PEDOMAN PELAKSANAAN. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2009

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEDOMAN PELAKSANAAN. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2009"

Transkripsi

1 PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung dan Kedelai Tahun 2009 DEPARTEMEN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN 2009

2 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN NOMOR : 14/HK.310/C/01/2009 T E N T A N G PEDOMAN PELAKSANAAN SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) PADI, JAGUNG DAN KEDELAI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan nasional perlu terus diupayakan untuk menjamin kecukupan pangan yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk; b. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan, diupayakan melalui peningkatan produksi dan produktivitas; c. bahwa peningkatan produktivitas padi, jagung dan kedelai tahun 2009 difokuskan melalui pendekatan SL-PTT; d. bahwa dalam DIPA Satuan Kerja Dinas yang menangani Tanaman Pangan di Propinsi dan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2009 terdapat kegiatan Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung dan Kedelai Melalui Pelaksanaan SL-PTT; e. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, agar pelaksanaan kegiatan tersebut di atas dapat berdaya guna dan berhasil guna, dipandang perlu menerbitkan Pedoman Pelaksanaan SL- PTT Padi, Jagung dan Kedelai Tahun Anggaran 2009.

3 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355); 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4400); 5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421); 6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); 7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438); 8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2009 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4662); 9. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 4212) Juncto Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4418); 10. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4330) jis Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 77), Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 36), Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006;

4 11. Keputusan Presiden Nomor 187/M/Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; 12. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 13. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia; 14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman; 15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman; 16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 tentang Pupuk Budidaya Tanaman; 17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2001 tentang Alat dan Mesin Budidaya Tanaman; 18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.02/2008 tanggal 24 April 2008 tentang Standar Biaya Tahun 2009; 19. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 20. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.02/2008 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan Penelaahan Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 2009; 21. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian; 22. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian; 23. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 720.1/Kpts/OT.140/12/2006 tentang Pedoman Administrasi Keuangan Departemen Pertanian; 24. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1629/Kpts/KU.510/11/2008 tentang Pelimpahan Wewenang Menteri Pertanian Kepada Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian untuk Penetapan Pejabat Pengelola Anggaran dilingkungan Departemen Pertanian; 25. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1809/Kpts/KU.410/12/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Penetapan Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Penguji Tagihan/Penandatanganan Surat Perintah Membayar (SPM), Bendahara Pengeluaran, dan Bendahara Penerima Lingkup Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun Anggaran 2009;

5 Memperhatikan : Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Satuan Kerja Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun Anggaran 2009 Nomor : 0019/ /-/2009 tanggal 31 Desember 2008; Menetapkan : KESATU M E M U T U S K A N : : Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Padi, Jagung dan Kedelai Tahun Anggaran 2009, seperti tercantum pada Lampiran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Keputusan ini. KEDUA : Pedoman Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam diktum KESATU merupakan acuan pelaksanaan kegiatan Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung dan Kedelai Melalui Pelaksanaan SL-PTT Tahun Anggaran KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 27 Januari 2009 DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN, Ir. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP Tembusan : 1. Menteri Pertanian R.I; 2. Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian; 3. Inspektur Jenderal Departemen Pertanian; 4. Para Gubernur Provinsi di seluruh Indonesia; 5. Para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia; 6. Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Jakarta V; 7. Kepala Dinas Pertanian Provinsi yang membidangi Tanaman Pangan di seluruh Indonesia; 8. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten / Kota yang membidangi Tanaman Pangan di seluruh Indonesia.

6 Lampiran KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN NOMOR :./Kpts/HK /C/I/2008 Tanggal.. Januari 2009 DAFTAR ISI DAFTAR ISI.. i. DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR v. DAFTAR LAMPIRAN. I. PENDAHULUAN II. III. A. Latar Belakang.. 1 B. Tujuan dan Sasaran 2 C. Pengertian Pengertian Dalam SL-PTT Padi Jagung dan Kedelai.. 4 KERAGAAN, SASARAN DAN TANTANGAN PRODUKSI TAHUN A. Keragaan Produksi.. 6 B. Sasaran Produksi Tahun C. Tantangan... 9 STRATEGI DAN UPAYA PENCAPAIAN PRODUKSI TAHUN A. Strategi.. 11 B. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Tahun IV. PTT PADI, JAGUNG DAN KEDELAI. 17 A. Prinsip - prinsip PTT B. Tahapan Penerapan PTT C. Komponen Teknologi Unggulan PTT Padi D. Komponen Teknologi Unggulan PTT Jagung E. Komponen Teknologi Unggulan PTT Kedelai 19 F. Peran Komponen Teknologi PTT G. Pemilihan Teknologi PTT H. Keuntungan Penerapan Teknologi PTT Hal iv. vi. i

7 V. SEKOLAH LAPANGAN PTT PADI, JAGUNG DAN KEDELAI 23 A. Pelaksanaan SL-PTT.. 23 B. Penentuan Calon Lokasi dan Calon Petani /Kelompoktani SL-PTT C. Pelatihan Petugas SL-PTT D. Ketentuan Pelaksana SL-PTT E. Persyaratan Kelompoktani Pelaksana SL-PTT F. Jumlah Bantuan SL-PTT G. Sumber Bantuan Benih SL-PTT. 33 H. Komponen Dana Bantuan SL-PTT 34 I. Mekanisme Pelaksanaan SL-PTT. 35 J. Pertemuan - Pertemuan Kelompok SL-PTT. 39 VI. PENGORGANISASIAN DAN OPERASIONAL SL-PTT. 42 A. Pengorganisasian SL-PTT.. 42 B. Operasionalisasi SL-PTT.. 44 VII. PEMBIAYAAN MEKANISME PENCAIRAN DANA DAN PENGADAAN A. Pembiayaan.. 46 B. Mekanisme Penetapan Kelompoktani Penerima Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) SL-PTT C. Mekanisme Pendistribusian Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) SL-PTT. 49 D. Mekanisme Pengajuan dan Penyaluran dana Bantuan Sosial SL-PTT.. 49 E. Mekanisme Pengadaan BLM SL-PTT 51 ii

8 VIII. BIMBINGAN / PEMBINAAN DAN PENDAMPINGAN IX. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN A. Monitoring 56 B. Evaluasi. 56 C. Pelaporan. 56 X. PENUTUP 57 LAMPIRAN iii

9 DAFTAR TABEL Hal Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi (2008 adalah ARAM III).. 6 Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung (2008 adalah ARAM III).. 6 Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai (2008 adalah ARAM III) 7 Tabel 4. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Padi Tahun Tabel 5. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Jagung Tahun Tabel 6. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Kedelai Tahun iv

10 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Sasaran Produksi Padi Tahun Hal Gambar 2. Sasaran Produksi Jagung Tahun Gambar 3. Sasaran Produksi Kedelai Tahun Gambar 4. Kerangka Pelaksanaan SL-PTT Padi Non Hibrida Gambar 5. Kerangka Pelaksanaan SL-PTT Padi Hibrida Gambar 6. Kerangka Pelaksanaan SL-PTT Jagung Hibrida.. 25 Gambar 7. Kerangka Pelaksanaan SL-PTT Kedelai Gambar 8. Kerangka Pelaksanaan LL Padi, Jagung dan Kedelai Gambar 9. Skema Operasional SL-PTT.. 45 v

11 DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1. Bagan Mekanisme Pencairan Dana Bantuan SL-PTT Pola BLM TA Lampiran 2. Bagan Mekanisme Penenetapan Kelompoktani Penerima BLBU SL-PTT Lampiran 3. Bagan Mekanisme Pendistribusian BLBU SL-PTT. 60 Lampiran 4. Contoh Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota. 61 Lampiran 5. Form Daftar Calon Petani dan Calon Lokasi Penerima BLBU / BLBU SL-PTT / Bansos SL-PTT Tahun Lampiran 6. Form RUK Pelaksana SL-PTT Tahun Lampiran 7. Form Surat Pernyataan.. 68 Lampiran 8. Form BAP Dana Bansos SL-PTT Tahun Lampiran 9. Blangko Laporan Kelompoktani Pelaksanaan SL-PTT Lampiran 10. Blangko Laporan Bulanan Pelaksanaan SL-PTT Tingkat Kecamatan.. 71 Lampiran 11. Blangko Laporan Bulanan Pelaksanaan SL-PTT Tingkat Kabupaten.. 72 Lampiran 12. Blangko Laporan Bulanan Pelaksanaan SL-PTT Tingkat Provinsi. 73 Lampiran 13. Blangko Rencana Kebutuhan Benih Poktan BLBU TA Lampiran 14. Blangko Rekapitulasi Kebutuhan Benih Kelompoktani Tingkat Kecamatan BLBU TA Lampiran 15. Blangko Rekapitulasi Kebutuhan Benih Kelompoktani Tingkat Kabupaten/Kota BLBU TA Lampiran 16. Lampiran SK Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota tentang Penetapan Kelompoktani sasaran BLBU TA Lampiran 17. Lampiran surat Persetujuan Kepala Dinas Pertanian Provinsi tentang sasaran Lokasi BLBU TA Lampiran 18. BAP BLBU TA 2009 (kelompoktani). 79 Lampiran 19. BAP BLBU TA 2009 (Kabupaten/Kota).. 80 Lampiran 20. Jadwal Tentatif Pelaksanaan SL-PTT Tahun Lampiran 21. Sasaran Indikatif Produksi Padi, Jagung dan Kedelai Tahun Lampiran 22. Rencana Lokasi SL-PTT Padi, Jagung dan Kedelai Per Kabupaten Tahun vi

