BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal"

Transkripsi

1 BAB 3 REJIM KERJASAMA PERIKANAN REGIONAL PLAN OF ACTION (RPOA) TO PROMOTE RESPONSIBLE FISHING COMBATING ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED (IUU) FISHING Dalam bab sebelumnya dibahas mengenai bagaimana terjadinya praktik penangkapan ikan ilegal di Indonesai dan kawasan Asia Tenggara dan ditemukan bahwa dengan nilai kerugian ekonomi negara dan kawasan yang besar serta implikasi-implikasi negatif lainnya, maka praktik penangkapan ikan ilegal merupakan pelanggaran yang sangat serius dan membutuhkan penanggulangan yang komprehensif. Maka, dalam Bab 3 ini akan dibahas upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal melalui koridor Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region, sebagai upaya regional negara-negara Asia Tenggara dalam mengatur perilaku negara dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hayati perikanan di Asia Tenggara. Dalam bab ini akan dibahas mengenai rejim RPOA, faktor terbentuknya rejim ini dan ketentuan-ketentuan apa saja yang diatur dalam rejim ini Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal Satu hal yang masih menjadi permasalahan sebagian ahli bahwa isu praktik penangkapan ikan ilegal masih belum diformulasikan oleh PBB sebagai suatu transnational organizaed crime (TOC), sehingga secara resmi praktik penangkapan ikan ilegal belum diterima masyarakat internasional, walaupun studi keamanan kontemporer telah memasukkan isu praktik penangkapan ikan ilegal ke dalam komponen ancaman yang membahayakan keamanan maritim. Beragam respon internasional mengenai penanggulangan berbagai praktik penangkapan ikan ilegal sebenarnya telah ada sejak tahun 1982 pada saat disepakatinya

2 59 UNCLOS. Berikut tabel mengenai ketentuan-ketentuan internasional yang dijadikan acuan dalam upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. Tabel 3.1 Ketentuan Internasional terhadap Praktik Penangkapan Ikan Ilegal Tahun Hasil 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea 1995 United Nations Fish Stock Agreement 1995 FAO Code of Conduct 2001 FAO International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing 2001 MCS Network 2003 FAO Compliance Key instruments yang disebutkan diatas merupakan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan perikanan yang bertanggung jawab, dengan UNCLOS sebagai dasar dari keberlakuan ketentuan-ketentuan dibawahnya. Seperti contoh, FAO melalui kerangka International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing telah membentuk sebuah rejim internasional yang mengatur tentang bagaimana seharusnya praktik penangkapan ikan dilaksanakan dan bagaimana tata cara penyelesaian sengketa apabila timbul masalah penangkapan ikan, terutama yang terkait dengan praktik penangkapan ikan ilegal. Dalam IPOA diatur bahwa negara-negara bertanggung jawab dan mematuhi ketentuan-ketentuan internasional yang telah ada dan diterapkan seperti UNCLOS 1982, UN Fish Stocks 1995 dan FAO Compliance Agreement 1993 dan harus diimplementasikan secara penuh dan efektif Upaya Regional Penanggulangan Praktik Penangkapan Ikan Ilegal Asia Tenggara melalui RPOA Kawasan Asia Tenggara dipandang sebagai kawasan yang potensial untuk dilakukan kegiatan penangkapan ikan. Hal ini didasari oleh Daya Dukung Lingkungan (DDL) kawasan ini yang masih memungkinkan untuk diadakannya kegiatan penangkapan ikan, bila dibandingkan dengan kawasan lain yang sudah tidak potensial dan tidak didukung oleh lingkungan laut. Negara-negara di kawasan kemudian menyadari bahwa upaya penanggulangan terhadap praktik

3 60 penangkapan ikan ilegal tidak dapat dilakukan sendiri di dalam negeri, melainkan harus dilakukan dengan cara bekerja sama dengan negara lain. Upaya kerja sama ini perlu dilakukan karena sifat kejahatan penangkapan ikan ilegal yang telah melintasi batas negara dan sifat sumber daya ikan itu sendiri yang bermigrasi jauh dari batas yurisdiksi suatu negara yang imajiner masuk ke wilayah yurisdiksi negara lain. Penanggulangan terhadap praktik penangkapan ikan ilegal pun tidak dilakukan dengan koridor militer atau mengangkat senjata. Hal ini lebih kepada sifat penangkapan ikan ilegal yang lebih ke arah ekonomis dan pemenuhan kebutuhan. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada praktik penangkapan ikan ilegal memang telah menyentuh kedaulatan suatu negara pantai, seperti pelanggaran yurisdiksi, masuk ke wilayah laut teritorial dan melakukan penangkapan ikan, namun tidak lantas memerlukan penyelesaian pelanggaran dengan cara penempatan militer. Praktik penangkapan ikan akan dapat ditanggulangi secara efektif dan efisien dengan upaya-upaya preventif dan kerjasama. Selain kerja sama regional yang beranggotakan negara-negara dunia, kerjasama dalam aspek kelautan dan perikanan juga berada di Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Secara umum, RFMO bergerak pada prinsip untuk membangun perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan dan perannya adalah mengelola konservasi sumber daya perikanan. 1 Sebagai anggota RFMO, negara-negara pantai mempunyai keterikatan dalam menyediakan informasi tentang terjadinya praktik penangkapan ikan ilegal di wilayah perairannya kepada RFMO. Selain untuk beberapa spesies ikan yang hidup dan bermigrasi lintas kawasan, boleh dikatakan bahwa saat ini hampir seluruh perairan dunia yang merupakan habitat spesies-spesies ikan utama telah diatur atau dikelola oleh dan melalui RFMO, bahkan ada kawasan atau perairan yang diatur lebih dari satu RFMO. Informasi ini patut diberikan secara transparan oleh negara pantai karena peran RFMO pun telah semakin meningkat dalam upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. Pada awalnya, peran RFMO hanya seputar pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi sumber daya perikanan. 1 Victor P. H. Nikijuluw. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal: Blue Water Crime. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo, Hlm 162.

4 61 Namun, sekarang ini dengan adanya tuntutan pasar, kuota pasar pun ikut ditentukan oleh RFMO. Selain itu, karena maraknya praktik penangkapan ikan, yang diantaranya juga menggunakan teknik dan metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif, maka akhir-akhir ini sangat besar perhatian RFMO terhadap praktik penangkapan ikan ilegal. Hal ini semakin membuat RFMO mempunyai peran yang besar dalam upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. Tercatat, di dunia telah ada 50 RFMO. Namun, dari ke-50 RFMO tersebut, hanya ada 10 (sepuluh) diantaranya yang memiliki kapasitas untuk melakukan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi yang berkaitan dengan perikanan laut lepas dan jenis ikan bermigrasi jauh. Ikan tuna adalah jenis ikan yang terdapat di banyak perairan dunia dan berupaya melintasi samudera dan karena itu, dikelola oleh lebih dari satu RFMO. Sepuluh RFMO yang cukup besar dan banyak kegiatannya dalam pencegahan praktik penangkapan ikan ilegal adalah sebagai berikut: Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT); Indian Ocean Tuna Commission (IOTC); Commission for Conservation and Management Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pacific Ocean, sering disingkat dengan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WPCFC); Commission for the Conservation of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR); International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT); Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO); North-East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC); General Fisheries Commission for the Mediterranean (GFCM); South-East Atlantic Fisheries Organization(SEAFO); dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). RFMO merupakan organisasi internasional yang bergerak di bidang perikanan, yang beranggotakan negara-negara pantai yang memiliki sumber daya ikan yang perlu dijaga keberlangsungannya. Selain beranggotakan negara, RFMO juga beranggotakan organisasi-organisasi lain yang mempunyai kepentingan akan

5 62 sumber daya ikan. Pada umumnya, keanggotaan negara-negara yang tergabung dalam RFMO bersifat contracting party, dimana negara-negara tersebut tetap berada dalam koridor hukum postifinya apabila terjadi permasalahan atau sengekta bidang perikanan yang terjadi di wilayah perairan negaranya, namun negara-negara anggota RFMO mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap organisasi tersebut. Kewajiban tersebut antara lain penyediaan informasi praktik penangkapan ikan ilegal tepat waktu, sedikitnya satu kali dalam satu tahun kepada RFMO dan FAO. Informasi yang dimaksud menyangkut beberapa hal, sebagai berikut: Hasil estimasi besaran dan sifat praktik penangkapan ikan ilegal di kawasan yang menjadi kompetensi RFMO; Aksi nyata yang telah dilakukan untuk meniadakan, memerangi dan mencegah praktik penangkapan ikan ilegal; Daftar kapal negara yang diberi otoritas menangkap ikan di kawasan yang menjadi kompetensi RFMO; dan Daftar kapal yang melakukan penangkapan ikan ilegal. 2 Menurut McDorman (2005), demi simplifikasi dan memperhatikan otoritas setiap RFMO, terdapat 2 (dua) aspek penting yang merupakan fokus keputusan RFMO. Kedua aspek penting tersebut adalah: Penentuan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB); dan Penetapan dan pemberlakuan langkah dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, jumlah upaya penangkapan, musim penangkapan, musim tidak menangkap, morotarium, serta pembatasan ikan yang ditangkap. 3 Pada umumnya, perairan yang menjadi wilayah kompetensi RFMO adalah ZEE suatu negara pantai dan laut lepas (high seas). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang ditetapkan oleh RFMO di ZEE tentu harus sejalan dengan yang telah ditetapkan oleh negara pantai pemilik hak berdaulat terhadap suatu 2 Victor P. H. Nikijuluw. Ibid. Hlm T. L. McDorman. Implementing Existing Tools: Turning Words into Actions. Paper at Converence on the Governance of High Seas Fisheries and the UN Fish Stock Agreement, Canada, 1-5 May

6 63 perairan ZEE dan penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut bukan merupakan tindakan yang melangkahi wewenang negara pantai sebagai pemilik hak berdaulat terhadap ZEE. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang ditetapkan oleh RFMO berkaitan dengan upaya RFMO untuk menjaga keberlangsungan eksistensi sumber daya ikan agar tidak mengalami overfishing. Apabila terdapat praktik penangkapan ikan ilegal yang terjadi di perairan kompetensi RFMO, maka RFMO akan meminta negara anggota RFMO untuk mengambil tindakan tegas terhadap kapal penangkap ikan yang melakukan praktik penangkapan ikan ilegal tersebut. Bila dilihat dari tugas dan fungsi RFMO yang sampai ke tahapan menentukan JTB dan menentukan ketentuan-ketentuan teknis lainnya, seperti penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, jumlah upaya penangkapan, musim penangkapan, musim tidak menangkap, morotarium, serta pembatasan ikan yang ditangkap, maka peran RFMO tidak bisa dianggap remeh. Dalam hal menentukan JTB, peran RFMO ini sama dengan negara yang juga menetapkan JTB yang disesuaikan dengan potensi sumber daya hayati perikanan dan kemampuan nelayan dan kapal penangkapnya dalam melakukan penangkapan ikan. RFMO juga menentukan ketentuan-ketentuan teknis yang juga ditentukan oleh negara dalam memberikan kesempatan pemanfaatan sisa JTB kepada ngara lain. Peran RFMO yang makin meluas ini harus diyakini sebagai upaya membantu peran negara pantai untuk menciptakan kondisi perikanan dalam negeri yang baik, dan tidak boleh dipandang sebagai upaya tumpang tindih peran. Apabila negara dan RFMO dapat menjalankan hubungan ini dengan baik, tidak mungkin dapat menekan angka praktik penangkapan ikan ilegal. RFMO dan negara dapat saling memberikan informasi dan alih teknologi yang mendukung upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. Seperti dapat diketahui, RFMO merupakan sebuah organisasi yang didukung oleh teknologi, yang mungkin saja belum dimiliki oleh negara dan beranggotakan beberapa negara yang dapat saling memberikan informasi yang diperlukan. RFMO dan RPOA sama-sama rejim perikanan yang bertanggung jawab atas terciptanya praktik penangkapan ikan yang memperhatikan kelestarian sumber daya perikanan dan memperhatikan ketentuan dalam bidang kelautan dan perikanan yang berlaku.

7 64 Namun, ada aspek penting yang membedakan kedua rejim ini. RFMO dan RPOA memang beranggotakan negara-negara peserta, namun RFMO lebih bersifat organisasi berbentuk LSM dan RPOA merupakan kesepakatan negara-negara yang diwakili pemerintah masing-masing negara sebagai pengambil keputusan. Selain eksistensi RFMO yang telah menjadi organisasi pendukung terciptanya kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab, sebagai upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal yang semakin marak terjadi di Asia Tenggara, negara-negara yang tergabung dalam kawasan tersebut sepakat untuk bekerjasama dan mengikatkan dirinya dalam kerjasama regional penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. Kerjasama tersebut tidak hanya dilatarbelakangi oleh keinginan negara dalam bertukar informasi dan alih teknologi saja, namun lebih karena karakteristik kerjasama di Asia Tenggara yang membutuhkan kerjasama maritim. Hal ini karena kondisi geografis Asia Tenggara yang sebagian besar berupa semi-enclosed sea dan sebagian besar wilayah laut Asia Tenggara yang masuk menjadi kedaulatan suatu negara atau beberapa negara, merupakan jalur lalu lintas perdagangan dunia, seperti contohnya Selat Malaka. Dalam konteks Selat Malaka, ada 2 (dua) latar belakang diadakannya kerjasama maritim. Pertama, posisi geografis Selat Malaka yang berada dibawah 3 (tiga) yurisdiksi yang berbeda, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura dan menempatkan tanggung jawab pengamanan selat ini berada di tiga negara tersebut. Kedua, karena Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran strategis dunia yang memiliki posisi penting dalam konteks hubungan antar negara dan bangsa dan posisi penting tersebut mempengaruhi dinamika stabilitas nasional, regional dan global. 4 Kondisi ini membuat Indonesia, Malaysia dan Singapura merasa perlu melakukan kerjasama maritim. Latar belakang pertama adalah posisi Selat Malaka yang berada dalam tiga yurisdiksi sekaligus karena wilayah Selat Malaka bersinggungan dengan tiga negara diatas. 5 Latar belakang kedua karena tiga negara tersebut merasa dengan posisi strategis 4 Zainuddin, Ardius. Konsepsi Strategi Penanganan Keamanan Selat Malaka. Makalah Seminar Create a Regional Information Network to Manage Safe and Efficient Navigation along Malacca Strait, Jakarta 22 Juni Ed. Laode Kamaluddin. Jakarta: KAHMI dan CEMERS, Hlm Kondisi ini menjadi konsekuensi dari penetapan zona-zona wilayah laut dalam UNCLOS, seperti laut teritorial dan zona tambahan.

8 65 Selat Malaka rentan terhadap berbagai macam bentuk ancaman yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan. Dengan kata lain, dalam konteks diatas, faktor terlaksananya kerjasama maritim yang dilakukan tiga negara tersebut didasari atas kondisi geografis dan kondisi politis Selat Malaka. Dari kondisi diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kondisi geografis dan kondisi politik memainkan peranan penting dalam kerjasama maritim di kawasan, dan tidak hanya dilatarbelakangi karena kebutuhan akan pertukaran informasi dan alih teknologi saja. Lingkungan strategis regional, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sangat penting dalam kaitan dengan kerjasama maritim antar negara di Asia Tenggara. Lingkungan Asia Tenggara menyimpan potensi munculnya negaranegara yang mulai mencari pengaruhnya dalam berbagai bidang. Seperti telah diketahui, Cina berambisi untuk menjadi suatu kekuatan ekonomi di Asia, sebagai tandingan kekuatan ekonomi Amerika Serikat di Barat. Begitu pun yang terjadi di Asia Tenggara. Di kawasan ini berpotensi muncul beberapa negara yang mulai mencari pengaruh untuk menjadi negara yang diperhitungkan. Dalam konteks maritim di Asia Tenggara, ada 2 (dua) negara yang mempunyai kepentingan sebagai kekuatan maritim, yaitu Indonesia dan Australia. Kepentingan menjadi kekuatan maritim di Asia Tenggara bagi kedua negara ini adalah karena dua negara ini memiliki kepentingan yang besar atas sumber daya hayati perikanan di Asia Tenggara. Kepentingan akan sumber daya hayati perikanan, oleh kedua negara ini diimplementasikan dalam kerjasama perikanan dan kerjasama dalam penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal. Australia dan Indonesia berpendapat bahwa negara-negara di Asia Tenggara memerlukan kerjasama dalam mencari solusi menanggulangi praktik penangkapan ikan ilegal dan mengembangkan praktik penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Kemudian, disetujui bahwa joint regional action merupakan pendekatan terbaik dalam mengatasi permasalahan ini, dengan catatan bahwa dengan kerjasama dapat meminimalisir pengeluaran negara dan kesulitan negara-negara menerapkan penegakan hukum dalam upaya memerangi nelayan yang melakukan praktik

9 66 penangkapan ikan ilegal. 6 Kerjasama tersebut diberi nama Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing in the Region. Kerja sama RPOA merupakan adopsi dari International Plan of Action (IPOA) to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Langkah adopsi rejim internasional tersebut ke dalam rejim regional merupakan amanat yang diatur secara tegas dalam IPOA ketentuan mengenai Cooperation between States. 7 Dalam ketentuan Cooperation between States Number , IPOA to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing mengamanatkan bahwa dalam rangka koordinasi, negara-negara melakukan: Pertukaran data atau informasi, mengenai kapal perikanan yang sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku; Kerjasama dalam manajemen dan verifikasi data dan informasi dalam kegiatan penangkapan ikan; Kerjasama dalam transfer keahlian dan teknologi; Kerjasama dalam pembuatan kebijakan; Mengembangkan mekanisme kerja sama dalam merespon prkatik penangkapan ikan ilegal; dan Kerja sama dalam monitoring, control and surveillance (MCS), termasuk melalui perjanjian atau kesepakatan internasional. Pada tahap implementasi Mei 2008, RPOA masuk ke dalam Coordination Committee (CC) Meeting pertama, yang secara singkat menyepakati tentang: Struktur dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) organisasi untuk implementasi RPOA, dimana materi pokok struktur dan tupoksi tersebut dirancang oleh Indonesia; Prioritas Aksi Regional, yang terkait dengan pelaksanaan; - Strengthening monitoring, control and surveillance (MCS) system; - Coastal states responsibilities; 6 APEC Fisheries Working Group. Assessment of Impacts of Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Asia-Pacific. Asia-Pacific Economic Cooperation Secretariat, Hlm Selain adopsi ke dalam rejim regional, IPOA to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing juga mengamanatkan negara-negara menetapkan National Plans of Action.

10 67 - Regional capacity building; - Current resource and management situation in the region; dan - Port state measures. Pembagian kawasan RPOA-IUU Fishing menjadi 3 (tiga) sub-region, yaitu: - sub-kawasan Teluk Thailand dan sekitarnya di Laut Cina Selatan bagian selatan dengan koordinator Thailand; - sub-kawasan Laut Cina Selatan bagian Timur dan Laut Sulu-Sulawesi dengan koordinator Malaysia; dan - sub-kawasan Laut Arafura-Timor dengan koordinator Australia. Pertemuan setiap tahun dan masing-masing negara menyiapkan anggaran untuk implementasi RPOA di masing-masing negara, serta untuk menghadiri pertemuan dalam rangka implementasi RPOA; Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan kedua Coordination Committee pada akhir April 2009; Sekretariat untuk implementasi RPOA berada di Indonesia; SEAFDEC yang berperan memberikan saran (advisory roles) dalam implementasi RPOA menginformasikan bahwa SEAFDEC Governing Council sepakat membentuk Regional Advisory Committee dan menyetujui keterlibatan SEAFDEC dalam implementasi RPOA. 8 Secara umum, RPOA berisi tentang pembukaan, yang mencantumkan latar belakang negara-negara membentuk kerjasama, yaitu bagaimana sumber daya hayati perikanan memiliki kontribusi tinggi dalam pemenuhan kebutuhan akan ikan di kawasan. RPOA juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan atas perlindungan sumber daya hayati perikanan dan lingkungan laut yang berkelanjutan. Dalam bagian Action Plan RPOA, perhatian utama RPOA ada di permasalahan illegal fishing dan overfishing dan bagaimana kedua praktik tersebut telah dengan serius menghabiskan stok ikan di Asia Tenggara. Action Plan RPOA menggarisbawahi bahwa kerjasama negara-negara seputar kerjasama dalam menyusun sebuah overview of artisanal dan industri penangkapan ikan, status stok ikan saat ini, dan alur perdagangan ikan dan pasar. Di dalam bagian Action Plan juga, RPOA 8 Workshop MCS: Implementasi Rencana Aksi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab. Majalah Barracuda Volume 5 No. 1 Juli Hlm 48.

11 68 mengamanatkan negara-negara untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam key instruments, dalam upaya membangun perikanan yang berkelanjutan. Key instruments tersebut, antara lain: UNCLOS; UN Fish Stocks Agreement; FAO Compliance Agreement; FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries; IPOA to Prevent, Deter and Eliminate IUU-Fishing; IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabirds in Longline Fisheries; IPOA for the Conservation and Management of Sharks; dan IPOA for the Management of Fishing Capacity. RPOA juga menentapkan RFMO yang relevan dengan RPOA adalah the Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dan the Agreement Establishing the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Negara-negara di Asia Tenggara diamanatkan untuk meratifikasi, aksesi dan/atau acceptance dan full implementation UNCLOS dan UNFSA, ketentuan-ketenuan RFMO, dan perjanjian regional dan multilateral lainnya. Negara-negara juga harus bekerja sama dengan organisasi regional dalam rangka mengembangkan konservasi dan ketentuan-ketentuan untuk mengatur stok ikan dalam upaya memaksimalkan pemanfaatan, antara lain FAO/APFIC, WCPFC, IOTC, APEC, ASEAN, INFOFISH, the South East Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) dan WorldFish Center. Menurut RPOA, manajemen dan ketersediaan data dan informasi yang akurat merupakan hal yang penting dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan dan menanggulangi praktik penangkapan ikan ilegal. Data yang akurat mengenai jumlah kapal penangkap ikan dan kegiatan penangkapan ikan sangat diperlukan dalam upaya menegakkan perikanan yang bertanggung jawab. Pertukaran data ikan yang bermigrasi jauh yang melintasi batas yurisdiksi negara juga penting adanya, selain informasi-informasi teknis lainnya. Data-data tersebut merupakan kewajiban yang harus disediakan oleh negara pantai, selain juga mengatur fishing capacity yang dapat dilakukan di perairannya. Negara yang

12 69 menjadi post-harvest atau port-state memainkan peran yang penting dalam upaya menanggulangi praktik penangkapan ikan ilegal dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Port-state mengembangkan ketentuan dalam mengatur kapal-kapal penangkap ikan yang masuk ke pelabuhan negara yang bersangkutan dalam rangka transhipping dan/atau mendaratkan tangkapan, untuk mengumpulkan datadata teknis terkait kapal dan jumlah ikan yang ditangkap. Dalam upaya ini, portstate harus mengaopdsi ketentuan dalam the FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing. Dalam upaya meminimalisir penangkapan ikan ilegal dan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, negara-negara harus bekerjasama dalam implementasi ketentuan-ketentuan regional market untuk mengidentifikasi dan menelusuri dari mana ikan yang ditangkap dalam marketing chain melalui hukum perdagangan internasional yang berlaku. Sebagai prioritas utama, negara-negara harus mempunyai dokumen standar terkait dengan penangkapan dan pendaratan ikan dan negara-negara harus bekerja sama dengan organisasi regional. Waktu November 2006 Maret 2007 Tabel 3.2 Perkembangan dan Agenda RPOA tahun Kegiatan Senior Official Meeting I RPOA (masih bersifat inisiasi) Senior Official Meeting II RPOA (masih bersifat inisiasi) Mei 2007 Senior Official Meeting III RPOA dan Regional Agustus 2007 November 2007 Maret 2008 April 2008 Juni 2008 Juli 2008 September 2008 Ministerial Meeting (sudah berupa endorsement) Pertemuan RPOA Workshop RPOA RPOA Monitoring, Control and Suveillance (MCS) Workshop RPOA 1 st Coordination Committee Meeting Intercessional meeting sekretariat RPOA Peluncuran website RPOA Sub-Regional Meeting on Regional Plan of Action (RPOA)

13 70 and Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in The Southern and Eastern Area of the South China Sea and The Sulu-Sulawesi Sea Februari 2009 Sub-Regional Arafura-Timor Sea Meeting on MCS Reporting and Actions Maret 2009 Report to COFI April nd RPOA Coordination Committee Meeting Juni 2009 Sub-Regional Meeting on Southern and Eastern Area of The South China Sea and Sulu-Sulawesi Sea 2009 Capacity Building Workshop 2009 Fishing Vessel Register Development 2009 Develop funding options for capacity building 2009 MCS Curriculum Development Agustus 2009 International Workshop on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing Sumber: P2SDKP, DKP RI Bila dilihat dari ketentuan-ketentuan kerjasama yang ditetapkan dalam RPOA, seperti dalam ketentuan mengenai pertukaran data atau informasi, ketentuan mengenai manajemen data dan ketentuan mengenai kerjasama transfer keahlian dan teknologi, maka dengan kata lain RPOA merupakan kerjasama dalam tataran kerangka kerja konsultatif (consultative arrangement). Begitu pula jika melihat Tabel 3.2 Perkembangan dan Agenda RPOA tahun diatas, terlihat bahwa lingkup kerja RPOA masih berada dalam tahap confidence building measures (CBM). Berdasarkan uraian tabel diatas, kegiatan yang bersifat workshop atau pelatihan masih sangat minim. Kegiatan RPOA juga masih seputar menyamakan visi dalam bentuk pertemuan-pertemuan. Namun, dalam berbagai pertemuan yang telah dilakukan beberapa kali sejak akhir tahun 2006 tersebut, sampai saat ini belum dapat merumuskan satu ketentuan penting, yaitu aspek penyelesaian sengketa (dispute settlement). Sampai saat ini jika terdapat sengketa dalam kegiatan penangkapan ikan, seperti tertangkapnya kapal asing, maka penyelesaian masalah tersebut masih diatur

14 71 dalam kerangka hukum nasional dan hukum laut internasional. 9 Kondisi sebuah international regime yang masih dalam tahapan CBM dapat dipahami ketika dalam dokumen awalnya telah mencantumkan aspek-aspek penting yang diperlukan oleh sebuah rejim. Bila dilihat dari dokumen RPOA yang telah disepakati negara-negara anggota hanya satu indikator variabel yang muncul yaitu hak dan kewajiban negara pantai dan negara bendera. Menurut Mirza Satria Buana, dalam kerangka hukum internasional, cara penyelesaian sengketa dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: Penyelesaian sengketa dengan jalur politik (political dispute settlement). Dalam penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur politik, keputusannya banyak diwarnai dan dipengaruhi oleh pertimbanganpertimbangan politik sebagai dasarnya. Penyelesaian sengketa secara politik dapat dilakukan dengan cara, antara lain negosiasi atau perundingan, mediasi, jasa-jasa baik, konsiliasi, penyelidikan dan penyelesaian sengketa di bawah pengawasan PBB. 10 Penyelesaian sengketa dengan jalur hukum internasional (international law dispute settlement). Hukum internasional sebagai suatu acuan dasar dalam hubungan internasional dan berfungsi sebagai tata tertib koordinatif sering kali muncul sebagai jalan tengah untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa-sengketa antar negara di dunia. Biasanya penyelesaian sengketa dengan jalur hukum akan diambil apabila mekanis-mekanisme-mekenisme negoisasi, mediasi, jasa-jasa baik dan perdamaian/jalur politik tidak membuahkan hasil yang memuaskan atau gagal. Adapun mekanisme penyelesaian sengketa dengan jalur hukum dapat dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme, yaitu dengan mekanisme arbitrase internasional dan mekanisme International Court of Justice (ICJ) Wawancara melalui dengan Edwin Suharyadi, staf Sekretariat RPOA-IUU Fishing pada tanggal 27 April Mekanisme penyelesaian sengketa di bawah pengawasan PBB ditempuh apabila semua proses penyelesaian sengketa jalur politik telah diusahakan tetapi masih saja sengketa belum terselesaikan atau ada pihak yang merasa tidak mendapatkan rasa keadilan dari proses-proses tersebut. 11 Mirza Satria Buana. Hukum Internasional: Teori dan Praktik. Banjarmasin: FH Unlam Press, Hlm

15 72 Penjelasan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa melalui jalur politik diberikan oleh Boer Mauna, dimana menurutnya penyelesaian politik sengketa-sengketa internasional dibagi menjadi 3 (tiga) seksi, yaitu (1) penyelesaian dalam kerangka antar negara, (2) penyelesaian dalam kerangka organisasi PBB, dan (3) penyelesaian dalam kerangka organisasi-organisasi internasional. 12 Dalam konteks penelitian ini akan dibahas mengenai penyelesaian dalam kerangka organisasi-organisasi internasional. Pasal 33 Piagam PBB menetapkan bahwa salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional secara damai adalah melalui pengaturan regional (regional arrangement) serta campur tangan organisasi-organisasi dan badan-badan regional. Selain itu, Bbab VIII Piagam PBB juga menetapkan hal yang sama, khususnya Pasal 52, yang merujuk pada penyelesaian sengketa internasional melalui regional arrangements dan regional agencies. Istilah regional arrangement atau pengaturan regional memberi pengertian perjanjian (agreement) yang dibuat secara bilateral maupun multilateral, dimana negara-negara yang terletak dalam suatu kawasan tertentu sepakat untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka tanpa melibatkan institusi lainnya yang permanen atau organisasi regional sebagai badan hukum internasional. 13 Dalam lingkup yang lebih luas, regional arrangement memberikan pengertian sebagai perjanjian internasional mengenai masalah-masalah tertentu yang dibuat oleh negara-negara regional dengan tujuan menciptakan norma-norma hukum internasional di bidang-bidang tertentu, seperti perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), integrasi ekonomi regional dan pemanfaatan bersama sumber-sumber alam di suatu kawasan. 14 Di dalam perjanjian internasional yang mengatur kepentingan-kepentingan regional tertentu, umumnya dibuat suatu ketentuan dan prosedur penyelesaian sengketa yang timbul dari perbedaan interpretasi atau hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian yang dimaksud. Organisasi atau badan internasional yang berfungsi memelihara perdamaian dan keamanan di wilayah 12 Boer Mauna. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT Alumni, Hlm Boer Mauna. Loc cit. Hlm Boer Mauna. Ibid. Hlm 223.

16 73 tertentu umumnya memiliki mekanisme tersendiri dalam menyelesaikan sengketa internasional di antara para negara anggotanya. Mekanisme tersebut dapat dilaksanakan melalui perundingan atau negoisasi, angket (inquiry), mediasi, konsiliasi, penyelesaian secara hukum dan arbitrase atau melalui badan-badan permanan lainnya yang melibatkan pihak ketiga dan khusus dibentuk guna menyelesaikan sengketa internasional secara damai melalui forum regional. 15 Dapat dikatakan, dalam sebuah kerjasama yang diimplementasikan dalam bentuk perjanjian internasional, mekanisme penyelesaian sengketa merupakan aspek penting dalam menjaga hubungan baik yang terjalin antara negara-negara anggota. Mekanisme penyelesaian sengketa juga perlu adanya sebagai aturan main dari adanya hak dan kewajiban yang diberikan kepada negara-negara anggota, seperti yang telah disepakati bersama. Dalam konteks tidak adanya mekanisme penyelesaian sengketa dalam dokumen rejim kerjasama RPOA akan membuat semua sengketa atau permasalahan yang terjadi akan diselesaikan dengan pilihan penyelesaian melalui hukum nasional dan hukum internasional. Ciri sengketa atau permasalahan yang terjadi dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan di wilayah yang menjadi focal points RPOA memang membutuhkan penyelesaian melalui hukum nasional negara pantai karena sengketa atau permasalahan yang terjadi berada dalam yurisdiksi atau hak berdaulat suatu negara pantai. Namun, untuk mendapatkan dasar dalam melakukan proses penyelesaian sengketa atau masalah yang muncul dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati perikanan, RPOA perlu menetapkan sebuah aturan main, yang tentu saja harus sejalan dan tidak tumpang tindih dengan key instruments yang telah ada sebelumnya. Arti penting adanya mekanisme penyelesaian sengketa atau masalah dalam rejim kerjasama RPOA karena masalah yang dibahas dalam RPOA, yaitu pemanfaatan sumber daya hayati perikanan melalui kegiatan penangkapan ikan, cenderung memiliki potensi konflik yang besar, yang dapat mempengaruhi perilaku dan hubungan antar aktor dalam rejim ini. Bentuk mekanisme 15 Boer Mauna. Ibid. Hlm

17 74 penyelesaian sengketa yang paling sesuai dengan ciri rejim RPOA adalah mekanisme penyelesaian sengketa secara hukum karena permasalahan yang mencuat dalam rejim kerjasama ini merupakan pelanggaran dan tindak pidana. Bila tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa, maka RPOA hanya akan berupa consultative arrangement dan upaya penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal yang seharusnya dilakukan secara komprehensif tidak akan berjalan dengan efektif. RPOA tidak menjadi rejim conflict resolution, walaupun dalam rejim ini menyimpan potensi konflik. Penting adanya bagi RPOA memperkuat rejimnya melalui mekanisme penyelesaian sengketa dalam rangka membentuk rejim conflict resolution. Hal ini dikarenakan bila penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumber daya hayati perikanan berada di negara (dalam hal ini, pemerintah negara pantai), maka penanggulangan praktik penangkapan ikan ilegal tidak bersifat integratif, karena tidak memperhatikan karakteristik praktik penangkapan ikan ilegal yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal, Unreported, and

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan penangkapan ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah dalam Penulisan Hukum ini, Penulis memiliki kesimpulan sebagi berikut : 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN Pandapotan Sianipar, S.Pi Kasi Pengawasan Usaha Pengolahan, Pengangkutan, dan Pemasaran Wilayah Timur, Direktorat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara memiliki arti strategis bagi industri perikanan, karena wilayah

Lebih terperinci

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING) t \.. REPUBU K INDONESIA KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING) DAN UNTUK MEMAJUKAN TATA KELOLA PERIKANAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.668,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Australia begitu gencar dalam merespon Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing), salah satu aktivitas ilegal yang mengancam ketersediaan ikan

Lebih terperinci

DEWI INDIRA BIASANE NPM.

DEWI INDIRA BIASANE NPM. KERJASAMA MARITIM ASIA TENGGARA DALAM PENANGGULANGAN PENANGKAPAN IKAN ILEGAL STUDI KASUS: PRAKTIK PENANGKAPAN IKAN ILEGAL DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TESIS Diajukan sebagai salah

Lebih terperinci

perikanan berkelanjutan, dan keterlibatan tingkat tinggi dan kerja sama perikanan pada tingkat operasional.

perikanan berkelanjutan, dan keterlibatan tingkat tinggi dan kerja sama perikanan pada tingkat operasional. REPUBLIK. INDODSIA KOMUNIKE BERSAMA Mengenai Kerja Sama untuk Memerangi Illegal, Unregulated dan Unreported (IUU) Fishing dan untuk Memajukan Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan Kami, Perwakilan dari Pemerintah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.307, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kapal Penangkap. Pengangkut. Ikan. Pemantau. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang mengakibatkan kerugian lingkungan, sosial dan ekonomi yang signifikan (APFIC,2007).

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17 Daftar lsi leata PENGANTAR DAFTAR lsi v vii BAB I SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1 BAB II PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17 A. Pendahuluan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisasi Internasional Kebijakan umum Pemerintah Republik Indonesia pada organisasiorganisasi internasional didasarkan pada Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Illegal Fishing Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian ikan (illegal fishing), namun juga penangkapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Jakarta, 29 Agustus 2017 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP Status Indonesia di RFMOs Status : Member (PerPres No. 9/2007) Status : Member (PerPres N0.61/2013) IOTC

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut Arafura merupakan salah satu bagian dari perairan laut Indonesia yang terletak di wilayah timur Indonesia yang merupakan bagian dari paparan sahul yang dibatasi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan memulai penelitian yang berjudul Kerjasama Maritim Asia Tenggara dalam Penanggulangan Penangkapan Ikan Ilegal, Studi Kasus: Praktik Penangkapan Ikan Ilegal di Wilayah Pengelolaan

Lebih terperinci

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Diajukan oleh : Ignatius Yogi Widianto Setyadi NPM : 10 05 10376 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. global dalam dunia perikanan. Berdasarkan data dari United Nations Food and

PENDAHULUAN. global dalam dunia perikanan. Berdasarkan data dari United Nations Food and PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Illegal Unregulated Unreported (IUU) fishing sudah menjadi fenomena global dalam dunia perikanan. Berdasarkan data dari United Nations Food and Agriculture Organization (FAO)

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA Oleh : Dr. Dina Sunyowati,SH.,MHum Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum-Universitas Airlangga Email : dinasunyowati@gmail.com ; dina@fh.unair.ac.id Disampaikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diakibatkan dari Illegal Fishing yang dari tahun ketahun terus mengalami

BAB V PENUTUP. diakibatkan dari Illegal Fishing yang dari tahun ketahun terus mengalami BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Sejak meningkatnya ancaman kejahatan maritim di kawasan Selat Malaka pada tahun 2000, dan juga mempertimbangkan dampak dan kerugian yang diakibatkan dari Illegal Fishing yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi. Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap dilakukan. Salah satu alasan

Lebih terperinci

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb No.1618, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KKP. Penangkapan. Ikan. Log Book. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/PERMEN-KP/2014 TENTANG LOG BOOK PENANGKAPAN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur saat ini telah menjadi perhatian dunia.

Lebih terperinci

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL Oleh: FEBRY ANDRIAWAN 0810012111022 PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1072, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN PERIKANAN. Kapal Perikanan. Pendaftaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar ketiga di dunia yang memiliki luas laut mencapai 7.827.087 km 2 dengan jumlah pulau sekitar 17.504 pulau. Garis pantainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini mengenai implementasi kebijakan publik. Penelitian implementasi kebijakan dilakukan atas kegiatan pemerintah dalam mengatasi fenomena penangkapan ikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF 1. Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security

Lebih terperinci

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN 7/11/2017 MENINGKATKAN KEMAMPUAN DAN KOORDINASI ANTAR KEMEBTERIAN/LEMBAGA DALAM PENANGANAN ABK ASING PELAKU ILLEGAL FISHING DISAMPAIKAN OLEH DR.YUSTINUS SUSILO SH., MH PADA ACARA RAPAT KORDINASI NASIONAL

Lebih terperinci

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN2089-3590 EISSN 2303-2472 IMPLIKASI KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM RFMO TERHADAP PENGEMBANGAN HUKUM PERIKANAN NASIONAL Irawati Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Melalui penelitian mengenai peran ASEAN dalam menangani konflik di Laut China Selatan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Sengketa di Laut China Selatan merupakan sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Illegal fishing merupakan masalah klasik yang sering dihadapi oleh negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejak dulu. Namun hingga

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9

BAB V PENUTUP. kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 BAB V PENUTUP Kesimpulan Indonesia merupakan negara maritim yang didalamnya menyimpan kekayaan laut yang sangat melimpah. Dengan luas wilayah Indonesia adalah 7,9 juta km² yang terdiri dari 1,8 juta km²

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing dan untuk Memajukan

Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing dan untuk Memajukan REPUBLIK INDONESIA KOMUNIKE BERSAMA Mengenai Kerja Sama lnternasional Sukarela untuk Memerangi Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing dan untuk Memajukan Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Pengelolaan sumber daya perikanan dan antisipasi krisis perikanan global, menuntut pemerintah Indonesia menjadi bagian dari organisasi pengelolaan perikanan regional

Lebih terperinci

Rekomendasi Kebijakan 2013

Rekomendasi Kebijakan 2013 DIPLOMASI INDONESIA - KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DALAM FORUM REGIONAL FISHERIES MANAGEMENT ORGANIZATIONS (RFMOs) Sasaran Rekomendasi: Kebijakan yang terkait dengan prioritas nasional. Ringkasan

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi telah menjadi fenomena yang terjadi secara global yang cukup mempengaruhi tatanan dunia hubungan internasional dewasa ini. Globalisasi merupakan proses

Lebih terperinci

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING TAHUN 2012-2016

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.20/MEN/2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN TEKNIS PENYELENGGARAAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN BAGI PENYELENGGARA

Lebih terperinci

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN Oleh: Rony Megawanto Kebijakan nasional kelautan dan perikanan Indonesia diawali dengan perjuangan kewilayahan pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh BAB V KESIMPULAN Laut memiliki peranan penting baik itu dari sudut pandang politik, keamanan maupun ekonomi bagi setiap negara. Segala ketentuan mengenai batas wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban

Lebih terperinci

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS YURISDIKSI INDONESIA DALAM PENERAPAN KEBIJAKAN PENENGGELAMAN KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh : Kadek Rina Purnamasari I Gusti

Lebih terperinci

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal Online di

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal Online di Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal. 57-63 Online di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi EFEKTIVITAS CODE OF CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES DI SAMUDERA HINDIA

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PEMAPARAN

SISTEMATIKA PEMAPARAN PENYELESAIAN BATAS MARITIM DENGAN NEGARA-NEGARA TETANGGA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MEMINIMALISIR KEGIATAN IUU FISHING I Surabaya 22 September 2014 Seminar Hukum Laut Nasional 2014 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA

RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA Lampiran Surat Nomor: Tanggal: PENANGGUNGJAWAB: KEMENTERIAN LUAR NEGERI RENCANA AKSI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA 2016 2019 NO. A. BATAS MARITIM, RUANG LAUT, DAN DIPLOMASI MARITIM A.1 PERUNDINGAN DAN PENYELESAIAN

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 /KEPMEN-KP/2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.81, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Usaha Perikanan Tangkap. Wilayah Pengelolaan Perikanan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul

Lebih terperinci

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) viii MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC) MARDIA MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENETAPAN ACCESS RIGHT DI ZEE INDONESIA

KEBIJAKAN PENETAPAN ACCESS RIGHT DI ZEE INDONESIA KEBIJAKAN PENETAPAN ACCESS RIGHT DI ZEE INDONESIA Oleh : Novianti 1 ABSTRACT Access rights are the rights of other States in the Exclusive Economic Zone of a coastal State which is governed by international

Lebih terperinci

BAB 4 REJIM RPOA-IUU FISHING SEBAGAI UPAYA MENANGGULANGI PRAKTIK PENANGKAPAN IKAN ILEGAL

BAB 4 REJIM RPOA-IUU FISHING SEBAGAI UPAYA MENANGGULANGI PRAKTIK PENANGKAPAN IKAN ILEGAL BAB 4 REJIM RPOAIUU FISHING SEBAGAI UPAYA MENANGGULANGI PRAKTIK PENANGKAPAN IKAN ILEGAL Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana kerja rejim RPOA dalam upaya menanggulangi praktik penangkapan ikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, yaitu: Pertama, telah terjadinya pelanggaran klaim kedaulatan wilayah yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS IN THE WESTERN AND CENTRAL PENGELOLAAN SEDIAAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA AGREEMENT. Pengesahan. RI - Republik Singapura. Timur Selat Singapura. Wilayah. Laut. Garis Batas. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO V - 954 POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO Akhmad Solihin 1), Eko Sri Wiyono 2) 1) a.solihin1979@gmail.com, 08156217120, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa di Honolulu, Amerika Serikat, pada tanggal 5 September 2000, Konferensi Tingkat Tinggi Multilateral mengenai Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perubahan arah kebijakan pembangunan dari yang berbasis pada sumber daya terestrial ke arah sumber daya berbasis kelautan merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dipicu

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona 54 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari apa yang telah tertulis dalam bab pembahasan, dapat disimpulkan bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona ekonomi eksklusif Indonesia yaitu

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. 243 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah

Lebih terperinci