BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan a. Pengertian perkawinan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Apabila mereka melangsungkan perkawinan, maka timbullah hak dan kewajiban antara suami istri secara timbal balik. Demikian juga apabila dalam perkawinan itu dilahirkan anak, maka akan timbul juga hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik. 17 Berhubungan dengan timbulnya akibat penting dari perkawinan inilah, maka masyarakat membutuhkan suatu peraturan untuk mengatur perkawinan yaitu mengenai : syarat-syarat untuk perkawinan, pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya perkawinan. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang selanjutnya menimbulkan pengertian perkawinan. 18 Dalam Pasal 1 UU Perkawinan dirumuskan bahwa pengertian perkawinan yaitu : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk 17 Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h, Wirjono Prodjodikoro I, op.cit, h. 7.

2 keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir yaitu hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan ikatan batin yaitu hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh dimana hanya mengikat kedua pihak saja. Berbeda dengan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan, dalam konsepsi hukum Perdata Barat perkawinan dipandang hanya dalam hubungan perdata saja. Dalam Pasal 81 KUHPerdata disebutkan bahwa : Tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka bahwa perkawinan di hadapan Pegawai Catatan Sipil telah berlangsung. Jelaslah dari ketentuan pasal tersebut bahwa perkawinan hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal mana jelas bertentangan dengan falsafah negara yaitu Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan yang merupakan perbuatan suci (sakramen) dimana mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani mempunyai peranan penting. 19 Dengan demikian jelaslah nampak perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut KUHPerdata dengan UU Perkawinan. Perkawinan 19 Vollmar, 1983, Pengantar Studi Hukum Perdata, Terjemahan I.S Adiwimarta, CV. Rajawali, Jakarta, h. 50.

3 menurut KUHPerdata hanya sebagai Perikatan Perdata dan mengabaikan segi keagamaan, sedangkan pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan Perikatan Keagamaan yang tegas terdapat dalam tujuan perkawinan yaitu pada ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 20 Tujuan daripada perkawinan tersebut di atas berarti bahwa perkawinan itu : (1) berlangsung seumur hidup, (2) cerai dibutuhkan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan (3) suami-istri membantu untuk mengembangkan diri. Sedangkan suatu keluarga dikatakan bahagia apabila memenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Kebutuhan jasmaniah, seperti: papan, sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, seperti: adanya seorang anak yang berasal dari darah dagingnya sendiri. 21 b. Syarat perkawinan Mengenai syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan telah diatur dalam UU Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Selanjutnya disebut PP Pelaksanaan UU Perkawinan). Dalam 20 H. Hilman Hadikusuma, lo.cit. 21 Salim HS, op.cit, h. 62.

4 rumusan Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU Perkawinan ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu : 1. Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern ini meliputi : a) Persetujuan kedua belah pihak; b) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; c) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati; d) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin; e) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari. 2. Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat ekstern ini meliputi : a) Pendaftaran atau pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil; b) Penelitian dan pengecekan terhadap syarat-syarat perkawinan yang didaftarkan; c) Pengumuman tentang pemberitahuan untuk dilangsungkan perkawinannya, yang memuat : 1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu; 2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan. 22 Dalam KUHPerdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi dua macam yaitu : (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam, yaitu : a) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi: 1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 BW); 2) Persetujuan antara suami-isteri (Pasal 28 BW); 22 Salim HS, loc.cit.

5 3) Terpenuhinya batas umur minimal, bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan bagi wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 BW); 4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 (tiga ratus) hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 BW); 5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anakanak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 BW). b) Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu: 1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan; 2) Larangan kawin karena zina; 3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat 1 tahun. 2. Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitasformalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu: a) Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman tentang maksud kawin (Pasal 50 sampai Pasal 51 BW). Pemberitahuan tentang maksud kawin diajukan kepada Catatan Sipil. Pengumuman untuk maksud kawin dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan, dengan jalan menempelkan pada pintu utama dari gedung dimana register-register Catatan Sipil diselenggarakan, dan jangka waktunya 10 (sepuluh) hari. b) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. Apabila kedua syarat diatas, baik syarat materiil dan formal sudah dipenuhi maka perkawinan itu dapat dilangsungkan. 23 c. Syarat sahnya perkawinan Momentum suatu perkawinan dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan yaitu : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 23 Salim HS, op.cit, h. 63.