12 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditi tanaman pangan memiliki peranan pokok sebagai pemenuh kebutuhan pangan, pakan dan industri dalam negeri yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pangan dan pakan. Sehingga dari sisi Ketahanan Pangan Nasional fungsinya menjadi amat penting dan strategis. Komoditi padi berperan sebagai pemenuh kebutuhan pokok karbohidrat masyarakat, sedangkan jagung dan kedelai terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pangan olahan dan pakan. Upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai yang terfokus pada penerapan SL-PTT tahun 2008 pada areal seluas hektar telah berhasil menjadi pemicu dalam meningkatkan produksi padi 5,46%, jagung 19,36% dan kedelai 28,47% (ARAM III 2008). Berdasarkan hasil penerapan SL-PTT tahun 2008, maka pada tahun 2009 fokus kegiatan tersebut akan dilanjutkan dan diperluas menjadi seluas hektar. Pelaksanaan SL-PTT tahun 2009 akan mendapat fasilitasi/dukungan penyediaan benih padi non hibrida melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari dana tugas pembantuan kabupaten/kota seluas hektar dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dari PSO seluas hektar, sedangkan untuk padi hibrida, jagung hibrida dan kedelai melalui BLM. 1

13 SL-PTT merupakan Sekolah Lapangan bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. Dalam SL-PTT petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung (mengalami), mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan (melakukan / mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi. Melalui penerapan SL-PTT petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia (varietas, tanah, air dan sarana produksi) secara terpadu dalam melakukan budidaya di lahan usahataninya berdasarkan kondisi spesifik lokasi sehingga petani menjadi lebih terampil serta mampu mengembangkan usahataninya dalam rangka peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai. Namun demikian wilayah diluar SL-PTT akan tetap dilakukan pembinaan peningkatan produksi sehingga produksi dan produktivitas tahun 2009 dapat meningkat. B. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan a. Menyediakan acuan pelaksanaan SL-PTT padi, jagung dan kedelai untuk mendukung kegiatan peningkatan produksi tahun 2009 di provinsi dan kabupaten/kota. 2

14 b. Meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan peningkatan produksi melalui kegiatan SL-PTT padi, jagung dan kedelai antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. c. Mempercepat penerapan komponen teknologi PTT padi, jagung dan kedelai oleh petani sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola usahataninya untuk mendukung peningkatan produksi nasional. d. Meningkatkan produktivitas, produksi dan pendapatan serta kesejahteraan petani padi, jagung dan kedelai. 2. Sasaran a. Tersedianya acuan pelaksanaan SL-PTT padi, jagung dan kedelai untuk mendukung kegiatan peningkatan produksi tahun 2009 di provinsi dan kabupaten/kota. b. Terkoordinasi dan terpadunya pelaksanaan peningkatan produksi melalui kegiatan SL-PTT padi, jagung dan kedelai antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota. c. Teradopsinya berbagai alternatif pilihan komponen teknologi PTT padi, jagung dan kedelai oleh petani sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola usahataninya untuk mendukung peningkatan produksi nasional. d. Meningkatnya produktivitas padi non hibrida sekitar 0,75 ton/hektar pada areal SL-PTT seluas 2 juta hektar, padi hibrida sekitar 2 ton/hektar pada areal SL-PTT seluas 50 ribu hektar, jagung hibrida sekitar 2,5 ton/hektar pada areal SL-PTT seluas 90 ribu ha serta kedelai sekitar 0,5 ton/hektar pada areal SL- PTT seluas 100 ribu ha. 3

15 e. Mendukung tercapainya produksi padi tahun 2009 sebesar 63,52 juta ton GKG, produksi jagung sebesar 18,00 juta ton PK dan produksi kedelai sebesar 1,50 juta ton BK. C. Pengertian Pengertian dalam SL-PTT 1. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani melalui perbaikan sistem / pendekatan dalam perakitan paket teknologi yang sinergis antar komponen teknologi, dilakukan secara partisipatif oleh petani serta bersifat spesifik lokasi. 2. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL- PTT) adalah suatu tempat Pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. 3. Laboratorium Lapangan (LL) adalah kawasan / area yang terdapat dalam kawasan SL-PTT yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, temu lapang, tempat belajar dan tempat praktek penerapan teknologi yang disusun dan diaplikasikan bersama oleh kelompoktani / petani. 4. Pemandu Lapangan (PL) adalah Penyuluh Pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Pengawas Benih Tanaman (PBT) yang telah mengikuti pelatihan SL-PTT. 4

16 5. Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) adalah tahapan pendekatan PTT yang diawali dengan kelompok tani melakukan identifikasi masalah peningkatan hasil padi di wilayah setempat dan membahas peluang kemungkinan mengatasi masalah tersebut 6. POSKO I - V adalah Pos Simpul Koordinasi sebagai tempat melaksanakan koordinasi dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan SL-PTT, POSKO yang dimaksud adalah POSKO yang telah ada misalnya POSKO P2BN. 7. Rencana Usahatani Kelompok (RUK) adalah rencana kerja usahatani dari kelompoktani untuk satu periode musim tanam yang disusun melalui musyawarah dan kesepakatan bersama dalam pengelolaan usahatani sehamparan wilayah kelompoktani yang memuat uraian kebutuhan, jenis, volume, harga satuan dan jumlah uang yang diajukan untuk pembelian saprodi. 8. Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, antara lain pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos (humus) berbentuk padat yang telah mengalami dekomposisi. 9. Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) adalah sejumlah tertentu benih varietas unggul bermutu padi non hibrida, padi hibrida, jagung hibrida dan kedelai yang disalurkan oleh pemerintah secara gratis kepada petani (kelompoktani) yang ditetapkan. 5

17 II. KERAGAAN, SASARAN DAN TANTANGAN PRODUKSI TAHUN 2009 A. Keragaan produksi Produksi padi dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 2,78 %/tahun, dari 54,09 juta ton GKG pada tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG pada tahun 2008 (ARAM III) sedangkan laju peningkatan produktivitas baru mencapai 1,87%/tahun sebagaimana terlihat dalam Tabel 1., Tabel 1. : Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi (2008 adalah ARAM III) TAHUN LUAS PANEN PRODUKTIVITAS PRODUKSI Ha % Ku/Ha % Ton % ,922, ,088, ,839,060 (0.70) ,151, ,786,841 (0.44) ,454, ,147, ,157, ,343, ,279, Rata-Rata Produksi jagung dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 9,52 %/tahun dari 11,23 juta ton pada tahun 2004 menjadi 15,86 juta ton pada tahun 2008 (ARAM III) sedangkan laju peningkatan produktivitas baru mencapai 4,92%/tahun sebagaimana terlihat dalam Tabel 2., Tabel 2. : Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung (2008 adalah ARAM III) TAHUN LUAS PANEN PRODUKTIVITAS PRODUKSI Ha % Ku/Ha % Ton % ,356, ,225, ,625, ,523, ,345,805 (7.73) ,609,463 (7.30) ,630, ,287, ,923, ,860, Rata-Rata

18 Produksi kedelai dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 2,98 %/tahun dari 723,48 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 761,2 ribu ton pada tahun 2008 (ARAM III) sedangkan laju peningkatan produktivitas baru mencapai 0,59%/tahun sebagaimana terlihat dalam Tabel 3. Tabel 3. : Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kedelai (2008 adalah ARAM III) TAHUN LUAS PANEN PRODUKTIVITAS PRODUKSI Ha % Ku/Ha % Ton % , , , , ,534 (6.60) (1.61) 747,611 (7.51) ,116 (20.91) ,534 (20.74) , , Rata-Rata Dari data 5 tahun tersebut diatas menunjukan bahwa upaya upaya peningkatan produksi dan produktivitas khususnya 3 tahun terakhir masih belum menunjukkan laju peningkatan seperti yang telah direncanakan, disamping itu produktivitas rata-rata nasional masih dibawah potensi hasil masing-masing varietas. Dengan demikian pada tahun 2009 perlu dilakukan upaya upaya terobosan yang lebih terfokus pada prosentase peningkatan yang cukup signifikan. B. Sasaran Produksi Tahun Padi Sasaran produksi padi tahun 2009 adalah 63,53 juta ton GKG atau meningkat 5,39 % dibanding tahun sebelumnya. Sasaran tanam 12,69 juta ha, sasaran panen 12,45 juta ha, sasaran produktivitas 51,04 ku/ha atau sebagaimana terlihat dalam Gambar 1. 7

19 Gambar 1. Sasaran Produksi Padi Tahun Jagung Sasaran produksi jagung tahun 2009 mencapai 18,00 juta ton PK atau meningkat 13,49 % dibanding tahun sebelumnya. Sasaran tanam 4,28 juta ha, sasaran panen 4,08 juta ha, sasaran produktivitas 44,12 ku/ha sebagaimana terlihat dalam Gambar 2. Gambar 2. Sasaran Produksi Jagung Tahun

20 3. Kedelai Sasaran produksi kedelai tahun 2009 mencapai 1,5 juta ton BK atau meningkat 97,37 % dibanding tahun sebelumnya. Sasaran tanam 1,05. juta ha, sasaran panen 0,998 juta ha, sasaran produktivitas 15,04 ku/ha sebagaimana terlihat dalam Gambar 3. Gambar 3. Sasaran Produksi Kedelai Tahun 2009 C. Tantangan Kendala antar sektoral dalam peningkatan produksi tanaman pangan yang semakin kompleks karena berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan strategis diluar sektor pertanian yang amat berpengaruh dalam peningkatan produksi pangan, antara lain dampak fenomena iklim (DFI), semakin berkurangnya ketersedian lahan produksi untuk tanaman pangan akibat alih fungsi lahan, berkurangnya ketersediaan air irigasi karena sumber sumber air yang semakin berkurang dan persaingan penggunaan air diluar sektor pertanian (industri dan pemukiman) serta laju pertumbuhan penduduk. 9

21 Permasalahan sub sektor tanaman pangan khususnya padi, jagung dan kedelai adalah adanya kesenjangan produktivitas ditingkat petani yang cukup besar, dibanding potensi yang dapat dicapai petani. Penyebabnya antara lain penggunaan benih unggul varietas potensi tinggi dan bersertifikat ditingkat petani masih rendah sekitar 53 %, penggunaan pupuk yang belum berimbang dan efisien, penggunaan pupuk organik yang belum populer, budidaya spesifik lokasi masih belum berkembang, pendampingan penyuluh, POPT, PBT dan peneliti belum optimal, lemahnya akses petani terhadap sumber permodalan/pembiayaan usaha serta pasar dll. 10

22 III. STRATEGI DAN UPAYA PENCAPAIAN PRODUKSI TAHUN 2009 A. Strategi Strategi peningkatan produksi tanaman pangan tahun 2009 adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan Produktivitas Melalui pemakaian benih varietas unggul bermutu termasuk benih padi hibrida dan jagung hibrida, pemupukan berimbang dan pemakaian pupuk organik serta pupuk bio-hayati, pengelolaan pengairan dan perbaikan budidaya disertai pengawalan, pemantauan, pendampingan dan koordinasi dll. 2. Perluasan Areal Melalui upaya optimalisasi lahan seperti JITUT, JIDES, dan Tata Air Mikro, pompanisasi dan penambahan baku lahan sawah (cetak sawah baru), disertai konservasi lahan yang berkelanjutan dll. 3. Pengamanan Produksi Pengamanan produksi dimaksudkan untuk mengurangi dampak fenomena iklim seperti kebanjiran dan kekeringan serta pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT), dan pengamanan kualitas produksi dari residu pestisida serta mengurangi kehilangan hasil pada saat penanganan panen dan pasca panen yang masih cukup besar. 4. Kelembagaan dan Pembiayaan Strategi ini dilakukan melalui penguatan kelembagaan pertanian antara lain yang meliputi kelembagaan penyuluhan, kelompoktani (Poktan), gabungan kelompoktani (Gapoktan), koperasi tani 11

23 (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih, kios, KUD, pasar desa, pedagang, asosiasi petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, P3A, UPJA, kelembagaan perlindungan tanaman seperti brigade proteksi dan lain-lain diupayakan diberdayakan seoptimal mungkin untuk mendukung keberhasilan pembangunan tanaman pangan. Pembiayaan usahatani melalui KKP-E, LM3, Kredit Untuk Rakyat (KUR), PUAP serta kemitraan diupayakan meningkat dalam realisasi penyerapannya. B. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Tahun 2009 Upaya pencapaian sasaran produksi padi, jagung dan kedelai tahun 2009 secara spesifik komoditas adalah sebagai berikut : 1. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Padi Tahun 2009 Fokus Utama pencapaian sasaran produksi padi tahun 2009 adalah peningkatan produktivitas padi melalui SL-PTT padi seluas 2,05 juta ha. Sedangkan diluar fokus utama melalui upaya peningkatan produksi lainnya pada kawasan areal tanam seluas 10,25 juta ha, perluasan areal tanam seluas 400 ribu ha sebagaimana terlihat dalam Tabel 4. berikut : Tabel 4. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Padi Tahun

24 a. Fokus utama peningkatan produktivitas padi melalui SL- PTT adalah upaya pencapaian sasasaran produksi padi tahun 2009 yang difokuskan pada kegiatan peningkatan produktivitas di kawasan areal tanam padi seluas 2,05 juta ha, yang terdiri dari: SL-PTT padi non hibrida seluas 2 juta ha dengan melibatkan 80 ribu kelompoktani/unit di 32 provinsi, 333 kabupaten/kota. SL-PTT padi hibrida seluas 50 ribu ha dengan melibatkan 5 ribu kelompoktani/unit di 9 provinsi, 63 kabupaten/kota. rincian pada Lampiran 22. b. Upaya peningkatan produksi padi diluar wilayah fokus Peningkatan produktivitas dan produksi dilakukan dengan pembinaan yang terkoordinasi melalui pemanfaatan bantuan benih, pupuk bersubsidi (urea, ZA, SP-36 / Superphos NPK dan pupuk organik), alsintan, kemitraan dengan stakeholder serta peningkatan luas tanam melalui pemanfaatan JITUT, JIDES, TAM, lahan kering, tadah hujan dan rawa. Areal tanam yang dikelola dengan pola ini seluas 10,25 juta ha. Agar upaya ini dapat berhasil maka perlu dilakukan melalui berbagai gerakan seperti (1) gerakan pengolahan tanah, (2) gerakan tanam serentak, (3) gerakan pemupukan berimbang, (4) gerakan penerapan teknologi, (5) gerakan pengendalian OPT, (6) gerakan penanganan panen dan pasca panen serta gerakan lainnya dengan dukungan dana APBN maupun APBD serta dana masyarakat dan stakeholder. Upaya ini diharapkan mampu menyumbangkan produksi pada tahun 2009 sebesar 52,44 juta ton GKG. 13

25 2. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Jagung Tahun 2009 Fokus utama pencapaian sasaran produksi jagung tahun 2009 adalah peningkatan produktivitas jagung melalui SL-PTT jagung hibrida seluas 90 ribu ha. Sedangkan Upaya diluar fokus utama melalui upaya peningkatan produksi lainnya pada kawasan areal tanam seluas 3,27 juta ha, perluasan areal tanam seluas 923 ribu ha sebagaimana terlihat dalam Tabel 5. berikut : Tabel 5. : Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Jagung Tahun 2009 a. Fokus utama peningkatan produktivitas jagung melalui SL-PTT jagung hibrida adalah upaya pencapaian sasasaran produksi jagung tahun 2009 yang difokuskan pada kegiatan peningkatan produktivitas jagung di kawasan areal tanam seluas 90 ribu ha melalui kegiatan SL- PTT jagung hibrida yang tersebar di lokasi sebagaimana terlihat dalam Lampiran 22. Kegiatan peningkatan produktivitas SL-PTT jagung hibrida melibatkan 6 ribu kelompoktani/ unit SL-PTT jagung hibrida di 21 provinsi (113 kabupaten/kota). 14

26 b. Upaya peningkatan produksi jagung diluar fokus utama Peningkatan produktivitas dan produksi dilakukan dengan pembinaan yang terkoordinasi melalui pemanfaatan carry over bantuan benih 2008 seluas 320 ribu ha, bantuan benih 2009, pupuk bersubsidi (urea, ZA, SP-36 dan NPK), alsintan, kemitraan dengan stakeholder. Upaya ini diperkirakan mampu menyumbangkan produksi pada tahun 2009 sebesar 17,45 juta ton PK. 3. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Kedelai Tahun 2009 Fokus utama pencapaian sasaran produksi kedelai tahun 2009 adalah peningkatan produktivitas kedelai melalui SL-PTT kedelai seluas 100 ribu ha. Sedangkan upaya diluar fokus utama melalui upaya peningkatan produksi lainnya pada kawasan areal tanam seluas ribu ha sebagaimana terlihat dalam Tabel 6. berikut : Tabel 6. Upaya Pencapaian Sasaran Produksi Kedelai Tahun 2009 a. Fokus Utama peningkatan produktivitas kedelai melalui SL-PTT kedelai adalah Upaya pencapaian sasasaran produksi kedelai tahun 2009 yang difokuskan pada kegiatan peningkatan produktivitas kedelai di kawasan areal tanam seluas 100 ribu ha melalui kegiatan SL-PTT kedelai yang tersebar di lokasi sebagaimana terlihat dalam Lampiran

27 Kegiatan peningkatan produktivitas SL-PTT kedelai dilakukan pada kawasan luas tanam 100 ribu ha dengan melibatkan kelompoktani / unit SL-PTT kedelai di 14 provinsi (60 kabupaten/kota). Dengan kegiatan SL-PTT kedelai diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas sebesar 5 ku/ha, sehingga mampu menyumbang tambahan produksi sebesar 50 ribu ton. b. Upaya peningkatan produksi kedelai diluar fokus utama adalah upaya upaya peningkatan produksi kedelai yang dilakukan melalui bantuan benih CBN pada areal tanam seluas 120 ribu ha, BLBU seluas 125 ribu ha, Carry over bantuan benih Upsus 2008 seluas 120 ribu ha dan optimalisasi pembinaan seluas 240 ribu ha, pembinaan peningkatan produksi pada areal tersebut mampu menyumbangkan produksi pada tahun 2009 sebesar ribu ton. 16

28 IV. PTT PADI, JAGUNG DAN KEDELAI A. Prinsip-prinsip PTT 1. Terpadu : PTT merupakan suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu. 2. Sinergis : PTT memanfaatkan teknologi pertanian terbaik, dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi. 3. Spesifik lokasi : PTT memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat. 4. Partisipatif : berarti petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan. B. Tahapan Penerapan PTT 1. Langkah pertama penerapan PTT adalah pemandu lapangan bersama petani melakukan Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP) atau Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP). Identifikasi masalah peningkatan hasil di wilayah setempat dan membahas peluang mengatasi masalah tersebut, berdasarkan cara pengelolaan tanaman, analisis iklim/curah hujan, kesuburan tanah, luas pemilikan lahan, lingkungan sosial ekonomi. 17

29 2. angkah kedua adalah merakit berbagai komponen teknologi PTT berdasarkan kesepakatan kelompok untuk diterapkan di lahan usahataninya. 3. Langkah ketiga, penyusunan RUK berdasarkan kesepakatan kelompok. 4. Langkah keempat, penerapan PTT. 5. Langkah kelima, pengembangan PTT ke petani lainnya. C. Komponen Teknologi Unggulan PTT Padi 1. Penanaman varietas padi unggul yang sesuai dengan lingkungan setempat. 2. Penggunakan benih bermutu, bersih, sehat, dan bernas (berlabel) 3. Pengolahan tanah sempurna, olah tanah minimal, olah tanah konservasi, tanpa olah tanah, sesuai dengan tipologi lahan dan kondisi tanahnya 4. Peningkatan populasi tanaman dengan sistem legowo 5. Penanaman bibit muda (<21 hari), serta penanaman bibit 1-3 batang per lubang 6. Pengaturan tata tanam secara tepat 7. Pemberian pupuk organik pada tanaman 8. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. 9. Pemberian air pada tanaman secara efektif dan efisien sesuai dengan kondisi tanah 10. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu 11. Pengendalian gulma secara tepat 12. Penanganan proses panen dan pasca panen dengan baik 18

30 D. Komponen Teknologi Unggulan PTT Jagung 1. Penyiapan lahan dengan OTS atau TOT 2. Penggunaan varietas unggul berlabel yang berdaya hasil tinggi, bernilai ekonomi tinggi. 3. Populasi tanaman tanaman/ha 4. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. 5. Penggunaan pupuk organik seperti kompos dan pupuk kandang sebagai penyedia hara dan pembenah tanah. 6. Penggunaan alat mesin ( alsin ) berupa alat pra panen dan pasca panen serta gudang penyimpanan hasil (silo) untuk menekan kerusakan hasil (loses). 7. Pemberian air dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman dan efisien sesuai dengan kondisi tanah. E. Komponen Teknologi Unggulan PTT Kedelai 1. Penanaman varietas kedelai unggul bermutu yang sesuai dengan lingkungan setempat. 2. Penggunaan benih bermutu, bersih, sehat, dan bernas (berlabel) 3. Pengolahan tanah sempurna, olah tanah minimal, olah tanah konservasi, tanpa olah tanah, sesuai dengan tipologi lahan dan kondisi tanahnya 4. Pengaturan tata tanam secara tepat 5. Pemberian pupuk organik pada tanaman 6. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah 7. Pemberian kapur pertanian pada lahan yang ph-nya rendah, khususnya untuk luar Jawa 19

31 8. Pemberian pupuk bio-hayati yang terdaftar di Departemen Pertanian, sesuai dengan rekomendasi Badan Litbang Departemen Pertanian, pupuk hayati / Rhizobium dengan kandungan / populasi bakter / mikroba / rhizobium miniman 10 pangkat 7 dan sesuai dengan anjuran teknologi setempat. 9. Pemberian air pada tanaman secara efektif dan efisien sesuai dengan kondisi tanah 10. Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu 11. Pengendalian gulma secara tepat 12. Penanganan proses panen dan pasca panen dengan baik F. Peran Komponen Teknologi PTT Penggunaan benih varietas unggul bermutu akan menghasilkan daya perkecambahan yang tinggi dan seragam, tanaman yang sehat dengan perakaran yang baik, tanaman tumbuh lebih cepat, tahan terhadap hama dan penyakit, berpotensi hasil tinggi dan mutu hasil yang lebih baik. Penanaman yang tepat waktu, serentak dan jumlah populasi yang optimal dapat menghindari serangan hama dan penyakit, menekan pertumbuhan gulma, memberikan pertumbuhan tanaman yang sehat dan seragam serta hasil yang tinggi. Pemberian pupuk secara berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara tanah dengan prinsip tepat jumlah, jenis, cara, dan waktu aplikasi sesuai dengan jenis tanaman akan memberikan pertumbuhan yang baik dan meningkatkan kemampuan tanaman mencapai hasil tinggi. Pemberian air pada tanaman secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan hasil tanaman yaitu air sebagai pelarut sekaligus 20

32 pengangkut hara dari tanah ke bagian tanaman. Kebutuhan akan air disetiap stadia tanaman berbeda-beda, pemberian air secara tepat akan meningkatkan hasil dan menekan terjadinya stres pada tanaman yang diakibatkan karena kekurangan dan kelebihan air. Perlindungan tanaman dilaksanakan untuk mengantisipasi dan mengendalikan serangan OPT tanaman dengan meminimalkan kerusakan atau penurunan produksi akibat serangan OPT. Pengendalian dilakukan berdasarkan prinsip dan strategi pengendalian hama terpadu (PHT). Khususnya pengendalian dengan pestisida merupakan pilihan terakhir bila serangan OPT berada diatas ambang ekonomi. Penggunaan pestisida harus memperhatikan jenis, jumlah dan cara penggunaannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan resurjensi atau resistensi OPT atau dampak lain yang merugikan lingkungan. Penanganan panen dan pasca panen akan memberikan hasil yang optimal jika panen dilakukan pada umur dan cara yang tepat yaitu tanaman dipanen pada masak fisiologis berdasarkan umur tanaman, kadar air dan penampakan visual hasil sesuai dengan diskripsi varietas. Pemanenan dilakukan dengan sistem kelompok yang dilengkapi dengan peralatan dan mesin yang cocok sehingga menekan kehilangan hasil. Hasil panen dikemas dalam wadah dan disimpan ditempat penyimpanan yang aman dari OPT dan perusak hasil lainnya sehingga mutu hasil tetap terjaga dan tidak tercecer. G. Pemilihan Teknologi PTT Komponen teknologi yang dipilih dan diterapkan oleh petani dalam melaksanakan SL-PTT adalah komponen teknologi PTT. Perakitan komponen teknologi budidaya dilakukan dengan cara penelusuran setiap alternatif komponen teknologi, jumlah yang mempengaruhi dan yang 21

33 dipengaruhi, maka antar komponen teknologi dan aspek lingkungan dapat disinergiskan. Pemilihan teknologi budidaya yang optimal dapat dilakukan dengan memaksimalkan komponen teknologi yang saling sinergis dan meminimalkan komponen teknologi yang saling antagonis (berlawanan) sehingga diperoleh teknik budidaya dalam pendekatan PTT yang spesifik lokasi. Kombinasi komponen teknologi yang digunakan pada lokasi tertentu dapat berbeda dengan lokasi lainnya, karena beragamnya kondisi lingkungan pertanaman. Setiap teknologi dan kombinasi teknologi yang sedang dikembangkan pada suatu lokasi dapat berubah sejalan dengan perkembangan ilmu dan pengalaman petani di lokasi setempat. H. Keuntungan Penerapan Teknologi PTT 1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil usahatani 2. Efisiensi biaya usahatani dengan penggunaan teknologi yang tepat untuk masing-masing lokasi. 3. Kesehatan lingkungan tumbuh pertanaman dan lingkungan kehidupan secara keseluruhan akan terjaga. 22

34 V. SEKOLAH LAPANGAN PTT PADI, JAGUNG DAN KEDELAI A. Pelaksanaan SL-PTT Fokus kegiatan peningkatan produktivitas tanaman pangan tahun 2009 dilaksanakan melalui pendekatan kegiatan Sekolah Lapangan PTT yang berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompoktani, sekaligus tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan manajemen kelompok serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Petani SL-PTT nantinya akan mampu mengambil keputusan atas dasar pertimbangan teknis dan ekonomis dalam setiap tahapan budidaya usahataninya serta mampu mengaplikasikan teknologi secara benar sehingga meningkatkan produksi dan pendapatannya. Sekolah Lapangan PTT tidak terikat dengan ruang kelas, sehingga belajar dapat dilakukan di saung pertemuan petani dan tempat-tempat lain yang berdekatan dengan lahan belajar. Dalam SL-PTT terdapat satu unit Laboratorium Lapangan (LL) yang merupakan bagian dari kegiatan SL- PTT sebagai tempat bagi petani anggota kelompoktani dapat melaksanakan seluruh tahapan SL-PTT pada lahan tersebut. Dalam melaksanakan LL kelompoktani dapat mengacu pada rekomendasi teknologi setempat. Pelaksanaan SL-PTT menggunakan sarana kelompoktani yang sudah terbentuk dan masih aktif. Kelompoktani yang dimaksud adalah kelompoktani yang dibentuk berdasarkan domisili atau hamparan, diusahakan yang lokasi lahan usahataninya masih dalam satu hamparan. Hal ini perlu untuk mempermudah interaksi antar anggota karena mereka saling mengenal satu sama lainnya dan tinggal saling berdekatan sehingga bila teknologi SL-PTT sudah diadopsi secara individu akan mudah ditiru petani lainnya. 23

35 Pertanaman di areal SL-PTT padi ditargetkan mampu menaikan produksi sebesar 0,5-1 ton / ha dan di areal LL dalam SL-PTT ditargetkan mampu menaikan produksi sebesar 1 1,5 ton / ha, jugung hibrida ditargetkan mampu menaikan produksi sebesar 2,5 ton / ha dan di areal LL dalam SL-PTT ditargetkan mampu menaikan produksi sebesar 3 ton / ha sedangkan kedelai ditargetkan mampu menaikan produksi sebesar 0,7 ton / ha dan di areal LL dalam SL-PTT ditargetkan mampu menaikan produksi 0,5 ton / ha. Agar kegiatan SL-PTT tersebut berkontribusi nyata pada produksi tahun 2009, maka pertanaman di areal SL-PTT diharapkan paling lambat bulan September 2009, kecuali secara teknis maupun administratif tidak memungkinkan dilakukan pertanaman sehingga pertanaman baru dilakukan pada musim penghujan (Oktober Desember). Luas satu unit SL-PTT adalah berkisar antara ha, satu unit LL seluas minimal 1 ha. Areal yang digunakan sebagai unit SL-PTT mendapat bantuan benih dan areal yang digunakan sebagai unit LL akan mendapat bantuan benih, pupuk Urea, NPK dan pupuk Organik. sebagaimana terlihat dalam Gambar 5. s/d 9. berikut. : Gambar 4. Kerangka Pelaksanaan SL-PTT Padi Non Hibrida 24

36 Gambar 5. Kerangka Pelaksanaan SL-PTT Padi Hibrida Gambar 6. Kerangka Pelaksanaan SL-PTT Jagung Hibrida 25

37 Gambar 7. Kerangka pelaksanaan SL-PTT Kedelai Gambar 8. Kerangka Pelaksanaan LL Padi, Jagung dan Kedelai 26

38 Mengingat bantuan pemerintah hanya untuk pembelian benih padi non hibrida seluas ±25 ha, padi hibrida seluas ha, jagung hibrida seluas ±15 ha dan kedelai seluas ±10 ha tiap kelompok SL-PTT dan saprodi untuk 1 ha pada LL SL-PTT, maka penyediaan saprodi lainnya agar ditanggung secara swadana oleh anggota kelompok atau berasal dari sumber lainnya. Tiap unit SL-PTT terdiri dari petani peserta yang berasal dari satu kelompoktani yang sama. Dalam setiap unit SL-PTT perlu ditetapkan seorang ketua peserta yang bertugas mengkoordinasikan aktivitas anggota kelompok, seorang sekretaris yang bertugas sebagai pencatat kegiatan kegiatan yang dilaksanakan pada setiap pertemuan dan seorang bendahara yang bertugas mengurusi masalah yang berhubungan dengan keuangan. Untuk menjamin kelangsungan dinamika kelompok dalam kelas SL-PTT, perlu diusahakan paling tidak satu orang dari kelompoktani sebagai motivator yang mampu memberikan respon yang cepat terhadap inovasi dan mampu mendorong anggota kelompok lainnya dapat memberikan respon yang sama. Peserta SL-PTT akan mengadakan pengamatan bersama sama di petak percontohan / Laboratorium Lapangan, mendiskripsikan dan membahas temuan temuan lapangan. Pemandu Lapangan berperan sebagai fasilitator untuk mengarahkan jalannya diskusi kelompok. Peserta SL-PTT wajib mengikuti setiap tahap pertanaman dan mengaplikasikan kombinasi komponen teknologi yang sesuai spesifik lokasi mulai dari pengolahan tanah, budidaya, penanganan panen dan pasca panen. Pada setiap tahapan pelaksanaan, petani peserta diharapkan melakukan serangkaian kegiatan yang sudah direncanakan dan dijadwalkan, baik dipetak LL maupun dilahan usahataninya. 27

39 Pendampingan Kegiatan SL-PTT oleh Pemandu Lapangan (PP, POPT,PBT) dan Peneliti, Pemandu Lapangan berperan sebagai : 1. Pemandu yang paham terhadap permasalahan, kebutuhan dan kekuatan yang ada di lapangan dan desa. 2. Dinamisator proses latihan SL-PTT sehingga menimbulkan ketertarikan dan lebih menghidupkan latihan. 3. Motivator yang kaya akan pengalaman dalam berolah tanam dan dapat membantu membangkitkan kepercayaan diri para peserta SL-PTT 4. Konsultan bagi petani peserta SL-PTT untuk mempermudah menentukan langkah-langkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan usahataninya setelah kegiatan SL-PTT selesai. B. Penentuan Calon Lokasi dan Calon Petani / Kelompoktani SL-PTT Pemilihan penempatan lokasi SL-PTT dengan prioritas luasan areal memenuhi syarat, produktivitasnya masih berpotensi untuk ditingkatkan dan petaninya responsif terhadap teknologi. Pemilihan letak petak LL yang berada didalam areal SL-PTT terpilih dengan prioritas pertimbangan terletak dibagian pinggir areal SL-PTT sehingga berbatasan langsung dengan areal diluar SL-PTT diharapkan penerapan teknologi SL-PTT mudah dilihat dan ditiru oleh petani diluar SL-PTT. Format CP/CL sebagaimana terlihat pada Lampiran Penentuan Calon Lokasi a. Lokasi dapat berupa persawahan yang beririgasi, sawah tadah hujan, lahan kering dan pasang surut yang produksinya masih dapat ditingkatkan. 28

40 b. Diprioritaskan bukan daerah endemis hama dan penyakit, bebas dari bencana kekeringan, kebanjiran dan sengketa. c. Unit SL-PTT, diusahakan agar berada dalam satu hamparan yang strategis dan mudah dijangkau petani serta dipasang papan pelaksanaan SL/LL. d. Letak lokasi Laboratorium Lapangan (LL) seluas minimal 1 ha, ditempat yang sering dilewati petani sehingga mudah dijangkau dan dilihat oleh petani sekitarnya. 2. Penentuan Calon Petani/Kelompoktani SL-PTT a. Kelompoktani/petani yang dinamis dan bertempat tinggal dalam satu wilayah yang berdekatan. b. Petani yang dipilih adalah petani aktif yang memiliki lahan ataupun penggarap/penyewa dan mau menerima teknologi baru. c. Bersedia mengikuti seluruh rangkaian kegiatan SL-PTT. d. Kelompoktani SL-PTT ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan / yang membidangi tanaman pangan Kabupaten / Kota, sebagaimana contoh pada Lampiran 4. C. Pelatihan Petugas SL-PTT Pelatihan petugas SL-PTT dilaksanakan di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebaiknya secara berurutan yang dimulai dari pelatihan Pemandu Lapangan I di Pusat dilanjutkan pelatihan Pemandu Lapangan II di Provinsi dan terakhir pelatihan Pemandu Lapangan di Kabupaten/Kota. Pelatihan dapat dilaksanakan tidak berurutan berdasarkan kesiapan masing-masing daerah, bila provinsi atau kabupaten telah memiliki pelatih / Pemandu Lapangan I yang telah 29

41 mengikuti pelatihan SL-PTT tahun 2008 atau Pemandu Lapangan II yang telah mengikuti pelatihan SL-PTT tahun 2008 yang jumlahnya mencukupi dapat langsung melaksanakan pelatihan. 1. Pelatihan Pemandu Lapangan I Pelatihan Pemandu Lapangan I diselenggarakan oleh Pusat, tempat pelatihan di Pusat. Peserta pelatihan adalah Pemandu Lapangan I yaitu Penyuluh Pertanian, POPT, PBT ditingkat provinsi yang selanjutnya akan menjadi pelatih dalam pelatihan Pemandu Lapangan II. Materi pelatihan meliputi tatacara pelaksanaan SL- PTT. Narasumber / pengajar adalah para ahli dari lingkup Departemen Pertanian maupun pakar di Departemen / instansi terkait dan perguruan tinggi. 3. Pelatihan Pemandu Lapangan II Pelatihan Pemandu Lapangan II diselenggarakan oleh Provinsi, tempat pelatihan di Provinsi atau tempat lain yang memungkinkan seperti balai latihan, UPT Departemen Pertanian atau Daerah. Peserta pelatihan adalah Pemandu Lapangan II yaitu Penyuluh Pertanian, POPT dan PBT ditingkat kabupaten/kota yang selanjutnya akan menjadi pelatih dalam pelatihan Pemandu Lapangan. Materi pelatihan meliputi tatacara pelaksanaan SL-PTT. Narasumber / pengajar adalah PL I, para ahli dari lingkup Dinas Pertanian Provinsi, BPTP dan pakar dari perguruan tinggi serta lembaga lainnya. 3. Pelatihan Pemandu Lapangan Pelatihan Pemandu Lapangan diselenggarakan oleh Kabupaten, tempat pelatihan di Kabupaten pelaksana SL-PTT atau tempat lain seperti balai pelatihan baik pusat maupun daerah. Peserta pelatihan adalah Pemandu Lapangan yaitu Penyuluh Pertanian, 30

42 POPT dan PBT ditingkat kecamatan / desa. Materi pelatihan meliputi tatacara pelaksanaan SL-PTT. Narasumber / pengajar adalah PL II, para ahli dapat berasal Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas Pertanian Provinsi, BPTP dan instansi terkait lainnya serta stakeholders. D. Ketentuan Pelaksana SL-PTT Ketentuan pelaksana SL-PTT sebagai berikut : 1. Lokasi SL-PTT diusahakan berada pada satu hamparan, mempunyai potensi peningkatan produktivitas dan anggota kelompoktaninya responsif terhadap penerapan teknologi. 2. Luas satu unit SL-PTT padi non hibrida adalah ± 25 ha yang didalamnya terdapat satu unit LL seluas minimal 1 ha. 3. Luas satu unit SL-PTT padi hibrida adalah ± 15 ha yang didalamnya terdapat satu unit LL seluas minimal 1 ha. 4. Luas satu unit SL-PTT jagung hibrida adalah ± 15 ha yang didalamnya terdapat satu unit LL seluas minimal 1 ha. 5. Luas satu unit SL-PTT Kedelai adalah ± 10 ha yang didalamnya terdapat satu unit LL seluas minimal 1 ha. 6. Luas satu unit SL-PTT diatas (poin 2 s/d 5) dapat disesuaikan pada kondisi luasan setempat, dengan ketentuan : a. Luasan setiap unit SL-PTT bisa bervariasi disesuaikan dengan kondisi setempat namun Total luasan dan total jumlah SL-PTT tidak boleh kurang dari yang dibiayai. b. Total Luasan dan Total jumlah SL-PTT bisa lebih dari yang dibiayai. Kelebihan luasan ataupun jumlah SL-PTT ditanggung anggaran lain ataupun swadana petani. c. Luas areal LL bisa lebih dari 1 ha apabila dananya masih memungkinkan tetapi tidak boleh kurang dari 1 ha. 31

43 7. Peserta tiap unit SL-PTT idealnya terdiri dari petani yang berasal dari satu kelompoktani yang sama, namun jumlah peserta dapat disesuaikan dengan luas pemilikan lahan serta situasi dan kondisi setempat. 8. Memiliki Pemandu Lapangan. E. Persyaratan Kelompoktani pelaksana SL-PTT 1. Kelompoktani tersebut masih aktif dan mempunyai kepengurusan yang lengkap yaitu Ketua, Sekretaris dan Bendahara. 2. Telah menyusun RUK sebagaimana terlihat dalam Lampiran Kelompoktani penerima bantuan SL-PTT ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten / Kota. 4. Kelompoktani peserta SL-PTT diutamakan yang belum pernah menerima bantuan SL-PTT tahun anggaran 2008 atau bantuan dari BLBU tahun Memiliki rekening yang masih berlaku / masih aktif di Bank Pemerintah (BUMN atau BUMD/ Bank Daerah) yang terdekat dan bagi Kelompok Tani yang belum memiliki, harus membuka rekening di bank. 6. Rekening bank dapat berupa rekening bank setiap kelompoktani ataupun rekening bank gabungan kelompoktani (gapoktan). Jika menggunakan rekening gapoktan mekanisme pengaturan antar kelompoktani dan jumlah kelompok yang digabung rekeningnya ditentukan dan disesuaikan dengan kondisi kabupaten setempat serta diatur lebih lanjut oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 7. Membuat surat pernyataan bersedia dan sanggup mengunakan dana bantuan SL-PTT sesuai peruntukannya dan sanggup mengembalikan dana apabila tidak sesuai peruntukannya sebagaimana terlihat dalam Lampiran 7. 32

44 8. Bersedia menambah biaya pembelian benih unggul bersertifikat bilamana dana bantuan pembelian benih yang tersedia tidak mencukupi. 9. Bersedia mengikuti seluruh rangkaian kegiatan SL-PTT. F. Jumlah Bantuan SL-PTT Jumlah bantuan pembelian benih yang diberikan kepada petani pelaksana SL-PTT termasuk areal LL 1 ha, sebagai berikut : 1. SL-PTT Padi non hibrida sebesar ±25 kg/ha 2. SL-PTT Padi hibrida sebesar kg/ha 3. SL-PTT jagung hibrida sebesar 15 kg/ha 4. SL-PTT Kedelai sebesar 40 kg/ha Bantuan untuk pembelian pupuk urea, pupuk NPK, pupuk organik dan atau yang lain-lain, diberikan kepada kelompoktani pelaksana SL-PTT padi nonhibrida, padi hibrida, jagung hibrida dan kedelai di areal LL 1 ha, disesuaikan dengan rekomendasi setempat dan sesuai dengan anggaran yang tersedia. G. Sumber Bantuan Benih SL-PTT 1. Bantuan benih untuk SL-PTT tahun 2009 khusus untuk padi non hibrida melalui 2 sumber yaitu dana Tugas Pembantuan (DIPA Tugas Pembantuan TA. 2009) lingkup Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan BLBU dari PSO (Public Service Obligasion)/Subsidi. 2. Bantuan pembelian benih untuk SL-PTT padi hibrida, jagung hibrida dan kedelai bersumber dari dana APBN Tugas Pembantuan melalui DIPA masing-masing kabupaten/kota. 3. Bantuan benih untuk SL-PTT padi non hibrida melalui dana Tugas Pembantuan dan BLBU; Tugas Pembantuan melalui DIPA Tugas 33

45 Pembantuan Kabupaten/kota sedangkan BLBU melalui dana PSO/Subsidi lewat PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Pertani (Persero) 4. Jumlah bantuan benih SL-PTT padi non hibrida yang bersumber dari anggaran dana Tugas Pembantuan sama dengan jumlah bantuan benih SL-PTT padi non hibrida yang bersumber dari BLBU. 5. Bantuan pembelian benih SL-PTT 2009 yang diberikan melalui DIPA TP tahun 2009 mengacu pada mekanisme BLM / Bantuan Sosial sebagaimana terlihat pada Lampiran Kabupaten yang mendapat alokasi bantuan benih BLBU SL-PTT 2009, didalam DIPA TP tahun 2009 tidak tersedia dana untuk pembelian benih, tetapi tersedia dana untuk pembelian saprodi LL dan pertemuan kelompok. 7. Proses pengajuan bantuan benih BLBU mengacu pada mekanisme BLBU sebagaimana terlihat pada Lampiran 2. H. Komponen dana Bantuan SL-PTT Komponen dana bantuan SL-PTT yang masuk kedalam Rekening Kelompoktani yaitu : A. Melalui Tugas Pembantuan B. Melalui BLBU 1 Pembelian Benih SL-PTT Ya Tidak 2 Pembelian Pupuk untuk LL Ya Ya - Urea Ya Ya - NPK atau pupuk lainnya Ya Ya - Pupuk Organik Ya Ya - Kapur Pertanian Ya Ya 3 Pertemuan Kelompok SL-PTT Ya Ya 34

46 I. Mekanisme Pelaksanaan SL-PTT 1. Persiapan SL-PTT a. Pertemuan persiapan dengan tokoh formal dan informal serta petani calon peserta sebelum pelaksanaan SL-PTT untuk membahas : analisis masalah, analisis tujuan, rencana kerja peningkatan produktivitas padi / jagung / kedelai. b. Menetapkan langkah langkah yang menyangkut tujuan, hasil diharapkan dan metode pembelajaran SL-PTT yang dilakukan bersama sebagai suatu kesepakatan. c. Membuat jadwal pertemuan SL-PTT minimal dua mingguan dengan menentukan tempat, hari dan waktu serta materi pertemuan secara bersama sama. d. Menentukan 1 (satu) hari sebagai hari lapang petani untuk memasyarakatkan dan mendeseminasikan penerapan teknologi budidaya melalui SL-PTT kepada kelompoktani dan petani sekitarnya. e. Menentukan letak petak LL yang diusahakan terletak dibagian pinggir areal SL-PTT sehingga berbatasan langsung dengan areal diluar SL-PTT dan berada didekat jalan / lintasan sehingga penerapan teknologi mudah dilihat dan ditiru oleh petani diluar SL-PTT f. Menyiapkan pengelolaan usahatani di petak LL secara bersama sama sesuai dengan tahapan budidaya masing masing komoditi dengan harapan dapat diterapkan di usahataninya masing - masing. 35

47 2. Mengorganisasikan Kelas SL-PTT Kegiatan pengorganisasian kelas SL-PTT dimaksudkan untuk membentuk organisasi kelompoktani peserta SL-PTT dengan langkah langkah sbb : a. Memilih satu orang petani sebagai ketua kelas SL-PTT yang berfungsi sebagai motivator sekaligus bertugas mengkoordinasikan kegiatan dikelas SL-PTT. b. Memilih satu orang petani sebagai sekretaris kelas SL-PTT yang berfungsi sebagai pencatat kegiatan - kegiatan dikelas SL-PTT. c. Memilih satu orang petani sebagai bendahara kelas SL-PTT yang bertugas mengurusi masalah yang berkaitan dengan keuangan kelompok. d. Mewajibkan semua peserta kelas SL-PTT untuk mengadakan pengamatan bersama sama dan membahas temuan Lapangan sesuai dengan topik topik pengajaran dalam SL- PTT. 3. Menerapkan Metode Belajar Orang Dewasa Kegiatan belajar dalam SL-PTT dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Peserta SL-PTT memilih materi sesuai dengan kebutuhan teknologi spesifik lokasi. b. Memacu peserta untuk berperan aktif dalam berdiskusi kelompok ataupun kegiatan lain dalam SL-PTT. c. Proses belajar melalui pengalaman, dimulai dengan penghayatan langsung (pengamatan langsung), diikuti dengan pengungkapan pengalaman, pengkajian hasil dan pengambilan kesimpulan 36

48 4. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan Kegiatan suasana belajar yang menyenangkan dalam SL-PTT ditujukan untuk mengembalikan perhatian peserta pada proses belajar yang sedang berlangsung dalam SL-PTT dengan langkah langkah antara lain : a. Meminta beberapa peserta menceritakan pengalaman pengalaman yang lucu / berkesan dalam hidupnya. b. Pemandu Lapangan dapat menceritakan humor humor segar sehingga suasana belajar menjadi hidup kembali. 5. Menghidupkan dinamika kelompok Kegiatan dinamika kelompok dalam SL-PTT ditujukan untuk menjadikan peserta saling mengenal ciri dan sifat masing masing sehingga dapat akrab satu dengan yang lainnya dalam SL-PTT dengan langkah langkah sbb : a. Melakukan permainan - permainan yang dapat menciptakan keakraban dan memberikan pengalaman bagi peserta dalam tampil didepan forum ataupun didepan banyak orang. b. Melakukan olahraga bersama baik yang bersifat tim ataupun individual yang mampu menciptakan suasana kebersamaan dan kekeluargaan. 6. Monitoring dan evaluasi oleh Pemandu Lapangan Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam SL-PTT ditujukan untuk mengikuti, mengetahui kemajuan, pencapaian tujuan ataupun sasaran serta memberikan umpan balik upaya upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam SL-PTT dengan langkah langkah antara lain : 37

49 a. Menilai tingkat partisipasi peserta pada setiap periode maupun selama periode kegiatan dari tingkat kehadiran maupun pencapaian materi. b. Membandingkan ketepatan penerapan teknologi oleh peserta antara petunjuk dengan praktek Lapangan dalam LL. c. Membandingkan perkembangan tingkat pemahaman dan ketrampilan peserta sebelum dengan sesudah mengikuti kegiatan. d. Menyusun pertanyaan berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan Lapangan yang berkaitan dengan penerapan teknologi budidaya. e. Pertanyaan diberikan secara tertulis atau lisan kepada peserta sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. 7. Membuat pelaporan oleh Pemandu Lapangan Kegiatan pelaporan dalam SL-PTT ditujukan untuk memberikan laporan hasil kegiatan selama pelaksanaan SL-PTT dengan langkah langkah antara lain : a. Merekap kehadiran peserta selama pelaksanaan SL-PTT. b. Mencatat topik topik yang menarik perhatian peserta. c. Mencatat kesulitan kesulitan dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan SL-PTT meliputi metode, bahan, pengorganisasian peserta, waktu, administrasi dll. d. Menilai daya serap peserta terhadap materi yang telah disampaikan dalam pelaksanaan SL-PTT. e. Memberikan saran perbaikan dari segi metode, bahan, pengorganisasian peserta, waktu, administrasi dll. f. Mencatat hasil hasil kegiatan pelaksanaan SL-PTT khususnya dalam petak LL. 38

50 g. Mengisi form laporan sebagaimana terlihat pada Lampiran 9. yang tersedia dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). J. Pertemuan Pertemuan Kelompok SL-PTT Pertemuan pertemuan dalam SL-PTT diharapkan 8 kali pertemuan, oleh karena itu perlu dijadwalkan secara periodik dengan waktu pertemuan dirundingkan bersama petani peserta sehingga dapat dihadiri dan tidak mengganggu / merugikan waktu petani. Pertemuan kelompok dilakukan oleh pelaksana SL-PTT, tempat pertemuan dilokasi pelaksana SL-PTT. Peserta pertemuan adalah petani peserta dipandu oleh Pemandu Lapangan. Dalam Pertemuan kelompok ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu : 1). Materi pertemuan dan 2). Kegiatan Lapangan. 1. Materi pertemuan kelompok antara lain : a. Teknik pengolahan tanah yang disesuaikan dengan tipologi lahan dan komoditi yang akan ditanam. b. Penanaman dengan memilih benih atau bibit yang baik, jarak tanam yang tepat, jumlah benih/bibit per lubang yang sesuai. c. Pemupukan dengan memperhatikan daya dukung tanah, keadaan tanaman, tepat jenis dan dosis yang spesifik lokasi, tepat waktu pemberian didasarkan pada fase pertumbuhan tanaman dan sifat pupuk, tepat cara yaitu dengan cara menyebar dan membenamkannya ke lapisan reduksi dan pemberian setelah dilakukannya penyiangan gulma. d. Pengelolaan air didasarkan pada kebutuhan tanaman akan air, cara dan waktu yang tepat, ketersediaan sumber air dan jumlah air yang tersedia. 39

51 e. Pengendalian OPT didasarkan pada prinsip PHT dengan melakukan tindakan pencegahan dan mengembangkan musuh alami yang terdapat dialam itu sendiri serta aplikasi kimiawi secara bijaksana bila serangan sudah diatas ambang pengendalian. f. Penanganan panen dan pasca panen dilakukan dengan cara yang tepat dan benar yaitu dengan mempertimbangkan kemasakan biji (masak fisiologis), ketepatan dalam penggunaan alat panen, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan sehingga mampu mengurangi kehilangan dan kerusakan hasil. g. Mendiskusikan pemecahan masalah yang ada serta langkah langkah yang diambil selanjutnya dll. 2. Kegiatan Lapangan Kegiatan lapangan didampingi oleh Pemandu Lapangan berdasarkan materi diatas (butir 1.) antara lain : a. Kerja Lapangan Kelompoktani peserta SL-PTT melakukan kerja lapangan di lokasi SL-PTT misalnya melakukan pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, pengairan, pengendalian OPT dan gulma, pemanenan dll. b. Pengamatan Agroekosistem Kelompoktani peserta SL-PTT melakukan pengamatan agroekosistem di lokasi SL-PTT antara lain pertumbuhan tanaman, kecukupan air, kecukupan hara tanah, serangan OPT, gulma dll. c. Menggambar dan mempresentasikan kondisi Agroekosistem Kelompoktani peserta SL-PTT menggambar dan mempresentasikan kondisi Agroekosistem di lokasi SL-PTT pada 40

52 saat itu misalnya menggambar jumlah anakan per rumpun, jarak tanam, gulma dan hama yang ada, dll. d. Diskusi Kelompok Diskusi dimaksudkan untuk mengkaji hasil kerja lapangan, pengamatan pertanaman, gambaran pertanaman dll sehingga dapat disimpulkan kondisi pertanaman pada saat itu sebagai dasar untuk menentukan langkah pengelolaan pertanaman selanjutnya. e. Topik khusus Topik khusus dalam diskusi dipilih berdasarkan permasalahan pokok setempat yang dihadapi pada saat itu misalnya serangan OPT mengapa dan bagaimana mengatasinya dll. f. Mempraktekan kegiatan SL-PTT pada lahan usahataninya Peserta SL-PTT diharapkan dapat langsung mempraktekkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dalam mengikuti SL-PTT pada lahan usahataninya. 41

53 VI. PENGORGANISASIAN DAN OPERASIONAL SL-PTT A. Pengorganisasian SL-PTT Agar pelaksanaan SL-PTT terkoordinasi dan terpadu mulai dari kelompoktani, kabupaten, provinsi sampai ke tingkat pusat maka perlu dibentuk tim pembina tingkat pusat, tim pembina dan tim teknis tingkat provinsi, tim pelaksana dan tim teknis tingkat kabupaten/kota. Tim pembina tingkat pusat, ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan. Tim pembina tingkat provinsi dan tim teknis tingkat provinsi ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur/Kepala Dinas Pertanian Provinsi yang bersangkutan. Sedangkan tim pelaksana tingkat kabupaten/kota dan tim teknis tingkat kabupaten/kota ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota/Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota. Tim pembina dan tim teknis tingkat provinsi serta tim pelaksana dan tim teknis tingkat kabupaten melaksanakan kegiatan koordinasi pelaksanaan SL-PTT di Pos Simpul Koordinasi (POSKO) mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/ kota sampai tingkat provinsi. 1. Tim Pembina Tingkat Pusat Tim Pembina Tingkat Pusat beranggotakan pejabat Eselon I terkait lingkup Departemen Pertanian dengan tugas antara lain : a. Penyusunan pedoman Pelaksanaan. b. Sosialisasi SL-PTT. c. Pengawasan penyaluran bantuan. d. Pembinaan teknis budidaya dan administrasi. e. Koordinasi dengan instansi terkait. 42

54 f. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan SL-PTT serta membantu pemecahan masalah yang dihadapi. 2. Tim Pembina Tingkat Provinsi Tim Pembina Tingkat Provinsi keanggotaannya dapat melibatkan berbagai Dinas/Badan, UPT, Instansi terkait lainnya serta perguruan tinggi, LSM dan sebagainya, dengan tugas antara lain : a. Menetapkan kabupaten/kota pelaksana. b. Menyusun petunjuk pelaksanaan. c. Melakukan sosialisasi dan koordinasi dan verifikasi ke kabupaten pelaksana. d. Melakukan pengawasan penyaluran bantuan. e. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait. f. Melakukan pemantauan dan pengendalian serta membantu pemecahan masalah di lapangan. g. Menyusun laporan pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian serta menyampaikan ke Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Sekretaris Tim Pembina tingkat provinsi diharapkan dari BPTP setempat. Tim Pembina tingkat provinsi dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Tim Teknis tingkat provinsi yang anggotanya antara lain adalah PL I, Peneliti dan unsur Dinas/Badan, UPT, Perguruan tinggi, Instansi terkait lainnya. Tugas tim teknis provinsi ditetapkan oleh tim pembina tingkat provinsi. 3. Tim Pelaksana Tingkat Kabupaten/Kota Tim Pelaksana tingkat Kabupaten/Kota keanggotaannya dapat melibatkan berbagai Dinas/Badan, UPT, Instansi terkait lainnya serta perguruan tinggi, LSM dan sebagainya, dengan tugas antara lain : a. Sosialisasi program kepada petugas dan kelompoktani. 43

55 b. Menyusun petunjuk teknis. c. Melakukan seleksi dan verifikasi terhadap kelompoktani beserta RUK. d. Mengusulkan kelompoktani yang memenuhi syarat untuk ditetapkan mendapat bantuan kepada Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota. e. Melakukan pengawasan pengadaan/penyaluran bantuan. f. Pembinaan/bimbingan kepada kelompoktani. g. Monitoring dan evaluasi. h. Menyusun laporan pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian serta menyampaikan ke Dinas Pertanian Provinsi. Tim Pelaksana tingkat Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugas dibantu oleh Tim Teknis tingkat Kabupaten/Kota yang anggotanya antara lain adalah PL II dan unsur-unsur BPP, KCD, UPT, dan Instansi terkait lainnya. Tugas Tim Teknis tingkat kabupaten/kota ditetapkan oleh Tim Pelaksana tingkat kabupaten/kota. B. Operasionalisasi SL-PTT Penanggung jawab pelaksanaan SL-PTT tingkat pusat adalah Direktur Jenderal Tanaman pangan, operasional pelaksanaan tingkat nasional SL- PTT padi dan jagung adalah Direktur Budidaya Serealia dan SL-PTT kedelai adalah Direktur Kacang Kacangan dan Umbi Umbian berkedudukan di POSKO I. Penanggung jawab pelaksanaan SL-PTT di tingkat Provinsi adalah Kepala Dinas Pertanian Provinsi, operasional pelaksanaan SL-PTT ditingkat propinsi adalah Kepala Sub Dinas yang membidangi produksi tanaman pangan berkedudukan di POSKO II. Penanggung jawab pelaksanaan SL-PTT di tingkat Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, operasional pelaksanaan 44

56 SL-PTT ditingkat kabupaten/kota adalah Kepala Sub Dinas / Kepala Bidang yang membidangi produksi tanaman pangan berkedudukan di POSKO III. Penanggung jawab pelaksanaan SL-PTT di tingkat kecamatan adalah KCD sedangkan penanggung jawab teknis disetiap kecamatan adalah koordinator penyuluh / Kepala BPP setempat dan di tingkat desa/unit SL- PTT adalah Pemandu Lapangan / Penyuluh Pertanian dibantu POPT dan PBT tingkat kecamatan / desa. Dalam melaksanakan kegiatan PL berkedudukan di POSKO IV / V (kecamatan / desa). Operasional SL-PTT dilakukan secara lengkap sebagaimana terlihat pada Gambar 10. dibawah ini : Gambar 9. Skema Operasional SL-PTT 45

PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010

PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010 PEDOMAN PELAKSANAAN Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN 2010 KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN TAHUN 2010

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN TAHUN 2010 PEDOMAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN KACANG-KACANGAN DAN UMBI-UMBIAN TAHUN 2010 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN JAKARTA, 2010 KATA PENGANTAR Tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM SEKOLAH LAPANGAN PTT PADI

PEDOMAN UMUM SEKOLAH LAPANGAN PTT PADI PEDOMAN UMUM SEKOLAH LAPANGAN PTT PADI DEPARTEMEN PERTANIAN BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERTANIAN PUSAT PENGEMBANGAN PENYULUHAN PERTANIAN 2008 PEDOMAN UMUM SEKOLAH LAPANGAN PTT PADI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi... PENDAHULUAN P ada dasarnya pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau

Lebih terperinci

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Siwi Purwanto Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA M. Eti Wulanjari dan Seno Basuki Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Nomor : 6/HK.310/C/1/2013

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Nomor : 6/HK.310/C/1/2013 1 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Nomor : 6/HK.310/C/1/2013 T E N T A N G PEDOMAN TEKNIS SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SINJAI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI

Lebih terperinci

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN WALIKOTA TEBING TINGGI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA TEBING

Lebih terperinci

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG 1 BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN EVALUASI CAPAIAN KINERJA PROGRAM DAN KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN I 2016 KEMENTERIAN PERTANIAN RI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN 2015 Evaluasi Capaian Kinerja Pembangunan Tanaman

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk

Lebih terperinci

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI SERUYAN, Menimbang

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara SALINAN PROVINSI MALUKU PERATURAN WALIKOTA TUAL NOMOR 04 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2015 WALIKOTA TUAL,

Lebih terperinci

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN KUANTAN

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung Program Peningkatan

Lebih terperinci

Nasional. Komoditi tanaman pangan merupakan salah satu bagian utama dari sektor pertanian, oleh karena itu dalam

Nasional. Komoditi tanaman pangan merupakan salah satu bagian utama dari sektor pertanian, oleh karena itu dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Pertanian memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional. Komoditi tanaman pangan merupakan salah satu bagian utama

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGGAMUS,

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN/KOTA SE-NUSA TENGGARA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN

Lebih terperinci

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP KATA PENGANTAR Dalam upaya peningkatan produksi pertanian tahun 2010, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas sarana produksi, antara lain subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Tujuan pemberian

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN MADIUN TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Nomor : /HK../C/ /2014

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Nomor : /HK../C/ /2014 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL TANAMAN PANGAN Nomor : /HK../C/ /2014 T E N T A N G PEDOMAN TEKNIS SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)

Lebih terperinci

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA BUPATI PENAJAM 9 PASER UTARA PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2014 DENGAN

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SIAK,

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

BERITA DAERAH KOTA BOGOR BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2009

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BIMA TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Jawa Timur terletak di bagian Timur Pulau Jawa, dengan luas wilayah 47.154,70 kilometer persegi, dikelilingi oleh 2.916 km garis pantai. Batas wilayah di sebelah

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

SALINAN NOMOR 5/E, 2010 SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI

MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI MODUL PTT FILOSOFI DAN DINAMIKA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI Prof. Dr. Marwoto dan Prof. Dr. Subandi Peneliti Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MALANG Modul B Tujuan Ikhtisar

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR WALIKOTA BLITAR,

WALIKOTA BLITAR WALIKOTA BLITAR, WALIKOTA BLITAR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI ( HET ) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR TAHUN ANGGARAN 2009

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas tanaman pangan berupa Serealia yaitu Padi, Jagung dan Serealia lain (antara lain gandum dan sorgum) mempunyai arti strategis dalam perekonomian nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas tanaman pangan berupa Serealia yaitu Padi, Jagung dan Serealia lain (antara lain gandum dan sorgum) mempunyai arti strategis dalam perekonomian nasional,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Petunjuk teknis ini disusun untuk menjadi salah satu acuan bagi seluruh pihak yang akan melaksanakan kegiatan tersebut.

KATA PENGANTAR. Petunjuk teknis ini disusun untuk menjadi salah satu acuan bagi seluruh pihak yang akan melaksanakan kegiatan tersebut. KATA PENGANTAR Kekayaan sumber-sumber pangan lokal di Indonesia sangat beragam diantaranya yang berasal dari tanaman biji-bijian seperti gandum, sorgum, hotong dan jewawut bila dikembangkan dapat menjadi

Lebih terperinci

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG 1 PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 109/PMK. 02/2006 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 109/PMK. 02/2006 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 109/PMK. 02/2006 TENTANG TATA CARA PENYEDIAAN, PENCAIRAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN CADANGAN BENIH NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

Lebih terperinci

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian

Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian PENDAHULUAN 1. Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat di perdesaan, Departemen Pertanian memfokuskan

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN TA. 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 RKT PSP TA. 2012 KATA PENGANTAR Untuk

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2014

Lebih terperinci

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG 1 BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN 2014

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA BOGOR TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT TAHUN ANGGARAN 2016 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SIDOARJO

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KATA PENGANTAR Untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU

Lebih terperinci

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2007 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 1149 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2006 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR : 80 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI SEKTOR PERTANIAN UNTUK KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA BANJAR TAHUN ANGGARAN 2012 WALIKOTA BANJAR Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR,

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016 WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK KOMODITI TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KOTA SOLOK

Lebih terperinci

BUPATI BURU SELATAN KEPUTUSAN BUPATI BURU SELATAN NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI BURU SELATAN KEPUTUSAN BUPATI BURU SELATAN NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI BURU SELATAN KEPUTUSAN BUPATI BURU SELATAN NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI ( HET ) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci