2. TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Lima belas negara (15) negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak. Jumlah Ramsar Site. Jumlah. Negara. Negara.
|
|
- Lanny Atmadja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konvensi Ramsar Tentang Lahan Basah Secara umum tujuan atau misi dari konvensi Ramsar adalah konservasi dan pemanfaatan secara bijaksana (wise use) melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara bijaksana diseluruh dunia. Indonesia baru memiliki tiga lokasi Ramsar yaitu Taman Nasional Berbak (8 April 1992) dan Taman Nasional Danau Sentarum (30 Agustus 1994) dan Taman Nasional Wasur (16 Maret 2006) (Ramsar Convention Bureu 2010). Taman Nasional Berbak seluas km 2 dan Taman Nasional Danau Sentarum seluas km 2 dan Taman Nasional Wasur seluas km 2 (Wikipedia 2010). Dua lokasi kawasan lahan basah lainnya saat ini masih dalam proses pengusulan ke Biro Ramsar, yaitu Taman Nasional Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut (Nirarita 2009). Indonesia bersama 178 negara lainnya menjadi pendukung perbaikan dan perlindungan lahan basah dalam konvensi Ramsar. Tahun 2010, negara yang menjalankan konvensi Ramsar sebanyak 178 negara dengan jumlah total Ramsar site sebanyak 1908 (Lampiran 1). Lokasi Ramsar site yang terbanyak adalah Inggris (175) diikuti oleh Mexico, Australia dan lainnya (Tabel 1) (Ramsar Convention Bureu 2010). Tabel 1. Lima belas negara (15) negara yang mempunyai Ramsar sites terbanyak. No Nama Negara Jumlah Ramsar Site No Nama Negara Jumlah Ramsar Site 1 UK Ireland 45 2 Mexiko Netherlands 43 3 Australia Canada 37 4 Spain China 37 5 Italy Japan 37 6 Finland France 36 7 Algeria Ukraine 33 8 Algeria 47
2 11 Hingga Oktober 2008, Ramsar list of wetlands of international importance saat ini mencakup lokasi yang dikenal dengan Ramsar sites, keseluruhannya seluas juta ha, meningkat dari sebelumnya lokasi (tahun 2000). Negara dengan jumlah lokasi terbanyak adalah Inggris dengan 175 lokasi, dan wilayah cakupan terluas adalah Kanada yaitu km 2, sementara di Indonesia terdapat 3 lokasi dengan total keseluruhannya km 2 (Damanik 2008). Empat kewajiban utama yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota Konvensi: (1) mendaftarkan lokasi lahan basah yaitu menetapkan sedikitnya satu kawasan lahan basah kedalam Daftar Situs Ramsar (Ramsar list) dan mengupayakan konservasinya termasuk pemanfaatan secara bijaksana; (2) pemanfaatan secara bijaksana yaitu negara anggota konvensi berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana tata ruang Nasional, selain itu juga harus memformulasikan dan mengimplementasikan perencanaan tersebut untuk mengembangkan konservasi lahan basah dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana; (3) perlindungan dan pelatihan, yaitu negara anggota harus menetapkan perlindungan lahan basah, baik yang tercatat ke dalam Ramsar list maupun yang tidak, serta harus mengembangkan pelatihan di lapangan untuk penelitian lahan basah, pengelolaan dan pengamannya; (4) kerjasama internasional, yaitu negara anggota harus saling berkonsultasi satu sama lain mengenai implementasi konvensi, khususnya yang terkait dengan pengelolaan lahan basah di lintas batas negara, sistem air bersama, species bersama/migran (Nirarita et al. 1996) Fungsi dan Keberadaan Lahan Basah Lahan basah adalah tempat di mana air adalah faktor primer yang berperan terhadap lingkungan dan kehidupan kelompok flora dan fauna. Lahan basah terjadi pada saat permukaan air mendekati atau menggenangi permukaan tanah, ataupun pada saat tanah digenangi air dangkal. Lahan basah merupakan salah satu ekosistem yang paling kompleks, sangat produktif dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah yaitu daerahdaerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air
3 12 yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut (Biro Konvensi Ramsar 1997). Wetlands International (2003) menyebutkan lahan basah adalah suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan, di mana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas. Lahan basah sebagai ekoton yaitu suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan dimana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas (Denny 1985 dan Wortington 1976 dalam Davies et al. 1995). U.S. National Wetlands Inventory (Corwardin et al. 1979) batasan lahan basah yakni lahan-lahan peralihan antara sistem daratan dan sistem perairan, dimana keadaan air biasanya terletak pada atau dekat permukaan, atau lahan yang ditutupi oleh perairan dangkal. Lahan basah menurut batasan tersebut, harus memiliki salah satu atau lebih dari ciri-ciri sebagai berikut: paling tidak secara periodik ditumbuhi tumbuhan air; sebagian merupakan tanah tergenang (hydric soils), kondisinya jenuh air atau tertutup oleh air dangkal, paling tidak secara periodik yaitu pada musim tumbuh. Berdasarkan batasan tersebut, lahan basah terdiri atas rawa, daerah pinggir sungai, danau atau hutan bakau, dan rawa di tepi laut. Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (PERMEN ). Kawasan hutan payau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan payau atau jenis tanaman lain yang berfungsi memberikan perlindungan kepada keanekaragaman hayati pantai dan lautan (Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 2 tahun 2006). Lahan basah pesisir meliputi daerah pesisir yang jenuh atau tergenang air, yang umumnya payau atau asin, baik secara tetap atau musiman; umumnya terpengaruh oleh pasang surut air laut atau limpasan air tawar. Fungsi hutan mangrove dapat dibagi atas fungsi fisik, biologi dan komersial. Fungsifungsi tersebut antara lain adalah; (1) fungsi fisik yaitu menjaga garis pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai; (2) fungsi biologi yaitu sebagai tempat asuhan, dan berkembang biak bagi berbagai spesies udang, ikan
4 13 dan binatang lain, tempat berlindung bagi sejumlah besar spesies burung dan sebagai habitat kehidupan liar; dan (3) fungsi komersial yaitu tambak, rekreasi, penghasil kayu (Nirarita et al. 1996). Jenis lahan basah di Indonesia umumnya lahan basah palustrin, meliputi tempat-tempat yang bersifat merawa (berair, tergenang atau lembab), misalnya hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, dan rawa rumput atau rawa mangrove (WI-IP 2002). Lahan basah alami dalam peneliian ini adalah hutan mangrove dan yang dimaksud lahan basah buatan adalah ekowisata, tambak dan sawah. Lahan basah buatan (human made wetlands) adalah suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk akibat intervensi manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja (Wibowo et al. 1996) Potensi dan Kondisi Ekosistem Lahan Basah Menurut Green (1998), beberapa hal penting pada lahan basah adalah: hidrologi, flora, fauna, kualitas air, penggunaan lahan, tanah dan substrat serta air tanah. Dalam penelitian ini, yang diamati adalah flora, fauna, geologi termasuk akresi dan abrasi, serta penggunaan lahan. Kriteria Ramsar adalah kriteria identifikasi lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional atau dapat dikatakan, suatu lahan basah dapat diidentifikasikan sebagai daerah yang mempunyai kepentingan internasional apabila paling sedikit memenuhi salah satu kriteria Ramsar tersebut diatas. Burung air yang dimaksud dalam Konvensi ramsar adalah burung-burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah (Ramsar 1971). Vegetasi di lahan basah dapat memperlambat aliran air sehingga mempercepat pengendapan sedimen dan menjernihkan air. Di samping itu vegetasi juga mampu menyerap unsur hara dan bahan pencemar yang berlebihan sehingga dapat menjaga kualitas air. Kriteria untuk identifikasi lahan basah dengan kepentingan internasional (Ramsar Resolution COP VIII ), terdapat empat kelompok kriteria pengidentifikasian suatu kawasan lahan basah sebagai kawasan lahan basah yang memiliki nilai universal penting (untuk tercatat kedalam Daftar Situs Ramsar/Ramsar list) (Tabel 2).
5 14 Tabel 2. Kriteria Ramsar untuk kepentingan internasional. A. Keterwakilan langka atau unik, yaitu : Kriteria 1 : Lahan basah tersebut merupakan suatu contoh keterwakilan, langka atau unik dari tipe lahan basah alami atau yang mendekati alami, sesuai dengan karakteristik wilayah biogeografisnya. B. Konservasi keanekaragaman hayati, yaitu: Kriteria 2 : Lahan basah tersebut mendukung spesies rentan, langka atau hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam. Kriteria 3 : Lahan basah tersebut mendukung populasi jenis-jenis tumbuhan dan/ atau hewan yang penting bagi pemeliharaan keanekaragaman hayati di wilayah biogeografi yang sesuai, Kriteria 4 : Lahan basah tersebut mendukung jenis-jenis tumbuhan dan/ atau hewan yang kritis dalam siklus hidupnya atau merupakan tempat perlindungan bagi jenis-jenis tersebut saat melewati masa kritis dalam siklus hidupnya C. Kriteria khusus Waterbirds (Burung Air), yaitu : Kriteria 5 : Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh atau lebih jenis burung air. Kriteria 6 : Lahan basah tersebut secara teratur mendukung/dihuni oleh individu-individu dari satu spesies/sub spesies burung air hingga 1% dari total populasi spesies/sub spesies burung air tersebut. D. Kriteria khusus ikan, yaitu : Kriteria 7 : Lahan basah tersebut mendukung/dihuni oleh proporsi yang nyata dari species/sub species/famili ikan-ikan asli, perkembangan sejarah kehidupan dan interaksi satu sama lainnya sehingga menunjukan adanya nilai-nilai atau kontribusi penting dari lahan basah tersebut terhadap keanekaragaman hayati global. Kriteria 8 : Lahan basah tersebut merupakan sumber makanan yang penting bagi ikan-ikan, tempat berpijah dan asuhan dan/atau sebagai jalur migrasi untuk stok ikan yang berada di lahan basah tersebut atau tempat lain di luar lahan basah tersebut. Air adalah bagian integral dari ekosistem dan merupakan barang sosial dan ekonomis yang kualitas dan kuantitasnya menentukan sifat penggunaannya. Pengelolaan air secara terpadu dijelaskan sebagai suatu proses untuk mendorong koordinasi dalam pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait, yang bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara merata tanpa mengabaikan kelestarian ekosistem (Global Water
6 15 Partnership 2000). Unsur kunci dalam alokasi air adalah keterlibatan stakeholder dalam proses pembuatan keputusan. Melalui partisipasi stakeholder pemanfaatan dan penggunaan air yang beragam dalam satu areal tangkapan air harus ditetapkan sesuai dengan tujuan alokasi air, yang harus melibatkan ciri ekologi lahan basah yang diharapkan. Tujuan alokasi air ke lahan basah diutamakan untuk kepentingan ekologis atau berkaitan dengan praktek penggunaan secara bijaksana, seperti untuk perikanan (Ramsar Resolution COP VIII ). Kondisi hidrologi merupakan faktor yang sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi lahan basah, walaupun hubungan sebab akibat yang sederhana namun sulit untuk dipertahankan. Kualitas air merupakan hal yang penting diperhatikan dalam pengelolaan lahan basah. Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak dari kualitas air terhadap nilai dari lahan basah seperti salinitas, kekeruhan, oksigen terlarut, keasaman yang berdampak terhadap flora dan fauna di lahan basah (NSW 2004). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0.5 psu, perairan payau antara psu, dan perairan laut psu. Pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran psu. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003). Lahan basah Muaragembong di dominasi oleh atau dibentuk oleh endapan sungai yang ditransfer oleh air. Bahan-bahan tersebut adalah bahan erosi yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS), baik sepanjang sungai maupun anak-anak sungai, khususnya dihulu sungai di mana topografi umumnya berundulasi, kadang-kadang terjal. Proses erosi di pantai adalah bagian dari transportasi sedimen yang tergantung pada profil pantai dan proses pantai di bawah pengaruh gelombang, pasut dan arus (Moore et al. 1993). Erosi di pantai (abrasi) dalam hal ini lahan basah pesisir membentuk serta merubah bentuk pantai dan membentuk morfologi pantai (Bird 1996). Keterpaduan konservasi lahan basah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, keterpaduan konservasi lahan basah dan pemanfaatan secara bijaksana dalam pengelolaan daerah aliran sungai merupakan hal yang penting untuk dimaksimalkan dan dipertahankan agar keuntungan-keuntungan yang
7 16 diberikan lahan basah kepada masyarakat dapat tetap dinikmati (Wetlands International 2003). Zona pantai adalah peralihan yang relatif sempit antara laut dan darat, dimana fungsi dan proses ekologi yang komplek dan intensif yang bergantung pada interaksi antara laut dan darat (Ramsar Resolution VIII ). Zonasi bertujuan untuk membagi wilayah darat dan laut dalam kawasan yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan (incompatible). Zona merupakan suatu kawasan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama untuk suatu peruntukan yang sesuai di daratan dan laut (MCRMP-DKP 2004). Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550/264/KPTS/4/1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Departemen Kehutanan Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu sebesar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Disamping itu dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa kawasan lindung berupa kriteria sepadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proposional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan. Diperkirakan pasang surut pantai Utara Pulau Jawa lebih kurang 1.1 meter, sehingga lebar sepadan pantai berhutan bakau sekitar 143 meter atau 150 meter. Pada lahan basah Muaragembong, yang memungkinkan pembentukan kawasan lindung adalah hutan mangrove. Rehabilitasi lahan basah didefinisikan oleh Whitaker (1998) sebagai: (1) aktivitas pemeliharaan di dalam atau di sekitar kawasan lahan basah alami yang meningkatkan fungsi dan status ekologi, (2) aktivitas yang mengurangi kesenjangan antara keuntungan yang diberikan oleh lahan basah saat ini dengan keuntungan yang seharusnya diberikan, dan (3) bagian dari pengelolaan lahan basah seperti menyembuhkan seseorang dari sakit. Rehabilitasi bukan sebagai
8 17 pengganti konservasi. Rehabilitasi lahan basah mencakup identifikasi prosesproses alami lahan basah dan meminimalkan aktivitas-aktivitas yang mengancam. Proses rehabilitasi mencakup: menilai kondisi eksisting, identifikasi sumberdaya air, identifikasi pengelolaan air, dan memperhatikan aktivitas yang dibutuhkan untuk melakukan rehabilitasi lahan basah (Richardson 1998). Klasifikasi lain yang membagi lahan basah (Duggan 1990) yang antara lain budidaya perairan / perikanan dan pertanian Pengelolaan Lahan Basah Pesisir Untuk mengelola lahan basah secara efektif, diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai isu utama yang akan dilakukan dan dampaknya terhadap lahan basah, flora dan fauna, dan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Isu yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori; (1) lahan basah membutuhkan pengelolaan sumberdaya fisik seperti air dan sumberdaya biologisnya seperti burung, ikan, satwa liar, dan vegetasi, (2) lahan basah dapat dikelola sebagai masalah khusus yang secara umum berasal dari aktivitas antropogenik seperti pengendapan dan polusi, (3) lahan basah juga dapat dikelola dari jasa-jasa lingkunganya seperti rekreasi dan nilai estetika (Gopal 1995). Suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis, dan sosial bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis apabila pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien, berkelanjutan secara ekologi apabila dapat mempertahankan integritas ekosistem, memeliharan daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan berkelanjutan secara sosial apabila pemerataan hasil-hasil, mobilitas sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Serageldin 1996). Pembangunan berkelanjutan dari suatu lingkungan alami adalah mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial di satu pihak dan melindungi alam di pihak lain, dengan kata lain, antara pemanfaatan di satu pihak
9 18 dan konservasi di lain pihak. Banyak kegiatan manusia yang secara ekologis tidak berkelanjutan dan menyebabkan degradasi serta hilangnya lahan basah. Konvensi Ramsar telah mengembangkan panduan untuk pemanfaatan lahan basah secara bijaksana yaitu penggunaan lahan basah yang lestari untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan tetap menjaga sifat-sifat alami dari ekosistem. Konsep pemanfaatan bijaksana tersebut, menunjukkan modifikasi pemanfaatan lahan basah oleh manusia sehingga memberikan keuntungan secara kontinu kepada generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang. Pengelolaan ini harus diadaptasikan kepada masyarakat lokal, agar menjadi budaya dalam pemanfaatan lahan basah yang sifatnya masih tradisional (Biro Konvensi Ramsar 1997). Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah konservasi sumberdaya, harmonisasi pembangunan dengan pemanfaatan lingkungan fisik, meningkatkan kualitas lingkungan, keadilan sosial, partisipasi politik: meningkatkan partisipasi dalam pembuatan keputusan politik dan berinisiatif dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan pada semua level komunitas lokal ke atas (Blowers 1995). Kondisi lahan basah yang kompleks dan membutuhkan waktu yang lama untuk kembali normal apabila mengalami degradasi, memerlukan pengelolaan yang bijaksana. Pengelolaan lahan basah khususnya di negara berkembang sudah banyak dilakukan. Konsep mitigasi lahan basah, dan restorasi dan mitigasi telah menjadi strategi konservasi lahan basah (Swanson 1979; Brinson and Lee 1990). Konsep mitigasi mencakup tindakan preventif dan korektif selama dan setelah kegiatan berlangsung yang berdampak negatif terhadap lahan basah sedangkan restorasi merupakan proses pengembalian fungsi-fungsi ekologis bagi lahan basah yang terdegradasi. Dalam rangka mencapai pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan di daerah, maka terdapat pentahapan unsur-unsur utama kerangka kerja pengelolaan wilayah pesisir terpadu di daerah yang terdiri atas perencanaan strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil seperti pada Gambar 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dilaksanakan dengan tahapan: (1) Rencana strategis, (2) Rencana Zonasi (3) Rencana Pengelolaan (4) Rencana Aksi.
10 19 Gambar 1. Kerangka kerja perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Undang Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Fungsi lahan basah mencakup keanekaragaman hayati, pengisian kembali air tanah, penyimpan air, kualitas air, habitat, dan pemanfaatan langsung lahan basah oleh manusia seperti rumput, stok makanan ternak, perburuan, dan rekreasi. Fungsi lahan basah ini sangat bernilai bagi masyarakat. Variabel ekonomi dan lingkungan ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi nilai sosial lahan basah di kawasan pertaniann (CAST 1994; Berry and Buechler 1993). Dalam buku Handbook of Wetland Management (WWF India 1995), hal yang perlu diperhatikan pengelolaan lahan basah selain pengelolaan habitat dan pemanfaatan lahan basah adalah perhatian terhadap pelibatan masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan, kegiatan monitoring lahan basah, dan penegakan hukum dan kelembagaan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan lahan basah merupakan salah satu indikator kunci keberhasilan. Pelibatan masyarakat dalam hal ini berorientasi pada konsep pembangunan partisipatif dimana masyarakat lokal turut menentukan tujuan dan sasaran kebijakan dan berperan dalam proses untuk mencapai tujuan. Masyarakat yang terkait dengan pengelolaan lahan basah adalah mereka yang berpotensi terkena dampak atau memiliki kekuatan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan, yang disebut sebagai stakeholder (Brown dan Lee 2001). Pendekatan yang dapat dilakukan
11 20 agar masyarakat terlibat dalam kegiatan pengelolaan antara lain: inisiasi konsep kegiatan oleh masyarakat lokal, kepemimpinan lokal yang disegani sehingga dapat mengendalikan kegiatan masyarakat lokal, komposisi sosial-ekonomi masyarakat, dan pendekatan pengelolaan oleh masyarakat secara sukarela (WWF- India 1995). Pengelolaan lahan basah, khususnya lahan basah pesisir membutuhkan pendekatan dari tiga dimensi yakni pengelolaan lahan basah itu sendiri, pengelolaan sumberdaya pesisir dan pengelolaan daerah aliran sungai. Ketiga pendekatan ini harus terpadu dan terintegrasi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pengelolaan suatu ekosistem yang kompleks. Monitoring merupakan proses pengukuran perubahan karakter ekologi pada lahan basah sepanjang periode tertentu. Kegiatan monitoring merupakan bagian dari pengelolaan lahan basah. Kondisi lahan basah dapat dinilai dengan memeriksa kondisi lingkungan dan menyesuaikan hasil pengamatan ini dengan tujuan dan sasaran pengelolaan. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, yang selanjutnya disebut kawasan Jabodetabekpinjur adalah kawasan strategis nasional yang meliputi seluruh wilayah Propinsi Khusus Ibukota Jakarta, sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat, dan sebagian wilayah Propinsi Banten. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Sepadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi pantai. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan (Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008).
12 Hasil Penelitian Terdahulu pada Lahan Basah Muaragembong Beberapa peneliti terdahulu pada lahan basah Muaragembong terdapat pada Bab III dan Bab IV antara lain, Situmorang (1982), Koesoemadinata et al. (1985), Supriyatna et al. (1989), Panjaitan (1997), Rayad (2004), Suhaeri (2005). Ekosistem lahan basah Muargembong memiliki komponen utama penutupan lahan yang lebih terbuka. Kawasan areal tertutup vegetasi dapat dijumpai pada vegetasi hutan mangrove didaerah pesisir garis pantai. Telaah liputan lahan wilayah ini dominan adalah pengelolaan untuk tambak. Selain itu penutupan lahan yang cukup luas juga dijumpai untuk tanaman padi, yang sifat tajuk tanaman relatif memiliki penutupan yang rendah (Sunarto dan Melisch 1994). Hasil penelitian Abdunnur (1997) dan Zudiana (1997) menunjukan bahwa nilai-nilai parameter fisika-kimia air dan parameter fisika-kimia sedimen di Muara Jaya telah melebihi ambang batas baku mutu yang diperbolehkan bagi kehidupan biota laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun Fungsi dan manfaat lahan basah Muaragembong dapat dikategorikan ke dalam manfaat langsung, manfaat ekologi dan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Manfaat langsung adalah meredam pengaruh gelombang dan pasang sehingga mengurangi abrasi pantai dan menjadi lokasi untuk rekreasi, penelitian dan pendidikan. Manfaat ekologi antara lain penambat sedimen dan penjernih air, sedangkan manfaat ekonomi antara lain adalah penyedia air untuk masyarakat, penyedia hasil hutan seperti kayu, bangunan, tumbuhan obat, sumber perikanan terutama ikan dan udang, dan pendukung pertanian (Setiawan 2003) Analisis Kebijakan Dunn (2000) memberikan pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat publik yang bersangkut paut dengan publik dan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pejabat publik sesuai
13 22 dengan kewenangannya. Untuk itu dalam mencapai tujuan terciptanya suatu kebijakan publik yang berpihak pada rakyat serta lahirnya kebijakan yang menjamin partisipasi publik, diperlukan beberapa strategi. Strategi yang perlu dilakukan, adalah penguatan organisasi kelompok masyarakat. Advokasi kebijakan dengan merancang aturan main dalam formulasi kebijakan publik yang proposional dan partisipatif, komunikasi politik dengan memperbanyak ruang interaksi antar pihak dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan publik. Berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, menurut LPP- Mangrove (2000) bahwa berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar atau dekat hutan. Bahkan dengan berkembangnya Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Kayu (IUPHHK), IUPHHT sebagian besar dari mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut secara otomatis menjadi berkurang. Akibatnya masyarakat dimaksud, menjadi kurang peduli terhadap pengamanan hutan. Artinya, aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi terganggu, dan selanjutnya aspek sosialnya juga sulit dipertahankan keabsahannya.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti
Lebih terperinciKRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010
KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove
Lebih terperinciBAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN
BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan
Lebih terperinciDefinisi dan Batasan Wilayah Pesisir
Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem
Lebih terperinciKonservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI
Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan
Lebih terperinciVIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove
VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang
4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata
Lebih terperinciKeputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,
Lebih terperinciPERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
1 Makalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KTMK 613) Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manjemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Pengampu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,
Lebih terperinciPENDAHULUAN BAB I Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan
Lebih terperinciPELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV
xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat
Lebih terperinciBAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan
29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,
Lebih terperinciPENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU
PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh
Lebih terperinciPenataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian
Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air laut baik. Mangrove juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan lain, keunikannya diantaranya
Lebih terperinciAnalisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya
1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada
TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem
Lebih terperinciPENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu
Lebih terperinciadalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,
BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. MenurutHadi(2014), menyebutkan bahwa lingkungan adalah tempat manusia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di
Lebih terperinciGUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU
1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada
Lebih terperinciPembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015
Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk
Lebih terperinciBAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR
BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,
Lebih terperinciKEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)
Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN
Lebih terperinciBAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA
PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,
Lebih terperinciPRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI
PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,
Lebih terperinciSTUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem
Lebih terperinci19 Oktober Ema Umilia
19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung
Lebih terperinciMODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.
MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen
Lebih terperinciPENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM
PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut
Lebih terperincii:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...
itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciOleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006
PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH DAN PENATAAN FUNGSI PULAU BIAWAK, GOSONG DAN PULAU CANDIKIAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciVI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA
VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,
PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa hutan mangrove di Kota Bontang merupakan potensi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove
6 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove Mangrove adalah tumbuhan yang hidup pada daerah pasang surut yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar
Lebih terperincidan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan
KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan
Lebih terperinciPERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Penilaian perlindungan keanekaragaman hayati dalam peringkat hijau dan emas ini meliputi: 1) Konservasi insitu, meliputi metode dan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang
Lebih terperinciRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin
2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove tersebar di wilayah tropis sampai sub tropis dan sebagian besar terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah
Lebih terperinci