BAB 2 KAJIAN TEORI 1. Konsep LKS (Lembar Kerja Siswa) Sebagai Sumber dan Media Pembelajaran.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 KAJIAN TEORI 1. Konsep LKS (Lembar Kerja Siswa) Sebagai Sumber dan Media Pembelajaran."

Transkripsi

1 BAB 2 KAJIAN TEORI 1. Konsep LKS (Lembar Kerja Siswa) Sebagai Sumber dan Media Pembelajaran. Menurut Soekamto (2010;47) Lembar Kerja Siswa merupakan lembaranlembaran yang berisi pedoman bagi siswa untuk melakukan kegiatan agar siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai. Sedangkan menurut Akhyar dan Mustain LKS adalah materi ajar yang sudah dikenal sedemikian rupa sehingga siswa diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut (Lismawati, 2010: 38). Berdasarkan definisi dari para ahli tersebut dapat disimpulkan Lembar Kerja Siswa adalah lembaran-lembaran yang berisi materi ajar yang memiliki tujuan untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan menguasai materi. Menurut Lismawati (2010: 39) menjelaskan adapun ciri-ciri LKS adalah sebagi berikut: (1) LKS hanya terdiri dari beberapa halaman, tidak sapai seratus halaman. (2) LKS dicetak sebagai bahan ajar yang spesifik untuk dipergunakan oleh satuan tingkat pendidikan tertentu. (3) Di dalamnya terdiri uraian singkat tentang pokok bahasan secara umum, rangkuman pokok bahasan, puluhan soal-soal pilihan ganda dan soal-soal isian. Walaupun Lembar Kerja Siswa digunakan sebagai media yang efektif dalam pembelajaran karena media yang sederhana dan dapat menjangkau semua kalangan pelajar. Setiap media pasti memiliki keunggulan dan kekurangan, untuk keunggulan dan kekurangan dari media pembelajaran Lembar Kerja Siswa (LKS) dalam (Lismawati, 2010;40) sebagai berikut: 1. Keunggulan media Lembar Kerja Siswa a) Dari aspek penggunaan: merupakan media yang paling mudah. Dapat dipelajari di mana saja dan kapan saja tanpa harus menggunakan alat khusus 10

2 11 b) Dari aspek pengajaran: dibandingkan media pembelajaran jenis lain bisa dikatakan lebih unggul. Karena merupakan media yang canggih dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk belajar tentang fakta dan mampu menggali prinsip-prinsip umum dan abstrak dengan menggu-nakan argumentasi yang realistis. c) Dari aspek kualitas penyampaian pesan pembelajaran yaitu mampu memaparkan kata-kata, angka-angka, notasi musik, gambar dua dimensi, serta diagram dengan proses yang sangat cepat. d) Dari aspek ekonomi: secara ekonomis lebih murah dibandingkan dengan media pembelajaran yang lainnya. 2. Kekurangan media Lembar Kerja Siswa a) Tidak mampu mempresentasikan gerakan, pemaparan materi bersifat linear, tidak mampu mempresentasikan kejadian secara berurutan. b) Sulit memberikan bimbingan kepada pembacanya yang mengalami kesulitan memahmi bagian-bagian tertentu. c) Sulit memberikan umpan balik untuk pertanyaan yang diajukan yang memiliki banyak kemungkinan jawaban atau pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang kompleks dan mendalam. d) Tidak mengakomodasi siswa dengan kemampuan baca terbatas karena media ini ditulis pada tingkat baca tertentu. e) Memerlukan pengetahuan prasyarat agar siswa dapat memahami materi yang dijelaskan. Siswa yang tidak memenuhi asumsi pengetahuan prasyarat ini akan mengalami kesulitan dalam memahami. f) Cenderung digunakan sebagai hafalan. Ada sebagaian guru yang menuntut siswanya untuk menghafal data, fakta dan angka.tuntutan ini akan membatasi penggunaan hanya untuk alat menghafal. g) Kadangkala memuat terlalu banyak terminologi dan istilah sehingga dapat menyebabkan beban kognitif yang besar kepada siswa.

3 12 h) Presentasi satu arah karena bahan ajar ini tidak interaktif sehingga cenderung digunakan dengan pasif, tanpa pemahaman yang memadai. Peran dan fungsi sumber belajar menjadi penting dalam proses pembelajaran. Tidak hanya berorientasi pada siswa tetapi juga berorientasi pada kemampuan guru dalam menggunakan sumber belajar dalam proses pebelajaran. Selain ketepatan memilih sumber belajar, guru juga dituntut untuk bisa mnegoperasionalkan dan mengembangkan sumber belajar agar pembelajaran menjadi efektif. Tujuan pembelajaran tercapai secara singkat dengan sumber daya yang sedikit dalam arti efektif dan efisien (Musfiqon, 2012:128). Sumber belajar merupakan daya dan kekuatan yang diperlukan dalam rangka proses pembelajaran. Secara garis besar sumber belajar mempunyai ciriciri sebagai berikut: a. Sumber belajar harus mampu memberikan kekuatan dalam proses pembelajaran, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. b. Sumber belajar harus mempunyai nilai-nilai intruksional edukatif, yaitu dapat mengubah dan membawa perubahan yang sempurna terhadap tingkah laku sesuai dengan tujuan yang ada. c. Dengan adanya klarifikasi sumber belajar, maka sumber belajar yang dimanfaatkan mempunyai ciri-ciri; (1) tidak terorganisasi dan tidak sitematis baik dalam bentuk maupun isi, (2) tidak mempunyai tujuan pembelajaran yang eksplisit, (3) hanya dipergunakan untuk keadaan dan tujuan tertentu atau secara insidental, dan (4) dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan pembelajaran. d. Sumber belajar yang dirancang mempunyai ciri-ciri yang spesifik sesuai dengan tersedianya media (Rohani, 1997: ) e. Sumber belajar dapat dipergunakan secara sendiri-sendiri (terpisah), tetapi juga dapat dipergunakan secara kombinasi (gabungan) f. Sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sumber belajar yang tinggal pakai atau jadi. Sumber belajar yang dirancang adalah sesuatu yang memang dari semula dirancang untuk keperluan belajar, sedangkan