6 (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini bisa dijabarkan bahwa perkawinan dianggap sah, jika diselenggarakan : a. Menurut hukum masing-masing, agama, dan kepercayaan. b. Secara tertib menurut hukum syariah bagi yang beragama Islam. c. Dicatat menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Tujuan daripada dirumuskannya Pasal 2 UU Perkawinan adalah untuk menghindari konflik hukum adat, hukum agama, dan hukum antargolongan. Sedangkan tujuan pencatat perkawinan adalah : a. Menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lainnya. b. Sebagai alat bukti, bagi anak-anaknya dikelak kemudian, apabila timbul sengketa, baik di antara anak kandung maupun saudara tiri. c. Sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau suami, bagi pegawai negeri sipil. 24 d. Akibat hukum perkawinan Perkawinan merupakan kesepakatan bersama antara suami dan istri untuk melakukan hidup bersama, dan tentu saja mengakibatkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, disebutkan tiga akibat perkawinan yaitu : 1. Timbulnya hubungan antara suami-istri. 2. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak. 24 Salim HS, op.cit, h. 64.

7 3. Timbulnya harta benda dalam perkawinan. 25 Sejak terjadi perkawinan, maka timbullah hubungan hukum di antara suami-istri. Setiap suami mempunyai hak dalam keluarga, begitu juga seorang wanita yang mengikatkan diri menjadi istri dalam suatu perkawinan memiliki hak sebagai istri. Yang dimaksud dengan hak ialah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperoleh dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak rela haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain. 26 Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami atau istri untuk memenuhi hak dari pihak lain. Hak dan kewajiban suami-istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan yang meliputi : 1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 UU Perkawinan). 2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan). 3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2) UU Perkawinan). 25 Mulyadi, loc.cit. 26 Soemiyati, 2004, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan, Cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, h. 87.

8 4. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1) UU Perkawinan). 5. Suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain (Pasal 33 UU Perkawinan). 6. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan). 7. Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan). Jika suami atau istri melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut diatas maka masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan setempat. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU Perkawinan. Hak dan kewajiban itu antara lain : 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. (Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan). 2. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik (Pasal 46 ayat (1) UU Perkawinan). 3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal 46 ayat (2) UU Perkawinan).

9 4. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya (Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan). 5. Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah melangsungkan perkawinan mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Perkawinan). 6. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48 UU Perkawinan). Selain menimbulkan hubungan hukum antara suami-istri dan antara orang tua dengan anak, juga menyangkut harta benda dalam perkawinan baik mengenai harta kekayaan suami-istri yang sudah ada dan yang masih akan ada. Akibat dari perkawinan yang berkaitan dengan harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan, yang pada intinya membedakan antara harta bersama dan harta bawaan yang diuraikan sebagai berikut : 1. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan menjadi milik bersama. 2. Harta bawaan merupakan harta yang telah dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh oleh

10 suami atau istri sepanjang perkawinan yang berasal dari hadiah atau warisan. Mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami-istri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik menurut Riduan Syahrini adalah sewajarnya, mengingat hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. 27 Apabila kemudian ditentukan lain oleh suami isteri, maka dapat dilakukan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama. Untuk menentukan agar harta bersama tersebut tidak terjadi persatuan bulat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 119 KUHPerdata, maka calon suami-isteri terlebih dahulu harus membuat perjanjian kawin yang dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. 2.2 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kawin Sebelum berbicara tentang perjanjian kawin, akan diulas terlebih dahulu mengenai pengertian perjanjian secara umum. Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam ketentuan Pasal 1313 yaitu : Suatu persetujuan 27 Riduan Syahrini, 1978, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, h. 100.

