SURAT PERNYATAAN. Bogor, Juli Adi Hadianto NRP A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SURAT PERNYATAAN. Bogor, Juli Adi Hadianto NRP A"

Transkripsi

1 ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA : PENDEKATAN INPUT OUTPUT MIYAZAWA ADI HADIANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pertumbuhan Sektor Berbasis Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia : Pendekatan Input Output Miyazawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2010 Adi Hadianto NRP A

3 ABSTRACT ADI HADIANTO 1. A Growth Analysis of Forestry Based Sectors and Its Impact on Income Distribution and Employment in Indonesia : Miyazawa Input-Output Approach. Under the Direction of ARIEF DARYANTO 2 and RINA OKTAVIANI 3. Forestry based sectors have role important to economy, but its problems are output of forestry based sectors have decreased during the last one decade which showed from decreasing its contribution to total Gross Domestic Product (GDP). This condition will impact on economy as a whole especially in economic growth, employment, household income and others sectors which have related. One of the strategy to increase its output by increase factors which is become sources of its output growth are consist of exsport exspansion, domestic demand, import substitution and technological change. This research is aimed to (1) analyze sources of output growth in forestry based sectors, (2) analyze impact of increasing output on household income distribution and employment, and (3) analyze linkages of forestry based sectors. This research analysis using the input-output miyazawa model. The model is extension from Indonesia input-output table. Forestry based sectors are divided into five sub sectors such as forestry, sawntimber industry, pulp industry, plywood industry and furniture industry. The results showed that sources of output growth in forestry, sawntimber industry, furniture industry and plywood industry mainly are caused by domestic demand factor, meanwhile in pulp industry is caused by exsport exspansion. Increasing output of forestry based sectors are able to increase household income and employment. Increasing income especially in low income group in rural area. All forestry based sectors except furniture industry, have strong forward linkages. Thre are three sectors which have strong backward linkages are furniture, pulp and plywood industry. Key Words : Input-Output Miyazawa, Growth, Household Income, Employment, Forward and Backward Linkages

4 RINGKASAN ADI HADIANTO. Analisis Pertumbuhan Sektor Berbasis Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia : Pendekatan Input-Output Miyazawa. Dibawah bimbingan ARIEF DARYANTO dan RINA OKTAVIANI. Sektor berbasis sumberdaya alam seperti sektor berbasis kehutanan masih menjadi andalan dalam pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Selama ini peran sektor berbasis kehutanan telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa, sumber pendapatan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya hutan yang berlangsung hampir lebih dari tiga dekade selama ini, berdampak pada degradasi kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap menurunnya output hasil hutan terutama kayu dan hasil kayu olahan lainnya. Menurunnya output sektor berbasis kehutanan tersebut dapat dilihat dari penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) dan kontribusinya terhadap PDB nasional. Kondisi ini berdampak secara langsung terhadap pertumbuhan output, penyerapan tenaga kerja, pendapatan masyarakat terutama yang bekerja di sektor tersebut dan sektor lainnya yang terkait. Oleh karena itu, analisis terhadap pertumbuhan dan faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan menjadi sangat penting sebagai informasi untuk merumuskan strategi peningkatan output sektor berbasis kehutanan ke depan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis pertumbuhan dan sumbersumber pertumbuhan gross output sektor berbasis kehutanan di Indonesia, (2) menganalisis dampak peningkatan gross output terhadap distribusi pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan rumahtangga dan penyerapan tenaga kerja, dan (3) menganalisis keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor perekonomian lainnya. Tujuan pertama dianalisis dengan menggunakan dekomposisi pertumbuhan struktural berdasarkan tabel input-output Indonesia Tahun 2005 dan 2008 dan tujuan kedua dan ketiga dianalisis dengan menggunakan analisis dampak berdasarkan tabel input-output Miyazawa Tahun 2008 yang merupakan pengembangan dari model input-output Indonesia Tahun Sektor berbasis kehutanan dikelompokan menjadi sektor kehutanan (kayu dan hasil hutan lainnya), industri kayu gergajian, industri kayu lapis, industri pulp dan industri mebel dan kerajinan kayu-rotan. Hasil analisis menunjukkan sumber pertumbuhan output selama periode pada sektor kehutanan, industri kayu gergajian, industri kayu lapis dan industri mebel dan kerajinan kayu-rotan sebagian besar disebabkan oleh faktor domestic demand. Besarnya domestic demand untuk sektor kehutanan disebabkan oleh meningkatnya permintaan kayu bulat untuk pasokan bahan baku industri kayu dalam negeri dan adanya larangan ekspor kayu bulat oleh pemerintah sejak tahun Untuk sektor industri kayu gergajian dan industri mebel dan kerajinan dari kayu-rotan, besarnya domestik demand disebabkan karena skala produksi yang kecil (kapasitas terpasang di bawah m 3 ) menyebabkan sebagian besar hasil produksi dialokasikan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Faktor

5 lainnya adalah bertambahnya jumlah penduduk yang mendorong meningkatnya kebutuhan terhadap furnitur dan papan serta berkembangnya sektor properti dalam negeri. Sedangkan pada industri kayu lapis, menurunnya daya saing di pasar ekspor menyebabkan produksi banyak di jual di pasar domestik. Penurunan daya saing kayu lapis Indonesia disebabkan oleh langkanya pasokan bahan baku berkualitas tinggi sehingga dan hadirnya negara negara produsen kayu lapis dunia. Sementara itu sumber pertumbuhan output pada sektor industri pulp lebih besar disebabkan oleh faktor exsport exspansion. Sebagian besar produksi pulp nasional untuk memenuhi permintaan pasar ekspor dan besarnya kapasitas terpasang industri pulp nasional menjadikan Indonesia sebagai produsen utama pulp dunia. Dampak meningkatnya output pada sektor-sektor berbasis kehutanan mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama golongan pendapatan rendah di perdesaan. Khusus untuk sektor industri kayu lapis dan pulp, peningkatan pendapatan juga dirasakan oleh rumahtangga golongan pendapatan sedang di perkotaan. Sektor-sektor berbasis kehutanan memiliki keterkaitan yang cukup tinggi dalam mendorong pertumbuhan sektor hulu-hilirnya.. Sektor kehutanan memiliki keterkaitan ke depan terutama dengan sektor bangunan dan industri kehutanan, keterkaitan ke belakang dengan sektor industri mesin alat angkut dan jasa angkutan. Sektor industri kehutanan memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang terutama dengan sektor bangunan dan industri kehutanan sendiri. Rekomendasi kebijakan yang disarankan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan output sektor-sektor berbasis kehutanan adalah meningkatkan investasi di HTI dalam rangka peningkatan produksi kayu bulat untuk memenuhi kekurangan pasokan bahan baku bagi industri kayu olahan, pengembangan pasar ekspor untuk produk industri kehutanan bernilai tambah tinggi, revitalisasi kelembagaan pemasaran hasil hutan dengan mengefektifkan kembali sistem pemasaran bersama untuk meningkatkan daya saing dan posisi tawar, peningkatan efisiensi produksi dan pengendalian operasi industri khusus pada industri kayu lapis dan pulp untuk mengatasi masalah kapasitas industri yang terlalu besar, sehingga tingkat produksi sejalan dengan pasokan bahan baku lestari sekaligus mengurangi praktek illegal logging. Selain itu, perlu dukungan regulasi dan kebijakan pemerintah di bidang investasi dan pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka mendukung pengembangan sektor-sektor berbasis kehutanan. Hal ini penting dilakukan mengingat sektor-sektor berbasis kehutanan memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama rumahtangga golongan pendapatan rendah dalam rangka pengentasan kemiskinan. Kondisi ini sejalan dengan Triple Track Strategy pembangunan sektor ekonomi yang menitikberatkan pada Pro-Growth, Pro-Employment dan Pro-Poor. Kata Kunci : Pertumbuhan, Distribusi Pendapatan, Penyerapan Tenaga Kerja, Keterkaitan, Tabel Input-Output.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Analisis Pertumbuhan Sektor Berbasis Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Distribusi Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia : Pendekatan Input-Output Miyazawa. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian studi Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan motivasi dalam penulisan tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang sangat membantu kelancaran penyelesaian studi. 3. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku dosen penguji utama yang juga telah memberikan waktu luang dan masukan khususnya tentang analisis kebijakan pada sektor berbasis kehutanan. 4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku dosen penguji wakil program studi. 5. Dwi Nurlia Tjahyani Hadianto, istri yang selalu setia memberikan motivasi bagi penyelesaian tesis ini. 6. Orang Tua, Kakak dan Adik yang telah memberikan do a dan dorongan atas penyelesaian tesis ini. 7. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MA.Ec dan Dr. Ir. Yundi Hafizrianda, M.Si yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian tesis ini. 8. Ir. Tauhid Ahmad, ME atas bantuan data dan motivasinya selama ini. 9. Ibu Aviliani, SE, M.Si yang telah memberikan saran dan motivasi bagi penyelesaian tesis ini. 10. Bapak/Ibu staf pada bagian Neraca Produksi Barang dan Jasa, Badan Pusat Statistik, yang telah memberikan kemudahan data untuk keperluan penulisan tesis ini dan waktu luang atas diskusi yang telah diberikan.

8 11. Bapak Ocid yang telah memberikan motivasi dan saran selama penyelesaian tesis ini. 12. Rekan-rekan : Handian Purwawangsa, Yuhka Sundaya, Santi Chintya, Faisal Ali, Hendra Khaerizal, Muhammad Isbayu, Beginner Subhan dan seluruh staf pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Terimakasih atas kerjasama dan dukungannya dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas khususnya kalangan perguruan tinggi sebagai referensi dalam melakukan penelitian sejenis. Bogor, Juli 2010 Adi Hadianto

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 17 Juni 1979 dari pasangan Mamat Slamet (Almarhum) dan Murnasih yang merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Dwi Nurlia Tjahyani, SE pada Desember 2007 dan saat ini telah dikaruniai seorang anak bernama Aisha Kirana Putri Hadianto. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1991 dari SDN I Lemahabang, Bekasi. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1994 dari SMPN I Lemahabang, Bekasi. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1997 dari SMUN I Cikarang, Bekasi. Selama menempuh studi pada SMUN I Cikarang, penulis mendapat Beasiswa dari Bank Tabungan Negara sebagai siswa berprestasi. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2003 pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh studi S1, penulis mendapatkan beasiswa dari Australian and New Zealand Association (ANZA). Penulis juga aktif pada berbagai organisasi mahasiswa antara lain Ketua KMS IPB, Dewan Perwakilan Mahasiswa IPB dan Sekretaris Umum HMI Cabang Bogor. Tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2005 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai Dosen pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... iv vi DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Ruang Lingkup Penelitian Keterbatasan Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Pertumbuhan Ekonomi Sumber-Sumber Pertumbuhan Kebijakan Pembangunan Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Kerangka Tabel Input-Output Miyazawa Keterkaitan Antar Sektor Dekomposisi Pertumbuhan Struktural dalam Sistem Input-Output Tinjauan Penelitian Terdahulu III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Teoritis Teori Pertumbuhan Ekonomi Konsep Permintaan Akhir Pengaruh Permintaan Akhir Terhadap Pertumbuhan Pengaruh Pertumbuhan Terhadap Pendapatan dan Lapangan Lapangan Kerja Kerangka Pemikiran Hipotesis... 46

11 IV. METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Struktur Tabel Input-Output Miyazawa Indonesia Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun Agregasi atau Disagregasi Sektor Penentuan Jenis Tabel Transaksi Penyusunan Matriks Inter-Relational Income Multipliers Rekonsiliasi Data Analisis Data Analisis Pertumbuhan Struktural Analisis Dampak Analisis Keterkaitan Antar Sektor V. ANALISIS PERTUMBUHAN GROSS OUTPUT SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Profil Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Profil Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Profil Sektor Industri Kayu Gergajian Profil Sektor Industri Kayu Lapis Profil Sektor Industri Pulp Profil Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Pertumbuhan Struktural Sektor Berbasis Kehutanan Pertumbuhan Struktural Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Gergajian Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Lapis Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Pulp Pertumbuhan Struktural Sektor Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Strategi Peningkatan Pertumbuhan Output Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia ii

12 VI. DAMPAK PERTUMBUHAN OUTPUT SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA Struktur Pendapatan Rumahtangga dan Ketenagakerjaan Struktur Pendapatan Rumahtangga Struktur Ketenagakerjaan Dampak Peningkatan Output Sektor Berbasis Kehutanan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Sektor Industri Kayu Gergajian Sektor Industri Kayu Lapis Sektor Industri Pulp Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan Komposisi Penggunaan Input-Output Sektor Berbasis Kehutanan. 105 VIII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran Saran Kebijakan Saran Penelitian Selanjutnya DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

13 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Nilai Ekspor Sektor Berbasis Kehutanan Tahun Kontribusi Sektor Berbasis Kehutanan Terhadap PDB Nasional Tahun Berdasarkan Harga Konstan Tahun Perkembangan Investasi Asing Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun Perkembangan Investasi Domestik Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun Kerangka Dasar Tabel Input Output Kerangka Dasar Tabel Input Output Miyazawa Agregasi Sektor Pada Tabel Input Output Miyazawa Tahun Struktur Tabel Input Output Miyazawa Tahun Klasifikasi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan Klasifikasi Konsumsi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan Jumlah Pekerja Menurut Lapangan Usaha, Golongan Pendapatan dan Wilayah di Indonesia Tahun Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Sebesar Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja iv

14 18. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Pencipataan Lapangan Kerja Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Meubel dan Kerajinan Sebesar Rp. 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Meubel dan Kerajinan Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Indeks Forward dan Backward Linkages Sektor Sektor Berbasis Kehutanan Tahun v

15 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kuadran Matriks Tabel Input Output Harga Sewa Modal Perubahan Konsumsi Terhadap Output Nasional Hubungan Suku Bunga, Investasi dan Output Nasional Perubahan Nilai Tukar Terhadap Output Nasional Investasi, Pendapatan Nasional dan Harga Upah Riil dan Kesempatan Kerja di Pasar Tenaga Kerja Kerangka Pemikiran Penelitian Proses Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun Produksi Kayu Gergajian Indonesia Tahun Produksi Kayu Lapis Indonesia Tahun Produksi Pulp Indonesia Tahun Radar Chart Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Tahun Radar Chart Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Kayu Gergajian Tahun Radar Chart Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Kayu Lapis Tahun Radar Chart Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Industri Pulp Tahun Radar Chart Sumber Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Meubel dan Kerajinan Tahun Struktur Pendapatan Rumahtangga Menurut Golongan Pendapatan dan Wilayah di Indonesia Tahun Backward dan Forward Linkages Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input-Output Tahun vi

16 20. Backward dan Forward Linkages Sektor Industri Kehutanan Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input Output Tahun vii

17 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Tabel Input-Output Indonesia Tahun Tabel Input-Output Indonesia Tahun Tabel Input-Output Miyazawa Indonesia Tahun Matriks Kebalikan Leontief (I-A) -1 Tabel Input-Output Indonesia Tahun Matriks Kebalikan Leontief (I-A) -1 Tabel Input-Output Indonesia Tahun Matriks Kebalikan Leontief Untuk Matriks Miyazawa (I-M) -1 Tahun Matriks Rasio Penawaran Domestik (μ 0 = I-m) Tabel Input-Output Indonesia Tahun Matriks Rasio Penawaran Domestik (μ 1 = I-m) Tabel Input-Output Indonesia Tahun Hasil Analisis Dekomposisi Pertumbuhan Struktural Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan Tahun Dampak Peningkatan Output Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga Dampak Peningkatan Output Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja viii

18 17. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja Bacward Linkages Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan Forward Linkages Sektor-Sektor Berbasis Kehutanan ix

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi merupakan proses terjadinya perubahan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik. Menurut Hess dan Ross (2000) pembangunan ekonomi memerlukan adanya perubahan struktural, mengurangi tingkat kemiskinan, peningkatan derajat kesehatan, pendidikan dan kehidupan yang layak bagi masyarakat. Pembangunan ekonomi juga harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustained economic growth). Di banyak negara termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi masih menjadi salah satu tujuan utama pembangunan, disamping upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi tingkat kesenjangan yang ada. Hal ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pertumbuhan ekonomi ini diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru dan terciptanya berbagai peluang ekonomi di masa mendatang. Tentu saja pertumbuhan ekonomi ini juga sangat tergantung pada pola dan sumber pertumbuhannya. Jika diamati lebih jauh, pembangunan ekonomi Indonesia selama ini masih bertumpu pada sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam (natural resources based sectors). Sejak tahun 1980-an selain sektor migas, sektor berbasis sumberdaya alam terutama sektor berbasis kehutanan telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional.

20 2 Sektor berbasis kehutanan yang dimaksud adalah sektor yang outputnya terdiri dari kayu, hasil hutan non kayu, dan kayu olahan. Berdasarkan tabel Input- Ouput (I-O) Indonesia Tahun 2005 klasifikasi 175 sektor, diperoleh informasi bahwa sektor-sektor berbasis kehutanan terdiri dari sektor tanaman kayu dan hasil hutan lainnya dan sektor industri kayu olahan yang terdiri dari kayu gergajian, kayu lapis, bubur kertas dan industri perabot rumahtangga dari kayu, bambu dan rotan atau disebut industri mebel dan kerajinan. Tabel 1. Nilai Ekspor Sektor Berbasis Kehutanan Tahun (Juta US$) Sektor I. Tan Pangan dan Hortikultura II. Peternakan dan Perikanan III.Perkebunan IV. Berbasis Kehutanan Kayu dan Hasil Hutan Lainnya - Kayu Gergajian Kayu Lapis Bubur Kertas Industri Mebel dan Kerajinan Kayu V. Tekstil VI. Lainnya VII. Migas TOTAL Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005a dan 2009a Peran yang cukup menonjol dari sektor berbasis kehutanan dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pertumbuhan ekspor nasional. Sampai dengan tahun 1990-an, sektor berbasis kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan devisa kedua terbesar setelah migas, dan menempati urutan ketiga dibawah migas dan tekstil sejak awal tahun 2000 seperti yang terlihat pada Tabel 1. Kondisi ini

21 3 telah berhasil menciptakan The Indonesian Miracle dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata tidak kurang dari 7 persen per tahun hingga krisis ekonomi menerpa pada pertengahan Tahun Hutan sebagai renewable resources memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, sosial, pembangunan, dan lingkungan hidup. Pemanfaatan hutan secara komersial dimulai sejak dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Selanjutnya lahir pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan yang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional yang bersanding dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun Implementasinya, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) serta berbagai insentif ekonomi dalam pengusahaan hutan sehingga merangsang tumbuhnya usaha bidang kehutanan khususnya dalam bentuk HPH telah menempatkan sektor kehutanan sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional. Pada Tabel 1, sektor berbasis kehutanan terutama industri bubur kertas (pulp) dan industri kayu lapis, menjadi salah satu kontributor utama terhadap ekspor nasional. Pada periode 1990-an, industri bubur kertas dan kayu lapis merupakan salah satu sektor penting penyumbang devisa. Nilai ekspor bubur kertas rata-rata per tahun sebesar US$ 629 juta dan untuk industri kayu lapis pada periode yang sama rata-rata per tahun sebesar US$ juta. Komoditi kayu

22 4 lapis dan bubur kertas hingga saat ini masih merupakan salah satu komoditi unggulan nasional dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara eksportir utama kayu lapis dan bubur kertas di dunia. Peran strategis lainnya dari sektor berbasis kehutanan adalah menciptakan lapangan kerja yang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat. Berdasarkan data Survey Angkatan Kerja Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS, 2008a) jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini pada tahun 2008 sebesar 4.09 juta orang, dimana 1.65 juta orang bekerja di sektor kayu dan hasil hutan lainnya dan sekitar 2.44 juta orang bekerja di sektor industri kayu olahan. Sektor industri kayu olahan merupakan sektor yang memberikan kontribusi paling besar dalam menyerap tenaga kerja setelah sektor industri tekstil. Departemen Kehutanan (2006a) menyatakan bahwa pembangunan sektor berbasis kehutanan terkait erat dengan pengentasan kemiskinan karena sebagian besar penduduk miskin berada di wilayah perdesaan termasuk kawasan sekitar hutan dan bekerja di sektor tersebut. Sehingga pembangunan sektor berbasis kehutanan terkait dengan masalah pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan pada kelompok rumahtangga selama ini, maka pertumbuhan sektor berbasis kehutanan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat terutama pada kelompok rumahtangga berpendapatan rendah yang sebagaian besar berada di wilayah perdesaan. Berdasarkan uraian di atas, sektor-sektor berbasis kehutanan memiliki peran besar dalam mendukung perekonomian nasional. Namun demikian, terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 memberikan dampak

23 5 negatif terhadap pertumbuhan sektor berbasis kehutanan serta terhadap pertumbuhan sektor-sektor perekonomian lainnya secara keseluruhan. Belum pulihnya sektor tersebut sebagai akibat dampak krisis yang berkepanjangan saat itu, menyebabkan sektor berbasis kehutanan mengalami fase dekonstruktif dan tumbuh negatif hingga akhir pertengahan tahun Tabel 2. Kontribusi Sektor Berbasis Kehutanan Terhadap PDB Nasional Tahun Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 Kontribusi Terhadap PDB (Rp. Trilyun) PDB Nasional (%) Tahun Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Sektor Industri Kayu Olahan Sektor Berbasis Kehutanan Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Sektor Industri Kayu Olahan Sektor Berbasis Kehutanan (a) (b) (c) = (a)+(b) (d) (e) (f) = (d)+(e) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009a Pada Tabel 2 terlihat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) sektor berbasis kehutanan mengalami kecenderungan yang terus menurun sejak tahun Hal ini menyebabkan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap PDB nasional terus menurun. Kontribusi sektor berbasis kehutanan pada tahun 2000 terhadap PDB nasional sebesar 2.63 persen terus menurun menjadi 2.58

24 6 persen pada tahun 2001, 2.50 persen pada tahun 2002, 2.41 persen pada tahun 2003, 2.28 persen pada tahun 2004, 2.13 persen pada tahun 2005, 1.99 persen pada tahun 2006, 1.84 persen pada tahun 2007 dan 1.77 persen pada tahun Kondisi ini pun diperkirakan akan terus mengalami penurunan ke depan jika tidak ada upaya untuk meningkatkan output sektor tersebut. Menurut Departemen Kehutanan (2007a), salah satu faktor yang menyebabkan PDB sektor berbasis kehutanan dan kontribusinya terhadap PDB nasional terus mengalami penurunan antara lain belum optimalnya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (non-timber based) dan jasa lingkungan (environmental services) dalam meningkatkan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap pendapatan nasional. Artinya selama ini pemanfaatan hutan masih terfokus pada hasil hutan berbasis kayu (timber based) yang ketersediaannya semakin terbatas. Selain itu, menurunnya output sektor industri kayu olahan akibat terbatasnya pasokan bahan baku kayu bulat dan rendahnya investasi turut memicu menurunnya PDB sektor berbasis kehutanan. Meningkatnya output sektor berbasis kehutanan sangat penting dalam memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional di masa mendatang, tidak hanya berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mampu menyediakan lapangan kerja dan menjadi sumber pendapatan masyarakat. Selain itu, adanya keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor perekonomian lainnya maka sektor berbasis kehutanan berperan dalam mendorong pertumbuhan sektor hulu maupun sektor hilirnya. Hasil evaluasi pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun terhadap sektor-sektor berbasis kehutanan

25 7 disebutkan bahwa salah satu upaya untuk lebih meningkatkan peranan sektor tersebut dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan nilai tambah atau output melalui pengelolaan kawasan hutan yang didukung oleh regulasi yang mendorong pengembangan usaha kehutanan dari hulu hingga hilir (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009). Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan dalam pembangunan ekonomi nasional, maka dilakukan penelitian yang menganalisis pertumbuhan sektor berbasis kehutanan dan dampaknya terhadap distribusi pendapatan dan tenaga kerja di Indonesia dengan menggunakan pendekatan input output Miyazawa. Sonis dan Hewings (2000), menyatakan bahwa model input-output Miyazawa mampu memotret pembangunan sektoral suatu negara dengan melihat keterkaitan dan kontribusi suatu sektor terhadap perekonomian serta dampak peningkatan permintaan akhir suatu sektor terhadap output, penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan Perumusan Masalah Sektor berbasis sumberdaya alam seperti sektor berbasis kehutanan masih menjadi andalan dalam pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Selama ini peran sektor berbasis kehutanan telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa, sumber pendapatan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya hutan yang berlangsung hampir lebih dari tiga dekade selama ini, berdampak pada degradasi kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap menurunnya produksi hasil hutan terutama kayu yang merupakan output utama sektor kehutanan.