4 13 sumber belajar yang tinggal pakai atau jadi adalah sesuatu yang pada mulanya tidak dimaksudkan untuk kepentingan belajar, tetapi kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan belajar (Soeharto, 2003:78). Dengan demikian LKS merupakan sumber belajar bagi seorang siswa dalam proses pembelajaran. Siswa hanya menggunakan LKS sebagai satu-satunya sumber pembelajaran. LKS merupakan sebuah pedoman dan acuan bagi siswa dalam memperoleh ilmu dan materi dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Selain sebagai sumber belajar, LKS juga merupakan sebuah media pembelajaran. Media pembelajaran didefinisikan sebagai media yang membawa pesan-pesan bertujuan instruksional pengajaran. Sebagai media yang membawa pesan-pesan yang berupa ide, gagasan, dan penemuan-penemuan, media memiliki andil yang cukup besar dalam mengajar dan mendidik peserta didik untuk menjadi manusia yang seutuhnya pengajaran (Azhar Arsyad, 2013: 4). Pesan-pesan yang tersalurkan dari media pembelajaran ini dikonsep dan disusun sedemikian rupa oleh pihak sekolah sehingga pembelajaran yang berlangsung selalu memuat nilai-nilai pendidikan dan moral. Media pembelajaran yang diambil dari Munadi (2008:8) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan dari sumber terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. Sebagai suatu komponen integral dari sistem pembelajaran (Daryanto, 2010), media berada di posisi yang sentral dalam proses kegiatan belajar mengajar. Media menjadi sarana penyaluran ide dari sumber yang dikemas dalam kode-kode yang tersampaikan secara tersurat dan tersirat sehingga pesan tersebut bisa tersalurkan dan ditafsirkan dengan baik oleh peserta didik. Sebagai sarana yang dipergunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran, media memiliki beberapa fungsi menurut Munadhi, diantaranya adalah a) sebagai sumber belajar, b) fungsi semantik, dan c) fungsi manipulatif (2008:36). Fungsi-fungsi tersebut dapat dijabarkan dengan: a. fungsi media pembelajaran sebagai sumber belajar.

5 14 Media pembelajaran memiliki perumpamaan sebagai bahasanya guru dimana media pembelajaran bisa dapat menggantikan fungsi guru untuk menyalurkan informasi dan pesan ke peserta didiknya. b. fungsi semantik. Media pembelajaran memiliki fungsi semantik dimana maksudnya media pembelajaran memiliki kemampuan menambah perbendaharaan kata yang makna atau maksudnya benar-benar dipahami anak didik. Jadi dalam proses kegiatan belajar mengajar, media pembelajaran adalah alat efektif bagi guru/ pengajar untuk menyederhanakan materi/ kata/ kalimat sehingga mudah dicerna dan dimengerti oleh peserta didik. Dalam bahasa Indonesia ditemukan kata-kata serapan dan padanan kata yang banyak sekali, dengan adanya media flash card misalnya, ini diharapkan peserta didik dapat menambah dan meningkatkan kosa kata dan perbendaharaan kata. c. fungsi manipulatif. Media pembelajaran memiliki dua kemampuan yang menjadi karakteristik umum, yakni mengatasi batas-batas ruang dan waktu dan mengatasi keterbatasan indrawi. Prinsip-prinsip dalam menggunakan media pembelajaran menurut Sanjaya didasarkan dengan a) untuk mempermudah pembelajaran, b) disesuaikan tujuan pembelajaran, c) disesuaikan materi pelajaran, d) sesuai kemampuan guru (2012: 77). Kesemua prinsip tersebut dapat dijabarkan dengan: 1. Media digunakan untuk mempermudah pembelajaran. Dalam memanfaatkan media pembelajaran, guru tidak sembarang memilih media yang akan digunakan di kelas, akan tetapi berdasarkan kebutuhan peserta didik. 2. Media yang digunakan disesuaikan tujuan pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran bukan saja didasarkan untuk mempermudah pembelajaran, untuk mengisi waktu luang, namun harus bisa digunakan sebagai jembatan mencapai tujuan pembelajaran. 3. Media yang digunakan sesuai dengan materi pelajaran. Prinsip ini harus diutamakan oleh guru dalam mengisi pelajaran dikelas. Hal ini

6 15 dikarenakan materi pelajaran memiliki keunikan yang jelas berbeda dengan materi pelajaran yang lain. dengan memanfaatkan media pembelajaran, diharapkan media tersebut benar-benar menunjang pelajaran sehingga apa yang ingin disampaikan guru kepada peserta didik bisa tersalurkan. 4. Media yang digunakan harus sesuai dengan kemampuan guru mengoperasikannya. Pertimbangan ini sangat penting sebelum memutuskan memilih menggunakan media pembelajaran yang digunakan. Dengan disesuaikan kemampuan guru dalam mengoperasikan media pembelajaran, diharapkan pembelajaran akan menyenangkan dan tidak mengalami kendala berarti. Menurut Kemp & Dayton keberadaan media pembelajaran memiliki dampak positif diantaranya a) pelajaran menjadi baku, b) pembelajaran lebih menarik, c) peran guru lebih positif (Azhar Arsyad, 2013: 27). Dampak positif dari keberadaan media pembelajaran tersebut dapat dijabarkan: 1. Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku. Maksudnya adalah pesan atau informasi yang disampaikan oleh guru kepada muridnya bisa bersifat objektif dan adil ke semua peserta didik. Hal itu bisa meminimalisir kecemburuan sosial mengenai ilmu pengetahuan dan informasi. 2. Pembelajaran bisa lebih menarik. Fungsi media pembelajaran yang demikian digunakan ketika peserta didik sedang mengalami kejenuhan dan stress diakibatkan padatnya mata pelajaran ataupun kesibukan yang sedang dilakukan peserta didik. Sifatnya yang lebih simpel dan menghibur walaupun tetap sesuai peraturan, menjadi kelebihan bagi media pembelajaran ini untuk dipakai dan digunakan. 3. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif, dimana guru dapat bergantian peran dengan media pembelajaran sebagai penyampai penjelasan mengenai isi-isi pelajaran. Posisi LKS dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) digunakan sebagai pedoman di dalam pembelajaran serta berisi tugas-tugas yang harus

7 16 dikerjakan oleh peserta didik (Ningtyas, 2013:31). Buku LKS banyak digunakan untuk salah satunya menyediakan sumber-sumber belajar mandiri, dan memberikan landasan yang tidak memihak bagi penilaian hasil kerja (Kochhar, 2008:198). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Permana (2008:2), bahwa: LKS bahkan digunakan sebagai satu-satunya alat dan sumber utama dalam evaluasi pembelajaran. LKS kemudian memuat soal-soal faktual yang jawabannya sudah ada di dalam lembar materi. Siswa hanya tinggal menyalin jawaban dan tentu saja tidak ada pedoman kegiatan yang melibatkan seluruh kemampuan siswa. LKS dapat dikatakan sebagai sumber pembelajaran karena LKS merupakan satu-satunya sumber belajar siswa dalam memperoleh ilmu dan materi pembelajaran (Mustiqon, 2012: 130). LKS dikatakan sebagai media pembelajaran karena LKS merupakan media pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan sebuah pesan atau materi yang ada di dalam LKS tersebut kepada siswa (Sadiman, 2005:6). Maraknya penggunaan LKS dalam proses pembelajaran di kelas yang terjadi saat ini bertujuan untuk mengetahui pergeseran fungsi LKS oleh seorang guru. Hali ini juga disampaikan oleh Yuningsih Anggraeni dari Universitas Semarang tahun 2005/2006 dengan judul Analisis LKS Biologi Kelas VII Semester I yang Digunakan SMP Negeri di Kota Semarang Tahun Pelajaran 2005/2006. Pembahasan yang terdapat dalam penelitian tersebut adalah pergeseran fungsi LKS oleh seorang guru. Sehingga dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian isi LKS dengan kurikulum, tingkat pengaktifan siswa pada isi LKS dan persentase jenjang soal latihan berdasarkan muatan kognitif, psikomotorik dan afektif. Kesimpulan bahwa LKS biologi SMP kelas VII semester 1 yang digunakan SMP Negeri di kota Semarang tahun pelajaran 2005/2006 memiliki tingkat kesesuaian dengan kurikulum 2004 cukup, memiliki tingkat pengaktifan siswa sedang pada kategori petunjuk kegiatan dan gambar, tetapi masih rendah pada kategori soal-soal latihannya, serta jenjang soal yang tidak proporsional. Adapun saran yang bisa diberikan yaitu, adanya perbaikan pada isi LKS, terutama yang menyangkut aspek pengaktifan siswa.

8 17 Hal serupa juga disampaikan oleh Ni Made Sastri Dwi Sari dari Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja tahun 2013 dengan judul Pantaskah LKS Konvensional Digunakan Sebagai Sumber Ajar? : Analisis Kesesuaian Konten LKS Konvensional Fisika SMA di Kota Singaraja Terhadap Tujuan Pembelajaran Kurikulum. Tujuan diusulkannya PKM-P ini adalah untuk mendeskripsikan kesesuaian LKS Konvensional Fisika SMA di Kota Singaraja dengan tujuan pembelajaran fisika kurikulum Berbeda dengan buku paket, LKS sebagai salah satu sumber ajar dalam kurikulum 2013 tidak disediakan oleh pemerintah pusat. Guru diberikan wewenang untuk menyusun LKS secara mandiri (Indriyani, 2013). Kebijakan ini menimbulkan permasalahan bagi guru. Banyaknya administrasi yang harus dilengkapi guru dalam kurikulum 2013 menyebabkan kurangnya kesempatan bagi guru untuk menyusun LKS, sehingga kebanyakan guru memilih untuk menggunakan LKS konvensional secara langsung dapat dibeli di pasaran (Prastowo dalam Indriyani, 2013). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan LKS konvensional memiliki keterbatasan dalam meningkatkan kompetensi dan karakteristik siswa. Materi, pertanyaan-pertanyaan bimbingan dan tugas-tugas dalam LKS konvensional tidak sesuai dengan kebutuhan siswa dan tidak kontekstual (Prastowo dalam Indriyani, 2013), sehingga kurang meningkatkan kompetensi siswa yang seharusnya dapat ditingkatkan seoptimal mungkin. LKS konvensional tidak terstruktur dengan baik. Studi pendahuluan menyatakan bahwa LKS konvensional telah digunakan oleh sebagian besar SMA Negeri di Kota Singaraja dalam pembelajaran fisika. Kedua penelitian tersebut menekankan pada bergesernya fungsi LKS serta layak dan tidaknya LKS konvensional digunakan oleh seorang guru mata pelajaran. Sedangkan pada penelitian ini menekankan pada maraknya penggunaan LKS sebagai satu-satunya sumber dan media pembelajaran. 2. Tindakan Rasionalitas Max Weber dalam Penggunaan LKS. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori tindakan rasionalitas Max Weber untuk menjawab permasalahan yang telah dipaparkan penulis dalam

9 18 rumusan masalah. Seorang guru tentunya sangat berperan aktif dalam pemilihan dan penggunakan LKS sebagai sumber dan media pembelajaran di kelas. Peran dari seorang guru dalam pemilihan dan penggunaan buku LKS tersebut pasti juga terdapat sebuah landasan, pertimbangan, serta tujuan dalam pemilihannya. Oleh karena itu, disini penulis menggunakan teori tindakan rasionalitas Max Weber untuk mengetahui atau menjawab alasan pemilihan buku LKS sebagai sumber dan media pembelajaran dari seorang guru serta dampak dari penggunaan buku LKS tersebut bagi seorang guru dan siswa dalam pembelajaran. Setiap ahli teori yang mau mendasarkan analisisnya mengenai pola-pola institusional dalam masyarakat pada orientasi-orientasi subyektif individu atau pola-pola motivasional, akan menghadapi masalah yang bermacam-macam dan kompleks. Weber memilih konsep rasionalitas sebagai titik pusat perhatiannya yang utama. Karena kriteria rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti subyektif. (Lawang, 2004:207). 1. Tindakan sosial melalui pemahaman subyektif Sosiologi merupakan suatu ilmu yang hadir secara bersamaan untuk memahami makna subyekyif manusia yang diatributkan pada tindakantindakannya dan sebab-sebab obyektif serta konsekuensi dari tindakannya. Perlu diingat bahwa makna juga merupakan suatu komponen kausal dari suatu tindakan. Definisi Weber yang terkenal tentang tindakan tersebut adalah sebagai berikut suatu tindakan sosial itu merupakan suatu tindakan yang subyektif yang juga melingkupi tindakan yang lainnya dan diorientaskan dalam bentuk tindakan sosial. (Zeitlin, 1995:254). Dalam Lawang (2004:214) disebutkan bahwa Weber sangat tertarik pada masalah-masalah sosiologis yang luas mengenai struktur sosial dan

10 19 kebudayaan, tetapi dia melihat bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari individu-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Dia mendefinisikan sosiologi sebagai : Suatu ilmu pengetahuan yang berusaha memperoleh pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan demikian bisa sampai ke suatu penjelasan kausal mengenai arah dan akibat-akibatnya. Dengan tindakan dimaksudkan semua perilaku manusia, apabila atau sepanjang individu yang bertindak itu memberikan arti subyektif kepada tindakan itu.... Tindakan itu disebut sosial karena arti subyektif tadi sehubungan dengannya oleh individu yang bertindak,.... memperhitungkan perilaku orang lain dan karena itu diarahkan ke tujuannya. (Lawang, 2004:214) Aspek pemikiran Weber yang paling terkenal yang mencerminkan tradisi idealis adalah tekanannya pada pemahaman subyektif sebagai metoda untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan sosial. Bagi Weber, istilah ini tidak hanya sekedar merupakan introspeksi. Introspeksi bisa memberikan seseorang pemahaman akan motifnya sendiri atau arti-arti subyektif, tetapi tidak cukup untuk memahami arti-arti subyektif dalam tindakan-tindakan orang lain. Sebaliknya, apa yang diminta adalah empati, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Proses itu menunjuk pada konsep mengambil peran yang terdapat dalam interaksionisme simbolik. (Lawang, 2004:216). Istilah yang subyektif, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Weber, merupakan suatu hal yang penting. Sebab dengan cara ini akan membedakan secara tegas orang yang mengabaikan arti dalam mempelajari manusia dengan orang yang meyakini bahwa arti itu merupakan suatu yang obyektif dan mutlak. Menurut Weber demikian pula Scheler, etika, estetika, dan beberapa cabang budaya itu kebenaran dan kevaliditasannya tidak ditentukan oleh standar transidental metafisika. Subyektif itu merujuk kepada makna dari aktor-aktor itu sendiri yang memberikan atribut pada tindakan mereka dimana

11 20 ini mengartikan bahwa seorang sosiolog haruslah berusaha keras untuk memahaminya. (Zeitlin, 1995:255). Tindakan sosial atau perilaku sosial (Soziales Handeln) ialah tindakan atau perilaku, dimana arti subyektif yang terlibat, berkaitan dengan pribadi orang lain atau dengan golongan lain. Ada dua makna, dimana arti tindakan dapat dianalisis; dianalisis dalam acuan kepada arti konkrit yang dimiliki oleh tindakan bagi tiap orang pelaku tertentu, ataupun dalam kaitan dengan suatu jenis ideal dari arti subyektif dari pihak seorang pelaku hipotesis. Tindakan sosial meliputi setiap jenis perilaku manusia, yang dengan penuh arti diorientasikan kepada perilaku orang-orang lain, yang telah lewat, yang sekarang, dan yang diharapkan di waktu yang akan datang. (Giddens, 1986:186) Bagi Weber, konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif dan juga merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Tipe-tipe tindakan sosial meliputi : 1. Rasionalitas Instrumental Tingkat rasionalitas yang paling tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Weber menjelaskan : Tindakan diarahkan secara rasional kesuatu sistem dari tujuantujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja,

12 21 dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif. (Lawang, 2004:220). Weber menyebut bentuk tindakan yang khas dari mentalis rasional dengan Zweckrationales Handeln, atau tindakan yang bertujuan rasional. Secara umum, hal ini di dasarkan suatu asumsi bahwa kondisi yang dimiliki oleh manusia itu akan dapat diramalkan caracara mereka bertindak. Model tindakan yang bersifat rasional juga mendorong kita untuk mengetahui tindakan yang tidak rasional, yang digambarkan sebagai suatu awal menuju pada tipe ideal tersebut. (Zeitlin, 1995:256). Dalam perilaku rasional ini, sang aktor secara rasional menilai, menjajagi hasil-hasil yang mungkin dari suatu tindakan tertentu dalam kaitan perhitungan sarana ke arah sasaran. Dalam hal mendapatkan suatu tujuan tertentu, biasanya ada beberapa sarana alternatif untuk mencapai tujuan itu. Aktor yang menghadapi alternatif-alternatif itu, mempertimbangkan efektivitas relatif dari tiap sarana yang mungkin untuk mencapai tujuan itu dan mempertimbangkan pula akibat-akibat dari perolehan sarana itu bagi sasaran lain yang dipegang oleh yang bersangkutan.(giddens, 1986;187) Tindakan rasional bersifat instrumental adalah tindakan yang ditujukan pada pencapaian tujuan-tujuan yang secara rasional diperhitungkan dan diupayakan sendiri oleh aktor yang bersangkutan. (Bachtiar, 2010:257) 2. Rasionalitas yang Berorientasi Nilai Dibandigkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting bahwa alat-alatya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar; tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir

13 22 bersifat nonrasional dalam hal ini dimana seseorang tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang harus dipilih. Lebih lagi, komitmen terhadap nilai-nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan, efisiensi, dan sebagainya tidak relevan. Juga orang tidak memperhitungkannya (kalau niliai-nilai itu benar-benar bersifat absolut) dibandingkan dengan nilai-nilai alternatif. Individu memperhitungkan alat untuk mencapai nilai-nilai seperti itu, tetapi nilai-nilai itu sendiri sudah ada. (Lawang, 2004,221). Weber menyebut tindakan rasionalitas nilai ini dengan Wertrationales Handeln. Dalam tipe ini sang aktor memiliki suatu komitmen untuk menanggulangi tujuan akhir atau nilai-nilai. Pemahaman tindakan ini lebih mudah dan sangat mirip dengan puncak tujuan yang dimiliki oleh sang aktor. (Zeitlin, 1995:256) Tindakan rasional nilai ini di arahkan kepada suatu ideal yang berada di atas segala-galanya, dan tidak memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan lain apa pun. Hal ini masih merupakan tindakan rasional, karena tindakan itu melibatkan adanya objektifobjektif yang logis, ke arah mana seorang aktor menyalurkan kegiatannya. (Giddens, 1986;187) 3. Tindakan Tradisional Tindakan tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non rasional. Kalau seseorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti itu digolongkan sebagai tindakan tradisional. Individu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta, dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya. Apabila kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan dan institusi mereka diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai

14 23 kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Satusatunya pembenaran yang perlu adalah, bahwa inilah cara yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyang kami, dan demikian pula nenek moyang mereka sebelumnya: ini adalah cara yang sudah begini dan akan selalu begini terus. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningktnya rasionalitas instrumental. (Lawang, 2004;221). Tipe dari tindakan ketiga ini yaitu suatu tindakan yang dapat dipahami dalam tema-tema makna subyektif dari aktor-aktor tersebut. Cara-caranya sangat khusus dan praktik. Praktiknya telah begitu melekat dan bersifat kebiasaan sehingga ia tidak diorientasikan seluruhnya kepada tindakan yang bermakna. Tipe ini meliputi beberapa tindakan yang tersusun dari suatu kesadaran diri yang bersifat kebiasaan sampai kepada quasi otomatis (otomatis yang semu) yang berulang-ulang. (Zeitlin, 1995:257) Tindakan tradisional dilakukan di bawah pengaruh adat dan kebiasaan. Hal ini berkenaan dengan jumlah yang sangat banyak dilakukan sehari-hari, yang telah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang. Dalam jenis ini, arti tindakan itu berasal dari ideal-ideal atau perlambangan-perlambangan yang tidak mempunyai bentuk logis tertentu yang dimiliki oleh tindakan yang dilakukan dalam rasionalitas nilai. Sepanjang nilai-nilai tradisional menjadi dirasionalisasi, maka tindakan tradisionalnya bergabung dengan tindakan rasional nilai. (Giddens, 1986:188). 4. Tindakan Afektif Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Tindakan ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya

15 24 pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya. Lawang, 2004;221) Tindakan afektif ini merupakan suatu sumbangan yang penting dalam memahami jenis dan kompleksitas manusia. Dalam memahami afektual ini, sebagaimana yang ada dalam rasionalitas, maka empati intuisi simpatik itu diperlukan. Empati seperti ini tidaklah terlalu sulit, jika kita sendiri lebih tanggap terhadap reaksi-reaksi emosional. (Zeitlin, 1995:257). Tindakan kasih sayang adalah tindakan yang dilakukan di bawah goncangan sesuatu jenis keadaan perasaan, dan berada di garis batas perilaku yang mempunyai dan yang tidak mempunyai arti. (Giddens, 1986:187) Akhirnya suatu pemfokusan terhadap makna subyektif aktor tidak harus dikontruksikan bahwa aktor tersebut selalu menyadari terhadap tujuan dan maksud tindakan mereka. Tipologi tindakan Weber dengan secara jelas mengizinkan adanya tingkatan kesadaran yang bisa dipertimbangkan dalam dikotomi sadar dan tidak sadar. Dalam memfokuskan makna tidak berarti mengabaikan suatu fakta bahwa aktor sering tidak memiliki tujuan terhadap konsekuensi-konsekuensi tindakannya bahkan mereka tidak menyadarinya.(zeitlin, 1995:258). 3. Kerangka Berpikir Sumber dan media pembelajaran merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran di kelas. Guru biasanya menggunakan LKS sebagai satu-satunya acuan dan panduan dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam pemilihan sumber dan media pembelajaran ini tentunya guru memiliki alasan dan pertimbangan. Dalam pembelian buku LKS, seorang guru mata pelajaran bekerja sama dengan penerbit untuk menghasilkan atau mencetak buku LKS tersebut. Maraknya penggunaan LKS dalam proses pembelajaran dianggap sebagai suatu tindakan rasionalitas dari seorang guru mata pelajaran. LKS sebagai sumber belajar yang

16 25 dianggap lebih lengkap dari segi materi dan soalnya dari pada buku paket dan lebih praktis serta tidak menyulitkan bagi guru dan siswa dalam memberi atau menerima materi pembelajaran. Gambar Kerangka Berpikir. Teori Rasionalitas Maraknya Penggunaan LKS dalam Proses Pembelajaran Penggunaan LKS dalam proses pembelajaran Alasan guru menggunakan LKS dalam proses pembelajaran Dampak Penggunaan LKS bagi guru dan siswa Pembelajaran hanya bertumpu pada LKS Anggapan LKS lebih lengkap dan praktis dibanding buku paket 1. Guru tidak inovatif dan malas membuat soal 2. Siswa menjadi tidak kritis

17 26

Kata kunci : Pembelajaran, LKS, Tindakan Rasionalitas

Kata kunci : Pembelajaran, LKS, Tindakan Rasionalitas PENGGUNAAN LKS SEBAGAI TINDAKAN RASIONALITAS GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN (Kajian Fenomenologi di SMA N 7 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016). Tomi Wursito Adi Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIOLOGI

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIOLOGI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BIOLOGI CHAPTER 5 Pengembangan dan Pemanfaatan LKS Husni Mubarok, S.Pd., M.Si. Tadris Biologi IAIN Jember APA YANG ANDA KETAHUI TENTANG LKS?? Pengertian LKS Lembaran yg berisi pedoman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Tindakan Sosial Max Weber Dalam hal ini kaitanya antara teori tindakan sosial dengan persepsi masyarakat tentang calon bupati mantan koruptor adalah termasuk relevan. Yang mana

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Upaya panjang dan kesungguhan yang telah penulis lakukan selama mengerjakan tugas akhir kuliah ini, penulis mendapatkan berbagai macam pengalaman dan ilmu maka dari hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Metode Jigsaw Metode (Yunani: methodos = jalan, cara) dalam filsafat dan ilmu pengetahuan metode artinya cara memikirkan dan memeriksa suatu hal menurut rencana

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER. Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER. Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER A.Kajian Teori Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan dengan temapembahasan dalam penelitian ini dengan menggunakan teori tindakan sosial

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran yaitu terlaksana tidaknya suatu perencanaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran yaitu terlaksana tidaknya suatu perencanaan 10 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran yaitu terlaksana tidaknya suatu perencanaan pembelajaran. Karena perencanaan, maka pelaksanaan pengajaran menjadi baik dan efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran ekonomi selama ini berdasarkan hasil observasi di sekolahsekolah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran ekonomi selama ini berdasarkan hasil observasi di sekolahsekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran ekonomi selama ini berdasarkan hasil observasi di sekolahsekolah menengah atas cenderung bersifat monoton dan tidak menghasilkan banyak kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dasar sebagai jenjang pendidikan formal pertama sistem pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dasar sebagai jenjang pendidikan formal pertama sistem pendidikan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah dasar sebagai jenjang pendidikan formal pertama sistem pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan memberikan kemampuan dasar baca, tulis, hitung, pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran IPA Terpadu adalah pembelajan IPA dengan situasi lebih alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong peserta didik membuat hubungan antara cabang IPA yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dalam pengembangan kemampuan berfikir kreatif, kritis, serta

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dalam pengembangan kemampuan berfikir kreatif, kritis, serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran Biologi merupakan pembelajaran yang memiliki fungsi yang penting dalam pengembangan kemampuan berfikir kreatif, kritis, serta inovatif, agar tercapainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar, 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar, mengingat kemampuan memahami dari peserta didik di Indonesia hanya berada ditingkat kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan mutu pendidikan merupakan masalah serius di negara-negara berkembang terutama di Indonesia. Menurut Sanjaya (2010), salah satu masalah yang dihadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Guru sebagai agen pembelajaran merasa terpanggil untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dengan berbagai upaya. Salah satu upaya tersebut adalah mengoptimalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita bangsa yang harus terus

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita bangsa yang harus terus 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita bangsa yang harus terus dilaksanakan untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Mencerdaskan bangsa merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha untuk mempersiapkan peserta didik melalui suatu pengajaran maupun suatu latihan, guna menyiapkan mereka di masa depan. Pendidikan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. antara seseorang dengan sumber belajarnya. Dalam kegiatan pembelajaran,

1. PENDAHULUAN. antara seseorang dengan sumber belajarnya. Dalam kegiatan pembelajaran, 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu sendiri terjadi karena adanya interaksi antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. salah satu tujuan pembangunan di bidang pendidikan. antara lain: guru, siswa, sarana prasarana, strategi pembelajaran dan

I. PENDAHULUAN. salah satu tujuan pembangunan di bidang pendidikan. antara lain: guru, siswa, sarana prasarana, strategi pembelajaran dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, berbudi luhur, cerdas, kreatif dan bertanggung jawab merupakan salah satu

Lebih terperinci

Ari Kusyono A

Ari Kusyono A PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN CARD SORT DENGAN PENGGUNAAN MACRO MEDIA FLASH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN SALING KETERGANTUNGAN DALAM EKOSISTEM PADA SISWA KELAS VII SMPN 3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran merupakan kunci keberhasilan sumber daya manusia untuk mengikuti perkembangan zaman. Pembelajaran memiliki peran serta mendidik siswa agar menjadi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan bersifat sangat penting demi terwujudnya kehidupan pribadi yang mandiri dengan taraf hidup yang lebih baik. Sebagaimana pengertiannya menurut Undang-undang

Lebih terperinci

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak 53 BAB II Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak Untuk menjelaskan fenomena yang di angkat oleh peneliti yaitu ZIARAH MAKAM Studi Kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 37 ditegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung lancarnya proses belajar mengajar disekolah. Seperti yang dikemukakan Norris

BAB I PENDAHULUAN. mendukung lancarnya proses belajar mengajar disekolah. Seperti yang dikemukakan Norris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Untuk mendapatkan proses belajar mengajar yang efektif di sekolah dibutuhkan guru yang mampu mendidik secara profesional dan mempunyai kemampuan dan kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di era globalisasi sekarang ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di era globalisasi sekarang ini menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan di era globalisasi sekarang ini menyebabkan meningkat dan bervariasinya kebutuhan manusia. Hal tersebut mendorong tumbuhnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh Penerapan Media Komik Terhadap Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Tematik Terpadu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaruh Penerapan Media Komik Terhadap Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Tematik Terpadu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum senantiasa berganti sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sifat dinamis melekat pada kurikulum, yakni harus selalu menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu menghadapi berbagai tantangan serta mampu bersaing.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dan merupakan suatu kegiatan yang mempunyai hubungan dengan proses berpikir, serta keterampilan ekspresi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang besar peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang besar peranannya dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Fisika merupakan salah satu cabang sains yang besar peranannya dalam kehidupan, terlebih di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang berkembang dengan pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah. mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah. mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti kurikulum KTSP dengan kurikulum 2013 dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan cepat dan mudah dari berbagai sumber dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam. hidupnya. Oleh karena itu, semua manusia di bumi pasti sangat

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam. hidupnya. Oleh karena itu, semua manusia di bumi pasti sangat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Adanya pemberian pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan akademis dan psikologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada dasarnya pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru, dalam menyampaikan suatu materi untuk diajarkan kepada siswa dalam suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengetahuan IPA yang sering disebut sebagai produk dari sains, merupakan

I. PENDAHULUAN. Pengetahuan IPA yang sering disebut sebagai produk dari sains, merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengetahuan IPA yang sering disebut sebagai produk dari sains, merupakan hasil dari aktivitas para ilmuan. Produk sains dapat dicapai dengan pembelajaran yang fokus pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, ada beberapa unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu mulai dari penyajian kurikulum yang tepat, pengadaan sarana

Lebih terperinci

Fatihah Indah Rohmani K

Fatihah Indah Rohmani K PENGARUH PENAMBAHAN VARIASI PENGALAMAN BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA DI KELAS XI IPA SMA NEGERI I KARANGANYAR Skripsi Oleh: Fatihah Indah Rohmani K43030329 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

peningkatan kualitas kehidupan, serta pertumbuhan tingkat intelektualitas, dimensi pendidikan juga semakin kompleks. Hal ini tentu membutuhkan desain

peningkatan kualitas kehidupan, serta pertumbuhan tingkat intelektualitas, dimensi pendidikan juga semakin kompleks. Hal ini tentu membutuhkan desain Eni Sukaeni, 2012 Penggunaan Model Penemuan Konsep BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kualitas kehidupan, serta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berarti tengah, perantara, atau pengantar atau dengan kata lain media

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berarti tengah, perantara, atau pengantar atau dengan kata lain media BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Media Pembelajaran 1. Pengertian Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa latin medium yang secara harfiah berarti tengah, perantara, atau pengantar atau dengan kata lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase. operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase. operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang dicitacitakan. oleh bangsa Indonesia, banyak hal yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang dicitacitakan. oleh bangsa Indonesia, banyak hal yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang dicitacitakan oleh bangsa Indonesia, banyak hal yang harus dilakukan dan diperhatikan dalam proses belajar mengajar,

Lebih terperinci

2014 PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF PEMBELAJARAN CERITA PENDEK BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK

2014 PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF PEMBELAJARAN CERITA PENDEK BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Potret pembelajaran sastra di berbagai sekolah (di Indonesia) selama ini terlihat buram dan sedih. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Alwasilah (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Biologi merupakan suatu cabang ilmu yang banyak mengandung konsep

BAB I PENDAHULUAN. Biologi merupakan suatu cabang ilmu yang banyak mengandung konsep BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biologi merupakan suatu cabang ilmu yang banyak mengandung konsep yang harus dipahami siswa. Pemahaman dan penguasaan terhadap konsep tersebut akan mempermudah siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kurikulum merupakan ciri utama pendidikan disekolah, dengan kata lain kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan atau pengajaran. Pemerintah telah berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM yang dimaksud adalah peserta didik sebagai ouput pendidikan. Dengan SDM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan hendaknya mampu mendukung pembangunan di masa mendatang. Oleh karena itu, pendidikan harus mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan dengan sikap terbuka dari masing-masing individu. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan dengan sikap terbuka dari masing-masing individu. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses pembelajaran bagi setiap individu yang bisa didapat dari pengajaran, pelatihan maupun pengalaman yang didapat untuk mengembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga ilmu kimia bukan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Era globalisasi yang saat ini tengah berlangsung, banyak sekali memunculkan masalah bagi manusia. Manusia dituntut untuk meningkatkan kualitas dirinya agar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal)

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahasa tidak hanya berasal dari kata-kata yang dikeluarkan oleh ucapan (vokal) namun juga menggunakan, isyarat atau bahasa gambar. Peradapan manusia kuno sebelum mengenal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Pemahaman Pemahaman terhadap suatu pelajaran diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Paradigma pendidikan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Paradigma pendidikan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paradigma pendidikan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Perubahan paradigma dalam dunia pendidikan menuntut adanya perubahan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi pendidikan yang intinya untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Dalam landasan teori ini diuraikan teori-teori yang diungkapkan para ahli dari berbagai sumber yang mendukung penelitian. Landasan teori tersebut terdiri atas berbagai

Lebih terperinci

Menurut Hamalik (1994) belajar merupakan suatu pertumbuhan atau perubahan dalam

Menurut Hamalik (1994) belajar merupakan suatu pertumbuhan atau perubahan dalam BAB II KAJIAN PUSTAKA 1. Pengertian Belajar Matematika Menurut Hamalik (1994) belajar merupakan suatu pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam bertingkah laku yang baru berkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau kualitas pendidikan yang masih rendah. Rendahnya kualitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Metode Pembelajaran Drill And Practice Pengertian Metode Pembelajaran Drill And Practice

BAB II KAJIAN TEORI Metode Pembelajaran Drill And Practice Pengertian Metode Pembelajaran Drill And Practice BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Metode Pembelajaran Drill And Practice 2.1.1. Pengertian Metode Pembelajaran Drill And Practice Sebelum mendefinisikan tentang metode drill, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Kemampuan Menulis Deskripsi Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan kita berusaha dengan diri sendiri (Moeliono, 2005: 707). Menulis merupakan keterampilan berbahasa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar Para ahli dalam bidang belajar pada umumnya sependapat bahwa perbuatan belajar itu adalah bersifat komplek, karena merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia, dengan kata

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia, dengan kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat penting dalam kehidupan manusia bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia, dengan kata lain, kebutuhan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam perkembangannya, ternyata banyak konsep matematika diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpikir yang melibatkan berpikir konkret (faktual) hingga berpikir abstrak tingkat

BAB I PENDAHULUAN. berpikir yang melibatkan berpikir konkret (faktual) hingga berpikir abstrak tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan manusia diera global seperti saat ini menjadi kebutuhan yang amat menentukan bagi masa depan seseorang dalam kehidupannya, yang menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail dinyatakan bahwa siswa yang masuk pendidikan menengah, hampir 40 persen putus sekolah. Bahkan yang

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 8 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 8 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 8 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan manfaat sosiologi dalam kehidupan. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pendidikan sains di Indonesia mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pemahaman tentang sains dan teknologi melalui pengembangan keterampilan berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan dan menghasilkan peserta didik yang memiliki potensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan dan menghasilkan peserta didik yang memiliki potensi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maju mundurnya suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan orang-orang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan orang-orang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penindasan bangsa lain, pada era global ini harus mempertahankan. identitas nasional dalam lingkungan yang kolaboratif.

BAB I PENDAHULUAN. penindasan bangsa lain, pada era global ini harus mempertahankan. identitas nasional dalam lingkungan yang kolaboratif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bangsa-bangsa yang pada masa lalu dibangun sebagian besar akibat penindasan bangsa lain, pada era global ini harus mempertahankan identitas nasional dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik,

BAB I PENDAHULUAN. sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu Negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pembuka dalam penelitian yang dilakukan. Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan juga mengalami perubahan-perubahan ke arah yang maju. Perubahan ini ditandai dengan gejolak berbagai macam kurikulum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menghadapi tantangan masa depan dalam era globalisasi dan canggihnya teknologi komunikasi dewasa ini, menuntut individu untuk memiliki berbagai keterampilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau prinsip-prinsip baru yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian baru

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau prinsip-prinsip baru yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian baru 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengembangan Penelitian adalah semua kegiatan pencarian, penyelidikan, dan percobaan secara alamiah dalam suatu bidang tertentu, untuk mendapatkan fakta-fakta atau prinsip-prinsip

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, dengan teknologi dan komunikasi yang canggih tanpa mengenal

BAB I PENDAHULUAN. sangat pesat, dengan teknologi dan komunikasi yang canggih tanpa mengenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuntutan dan tantangan dalam dunia pendidikan saat ini semakin kompleks, karena harus berpacu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dalam masyarakat tentang matematika sebagai pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dalam masyarakat tentang matematika sebagai pelajaran yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama ini matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian besar siswa. Anggapan demikian tidak lepas dari persepsi yang berkembang dalam masyarakat

Lebih terperinci

2015 PENGEMBANGAN ASSESMEN KINERJA UNTUK MENILAI KETERAMPILAN PROSES SAINS TERINTEGRASI SISWA PADA KONSEP EKOSISTEM

2015 PENGEMBANGAN ASSESMEN KINERJA UNTUK MENILAI KETERAMPILAN PROSES SAINS TERINTEGRASI SISWA PADA KONSEP EKOSISTEM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Biologi merupakan salah satu cabang dari ilmu sains. Sains banyak dipandang orang sebagai kumpulan pengetahuan. Sains mengandung proses dan produk. Sebagai

Lebih terperinci

Penerapan metode pembelajaran kooperatif Group Investigation

Penerapan metode pembelajaran kooperatif Group Investigation Penerapan metode pembelajaran kooperatif Group Investigation (GI) dalam meningkatkan kompetensi mata pelajaran ekonomi pada siswa kelas VII SMP Negeri 16 Surakarta tahun pelajaran 2005/2006 Oleh : Islamiyatun

Lebih terperinci

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN

BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN BAB IV PROSES PENGEMBANGAN MODEL PENILAIAN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN Dalam bab ini diuraikan proses pengembangan model penilaian otentik dalam pembelajaran membaca pemahaman yang telah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya diperoleh beberapa kesimpulan berikut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan manusia seutuhnya bertujuan agar individu dapat mengekspresikan dan mengaktualisasi diri dengan mengembangkan secara optimal dimensi-dimensi kepribadian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rendahnya daya serap siswa, kesalahan pemahaman dan rendahnya. kemampuan siswa dalam menerapkan konsep-konsep baik dalam kehidupan

I. PENDAHULUAN. rendahnya daya serap siswa, kesalahan pemahaman dan rendahnya. kemampuan siswa dalam menerapkan konsep-konsep baik dalam kehidupan 11 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekhawatiran para pendidik dan pemerhati pendidikan berkaitan dengan rendahnya daya serap siswa, kesalahan pemahaman dan rendahnya kemampuan siswa dalam menerapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2010), hlm. 1. Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 20.

BAB I PENDAHULUAN. 2010), hlm. 1. Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 20. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar adalah suatu proses kompleks yang terjadi pada diri setiap orang dan berlangsung sepanjang hidupnya. Proses belajar dapat terjadi kapan saja dan di mana saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SD merupakan titik berat dari pembangunan masa kini dan masa mendatang.

BAB I PENDAHULUAN. SD merupakan titik berat dari pembangunan masa kini dan masa mendatang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan kualitas pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan termasuk SD merupakan titik berat dari pembangunan masa kini dan masa mendatang. Banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. relevan, serta mampu membangkitkan motivasi kepada peserta didik.

BAB I PENDAHULUAN. relevan, serta mampu membangkitkan motivasi kepada peserta didik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari waktu ke waktu begitu pesat, sehingga berdampak kepada jalannya proses penerapan pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar, terencana untuk mewujudkan proses belajar dan hasil belajar yang optimal sesuai dengan karekteristik peserta didik. Dalam proses pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Biologi sebagai salah satu bidang IPA menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk memahami konsep dan proses sains. Keterampilan proses ini meliputi keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi informasi beberapa tahun belakangan ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi informasi beberapa tahun belakangan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi beberapa tahun belakangan ini berkembang dengan pesat, sehingga dengan perkembangan ini telah mengubah paradigma masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. problema pendidikan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi

BAB I PENDAHULUAN. problema pendidikan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan selalu mengalami pembaharuan dalam rangka mencari struktur kurikulum, sistem pendidikan dan metode pengajaran yang efektif dan efisien. Upaya tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal kehidupan umat manusia berabad- abad silam, untaian sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal kehidupan umat manusia berabad- abad silam, untaian sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah fenomena fundamental dalam kehidupan manusia. Sejak awal kehidupan umat manusia berabad- abad silam, untaian sejarah menggambarkan bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan judul penelitian ini, Motivasi Individu Bergabung dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan judul penelitian ini, Motivasi Individu Bergabung dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan judul penelitian ini, Motivasi Individu Bergabung dalam Komunitas Penggemar Tim Sepakbola (studi kasus: Lima Anggota Fansclub United Indonesia chapter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari tuntutan kehidupan manusia. Kebutuhan memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari tuntutan kehidupan manusia. Kebutuhan memperoleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari tuntutan kehidupan manusia. Kebutuhan memperoleh pendidikan sangat dirasakan penting bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum yang berlaku di Indonesia mulai tahun ajaran 2013/2014 adalah kurikulum 2013. Kurikulum 2013 ini mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama yaitu perencanaan atau

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan 1. Penjelasan Judul Perancangan Pendidikan PAUD saat ini sangatlah penting, sebab merupakan pendidikan dasar yang harus diterima anak-anak. Selain itu untuk

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING UNTUK MELIHAT DAYA SERAP SISWA KELAS VIII-1 SMP NEGERI 29 MEDAN

PENERAPAN MODEL STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING UNTUK MELIHAT DAYA SERAP SISWA KELAS VIII-1 SMP NEGERI 29 MEDAN PENERAPAN MODEL STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING UNTUK MELIHAT DAYA SERAP SISWA KELAS VIII-1 SMP NEGERI 29 MEDAN T.SERI AMINAH Guru SMP Negeri 29 Medan Email : bangunsardiana@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, lulusan dari

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, lulusan dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut Quisumbing (Kunandar, 2011:10), pendidikan memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memprihatinkan. Guru dengan lancarnya menerangkan berbagai macam teori,

BAB 1 PENDAHULUAN. memprihatinkan. Guru dengan lancarnya menerangkan berbagai macam teori, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kondisi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah masih terlihat memprihatinkan. Guru dengan lancarnya menerangkan berbagai macam teori, sementara

Lebih terperinci