N EG A R A REPUBLIK INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "N EG A R A REPUBLIK INDONESIA"

Transkripsi

1 UNDANG-UNDANG N EG A R A REPUBLIK INDONESIA Disusun oleh Mr. H. Aa dengan bantuan M r. F. R. B o h t l i n g k D jilid II (1946) Bagian A NEIJENHUIS & Co. N.V. DJAKARTA BANDUNG

2

3 UND A N G - UN DAN G N E GARA REPUBLIK INDONESIA II A Call Num ber s o

4

5 UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA Disusun oleh Mr. H. Aa dengan bantuan Mr. F. R. Bohtlingk D jilid II (1946) Bagian A NEIJENHUIS & Co. N.V. D JA K A R T A B A N D U N G

6 FAK. HUKUM h n P E N G. H A S J. T a n g g a l..., l r f L s ij.5 $. No- Silsilah:...S. 3 Q 3....

7 DAFTAR ISI TERSINGKAT Kata p e n g a n ta r A. U ndang-undang Peraturan hukuin pidana 26 P eb ru ari a. Pendjelasan Batas waktunja piutang padjak 16 M a re t a. Pendjelasan W arga negara dan penduduk negara Indonesia 10 A pril 38 a. Pendjelasan umum 15 Djanuari b. Pendjelasan pasal demi pasal 15 Djanuari Pindjaman Nasional A p r i l Penetapan tarip padjak pendapatan tahun 1946/ 1947, tambahan pokok padjak dan tarip padjak upah 10 Mai 67 a. Pendjelasan Keadaan bahaja 6 Djuni a. Naskah jang p en g h ab isan Peraturan Pengadilan Tentara 8 Djuni a. Pendjelasan Peraturan hukum atjara pidana Pengadilan Tentara 8 Djuni a. Pendjelasan Perubahan Undang-undang Pindjaman Nasional Djuni Pembawaan uang 22 D ju n i Perubahan Aturan Bea Meterai Djuni Pembaharuan susunan Komite Nasional Pusat 8 Djuli 105 a. Lampiran Penghapusan desa-desa perdikan 4 September.... I l l 14. Perubahan sjarat-sjarat pemilih kepala desa 4 September Penetapan tambahan pokok padjak bumi untuk tahunpadjak 1946/ Septem ber Pengesahan pernjataan keadaan bahaja diseluruh Indonesia 27 Septem ber Pengeluaran Uang Republik Indonesia (no. I ) 1 Oktober Kewadjiban menjimpan uang dalam Bank 1 Oktober 118

8 19- Pengeluaran Uang Republik Indonesia (no. II) 25 Oktober... ^ Penambahan djenis hukuman pokok dengan hukuman tutupan 31 Oktober a. Pendjelasan Penurunan tjukai tembakau 9 N opem b er Pentjatatan nikah, talak dan rudjuk 21 Nopember a. Pendjelasan Pengesahan Peraruran Pemerintah pengganti Undangundang no. 9 th N opem ber Pengesahan Peraturan Pemerintah pengganti Undangundang no. 10 th Nopember B. Peraturan Pemerintah Pengganti U ndang-undang Perubahan Undang-undang keadaan bahaja (penambahan pasal 4a). 7 D ju n i... I Bank Negara Indonesia 5 D j u li Kewadjiban menjimpan uang dalam Bank 5 D juli Perubahan Undang-undang keadaan bahaja (pasal 3) 8 Djuli Perubahan Undang-undang keadaan bahaja (pasal 3, 4 dan 4a) 9 D j u i j... 15g Perubahan pasal 7 dari Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang no. 3 th A g u stu s Perubahan Undang-undang keadaan bahaja (pasal 4 dan 4a) 8 Agustus Badan Perwakilan Rakjat di daerah Solo 8 Agustus Pentjabutan Peraturan Pemerintah pengganti Undangundang no. 4 th dan tambahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no. 5 th Oktober Pengeluaran Uang Republik Indonesia 29 Oktober c - Peraturan Pemerintah Aturan Bank Rakjat Indonesia 22 P eb ru ari Pembaharuan Komite Nasional Pusat 18 A p ril a. Lampiran... I 74 b. Pendjelasan... I 75 c. Rentjana pembentukan K.N.P. b a r n

9 3. Perusahaan gula 21 Mai Perusahaan perkebunan 6 D ju n i a. Pendjelasan Pengadilan Tentara luar biasa di Serang dan Pamekasan 18 Djuli Mahkamah Tentara Agung luar biasa buat sementara waktu 18 D ju li Peraturan pemberian pangkat militer titulair 1 Agustus Berlakunja Undang-undang no. 1 th tentang Peraturan Hukum Pidana untuk daerah Propinsi Sumatera 8 Agustus Mendjalankan Undang-undang no. 12 th tentang pembaharuan susunan Komite Nasional Pusat 14 September... * Mengadakan kantor untuk mendjalankan administrasi pemilihan Dewan Perwakilan Rakjat 26 September Pentjabutan Peraturan Pemerintah no. 6 th Nopember

10 VERKORTE INHOUDSOPGAVE Inleiding A. W e tte n Regelingen betreffende materieel strafrecht 26 Februari 2 1 a. Toelichting Verjaring van cohierbelastingschulden 16 Maarc a. Toelichting Indonesisch staatsburger- en ingezetenschap 10 A p ril 38 a. Toelichcing (algemeen) 15 Januari b. Toelichting (artikelsgewijze) 15 Januari Nationale lening A p r i l Vaststelling van tarieven voor de inkomstenbelasting 1946/ 1947, heffing van opcenten en tarieven voor de loonbelasting 10 Mei a. Toelichting... ^ 6. Staat van gevaar 6 J u n i a- U itein ddijk tek st der w e t Militaire rechtbanken 8 Juni a. Toelichting Strafprocesrecht voor de Militaire rechtbanken 8 Ju n i 95 a. Toelichting Wijziging der W et op de Nationale lening Jun* Het raeenemen van geld 22 J u n i * Wijziging van de Zegelverordening Juni Reorganisatie van het K.N.P. 8 J u l i a. Bijkge Opheffing van de vrije desa s 4 September.... I l l 14. Wijziging van de bestaande bepalingen nopens de verkiezing van desa-hoofden 4 S e p te m b e r Opcenten landrente belastingjaar 1946/ September Bekrachtiging van de verklaringen van de staat van gevaar 27 September Uitgifte van Republikeins geld no. I 1 Oktober

11 18. Verplichting tot deponering van geld bij de banken 1 October Uitgifte Republikeins geld no. II 25 October 20. Aanvulling van de hoofdstraffen met opsluitingsstraf, hukuman tutupan, te stellen op misdrijven, uit te eerbiedigen motieven begaan 31 O cto b er... a. Toelichting Verlaging tabaksaccijns 9 N ovem ber Registratie van huwelijken, verstotingen en herroepingen van verstotingen 21 N ovem b er... a. Toelichting Bekrachtiging van Peraturan Pemerintah pengganti Undangundang 1946 no November Bekrachtiging van Peraturan Pemerintah pengganti Undangundang 1946 no N o v e m b e r... Peraturan Pemerintah pengganti U ndang-undang Wijziging der wet op de staat van gevaar (Art. 4a) 7 Juni Indonesische Staatsbank 5 J u l i Verplichting tot deponering van geld bij de banken 5 J u l i Wijziging van de W et op de staat van gevaar (Art. 3) 8 J u l i Wijziging der wet op de staat van gevaar (Art. 3, 4 en 4a) 9 Juli 6. Wijziging van artikel 7 van P.P.P.U.U 1946 no. 3 5 Augustus Wijziging der wet op de staat van gevaar (Art. 4 en 4a) 8 A u g u s tu s Vertegenwoordigende lichamen in Surakarta 8 Augustus 9. Intrekking van P.P.P.U.U no. 4 en wijziging van P.P.P.U.U no October Verbod van uitvoer uit Java en Madura van niet meer geldig geld 29 O ctober

12 C. Peraturan Pemerintah Regeling nopens de bank Rakjat Indonesia (Algemene Volkscredietbank) 22 F e b r u a r i Reorganisatie van het K.N.P. 18 April a. Bijlage b. Toelichting c. Plan tot vernieuwing van het K.N.P Suikerondermingen 21 M e i Ondernemingsbedrijven 6 J u n i a. Toelichting Instelling buitengewone militaire rechtbanken te Serang en Pamekasan 18 J u l i Instelling van een tijdelijk buitengewoon Hoog M ilitair Gerechtshof 18 Juli Verlening van titulaire militaire rangen de leden der zittende en staande magistratuur bij de militaire rechtspraak 1 A u g u s tu s Bepaling van de datum van inwerkingtreding van de W et 1946 no. 1 nopens het materieel strafrecht, voor het gebied der provincie Sumatra 8 Augustus Itttvoering van de W et 1946 no. 12 betreffende reorganisatie van het K.N.P. 14 S e p te m b e r Instelling van een centraal stembureau voor de verkiezingen voor de Volksvertegenwoordiging 26 September Intrekking van Peraturan Pemerintah 1946 no. 6 9 November...206

13 KATA PENGANTAR. Pada permulaan tahun 1946, susunan ketatanegaraan Republik Indonesia telah demikian, sehingga kekuasaan perundang-undangan didjalankan oleh Presiden dan Badan Pekerdja dari Komite Nasional Pusac, sedang terhadap kekuasaan executip didjalankan apa jang disebut sistim Eropah- Barac, dalam arti, bahwa Perdana-Menteri dan Menteri2 lainnja berranggung djawab atas pimpinannja terhadap Perwakilan Rakjat (bertindak sebagai itu Badan Pekerdja ataupun K.N.P. lengkap (pleno)). Dalam pada itu roda pembentuk undang2 mulai berdjalan. Beberapa undang2 telah dibuat, dapatlah disebut diantaranja: undang2 tentang warga negara, undang2 keadaan bahaja, undang2 pindjaman nasional, undang2 susunan K.N.P., undang3 pengeluaran uang Republik Indonesia, selandjutnja peraturan2 dalam lapangan hukum perdata (termasuk hukum perkawinan), hukum pidana, hukum atjara pidana, kedua2nja sipil maupun militer (umpama untuk mengadakan hukuman utama jang baru, hukuman tutupan ), hukum padjak, dsb. Tetapi perkembangan hukum kenegaraan ini tak luput dari pada gangguan. Sesudah untuk melaksanakan pasal 12 dari Undang2 Dasar pada 6 Djuni 1946 diadakan Undang2 keadaan bahaja (th no. 6 ), undang2 mana mulai berlaku pada hari itu djuga, maka Presiden mempergunakan hak2 jang timbul dari pasal 12 U.U.D. dan pasal 1 Undang2 ini, untuk mengumumkan keadaan bahaja pada 6 Djuni itu untuk daerah Susuhunan dan Mangkunegoro, sehari kemudian untuk Djawa dan Madura dan, sesudah pentjulikan Perdana-Menteri SJAHRIR pada 27 Djuni 1946 dan beberapa pembesar lainnja pada 28 Djuni 1946 untuk seluruh Indonesia. Karena pengumuman keadaan bahaja ini, undang2 keadaan bahaja mendapat arti jang istimewa, sehingga perlulah kiranja disini undang2 ini diperhatikan lebih dalam, lebih3 dalam hubungannja dengan pembentuk undang2 dan penglaksanaannja. Pasal 2 dari undang2 ini menetapkan, bahwa pengumuman keadaan bahaja harus diperkuat oleh undang5. Hal ini telah terdjadi oleh undang2 no. 16 th (tertanggal 27 September 1946). Pasal 3 mengatakan, bahwa sesudah pengumuman keadaan bahaja,

14 maka kekuasaan, jang berwadjib melaksanakan peraturan2 undang2 ini, dipegang oleh suatu Dewan Pertahanan Negara. Dewan Pertahanan Negara ini terdiri dari Perdana-Menteri (dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang2 no. 4 tanggal 4 Djuli 194t> diganti oleh Presiden; dalam P.P.P.U.U. no. 9 tanggal 28 Oktober 1946 tempat ini diduduki lagi oleh Perdana-Menteri) sebagai ketua, dan sebagai anggauta2: Menteri2 Pertahanan, Luar Negeri, Dalam Negeri, Keuangan, Kemakmuran dan Perhubungan, Panglima Besar dan selandjutnja 3 orang wakil organisasi2 rakjat. Dewan Pertahanan Negara bertanggung djawab kepada Dewan Menteri. Pasal 4 sampai dengan pasal 6 berisi ketentuan2 untuk Dewan Pertahanan Daerah. Pasal 7 jang penting itu menetapkan: 1. bahwa selama keadaan bahaja kekuasaan perundang-undangan tetap dipegang Presiden dan Perwakilan Rakjat; 2. bahwa untuk daerah- jang dinjatakan dalam keadaan bahaja dengan alasan serangan, Dewan Pertahanan Negara berhak mengadakan peraturan2, jang mempunjai kekuatan undang2, dan nmwp perf tur^ a ini dalam Wflkru sc,am^nja 10 hari harus diadjukan -?1. /CSiUgfl k?p (]ti Perv/aktkn Rakjat untuk disjahkan. Dewan Pertahanan Negara pada 6 Djuli 1946 mengeluarkan peraturannja jang pertama; dalam th diperbuat sedjumlah 26 buah (dalam th. 1947: 8, dalam th. 1948: 1). Selain dari pada Peraturan2, Dewan Pertahanan Negara djuga mengeluarkan sedjumlah Penetapan dan Instruksi. Demikianlah dengan singkat penglaksanaan Undang2 Keadaan Bahaja. Disamping itu pada th tampak pula suatu perundang-undangan istimewa jang Iain, ialah karena penglaksanaan pasal 2 U.U.D. Pasal ini menetapkan: 1. bahwa Presiden dalam waktu2 jang genting berhak untuk mengadakan peraturan dengan kekuatan undang2 (Peraturan Pemerintah pengganti ^ ndang2 jang telah disebut diatas); a wa Peraturan ini harus disjahkan pada rapat jang pertama dari Perwakilan Rakjat; _ kpkj^ Pengesahan ini tidak didapati, peraturan ini harus ditjabut. ^a 7 Djuni 1946 Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang P P^P U ^ r)111'1 ^ ' ^ uar^an (sebelum dan sesudah ini disingkatkan djadi ; jaitu untuk mengadakan perubahan dalam Undang2 Keadaan I, Jan ^ikeluarkan sehari sebelumnja. Semua P.P.P.U.U. jang dikeluar- ' a am th berdjumlah 10 buah; dari 10 buah ini 5 berisi perua lan atas undang-undang jang baru disebut ini. Perlu diperingatkan,

15 bahwa P.P.P.U.U. mempunjai banjak persamaan dengan Undang2 Darurat, jang terdapac dalam Konstitusi semencara R.I.S. dan U.U.D. negara kesatuan (lihat pasal 139 dan 96). Setelah diumumkannja keadaan bahaja, dan bekerdjanja Dewan Percahanan Negara, maka Republik mempunjai 3 badan pusat jang berdampingan, jang masing2 mempunjai kekuasaan perundang-undangan, jaitu: 1. pembentuk undang2 biasa (Presiden dan Badan Pekerdja), jang walaupun telah diumumkannja keadaan bahaja hampir dapac dikatakan meskipun diumumkannja P.P.P.U.U. berdjalan seperti biasa; 2. Dewan Pertahanan Negara; 3. Presiden dalam hal mengeluarkan P.P.P.U.U. Achirnja keputusan terachir masih terletak dalam tangan pembentuk undang-undang biasa, karena ini mempunjai hak unruk menerima arau menolak peraturan2 Dewan Pertahanan Negara dan P.P.P.U.U. Disamping dua matjam badan jang mengadakan undang2 jang istimewa ini, timbul pula sesuatu jang luar biasa dalam Negara Republik ini. Sesudah pada 27 Djuni 1946 Perdana-Menteri SJAHRIR c.s. ditjulik serta pada 28 Djuni 1946 seluruh Indonesia dinjatakan dalam keadaan bahaja, maka Presiden pada 29 Djuni 1946 mengeluarkan Maklumat Presiden no. 1 th. 1946, dimana dinjatakan, bahwa, berhubung dengan kedjadian2 jang membahajakan ketertiban dan kententraman, untuk sementara Presiden menarik kekuasaan pemerintah sepenuh2nja pada dirinja; hal ini didjalankan dengan persetudjuan anggauta2 kabinet dan sampai pada saat, djika keadaan telah kembali seperti biasa lagi, dan kabinet serta instansi2 lainnja dapat berdjalan seperti biasa pula. Timbullah pertanjaan, bagaimanakah tindakan Presiden ini menurut hukum tatanegara harus ditindjau dan sampai dimanakah pengaruhnja. Mengenai hal ini Mr. ROEM menulis diantaranja sebagai berikut dibawah in i:*) The abduction of Prime Minister Sjahrir, the Minister of Economic Affairs Darmawan Mangoenkoesoemo, and several other republican statesmen on caused the President to take all powers in his hand temporarily, with the consent of the remaining ministers. After the release of the ministers and statesmen, the cabinet was not immediately restored in its responsible position, and the President continued to hold all powers. The ministers became assitants to the J) O ur System of G overnm ent d alam : T h e V oice o f Free Indonesia, A n n i v e rsary N um ber, 1 N ovem ber 1946 p. 11.

16 President. Under those circumstances Sjahrir was no longer Prime- Minister, but only remained Minister of Foreign Affairs. The powers assumed by the President were the executive powers, so it is a mistake to claim that he had become dictator. As the President stated in his interview with the journalist Sjamsoedin Soetan Makmoer, this constitutional system is similar tot that prevailing in the United States, where the President holds all administrative powers. The United States has a high reputation of Democratic principles, and nobody has yet called the President of the United States a dictator. This is the present, provisional system of government. W ith this system we have returned to the original text of our Constitution. As mentioned before, this system is only temporary, and as soon as conditions are back to normal a responsible cabinet should once more be formed. The C.N.C. working Committee in its meeting of has passed a resolution, asking the President to order again the formation of a responsible cabinet, arguing that normal conditions have been restored. Tepat disini dinjatakan bahwa Presiden tidaklah mendjadi diktator; jang dimaksudhn d ik m o r fa k m a r ti k r n modern, seperti jang dikenal w D jeriw fl dan ItalL Dapatlah ditundjuk perbedaan2 jang penting dan mengenai dasar. Sedang misalnja Kepala-Negara Djerman merupakan puntjak dan mempunjai seluas2nja, baik menurut hukum, maupun jang sesungguhnja kekuasaan perundang-undangan serta kekuasaan pelaksanaan dan dalam waktu perang menarik kekuasaan hakim pula kepadanja, maka didalam Republik kekuasaan perundang-undangan dan kekuasaan hakim ini tetap a a ditangan badan2 jang diserahinja, dan Presiden hanja menarik ekuasaan pelaksanaan kepadanja. Perbedaan kedua ialah bahwa dapat itenma, bahwa Presiden atas pimpinannja tetap bertanggung-djawab epada Perwakilan Rakjat. Perbedaan ketiga ialah bahwa mengambil kekuasaan sepenuh2nja oleh Presiden itu dengan tegas disebut sebagai tin a an sementara, hanja selama keadaan genting jang menuntut demikian, an tidak dapat dikatakan seperti di Djerman, adanja diktatur untuk kehendaknja sendiri, jang mendjadi dasar. i alam sedjarah'- adalah suatu tjorak jang agak menjamai (akan retapi juga tidak lebih daripada itu) menariknja kekuasaan penuh oleh ^ S1 <^ r*n^a k k h hal diktator didalam susunan kenegaraan Roma pa a a a terachir sebelum Masehi. Hal inipun hanja tampak pada waktu2 jang genting, pada saat adanja kekatjauan dan pemberontakan, hak2 i tator Roma bukan tidak terbatas dan iapun berhenti djika keadaan

17 istimewa jang menjebabkan adanja, telah hilang. Lamanja memerintah itu ditetapkan selama2nja 6 bulan. Sekiranja orang berpendapat (dengan Mr. Roem) bahwa Maklumat Presiden no. I th sebegai kembalinja kepada sistim U.U.D. jang asli, maka ini berarci, bahwa berlakunja Maklumat Presiden tg. 1 4 Nopember 1945 dimana ditentukan sistim Pertanggungan-djawab Menteri2 untuk sementara dihapuskan dan sistim pemerintahan Eropah-Barat untuk sementara diganti oleh sistim pemerintahan Amerika (agaknja seperti jang dikatakan diatas tadi, bahwa kekuasaan penuh oleh Presiden tidak menghilangkan pertanggungan-djawabnja atas pimpinannja). Perlu dinjatakan, bahwa meskipun Presiden mempunjai kekuasaan penuh, hak2nja masih kurang dari pada dalam bulan2 permulaan Republik. Sebab sampai pengumuman Maklumat Presiden no. X tgl. 16 Oktober 1945 Presiden djuga mempunjai kekuasaan perundang-undangan. Pada waktu kabinet Sjahrir ke 3 pada 2 Oktober 1946 Presiden meletakkan kekuasaan2nja jang istimewa itu dan kembali dipakai susunan dengan pertanggungan-djawab Menteri2. (Maklumat Presiden no. 2, th. 46). Sekarang sedikit lagi mengenai hal2 jang terdapat dalam penerbitan ini. Dalam penerbitan ini dikumpulkan semua Undang2 dan Peraturan2 dari semua badan2 pusat (Peraturan Pemerintah, P.P.P.U.U., Peraturan Presiden dan Peraturan Dewan Pertahanan Negara). Perlu pula dinjatakan, bahwa tidak semuanja ini diumumkan didalam Berita Republik Indonesia misalnja tak termuat disana itu Undang2 no. 15, Peraturan Pemerintah no. 7 dan 9, Peraturan Presiden no. 3 dan 6, jang penting itu dan Peraturan Dewan Pertahanan Negara. Peraturan jang disebut terachir ini didapati dalam suatu penerbitan istimewa dari Pertjetakan Negara di Jogja. Pendjelasan2 tentang hal2 jang tersebut diatas tadi sedapat2nja, djika tersedia, telah dilampirkan, selain dari jang mengenai Dewan Pertahanan Negara. Selandjutnja dalam penerbitan ini terdapat: Penetapan dan Pengumuman Pemerintah, Maklumat dan Penetapan Presiden dan pengumuman B.P.K.N.P. Tidak dimuat Penetapan dan Instruksi Dewan Pertahanan Negara, ketjuali Instruksi 1946 no. 5 (lihat djilid II (1946) B). Pemakaian edjaan OE jang asli dalam djilid inipun dipakai, baru dalam 1948 Republik dalam surat2 resmi mempergurakan edjaan U. U tjapun terim a kasih tak lupa kam i sam paikan pula kepada pem bantu2 jang nam anja tersebut dalam kata pengantar d jilid jang sudah. Lagi pula kepada Tuan Mr. F. R. Bohtlingk, jang sekarang telah melakukan pengerdjaan berdasarkan atas pengetahuan dengan mengarang tjatatan2. Mr. H. Aa.

18 INLEIDING. Toen het jaar 1946 aanbrak, was de staatkundige constellatie in de Republik Indonesia aldus geworden, dat de wetgevende macht uitgeoefend werd door President + Werkcomite van het Komite Nasional Pusat, terwijl m.b.t. de executieve het z.g. West-Europees systeem was aanvaard en wel in die zin, dat de Minister-President en de andere Ministers aan de Volksvertegenwoordiging (als hoedanig het Werkcomite dan wel het voltallige K.N.P. optrad) voor hun beleid verantwoordelijk waren. Inmiddels begon de wetgevingsmachinerie te draaien. Hen aantal belangrijke wetten kwam tot stand; genoemd kunnen worden o.m.: de nationaliteitswet, wetten op de staat van gevaar, op de nationale lening op de samenstelling van het K.N.P., op de uitgifte van Republikeins geld voorts regelingen op gebied van burgerjijk fccilt (w Z Q J)ie/ lm d iiuwelijks- recht), b u rg e rjijk en m iiw i f & srra/'procesrecht (zo b.v. tot invoering V3B een. flie u w e hoofdstraf, hukuman tutupan ), belastingsrecht enz. Zonder schokken zou de staatsrechtelijke ontwikkeling echter niet gaan. Nadat ter uitvoering van artikel 12 der Grondwet op 6 Juni de W et op de Staat van Gevaar (Undang-undang Keadaan Bahaja, Undangundang th no. 6 ) was tot stand gekomen, welke wet op dezelfde dag m werking trad, maakte de President van zijn bevoegdheden voortvloeiende uit artikel 12 der Grondwet en artikel 1 van deze W e t gebruik om de staat van gevaar af te kondigen, en wel op dezelfde dag, de 6de Juni 1946, voor het gebied van de Susuhunan en de Mangkunegoro, op de volgende dag voor Java en Madura en na de ontvoering van 27 Juni 1946 van Minister-President Sjahrir en enige andere autoriteiten op 28 Juni 1946 voor geheel Indonesie. Door deze afkondigingen van de staat van gevaar kreeg de W e t op de Staat van Gevaar een bijzondere betekenis, in verband waarmede hier enige nadere aandacht aan deze wet, vooral met betrekking tot wetgeving en uitvoering, zij gewijd. Artikel 2 der wet bepaalt, dat de afkondiging van de staat van gevaar bij de wet dient te worden bekrachtigd. In casu is zulks geschied bij de wet no. 16 th (d.d. 27 September 1946).

19 Artikel 3 der wet houdt in, dac na de afkondiging van de staat van gevaar het gezag, belast met de uitvoering van de bepalingen van deze wet, uitgeoefend wordt door een Staatsdefensieraad (Dewan Pertahanan Negara). Deze Staatsdefensieraad bestaat uit de Minister-President (bij Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang no. 4 d.d. 4 Juli 1946 kwam hiervoor in de plaats de President; bij P.P.P.U.U. no. 9 th d.d. 28 October 1946 kwam weer de Minister-President op deze plaats), als voorzitter en als leden de Ministers van defensie, buitenlandse zaken, binnenlandse zaken, financien, welvaart en verkeer, de opperbevelhebber en voorts 3 vertegenwoordigers van volksorganisaties. De staatsdefensieraad is verantwoording schuldig aan de Ministerraad. De artikelen 4 tot en met 6 bevatten bepalingen voor locale defensieraden. Het belangrijke artikel 7 bepaalt: lo dat gedurende de staat van gevaar de wetgevende macht blijft berusten bij President en Volksvertegenwoordiging; 2o dat de Staatsdefensieraad bevoegd is om voor de gebieden, die in staat van gevaar zijn verklaard op grond van een aanval, verordeningen ( Peraturan ) uit te vaardigen die de kracht van wet hebben en 3o dat deze verordeningen binnen een termijn van ten hoogste tien dagen door de President aan de Volksvertegenwoordiging ter goedkeuring dienen te worden aangeboden. De Staatsdefensieraad vaardigde op 6 Juli 1946 zijn eerste verordening uit; in totaal kwamen er in tot stand, (in , in ). Behalve Peracuran ' heeft de Staatsdefensieraad ook een menigte Penecapan en Instruksi uitgevaardigd. Aldus in het kort iets over de toepassing van de W et op de Staat van Gevaar. Daarnaast kwam er in 1946 nog een tweede soort bijzondere wetgeving tot uiting, doordat n.l. artikel 22 der Grondwet tot toepassing werd gebracht. Dit artikel houdt in: lo dat de President in critieke tijden de bevoegdheid heeft verordeningen met wetskracht (de boven reeds eerder genoemde Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang) uit te vaardigen, 2o dat deze verordeningen door de Volksvertegenwoordiging in haar eerstvolgende zitting dienen te worden bekrachtigd en 3o dat indien deze bekrachtiging niet verkregen wordt, deze verordeningen dienen te worden ingetrokken. Op 7 Juni 1946 kwam de eerste Peraturan Pemerintah pengganti U n d an g-undan g (hiervoor en hierna afgekort met P.P.P.U.U.) tot stand, om n.l. een wijziging aan te brengen in de de vorige dag tot stand gekomen W et op de Staat van Gevaar. In totaal werden er in P.P.P.U.U. s uitgevaardigd; van deze 10 strekten er 5 tot wijziging van de zo juist

20 genoemde W et. In herinnering zij gebracht dat de P.P.P.U.U. s grote gelijkenis vertonen met de noodwetten (Undang-undang darurat), zoals deze voorkomen in de Voorlopige Constitutie van de Republik Indonesia Serikat en de Grondwet van de eenheidsstaat (zie resp. artikelen 139 en 96). Na de afkondiging van de Staat van Gevaar en het optreden van de Staatsdefensieraad kende de Republiek dus naast elkaar drie centrale organen met wetgevende bevoegdheid en wel lo de gewone wetgever (President + Werkcomite), die ondanks de afkondiging van de Staat van Gevaar men zou haast zeggen: uiteraard en ondanks de afkondiging van P.P.P.U.U. s normaal bleef functionneren; 2o de Staatsdefensieraad en 3o de President bij het uitvaarigen van P.P.P.U.U. s. Uiteindelijk bleef het Iaatste woord toch aan de gewone wetgever; deze toch had de bevoegdheid de verordeningen van de Staatsdefensieraad en de P.P.P.U.U. s al dan niet te accepteren. Naast deze twee soorten van bijzondere wetgeving deed nog een merkwaardige figuur zijn intrede in het Republikeinse Staatsbevel. Nadat op 27 Juni 1946 de ontvoering van premier Sjahrir c.s. had plaats gehad en op 28 Juni de Staat van Gevaar voor geheel Indonesie was afgekondigd, vaardigde de President op 29 Juni de Maklumat Presiden no. 1 th uit, waarbij hij in verband met de voor orde en rust in de staat gevaar opleverende gebeurtenissen tijdelijk de volledige Regeringsmacht (kekuasaan Pemerintah sepenuh-penuhnja) op zich nam, zulks in overeenstemming met de leden van het kabinet en tot aan h e t tijdstip, waarop de normale toestand weer 20u zijn teru ggek eerd. en het kabinet en andere instanties meer normaal zouden kunnen functionneren. De vraag kan gesteld worden hoe staatsrechtelijk deze handeling van e President dient gezien te worden en welke draagwijdte zij heeft. Hieromtrent schrijft Mr. Roem o.m. het volgende:*) The abduction of Prime Minister Sjahrir, the Minister o f Economic Affairs Darmawan Mangoenkoesoemo, and several other republican statesmen on caused the President to take all powers in his hands temporarily, with the consent of the remaining ministers. A fter the release of the ministers and statesmen, the cabinet was not immediately restored in its responsible position, and the President continued to hold all powers. The ministers became assistants to the President. Under those circumstances Sjahrir was no longer Prime Minister, but only remained Minister of Foreign Affairs. ) j.o ur system o f G overnm ent in : T h e V oice o f Free In donesia. A n n iv e rs a ry N um ber, 1 N ovem ber 1946 p. 11.

21 The powers assumed by the President were the executive powers, so it is a mistake to claim that he had become dictator. As the President stated in his interview with the journalist Sjamsoedin Soetan Makmoer, this constitutional system is similar to that prevailing in the United States, where the President holds all administrative powers. The United States has a high reputation of Democratic principles, and nobody has yet called the President of the United States a dictator. This is the present, provisional system of government. W ith this system we have returned to the original text of our Constitution. As mentioned before, this system is only temporary, and as soon as conditions are back to normal a responsible cabinet should once more be formed. The C.N.C. working Committee in its meeting of has passed a resolution, asking the President to order again the formation of a responsible cabinet, arguing that normal conditions have been restored. Terecht wordt hier opgemerkt, dat de President geen dictator was geworden, tenminste geen dictator in de moderne zin, zoals men die b.v. in Duitsland en Italie gekend heeft. Er zijn toch belangrijke en principiele verschillen aan te wijzen. Terwijl b.v. het Duitse Staatshoofd de top was en de volheid bezat juridisch dan wel feitelijk van de wetgevende en de uitvoerende macht en in de oorlog zelfs de rechterlijke macht aan zich ondergeschikt maakte, bleef in de Republiek de wetgevende en de rechterlijke macht bij de daarvoor aangewezen organen berusten en had de President slechts de uitvoerende macht aan zich getrokken.. Een tweede verschil is, dat aangenomen kan worden, dat de President voor zijn beleid aan de volksvertegenwoordiging daadwerkelijk verantwoordelijk bleef. Een derde verschil is, dat het in handen nemen door de President van de volledige macht uitdrukkelijk als tijdelijk en voorlopig was bedoeld, alleen voor zolang de critieke omstandigheden zulks vorderden, en er geen sprake was, zoals b.v. in Duitsland, van een dictatuur om haar zelfs wille, dus als beginsel. Er is in de geschiedenis een figuur te vinden, waarmede het aan zich trekken door de President van de volledige Regeringsmacht een zekere (maar meer ook niet) gelijkenis vertoont, n.l. de figuur van de dictator in het Romelnse staatsstelsel uit de laatste eeuwen voor Christus. Ook deze figuur deed zich alleen in critieke tijden, in tijden van onrust en opstand, voor; de bevoegdheden van de Romeinse dictator waren niet onbeperkt en hielden op, wanneer de bijzondere omstandigheden, welke tot zijn aanwijzing genoopt hadden, niet meer aanwezig waren. Zijn ambtsduur was op ten hoogste 6 maanden gesteld.

22 Ziet men met Mr. Roem de Maklumat Presiden no. 1 th als een terugkeer tot het oorspronkelijke systeem van de Grondwet, dan betekent dit dus, dat de werking van de Maklumat Permerintah d.d. 14 November 1945, waarbij het systeem van ministeriele verantwoordelijkheid aanvaard was, tijdelijk werd opgeschort en dat dus voorlopig het W est- Europese Regeringssysteem plaats maakte voor het Amerikaanse (aangenomen dan, gelijk boven werd betoogd, dat het aan zich trekken van de volledige Regeringsmacht door de President niet uitsloot zijn verantwoordelijkheid voor het door hem gevoerde beleid). Opgemerkt zij nog, dat de President ondanks het bezit van de volledige Regeringsmacht toch nog minder bevoegdheden bezat dan in de eerste maanden van de Republiek. Immers, tot aan de uitvaardiging van de Maklumat Presiden no. X dd. 16 Oktober 1945 had de President ook de wetgevende macht bezeten. Bij het optreden van het derde kabinet-sjahrir op 2 October 1946 legde de President zijn buitengewone bevoegdheden weer neer en keerde men weer terug tot het stelsel van ministeriele verantwoordelijkheid. (Maklumat Presiden no. 2, th. 1946). Thans volgt nog een en ander over de in deze uitgave opgenomen stukken. Opgenomen zijn alle Undang-undang en de Peraturan van alle centrale organen (Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang, Peraturan Presiden en Peraturan Dewan Pertahanan N e gara). Opgemerkt zij nog, dat niet al d m Stukken in de Berita Republik Indonesia zijn gepublicecrcl; 20 ontbreken o.m. de Undang-undang no. 15, de Peraturan Pemerintah nos. 7 en 9, de Peraturan Presiden no. 3 en de belangrijke no. 6 en de Peraturan Dewan Pertahanan Negara. De laatstgenoemde Peraturan zijn ontleend aan een speciale uitgave van de Landsdrukkerij (Pertjetakan Negara) te Jogja. De toelichtingen op de hiervoor genoemde stukken zijn, voorzover beschikbaar, mede opgenomen, behalve die op de Peraturan Dewan Pertahanan Negara. Voorts bevat de uitgave nog: Penetapan en Pengumuman Pemerintah, Maklumat en Penetapan Presiden en Pengumuman B.P.K.N.P. Niet opgenomen zijn de Penetapan en Instruksi Dewan Pertahanan Negera, met uitzondering van Instruksi 1946 no. 5 (zie deel II (1946) B). De oorspronkelijke OE-spelling is ook in dit deel gehandhaafd; eerst in 1948 begon de Republiek in officiele stukken de U-spelling te bezigen. Rest nog dank uit te spreken jegens dezelfde personen, die genoemd zijn in de inleiding tot het vorige deel. Bovendien aan Mr. F. R. Bohtlingk, die thans de wetenschappelijke bewerking verzorgde door de noten te redigeren. Mr. H. Aa.

23 A. UNDANG-UNDANG 1. Peraturan hukum pidana. (Regelingen betreffende materieel strafrecht) 26 Pebruari B.R.I. th. II no. 9, h. S3 86. OENDANG-OENDANG No. 1 th Tentang peratoeran hoekoem pidana. Presiden Repoeblik Indonesia, Menimbang: bahwa sebeloem dapat melakoekan pembentoekan Oendang2 hoekoem pidana baroe, perloe peratoeran hoekoem pidana disesoesaikan dengan keadaan sekarang; Mengingat: akan pasal 5, ajat 1 Oendang-oendang Dasar, pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar serta Peratoeran Presiden Repoeblik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 no. 2; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: M enetapkan atoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang peratoeran hoekoem pidana. Pasal I. Dengan menjimpang seperloenja dari Peratoeran Presiden Repoeblik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 no. 2 1), menetapkan, bahwa peratoeran-peratoeran hoekoem pidana jang sekarang berlakoe, ialah peratoeran-peratoeran hoekoem pidana jang ada pada tanggal 8 Maret Pasal II. Semoea peratoeran hoekoem pidana jang dikeloearkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda doeloe (Verordeningen van het Militair Gezag) ditjaboet. L ih at h. 57 d ari b u ku in i d jilid I (1945).

24 Pasal III. Djikalau dalam sesoeatoe peratoeran hoekoem pidana ditoelis perkataan Nederlandsch-Indie atau Nederlandsch-Indisch(e)(en) J maka perkataan-perkataan itoe haroes dibatja Indonesie atau Indonesisch(e)(en) \ Pasal IV. Djikalau didalam sesoeatoe peratoeran hoekoem pidana soeatoe hak, kewadjiban, kekoeasaan atau perlindoengan diberikan atau soeatoe larangan ditoedjoekan kepada sesoeatoe pegawai, badan, djawatan dan sebagainja, jang sekarang tida ada lagi, maka hak, kewadjiban, kekoeasaan atau perlindoengan itoe haroes dianggap diberikan dan larangan terseboet ditoedjoekan kepada pegawai, badan, djawatan dan sebagainja, jang haroes dianggap menggantinja. Pasal V. Peratoeran hoekoem pidana, jang seloeroehnja atau sebagian sekarang tidak dapat didjalankan atau bertentangan dengan kedoedoekan Repoeblik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempoenjai arti lagi, haroes dianggap seloeroehnja atau sebagian sementara tidak berlakoe. Pasal VI. (1) Nama oendang-oendang hoekoem pidana wetboek van Strafrec c v Or Nederlandsch-Indie" dirobah mendjadi Wetboek van Strafrechc. (2) Oendang-oendang terseboet dapat diseboet: Kitab oendangoendang hoekoem pidana. Pasal VII. Dengan tidak mengoerangi apa jang ditetapkan dalam pasal III, maka semoea perkataan NederIandsch-onderdaan dalam Kitab oendang-oendang oe oem pidana diganti dengan Warga Negara Indonesia. Pasal VIII. Kitab oendang-oendang hoekoem pidana dirobah sebagai berikoet: ^ ^asa* ajat ke le angka-angka haroes dibatja,,104, 106, 107 en 10 8 dan angka-angka Perkataan Directeur van Justitie dalam pasal 15b diganti dengan Minister van Justitie. 3- Pasal 16 dirobah sebagai berikoet: a. perkataan Directeur van Justitie haroes dibatja ^Minister van Justitie.

25 b. bagian kalimat: voorzoover betrefc de Gouvernementslanden van Java en Madoera, van den assistent-resident en elders van het hoofd van plaatselijk bestuur diganti dengan van den djaksa dan perkataan Gouverneur Generaal diganti dengan ^Minister van Justitie, c. bagian kalimat: in de Gouvernementslanden van Java en Madoera op bevel van den assistent-resident en elders van het hoofd van plaatselijk bestuur dalam ajat 3 diganti dengan op bevel van den djaksa. 4. Dalam pasal 20 perkataan het hoofd van plaatselijk bestuur den assistent-resident diganti dengan den djaksa. 5. Dalam pasal 21, perkataan Directeur van Justitie diganti dengan Minister van Justitie. 6. Dalam pasal 29, ajat (2) perkataan Directeur van Justitie diganti dengan Minister van Justitie. 7. Dalam pasal 33a, perkataan Gouverneur-Generaal diganti dengan President. 8. Dalam pasal 44, ajat (3), perkataan de Europeesche rechtbanken diganti dengan Mahkamah Agoeng, Pengadilan Tinggi. 9. Pasal 76 dirobah sebagai berikut: a. bagian kalimat of van den rechter in Nederland of in Suriname of in Curagao, dihapoeskan. b. perkataan inheemsche dan Inlandsche dihapoeskan. 10. Dalam pasal 92, bagian kalimat: den Volksraad, van de provinciale raden en van de raden ingesteld xngevolge artikel 121, tweede lid en artikel 124, tweede lid der Indische Staatsregeling diganti dengan een door of namens de regeering ingesteld wetgevend, besturend of volksvertegenwoordigend lichaam. 11. Pasal 94 dihapoeskan. 12. Dalam pasal 104 kerkataan2 den Koning, de regeerende Koningin of den Regent diganti dengan 5,den President of den Vice-President. 13. Pasal 105 dihapoeskan. 14. Dalam pasal 110 ajat (1) dan ajat (2) angka-angka haroes dibatja 104, 106, 107 en 108.

26 15. Dalam pasal 111 perkataan hetzij dan bagian kalimat hetzij met een Indisch vorst of volk dihapoeskan. 16. Dalam pasal 112 dan 121 bagian kalimat een Indisch vorst o f volk dihapoeskan. 17. Dalam pasal 117 no. 3 perkataan Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie haroes dibatja President. 18. Dalam pasal 122 dan 123 perkataan NederIand haroes dibatja Jndonesie. 19. Dalam pasal 128 bagian kalimat: een der in de artikelen 10 4 en 105 omschreven misdrijven diganti dengan het in artikel 104 omschreven misdrijf. 20. Kepala Bab II diganti sebagai berikoet: Misdrijven tegen de waardigheid van den President en van den Vice-President. 21. Pasal 130 dihapoeskan. 22. Dalam pasal 131 perkataan des Konings of der Koningin diganti dengan van den President of van den Vice-President. 23. Pasal 132 dan 133 dihapoeskan. 24. Dalam pasal 134 perkataan2 Koning of der Koningin diganti dengan President of den Vice-President Pasal- 135 d a n d ih a p o e sk a n. 26. Dalam pasal 136 bis bagian kalimat: de artikelen 134, 135 en 136" haroes dibatja,.artikel Dalam pasal 137 bagian kalimat: den Koning, de Koningin, den gemaal der regeerende Koningin, den troonopvolger, een lid van het Koninklijk Huis of den Regent haroes dibatja den President o f den Vice-President. 28. Pasal 138 dihapoeskan. 29. Pasal 139 dirobah sebagai berikut: a. ajat ( 1) dihapoeskan. b. dalam ajat (2) bagian kalimat: een der in de artikelen omschreven misdrijven haroes dibatja het in artikel om schreven misdrijf. c. dalam ajat (3) bagian kalimat: een der in de artikelen omschreven misdrijven haroes dibatja het in artikel om schreven misdrijf.

27 30. Perkataan NederIandsche dalam pasal 143 dan 144 haroes dibatja Indonesische. 31. Dalam pasal 146 dan 147 bagian2 kalimar: den Volksraad, van een provincial en raad of van een raad ingesteld ingevolge artikel 121 tweede lid, dan wel ingevolge artikel 124 tweede lid der Indische Staatsregeling haroes dibatja een door of namens de Regeering ingesteld wetgevend, besturend of volksvertegenwoordigend lichaant. 32. Pasal 153 bis dan pasal 153 ter dihapoeskan. 33. Dalam pasal 154 dan 155 bagian kalimat:,.nederland of van Nederlandsch-Indie haroes dibatja Indonesie. 34. Pasal 161 bis dihapoeskan. 35. Dalam pasal 164 angka-angka,, haroes dibatja,,104, 106, 107 en Dalam pasal 165 angka-angka dan,, masing2 haroes dibatja,,104, 106, 107 en 108 dan en Pasal 171 dihapoeskan. 38. Dalam pasal 207 dan 208 bagian kalimat: Nederland of in Nederlandsch-Indie haroes dibatja Indonesie. 39. Dalam pasal 210 ajat (1) ke-2 bagian kalimat: dan wel aan een inlandschen officier van Justitie dihapoeskan. 40. Dalam pasal 228 bagian kalimat: vier maanden en twee weken diganti dengan twee jaren. 41. Pasal 230 dihapoeskan. 42. Dalam pasal 234 dibelakang perkataan2 in een postbus gestoken ditambah dengan perkataan dan wel aan een koerier toevertrouwd. 43. Dalam pasal 238 perkataan Gouverneur-Generaal haroes dibatja President. 44. Pasal 239 dirobah sebagai berikut: a. bagian kalimat: buiten de gevallen waarin het krachtens algemeene verordening veroorloofd is, zonder toestemming van den Gouverneur-GeneraaP, dihapoeskan. b. perkataan Inlander diganti dengan Warga Negara Indonesia. 45. Dalam pasal 240 ajat (1) no. 1 bagian kalimat: 167 der Indische Staatsregeling haroes dibatja 30 der Oendang-oendang Dasar.

28 46. Dalam pasal2 253 dan 260 perkataan2 van rijkswege of dihapoeskan. 47. Dalam pasal 260 bis bagian-bagian kalimat: hetzij van Suriname of Curasao dan hetzij, voorzoover merken betreft, van Nederland dihapoeskan. 48. Dalam pasal 274 perkataan,jnlandsch dihapoeskan. 49- Dalam pasal 420 ajat (1) no. 2 bagian kalimat: dan wel de Inlandsch Officier van Justitie die dihapoeskan. 50. Dalam pasal2 447, 448 dan 449 perkataan Nederlandsch o f dihapoeskan. 51. Dalam pasal 450 dan 451 perkataan Nederlandsche Regeering diganti dengan Indonesische Regeering. 52. Dalam pasal2 453, 454, 455 dan 458 ajat (1) perkataan Nederlandsch of dihapoeskan. 53. Dalam pasal 458 ajat (2) perkataan Nederlandschen diganti dengan Indonesischen. 54. Dalam pasal 459 ajat (1), 461, 463, 464 ajat (1), 466, 467, 468, 469 ajat (1), 470 dan 471 perkataan Nederlandschen of" dihapoeskan. 55. Dalam pasal 473 dan 474 perkataan3 Nederlandsch(e) diganti dengan Indoncsi5ch(c), 56. D alam pasal2 475, 476 dan 477 perkataan2 Nederlandsch o f dihapoeskan. 57. Pasal 487 dirobah sebagai berikoet: a. angka-angka dan perkataan2,,130, eerste lid dan,,105 dihapoeskan. b. angka-angka,, haroes dibatja Dalam pasal 490 no. 4 bagian kalimat: aan het hoofd van plaatselijk bestuur den assistent-resident diganti dengan 3,aan het hoofd van de politie. 59- Dalam pasal 495, ajat ( 1) bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur den regent diganti dengan het hoofd van de politie.

29 60. Dalam pasal 496 bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur den assistent-resident diganti dengan hec hoofd van de politie. 61. Dalam pasal 500 bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur den resident diganti dengan het hoofd van de politie. 62. Dalam pasal 501 ajat (1) no. 2 bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur den assistent-resident diganti dengan het hoofd van de politie. 63- Pasal 507 dirobah sebagai berikoet: a. bagian le dibatja demikian: hij, die zonder daartoe gerechtigd te zijn, een Indonesischen adellijken titel voert, of een Indonesisch ordeteeken draagt. b. perkataan2,/skonings verlof haroes dibatja verlof van den President. 64. Dalam pasal 508 bagian kalimat: van een zelfstandige gemeenschap als bedoeld in artikel 121 eerste lid of artikel 123 tweede lid der Indische Staatsregeling dan wel van een waterschap haroes dibatja van een bij de wet ingestelde of erkende zelfstandige gemeenschap. 65. Dalam pasal 510 bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur den resident haroes dibatja het hoofd van de politie. 66. Dalam pasal 516 bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur of aan den door dezen aangewezen den door den resident aan te wijzen haroes dibatja het hoofd van de politie of aan den door dezen aangewezen 67. Dalam pasal 524 bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur den assistent-resident haroes dibatja den daartoe aangewezen ambtenaar.

30 68. Dalam pasal 544 ajat (1) bagian kalimat: het hoofd van plaatselijk bestuur den regent haroes dibatja het hoofd van de politie. Pasal IX. Barangsiapa membikin benda sematjam mata oeang atau oeangkertas dengan maksoed oentoek mendjalankannja atau menjoeroeh mendjalankannja sebagai alat pembajaran jang sah, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja lima belas tahoen. Pasal X. Barangsiapa dengan sengadja mendjalankan sebagai alat pembajaran jang sah mata oeang atau oeang kertas, sedang ia sewaktoe memerimanja mengetahoei atau setidak-tidaknja patoet dapat mendoega bahwa bendabenda itoe oleh pihak pemerintah tidak diakoei sebagai alat pembajaran jang sah, atau, dengan maksoed oentoek mendjalankannja atau menjoeroeh mendjalankannja sebagai alat pembajaran jang sah, menjediakannja atau memasoekannja kedalara Indonesia, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja lima belas tahoen. Pasal XI. Barangsiapa dengan sengadja mendjalankan sebagai alat pembajaran jang sah mata oeang atau oeang kertas jang dari pihak Pemerintah tidak iakoei sebagai alat pembajaran jang sah, dalam hal diloear keadaan sebagai jang terseboet dalam pasal jang baroe laloe, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tinginja lima tahoen. Pasal XII. Barangsiapa menerima sebagai alat pembajaran atau penoekaran atau se agai hadiah atau menjimpan atau mengangkoet mata oeang atau oeang ertas, sedangkan ia mengetahoei bahwa benda-benda itoe oleh pinak emerintah tidak diakoei sebagai alat pembajaran jang sah, dihoekoem engan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja lima tahoen. Pasal XIII. Kalau orang dihoekoem karena melakoehan salah soeatoe kedjahatan seperu terseboet dalam pasal IX, X. XI dan XII, maka mata oeang atau oeang ertasnja serta benda lain jang dipergoenakan oentoek melakoekan s a soeatoe kedjahatan itoe dirampas, djoega kalau benda-benda itoe boekan kepoenjaan terhoekoem.

31 Pasal XIV. (1) Barangsiapa, dengan menjiarkan berita atau pemberitahoean bohong, dengan sengadja menerbitkan keonaran dikalangan rakjat, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja sepoeloeh tahoen. (2) Barangsiapa menjiarkan soeatoe berita atau mengeloearkan pemberitahoean, jang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakjat, sedangkan ia patoet dapat menjangka bahwa berita atau pemberitahoean itoe adalah bohong, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi- tingginja tiga tahoen. Pasal XV. Barangsiapa menjiarkan kabar jang tidak pasti atau kabar jang berkelebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknja patoet dapat mendoega, bahwa kabar demikian akan atau moedah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakjat, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja doea tahoen. Pasal XVI. Barangsiapa terhadap bendera kebangsaan Indonesia dengan sengadja mendjalankan sesoeatoe perboeatan jang dapat menimboelkan perasaan penghinaan kabangsaan, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setmggi- tingginja satoe tahoen enam boelan. Pasal terachir. Oendang-oendang ini moelai berlakoe boeat poelau Djawa dan Madoera pada hari dioemoemkannja dan boeat daerah lain pada hari jang akan ditetapkan oleh Presiden.1) Agar oendang-oendang ini diketahoei oleh oemoem, memenntahkan soepaja dioemoemkan sebagai biasa. Dioemoemkan pada tg. 26 Pebroeari Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 26 Pebroeari SOEKARNO. Menteri Kehakiman, SOEWANDI. i) L jh at p eratu ran P em erintah no. 8 th (h. 191 d ari b agian in i).

32 a. Pendjelasan. B.R.I, th. II no. 9, h PENDJELASAN OEMOEM. I. Berdasarkan pasal II Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar berhoeboeng dengan Peratoeran Presiden Repoeblik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 (Berita Repoeblik Indonesia Tahoen I No. 1), maka sekarang berlakoe semoea peratoeran hoekoem pidana jang ada pada tanggal 17 Agoestoes 1945, baik jang asalnja dari pemerintah Hindia- Belanda maoepoen jang ditetapkan oleh pemerintah balatentara Djepang. Hal ini sekarang ternjata menimboelkan kesoekaran jang dengan singkat akan dioeraikan dibawa ini. Peratoeran peratoeran jang dikeloearkan oleh pemerintah Hindia- Belanda pada oemoemnja berlakoe boeat seloeroeh Indonesia, sedangkan peratoeran-peratoeran jang ditetapkan oleh pemerintah balatentara Djepang hanja berlakoe boeat sebagian dari Indonesia sadja, oleh karena Indonesia pada zaman Djepang dibagi mendjadi beberapa daerah (Djawa, Soematera, Borneo, dll.) jang masing2 mempoenjai pemerintah dan peratoeransendiri. Dari sebab itoe maka moengkin soeatoe peratoeran Hindia-Belanda, jang doeloe berlakoe boeat seloeroeh Indonesia, oleh pemerintah Djepang di Djawa dan Madoera diganti seloeroehnja dengan peratoeran baroe, di Soematera hanja sebagian d ig a n t i d m d i Borneo sama sekali tidak diganti. Moengkin poela boeat tiap3 daerah tentang soeatoe hal oleh pem erintah daerah Djepang diakan soeatoe peratoeran baroe jang satoe sama lain tidak sama isinja. Selain dari pada itoe peratoeran hoekoem pidana Hindia Belanda dan Djepang tidak sama sisteemnja. Sedangkan peratoeran hoekoem pidana Hindia Belanda berdasarkan azas. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege penali (tidak ada pelanggaran dan tidak ada hoekoeman djikalau tidak lebih doeloe ada soeatoe atoeran hoekoem pidana) (lihatlah pasal 1 Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie), maka peratoeran hoekoem pidana Djepang berazas loeas (lihatlah misalnja pasal 14 dan pasal 35 No. 8 Gunsei Keizirei). Disini tidak akan diroendingkan sisteem manakah sebagai sisteem terlebih baik, akan tetapi soedah barang tentoe, bahwa tidak baik menggoenakan doea sisteem itoe dalam peratoeran-peratoeran hoekoem pidana, jang bersama-sama berlakoe dalam sesoeatoe daerah.

33 Lagi poela peratoeran tentang bagian oemoem (algemeene leerstukken) dari hoekoem pidana Hindia-Belanda dan Djepang tidak sama. Didalam praktek peratoeran bagian oemoem dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie haroes dipakai djikalau pelanggaran mengenai peratoeran Hindia-Belanda sedang peratoeran bagian oemoem dari Gunsei Keizirei haroes dipergoenakan, djikalau peratoeran Djepang jang dilanggar. Dirasa ta perloe memberi keterangan pandjang lebar, bahwa menjampoerkan peratoeran-peratoeran hoekoem pidana Hindia-Belanda dan Djepang itoe tidak memoeaskan dan menimboelkan kesoelitan bagi mereka jang haroes mendjalankan hoekoem pidana itoe, lebih-iebih bagi pegawai polisi jang boekan ahli hoekoem. Dari sebab itoe tidak mengherankan, bahwa dari beberapa tempat dan pihak dioesoelkan soepaja satoe peratoeran kriminil sadjalah dipakai. Lebih tegas dioesoelkan oleh mereka soepaja peratoeran-peratoeran hoekoem pidana Djepang dihapoeskan. Memang tidak dapat disangkal, bahwa peratoeran-paratoeran hoekoem pidana Djepang, jang berlakoe ditanah kita, bersifat fasdstisch, lagi poela tidak meroepakan peratoeran jang boelat, kerap kali tidak djelas dan mengandoeng banjak boekti, bahwa peratoeran2 itoe disoesoen dengan tergesa-gesa pada masa jang ta tenang, sedang Gunsei Keizirei kadang2 memaksa hakim mendjatoehkan hoekoeman jang tidak setimbang dengan kesalahan pesakitan, oleh karena beberapa pasal ta memberi kesempatan kepada hakim memberi hoekoeman lebih enteng dan pada batas tetloekis dalam pasal2 itoe. Sebaliknja boleh dikatakan, bahwa peratoeran kriminil Hindia-Belanda, walaupoen tidak sempoerna, tjoekoep lengkap dan pada oemoemnja tidak mengandoeng tjatjat2 seperti dimaksoed diatas, sehingga peratoeran2 ini, sebeloem dapat diselesaikan peratoeran2 hoekoem pidana nasional, boleh dipakai boeat sementara waktoe, sesoedah peratoeran2 itoe dirobah dan ditambah seperloenja. Berdasarkan pertimbangan2 terseboet dirasa perloe melenjapkan peratoeran8 kriminil Djepang, sehingga boeat sementara waktoe berlakoe lagi peratoeran2 hoekoem pidana Hiindia-Belanda jang ada pada tanggal 8 Maret Perloe kiranja diterangkan disini, bahwa jang akan tidak berlakoe lagi itoe, ialah peratoeran3 hoekoem pidana sahadja, jaitoe Gunsei Keizirei dan peratoeran2 Djepang lain jang memoeat materieel strafrecht. Peratoeran2 Djepang jang bersifat lain teroes berlakoe. II Oleh karena Negara Repoeblik Indonesia sekarang tidak dalam

34 keadaan perang dengan Negara manapoen, dan keadaan bahaja tidak dinjatakan oleh Presiden (lihadah pasal 12 Oendang-oendang Dasar), maka dianggap koerang tepat mengadakan peratoeran2 sebagai Verordeningen van het Militair Gezag jang dikeloearkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda. Dari sebab didalam praktek disangsikan, apakah peratoeran2 itoe masih berlakoe atau tidak, maka sebaiknja dinjatakan, bahwa oendang itoe ditjaboet (lihatlah pasal 2 dari rentjana). III. Tidak perloe diterangkan, bahwa semoea peratoeran jang berlakoe pada tanggal 8 Maret 1942, mestinja satoe demi satoe sedapat-dapat haroes disesoeaikan dengan keadaan sekarang. Hal ini sedapat-dapat dilaksanakan terhadap Kitab oendang-oendang hoekoem pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie). Tetapi pekerdjaan itoe tidak moengkin sekali goes diselenggarakan terhadap semoea peratoeran. Berhoeboeng dengan itoe, maka dengan pasal III, IV dan V dari rentjana diberi petoendjoek walaupoen djaoeh dari sempoerna kepada mereka jang haroes mendjalankan peratoeran hoekoem pidana sehari-hari, djalan manakah jang haroes ditempoeh oentoek menjesoeaikan peratoeran lama dengan kaadaan sekarang, sebeloem peratoeran2 itoe dapat dirobahatau diganti. IV. Tentang bahasa., ja n g dipakai dalam perobahan-perobahan dalam xca oendang-oendang hoekoem pidana, baik kiranja diberi keterangan Se e arnla- Karena kitab terseboet ditoelis dalam bahasa Belanda, maka agar soepaja tidak menimboelkan kekatj auan dalam membatjanja peroa an itoe, jang hanja mengenai satoe atau doea perkataan atau sebagian ari pasal atau.ajat, ditoelis poela dalam bahasa Belanda. V. Selain dari pada perobahan ketjil2 ini, dirasa perloe djoega merobah pasal 171 Kitab oendang-oendang hoekoem pidana seanteronja serta mengadakan beberapa atoeran2 baroe antara lain goena melindoengi masjarakat kita pada zaman pantjaroba ini. Oleh karena perobahan2 dan tambahan2 jang dimaksoed ini sangat dipengaroehi keadaan sekarang dan kini beloem dapat ditetapkan dengan pasti, apakah peratoeran itoe seperti jang dioesoelkan sekarang, akan tetap diboetoehkan, djoega boeat kemoedian hari, maka dianggap Iebih tepat memberi tempat kepada pasal-pasal terseboet diloear badan Kitab oendangoendang hoekoem pidana. Pasal-pasal ini ditoelis dalam bahasa Indonesia (lihatlah pasal IX, X. XI, XII, XIII dan XV).

35 VI. Hingga kini terdjemahan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie dalam bahasa Indonesia tidak sama. Nama2 jang dipakai ialah antara lain: Kitab Oendang-oendang Hoekoem Siksa, Kitab Oendang oendang Hoekoem, Kitab Oendang-oendang Hoekoem Pidana dsb. Oentoek mentjapai persamaan dalam terdjemahan nama terseboet, dipandang perloe menetapkan terdjemahan resmi dengan oendang-oendang (lihatlah pasal 6 ). Istilah hoekoem pidana dalam arti strafrecht ialah istilah jang ditetapkan oleh Panitia istilah dari Panitia penjelenggara oendang8 di Departemen Kehakiman pada zaman Djepang. PENDJELASAN SEPASAL DEMI SEPASAL. Pasal I sampai VI. Pendjelasan telah diberikan dibagian pendjelasan oemoem. Petoendjoek3 dalam pasal I sampai V dirasa perloe terhadap peratoeran2 hoekoem pidana jang beloem dapat dirobah atau dikanti sesoeai dengan keadaan sekarang. Pasal VII. Tidak perloe diterangkan lagi. Pasal VIII. No. 1: Pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapoeskan (lihatlah No. 13, 19 dan 21). No. 2 dan 3a: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 3b, 3c dan No. 4: herhoeboeng dengan kedoedoekan djaksa sekarang, maka pegawai inilah jang haroes diberi kekoeasaan jang dimaksoed dalam pasal ini, sedangkan kewadjiban Gouverneur-Generaal doeloe patoet dise- rahkan kepada Menteri Kehakiman. No. 5, No. 6, No. 7, No. 8 : tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 9: Negeri Belanda, Suriname dan Curasao tidak masoek daerah Negara Indonesia. No. 10: Namanja badan2 politik jang dimaksoed dalam pasal ini beloem dapat diseboet. Komite Nasional Indonesia antara lainnja djoega masoek dalam pasal ini. No. 11 No. 12, No. 13: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 14: Pasal 105 dihapoeskan (lihatlah no. 13). No. 15, No. 16: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 17, No. 18: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 19: Pasal 105 dihapoeskan. (lihatlah no. 13). No. 20: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 21: Pasal ini tidak sesoeai dengan bentoek Negara kita sebagai repoeblik.

36 No. 22: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 23: lihat pendjelasan no. 21. No. 24: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 25: lihat pendjelasan no. 21 dan perobahan pasal 134 (no. 24). No. 26: Pasal2 135 dan 136 dihapoeskan (lihatlah no. 25). No. 27, No. 28: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 29: a. pasal 130 dihapoeskan (lihatlah no. 21). b. pasal2 132 dan 133 dihapoeskan (lihatlah no. 23). c. pasal2 135 dan 136 dihapoeskan (lihatlah no. 25). No. 30: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 31: lihat pendjelasan no. 10. No. 32: Pasal2 ini dianggap tidak sesoeai dengan azas Negara kita sebagai negara jang democratis. No. 33: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 34: lihatlah pendjelasan no. 32. No. 35: Pasal 105 dihapoeskan. No. 36: Pasal2 105, 130, 132 dan 133 dihapoeskan. No. 37: dirobah dan djadi pasal XIV dan X V dari rantjangan ini. No. 38: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 39: bcrhoeboeng dengan kedoedoekan djaksa sekarang jang sama dengan (Eur.) Officier van Justitie doeloe. No. 41: Pasal ini tidak sesoeai dengan keadaan sekarang. No. 42: Tambahan dalam pasal 234 dianggap perloe oleh karena sekarang banjak so cra t2 dik irim k sn d en ga n perantaraan orang. No. 43: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 44: Sekarang beloem terang kepada siapa kekoeasaan Gebernoer- Djenderal jang dimaksoed dalam pasal 239 Kitab oendang-oendang hoekoem pidana akan diberikan. No. 45, No. 46: tidak perloe diberi pendjelasan. No. 47: Suriname, Curasao dan Nederland telah masoek perkataan buitenlandsche mogendheid. No. 48: Perkataan lnlandsch tidak ada artinja lagi. No. 49: Penghapoesan ini adalah sesoeai dengan kedoedoekan Djaksa sekarang. No. 50, No. 51, No. 52, No. 53, No. 54, No. 55, No. 56: tidak memboetoehkan pendjelasan. No. 57: Pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapoeskan (lihatlah no. 13, 2 1 dan 23). No. 58, No. 59, No. 60, No. 61, No. 62: Dirasa tepat, bawah laporan jang dimaksoed haroes disampaikan kepada Kepala Poelisi.