11 adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Apabila dicermati ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata di atas terlihat bahwa perjanjian diistilahkan dengan persetujuan, padahal pengertian persetujuan sebenarnya lebih luas dari pengertian perjanjian. Jika pada persetujuan yang mengikatkan diri hanya sepihak saja, maka pada perjanjian yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak. Sehingga dari pengertian persetujuan atau perjanjian yang dikemukakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang dikemukakan dalam pernyataan berikut : 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan : satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu saling mengikatkan diri, jadi ada konsensus diantara pihak-pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III

12 KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal. 4. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian. Sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 28 Berdasarkan uraian kelemahan-kelemahan di atas, untuk lebih menyempurnakan pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata maka adapun sebagian sarjana mengemukakan pengertian perjanjian itu sebaiknya sebagai berikut : 1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, Perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan R. Subekti, menyatakan Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu 28 Abdulkadir Muhammad,1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, (Selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), h R. Wirjono Projodikoro,1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, (Selanjutnya disingkat R. Wirjono Prodjodikoro II), h Abdulkadir Muhammad I,loc.cit.

13 saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis. 31 a. Pengertian perjanjian kawin Secara umum ketentuan mengenai istilah perjanjian kawin itu adalah perjanjian yang dibuat calon suami-istri sebelum perkawinan berlangsung dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Hukum mengenai perjanjian kawin ini bersumber pada : 1. KUHPerdata. 2. UU Perkawinan dan PP Pelaksanaan UU Perkawinan. 3. Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI). 32 Perjanjian kawin dalam KUHPerdata diatur dalam Buku I Bab VII khususnya pada Pasal 139 dan Pasal 140 yang pada intinya merumuskan bahwa calon suami-istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata-susila yang baik atau dengan tata-tertib umum. Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak 31 R. Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (Selanjutnya disingkat R. Subekti II) h H. A. Damanhuri HR, 2007, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 4.

14 boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang-undang kepada si yang hidup terlama diantara suami-istri. Dalam UU Perkawinan khususnya pada ketentuan Pasal 29 tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian kawin termasuk tentang isi dari perjanjian kawin. Hanya dalam Pasal 29 ayat (2) dirumuskan mengenai batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian kawin yaitu : Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Dengan tidak adanya pengertian yang jelas tentang perjanjian kawin maka di antara para ahli terdapat juga perbedaan dalam memberikan pengertian perjanjian kawin dan dari keseluruhan pengertian perjanjian kawin yang dinyatakan umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Berikut dipaparkan pengertian perjanjian kawin menurut beberapa ahli : 1. R. Subekti menyatakan bahwa : Perjanjian kawin adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin mengatakan, Perjanjian kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan 33 R. Subekti, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, (Selanjutnya disingkat R. Subekti III), h. 9.

15 untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka Komar Andasasmita menyatakan apa yang dinamakan perjanjian atau syarat kawin itu adalah, Perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami-istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka. 35 Pada KHI perjanjian kawin dapat ditemui pengaturannya dalam Bab VII Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Dalam Pasal 45 KHI dirumuskan bahwa : Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 1. Taklik talak 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jika diperhatikan pada Pasal 45 KHI diatas jelas bertentangan dengan Pasal 29 UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak, akan tetapi dalam KHI jelas ditegaskan bahwa perjanjian kawin bisa dalam bentuk ta lik talak dan bisa dalam bentuk perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1987, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kelima, Alumni, Bandung, h Komar Andasasmita, 1990, Notaris II, Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, Bandung, h H. A. Damanhuri HR, op.cit, h

16 b. Syarat sahnya perjanjian kawin Dari uraian sebelumnya telah diketahui bahwa perjanjian kawin merupakan suatu persetujuan atau perikatan antara calon suami-istri yang mengatur mengenai harta kekayaan perkawinan, yang mana perjanjian kawin ini pada prinsipnya sama dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, sebab satu sama lain terikat dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian-perjanjian. Adapun untuk sahnya persetujuanpersetujuan diperlukan empat syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : 1. Berdasarkan pada kesepakatan atau kata sepakat, dimana para pihak yang mengadakan perjanjian kawin mempunyai suatu kehendak yang bebas yaitu terhadap pihak-pihak tersebut tidak ada unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan dalam mengadakan perjanjian. 2. Para pihak harus cakap menurut hukum untuk membuat suatu perjanjian. Untuk membuat suatu perjanjian, para pihak yang mengadakan perjanjian cakap mempunyai kewenangan atau berhak untuk melakukan suatu tindakan hukum seperti yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. 3. Perjanjian yang dibuat tersebut harus secara jelas memperjanjikan tetang sesuatu hal yang tertentu atau dengan kata lain objek perjanjian jelas. Adapun yang dimaksud objek perjanjian adalah apa yang menjadi isi perjanjian kawin itu sendiri, misalnya percampuran harta benda pribadi, pemisahan harta bersama dan sebagainya. Objek

17 perjanjian kawin dapat terhadap barang-barang yang sudah ada atau barang-barang yang akan diperoleh di kemudian hari. 4. Hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak harus tentang sesuatu yang halal dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 37 Sejalan dengan rumusan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengenai sahnya suatu perjanjian kawin, Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa persyaratan perjanjian kawin yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut : 1. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan; 2. Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat; 3. Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan; 4. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; 5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah; 6. Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan (Pasal 12 PP Pelaksanaan UU Perkawinan) 38 c. Bentuk dan isi perjanjian kawin Mengenai bentuk perjanjian kawin, Pasal 147 KUHPerdata dengan terang dan tegas menentukan bahwa perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris dan dengan ancaman pembatalan apabila tidak dibuat secara demikian. Syarat ini dimaksudkan agar : 1. Perjanjian kawin tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat. 37 R. Subekti III, op.cit, h Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bhakti, Bandung, (Selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad II), h. 88.

18 2. Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-istri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian kawin mempunyai akibat yang luas. Untuk membuat perjanjian kawin dibutuhkan seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan teliti. Hal ini berkaitan dengan ketentuan bahwa bentuk harta perkawinan harus tetap sepanjang perkawinan tersebut. Suatu kekeliruan dalam merumuskan syarat dalam perjanjian kawin tidak dapat diperbaiki lagi sepanjang perkawinan. 39 Selanjutnya Pasal 147 KUHPerdata juga menentukan, bahwa perjanjian kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Undang-undang tidak menetapkan jangka waktu antara pembuatan perjanjian kawin dengan saat dilangsungkannya perkawinan, namun sebaiknya perjanjian kawin dibuat sedekat mungkin dengan waktu dilangsungkannya perkawinan. Sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami istri masih dapat melakukan perubahan-perubahan atas perjanjian kawin. Perubahan tersebut harus dilakukan dengan akta notaris, dan dalam hal perjanjian kawin dibuat dengan bantuan orang tua atau wali, jika orang tua atau wali tidak menyetujui perubahan yang akan dilakukan, maka perubahan tersebut tidak dapat dilakukan. Berbeda dengan KUHPerdata yang mensyaratkan perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris.uu Perkawinan hanya mensyaratkan perjanjian 39 Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Cetakan Kedua, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 77.

19 kawin dibuat dengan bentuk tertulis. Artinya perjanjian kawin dapat dibuat sendiri oleh calon suami isteri, hanya saja perjanjian tersebut harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada saat perkawinan dilangsungkan. Namun ada baiknya perjanjian kawin dibuat dengan akta Notaris, karena selain untuk keabsahan perjanjian kawin tersebut juga dimaksudkan untuk : 1. Mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup; 2. Untuk adanya kepastian hukum; 3. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah; 4. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan Pasal 149 KUHPerdata. 40 Selanjutnya mengenai isi daripada perjanjian kawin, menurut Pasal 29 UU Perkawinan tidak menjelaskan dengan lantang tentang hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam suatu perjanjian kawin. Batasan yang diberikan hanyalah perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Dengan demikian perjanjian kawin menurut UU Perkawinan tidak terbatas pada masalah harta perkawinan saja, tetapi dapat pula mengatur mengenai hal lain. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata Indonesia, Abdulkadir Muhammad berpendapat : Dalam perjanjian perkawinan tidak termasuk taklik talak. Isi perjanjian perkawinan dapat mengenai segala hal, asal saja tidak melanggar batas hukum, agama, dan kesusilaan. Isi perjanjian perkawinan itu misalnya 40 Titik Triwulan Tutik, op.cit, h. 121.

20 mengenai penyatuan harta kekayaan suami dan istri; penguasaan, pengawasan, dan perawatan harta kekayaan istri oleh suami, istri atau suami melanjutkan kuliah dengan biaya bersama, dalam perkawinan mereka sepakat melaksanakan keluarga berencana, dan lain-lain. Isi perjanjian tidak melanggar batas-batas hukum misalnya dalam perjanjian ditentukan istri tidak diberi wewenang melakukan perbuatan hukum, karena hukum menentukan bahwa wanita bersuami itu berwenang melakukan perbuatan hukum apapun. Isi perjanjian perkawinan tidak melanggar batasbatas agama, misalnya dalam perjanjian perkawinan ditentukan istri atau suami tetap bebas bergaul dengan laki-laki atau perempuan lain, diluar rumah mereka. Ini jelas melanggar batas agama, sebab agama tidak membenarkan pergaulan bebas semacam itu. Melanggar batas kesusilaan, misalnya dalam perjanjian ditentukan suami tidak boleh melakukan pengontrolan terhadap perbuatan istri di luar rumah dan sebaliknya. 41 Sejalan dengan uraian di atas, dalam ketentuan Pasal 139 KUHPerdata mengandung suatu asas bahwa calon suami istri bebas untuk menentukan isi perjanjian kawin yang dibuatnya. Isi perjanjian kawin diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. KUHPerdata memberikan beberapa larangan tentang isi perjanjian kawin yaitu : 1. Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata). 2. Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh KUHPerdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa istri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1) KUHPerdata). 41 Abdulkadir Muhammad II, loc.cit.

21 3. Dalam perjanjian itu suami-istri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewarisi harta peninggalan anak-anak mereka (Pasal 141 KUHPerdata). 4. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142 KUHPerdata). 5. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu Negara asing (Pasal 143 KUHPerdata). Yang dilarang bukanlah mencantumkan isi hukum asing dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum asing itu. Larangan ini dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum mengenai hak-hak suami istri, terutama untuk kepentingan pihak ketiga yang mungkin tidak menguasai hukum Negara asing yang ditunjuk. 6. Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata-kata umum bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya (Pasal 143 KUHPerdata). d. Perubahan perjanjian kawin Mengenai perubahan perjanjian kawin, terdapat perbedaan konsepsi antara KUHPerdata dengan UU Perkawinan. Dalam rumusan Pasal 149 KUHPerdata telah ditentukan secara tegas bahwa setelah perkawinan berlangsung maka terhadap perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun tidak dapat dirubah. Dari perumusan pasal tersebut, dapat di artikan bahwa

22 menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, perubahan terhadap perjanjian kawin selama perkawinan dilangsungkan tidak dimungkinkan sama sekali, akan tetapi sebelum perkawinan dilangsungkan calon suami-istri masih dapat merubah perjanjian kawin yang dibuatnya. Berlainan dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan, perubahan terhadap perjanjian kawin selama perkawinan berlangsung dapat dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak yaitu suami dan istri serta terhadap perubahan tersebut selama tidak merugikan pihak ketiga. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan yang merumuskan : Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. Apabila dicermati ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan di atas, maka di dalamnya terkadung asas kebebasan berkontrak dimana calon suamiistri bebas membuat perjanjian kawin dan mengatur sendiri isi perjanjian kawin tersebut. Perjanjian kawin ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka atau para pihak yang membuatnya sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. memenuhi syarat sebagai suatu kontrak; 2. tidak dilarang oleh undang-undang; 3. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;

