V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN, KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH. Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN, KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH. Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya"

Transkripsi

1 V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN, KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH 5.1. Potensi Provinsi Wilayah administrasi Provinsi memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer. Luas wilayah mencapai lebih kurang hektar, dan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pada garis pantai sepanjang lebih kurang 433 kilometer. Bagian Timurnya berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan bagian Barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari Utara ke Selatan serta diselang-selangi daerah yang bergelombang. Provinsi beribukota di Kota, terbagi atas 3 (tiga) daerah kabupaten dan 1 (satu) daerah kota, yaitu Kabupaten Selatan, Rejang Lebong, Utara, dan Kota. Setelah Otonomi Daerah tahun 2003 terjadi pemekaran daerah menjadi 8 (delapan) Kabupaten dan 1 (satu) daerah Kota yaitu : Kabupaten Selatan, Kabupaten Kaur, Kabupaten Seluma, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahyang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Utara, dan Kabupaten Muko Muko. Berdasarkan topografinya Provinsi terletak pada 3 (tiga) ketinggian yaitu : (1) meter di atas permukaan laut dan terklasifikasi sebagai daerah low land seluas hektar atau %; (2) ketinggian meter di atas permukaan laut. Posisinya merupakan lereng pegunungan Bukit Barisan dan terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range. Daerah ini dibagi dalam dua kelompok yaitu daerah dengan ketinggian antara meter seluas

2 hektar atau %, dan ketinggian antara meter luasnya mencapai hektar atau %; (3) ketinggian meter di atas permukaan laut seluas hektar atau %. Posisinya berada di sebelah Timur jalur kedua sampai ke puncak pegunungan Bukit Barisan, umumnya merupakan daerah kegiatan vulkanis dan tektonis. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) jumlah penduduk provinsi pada tahun 2003 telah mencapai jiwa terdiri dari laki-laki dan jiwa perempuan, dengan kepadatan penduduk 78 jiwa/km 2. Pada tahun 2003 jumlah angkatan kerja tercatat sebanyak orang, sedangkan jumlah bukan angkatan kerja sebanyak orang, pada tahun 2004 jumlah angkatan kerja meningkat menjadi orang dengan tingkat partisipasi kerja sebesar 73.46%. Peningkatan angkatan kerja di Provinsi didorong oleh peningkatan jumlah penduduk yang mencari pekerjaan. Tahun 2004 jumlah pencari kerja tercatat sebanyak orang, jenis lapangan pekerjaan yang tersedia di Provinsi sesuai dengan struktur perekonomian daerah yaitu di sektor pertanian sebesar 72.64%, sektor jasa sebesar 10.68%, sektor perdagangan sebesar 9.88%, dan sektor lainnya sebesar 6.8%. Perekonomian Provinsi ditopang dari 9 sektor yaitu : Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri pengolahan; Listrik, Gas, dan Air minum; Bangunan; Perdagangan, Hotel, dan restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; serta Keuangan, dan Jasa-jasa. Berdasarkan kontribusinya terhadap PDRB sampai tahun 2004 sektor Pertanian masih menempati urutan teratas sebesar 40.07%, sektor perdagangan - hotel - restoran sebesar 20.15%, sektor jasa sebesar 15.87%, dan sektor pengangkutan-komunikasi sebesar 8.72%, sektor lainnya sebesar 15.19%.

3 105 Kondisi pertanian terdiri dari pertanian bahan makanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertanian bahan makanan terdiri dari tanaman (padi sawah dan ladang), palawija (jagung, ubi, kedele). Tahun 2003 luas lahan padi hektar terdiri dari padi sawah seluas hektar dan padi ladang seluas hektar. Total produksi padi sebanyak ton, meningkat 8.83% dibanding produksi tahun Sementara itu luas palawija hektar terdiri dari jagung seluas hektar, ubi hektar, dan kedele hektar, dengan total produksi palawija ton. Program Tanaman pangan sampai tahun 2010 adalah peningkatan produksi sampai 100% yang ditargetkan peningkatan produksi setiap tahun 25%. Luas lahan perkebunan tahun 2003 mencapai ha di mana 90% diusahakan komoditas kopi seluas hektar, karet seluas hektar, kelapa sawit seluas hektar, dan kelapa seluas hektar dengan total produksi ton. Program Perkebunan adalah perluasan areal taman hektar untuk pengembangan kelapa sawit, karet dan kakao. Populasi ternak besar (sapi dan kerbau) pada tahun 2003 mengalami penurunan 40%, demikian halnya pada ternak keci ( kambing menurun 22%, dan domba turun 49%). Populasi unggas menurun 39%. Kondisi ini terjadi akibat berkembangnya berbagai penyakit sehingga dalam upaya program ketahanan pangan khususnya pemenuhan protein bagi masyarakat dilakukan program pengembangan produksi peternakan melalui intensifikasi usaha peternakan dan peningkatan populasi ternak. Usaha budidaya perikanan darat masih relatif kecil (<1% dari luas yang tersedia) dengan produksi tahun 2003 sebesar ton. Sedangkan produksi perikanan tangkap sebesar ton. Apabila dibandingkan dengan potensi perikanan yang dimiliki dengan garis pantai 400 km maka produksi perikanan di tergolong rendah. Program pengembangan perikanan sampai tahun

4 adalah dengan peningkatan produksi yang didukung dengan insfrastruktur yang baik. Sumber penerimaan keuangan pemerintah Provinsi sangat bergantung kepada subsidi pemerintah pusat melalui dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara pendapatan asli daerah (PAD) belum dapat diharapkan untuk membiayai pembangunan daerah, karena nilainya masih relatif kecil. Hal itu disebabkan potensi sumber daya alam Provinsi belum digali dan dimanfaatkan secara optimal. Apabila dibandingkan dengan total penerimaan rutin, maka kontribusi PAD Provinsi dalam penerimaan rutin daerah cukup kecil (16.07%). Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, maka segala penyelenggaraan urusan pemerintah daerah didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terdiri dari penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Pembahasan kinerja fiskal dan perekonomian daerah pada studi ini merupakan pembahasan pada tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi yang terdiri dari perkembangan penerimaan daerah dan pengeluaran daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, tingkat kemapuan fiskal daerah, serta perkembangan produksi dan tenaga kerja Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal daerah yang akan dibahas pada subbab ini meliputi kinerja penerimaan daerah, kinerja pengeluaran daerah, dan tingkat kemampuan fiskal daerah Kinerja Penerimaan Daerah Penerimaan daerah dalam rangka desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud UU

5 107 no.33 tahun 2004 bersumber dari : (1) pendapatan asli daerah (PAD), (2) dana perimbangan atau transfer, dan (3) lain-lain pendapatan seperti pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sedangkan pembiayaan daerah terdiri dari : (1) sisa lebih perhitungan anggaran daerah; (2) penerimaan pinjaman daerah; (3) dana cadangan daerah; dan (4) hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun secara umum struktur penerimaan daerah Kabupaten/Kota berasal dari : (1) sisa lebih anggaran tahun lalu (SALT); (2) pendapatan asli daerah (PAD); (3) pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan atau instansi lain yang lebih tinggi atau transfer (TRNF); dan (4) pinjaman pemerintah daerah (PPD). Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan daerah sebelum dan setelah desentralisasi fiskal di masing-masing Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan, demikian juga dari setiap komponen penerimaan daerah selain DAK juga mengalami peningkatan. Kondisi ini menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal pemerintah daerah berusaha meningkatkan komponen penerimaan daerah khususnya PAD. Namun demikian upaya pemerintah daerah ini belum mampu mengimbangi laju kenaikan total penerimaan daerah. Hal ini terlihat dari proporsi setiap komponen penerimaan daerah terhadap total penerimaan daerah seperti PAD, total bagi hasil, dan dana perimbangan prosentasenya mengalami penurunan. PAD setelah desentralisasi fiskal kurang 5%, rendahnya penerimaan PAD karena sumber-sumber yang masuk dalam kategori PAD merupakan sumber yang tidak potensial di daerah, belum intensifnya pelaksanaan pajak dan retribuai di daerah. Kabupaten Utara setelah pelaksanaan desentralisasi mampu meningkatkan PAD di daerahnya cukup besar dari 1.93% menjadi 4.,61%, hal ini karena adanya usaha sarang burung wallet yang diusahakan oleh pemerintah

6 108 Tabel 2. Rata-rata Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian, Tahun 1. Sisa Anggaran Th lalu 2.Pendapatan Asli Daerah 3. Dana Perimbangan/Transfer Dana Total Bagi Hasil Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus 4. Pendapatan Lain-Lain Total Pendapatan Daerah Selatan (1.21) (3.25) (2.82) (2.19) (95.69) (92.17) (19.14) (6.89) (59.83) (81.94) (26.72) (3.35) (0.29) (2.38) Rejang Lebong (1.22) (4.74) (3.81) (3.04) (92.37) (90.83) (7.03) (5.00) (45.27) (84.17) (40.06) (1.58) (1.27) (1.39) Utara (2.11) (3.90) (1.93) (4.61) (95.55) (88.37) (9.08) (4.63) (49.62) ) (36.85) (0.40) (3.12) (Juta rupiah) Kota Total Kab dan Kota (6.42) (4.63) (9.92) (4.35) (81.74) (84.01) (7.67) (5.96) (43.00) (75.63) (31.07) (2.43) (1.25) (6.76) (2.36) (4.07) (3.83) (3.45) (92.56) (89.26) (8.30) (5.65) (50.10) (81.77) (33.96) (1.84) (0.75) (3.16) Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap Total Penerimaan Derah

7 109 daerah, serta penertiban berbagai izin usaha yang ada di daerah. Dana bagi hasil yang terdiri dari bagi hasil pajak (BHTX) dan bagi hasil sumberdaya alam (BHNTX) setelah desentralisasi fiskal di semua Kabupaten dan Kota justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan mengelola sumberdaya yang ada di daerah, dan masih melakkukan pembenahan administrasi pemerintahan seperti pemekaran wilayah Kabupaten dan Kecamatan. Demikian halnya dengan proporsi setiap daerah menunjukkan bahwa lebih dari 90% penerimaan daerah berasal dari dana perimbangan khususnya berasal dari DAU dan DAK, sedangkan penerimaan yang berasal dari potensi daerah proporsinya masih kurang 10%. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembiayaan daerah masih cukup besar dibiayai oleh pemerintah pusat, dan sebaiknya tidak dibiarkan berlangsung lama sehingga tujuan desentralisasi dapat terwujud di setiap daerah. Seiring dengan berjalannya tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan proporsi dana perimbangan semakin menurun dan proporsi PAD dan penerimaan daerah lainnya meningkat Kinerja Pengeluaran Daerah Pengeluaran daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin (GRTN) dan pengeluaran pembangunan (GPBG). Pengeluaran rutin terdiri dari (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja perjalanan dinas, (4) angsuran pinjaman dan bunga, (4) pengeluaran rutin lainnya. Sedangkan GPBG terdiri dari : (1) pengeluaran pembangunan sektor Pertanian (GPSP) yang mencakup : (a) subsektor Tanaman pangan (GPTP); (b) subsektor Perkebunan (GPPB); (c) subsektor Peternakan (GPPT); dan (d) subsektor Perikanan (GPPI), pengeluaran

8 110 Tabel 3. Rata-rata Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian, Tahun Belanja Pegawai Angsuran Pinjaman Belanja Barang Belanja Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Pengeluaran Rutin lainnya Total Pengeluaran Rutin Selatan (85.98) (76.95) (0.02) (0.09) (5.89) (9.48) (1.14.) (3.70) (0.45) (1.28) (6.53) (8.50) Rejang Lebong (84.08) (83.12) (0.12) (0.01) (7.54) (7.61) (1.14) (1.69) (0.85) (1.03) (6.25) (6.52) Utara (83.51) (83.88) (2.63) (1.94) (6.37) (4.42) (0.61) (2.70) (0.54) (0.67) (6.32) (6.36) Kota (77.39) (81.91) (0.63) (0.23) (12.10) (7.79) (1.65) (3.88) (0.93) (1.17) (7.27) (4.97) (Juta rupiah) Total Kab dan Kota (82.74) (81.30) (0.85) (0.07) (7.44) (7.35) (1.07) (2.96) (0.66) (1.04) (6.48) (6.75) Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap Total Pengeluaran Rutin Daerah

9 111 pembangunan sektor Kehutanan (GHT), (3) pengeluaran pembangunan sektor Perindustrian (GIND), (4) pengeluaran pembangunan Infrastruktur (GINFR), (5) pengeluaran pembangunan sektor Pertambangan (GTBG), dan (6) pengeluaran pembangunan sektor lainnya (GPBGL). Tabel 3 menunjukkan bahwa secara riil komponen pengeluaran rutin daerah setelah dilaksanakan desentralisasi fiskal di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan. Pengeluaran rutin terbesar adalah untuk belanja pegawai yaitu hampir 80 % dari pengeluaran rutin daerah. Tetapi apabila dilihat dari proporsi terhadap total pengeluaran rutin ternyata tidak seluruh komponen pengeluaran rutin menunjukkan peningkatan bahkan ada yang menurun, hal ini menunjukkan bahwa total pengeluaran rutin juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Pengeluaran untuk belanja pegawai setelah desentralisasi fiskal meningkat cukup besar (250%) karena adanya pelimpahan pegawai pusat ke daerah sebagai konsekuensi otonomi daerah. Sementara belanja rutin lainnya mengalami peningkatan dari 7.40 % sebelum desentralisasi fiskal menjadi 7.93 % setelah desentralisasi fiskal, hal ini akibat adanya perluasan wilayah Kabupaten maupun Kecamatan setelah desentralisasi fiskal membutuhkan pembiayaan dan anggaran khusus yang tidak termasuk dalam komponen anggaran yang ada. Demikian halnya pada pengeluaran pembangunan untuk sektoral, dan pengeluaran pembangunan lainnya seperti pelayanan umum, dan pelayanan sosial secara riil nilainya mengalami peningkatan di tiap Kabupaten dan Kota. Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran pembangunan di Provinsi meningkat besar dari Rp juta menjadi Rp juta atau meningkat 26%, demikian pula untuk pengeluaran pembangunan setiap sektor juga mengalami peningkatan.

10 112 Tabel 4. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun (Juta rupiah) Uraian, Tahun Sektor Pertanian Sektor Kehutanan Sektor Perindustrian Infrastruktur Sektor Pariwisata Sektor Pertambangan Sektor Pendidikan, OR, P W Sektor Kesehatan dan Kesra Sektor Kependudukan, Kel Sjh Sektor-sektor lainnya Total Pengeluaran Pembg Selatan (4.58) (9.22) (0.37) (0.28) (0.49) (1.05) (43.57) (42.38) (0.85) (0.47) (0.22) (0.83) (17.62) (8.61) (6.94) (4.53) (0.29) (0.15) (25.07) (32.48) Rejang Lebong (2.63) (4.66) (0.00) (0.55) (0.71) (0.39) (34.70) (32.68) (1.17) (2.78) (0.49) (1.42) (16.64) (12.48) (8.72) (4.77) (2.51) (0.22) (32.44) (40.05) Utara (5.64) (7.18) (0) (0.25) (0.51) (0.72) (51.71) (45.49) (2.05) (0.13) (0.53) (0.90) (9.68) (12.88) (4.42) (6.21) (0.46) (0.22) (24.99) (26.00) Kola (1.48) (2.21) (0) (0.54) (0.63) (0.12) (22.03) (23.55) (0.45) (2.06) (0.12) 0 (0) (16.97) (9.13) (6.14) (10.10) (0.03) (0.16) (52.15) (52.12) Total Kab dan Kola (3.85) (6.32) (0.09) (0.39) (0.58) (0.63) (39.92) (37.51) (1.25) (1.28) (0.37) (0.63) (14.86) (10.87) (6.41) (5.89) (0.84) (0.19) (18.81) (33.85)

11 113 Apabila dilihat dari proporsi terhadap total pengeluaran pembangunan, ternyata pengeluaran untuk Infrastruktur merupakan pengeluaran terbesar dibandingkan sektor lainnya (rata-rata 39.92%) sebelum desentralisasi fiskal namun setelah desentralisasi fiskal di semua Kabupaten dan Kota menurun (37.51%) dan masih merupakan pengeluaran terbesar. Kondisi ini terjadi karena pembangunan sarana jalan, saluran irigasi, listrik, dan pembangunan sarana air bersih masih menjadi kebutuhan daerah. Proporsi Pengeluaran untuk sektor Pertanian terhadap total pengeluaran pembangunan di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan cukup besar, namun besarannya masih kurang dari 10%. Peningkatan ini seiring dengan tujuan pembangunan daerah lima tahun untuk mendukung pelaksanaan revitalisasi Pertanian serta pertimbangan bahwa sampai tahun 2003 struktur perekonomian di masih berbasis pada Pertanian, bahkan masih menjadi sektor ekonomi andalan dalam PDRB yaitu 42.02% serta penyerap tenaga kerja terbesar diantara sektor ekonomi yang lain. Proporsi pengeluaran pendidikan, pembinaan wanita dan olah raga terhadap pengeluaran pembangunan cukup besar yaitu 14.86%, namun setelah desentralisasi fiskal turun 10.87%, hal ini terjadi karena setelah desentralisasi pengeluaran pembangunan untuk pelayanan umum, keamanan mengalami peningkatan sehingga pengeluaran pembangunan sektor-sektor ekonomi berkurang. Secara khusus, anggaran sektor Pertanian dialokasikan ke empat subsektor yaitu subsektor Tanaman pangan, subsektor Perkebunan, subsektor Peternakan, dan subsektor Perikanan. Tabel 5 menunjukkan bahwa alokasi anggaran Sub sektor Tanaman pangan adalah paling besar di setiap Kabupaten dan Kota yaitu hampir 50% dari anggaran sektor Pertanian. Secara riil anggaran masing-masing subsektor di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan, namun apabila

12 114 dilihat dari proporsi terhadap pengeluaran sektor Pertanian ternyata tidak semua subsektor mengalami peningkatan. Tabel 5. Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian, Tahun Subsektor Tanaman Pangan Subsektor Perkebunan Subsektor Peternakan Subsektor Perikanan Sektor Pertanian Selatan (65.74) (48.54) (8.03) (22.82) (18.43) (21.17) (7.81) (7.44) Rejang Lebong (66.72) (56.02) (12.27) (2.59) (11.02) (26.80) (9.99) (14.59) Utara (45.20) (58.96) (13.53) (1.94) (14.87) (37.43) (26.40) (1.67) Kola (71.61) (69.25) 4.52 (4.19) 0 (0) (13.16) (23.98) (11.03) (6.77) (Juta rupiah) Total Kab dan Kota (62.66) (58.19) (9.57) (6.78) (14.37) (27.60) (13.71) (6.57) Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Subsektor Tanaman pangan di Kabupaten Selatan dan Utara setelah desentralisasi fiskal mengalami peningkatan 13 15%, hal ini akibat adanya perluasan lahan tanam dan intensifikasi Tanaman pangan khususnya komoditi padi, jagung, dan kedelai yang merupakan komoditas

13 115 unggulan di daerah. Rata-rata luas panen Tanaman pangan di Kabupaten Selatan meningkat dari hektar menjadi hektar setelah desentralisasi, sedangkan di Kabupaten Utara, Rejang lebong dan Kota mengalami penurunan. Proporsi pengeluaran pembangunan setelah desentralisasi fiskal untuk subsektor Perkebunan di setiap Kabupaten dan Kota mengalami penurunan hampir 10%, di sisi lain luas panen tanaman Perkebunan khususnya komoditas karet, kopi, dan kelapa sawit di tiga Kabupaten mengalami peningkatan yang cukup besar Di kabupaten Selatan luas panen Perkebunan sebelum desentralisasi fiskal meningkat hektar menjadi hektar, Rejang Lebong dari hektar menjadi hektar, dan di Utara dari hektar menjadi hektar. Peningkatan luas panen ini tidak serta diikuti pengeluaran pembangunan karena luas panen komoditas Perkebunan umur tanamnya sudah lebih dari 4 tahun, di sisi lain biaya terbesar untuk komoditas Perkebunan adalah pada awal pembukaan lahan dan tanam sedangkan untuk biaya selanjutnya hanya untuk pemeliharaan dan pembinaan. Pengeluaran pembangunan subsektor Peternakan di semua Kabupaten dan Kota setelah desentralisasi fiskal secara riil mengalami peningkatan 10-15% karena di setiap daerah sedang mengupayakan ketahanan pangan dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat melalui peningkatan konsumsi protein hewani. Diharapkan besarnya pengeluaran pembangunan ini akan berdampak pada peningkatan produksi subsektor Peternakan sehingga secara agragat PDRBS Peternakan juga meningkat. Pengeluaran pembangunan untuk subsektor Perikanan setelah desentralisasi fiskal mengalami penurunan yang cukup besar kecuali di Kabupaten Rejang Lebong. Hal ini terjadi karena setelah pelaksanaan otonomi daerah

14 116 anggaran untuk Perikanan yang berasal dari APBD difokuskan untuk usaha perikanan budidaya sedangkan usaha penangkapan yang berada di Kabupaten Selatan, Utara, dan Kota berasal dari anggaran di luar APBD. Tabel 6. Rata-rata Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian, Tahun Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Total Pengeluaran Daerah Selatan (69.12) (77.36) (30.88) (22.64) Rejang Lebong (67.08) (76.31) (32.92) (23.68) Utara (60.03) (78.99) (39.97) (21.01) Kota (59.53) (82.29) (40.07) (17.71) (Juta rupiah) Total Kab dan Kota (64.18) (78.44) (35.81) (21.55) Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total Pengeluaran Daerah Tabel 6 menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran daerah baik pengeluaran rutin maupun pembangunan. Pengeluaran rutin secara riil di semua Kabupaten dan Kota mengalami peningkatan cukup besar rata-rata sebesar 14%, sedangkan untuk alokasi pengeluaran pembangunan di semua Kabupaten dan Kota terjadi hal sebaliknya. Hal ini disebabkan meningkatnya biaya rutin seperti gaji pegawai, biaya belanja barang untuk kepentingan administrasi pemerintahan yang lebih

15 117 luas, pemekaran wilayah dan pemekaran aparatur dan tunjangan jabatan pegawai daerah. Hal senada disimpulkan oleh Isdijoso (2002), DAU yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD di Surakarta sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk gaji pegawai akibat pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dari instansi vertikal kepada pemerintah daerah Tingkat Kemampuan Fiskal Daerah. Yang dimaksud dengan tingkat kemampuan fiskal dalam penelitian ini adalah kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhan fiskal daerahnya /fiscal need melalui kapasitas fiskal daerah/fiscal capacity. Kapasitas fiskal/fiscal capacity menunjukkan kemampuan daerah dalam memperoleh sumber penerimaan sendiri melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian kapasitas fiskal dapat diartikan sebagai jumlah dari PAD dan total bagi hasil (TBHS) yang berasal dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Sedangkan kebutuhan fiskal daerah/fiscal need merupakan seluruh pengeluaran daerah. Apabila kebutuhan fiskal daerah lebih besar dari kapasitas fiskal daerah maka kesenjangan fiskal/fiscal gap juga semakin besar atau semakin senjang. Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan fiskal daerah di semua Kabupaten/Kota setelah desentralisasi fiskal semakin besar, demikian juga kapasitas fiskal daerah mengalami peningkatan. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa di tiga Kabupaten yang sebagian besar merupakan daerah agraris membutuhkan pengeluaran yang lebih besar dibanding dengan Kota yang sebagian besar penduduknya bekerja di luar sektor pertanian. Setelah

16 118 desentralisasi fiskal pemerintah daerah berusaha meningkatkan penerimaan yang bersumber dari masing-masing Kabupaten/Kota, namun demikian konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal juga membutuhkan pembiayaan yang semakin besar sehingga kebutuhan fiskal semakin besar. Tabel 7. Rata-rata Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian, Tahun Kebutuhan Fiskal (Total Pengeluaran Daerah) : : % peningkatan Selatan (128.04) Rejang Lebong (98.83) Utara (85.54) (Juta rupiah) Kota Total Kab dan Kota (131.77) (106.79) Kapasitas Fiskal (PAD + Total Bagi Hasil) : : % peningkatan Kesenjangan Fiskal (Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal : : % peningkatan (156.34) (125.45) (112.74) (97.59) (133.06) (81.47) (97.26) (136.95) (118.18) (105.64) Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun Dari besarnya kapitas daerah dan kebutuhan daerah yang diindikasikan sebagai kesenjangan fiskal terlihat bahwa di masing-masing Kabupaten/Kota menunjukkan kesenjangan fiskal semakin senjang. Sebelum desentralisasi fiskal, kesenjangan fiskal terbesar terjadi di Kabupaten Utara, kemudian Selatan, Rejang Lebong, dan terkecil adalah Kota. Setelah desentralisasi fiskal, kesenjangan fiskal di semua Kabupaten/Kota meningkat menjadi Rp milyar atau %, kemudian Rejang Lebong sebesar

17 119 Rp milyar atau 97.59%, Utara sebesar Rp milyar atau 81.47%, dan Kota sebesar Rp milyar rupiah atau meningkat %. Apabila dilihat secara deskriptif, maka potensi daerah di tiga Kabupaten cukup besar untuk dikelola karena memiliki kawasan hutan dan lokasi penambangan batubara, sedangkan Kota secara administratif paling kecil luas daerahnya, serta tidak memiliki kawasan hutan dan lokasi penambangan justru kesenjangan fiskal daerahnya paling kecil karena sebagian besar penduduk di Kota bekerja sebagai pegawai negri dan swasta sehingga potensi penerimaan PAD dan bagi hasil lebih besar dibanding 3 Kabupaten lainnya. Upaya untuk memperkecil kesenjangan fiskal yang semakin besar di setiap Kabupaten/Kota diberikan dana perimbangan/transfer pusat berupa DAU dan DAK. Tabel 8 menunjukkan rasio kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang menggambarkan kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya terlihat masih relatif kecil yaitu < 10%. Apabila dibandingkan dengan rata-rata kemampuan Kabupaten/ \Kota di Indonesia tahun 1999 sebesar 13.3%, kondisi Kabupaten/Kota di memiliki kemampuan yang rendah hal ini terjadi karena daerah-daerah di masih didominasi oleh sektor primer atau tradisional seperti Pertanian. Sementara di Kota hampir mendekati angka rata-rata Indonesia, karena sektor tersier (Industri dan Jasa) lebih berkembang dari sektor primer (pertanian) dibandingkan di tiga Kabupaten lainnya. Hasil temuan ini sejalan dengan studi Landiyanto (2005) tentang Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Surabaya, yaitu kapasitas fiskal kota Surabaya belum mampu digunakan untuk membiayai pengeluaran daerahnya khususnya pengeluaran rutin. Oleh karena itu pemerintah kota Surabaya

18 120 melakukan upaya meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi, mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Tabel 8. Rasio Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian, Tahun Kebutuhan Fiskal (Total Pengeluaran Daerah) : : Selatan Rejang Lebong Utara (Juta rupiah) Kola Total Kab dan Kola Kapasitas Fiskal : : Rasio Kap/Keb fiskal : : Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun Untuk melihat intensitas penggalian sumber-sumber potensi daerah serta penggunaan pengeluaran daerah disajikan pada Tabel 9. Intensitas dalam upaya menggali sumber-sumber pendapatan daerah setelah desentralisasi fiskal di semua Kabupaten/Kota menunjukkan peningkatan yang cukup berarti (hampir 50 %), peningkatan ini mengindikasikan adanya intensitas penggalian sumber-sumber penerimaan daerah baik berasal dari pajak, retribusi, maupun sumberdaya alam. Kondisi demikian sebenarnya dikhawatirkan oleh kalangan investor daerah karena semakin besar pajak maupun retribusi yang dipungut akan berdampak negatif terhadap investasi daerah yang akhirnya berdampak juga pada pertumbuhan ekonomi daerah, oleh karena itu upaya peningkatan pajak dan retribusi harus diimbangi dengan peningkatan pengeluaran pembangunan.

19 121 Tabel 9. Rasio Rata-rata Pengeluaran Daerah, Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah terhadap Rata-rata PDRB Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian, Tahun Total PDRB Sektoral : : Rasio Kebutuhan Fiskal dan PDRB : : Rasio Kapasitas Fiskal dan PDRB : : Selatan Rejang Lebong Utara Kota ( % ) Total Kab dan Kota Rasio Kesenjangan Fiskal dan PDRB : : Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun 5.3. Kinerja Perekonomian Daerah Pada sub bab kinerja perekonomian daerah ini akan dibahas tiga indikator makro ekonomi penting yaitu : (1) perkembangan produksi daerah yang diindikasikan dengan perkembangan Produk Domestok Regional Bruto (PDRB) sektoral, (2) penyerapan tenaga kerja sektoral, dan (3) distribusi pendapatan Produksi Sektoral PDRB sektoral terdiri dari PDRB sektor Pertanian, Kehutanan, Industri, Pertambangan, Pariwisata, Jasa, dan sektor lain selain 6 sektor tersebut. Khusus PDRB sektor pertanian akan dilihat masing-masing subsektor yaitu Tanaman pangan, Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan. Tabel 10 menunjukkan bahwa

20 122 diantara 6 sektor PDRB di semua Kabupaten, sektor Pertanian memberikan kontribusi paling besar, diikuti sektor Jasa, dan Industri, hal ini sesuai dengan kondisi daerah bahwa Provinsi merupakan daerah agraris dan struktur perekonomian daerah berbasis Pertanian. Sejalan dengan penelitian Kuznets dalam Sukirno (1985), sumbangan berbagai sektor terhadap produksi daerah akan mengubah struktur perekonomian Daerah. Tabel 10 menunjukkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Selatan, Rejang Lebong, dan Utara sebelum dan setelah desentralisasi fiskal cenderung tetap yaitu Pertanian Jasa Industri, namun kontribusinya mengalami perubahan. Di semua Kabupaten peranan Pertanian terhadap produksi daerah cenderung meningkat, sementara itu peranan Jasa dan Industri turun. Kondisi perubahan ini menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan penciptaan barang industri dan jasa belum diperlukan. Hal sebaliknya terjadi di Kota, sektor Jasa berperan dalam perekonomian diikuti sektor Pertanian dan Industri, struktur perekonomian sebelum dan setelah desentralisasi fiskal cenderung tetap namun peranannya berubah yaitu peranan sektor Jasa dan Industri menurun setelah desentralisasi fiskal. Kota merupakan ibukota Provinsi yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai pegawai, kondisi ini mendorong sektor tersier (Industri, Jasa) lebih maju dibanding sektor primer (Pertanian) yang berasal dari Tanaman pangan, Peternakan, dan sedikit Perikanan. Mengingat Provinsi merupakan daerah agraris, dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, maka sektor Pertanian pada penelitian ini dilihat lebih detail (Tabel 11).

21 123 Tabel 10. Rata-rata PDRB Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian,Tahun Sektor Pertanian Selatan (36.08) (36.66) Rejang Lebong (59.68) (58.44) Utara (31.59) (34.27) Kota (3.92) (5.67) Total Kab dan Kota (32.82) (33.76) Sektor Kehutanan (1.01) (1.03) (0.26) (0,24) (5.02) (6.13) (1.57) (1.94) Sektor Perindustrian (1.57) (1.50) (2.92) (2.88) (3.38) (4.01) (2.43) (3.61) (2.58) (3.00) Sektor Pertambangan Sektor Pariwisata Sektor Jasa Sektor-sektor lainnya Total PDRB Sektoral (1.37) (1.45) (1.26) (1.15) (20,03) (18.60) (38.67) (39.61) (0.30) (0.29) (2.09) (2,00) (13,32) (14.91) (21.43) (21.24) (10.39) (9.31) (0.52) (0.52) (20,42) (16.45) (27.68) (29.30) (0.68) (0,94) (2.40) (2.30) (20.89) (20.18) (69.69) (67.30) (3.56) (2.82) (1.51) (1.59) (18.67) (17.53) (39.47) (40.03) Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total PDRB Sektoral

22 124 Tabel 11 menunjukkan bahwa PDRB sektor Pertanian di semua Kabupaten dan Kota setelah desentralisasi fiskal menunjukkan peningkatan 1% sampai 5 %, hal ini menunjukkan bahwa sektor Pertanian masih menjadi andalan pemerintah untuk mendukung perekonomian dan penampung tenaga kerja. Dari empat subsektor, ternyata subsektor Tanaman pangan di tiga Kabupaten memberikan kontribusi PDRB paling besar antara 17% sampai 33% diikuti sub sektor Perkebunan, Peternakan, dan Perikanan. Kondisi ini didukung dengan lahan kering 70% berpotensi untuk pengembangan Pertanian, dan didukung dengan sarana irigasi yang memadai. Berbeda dengan wilayah Kota, subsektor yang memberikan kontribusi paling besar pada sektor Pertanian adalah Perikanan 3.18% khususnya dari perikanan laut yang didukung dengan 2 tempat pelelangan dan pendaratan ikan. Kemudian diikuti subsektor Peternakan 1.01%, Tanaman Pangan 0.84%, dan Perkebunan yang sangat kecil sebesar 0.01%, hal ini terjadi karena luas lahan untuk Tanaman pangan relatif kecil demikian juga luas lahan Perkebunan sangat kecil Penyerapan Tenaga Kerja Keterbatasan data penyerapan tenaga kerja sehingga dalam penelitian ini hanya dapat dijelaskan tenaga kerja sektor Pertanian, sektor Industri, sektor Pertambangan, dan tenaga kerja lainnya.tabel 12 menunjukkan penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian setelah desentralisasi fiskal meningkat rata-rata 20%, tenaga kerja sektor Industri meningkat 1%, sedangkan tenaga kerja sektor Pertambangan dan sektor lainnya menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa di

23 125 Provinsi sektor Pertanian masih berperan dalam penyerapan tenaga kerja terbesar. Tabel 11. Rata-rata PDRB Subsektor Pertanian Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian Subsektor Tan pangan (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Subsektor Perkebunan (% TQSP) (% PDRBS) Setelah DF (% TQSP) (% PDRBS) Subsektor Peternakan (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Subsektor Perikanan (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Sektor Pertanian (% TQSP) (% PDRBS) (% TQSP) (% PDRBS) Selatan (50.08) (18.07) (49.93) (18.30) (31.59) (11.40) (29.63) (10.86) (9.76) (3.52) (5.57) (3.25) (3.82) (2.28) (3.68) (2.15) (36.08) (36.66) Rejang Lebong (56.56) (33.76) (56.19) (32.84) (33.92) (20.25) (34.56) (20.20) (5.70) (3.40) (5.57) (3.25) (3.82) (2.28) (3.68) (2.15) (59.68) (58.44) Utara (54.55) (17.23) (46.02) (15.77) (22.77) ( (29.45) (10.09) (14.11) (4.46) (14.64) (8.57) (2.71) (9.88) (3.39) (31.59) (34.27) Kota (14.3) (0.56) (14.85) (0.84) (0.10) (0.004) (0.13) (0.01) (16.33) (0.64) (17.77) (1.01) (69.27) (2.71) (67.25) (3.81) (3.92) (5.67) Total Kab dan Kota (49.34) (18.09) (53.14) (20.83) (33.08) (12.13) (27.24) (10.68) (7.22) 92.65) (7.89) (3.09) (10.36) (3.80) (11.73) (4.60) (36.67) (39.20) Sumber : Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total PDRB Sektoral

24 126 Dalam proses pembangunan daerah di Provinsi terlihat bahwa sektor pertaninan sangat berperan dalam penyediaan lapangan kerja, sedangkan sektor industri menjadi bertambah penting walaupun peningkatannya relatif kecil. Di sisi lain peranan sektor tambang menjadi kurang berperan dalam penyerapan tenaga kerja di daerah. Kondisi setelah desentralisasi fiskal tidak menunjukkan perubahan struktur penyerapan tenaga daerah yaitu masih pada sektor Pertanian. Tabel 12. Rata-rata Tenaga kerja Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi, Tahun Uraian Sektor Pertanian Sektor Perindustrian Sektor Pertambangan Tenaga Kerja Lainnya Total Tenaga Kerja Selatan (62.88) (83.29) 2160 (1.48) 3345 (1.94) 4841 (3.31) 624 (0.36) (32.33) (14.39) Rejang Lebong (60.91) (77.03) 6240 (3.36) (4.82) 1266 (0.67) 1129 (0.53) (35.13) (17.63) Utara (49.56) (71.12) 2664 (1.17) 2838 (1.28) 5193 (2.28) 1412 (0.64) (46.98) (26.97) Kota 5014 (4.63) (13.95) 8620 (7.96) 6225 (6.96) 3059 (2.82) 733 (0.82) (84.59) (78.27) Total Kab dan Kota (48.41) (68.61) (2.93) (3.26) (2.14) 3898 (0.56) (46.52) (27.58) Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Tahun Dasar Berbagai Tahun : angka prosentase terhadap total Tenaga kerja

25 Distribusi Pendapatan Pengalokasian dana DAU mempunyai salah satu tujuan untuk memperkecil terjadinya kesenjangan fiskal di daerah khususnya setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya alam dan potensi ekonomi cukup banyak, dan hal sebaliknya akan terjadi pada daerah yang potensi sumberdaya dan ekonomi rendah. Daerah yang memiliki kapasita fiskal rendah akan menerima alokasi dana DAU yang tinggi, dan sebaliknya (Isdijoso, 2002 ; Ismail, 2001). Tabel 13. Nilai Indeks Williamson Provinsi Tahun Tahun CVw CVuw Rata-rata: sebelum DF setelah DF Tabel 13 menunjukkan bahwa distribusi antar Kabupaten dan Kota di Provinsi sebelum dan setelah desentralisasi fiskal menunjukkan nilai CVw semakin besar, yang menunjukkan distribusi pendapatan antar daerah semakin senjang. Demikian halnya apabila menggunakan perhitungan jumlah daerah (CVuw) juga menunjukkan peningkatan kesenjangan sebesar 0.2%. Hal

26 128 ini terjadi akibat perbedaan sumberdaya daerah khususnya potensi Kota dan Kabupaten Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi yang dimulai tahun 2001 di Provinsi meningkatkan penerimaan daerah khususnya peningkatan DAU, di sisi kemampuan daerah masih tergolong rendah (<10%). Peningkatan pengeluaran rutin berdampak berkurangnya pengeluaran pembangunan sebesar 14% namun total produksi daerah meningkat sebesar 10%, sementara itu distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota di Provinsi semakin senjang. Hal senada disimpulkan oleh Isdijoso (2002) bahwa pada awal desentralisasi fiskal potensi penerimaan asli daerah melalui pajak dan retribusi belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Di sisi lain DAU yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk keperluan rutin sehingga proyek-proyek di daerah menjadi tertunda.

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 1. Jumlah penduduk dan keadaan ekonomi Kabupaten Way Kanan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 1. Jumlah penduduk dan keadaan ekonomi Kabupaten Way Kanan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan umum Kabupaten Way Kanan 1. Jumlah penduduk dan keadaan ekonomi Kabupaten Way Kanan Berdasarkan Way Kanan dalam angka (2013), Kabupaten Way Kanan adalah salah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Blitar yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, dan iklim.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR

BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR BAB IV KONDISI UMUM KABUPATEN BOGOR 1.5 Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah daratan (tidak memiliki wilayah laut) yang berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA BANGKA BELITUNG KOTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Kondisi tanah dan keterbatasan lahan Kota Pangkal Pinang kurang memungkinkan daerah ini mengembangkan kegiatan pertanian. Dari

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT.

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT. STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 Statistik Daerah Kecamatan Air Dikit 214 Halaman ii STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT 214 Nomor ISSN : - Nomor Publikasi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Lampung Barat yang didiikan berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1991 memiliki luas wilayah 4.550,4 ~m'. Sebagian besar wilayah Kabupaten Lampung Barat memiliki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatera dengan ibukota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1 A. VISI DAN MISI II - 3 B. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN DAERAH II - 5 C. PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH II - 13

BAB I PENDAHULUAN I - 1 A. VISI DAN MISI II - 3 B. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN DAERAH II - 5 C. PRIORITAS PEMBANGUNAN DAERAH II - 13 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR HAL i iv vi vii BAB I PENDAHULUAN I - 1 1.1 DASAR HUKUM I - 4 1.2 GAMBARAN UMUM DAERAH I - 3 1. Kondisi Geografis Daerah I - 5 2. Batas Administrasi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Geografi Lampung Selatan adalah salah satu dari 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Lampung. Kabupaten Lampung Selatan terletak di ujung selatan Pulau Sumatera

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Salah satu kriteria penting untuk

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan

BAB I PENDAHULUAN. kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pangan didefinisikan sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Gambar... v Daftar Lampiran... vi

DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Gambar... v Daftar Lampiran... vi DAFTAR ISI Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Gambar... v Daftar Lampiran... vi BAB I Pendahuluan... I-1 1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Hubungan dokumen RKPD dengan dokumen perencanaan lainnya...

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan KEADAAN UMUM LOKASI Keadaan Wilayah Kabupaten Jepara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di ujung utara Pulau Jawa. Kabupaten Jepara terdiri dari 16 kecamatan, dimana dua

Lebih terperinci

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Kondisi Geografis

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Kondisi Geografis 43 KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Provinsi Banten dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Banten. Wilayah Provinsi Banten berasal dari sebagian

Lebih terperinci

Profil Kabupaten Aceh Singkil

Profil Kabupaten Aceh Singkil Ibukota Batas Daerah Luas Letak Koordinat Profil Kabupaten Aceh Singkil : Singkil : Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Subulussalam Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia Sebelah Barat

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkaan uraian sebelumnya, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) zona/klasifikasi

Lebih terperinci

MAKALAH AKUNTANSI PEMERINTAHAN

MAKALAH AKUNTANSI PEMERINTAHAN MAKALAH AKUNTANSI PEMERINTAHAN AKUNTANSI PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR Disusun oleh: Kelompok 8 Akuntansi Pemerintahan 1. Annisa Fitri (03) 2. Lily Radhiya Ulfa (18) 3. Wisnu Noor Fahmi (37)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA 31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS

PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS PROFIL KECAMATAN TOMONI 1. KEADAAN GEOGRAFIS Kecamatan Tomoni memiliki luas wilayah 230,09 km2 atau sekitar 3,31 persen dari total luas wilayah Kabupaten Luwu Timur. Kecamatan yang terletak di sebelah

Lebih terperinci

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU TUGAS AKHIR Oleh : HENNI SEPTA L2D 001 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014 No. 048/08/63/Th XVIII, 5Agustus PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- Ekonomi Kalimantan Selatan pada triwulan II- tumbuh sebesar 12,95% dibanding triwulan sebelumnya (q to q) dan apabila

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO 4.1. Keadaan Geografis Kabupaten Karo terletak diantara 02o50 s/d 03o19 LU dan 97o55 s/d 98 o 38 BT. Dengan luas wilayah 2.127,25 Km2 atau 212.725 Ha terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN 27 BAB IV KONTEKS LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Kuningan 4.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kuningan terletak di ujung Timur Laut Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Kondisi Fisik Daerah Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara 7.33-8.12 Lintang Selatan dan antara 110.00-110.50 Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROV. SULAWESI TENGAH 2016 PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DALAM MENGAKSELERASI PROGRAM PANGAN BERKELANJUTAN DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) PROVINSI

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kerangka ekonomi makro dan kebijakan keuangan daerah yang dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR MANJUNTO

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR MANJUNTO STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR MANJUNTO 2014 Statistik Daerah Kecamatan Air Manjunto 2014 Halaman i STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR MANJUNTO 2014 Statistik Daerah Kecamatan Air Manjunto 2014 Halaman i

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman BAB I. PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan... I-3 1.3 Hubungan Antar Dokumen... I-4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar..

DAFTAR ISI. Kata Pengantar.. DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar.. Daftar Isi. Daftat Tabel. Daftar Gambar i-ii iii iv-vi vii-vii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang. 1 I.2. Dasar Hukum...... 4 I.3. Tujuan..... 5 I.4. Manfaat......

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3 39 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Kabupaten Tanggamus Kabupaten Tanggamus terbentuk atas dasar Undang-undang Nomor 2 tertanggal 3 Januari 1997 dan pada tanggal 21 Maret 1997 resmi menjadi salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Lokasi dan Kondisi Fisik Kecamatan Berbah 1. Lokasi Kecamatan Berbah Kecamatan Berbah secara administratif menjadi wilayah Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pengembangan wilayah (Regional Development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari Bab 2 GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Bab GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data

METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data 42 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang telah diolah dan diterbitkan oleh lembaga yang berkaitan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012 No. 06/02/62/Th. VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012 Perekonomian Kalimantan Tengah triwulan IV-2012 terhadap triwulan III-2012 (Q to Q) secara siklikal

Lebih terperinci