BAB I PENDAHULUAN. belakangan ini adalah wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. belakangan ini adalah wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Salah satu fenomena hukum di masyarakat yang mengemuka beberapa waktu belakangan ini adalah wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melimpahkan seluruh kasus korupsi yang saat ini ditangani Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Seperti diketahui bersama bahwa saat ini di Indonesia terdapat 2 (dua) jalur mekanisme hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi, yaitu melalui Peradilan Umum biasa dan melalui Peradilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK). Pada dasarnya landasan dari keberadaan Pengadilan Tipikor ini adalah karena praktek korupsi di Indonesia dianggap sudah begitu melembaga dan sistematis sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara yang demikian besar, disamping hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap komitmen para Aparat Penegak Hukum, baik Polisi, Jaksa dan Hakim dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga dianggap perlu untuk membentuk suatu pengadilan yang secara khusus menangani perkara-perkara korupsi dengan segala ciri dan pengaturannya yang khas, antara lain mengenai struktur organisasi, personil dan hukum acaranya. 1 1 Ronald Lumbuun, Suatu Analisa Yuridis Terhadap Wacana Pengadilan Korupsi Satu Atap ( Jakarta : Djambatan, 2006) Hal. 41

2 Tidak dapat dipungkiri bahwa lemahnya kinerja dari Pengadilan Umum dalam hal ini Pengadilan Negeri sangat mempengaruhi berkembangnya kasus korupsi dewasa ini, dapat kita lihat bahwa selama beberapa tahun belakangan ini dalam penanganan perkara korupsi, masih sangat mengecewakan. Baik Mahkamah Agung, maupun Pengadilan Umum dibawahnya Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Umum. Berdasarkan pemantauan dari Indonesia Corruption Watch selama tahun 2009 terdapat 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan diseluruh Indonesia, terdapat bahwa 224 terdakwa yang mendapat putusan atau divonis bebas oleh pengadilan ( 59,26 % ) dan hanya 154 terdakwa ( 40,74 % ) yang akhirnya divonis bersalah. 2 Hal tersebut tentu tidak akan memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi tersebut, karena vonis hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan perbuatan yang telah mereka perbuat. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari sejumlah perkara yang diadili oleh pengadilan umum selama tahun 2009 ini, yaitu : 1. jumlah vonis bebas atau lepas bagi terdakwa masih dominan dan mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya dimana berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch jumlah terdakwa yang mendapat vonis bebas/lepas pada tahun 2009 adalah 224 terdakwa hal ini menambah jumlah terdakwa yang dibebaskan atau dilepaskan oleh pengadilan umum sejak tahun adanya kebiasaan baru dimana terdakwa divonis ringan sesuai batas minimal penjatuhan pidana yakni 1 tahun bahkan ada yang dibawah 1 tahun sedangkan yang 2010 ), Hal. 5 2 KPK Pos, Putusan Korupsi Coreng Wajah Pengadilan Umum, Edisi 85 ( Februari

3 ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bagi pelaku korupsi yang terbukti bersalah, maka dijatuhi pidana paling sedikit 1 tahun penjara dan paling banyak 20 tahun penjara. 3. fenomena hukuman percobaan dalam perkara korupsi semakin marak pula terjadi, hingga akhir 2009 ditemukan adanya 16 koruptor yang divonis dengan hukuman percobaan. Umumnya mereka dijatuhi vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun, dengan kondisi ini maka dapat dipastikan terdakwa tidak perlu menjalani hukuman meskipun telah dinyatakan bersalah. 3 Terdapatnya disparitas Putusan Hakim dalam perkara korupsi tersebut menimbulkan suatu wacana untuk memperluas kewenangan Pengadilan Tipikor yang berdasarkan pasal 53 UU KPK secara khusus hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK dan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp ,- (satu milyar rupiah) sebagaimana diatur dalam pasal 11 huruf c UU KPK sehingga juga mengadili seluruh perkara korupsi yang diajukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. 4 Pembagian tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Negeri ini sesungguhnya adalah semata-mata untuk melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini secara lebih efektif dan efesien, dimana pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan, baik oleh Pengadilan Negeri 3 Ibid. 4 diakses tanggal 5 Maret 2010 jam 15.10

4 maupun Pengadilan Tipikor. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konsitusi. Kedudukan Pengadilan Tipikor itu sendiri telah secara jelas ditentukan melalui pasal 54 ayat (1) UU KPK berada di dalam lingkungan Peradilan Umum yang mana di dalamnya dapat diadakan pengkhususan melalui suatu Undang-Undang, diantaranya adalah Pengadilan Tipikor. Adapun yang dimaksud dengan pengkhususan disini adalah suatu diferensiasi dan spesialisasi yang terbatas pada Struktur Organisasi, Personil dan Hukum Acara guna tercapainya pemberantasan tindak pidana korupsi secara lebih efektif dan efisien, namun bukan terhadap keberadaan dari Pengadilan Tipikor yang telah secara jelas disebutkan pada pasal 54 ayat (1) UU KPK tersebut berada di dalam lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, sesungguhnya yang sangat dibutuhkan oleh Bangsa kita dewasa ini guna dapat menyelesaikan perkara korupsi secara adil dan benar menurut hukum bukanlah dengan hanya sekedar mempersoalkan tentang keberadaan dari Pengadilan Korupsi, melainkan lebih kepada adanya suatu komitmen kolektif dari para Aparat Penegak Hukum, termasuk para Hakim di setiap jalur dan tingkatan Pengadilan, untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Disamping tentunya diperlukan pula ketelitian dan kecermatan Jaksa Penuntut Umum dalam mengkonstruksi suatu dakwaan yang berkualitas sehingga mampu membuktikan adanya unsur kesalahan dari Terdakwa berkaitan dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya.

5 Semoga dengan terpenuhinya kedua hal tersebut diatas, pemberantasan segala bentuk tindak pidana korupsi di negeri ini yang memang telah begitu banyak menimbulkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional dapat segera terwujud. B. Perumusan Masalah 1. Apa Saja Peranan Dan Kewenangan Dari Pengadilan Negri dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi? 2. Bagaimana Mekanisme yang Dilakukan dalam Mengadili Tindak Pidana Korupsi di Indonesia? 3. Apakah Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya? C. Tujuan Dan Mamfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan yang akan tercapai dari penulisan skipsi ini adalah : a) Untuk mengetahui sejauh mana peranan dan kewenangan dari pengadilan negeri dalam menangani kasus korupsi b) Untuk mengetahui apa saja peranan dan kewenangan dari pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam menangani kasus korupsi

6 c) Untuk mengetahui Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya 2. Manfaat Penulisan a) Manfaat Teoritis Untuk memberikan informasi,kontribusi,pemikiran dan menambah kasanah dalam bidang pengetahuan Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan tentang Tindak Pidana Korupsi pada khususnya.sehingga diharapkan skipsi ini dapat memperkaya perbendaharaan dalam koleksi karya ilmiah yang berkaitan dengan hal tersebut. b) Manfaat Praktis 1) Untuk memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang Tindak Pidana Korupsi kepada masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan peranan nya dalam mencegah dan memberantas Tindak pidana Korupsi di Indonesia. 2) Memberikan kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum pada umum nya dan khususnya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan pihak pengadilan negeri untuk lebih meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya dalam menangani kasus korupsi demi upaya penegakan hukum yang baik. 3) Untuk membantu memberikan pemahaman tentang Efektifitas berbagai perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan mengadili

7 dalam kasus Tindak Pidana Korupsi agar lembaga-lembaga yang telah bertugas dibidangnya masing-masing lebih mampu memaksimalkan kinerjanya untuk membantu mengurangi timbulnya kasus korupsi. D. Keaslian Penulisan Skipsi dengan judul Analisis Yuridis Mengenai Dualisme Kewenangan Mengadili Tindak Pidana Korupsi Antara Pengadilan Negeri Dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum.skipsi tentang korupsi memang sudah ada sebelumnya tetapi dapat dipastikan bahwa sebenarnya substansi pembahasannya berbeda.ide dan pemikiran untuk menulis skipsi ini adalah benar-benar karya tulis penulis sendiri.oleh karena itu skipsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun akademik. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana adalah setiap perbuatan yang dapat dipidana yang diatur dalam ketentuan menurut Undang- undang ( Pasal 1KUHP ). Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak

8 akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu. 5 Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh 5 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Hal. 5

9 mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu Pegertian Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio yang artinya penyuapan,corruptore yaitu merusak 7.gejala dimana para pejabat,badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa : a) Kejahatan,kebusukan,dapat disuap,tidak bermoral,kebejatan dan ketidak jujuran b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok,dan sebagainya 9. c) Korup (busuk;suka menerima uang suap/sogok;memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. d) Korupsi ( perbuatan busuk seperti penggelapan uang,penerimaan uang sogok dan sebagainya. e) Koruptor (orang yang korupsi) Ibid, hal 6 7 Ibid, hal 8 8 S.Wojowasito WJS Poerwadarminta,Kamus Lengkap Inggris Indonesia,Indonesia Inggris, ( Bandung : Hasta.,1976 ) Hal Ibid 10 Muhammad Ali,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka Amani.,1993)1993 Hal. 135

10 Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak.jika membicarakan korupsi maka akan menemukan suatu kenyataan karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk,jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan dalam pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.dengan demikian maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yakni : a) Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan )untuk kepentingan diri sendiri b) Busuk, rusak, suka memakai uang atau barang yang dipercayakan kepadanya 11 Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan korupsi adalah perbuatan curang,tindak pidana yang merugikan keuangan negara Pegertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi adalah jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kerah putih( white collar crime), pada dasarnya jenis kejahatan ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang terhormat, mempunyai status sosial tinggi dan dilakukan dalam rangka pekerjaannya, umumnya merupakan pelanggaran kepercayaan.pengertian lain dari white collar crime antara lain sebagai berikut : 1. kejahatan yang dilakukan oleh orang yang duduk dibelakang meja. 2. kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berpangkat 11 Evi Hartanti, Op.Cit, Hal Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita.,1973),Hal. 97

11 3. kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan. 4. ditafsirkan sebagai lawan kata crime using force atau street crime (kejahatan biasa). 5. kejahatan yang dilakukan dengan teknologi canggih 6. kejahatan yang non konvensional;dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian atau mempunyai pengetahuan teknologi canggih. 7. kejahatan terselubung. Akibatnya dalam pengungkapan kasus kejahatan kerah putih, aparat penegak hukum harus bekerja ekstra keras dibandingkan dengan pengungkapan kejahatan konvensional.aparat penegak hukum seolah-olah terlebih dahulu beradu kepintaran dan kecerdikan dengan pelaku kejahatan 13. Jika kita berbicara mengenai Tindak pidana korupsi, sudah barang tentu kita harus merujuk kepada undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud atau yang digolongkan dalam tindak pidana itu.karena pada dasarnya setiap perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Dengan demikian undang-undang tersebut haruslah merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana yang bersangkutan.jika ada devenisi yang tegas dalam undang-undang itu maka kita harus melihat rumusannya dari unsur-unsur yang disebutkan dalam redaksi pasal yang mengatur mengenai suatu tindak pidana. 13 Romli atmasasmita, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi,Badan pembinaan hukum nasional Departemen Hukum dan HAM,2007

12 Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia : korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya 14 Tindak pidana korupsi itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yaitu : A. Tindak Pidana Korupsi diluar KUHP Terbagi atas beberapa sub bagian : a. Tindak Pidana Korupsi yang bersifat Umum Yang dimaksud dengan bersifat umum dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan atau aparat pemerintah/negara.artinya dapat dilakukan siapa saja dari masyarakat umum. Hal ini diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang berbunyi sebagai berikut : 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp ,00 ( dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp ,00 ( satu miliar rupiah ). 2. Dalam hal Tindak pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati diajatuhkan. b. Penyalahgunaan Kewenangan/Kekuasaan 14 S.Wojowasito WJS Poerwadarminta, Op. Cit, Hal. 167

13 Hal ini diatur pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999,yang bunyinya sebagai berikut : setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit 1 ( satu ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh )tahun dan atau denda paling sedikit Rp ,00 (lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp ,00 ( satu miliar rupiah). Berdasarkan rumusan pasal 3 di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan adalah : a) Dengan maksud : b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; c) Menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; d) Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. c. Memberi Hadiah dengan Mengingat Kekuasaan Hal ini diatur dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,yang bunyinya sebagai berikut : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaa atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp ,00 ( seratus lima puluh juta rupiah). Pada dasarnya hadiah tidak mengharapkan balasan dalam hal ini karena diberi dengan mengingat jabatan atau kedudukan berarti mengaharapkan sesuatu imbalan.dengan demikian istilah hadiah tidak

14 tepat dalam pasal ini yang tepat adalah memberikan sesuatu yang menurut Hoge Raad pada tanggal 26 April 1916 diartikan : meliputi setiap penyerahan barang sesuatu yang untuk orang lain mempunyai nilai dengan maksud sebagaimana dimuat dalam pasal ini. 15 d. Percobaan/Pembantuan/Pemufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana Korupsi Hal ini diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang bunyinya sebagai berikut : setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemukafakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3,Pasal 5 sampai Pasal 14 Penjelasan resmi atas Pasal 15 berbunyi sebagai berikut : ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 ( satu pertiga ) dari ancaman pidananya. Percobaan melakukan tindak pidana diatur oleh Pasal 35 KUHP, sedang pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP.istilah pemukafakatan dipergunakan juga dalam Pasal 110 KUHP. Penjelasan istilah kata pemukafakatan ada dimuat pada Rencana Undang-undang (RUU) KUHP penjelasan Pasal 171 ( 1-8 ),antara lain sebagai berikut :...Pemukafakatan dapat dilihat dalam pasal 22 yaitu apabila ada dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan tindak pidana Soenarto Soerodibroto,.KUHP dilengkapi Arrest-arrest Hoge Raad

15 Secara umum pemukafakatan dalam ilmu hukum pidana,masih termasuk perbuatan persiapan dan belum merupakan perbuatan pidana kecuali terhadap beberapa tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 22 RUU-KUHP-1993,yang berbunyi sebagai berikut : pemukafakatan jahat ( samenspanning,conspiracy)dapat dipidana meskipun perbuatan yang dilarang belum terlaksana sama sekali, namun niat jahat dari dua orang atau lebih itu, yang merupakan pemukafakatan jahat yang dipidana dibatasi hanya pada beberapa tindak pidana yang sangat serius dan dinyatakan dalam perumusan tindak pidana. e. Sengaja Mencegah/Merintangi/Menggagalkan Penanganan Tindak Pidana Korupsi Hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang bunyinya sebagai berikut : setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 ( dua belas ) tahun dan denda paling sedikit Rp ,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp ,00 ( enam ratus juta rupiah) Yang dihalangi/dirintangi/digagalkan tersebut adalah tersangka/terdakwa/s aksi dalam perkara korupsi. Hal ini berarti, jika tidak dalam perkara korupsi maka pasal 21 tidak dapat diterapkan atau jika masih penanganan perkara korupsi masih dalam tahap penyidikan. f. Dengan Sengaja tidak Memberi Keterangan yang Benar

16 Hal ini diatur dalam Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut : sebagai orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29,Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan paling lama 12 (dua belas ) tahun dan atau denda paling sedikit Rp ,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp ,00 ( enam ratus juta rupiah). Penjelasan resmi pasal 22 tersebut berbunyi cukup jelas berdasarkanrumusan Pasal 22, maka unsur-unsur nya adalah : a. setiap orang yang disebut Pasal 28, 29, 35, dan 56; b. dengan sengaja; c. tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar. g. Menyebut Nama atau Alamat Pelapor Hal ini diatur dalam Pasal 24,yang berbunyi sebagai berikut : saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan atau denda paling banyak Rp ,00 ( seratus lima puluh juta rupiah ). Penjelasan resmi Pasal 24 berbunyi cukup jelas. B. Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari KUHP Tindak pidana korupsi berasal dari KUHP, dapat diketahui antara lain dari : a) Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 yang rumusannya,antaralain sebagai berikut :...dengan tidak mengacu pasal-pasal...tetapi langsung menyebutkan unsurunsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 1 Butir 2.

17 b) Pasal 43B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang antara lain berbunyi sebagai berikut : Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417,418, 420, 423, 425,dan 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana...dinyatakan tidak berlaku 17 Berdasarkan rumusan diatas,maka Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 jelasjelas mengambil alih 13 (tigabelas ) pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi Tindak Pidana Korupsi. Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah : 1. setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara. 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini merdeka. Namun, sampai 17 Ibid, Pasal 43B

18 dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap pengertian korupsi masih sangat kurang. Menjadi lebih memahami pengertian korupsi juga bukan sesuatu hal yang mudah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, kebiasaan berperilaku koruptif yang selama ini dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. 4. Pengertian Pengadilan Negeri Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah : 1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan. 2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni adil yang memiliki pengertian: a. Proses mengadili. b. Upaya untuk mencari keadilan. c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan. d. Berdasar hukum yang berlaku.

19 Pembaharuan Lembaga Peradilan Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruakdalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara. Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah: 18 a. Peradilan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Peradilan agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 18 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman), UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 25 ayat 1-5.

20 c. Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. d. Peradilan tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Pengertian Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani perkara korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 19 Dalam ayat 54 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa : (1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. 19 http;/ diakses pada tanggal 13 Januari 2010 jam Wib.

21 (2) Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (3) Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden. Dimana dengan adanya pengadilan Tindak Pidana Korupsi diharapkan akan membantu untuk mengurangi timbulnya Tindak pidana korupsi di Indonesia juga untuk membantu Pengadilan Negeri dalam menangani kasus-kasus korupsi. F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Dalam penulisan skipsi ini,agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan,dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka ( library research) yang berkaitan dengan isi dari skipsi ini. 2. Sumber Data Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif dilakukan dengan penelitian pustaka,yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder,dimana data sekunder diperoleh dengan mempelajari sumbersumber bacaan yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skipsi.sumbersumber dalam penulisan skipsi ini berupa referensi dari beberapa

22 buku,artikel,koran,majalah,dan wacana yang dikemukakan oleh pendapat para ahli hukum dengan cara membaca,menafsirkan,membandingkan serta menterjemahkan dari beberapa sumber yang berhubungan dengan hukum pidana umumnya dan korupsi pada khususnya. 3. Analisis Data Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif.analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkap secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk mnjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalam skipsi ini. G. Sistematika Penulisan Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik,maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis.agar penulisannya lebih terarah dan lebih mudah dipahami,maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur.sistematika dalam penulisan skipsi ini adalah : BAB I :Berisikan pendahuluan yang didalamnya diuraikan mengenai latar belakang penulisan skipsi,perumusan masalah,kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan mamfaat penulisan skipsi,keaslian skipsi,tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai defenisi,rumusan dan pengertian dari beberapa istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan

23 dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut,dan terakhir diuraikan sistematika penulisan. BAB II :Adalah tentang Peranan dan kewenangan pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi dalam mengadili tindak pidana korupsi.dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang dan dasar hukum di jadikannya pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi sebagai lembaga yang berwenang untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi,peranan dan juga kewenangan dari pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi dalam mengadili tindak pidana korupsi. BAB III :Dalam bab ini akan dibahas mengenai mekanisme penyelidikan,penyidikan,dan penuntutan, konektisitas dan pemeriksaan sidang pengadilan, tindakan-tindakan selama proses perkara, sidang In Absentia, dan pembuktian terbalik. BAB IV :merupakan pembahasan mengeni faktor-faktor penyebab terjadinya dualisme kewenangan mengadili antara pengadilan negeri dan pengadilan tindak pidana korupsi beserta upaya penanggulangannya. BAB V :Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran BAB II

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.

jenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional tersebut

Lebih terperinci

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan A. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dari bahasa latin : corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang mempunyai akibat buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan saja merugikan keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini adalah masalah di bidang hukum, khususnya masalah kejahatan. Hal ini merupakan fenomena kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan yang sangat marak terjadi dalam birokrasi pemerintahan mempunyai dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat, salah satunya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 I. PEMOHON/KUASA Ir Dawud Djatmiko II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahkluk sosial yang artinya manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi. korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,

BAB I PENDAHULUAN. kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi. korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang belakangan ini cukup marak di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus korupai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB II IDENTIFIKASI DATA

BAB II IDENTIFIKASI DATA BAB II IDENTIFIKASI DATA 2.1. Definisi Buku Saku Secara umun buku adalah kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TERJADINYA KEGAGALAN PEKERJAAN KONSTRUKSI DAN KEGAGALAN BANGUNAN 1. Tindak Pidana Jasa Konstruksi Tindak Pidana Jasa konstruksi merupakan salah satu problematika

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangan terus meningkat dari tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan: I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk menguntungkan diri

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA Modul ke: STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA Disampaikan pada perkuliahan ETIK UMB kelas PKK Fakultas TEKNIK MUHAMMAD ALVI FIRDAUSI, S.Si, MA Program Studi TEKNIK INDUSTRI www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN

Lebih terperinci

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain, (WJS. Poerwadarminta,

Lebih terperinci

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH. KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH www.siwalima.com Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Maluku Tenggara Barat (MTB), Holmes Matruty dan Pejabat Pelaksana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya Oleh : Dewi Asri Yustia Abstrak Apakah kita masih bangga dengan Negara kita? apabila kita melihat catatan dari Ignatius Haryanto dalam artikelnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian: pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

Nama : ALEXANDER MARWATA

Nama : ALEXANDER MARWATA Nama : ALEXANDER MARWATA 1. Pengadilan adalah tempat seseorang mencari keadilan. Pengadilan bukan tempat untuk menjatuhkan hukuman. Meskipun seorang Terdakwa dijatuhi hukuman penjara hal itu dalam rangka

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihan. Demikian juga dengan ancaman terhadap keamanan dunia. Akibatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan I. PEMOHON Barisan Advokat Bersatu (BARADATU) yang didirikan berdasarkan

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H 1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak Pidana Korupsi. Kata korupsi ini sudah tidak asing lagi di telinga

BAB I PENDAHULUAN. Tindak Pidana Korupsi. Kata korupsi ini sudah tidak asing lagi di telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk kejahatan yang saat ini marak diperbincangkan adalah Tindak Pidana Korupsi. Kata korupsi ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Walaupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang eksistensi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Eksistensi berarti hal berada atau dapat pula diartikan sebagai keberadaan. Eksistensi merupakan istilah

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Korupsi Pengertian korupsi menurut masyarakat awam khususnya adalah suatu tindakan mengambil uang Negara agar memperoleh keuntungan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang mendasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dahulu mendapat Surat Izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dahulu mendapat Surat Izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penyitaan Barang Bukti Menurut Yudi Kristiana (2006 : 16), menyatakan bahwa dalam rangka penyitaan barang bukti harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi, maka penyidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH

KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH I. Pendahuluan. Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah

BAB I PENDAHULUAN. waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan korupsi merupakan masalah yang sangat sentral dalam kurun waktu pembangunan dewasa ini. Korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah penyakit yang tidak mudah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. Latar Belakang Saat ini, kewenangan untuk merumuskan peraturan perundang undangan, dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum yang pada masa sekarang ini sedang melakukan pembangunan disegala aspek tidak terkecuali bidang hukum, maka segala usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara Pidana a. Menurut. J. M. Van Bemmelen Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari serangkaian peraturan yang diciptakan oleh negara, dalam hal

Lebih terperinci