26 8 Menurunnya produksi kayu secara langsung tidak hanya berdampak terhadap penurunan output sektor kehutanan tetapi juga berdampak terhadap menurunnya output sektor berbasis kehutanan lainnya seperti industri kayu olahan yang menggunakan kayu sebagai input produksinya. Menurut Departemen Kehutanan (2007b), kebutuhan terhadap kayu bulat untuk memenuhi pasokan bahan baku industri kayu olahan dalam negeri saat ini mencapai juta m 3 per tahun, sementara pasokan kayu bulat hanya sekitar m 3 yang artinya terjadi kesenjangan permintaan dan pasokan sekitar m 3 per tahun. Menurunnya produksi tersebut berimplikasi terhadap menurunnya kontribusi sektor-sektor berbasis kehutanan terhadap PDB nasional selama beberapa tahun terakhir. Pada Tabel 2 terlihat bahwa PDB sektor berbasis kehutanan relatif konstan sejak tahun 2000 hingga tahun 2008 yaitu dari Rp trilyun pada tahun 2000 menjadi sebesar Rp trilyun pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 hanya sebesar Rp trilyun. Berbeda dengan nilai PDB, kontribusi relatif sektor berbasis kehutanan terhadap PDB nasional terus mengalami penurunan setiap tahunnya yaitu rata-rata penurunan sebesar 0.11 persen. Penurunan kontribusi ini diperkirakan akan terus berlanjut apabila tidak ada upaya perbaikan dalam meningkatkan output sektor tersebut. Menurunnya output pada sektor berbasis kehutanan juga berimplikasi secara langsung terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat terutama yang bekerja di sektor tersebut. Oleh karena itu, analisis terhadap pertumbuhan dan faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan menjadi sangat penting sebagai informasi untuk merumuskan

27 9 strategi peningkatan output sektor berbasis kehutanan ke depan. Selain itu, dapat diketahui sejauh mana dampak pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan terhadap perekonomian makro khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat serta keterkaitannya dengan sektor lainnya. Berdasarkan Triple Track Strategy pembangunan ekonomi nasional, agenda pertumbuhan ekonomi (pro-growth) di sektor berbasis kehutanan ke depan diarahkan pada peningkatan output seperti pengembangan pasar ekspor dan investasi baru. Sementara itu, agenda penyediaan lapangan kerja (pro-job) dimaksudkan untuk menggerakkan industri kayu olahan dalam rangka menyerap tenaga kerja. Adapun agenda pengentasan kemiskinan (pro-poor) diarahkan pada peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberian akses atas usaha pemanfaatan hutan produksi dan kegiatan industri perkayuan (Departemen Kehutanan, 2008a). Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor berbasis kehutanan ke depan diarahkan untuk mendorong faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan sehingga dalam jangka pendek mampu menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan sektor lainya, kemudian dalam jangka panjang mampu mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, ada tiga pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu : 1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan sektor berbasis kehutanan di Indonesia?

28 10 2. Bagaimanakah dampak pertumbuhan sektor berbasis kehutanan terhadap distribusi pendapatan dan penyerapan tenaga kerja di Indonesia? 3. Seberapa jauh keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor perekonomian lainnya? 1.3. Tujuan dan Manfaat Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan gross output sektor berbasis kehutanan di Indonesia. 2. Menganalisis dampak peningkatan gross output sektor berbasis kehutanan terhadap distribusi pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. 3. Menganalisis keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor perekonomian lainnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak terkait khususnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan nasional pembangunan sektor kehutanan ke depan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian ini meliputi analisis pertumbuhan gross output sektor berbasis kehutanan di Indonesia. Sektor berbasis kehutanan yang menjadi fokus analisis dalam penelitian ini diklasifikasi menjadi lima sektor perekonomian yang terdiri dari sektor kayu dan hasil hutan lainnya, industri kayu gergajian, industri

29 11 kayu lapis dan sejenisnya, industri bubur kertas dan industri meubel yang didapat dari hasil agregasi tabel I-O Indonesia Tahun Periode analisis pertumbuhan gross output yaitu antara tahun berdasarkan tabel I-O Indonesia Tahun 2005 dan Adapun golongan pendapatan rumahtangga dalam analisis distribusi pendapatan diklasifikasi menjadi enam golongan pendapatan, yaitu (1) rumahtangga kota pendapatan rendah, (2) rumahtangga kota pendapatan sedang, (3) rumahtangga kota pendapatan tinggi, (4) rumahtangga desa pendapatan rendah, (5) rumahtangga desa pendapatan sedang, dan (6) rumahtangga desa pendapatan tinggi. Klasifikasi golongan rumahtangga tersebut didasarkan pada analisis I-O Miyazawa Tahun 2008 yang dikembangkan dari model I-O Indonesia Tahun Menurut Jackson dan Murray (2002), model I-O Miyazawa adalah pengembangan model input-output dengan melakukan updating matriks Leontief input-output dengan memasukan informasi struktur pendapatan rumahtangga. Adapun keunggulan model I-O Miyazawa adalah sebagai berikut : 1. Model I-O Miyazawa telah memasukan klasifikasi pendapatan rumahtangga kedalam matriks transaksi antar industri. Dengan demikian, model ini dapat menganalisis dampak pertumbuhan output suatu sektor terhadap pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan. 2. Sebagai analisis kuantitatif, model I-O Miyazawa dapat digunakan untuk menganalisis dampak perubahan output atau permintaan akhir suatu sektor terhadap sektor perekonomian lainnya.

30 12 3. Sebagai pengembangan model I-O Leontief, model I-O Miyazawa dapat menganalisis transaksi antar industri dalam suatu perekonomian Keterbatasan Penelitian Penggunaan model I-O Miyazawa sebagai instrumen pengkajian dan analisis mengandung banyak keterbatasan. Sebagai pengembangan model inputoutput, secara umum keterbatasan model I-O Miyazawa sama dengan model I-O Leontief. Menurut West (1993), transaksi-transaksi yang digunakan dalam penyusunan Tabel I-O didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Asumsi keseragaman (Homogenitas) Artinya tiap sektor dalam perekonomian memproduksi satu output tunggal dengan struktur input tunggal. 2. Asumsi kesebandingan (Proporsionalitas) Artinya dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik (atau turun) sebanding dengan kenaikan (atau penurunan) output tersebut. 3. Asumsi penjumlahan (Additivitas) Asumsi ini menjelaskan bahwa dampak total pelaksanaan produksi di berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Ini berarti di luar sistem input-output semua pengaruh dari luar diabaikan. Sebagai sebuah model analisis kuantitatif, adanya asumsi-asumsi tersebut menandakan adanya keterbatasan model I-O itu sendiri. Asumsi keseragaman menganggap setiap sektor memiliki struktur input tunggal, maka asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya kemungkinan setiap sektor produksi untuk melakukan

31 13 substitusi input, misalnya karena faktor harga yang lebih murah. Setiap sektor hanya memproduksi suatu output tunggal, maka setiap sektor tidak mungkin melakukan variasi produk. Asumsi kesebandingan menganggap rasio input-output tetap dan konstan sepanjang periode analisis, dengan demikian produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksinya. Asumsi ini tidak mempertimbangkan adanya kemajuan teknologi atau produktivitas. Selanjutnya asumsi penjumlahan menganggap proses produksi hanya dipengaruhi faktor dalam sistem input-output. Asumsi ini tidak mempertimbangkan faktor luar yang sebenarnya berpengaruh terhadap proses produksi.

32 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Hess dan Ross (2000), pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode waktu tertentu yang direpresentasikan oleh peningkatan output per kapita. Lebih jauh menurut Mankiw (2000), dalam terminologi fungsi produksi pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan total output dalam proses produksi akibat peningkatan faktor produksi dan kemajuan teknologi pada periode waktu tertentu. Dornbush (1992) mengklasifikasikan pengukuran output suatu perekonomian melalui indikator PDB, dibagi dalam dua pendekatan yaitu pendekatan sisi penerimaan (income side) dan pendekatan sisi pengeluaran (expenditure side). PDB dari sisi penerimaan merupakan nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu perekonomian. Sementara PDB dari sisi pengeluaran terdiri dari konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah, pengeluaran investasi dan ekspor bersih Sumber Sumber Pertumbuhan Output merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan perekonomian suatu negara. Analisis terhadap pertumbuhan output, perlu didasarkan pada sumber-sumber yang menjadi pendorong pertumbuhan output itu sendiri. Hess dan Ross (2000), menjelaskan sumber pertumbuhan output dilihat dari sisi produksi terdiri dari tenaga kerja, modal, sumberdaya alam dan teknologi. Tenaga kerja yang dimaksud adalah jumlah angkatan kerja yang merupakan input

33 15 produksi. Stok barang modal merupakan input produksi yang akan mendorong pertumbuhan output nasional di masa yang akan datang. Menurut Dornbusch (1992) stok barang modal terdiri dari pabrik, mesin, kantor dan produk-produk tahan lama lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Barang modal juga meliputi pembelian rumah tempat tinggal baru dan persediaan. Investasi adalah pengeluaran yang ditambahkan kepada komponen-komponen barang modal ini. Sedangkan sumberdaya alam seperti lahan, sumber energi, merupakan faktor produksi tetap (fix input) yang dapat digunakan dalam proses produksi. Sementara itu, teknologi direpresentasikan sebagai pengetahuan yang dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Kemajuan teknologi melalui penemuan baru (inventions) dan inovasi (innovations) akan menghasilkan output yang lebih besar dengan sejumlah input yang sama. Menurut Miller dan Blair (1985), output suatu negara dalam model inputoutput merupakan penjumlahan antara input antara (intermediate input) dan permintaan akhir (final demand). Permintaan akhir terdiri atas permintaan domestik (domestic final demand) dan permintaan luar negeri atau disebut sebagai ekspor. Selain itu, dalam proses perdagangan internasional, produksi barang dan jasa membutuhkan faktor input yang berasal dari impor. Dengan demikian, sumber pertumbuhan output suatu negara ditentukan oleh perubahan koefisien input antara yang merupakan bentuk kemajuan teknologi (technological change), ekspansi permintaan domestik (expansion of domestic final demand), ekspansi ekspor (exsport expansion) dan substitusi impor (import substitution). Empat faktor tersebut dapat menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan output sektoral dalam perekonomian suatu negara.

34 Kebijakan Pembangunan Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Menurunnya output sektor-sektor berbasis kehutanan dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap output nasional terus berkurang. Oleh karena itu maka esensi pembangunan sektor-sektor berbasis kehutanan ke depan yaitu mendorong peningkatan produksi dan pemasaran produk kayu olahan terutama ke pasar ekspor untuk meningkatkan output sektor tersebut. Peningkatan output yang terjadi diharapkan mampu menyerap tenaga kerja, mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan dalam jangka panjang dapat kembali menyumbangkan perolehan devisa dan penerimaan negara lainnya secara lebih signifikan. Hasil evaluasi terhadap RPJMN terhadap sektor-sektor berbasis kehutanan disebutkan bahwa salah satu kebijakan prioritas pembangunan sektor berbasis kehutanan adalah peningkatan produksi dengan mendorong adanya investasi baru secara proporsional antara pengusaha besar, menengah dan kecil khususnya di sektor hulu dan upaya pengembangan pasar di sektor hilir dalam rangka mendorong pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan. Peningkatan produksi di sektor hulu dilakukan melalui penguatan aspek legal sebagai landasan hukum untuk memberikan kepastian usaha melalui perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan beserta berbagai aturan turunannya. Untuk jaminan berusaha diberikan selama 65 tahun sesuai dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Adapun untuk hutan tanaman,

35 17 PMA berbadan hukum Indonesia diberi kesempatan sebagai pemegang izin usaha (Departemen Kehutanan, 2008a). Berdasarkan publikasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2009 disebutkan bahwa perkembangan investasi sektor berbasis kehutanan selama satu dekade terakhir sangat fluktuatif dan minat investor baik asing maupun domestik cenderung menanamkan modalnya di kegiatan industri kayu (hilir) dibanding sektor kehutanan (hulu). Kondisi ini lebih disebabkan karakteristik usaha sektor kehutanan yang memiliki risiko usaha tinggi dan bersifat jangka penjang dibandingkan dengan usaha di sektor industri kayu olahan. Selain itu, investasi sektor kehutanan saat ini diarahkan pada kegiatan pembukaan areal atau penanaman baru dibandingkan kegiatan penebangan (logging) yang memiliki minat investasi rendah. Tabel 3. Perkembangan Investasi Asing Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun Kehutanan Industri Kayu Olahan Tahun Jumlah Nilai Investasi Jumlah Nilai Investasi Investasi (US$ 000) Investasi (US$ 000) Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal, 2009 Investasi asing (PMA) selama periode untuk usaha kehutanan tercatat sebesar US$ dengan jumlah investasi baru sejumlah 3 investasi lebih kecil dibandingkan nilai investasi di usaha industri kayu olahan sebesar

36 18 US$ dengan jumlah investasi sejumlah 108 investor. Investasi baru untuk usaha kehutanan terjadi pada tahun 2005 dan 2006, sementara investasi masuk di industri kayu olahan terjadi sepanjang tahun. Tabel 4. Perkembangan Investasi Domestik Pada Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Tahun Kehutanan Industri Kayu Olahan Tahun Jumlah Investasi ` Nilai Investasi (Rp juta) Jumlah Investasi Nilai Investasi (Rp juta) Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal, 2009 Sementara itu, nilai investasi domestik (PMDN) di sektor berbasis kehutanan dalam periode tercatat sebesar Rp 4.32 trilyun dimana Rp 2.72 trilyun adalah investasi di sektor industri kayu olahan dan sisanya sebesar Rp 1.60 trilyun adalah investasi untuk sektor kehutanan. Adapun jumlah investasi baru di sektor kehutanan sejumlah 5 investasi dan ada 47 investasi baru di industri kayu olahan. Adapun strategi pengembangan pasar untuk sektor hilir (industri kayu olahan) adalah dengan mempertahankan pasar yang ada (pasar tradisional), dan menangkap pasar potensial (captive market) terutama untuk pasar ekspor perlu ditingkatkan. Perluasan pasar ekspor dilakukan melalui promosi, penetrasi dan ekspansi (Departemen Kehutanan, 2007b).

37 Kerangka Tabel Input-Output Miyazawa Tabel Input-Output (I-O) pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Wassily W. Leontief pada tahun 1951 sebagai instrumen yang digunakan untuk mengukur dampak ekonomi. Publikasi pertama dilakukan pada tahun 1965 hingga akhirnya mendapatkan nobel di bidang ekonomi pada tahun Review untuk penemuannya dilakukan pada maret 1999 melalui Survey of Current Business. Tabel I-O pada dasarnya merupakan uraian statitstik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar satu satuan kegiatan ekonomi (sektor) dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Dalam analisisnya Tabel I-O menggunakan prinsip keseimbangan umum (General Equilibrium), artinya jika terjadi keseimbangan (atau ketidakseimbangan) di satu sektor berpengaruh terhadap keseimbangan (atau ketidakseimbangan) di sektor-sektor lain. Hasil analisis dari Tabel I-O dapat menggambarkan seberapa besar kontribusi setiap sektor terhadap pembentukan output wilayah, penyerapan tenaga kerja, struktur permintaan akhir (PDRB dari sisi pengeluaran) dan komponen nilai tambah (PDRB dari sisi penerimaan). Selain itu analisis Input-Output dapat merekomendasikan sektor kunci dalam perekonomian wilayah tersebut melalui hasil analisis keterkaitan sektor baik ke belakang (backward linkage) maupun keterkaitan ke depan (forward linkage). Badan Pusat Statistik (BPS) mengembangkan Tabel Input-Output sebagai dasar pengembangan model Input-Output dengan tiga kuadran yaitu matriks input output (kuadran I), matriks permintaan akhir (kuadran II) dan matriks input antara (kuadran III) seperti pada Gambar 1.

38 20 X ij ( Kuadran I ) F ik ( Kuadran II ) V mj ( Kuadran III ) Gambar 1. Kuadran Matriks Tabel Input - Output Keterangan : Kuadran I : transaksi antar industri; output sektor i menjadi input sektor j, Kuadran II : transaksi antara konsumen akhir (rumahtangga, pemerintah, investor dan ekspor) dengan industri penghasil barang dan jasa. Kuadran III : menggambarkan transaksi antara pihak-pihak pemilik faktor produksi (tenaga kerja dan pemilik modal) dengan unit-unit ekonomi yang menggunakannya. Secara ilustratif, kerangka dasar Tabel Input-Output disajikan seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Sektor Penjual Sektor Pembeli 1 2 n Permintaan Akhir Total Output n x 11 x x n1 x 12 x x n2... x 1n x 2n... x nn F 1 F 2... F n X 1 X 2... X n Nilai v 1 v 2 v n Tambah Impor IM 1 IM 2 IM n Total Input X 1 X 2 X n Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000

39 21 Keterangan : 1) Permintaan akhir (F) terdiri dari konsumsi rumahtangga (C), konsumsi pemerintah (G), pembentukan modal/investasi (I), dan ekspor (E) 2) x ij = besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j, dan F i (C i, G i, I i, E i ) besarnya output sektor i yang digunakan sebagai permintaan akhir 3) v j adalah nilai tambah dan IM j adalah impor n 4) X i = j 1 a ij Xj +fi adalah total input = total output 5) Koefisien langsung, a ij = x ij / X j, x ij = a ij X j, matriks A = [ a ij ] 6) AX + F = X dengan melakukan transformasi maka diperoleh (I-A) -1 F = X 7) (I-A) -1 adalah matriks kebalikan Leontief. Matriks kebalikan Leontief mengandung informasi penting tentang bagaimana kenaikan produksi dari suatu sektor (industri) akan mempengaruhi pertunbuhan sektor-sektor lainnya. Karena setiap sektor memiliki pola transaksi pembelian maupun penjualan dengan sektor lain yang berbeda-beda, maka dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektorsektor lainnya juga berbeda-beda. Matriks kebalikan Leontief merangkum seluruh dampak dari perubahan produksi dari suatu sektor terhadap total produksi sektorsektor lainnya ke dalam koefisien-koefisien yang disebut sebagai multiplier ( ij). Multiplier ini adalah angka-angka yang terlihat di dalam matriks (I - A) -1. Tabel I-O nasional yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik saat ini hanya hanya memperlihatkan struktur transaksi dari beberapa industri yang berbeda dalam satu negara atau wilayah. Tabel ini tidak memberikan informasi

40 22 lebih lanjut tentang strata rumahtangga (pemilik faktor produksi tenaga kerja) yang berpendapatan tinggi, sedang atau rendah. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan model input-output yang memasukan informasi mengenai strata rumahtangga ke dalam suatu model. Pada penelitian ini, pengembangan model tersebut digunakan model Input-Output Miyazawa yang merupakan pengembangan model Input-Output Leontief. Input-Output Miyazawa diperkenalkan pada tahun 1960 dan 1968 yang kemudian ditulis kembali pada tahun Model ini membuat generalisasi keynesian income multipliers kedalam bentuk matriks inter-relational income multipliers (Sonis and Hewings, 2000). Model matriks Miyazawa dalam tabel input-output diformulasikan seperti pada persamaan (1). Variabel A merupakan matriks koefisien langsung, X merupakan gross output, F adalah permintaan akhir, vektor T merupakan total pendapatan, matriks V merupakan rasio pendapatan rumahtangga, g merupakan pendapatan eksogen dan matriks C menunjukan pengeluaran konsumsi rumahtangga. X T AC X V 0 T F.. (1) g Pada model Miyazawa ini, permintaan akhir (final demand) merupakan komponen yang terdiri selain dari konsumsi rumahtangga yaitu antara lain konsumsi pemerintah, pembentukan modal (investasi), dan ekspor. Sama halnya dengan nilai tambah (value added), merupakan komponen nilai tambah selain pendapatan rumahtangaa atau upah. Pada penelitian ini kerangka dasar model Input-Output Miyazawa disajikan pada Tabel 6.

41 23 Tabel 6. Kerangka Dasar Tabel Input-Output Miyazawa Sektor Penjual n Sektor Pembeli 1 2 n Konsumsi RT Menurut Golongan Pendapatan x 11 x 12 x 1n x 21 x 11 x 2n... x n1... x n x nn C 11 C C nn Permintaan Akhir F 1 F 2... F n Total Output X 1 X 2... X n Pendapatan RT V 11 V 12 V nn 0 g n T n Nilai Tambah v 1 v 2 v n 0 Impor IM 1 IM 2 IM n C m Total Input X 1 X 2 X n C n Sumber : Sonis and Hewings, 2000 Pada persamaan (1), jika diilustrasikan kerangka tabel input-output Miyazawa terdiri dari 2x2 blok matriks, maka matriks Miyazawa dapat dituliskan sebagai berikut : A C M..... (2) V 0 M adalah matriks Miyazawa yang merupakan matriks koefisien inputoutput dalam model Leontief, disimbulkan dengan A. Dengan demikian, matriks kebalikan Leontief untuk matriks Miyazawa dapat dituliskan sebagai berikut : I M 1 B... (3) Dengan melakukan transformasi pada persamaan (2) dan (3), maka diperoleh persamaan matriks koefisien antar strata pendapatan adalah sebagai berikut :

42 24 B ( I M ) 1 = I BC I 0 0I 0 N B 0 = VB I B NVB BCNVB BCN N = I 0 V I 0 0 I I C 0 I = VB AC I V C.... (4) H = VBC adalah matriks koefisien antar golongan pendapatan (matriks of inter-income coefficients). Pada persamaan (4) diperoleh persamaan multiplier antar pendapatan Miyazawa (Miyazawa interreltional income multiplier) atau disebut juga Keynesian multiplier yang ditulis sebagai berikut : N 1 1 ( I H ) ( I VBC) I V C.....(5) Pada persamaan (4) diperoleh matriks kebalikan Leontief yang diperbesar yaitu dengan memasukan matriks V dan matriks C yang dituliskan menjadi sebagai berikut : 1 ( I A CV ) B BBCNVB... (6) Pada persamaan (6) maka diperoleh VΔ = nvb dan ΔC = BCN Keterkaitan Antar Sektor Menurut Miller dan Blair (1985) dalam model input-output, produksi barang dan jasa suatu sektor ekonomi memiliki dampak ekonomi terhadap sektor lainnya. Apabila suatu sektor j meningkatkan outputnya, maka akan berdampak terhadap sektor penyedia input sektor j dan sektor pengguna output sektor j. Keterkaitan antar sektor perekonomian tersebut dinamakan backward linkage dan forward linkage.

43 25 Adanya penggunaan input antara yang berasal dari output sektor produksi lain dan penggunaan input primer seperti tenaga kerja dan modal, membuat suatu sektor produksi menjadi terintegrasi dengan sektor-sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Lebih lanjut menurut Miller dan Blair, keterkaitan ke belakang (backward linkage) terdiri dari keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) dan keterkaitan total ke belakang (total backward linkage). Sementara itu, keterkaitan ke depan (forward linkage) terdiri dari keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage) dan keterkaitan total ke depan (total forward linkage). Pada model input-output, direct dan forward linkage merupakan pengaruh langsung atau pengaruh tidak langsung dari kegiatan produksi suatu sektor terhadap sektor lain baik sektor hulu maupun hilirnya. Sedangkan total backward dan forward linkage merupakan pengaruh total baik langusng maupun tidak langsung dari kegiatan produksi suatu sektor terhadap sektor lain baik sektor hulu maupun hilirnya. Secara operasional, pengaruh langsung (direct effect) adalah pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh suatu sektor yang menggunakan output sektor lain sebagai input produksinya. Sebagai contoh kenaikan produksi industri furnitur akan menyebabkan bertambahnya permintaan input kayu yang merupakan input langsung digunakan dalam produksi industri furnitur. Sementara pengaruh tidak langsung atau indirect effect menunjukkan pengaruh tidak langsung yang dirasakan oleh suatu sektor akibat kenaikan output sektor lain. Misalkan kenaikan produksi industri furnitur bisa menyebabkan pula kenaikan permintaan jasa-jasa transportasi untuk mengangkut hasil produksinya ke pasar, di mana dalam hal ini

44 26 jasa transportasi bukan merupakan input langsung untuk memproduksi furniture. Sementara itu, pengaruh total atau total effect adalah pengaruh secara keseluruhan dalam perekonomian dimana sektor yang bersangkutan berada. Misalkan dalam dua contoh di atas yang dimaksud pengaruh total adalah penjumlahan dari pengaruh langsung dengan tidak langsung dari produksi pakaian dalam perekonomian Dekomposisi Pertumbuhan Struktural dalam Sistem Input-Output Dekomposisi pertumbuhan dalam sistem input-output merupakan upaya mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan gross output X dari suatu sektor perekonomian. Adapun sumber-sumber pertumbuhan gross output X terdiri dari empat sumber, yaitu : 1. The expansion of domestic Final Demand (FD) menjelaskan dampak langsung dan tidak langsung dari perluasan permintaan akhir domestik (expantion of domestic final demand). 2. Export Expansion (EE) merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari perluasan perdagangan internasional ekspor (expantion of international export). 3. Import Substitution (IS) adalah dampak langsung dan tidak langsung akibat perubahan dalam proporsi perdagangan internasional impor (change in international import proportions). 4. Technological change menunjukkan dampak langsung dan tidak langsung dari perubahan koefisien input-output (change in input-output coefficients).

45 Tinjauan Penelitian Terdahulu Berbagai penelitian yang terkait dengan peranan sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian telah banyak dilakukan sebelumnya diantaranya oleh Departemen Kehutanan (2007a) tentang reposisi kehutanan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional dengan menggunakan model input-output. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional sangat rendah yaitu di bawah satu persen dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Namun demikian, sektor kehutanan memiliki kontribusi besar dalam menyumbang devisa. Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional yaitu dengan meningkatkan investasi. Penelitian lainnya yang terkait dilakukan oleh Suwarna (2007) tentang dampak bantuan dana rehabilitasi lahan milik terhadap pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah di Kabupaten Garut. Metode analisis yang digunakan adalah sistem neraca sosial ekonomi, model ekonometrika dan analisis biaya manfaat. Hasil analisis menunjukan bahwa dana rehabilitasi lahan milik di Kabupaten Garut belum dapat secara nyata memperbaiki pendapatan masyarakat yang melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Namun demikian dana rehabilitasi tersebut berperan untuk meningkatkan perekonomian wilayah. Kegiatan rehabilitasi lahan milik dengan komoditi utama tanaman kayu secara finansial memberikan manfaat lebih kepada petani pemilik apabila dilakukan pemanfaatan lahan diantara tanaman kayu dengan mengusahakan komoditi tanaman sela. Kelembagaan kelompok tani memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap produktivitas kelompok dalam kegiatan rehabilitasi lahan.

46 28 Santosa (2006) meneliti tentang peranan ekonomi kehutanan di Propinsi Jawa Tengah. Berbeda dengan penelitian lainnya, pada penelitian ini analisis peranan sektor kehutanan tidak hanya dilihat dari sisi PDRB saja tetapi juga dari manfaat ekonomi lain seperti jasa lingkungan yang dihasilkan sumber daya hutan. Manfaat ekonomi lain yang diperhitungkan berupa hasil yang langsung dikonsumsi masyarakat, illegal logging, illegal trading, nilai tambah, nilai air, udara bersih dan manfaat berupa efisiensi kelembagaan dan keberadaan/pelestarian hutan yang memberikan tambahan output sektor kehutanan. Disamping itu, juga diperhitungkan manfaat ekonomi yang bersifat negatif berupa deforestasi dan erosi. Dengan demikian dihasilkan kontribusi bersih sektor kehutanan terhadap perekonomian wilayah dalam bentuk PDRB hijau Propinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi sektor kehutanan akan lebih kecil dengan memperhitungkan kerusakan lingkungan sehingga PDRB bersih Propinsi Jawa Tengah juga mengalami penurunan. Noor (2004) menganalisis sektor ekonomi yang berpengaruh terhadap adanya deforestasi dan reforestasi hutan di Kabupaten Kutai Timur dengan menggunakan pendekatan sistem neraca sosial ekonomi (SNSE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi yang mempengaruhi kegiatan deforestasi disebabkan adanya pengaruh Perdagangan, Restoran, dan Hotel (PRH) yang ditunjukkan oleh empat jalur Modal Swasta Dalam Kabupaten (MSDK) ke kayu yang memiliki pengaruh global paling kuat adalah melalui PRH. Dengan kata lain pengaruh MSDK terhadap kegiatan penebangan hutan paling besar terjadi melalui PRH. Sektor PRH ini sangat besar pengaruhnya, karena sektor inilah yang banyak menggunakan kayu untuk keperluan usaha, bangunan, dan untuk bahan bakar.

47 29 Sementara itu kegiatan ekonomi yang berpengaruh terhadap kegiatan reforestasi disebabkan adanya pengaruh sektor Tenaga Kerja Pertanian Bukan Penerima Upah dan Gaji (TKPBUG). Sektor TKPBUG ini sangatlah besar pengaruhnya sebagai gambaran kegiatan masyarakat/pengusaha yang bekerja di sektor pertanian. TKPBUG ini juga menggambarkan pemilik lahan yang berusaha dibidang pertanian dengan menanam beberapa jenis tanaman seperti sawit, karet, umbi-umbian, lada, dan lain sebagainya. Hardjanto (2003), menganalisis keragaan dan pengembangan Usaha Kayu Rakyat (UKR) di Pulau Jawa. Tujuan utama dari penelitian adalah untuk mengupayakan pengembangan sistem UKR dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu analisis SWOT untuk memformulasikan strategi pengembangan, metode Interpretative Structural Modeling (ISM) digunakan untuk menemukan model struktural dan mengkaji kelembagaan dan Analisis Hierarki Proses (AHP) digunakan dalam seluruh tahap analisis. Hasil analisis menunjukan bahwa UKR berada pada posisi pertumbuhan, sehingga perlu dikembangkan melalui strategi integrasi horizontal, integrasi vertikal dan diversifikasi. Lembaga yang berpengaruh dalam pengembangan UKR ini meliputi institusi yang terkait ke belakang (backward linkages) dan ke depan (forward linkages), institusi pemerintah terkait, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi serta lembaga penelitian.

48 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Teori Pertumbuhan Ekonomi Berbagai model pertumbuhan ekonomi telah banyak dikemukakan oleh para ahli ekonomi. Teori pertumbuhan yang dikembangkan dimaksudkan untuk mengukur dampak kegiatan ekonomi terhadap penciptaan output wilayah. Pertumbuhan wilayah tersebut merupakan indikator perkembangan ekonomi suatu wilayah. Analisis terhadap pertumbuhan output akan diperoleh informasi yang dapat dijadikan dasar kebijakan dalam pengembangan wilayah khususnya terhadap sektor-sektor yang memiliki efek pengganda (multiplier) dan keterkaitan tinggi (linkages) sebagai motor penggerak perekonomian Harrod Domar Model Menurut Basu (2000) terdapat tiga kelompok besar dalam pengembangan teori pertumbuhan saat ini yaitu pertama model pertumbuhan Harrod dan Domar atau sering dikenal sebagai Harrod-Domar Model. Kedua model pertumbuhan Neo Klasik (Neo-Classical Model) yang merupakan respon terhadap model pertumbuhan Harrod-Domar. Tokoh yang mengawali dan paling berperan dalam model pertumbuhan Neo Klasik adalah Robert Sollow sehingga dikenal dengan model pertumbuhan Sollow (Sollow Growth Model). Ketiga adalah teori pertumbuhan endogen (theory of endogenous growth) yang dikemukakan oleh Romer dan Lucas sebagai respon terhadap model pertumbuhan Sollow. Model Harrod - Domar telah berupaya memasukan unsur dinamyc path (t) dari model pertumbuhannya. Model ini pada intinya menjelaskan bahwa

49 31 pertumbuhan output perekonomian (Y t ) dideterminasi oleh pertumbuhan penduduk (population grows, n), tingkat tabungan (saving rate, s) dan tingkat modal (capital rate,c) sebagai faktor exsogen. Secara umum model pertumbuhan Harrod-Domar ditulis sebagai berikut : K t sv s c... (7) dimana v adalah output-capital ratio dan K adalah tingkat pertumbuhan modal pada periode t. Pendapatan diasumsikan proporsional dengan modal dalam model, maka persamaan pertumbuhan output pada periode t dapat ditulis menjadi sebagai berikut : s Y t... (8) c Pertumbuhan penduduk (n) akan mempengaruhi tingkat tabungan (s) dan modal (c) maka persamaan pertumbuhan output pada periode t menjadi t Y t s n c... (9) Neo Classical Model Dalam kelompok aliran pemikiran neo-klasik, model pertumbuhan Sollow (Sollow Growth Model) dianggap sebagai representatif dalam menangkap ide utama dalam teori pertumbuhan neo-klasik (Basu, 2000). Dalam model pertumbuhan Sollow dijelaskan bagaimana tabungan, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi mempengaruhi tingkat pertumbuhan output sepanjang waktu. Dalam model neo-klasik, output merupakan fungsi dari modal dan tenaga kerja yang direpresentasikan dalam persamaan berikut :

50 32 Y f ( K, L)... (10) dimana K adalah modal dan L adalah tenaga kerja. Dalam model juga diasumsikan fungsi produksi constant return to scale sehingga persamaan fungsi produksi menjadi Y f ( K, L)... (11) Persamaan (11) menjelaskan bahwa besarnya output dalam perekonomian adalah relatif terhadap besarnya tenaga kerja dimana λ 0, f ( K, L) f ( K, L), λ= 1/L, sehingga persamaan fungsi produksi baru menjadi : Y / L f ( K / L,1)... (12) persamaan (12) menunjukan output per tenaga kerja (Y/L) merupakan fungsi dari modal per tenaga kerja (K/L). Dalam bentuk lain persamaan (12) dapat ditulis menjadi y f (k)... (13) dimana y adalah (Y/L) dan k adalah (K/L). Persamaan ini menjelaskan pertumbuhan output per tenaga kerja dapat meningkat hanya jika rasio modaltenaga kerja meningkat. Dalam perekonomian tingkat pendapatan (y) akan dialokasikan untuk konsumsi (C) dan investasi (i),sehingga y=c+i, sementara fungsi konsumsi adalah C=(1-s)y maka persamaan investasi menjadi i = sy. Kemudian dengan memasukan persamaan (13) kedalam persamaan investasi maka diperoleh persamaan investasi sebagai berikut : i sf (k)... (14)

51 33 Investasi merupakan penjumlahan investasi bersih dan pergantian penyusutan barang modal atau dengan kata lain perubahan stok modal merupakan selisih antara investasi dengan tingkat penyusutan. Maka persamaan perubahan stok modal dapat ditulis sebagai berikut : k i k... (15) atau k sf ( k) k... (16) Dengan memasukan faktor pertumbuhan penduduk (n) maka persamaan perubahan stok modal menjadi : k sf ( k) ( n) k... (17) Persamaan (17) menujukan bahwa perubahan stok modal dipengaruhi oleh besarnya pertumbuhan ( n) k. Dengan kata lain model Sollow menjelaskan bagaimana tabungan dan pertumbuhan penduduk mempengaruhi keseimbangan stok modal (steady-state capital stock) dan keseimbangan pendapatan per kapita (steady-state level of income per capita) dalam jangka panjang (Mankiw, 2000). Satu hal yang menjadi kekuatan model pertumbuhan Sollow adalah dengan memasukan faktor perkembangan teknologi (g) kedalam model seperti ditulis dalam persamaan (17). Persamaan ini menganggap perkembangan teknologi sebagai faktor eksogen. k sf ( k) ( n g) k... (18) Endogeonous Growth Model Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam model pertumbuhan Sollow teknologi merupakan faktor eksogen yang mempengaruhi

52 34 output. Sementara dalam model pertumbuhan endogen (endogenous growth) ini perkembangan teknologi dianggap sebagai faktor endogen yang akan mempengaruhi output dalam jangka panjang, sehingga disebut sebagai model Endogenous Growth. Fungsi produksi dalam model endogen diulistrasikan sebagai berikut : Y AK... (19) dimana Y adalah output, K adalah stok modal dan A adalah konstanta yang mengukur sejumlah output yang diproduksi per unit modal. Sementara persamaan (16) disebutkan bahwa perubahan stok modal (Δk) merupakan selisih antara investasi (sy) dengan tingkat penyusutan modal (δk), dengan memasukan persamaan (19) kedalam persamaan (16) maka diperoleh : Y / Y K / K sa... (20) Persamaan (20) menunjukan bagaimana tingkat pertumbuhan modal (ΔK/K) atau pertumbuhan output (ΔY/Y) akan terus tumbuh selama sa > δ meski tanpa asumsi adanya perkembangan teknologi. Dalam model pertumbuhan Sollow dijelasakan bahwa modal mendorong pertumbuhan output untuk sementara, tetapi dengan diminishing return to capital pertumbuhan terjadi hanya jika ada perkembangan teknologi. Hal ini kontras dengan model pertumbuhan endogen, dimana investasi dan tabungan mampu mendorong pertumbuhan sepanjang waktu. Model endogen menganggap pengetahuan merupakan faktor input produksi dimana barang dan jasa yang dihasilkan sebenarnya hasil perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam model endogen pengetahuan

53 35 merupakan modal yang tidak mungkin bersifat diminishing return tetapi diasumsikan constant return to scale Konsep Permintaan Akhir Pada Bab 2 telah dijelaskan bahwa permintaan akhir (final demand) terdiri dari permintaan domestik dan net ekspor sebagai rest of world. Permintaan akhir domestik merupakan permintaan terhadap barang dan jasa di dalam negeri yang dihasilkan oleh sektor perekonomian dengan tujuan barang dan jasa yang diminta tidak untuk dijadikan kegiatan produksi lebih lanjut. Permintaan akhir domestik terdiri dari konsumi, pengeluaran pemerintah, dan investasi atau perubahan stok modal Konsumsi Rumahtangga dan Pemerintah Mankiw (2000) menjelaskan bahwa konsumsi merupakan permintaan akhir sejumlah barang dan jasa oleh rumahtangga (household) dalam suatu perekonomian. Besarnya konsumsi dipengaruhi oleh disposable income yang merupakan total penerimaan rumahtangga setelah dikurangi pajak. Persamaan fungsi konsumsi dituliskan pada persamaan (21), dimana C adalah konsumsi rumahtangga, T adalah pajak, dan (Y-T) adalah besarnya disposable income. C C( Y T ) (21) Sementara itu, pengeluaran pemerintah (government purchases) merupakan belanja pemerintah yang dikeluarkan untuk barang dan jasa serta transfer payment. Pada model persamaan pendapatan nasional (Y), pengeluaran pemerintah merupakan variabel eksogen (Mankiw, 2000). G G..... (22)

54 Modal dan Investasi Modal (capital) dan investasi (investment) merupakan konsep yang saling berhubungan hanya saja modal merupakan konsep stock dan investasi merupakan konsep flow. Perusahaan membeli barang investasi untuk menambah sejumlah stok modal dan mengganti barang modal yang telah rusak atau habis (Mankiw, 2000). Dalam konsep produksi, modal (K) bersama tenaga kerja (L) merupakan dua faktor produksi yang penting dalam menghasilkan sejumlah output (Y). Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas dinyatakan dalam Y AK L 1, dimana α, β adalah parameter yang mengukur share kapital terhadap output dan A adalah parameter yang mengukur tingkat teknologi. Harga setiap faktor produksi merupakan balas jasa dari faktor produksi, dimana sewa (rent) adalah balas jasa dari penggunaan faktor produksi modal. Perusahaan akan memutuskan berapa banyak modal yang digunakan (disewa) dengan membandingkan biaya (cost) dan manfaat (benefit) dari setiap unit modal. Jika perusahaan menyewakan modal pada tingkat harga sewa R dan menjualnya pada tingkat harga P, maka harga riil per unit modal (real rent price) adalah R/P. Sementara manfaat riil per unit modal adalah tambahan output yang diproduksi karena menambah satu unit modal atau disebut marginal product of capital (MPK). MPK disini merupakan permintaan dari modal itu sendiri, karena slope MPK yang negatif karena MPK semakin turun apabila stok modal meningkat. Keuntungan maksimum yang diperoleh perusahaan jika perusahaan menyewakan modal sampai MPK turun dan sama dengan harga sewa riil (R/P). Hubungan

55 37 antara harga sewa riil (R/P), stok modal (K) dan marginal product of capital (MPK) disajikan pada Gambar 1. Harga sewa riil, R/P MPK K Stok Modal, K Sumber : Mankiw, 2000 Gambar 2. Harga Sewa Modal Manfaat dari memiliki modal adalah sewa modal yang diperoleh sebagai balas jasa kepemilikan modal. Sementara biaya kepemilikan modal tergantung pada harga relatif modal, tingkat suku bunga dan tingkat penyusutan yang direpresentasikan pada persamaan matematik berikut : Biaya Modal = ipk PK PK..... (23) = P ( i P / P )... (24) K K K dimana i adalah tingkat suku bunga nominal, P K adalah harga barang modal dan δ adalah tingkat penyusutan. Jika diasumsikan harga barang modal akan meningkat dengan meningkatnya harga barang lainnya, maka ΔP K /P K sama dengan tingkat inflasi π. Karena i π sama dengan tingkat suku bunga riil r, persamaan biaya modal menjadi : Biaya Modal = P K (r + δ)..... (25)

56 38 Kemudian biaya kepemilikan modal adalah relatif terhadap barang lainnya dalam perekonomian, maka biaya riil dari kepemilikan modal ditulis dalam persamaan sebagai berikut : Biaya Riil Modal = (P K / P) (r + δ) (26) dimana P K /P adalah harga relatif barang modal. Tingkat keuntungan dari kepemilikan per unit modal adalah selisih antara penerimaan (R/P) sebagai harga sewa riil dan biaya riil (P K / P) (r + δ) dituliskan menjadi : Keuntungan = Penerimaan Biaya = R/P - (P K / P) (r + δ)... (27) karena harga sewa riil sama dengan marginal product of capital (MPK), maka tingkat keuntungan kepemilikan modal menjadi : Keuntungan = MPK - (P K / P) (r + δ)..... (28) Perubahan dalam stock modal atau investasi bersih (net investment) tergantung pada perbedaan antara marginal product of capital (MPK) dengan biaya riil modal (P K / P) (r + δ). Jika MPK lebih besar dari biaya riil modal, akan menguntungkan jika menambah persediaan modal. Jika MPK lebih kecil dari biaya riil modal, maka dibiarkan persediaan modal mengecil (Mankiw, 2000). Dengan demikian dapat ditulis persamaan investasi sebagai berikut : ΔK = I n [ MPK - (P K / P) (r + δ)]..... (29) dimana I n merupakan fungsi yang menunjukan seberapa besar investasi bersih respon terhadap insentif untuk berinvestasi. Dengan demikian investasi (I) merupakan penjumlahan investasi bersih dan pergantian penyusutan barang modal yang dapat ditulis pada persamaan berikut :

57 39 I = I n [ MPK - (P K / P) (r + δ)].... (30) Persamaan (30) menunjukan bagaimana investasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga riil r. Penurunan dalam tingkat suku bunga riil mengurangi biaya modal, oleh karena itu memiliki modal lebih menguntungkan, demikian juga sebaliknya. Kemudian dalam jangka panjang, marginal product of capital (MPK) sama dengan biaya modal riil. Investasi akan menguntungkan jika nilai MPK lebih besar dari tingkat suku bunga riil. Dengan demikian seberapa besar investor akan menanamkan modalnya dipengaruhi juga oleh kebijakan tingkat suku bunga Ekspor Bersih Pada model perekonomian terbuka (open economy), pendapatan nasional atau output perekonomian (Y) dipengaruhi oleh ekspor bersih (net eksport) yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besarnya ekspor bersih dipengaruhi oleh nilai tukar (exchange rate). Mengacu pada model Mundell-Fleming, persamaan ekspor bersih dapat dituliskan pada persamaan (31), dimana NX(e) adalah ekspor bersih yang dipengaruhi oleh nilai tukar. NX ( e) Y C( Y T ) I ( r) G (31) Pengaruh Permintaan Akhir Terhadap Pertumbuhan Berdasarkan persamaan (31), output atau pendapatan nasional dapat dituliskan sebagai berikut : Y C( Y T ) I ( r) G NX ( e)... (32) Donrbush dan Fisher (1992) menyatakan bahwa output nasional berada pada tingka kesetimbangan (equilibrium) apabila output sama dengan permintaan

58 40 agregat (AD) atau ketika akumulasi modal yang direncanakan sama dengan nol, dimana persamaan output dapat ditulis menjadi Y AD... (33) dengan memasukan persamaan (32) kedalam persamaan (33) maka didapat persamaan output baru yaitu AD AE Y C( Y T ) I( r) G NX ( e)... (34) Pada persamaan (34), dapat dijelaskan bagaimana masing-masing komponen pembentuk output tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan output nasional. Perubahan konsumsi rumahtangga dapat dilihat berdasarkan kemiringan fungsi konsumsi yang disebut Marginal Propensity to Consume (MPC). MPC merupakan besarnya perubahan konsumsi karena peningkatan disposable income sebesar satu satuan nilai uang. Dampak perubahan konsumsi karena peningkatan disposable income terhadap output nasional, dimana faktor lain dianggap konstan disajikan pada Gambar 3. General Price (P) AS P 2 P 1 Δ C AD' AD = C + I + G + NX Y 1 Y 2 Y Sumber : Mankiw, 2000 Gambar 3. Perubahan Konsumsi Terhadap Output Nasional

59 r 2 r 2 IS 41 Sementara itu, perubahan investasi terhadap pendapatan nasional dapat digambarkan melalui kombinasi fungsi investasi dengan diagram perpotongan Keynessian. Untuk mempermudah analisis kita asumsikan konsumsi, pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih dianggap konstan, sehingga dampak perubahan investasi terhadap pendapatan nasional dapat dilihat dengan jelas. Pada Gambar 4, dijelaskan bahwa fungsi investasi berhubungan terbalik dengan tingkat suku bunga. Jika suku bunga menurun dari r 1 ke r 2 akan meningkatkan jumlah investasi dari I 1 ke I 2. Peningkatan jumlah investasi ini akan menggeser fungsi pengeluaran (AE) ke atas. Pergeseran dalam fungsi pengeluaran ini menyebabkan tingkat pendapatan nasional meningkat dari Y 1 ke Y 2. Kurva IS meringkas hubungan antara tingkat suku bunga dan pendapatan. Kurva IS mengkombinasikan interaksi antara r dan I yang ditunjukan oleh fungsi investasi, dan interaksi antara I dan Y yang ditunjukan dengan perpotongan Keynessian. E AE 2 AE 1 Y 1 Y 2 Income, Output (Y) Suku Bunga r 1 r 1 I (r ) I (r1 ) I (r1) Investasi Y 1 Y 2 Income, Output (Y) Sumber : Mankiw, 2000 Gambar 4. Hubungan Suku Bunga, Investasi dan Output Nasional

60 42 Pada persamaan (31) dijelaskan bahwa perubahan terhadap ekspor bersih dipengaruhi oleh nilai tukar. Oleh karena itu, perubahan terhadap nilai tukar akan mempengaruhi perubahan output nasional melalui perubahan ekspor bersih dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Mengacu pada model Mundell-Fleming dalam small open economy dengan menganut floating exchange rate, terjadinya perubahan ekspor bersih karena perubahan nilai tukar berdampak terhadap perubahan kurva IS-LM yang selanjutnya akan merubah output nasional seperti yang terlihat pada Gambar 5. Nilai Tukar riil (e) LM (P 1 ) LM (P 2 ) e 1 e 2 IS Y 1 Y 2 Ouput (Y) Sumber : Mankiw, 2000 Gambar 5. Perubahan Nilai Tukar Terhadap Output Nasional Pengaruh Pertumbuhan Terhadap Pendapatan dan Lapangan Kerja Pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat merupakan variabel makroekonomi yang selalu menjadi sasaran pembangunan. Menurut Winoto dan

61 43 Siregar (2005), pertumbuhan ekonomi ini dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Pada Gambar 6 terlihat jika terjadi peningkatan salah satu variabel permintaan akhir dan variabel yang lain dianggap tetap, maka aggregate demand bergeser ke kanan atas yang menyebabkan pendapatan nasional meningkat dari (Y 1 ) ke (Y 2 ) dan tingkat harga umum menjadi naik dari (P 1 ) ke (P 2 ). General Price (P) AS P 2 P 1 Δ AD AD' Y 1 Y 2 Y, PDB AD = C + I + G + NX Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992 Gambar 6. Investasi, Pendapatan Nasional dan Harga Kenaikan pendapatan nasional dan tingkat harga umum menyebabkan kenaikan terhadap kesempatan kerja. Pertama jika pendapatan nasional meningkat berarti produksi nasional meningkat. Kenaikan produksi nasional akan mendorong penggunaan faktor produksi diseluruh perekonomian seperti tenaga kerja dan faktor produksi lainnya. Artinya terjadinya pertumbuhan pendapatan nasional

62 44 akan menyerap tenaga kerja. Dengan demikian jelas pengaruh pertumbuhan mendorong pembukaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Kenaikan pendapatan nasional juga menyebabkan kenaikan tingkat harga umum (P). Kenaikan tingkat harga umum ini menyebabkan upah riil (W/P) di pasar tenaga kerja menjadi turun. Penurunan tingkat upah riil akan menyebabkan permintaan terhadap tenaga kerja meningkat. MPL W / P... (35) Perusahaan akan menggunakan tenaga kerja tambahan selama produk marginal tenaga kerja (marginal product of labour, MPL) melebihi biaya tambahan karena menggunakan tenaga kerja tambahan (MPL > W/P). Kemiringan kurva MPL yang negatif mencerminkan permintaan tenaga kerja, dimana perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja tambahan jika tingkat upah riil mengalami penurunan. Secara ringkas bagaimana upah riil mempengaruhi permintaan tenaga kerja disajikan pada Gambar 7. Upah Riil (W/P) Supply Tenagakerja W(P 1) W(P 2) L 1 L 2 Kesempatan Kerja (L) MPL = Permintaan Tenagakerja Sumber : Donrbush dan Fisher, 1992 Gambar 7. Upah Riil dan Kesempatan Kerja di Pasar Tenaga Kerja

63 Kerangka Pemikiran Terjadinya penurunan output sektor-sektor berbasis kehutanan selama beberapa tahun terakhir yang tercermin dari penurunan kontribusi PDB sektor kehutanan terhadap PDB nasional. Penurunan output tersebut tentunya berdampak terhadap perekonomian secara keseluruhan terutama terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat yang berkerja di sektor tersebut. Selain itu, penurunan output pada sektor-sektor berbasis kehutanan berdampak terhadap sektor lainnya yang terkait kuat dengan sektor tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada tiga aspek yaitu menganalisis pertumbuhan dan sumbersumber pertumbuhan gross output sektor-sektor berbasis kehutanan yang diklasifikasi kedalam enam sektor, menganalisis dampak perubahan output tersebut terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan serta melihat keterkaitan sektor berbasis kehutanan dengan sektor lainnya. Untuk menjawab ketiga hal tersebut, digunakan pendekatan model I-O Miyazawa Tahun 2008 yang dianggap mampu menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan output sektor berbasis kehutanan, menguraikan secara lebih jelas perubahan output terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat pada berbagai kelompok pendapatan dan sektor-sektor mana yang memiliki keterkaitan kuat (linkages) dengan sektor berbasis kehutanan. Model I-O Miyazawa pada penelitian ini dikembangkan dari Tabel I-O Indonesia Tahun 2008 yang didukung oleh data Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Tahun 2008 (BPS, 2008a), Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

64 46 Tahun 2008 (BPS, 2008b) serta data-data statistik lainnya. Secara keseluruhan kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 8. Output Sektor Berbasis Kehutanan Terus Menurun Analisis Pertumbuhan Gross Output dan Sumber Pertumbuhan - Data Susenas Data Sakernas Data Statistik Model I-O Miyazawa Tahun 2008 Tabel I-O Indonesia Tahun 2008 dan 2005 Golongan Pendapatan Rumahtangga Penyerapan Tenagakerja Linkages Antar Sektor Pendapatan Rendah Pendapatan Sedang Pendapatan Tinggi DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAHTANGGA (KOTA+ DESA) Gambar 8. Kerangka Pemikiran Penelitian 3.3. Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesis yaitu : 1. Secara umum, sumber pertumbuhan output sektor-sektor berbasis kehutanan berdasarkan dekomposisi struktural lebih disebabkan oleh faktor domestc final demand, dan khusus untuk industri pulp sumber pertumbuhan output disebabkan oleh faktor ekspor. 2. Peningkatan output sektor-sektor berbasis kehutanan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan rumahtangga,

65 47 terutama golongan rumahtangga berpendapatan rendah di wilayah perdesaan. 3. Sektor-sektor perekonomian lain yang diduga memiliki keterkaitan kuat terhadap sektor-sektor berbasis kehutanan antara lain sektor bangunan, jasa perdagangan dan jasa angkutan.

66 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder seperti tabel I-O Indonesia klasifikasi 175 sektor tahun 2005 dan 2008, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008, Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2008, Statistik Indonesia tahun 2008 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, serta data Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2008, Statistik Bina Produksi Kehutanan tahun yang bersumber dari Departemen Kehutanan serta data-data hasil studi literatur lainnya yang menunjang penelitian Struktur Tabel Input-Output Miyazawa Penelitian ini menggunakan model I-O Miyazawa yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1968 oleh Miyazawa dan ditulis kembali pada tahun Model ini membuat generalisasi keynesian income multipliers kedalam bentuk matriks inter-relational income multipliers. Model I-O Miyazawa merupakan pengembangan lebih lanjut dari model I-O Leontief. Kelebihan model I-O Miyazawa dibanding model I-O lainnya, model ini telah memasukan golongan pendapatan rumahtangga dalam model. Dengan demikian dapat melakukan analisis dampak perubahan final demand suatu sektor perekonomian terhadap pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan rumahtangga. Penggunaan model I-O Miyazawa di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu, pada penelitian ini dibangun tabel I-O Miyazawa untuk Indonesia Tahun 2008 sebagai langkah awal untuk menjawab tujuan penelitian. Tabel I-O

67 49 Miyazawa pada penelitian ini diklasifikasi menjadi 30 sektor perekonomian yang dikembangkan dari tabel I-O Indonesia Tahun 2008 ditambah institusi rumahtangga sebagai sektor perekonomian yang diklasifikasi menjadi enam golongan pendapatan yaitu rumahtangga kota untuk pendapatan rendah, sedang dan tinggi serta rumahtangga desa untuk pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Selain itu untuk mempertajam pembahasan, sektor-sektor berbasis kehutanan yang menjadi fokus pada penelitian ini dilakukan disagregasi menjadi lima sektor yaitu sektor kayu dan hasil hutan lainnya, industri kayu gergajian, industri kayu lapis, industri bubur kertas dan industri mebel dan kerajinan. Rincian sektor selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Agregasi Sektor Pada Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008 No. Agregasi Sektor Kelompok 1 Tanaman bahan makanan Padi, jagung, ketela pohon, ubi jalar, umbi-umbian, kacang, kedelai, kacang lainnya, sayuran, buah-buahan, padipadian dan bahan makanan lainnya 2 Tanaman perkebunan Karet, tebu, kelapa, kelapa sawit, hasil tanaman serat, tembakau, kopi, teh, cengkeh, kakao, jambu mete, hasil perkebunan lainnya, hasil pertanian lainnya dan jasa pertanian 3 Peternakan Ternak dan hasil-hasilnya kecuali susu segar, susu segar, unggas dan hasilhasilnya, hasil pemeliharaan hewan lainnya, daging, jeroan dan sejenisnya 4 Perikanan Ikan laut dan hasil laut lainnya, ikan darat dan hasil perairan darat, udang, jasa pertanian 5 Kayu dan hasil hutan lainnya Kayu dan hasil hutan lainnya (Kehutanan) 6 Industri kayu gergajian Kayu gergajian dan awetan 7 Industri kayu lapis dan sejenisnya Kayu lapis dan sejenisnya

68 50 Tabel 7. Lanjutan No. Agregasi Sektor Kelompok 8 Industri mebel dan kerajinan Bahan bangunan dari kayu, perabot rumahtangga dan barang terbuat dari kayu, bambu dan rotan, barang anyaman selain dari plastik 9 Industri bubur kertas Bubur kertas 10 Pertambangan dan penggalian Minyak bumi, gas bumi dan panas bumi, Batu bara, bijih timah, nikel, bauksit, tembaga, emas, perak, biji dan pasir besi, barang tambang logam lainnya, barang tambang mineral bukan logam, garam kasar, garam galian segala jenis 11 Industri makanan Daging olahan awetan, makanan dan minuman dari susu, buah-buahan dan sayuran olahan dan awetan, ikan kering dan asin, ikan olahan dan awetan, kopra, minyak hewani dan nabati, beras, tepung terigu, tepung lainnya, roti, mie makaroni, gula biji-bijian kupasan, coklat dan kembang gula, kopi giling dan kupasan, teh olahan, hasil pengolahan kedele, makanan lainnya dan pakan ternak. 12 Industri minuman Minuman beralkohol dan tak beralkohol 13 Industri rokok Tembakau olahan dan rokok 14 Industri pemintalan Kapuk bersih, benang 15 Industri tekstil, pakaian dan kulit 16 Industri kertas dan barang cetakan 17 Industri pupuk, kimia dan barang dari karet Tekstil, tekstil jadi kecuali pakaian, barang rajutan, pakaian jadi, permadani dan tekstil lainnya, kulit dan olahan, barang dari kulit, alas kaki Kertas dan karton, barang-barang dari kertas dan karton, barang cetakan Kimia dasar kecuali pupuk, pupuk, pestisida, damar sintetis bahan plastik, cat, obat-obatan, jamu, sabun, barang kosmetik, bahan kimia lainnya, karet remah dan asap, ban, barang dari karet dan plastik 18 Industri migas Barang-barang hasil kilang minyak, gas alam cair (LNG) 19 Industri semen Semen

69 51 Tabel 7. Lanjutan No. Agregasi Sektor Kelompok 20 Industri barang mineral bukan logam Keramik dan barang dari tanah liat, kaca, bahan bangunan dari kaca dan tanah liat, semen, barang bukan logam 21 Industri logam dasar, besi dan baja 22 Industri alat angkutan, mesin, peralatan dan lainnya Besi dan baja dasar, barang-barang dari besi dan baja, logam dasar bukan besi, barang dari logam bukan besi, alat dapur dari logam, perabot dari logam, bahan bangunan dari logam, barang logam lainnya Mesin penggerak mula, mesin dan perlengkapannya, mesin pembangkit dan motor listrik, mesin listrik, barang elektronika dan komunikasi, alat-alat listrik untuk rumahtangga, perlengkapan listrik lainnya, baterai dan aki, kapal dan jasa perbaikannya, kereta api, kendaraan bermotor selain sepeda motor, sepeda motor, alat angkut lainnya, pesawat terbang, alat ukur fotografi optik dan jam, barang perhiasan, alat musik dan olahraga, barang industri lainnya 23 Listrik, gas dan air bersih Listrik, gas, air bersih 24 Bangunan Bangunan tempat tinggal dan bukan, prasarana pertanian, jalan jembatan dan pelabuhan, bangunan untuk instalasi listrik gas air dan komunikasi 25 Perdagangan Jasa perdagangan 26 Restoran dan hotel Jasa perhotelan dan restoran 27 Angkutan Jasa angkutan kereta api, jalan raya, laut, danau dan sungai, udara, dan jasa penunjang angkutan 28 Komunikasi Jasa komunikasi 29 Keuangan dan jasa perusahaan Bank, lembaga keuangan lainnya, asuransi, dana pensiun, sewa bangunan dan sewa tanah, jasa perusahaan 30 Jasa - jasa Jasa pemerintahan umum, jasa pendidikan, kesehatan dan lainnya dari pemerintah dan swasta, jasa perorangan Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009b

70 52 Matriks dalam tabel I-O Miyazawa pada penelitian ini terdiri dari matriks permintaan antara, matriks permintaan akhir dan matriks input primer. Matriks permintaan antara atau sering disebut matriks input antara merupakan transaksi input-output antar sektor perekonomian yang terdiri dari 30 sektor perekonomian ditambah dengan institusi rumahtangga dengan enam klasifikasi golongan pendapatan yaitu rumahtangga golongan pendapatan rendah, sedang dan tinggi baik di perkotaan dan perdesaan. Dimasukannya institusi rumahtangga dalam matriks permintaan antara merupakan ciri khas model I-O Miyazawa yang membedakannya dengan tabel input-output lainnya yaitu adanya generalisasi keynesian income multipliers kedalam bentuk matriks inter-relational income multipliers. Tabel 8. Struktur Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008 Kolom Sektor Baris

71 53 Keterangan : a) Sisi baris Baris 1 s.d 30 = sektor ekonomi sebagai penghasil/penyedia produk yang digunakan oleh sektor lain (sektor kolom) sebagai input antara Baris 31 = rumahtangga kota pendapatan rendah Baris 32 = rumahtangga kota pendapatan sedang Baris 33 = rumahtangga kota pendapatan tinggi Baris 34 = rumahtangga desa pendapatan rendah Baris 35 = rumahtangga desa pendapatan sedang Baris 36 = rumahtangga desa pendapatan tinggi Baris 190 = jumlah input antara Baris 202a = surplus usaha sisa Baris 203 = penyusutan Baris 204 = pajak tak langsung bersih Baris 210 = jumlah input b) Sisi kolom Kolom 1 s.d 30 = sektor ekonomi sebagai penghasil/penyedia produk yang digunakan oleh sektor lain (sektor kolom) sebagai input antara Kolom 31 = konsumsi rumahtangga kota pendapatan rendah Kolom 32 = konsumsi rumahtangga kota pendapatan sedang Kolom 33 = konsumsi rumahtangga kota pendapatan tinggi Kolom 34 = konsumsi rumahtangga desa pendapatan rendah Kolom 35 = konsumsi rumahtangga desa pendapatan sedang Kolom 36 = konsumsi rumahtangga desa pendapatan tinggi Kolom 180 = jumlah permintaan antara Kolom 302 = konsumsi pemerintah Kolom 303 = pembentukan modal tetap bruto Kolom 304 = perubahan inventori Kolom 305 = jumlah ekspor untuk barang dan jasa

72 54 Kolom 409 Kolom 600 = jumlah impor untuk barang dan jasa = jumlah output Matriks permintaan akhir dalam model I-O Miyazawa terdiri dari konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan inventori dan jumlah ekspor bersih (barang dan jasa). Adapun matriks input primer terdiri dari surplus usaha, pajak tak langsung bersih dan penyusutan. Untuk kepentingan analisis dan kemudahan dalam membaca tabel, maka setiap sektor diberi nomor kode sesuai dengan klasifikasi yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik seperti dalam tabel I-O Indonesia klasifikasi 175 sektor. Nomor kode lain yang juga digunakan pada tabel I-O Indonesia Tahun 2008 yang menjadi data dasar dalam penyusunan tabel I-O Miyazawa diantaranya adalah konsumsi rumahtangga (kode 301) yang ditempatkan pada kolom permintaan akhir serta upah dan gaji (kode 201) yang ditempatkan pada kolom input primer Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun Agregasi atau Disagregasi Sektor Langkah awal yang dilakukan dalam penyusunan tabel I-O Miyazawa adalah melakukan agregasi atau disagregasi sektor perekonomian yang didasarkan pada tabel I-O pada tahun yang sama. Agregasi atau disagregasi sektor dilakukan menurut kepentingan penelitian. Pada penelitian ini, dilakukan agregasi sektor perekonomian menjadi 30 sektor yang didasarkan pada tabel I-O Indonesia Tahun 2008 sebagai tabel dasar. Namun demikian, jika tabel I-O yang dijadikan tabel dasar pada tahun yang akan dianalisis belum tersedia, maka langkah awal yang

73 55 perlu dilakukan adalah menyusun tabel baru atau melakukan up-dating terhadap tabel I-O yang sudah ada sebelumnya. Menurut BPS (2000), berdasarkan jenis data yang tersedia maka metode penyusunan tabel I-O dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu metode survey, metode semi survey dan metode non-survey. Metode survey digunakan apabila seluruh data yang diperlukan dikumpulkan secara langsung melalui survey atau penelitian lapangan. Metode semi survey digunakan apabila sebagian data yang diperlukan dikumpulkan secara langsung melalui survey terutama data pendukung pembentukan matriks kuadran I. Sementara metode non-survey digunakan apabila seluruh data yang diperlukan diperoleh dari suatu tabel I-O lain yang sudah ada Penentuan Jenis Tabel Transaksi Jenis tabel transaksi yang digunakan dalam penyusunan tabel Input Output Miyazawa Tahun 2008 adalah tabel transaksi total atas dasar harga produsen. Nilai transaksi pada tabel ini mencakup nilai dari semua transaksi barang/jasa baik impor maupun domestik dengan menggunakan harga produsen. Oleh karena itu, margin perdagangan dan biaya pengangkutan diperlakukan sebagai input antara yang berasal dari sektor perdagangan dan biaya pengangkutan. Tabel transaksi total atas dasar harga produsen ini berperan penting dalam melakukan analisis dengan model yang diturunkan dari tabel I-O karena transaksi pada tabel ini benar-benar mencerminkan kegiatan ekonomi di suatu wilayah, dalam hal ini perekonomian Indonesia, yang dinilai dengan harga dari sisi produsen.

74 Penyusunan Matriks Inter-Relational Income Multipliers Penyusunan tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 memerlukan data data pendukung untuk menyusun matriks inter-relational income multipliers dalam matriks transaksi input antara. Pada penelitian ini, matriks inter-relational income multipliers pada sisi baris dan kolom terdiri dari baris 31 hingga baris 36. Pada sisi baris menjelaskan pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan di perkotaan maupun perdesaan. Sementara itu, sisi kolom menjelaskan konsumsi rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan di perkotaan maupun perdesaan. Data yang digunakan untuk menyusun matriks inter-relational income multipliers yaitu data Susenas Tahun 2008, data Sakernas Tahun 2008 dan data statistik lainnya yang diperoleh dari Bagian Konsolidasi Neraca Sosial Ekonomi, Badan Pusat Statistik. 1. Penyusunan Matrik Baris Menurut Sonis dan Hewings (2000), matriks inter-relational income multipliers sisi baris diperoleh dari pendapatan rumahtangga sebagai balas jasa atas faktor produksi yang dimilikinya. Pada penelitian ini, klasifikasi penggolongan pendapatan rumahtangga rendah, sedang dan tinggi baik di perkotaan maupun perdesaan, didasarkan pada data Upah Minimum Provinsi (UMP) seluruh Indonesia tahun 2008 yang bersumber dari Asosiasi Pengusahan Indonesia (Apindo, 2009) dan komposisi struktur pendapatan rumahtangga dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia Tahun 2005 (BPS, 2008c). Data UMP yang dimaksud adalah rata-rata UMP seluruh Indonesia. Data UMP ini digunakan untuk melakukan klasifikasi rumahtangga pendapatan rendah.

75 57 Pada penelitian ini diasumsikan rumahtangga pendapatan rendah baik di perkotaan maupun di perdesaan adalah rumahtangga yang memiliki pendapatan di bawah UMP. Berdasarkan publikasi Apindo (2009), rata-rata UMP seluruh Indonesia tahun 2008 sebesar Rp per bulan. Sementara itu, data SNSE Indonesia Tahun 2005 digunakan untuk melakukan klasifikasi rumahtangga pendapatan tinggi. Hasil perhitungan diperoleh bahwa rumahtangga pendapatan tinggi adalah rumahtangga yang memiliki pendapatan rata-rata di atas Rp per bulan. Adapun rumahtangga pendapatan sedang adalah rumahtangga yang memiliki pendapatan lebih besar dari rumahtangga pendapatan rendah (di atas UMP) dan lebih kecil dari rumahtangga pendapatan tinggi seperti yang terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Klasifikasi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan Golongan Rumahtangga Pendapatan Rata-Rata (Rp / bulan) Pendapatan Rendah < Pendapatan Sedang < pendapatan < Pendapatan Tinggi > Sumber : 1. Badan Pusat Statistik, 2008c (diolah) 2. Asosiasi Pengusaha Indonesia, 2009 (diolah) Menurut Sonis dan Hewings (2000), pengisian sel pendapatan rumahtangga pada sisi baris (matriks V) dilakukan dengan mengalikan proporsi pendapatan rumahtangga dari setiap sektor dengan total pendapatan rumahtangga menurut golongan pendapatan. Adapun proses perhitungan pendapatan rumahtangga dari setiap sektor menurut golongan pendapatan adalah sebagai berikut :

76 58 ΣS j (P) R ΣS j (P) I j ΣS j (S) θ j V j(l,m,h)(u,r) = ΣC i - ΣW j = ΣS j (P) / ΣS j = R*S j = W j + S j (P) = S j - S j (P) = I j / ΣI j = θ j *ΣI (l,m,h)(u,r) dimana : C i W j S j ΣS j (P) ΣS j (S) R ΣI j θ j V j(l,m,h) l,m,h U,R i,j = konsumsi rumahtangga = upah/gaji = surplus usaha = surplus usaha parsial = surplus usaha sisa = rasio surplus usaha parsial dengan surplus usaha = total pendapatan rumahtangga = proporsi pendapatan rumahtangga = pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan = rumahtangga pendapatan rendah, sedang, tinggi = rumahtangga perkotaan dan perdesaan = sektor ke-i dan j 2. Penyusunan Matrik Kolom Sonis dan Hewings (2000), pengisian sel pada kolom tabel I-O Miyazawa tahun 2008 (matriks C) dilakukan dengan mengalikan proporsi konsumsi rumahtangga setiap sektor dengan total konsumsi rumahtangga menurut golongan pendapatan. Pada penelitian ini, klasifikasi konsumsi rumahtangga menurut golongan pendapatan didasarkan pada komposisi pengeluaran konsumsi rumahtangga dalam Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia Tahun 2005 (BPS, 2008c).

77 59 Hasil perhitungan diperoleh informasi bahwa untuk wilayah perdesaan, konsumsi rata-rata rumahtangga pendapatan rendah sebesar Rp per bulan dan rumahtangga pendapatan tinggi sebesar Rp per bulan. Sedangkan konsumsi rumahtangga pendapatan sedang adalah rumahtangga yang tingkat konsumsinya lebih besar dari konsumsi rumahtangga pendapatan rendah dan lebih kecil dari konsumsi rumahtangga pendapatan tinggi. Sementara itu untuk wilayah perkotaan, konsumsi rata-rata rumahtangga pendapatan rendah sebesar Rp per bulan dan rumahtangga pendapatan tinggi sebesar Rp per bulan. Sedangkan konsumsi rumahtangga pendapatan sedang adalah rumahtangga yang tingkat konsumsinya lebih besar dari konsumsi rumahtangga pendapatan rendah dan lebih kecil dari konsumsi rumahtangga pendapatan tinggi. Klasifikasi konsumsi atau pengeluaran rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan rumahtangga pendapatan rendah, sedang dan tinggi baik di wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan secara lengkap disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Klasifikasi Konsumsi Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pendapatan Golongan Rumahtangga Konsumi Rata-Rata (Rp / bulan) Desa Pendapatan Rendah < Pendapatan Sedang < konsumsi < Pendapatan Tinggi > Kota Pendapatan Rendah < Pendapatan Sedang < konsumsi < Pendapatan Tinggi > Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008c (diolah)

78 60 Proses perhitungan besarnya konsumsi rumahtangga tiap sektor menurut golongan pendapatan adalah sebagai berikut : ή i C i (U,R) (l,m,h) = C i / ΣC i = ή i * ΣC (U,R) (l,m,h) dimana : ή i C i ΣC i l,m,h U,R = proporsi konsumsi rumahtangga = konsumsi rumahtangga = total konsumsi pada berbagai golongan pendapatan = sektor ke-i = rumahtangga pendapatan rendah, sedang, tinggi = rumahtangga perkotaan dan perdesaan Rekonsiliasi Data Tahap rekonsiliasi data dilakukan dalam rangka penyesuaian data dalam penyusunan tabel I-O Miyazawa. Rekonsiliasi data terutama untuk memeriksa konsistensi antar sel. Selain itu keseimbangan input-output juga menjadi hal penting yang dilakukan dalam proses rekonsiliasi data. Penyusunan Tabel I-O / Up-dating Tidak Ketersediaan Tabel Dasar Tabel I-O 2008 Ya Agregasi/Disagregasi Sektor - Susenas Sakernas Data statistik lain Penyusunan Matriks Inter-Relational Income Multipliers Tidak Konsistensi Data Ya Tabel I-O Miyazawa 2008 Gambar 9. Proses Penyusunan Tabel Input-Output Miyazawa Tahun 2008

79 Analisis Data Analisis Pertumbuhan Struktural Pada penelitian ini analisis terhadap faktor-faktor pertumbuhan gross output berdasarkan sistem I-O difokuskan untuk menganalisis perkembangan dan sumber-sumber pertumbuhan gross output sektor berbasis kehutanan di Indonesia. Analisis pertumbuhan gross output didasarkan pada perubahan gross output tahun dasar (I-O tahun 2005) dengan tahun analisis (I-O tahun 2008). West (1993) menyatakan bahwa dalam tabel I-O, total output merupakan penjumlahan antara permintaan antara (intermediate input), permintaan akhir domestik (domestic final demand), ekspor minus impor. Secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut : X i AX Fd E IM (36) i i i i dimana : Xi A Fdi Ei IMi = total output sektor i = matriks koefisien input output = permintaan akhir domestik sektor i = ekspor sektor i = impor sektor i Perubahan gross output (ΔX) merupakan selisih antara X t dan X 0, dimana (t) menunjukan tahun dasar (tahun 2005) dan (0) menunjukan tahun proyeksi (tahun 2008). Dengan demikian perubahan gross output disebabakan oleh empat komponen penting yaitu expansion of domestic final demand (FD), exsport expansion (EE), import substitution (IS) dan technological change (IO). Zuhdi (1999), jika impor diasumsikan dalam fungsi permintaan total, maka persamaan impor dapat dituliskan menjadi :

80 62 IM m( AX Fd E) atau IM ( 1 )( AX F E) (37) dimana : μ m D IM = 1- m = rasio penawaran domestik terhadap produksi total = IM/D = koefisien impor = permintaan total = impor Dengan demikian formulasi untuk variabel output (X) dapat dituliskan menjadi : X dimana : μ A X Fd E AX f E..... (38) = rasio penawaran domestik terhadap produksi total = matriks koefisien input - output = total output = permintaan akhir domestik = ekspor Menurut pendekatan ini matriks input-output domestik (A = μ A) adalah matriks yang relevan, sehingga bentuk persamaan keseimbangan adalah : X X AX Fd E..... (39) ( I A)( Fd E).. (40) Selanjutnya untuk menguraikan sumber sumber pertumbuhan output dari satu waktu ke waktu lainnya, digunakan bentuk umum persamaan dekomposisi pertumbuhan output yang dituliskan sebagai berikut : X 1 1 Fd 1 E 1 AX Fd) 0 ( AX (41) X 1[( 1 Fd) E ( AX Fd) 0 ( 1 A) X 0 ]..... (42)

81 63 dimana : Δ X α 1 μ 1 Fd E = perubahan nilai dari variabel dan parameter = total output = (I A) -1 1 = invers matriks identitas dikurangi matriks koefisien input-output domestik tahun proyeksi = matriks rasio penawaran domestik terhadap permintaan total tahun proyeksi = permintaan akhir domestik = ekspor Analisis Dampak Sonis dan Hewings (2000), analisis dampak (impact analysis) pada model I-O Miyazawa dapat digunakan untuk mengukur besarnya dampak peningkatan output suatu sektor, dalam hal ini sektor-sektor berbasis kehutanan, terhadap distribusi pendapatan rumahtangga. Pada model I-O Miyazawa, pendapatan rumahtangga pada berbagai kelompok pendapatan dimasukan dalam matriks kuadran I (matriks M) atau matriks A pada Tabel I-O Leontief. Analisis dampak pada penelitian ini digunakan untuk melihat besarnya dampak perubahan output sektor berbasis kehutanan terhadap distribusi pendapatan rumahtangga dengan menggunakan matriks Miyazawa (M) dan penciptaan lapangan kerja dengan menggunakan matriks Leontief (A). Miller dan Blair (1985), persamaan analisis dampak secara umum dituliskan sebagai berikut : X dimana : ΔX α ij i F ij i = perubahan pendapatan rumahtangga menurut golongan pendapatan atau perubahan lapangan kerja = matriks kebalikan leontief (I-A) -1 atau matriks kebalikan leontief untuk matriks Miyazawa (I-M) -1

82 64 ΔF i = perubahan output karena perubahan permintaan akhir = sektor berbasis kehutanan Analisis Keterkaitan Antar Sektor Analisis keterkaitan merupakan analisis untuk melihat sejauhmana suatu sektor perekonomian, dalam hal ini sektor berbasis kehutanan, mampu mendorong pertumbuhan sektor hulu maupun sektor hilirnya. Analisis keterkaitan juga mengindikasikan apakah sektor berbasis kehutanan dapat menjadi sektor kunci dalam perekonomian nasional atau tidak. Analisis keterkaitan pada penelitian ini menggunakan Tabel I-O Indonesia tahun Analisis indeks keterkaitan mulanya dikembangkan oleh Rasmussen (1956) dan Hirschman (1958) untuk melihat keterkaitan antar sektor, terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan. Konsep ini kemudian diperbaiki oleh Cella (1984) dan diterapkan oleh Clements dan Rossi (1991). Dikenal dua jenis keterkaitan yaitu keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan keterkaitan ke depan (forward linkages). Keterkaitan ke belakang mencerminkan kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan sektor hulunya. Sektor j dikatakan mempunyai keterkaitan ke belakang yang tinggi apabila BL j mempunyai nilai lebih besar dari satu. Rumus yang digunakan untuk mencari nilai indeks total keterkaitan ke belakang adalah : BL j = dimana: BL j α ij n n i 1 n n i 1 j 1 ij ij = indeks total keterkaitan ke belakang sektor j = matriks kebalikan leontief

83 65 Keterkaitan ke depan merupakan kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor lain yang memakai input dari sektor tersebut. Sektor i dikatakan mempunyai indeks total keterkaitan ke depan yang tinggi apabila nilai FLi lebih besar dari satu. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : FL i = n n j 1 n n i 1 j 1 ij ij dimana: FL i α ij = indeks total keterkaitan ke depan sektor i = matriks kebalikan leontief Tabel I-O Indonesia Tahun 2008 merupakan bentuk model I-O sisi permintaan (demand driven model) yang mengasumsikan perekonomian tumbuh apabila ada peningkatan final demand sebagai exogenous factor. Sementara model I-O sisi penawaran (supply side model) diasumsikan perekonomian dimungkinkan dapat tumbuh bukan oleh final demand tetapi karena adanya perubahan biaya input primer sebagai exogenous factor. Terkait dengan perhitungan keterkaitan sektor, menurut West (1993) menyatakan bahwa keterkaitan ke belakang (backward linkage) dalam model I-O sisi permintaan merupakan forward linkage dalam model model I-O sisi penawaran.

84 V. ANALISIS PERTUMBUHAN GROSS OUTPUT SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN 5.1. Profil Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Sektor berbasis kehutanan adalah sektor yang outputnya terdiri dari kayu, hasil hutan non kayu, dan kayu olahan. Berdasarkan klasifikasi sektor dalam tabel I-O Indonesia, sektor berbasis kehutanan terdiri dari sektor kayu dan hasil hutan lainnya (kehutanan) dan sektor industri kayu yang dirinci menjadi industri kayu gergajian, industri kayu lapis, industri pulp dan industri barang yang terbuat dari kayu, bambu dan rotan atau disebut sebagai industri mebel dan kerajinan. Sektorsektor tersebut memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Adapun perkembangan secara umum masing-masing sektor diuraikan berikut ini Profil Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Peran sektor kayu dan hasil hutan lainnya atau sektor kehutanan pada dekade 1980-an merupakan sektor strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional saat itu yang masih bertumpu pada sumberdaya alam, khususnya kayu dan produk turunannya dalam menghasilkan devisa. Namun demikian, saat ini kondisi sumberdaya hutan Indonesia berada dalam kondisi yang kritis akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa memperhitungkan aspek kelestarian dan lingkungan. Selama ini pemanfaatan hutan khususnya kayu dilakukan dengan cara menebang besar-besaran di hutan alam yang ketersediaannya semakin menipis. Oleh karena itu, esensi pembangunan kehutanan ke depan yaitu mengoptimalkan pengelolaan hutan yang masih tersisa melalui pengelolaan hutan lestari. Dengan

85 67 pengelolaan ini diharapkan kontribusi sektor kehutanan dapat lebih berperan dalam pembangunan ekonomi nasional ke depan khususnya dalam kontribusinya terhadap PDB nasional yang selama satu dekade terakhir terus menurun, penyerapan tenaga kerja, mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan dalam jangka panjang sektor kehutanan diharapkan dapat kembali menyumbangkan perolehan devisa dan penerimaan negara lainnya secara lebih signifikan. Dalam revitalisasi sektor kehutanan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) disebutkan bahwa salah satu kebijakan prioritas pembangunan sektor kehutanan adalah mendorong investasi yang difokuskan pada pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) karena luasan hutan pada hutan alam semakin menipis. Menurut Departemen Kehutanan (2009a), areal pengusaan hutan pada hutan alam hingga tahun 2008 sebagian besar tersebar di pulau Kalimantan sekitar 12.2 juta hektar dari total 26.2 juta hektar dan paling sedikit tersebar di pulau Maluku sekitar 1.5 juta hektar. Pengembangan HTI dilatarbelakangi oleh kondisi kesenjangan antara kapasitas industri perkayuan dengan pasokan bahan baku kayu yang pada waktu itu hanya mengandalkan dari kayu hutan alam. Jenis tanaman HTI yang dibudidayakan pada umumnya jenis kayu cepat tumbuh seperti akasia, sengon, eucaliptus, gmelina dan lainnya. Pada saat itu pembangunan HTI ditargetkan seluas 6 juta hektar, dengan perkiraan pada waktu panen akan mampu mendukung kebutuhan industri bersama-sama kayu dari hutan alam.

86 68 Pembangunan investasi HTI sendiri dimulai sejak tahun Pada mulanya, pembangunan HTI diarahkan pada areal hutan yang tidak produktif dengan kriteria potensi pohon berdiameter 50 cm kurang dari 20 m 3 per hektar. Kemudian berkembang berdasarkan jumlah ketersediaan pohon serta anakan dengan jumlah tertentu. Sejak tahun 2000 pemerintah hanya mengeluarkan ijin HTI di dalam kawasan hutan produksi pada areal-areal non hutan (tanah kosong, alang-alang, semak belukar) sehingga pada areal-areal tersebut tentunya tidak akan diterbitkan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang selama ini seringkali dicurigai sebagai motivasi utama dari investor yang berinvestasi dalam usaha hutan tanaman. Kebijakan tersebut sekaligus merupakan komitmen untuk mulai mengkonservasi dan memelihara sisa hutan alam di Indonesia. Kebijakan pemberian ijin HTI atau Usaha Hutan Tanaman hanya pada areal non hutan di dalam kawasan hutan produksi ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Istilah tersebut mengacu kepada UU 41/1999 tentang Kehutanan, menggantikan istilah Hutan Tanaman Industri (HTI). Pada perkembangannya, investasi pada IUPHHK-HT belum optimal dilakukan dan realisasinya masih jauh dari yang diharapkan. Sampai dengan pertengahan tahun 2001, tanaman yang terealisasi pada areal Usaha Hutan Tanaman seluas 1.9 juta hektar (tidak termasuk hutan tanaman yang dikembangkan Perum Perhutani di Jawa, hutan tanaman unggulan yang dikembangkan secara swakelola oleh Dinas-Dinas Kehutanan di Indonesia, serta hutan rakyat yang dikembangkan pada lahan milik masyarakat). Sedangkan

87 69 jumlah ijin yang telah diberikan secara definitif sebanyak 104 unit, terdiri dari 21 unit HTI pulp, 32 unit HTI pertukangan dan 51 unit HTI-Trans. Kemudian sampai dengan tahun 2006, pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai sekitar 3 juta hektar dan pada akhir tahun 2007 mencapai 3.57 juta hektar. Angka ini baru mencapai separuh dari yang ditargetkan oleh Departemen Kehutanan yaitu sekitar 5 juta hektar (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2009). Menurut Departemen Kehutanan (2009), sampai dengan bulan Desember 2008 perusahaan IUPHHK-HT sebanyak 227 unit perusahaan dengan total areal kerja seluas juta hektar. Pada tahun 2008 realisasi tanaman pada HTI seluas 4.31 juta hektar. Hingga saat ini, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan terus mendorong pengembangan investasi di Hutan Tanaman Industri untuk mendorong pembangunan industri kayu olahan yang mengalami kekurangan pasokan kayu bulat yang selama ini masih mengandalkan dari hutan alam yang persediaannya semakin menipis. Adanya investasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan peran sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional ke depan Profil Sektor Industri Kayu Gergajian Kondisi industri kayu gergajian (sawn timber) di Indonesia umumnya merupakan industri kecil dan menengah yang memiliki kapasitas terpasang di bawah m 3. Menurut Departemen Kehutanan (2007b), hampir 90 persen anggota Indonesia Sawmill and Woodworking Association (ISWA) merupakan perusahaan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan tidak mempunyai HPH. Jumlah perusahaan terdaftar dan berorientasi ekspor yang aktif dari tahun ke tahun terus

88 70 menurun. Negara tujuan utama ekspor kayu gergajian adalah Jepang dan China, sedangkan ekspor ke negara-negara eropa volumenya sangat kecil. Produksi kayu gergajian sejak tahun 1990an mengalami kecenderungan yang terus menurun. Pada tahun 1996, produksi kayu gergajian sebesar 3.56 juta m 3 menurun tajam pada tahun 2001 menjadi sebesar 674 ribu m 3 dan pada tahun 2008 hanya sebesar 530 ribu m 3. Menurunnya produksi setiap tahunnya, maka sebagian besar output yang dihasilkan digunakan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Produksi (M 3 ) 4,000,000 3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000, ,000 - Sumber : Departemen Kehutanan, 2006b, 2007c, 2008b dan 2009b Gambar 10. Produksi Kayu Gergajian Indonesia Tahun Profil Sektor Industri Kayu Lapis Industri kayu lapis (Plywood) merupakan salah satu industri kehutanan yang menjadi sumber penghasil devisa utama dan industri ini berkembang pesat di Indonesia sejak hutan dimanfaatkan secara komersial pada tahun 1970-an. Indonesia hingga saat ini merupakan produsen kayu lapis terbesar di dunia. Namun demikian, perkembangan industri kayu lapis Indonesia akhir-akhir ini

89 71 terus mengalami penurunan, bahkan disinyalir industri kayu lapis telah mengalami sunset industries. Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya pangsa ekpsor kayu lapis Indonesia di pasar internasional karena rendahnya daya saing yang diakibatkan oleh ketidakpastian pasokan bahan baku kayu bulat yang semakin langka dan ketidakefisienan produksi akibat mesin-mesin yang sudah tua. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat bahwa jumlah perusahaan kayu lapis hingga saat ini kurang dari 130 perusahaan dan yang aktif hanya berjumlah 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m 3 /tahun dimana hanya 19 unit yang berproduksi normal (1.54 juta m 3 /tahun). Sementara itu, dilihat dari sisi produksi, sejak tahun 1996 hingga 1998 produksi kayu lapis Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 1996, produksi kayu lapis mencapai 10.2 juta m 3 dan terus mengalami penurunan setiap tahunnya dan mencapai puncaknya pada tahun 2002 yaitu menjadi 1.69 juta m 3, dan pada tahun 2008 produksi kayu lapis sebesar 3.35 juta m 3. 12,000,000 10,000,000 Produksi (M 3 ) 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 - Sumber : Departemen Kehutanan, 2006b, 2007c, 2008b dan 2009b Gambar 11. Produksi Kayu Lapis Indonesia Tahun

90 Profil Sektor Industri Pulp Sektor industri pulp mendapat perhatian cukup besar dari pemerintah, karena keberadaannya amat terkait dengan sumber bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam. Industri pulp merupakan salah satu industri kehutanan yang terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Produksi pulp sejak tahun rata-rata sebesar 4.9 juta ton. Besarnya produksi pulp ini disebabkan kapasitas terpasang industri pulp yang terus meningkat yaitu dari 0.5 juta ton pada tahun 1987 meningkat menjadi 5.2 juta ton pada tahun 2000 dan pada tahun 2008 mencapai 6.4 juta ton. Pemenuhan bahan baku industri pulp bersumber dari HTI dan hutan alam. Ketidakseimbangan ketersediaan bahan baku kayu dengan kapasitas terpasang industri pulp yang besar merupakan masalah utama dalam perkembangan industri pulp di Indonesia saat ini Produksi (ton) Sumber : 1. Departemen Kehutanan, 2009a 2. Indonesia Pulp and Paper Association, 2005 Gambar 12. Produksi Pulp Indonesia Tahun Berdasarkan data statistik kehutanan 2007, tercatat ada 13 pabrik dengan total kapasitas terpasang 6.5 juta ton dimana 86 persen dari kapasitas terpasang

91 73 tersebut berlokasi di Sumatera, khususnya Riau. Sementara itu, 53 persen dari pabrik pulp dan kertas merupakan perusahaan swasta PMA (Private Company Foreign Investments). Berkembangnya industri pulp di Indonesia ini menjadikan Indonesia sebagai pemain utama pulp dunia bersama-sama dengan China dan Brazil Profil Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Industri mebel dan kerajinan kayu-rotan sebagian besar didominasi oleh usaha kecil menengah dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri-industri besar. Sentra-sentra produksi mebel dan kerajinan terutama di Pulau Jawa seperti Semarang, Jepara, Solo, Yogyakarta, Surabaya dan Cirebon. Badan Pusat Statistik (2009a) mencatat bahwa nilai ekspor mebel dan kerajinan dari kayu bambu dan rotan pada tahun 2003 sebesar US$ 1.53 milyar, meningkat menjadi US$ 1.74 milyar pada tahun 2005 dan pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi sebesar US$ 1.46 milyar. Asosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO, 2008) menyatakan bahwa penurunan ekspor ini disebabkan karena menurunnya permintaan negara-negara importir mebel asal Indonesia seperti Amerika Serikat dan Eropa. Menurut Departemen Kehutanan (2007b), sumber bahan baku industri mebel dan kerajinan sebagian besar berbahan baku kayu dan/atau rotan. Sementara itu, produksi mebel dan kerajinan sebagian besar untuk memenuhi permintaan domestik disamping untuk memenuhi permintaan ekspor terutama ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan sejumlah negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Perancis.

92 Pertumbuhan Struktural Sektor Berbasis Kehutanan Analisis terhadap gross output sektor-sektor berbasis kehutanan akan memberikan informasi sumber-sumber yang menjadi pendorong pertumbuhan sektor tersebut. Adapun trend waktu yang digunakan untuk mengamati perubahan struktur adalah tahun 2005 dan tahun 2008, dimana tahun 2005 dijadikan sebagai tahun awal sedangkan tahun 2008 merupakan tahun akhir. Selisih nilai output diantara kedua waktu tersebut didekomposisi ke dalam empat faktor penyebab perubahan yakni : (1) Domestic Final Demands (DD), (2) Exsport Expansions (EE), (3) Import Substitutions (IS), dan (4) Changes in Input-Output Coefficients atau Technological Change (IO). Penyajian pertumbuhan struktural menggunakan perhitungan rata-rata proporsi dari masing-masing faktor pertumbuhan terhadap nilai total perubahan Pertumbuhan Struktural Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Hasil analisis menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan sektor kayu dan hasil hutan lainnya atau sektor kehutanan dalam kurun waktu disebabkan oleh adanya dorongan domestic demand (DD) seperti yang terlihat pada Gambar 13. Kontribusi domestic demand terhadap pertumbuhan gross output sektor kehutanan sekitar 60.3 persen. Besarnya domestic demand disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; pertama meningkatnya permintaan produk kayu bulat untuk pasokan bahan baku industri kayu dalam negeri, bahkan terjadi kesenjangan antara permintaan dengan pasokan kayu bulat untuk industri kayu dalam negeri. Menurut Departemen Kehutanan (2007b), kesenjangan antara permintaan dengan pasokan kayu bulat untuk industri perkayuan dalam negeri sekitar 42 juta m 3.

93 75 Adanya kesenjangan ini menimbulkan maraknya praktek illegal logging untuk memenuhi kebutuhan pasokan kayu bulat bagi industri perkayuan di dalam negeri. Faktor kedua yang menyebabkan besarnya domestic demand dideterminasi oleh meningkatnya jumlah penduduk sehingga mendorong permintaan terhadap papan menjadi terus meningkat. Faktor lainnya adalah adanya larangan ekspor kayu bulat oleh pemerintah sejak tahun 1985 yang menyebabkan kayu bulat sebagai output utama sektor kehutanan praktis hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. IO DD EE IS Gambar 13. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Tahun Faktor pendorong pertumbuhan sektor kehutanan lainnya adalah perkembangan teknologi yang memberikan kontribusi terhadap penciptaan perubahan nilai output sektor kehutanan sebesar 39.2 persen. Kegiatan di sektor kehutanan adalah kegiatan penanaman dan penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar pemegang konsesi hak pengusahaan hutan. Teknologi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut telah

94 76 berkembang, sehingga output yang dihasilkan khusunya kayu bulat menjadi lebih besar. Sementara itu, faktor impor hanya berkontribusi kecil sekitar 2.6 persen atau kurang berpengaruh terhadap pertumbuhan gross output sektor kehutanan selama periode Impor dilakukan hanya untuk menutupi kekurangan pasokan kayu bulat untuk industri kayu yang silit diperoleh dari dalam negeri. Disamping impor, faktor exsport expansion juga kurang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan gross output sektor kehutanan, bahkan terjadi perubahan ekspor yang negatif dari tahun 2005 ke tahun Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Gergajian Sama halnya dengan sektor kehutanan, sumber pertumbuhan gross output industri kayu gergajian selama periode disebabkan oleh faktor domestic demand sekitar 56.5 persen seperti yang terlihat pada Gambar 14. Besarnya domestic demand disebabkan karena sebagian besar industri kayu gergajian merupakan golongan industri kecil dan menengah yang memiliki kapasitas terpasang di bawah m 3. Skala produksi yang kecil menyebabkan sebagian besar hasil produksi dialokasikan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Faktor lainnya yang mendorong besarnya permintaan dalam negeri adalah bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar menyebabkan meningkatnya kebutuhan terhadap papan serta berkembangnya sektor properti dalam negeri yang turut mendorong meningkatnya permintaan output kayu gergajian.

95 77 IO DD EE IS Gambar 14. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Kayu Gergajian Tahun Sumber pertumbuhan gross output lainnya pada industri kayu gergajian adalah technological change dan import substitution. Perubahan teknologi terutama pada industri kayu gergajian skala menengah meskipun sebagian besar pada industri kayu gergajian masih menggunakan mesin-mesin yang sudah tua (Departemen Kehutanan, 2007b). Selanjutnya dorongan impor terhadap kayu gergajian disebabkan faktor harga produk kayu gergajian impor terutama yang berasal dari China yang jauh lebih murah dibandingkan kayu gergajian dalam negeri. Sementara itu, faktor ekspor justru memberikan kontribusi negatif terhadap pertumbuhan gross output industri kayu gergajian selama periode Faktor tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya rendahnya daya saing produk kayu gergajian dalam negeri di pasar internasional karena kualitas dan harga yang tidak mampu bersaing dengan produk-produk negara kompetitor seperti China, Brazil dan negara Amerika Latin lainnya. Adanya brand image yang negatif terhadap maraknya illegal logging di Indonesia turut berdampak terhadap ekspor produk kayu gergajian Indonesia di pasar internasional.

96 Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Kayu Lapis Hasil analisis menunjukan bahwa sumber pertumbuhan utama gross output industri kayu lapis selama periode sebagian besar disebabkan oleh faktor domestic demand. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan industri kayu lapis Indonesia akhir-akhir ini terus mengalami penurunan karena daya saing di pasar ekspor yang terus menurun. Akibatnya produksi banyak di jual di pasar domestik. IO DD EE IS Gambar 15. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Kayu Lapis Tahun Exsport exspansion hanya berkontribusi kecil (7.4 persen) terhadap pertumbuhan gross output sektor industri kayu lapis selama periode Kayu lapis merupakan salah satu komoditas andalan ekspor industri kehutanan selama ini, namun rendahnya daya saing dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan ekspor kayu lapis terus menurun. Menurut kajian Institut Pertanian Bogor (2007), menurunnya daya saing kayu lapis Indonesia disebabkan oleh langkanya pasokan bahan baku berkualitas tinggi dan hadirnya negara negara

97 79 produsen kayu lapis dunia seperti Malaysia. Tidak adanya kepastian pasokan bahan baku selama ini menjadi hambatan pemenuhan permintaan pasar ekspor kayu lapis, akibatnya berdampak terhadap beralihnya konsumen luar negeri ke negara-negara lain. Dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama (Joint Market Bodies)- APKINDO dalam butir kesepakatan atau Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan Badan Moneter Internasional (IMF) saat krisis ekonomi pada tahun 1998, turut menjadi pemicu turunnya daya saing produk kayu lapis Indonesia. Dibubarkannya Badan Pemasaran Bersama tersebut, posisi tawar kayu lapis Indonesia menjadi lemah dan tidak adanya pengendalian produksi dan harga. Sementara itu, faktor import substitution dan technological change menjadi faktor penting dalam pertumbuhan gross output industri kayu lapis nasional. Kurangnya pasokan bahan baku untuk memproduksi kayu lapis, maka pemenuhan kebutuhan kayu lapis dalam negeri harus dipenuhi melalui impor dari negara lain seperti China, Malaysia dan Jepang. Faktor teknologi turut mendorong terjadinya produktifitas, sehingga mendorong pertumbuhan output kayu lapis. Departemen Kehutanan (2007b) menyebutkan bahwa perusahaan yang bergerak di sektor industri kayu lapis umumnya adalah perusahaan berskala besar yang sudah menggunakan teknologi modern, meskipun banyak industri yang masih menggunakan mesin-mesin yang sudah tua Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Pulp Sektor industri kehutanan mendapat perhatian cukup besar dalam pembangunan ekonomi nasional, karena dapat berperan sebagai dinamisator yang akan membawa sektor perekonomian pada tingkat laju pertumbuhan yang lebih

98 80 tinggi. Diantara berbagai jenis industri kehutanan yang ada, industri pulp merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi nasional terutama sebagai penghasil devisa. Hasil analisis pertumbuhan struktural diperoleh informasi bahwa faktor exsport expansion merupakan faktor utama pendorong pertumbuhan gross output industri pulp selama periode seperti yang terlihat pada Gambar 16. Exsport expansion memberikan kontribusi sekitar 35.4 persen terhadap pertumbuhan gross output industri pulp. IO DD EE IS Gambar 16. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Pulp Tahun Pada tahun 2008, pulp merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor industri kehutanan menggeser kayu lapis yang selama ini memiliki kontribusi terbesar terhadap ekspor industri kehutanan. Ekspor pulp pada tahun 2005 sebesar US$ 934 juta meningkat menjadi US$ juta tahun 2007 dan menjadi US$ juta pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2009a). Besarnya kapasitas terpasang menjadikan Indonesia sebagai produsen utama pulp dunia. Menurut Departemen Kehutanan (2007b), sekitar 73 persen dari pertumbuhan kapasitas industri pulp dunia merupakan kontribusi dari tiga

99 81 negara saja yaitu Brazil, Indonesia dan China. Kondisi ini menggambarkan bahwa faktor teknologi berperan penting dalam pertumbuhan output sektor industri pulp di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan kontribusi technological change terhadap pertumbuhan output pulp sebesar 29.1 persen. Faktor lain yang menjadi sumber pertumbuhan gross output industri pulp adalah domestic demand dan import substitution yang masing-masing berkontribusi sebesar 21.8 persen dan 13.7 persen. Permintaan pulp dalam negeri dan pengadaan impor pulp sebagian besar untuk memenuhi konsumsi industri kertas. Impor disebabkan kurangnya pasokan pulp dari industri pulp dalam negeri untuk industri kertas. Sejak tahun , rata-rata impor pulp Indonesia sebesar US$ 500 juta. Impor pulp sebagian besar berasal dari Kanada, Brazil, Afrika Selatan dan Jepang (Departemen Kehutanan, 2008c) Pertumbuhan Struktural Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Hasil analisis pertumbuhan struktural terhadap industri mebel dan kerajinan menunjukkan sekitar 89.3 persen pertumbuhan output sektor ini dideterminasi oleh faktor domestic demand seperti yang terlihat pada Gambar 17. Hal ini disebabkan karena skala usaha industri mebel dan kerajinan sebagian besar merupakan usaha kecil menengah yaitu dengan kapasitas produksi di bawah m 3 dimana sebagian besar pemasaran produknya berorientasi pasar dalam negeri.. Industri ini berkembang pesat terutama di Pulau Jawa yaitu antara lain Jepara, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Cirebon dan kota-kota lainnya. Industri mebel dan kerajinan ini telah lama dikenal di Indonesia dan merupakan usaha turun temurun.

100 82 IO DD EE IS Gambar 17. Radar Chart Sumber - Sumber Pertumbuhan Sektor Industri Meubel dan Kerajinan Tahun Sumber pertumbuhan gross output lainnya yaitu faktor exsport exspansion, import substitution dan technological change kurang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan gross output. Hal ini disebabkan ketatnya persaingan di pasar internasional untuk produk mebel dan kerajinan, terutama produk-produk yang berasal dari China yang memiliki harga yang relatif lebih murah. Bahkan impor untuk produk meubel dan kerajinan cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Selain itu industri mebel dan kerajinan dalam negeri banyak yang merupakan home industry dengan penggunaan teknologi yang sederhana, sehingga efisiensi produksinya rendah Strategi Peningkatan Pertumbuhan Output Sektor Berbasis Kehutanan di Indonesia Berdasarkan hasil analisis terhadap sumber-sumber pertumbuhan gross output terhadap sektor-sektor berbasis kehutanan, diperoleh gambaran bahwa pertumbuhan sektor berbasis kehutanan perlu terus ditingkatkan guna menciptakan nilai tambah yang lebih besar terutama pada faktor yang menjadi

101 83 sumber pertumbuhan dan mengatasi faktor yang kurang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan gross output. Upaya tersebut sangat diperlukan mengingat pertumbuhan output sektorsektor berbasis kehutanan selama satu dekade terakhir terus mengalami penurunan yang tercermin dari penurunan kontribusi sektor berbasis kehutanan terhadap PDB nasional. Oleh karena itu, untuk memulihkan kondisi sektor-sektor berbasis kehutanan yang mengalami kelesuan diperlukan suatu upaya yang komprehensif dan sistematis, tidak hanya di sektor hulu (penanaman dan produksi hasil hutan kayu), tetapi juga sektor hilir (industri dan pemasaran) secara terarah dan terintegrasi. Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan grossoutput sektor-sektor berbasis kehutanan antara lain : 1. Meningkatkan investasi di HTI. Investasi diperlukan dalam rangka meningkatkan output sektor kehutanan terutama kayu dan untuk memenuhi kekurangan pasokan bagi industri kayu olahan. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif seperti pemberian insentif fiskal dengan mengurangi jumlah jenis pungutan yang selama ini menjadi keluhan investor yang menanamkan modalnya di usaha kehutanan. 2. Mempercepat pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) baik hutan industri (IUPHHK-HI), hutan alam (IUPHHK-HA) dan hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) khusus pada areal-areal yang saat ini tidak ada pengelolaannya.

102 84 3. Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dalam rangka pemulihan lahan kritis dan pembenihan tanaman hutan. 4. Pengendalian operasi industri kayu lapis dan pulp untuk mengatasi masalah kapasitas industri yang terlalu besar, sehingga tingkat produksi sejalan dengan pasokan bahan baku lestari sekaligus mengurangi praktek illegal logging. 5. Meningkatkan daya saing produk kayu olahan di pasar ekspor. Hal ini dapat dilakukan melalui pengaktifan kembali (revitalisasi) badan pemasaran bersama, kebijakan promosi ekspor dan melakukan diversifikasi produk dalam rangka meningkatkan nilai tambah. Untuk produk mebel dan kerajinan, diversifikasi produk diarahkan dengan memproduksi produk-produk unik, khas dan bernuansa etnis. 6. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan seperti nilai manfaat tata air melalui mekanisme Payment Environmental Services (PES) yang mempunyai potensi besar dalam meningkatkan output sektor kehutanan. Menurut Nurrochmat, et al (2010), nilai jasa lingkungan tata air ini dapat direalisasikan dengan memberikan kompensasi kepada daerah penghasil atau daerah yang melakukan konservasi tata air (hulu) oleh daerah penerima manfaat (hilir). Nilai jasa lingkungan tata air ini berpotensi meningkatkan output sektor kehutanan jauh lebih besar dibandingkan jasa lingkungan hutan dengan mekanisme perdagangan karbon.

103 VI. DAMPAK PENINGKATAN OUTPUT SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA 6.1. Struktur Pendapatan Rumahtangga dan Ketenagakerjaan Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara, salah satunya dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang positif, dimana pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang mampu menciptakan pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta terbukanya kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat. Menurut Hess dan Ross (2000), pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas merupakan bentuk dari growth without development. Lebih jauh Todaro (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan yang tidak berkualitas hanya menciptakan kesenjangan pendapatan antar golongan pendapatan masyarakat, akibatnya kemiskinan yang menjadi faktor penghambat pembangunan sulit untuk dituntaskan. Berdasarkan landasan pemikiran tersebut, maka pemerintah sudah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap sektor-sektor yang tidak hanya memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi yang jauh lebih penting sektor tersebut dapat meciptakan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama masyarakat golongan pendapatan rendah. Pada pembahasan ini akan diuraikan bagaimana struktur pendapatan rumahtangga menurut golongan pendapatan dan wilayah serta struktur ketenagakerjaan di Indonesia berdasarkan tabel input - output Miyazawa Tahun 2008.

104 Struktur Pendapatan Rumahtangga Pada Gambar 18 diperoleh informasi bahwa secara keseluruhan rumahtangga di Indonesia sebagian besar merupakan rumahtangga golongan pendapatan rendah yaitu sekitar 46.5 persen, sedangkan rumahtangga golongan pendapatan sedang sekitar 40.0 persen dan hanya sekitar 13.5 persen merupakan rumahtangga berpendapatan tinggi. Rumahtangga pendapatan rendah sebagian besar berada di wilayah perdesaan yaitu sekitar 25.4 persen dari 46.5 persen rumahtangga pendapatan rendah di Indonesia. Sementara itu, rumahtangga pendapatan sedang dan tinggi sebagian besar berada di perkotaan masing-masing sekitar 25.0 persen dan 10.6 persen Proporsi Pendpatan (%) Pendapatan Rendah Pendapatan Sedang Pendapatan Tinggi Kota Desa Kota + Desa Sumber : Tabel Input - Output Miyazawa Tahun 2008 Gambar 18. Struktur Pendapatan Rumahtangga Menurut Golongan Pendapatan dan Wilayah di Indonesia Tahun 2008 Adanya kesenjangan pendapatan antar wilayah dan masih besarnya rumahtangga berpendapatan rendah mengindikasikan masih banyaknya rumahtangga miskin yang sangat rentan terhadap goncangan. Jebakan kemiskinan akibat pendapatan rendah, menyebabkan banyaknya rumahtangga miskin tetap berada dalam lingkaran kemiskinan yang permanen.

105 87 Pertumbuhan ekonomi tidaklah cukup untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Oleh karena itu, disamping terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga perlu diimbangi dengan intervensi kebijakan yang terarah dan efektif. Implikasinya, pemerintah perlu membuat suatu kebijakan anti kemiskinan yang bersifat bottom-up, menyeluruh dan konsisten diantaranya dengan cara memperluas kesempatan kerja melalui pengembangan sektor sektor berbasis perdesaan dan mampu menyerap tenaga kerja besar. Berdasarkan uraian di atas, maka terkait dengan tujuan penelitian ini terdapat permasalahan yang ingin dijawab yaitu seberapa besar pertumbuhan atau peningkatan output sektor-sektor berbasis kehutanan berdampak terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan, sehingga dapat diketahui peranan sektor-sektor berbasis kehutanan terhadap permasalahan kesenjangan distribusi pendapatan rumahtangga di Indonesia Struktur Ketenagakerjaan Menurut Yudhoyono dan Boediono (2009), permasalahan utama dalam pasar kerja Indonesia yang hingga saat ini belum dapat ditangani sepenuhnya antara lain (1) persentase sektor informal yang relatif tinggi, (2) adanya kesenjangan upah antara sektor formal dengan sektor informal, (3) adanya kecenderungan peningkatan pengangguran terbuka pada kelompok usia muda dan (4) penurunan produktivitas tenaga kerja, terutama di sektor manufaktur. Upaya mengatasi masalah tersebut bukanlah hal yang mudah mengingat kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan terkait dengan banyak aspek. Dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional saat ini yang baru berangsur pulih akibat dampak krisis ekonomi global, maka dalam jangka pendek setidaknya

106 88 pemerintah harus memprioritaskan penanganan masalah pengangguran yang cenderung meningkat dengan menciptakan lapangan kerja baru. Upaya tersebut harus dilakukan melalui integrasi kebijakan makro-mikro, diantaranya melalui perbaikan iklim investasi di pusat maupun di daerah sehingga kesempatan kerja baru dapat tercipta serta pemihakan kepada perbaikan kesempatan berusaha untuk sektor usaha kecil dan menengah sebagai tiang penyerap tenaga kerja Indonesia selama ini. Tabel 11. Jumlah Pekerja Menurut Lapangan Usaha, Golongan Pendapatan dan Wilayah di Indonesia Tahun 2008 (ribu orang) Sektor Pendapatan Rendah Pendapatan Sedang Pendapatan Tinggi Kota Desa Kota Desa Kota Desa Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008a Pada Tabel 11, secara sektoral terlihat jumlah pekerja di Indonesia pada tahun 2008 sebagian besar bekerja di sektor pertanian, perdagangan dan industri pengolahan. Pada sektor pertanian, jumlah tenaga yang terserap pada tahun 2008 sejumlah 42.7 juta orang dari 102 juta orang atau sekitar 41.8 persen. Sementara di sektor perdagangan, jumlah tenaga kerja yang terserap sejumlah 20.7 juta orang

107 89 atau sekitar 20.1 persen. Sedangkan di sektor industri pengolahan, jumlah tenaga kerja yang terserap sejumlah 12.4 juta orang atau sekitar 12.2 persen. Berdasarkan data tersebut nampak jelas bahwa sektor pertanian sebagian besar merupakan sektor informal dengan skala usaha kecil dan menengah dan berada sebagian besar di wilayah perdesaan. Sama halnya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, khususnya sektor perdagangan dan restoran sebagian besar juga merupakan sektor informal dengan skala usaha kecil dan menengah yang tersebar luas di wilayah perkotaan. Sementara pada sektor industri pengolahan, seperti industri kayu gergajian, industri meubel dan kerajinan, juga merupakan kelompok industri yang sebagian besar berskala kecil dan menengah dan bersifat informal. Sektor-sektor penyerap tenaga kerja besar tersebut harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk terus dikembangkan khususnya dalam rangka mengatasi masalah pengangguran. Terkait dengan pemikiran tersebut, maka dalam penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana peranan sektor-sektor berbasis kehutanan terhadap penyerapan tenaga kerja dalam rangka mengatasi masalah pengangguran di Indonesia apabila terjadi pertumbuhan atau peningkatan output pada sektorsektor berbasis kehutanan Dampak Peningkatan Output Sektor Berbasis Kehutanan Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga dan Penyerapan Tenaga Kerja Terjadinya transformasi struktural ekonomi Indonesia pasca krisis, yang dicirikan dengan meningkatnya pangsa output domestik dari sektor industri dan jasa, menyebabkan pembangunan sektor berbasis kehutanan menjadi sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Meski adanya

108 90 fakta bahwa pangsa sektor berbasis kehutanan terhadap PDB nasional semakin menurun selama satu dekade terakhir (Tabel 2), sesungguhnya sektor ini masih memiliki potensi dan peluang besar untuk dapat dipulihkan di masa mendatang. Potensi dan peluang terjadinya pertumbuhan output pada sektor-sektor berbasis kehutanan tersebut didukung oleh beberapa faktor antara lain, (1) hutan merupakan sumber daya alam terbaharui (renewable resources) sehingga pemanfaatan secara terus-menerus akan menjadikan sektor usahanya berkelanjutan, (2) sektor-sektor berbasis kehutanan merupakan natural resources based sector sehingga komoditasnya murni bersifat local content, (3) produk industri kayu sebagian besar berorientasi ekspor dan produknya tidak dapat disubstitusi dengan bahan-bahan sintetis, dan (4) adanya dukungan ketersediaan lahan dan kesesuaian iklim. Pada bagian ini secara khusus dibahas bagaimana dampak terjadinya pertumbuhan atau peningkatan gross output sektor berbasis kehutanan terhadap distribusi pendapatan rumahtangga pada berbagai golongan pendapatan dan seberapa besar penyerapan tenaga kerja akibat peningkatan gross output tersebut. Pembahasan tentang dampak peningkatan gross output sektor-sektor berbasis kehutanan terhadap distribusi pendapatan rumahtangga dan penyerapan tenaga kerja didasarkan pada analisis tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 dan tabel I-O Indonesia Tahun Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Hasil analisis terhadap tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan gross-output di sektor kehutanan sebesar

109 91 Rp 1 miliar akan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama golongan pendapatan rendah di wilayah perdesaan seperti yang terlihat pada Tabel 12. Tabel 12. Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga No. Golongan Pendapatan Rumahtangga Peningkatan Pendapatan (Rp Miliar) 1 Pendapatan Rendah Wilayah Perkotaan Pendapatan Sedang Wilayah Perkotaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perkotaan Pendapatan Rendah Wilayah Perdesaan Pendapatan Sedang Wilayah Perdesaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perdesaan 0.20 Sumber : Tabel Input Output Miyazawa 2008 (diolah) Peningkatan pendapatan rumahtangga lebih besar pada rumahtangga golongan pendapatan rendah mengindikasikan bahwa sektor kehutanan merupakan sektor berbasis ekonomi rakyat yang memiliki keterkaitan kuat dengan usaha kecil menengah yang sebagian besar berada di wilayah perdesaan. Upaya untuk mendorong peningkatan pertumbuhan output di sektor kehutanan akan mampu meningkatan pendapatan masyarakat secara lebih luas, khususnya pada rumahtangga di wilayah perdesaan. Oleh karena itu, perhatian terhadap pembangunan sektor kehutanan jangan dilihat dari sisi kontribusi output atau PDB yang kecil, namun perlu ditinjau dari aspek lain yang lebih strategis, bahwa membangun sektor kehutanan berarti membangun upaya pengentasan kemiskinan yang disebabkan tingkat pendapatan yang rendah dan sebagian besar penduduk miskin tersebut berada di wilayah perdesaan. Peran strategis sektor kehutanan disamping akan meningkatkan pendapatan rumahtangga pendapatan rendah, juga merupakan penyedia lapangan

110 92 kerja dan penyedia input produksi bagi sektor hilirnya (linkages). Pada Tabel 13 terlihat bahwa terjadinya peningkatan output pada sektor kehutanan sebesar Rp 1 Miliar mampu menciptakan lapangan kerja baru di sektor kehutanan sendiri sejumlah 31 orang dan di seluruh sektor perekonomian sejumlah 42 orang. Adapun empat sektor paling besar lainnya yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru sebagai dampak peningkatan output sektor kehutanan adalah sektor tanaman bahan makanan, perkebunan, perdagangan dan angkutan. Sektor tanaman bahan makanan dan perkebunan adalah sektor hilir dari sektor kehutanan dimana output sektor kehutanan khususnya kayu banyak digunakan untuk proses produksi sektor tersebut. Sementara itu, sektor perdagangan dan angkutan berperan penting terutama dalam pemasaran dan proses pengangkutan hasil tebangan kayu dari hutan ke lokasi industri atau pabrik. Tabel 13. Dampak Peningkatan Output Sektor Kehutanan Sebesar Rp.1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja No Sektor Penciptaan Lapangan Kerja (orang) 1 Sektor Kehutanan 31 2 Sektor Tanaman Bahan Makanan 3 3 Sektor Perkebunan 2 4 Sektor Perdagangan 2 5 Sektor Angkutan 1 6 Total Perekonomian 42 Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Sektor Industri Kayu Gergajian Seperti pada penjelasan di awal, sebagian besar industri kayu gergajian (sawn timber) adalah industri berskala kecil menengah dengan kapasitas produksi di bawah m 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan output sektor industri kayu gergajian akan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama

111 93 golongan pendapatan rendah di wilayah perdesaan seperti yang terlihat pada Tabel 14. Kondisi tersebut dapat dijelaskan mengingat lokasi industri kayu gergajian banyak ditemukan di wilayah perdesaan yang dekat dengan kawasan hutan serta di wilayah pinggiran kota dengan sistem home industry. Tabel 14. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga No. Golongan Pendapatan Rumahtangga Peningkatan Pendapatan (Rp Miliar) 1 Pendapatan Rendah Wilayah Perkotaan Pendapatan Sedang Wilayah Perkotaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perkotaan Pendapatan Rendah Wilayah Perdesaan Pendapatan Sedang Wilayah Perdesaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perdesaan 0.18 Sumber : Tabel Input Output Miyazawa 2008 (diolah) Pengembangan industri kecil menengah seperti industri kayu gergajian memiliki peran penting sebagai pilar perekonomian berbasis kerakyatan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat terutama bagi masyarakat golongan bawah di perdesaan yang rata-rata berpendidikan rendah. Disamping itu, sektor industri kayu gergajian yang sebagian besar merupakan sektor informal menjadi alternatif bagi penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat berpendidikan rendah tersebut. Menurut kajian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (2007) tentang industri kehutanan nasional, bahwa industri kayu gergajian perlu dikembangkan mengingat keterbatasan pasokan kayu bulat sebagai bahan baku industri kayu dan besarnya permintaan kayu gergajian domestik terutama untuk keperluan konstruksi, disamping dari sisi keragaan ekonominya yang efisien. Sementara itu, apabila dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, industri kayu gergajian ternyata menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar

112 94 di sektor itu sendiri maupun di sektor usaha lainnya. Pada Tabel 15 terlihat bahwa lapangan kerja baru yang akan tercipta apabila terjadi peningkatan output di sektor industri kayu gergajian sebesar Rp 1 Miliar adalah sejumlah 24 orang di sektor itu sendiri atau 43 orang di seluruh sektor perekonomian. Adanya peningkatan output tersebut juga berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja baru di sektor lainnya terutama sektor kehutanan sebagai sektor hulunya, sektor tanaman bahan makanan yang banyak menggunakan kayu gergajian untuk kegiatan produksinya serta sektor perdagangan dan angkutan yang berperan dalam pemasaran dan transportasi produk kayu gergajian. Berdasarkan informasi tersebut, jelas bahwa sektor industri kayu gergajian memiliki potensi dan peran besar dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional ke depan, khsusunya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah di perdesaan dan penciptaan lapangan kerja baru. Tabel 15. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Gergajian Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja No Sektor Penciptaan Lapangan Kerja (orang) 1 Sektor Industri Kayu Gergajian 24 2 Sektor Kehutanan 6 3 Sektor Tanaman Bahan Makanan 5 4 Sektor Perdagangan 3 5 Sektor Angkutan 1 6 Total Perekonomian 43 Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Sektor Industri Kayu Lapis Kayu lapis merupakan produk industri kehutanan yang menghasilkan devisa non-migas bagi negara yang utama sampai saat ini. Kenyataan yang ada sejak tahun 1980-an menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dibidang industri

113 95 kehutanan sangat mendorong berkembangnya industri kayu lapis, sehingga industri ini berkembang pesat dibandingkan industri kehutanan lainnya. Meskipun pada beberapa tahun terakhir, industri kayu lapis mengalami fase dekonstruktif dengan terus menurunnya ekspor yang diakibatkan kurangnya pasokan bahan baku kayu dan munculnya pemain baru kayu lapis dunia. Berkembangnya industri kayu lapis tidak hanya membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tetapi juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang berkerja di sektor tersebut. Hasil analisis dengan menggunakan tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 menunjukan bahwa peningkatan output di sektor industri kayu lapis sebesar Rp 1 Miliar mampu meningkatkan pendapatan masyarakat terutama rumahtangga pendapatan rendah di wilayah perdesaan dan rumahtangga pendapatan sedang di wilayah perkotaan seperti yang terlihat pada Tabel 16. Tabel 16. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga No. Golongan Pendapatan Rumahtangga Peningkatan Pendapatan (Rp Miliar) 1 Pendapatan Rendah Wilayah Perkotaan Pendapatan Sedang Wilayah Perkotaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perkotaan Pendapatan Rendah Wilayah Perdesaan Pendapatan Sedang Wilayah Perdesaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perdesaan 0.19 Sumber : Tabel Input Output Miyazawa 2008 (diolah) Industri kayu lapis merupakan industri berskala besar yang terintegrasi antara hulu-hilir dimana perusahaan-perusahaan kayu lapis mengoperasikan usahanya berada di sekitar kawasan hutan (perdesaan) dan sebagian besar pabrik pengolahannya berada di wilayah perkotaan. Keberadaan lokasi industri inilah

114 96 banyak memperkerjakan tenaga kerja di perdesaan sebagai buruh dengan pendapatan rendah dan tenaga kerja di perkotaan dengan pendapatan sedang. Menurut data Statistik Struktur Upah tahun 2007 (BPS, 2007), upah pekerja pada industri kayu olahan seperti industri kayu lapis dan sejenisnya di wilayah perkotaan rata-rata sekitar Rp 1.09 juta per bulan yang merupakan kelompok pendapatan sedang. Pemain utama industri kayu lapis Indonesia antara lain PT. Kayu Lapis Indonesia (KLI) yang berlokasi di Jawa Tengah dengan kapasitas terpasang sebesar m 3 dan PT. Henrison Iriana yang beroperasi di Papua dengan kapasitas terpasang m 3. Kedua perusahaan ini menguasai hampir 10 persen kapasitas produksi kayu lapis Indonesia (Greenpeace Southeast Asia Jakarta, 2006). Keberadaan industri kayu lapis juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis, jika terjadi peningkatan output sebesar Rp 1 Miliar di sektor industri kayu lapis mampu menciptakan lapangan kerja baru di sektor itu sendiri sejumlah 11 orang atau sejumlah 30 lapangan pekerjaan baru tercipta di seluruh perekonomian seperti yang tersaji pada Tabel 17. Terjadinya peningkatan output di sektor industri kayu lapis juga berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja baru di sektor perekonomian lainnya, terutama di sektor kehutanan, tanaman bahan makanan, perdagangan dan angkutan. Sektor kehutanan adalah pemasok bahan baku industri kayu lapis, sehingga peningkatan output industri kayu lapis mendorong permintaan bahan baku kayu yang berarti membutuhkan tenaga kerja baru di sektor kehutanan. Hal

115 97 yang sama juga terjadi untuk sektor tanaman bahan makanan yang menggunakan kayu lapis untuk aktivitas produksinya, sektor perdagangan dan angkutan untuk kegiatan pemasaran dan transportasi produk atau bahan baku kayu lapis. Tabel 17. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Kayu Lapis Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja No Sektor Penciptaan Lapangan Kerja (orang) 1 Sektor Industri Kayu Lapis 11 2 Sektor Kehutanan 4 3 Sektor Tanaman Bahan Makanan 4 4 Sektor Perdagangan 3 5 Sektor Angkutan 2 6 Total Perekonomian 30 Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Sektor Industri Pulp Industri pulp atau bubur kertas adalah industri kehutanan yang berkembang cepat di Indonesia. Menurut Indonesia Pulp and Paper Association (2005) dan Departemen Kehutanan (2009a), produksi pulp Indonesia meningkat tajam sejak awal tahun 2000 dimana pada tahun 1999 produksi pulp sebesar 685 ribu ton meningkat tajam pada tahun 2000 menjadi 4.1 juta ton dan pada tahun 2008 menjadi 4.7 juta ton. Berkembangnya produksi ini tentu berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja yang selanjutnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Hasil analisis dengan menggunakan tabel I-O Miyazawa Tahun 2008 menunjukkan bahwa sektor jika terjadi peningkatan output sebesar Rp 1 Miliar di sektor industri pulp mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama rumahtangga berpendapatan rendah di perdesaan dan rumahtangga berpendapatan sedang di perkotaan seperti yang terlihat pada Tabel 18.

116 98 Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa industri pulp merupakan industri berskala besar yang terintegrasi antara unit usaha hulu untuk proses penyediaan bahan baku kayu dan unit hilirnya untuk proses pengolahan pulp. Keberadaan unit usaha hulu yang beroperasi di areal sekitar kawasan hutan tentunya memperkerjakan masyarakat yang berada di wilayah perdesaan sebagai buruh dengan upah rendah, sementara lokasi pabrik pengolahannya yang dekat dengan wilayah perkotaan akan menyerap tenaga kerja di wilayah perkotaan. Menurut data Statistik Struktur Upah tahun 2007 (BPS, 2007), upah pekerja untuk status pekerja buruh pada industri kertas rata-rata sekitar Rp 1.45 juta per bulan yang merupakan kelompok pendapatan sedang. Tabel 18. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga No. Golongan Pendapatan Rumahtangga Peningkatan Pendapatan (Rp Miliar) 1 Pendapatan Rendah Wilayah Perkotaan Pendapatan Sedang Wilayah Perkotaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perkotaan Pendapatan Rendah Wilayah Perdesaan Pendapatan Sedang Wilayah Perdesaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perdesaan 0.20 Sumber : Tabel Input Output Miyazawa 2008 (diolah) Pemain utama dalam industri pulp di Indonesia dikuasai oleh dua kelompok perusahaan yaitu Sinar Mas Group yang menguasai 40 persen kapasitas pulp nasional dan kelompok perusahaan Raja Garuda Mas yang menguasai 33.3 persen kapasitas pulp nasional (Departemen Kehutanan, 2007b). Besarnya kapasitas terpasang pada industri pulp di Indonesia menyebabkan tingkat produksi terus meningkat dan hal ini tentu berdampak terhadap permintaan tenaga kerja untuk mengimbangi besarnya kapasitas produksi

117 99 tersebut. Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 19, terjadinya peningkatan output di sektor industri pulp sebesar Rp 1 Miliar mampu menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri pulp sendiri sejumlah 14 orang atau sejumlah 35 lapangan kerja baru di seluruh sektor perekonomian. Adanya peningkatan output di sektor industri pulp juga berdampak terhadap penciptaan lapangan kerja baru di sektor perekonomian lainnya, terutama di sektor perdagangan, kehutanan, angkutan dan jasa-jasa. Sektor perdagangan dalam hal ini perdagangan besar berperan dalam pemasaran produk pulp terutama untuk pasar ekspor. Sementara itu sektor kehutanan adalah pemasok bahan baku industri pulp, sehingga peningkatan output industri pulp mendorong permintaan bahan baku kayu yang berarti membutuhkan tenaga kerja baru di sektor kehutanan. Hal yang sama juga terjadi untuk sektor angkutan yang berperan untuk pengangkutan produk atau bahan baku pulp. Tabel 19. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Pulp Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja No Sektor Penciptaan Lapangan Kerja (orang) 1 Sektor Industri Pulp 14 2 Sektor Perdagangan 5 3 Sektor Kehutanan 2 4 Sektor Angkutan 2 5 Sektor Jasa-Jasa 1 6 Total Perekonomian 35 Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu - Rotan Sektor industri mebel dan kerajinan memiliki peran penting sebagai sumber pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal, industri mebel dan kerajinan merupakan budaya

118 100 turun-temurun yang selama ini menjadi sumber pendapatan masyarakat. Kelompok industri ini banyak tersebar di wilayah perdesaan dan pinggiran perkotaan. Berkembangnya industri ini jelas turut membantu meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya golongan pendapatan rendah dan sedang. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan output di sektor ini sebesar Rp 1 Miliar akan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama rumahtangga golongan pendapatan rendah di perdesaan. Sedangkan di wilayah perkotaan, distribusi pendapatan ini sebagian besar dirasakan oleh rumahtangga pendapatan sedang seperti yang terlihat pada Tabel 20. Tabel 20. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Sebesar Rp 1 Miliar Terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga No. Golongan Pendapatan Rumahtangga Peningkatan Pendapatan (Rp Miliar) 1 Pendapatan Rendah Wilayah Perkotaan Pendapatan Sedang Wilayah Perkotaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perkotaan Pendapatan Rendah Wilayah Perdesaan Pendapatan Sedang Wilayah Perdesaan Pendapatan Tinggi Wilayah Perdesaan 0.20 Sumber : Tabel Input Output Miyazawa 2008 (diolah) Belum pulihnya kinerja sektor industri akibat rendahnya daya saing produk dan sebagai dampak krisis ekonomi global, memaksa banyak industri terutama industri berbasis labour intensive melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam kerangka efisiensi. Atas dasar itu, maka keberadaan industri meubel dan kerajinan ini memainkan peran penting dalam mengatasi semakin meningkatnya angka pengangguran tersebut.

119 101 Hasil analisis menunjukan bahwa terjadinya peningkatan output di sektor industri mebel dan kerajinan sebesar Rp 1 Miliar, mampu menciptakan lapangan kerja baru di sektor tersebut sejumlah 10 orang atau sejumlah 37 lapangan kerja baru tercipta di seluruh sektor perekonomian terutama di sektor industri kayu gergajian, kehutanan, perdagangan dan tanaman bahan makanan seperti yang terlihat pada Tabel 21. Oleh karena itu, adanya intervensi kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri ini sangat diperlukan, selain mampu menciptakan lapangan kerja dan membantu peningkatan pendapatan masyarakat, juga dapat lebih berdaya saing tidak hanya di pasar domestik tetapi juga di pasar internasional yang memiliki peluang pasar cukup besar bagi produk mebel dan kerajinan kayu-rotan Indonesia. Tabel 21. Dampak Peningkatan Output Sektor Industri Mebel d an Kerajinan Kayu-Rotan Sebesar Rp1 Miliar Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja No Sektor Penciptaan Lapangan Kerja (orang) 1 Industri Mebel dan Kerajinan Kayu Industri Kayu Gergajian 5 3 Kehutanan 5 4 Tanaman Bahan Makanan 5 5 Perdagangan 4 6 Total Perekonomian 37 Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Berdasarkan hasil analisis di atas membuktikan bahwa terjadinya pertumbuhan atau peningkatan output pada sektor - sektor berbasis kehutanan mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan rumahtangga terutama rumahtangga golongan pendapatan rendah di wilayah perdesaan dan rumahtangga golongan pendapatan sedang di wilayah perkotaan.

120 102 Dalam konteks tersebut, maka upaya rekonstruksi sektor berbasis kehutanan sebagai sektor strategis dalam perekonomian nasional mutlak dilakukan melalui integrasi kembali sektor berbasis kehutanan ke dalam kebijakan makro ekonomi dan perbaikan di tingkat mikro. Kondisi ini sejalan dengan Triple Track Strategy pembangunan sektor ekonomi yang menitikberatkan pada Pro- Growth, Pro-Employment dan Pro-Poor. Artinya seberapa besar sektor tersebut memiliki efek multiplier yang besar baik terhadap penciptaan lapangan kerja, peningkatan output nasional maupun peningkatan pendapatan masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan.

121 VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN 7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan Peran strategis suatu sektor tidak hanya dilihat dari kontribusi terhadap pertumbuhan output, peningkatan pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, namun hal lain yang juga penting adalah apakah sektor tersebut memiliki daya dukung yang kuat terhadap pertumbuhan sektor hulu maupun sektor hilirnya (forward and backward linkage). Menurut Millier dan Blair (1989), forward and backward linkage digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian (sebuah negara). Bacward linkage suatu sektor menunjukkan hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit final demand pada sektor tersebut terhadap total pembelian input semua sektor di dalam suatu perekonomian. Forward linkage menunjukkan hubungan keterkaitan tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit final demand suatu sektor terhadap total penjualan output semua sektor di dalam suatu perekonomian. Sektor yang memiliki indeks bacward dan forward linkage yang kuat jika bernilai lebih dari satu ( > 1). Terkait dengan hal tersebut, pada bagian ini akan dibahas secara khusus seberapa kuat keterkaitan sektor-sektor berbasis kehutanan dengan sektor perekonomian lainnya. Artinya apakah sektor-sektor berbasis kehutanan tersebut mampu menjadi sektor kunci (key sector) dalam mendorong perekonomian nasional. Analisis ini sangat penting untuk mengetahui peranan sektor-sektor

122 104 berbasis kehutanan yang sedang mengalami fase dekonstruktif selama hampir satu dekade terakhir, dimana kontribusi output sektor berbasis kehutanan terus mengalami penurunan terhadap output nasional, baik untuk sektor hulu (sektor kehutanan) maupun sektor hilirnya (sektor industri kayu). Tabel 22. Indeks Forward dan Backward Linkages Sektor Sektor Berbasis Kehutanan Tahun 2008 Sektor Backward Forward Linkages Linkages Industri Pulp Industri Mebel dan Kerajinan Kayu-Rotan Industri Kayu Lapis Industri Kayu Gergajian Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor-sektor berbasis kehutanan merupakan sektor yang memiliki keterkaitan kuat dengan sektor perekonomian lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 22. Adanya keterkaitan yang kuat ke depan maupun ke belakang pada sektor industri pulp dan kayu lapis, menunjukkan peran strategis sektor tersebut dalam mendorong pertumbuhan sektor hulu hilirnya. Dilihat dari keterkaitan ke depan, terlihat bahwa semua sektor berbasis kehutanan kecuali sektor industri mebel dan kerajinan kayu-rotan, memiliki indeks forward linkages lebih besar dari satu (>1) atau memiliki keterkaitan kuat dengan sektor hilirnya. Kuatnya keterkaitan ke depan ini disebabkan output sektor tersebut merupakan row material untuk sektor lainnya maupun sektor berbasis kehutanan sendiri. Dengan kata lain, produk sektor berbasis kehutanan lebih bersifat intermediate input yang akan digunakan untuk proses produksi lebih lanjut.

123 105 Sementara itu dilihat dari keterkaitan ke belakang, terlihat bahwa sektor industri pulp, industri mebel dan kerajinan kayu-rotan serta sektor industri kayu lapis memiliki indeks backward linkages lebih besar dari satu (>1) atau memiliki keterkaitan kuat dengan sektor hulunya. Kuatnya keterkaitan ke belakang ini disebabkan sektor-sektor tersebut merupakan sektor berbasis sumberdaya alam dimana input produksinya sulit disubstitusikan dengan input lain Komposisi Penggunaan Input Output Sektor Berbasis Kehutanan Besarnya keterkaitan suatu sektor perekonomian baik ke depan maupun ke belakang dapat dilihat dari struktur penggunaan input output sektor yang bersangkutan oleh sektor lain. Pada bagian ini akan diuraikan bagaimana keterkaitan ke depan maupun ke belakang sektor-sektor berbasis kehutanan berdasarkan struktur penggunaan input-output. Pada Gambar 19 terlihat bahwa sektor kehutanan memiliki keterkaitan kuat ke depan terutama dengan sektor bangunan dan sektor-sektor pada industri kehutanan. Keterkaitan ke depan dengan sektor bangunan karena output sektor kehutanan seperti kayu banyak digunakan sebagai bahan material utama dalam sektor bangunan. Sementara itu, adanya keterkaitan ke depan yang kuat sektor kehutanan dengan sektor industri kehutanan disebabkan karena komoditas kayu merupakan bahan baku utama untuk menghasilkan output pada sektor industri kehutanan. Sementara itu, sektor kehutanan memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat terutama dengan sektor industri mesin dan alat angkutan, perkebunan, migas, angkutan dan bangunan. Penggunaan input yang berasal dari industri mesin dan alat angkutan digunakan sebagai alat atau mesin pemotong kayu, input dari

124 106 industri migas digunakan sebagai bahan bakar mesin dan alat pemotong, input dari sektor angkutan sebagai jasa transportasi untuk mengangkut kayu hasil tebangan, dan input dari sektor bangunan dalam bentuk sarana prasarana seperti pembangunan jalan, instalasi listrik, dan sebagainya. Bangunan 43.7 Industri Mebel dan Kerajinan Kayu Industri Kayu lapis Industri Kayu gergajian Industri Pulp Forward Linkage Industri Alat Angk, Mesin,Peralatan 18.2 Perkebunan 17.1 Industri Migas Angkutan Bangunan Backward Linkage Komposisi Penggunaan Input-Output (%) Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Gambar 19. Backward dan Forward Linkages Sektor Kayu dan Hasil Hutan Lainnya (Kehutanan) Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input Output Tahun 2008 Sementara itu pada Gambar 20 terlihat bahwa untuk sektor industri kehutanan, dalam hal ini industri kayu gergajian, kayu lapis, industri mebel dan kerajinan kayu-rotan dan industri pulp memiliki keterkaitan ke depan yang kuat terutama dengan sektor bangunan dan sektor industri kehutanan sendiri. Keterkaitan ke depan dengan sektor bangunan karena sebagian besar output sektor industri kehutanan seperti kayu lapis, kayu gergajian dan barang kerajinan dari kayu banyak digunakan sebagai bahan baku bangunan, khususnya untuk bangunan tempat tinggal, gedung dan lainnya. Sementara keterkaitan

125 107 dengan sektor industri kehutanan sendiri terutama antara industri kayu gergajian dan industri kayu lapis sebagai sektor hulu dengan industri mebel dan kerajinan kayu sebagai sektor hilirnya. Output kayu lapis dan kayu gergajian adalah bahan baku utama pembuatan mebel dan kerajinan dari kayu. Lebih lanjut keterkaitan ke depan industri kehutanan dengan industri barang dari kertas, disebabkan oleh penggunaan pulp sebagai bahan baku utama industri barang dari kertas. Keterkaitan industri kehutanan dengan sektor perdagangan dan industri logam berkaitan dengan jasa pemasaran dan penggunaan output industri kehutanan untuk proses produksi dalam industri logam. Sedangkan dilihat dari sisi keterkaitan ke belakang, sektor-sektor industri kehutanan memiliki keterkaitan yang kuat terutama dengan sektor kehutanan dan industri kehutanan sendiri. Keterkaitan dengan sektor kehutanan karena bahan baku utama pembuatan kayu gergajian, kayu lapis, mebel dari kayu dan pulp adalah kayu bulat yang berasal dari sektor kehutanan. Sementara keterkaitan dengan sektor industri kehutanan sendiri terutama antara industri kayu gergajian dan industri kayu lapis dengan industri mebel dari kayu. Bahan baku pembuatan mebel dan kerajinan dari kayu sebagian besar merupakan kayu gergajian dan kayu lapis. Sedangkan input yang berasal dari sektor perdagangan dan angkutan digunakan dalam bentuk jasa pemasaran dan pengangkutan bahan baku ke lokasi industri atau pabrik pengolahan kayu olahan. Kemudian penggunaan input yang berasal dari industri kimia digunakan sebagai bahan baku pembuatan kayu lapis, pulp, kayu gergajian serta mebel dan kerajinan dari kayu. Hasil selengkapnya

126 108 bagaimana keterkaitan ke belakang yang kuat sektor-sektor industri kehutanan dapat dilihat pada Gambar 20. Bangunan Industri Kehutanan Industri barang dari kertas, karton Perdagangan Industri Logam Dasar, Besi & Baja Forward Linkage 47.7 Industri Kehutanan Kehutanan Perdagangan Angkutan Industri Kimia, Pupuk & Barang dari Backward Linkage Komposisi Penggunaan Input-Output (%) Sumber : Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 (diolah) Gambar 20. Backward dan Forward Linkages Sektor Industri Kehutanan Berdasarkan Komposisi Penggunaan Input Output Tahun 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II TINJAUAN PUSTAKA 21 Definisi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Hess dan Ross (2000), pertumbuhan ekonomi merupakan peningkatan total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode waktu tertentu

Lebih terperinci

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN 7.1. Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan Peran strategis suatu sektor tidak hanya dilihat dari kontribusi terhadap pertumbuhan output, peningkatan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari tegakan pohon dan faktor-faktor abiotis seperti, air, udara, tanah,

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Perwitasari, H. dkk., Analisis Input-Output... ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Hani Perwitasari dan Pinjung Nawang Sari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 27 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Kerangka Pemikiran Kebutuhan untuk menggunakan I-O Regional dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTT semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

III. KERANGKA PEMIKIRAN. sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Input-Output Integrasi ekonomi yang menyeluruh dan berkesinambungan di antar semua sektor produksi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses transformasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H14050184 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TIMUR: ANALISIS INPUT-OUTPUT

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TIMUR: ANALISIS INPUT-OUTPUT ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI JAWA TIMUR: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH TRIYANTO WIBOWO H14053207 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah kesatuan ekosistem sumber daya alam hayati beserta lingkungannya yang tidak terpisahkan. Hutan merupakan

Lebih terperinci

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN

ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN DALAM ACARA PEMBEKALAN PETUGAS PEGAWAI PADA DINAS KEHUTANAN PROVINSI DAN BALAI PEMANTAUAN PEMANFAATAN HUTAN PRODUKSI DALAM RANGKA PENINGKATAN EFEKTIFITAS

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA

DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA DAMPAK KEBIJAKAN MONETER TERHADAP KINERJA SEKTOR RIIL DI INDONESIA LIRA MAI LENA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2 0 0 7 ABSTRAK Lira Mai Lena. Dampak Kebijakan Moneter terhadap Kinerja Sektor

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI Oleh ARISA SANTRI H14050903 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 1-9 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini mencakup perekonomian nasional dengan obyek yang diteliti adalah peranan sektor kehutanan dalam perekonomian nasional dan perubahan struktur

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA PANGKALPINANG OLEH TITUK INDRAWATI H

ANALISIS DAMPAK SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA PANGKALPINANG OLEH TITUK INDRAWATI H ANALISIS DAMPAK SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA PANGKALPINANG OLEH TITUK INDRAWATI H14094013 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN TITUK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder seperti tabel I-O Indonesia klasifikasi 175 sektor tahun 2005 dan 2008, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN UPAH MINIMUM PROPINSI (UMP) TERHADAP INVESTASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) JAWA BARAT Oleh : ROLAS TE SILALAHI A14304008 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia pada tahun 1997 telah mengalami kontraksi dari tahun sebelumnya,

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan

ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA. Iwan Hermawan ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA Iwan Hermawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu. 1. Sektor industri pengolahan memiliki peranan penting terhadap perekonomian Jawa Barat periode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH 1 INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor perikanan merupakan bagian dari pembangunan perekonomian nasional yang selama ini mengalami pasang surut pada saat tertentu sektor perikanan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran sub sektor kehutanan pada perekonomian nasional Indonesia cukup menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode Pembangunan Lima Tahun Pertama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Suryana (2000 : 3), mengungkapkan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat

Lebih terperinci

Prof. Dr. Ir. ZULKIFLI ALAMSYAH, M.Sc. Program Studi Agribisnis FAKULTAS PERTANIAN LOGO UNIVERSITAS JAMBI

Prof. Dr. Ir. ZULKIFLI ALAMSYAH, M.Sc. Program Studi Agribisnis FAKULTAS PERTANIAN LOGO UNIVERSITAS JAMBI Prof. Dr. Ir. ZULKIFLI ALAMSYAH, M.Sc. Program Studi Agribisnis FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JAMBI PERANAN SEKTOR PERTANIAN Luas lahan pertanian Sebagian besar lahan di Indonesia digunakan untuk pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan perekonomian nasional dan patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi karena sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Sumber daya hutan menjadi pilihan Indonesia sebagai andalan sumber keuangan negara disamping minyak dan gas bumi. Hal ini didasari atas ketersediaan kayu hasil

Lebih terperinci

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH

ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE MUHAMMAD ILHAM RIYADH ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN INFLASI INDONESIA PERIODE 1999-2006 MUHAMMAD ILHAM RIYADH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK MUHAMMAD ILHAM RIYADH. Analisis Fluktuasi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA BOGOR OLEH: FITRI RAHAYU H

ANALISIS PENGARUH SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA BOGOR OLEH: FITRI RAHAYU H ANALISIS PENGARUH SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA BOGOR OLEH: FITRI RAHAYU H14102072 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN FITRI RAHAYU.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1. Definisi Industri Negara-negara berkembang berkeyakinan bahwa sektor industri mampu mengatasi masalah-masalah perekonomian, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

1. Yulianty Widjaja (Direktur DAVINCI); dan 2. Para Hadirin Sekalian Yang Berbahagia.

1. Yulianty Widjaja (Direktur DAVINCI); dan 2. Para Hadirin Sekalian Yang Berbahagia. Menteri Perindustrian Republik Indonesia SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA PEMBUKAAN PAMERAN 22 TAHUN DAVINCI DI INDONESIA JAKARTA, 14 OKTOBER 2015 Yang Saya Hormati: 1. Yulianty Widjaja (Direktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disuatu negara yang diukur dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dari

BAB I PENDAHULUAN. disuatu negara yang diukur dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dari BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Salah satu indikator penting dalam menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu negara adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR MEBEL DAN KERAJINAN ROTAN INDONESIA KE JEPANG OLEH IKA VIRNARISTANTI H14084011 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Pembangunan Ekonomi Pembangunan menurut Todaro dan Smith (2006) merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas

Lebih terperinci

PENDAPATAN NASIONAL. Andri Wijanarko,SE,ME. 1

PENDAPATAN NASIONAL. Andri Wijanarko,SE,ME. 1 PENDAPATAN NASIONAL Andri Wijanarko,SE,ME andri_wijanarko@yahoo.com 1 Output Nasional 2 Output Nasional (#1) Merupakan gambaran awal tentang seberapa efisien sumber daya yang ada dalam perekonomian untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan

Lebih terperinci

DAFTAR GAMBAR. Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB Nasional Tahun

DAFTAR GAMBAR. Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB Nasional Tahun DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB Nasional Tahun 2006--2012... 3 Gambar 1.2 Produksi Kayu Bulat per Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2012... 5 Gambar 1.3 Jumlah Industri Kehutanan

Lebih terperinci

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA)

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) OLEH BUDI KURNIAWAN H14094019 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN (Studi Kasus : Rumahtangga Nelayan Tradisional di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat

BAB I PENDAHULUAN. Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Aktivitas dalam perdagangan internasional seperti ekspor dan impor sangat diperlukan terutama untuk negara-negara yang memiliki bentuk perekonomian terbuka.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kajian Penelitian Peranan Ekonomi Kehutanan Peranan ekonomi kehutanan antara lain dapat ditunjukkan oleh kontribusi manfaat pengusahaan hutan alam dalam peningkatan devisa,

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan dan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan, berkelanjutan dan bertahap menuju tingkat

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Teori Perdagangan Internasional Teori tentang perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat maju, yaitu dimulai dengan teori klasik tentang keunggulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

Pengertian Produk Domestik Bruto

Pengertian Produk Domestik Bruto KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 Dodik Ridho Nurrochmat 2 Pengertian Produk Domestik Bruto Neraca pendapatan nasional (national income accounting) merupakan salah satu inovasi penting

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H

DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI SEKTOR INDUSTRI CPO TERHADAP KESEIMBANGAN PASAR MINYAK GORENG SAWIT DALAM NEGERI OLEH WIDA KUSUMA WARDANI H14104036 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H

ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H ANALISIS PERAN SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI SUMATERA UTARA OLEH OKTAVIANITA BR BANGUN H 14104017 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERIKANAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT

PERANAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERIKANAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT PERANAN SEKTOR PETERNAKAN DAN PERIKANAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU: ANALISIS STRUKTUR INPUT-OUTPUT THE ROLE OF THE LIVESTOK AND FISHERY SECTOR TO ECONOMY OF RIAU PROVINCE: ANALYSIS OF THE INPUT-OUTPUT

Lebih terperinci

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA SEKTORAL (Analisis Tabel I-O Indonesia Tahun 2005) OLEH TRI ISDINARMIATI H14094022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut,

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME IMPOR KEDELAI INDONESIA

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME IMPOR KEDELAI INDONESIA 1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VOLUME IMPOR KEDELAI INDONESIA OLEH POPY ANGGASARI H14104040 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 2 RINGKASAN

Lebih terperinci