23 4. dilaksanakan dengan itikad baik. 42 Jadi menurut ketentuan dalam UU Perkawinan, perubahan terhadap perjanjian kawin dimungkinkan untuk dilaksanakan asalkan perubahan tersebut dilakukan atas kesepakatan dari suami istri yang membuat perjanjian kawin tersebut, yang lebih penting terhadap perubahan yang dibuat oleh suami istri tesebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Pada hakekatnya larangan untuk merubah perjanjian kawin ialah untuk melindungi kepentingan pihak ketiga yaitu mencegah timbulnya kerugian dari kemunginan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan istri yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab, dimana undangundang pada hakekatnya menghendaki supaya keadaan kekayaan dalam suatu perkawinan itu tetap. Hal tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingankepentingan pihak ketiga R. Soeroso, 2010, Perjanjian Di Bawah Tangan, Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h Irma Devita Purnamasari, 2010, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan, PT Mizan Pustaka, Bandung, h. 104.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia adalah kelahiran dan kematian. Sedangkan peristiwa

Lebih terperinci

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Perkawinan adalah suatu ikatan lahir

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA NO PERBEDAAN BW/KUHPerdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1 Arti Hukum Perkawinan suatu persekutuan/perikatan antara seorang wanita dan seorang pria yang diakui sah oleh UU/ peraturan negara yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN 2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia.

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA) Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019 Tentang: PERKAWINAN Indeks: PERDATA. Perkawinan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL Muchamad Arif Agung Nugroho Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang agungprogresif@gmail.com ABSTRAK Perkawinan heteroseksual merupakan suatu perikatan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh Ahmad Royani Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan Abstrak

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974. A. Pendahuluan Perkawinan merupakan sebuah institusi yang keberadaannya diatur dan dilindungi oleh hukum baik agama maupun negara. Ha

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN 2.1. Perkawinan Perkawinan ialah merupakan suatu ikatan sosial atau suatu ikatan perjanjian hukum antara pribadi (pria dan wanita), dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM PERDATA (BURGERLIJK WETBOEK) A. Pengertian Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Anak menurut bahasa adalah

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3277 K/ Pdt/ 2000 Mengenai Tidak Dipenuhinya Janji Kawin Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA digilib.uns.ac.id 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 ditegaskan mengenai pengertian perkawinan yaitu Perkawinan ialah

Lebih terperinci

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN PERJANJIAN KAWIN SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN Sriono, SH, M.Kn Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Labuhan Batu e_mail : sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN

BAB II PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN 23 BAB II PERJANJIAN DALAM PERKAWINAN A. Perjanjian Dalam Perkawinan 1. Pengertian Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

www.pa-wonosari.net admin@pa-wonosari.net UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 20 BAB II PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Harta dalam Perkawinan 1. Pengertian Harta Harta dalam Kamus Besar Bahasa indonesia berarti barang yang dimiliki seseorang yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pasal 1 UU.No 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB IV HUKUM KELUARGA BAB IV HUKUM KELUARGA A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERKAWINAN Di Indonesia telah dibentuk Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dalam Lembaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA Presiden Republik Indonesia Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN A. Pengertian Hukum Waris Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial. Artinya setiap manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan bantuan orang lain, bahkan sejak manusia lahir, hidup dan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pembukaan Bab I Dasar perkawinan Bab II Syarat-syarat perkawinan Bab III Pencegahan perkawinan Bab IV Batalnya perkawinan Bab V Perjanjian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI Oleh : DODI HARTANTO No. Mhs : 04410456 Program studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA 53 BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian Hutang Piutang Pengertian hutang menurut etimologi ialah uang yang dipinjam dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan 18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Perkawinan yang dalam istilah agama disebut nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti 17 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN 2.1 Pengertian Perjanjian Pengangkutan Istilah pengangkutan belum didefinisikan dalam peraturan perundangundangan, namun banyak sarjana yang mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harta Bersama dan Perceraian 1. Harta Bersama Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan keturunan, mempertahankan rasnya, sehingga. perkawinan, karena dengan perkawinan manusia dapat melahirkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia yang hakiki adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan untuk mempertahankan hidup ini diuraikan lebih lanjut sebagai

Lebih terperinci

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, BAB I PENDAHULUAN Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dengan adanya kelahiran maka berakibat pada timbulnya hak dan kewajban baik dari

Lebih terperinci

Bab 2 PERKAWINAN DAN AKIBAT PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN

Bab 2 PERKAWINAN DAN AKIBAT PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN 16 Bab 2 PERKAWINAN DAN AKIBAT PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Dalam pembahasan mengenai pengertian perkawinan ini, kita tidak dapat memfokuskan terhadap salah satu dari

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 KAJIAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN YANG BELUM MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 1 Oleh: Billy Bidara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Komang Padma Patmala Adi Suatra Putrawan Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT:

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

SURAT PERJANJIAN KAWIN ADAT DAYAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA *)

SURAT PERJANJIAN KAWIN ADAT DAYAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA *) SURAT PERJANJIAN KAWIN ADAT DAYAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA *) PENDAHULUAN Dalam masyarakat hukum adat dayak masih ada yang memegang teguh adat istiadat leluhurnya dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( ) KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI Oleh: Mulyadi, SH., MH. (081328055755) Abstrak Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah maka kalau terjadi perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No. 6/Ags/2015

Lex Administratum, Vol. III/No. 6/Ags/2015 AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG SAH DIDASARKAN PADA PASAL 2 UU. NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 Oleh : Juliana Pretty Sanger 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Perkawinan 1. Pengertian perkawinan Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari interaksi dengan sesama. Bahkan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 31 BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan 1. Pengertian dan Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

Seftia Azrianti Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, Indonesia

Seftia Azrianti Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, Indonesia ANALISA YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUM BAGI PARA PIHAK BERDASARKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Seftia Azrianti Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu persetujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini memiliki arti bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya, tentu akan membutuhkan bantuan dari manusia

Lebih terperinci

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara 23 BAB II TANGGUNG JAWAB MANTAN SUAMI TERHADAP PENAFKAHAN ANAK PASCA PERCERAIAN JIKA PENGHASILANNYA KURANG CUKUP MEMENUHI KEBUTUHAN ANAK YANG TELAH DITETAPKAN PENGADILAN A. Mengenai Perkawinan 1. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan institusi kecil yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

Lebih terperinci

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Vol. 1, No.1, January 2018 PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tasikmalaya Jawa Barat E-mail : gunadish_17@yahoo.com

Lebih terperinci

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia.

Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia. Perbandingan Hukum Orang di Belanda dan Indonesia. Hukum orang merupakan suatu hukum yang mempelajari ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum. Dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan mengenai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017 KEWENANGAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT UU NO. 2 TAHUN 2014 JO. UU NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS 1 Oleh: Qadryan R. Sumaryono 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk

Lebih terperinci

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh mengikatkan diri dalam perkawinan dan untuk membuat perjanjian kawin mereka wajib didampingi oleh orang-orang yang wajib memberikan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Perjanjian Kerja 1. Pengertian Perjanjian Kerja Dengan telah disahkannya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK) maka keberadaan perjanjian

Lebih terperinci

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN 1 KUHPerdata 103 106 105 107 KUHPerdata 107 108 110 Akibat perkawinan terhadap diri pribadi masing-masing Suami/Istri Hak & Kewajiban Suami-Istri UU No.1/1974 30

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS A. Kedudukan Notaris Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG Oleh : Sriono, SH, M.Kn Dosen tetap STIH Labuhanbatu e_mail: sriono_mkn@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya yang meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian A.1 Pengertian perjanjian Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, hal ini berdasarkan bahwa perikatan dapat lahir karena perjanjian dan undang undang. Sebagaimana

Lebih terperinci

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci