p e n g a n ta r hukum NEGARA INDONESIA Oleh Mr. Drs. E. UTRECHT TJETAKAN KEDUA (jang diperbaiki dan ditambah) '' W \I s * . *V*

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "p e n g a n ta r hukum NEGARA INDONESIA Oleh Mr. Drs. E. UTRECHT TJETAKAN KEDUA (jang diperbaiki dan ditambah) '' W \I s * . *V*"

Transkripsi

1 Rp p e n g a n ta r hukum i* t a t a u s a h a NEGARA INDONESIA Oleh Mr. Drs. E. UTRECHT TJETAKAN KEDUA (jang diperbaiki dan ditambah) '' W \I s *. *V* N.V. PENERBITAN DAN BALAI BUKU INDONESIA? DJAKARTA

2 Pengarang termasuk golongan para sardjana hukum Indonesia jang muda. Lahir pada tanggal 30 Oktober 1922 di kota Surabaja. Pada bulan Mai 1941 ia menamatkan peladjaran di Gouvernements Lyceum bagian B di kota Malang dengan beridjazah. Pada bulan Djuni 1941 ia mendaftarkan namanja pada Technische Hogeschool di kota Bandung, tetapi karena petjah peperangan dunia terachir dan karena ia wadjib masuk militie, maka peladiaran dalam djurusan itu tidak dapat diteruskan. Setelah Perang Dunia II, pada tahun 1946, ia meneruskan peladjaran pada Rijksuniversiteit Leiden di Negeri Belanda, dalam djurusan hukum. Pada bulan Pebruari 1951 ia lulus dalam udjian doktoral Indologie dan pada bulan Desember 1951 ia lulus dalam udjian doktoral Hukum Indonesia. lan Kartohadiprodjo FHUl balikan pada: embalian pada tanggal dibawah RpuSetT- (perhari/buku)

3 PENGANTAR HUKU > J - / - ' r? + ' 1 1, * : '.. TATAUSAHA %j * NEGARA IN J * '/V '' O le h Mr. Drs. E. UTRECHT (P e n g a tja ra d i D ja k a rta d a n d i M a k a s a r) Í i " i'. t-» t r j.-: - V n* e, j» _ i>j a N o. B ' i A L!P TJETAKAN KEDUA ' ) 0 / / i V 7 P. '- j N. V. PENERBITAN DAN BALAI BUKU IN DONESIA D ja la n M a d ja p a h it 6 DJAKARTA K c l e v i F ^ q r ^ _ H U K U M U.i i

4 "TFT" PERPUSTAKAAN f >\i i nsw i,k!.'vi i i. U N G G A u \ K V ' ^ N o m o r S i l f ( ( J$h A s a l B u k u t

5 Buku ini kami baktikan kepada: Saudara ARWOKO (Bupati Kepala Daerah Swatantra di Magelang, bekas-pemimpin kami)

6 PERPUSTAKAAN U i HPifïH l o. w S o Tanggil : Ro. Silsilah; 'S o li a z i d < 0 FAK. HUK

7 N o.. i K&ta Pengantar PADA TJETAKAN PERTAMA Jang disadjikan dalam buku ini sebuah diktat peladjaran jang kami berikan pada Kursus Dinas Bagian C Kementerian Dalam Negeri di kota Malang dalam tahun kursus Maret 1953 Pebruari 1954 (Angkatan ke-iii) dan tahun kursus Oktober 1953 September 1954 (Angkatan ke-iv). Sebabnja maka kami menjampaikan diktat ini kepada suatu penerbit ada dua perkara :, Beberapa orang bekas-murid kami minta, supaja kami bukukan peladjaran kami itu sehingga mereka mempunjai pegangan dalam pekerdjaan prakteknja. ' Karena perpindahan kami ke Makassar, kami diminta untuk meninggalkan sebuah diktat hukum administrasi pada Kursus tersebut. Oleh sebab setahu kami di samping buku Prof. P r i n s jang diterdjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh R. K o s i m Adisapoetra Pengantar Ilmu Hukum Tatausaha Negara, penerbit J. B. Wolters 1953 belum ada buku tentang hukum administrasi (hukum tatausaha negara) dalam bahasa nasional dan supaja apa jang disadjikan ini dapat dibatja dalam suatu lingkungan lebih luas, maka kami memberanikan diri membukukannja biarpun kami sadari djuga masih banjak kekurangannja. Bahwasanja jang kami sadjikan ini sebuah diktat, maka akan segera diketahui para pembatja. Ada beberapa hal jang kami bitjarakan dalam-dalam, ada djuga jang hanja kami singgung sepintas-lalu sadja (summier). Balikan ada beberapa perkara jang sama sekali tidak kami kemukakan. Maka dari itu jang kami sadjikan ini tidak boleh dianggap sebagai pembimbing penuh. Sumber-sumber keterangan jang kami pakai dalam menjusun diktat ini ialah hanja buku-buku mengenai hukum administrasi jang terkenal lagi umum dipakai dan beberapa buah karangan jang kebetulan dikumpulkan dalam sebuah himpunan (misalnja, Nederlandsch bestuursrecht, jang dikeluarkan oleh penerbit Samsoo, Alphen a.d. Rijn 1934). Sebabnja, karena di kota Malang tidak ada madjalah melulu mengenai hukum administrasi seperti jang ada di perpustakaan-perpustakaan besar di kota-kota Djakarta, Bandung dan Jogjakarta (sedjak herdirinja Universitit Negara Gadja Mada). Kami beranggapan bahwa buku dapat elkaar aanvullen. Prins-Kosim dan diktat kami ini Sebagai penutup kata pengantar ini maka kami disini mengakui bimbingan pertama jang telah kami peroleh dari Sdr. A r w o k o, bekas-direktur Kursus Dinas Bagian C Kementerian Dalam Negeri di kota Malang dan kini Bupati Kepala Daerah Swatantra di Magelang, dalam lapangan administrasi negara jang sangat berbilit-bilit itu. Maka sudah sewadjarnjalah apabila buku ini kami baktikan

8 kepadanja jang senantiasa akan mendjadi teladan bagi kami sebagai seorang pengabdi sungguh-sungguh pada nusa dan bangsa kita dan jang mempunjai suatu perasaan peri-kemanusiaan jang sangat luhur. Malang, 1 Oktober 1954 E. U. PADA TJETA KAN KEDUA Mengenai tjetakan kedua buku ini dapat dikatakan dua hal jang chusus. P e r t a m a : Dalam kata pengantar pada tjetakan pertama, buku ini digambarkan sebagai suatu diktat jang tidak disusun berdasarkan dokumentasi lengkap. Djuga tjetakan kedua inipun belum berhasil melenjapkan sepenuh-penuhnja kekurangan tersebut, karena pengarang belum berkesempatan waktu sungguh-sungguh untuk mengadakannja. Tetapi nanti, setelah dibandingkan dengan tjetakan pertama, maka akan kelak ternjata bahwa sebagian kekurangan dalam tjetakan pertama itu telah dipenuhi dalam tjetakan kedua ini. Kedua: Nama buku ini mendjadi pengantar hukum tatausaha negara Indonesia. Istilah hukum tatausaha negara untuk menterdjemahkan istilah dalam bahasa Belanda administratiefrecht rupanja telah diterima umum. Walaupun pengarang sendiri tidak dapat menjetudjui dipakainja istilah hukum tatausaha negara itu dan lebih suka menggunakan istilah hukum administrasi (seperti dalam tjetakan pertama), masih djuga pengarang tidak sanggup menjimpang dari apa jang rupanja telah didjadikan kelaziman. Mudah-mudahan djuga tjetakan kedua akan membawa manfaat jang diharapkan! Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masjarakat di Makassar, 1 April 1957 E. U. 6

9 BAB I OBJEK HUKUM TA TA U SA H A N EG A RA 1 : Lapangan tatausaha negara ( a d m i n i s t r a s i ) Hukum tatausaha negara (hukum administrasi, hukum pemerintahan i ) mengudji perhubungan-perhubungan hukum istimewa jang diadakan akan memungkinkan para pendjabat (ambtsdragers) (tatausaha negara, administrasi) melakukan tugas mereka jang istimewa 2. Dari definisi tersebut ternjata bahwa hukum tatausaha negara adalah hukum jang mengatur sebagian lapangan pekerdjaan tatausaha negara. Bagian lain lapangan pekerdjaan tatausaha negara diatur oleh hukum tatanegara (hukum negara dalam arti kata sem pit), hukum privat, dsb. 1 Terdjemahan dari istilah bestuursrecht (bahasa Belanda). Lihatlah verzamelwerk jang diterbitkan oleh S a m s o n pada tahun 1934 (tjetakan kedua pada tahun 1953) di bawah nama Nederlandsch bestuursrecht ; Prof. Mr. G. A. v a n Poelje Inleiding tot het bestuursrecht, 1937 dan Algemene inleiding tot de bestuurskunde, 1953, dan pidato inaugurasi Prof. M r G. J. i a r d a De wetenschap van het bestuursrecht en de spanning tussen gezag en gerechtigheid, Utrecht Dalam kalangan Universitas Negeri Gadja Mada dipakai istilah hukum tata-pemerintahan. - 2 Definisi jang kami kutip dari buku Prof. Dr J.H.A. Logemann Staatsrecht van Nederlands Indie, 1947 hal. 5. Sebagai sebuah definisi jang memperlihatkan kepada kita anggapan tentang isi hukum tatausaha negara pada abad ke-19, dapat kami sebut definisi dari d e l a Bassecour C a a n (diambil dari buku v a n Poelje Beginselen van Nederlandsch administratiefrecht, 1927 hal. X X I I ) : Door administratief regt verstaat men de verzameling van die wetten en reglementen, ingevolge. w.elke de staat is daargesteld of bestuurd wordt, en die dus de betrekkingen regelen, waarin zich ieder burger tegenover de regeering geplaatst ziet. HLeronder worden echter niet gerekend de burgerlijke en strafregtsmagt, als zijnde takken van geheel anderen aard en werking. Deze worden namelijk enkel ingeroepen ia bijzondere gevallen, niet gestadig maar afgebroken : de burgerlijke regtsmagt bij een betwist regt, de strafregtsmagt waar de door de wet bedreigde en vooraf bepaalde straf wordt gevorderd. Alle overige takken van bestuur werken gestadig door eigene beweging (Jang dimaksud dengan hukum tatausaha negara ialah himpunan peraturan-peraturan tertentu jang mendjadi sebab maka negara berfunksi (beraksi). Maka peraturan-peraturan itu mengatur perhubungan-perhubungan antara tiap-tiap warga (-negara) dengan pemerintahnja. Tetapi tidak termasuk himpunan tersebut peraturan-peraturan mengenai pengadilan sipil (perdata) dan pengadilan pidana, kedua-.dua matjam pengadilan itu mendjadi bagian-bagian jang mempunjai sifat dan lapangan pekerdjaan jang sekali-kali berlainan. Pengadilan sipil dan pengadilan pidana itu diadakan dalam halhal istimewa, djadi, tidak untuk senantiasanja, melainkan hanja kadangkadang sadja : pengadilan sipil diadakan dalam hal ada perselisihan tentang sesuatu hak, dan pengadilan pidana diadakan dalam hal didjatuhkan hukuman jang sehelumnja telah diantjamkan oleh undang-undang. Bagianbagian lain dalam lapangan pemerintahan tetap dan terus beraksi karena itu telah mendjadi maksudnja). 7

10 D j adi, pengertian hukum tatausaha negara dan pengertian hukum jang mengatur pekerdjaan tatausaha negara itulah tidak identik! Timbul dua pertanjaan : a. apakah jang dimaksudkan dengan tatausaha negara ( administrasi ) itu? b. apakah jang mendjadi lapangan pekerdjaan tatausaha negara itu? a. Berdasajrkan trias política Montesquieu maka pertanjaan pertama dapat didjawab -setjara membuat definisi sempit : Jang dimaksud dengan tatausaha negara (administrasi) ialah gabungan dj abatan-d j abatan (complex van ambten) 3 jang di bawah pimpinan Pemerintah melakukan sebagian dari pekerdjaan pemerintah (tugas pemerintah, overheidstaak) jang tidak ditugaskan kepada badan-badan pengadilan, badan legislatif (pusat) dan badan-badan pemerintah dari persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen) jang lebih rendah dari pada negara (sebagai persekutuan hukum tertinggi) (jaitu badan pemerintahan dari persekutuan hukum seperti propinsi, daerah istimewa, kabupatèn, kota besar, kota dan desa (negeri, dusun) jang masing-masing diberi kekuasaan untuk berdasarkan inisiatif sendiri (otonomi, swatantra) atau berdasarkan suatu delegasi dari pemerintah pusat ( medebewind ) memerintah sendiri dae- rahnja) 4. Tetapi dalam memperhatikan definisi ini kita tidak boleh lupa hal adanja badan-badan pemerintah jang diserahi tugas lebih dari pada satu matjam sadja (lihatlah di bawah). ' b. Agar dapat mendjawab sedjelas-djelasnja pertanjaan kedua maka perlu orang memndjau perkembangan dalam sedjarah Pada D j aman Pertengahan (abad ke-4 sampai abad ke-15) maka Mengenai pengertian djabatan (ambt) lihatlah Bab III s 2 Dalam buku im hanja dibitjarakan hukum tatancnl 0 kinkan tatausaha negara pusat ( centnl,an.a.ne8a5a jang memungpekerdjaannja dan tidak dibitjarakan hukum t a t ^ 1Stmie^,mendialankan kinkan tatausaha negara masing-masine f],,u negara jang memungdjalankan tugasnja. g daerah ^atantra (otonoom) men- Prof. Mr A.M. Donner dalam Nederl,! u Algemeen deel, 1953 hal. 1, memberi suatu J?. bestuursredw, bagian negara (bestuur) dan tentang lapangan tataus-ihn n tentang tatausaha dasarkan trias politica. Katanja : WannPPr J? gara )ang 4 d a k berkrxjgen op de eigen aard van het bestuur <" n Z " / l'! heldere kijk wil men er goed aan doen zieh even de veel.beie z n>. dan zal hoofd te zetten. Deze gaat weliswaar uit van, u^las > outica «t het in de vorm der verschillende overheid^nn/l > belan8»)ke verschillen yerschillen naar de vorm; tot het weze r T Het blijven echter längs die weg maar ten dele door. VrurhtK- erk.zaamheden dringt men het feit, dat alle overheidswerkzaamheid ^ 61 IS be* te gaan van op twee verschillende vlakken

11 voltrekt. Het vlak van de doel- of van de taakstelling enerzijds; het vlak van de doelverwezenlijking of taakvervulling anderzijds. Deze vlakken corresponderen met de twee fasen waarin zich de overheidsactiviteit afspeelt. In de eerste fase wordt bepaald, welke de richting zal zijn, welke het staatsleven heeft te nemen. Men bevindt zich dan in het vlak van de politiek, van de regering in de hoogste zin van dat woord. De tweede fase is die van de tenuitvoerlegging van de in het politieke vlak genomen beslissingen. Men is dan op het vlak van het bestuur, dat niet heeft te beslissen over de vraag, welke richting de ontwikkeling van het staatsleven heeft te nemen, maar dat uitgaande van de dienaangaande genomen beslissingen alles in het werk heeft te stellen om deze te verwezenlijken en uit te voeren. Het bestuur is daarbij niet aan handen en voeten gebonden ; het geniet dikwijls een zeer ruime vrijheid. Maar het beleid dat wordt gevoerd is bestuurs beleid en valt qualitatief te onderscheiden van het echte regerings beleid. (Djikalau orang hendak memperoleh suatu gambaran djelas tentang sifat sendiri pemerintahan dalam arti kata sempit (tatausaha negara dan lapangan pekerdjaan tatausaha negara), maka tidak salahnja untuk sementara waktu orang itu lupa akan trias politica. Biarpun trias politica itu suatu pandangan jang berdasarkan perbedaan penting jang ada di antara bentuk masing-masing perbuatan pemerintah, masih djuga tjara penjelidikan menurut trias politica tersebut tidak sepenuh-penuhnja dapat membawa orang kedalam inti pekerdjaan masing-masing alat (orgaan) pemerintah. Lebih bermanfaatlah, kalau pandangan orang berpangkal pada hal segala usaha pemerintah dilakukan dalam dua lapangan jang berbeda. Lapangan jang pertama adalah lapangan jang menentukan tudjuan atau tugas. Lapangan jang kedua adalah lapangan merealisasikan tudjuan atau tugas jang telah ditentukan itu. Gambaran tentang kedua lapangan ini sesuai dengan adanja dua fase (tingkatan) jang biasanja dilalui oleh tiap usaha pemerintah. Dalam fase jang pertama ditentukan djalan mana jang harus ditempuh oleh penghidupan negara Dalam mendjalankan usaha ini orang ada di lapangan politik, jaitu di lapangan pemerintahan dalam arti kata jang tertinggi (luas). Fase jang kedua adalah fase menjelenggarakan keputusan-keputusan jang telah dibuat di lapangan politik. Fase jang kedua membawa orang kedalam lapangan tatausaha negara. Dalam fase jang kedua ini orang tidak menentukan djurusan perkembangan penghidupan- negara, tetapi orang berusaha merealisasikan keputusan-keputusan jang telah diambil mengenai djurusan perkembangan penghidupan negara itu. Dalam mendjalankan usaha itu tatausaha negara tidak terikat, melainkan dalam mendjalankan usaha tersebut tatausaha negara sering diberi keleluasan jang agak besar. Tetapi kebidjaksanaan jang didjalankan adalah kebidjaksanaan pemerintahan dalam arti kata sempit (bestuur). Setjara kwalitadf kebidjaksanaan tadi dapat dibedakan dari kebidjaksanaan pemerintahan dalam arti kata tertinggi (luas) (regeren) jang benar-benar). Gambaran jang dibuat D o n n e r (jaitu pemerintahan dalam dua tingkatan) sesuai dengan susunan (inrichting) alat-alat pemerintah (regeerorganen) dalam negara. Memang, dalam garis besar alat-alat pemerintah itu menurut sifat funksi (tugas) jang diserahkan kepada masingmasingnja dapat dibagi dalam dua golongan (tingkatan): alat-alat pemerintah jang menentukan politik negara dan alat-alat pemerintah jang menjelenggarakan politik negara jang telah ditentukan itu. Jang tergolong dalam golongan pertama, misalnja, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakjat, sedangkan jang tergolong dalam golongan kedua, misalnja, Pemerintah pula, Pamong Pradja dan pengadilan (rechterlijke macht). Tetapi kami tidak dapat menerima gambaran Donner, karena menurut anggapan kami dalam gambaran D o n n e r ini kurang ditegaskan kemungkinan diadakan delegasi, misalnja, delegasi perundang-undangan jang dapat diserahkan kepada alat pemerintah jang tugas primer (primair)-nja bukan perundang-undangan. Bukankah, djuga kepada tatausaha negara (administrasi) (sebagai suatu gabungan alat-alat pemerintah tertentu in de sfeer van het besturen )

12 di Eropah Barat seluruh pemerintahan dalam arti kata luas 5 disentralisasikan (dipusatkan) dalam satu tangan, jaitu dalam tangan rad ja; kemudian dalam tangan bureaukrasi (alat pemerintah, regeerapparaat) keradjaan jang pada waktu itu belum mengenal apa jang pada djaman sekarang disebut pembagian kekuasaan (funksi) (functie-verdeling), jaitu dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan judikatif (kehakiman) jang masing-masing mempunjai lapangan pe- kerdjaan sendiri dan jang pada azasnja (in beginsel) terpisahpisah jang satu dari jang lain. Djadi, pada waktu itu radja serentak (tegelijkertijd) mendjadi pembuat peraturan pengeksekutif (mendjalankan dan mempertahankan peraturan) serta hakim (mengadili dalam perselisihan). berdasarkan delegasi dapat diserahkan tugas menentukan politik negara, biarpun menentukan politik negara itu bukan tugas primer dari tatausaha negara? Lebih bermanfaatlah kalau dipakai trias politica. Berdasarkan trias politica, maka bagi masing-masing alat pemerintah dapat kita tentukan sifat funksi (tugas) primer dari alat pemerintah jang bersangkutan. Oleh sebab itu dengan sendirinja dapat kita tentukan pula sifat pokok dari alat pemerintah jang hersangkutan tadi. Selandjutnja, dapat kita tentukan funksi sekunder (secundair) mana jang masih djuga dapat diserahkan kepada masing-masing alat pemerintah di samping funksi primer. Tetapi sifat sekunder itu tidak mengubah sifat pokok dari alat pemerintah jang. bersangkutan jang telah ditentukan oleh sifat funksi primernja! Dalam gambaran D o n n e r kurang ditegaskan doorbraak (pematahan) tingkatantingkatan ( sferen ) tertentu, karena delegasi. Djuga trias politica jang murni (zuivere trias politica) tidak dapat memberi doorbraak tersebut, tetapi peladjaran trias politica lebih memberi aanknopingspunt (lihatlah kritik kami terhadapnja). 5 Pemerintahan dalam arti kata luas dalam bahasa Belanda bewindvoering, regeren (van Vollenhoven Staatsrecht overzee, 1934 hal. 104) meliputi : membuat peraturan ( r.egel-geven ), pemerintahan dalam arti kata sempit ( bestuur ) serta mengadili dalam perselisihan ( geschilbeslechting ). Pemerintahan dalam arti kata sempit meliputi segala hal jang tidak termasuk membuat peraturan atau mengadili dalam perselisihan. 6 Apakah peraturan" ( regeling, verordening ) itu? Agar pembatja dapat mengerti sedjelas-djelasnja apa jang akan dibitjarakan dalam bab ini, maka perlu kami buat uraian singkat mengenai pengertian peraturan itu (lihatlah djuga buku kami Pengantar dalam Hukum Indonesia, 1956, hal ). Jang dimaksud dengan pengertian,,peraturan ialah tiap keputusan pemerintah (overheidsbesluit) jang langsung mengikat tiap penduduk di wilajah negara atau tiap penduduk di sebagian wilajah negara. Peraturan itu dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat (D.P.R.), jaitu undang-undang (pasal 89 U.U.D.S.)o leh Pemerintah, jaitu peraturan Pemerintah (pasal 98 U.U.D.S.) dan undang-undang darurat (pasal-pasal 96 dan 97 U.U.D.S.); oleh pemerintah daerah swatantra (otonoom) bersama-sama dengan perwakilan rakjat daerah swatantra, jaitu peraturan daerah (swatantra); oleh Dewan Pemerintah Daerah, jaitu peraturan D.P.D.; oleh seorang menteri, jaitu peraturan menteri; oleh kepala djawatan atau bagian, jaitu peraturan kepala djawatan atau peraturan kepala bagian. Sifat suatu peraturan ialah mengikat semua penduduk di sesuatu wilajah. Peraturan itu berlaku umum. Peraturan dibuat untuk menjelesaikan beberapa 10

13 Susunan pemerintahan sematjam ini masih terdapat dalam persekutuan-persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeenschappen) di negeri kita (terutama di daerah-daerah diluar tanah Djawa) : pemimpin persekutuan hukum adat mendjadi pembuat hukum, pengeksekutif serta hakim dari masjarakatnja 7. Tetapi lama-kelamaan diadakan d e sentralisasi s; kekuasaan kehakimanlah jang mula-mula jaitu kira-kira pada achir Djaman Pertengahan diambil dari kekuasaan pusat (sentral) jang dipegang radja, selandjutnja, diserahkan kepada suatu badan kenegaraan (staatkundig hal jang (dalam garis besarnja) mengandung kesamaan dan jang akan dan mungkin terdjadi (hal-hal jang masih abstrak dan hypotetis). Tetapi tidak tiap keputusan pemerintah mengikat semua penduduk sesuatu daerah. Di samping keputusan pemerintah jang mengikat semua penduduk sesuatu wilajah, ada djuga keputusan pemerintah jang hanja mengikat satu atau beberapa orang tertentu (jang namanja disebut dengan tegas dalam keputusan itu). Keputusan pemerintah sematjam ini tidak berlaku umum, hanja berlaku bagi orang jang tertentu itu. Keputusan pemerintah sematjam ini biasanja disebut ketetapan ( beschikking ). Tentang ketetapan lihatlah lebih landjut Bab II buku ini. Ketetapan itu berupa : undang-undang, keputusan Presiden, keputusan Dewan Menteri, keputusan seorang menteri atau beberapa orang menteri, keputusan kepala daerah swatantra, keputusan D.P.D., keputusan kepala djawatan atau kepala bagian, keputusan hakim. Ketetapan dibuat untuk menjelesaikan suatu hal konkreto, dan biasanja setelah penjelesaian itu dengan sendirinja tidak berlaku lagi. Dalam ilmu pengetahuan hukum, kita mengenal dua pengertian undangundang, jaitu undang-undang dalam arti kata materiil dan undang-undang dalam arti kata formil. Jang dimaksud dengan suatu undang-undang dalam arti kata materiil ialah tiap keputusan pemerintah tidak perduli bentuknja (tjara terdjadinja) jang menurut i s i nja langsung mengikat para penduduk sesuatu wilajah, djadi, suatu peraturan, Misalnja, peraturan daerah swatantra. Jang dimaksud dengan suatu undang-undang dalam arti kata formil ialah tiap keputusan pemerintah jang karena bentuk nja (tjara t e r d j a d i - nja) dapat disebut undang undang, djadi menurut hukum tatanegara kita tiap keputusan pemerintah jang dibuat oleh Pemerintah bersamasama dengan D.P.R. /pasal 89 U.U.D.S.). Lihatlah a.l. Mr B. t e r Haar Bzn Het adatproces der Inlanders, disertasi Leiden 1915, hal. 33 dan 34. Tentang perkembangan ini di Inggris lihatlah A.F. P o 11 a r d The Evolution of Parliament, Perkembangan- di Inggris ini dapat dianggap mendjadi suatu gambaran umum tentang perkembangan serupa di Eropah Barat. Sebagai standaardwerk mengenai perkembangan kenegaraan dapat kami sebut: F.W. M a i 1 1 a n d Constitutional History of England, 1908 dan L.O. P i k e Constitutional History of the House of Lords from original sources, Untuk Perantjis : Bertrand de Jouv e n e 1 Du Pouvoir, 1945 dan Guglielmo Ferrero Pouvoir : les genies invisibles de la Cite, Untuk Djerman : H. Brunner Grundziige der deutsche Rechtsgeschichte, Untuk Negeri Belanda : Prof. Mr A.M. D o n n e r De geschiedenis van het bestuur dalam Nederl. bestuursrecht, bagian Algemeen deel, 1953 hal ; Prof. Mr W.G. V e g t i n g Het algemeen Nederlands Administratiefrecht, I, II

14 orgtum) jang berdiri tersendiri dan jang tidak dapat dipengaruhi radja tersebut, jaitu kepada badan pengadilan. Pemerintahan radja jang absolut (mutlak), pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-18, masih mengenal suatu kekuasaan pusat dalam tangan radja jang meliputi kekuasaan membuat peraturan serta kekuasaan mendjalankan dan mempertahankan peraturan (sifat mempertahankan peraturan lainlah dari pada sifat mengadili perkara!). Tetapi pada abad ke-17 dan abad ke-18 timbul aliran-aliran jang mengemukakan bahwa dari tangan radja harus diambil kekuasaan membuat peraturan dan, selandjutnja, kekuasaan itu harus diserahkan kepada suatu badan kenegaraan jang berdiri tersendiri dan jang tidak dapat dipengaruhi radja, jaitu kepada perwakilan rakjat. Teori sematjam ini di Inggris dibuat oleh seorang ahli filsafat jang bernama John Locke (th th. 1704) dalam bukunja Two Treatises on Civil Government (th. 1690) 9. Menurut Locke maka kekuasaan negara itu terdiri atas tiga kekuasaan lain, jaitu kekuasaan legislatif,. kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif (disebutnja federative power of the commonwealth ) jang masing-masing terpisah-pisah jang satu dari jang lain. Kekuasaan legislatif meliputi membuat peraturan, kekuasaan eksekutif meliputi mempertahankan peraturan serta mengadili perkara (Locke melihat mengadili sebagai uitvoering ) dan kekuasaan federatif meliputi segala sesuatu jang tidak termasuk lapangan kedua kekuasaan jang disebut pertama itu. Hubungan dengan luar negeri termasuk kekuasaan federatif 10. Pengaruh teori Locke tidak bsgitu besar seperti pengaruh teori seorang ahli hukum bangsa Perantjis jang kemudian membuat djuga suatu pembagian kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan lain. Orang itu C h. d e Montesquieu (th th. 1755), bekas-ketut Parlement (pengadilan) de Bordeaux. Dalam bukunja L Esprit des Lois (th. 1748) (djiwa dari undang-undang) Montesquieu jang sebelum membuat teorinja pernah mengundjungi Inggris dan disiüa mendengar tentang teori L o c k e - mengemukakan suatu pembagian kekuasaan (funksi) negara dalam tiga kekuasaan lain jang masing-masing mempunjai lapangan pekerdjaan sendiri lagi terpisah pisah jang satu darijang lain. Dikatakannja ( L> Esprit des Lois, Buku X I, Bab V I) bahwa II y a dans chaque état trois fortes dei 9 Lihatlah penerbitan Everymans Library, 1949 hal inn A' k 10 Lihatlah tjatatan-tjatatan Donner dalam N e i.ri 1 Algemeen deel, 1953 hal. 9.»Nederl. **«uursrccht, bagian 12

15 pouvoirs, la puissance législative, la puissance, exécutrice des choses qui dépendent du droit civil. Mais les juges de la nation ne font, comme nous avons dit, que la bouche qui prononce les paroles de la loi ; des êtres inaminés qu n en peuvent moderer ni la force ni la rigueur u. Jang dikemukakan disini ialah suatu pemisahan kekuasaan ( séparation des pouvoirs ) dalam tiga kekuasaan lain : kekuasaan legislatif ( la puissance législative ), kekuasaan eksekutif ( la puissance exécutrice ) dan kekuasaan judikatif ( la puissance de juger ). Masing-masing kekuasaan itu mempunjai lapangan pekerdjaan sendiri jang harus dipisah-pisahkan jang satu dari jang lain. Ketiga kekuasaan tersebut ketiga f u n k s i 12 tersebut dipegang oleh tiga badan kenegaraan jang berlain-lainan. Jang mendjalankan funksi (kekuasaan) legislatif ialah perwakilan rakjat, jang mendjalankan funksi eksekutif ialah radja dan jang mendjalankan funksi judikatif ialah badán pengadilan (hakim). Teori Montesquieu mengemukakan suatu t r i a s p o 1 i t i c a 13. Apakah maksud Montesquieu dengan memberi teorinja? Montesquieu mengingini djaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari mereka jang berkuasa dida- lam negara. Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan individu hanja dapat didjamin kalau kekuasaan pusat di tangan radja didesentralisasikan, jaitu dibagi antara tiga badan kenegaraan jang beri l Terdjemahan : Di tiap-tiap negara ada tiga kekuasaan : kekuasaan legislatif, kekuasaan jang mendjalankan hal-hal tentang hukum sipil (mendjalankan undangundang). Tetapi para hakim bangsa seperti telah kami katakan di atas hanja mulut jang mengutjapkan perkataan-perkataan jang tertjantum dalam undang-undang ; mereka adalah machluk jang tidak- berdjiwa dan jang tidak dapat mengubah kekuasaan atau kekuatan undang-undang itu. 12 Dalam praktèk, teori Montesquieu pernah menimbulkan kekatjauan dan kesalahan faham, karena Montesquieu menggunakan istilah puissance (kekuasaan) baik untuk menjatakan funksi maupun untuk menjalakan badan kenegaraan (orgaan) jang mendjalankan funksi itu. Misalnja, dengan kekuasaan legislatif dapat dimaksudkan baik funksi untuk membuat peraturan maupun badan kenegaraan jang diserahi funksi itu (perwakilan rakjat). Hal ini telah menimbulkan kekatjauan dalam beberapa undangundang dasar negara asing, misalnja, dalam undang-undang dasar Keradjaan Belanda (lihatlah pasal-pasal 112, 157, 160, 162, 172 dan 173) (Prof. Mr C.W. v a n d e r P o t Handboek van het Nederlandse staatsrecht, 1950 hal. 283). Dalam U.U.D.S. tidak termasuk kesalahan faham tersebut. Baik pasal 89 maupun pasal 102 menggunakan perkataan kekuasaan dalam arti kata : funksi. 13 Nama trias política itu tidak berasal dari Montesquieu sendiri, tetapi berasal dari Im manuel Kant' (lihatlah buku Prof. Dr J.J., v o n Schmid Grote denkers over staat en recht (van Plato tot Kant), V.U.B.-serie 1948 hal. 230). 13

16 r diri tersendiri dan jang lapangan pekerdjaannja sama sekali terpisah jang satu dari jang lain. Jang dikemukakan M o n t e s q u ieu«ialah suatu pemisahan mutlak antara tiga funksi dan tiga badan kenegaraan itu. Hanja kalau ada pemisahan mutlak itu, maka tentulah tidak ada kemungkinan bagi mereka jang berkuasa didalam sesuatu negara untuk bertindak sewenang-wenang terhadap para warga-negara. Djika tiga kekuasaan dan tiga badan kenegaraan tersebut tidak sekali-kali dipisahkan, maka dengan sendirinja para penguasa didalam negara dapat bertindak sewenang-wenang. Menurut pendapat Montesquieu maka tudjuan pertama dari negara ialah membuat hukum dan mempertahankan hukum sehingga para warganja mempunjai kemerdekaan terdjamin dan masjarakat mendjadi tetap teratur. Tudjuan pertama dari negara bukanlah negara mendjadi suatu alat kekuatan (machtsapparaat) melainkan mendjadi suatu alat hukum (r e c h t s apparaat)! D i negara-negara modern di Eropah Barat, hanja sebagian dari peladjaran Montesquieu mendjadi dasar tata-negara. Demikian djuga di Indonesia, bagian terbesar tata-negara kita didasarkan atas sistim-sistim kenegaraan jang terdapat di Eropah Barat. Di suatu negara modern telah ternjata teori Montesquieu seluruhnja tidak dapat dipraktekkan. Pada djaman sekarang teori Montesquieu seluruhnja dipraktekkan di Amerika Serikat. Tetapi disitupun telah timbul kesukaran. Sekarang timbul pertanjaan: apakah sebabnja maka teori Montesquieu itu tidak dapat dipraktekkan seluruhnja? Pada umumnja dapat dikemukakan dua keberatan terhadap teori Montesquieu itu. Keberatan pertama: Pemisahan mutlak seperti ja n g dikemukakan Montesquieu, mengakibatkan adanja badan kenegaraan jang tidak dapat ditempatkan di bawah pengawasan (controle) (suatu badan kenegaraan lain). Tidak ada pengawasan itu berarti kemungkinan bagi sesuatu badan kenegaraan untuk melampaui batas kekuasaannja dan oleh sebab itu para penduduk dapat dirugikan. Sebetulnja, tiap subjek hukum sebagai pendukung kekuasaan (hak) dengan sendirinja tjenderung melampaui batas kekuasaannja, terutama bila kekuasaan jang diberikan kepadanja tidak tjukup luas agar dapat memperhatikan seluruh kepentingannja. Itulah apa jang disebut para ahli hukum jang berbahasa Inggris: the encroaching nature of power. Maka dari itu di tiap-tiap negara, badan-badan kenegaraan jang masing-masing diberi kekuasaan (funksi) berlain-lainan jang satu dan jang lain perlulah saling mengawasi Djadi 14

17 tidak mungkin diadakan suatu pemisahan mutlak sehingga antara masing-masing bidan kenegaraan itu tidak lagi ada hubungan. Suatu pembagian kekuasaan (lihatlah anggapan K e 1 s e n di bawah ini) memang perlu, tetapi pembagian kekuasaan itu tidak boleh mendjadi suatu pemisahan mutlak. Pembagian kekuasaan itu perlu supaja ada pembagian pekerdjaan antara masing-masing badan kenegaraan, dan pembagiar pekerdjaan tersebut perlu agar kepentingan umum dapat diselenggarakan setjara efisièn (efficient, bermanfaat). Tetapi pembagian kekuasaan itu tidak boleh diadakan serupa hingga tidak lagi ada pengawasan dan kemungkinan untuk mengadakan koordinasi. Dapat dikatakan bahwa di tiap-tiap negara modern tidak ada badan kenegaraan jang tidak ada di bawah pengawasan sesuatu badan kenegaraan lain. Inilah suatu azas jang sangat-sangat penting bagi hukum tatausaha negara! Hanja kalau ada pengawasan antara masing-masing badan kenegaraan dan antara masing-masing kekuasaan (funksi), maka kemerdekaan individu sungguh-sungguh terdjamin. Tidak ada pengawasan berarti kemungkinan supaja bertindak setjara sewenang-wenang. Kekurangan ini dalam teorinja telah dirasa oleh Montesquieu sendiri. Tetapi tidak dibuatnja penjelesaian (oplossing) kekurangan ini. Dikatakannja bahwa praktek sendiri akan membuat penjelesaian itu apabila pada sesuatu waktu dirasa perlu! ( Mais comme, par le mouvement nécessaire des choses, elles sont contraintes d aller, elles seront forcées d aller de concert perkembangan hal-hal itu jang tidak dapat dihindarkan, dengan sendirinja akan memaksa mereka kerdjasama).. Di Amerika Serikat seperti telah kami katakan teori M 0 11 * t e s q u i e u dipraktekkan seluruhnja. Kekuasaan legislatif diberikan kepada suatu Congress (perwakilan rakjat) jang terdiri atas dua tingkatan, jaitu The House of Représentatives dan The Senate; kekuasaan eksekutif diberikan kepada suatu Presidèn (para menten bsrtanggungdjawab kepada Presidèn dan tidak bertanggungdjawab kepada perwakilan rakjat) dan kekuasaan judikatif diberikan kepada Supreme Court (mahkamah agung). Tetapi ketiga badan kenegaraan tersebut jang diberi tiga funksi jang berlain-lainan itu, jang satu dan jang lain dapat djuga saling mengawasi. Sistim pengawasan itu jang diperkembangkan oleh praktèk sangat berbilit-bilit dan terkenal dengan nama checks and balances 14. Tudjuan sistim pengawasan itu supaja ketiga funksi tersebut mendjadi seimbang dalam tiap-tiap keadaan 14 Mengenai sistim checks and balances (mentjotjokkan dan mengimbang) lihatlah a.l. buku Prof. R.M. M a c I v e r The Modern State,

18 tertentu (in evenwicht voor elk bepaald geval). Untuk tiap keadaan tertentu diadakan pengawasan tertentu. Sistim pengawasan tersebut bersifat casuistis. D i Eropah Barat kekuasaan legislatif itu diberikan kepada suatu perwakilan rakjat bersama-sama dengan jang berkuasa mendjalankan funksi eksekutif, dan pengeksekutif itu langsung bertanggungdjawab kepada perwakilan rakjat. D i sistim Eropah Barat pengawasan bersifat lebih erat dari pada sifat pengawasan dalam sistim checks and balances itu. Tetapi sistim jang disebut terachir kadang-kadang memberi kepada pengeksekutif keleluasan lebih besar untuk bertindak setjara tjepat dan bermanfaat dalam keadaan luar biasa atau dalam kedaan darurat. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa sistim checks and balances itu kadangkadang lebih efektif (effectief, berguna), sebabnja pada pokoknja untuk tiap-tiap keadaan tertentu dapat dipertimbangkan funksi mana dan pengawasan matjam apa jang perlu. Sedangkan pengeksekutif sering akibat checks and balances tidak terikat pada suatu pembagian funksi jang telah ditentukan terlebih dahulu dan jang tidak lagi dapat diubah 15. Lagi pula, teori Montesquieu jang mengemukakan suatu pemisahan mutlak antara tiga funksi tersebut, tidak dapat disesuaikan (1928), hal : The division of power, dan hal : Balances and checks. Lihatlah John N. Hazard dalam buku F.M. Marx Foreign Governments. The Dynamics of Politics Abroad, 1949 hal. 447 : Soviet writers express an aversion to the separation of powers, especially in the form of checks and balances hetween the legislative, executive, and judicial branches of government as found in the constitution of the United Setates. The Soviet argument is that this principle was developed in accordance with the theory of Montesquieu as a means of limiting the absolute power of the King of France. Soviet political scientists contend that in a state where only one class survives, there can be no class conflict, and hence there is no need to limit one branch of government by another. All branches are thought to work in the same interest. 15 V a n V o llenhoven Staatsrecht overzee, 1934, hal dan hal. 168 :... practische oplossing: houdt de soortelijk onderscheiden functies uiteen, draagt ze op aan dat orgaan of die organen, die er in het concrete geval en voor de concrete samenleving van een rijkverscheiden volk en land het best voor deugen, en poog tegen overmaat van moeilijk te controleren macht te waken door wat de Amerikanen zoo gelukkig noemen : een stelsel van checks and balances (... penjelesaian praktis : djanganlah tjampurkan masing-masing matjam funksi itu, serahkanlah funksi-funksi itu kepada badan kenegaraan jang paling tjakap menjeesaikan sebaik-baiknja hal-hal konkreto itu dan jang pada umumnja paling tjakap untuk menjelenggarakan kepentingan sesuatu masjarakat nusa dan bangsa jang konkreto, dan djanganlah timbulkan suatu kelebihan kekuasaan jang sukar diawasi. Penghindaran timbulnja kelebihan kekuasaan itu dapat diadakan dengan menggunakan sistim Amerika jang bermanfaat dan jang terkenal dengan nama checks and balances). 16

19 dengan peladjaran kedaulatan rakjat (le er van de v olkssou vereiniteit) dari Rousseau jan g m endjadi dasar sistim representative governm ent dan jan g d juga diterim a sebagai dasar pem erintahan di negara kita (lihatlah pasal 35 U.U.D.S. : K em auan R a k ja t adalah dasar kekuasaan penguasa ). A gar kedaulatan rakjat dapat didjadikan (gerealiseerd) dan terd jam in sungguh-sungguh, m aka perlu ra k ja t senantiasa diberi kem ungkinan dengan perantaraan suatu perw akilan rakjat untuk m engawasi tindakan para penguasa jan g h an ja m endjadi w akil dari rak jat itu. K em ungkinan tersebut tidak ada bila perw akilan rakjat itu dilarang m engawasi, m isalnja, pekerdjaan hakim. A tau dengan kata lain : kem ungkinan tersebut tidak ada bila diadakan suatu pem i sahan m utlak antara para penguasa (badan kenegaraan) dan antara funksi-funksi m ereka. T ata-n egara k ita m engenal apa ja n g terk en al dalam ilm u hukum tatanegara di Inggris dan di A jiierika Serikat dengan nama législative supremacy (d i A m erika Serikat ada suatu ju d icial supremacy, hakim m engudji undang-undang). Pelad jaran M o n te s quieu itu tidak dapat disesuaikan dengan azas législative suprem acy itu. Keberatan kedua: D i suatu negara hukum m odern telah ternjata hal tidak m ungkin diterim a sebagai azas teguh (vast beginsel) bahw a tiga funksi tersebut masing-masing hanja boleh diserahkan kepada satu badan kenegaraan tertentu sadja; atau dengan perkataan lain : tidak m ungkin diterim a sebagai azas tetap bahwa tiap-tiap badan kenegaraan itu h an ja dapat diserahi satu funksi tertentu (funksi legislatif, funksi eksekutif atau funksi ju d ik atif) sadja. D i suatu negara hukum m odern (m oderne rechtsstaat) ada banjak badan kenegaraan jan g diserahi funksi lebih dari pada satu m atjam (kem ungkinan untuk m engkoordinasi beberapa fu n k si-fu n k si). M ungkin peladjaran M ontesquieu dapat dipraktèkkan se- luruhnja di suatu negara hukum jan g pernah digam barkan oleh I m - manuel K a n t 16, jaitu dipraktèkkan di suatu negara hukum dalam arti kata sem pit (rechtsstaat in engere zin ) jan g tugasnja tidak lain dari pada m em pertahankan dan m elindungi ekonom i liberal jan g b erdasarkan azas laissez faire, laissez aller (d jad i, adalah staatsonthou- ding ). D i suatu negara sem atjam itu pekerdjaan pem erintah dengan sendirinja tidak luas, oleh karena suatu negara sem atjam itu bertugas hanja m endjaga keamanan dalam arti kata sempit ( = keamanan sendjata) sadja. 16 Metaphysische Anfangsgründe der Rechtslehre,

20 Suatu negara sematjam itu bertindak sebagai suatu pendjaga ma- lam ( nachtwaker ), merupakan suatu nachtwakerstaat. Pada pokoknja tugas primer suatu nachtwakc-staat adalah mendjamin dan melindungi kedudukan ekonomis dari mereka jang menguasai alat-alat pemerintah (an dalam arti kata luas) nachtwakerstaat itu, jaitu ruling class jang merupakan suatu golongan ekseklusif benar-benar. Nasib dari mereka jang bukan ruling class tidak dihiraukan oleh alat-alat pemerintah dalam suatu nachtwakerstaat. Oleh sebab itu lapangan pekerdjaan alat-alat pemerintah tersebut djuga tidak luas. Adalah pemisahan antara negara dan masjarakat. Tetapi suatu negara hukum modern jang mengutamakan kepentingan seluruh rakjat, jaitu suatu welfare State, tidak dapat berpegangan lagi pada peladjaran Kant itu 17. Lapangan pekerdjaan pemerintah suatu negara hukum modern sangat-sangat luas. Pemerintah suatu negara hukum modern bertugas mendjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnja, jaitu keamanan sosial dalam segala lapangan masjarakat. Dalam suatu welfare State masa ekonomi liberal telah lampau dan ekonomi liberal itu telah diganti oleh suatu ekonomi jang dipimpin oleh pusat (centraal geleide economie). Pada bagian kedua abad ke-19, aliran-aliran sosialistis di Eropah Barat menimbulkan apa jang terkenal dengan nama soal sosial ( sociale kwestie ). Kedudukan sosial dan ekonomis kaum buruh jang telah mendjadi buruk oleh karena perbudakan ekonomis jang dilakukan jnadjikannja akibat dari sistim ekonomi liberal jang sama sekali tidak mengenal pembatasan apapun djuga tidak boleh diteruskan oleh karena bertentangan dengan peri-kemanusiaan dan keadilan sosial. Nasib buruh tidak boleh semata-mata bergantung pada kemauan madjikannja. Lagi pula ditindjau dari sudut teori ekonomi, maka tidak dapat dipertanggungdjawabkan hal pendapatan nasional (nationaal inkomen) ada didalam satu tangan sadja (pendapat teori ekonomi modern). Hal-hal tersebut mendjadi sebab maka pemerintah di suatu negara hukum modern, jaitu suatu welfare State, dipaksa turut-serta setjara aktif dalam pergaulan sosial sehingga kesedjahteraan sosial bagi s e m u a orang, tetap terpelihara. Maka pemerintah welfare State diberi lapangan pekerdjaan jang sangat luas. Pemerintah suatu welfare State diberi tugas menjelenggarakan kepentingan umum, seperti ke- / 17 Pembatjaan tentang welfare State : Prof. Mr C. Weststrate Beschrijvende Economie, 1951 hal. 154^163 dan Ordening van het economische leven, 1947; W.H. Beveridge Full Employment in a Free SocLety, Welfare State disebut djuga service State. 18

21 sehatan rakjat, pengadjaran, perumahan, pembagian tanah, dsb. Banjak kepentingan jang dahulu diselenggarakan orang partekelir, sekarang diselenggarakan pemerintah, karena kepentingan-kepentingan itu telah mendjadi kepentingan u m u m. Sedjak negara turut-serta setjara aktif dalam pergaulan kèmasjà* rakatan, maka lapangan pekerdjaan pemerintah (tatausaha negara) makin lama makin luas is. Pemerintah itu diserahi apa jang disebut D s L e m a i r e bestuurszorg 19 dalam bahasa Indonesia : penjeleng- garaan kesedjahteraan umum jang dilakukan pemerintah. Bestuurszorg ' itu meliputi segala lapangan kemasjarakatan di mana-mana turut-serta pemerintah setjara aktif dalam pergaulan manusia, dirasa perlu. Bestuurszorg itu mendjadi tugas pemerintah welfare State, jaitu suatu negara jang telah meninggalkan sistim ekonomi liberal. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa adanja bestuurszorg tersebut mendjadi suatu tanda jang menjatakan adanja suatu w elfare State. Agar dapat mendjalankan tugas bestuurszorg itu (menjelengga-r rakan kesedjahteraan umum : menjelenggarakan kesehatan rakjat, monjelenggarakan pengadjaran bagi semua warga-negara, m enjelenggara- 18 Pembatjaan : M r M. v a n d e r Goes v a n N a t e r s D e leiding van de staat, 1947; Prof. D r F.J.H.M. v a n d e r V e n Arbeidsrechtelijke en sociaalpolitieke opstellen, 1945 dan ringkasan dalam Inleiding tot het arbeidsrecht, 1946, hal. 9 dan jang berikutnja ; S t e 1 1 i n g a Grondtrekken v.h. Nederl. admin. recht, 1951 hal ; H.J. Hofstra Socialistische belastingpolitiek, 1946; Donner, hal. 35 d.j.b. dan karangan Mr. J. i n t V e 1 d Burger en overheid dalam Bestuurswetenschappen, 1953, hal Het recht in Indonésie, Hukum Indonesia, 1952, hal Lihatlah tentang pengertian bestuurszorg itu djuga buku A.D.A. d e K a t Angelino Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch Indië, 2 djilid, Walaupun dalam buku ini dilukiskan bestuurszorg jang didjalan- Jkan atau jang seharusnja didjalankan pemerintah Hindia Belanda dahulu, jang bersifat suatu pemerintah kolonial, masih djuga penting dibatja, oleh karena didalam buku tersebut terdapat beberapa anggapan tentang pemerintahan jang pada djaman sekarang masih tetap penting dan bermanfaat. Bestuurszorg adalah suatu pengertian modern. Dalam praktek tatausaha negara dan ilmu hukum tatausaha negara di Perantjis terkenal pengertian service public. D i Negeri Belanda, Donner (hal. 2) mengemukakan suatu pengertian jang sama, jaitu pengertian openbare dienst. Dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah dinas publik atau dinas umum. Jang dimaksud dengan service public ialah tiap penjelenggaraan kepentingan umum jang dilakukan suatu badan pemerintah.,scrvice public itu hanja terdapat di suatu negara hukum modern (L i hatlah a.l. Marcel Waline Manuel élémentaire de droit administratif, 1946 hal 271; André Laubadère Manuel de droit administratif, 1947 hal. 19; untuk Negeri Belanda : Prof. M r A.M. Donner Nederlands bestuursrecht, bagian Algemeen deel, 1953 hal. 2 d.j.b.). Bestuurszorg dan 'service public menurut pendapat kami adalah dua pengertian modern jang sama.

22 kan perumahan baik, menjelenggarakan pembagian tanah (sangat penting bagi negara kita jang masih bertjorak suatu negara agraris)) setjara baik, maka pemerintah jang kami maksud tatausaha negara memerlukan kemerdekaan 20; jaitu kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penjelesaian soalsoal genting jang timbul dengan sekonjong-konjong dan jang peraturan penjelesaiannja belum ada. Dalam hal demikian tatausaha negara tidak dapat menunggu perintah dari badan kenegaraan jang diserahi funksi Legislatif. Dalam hal demikian tatausaha negaralah jang membuat peraturan penjelesaian jang diperlukan itu. Dalam hal demikian tatausaha negara tidak dapat diikat oleh peraturan-peraturan perundangundangan jang telah dibuat oleh badan-badan kenegaraan jang diserahi funksi legislatif. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa tatausaha negara dengan begitu sadja dapat melanggar undang-undang. Kemerdekaan tatausaha negara berarti bahwa tatausaha negara dapat mentjari kaidahkaidah baru dalam lingkungan undang-undang atau sesuai dengan d j i w a undang-undang. 20 Lihatlah karangan Prof. Mr W.F. P r i n s Rechtsstaat en administratiefrecht dalam Gedenkboek Rechtswetenschappelijk Hoger Onderwijs in Indonésie , Dr L e m a i r e Het redit in Indonesië, hal. 103: Kenmerkend voor besturen i s, dat het zich niet laat voorschrijven omdat het zich mengen in de vloeiende samenleving vlotheid en dus vrijheid vergt. Bestuur-voeren laat zich dus niet aan een stelsel van wettelijke bepalingen die immers ruime voorzienbaarheid van gebeurtenissen veronderstellen onderwerpen. Het kan dus onmogelijk aan uitvoering van wetten worden gekoppeld. Bestuur is een niet door de wet gebonden taak: niet te bepalen is, wanneer en hoe moet worden opgetreden. Iets anders is, dat taakafbakening tussén diensten en waarborgen van rechten en geregeerden uitsluiten van excessen in het algemeen regels eisen (Inti kata-kata itu : Jang dapat dikemukakan sebagai tanda (sifat) bestuur ialah hal bestuur itu tidak dapat diikat oleh suatu himpunan peraturanperaturan jang telah dibuat, karena turut-serta pemerintah dalam suatu pergaulan manusia jang berbilit-bilit memerlukan suatu djalan jang tak terikat, djadi, memerlukan kemerdekaan. Sebelumnja tidak dapat dikatakan bila dan setjara bagaimana pemerintah jang mendjalankan bestuur itu, harus bertindak. Hanja pembagian pekerdjaan antara masing-masing penguasa dan djaminan-djaminan hak dari jang diperintah - supaja keperkosaan dapat dihindarkan ditentukan dalam peraturan-peraturan (jang 'telah dibuat terlebih dahulu)). Donner (hal. 190) menegaskan: Het gaat bij de hier bedoelde vrijheid dus niet om een vrijheid van de wet want aan de wettelijke voorschriften blijft men steeds gebonden. Er is vrijheid van regel. De wet specificeert niet, wat nu in concreto dient te gebeuren; dat moet het bestuur zelf uitzoeken (Jang dimaksud dengan kemerdekaan itu bukan kemerdekaan terhadap undang-undang, karena tatausaha negara tetap tunduk pada undang-undang. Adalah kemerdekaan membuat penjelesaian. Undang-undang tidak membuat spesifikasi; penjelesaian hal-hal konkreto diserahkan kepada tatausaha negara). Orang Djerman menjebut kemerdekaan tatausaha negara itu freies Ermessen ; orang Perantjis memakai istilah pouvoir discrétionnaire. 20

23 Agar dapat membuat peraturan atas inisiatif sendiri, maka sudah tentu tatausaha negara memerlukan antara lain kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat peraturan). Kekuasaan membuat peraturan atas inisiatif sendiri jang diberi kepada tatausaha negara, terdapat dalam pasal 96 U.U.D.S. jang mengatakan bahwa Pem erintah berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang- undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan jang mendesak perlu diatur dengan segera. D jadi, menurut pasal 96 U.U.D.S. maka Pemerintah (tatausaha negara) berdasarkan inisiatif sendiri dapat membuat peraturan. T etapi kekuasaan itu hanja diberikan kepada Pemerintah untuk m engatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan jang mendesak (darurat) perlu diatur dengan segera. Kekuasaan membuat undang-undang darurat memberikan kepada Pemerintah kemerdekaan bertindak atas inisiatif sendiri djadi, mengenai inisiatif membuat peraturan maka Pemerintah tidak bergantung pada pembuat undang-undang pusat (centrale wetgever) ; tetapi hanja dalam penjelesaian beberapa soal tertentu, jaitu soal-soal darurat jang penjelesaian- nja tidak dapat ditunda setelah D.P.R. dapat m enindjaunja. A chirnja, dapat dikemukakan bahwa inisiatif Pem erintah tersebut tidak dikeluarkan dari pengawasan D.P.R., lihatlah pasal 97 U.U.D.S. (pengawasan repressif = pengawasan jang diadakan setelahnja). Suatu pengawasan jang lebih penting memanglah terletak dalam sistim tanggung-djawab m enteri (m inisteriële verantw oordelijkheid) terhadap D.P.R. (dan sebagai sanksinja : sistim parlem entèr parlem entaire stelsel). D i samping kekuasaan membuat peraturan atas inisiatif sendiri, seperti jang terdapat dalam kekuasaan membuat undang-undang darurat maka Pem erintah (tatausaha negara) diberi kekuasaan membuat peraturan organik (organieke regelingen) pada undang-undang. Hukum tatanegara kita, seperti hukum tatanegara beberapa negara modern lain, mengenal djuga lembaga hukum tatanegara (staatsrechtelijk instituut) jang terkenal dengan nama delegasi perundang-undangan (delegatie van wetgeving). Karena pembuat undang-undang pusat tidak mampu memperhatikan tiap-tiap soal jang timbul di masingmasing daerah kita dari Sumatra Utara sampai dengan Maluku 21 (soal-soal istimewa untuk daerah-daerah jang bersangkutan) dan oleh sebab itu pembuat undang-undang pusat hanja dapat menjelesaikan 21 Masih disesalkan bahwa tuntutan bangsa kita sedjak tahun 1945 : Indonesia dari Sabang ke Merauke, belum dapat didjadikan realitèt. Pada tahun 1956 telah dibentuk propinsi Irian Barat. 21

24 soal-soal jang bersangkutan dalam garis besarnja sadja, maka Pemerintah (tatausaha negara) diberi tugas menjesuaikan peraturan-peraturan jang diadakan pembuat undang-undang pusat, dengan keadaan sungguhsungguh di masing-masing daerah atau menjesuaikan peraturan-peraturan itu dengan keadaan umum jang telah berubah setelah peraturan-peraturan tersebut diadakan (tetapi perubahan itu tidak boleh berupa perubahan azasi). Berdasarkan delegasi perundang-undangan tersebut maka Pemerintah (tatausaha negara) dapat membuat peraturan Pemerintah untuk menjelenggarakan undang-undang (pasal 98 U.U.D.S.) dan dapat membuat peraturan-peraturan lain untuk mengatur selandjutnja beberapa pokok-pokok jang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan lebih tinggi (pasal 99 U.U.D.S.). Harus diingat disini bahwa kekuasaan delegasi jang disebut dalam pasal-pasal 98 dan 99 U.U.D.S. tidak memberikan kekuasaan inisiatif sendiri kepada jang menerima delegasi itu; inisiatif tetap didalam tangan jang, mendelegasikan, jaitu dalam tangan pembuat undang-undang pusat. Djadi, perbedaan antara kekuasaan membuat undang-undang darurat dengan kekuasaan membuat peraturan Pemerintah serta kekuasaan membuat peraturan jang untuk selandjutnja mengatur pokokpokok jang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan lebih tinggi, ialah kekuasaan jang disebut pertama itu kekuasaan jang berdasarkan inisiatif sendiri sedangkan kekuasaan-kekuasaan jang disebut kedua itu kekuasaan berdasarkan delegasi sadja. Inisiatif tetap dalam tangan jang mendelegasikan., Kekuasaan membuat peraturan diberi djuga kepada pemerintah aerah-daerah swatantra (otonoom) sebagian kekuasaan itu mendjadi asaan berdasarkan inisiatif sendiri (otonomi), sebagian adalah ke- ^uasaan berdasarkan delegasi ( medebewind ), supaja pemerintah daera -daerah itu dapat menjelenggarakan sendiri rumah tangganja, sesuai engan hak otonomi jang diberikan kepada pemerintah daerah-daerah itu berdasarkan pasal-pasal U.U.D.S. dan peraturan-peraturan ; organik pada U.U.D.S. Menjerahkan kekuasaan membuat peraturan kepa a pemerintah daerah swatantra ' itu disebut desentralisasi, se angkan menjerahkan kekuasaan membuat peraturan kepada alat-alat tatausaha negara pusat jang lebih rendah (dari pada Pemerintah) dise ut dekonsentrasi (pasal 99 U.U.D.S.) dcn,ga? di;ko,nsentrasi ialah penjerahan sebagian pekerdjaan Earaan f«10»!, ar n ^an ^e^ih tinggi dalam suatu persekutuan kenekennrii k T tk" ndlse Sfneenschap) tertentu negara, propinsi, dsb. M isiln!, ^ L \ rendah dalam persekutuan kenegaraan itu. Ja : D. Kabupaten Malang menjerahkan kekuasaan untuk menje-

25 D i suatu negara hukum modern ada banjak badan kenegaraan jang mempunjai funksi lebih dari pada satu matjam. Tatausaha negara, djika perlu, dapat djuga mengatur, seperti suatu badan jang diserahi kekuasaan legislatif jaitu seperti, menurut peladjaran Montesquieu, suatu perwakilan rakjat. Hal ini oleh karena delegasi kekuasaan membuat peraturan kepada tatausaha negara itu. Dalam beberapa hal tatausaha negara berkuasa djuga mengadili. Para pembatja diingatkan akan peradilan tatausaha. Bila pengadilan (hakim ) menundjuk seorang wali (aanwijzen van een voogd), maka pengadilan melakukan suatu perbuatan memerintah (dalam arti kata sempit) ( bsstuursdaad ) (jurisdiksi voluntèr, voluntaire jurisdictie, oneigenlijke rechtspraak, pengadilan jang pada hakekatnja bukan pengadilan oleh karena bukan penjelesaian perselisihan 23). lenggarakan kooperasi kepada kepala bagian kooperasi Kabupatèn Malang. Bilamana sebagian pekerdjaan pemerintahan dari pemerintah pusat diserahkan kepada suatu persekutuan kenegaraan lebih rendah jang berdasarkan hak otonominja memerintah sendiri daerahnja, misalnja, kota Surabaja, maka penjerahan ini dinamakan desentralisasi. Misalnja, kota Surabaja diberi kekuasaan untuk mengatur padjak speda (Lihatlah Logemann Staatsrecht van Ned.-Indië, hal. 114, noot 2). 23 Lihatlah analysa jang dibuat Donner (dalam Nederl. bestuursrecht, bagian Alg. deel, 1953 hal. 9-13) tentang perbedaan sifat antara bestuur dan rechtspraak. Donner tidak dapat menjetudjui perumusan v a n d e r P o t bahwa rechtspraak itu beslissing van geschillen (penjelesaian perselisihan). Setelah dibuatnja suatu ringkasan historis maka oleh Donner ditarik kesimpulan sebagai berikut:... dat het bestuur bevordering van de openbare zaak is. Het is een doorgaand, continu handelen en optreden, met een bepaald object op het oog, met een project, hoe dat object moet worden bereikt, en een beleid ten aanzien van de middelen en wegen. Daartegenover beweegt zich de rechtspraak van geval tot geval, niet wetend waar zij uit zal komen, ingesteld op onderzoek, niet op handelen. W il men hier van twee functies spreken? Het zou een woordspel zijn, want het gaat niet om verschillende werkzaamheden, ' maar om verschillende methoden en mentaliteiten, al mag toegegeven worden dat de ene methode en mentaliteit zich voor bepaalde werkzaamheden beter leent dan de andere. Dat verschil in methode vloeit echter niet in de eerste plaats voort uit een verschil in w'erkzaamheid, maar uit een verschil van organisatie en bevoegdheid (bahwa pemerintahan (dalam arti kata sempit) itu bertudjuan menjelenggarakan kepentingan umum. Pemerintahan berarti tindakan jang terus-menerus, untuk mentjapai suatu tudjuan tertentu, dengan memakai suatu rentjana untuk dapat mentjapai tudjuan tertentu itu. Pemerintahan adalah djuga kebidjaksanaan mengenai akal dan djalan jang hendak ditempuh. Sebaliknja, pengadilan berarti tindakan jang berputusputus, jaitu mengalih dari perkara jang satu ke perkara jang lain. Jang mendjalankan pengadilan sebelumnja tidak dapat mengetahui apa jang akan mendjadi hasil usahanja^ Pengadilan berdasarkan penjelidikan hal-hal satu per satu, tidak berdasarkan tindakan terus-menerus dengan suatu tudjuan jang sebelumnja telah diketahui. Dapatkah dikatakan bahwa disini ada dua funksi? Djikalau dapat dikatakan bahwa disini ada dua funksi, maka hal itu berarti suatu permainan kata. Disini soalnja bukanlah perbedaan pekerdjaan, tetapi disini soalnja perbedaan metode dan mentalitèt. Benar sekalilah bahwa bagi suatu pekerdjaan tertentu metode dan mentalitèt jang satu 23 r

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Status : Mendjadi UU No.3 Th.1951 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk mengawasi berlakunja Undang-undang

Lebih terperinci

KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN PEMUNGUTAN SUMBANGAN IURAN UNTUK MEMBANTU PEMBIAJAAN PENJELENGGARAAN RADIO REPUBLIK INDONESIA KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Undang-undang 1946, No. 22 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-undang 1946, No. 22 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang-undang 1946, No. 22 PENTJATATAN NIKAH. Peraturan tentang pentjatatan nikah, talak dan rudjuk. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1) bahwa peraturan pentjatatan nikah, talak dan rudjuk seperti

Lebih terperinci

TRANSKRIP Kuliah/Tanja-Djawab/ Pendjelasan J.M. Menko D.N. Aidit Dimuka Peserta Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora Tanggal 18 Oktober 1964

TRANSKRIP Kuliah/Tanja-Djawab/ Pendjelasan J.M. Menko D.N. Aidit Dimuka Peserta Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora Tanggal 18 Oktober 1964 TRANSKRIP Kuliah/Tanja-Djawab/ Pendjelasan J.M. Menko D.N. Aidit Dimuka Peserta Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora Tanggal 18 Oktober 1964 Harian Rakjat Djum at, 30 Oktober 1964 Para Sdr. Kuliah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) No. 5 / 1966 14 Desember 1966 No. 4/D.P.R.D.G.R./1964. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT I BALI Menetapkan

Lebih terperinci

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun TENTANG PEMADAM API

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun TENTANG PEMADAM API Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des.1952. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun 1952. TENTANG PEMADAM API DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA BESAR SURAKARTA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN No. 180 TAHUN 1953 TENTANG PERATURAN TENTANG PEMERIKSAAN-KAS PADA PARA BENDAHARAWAN JANG MENERIMA UANG UNTUK DIPERTANGGUNG DJAWABKAN DARI KANTOR-KANTOR PUSAT PERBENDAHARAAN OLEH PARA

Lebih terperinci

PEMBAGIAN KEKUASAAN ( HORIZONTAL DAN VERTIKAL ) Maulana Mukhlis, S.Sos. M.IP. blog.unila.ac.id/maulana

PEMBAGIAN KEKUASAAN ( HORIZONTAL DAN VERTIKAL ) Maulana Mukhlis, S.Sos. M.IP. blog.unila.ac.id/maulana PEMBAGIAN KEKUASAAN ( HORIZONTAL DAN VERTIKAL ) Maulana Mukhlis, S.Sos. M.IP. blog.unila.ac.id/maulana Pengantar Pembagian Dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat Mencegah kesewenang-wenangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN STAF PELAKSANA PEMILIHAN UMUM DI IRIAN BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN STAF PELAKSANA PEMILIHAN UMUM DI IRIAN BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN STAF PELAKSANA PEMILIHAN UMUM DI IRIAN BARAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk kepentingan kelantjaran pelaksanaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 215 TAHUN 1963 TENTANG PEMBENTUKAN JAJASAN TELEVISI REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 215 TAHUN 1963 TENTANG PEMBENTUKAN JAJASAN TELEVISI REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 215 TAHUN 1963 TENTANG PEMBENTUKAN JAJASAN TELEVISI REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. Bahwa dalam penjelesaian Revolusi Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk mendjamin bagian jang lajak dari

Lebih terperinci

HUKUM ADMINISTRASI (NEGARA) POKOK BAHASAN II

HUKUM ADMINISTRASI (NEGARA) POKOK BAHASAN II HUKUM ADMINISTRASI (NEGARA) Oleh: M. Guntur Hamzah (Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) POKOK BAHASAN II SEJARAH HUKUM ADMINISTRASI KEDUDUKAN HUKUM ADMINISTRASI DALAM KONSEP TRIAS POLITIKA ISTILAH DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 55 TAHUN 1972 TENTANG PENJEMPURNAAN ORGANISASI PERTAHANAN SIPIL DAN ORGANISASI PERLAWANAN DAN KEAMANAN RAKJAT DALAM RANGKA PENERTIBAN PELAKSANAAN SISTIM HANKAMRATA PRESIDEN, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROVINSI BALI ) No. 12/1968 30 Agustus 1968 No. 1/DPRD.GR/1966. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN TABANAN Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1972 TENTANG PENJEMPURNAAN ORGANISASI PERTAHANAN SIPIL DAN ORGANISASI PERLAWANAN DAN KEAMANAN RAKJAT DALAM RANGKA PENERTIBAN PELAKSANAAN SISTIM HANKAMRATA

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa agar segala kegiatan jang akan menundjang pengembangan kepariwisataan jang merupakan faktor potensiil

Lebih terperinci

OLEH: AGUS NGADINO, S.H.,M.H.

OLEH: AGUS NGADINO, S.H.,M.H. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM ADMINISTRASI NEGARA OLEH: AGUS NGADINO, S.H.,M.H. NAMA CURRICULUM VITAE PEKERJAAN JABATAN PENDIDIKAN TERAKHIR BIDANG AGUS NGADINO, S.H.,M.H. DOSEN SEKRETARIS BAGIAN HUKUM

Lebih terperinci

Varia No. 406 Hal (26 Januari) Usmar Ismail tentang kesenian nasional Kegairahan untuk mentjipta harus di-kobar2kan lagi

Varia No. 406 Hal (26 Januari) Usmar Ismail tentang kesenian nasional Kegairahan untuk mentjipta harus di-kobar2kan lagi Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : Varia No. 406 Hal. 4 1966 (26 Januari) Usmar Ismail tentang kesenian nasional Kegairahan untuk mentjipta harus di-kobar2kan lagi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 52 tahun Oktober 1969

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 52 tahun Oktober 1969 LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 52 tahun 1969 16 Oktober 1969 No.6/DPRDGR/A/Per/23 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BULELENG Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

Asas asas Hukum Tata Negara

Asas asas Hukum Tata Negara Asas asas Hukum Tata Negara MAKALAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia di Bawah Bimbingan Dosen Ibu. Mas Anienda TF, SH, M.Hum Oleh : KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

SUMBANGAN ARTIS FILM TERHADAP PEMBANGUNAN DJIWA BANGSA

SUMBANGAN ARTIS FILM TERHADAP PEMBANGUNAN DJIWA BANGSA Kencana, No. 2 Hal. 6 Th I - 1958 Drs. Asrul Sani SUMBANGAN ARTIS FILM TERHADAP PEMBANGUNAN DJIWA BANGSA Tjatatan: Drs. Asrul Sani adalah terkenal sebagai seorang essays jang djuga termasuk salah seorang

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 4 th. Ke IV tgl. 1 Djuni PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 4 TAHUN 1954.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 4 th. Ke IV tgl. 1 Djuni PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 4 TAHUN 1954. Tjetakan ke 2 tgl. Mei 1958. Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 4 th. Ke IV tgl. 1 Djuni 1954. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 4 TAHUN 1954. Tentang PERIZINAN MEMBUAT REKLAME DAN PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI ) No. 43 Tahun 1970 1 September 1970 No: 8/P/LK/DPRD-GR/1970 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN KARANGASEM Menetapkan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah 1950 No. 37

Peraturan Pemerintah 1950 No. 37 Peraturan Pemerintah 1950 No. 37 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNIVERSITEIT GADJAH MADA Peraturan tentang Universiteit Gadjah Mada. Menimbang : bahwa perlu mengadakan peraturan tentang Universitit Negeri

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI ) No. 1/1968 20 Januari 1968 No. 2/D.P.R.D.G.R./1967. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN TABANAN Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

Pidato Bung Karno, 27 Oktober 1965

Pidato Bung Karno, 27 Oktober 1965 Pidato Bung Karno, 27 Oktober 1965 by Hersri Setiawan on Wednesday, June 13, 2012 at 6:20am Penerbitan Chusus 389 DEPARTEMEN PENERANGAN R.I Amanat Presiden Sukarno dihadapan wakil-wakil Partai Politik

Lebih terperinci

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 5

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 5 Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 5 No. 5 Tahun 1971 DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KOTAMADYA SURAKARTA Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 29 tahun Mei 1969

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 29 tahun Mei 1969 LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 29 tahun 1969 28 Mei 1969 No. 6 a 1/DPRDGR/1966. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BULELENG Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

BAB I OBJEK, DJUMLAH DAN TERUTANGNJA PADJAK. Pasal 1

BAB I OBJEK, DJUMLAH DAN TERUTANGNJA PADJAK. Pasal 1 III. I. ORDONANSI PADJAK PERSEROAN 1925. Stbl. 1925 No. 319; Stbl. 1927 No. 137; Stbl. 1930 No. 134; Stbl. 1931 No. 168; Stbl. 1932 No. 196 dan 634; Stbl. 1934 No. 106 dan 535; Stbl. 1938 No. 155 dan 319;

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 37/1968 31 Desember 1968 No. 4/D.P.R.D.-G R./1965 Pasal 1. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT I BALI Menetapkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1958 TENTANG PENGGUANAAN LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1958 TENTANG PENGGUANAAN LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1958 TENTANG PENGGUANAAN LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa perlu diadakan peratuaran tentang penggunaan Lambang Negara

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 1 TAHUN 1955.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 1 TAHUN 1955. Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan. 1955. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 TAHUN 1955. Tentang TANDA-NOMOR DAN SURAT-TANDA-NOMOR BAGI KENDARAAN BERMOTOR DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 8

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 8 Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 8 No.10/ 1971 DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KOTAMADYA SURAKARTA Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 51 tahun Oktober 1969

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 51 tahun Oktober 1969 LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 51 tahun 1969 16 Oktober 1969 No. 4/DPRDGR/A/Per/23 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BULELENG Menetapkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930)

UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930) UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930) Mengubah Peraturan Uap No. 342 tahun 1924 Menimbang bahwa dianggap perlu untuk menindjau kembali Peraturan Uap jang ditetapkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI ) No. 10/1963 13 April 1963 No.5 /DPRDGR/1963. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BADUNG Meretapkan Peraturan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERBEKALAN DAN PERHUBUNGAN PADA LEMBAGA PEMILIHAN UMUM

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERBEKALAN DAN PERHUBUNGAN PADA LEMBAGA PEMILIHAN UMUM KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1970 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PERBEKALAN DAN PERHUBUNGAN PADA LEMBAGA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk kepentingan

Lebih terperinci

PENGUSAHA NASIONAL SWASTA, DJADILAH PENJUMBANG KONSTRUKTIF UNTUK JPENJELESAIAN REVOLUSI!

PENGUSAHA NASIONAL SWASTA, DJADILAH PENJUMBANG KONSTRUKTIF UNTUK JPENJELESAIAN REVOLUSI! PENGUSAHA NASIONAL SWASTA, DJADILAH PENJUMBANG KONSTRUKTIF * UNTUK JPENJELESAIAN REVOLUSI! ersitas Indonesia nkultasssastra a jf Perpustakaamf 7 a :r p u xs t a k a.a n [ j^ J L T A S S A S T R \ jjfcpakxbmen

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI ) No. 66 tahun 1970 20 November 1970 No: 11/DPRD-GR/A/Per/29 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BULELENG Menetapkan

Lebih terperinci

Pembagian Kekuasaan. Horisontal: Vertikal: Negara kesatuan (Unitary) Negara federal (Federal) Negara konfederasi (Confederation)

Pembagian Kekuasaan. Horisontal: Vertikal: Negara kesatuan (Unitary) Negara federal (Federal) Negara konfederasi (Confederation) MATERI KULIAH 1. PEMBAGIAN KEKUASAAN (8 Feb), 2. KEKUASAAN EKSEKUTIF (15 Feb), 3. KEKUASAAN LEGISLATIF (22 Feb), 4. KEKUASAAN YUDIKATIF (1 Mar), 5. LEMBAGA NEGARA & ALAT NEGARA (8 Mar), 6. STATE AUXILIARY,LPND,

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1 Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 TAHUN 1954, TENTANG SURAT MENGEMUDI KENDARAAN TIDAK BERMOTOR. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI )

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI ) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI ) NO. 7/1963 27 Pebruari 1963 No. : 6/DPRD-GR/1962,- Keputusan :Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong Rojong Daerah Tingkat II Buleleng

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI MUDA AGRARIA NOMOR 15 TAHUN 1959 TENTANG

PERATURAN MENTERI MUDA AGRARIA NOMOR 15 TAHUN 1959 TENTANG PERATURAN MENTERI MUDA AGRARIA NOMOR 15 TAHUN 1959 TENTANG PEMBERIAN DAN PEMBAHARUAN BEBERAPA HAK ATAS TANAH SERTA PEDOMAN MENGENAI TATA-TJARA KERDJA BAGI PEDJABAT-PEDJABAT JANG BERSANGKUTAN Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 13 tahun 1970 29 April 1970 No. 2/DPRDGR/A/Per/15. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BULELENG Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN DJEMBRANA

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN DJEMBRANA LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 5 tahun 1969 27 Pebruari 1969 No. : 6/Kep/D.P.R.D.G.R./1968 Keputusan : Dewan Rakjat Daerah Gotong Rojong Kabupaten Djembana Tanggal

Lebih terperinci

1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum

1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum 1. Asas Pancasila 2. Asas Kekeluargaan 3. Asas Kedaulatan Rakyat (Demokrasi) 4. Asas Pembagian Kekuasaan 5. Asas Negara Hukum A. Bentuk negara (staats-vormen) B. Bentuk Pemerintahan (regeringsvormen) C.

Lebih terperinci

Ilmu Administrasi Negara Semester IV Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Ilmu Administrasi Negara Semester IV Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Ilmu Administrasi Negara Semester IV Fakultas Ilmu Sosial & Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 1 Pokok Bahasan 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara 2. Lapangan pekerjaan Administrasi Negara

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI ) No. 16/1963 20 April 1963 No. 7/DPRD-GR/1963.- DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BADUNG Menetapkan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN - NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN - NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN - NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 40, 1955. BEA-MASUK DAN BEA-KELUAR-UMUM. PEMBEBASAN. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1955, tentang peraturan pembebasan

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 6 TAHUN 1954.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 6 TAHUN 1954. Tjetakan ke 2 tgl. 1 Mei 1958. Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 6 TAHUN 1954. Tentang TAMAN PEMAKAIAN PEMELIHARAAN DAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 9 tahun 1969 24 Pebruari 1969 No. 1/DPRDGR/67. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BANGLI Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

FILM & SENSOR. Ditindjau dari sudut kreasi

FILM & SENSOR. Ditindjau dari sudut kreasi Sumber : Aneka No. 25/VIII/1957 Berikut ini dihidangkan buat para pembatja Aneka sebuah naskah jang tadinja adalah prasarana jang di utjapkan oleh sdr. Asrul Sani dalam diskusi besar masalah sensor, diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1967 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1967 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1967 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuatan ekonomi potensiil jang dengan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1.

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1. No.6/ 1959. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. menetapkan peraturan-daerah sebagai berikut : PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1. (1) Dalam

Lebih terperinci

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang Mulia Hakim Majelis, atas permintaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam perkara sengketa wewenang antara

Lebih terperinci

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 1 UNDANG-UNDANG GRASI (Undang-Undang tgl. 1 Djuli 1950 No. 3.) LN. 50-40: (mulai berlaku. 6-7-'50.) Anotasi: Dg. UU ini, dicabut: Gratie Regeling, S. 1933-2; PP No. 67 th. 1948 tentang permohonan grasi;

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH TINGKAT II BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1961 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANDJAR

PERATURAN DAERAH TINGKAT II BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1961 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANDJAR PERATURAN DAERAH TINGKAT II BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1961 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANDJAR Menetapkan Peraturan Daerah Jang Berikut : PERATURAN DAERAH TENTANG MENGADAKAN

Lebih terperinci

Pengertian Hukum Tata Negara

Pengertian Hukum Tata Negara NUR RO IS,S.H.,M.H. Pengertian Hukum Tata Negara Hukum Tata Negara Urusan Penataan Negara Struktur Kenegaraan Substansi Norma Kenegaraan Mekanisme hubungan antar stuktur Mekanisme hubungan antar struktur

Lebih terperinci

Amanna Gappa Amanna Gappa, Vol. 25 No. 2 September 2017 P-ISSN: , E-ISSN: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Amanna Gappa Amanna Gappa, Vol. 25 No. 2 September 2017 P-ISSN: , E-ISSN: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin amn gp Amanna Gappa Amanna Gappa, Vol. 25 No. 2 September 2017 P-ISSN: 0853-1609, E-ISSN: 2549-9785 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Menyoal Diskresi yang Terpasung (Mengkritisi Undang- Undang Administrasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG 1950 No. 4 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG 1950 No. 4 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG 1950 No. 4 Berita Negara RI No... Tahun 1950 PENGADJARAN. Peraturan tentang dasar pendidikan dan pengadjaran disekolah. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:bahwa perlu ditetapkan

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 2

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 2 Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 2 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 8 TAHUN 1953 TENTANG TUGAS BELADJAR. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA BESAR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1970 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATAKERDJA BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENTJANA NASIONAL

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1970 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATAKERDJA BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENTJANA NASIONAL KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1970 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATAKERDJA BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENTJANA NASIONAL PREISDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Program

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG (UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 17 TAHUN 1951) SEBAGAI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHAESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1954 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP ORANG ASING YANG BERADA DI INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1954 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP ORANG ASING YANG BERADA DI INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1954 TENTANG PELAKSANAAN PENGAWASAN TERHADAP ORANG ASING YANG BERADA DI INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa perlu diadakan peraturan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO 129 TAHUN 1957 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO 129 TAHUN 1957 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NO 129 TAHUN 1957 KAMI, PRESIDEN Menimbang : bahwa berhubung dengan diadakannja Kementerian Peladjaran perlu menindjau kembali susunan dan lapangan pekerdjaan Kementerian Perhubungan.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1964 TENTANG PERUBAHAN DAN TAMBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 224 TAHUN 1961 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAGIAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

ABSTRACT. Kata Kunci: Negara, Adminsitrasi Negara, Ilmu Administrasi Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara.

ABSTRACT. Kata Kunci: Negara, Adminsitrasi Negara, Ilmu Administrasi Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara. Pemahaman Konseptual tentang Hukum Administrasi Negara dalam Konteks Ilmu Hukum ========================================================== Oleh: Bahder Johan Nasution ABSTRACT In a broad sense, Public

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 25 tahun 1970 17 Djuli 1970 No. 43/PD/DPRDGR/1969. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI BALI Menetapkan peraturan

Lebih terperinci

Objek Hukum Tata Usaha Negara

Objek Hukum Tata Usaha Negara Modul 1 Objek Hukum Tata Usaha Negara Dra. Dartim Nan Sati M PENDAHULUAN elalui Modul 1, Objek Hukum Tata Usaha Negara ini, Anda akan dapat mendalami empat hal yang berhubungan dengan Hukum Tata Usaha

Lebih terperinci

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA A. SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER Sistem pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROVINSI BALI ) No. 11/1968 21 April 1968 No. 510 a/dprdgr/a/ii/4/23. LAMPIRAN dari surat keputusan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Gotong Rojong

Lebih terperinci

BAB III SUMBER HUKUM

BAB III SUMBER HUKUM BAB III SUMBER HUKUM A. Pengertian Sumber Hukum Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan

Lebih terperinci

HAN Sektoral Pertemuan Pertama Tindakan Administrasi Negara Sumber: Pak Harsanto Nursadi

HAN Sektoral Pertemuan Pertama Tindakan Administrasi Negara Sumber: Pak Harsanto Nursadi HAN Sektoral Pertemuan Pertama Tindakan Administrasi Negara Sumber: Pak Harsanto Nursadi Negara adalah organisasi kekuasaan (matchtenorganisatie). Maka HAN sebagai instrumen untuk mengawasi penggunaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROVINSI BALI ) No. 22/1968 18 Nopember 1968 No. 1/SK/DPRD-GR/1968 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN GIANYAR K E P U T U S A

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL

LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL LEMBAGA NEGARA DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN HORISONTAL R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 16/5/2007 SUB POKOK BAHASAN Memahami Macam

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROPINSI DJAWA-TIMUR Seri A DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI DJAWA TIMUR

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROPINSI DJAWA-TIMUR Seri A DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI DJAWA TIMUR 30 TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROPINSI DJAWA-TIMUR Seri A Oktober 1968 6 Peraturan Daerah Propinsi Djawa Timur Nomor 3 tahun 1966 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI DJAWA TIMUR Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. :18/1969. 2 Mei 1969 No.5/DPRD-GR/1966 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG PROPINSI BALI Menetapkan Peraturan Daerah sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sebelumnya diadakan pemilihan umum perlu

Lebih terperinci

Indonesia Jakarta, FH. UI, hal Muh. Kusnadi dan Ha y Ibrahim, 1980, Pengantar Tata Hukum

Indonesia Jakarta, FH. UI, hal Muh. Kusnadi dan Ha y Ibrahim, 1980, Pengantar Tata Hukum PENGERTIAN HTN A. Istilah Hukum Tata Negara Indonesia yang membicarakan masalah-masalah Hukum Tata Negara yang berlaku pada saat sekarang di Indonesia disebut sebagai Hukum Tata Negara Positif, hal ini

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI ) No. 63 tahun 1970 10 November 1970 No: 2/PD/DPRD-GR/1970. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BANGLI Menetapkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN KONGRES NASIONAL LEKRA I

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN KONGRES NASIONAL LEKRA I KEPUTUSAN-KEPUTUSAN KONGRES NASIONAL LEKRA I I Resolusi atas Lapiran Umum Setelah bersidang 5 hari lamanja dan mempertimbangkan setjara mendalam dan seksama Laporan Umum Pimpinan Pusat Lekra jang disampaikan

Lebih terperinci

Mengenal Hukum Tata Pemerintahan

Mengenal Hukum Tata Pemerintahan Modul 1 Mengenal Hukum Tata Pemerintahan Dra. Puji Astuti, M.Si. PENDAHULUAN M odul 1 ini merupakan bahasan pengantar untuk memahami apa sesungguhnya yang menjadi kajian dari Hukum Tata Pemerintahan (HTP).

Lebih terperinci

Jahja pertama 1 Kenjataan hidup jang kekal, salam doa Nasehat akan hidup ditengah terang dengan kebenaran, mendjadi tanda persekutuan dengan Allah

Jahja pertama 1 Kenjataan hidup jang kekal, salam doa Nasehat akan hidup ditengah terang dengan kebenaran, mendjadi tanda persekutuan dengan Allah Jahja pertama 1 Kenjataan hidup jang kekal, salam doa 1 Maka barang jang sudah ada daripada mulanja, barang jang telah kami dengar, barang jang telah kami tampak dengan mata kami, barang jang telah kami

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI ) No. 25/1963. 8 Djuni 1963. No. 12/DPRD/1962. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BULELENG Menetapkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 30/1963 5 Juli 1963 No : 2/DPR/1962 DEWAN PERWKAILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BULELENG Menetapkan peraturan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1954 TENTANG MENGUBAH "INDONESISCHE COMPTABILITEITSWET" (STAATSBLAD 1925 NO. 448) DAN "INDONESISCHE BEDRIJVENWET" (STAATSBLAD 1927 NO. 419) PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 31/1963 11 Juli 1963 No : 1/DPRD.gr/1962 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANGLI Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) No. 1 / 1966 14 Desember 1966 No. 8/D.P.R.D.G.R./1962 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT I BALI Menetapkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN PELA DI MALUKU-TENGAH DAN DI NEDERLAND

HUBUNGAN PELA DI MALUKU-TENGAH DAN DI NEDERLAND HUBUNGAN PELA DI MALUKU-TENGAH DAN DI NEDERLAND Suatu tindjauan singkat oleh Dr. Dieter Bartels Karangan ini adalah berdasarkan penelitian anthropologis jang dilaksanakan oleh penulis selama tahun 1974-75

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) No. 3 / 1966 14 Desember 1966 No. 1/DPRD.GR./1962. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANGLI Menetapkan

Lebih terperinci

Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Herlambang P. Wiratraman 2017

Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Herlambang P. Wiratraman 2017 Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia Herlambang P. Wiratraman 2017 Pokok Bahasan Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Wewenang Presiden dan Wakil Presiden Kedudukan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, UNDANG-UNDANG REPUBLIK SERIKAT NOMOR 7 TAHUN 1950 TENTANG PERUBAHAN KONSTITUSI SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT MENDJADI UNDANG- UNDANG DASAR SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10 Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10 No.11/ 1971 DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KOTAMADYA SURAKARTA Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH BAGI POLITIK HUKUM. Negara perlu disatu sisi karena Negara merupakan institusi pelembagaan kepentingan umum dan di lain

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) No. 7 / 1966 14 Desember 1966 No. : 11 / DPRD G.R. / 1964. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT I BALI Menetapkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 9/1968 19 April 1968 No. 3/P/DPRDGR/1968 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN KARANGASEM Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEWENANGAN PRESIDEN DENGAN DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA PERUBAHAN UUD RADJIJO, SH. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI

HUBUNGAN KEWENANGAN PRESIDEN DENGAN DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA PERUBAHAN UUD RADJIJO, SH. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI HUBUNGAN KEWENANGAN PRESIDEN DENGAN DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG PASCA PERUBAHAN UUD 1945 RADJIJO, SH. MH Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract:The amandemen of Indonesia constitution of UUD 1945

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA SERIKAT NOMOR 25 TAHUN 1950 TENTANG HAK PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI-PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, Menimbang:

Lebih terperinci