BAB I PENDAHULUAN. (sumberdaya Arkeologi) maupun yang non-material (tradisi-tradisi tradisional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. (sumberdaya Arkeologi) maupun yang non-material (tradisi-tradisi tradisional"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Watansoppeng merupakan ibukota Kabupaten Soppeng salah satu kabupaten dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Kawasan Watansoppeng memiliki sumberdaya budaya (SDB) yang beragam. Sumberdaya budaya yang dimaksud adalah tinggalan budaya Kerajaan Soppeng baik yang berupa material (sumberdaya Arkeologi) maupun yang non-material (tradisi-tradisi tradisional yang masih berlangsung). Sebaran SDB seperti kompleks Istana Datu Soppeng dan peninggalan kolonial di Kota Watansoppeng menimbulkan kesan sebagai kota tua bersejarah. Masyarakat Sulawesi Selatan juga mengenal Watansoppeng sebagai kota dengan sumberdaya alam yang khas. Keindahan lansekap kota yang bergelombang dan ribuan kelelawar yang bergantungan di pohon asam di jantung Kota Watansoppeng, yang merupakan daya tarik kawasan ini. Masyarakat Sulawesi Selatan bahkan memberi julukan Watansoppeng sebagai kota kelelawar. Selain itu di kawasan Watansoppeng, terdapat permandian alam Ompo yang terkenal dengan sumber airnya muncul dari dalam tanah, serta memiliki air yang jernih dan sejuk. Kekhasan dan keunikan sumberdaya alam Watansoppeng berpadu dengan sebaran SDB peninggalan Kerajaan Soppeng, menjadikan kawasan ini berpotensi dikembangkan di bidang kepariwisataan (lihat gambar 2, hlm. 4). 1

2 2 Sumberdaya budaya material peninggalan Kerajaan Soppeng dalam tulisan ini adalah wanua (kampung) bekas kerajaan yang mengandung tinggalan Arkeologi. Kerajaan Soppeng sudah tidak ada lagi, hanya situs-situs bekas kerajaan yang sebagian besar tersebar di kawasan Watansoppeng. Pertanggalan situs Kerajaan Soppeng oleh Bulbeck dkk, (1989:19,20,21,32), dari hasil analisis keramik asing yang dilakukan di Situs Sewo, Tinco, Laleng Benteng dan Botto dimulai sekitar abad XII. Situs atau wanua Kerajaan Soppeng yang tersebar di kawasan Watansoppeng antara lain: Laleng Benteng (kompleks Istana Datu Soppeng), Bila (kompleks makam Jera Lompoe), Botto (bangunan kolonial Villa Juliana), Mattabulu (kompleks makam Petta Bulu Matanre), kompleks megalitik Situs Sewo, batu bergores Situs Lawo, bekas pemukiman awal Kerajaan Soppeng di Situs Tinco, situs megalitik Salotungo dan situs makam Ujung. Tujuh situs peninggalan Kerajaan Soppeng di atas yaitu kompleks Istana Datu Soppeng, kawasan Villa Yuliana, makam Jera Lompoe, makam Petta Bulu Matanre, Situs Sewo, Lawo dan Tinco telah dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kabupaten Soppeng menjadi objek wisata Sejarah, wisata budaya dan wisata religi (Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata Soppeng, 2012). Data inventaris situs yang diperoleh dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar memperlihatkan, lima dari sembilan situs di atas sudah terdata sebagai cagar budaya. Situs tersebut adalah Kompleks Makam Jera Lompoe (No.INV 258), Villa Yuliana (No.INV 448), Situs Sewo (No.INV 265), Situs Lawo (No.INV 257) dan Situs Tinco (No.INV 263) (Data Base BPCB Makassar).

3 3 Selain sumberdaya budaya material peninggalan Kerajaan Soppeng, sumberdaya budaya non-material seperti tradisi dan adat istiadat masih biasa dijumpai di Watansoppeng. Tradisi tersebut antara lain: upacara pernikahan keturunan bangsawan Soppeng, ritual tahunan pembersihan regalia kerajaan, tradisi tahunan massapo wanua yaitu tradisi yang dipercaya dapat melindungi warga Soppeng dari musibah dan wabah penyakit, ritual pattaungeng di Situs Tinco yaitu arajang Soppeng dibawa ke Desa Tinco dan dilakukan upacara adat, maddoja bine yaitu ritual yang dilakukan untuk memulai menanam padi dan mappadendang yaitu tradisi syukuran panen padi. Gambar 1. Acara Mappadendang Sumber: -di-soppeng.html

4 Gambar 2. Peta Sebaran Sumberdaya Budaya dan Sumberdaya Alam di Watansoppeng 4

5 Pengelolaan sebagian besar SDB dan sumberdaya alam di Watansoppeng sudah dilakukan oleh DISBUDPAR. Langkah pengelolaan yang telah dilakukan pada sebagian besar objek tersebut adalah: 1. Penempatan pegawai di beberapa situs atau objek wisata (juru pelihara situs dan pegawai sukarela). 2. Penetapan Peraturan Daerah tentang pelestarian kelelawar di Watansoppeng (Lembaran Daerah Kabupaten Soppeng Nomor 66 Tahun 2006 tentang Pelestarian Burung Kelelawar). 3. Pengembangan bangunan kolonial Villa Yuliana menjadi Museum Daerah Latemmamala pada tahun Sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian SDB dan sumberdaya alam. 5. Adanya pameran tahunan yang terangkai dengan hari jadi Kabupaten Soppeng. Pameran dengan tema kebudayaan Soppeng sekaligus sebagai ajang promosi wisata. Pengelolaan SDB Watansoppeng telah dilakukan oleh DISBUDPAR berkoordinasi dengan beberapa lembaga terkait seperti BPCB Makassar dan Balai Arkeologi Makassar. Hasil yang dicapai meliputi: a) Beberapa SDB Watansoppeng telah dilestarikan dan dipugar, seperti bangunan Villa Yuliana dipugar pada tahun 1996 dan makam Jera Lompoe dipugar pada tahun (Data Base BPCB Makassar). b) Beberapa situs telah tertata dengan rapi, seperti Villa Yuliana, Makam Jera Lompoe dan Situs Megalitik Sewo dipagari dan dilakukan penataan taman. c) Beberapa bangunan seperti Bola Ridie dan Villa 5

6 6 Yuliana dapat dipertahankan keberadaan dan dikuatkan konstruksinya. d) SDM untuk mengelola SDB cukup menunjang, beberapa PNS (Pegawai Negeri Sipil) di DISBUDPAR Soppeng adalah alumni mahasiswa ilmu budaya (Arkeologi, Sejarah, Antropologi, Sastra Daerah, Sastra Indonesia dan Sastra Inggris). d) Penempatan pamong/penyuluh budaya oleh BPCB Makassar di Kabupaten Soppeng. Selain hasil yang telah dicapai seperti yang dikemukakan di atas, juga masih terdapat hal yang belum tercapai. Rencana strategis yang disusun oleh DISBUDPAR tahun 2010, yaitu menjadikan Kabupaten Soppeng sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Sulawesi Selatan belum bisa dikatakan berhasil. Data jumlah pengunjung 10 daerah tujuan wisata utama di Sulawesi Selatan menempatkan Kabupaten Soppeng di peringkat ke-10. (Sumber: DISBUDPAR Provinsi Sulawesi Selatan, 2014). Berikut tabel persentase distribusi wisatawan nusantara ke Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.

7 7 Tabel 1 Persentase Distribusi Wisatawan Nusantara ke Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2014 No Daerah Tujuan Wisata Kontribusi Peringkat 1 Makassar 46,78 % I 2 Pare-pare 9, 73 % II 3 Tana Toraja 6, 24 % III 4 Toraja Utara 5, 80 % IV 5 Maros 5, 75 % V 6 Gowa 3, 20 % VI 7 Bantaeng 2, 51 % VII 8 Bulukumba 2, 45 % VIII 9 Enrekang 1, 91 % IX 10 Soppeng 1, 83 % X Sumber: DISBUDPAR Prov. SulSel, 2014 Uraian langkah-langkah positif oleh DISBUDPAR Soppeng dan hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa DISBUDPAR Soppeng telah melakukan upaya pengelolaan meskipun hasilnya belum maksimal. Jika indikator yang digunakan adalah jumlah kunjungan wisata, maka hasilnya dapat dikatakan masih kurang. Kondisi seperti ini memang ironis mengingat potensi kawasan yang dimiliki sangat menjanjikan. Melihat potensi dan keragaman SDB dan sumberdaya alam di Watansoppeng cukup tinggi, tetapi belum dikelola secara optimal dan professional, maka penelitian ini mengangkat tema pemanfaatan SDB menggunakan perspektif Cultural Resources Manajemen (CRM). Penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting situs-situs Kerajaan Soppeng, serta pihak-pihak terkait (stakeholder) dengan pengelolan SDB Watansoppeng. Nilai penting dan data stakeholder akan dijadikan dasar dalam menentukan dua hal. Pertama, untuk menentukan jenis pemanfaatan yang tepat

8 8 dari setiap SDB. Kedua, untuk menentukan model pemanfaatan yang memadukan SDB dan sumberdaya alam Watansoppeng. B. Masalah Penelitian Fokus penelitian ini yaitu pemanfaatan SDB Watansoppeng dengan perspektif Cultural Resources Management. Permasalahan yang diajukan adalah: a. Apa nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting masingmasing situs Kerajaan Soppeng? Berdasarkan nilai penting tersebut, jenis pemanfaatan apa yang tepat digunakan? b. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap pemanfaatan SDB di Watansoppeng? Bagaimana pemanfaatan sumberdaya budaya Watansoppeng dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholder? c. Model pemanfaatan seperti apa yang tepat berdasarkan sumberdaya budaya dan sumberdaya alam kawasan Watansoppeng? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi atau model pemanfaatan yang memadukan sumberdaya budaya dengan sumberdaya alam Watansoppeng menggunakan perspektif Cultural Resources Management. D. Tinjauan Pustaka Sumberdaya budaya di Watansoppeng khususnya peninggalan Kerajaan Soppeng telah banyak diteliti oleh peneliti asing dan peneliti lokal. Pelestarian dan penelitian juga sering dilakukan oleh instansi pemerintah di bidang kepurbakalaan yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar dan Balai Arkelologi

9 9 (BALAR) Makassar. Selain itu, tercatat pula beberapa akademisi yang melakukan penelitian di Watansoppeng. Secara kronologis tercatat beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada situs-situs tinggalan Kerajaan Soppeng. Awalnya dilakukan oleh Ian Caldwell (1988) dalam rangka penulisan tesisnya, yang berjudul South Sulawesi A. D Ten Bugis Texts. Hasil telaahnya terhadap naskah lontarak attoriolonna Soppeng (naskah kuno Kerajaan Soppeng), Naskah E (=MAK 188, hlm ), menyebutkan bahwa masyarakat Soppeng berasal dari dua tempat yaitu Sewo dan Gattareng. Orang-orang yang berasal dari Sewo menempati daerah yang disebut Soppeng Riaja (Soppeng Barat) dan yang berasal dari Gattareng menempati Soppeng Rilau (Soppeng Timur). Pada kedua tempat tersebut terdapat 60 wanua (kampung yang dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Matoa). Wanuawanua tersebut antara lain Salotungo, Lompok, Kubba, Paningcong, Talagae, Attasalo, Mangkutta, Maccile, Watuwatu, dan Akkampeng, termasuk dalam wilayah Soppeng bagian barat. Pesse, Seppang, Pising, Launga, Mattabulu, Ara, Lisu, Lawo, Madello Rilau dan Tinco, termasuk dalam wilayah Soppeng bagian timur. Cenrana, Salokaraja, Malaka, Mattoanging, termasuk ke dalam wilayah Soppeng barat dan timur (Caldwell, 1988: dan Bulbeck dkk, 1989:11). Masih berdasarkan pada lontarak attoriolonna Soppeng yang menyebutkan bahwa Kerajaan Soppeng memiliki 60 wanua, Bulbeck dkk (1989), meneliti dan menelusuri wanua tersebut yang kemudian ditulis dalam sebuah laporan penelitian yang berjudul Survei Pusat Kerajaan Soppeng Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa wanua Kerajaan Soppeng merupakan

10 10 tempat aktivitas manusia masa lampau dengan ribuan data artefaktual. Dapat disebutkan antara lain: regalia Kerajaan Soppeng, bangunan kolonial Villa Yuliana, batu bergores, lumpang batu, dakon, dolmen, batu tempat air suci, altar batu, menhir, batu temu gelang, pagar/benteng batu, fragmen gerabah dan keramik asing, serta beberapa makam Islam yang berorientasi utara-selatan. Hasil dari penelitian Bulbeck dkk juga membantu pertanggalan situs Kerajaan Soppeng. Hasil analisis yang dilakukan pada beberapa fragmen keramik asing yang ditemukan pada situs-situs bekas Kerajaan Soppeng memperlihatkan keramik tersebut berasal dari abad XII hingga abad XX (Bulbeck dkk, 1989). Selain itu Kerajaan Soppeng juga disebutkan mempunyai hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh Pelras (dalam Manusia Bugis, 2006), hasil telaahnya pada teks La Galigo bahwa zaman La Galigo merupakan periode keemasan (sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13) yang berkaitan dengan ekspansi perdagangan antar pulau dan internasional, yang melahirkan berbagai kerajaan seperti Luwu, Cina, Soppeng dan Suppa (Pelras, 2006:395). Selain penelitian di atas, tercatat juga beberapa penelitian yang dilakukan oleh akademisi dan praktisi Arkeologi. Khatimah (2002:84), menulis tentang Pengelolaan Situs Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng. Hasil penelitiannya merekomendasikan Villa Yuliana lebih tepat dikelola secara terpadu, meliputi penelitian, pelestarian dan pemanfaatan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kemudian dilakukan upaya pelestarian sesuai dengan kondisi situs yang meliputi pelestarian fisik bangunan maupun

11 11 lingkungannya yang dilakukan dalam bentuk konservasi, preservasi, rehabilitasi, pemintakatan dan penataan lingkungan situs. Selanjutnya, setelah dilakukan upaya pelestarian fisik juga perlu dilakukan pelestarian non fisik yaitu pelestarian nilainilai budaya yang dimilikinya. Salah satu pemanfataan situs yang mengacu pada tujuan tersebut adalah pemanfaatannya sebagai museum daerah dan objek wisata budaya. Abdullah (2005:68), menulis tentang evidensi bentuk artefaktual terhadap data naskah dan toponim berdasarkan aktivitas masyarakat di Situs Tinco Kabupaten Soppeng. Penelitian tersebut melakukan pembuktian data naskah lontarak dan toponim dengan data sebaran artefak yang merefleksikan aktivitas manusia pendukungnya. Data naskah yang ditunjukkan melalui toponim atau tempat di situs Tinco di dalamnya terdapat beragam temuan artefaktual. Selanjutnya Hasanuddin (2004) dan Utomo (2006) mengklasifikasikan tinggalan Arkeologis Situs Tinco, yaitu; a. kelompok peralatan rumah tangga (fragmen gerabah dan keramik), b. kelompok media ritual (monument megalit, seperti: batu dakon, lumpang batu, batu temu gelang, batu bergores bergambar rusa, benteng batu), c. kelompok sisa makanan (tulang, gigi dan kerang), d. kelompok alat batu (alat serpih, beliung persegi, batu asah). Selanjutnya Savitri (2007:72), menulis tentang sebaran situs-situs Kerajaan Soppeng (analisis Arkeologi ruang). Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan,pola sebaran 10 situs Kerajaan Soppeng adalah acak atau tidak teratur. Variabel yang dipakai adalah administratif, jarak dan grid. Lingkungan fisik terlihat cukup berpengaruh dalam pemilihan ruang. Variabel lingkungan fisik

12 12 yang digunakan yaitu ketinggian, kelerengan, jenis batuan, jenis tanah dan sungai. Kesimpulan dari penelitian ini adalah lingkungan fisik merupakan salah satu faktor penempatan situs-situs Kerajaan Soppeng. Penelitian yang dilakukan oleh Hasrianti (2013:127), dengan judul Arsitektur Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bentuk arsitektur Villa Yuliana memadukan gaya arsitektur bangunan Eropa dan rumah tradisional Bugis. Di dalam perpaduan akulturasi tersebut, pengaruh Eropa lebih dominan dibanding arsitektur Bugis. Gaya Eropa yang mendominasi merupakan perpaduan gaya klasik yaitu indische empire, renaisans, viktoria dan gotik dengan gaya modern (art nouveau). Penelitian yang dilakukan Rosmawati (2013), dengan tema Tamaddun Awal Islam di Sulawesi Selatan, dari Perspektif Arkeologi dan Sejarah. Penelitian ini dilakukan pada semua makam kuno Islam di Sulawesi Selatan, salah satunya pada kompleks makam Jera Lompoe Kabupaten Soppeng. Hasil penelitiannya adalah klasifikasi nisan Jera Lompoe yang menonjol yaitu nisan tipe pedang (pipih) merupakan khas tipe Bugis, nisan tipe menhir dan nisan tipe balok merupakan khas tipe Makassar, serta nisan tipe mahkota dan hulu keris merupakan nisan khas tipe Mandar. Uraian penelitian di atas menunjukkan banyaknya penelitian yang telah dilakukan pada situs-situs peninggalan Kerajaan Soppeng. Sebagian besar penelitian merupakan penelitian Sejarah dan penafsiran data Arkeologi, serta belum ada yang membahas pengelolaan situs dalam satu kawasan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mencoba mengkaji pemanfaatan

13 13 situs-situs Kerajaan Soppeng dalam satu kawasan Watansoppeng. Nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting situs peninggalan Kerajaan Soppeng dijadikan dasar dalam menawarkan model pemanfaatan SDB. Selain itu data kepentingan stakeholder juga digunakan untuk menawarkan suatu model pemanfaatan SDB Watansoppeng. E. Landasan Teori Penelitian ini mengangkat tema pemanfaatan sumberdaya budaya Watansoppeng dengan menggunakan perspektif manajemen sumberdaya budaya atau Cultural Resources Management (CRM). Daft (1988) dalam Knudson (2001), menyebutkan definisi pengelolaan (management) adalah capaian hasil dari tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengontrolan. Lebih lanjut Knudson menjelaskan tujuan CRM, yaitu konservasi informasi nilai budaya dan/atau pengalaman spiritual dan estetis yang melekat dalam potensi sumberdaya budaya dalam konteks yang berasosiasi dengan nilai publik (misalnya lingkungan fisik, ekonomi dan kebutuhan masyarakat) (Knudson, 2001:361). Definisi sumberdaya budaya adalah tidak sekedar tinggalan Arkeologi in situ yang terpendam di tanah, tetapi mencakup tradisi yang masih berlangsung, struktur bahasa daerah, dan koleksi museum (McManamon dan Hatton, 2003:3). Lebih lanjut McManamon dan Hatton (2003:48-49) menyebutkan, ada tiga aspek penting dalam pendekatan CRM, yaitu: 1. Identifikasi dan evaluasi sumberdaya budaya 2. Pemeliharaan sumberdaya budaya

14 14 3. Konsep pengelolaan jangka panjang terhadap sumberdaya budaya. Menurut Mason (2002:26-27), idealnya prinsip berkelanjutan atau pengelolaan jangka panjang akan dipengaruhi perencanaan model dalam beberapa cara dan beberapa tahapan, antara lain, membentuk tujuan program, komposisi kelompok stakeholder, analisis signifikansi dan konteks manajemen, dan evaluasi luaran program. Melihat kembali efektifitas dari keputusan merupakan kunci sukses implementasi perencanaan yang terukur dan realisasi manajemen yang efektif bagi konservasi warisan budaya. Darvill (2005:41-43), membagi nilai penting menjadi sembilan nilai kegunaan yaitu penelitian Arkeologi, penelitian ilmiah, kesenian, pendidikan, rekreasi dan pariwisata, representasi simbolik, tindakan yang sesuai dengan undang-undang, solidaritas sosial dan integrasi, memperoleh uang dan keuntungan. Karena manfaat yang dapat didatangkan tersebut, sumberdaya budaya perlu mendapat perlakuan pelestarian. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya budaya sebaiknya dilakukan sejalan seperti yang dinyatakan oleh Haryono (2003). Pada penerapannya CRM mencakup empat langkah utama seperti yang dijabarkan oleh Pearson and Sullivan (1995:19), yakni: 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya budaya maupun kawasannya, 2) penilaian nilai penting terhadap kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan nilai penting, peluang dan hambatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi, 4) implementasi dari perencanaan dan kebijakan, untuk upaya pemanfaatan dan pengelolaan suatu tempat.

15 15 Situs-situs Kerajaan Soppeng tersebar dalam wilayah atau kawasan Watansoppeng. Menurut Kovacs dkk (2008:126), kawasan konservasi heritage adalah satuan bangunan atau situs atau kelompok bangunan dan lingkungan yang berada dalam satu kawasan. Contohnya, konservasi kawasan perkotaan bersejarah yang mengandung struktur, bangunan, atau situs yang berdiri sendiri maupun situs yang mengelompok. F. Metode Penelitian Wilayah penelitian secara administratif berada di Kecamatan Lalabata, atau di kawasan Watansoppeng. Pembatasan wilayah penelitian berdasarkan konsentrasi sebaran SDB situs-situs peninggalan Kerajaan Soppeng yang ada pada wilayah ini. Penelitian diawali dengan pengumpulan data pustaka untuk memperoleh gambaran tentang karakter SDB di lokasi penelitian.selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan carapenelusuran sumber pustaka di internet. Data awal tersebut dijadikan dasar untuk menentukan strategi pengumpulan data. Sehubungan dengan masalah penelitian yang dipilih yaitu pemanfaatan SDB di Watansoppeng, maka data yang dikumpulkan bervariasi. Data yang dimaksudkan meliputi data pustaka, data SDB yang berbentuk material maupundata berupa tradisi masyarakat, data stakeholder, dan data tentang kondisi pengelolaan yang sedang berlangsung. Penelitian lapangan meliputi survei dan wawancara. Survei dilakukan untuk memperoleh data tentang karakteristik situs dan lingkungan bekas Kerajaan Soppeng, serta tradisi lokal yang masih berlangsung. Selain itu, survei juga dilakukan untuk menjaring data tentang sumberdaya alam sekitar lokasi

16 16 penelitian, aksesibilitas, akomodasi, serta sarana dan prasarana penunjang yang memungkinkan untuk program pemanfaatan SDB. Wawancara menggunakan dua metode yaitu wawancara terstruktur (structured interview) dan wawancara tak-terstruktur (unstructured interview). Wawancara terstruktur yaitu selama proses wawancara para responden akan mendapatkan sederet pertanyaan (lembar kuesioner) yang sama dan harus dijawab secara berurutan (Fontana dkk, 2009:504). Wawancara terstruktur dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lembar kuesioner. Pertanyaan yang dilontarkan kepada responden dijawab secara berurutan sesuai dengan urutan pertanyaan dalam lembar kuesioner. Wawancara terstruktur dilakukan guna mengetahui sejauh mana persepsi dan kebijakan stakeholder terhadap pengelolaan SDB di Watansoppeng. Responden yang dipilih dengan latar belakang profesi/pekerjaan dan pendidikan yang berbeda-beda. Responden tersebut antara lain, masyarakat setempat (keturunan Raja Soppeng dan masyarakat pendatang), instansi cagar budaya (Kepala Kantor DISBUDPAR Soppeng, BALAR Makassar dan BPCB Makassar, serta beberapa stafnya), serta akademisi budaya dan non-budaya (dosen, guru dan mahasiswa). Wawancara tak-terstruktur (unstructured interview), wawancara ini digunakan untuk memahami kompleksitas perilaku anggota masyarakat tanpa adanya kategori, yang dapat membatasi kekayaan data yang dapat diperoleh (Fontana dkk, 2009: ). Wawancara tak-terstruktur dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan format isian, dengan demikian pertanyaan yang diajukan kepada responden tidak terstruktur. Cara penelitian ini ditempuh supaya

17 17 suasana penelitian tidak formal dan lebih santai. Tujuan dari wawancara ini agar dapat memperoleh informasi lebih detail, dan ingin lebih dekat dengan responden agar informasi yang diperoleh lebih komprehensif. Pemilihan responden didasarkan pada jenis informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Jika informasi tentang adat istiadat yang dicari maka responden yang dipilih adalah tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat (seperti, keturunan bangsawan dan raja Soppeng). Selain itu dilakukan pula wawancara dengan akademisi yang pernah melakukan penelitian di Watansoppeng dan praktisi di bidang Arkeologi seperti staf pegawai DISBUDPAR Soppeng, BALAR Makassar dan BPCB Makassar. Data yang telah dikumpulkan kemudian dikatagorikan menjadi dua bagian berdasarkan dua alat analisis yang digunakan, yaitu analisis nilai penting dan analisis pemetaan kepentingan stakeholder. Analisis pertama adalah analisis nilai penting. Referensi utama yang digunakan adalah UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 1 ayat (1). Regulasi ini menyebutkan ada lima nilai penting Cagar Budaya yaitu nilai penting Sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Alasan penulis merujuk nilai penting seperti yang digariskan dalam regulasi di atas karena pengelola SDB Watansoppeng adalah pemerintah daerah Soppeng. Penyesuaian regulasi dengan program di daerah tetap akan terkait. Secara akademis, acuan nilai penting dalam UU CB No. 11 tahun 2010 lebih fleksibel sehingga mudah disesuaikan dengan nilai penting SDB yang sedang penulis teliti.

18 18 Selain itu definisi unsur nilai penting yang penulis gunakan yaitu merujuk pendapat dari beberapa ahli, antara lain Tanudirjo (2004) menguraikan definisi nilai penting Sejarah, pendidikan dan kebudayaan. Nilai penting religi menurut Mason (2002). Nilai penting pendidikan menurut Darvill (2005). Nilai penting arsitektural menurut Pearson dan Sullivan (1995) dan nilai penting publik menurut (Scovill, 1977 dan Lipe, 1977 dalam Tanudirjo, 2004). Alasan penggunaan definisi nilai penting tersebut karena kompleksnya kandungan nilai penting SDB, baik karakter maupun jenisnya dan lebih bervariasi dalam satu kawasan Watansoppeng. Setelah penentuan nilai penting, langkah selanjutnya adalah melakukan pembobotan nilai penting. Pembobotan untuk memeringkat kandungan nilai penting SDB Watansoppeng dengan melihat skala nilainya. Variabel pembobotan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada yang diusulkan oleh Tanudirjo (2004), yaitu: kelangkaan, keunikan, umur/pertanggalan, tataran, integritas dan keaslian. Analisis kedua adalah analisis pemetaan kepentingan stakeholder, dengan melihat persepsi stakeholder terhadap sumberdaya budaya yang ada. Analisis pemetaan stakeholder yang dipilih adalah analisis analogi bawang bombay dengan cara memetakan posisi, kepentingan dan kebutuhan (Setyowati,2011:6) setiap pihak yang memiliki hubungan dengan pemanfaatan SDB di Watansoppeng. Langkah analisis ini dilakukan agar rumusan konsep yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan.

19 19 Setelah semua data dianalisis, hasil analisis kemudian diintegrasikan dan disintesiskan untuk mendapatkan sebuah model pemanfaatan SDB di Watansoppeng. Model pemanfaatan yang dihasilkan akan mempertimbangkan nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting SDB Watansoppeng, serta mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder. Sintesis penelitian ini adalah model pemanfaatan SDB Watansoppeng berbasis nilai penting dan mempertimbangkan posisi, kebutuhan dan kepentingan stakeholder. Selain itu beberapa model alternatif pemanfaatan yang direkomendasikan yaitu pemanfaatan untuk penelitian ilmiah, pemanfaatan pariwisata terpadu perspektif kawasan Watansoppeng, pemanfaatan yang menggandeng wisata alam seperti pengolahan sutera di Desa Tajuncu atau permandian alam air panas Lejja, pemanfaatan agrowisata heritage, dan pemanfaatan menerapkan marketing nostalgia.

20 20 Alur Penelitian Pengumpulan data: 1. Data pustaka dan data dari di internet 2. Data lapangan: a. Survei b. Wawancara Hasil pengumpulan data: data SDB berbentuk material dan non-material, data stakeholder dan data pengelolaan saat ini Analisis data: 1. Nilai penting dan pembobotan 2. Posisi, kepentingan, dan kebutuhan stakeholder Model pemanfaatan untuk pariwisata terpadu dan pemanfaatan untuk kepentingan akdemis/ilmu pengetahuan Model alternatif pemanfaatan: a. Pemanfaatan untuk penelitian ilmiah b. Pemanfaatan pariwisata terpadu persepektif kawasan c. Pemanfaatan menggandeng wisata alam pengolahan sutera dan wisata alam permandian air panas Lejja d. Pemanfaatan untuk agrowisata heritage e. Pemanfaatan menerapkan marketing nostalgia

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT...

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRAK. ABSTRACT... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN..

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PARIWISATA KOTA BATU DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara. Perkembangan suatu kota dari waktu ke waktu selalu memiliki daya tarik untuk dikunjungi.

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Objek Wisata Candi Muaro Jambi Candi Muaro Jambi terletak di Kabupaten Muaro Jambi, tepatnya di Kecamatan Muaro Sebo, Provinsi Jambi. Lokasi candi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri pada akhir dekade pertama abad ke-19, diresmikan tanggal 25 September 1810. Bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA P LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PENEKANAN DESAIN TIPOLOGI PADA ARSITEKTUR BANGUNAN SETEMPAT Diajukan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing BAB V KESIMPULAN Barus merupakan bandar pelabuhan kuno di Indonesia yang penting bagi sejarah maritim Nusantara sekaligus sejarah perkembangan Islam di Pulau Sumatera. Pentingnya Barus sebagai bandar pelabuhan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus 30 KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Wilayah perencanaan situs Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak kompleks candi

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara

1 BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arsitektur rumah tradisional yang tersebar hingga ke pelosok Nusantara memiliki berbagai keistimewaan masing-masing. Proses pembuatan atau pembangunan rumah tersebut,

Lebih terperinci

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR Oleh : SABRINA SABILA L2D 005 400 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 33 METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Rencana Penataan Lanskap Kompleks Candi Muara Takus sebagai Kawasan Wisata Sejarah dilakukan di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun.

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemerintah sudah mencanangkan bahwa pariwisata harus menjadi andalan pembangunan Indonesia. Keputusan Presiden (Keppres) No. 38 Tahun 2005, mengamanatkan

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 99 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEBUDAYAAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kegiatan pariwisata merupakan suatu industri yang berkembang di seluruh dunia. Tiap-tiap negara mulai mengembangkan kepariwisataan yang bertujuan untuk menarik minat

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG NO. 32 2011 SERI. E PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 32 TAHUN 2010 TENTANG KAMPUNG BUDAYA GERBANG KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisatawan menuju daerah tujuan wisata. Terdapat dua fungsi dari atraksi

BAB I PENDAHULUAN. wisatawan menuju daerah tujuan wisata. Terdapat dua fungsi dari atraksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Atraksi wisata merupakan salah satu komponen penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan salah satu faktor inti tarikan pergerakan wisatawan menuju daerah tujuan wisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak peninggalan sejarah, baik yang berupa bangunan (candi, keraton, benteng pertahanan), maupun benda lain seperti kitab

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk kepentingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi wisata untuk dikembangkan dan diupayakan menjadi daya tarik wisata daerah. Potensi wisata tersebut

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kasus Proyek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Kasus Proyek Perkembangan globalisasi telah memberikan dampak kesegala bidang, tidak terkecuali pengembangan potensi pariwisata suatu kawasan maupun kota. Pengembangan

Lebih terperinci

RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH PER KEMENTERIAN/LEMBAGA II.L.040.1

RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH PER KEMENTERIAN/LEMBAGA II.L.040.1 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH PER KEMENTERIAN/LEMBAGA KEMENTERIAN/LEMBAGA : KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA 1 Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Kebudayaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG RINGKASAN RENJA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA TANGERANG TAHUN 2017 Rencana Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang Tahun 2017 yang selanjutnya disebut Renja Disbudpar adalah dokumen

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 15 TAHUN

PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 15 TAHUN SALINAN BUPATI TOLITOLI PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA I. UMUM Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara memajukan

Lebih terperinci

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH Nama Instansi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Alamat : Jalan Tgk. Chik Kuta Karang No.03 Banda Aceh Kode Pos 23121 Telp : (+62 651) 26206, 23692, Fax

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 83 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 83 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 83 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah

I.PENDAHULUAN. provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari Indonesia, Lampung tak kalah 1 I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki ragam budaya dan nilai tradisi yang tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam peninggalan yang ditemukan dari berbagai provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Pengertian Megalitik telah banyak disinggung oleh para ahli sebagai suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar, mengacu pada etimologinya yaitu mega berarti

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku)

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku) KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA MALUKU (Paparan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku) GAMBARAN UMUM Propinsi Maluku merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah 714.480 km 2 terdiri atas 92,4 % Lautan

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI, KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEBUDAYAAN KOTA YOGYAKARTA DENGAN

Lebih terperinci

17. URUSAN WAJIB KEBUDAYAAN

17. URUSAN WAJIB KEBUDAYAAN 17. URUSAN WAJIB KEBUDAYAAN A. KEBIJAKAN PROGRAM Kebijakan Program Urusan Wajib Kebudayaan dititikberatkan pada pengembangan seni dan budaya sebagai daya tarik wisata. Hal tersebut didasarkan dengan pertimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. 1 Peta Wisata Kabupaten Sleman Sumber : diakses Maret Diakses tanggal 7 Maret 2013, 15.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. 1 Peta Wisata Kabupaten Sleman Sumber :  diakses Maret Diakses tanggal 7 Maret 2013, 15. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Pariwisata Kabupaten Sleman Kabupaten Sleman merupakan sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi DIY sendiri dikenal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu aset yang menguntungkan bagi suatu negara. Dalam UU

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu aset yang menguntungkan bagi suatu negara. Dalam UU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan sebuah industri yang memiliki jaringan yang luas. Pariwisata adalah kegiatan dinamis yang melibatkan banyak manusia serta menghidupkan berbagai

Lebih terperinci

UPAYA PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI WILAYAH PROPINSI MALUKU. Drs. M. Nendisa 1

UPAYA PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI WILAYAH PROPINSI MALUKU. Drs. M. Nendisa 1 UPAYA PELESTARIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI WILAYAH PROPINSI MALUKU Drs. M. Nendisa 1 1. P e n d a h u l u a n Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki warisan masa lampau dalam jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadaan Museum di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadaan Museum di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Keadaan Museum di Indonesia Keberadaan museum di dunia dari zaman ke zaman telah melalui banyak perubahan. Hal ini disebabkan oleh berubahnya fungsi dan tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya karena dapat membantu melestarikan warisan budaya sebagai jati diri

BAB I PENDAHULUAN. budaya karena dapat membantu melestarikan warisan budaya sebagai jati diri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata budaya merupakan salah satu jenis pariwisata yang memanfaatkan perkembangan potensi hasil budaya manusia sebagai objek daya tariknya. Jenis wisata ini

Lebih terperinci

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah

1.5 Ruang lingkup dan Batasan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gua Pawon dengan segala bentuk temuan prasejarah yang terkandung di dalamnya, begitu juga dengan lingkungannya bila di kaitkan dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

- 458 - 2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan.

- 458 - 2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan. - 458 - Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan 1. Kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 85 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 85 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 85 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mapun pembahasan, penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kawasan Dataran Tinggi Dieng adalah sebuah saujana yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki beraneka ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak jaman kerajaan-kerajaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki ragam budaya yang berbeda satu sama lain. Keragaman budaya ini

BAB I PENDAHULUAN. memiliki ragam budaya yang berbeda satu sama lain. Keragaman budaya ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku memiliki ragam budaya yang berbeda satu sama lain. Keragaman budaya ini diyakini tidak hanya mampu

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 103 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Museum Taman Prasasti adalah salah satu museum di Jakarta yang mempunyai daya tarik dan keunikan tersendiri. Daya tarik tersebut berupa lokasi museum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan.

BAB I PENDAHULUAN. sepatutnyalah potensi Sumberdaya Budaya (Culture Resources) tersebut. perlu kita lestarikan, kembangkan dan manfaatkan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki paling banyak warisan budaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga atau setidaknya di kawasan Asia Tenggara. Jawa Barat sendiri memiliki

Lebih terperinci

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya BAB V A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya ilmiah ini, diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, akan diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan seni dan budayanya. Hal itu telihat dari keberagaman suku yang dimiliki Bangsa Indonesia, mulai dari cara hidup

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 37 TAHUN : 2009 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN DAN KLASIFIKASI KAWASAN CAGAR BUDAYA DAN BENDA CAGAR BUDAYA

Lebih terperinci

2015 PERANAN MEDIA VISUAL TERHADAP DAYA TARIK WISATA DI MUSEUM GEOLOGI BANDUNG

2015 PERANAN MEDIA VISUAL TERHADAP DAYA TARIK WISATA DI MUSEUM GEOLOGI BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daya tarik wisata berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2009 merupakan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang berupa

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEPEMUDAAN, OLAHRAGA, KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA

Lebih terperinci

Kelompok I Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Museum sebagai Penunjang Proses Belajar Mengajar.

Kelompok I Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Museum sebagai Penunjang Proses Belajar Mengajar. Selasa 17 Mei 2017 Kelompok I Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Museum sebagai Penunjang Proses Belajar Mengajar. Fasilitator: Gatot Ghautama Membuka diskusi pada pukul 14.00 WIB Mendiskusikan tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Museum merupakan tempat yang sangat bernilai dalam perjalanan hidup sebuah bangsa dan menyimpan berbagai karya luhur nenek moyang kita yang mencerminkan kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan,

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang turut mengembangkan perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul,

BAB I PENDAHULUAN. Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Karangtengah merupakan salah satu desa agrowisata di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya berdekatan dengan tempat wisata makam raja-raja Mataram. Menurut cerita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai yang terdapat di Pulau Jawa. Sungai Ciliwung ini dibentuk dari penyatuan aliran puluhan sungai kecil di kawasan Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata.

BAB I PENDAHULUAN. yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki sekitar 500 kelompok etnis, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, yang dipengaruhi oleh kebudayaan India,

Lebih terperinci

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI

2016 TEKS NASKAH SAWER PANGANTEN: KRITIK, EDISI, DAN TINJAUAN FUNGSI 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Naskah merupakan hasil medium tulis yang digunakan pada sastra klasik. Isi naskah tersebut dapat meliputi semua aspek kehidupan budaya bangsa yang bersangkutan

Lebih terperinci

Renja ( Rencana kerja ) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pasaman Barat Tahun Indikator Kegiatan

Renja ( Rencana kerja ) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pasaman Barat Tahun Indikator Kegiatan Renja ( Rencana kerja ) Dinas Kebudayaan dan Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2014 No. Program dan Kegiatan Out Put Indikator Kegiatan Out Come 1 Program Pelayanan Administrasi Perkantoran - Penyediaan Pelayanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PENYAMPAIAN PEOPLE,PHYSICAL EVID ENCE D AN PROCESS TERHAD AP KEPUTUSAN BERKUNJUNG

2015 PENGARUH PENYAMPAIAN PEOPLE,PHYSICAL EVID ENCE D AN PROCESS TERHAD AP KEPUTUSAN BERKUNJUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pariwisata merupakan integral pembangunan yang semakin dipertimbangkan oleh negara-negara di seluruh dunia. Pengaruh pembangunan pariwisata terhadap perkembangan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM

BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM BAB II URAIAN TEORITIS MENGENAI MUSEUM 2.1 Pengertian dan Sejarah Museum Dalam era pembangunan teknologi yang cepat berkembang dewasa ini, peranan museum sangat diharapkan untuk mengumpulkan, merawat,

Lebih terperinci

DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KABUPATEN SOPPENG LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LPPD)

DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KABUPATEN SOPPENG LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LPPD) DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KABUPATEN SOPPENG LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LPPD) DAFTAR ISI DAFTAR ISI i KATA PENGANTAR ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Tugas Pokok dan Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan yang berada di garis khatulistiwa dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 13 Tahun : 2011 Seri : D PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 68 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan framework penyusunan laporan secara keseluruhan. Bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan sasaran. Selain itu dibahas pula ruang lingkupnya yang

Lebih terperinci

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH Reny Kartika Sary Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Palembang Email : renykartikasary@yahoo.com Abstrak Rumah Limas

Lebih terperinci

Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI - 346 - Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan 1. Kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan

Lebih terperinci

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Propinsi Jawa Tengah yang merupakan salah satu Daerah Tujuan Wisata ( DTW ) Propinsi di Indonesia, memiliki keanekaragaman daya tarik wisata baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu paradigma arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masa

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu paradigma arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu paradigma arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masa lampau adalah merekonstruksi kehidupan masa lalu. Rekonstruksi kehidupan masa lalu yang dimaksud

Lebih terperinci

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No 1BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter kota yang sangat unik dan jarang sekali dijumpai pada kota-kota lain. Kota yang mendapat

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. Pariwisata merupakan sebuah industri yang menjanjikan. Posisi pariwisata

BAB I Pendahuluan. Pariwisata merupakan sebuah industri yang menjanjikan. Posisi pariwisata 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan Pariwisata merupakan sebuah industri yang menjanjikan. Posisi pariwisata saat ini menjadi sebuah kebutuhan bagi berbagai elemen masyarakat. Pariwisata dalam UU NOMOR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam. usia produktif sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam. usia produktif sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah, BAB I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam membangun sumber daya diberbagai bidang pembangunan. Peran remaja pada usia produktif sangat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan suatu proses kepergian seseorang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Hal yang mendorong kepergiannya seperti kepentingan agama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Oleh karena itu Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya serta

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada bab I pendahuluan dibahas mengenai latar belakang dari perancangan sebuah Museum seni karikatur dan patung di Tabanan dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan, serta metode penelitian.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan paradigma rasionalistik. Metodologi kualitatif merupakan prosedur

BAB III METODE PENELITIAN. dengan paradigma rasionalistik. Metodologi kualitatif merupakan prosedur BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma rasionalistik. Metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

-1- BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG

-1- BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG -1- BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA UNSUR ORGANISASI DINAS KEBUDAYAAN, KEPEMUDAAN DAN OLAHRAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI SUMBAWA BARAT NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG I.1.1 Latar Belakang Pemilihan Kasus Kebudayaan memiliki unsur budi dan akal yang digunakan dalam penciptaan sekaligus pelestariannya. Keluhuran dan kemajuan suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah Lanskap merupakan bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter lanskap tersebut menyatu secara

Lebih terperinci

2014 PENGARUH KUALITAS PRODUK WISATA TERHADAP KEPUTUSAN PENGUNJUNG UNTUK BERKUNJUNG KE MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK DI JAKARTA

2014 PENGARUH KUALITAS PRODUK WISATA TERHADAP KEPUTUSAN PENGUNJUNG UNTUK BERKUNJUNG KE MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK DI JAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pariwisata merupakan salah satu industri yang banyak diandalkan oleh negara-negara di dunia. Pariwisata juga merupakan salah satu faktor ekonomi yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemandangan alam seperti pantai, danau, laut, gunung, sungai, air terjun, gua,

BAB I PENDAHULUAN. pemandangan alam seperti pantai, danau, laut, gunung, sungai, air terjun, gua, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan beragam suku dengan adat dan istiadat yang berbeda, serta memiliki banyak sumber daya alam yang berupa pemandangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan daerah mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala daerah.

4. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan daerah mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala daerah. W. BIDANG KEBUDAYAAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Kebijakan Bidang 1. 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan skala 2. Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alternatif utama media pembelajaran, hiburan dan kesenangan. Sudah sulit

BAB I PENDAHULUAN. alternatif utama media pembelajaran, hiburan dan kesenangan. Sudah sulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masyarakat tidak lagi menggunakan museum sebagai alternatif utama media pembelajaran, hiburan dan kesenangan. Sudah sulit ditemui masyarakat yang memilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seseorang akan mampu menilai banyak hal mengenai budaya seperti gaya hidup,

BAB I PENDAHULUAN. seseorang akan mampu menilai banyak hal mengenai budaya seperti gaya hidup, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arsitektur merupakan produk budaya yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Permukiman, perkotaan dan lansekap suatu daerah terbentuk sebagai hasil dari sistem kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak ragam pariwisata dan budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari tempat wisata dan objek wisata

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 115 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KAMPUNG WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci