tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji Faktor kunci yang terpilih karena memiliki peran penting pada pengelolaan sampah Kota Bandung ada tujuh faktor yaitu: sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang, pemasaran produk daur ulang (Gambar 15). Dari setiap faktor kunci didiskusikan keadaan setiap faktor tersebut. Keadaan setiap faktor merupakan keadaan yang mungkin terjadi pada masa datang dari faktor tersebut. Berikut ini adalah keadaan atau state dari setiap faktor kunci. Faktor kunci pertama yang terpilih adalah sosialisasi 3R (reduce, reuse dan recycle). Hasil diskusi pada lokakarya analisis prospektif ditemukan empat keadaan yaitu A, B,C dan D..Keadaan tersebut adalah sebagai berikut: A. Tidak ada sosialisasi, artinya tidak terdapat usaha dari pihak pemerintah untuk melakukan sosialisasi tentang 3R. B. Kegiatan sosialisasi 3R mengalami penurunan baik dalam hal intensitas maupun materinya. C. Kegiatan sosialisasi 3R tidak mengalami perubahan, yaitu baru pada tingkat wacana dan belum sampai pada tingkat implementasi.

88 73 D. Kegiatan sosialisasi 3R meningkat baik dalam hal intensitas maupun contentnya sehingga 3R sudah mulai bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Faktor kunci kedua adalah pemahaman 3R. Terdapat empat keadaan dari faktor kunci pemahaman 3R yaitu A, B, C dan D. Keadaan dari faktor kunci pamahaman 3R adalah sebagai berikut: A. Masyarakat sama sekali tidak memahami tentang 3R. B. Pemahaman masyarakat tentang 3R akan terjadi berkat adanya sosialisasi 3R. C. Masyarakat sudah paham tentang 3R dan bersedia untuk melakukan 3R. D. Masyarakat sudah paham dan mau melakukan 3R. Faktor kunci ketiga adalah peran ibu rumah tangga. Hasil diskusi pada lokakarya analisis prospektif terhadap faktor kunci peran ibu rumah tangga menghasilkan empat keadaan yaitu A, B, C dan D sebagai berikut: A. Ibu rumah tangga tidak berperan pada penanganan sampah di rumah. B. Peran ibu rumah tangga terbatas pada mewadahi sampah sebelum diambil oleh petugas. C. Ibu rumah tangga sudah memahami 3R, sehingga mulai mencoba untuk mengurangi sampah yang harus dibuang. D. Ibu rumah tangga sudah melakukan 3R, terutama memilah sampah basah dan kering. Faktor kunci keempat adalah kegiatan usaha kompos. Kegiatan usaha kompos teridentifikasi memiliki tiga keadaaan yaitu A, B dan C sebagai berikut: A. Kegiatan usaha membuat kompos menurun karena sampah tidak laku dijual. B. Kegiatan usaha kompos tetap seperti sekarang, yaitu sulit untuk berkembang karena adanya kendala pemasaran produk kompos. C. Kegiatan usaha kompos berkembang karena harga jual kompos yang cukup baik, disamping adanya peluang memperoleh bantuan modal. Faktor kunci kelima adalah pemasaran kompos. Keadaan dari faktor kunci ini terdiri dari tiga keadaan yang meliputi: A. Pemasaran kompos menurun dan tidak seimbang dengan tingkat produksi kompos.

89 74 B. Tingkat kemampuan memasarkan kompos tetap seperti sekarang, yaitu produsen berusaha bertahan dengan harga pasar kompos yang tidak seimbang dengan harga pupuk buatan. C. Pemasaran kompos makin baik karena adanya bantuan menciptakan pasar dari pemerintah dan subsidi pemerintah sehingga harga kompos dapat bersaing dengan harga pupuk buatan. Faktor kunci keenam adalah kegiatan usaha daur ulang. Terdapat tiga keadaan dari kegiatan usaha daur ulang yaitu A, B dan C yang meliputi: A. Kegiatan usaha daur ulang menurun karena kesulitan memperoleh bahan baku dan keterbatasan modal. B. Kegiatan usaha daur ulang tidak berkembang karena harga produk daur ulang tidak mampu bersaing dengan produk non daur ulang. C. Kegiatan usaha daur ulang berkembang karena terbuka peluang untuk memperoleh bantuan modal usaha. Faktor kunci ketujuah adalah pemasaran produk daur ulang. Terdapat tiga keadaan dari faktor kunci pemasaranproduk daur ulang yang meliputi: A. Pemasaran menurun karena harga produk daur ulang tidak mampu bersaing dengan harga produk non daur ulang. B. Pemasaran tidak berkembang karena perusahaan tidak berbadan hukum sehingga ruang pasar menjadi terbatas. C. Pemasaran meningkat karena harga produk mampu bersaing dengan produk non daur ulang dan ruang pemasaran tidak terbatas karena perusahaan berbadan hukum. Keadaan dari ketujuh faktor kunci yang telah teridentifikasi digambarkan pada Tabel 18.

90 75 Tabel 18 Keadaan faktor kunci pada pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat FAKTOR KEADAAN Sosialisasi 3R 1 A 1 B 1 C 1 D Tidak ada Menurun Tetap Meningkat Pemahaman 3R Peran ibu rumah tangga Kegiatan usaha kompos Pemasaran kompos Kegiatan usaha daur ulang Pemasaran produk daur ulang 2 A 2 B 2 C 2 D Tidak paham Akan paham Sudah Mau melakukan 3R paham 3 A 3 B 3 C 3 D Tidak berperan Hanya sebatas mewadahi sampah Paham 3R Melakukan 3R, terutama pemilahan 4 A 4 B 4 C Tetap, sulit berkembang, kendala pasar Menurun, mengarah bangkrut karena sampah tidak laku Menurun, jumlah produksi kompos lebih besar dari kompos terjual Berkembang, harga baik, ada peluang bantuan modal 5 A 5 B 5 C Tetap, produsen bertahan, harga kompos lebih besar dari pupuk Menurun, kesulitan bahan baku dan modal Meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi 6 A 6 B 6 C Tidak berkembang, harga produk tidak kompetitif Menurun, harga tidak kompetitif Berkembang, ada peluang bantuan modal 7 A 7 B 7 C Tidak berkembang, tidak berbadan hukum, pasar terbatas Meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, pasar luas Setelah ditentukan keadaan yang mungkin terjadi pada setiap faktor kunci, dilakukan penentuan skenario pengembangan kelembagaan pada pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat. Skenario ini ditentukan berdasarkan kombinasi dari keadaan setiap faktor kunci. Hasil penentuan skenario pengembangan diperoleh lima skenario yaitu skenario sangat optimis, optimis, agak optimis, kondisi tetap dan pesimis. Skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat ini ditunjukkan pada Tabel 19.

91 Tabel 19 Skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat No Skenario Urutan Keadaan Faktor Kunci 1 Sangat optimis (sinergi antara lembaga 1D-2D-3D-4C-5C-6C-7C dan partisipasi masyarakat sangat tinggi) 2 Optimis (sinergi antara lembaga dan 1D-2C-3C-4C-5C-6C-7C partisipasi masyarakat cukup tinggi) 3 Agak optimis (ada sinergi antara 1C-2B-3C-4C-5C-6C-7C lembaga dan partisipasi masyarakat) 4 Kondisi tetap (sinergi antara lembaga 1C-2A-3B-4B-5B-6B-7B dan partisipasi masyarakat seperti sekarang) 5 Pesimis (tidak ada sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat) 1A-2A-3A-4A-5A-6A-7A 76 Tabel 20 Hasil penilaian skenario untuk pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat Skenario Jumlah Persen Sangat optimis (sinergi antara lembaga dan partisipasi ,77 masyarakat sangat tinggi) Optimis (sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat ,08 cukup tinggi) Agak optimis (ada sinergi antara lembaga dan partisipasi ,15 masyarakat) Kondisi tetap (sinergi antara lembaga dan partisipasi ,92 masyarakat seperti sekarang) Pesimis (tidak ada sinergi antara lembaga dan partisipasi ,08 masyarakat) Total ,00 Setelah diperoleh lima skenario seperti yang disajikan pada Tabel 19, dilakukan penilaian dari masing-masing skenario oleh peserta lokakarya. Setiap peserta diberi nilai 100 yang kemudian dibagi dengan angka puluhan kepada lima skenario. Seluruh peserta yang memberikan nilai berjumlah 13 orang sehingga total nilai bagi kelima skenario adalah Hasil penilaian skenario untuk pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 20.

92 77 Tiga skenario terbanyak terpilih adalah agak optimis (26,15%) ada sinergi antara lembaga dan partsipasi masyarakat, optimis (23,08%) terdapat sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat cukup tinggi, dan sangat optimis (20,77%) terdapat sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat sangat tinggi. Skenario pertama terpilih adalah Agak Optimis yaitu ada sinergi antara lembaga pengelola persampahan dengan partisipasi masyarakat. Skenario ini memiliki keadaan sebagai berikut: sosialisasi 3R tetap, masyarakat akan paham 3R, Ibu rumah tangga paham 3R, kegiatan usaha kompos berkembang, harga kompos baik, dan ada peluang bantuan modal untuk usaha kompos, pemasaran kompos meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi untuk usaha kompos, kegiatan usaha daur ulang berkembang dan ada peluang bantuan modal untuk kegiatan usaha daur ulang, pemasaran produk daur ulang meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, dan pasar luas. Skenario kedua paling mungkin adalah Optimis yaitu sinergi yang tinggi antara lembaga pengelola persampahan dengan partisipasi masyarakat. Skenario memiliki keadaan sebagai berikut: sosialisasi 3R meningkat, masyarakat sudah paham 3R, ibu rumah tangga paham 3R, kegiatan usaha kompos berkembang, harga kompos baik, dan ada peluang bantuan modal untuk usaha kompos, pemasaran kompos meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi, kegiatan usaha daur ulang berkembang dan ada peluang bantuan modal, pemasaran produk daur ulang meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, dan pasar luas. Skenario ketiga paling mungkin Sangat Optimis yaitu sinergi yang sangat tinggi antara lembaga pengelolaan persampahan dengan partisipasi masyarakat. Skenario ini memiliki keadaan sebagai berikut sosialisasi 3R meningkat, masyarakat sudah mau melakukan 3R, ibu rumah tangga sudah mau melakukan 3R, terutama pemilahan, kegiatan usaha kompos berkembang, harga baik, dan ada peluang bantuan modal, pemasaran kompos meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi, kegiatan usaha daur ulang berkembang dan ada peluang bantuan modal, pemasaran produk daur ulang meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, dan pasar luas. Tahap akhir dari lokakarya analisis prospektif pengembangan kelembagaan berbasis partisipasi masyarakat adalah implikasi dari skenario terpilih.

93 78 Berdasarkan skenario terpilih maka implikasi terhadap pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Bandung adalah sebagai berikut. Skenario pertama yang terpilih adalah Skenario Agak Optimis. Skenario ini bertumpu pada gerakan 3R (reduce, reuse, recycling), terutama pada recycle (daur ulang). Sosialisasi tetap dilakukan dengan tujuan memberikan pemahaman masyarakat terhadap 3R. Melalui pemahaman ini pandangan terhadap sampah diharapkan akan berubah, yaitu dari sampah yang harus dibuang menjadi sampah yang masih dapat dimanfaatkan. Ibu rumah tangga yang sangat berperan dalam pengelolaan sampah di rumah diupayakan sudah sampai pada tahap paham terhadap 3R sehingga sudah mulai berusaha menekan jumlah sampah dan sudah mulai mau melakukan pemilahan sampah. Pemahaman ini perlu diiringi dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada dukungan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas daur ulang, baik terhadap sampah basah maupun sampah kering. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan permodalan dan pemasaran bagi pengusaha kompos dan daur ulang. Rekomendasi untuk pencapaian skenario tersebut adalah dengan dua strategi. Strategi pertama, sosialisasi 3R tetap dilakukan dengan cara yang sama dengan yang telah dilakukan selama ini. Tujuan sosialisasi adalah membuka wawasan masyarakat tehadap manfaat 3R. Perhatian lebih ditujukan kepada para ibu rumah tangga agar pemahamannya tentang 3R selangkah lebih maju dibandingkan anggota keluarga lainnya mengingat ibu rumah tangga sangat berperan dalam pengelolaan sampah di rumah. Strategi kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Kendala dalam hal permodalan dapat ditanggulangi dengan memberikan peluang untuk memperoleh bantuan modal dan subsidi. Jaringan pemasaran perlu dipersiapkan termasuk didalamnya perlindungan terhadap harga pasar. Usaha kompos dan daur ulang dapat diupayakan agar bisa berbadan hukum untuk membantu terciptanya jaringan pemasaran yang lebih luas. Skenario kedua terpilih adalah Skenario Optimis. Skenario ini bertumpu pada pemahaman masyarakat terhadap 3R (reduce, reuse, recycling), terutama

94 79 pada recycle (daur ulang). Bentuk-bentuk sosialisasi yang telah dilakukan ditingkatkan dalam hal intensitas dan meluas kesemua lapisan masyarakat dengan tujuan merubah pandangan terhadap sampah, yaitu dari sampah yang harus dibuang menjadi sampah yang masih dapat dimanfaatkan. Pemahaman terhadap 3R diharapkan sudah sampai pada tahap mulai berusaha menekan jumlah sampah dan sudah mulai mau melakukan pemilahan sampah. Pemahaman ini perlu diiringi dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada dukungan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas daur ulang, baik terhadap sampah basah maupun sampah kering. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan permodalan dan pemasaran bagi pengusaha kompos dan daur ulang. Skenario Optimis dapat terimplementasikan bila dilakukan strategi-strategi. Strategi yang direkomendasikan untuk mencapai skenario optimis ada dua strategi. Strategi pertama, sosialisasi 3R yang telah dilakukan selama ini ditingkatkan intensitasnya dan memperluas cakupan area sosialisasi sampai mencapai seluruh lapisan masyarakat. Target sosialisasi adalah terbentuknya masyarakat yang mulai mau menekan jumlah sampah dan memilah sampahnya menjadi sampah basah dan kering. Bentuk sosialisasi dapat diperkaya dengan memberikan pelatihan cara memilah sampah atau membuat kompos skala rumah tangga. Strategi kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Kendala dalam hal permodalan dapat ditanggulangi dengan memberikan peluang untuk memperoleh bantuan modal dan subsidi. Jaringan pemasaran perlu dipersiapkan termasuk didalamnya perlindungan terhadap harga pasar. Usaha kompos dan daur ulang dapat diupayakan agar bisa berbadan hukum untuk membantu terciptanya jaringan pemasaran yang lebih luas. Skenario ketiga terpilih adalah Sangat Optimis. Skenario ini bertumpu pada pemahaman masyarakat terhadap 3R (reduce, reuse, recycling), terutama pada recycle (daur ulang). Bentuk-bentuk sosialisasi yang telah dilakukan ditingkatkan dalam hal intensitas dan meluas kesemua lapisan masyarakat. Tingkat pemahaman masyarakat sudah sampai pada mau melakukan 3R, terutama para ibu rumah tangga yang sudah melakukan pemilahan sampah. Melalui 3R maka jumlah sampah dapat ditekan dan sudah terpilah menjadi sampah basah dan kering.

95 80 Keadaan ini mendukung bagi usaha pembuatan kompos dan usaha daur ulang sampah kering. Kondisi ini perlu diikuti dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada dukungan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas daur ulang, baik terhadap sampah basah maupun sampah kering. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan permodalan dan pemasaran bagi pengusaha kompos dan daur ulang. Skenario ketiga yang terpilih dapat dicapai dengan melaksanakan dua strategi yang direkomendasikan. Strategi pertama, sosialisasi 3R yang telah dilakukan selama ini ditingkatkan intensitasnya dan memperluas cakupan area sosialisasi sampai mencapai seluruh lapisan masyarakat. Target sosialisasi adalah terbentuknya masyarakat yang sudah sangat paham tentang 3R dan mau memilah sampahnya menjadi sampah basah dan kering. Keadaan ini mengarah pada terbukanya peluang untuk usaha pemanfaatan sampah basah dan sampah kering, baik oleh rumah tangga maupun usaha produksi kompos dan daur ulang. Strategi kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Kendala dalam hal permodalan dapat ditanggulangi dengan memberikan peluang untuk memperoleh bantuan modal dan subsidi. Jaringan pemasaran perlu dipersiapkan termasuk didalamnya perlindungan terhadap harga pasar. Usaha kompos dan daur ulang dapat diupayakan agar bisa berbadan hukum untuk membantu terciptanya jaringan pemasaran yang lebih luas Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat Berdasarkan hasil penelitian tampak adanya saling keterkaitan antar kelima stakeholder, yaitu masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, masyarakat pemanfaat sampah, masyarakat pemerhati lingkungan, dan pemerintah. Beberapa penelitian juga memperlihatkan tentang hal ini. Aspek kelembagaan dalam pengelolaan persampahan adalah distribusi fungsi, tanggung jawab dan otoritas antara lembaga lokal, regional dan pusat; struktur organsisasi dari kelembagaan yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan sampah kota termasuk koordinasi antar sektor; prosedur dan metode untuk perencanaan dan

96 81 manajemen; kapasitas lembaga yang bertanggung jawab terhadap kapabilitas staf; dan sektor swasta yang terlibat dan peranserta masyarakat dan kelompok pengguna (Schubeler 1996). Wade et al. (2006) melakukan pengkajian pengelolaan sampah rumah tangga di Kaunas, Lithuania. Peneliti menyusun dua skenario pengelolaan, yang pertama dengan implementasi pemilahan dan daur ulang; yang kedua dengan multi treatment yang meliputi pemilahan, daur ulang dan pemulihan energi atau yang disebut dengan mechanical-biological treatment (MBT). Dengan skenario pertama sampah yang akan sampai ke TPA sekitar 65 persen, sementara dengan skenario kedua sampah yang perlu dibuang ke TPA sekitar 31 persen. Penelitian ini hanya melihat segi teknologi belum dihitung aspek ekonominya. Kirkeby et al. (2006) melakukan pengkajian lingkungan dari teknologi dan system pengelolaan sampah. Model yang baru dikembangkan adalah EASEWASTE singkatan dari Environmental Assessment of Solid Waste System and Technologies. Model ini dapat mengidentifikasi solusi paling ramah lingkungan yang akan berbeda tergantung materi limbah dan wilayah. Model ini telah digunakan untuk mengevaluasi dua skenario yang berbeda dalam pengelolaan sampah di Denmark yang berdasar pada life cycle analysis untuk menurunkan dampak pengelolaan sampah terhadap lingkungan. Henry et al. (2006) meneliti pengelolaan sampah di Kenya dari sudut pandang pemerintah pusat dan lokal. Adanya kemiskinan dan migrasi dari desa ke kota yang mengakibatkan permukiman tidak terencana menambah masalah pengelolaan persampahan. Temuan dari penelitian ini adalah terjadinya peningkatan pengumpulan sampah pada saat musim hujan. Pada lokasi penelitian di beberapa pemerintah daerah kelebihan pegawai yang tidak mempunyai keahlian sehingga keuangan pemerintah daerah lebih banyak digunakan untuk membayar pegawai. Hal ini mengakibatkan ketidak efisienan pengelolaan persampahan kota. Law enforcement terhadap pembuangan limbah padat, pengumpulan retribusi dan manajemen relatif rendah. Temuan lainnya adalah adanya kesediaan membayar retribusi yang tinggi dari masyarakat ekonomi menengah ke atas dan dari wilayah Central Business District (CBD) yang telah melakukan pembayaran biaya pengelolaan sampah 10 kali lebih besar dibanding dengan wilayah lain.

97 82 Pengelolaan sampah di wilayah tersebut, dilakukan oleh pengelola swasta yang mendapat lisensi dari pemerintah daerah setempat. Penelitian meliputi analisis terhadap semua stakeholder yang selanjutnya diproses melalui analisis prospektif untuk memperoleh skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat. Setiap stakeholder berperan dalam pengembangan kelembagaan berdasarkan kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya. Masyarakat penghasil sampah adalah penghasil sampah terbesar dibandingkan sumber sampah kota lainnya. Keterbatasan pengetahuan tentang 3R membuat sampah menjadi barang tidak bernilai. Kaum ibu sebagai sosok yang paling berperan dalam menangani sampah rumah tangga perlu ditingkatkan pengetahuannya tentang 3R. Melalui pemilahan maka akan diperoleh sampah basah yang berguna untuk dijadikan kompos dan sampah kering yang bernilai jual. Masyarakat pengelola sampah, yaitu RT dan RW, adalah pelaksana pengelolaan sampah dan pembina masyarakat ditingkat lokal. Sosialisasi tentang pengelolaan sampah, termasuk 3R, dapat dilakukan oleh RT/RW. Masyarakat pemanfaat sampah berpotensi untuk mengurangi sampah yang harus dibuang ke TPA, namun menghadapi kendala utama yaitu dalam hal pemasaran produk daur ulang sampah. Dukungan yang diperlukan adalah bantuan modal atau subsidi dan pemasaran produk. Masyarakat pemerhati lingkungan, umumnya berupa LSM, berpotensi dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam 3R namun seringkali menghadapi kendala berupa keterbatasan dana kegiatan. Pemerintah, dalam hal ini PD Kebersihan, tidak memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Pengelolaan sangat bersifat teknis dan belum mendukung partisipasi masyarakat dalam 3R. Skenario terpilih yang dihasilkan adalah Agak Optimis, yaitu ada sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat. Skenario ini bertumpu pada gerakan 3R terutama pada daur ulang sampah menjadi kompos dan produk daur ulang. Sosialisasi 3R tetap dilakukan dengan tujuan pemahaman masyarakat terhadap 3R, terutama para ibu rumah tangga. Kebijakan pemerintah mengarah pada pemberian dukungan terhadap aktivitas daur ulang sampah basah dan kering berupa bantuan permodalan dan pemasaran. Rekomendasi untuk mencapai

98 83 skenario tersebut adalah sosialisasi 3R dan memberikan kesempatan yang luas dalam pemanfaatan sampah untuk kompos atau produk daur ulang. Dalam Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung terdapat tiga badan yang bisa bekerja sama dengan PD Kebersihan dalam mendukung usaha daur ulang sampah. Badan-badan tersebut adalah Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat. Pembinaan bagi pengusaha kompos dan daur ulang bisa dilakukan oleh Sub Bidang Usaha Ekonomi Rakyat yang berada dibawah Badan Pemberdayaan Masyarakat. Dinas Pertamanan dan Pemakaman dan Dinas Pertanian adalah dua dinas yang dapat menyerap produk kompos dari para pengusaha kompos. Tabel 21 berikut ini memperlihatkan hasil analisis, pengembangan dan implementasi dari skenario pengembangan kelembagaan. Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat digambarkan pada Gambar 16. Gambar 16 Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat

99 Tabel 21 Hasil analisis, pengembangan dan implementasi skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat Kelompok Hasil Analisis Pengembangan Implementasi Masyarakat penghasil sampah Masyarakat pengelola sampah 1. Rumah tangga adalah penghasil terbesar sampah kota. 2. Mayoritas tingkat timbulan sampah = 10 liter per rumah per hari. 3. Mayoritas penanganan sampah rumah tangga = ibu. 4. Mayoritas masyarakat belum memahami dan melakukan 3R. 5. Sampah rumah tangga mengandung 60% sampah basah dan 40% sampah kering. 6. Pengumpulan sampah dilakukan oleh RT. 1. RT adalah pelaksana pengumpulan sampah rumah tangga (sampah tercampur). 2. RW adalah koordinator RT dan penentu besarnya iuran sampah. 3. Tidak ada hubungan antara RW dengan masyarakat pemanfaat sampah. 1. Ibu rumah tangga paham 3R. 2. Melalui 3R maka tingkat timbulan sampah rumah tangga menurun sehingga jumlah sampah kota menurun. 3. Rumah tangga melakukan pemilahan sampah basah dan sampah kering. 4. Rumah tangga lambat laun mau melakukan daur ulang berupa pembuatan kompos secara individual atau komunal. 1. RT dan RW sebagai organisasi penanganan dan pembinaan persampahan lokal. 2. RT melakukan pengumpulan sampah terpilah dan penyedia sampah basah dan kering untuk masyarakat pemanfaat sampah. 3. RW berperan sebagai pembina 3R, termasuk memberikan reward dan punishment. 1. Ibu rumah tangga memperoleh pengetahuan tentang 3R sampai tingkat paham dan terampil. 2. Melakukan pemilahan sampah. 3. Pada tahap lanjut melakukan komposting individual atau komunal. 1. RT menjual sampah basah dan kering kepada kelompok masyarakat pemanfaat sampah. 2. RW bekerjasama dengan LSM dalam sosialisasi dan pelatihan 3R. 3. Memanfaatkan forum-forum di lingkungan RW sebagai wadah melakukan sosialisasi 3R, misalnya forum pengajian para ibu, kegiatan ibadah, arisan warga, dan sebagainya. 4. RW memberikan insentif bagi rumah tangga yang sudah memilah sampah dan sanksi bagi rumah tangga yang belum memilah sampah.

100 85 Masyarakat pemerhati lingkungan Masyarakat pemanfaat sampah Kegiatan LSM dalam bidang persampahan, meliputi : 1. Sosialisi 3R 2. Pelatihan pembuatan kompos. Kendala pada usaha kompos dan daur ulang 1. Komposting : pemasaran. 2. Daur ulang : permodalan & badan hukum. Pemerintah 1. Kemampuan PD Kebersihan = 60-75% dari jumlah sampah. 2. Teknik operasional = sampah tercampur. 3. Biaya operasional tinggi karena seluruh sampah diangkut ke TPA. 4. Usaha pengomposan dan pemulungan sampah kering dilakukan di TPA. 5. Adanya dinas/ lembaga teknis di lingkungan pemerintah Kota Bandung yang dapat dikaitkan dengan masalah sampah, yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat. LSM membantu RW dalam melakukan pembinaan masyarakat tentang 3R dan pembuatan kompos skala rumah tangga. Lebih mampu dalam produksi kompos dan daur ulang karena adanya dukungan pemerintah berupa jaringan pemasaran dan legalitas usaha. Pemulung tidak perlu bekerja di TPA. 1. Teknik operasional pengelolaan sampah selaras dengan 3R, pengangkutan hanya pada sampah sisa. 2. Membangun jaringan pemasaran kompos dan produk daur ulang. 3. Membina pengusaha kompos dan daur ulang (organisasi, koperasi, bantuan hukum). 4. Pemberian insentif bagi pengusaha kompos dan daur ulang berupa pembebasan atau keringanan pajak, bantuan modal atau kredit usaha, dan sebagainya. Sosialisasi dilakukan dengan tahapan : 1. Pemahaman 3R pada kaum ibu. 2. Pelatihan pemilahan sampah menjadi sampah basah layak dikomposkan dan sampah kering layak didaur ulang. 3. Pelatihan membuat kompos skala rumah tangga. 1. Memanfaatkan sampah basah dan sampah kering dari RT 2. Membentuk organisasi/ asosiasi pengusaha kompos dan daur ulang dengan tujuan mempermudah akses terhadap pembinaan oleh pemerintah. 3. Memperbaiki mutu produk untuk menciptakan iklim pasar yang baik. 1. Jumlah sampah menurun, tingkat kemampuan PD Kebersihan meningkat. 2. PD Kebersihan bisa lebih memfokuskan diri sebagai regulator dibandingkan sebagai operator. 3. Bekerjasama dengan dinas-dinas yang terkait dengan pemanfaatan kompos di lingkungan pemerintah Kota Bandung (Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian). 4. Bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dalam pembinaan usaha kompos dan daur ulang. 5. Penerbitan peraturan daerah yang mengatur tentang 3R.

101 Rukun Warga (RW) bekerja sama dengan LSM sebagai masyarakat pemerhati lingkungan untuk melakukan sosialisasi tentang 3R kepada masyarakat penghasil sampah. Pemerintah menerbitkan peraturan tentang insentif bagi masyarakat yang sudah melakukan 3R dan disinsentif bagi masyarakat yang belum melakukan 3R. Pemahaman tentang 3R dan adanya peraturan insentif dan disinsentif tersebut akan mendorong masyarakat untuk menangani sampah dengan 3R, termasuk didalamnya memilah sampah. Keadaan ini membuat penanganan sampah oleh RT/RW dilakukan terhadap sampah terpilah. Sampah organik dan anorganik selanjutnya disalurkan kepada masyarakat pemanfaat sampah, sedangkan sampah sisa dibawa ke TPS untuk selanjutnya diangkut ke TPA oleh PD Kebersihan atau sejenisnya. Rangkaian tersebut di atas memberikan manfaat kepada setiap stakeholder. Masyarakat penghasil sampah akan memperoleh insentif yang dapat berupa potongan biaya pengelolaan sampah, kompos yang dibuat sendiri, atau barang bekas yang dijual sendiri. Masyarakat pengelola sampah memperoleh pendapatan dari penjualan sampah organik dan anorganik, selain itu mengecilnya jumlah sampah yang harus dikelola karena hanya berupa sampah sisa. Masyarakat pemanfaat sampah memperoleh sampah organik segar sebagai bahan baku kompos dan sampah anorganik yang lebih bersih dibandingkan bila pemulungan dilakukan di TPA. Manfaat ekonomi juga diperoleh para produsen daur ulang karena adanya jaringan pemasaran yang bisa menyerap produk mereka. Pemerintah memperoleh manfaat berupa semakin kecilnya jumlah sampah yang harus diangkut ke TPA. Hal ini secara langsung akan menurunkan biaya pengangkutan sampah dan kebutuhan lahan untuk TPA. Menyusutnya jumlah sampah yang harus ditangani membuat fungsi pengelola sampah kota berubah dari operator menjadi regulator. Bilamana manfaat ini dapat dirasakan oleh setiap stakeholder maka partisipasi dari setiap stakeholder akan terus berlangsung dan akan terbentuk budaya pengelolaan sampah Kota Bandung yang berbasis partisipasi masyarakat. Peraturan insentif dan disinsentif 3R ditujukan bagi masyarakat penghasil sampah. Peraturan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bandung yang mengacu pada:

102 87 1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP); 2. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 pasal 4 ayat 2 dan pasal 6 ayat 1; 3. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan; 4. Keputusan Walikota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung; 5. Surat Edaran Walikota Bandung Nomor 658.1/SE.030-PD.KBR Tahun 2006 kepada para camat dan lurah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan 3R. Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai masyarakat pemerhati lingkungan menjadi pemrakarsa dalam penyusunan rancangan akademik peraturan insentif dan disinsentif 3R dengan mengikutsertakan seluruh stakeholder. Ruang lingkup dari rancangan peraturan insentif dan disinsentif 3R meliputi bentuk, tata cara, pelaksanaan dan pengawasan. Bentuk insentif dapat berupa pembebasan iuran dan retribusi sampah, sedangkan bentuk disinsentif dapat berupa pembebanan iuran dan retribusi sampah yang besarnya beberapa kali lipat. Pemungutan iuran dan retribusi sampah adalah melalui rukun warga (RW) dengan alasan RW adalah pelaksana pengumpulan sampah dari rumah tangga. Untuk keperluan pengawasan dilakukan oleh perwakilan Perusahaan Derah Kebersihan di tingkat kecamatan Simulasi Reduksi Jumlah Sampah Berdasarkan Skenario Pengembangan Kelembagaan Skenario pengembangan kelembagaan bertujuan mereduksi jumlah sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pencapaian target reduksi dilakukan dengan dua strategi yaitu sosialisasi 3R dan membuka peluang usaha kompos dan daur ulang.

103 88 Usaha reduksi sampah sudah dilakukan di banyak negara melalui daur ulang sampah. Beberapa negara telah mempunyai portofolio untuk 3R yang berisi target reduksi sampah yang harus dibuang ke TPA (Policy Planning Division 2006). Jepang telah melakukan reduksi sampah sebesar 28% selama 10 tahun yaitu tahun ) dan mentargetkan menjadi 50% pada kurun waktu tahun Malaysia, khususnya Kuala Lumpur mempunyai target reduksi sampah sampai 35% selama 15 tahun yaitu tahun Afrika Selatan mentargetkan dapat mereduksi sampah sampai 40% selama 5 tahun yaitu tahun Target daur ulang terhadap sampah di Singapura adalah sebesar 60% yang ingin dicapai pada tahun 2012, sedangkan di Jerman sebesar 50% pada tahun Berdasarkan Kebijakan dan Strategi Nasional Sistem Pengelolaan Persampahan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional diseebutkan bahwa reduksi sampah di Indonesia yang dibuang ke TPA ditargetkan sebesar 20% pada tahun 2010 (Departemen Pekerjaan Umum 2006). Kota Bandung sudah mempunyai peraturan yang didalamnya mengatur masalah 3R, namun belum dilengkapi dengan ketentuan tentang insentif dan disinsentif bagi masyarakat yang sudah dan belum melakukan 3R. Namun demikian, sampah Kota Bandung mempunyai komposisi yang memungkinkan untuk dilakukannya 3R oleh masyarakat. Komposisi tersebut adalah 63,56% berupa sampah organik dan 36,44% berupa sampah anorganik, yang 66% berasal dari rumah tangga dan 34% dari non rumah tangga. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat diasumsikan bahwa target reduksi sampah sebesar 20% akan dicapai dalam waktu 20 tahun, yaitu tahun Target tersebut dicapai dengan asumsi : (1) Pemilahan hanya oleh rumah tangga, (2) Sampah organik layak dikomposkan sebesar 50%, (3) Sampah anorganik layak didaur ulang sebesar 30%, dan (4) Sampah residu sebesar 20% dibuang ke TPA Strategi Sosialisasi 3R Berdasarkan hasil perhitungan, target reduksi sampah sebesar 20% dalam waktu 20 tahun akan tercapai bila 40% rumah tangga memilah. Keadaan ini dapat terjadi dengan asumsi pada tahun 2004 rumah tangga belum melakukan pemilahan. Dimulai pada tahun 2005 ditargetkan ada pertambahan 2% rumah tangga memilah. Selanjutnya terus menerus terjadi penambahan 2% setiap tahun,

104 89 sehingga tercapai 40% rumah tangga memilah pada tahun Melalui sosialisasi diharapkan dapat tercapai target sebagai berikut yang disajikan pada Tabel 22. Jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA selama tahun tanpa dan dengan pemilahan oleh rumah tangga disajikan pada Gambar Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020 Tahun 2021 Tahun 2022 Tahun 2023 Tahun 2024 Jumlah sampah ke TPA tanpa pemilahan (ton/hari) Jumlah sampah ke TPA dengan pemilahan (ton/hari) Gambar 17 Jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA selama tahun tanpa dan dengan pemilahan oleh rumah tangga (hasil analisis)

105 Tabel 22 Target sosialisasi 3R pertahun dari tahun 2005 sampai 2024 (hasil analisis) Tahun Tahun sosialisasi 3R Tahun ke S penduduk (ribu jiwa) S sampah (m3/hari) S sampah (ton/hari) Rumahtangga memilah (%) Sampah layak kompos (%) 0,66 1,32 1,98 2,64 3,30 3,96 4,62 5,26 5,94 6,60 7,26 7,92 8,58 9,24 9,90 10,56 11,22 11,88 12,54 13,20 Sampah layak kompos 9,06 18,55 28,49 38,94 49,83 61,26 73,23 85,37 98,78 112,40 126,61 141,53 157,01 173,25 190,18 207,72 226,08 245,20 265,10 285,78 (ton/hari) Produksi kompos 3,02 6,18 9,50 12,98 16,61 20,42 24,41 28,46 32,93 37,47 42,20 47,18 52,34 57,75 63,39 69,24 75,36 81,73 88,37 95,26 (ton/hari) Sampah layak daurulang (%) 0,40 0,80 1,19 1,58 1,98 2,38 2,77 3,17 3,56 3,96 4,36 4,75 5,15 5,54 5,94 6,34 6,73 7,13 7,52 7,92 Sampah layak daur ulang 5,49 11,24 17,12 23,31 29,90 36,82 43,90 51,45 59,20 67,44 76,04 84,88 94,25 103,88 114,11 124,71 135,61 147,16 158,97 171,47 (ton/hari) Sampah ke TPA (%) 98,94 97,88 96,83 95,78 94,72 93,66 92,61 91,57 90,50 89,44 88,38 87,33 86,27 85,22 84,16 83,10 82,05 80,99 79,94 78,88 S sampah ke TPA (ton/hari) , Tingkat pelayanan (%) 60 60,70 61, ,72 63,42 64,13 64,88 65,64 66,42 67,22 68,00 68,84 69,70 70,57 71,46 72,41 73,33 74,30 75,29 Keterangan : Tingkat pelayanan dihitung berdasarkan asumsi tidak ada penambahan peralatan operasi.

106 91 Sesuai dengan jumlah kecamatan, sosialisasi dilaksanakan dengan membagi Kota Bandung menjadi 26 area sosialisasi dengan target dalam 20 tahun akan diperoleh 40% rumah tangga memilah. Setiap area sosialisasi dibagi menjadi 20 ring sosialisasi yang berarti pada tahun pertama sosialisasi dilakukan pada ring 1, tahun kedua pada ring 1 dan 2, dan seterusnya (Gambar 18). Gambar 18 Pergerakan radius sosialisasi pada setiap kecamatan (hasil analisis) Sosialisasi selama 20 tahun tersebut dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu jangka pendek, menengah, dan panjang. Sosialisasi dilakukan oleh LSM yang bekerjasama dengan RW Strategi Pemasaran Kompos Strategi kedua adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Hasil penelitian memberikan dua gambaran yaitu: (1) Masalah pada usaha pembuatan kompos adalah dalam hal pemasaran kompos, (2) Masalah pada usaha daur ulang adalah dalam hal permodalan dan badan hukum.

MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI

MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Persampahan Kota

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Persampahan Kota II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Persampahan Kota Sampah adalah buangan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan hewan, berbentuk padat, dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak diinginkan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengelolaan Sampah Kota Bandung Pengelola persampahan Kota Bandung adalah Perusahaan Daerah Kebersihan. Sebagian besar sampah Kota Bandung berasal dari rumah tangga (66%),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pesatnya pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat, pembangunan fasilitas kota seperti pusat bisnis, komersial dan industri,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN 1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN SAMPAH SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan Teknik Sampah Perkotaan, mendefinisikan sampah sebagai limbah yang bersifat padat, terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi manusia terhadap barang

Lebih terperinci

Gambar 7 Peta wilayah Kota Bandung

Gambar 7 Peta wilayah Kota Bandung III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Bandung, dengan luas wilayah 16.729,00 hektar, terdiri dari 26 kecamatan. Gambar 8 menunjukkan peta administratif

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI ABAS KURIB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang PERANSERTA MASYARAKAT DALAM USAHA MEMPERPANJANG MASA PAKAI TPA KEBON KONGOK KOTA MATARAM Imam Azhary, Ellina S. Pandebesie Program Pascasarjana Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Email: imam_dpu@yahoo.com

Lebih terperinci

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG, PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa lingkungan hidup yang baik merupakan hak asasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, peningkatan konsumsi masyarakat dan aktivitas kehidupan masyarakat di perkotaan, menimbulkan bertambahnya

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan

VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan VII. PEMBAHASAN UMUM 7.1. Visi Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Berkelanjutan TPA Bakung kota Bandar Lampung masih belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, karena belum adanya salahsatu komponen dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Sadar atau tidak dalam proses pemanfaatan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan pengelolaan sampah merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi setiap wilayah di dunia tidak terkecuali Indonesia. Hampir di seluruh aspek kehidupan manusia

Lebih terperinci

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA Shinta Dewi Astari dan IDAA Warmadewanthi Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP Program Pascasarjana, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Adapun bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian mengenai Kajian Pengelolaan Sampah yang Terintegrasi untuk Mendukung Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan.

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sampah Sampah merupakan barang sisa yang sudah tidak berguna lagi dan harus dibuang. Berdasarkan istilah lingkungan untuk manajemen, Basriyanta

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa memenuhi ketentuan pasal 18 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Daerah

Lebih terperinci

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampah merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Sampah dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan jumlah

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa dengan adanya pertambahan penduduk dan pola konsumsi

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan sampah memerlukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah merupakan permasalahan yang selalu dihadapi masyarakat Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Seiring dengan meningkatnya laju pembangunan, pertumbuhan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Pengelolaan Sampah. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Pengelolaan Sampah. Pedoman. No.274, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Pengelolaan Sampah. Pedoman. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH KERTAS DI INDONESIA

PENGELOLAAN SAMPAH KERTAS DI INDONESIA PENGELOLAAN SAMPAH DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyono *) Abstract Paper waste is one type of municipal solid wastes that is not properly manage yet. It contributes about ten percent of MSW. Indonesia paper

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Pemodelan merupakan suatu aktivitas pembuatan model. Secara umum model memiliki pengertian sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.

Lebih terperinci

KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *)

KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *) 1 KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH PERKOTAAN SECARA TERPADU BERKELANJUTAN *) Oleh: Tarsoen Waryono **) Abstrak Meningkatnya beban sampah (limbah domestik) di wilayah perkotaan, secara berangsur-angsur memberikan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. b. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 6A TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN / KEBERSIHAN BUPATI LOMBOK BARAT, Menimbang : a. bahwa salah satu faktor

Lebih terperinci

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KECAMATAN SEMARANG TENGAH, KOTA SEMARANG Hamida Syukriya*), Syafrudin**), Wiharyanto Oktiawan**)

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KECAMATAN SEMARANG TENGAH, KOTA SEMARANG Hamida Syukriya*), Syafrudin**), Wiharyanto Oktiawan**) SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KECAMATAN SEMARANG TENGAH, KOTA SEMARANG Hamida Syukriya*), Syafrudin**), Wiharyanto Oktiawan**) ABSTRACT Solid waste management has become one of the major problems in developing

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 3.1. Visi dan Misi Sanitasi Visi merupakan harapan kondisi ideal masa mendatang yang terukur sebagai arah dari berbagai upaya sistematis dari setiap elemen dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan kota metropolitan di beberapa negara berkembang telah menimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaan sampah (Petrick, 1984). Saat ini

Lebih terperinci

OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN

OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN E-3-1 OPTIMALISASI MASA PAKAI TPA MANGGAR KOTA BALIKPAPAN Achmad Safei, Joni Hermana, Idaa Warmadewanthi Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Kampus ITS Sukolilo ABSTRAK Penyebab utama permasalahan sampah

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan manusia untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidup, menuntut berbagai pengembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak ada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan

BAB I. PENDAHULUAN. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan kota. Angka pertumbuhan penduduk dan pembangunan kota yang semakin meningkat secara

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Cirebon berada pada posisi ' BT dan 6 4' LS, dari Barat ke Timur 8

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. Cirebon berada pada posisi ' BT dan 6 4' LS, dari Barat ke Timur 8 BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN 2.1 Deskripsi Wilayah Kota Cirebon 1. Geografi Kota Cirebon merupakan salah satu Kota bersejarah yang memiliki keunikan yang khas. Kota Cirebon adalah bekas ibu Kota kerajaan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK Joko Widodo dan Yulinah Trihadiningrum Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Lingkungan FTSP - ITS Surabaya ABSTRAK Pembuangan akhir sampah yang

Lebih terperinci

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU

SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU SATUAN TIMBULAN, KOMPOSISI DAN POTENSI DAUR ULANG SAMPAH PADA TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH TANJUNG BELIT KABUPATEN ROKAN HULU Alfi Rahmi, Arie Syahruddin S ABSTRAK Masalah persampahan merupakan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT)

PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) JRL Vol.7 No.2 Hal. 153-160 Jakarta, Juli 2011 ISSN : 2085.3866 No.376/AU1/P2MBI/07/2011 PENGELOLAAN SAMPAH KANTOR SECARA TERPADU: (Studi Kasus Kantor BPPT) Rosita Shochib Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Meningkatnya volume sampah di Surakarta telah menimbulkan masalah yang kompleks dalam pengelolaan sampah. Untuk itu dibutuhkan strategi yang efektif untuk mereduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang dipandang tidak mempunyai

Lebih terperinci

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA)

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA) KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA) Oleh : Shinta Dewi Astari 3308 202 006 Dosen Pembimbing : I.D.A.A Warmadewanthi, ST., MT., Ph.D. PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah

I. PENDAHULUAN. Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah sampah memang tidak ada habisnya. Permasalahan sampah sudah menjadi persoalan serius terutama di kota-kota besar, tidak hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a. bahwa pertambahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI DAN KARAKTERISTIK SAMPAH KOTA BOGOR 1. Sifat Fisik Sampah Sampah berbentuk padat dibagi menjadi sampah kota, sampah industri dan sampah pertanian. Komposisi dan jumlah

Lebih terperinci

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR + BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

V. PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG. Abstrak

V. PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG. Abstrak V. PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG Abstrak Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengkaji peran perguruan tinggi, badan usaha/pihak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN

Lebih terperinci

POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman *

POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman * 1 POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 25 November 2015; disetujui: 11 Desember 2015 Polemik Pengelolaan Sampah Masalah pengelolaan

Lebih terperinci

Potensi Penerapan Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis 3R di Kelurahan Tunjungsekar Kota Malang

Potensi Penerapan Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis 3R di Kelurahan Tunjungsekar Kota Malang Potensi Penerapan Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis 3R di Kelurahan Tunjungsekar Kota Malang Sudiro 1), Arief Setyawan 2), Lukman Nulhakim 3) 1),3 ) Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Nasional

Lebih terperinci

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH KOTA DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT Oleh : Setiyono dan Sri Wahyono *) Abstract Recently, problems of municipal solid waste have appeared in the indonesian metropolitan city,

Lebih terperinci

Kata kunci : Sampah, Reduksi, daur ulang, kawasan komersial dan Malioboro

Kata kunci : Sampah, Reduksi, daur ulang, kawasan komersial dan Malioboro ANALISIS POTENSI REDUKSI SAMPAH DI KAWASAN KOMERSIAL MALIOBORO KOTA YOGYAKARTA Cesaria Eka Yulianti Sri Hastuti dan Susi Agustina Wilujeng Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP-ITS Kampus ITS Sukolilo Surabaya

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI Perumusan strategi dalam percepatan pembangunan sanitasi menggunakan SWOT sebagai alat bantu, dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada tiap

Lebih terperinci

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya

A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Lampiran E: Deskripsi Program / Kegiatan A. Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu Raya Nama Maksud Penyusunan Rencana Induk Sistem Pengelolaan Air Limbah Kabupaten Kubu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung yang dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang,

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung yang dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar Lampung yang dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang, menghasilkan sampah dengan karakteristik yang bervariasi. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.188, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Sampah. Rumah Tangga. Pengelolaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE) PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE) Disampaikan oleh: DINAS CIPTA KARYA DAN TATA RUANG KABUPATEN KENDAL 2016 Dasar hukum Pengelolaan Sampah Undang undang no. 18 tahun 2008 ttg Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi II-1 BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 2.1 Visi Misi Sanitasi Visi Pembangunan Tahun 2011-2015 adalah Melanjutkan Pembangunan Menuju Balangan yang Mandiri dan Sejahtera. Mandiri bermakna harus mampu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung

Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung BUNGA DWIHAPSARI, SITI AINUN, KANCITRA PHARMAWATI Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aktivitas manusia dalam memanfaatkan alam selalu meninggalkan sisa yang dianggapnya sudah tidak berguna lagi, sehingga diperlakukan sebagai barang buangan, yaitu

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENINGKATKAN PELAYANAN ASET DI KABUPATEN KARAWANG

KAJIAN PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENINGKATKAN PELAYANAN ASET DI KABUPATEN KARAWANG KAJIAN PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENINGKATKAN PELAYANAN ASET DI KABUPATEN KARAWANG NANANG FAKHRURAZI 1,JONI HERMANA 2, IDAA WARMADEWANTHI 2 1 Program Magister Bidang Keahlian Manajemen Aset Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA

BAB V IMPLEMENTASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA BAB V IMPLEMENTASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA 5.1 Latar Belakang Program Setiap rumah tangga adalah produsen sampah, baik sampah organik maupun sampah anorganik. Cara yang paling efektif untuk mengatasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA., Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan

Lebih terperinci

PERAN KELUARGA DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA PALANGKA RAYA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA

PERAN KELUARGA DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA PALANGKA RAYA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA PERAN KELUARGA DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA PALANGKA RAYA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA Dody Ariyantho Kusma Wijaya UPT-MKU Universitas Palangka Raya e-mail: doddyariantho@yahoo.co.id ABSTRACT

Lebih terperinci

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI POLEWALI MANDAR BUPATI POLEWALI MANDAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DAN KEBERSIHAN KOTA KABUPATEN POLEWALI MANDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH GEDUNG GEOSTECH

PENGELOLAAN SAMPAH GEDUNG GEOSTECH PENGELOLAAN SAMPAH GEDUNG GEOSTECH Suprapto Pusat Teknologi Lingkungan, Kedeputian TPSA Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jl. M.H. Thamrin No. 8, Lantai 12, Jakarta 10340 e-mail: suprapto.bpptbas@yahoo.com

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Laporan Akhir PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR

KATA PENGANTAR. Laporan Akhir PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dokumen Layanan Persampahan Kota Bogor merupakan dokumen yang memuat keadaaan terkini kondisi persampahan Kota Bogor. Penyusunan dokumen ini pada dasarnya ditujukan pada pendayagunaan segenap

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN JOMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang : a. bahwa pertambahan penduduk

Lebih terperinci

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung) LIA WARLINA

MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung) LIA WARLINA MODEL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN UNTUK PENATAAN RUANG DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN WILAYAH BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Bandung) LIA WARLINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1)

Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1) Pengelolaan Sampah Timbulan sampah menunjukkan kecenderungan kenaikan dalam beberapa dekade ini. Kenaikan timbulan sampah ini disebabkan oleh dua faktor dasar, yaitu 1) perubahan populasi, 2) perubahan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL )

PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL ) PRESENTASI TESIS PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL ) DOSEN PEMBIMBING Prof. Dr. YULINAH TRIHADININGRUM, MApp.Sc OLEH : MALIK EFENDI (3310202708)

Lebih terperinci

KAJIAN PENGADAAN DAN PENERAPAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) DI TPA km.14 KOTA PALANGKA RAYA

KAJIAN PENGADAAN DAN PENERAPAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) DI TPA km.14 KOTA PALANGKA RAYA KAJIAN PENGADAAN DAN PENERAPAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) DI TPA km.14 KOTA PALANGKA RAYA Teguh Jaya Permana dan Yulinah Trihadiningrum Program Magister Teknik Prasarana Lingkungan Permukiman

Lebih terperinci

BAB I Permasalahan Umum Persampahan

BAB I Permasalahan Umum Persampahan BAB I Permasalahan Umum 1.1. Timbulan Sampah Permasalahan yang berhubungan dengan timbulan sampah antara lain sebagai berikut: Produksi sampah setiap orang rata-rata terus meningkat seiring dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BANTAENG, 30 JANUARI (Prof. DR. H.M. NURDIN ABDULLAH, M.Agr)

BANTAENG, 30 JANUARI (Prof. DR. H.M. NURDIN ABDULLAH, M.Agr) LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.53/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM ADIPURA FORMULIR ISIAN SISTEM MANAJEMEN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai nilai

Lebih terperinci

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang TUGAS AKHIR 108 Periode Agustus Desember 2009 Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Oleh : PINGKAN DIAS L L2B00519O Dosen Pembimbing : Ir. Abdul Malik, MSA Jurusan Arsitektur Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah menurut SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan didefinisikan sebagai limbah yang bersifat padat terdiri atas bahan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN

BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN BUPATI LUWU TIMUR PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU UNTUK MENINGKATKAN NILAI EKONOMI BAGI MASYARAKAT DI DAERAH

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU UNTUK MENINGKATKAN NILAI EKONOMI BAGI MASYARAKAT DI DAERAH ) KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU UNTUK MENINGKATKAN NILAI EKONOMI BAGI MASYARAKAT DI DAERAH (Studi Kasus Pengelolaan Sampah di DIY) Yeni Widowaty, Septi Nur wijayanti Laras Astuti, dan Reni Budi

Lebih terperinci

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR

DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN KABUPATEN KARANGANYAR PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA 1. Latar Belakang Sampah yang menjadi masalah memaksa kita untuk berpikir dan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PERSAMPAHAN/KEBERSIHAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan perlunya

Lebih terperinci

Pengaruh Stasiun Peralihan Antara Terhadap Pengelolaan Sampah Permukiman di Kecamatan Tambaksari, Surabaya

Pengaruh Stasiun Peralihan Antara Terhadap Pengelolaan Sampah Permukiman di Kecamatan Tambaksari, Surabaya Tugas Akhir 091324 Diajukan Oleh: Nurul Setiadewi 3310100017 Dosen Pembimbing: Welly Herumurti, S.T., M.Sc Pengaruh Stasiun Peralihan Antara Terhadap Pengelolaan Sampah Permukiman di Kecamatan Tambaksari,

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: Andrik F. C. A.

KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: Andrik F. C. A. KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: Andrik F. C. A. L2D 005 341 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota Karanganyar yang terus meningkat disertai dengan peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan manusia sehari-hari

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LIMBAH PADAT / SAMPAH ( REDUCE, RECYCLING, REUSE, RECOVERY )

PENGELOLAAN LIMBAH PADAT / SAMPAH ( REDUCE, RECYCLING, REUSE, RECOVERY ) PENGELOLAAN LIMBAH PADAT / SAMPAH ( REDUCE, RECYCLING, REUSE, RECOVERY ) RECYCLING, REUSE, RECOVERY REDUCE PENENTUAN DAERAH PELAYANAN FUNGSI DAN NILAI KAWASAN Kawasan perumahan teratur dan tidak teratur

Lebih terperinci

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang

Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Fasilitas Pengolahan Sampah di TPA Jatibarang Semarang Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

RINGKASAN ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG

RINGKASAN ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG 1 RINGKASAN ANALISIS PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BANDUNG Berdasarkan data dari PD Kebersihan Kota Bandung Tahun 2009, volume timbulan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP No.933, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP Sampah rumah tangga. Raperda. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEREDUKSI SAMPAH DI KECAMATAN TENGGILIS MEJOYO, SURABAYA TIMUR

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEREDUKSI SAMPAH DI KECAMATAN TENGGILIS MEJOYO, SURABAYA TIMUR PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEREDUKSI SAMPAH DI KECAMATAN TENGGILIS MEJOYO, SURABAYA TIMUR Intan Julia Laksono 1, *), Yulinah Trihadiningrum 1), Yeni Dhokikah 1), Ellina S. Pandebesie 1), dan Sony Sunary

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA MAUMERE

EVALUASI SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA MAUMERE EVALUASI SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA MAUMERE Yohanes R. Maswari dan Sarwoko Mangkoedihardjo Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS Surabaya ryan@enviro.its.ac.id ABSTRAK Tingkat pelayanan persampahan

Lebih terperinci