PEMBAHASAN. Efisiensi Pengolahan Data melalui Integrasi Metode Electre II dengan Proses Hirarki Analitik (PHA)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBAHASAN. Efisiensi Pengolahan Data melalui Integrasi Metode Electre II dengan Proses Hirarki Analitik (PHA)"

Transkripsi

1 PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dilakukan pembahasan terhadap beberapa hal penting yang dijumpai selama proses penelitian hingga direkomendasikannya sebuah model pengukuran kinerja komprehensif dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan C-PROMEAS. Efisiensi melalui pemilihan metode pengolahan data dan evaluasi hasil serta kontribusi penelitian terhadap berbagai aspek riil di sektor industri maupun kebijakan akan diuraikan pada bagian ini secara rinci. Efisiensi Pengolahan Data melalui Integrasi Metode Electre II dengan Proses Hirarki Analitik (PHA) Pada penelitian ini implementasi beberapa metode dilakukan secara terpisah berdasarkan tujuan masing-masing. Misalnya metode fuzzy untuk mengolah data penilaian pakar terhadap dukungan infrastruktur. Sementara itu untuk penilaian kriteria dan sub kriteria digunakan metode PHA dan terakhir metode Electre II untuk penilaian alternatif Indikator Kinerja Kunci. Metode AHP sebenarnya mampu digunakan untuk menilai secara keseluruhan secara serentak semua kriteria, sub kriteria dan seluruh alternatif Indikator Kinerja Kunci (IKK). Namun prosedur perbandingan berpasangan yang harus ditempuh mengharuskan pakar melakukan penilaian yang melelahkan, sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan bias penilaian. Oleh karena itu pada level terakhir yaitu penilaian IKK akan digunakan metode Electre II. Karena pada hakikatnya alternatif IKK merupakan satu kesatuan dalam struktur PHA, maka untuk finalisasi hasil perlu dilakukan penyesuaian dengan hasil penilaian PHA pada level-level di atasnya. Prosedur ini dapat dilihat pada rekapitulasi pembobotan seluruh level struktur hirarki pada perangkan lunak C-PROMEAS. Argumentasi utama pengambilan langkah integrasi metode PHA dengan metode Electre II adalah efisiensi penilaian. Hal ini dapat diperlihatkan dari penurunan jumlah penilaian perbandingan berpasangan yang harus dilakukan dari: 5 ( C xc C 4 )

2 145 atau paling sedikit dari : ( C C 5 xc 4 ) (9C + 8C + 4C 4 6 ) 166 kali penilaian menjadi : ( C C 5 xc 4 ) atau sebanyak 94 kali penilaian perbandingan berpasangan. Dari perbedaan jumlah di atas, dapat dilihat bahwa reduksi penilaian 66 berpasangan diperoleh sebanyak maksimum C kali 66! 145 kali!64! penilaian atau minimum :!! 4! 6! kali penilaian.!0!!1!!!!4! Sementara itu jika dikombinasikan dengan penilaian prioritas IKK dengan metode Electre II, maka akan didapat reduksi dari menjadi 66 penilaian. Efisiensi tersebut cukup signifikan sehingga dapat direkomendasikan untuk diimplementasikan. Integrasi hasil penilaian dengan metode PHA dan metode Electre II dilakukan untuk menghasilkan nilai bobot absolut dari setiap IKK yang dinilai. Nilai absolut atau nilai bobot agregat ini selanjutnya yang menentukan prioritas dan IKK terpilih yang akan digunakan dalam model sistem pengukuran kinerja komprehensif yang dibangun. Secara matematis dapat dibuktikan bahwa penilaian dengan metode Electre II tetap menjamin kebebasan linier dari setiap himpunan alternatif IKK. Pembuktian dapat dilakukan dengan dalil bahwa sekumpulan vektor-vektor a 1, a,... a k berdimensi n dikatakan bebas linier jika k j 1 λ a j j 0 jika dan hanya jika λ j 0 untuk j 1,,..., k. Pembuktian ini diperlukan karena setiap kriteria yang diperbandingkan dengan metode PHA harus bebas linier namun memungkinkan mutually exclusive, sehingga integrasi metode Electre II ke dalam metode PHA dapat diterima.

3 146 Analisis Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Klaster Perancangan model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut yang didasarkan pada metodologi yang telah dikemukakan di depan memberikan beberapa konsekuensi baik secara proses maupun hasil. Pemilihan berbagai kriteria yang dipertimbangkan berdasarkan pendapat pakar dan teknik pembobotan atau prioritasisasi menyebabkan tidak semua kriteria yang harus dipertimbangkan dapat diwakili oleh indikator kinerja kunci (IKK). Ketepatan pemilihan sangat ditentukan oleh kemampuan pakar dalam melakukan penilaian. Namun demikian, untuk menjamin keterwakilan setiap kriteria dari setiap aspek dan pelaku klaster telah diupayakan melalui mekanisme pemilihan indikator kinerja kunci yang telah diuraikan pada bagian pengembangan model. Jaminan bahwa model yang dihasilkan merupakan model pengukuran kinerja komprehensif diberikan oleh dipertimbangkannya semua aspek kinerja klaster yang terdiri dari aspek sosial, lingkungan, ekonomi dan proses bisnis internal. Identifikasi kriteria dan sub kriteria didasarkan dari setiap aspek yang dikaji yang dilanjutkan dengan proses derivasi menjadi sejumlah indikator kinerja yang merupakan alternatif indikator kinerja kunci yang akan ditentukan pada proses berikutnya. Semua aspek klaster harus dapat diwakili oleh sejumlah IKK yang dianggap penting dalam menentukan kinerja sebuah klaster agroindustri hasil laut. Tingkat kepentingan dari IKK tersebut didasarkan pada nilai bobot dari setiap IKK dan keterwakilannya terhadap pelaku klaster agroindustri hasil laut. Model pengukuran kinerja komprehensif didisain seefektif dan efisien mungkin, sehingga di samping hasil pengukuran yang diperoleh dapat merepresentasikan kinerja yang sebenarnya juga dapat diterapkan di lapangan secara mudah dan sederhana. Kriteria ini telah terpenuhi melalui uji coba model baik melalui tahap verifikasi maupun validasi seperti telah diuraikan secara rinci pada bagian sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model telah memenuhi persyaratan untuk diterapkan dalam pengukuran kinerja komprehensif sebuah klaster agroindustri hasil laut. IKK kinerja komprehensif klaster yang dihasilkan lebih dominan merepresentasikan pelaku berdasarkan rantai produksi dari hulu sampai ke hilir diantaranya usaha penangkapan ikan (nelayan) dan budi daya rumput laut (petambak), agroindustri level I (usaha lepas pantai dan pasca panen) dan agroindustri level II dan III (industri pengolahan). Sementara itu kepentingan

4 147 industri pendukung dan institusi terkait kecuali pemerintah masih kurang terwakili dikarenakan tidak terpilih setelah melalui beberapa tahapan pemilihan. Disadari bahwa kelembagaan klaster dan fungsi serta peran dari setiap komponen pelaku klaster yang ada di dalamnya sangat menentukan keberhasilan pengembangan klaster, maka dilakukan elaborasi terpisah melalui brainstorming dengan pakar dan praktisi untuk mendapatkan informasi dukungan apa yang diperlukan dari setiap elemen tersebut. Adapun rekapitulasi kebutuhan dukungan dari elemen klaster agroindustri hasil laut lainnya dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut : Tabel 5 Dukungan dari pelaku klaster dalam pengembangan klaster agroindustri hasil laut No Pelaku Klaster Dukungan untuk pengembangan klaster 1 Pemerintah Membuat kebijakan yang mendukung peningkatan daya saing industri hasil laut Birokrasi yang mudah dan membantu semua komponen dalam industri hasil laut Ikut memberikan fasilitas peralatan maupun pendanaan usaha penangkapan ikan (nelayan) dan level I (usaha lepas pantai/pasca panen) Memfasilitasi peralatan laboratorium yang diperlukan sesuai standar internasional/negara tujuan Turut berperan aktif secara Government to Government bila ada masalah dengan negara tujuan ekspor Berperan aktif dalam penyelesaian masalah standarisasi kualitas produk dengan negara tujuan (misalnya dengan Jepang dan Uni Eropa dalam masalah antibiotik) Penyediaan fasilitas laboratorium (alat dan bahan) untuk pengujian-pengujian yang disyaratkan oleh negara tujuan (analisa antibiotik, cloraphenicol, dll) Perlunya skema pendanaan bergulir untuk para nelayan dan usaha pasca panen (tangkap) yang bekerjasama dengan industri terkait Agroindustri level II dan III (Industri Pengolahan) Kepedulian kepada lingkungan sekitar, baik masyarakat dan lingkungan Meningkatkan kapasitas industri dengan kualitas yang baik, sehingga menambah permintaan untuk sektor hulu Menjaga kualitas produk agar sesuai dengan yang diinginkan pembeli Membina nelayan dan usaha pasca panen (lepas pantai) dalam penanganan Agroindustri Level Kualitas yang baik sebagai bahan baku industri dengan harga yang sesuai I (usaha lepas pantai (pasca panen) Menjadi penghubung yang baik dari hulu ke hilir Menjamin stabilitas pasokan dan kualitas bahan baku Memberi pembinaan kepada nelayan tentang penanganan bahan baku yang benar agar kualitas tetap terjaga 4 Nelayan/ Menjamin suplai bahan baku yang baik (segar dan kualitas bagus) Petambak Menjaga agar pasokan bisa stabil dan kontinyu Menjaga kualitas agar sesuai dengan yang disyaratkan industri 5 Industri Terkait lainnya Terbangun kerjasama pengadaan mesin, alat dan bahan pendukung yang saling menguntungkan (kapal, mesin kapal, jaring ikan, es batu, blung dan kebutuhan lainnya yang mendukung) Menyediakan mesin, alat dan bahan pendukung yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh seluruh pelaku industri pada setiap level di agroindustri hasil laut

5 148 Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Partiwi dan Marimin, 005) tentang penentuan model pengembangan klaster industri yang relevan diterapkan di Jawa Timur khususnya, diperoleh hasil bahwa keberhasilan klaster industri masih sangat ditentukan oleh fasilitasi pemerintah sebagai institusi pendukung dalam klaster industri. Oleh karena itu pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan sebuah klaster industri. Jika dilihat dari dukungan yang diperlukan dari pemerintah pada tabel di atas, maka dukungan kebijakan merupakan salah satu yang diprioritaskan. Dari hasil diskusi yang dilakukan, beberapa kebijakan yang perlu selalu disesuaikan dengan kebutuhan klaster agroindustri hasil laut secara spesifik adalah kebijakan perpajakan, kepabeanan dan perdagangan. Sinkronisasi kebijakan pemerintah antar departemen dan antara pusat dan daerah juga perlu dilakukan untuk lebih memudahkan operasionalisasi industri pengolahan hasil laut. Model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut bersifat generik untuk agroindustri hasil laut, meskipun verifikasi dilakukan hanya pada dua klaster agroindustri hasil laut yaitu industri teri nasi dan rumput laut di Jawa Timur. Indikator kinerja kunci yang terpilih merupakan hasil derivasi dari sejumlah aspek klaster pada kriteria dan sub kriteria yang telah ditentukan, sehingga dapat dijamin tingkat generalisasinya untuk agroindustr hasil laut. Pemilihan dua jenis klaster contoh untuk verifikasi model dimaksudkan untuk menguji model apakah model dapat diaplikasikan, pemilihan jenis industri ini juga didasarkan pada argumentasi bahwa kedua jenis industri tersebut relatif telah memiliki sebagian dari karakteristik klaster industri secara konseptual. Aplikasi model pada klaster agroindustri hasil laut jenis lainnya misalnya klaster agroindustri ikan tuna, klaster agroindustri udang dan lainnya, tetap dapat dilakukan menggunakan model hasil rancangan. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam aplikasi model pada setiap jenis klaster yang berbeda yaitu pada penentuan target setiap indikator kinerja kunci maupun dalam melihat peluang perlunya indikator kinerja tambahan yang dianggap penting. Target yang ingin dicapai akan digunakan sebagai basis scoring, oleh karena itu harus ditetapkan dengan sangat hati-hati dan akurat berdasarkan ketentuan yang akan diuraikan pada bagian lain. Penentuan target pada setiap jenis klaster industri akan sangat bervariasi tergantung karakteristik sistem yang dimiliki oleh klaster tersebut. Di samping penentuan target, juga dimungkinkan untuk menggunakan indikator-

6 149 indikator tambahan yang dianggap penting dalam merepresentasikan kinerja sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut yang dievaluasi kinerjanya melalui sebuah mekanisme tertentu. Model pengukuran kinerja komprehensif yang dihasilkan merupakan model yang diimplementasikan dalam tataran taktis untuk mendukung pengambilan keputusan operasional, dimana pendekatan yang lebih dominan digunakan Hard System Methodology (AHP dan Electre). Pengguna yang relevan dalam kelembagaan klaster adalah kelompok kerja (Working Group Klaster) yang mewakili seluruh stakeholder klaster agroindustri hasil laut di antaranya adalah Direktur Agroindustri (pelaku agroindustri level I, II dan III), ketua kelompok nelayan dan petambak (usaha penangkapan dan budidaya), dari institusi pendukung yaitu para Direktur (Eselon II) di Departemen Pemerintah terkait di Tingkat Pusat (DKP, Deprin, Depkeu dan Depdag), Kepala Dinas di Departemen Terkait di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, Kepala Bidang terkait di Bappeda di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam menjaga keberlanjutan sebuah klaster agroindustri hasil laut, diperlukan kajian lebih lanjut yang dapat memberikan dukungan pada keputusan yang lebih bersifat direktif dan strategis melalui penelitian-penelitian analisis kebijakan. Untuk tujuan tersebut penelitan dapat kembangkan lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan lain yang salah satunya adalah Soft System Methodology. Dari penelitian lanjutan ini nantinya akan diperoleh alternatif dukungan kebijakan yang bersifat sinergi dan sesuai dengan fungsi dan peran pemerintah dan elemen klaster lainnya sehingga dapat melengkapi kajian klaster dalam berbagai tingkatan berdasarkan piramida pengambilan keputusan. Hasil penelitian analisis kebijakan selanjutnya akan dapat membantu pada tingkat pengambilan keputusan tertinggi di berbagai tingkat pemerintahan (Eselon I, Gubernur dan Bupati). Di samping itu kajian klaster agroindustri harus tetap memperhatikan karakteristik agroindustri yang memiliki perbedaan cukup signifikan dengan industri jenis lainnya. Beberapa karakteristik spesifik yang dimiliki oleh agroindustri diantaranya adalah bahan baku yang bersifat mudah rusak (perishable), musiman (seasonal) dan beragam (variability), kondisi ini menunjukkan bahwa perlu ada perlakuan dan perhatian yang lebih pada agroindustri.

7 150 Evaluasi Capaian Kinerja Komprehensif Klaster Agroindustri Hasil Laut di Jawa Timur Kinerja komprehensif klaster yang dapat direpresentasikan oleh nilai kinerja total yang merupakan agregasi dari empat nilai kinerja aspek utama klaster industri. Berdasarkan dari scoring board yang telah dihasilkan pada implementasi model di klaster industri teri nasi dan rumput laut di Jawa Timur diperoleh nilai kinerja komprehensif berturut-turut 6.45% dan 58% dengan status kinerja cukup baik. Dari hasil penilaian pakar dalam penentuan bobot semua komponen pada setiap level hirarki pembentuk kinerja komprehensif klaster industri hasil laut diperoleh nilai bobot yang bervariasi untuk keempat aspek yang disebutkan, hal ini menunjukkan bahwa setiap aspek dalam klaster mempunyai kontribusi komprehensif yang bervariasi tergantung pada nilai bobot, target yang ditetapkan dan capaian dari setiap kinerja parsialnya. Dengan demikian jika dilihat kontribusi kinerja parsial aspek klaster industri terhadap kinerja komprehensif klaster industri hasil laut khususnya teri nasi dan rumput laut dapat dilihat dari rekapitulasi yang disajikan pada tabel berikut : Tabel 6 Kontribusi setiap aspek pada kinerja komprehensif klaster industri teri nasi No Aspek Bobot Kinerja aspek Kontribusi pada kinerja absolut komprehensif 1 Sosial % 0.11 Lingkungan % 0.09 Ekonomi % Proses Bisnis Internal % 0.10 Total 0.65 Pada saat ini klaster industri teri nasi memiliki kinerja komprehensif 6.5% yang berarti telah memenuhi 6.5 % dari yang telah ditargetkan baik dari aspek sosial, lingkungan, ekonomi maupun proses bisnis internal dengan kontributor terbesar ada pada aspek ekonomi. Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa pelaku industri pada klaster telah memiliki kompetensi yang bagus dari sisi ekonomi dan proses bisnis internal, namun belum diimbangi dengan aspek lainnya secara signifikan khususnya aspek lingkungan. Beberapa indikator kinerja yang dijadikan tolok ukur keberhasilan pada aspek ini ternyata belum mendapatkan perhatian yang cukup di antaranya adalah sertifikasi kategori kepedulian lingkungan. Namun demikian berdasarkan interview dengan responden praktisi

8 151 industri, banyak perusahaan telah mengupayakan untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Capaian kinerja komprehensif klaster industri rumput laut meskipun berada pada status yang sama dengan klaster industri teri nasi, namun memiliki variasi yang berbeda pada setiap capaian kinerja parsial dan indikator kinerjanya. Secara parsial kontribusi kinerja setiap aspek klaster industri terhadap kinerja komprehensif klaster agroindustri rumput laut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7 Kontribusi setiap aspek pada kinerja komprehensif klaster industri rumput laut No Aspek Bobot Kinerja aspek Kontribusi pada kinerja absolut komprehensif 1 Sosial % Lingkungan % 0.09 Ekonomi % Proses Bisnis Internal % Total 0.58 Meskipun nilai numerik capaian kinerja komprehensif klaster relatif sama bahkan sedikit lebih kecil, namun klaster industri rumput laut memiliki capaian kinerja ekonomi yang sangat tinggi yaitu 8% atau telah memenuhi 8% dari target yang ditetapkan dengan capaian tertinggi pada indikator kinerja kunci keuntungan klaster yaitu sebesar 11%. Penentuan Status Kinerja Klaster Industri Model pengukuran kinerja komprehensif dirancang untuk bisa menampilkan capaian kinerja klaster industri hasil laut baik secara numerik maupun status linguistik. Status kinerja dikelompokkan dalam tiga kategori yang secara linguistik dinamakan Baik, Cukup dan Kurang. Penetapan status berdasarkan nilai numerik telah dikemukakan sebelumnya melalui batasan-batasan nilai capaian dari masing-masing indikator kinerja kunci, kinerja parsial (aspek) maupun kinerja komprehensif. Penentuan status secara mutlak didasarkan pada batasan nilai numerik dapat diberlakukan untuk indikator kinerja kunci maupun kinerja parsial (aspek), namun hal ini tidak relevan jika diterapkan untuk penentuan status kinerja komprehensif. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan dijumpai satu kondisi, di mana nilai capaian kinerja komprehensif secara numerik masuk

9 15 kategori Baik, namun jika didisagregasi ke kinerja per aspeknya terdapat aspek yang memiliki kinerja sangat kecil atau bahkan bisa bernilai nol. Kondisi ini tentu saja tidak menunjukkan suatu kinerja yang baik, karena dalam sebuah sistem klaster industri ada tuntutan untuk baik pada semua aspek yaitu aspek sosial, lingkungan, ekonomi dan proses bisnis internal. Antisipasi untuk kondisi nilai kinerja parsial yang tidak seimbang khususnya dalam penentuan status kinerja komprehensif sebuah klaster dapat dilakukan dengan memberikan aturan tambahan dengan memperhatikan capaian pada setiap kinerja aspek klaster. Idealnya aturan tambahan ini ditentukan oleh keputusan bersama dalam Working Group (kelompok kerja) klaster. Pada model pengukuran kinerja klaster industri hasil laut ini telah dibuat rule (aturan) dalam penentuan status kinerja komprehensif seperti pada Tabel 8. Tabel 8 Aturan dalam penentuan status kinerja komprehensif klaster Status Kinerja Komprehensif Baik Sedang Buruk Kinerja Sosial Lingkungan Ekonomi Proses Bisnis Internal Baik Baik Baik Baik Sedang Sedang Baik Baik Sedang Baik Baik Baik Baik Sedang Baik Baik Baik Baik Sedang Baik Baik Baik Baik Sedang Baik Baik Sedang Sedang Sedang Baik Baik Sedang Sedang Baik Sedang Baik Sedang Baik Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Baik Sedang Kurang (>0.5) Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang (>0.5) Sedang Sedang Kurang (>0.5) Kurang (>0.5) Sedang Sedang Kurang (<0.5) Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang (<0.5) Sedang Sedang Kurang (<0.5) Kurang (<0.5) Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang Kurang Sedang Sedang Sedang Kurang Sedang Sedang Kurang Sedang Sedang Kurang Kurang Kurang Kurang Sedang Kurang Kurang Kurang Kurang Kurang Sedang Kurang Kurang Sedang Kurang Sedang Kurang Kurang Sedang Sedang Kurang Sedang Kurang Kurang Sedang Kurang Sedang Kurang Kurang Kurang Kurang

10 15 Dengan mengacu pada aturan di atas, maka dapat dihindari pernyataan status kinerja klaster komprehensif yang baik sementara status kinerja parsialnya ada yang bernilai ekstrim kurang. Misalnya pada impelementasi klaster industri hasil laut baik untuk industri teri nasi maupun industri rumput laut, meskipun keduanya memiliki nilai capaian kinerja komprehensif secara numerik masuk kategori Cukup Baik, namun jika dilihat secara parsial terdapat satu kinerja aspek yang kurang yaitu kinerja lingkungan dengan nilai 5%. Jika mengacu pada tabel aturan di atas, maka kinerja komprehensif klaster tidak bisa dinyatakan Cukup tetapi lebih buruk lagi yaitu masuk dalam kategori Kurang. Untuk selanjutnya aturan ini bisa direvisi berdasarkan keputusan bersama dengan alasan yang kuat. Penerapan penentuan status berdasarkan aturan yang telah dijelaskan di atas, memberikan konsekuensi terhadap representasi nilai kinerja komprehensif pada scoring board. Representasi dalam nilai numerik tidak konsisten lagi untuk digunakan dalam penentuan status kinerja komprehensif, karena dapat terjadi status yang dicapai tidak sesuai dengan nilai numerik dalam ketentuan batasan status. Representasi pada scoring board final akan berupa nilai kategori (baik, sedang dan kurang) tanpa harus menyertakan nilai numerik. Berdasarkan ketentuan di atas maka tampilan akhir scoring board kinerja komprehensif klaster untuk teri nasi dapat dilihat pada Tabel 9. Kinerja komprehensif klaster agroindustri teri nasi memiliki kategori kurang, hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya batas kriteria yang ditentukan bahwa semua nilai kinerja parsial (aspek) klaster harus lebih besar dari 5 %, sementara dari hasil pengukuran ternyata salah satu kinerja parsial yaitu kinerja lingkungan memiliki capaian 5%. Dengan demikian nilai kinerja komprehensif dinyatakan berada pada kategori kurang yang berarti memerlukan perbaikan signifikan khususnya pada kinerja lingkungan. Hal yang sama juga terjadi pada hasil pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri rumpul laut, di mana capaian kinerja komprehensifnya dinyatakan dalam kategori kurang karena ada satu kinerja parsial (aspek lingkungan) yang memiliki nilai 5 %.

11 154 Tabel 9 Status kinerja komprehensif klaster agroindustri teri nasi Kinerja Kunci dan indikator kinerja Bobot Bobot Skor Target Capaian relatif Normal Relatif Absolut Status Kinerja Komprehensif Klaster Kurang Kinerja Sosial % 67.4% Cukup 1 Indeks CSR (Corporate Social Responsibility ) % 75.0% Cukup Keanggotaan klaster % 5.0% Kurang Kinerja Lingkungan % 5% Kurang 1 Indeks CER (Corporate Environment Responsibility ) % 5% Kurang Kinerja Ekonomi % 76.7% Baik 1 Keuntungan Klaster % 94% 51.8% 94% Baik Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage ) % 54% Cukup Kinerja Pasar (Market Performance ) % 57% 11.7% 57% Cukup Kinerja Proses Bisnis Internal % 66.0% Cukup 1 Output standar % 5% Cukup Nilai Rendemen % 107% 5.1% 107% Baik Indeks kepuasan pelanggan atas produk % 75% Baik 4 Produktivitas petani/nelayan/petambak % 5% Kurang Sementara itu tabel hasil pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri rumput laut dapat dilihat pada Tabel 0. Tabel 0 Status kinerja komprehensif klaster agroindustri rumput laut Kinerja Kunci dan indikator kinerja Bobot Bobot Skor Target Capaian relatif Normal Relatif Absolut Status Kinerja Komprehensif Klaster Kurang Kinerja Sosial % 46.% Kurang 1 Indeks CSR (Corporate Social Responsibility) % 50.0% Kurang Keanggotaan klaster % 5.0% Kurang Kinerja Lingkungan % 5% Kurang 1 Indeks CER (Corporate Environment Responsibility) % 5% Kurang Kinerja Ekonomi % 8% Baik 1 Keuntungan Klaster % 11% 6.1% 11% Baik Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) % 54.0% Cukup Market Performance % % 6.9%.% Cukup Kinerja Proses Bisnis Internal % 57.9% Cukup 1 Output standar % 5% Cukup Nilai Rendemen % 80% 18.8% 80% Baik Indeks kepuasan pelanggan atas produk % 75% Baik Produktivitas 4 petani/nelayan/petambak % 0% Kurang Penetapan Target Kinerja

12 155 Nilai capaian kinerja komprehensif klaster industri teri nasi yang secara numerik sedikit lebih baik dibanding kinerja klaster industri rumput laut tidak secara otomatis menunjukkan kinerja absolut lebih baik, namun perlu dilihat lagi nilai target yang ditetapkan oleh masing-masing klaster industri. Nilai kinerja tersebut lebih berfungsi untuk melihat kemampuannya dalam mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalam mengimplementasikan model pengukuran kinerja ini maka penentuan target harus benar-benar mendapat perhatian. Penetapan target yang tidak tepat akan memberikan informasi kinerja yang tidak akurat. Oleh karena itu dalam menetapkan target harus dipenuhi kriteria SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic dan Timebound), yang pengertiannya masing-masing telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Penetapan target harus didasari oleh kondisi dan asumsi ataupun ekspektasi yang diinginkan, sehingga dalam penentuannya harus dilakukan oleh orangorang yang berkompeten. Pada sistem klaster penetapan nilai target ini sebaiknya dilakukan oleh Kelompok Kerja yang merupakan perwakilan dari seluruh stakeholder klaster industri. Pengukuran kinerja tidak hanya dilakukan untuk mengetahui level kinerja dari sebuah klaster industri, namun yang lebih penting adalah sebagai umpan balik dalam memperbaiki kinerja klaster industri secara keseluruhan. Untuk keperluan ini maka monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara kontinyu sehingga bisa dianalisis lebih lanjut untuk lebih ditingkatkan. Salah satu cara untuk monitoring adalah dengan membuat grafik capaian setiap indikator kinerja atau paling sedikit per kinerja aspek klaster. Dari hasil implementasi model pada klaster industri dapat digambarkan grafik capaian baik untuk kinerja komprehensif maupun setiap indikator kinerja kunci dengan menggunakan pola sebagai berikut :

13 Kinerja (%) Pencapaian kinerja Target kinerja Kinerja tahun lalu Periode tahun ke Gambar 65 Contoh grafik monitoring kinerja klaster industri Asumsi telah dilakukan pengukuran kinerja secara rutin setiap periode (tahun) dan diplotkan secara grafis setiap nilai capaian (saat ini), target yang ditetapkan dan nilai capaian masa lalu. Dari sini akan dapat dilihat beberapa kondisi yang mungkin di antaranya perbandingan antara nilai capaian tahun lalu dengan tahun sekarang dan perbandingan antara nilai target yang ditetapkan dengan pencapaian kinerja saat ini. Perbandingan yang pertama akan bermanfaat bagi investor dalam memutuskan apakah akan berinvestasi atau tidak, sementara untuk perbandingan kedua digunakan sebagai pengendalian internal klaster industri. Berdasarkan capaian dibanding target, setiap pelaku klaster bisa menyusun rencana strategis maupun operasionalnya yang mengarah pada peningkatan kinerja klaster baik secara individu maupun secara sistem. Pada penelitian ini dilakukan analisis what if untuk bisa melihat perubahanperubahan yang mungkin terjadi kedepan jika terdapat sejumlah perubahan baik kebijakan maupun lingkungan bisnis hasil laut. Analisis what if akan lebih dititikberatkan pada beberapa kondisi yang mungkin dicapai jika pendekatan klaster dilakukan secara optimal, sementara itu analisis ini hanya terbatas dilakukan pada beberapa indikator yang dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan. Fasilitas analisis what-if dalam sistem SPK akan memudahkan dalam pengambilan inisiasi untuk perbaikan kinerja. Mekanisme umpan balik akan diuraikan lebih spesifik pada bagian terakhir di pembahasan ini.

14 157 Tingkat Kepentingan Ketersediaan Infrastruktur dan Persepsi Daya Dukungnya Model pengukuran kinerja yang dihasilkan lebih memuat indikatorindikator kinerja yang terukur secara kuantitatif yang diidentifikasi berdasarkan penilaian pakar terhadap sejumlah kriteria dan sub kriteria yang bisa diderivasi untuk menghasilkan sejumlah indikator yang dianggap representatif dalam menampilkan nilai kinerja dari sebuah klaster industri berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Salah satu komponen pendukung yang juga perlu dievaluasi untuk mendukung keberhasilan sebuah klaster industri adalah daya dukung infrastruktur. Infrastruktur yang baik akan mendukung pelaksanaan operasional pelaku klaster industri. Untuk itu pada penelitian ini juga dilakukan elaborasi untuk melihat sejauh mana kondisi infrastruktur yang ada diapresiasi oleh industri dan harapan industri terhadap dukungan infrastruktur tersebut. Berdasarkan dari hasil komunikasi dan pendekatan yang intensif akhirnya diperoleh komitmen beberapa pakar industri untuk membantu dalam memberikan masukan dengan memberikan penilaian terhadap persepsi kepentingan dan daya dukung beberapa jenis infrastruktur. Terdapat 1 (duabelas) jenis infrastruktur fisik yang dievaluasi yaitu (1) jalan raya, () jalur kereta api, () pelabuhan/dermaga, (4) bandar udara, (5) jaringan air bersih, (6) pasokan listrik (pembangkit listrik), (7) sarana pengolahan limbah, (8) teknologi informasi, (9) lembaga keuangan, (10) lembaga penelitian,(11) kebijakan pemerintah, dan (1) balai latihan kerja. Penilaian dilakukan untuk mendapatkan dua jenis informasi yaitu untuk mengetahui tingkat kepentingan infrastruktur fisik tersebut dalam menunjang keberhasilan klaster industri dan untuk mengetahui daya dukung yang dirasakan oleh pihak pelaku industri pada saat ini. Hasil ini nantinya dapat digunakan oleh pemerintah untuk bisa menyediakan infrastruktur yang memadai sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi industri dalam beroperasi. Skala yang digunakan dalam penilaian adalah skala linguistik yang terdiri dari enam nilai. Untuk penilaian tingkat kepentingan skala linguistik yang digunakan adalah Sangat Penting (SP), Penting (P), Cukup Penting (CP), Kurang Penting (KP), Tidak Penting (TP) dan Sangat Tidak Penting (STP). Sementara itu untu penilaian daya dukung juga digunakan enam nilai skala linguistik yaitu Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup Baik (CB), Kurang Baik (KB), Tidak Baik (TB) dan Sangat Tidak Baik (STB). Dalam penilaian ini diminta tiga

15 158 pakar dari praktisi industri sebagai responden untuk mengisi kuesioner bagian dengan hasil yang dapat ditampilkan dalam rekapitulasi sebagai berikut : Tabel 1 Rekapitulasi hasil penilaian pakar terhadap kepentingan infrastruktur dalam mendukung operasional pelaku klaster industri No. Jenis infrastruktur fisik Penilai Pakar 1 Pakar Pakar 1. Jalan raya SP SP SP. Jalur kereta api TP CP TP. Pelabuhan/dermaga P SP SP 4. Bandar udara P P CP 5. Jaringan air bersih SP SP P 6. Pasokan listrik (pembangkit listrik) SP SP SP 7. Sarana pengolahan limbah CP P P 8. Teknologi informasi SP SP P 9. Lembaga keuangan SP SP P 10. Lembaga penelitian P P CP 11. Kebijakan pemerintah P SP P 1. Balai latihan kerja CP P TP Dalam waktu dan paket kuesioner yang sama, juga dimintakan pendapat para pakar dari praktisi industri terhadap daya dukung masing-masing jenis infrastruktur yang dirasakan. Adapun hasil rekapitulasi penilaian dalam variabel linguistik dapat dilihat pada Tabel. Pengolahan dengan metode fuzzy Penilaian terhadap kepentingan dan daya dukung infrastruktur fisik yang ada oleh responden pakar menggunakan variabel linguistik yang secara keseluruhan mewakili sebuah kisaran nilai numerik antara 0 sampai dengan 100. Untuk kebutuhan pengolahan dengan metode fuzzy, maka masing-masing variabel linguistik akan merepresentasikan nilai numerik dalam interval tertentu yang telah ditetapkan maka kisaran dari setiap variabel linguistik yang akan diolah adalah sebagai berikut : SP SB P B CP CB KP 0-55 KB 0-55 TP 10-5 TB 10-5 STP 0-15 STB 0-15

16 159 Tabel Rekapitulasi hasil penilaian pakar terhadap daya dukung infrastruktur dalam mendukung operasional pelaku klaster industri No. Jenis infrastruktur fisik Penilai Pakar 1 Pakar Pakar 1. Jalan raya CB B B. Jalur kereta api CB TB TB. Pelabuhan/dermaga B SB B 4. Bandar udara B B B 5. Jaringan air bersih TB B B 6. Pasokan listrik (pembangkit listrik) CB B CB 7. Sarana pengolahan limbah TB B CB 8. Teknologi informasi KB B CB 9. Lembaga keuangan KB SB CB 10. Lembaga penelitian KB B CB 11. Kebijakan pemerintah CB CB B 1. Balai latihan kerja CB CB TB Dengan menggunakan fungsi keanggotaan Triangular Fuzzy Number (TFN) maka dapat digambarkan seperti grafik berikut : Gambar 66 Daftar keanggotaan fuzzy dalam penilaian kepentingan dan daya dukung infrastruktur Data yang telah diperoleh selanjutnya diolah melalui dua tahapan yaitu fuzzifikasi dan defuzzifikasi. Proses fuzzifikasi dimaksudkan untuk mencari besarnya derajat keanggotaan masukan yang berupa suatu variabel numerik. Sementara defuzzifikasi adalah proses mengubah variabel fuzzy menjadi variabel bukan fuzzy. Pada pengolahan data penelitian ini digunakan metode centre of gravity. Perhitungan dilakukan dengan mengambil asumsi bahwa terdapat perbedaan tingkat kepakaran sehingga diberikan bobot yang berbeda untuk masing-masing pakar dengan menggunakan ketentuan bobot sebagai berikut :

17 160 Rendah R ( ) Medium M (0.-0.7) Tinggi T (0.6-1) Berdasarkan pendapat peneliti maka diberikan bobot medium (M) untuk pakar 1, medium (M) untuk pakar dan tinggi (T) untuk pakar. Sedangkan pada jenis infrastruktur tidak dilakukan pembobotan atau dengan kata lain dianggap mempunyai bobot yang sama. Fuzzifikasi (pemrosesan bilangan fuzzy) Data hasil penelitian yang merupakan variabel linguistik merepresentasikan sebuah bilangan fuzzy yang mempunyai nilai kisaran tertentu dengan disertai kesamaran pada nilai yang dikandungnya. Fuzzifikasi dilakukan secara matematis sesuai dengan metode representasinya. Salah satu contoh perhitungan fuzzifikasi adalah : Perhitungan hasil penilaian pada kepentingan infrastruktur fisik (sarana) ke : S j n i 1 n w i 1 i Np w i i...(4) keterangan : S j w i Np i : Nilai kepentingan infrastruktur fisik (sarana) ke- j : Bobot kepakaran untuk pakar ke-i : Nilai kepentingan yang diberikan oleh pakar ke-i S S M(TP) + M(CP) + T(TP) M + M + T [ (0., 0.7)( 0, 15) + (0., 0.7)(45, 70) + (0.6, 1.0)(0, 15)] [(0., 0.7) + (0., 0.7) + (0.6, 1.0)] S S [(0.*0, 0.7*15) + (0.*45, 0.7*70) + (0.6*0, 1.0*15)] [( ), ( )] [( ), ( )] (1.,.4)

18 161 (1.5, 74.5) S (1.,.4) (1.5/ /1.) Jadi nilai fuzzy dari penilaian sarana 1 dari tiga responden pakar ada pada kisaran ( ) dengan domain adalah (0 100). Selanjutnya dihitung nilai rata-rata terbobotnya sebagai berikut : S ( )/.85 Nilai.85 di atas terletak pada range nilai numerik yang overlap (samar/fuzzy) antara Tidak Penting (TP) dan Kurang Penting (KP) sehingga perlu dilakukan defuzzifikasi untuk menentukan nilai akhir dalam skala linguistik. Jika nilai hasil fuzifikasi berada tidak berada pada nilai fuzzy/samar/overlap maka dapat ditentukan nilai representasi tunggal. Pada sub bab berikutnya akan dipaparkan perhitungan defuzzifikasi, sementara itu perhitungan fuzzifikasi untuk nilai daya dukung infrastruktur dapat dilakukan dengan cara yang sama menggunakan formula berikut : D j n i 1 n w i 1 i Np w i i...(5) keterangan : D j w i Np i : Nilai daya dukung infrastruktur fisik (sarana) ke- j : Bobot kepakaran untuk pakar ke-i : Nilai kepentingan yang diberikan oleh pakar ke-i Defuzzifikasi (pemrosesan bilangan fuzzy menjadi nilai tunggal/crisp) Defuzzifikasi merupakan suatu proses perhitungan kembali dari output fuzzifikasi untuk mendapatkan representasi nilai tunggal. Terdapat beberapa metode defuzzifikasi, namun dalam kajian ini metode yang dipilih adalah metode Center of Area Method (CAM) atau juga dikenal dengan Center of Gravity. Metode ini merupakan metode yang popular digunakan karena alasan cukup bisa diterima meskipun kadang-kadang memerlukan perhitungan yang cukup kompleks (Bojadziev, 1977).

19 16 Salah satu contoh perhitungan defuzzifikasi untuk hasil penilaian pada kajian ini akan diuraikan lebih lanjut. Pada hasil penilaian sarana pendukung di atas, dari perhitungan fuzzifikasi diperoleh nilai numerik.85, nilai ini berdasarkan kisaran dari variabel linguistik berada pada daerah samar/overlap antara Tidak Penting (TP) dan Kurang Penting (KP), sehingga harus dilakukan defuzzifikasi untuk mendapatkan nilai tunggal (crisp) dengan cara sebagai berikut : Jarak dari pusat 1 (.85 0).85 (representasi KP) 5 Jarak dari pusat (5.85) 1.15 (representasi TP) 5 Karena jarak terhadap nilai representasi KP lebih besar dibandingkan dengan jarak terhadap nilai representasi TP maka nilai tunggal (crisp) yang dapat merepresentasikan hasil penilaian pakar terhadap sarana pendukung berdasarkan hasil defuzzifikasi adalah Tidak Penting (TP). Perhitungan fuzzifikasi dan defuzzifikasi dilakukan dengan cara yang sama untuk semua jenis saran pendukung yang dinilai yang memiliki perbedaan nilai di antara pakar. Selengkapnya hasil perhitungan akan ditampilkan pada Tabel pada bagian selanjutnya. Proses agregasi penilaian kepentingan dan daya dukung infrastruktur Pemrosesan bilangan fuzzy (fuzzifikasi) maupun defuzzifikasi dilakukan pada semua hasil penilaian dari pakar terhadap semua model dan kriteria. Setelah melalui proses perhitungan secara lengkap pada semua hasil penilaian, maka hasil rekapitulasinya dapat disajikan pada Tabel berikut :

20 16 Tabel Rekapitulasi hasil penilaian pakar praktisi industri terhadap kepentingan dan daya dukung infrastruktur dengan metode fuzzy No. Jenis infrastruktur fisik Tingkat kepentingan Daya Dukung 1. Jalan raya SP B. Jalur kereta api TP TB. Pelabuhan/dermaga SP B 4. Bandar udara P B 5. Jaringan air bersih SP B 6. Pasokan listrik (pembangkit listrik) SP CB 7. Sarana pengolahan limbah P CB 8. Teknologi informasi P CB 9. Lembaga keuangan P CB 10. Lembaga penelitian CP CB 11. Kebijakan pemerintah P CB 1. Balai latihan kerja KP KB Pengolahan selanjutnya adalah melakukan agregasi dari seluruh kriteria pada masing-masing model. Agregasi dilakukan dengan tahap fuzzifikasi dan defuzzifikasi hingga dapat diperoleh nilai tunggal yang representatif (nilai crisp) dengan mencari nilai rata-rata aritmetiknya. Berikut perhitungan agregat dari penilaian pakar berdasarkan seluruh jenis infrastruktur fisik (sarana pendukung) yang dipertimbangkan : NK n Np i i 1...(6) n keterangan : NK Np n : Nilai agregat kepentingan infrastruktur fisik (sarana) : Nilai agregat yang diberikan oleh pakar untuk jenis sarana ke-i : banyaknya infrastruktur fisik (sarana) yang dinilai

21 164 NK NK NK + NK NK 1 i 1 1 SP + TP [(85,100 ) + (10,5 ) + (85,100 ) + (65,90 ) + (85,100 ) + (85,100 )] [(65,90 ) + (65,90 ) + (65,90 ) + ( 45,70 ) + (65,90 ) + (0,55 )] Np i + SP + P + SP 1 [(750,1010 )] ( 1,1 ) [(750 / 1 ) (1010 / 1 )] NK ( ) / SP P + P + P P + P + KP ( ) Nilai 7.5 pada kisaran numerik tepat jatuh pada daerah yang tidak overlap yaitu pada variabel linguistik Penting (P), sehingga dapat dikatakan bahwa nilai agregat penilaian terhadap kepentingan tersedianya infrastrukur fisik (sarana) yang memadai menurut ketiga pakar adalah Penting (P). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur fisik yang memadai merupakan satu aspek penting yang dapat menunjang peningkatan kinerja sebuah klaster industri, oleh karena itu pemerintah sebagai salah satu stakeholder klaster industri yang berfungsi untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung operasional industri seharusnya meningkatkan kualitas infrastruktur ini sehingga bisa secara optimal dimanfaatkan oleh industri dalam beroperasi untuk menghasilkan kinerja sistem klaster yang lebih baik. Pada sisi lain, pelaku industri sebagai pemanfaat infrastruktur fisik yang tersedia memberikan apresiasi yang bervariasi. Namun demikian dapat dilakukan pengolahan agregasi penilaian praktisi industri dengan menggunakan metode fuzzy seperti yang telah dilakukan pada penilaian kepentingan infrastruktur seperti ditampilkan pada Tabel di atas. Perhitungan agregasi seluruh penilaian daya dukung infrastruktur fisik dapat dilakukan sebagai berikut : ND n Np i i 1...(7) n

22 165 keterangan : ND Np n : Nilai agregat daya dukung infrastruktur fisik (sarana) : Nilai agregat daya dukung yang diberikan pakar untuk sarana ke-i : banyaknya infrastruktur fisik (sarana) yang dinilai ND ND ND + ND ND ND 1 i 1 [( 65,90 ) + (10,5 ) + ( 65,90 ) + ( 65,90 ) + ( 65,90 ) + ( 45,70 )] [( 45,70 ) + ( 45,70 ) + ( 45,70 ) + ( 45,70 ) + ( 45,70 ) + (0,55 )] [(565,870 )] ( 1,1 ) [(565 / 1 ) (870 / 1 )] ( 47 Np 1 B + TB.08 i + B + B ) / B + CB B 1 ( CB ) CB + CB + CB + KB Dari perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa nilai numerik agregat daya dukung infrastruktur adalah 59.79, nilai ini pada kisaran numerik tepat jatuh pada daerah yang tidak overlap yaitu pada variabel linguistik Cukup Baik (CB), sehingga dapat dikatakan bahwa nilai agregat penilaian terhadap daya dukung infrastrukur fisik (sarana) yang memadai di lingkungan industri hasil laut di Jawa Timur menurut ketiga pakar dari praktisi industri adalah Cukup Baik (CB). Berdasarkan perbandingan antara hasil penilaian kepentingan dan daya dukung yang dirasakan oleh pelaku industri hasil laut terhadap kondisi infrastruktur fisik yang ada di lingkungan industri hasil laut di Jawa Timur, maka dapat dilihat ada gap/perbedaan baik secara numerik maupun linguistik. Pengurangan sampai dengan peniadaan gap ini dapat dilakukan melalui beberapa upaya kebijakan maupun kerjasama antara pelaku klaster industri. Jika dilihat dari fungsi peran stakeholder klaster industri, maka sebagian besar fungsi dan peran tersebut akan jatuh pada pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan penyedia fasilitas umum bagi kelancaran operasionalisasi industri. Oleh karena itu perencanaan ulang untuk melakukan perbaikan kualitas sarana dan

23 166 prasarana yang mendukung perlu dilakukan sebagai upaya pengurangan atau peniadaan gap tersebut di atas. Working Group (Kelompok Kerja) sebagai Pengelola Klaster Klaster industri sebagai sebuah sistem memiliki sejumlah tujuan kolektif yang perlu diwujudkan dalam tindakan sinergi oleh seluruh pelaku klaster baik pelaku inti (industri inti) maupun pelaku dan institusi pendukung lainnya. Masingmasing individu pelaku klaster merupakan unit yang independen dengan masingmasing karakteristiknya. Klaster industri merupakan sebuah organisasi non formal yang tidak berbadan hukum, tetapi didasari oleh nilai-nilai kebersamaan yang menjadi komitmen dan harus dijaga oleh seluruh anggota klaster. Oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan klaster dan operasionalisasinya, diperlukan sebuah kelompok kerja yang mewakili seluruh stakeholder klaster agroindustri hasil laut yang dikenal dengan Working Group (Kelompok kerja). Kelompok kerja berfungsi sebagai koordinator operasional klaster industri baik sebagai badan koordinasi maupun operator dari kelembagaan klaster industri yang dibangun. Kelompok kerja terdiri dari dua komponen utama yaitu Steering Committee yang berasal dari kelompok ahli di bidang klaster baik dari kalangan praktisi maupun bidang lainnya tetapi memiliki kompetensi di bidang klaster industri serta berkomitmen untuk menjadi tim pengarah dalam Working Group untuk keperluan operasionalisasi klaster industri. Sementara itu Organising Committee dalam kelompok kerja berfungsi sebagai pengelola jalannya klaster industri. Ketua Organising Committee sebaiknya salah satu dari pelaku industri inti yang dipilih dalam forum klaster yang memiliki kemampuan teknis dan manajerial yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam klaster industri. Kebersamaan dalam sebuah klaster industri merupakan kebutuhan mutlak dapat berlanjutnya sebuah sistem. Kesamaan visi dan misi serta tujuan harus ditetapkan secara partisipatoris oleh seluruh anggota klaster yang difasilitasi oleh kelompok kerja. Berdasarkan visi, misi dan tujuan bersama inilah kemudian dirumuskan secara bersama pula sebuah konsep aksi pengembangan klaster industri. Konsep aksi pengembangan klaster yang dirumuskan meliputi penguatan kelembagaan klaster, rancangan program kolaborasi yang mungkin dilakukan

24 167 dan program lain yang mengarah pada peningkatan kinerja klaster secara komprehensif. Kolaborasi antara pelaku industri dalam sebuah klaster dapat dilakukan jika hubungan industrial dari setiap individu klaster berjalan dengan baik. Hubungan industrial meliputi internal perusahaan dan eksternal perusahaan. Secara internal perusahaan adalah bagaimana individu klaster membangun keharmonisan di antara karyawan dan antara karyawan dengan manajemen, sementara secara eksternal adalah bagaimana perusahaan menjaga dan melakukan hubungan dengan baik terhadap masyarakat sekitar, industri lainnya serta elemen terkait di luar perusahaan. Kualitas hubungan industrial ini dalam sebuah klaster industri akan menentukan efektifitas kolaborasi dan kerjasama antara industri ataupun institusi pendukung dalam klaster, sehingga dapat terwujud sebuah sistem klaster yang berkelanjutan. Dalam operasionalnya kelompok kerja (working group) klaster perlu melakukan komunikasi rutin baik dalam bentuk tatap muka maupun melalui media elektronik, sehingga koordinasi dalam upaya peningkatan nilai tambah industri secara bersama melalui kolaborasi dan kerjasama dengan tujuan peningkatan daya saing global dapat berjalan secara optimal. Keberhasilan klaster dapat diukur dari beberapa capaian dari sejumlah indikator kinerja yang telah dirumuskan dalam model pengukuran kinerja komprehensif klaster. Model pengukuran kinerja dalam paket SPK (Sistem Penunjang Keputusan) yang dibangun dalam penelitian ini merupakan salah satu kontribusi yang dapat diterapkan dalam sebuah klaster agroindustri hasil laut. Operasionalisasi model pengukuran kinerja komprehensif klaster yang dikemas dalam produk perangkat lunak didisain dengan memperhatikan efektivitas hasil dan faktor kemudahan dalam penggunaannya. Rancangan SPK dengan bahasa web PHP sangat mudah dikoneksikan dalam jaringan internet yang bisa diakses setiap saat oleh seluruh stakeholder klaster dengan disain sekuritas dan otoritas tertentu dalam sistemnya. Sebagai pusat akses dari SPK ini adalah working group server. Kontribusi Sistem Penunjang Keputusan (SPK) Dalam Memberikan Umpan Balik Perbaikan Kinerja Komprehensif Klaster Hasil implementasi model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut diharapkan tidak hanya sekedar memberikan gambaran kondisi kinerja klaster pada saat ini, namun juga untuk bisa dijadikan bahan

25 168 masukan untuk upaya peningkatan kinerja yang akan datang. Oleh karena itu dirancang sebuah Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang mampu mengoperasionalkan model pengukuran kinerja komprehensif klaster lebih interaktif, efektif dalam memberikan informasi dan efisien dalam operasionalnya. SPK dilengkapi dengan fasilitas interaktif, dimana pengambil keputusan dapat melakukan perubahan skenario kondisi dan melihat secara simultan perubahannya terhadap capaian kinerja komprehensif klaster di masa datang. Nilai tambah pada rantai produksi industri hasil laut pada umumnya dan teri nasi khususnya masih sangat beragam jika dilihat dari hulu sampai ke hilir. Industri hulu di mana petani/nelayan sebagai pelaku utama menjadi tumpuan pada industri hasil laut, khususnya pada industri teri nasi seluruh pelaku industri menyatakan memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung berapapun teri nasi yang dipasok oleh nelayan karena pada saat ini dan mendatang pasar luar negeri masih terbuka lebar. Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat lebih jauh kemungkinan-kemungkinan pemberdayaan nelayan sehingga dapat diperoleh pasokan bahan baku sesuai kebutuhan secara kontinyu. Pemampuan sektor hulu ini di samping dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan juga secara multiplikasi mampu menggerakkan operasional di industri lebih hilir sehingga juga terjadi peningkatan keuntungan dan secara sistem klaster keuntungan juga akan bertambah. Salah satu kendala keterbatasan dalam mensuplai dikarenakan kapasitas kapal dan teknologi penangkapan yang masih rendah. Kapal-kapal tradisional yang masih digunakan nelayan untuk mencari ikan dan keterbatasan jelajah kapal menyebabkan rendahnya kinerja di sektor ini, oleh karena itu perlu diberikan solusi untuk bisa meningkatkan nilai tambahnya. Pendekatan klaster pada industri teri nasi membukan peluang untuk dimungkinkannya secara kolektif nelayan berinvestasi untuk menggunakan perahu yang lebih besar dengan daya jelajah yang lebih baik. Di samping itu penyediaan fasilitas lembaga keuangan yang sesuai dengan karakteristik nelayan juga merupakan hal yang perlu dipertimbangkan untuk segera direalisasikan. Konsep klaster akan sangat memungkinkan adanya kolaborasi antar pelaku dalam satu level produksi maupun lintas level misalnya industri pengolahan ikut membantu industri hulu dalam peningkatan kinerja. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Gunarta dan Harisno (006) mengambil kasus di Nusa Penida Bali dapat dilihat sebuah sebuah diagram lingkar sebab

26 169 akibat yang memperlihatkan bahwa jumlah kapal dengan kapasitas tertentu dapat diprediksi melalui simulasi dengan pendefinisian beberapa parameter yang diperlukan oleh model. Adapun sebagai referensi dapat dilihat gambar sebagai berikut : Gambar 67 Diagram lingkar sebab akibat penentuan kapal tangkap (Gunarta, 006) Meskipun pada kenyataannya sumber daya alam juga terbatas, namun pada studi ini diasumsikan bahwa sumber daya alam (perikanan laut) masih mencukupi untuk dieksplorasi lebih jauh, sehingga fokus diskusi bisa pada strategi pengalihan kapal tradisional ke kapal yang lebih modern. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah kapal yang dibutuhkan dapat ditentukan tergantung target tangkapan yang diinginkan. Analog dengan hal tersebut, pada klaster industri teri nasi di mana kebutuhan industri belum tersuplai dengan baik, maka jumlah kebutuhan bisa didasarkan pada permintaan pasar baik global maupun domestik. Selanjutnya jumlah kapal yang diperlukan akan dapat diestimasi dengan baik. Pada analisis what-if yang dilakukan dapat dilihat sensitifitas beberapa parameter terhadap kesejahteraan maupun kinerja nelayan. Dari sini dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk melakukan pengembangan industri hasil laut yang diawali dengan pemampuan nelayan. Investasi berupa pengalihan kapal untuk peningkatan daya tangkap (indikator jumlah tangkapan) akan

27 170 berdampak pada terjadinya peningkatan total penjualan yang selama ini relatif konstan dari tahun ke tahun seperti diperlihatkan pada Gambar Penjualan (kilogram) Tahun Gambar 68 Total penjualan teri nasi periode Sementara itu secara finansial ditingkat nelayan, pengaruh investasi ini dapat dianalisis dengan menggunakan analisis what-if dan bantuan simulasi yang telah disediakan dalam bangunan Sistem Penunjang Keputusan. Jumlah tangkapan yang bertambah akan meningkatkan kesejahteraan nelayan, sementara itu juga bisa dirumuskan sebuah kebijakan keuangan yang bisa diakses oleh nelayan sehingga dapat mengembangkan usaha. Adapun salah satu contoh tampilan analisis what-if yang cukup interaktif dan mudah digunakan dapat dilihat pada Gambar 69. Peningkatan jumlah tangkap pada industri teri nasi dan jumlah panen pada industri rumput laut akan memberikan dampak pada kinerja komprehensif klaster industri khususnya pada kinerja parsial aspek proses bisnis internal. Jika jumlah tangkapan atau jumlah panen meningkat, maka dengan asumsi bahwa kapasitas produksi tidak terbatas, maka kondisi ini juga akan dapat meningkatkan total penjualan klaster industri. Peningkatan total penjualan akan meningkatkan kinerja aspek ekonomi, sehingga secara komprehensif juga akan mampu meningkatkan kinerja klaster industri.

28 171 Gambar 69 Tampilan interaktif analisis what-if untuk finansial nelayan Berdasarkan hasil analisis what-if, maka jika diasumsikan dengan upaya efektivitas penangkapan pada industri teri nasi dan budidaya serta panen pada industri rumput laut dapat meningkatkan jumlah bahan baku dua kalinya maka dengan menggunakan fasilitas dalam bangunan SPK dapat dilihat adanya peningkatan kinerja proses bisnis internal dari 66% menjadi 69.5% atau delta sebesar.5% dan untuk klaster industri rumput laut dari 57.9% menjadi 68.98% atau peningkatan sebesar 11.08%. Sementara itu secara komprehensif dapat meningkatkan kinerja untuk klaster industri teri nasi dan rumput laut berturut-turut sebesar 1.5% dan.6%. Dan seterusnya secara interaktif dapat dilakukan simulasi perubahan pada kondisi-kondisi yang lain. Hal ini akan sangat membantu proses pengelolaan kinerja baik dari sisi waktu, dana maupun ketepatan perkiraan. Tersedianya bangunan SPK juga akan meningkatkan efektivitas umpan balik dari sistem sehingga antisipasi tindakan dalam bentuk inisiasi maupun program perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan lebih cepat dan hasil yang lebih baik. Traffic light system Bangunan SPK dilengkapi dengan fasilitas traffic light system yang berfungsi sebagai umpan balik dari sebuah kondisi kinerja yang dicapai. Sistem umpan balik ini didisain dengan berbasis pengetahuan pakar. Tersedia tiga warna yang memvisualkan suatu kondisi di antaranya adalah warna merah untuk

PENGEMBANGAN MODEL. Identifikasi kebutuhan stakeholder klaster agroindustri hasil laut

PENGEMBANGAN MODEL. Identifikasi kebutuhan stakeholder klaster agroindustri hasil laut PENGEMBANGAN MODEL Pembangunan model pengukuran kinerja komprehensif sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dilakukan mengikuti beberapa tahapan yang sistematis. Secara skematis kerangka kerja logis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Penelitian perancangan model pengukuran kinerja sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dilakukan dengan berbagai dasar dan harapan dapat dijadikan sebagai perangkat bantuan untuk pengelolaan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF

IMPLEMENTASI MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF IMPLEMENTASI MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF Keakuratan sebuah model ditentukan oleh proses pembangunan model tersebut. Sebelum sebuah model diimplementasikan, maka perlu dilakukan dua tahapan yaitu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pengukuran kinerja pada sistem klaster agroindustri hasil laut di Indonesia ini dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 65 3. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Permasalahan utama yang dihadapi industri gula nasional yaitu rendahnya kinerja khususnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula. Untuk menyelesaikan permasalahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran

III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Perbaikan kualitas udang melalui rantai pengendalian mutu perlu melibatkan unit pengadaan bahan baku, unit penyediaan bahan baku, unit pengolahan, dan laboratorium

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sistem pasokan bahan baku dalam suatu agroindustri merupakan salah satu faktor yang penting untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Sistem pasokan ini merupakan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 66 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 5 BAB METODOLOGI PENELITIAN.1 Kerangka Pemikiran Rancang bangun model peningkatan kinerja agroindustri kelapa sawit P dipandang sebagai suatu sistem karena adanya interaksi antara elemen dan dirancang

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2010, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Palabuhanratu sebagai lokasi proyek minapolitan perikanan tangkap.

Lebih terperinci

A. KERANGKA PEMIKIRAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN III. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Agroindustri sutera alam terutama untuk produk turunannnya berupa kokon, benang sutera, dan kain merupakan suatu usaha yang menjanjikan. Walaupun iklim dan kondisi

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN MENGGUNAKAN EXPERT CHOICE

EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN MENGGUNAKAN EXPERT CHOICE 34 EFEKTIFITAS PENERAPAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PEMILIHAN PERANGKAT LUNAK PENGOLAH CITRA DENGAN MENGGUNAKAN EXPERT CHOICE Faisal piliang 1,Sri marini 2 Faisal_piliang@yahoo.co.id,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan tangkap pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, sekaligus untuk menjaga kelestarian

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR KEBERHASILAN AGROINDUSTRI KAKAO BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN FUZZY AHP

ANALISIS FAKTOR KEBERHASILAN AGROINDUSTRI KAKAO BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN FUZZY AHP ANALISIS FAKTOR KEBERHASILAN AGROINDUSTRI KAKAO BERKELANJUTAN DI SUMATERA BARAT MENGGUNAKAN PENDEKATAN FUZZY AHP Universitas Dharma Andalas Email: dewi.a@unidha.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

PENGANTAR. Ir. Suprapti

PENGANTAR. Ir. Suprapti PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan tersusunnya Rencana Strategis Direktorat Alat dan Mesin Pertanian Periode 2015 2019 sebagai penjabaran lebih lanjut Rencana Strategis

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

BAB 5 RANCANG BANGUN MODEL

BAB 5 RANCANG BANGUN MODEL 71 BAB 5 RANCANG BANGUN MODEL 5.1 Konfigurasi Model Rancang bangun model peningkatan kinerja agroindustri kelapa sawit PBUMN dibangun dalam bentuk perangkat lunak dengan nama Pin-KK dengan tiga komponen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran

BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran 62 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri sutera alam merupakan industri pengolahan yang mentransformasikan bahan baku kokon (hasil pemeliharaan ulat sutera) menjadi benang, kain sutera,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN

SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN 2013/11/02 08:31 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan PEMANTAPAN SISTEM PENYULUHAN PERIKANAN MENUNJANG INDUSTRIALISASI KP SEJUMLAH MASUKAN PEMIKIRAN Mendiskusikan sistem penyuluhan perikanan yang membumi

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat VII. PERANCANGAN PROGRAM 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat Mengacu pada Visi Kabupaten Lampung Barat yaitu Terwujudnya masyarakat Lampung Barat

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 42 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Kerangka Pemikiran Pemerintah daerah Sumatera Barat dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah melakukan upaya memperbaiki perekonomian dengan menfokuskan pengembangan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang

Lebih terperinci

REKAYASA SISTEM PENUNJANG MANAJEMEN PRODUKSI BERSIH AGROINDUSTRI KARET REMAH. Konfigurasi Model

REKAYASA SISTEM PENUNJANG MANAJEMEN PRODUKSI BERSIH AGROINDUSTRI KARET REMAH. Konfigurasi Model 97 REKAYASA SISTEM PENUNJANG MANAJEMEN PRODUKSI BERSIH AGROINDUSTRI KARET REMAH Konfigurasi Model Model untuk sistem penunjang manajemen produksi bersih agroindustri karet remah dirancang dalam satu paket

Lebih terperinci

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Strategi Strategi perusahaan menggambarkan arah perusahaan secara keseluruhan mengenai sikap perusahaan secara umum terhadap arah pertumbuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Penetapan visi sebagai bagian dari perencanaan strategi, merupakan satu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi karena

Lebih terperinci

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1

Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Pemantapan Sistem Penyuluhan Perikanan Menunjang lndustrialisasi Kelautan dan Perikanan: Isu dan Permasalahannya serta Saran Pemecahannya 1 Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo, APi, MPS Anggota Komisi Penyuluhan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014

INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014 INDIKATOR KINERJA MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI KP DAN BLUE ECONOMY SUNOTO, MES, PHD PENASEHAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN BATAM, 22 SEPTEMBER 2014 INTEGRASI MINAPOLITAN, INDUSTRIALISASI, DAN BLUE ECONOMY

Lebih terperinci

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES

8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8. PRIORITAS PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEMERSAL YANG BERKELANJUTAN DENGAN ANALISIS HIRARKI PROSES 8.1 Pendahuluan Untuk dapat memahami persoalan dalam pemanfaatan dan pengelolaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan ilmiah dengan kerangka berfikir logis. Pemodelan sistem kelembagaan pasokan bahan baku agroindustri

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran Konseptual

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran Konseptual METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Konseptual Bertolak dari kondisi, potensi, dan prospek usaha mikro dan kecil makanan ringan, maka penelitian ini diarahkan untuk menghasilkan model untuk mengevaluasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN PG-122 IDENTIFIKASI SISTEM PERIKANAN TERI (STOLEPHORUS SPP) DI DESA SUNGSANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN Fauziyah 1,, Khairul Saleh 2, Hadi 3, Freddy Supriyadi 4 1 PS Ilmu Kelautan Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT SRI GUNANI PARTIWI

PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT SRI GUNANI PARTIWI PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT SRI GUNANI PARTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN AHLI

SISTEM MANAJEMEN AHLI 201 SISTEM MANAJEMEN AHLI Konfigurasi model Pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem berbasis pengetahuan dikenal dengan istilah sistem manajemen ahli. (Eriyatno, 2009). Didalam sistem manajemen

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

METODOLOGI Kerangka Pemikiran METODOLOGI Kerangka Pemikiran Semakin berkembangnya perusahaan agroindustri membuat perusahaanperusahaan harus bersaing untuk memasarkan produknya. Salah satu cara untuk memenangkan pasar yaitu dengan

Lebih terperinci

Kolaborasi (Collaboration)

Kolaborasi (Collaboration) Kolaborasi (Collaboration) McGraw-Hill/Irwin Copyright 2013 by The McGraw-Hill Companies, Inc. All rights reserved. Topik Organisasi logistik Pengembangan hubungan kolaborasi Manajemen hubungan/relasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi

DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 9 1.3. Tujuan Penelitian... 10 1.4. Manfaat Penelitian... 11 1.5.

Lebih terperinci

gerak yang ada, keselamatan, kenyamanan, dan lain-lain.

gerak yang ada, keselamatan, kenyamanan, dan lain-lain. III. LANDASAN TEORI 3.1. Kriteria Kinerja Menurut Hendarto (2001), untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kinerja dari sistem transportasi, maka diperlukan beberapa indikator yang dapat dilihat. Indikator

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu produk atau layanan menyangkut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 111 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan pembahasan dari analisa dan interprestasi perencanaan strategis SI/TI di DJMBP dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagi berikut : 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan hakikatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN Paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan proses partisipatif dan terdesentralisasi, oleh karena itu dalam menyusun

Lebih terperinci

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren. 44 V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012 )

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012 ) 6.1 Gambaran Umum Struktur Monitoring dan Evaluasi Tujuan utama strategi Monev ini adalah menetapkan kerangka kerja untuk mengukur dan memperbaharui kondisi dasar sanitasi, juga memantau dampak, hasil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Langkah langkah (flow chart) pemecahan masalah. Mulai. Observasi Pendahuluan. Penetapan Tujuan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Langkah langkah (flow chart) pemecahan masalah. Mulai. Observasi Pendahuluan. Penetapan Tujuan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Langkah langkah (flow chart) pemecahan masalah Mulai Observasi Pendahuluan Studi Pustaka Identifikasi Masalah Penetapan Tujuan Identifikasi atribut penelitian Pembuatan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan di Dapur Geulis yang merupakan salah satu restoran di Kota Bogor. Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi bauran pemasaran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik karena banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian, maupun karena kontribusinya yang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci

MENINGKATKAN MUTU PENGAMBILAN KEPUTUSAN MANAJEMEN UNTUK PERUSAHAAN DIGITAL

MENINGKATKAN MUTU PENGAMBILAN KEPUTUSAN MANAJEMEN UNTUK PERUSAHAAN DIGITAL MENINGKATKAN MUTU PENGAMBILAN KEPUTUSAN MANAJEMEN UNTUK PERUSAHAAN DIGITAL PENDAHULUAN Salah satu kegiatan manajemen yang penting adalah memahami sistem sepenuhnya untuk mengambil keputusan-keputusan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat dan telah semakin luas.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat dan telah semakin luas. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat dan telah semakin luas. Penggunaan teknologi yang tidak hanya terbatas pada bidang bisnis dan perdagangan tetapi lebih

Lebih terperinci

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian 6. URUSAN PERINDUSTRIAN Urusan perindustrian mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi yaitu sebagai pemicu kegiatan ekonomi lain yang berdampak ekspansif atau meluas ke berbagai sektor

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Metode penelitian menurut tingkat eksplanasinya ada tiga yaitu penelitian deskriptif, komparatif, dan juga asosiatif. Pada penelitian ini yang digunakan adalah

Lebih terperinci

7 Prinsip Manajemen Mutu - ISO (versi lengkap)

7 Prinsip Manajemen Mutu - ISO (versi lengkap) 7 Prinsip Manajemen Mutu - ISO 9001 2015 (versi lengkap) diterjemahkan oleh: Syahu Sugian O Dokumen ini memperkenalkan tujuh Prinsip Manajemen Mutu. ISO 9000, ISO 9001, dan standar manajemen mutu terkait

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PUPUK DAN PESTISIDA TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Seiring semakin tingginya tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan, pesatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Seiring semakin tingginya tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan, pesatnya BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seiring semakin tingginya tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan, pesatnya teknologi kedokteran serta kondisi sosial ekonomi masyarakat, kesadaran tentang pentingnya kesehatan

Lebih terperinci

Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi

Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi Bab IV Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi IV.1 Usulan Perencanaan Investasi Teknologi Informasi dengan Val IT Perencanaan investasi TI yang dilakukan oleh Politeknik Caltex Riau yang dilakukan

Lebih terperinci

Sistem Pendukung Keputusan / Decision Support System PENGAMBILAN KEPUTUSAN, SISTEM, PEMODELAN DAN DUKUNGAN

Sistem Pendukung Keputusan / Decision Support System PENGAMBILAN KEPUTUSAN, SISTEM, PEMODELAN DAN DUKUNGAN Sistem Pendukung Keputusan / Decision Support System PENGAMBILAN KEPUTUSAN, SISTEM, PEMODELAN DAN DUKUNGAN CONTENT 1. Pengambilan Keputusan 2. Proses Pemodelan 3. Fase Kecerdasan 4. Fase Desain 5. Fase

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. budidaya perikanan, hasil tangkapan, hingga hasil tambaknya (Anonim, 2012).

I. PENDAHULUAN. budidaya perikanan, hasil tangkapan, hingga hasil tambaknya (Anonim, 2012). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah potensial penghasil perikanan dan telah menyokong produksi perikanan nasional sebanyak 40 persen, mulai dari budidaya

Lebih terperinci

PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT SRI GUNANI PARTIWI

PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT SRI GUNANI PARTIWI PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT SRI GUNANI PARTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. memiliki daya saing yang relatif baik sehingga dinilai belum mampu

BAB l PENDAHULUAN. memiliki daya saing yang relatif baik sehingga dinilai belum mampu BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan agroindustri di lndonesia pada umumnya belum memiliki daya saing yang relatif baik sehingga dinilai belum mampu memanfaatkan berbagai peluang yang muncul

Lebih terperinci

I R A P R A S E T Y A N I N G R U M

I R A P R A S E T Y A N I N G R U M I R A P R A S E T Y A N I N G R U M 1 Pengertian SPK 1. Menurut Turban (1990) dan Turban & Aronson (2001), SPK adalah suatu sistem interaktif berbasis komputer yg dapat membantu pengambil keputusan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam melakukan suatu penelitian, metodologi penelitian merupakan suatu proses berpikir yang sistematis atau tahap-tahap penelitian yang diawali dengan mengidentifikasi masalah,

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR / PERMEN-KP/2017 TENTANG SATU DATA KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR / PERMEN-KP/2017 TENTANG SATU DATA KELAUTAN DAN PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR / PERMEN-KP/2017 TENTANG SATU DATA KELAUTAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KELEMBAGAAN KLASTER INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL LAUT ABSTRAK

PENGEMBANGAN MODEL KELEMBAGAAN KLASTER INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL LAUT ABSTRAK PENGEMBANGAN MODEL KELEMBAGAAN KLASTER INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL LAUT Nurul Hudaningsi 1), Nurhadi Siswanto 2) dan Sri Gunani Partiwi 3) 1) Program Studi Teknik Industri, Pascasarjana Teknik Industri,

Lebih terperinci

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI. 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI. 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi Strategi Sanitasi Kota (SSK) merupakan alat manajemen untuk meningkatkan transparansi perencanaan dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.126, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Sistem Logistik. Nasional. Ikan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/PERMEN-KP/2014 TENTANG SISTEM LOGISTIK IKAN

Lebih terperinci

VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK

VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK 113 VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK 6.1. Pendahuluan Secara umum, prinsip utama dalam pemodelan optimisasi adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan bagian yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan bagian yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya manusia merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai tujuan perusahaan untuk mengembangkan usaha makro dan mikro. Sumber daya manusia sangat berperan,

Lebih terperinci

2018, No Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 20

2018, No Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 20 No.154, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENPAN-RB. Evaluasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Balangan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Balangan STRATEGI SANITASI KABUPATEN (SSK) I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi sesungguhnya masih menjadi isu strategis di Indonesia. Tidak hanya di tingkat masyarakat, namun juga pada sisi para pengambil

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL

BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL BAB V ANALISIS PERILAKU MODEL Pada bagian analisis kebijakan, terlebih dahulu akan dilakukan analisis pada model dasar, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis penerapan skenario kebijakan yang telah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 1) Miskin sekali: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun lebih rendah 75% dari total pengeluaran 9 bahan pokok 2) Miskin: Apabila tingkat pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 75-125%

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46 RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2015 Jakarta, 5 Februari 2015 Rapat Kerja Menteri Perindustrian Tahun 2015 dengan tema Terbangunnya Industri yang Tangguh dan Berdaya Saing Menuju

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendahuluan Metode penelitian berkaitan erat dengan prosedur, alat serta desain penelitian yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif.

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.146, 2015 Sumber Daya Industri. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5708). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 Tahun 2015

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 61 HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem manajemen ahli model SPK agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit terdiri dari tiga komponen utama yaitu sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis pengetahuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jagung merupakan jenis tanaman serealia yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional, mengingat fungsinya yang multiguna. Jagung dapat dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Misi Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Bappeda Kabupaten Lahat dalam mewujudkan pencapaian tata pemerintahan yang baik (good gavernance) dan memenuhi tuntutan serta harapan masyarakat atas

Lebih terperinci

Sistem Pendukung Keputusan / Decision Support System

Sistem Pendukung Keputusan / Decision Support System Sistem Pendukung Keputusan / Decision Support System Pengambilan Keputusan, Sistem, Pemodelan dan Dukungan Oleh : Imam Cholissodin S.Si., M.Kom Content 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pengambilan Keputusan Proses

Lebih terperinci

AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus

AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus AGROINTEK Volume 7, No.2 Agustus 2013 103 PENENTUAN LOKASI INDUSTRI PALA PAPUA BERDASARKAN PROSES HIERARKI ANALITIK (ANALYTIC HIERARCHY PROCESS ) DAN APLIKASI SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN (SPK) DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Indonesia memiliki potensi bahan baku industri agro, berupa buah buahan tropis yang cukup melimpah. Namun selama ini ekspor yang dilakukan masih banyak dalam bentuk buah segar

Lebih terperinci