37 No. 63, No. 64, No. 65, No. 6 6; tidak perloe didjelaskan. No. 67: Pegawai jang dimaksoed dalam pasal ini haroes ditoendjoek antara Iain dalam pasal2 41 dan 333 dari Burgerlijk Wetboek. No. 68: Kepala Poelisi ditoendjoek dalam pasal ini berhoeboeng dengan kedoedoekan sekarang. Pasal IX sampai XIII. Pasal2 ini diboetoehkan boeat menindas oesaha oentoek mengatjaukan peredaran oeang dinegeri kita dengan menjebarkan mata oeang atau oeang kertas jang oleh pihak Pemerintah kita tidak diakoei sebagai alat pembajaran jang sah. Mata oeang atau oeang kertas jang tidak diseboet dalam Makloemat Presiden Repoeblik Indonesia tertanggal 3 Oktober 1945 No. 1/10 sebagai alat pembajaran jang sah, adalah boeat daerah Djawa dan Madoera alat pembajaran jang tidak sah. Pasal IX: Mengantjam hoekoeman terhadap barangsiapa membikin benda sematjam mata oeang atau oeang kertas denggan maksoed seperti diterang- kan dalam pasal itoe. Pasal X dan pasal XI: disoesoen hampir sama dengan soesoenan pasal 245 dan pasal 249 Kicab oendang-oendang hoekoem pidana. Bedanja disebabkan oleh hal jang pasal X dan XI mengenai mata oeang atau oeang kertas jang tidak sah, sedangkan pasal 245 dan 249 Kitab oendang-oendang hoekoem pidana mengenai mata oeang atau oeang kertas palsoe atau jang dipalsoekan. Pendjelasan dalam kitab2 tafsir tentang pasal 245 dan 249 Kitab oendang2 hoekoem pidana dapat dipergoenakan oentoek menafsirkan pasal X dan XI dari rantjangan ini, dengan mengingat akan bedanja Pasal XIII: meroepakan pasangannja pasal 250 bis Kitab oendang-oendang hoekoem pidana. Pasal XIV dan pasal XV: menggantikan pasal 171 Kitab oendang-oendang hoekoem pidana, jang pada masa pentjaroba ini perloe diperloeaskan. Pasal XIV: ialah sama dengan Verordening No. 18 van het Militair ^ ^ K eonaran adalah Iebih hebat dari pada kegelisahan dan menggontjangkan hati pendoedoek jang tidak sedikit djoemlahnja. Kekatjauan memoeat djoega keonaran. ^ M enjiarkan artinja sama dengan verspreiden dalam pasal 17 1 Kitab oendang-oendang hoekoem pidana. Pasal X V: disoesoen tidak begitoe loeas sebagai Verordening No. 19 van het Militair Gezag. Pasal ini mengenai kabar angin (kabar jang tidak pasu) dan kabar jang disiarkan dengan tambahan atau jang dikoerangi. M enjiarkan kabar benar setjara jang benar tidak dihoekoem.

38 A rti perkataan keonaran telah didjelaskan dalam pendjalasan pasal XIV. Pasal terachir. Oleh karena berhoeboeng dengan soekarnja perhoeboengan antara poelau Djawa dan daerah Negara Indonesia jang lain sekarang beloem dapat ditetapkan bilamana Oendng-oendang ini akan berlakoe boeat daerah diloear poelau Djawa dan Madoera, maka sebaiknja diserahkan kepada Presiden oentoek menentoekan saat itoe. 2. Batas-waktunja piutang padjak berkohir. (Verjaring van cohierbelastingschulden) 16 Maret 1946 B.R.I. th. II no , h Mengingat: OENDANG-OENDANG No. 2 th Tentang batas-waktoe pioetang padjak berkohir. Presiden Repoeblik Indonesia, peratoeran tentang batas-waktoenja pioentang padjak jang tertjatat dalam kohir, terjantoem dalam Staatsblad 1882 No dan beberapa ordonansi padjak jang menoeroet Oendang2 No. 1 tanggal 7 boelan 3 tahoen 2602 (Sumera) Makloemat Kementerian Keoeangan No, 1 ta n gg a l 5 O k to b et 1945 dan peratoeran Presiden No. 2 tg. 10 Oktober masih berlakoe; Menimbang: bahwa keadaan loear biasa boeat sementara memerloekan adanja peratoeran baroe tentang batas-waktoenja pioetang padjak; Mengingat: pasal 5 Oendang2 Dasar Negara Repoeblik Indonesia dan Makloemat Wakil-Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan Oendang-oendang sebagai berikoet: Pasal 1. Peratoeran tentang batas-waktoenja pioetang padjak dimaksoed dalam Staatsblad 1882 No. 280 dan beberapa ordonansi padjak jang bersangkoetan, tidak berlakoe lagi sampai pada waktoe jang kamoedian akan ditentoekan.

39 Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada tanggal 17 Agoesroes Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 16 Maret Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. Dioemoemkan pada tg. 16 Maart Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. a. P e n d je la s a n (tidak termasuk dalam B.R.I.) Dalam Staatsblad 1882 No. 280 ditentoekan, bahwa pioetang padjak jang tertjatat dalam kohir, sepandjang peratoeran padjak itoe sendiri, tidak memoeat peratoeran jang berlainan (ordonansi padjak, verponding, perseroan dan oepah, liwat batas waktoenja (verjaring) oleh berlakoenja lima tahoen, terhitoeng dari awal tahoen oentoek mana padjak itoe dihoetang. Ordonansi padjak diseboet diatas djoega menentoekan batas lima tahoen tetapi terhitoeng tidak dari awal tahoen oentoek mana padjak dihoetang. Bersandar pada peratoeran Presiden Repoeblik Indonesia No. 2 tanggal 10 Oktober 1945 (Berita Repoeblik Indonesia No. 1, halaman 1), Makloemat Menteri Keoeangan No. 1 tanggal 5 Oktober 1945 (Berita Repoeblik Indonesia No. 2 halaman 12) dan Oendang-Oendang Pembesar Balatentara Dai Nippon No. 1 tanggal (Kan Po No. Istimewa boelan , hal 6 ) adalah peratoeran tentang lewat batas diatas masih tetap berlakoe. Dengan demikian maka padjak oentoek tahoen 1941 oemoemnja setelah 31 Desember 1945 ta akan dapat lagi ditagih dengan djalan mengeloearkan soerat paksa. Akan berlakoenja lewat batas waktoe (verjaring) itoe lazimnja oleh pedjabatan ditjegah dengan oempama memboeat soerat-persetoedjoean dengan wadjib padjak atau dengan mengeloearkan soerat paksa jang diberi tahoekan menoeroet perloenja kapada hakim jang tertentoe satoe dan lain terhadap padjak tahoen 1941 semestinja diselenggarakan sebeloem 1 Djanoeari Keadaan jang semendjak boelan Agoestoes 1945 semakin hari semakin

40 loear biasa, jang memaksa antara lain pindahnja kantor padjak (Soerabaja, Semarang) dengan sendirinja menghalangi pedjabatan padjak melakoekan tjara sebagai dioeraikan diatas oentoek mentjegah berlakoenja lewar batas waktoe. Keadaan loear biasa termaksoed, keadaan jang kiranja ta perloe lagi dioeraikan, memaksa mengemoekakan, oendang-oendang dimaksoed diatas agar soepaja padjak jang pada achir tahoen 1945 batas waktoenja lewat, masih dapat ditagih dimana perloe dengan djalan mengeloearkan soerat paksa. Pasal 1 rantjangan oendang-oendang termaksoed menentoekan tidak berlakoenja lagi peratoeran batas waktoe sampai pada waktoe jang kemoedian akan ditentoekan. Maksoed ialah, kemoedian djikalau keadaan telah meninta, kembali sebagai biasa, akan mengadakan oendang-oendang oentoek menentoekan waktoe itoe. Tanggal berlakoenja oendang-oendang dirantjangkan ialah 17 Agoestoes 1945, dan ini di-idzinkan oleh pasal 4 Peratoeran Presiden Repoeblik Indonesia No. 1 tanggal 10 Oktober Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. 3. Warga negara dan penduduk negara Indonesia.1) 2) (Indon.esisch staatsburger- en ingezetenschap) 10 A pril 1946 B-R- I. th. II no. 14, h OENDANG-OENDANG No. 3 th tentang warga negara dan pendoedoek negara Indonesia. Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesia bahwa oentoek menegoehkan kedoedoekan Negara Repoeblik Indonesia, perloe sekali diadakan atoeran jang menetapkan kewargaan Negara dan kedoedoekan-hoekoem pendoedoek Negara Repoeblik Indonesia; Mengingat: akan pasal 26. pasal 20 ajat 1, berhoeboeng dengan pasal IV Atoeran Peralihan dari Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden, tertanggal No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; a t:! * U n dan g-undan g no. 6 th. 1947; 2. U n d a n g -u n d a n g n o. a th 1947; 3^ U ndang-undang no. 11 th ) L ih at p u la P eraturan Pem erintah no. 5 th

41 Memoetoeskan: Menetapkan atoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang warga negara dan pendoedoek negara Indonesia. Pasal 1. W arga Negara Indonesia ialah: a. orang jang aseli dalam daerah Negara Indonesia; b. orang jang tidak masoek dalam golongan terseboet diatas akan tetapi toeroenan dari seorang dari golongan itoe, jang lahir dan bertempat kedoedoekan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, dan orang boekan toeroenan seorang dari golongan termaksoed, jang lahir dan bertempat kedoedoekan dan kediaman selama sedikitnja 5 tahoen bertoeroet-toeroet jang paling achir didalam daerah Negara Indonesia, jang telah beroemoer 21 tahoen atau telah kawin, ketjoeali djika ia menjatakan keberatan mendjadi Warga Negara Indonesia karena ia adalah warga negara negeri lain; c. orang jang mendapat kewargaan Negara Indonesia dengan tjara natoeralisasi; d. anak jang sah, disahkan atau diakoei dengan tjara jang sah oleh bapanja, jang pada waktoe lahirnja bapanja mempoenjai kewargaan Negara Indonesia; e. anak jang lahir dalam 300 hari setelah bapanja, jang mempoenjai kewargaan Negara Indonesia, meninggal doenia; f. anak jang hanja oleh iboenja diakoei dengan tjara jang sah jang pada waktoe lahirnja iboenja mempoenjai kewargaan Negara Indonesia; g. anak jang diangkat dengan tjara jang sah oleh seorang Warga Negara Indonesia; h. anak jang lahir didalam daerah Negara Indonsia, jang oleh bapanja ataupoen oleh iboenja tidak diakoei dengan tjara jang sah; i. anak jang lahir didalam daerah Negara Indonesia, jang tidak diketahoei siapa orang toeanja atau kewargaan negera orang toeanja. Pasal 2. (1) Seorang perempoean selama didalam perkawinan toeroet kewargaan negara soeaminja. (2) Permohonan atau pernjataan oentoek meroebah kewargaan negara tidak dapat diadjoekan oleh seorang isteri. Pasal 3- (1) Kewargaan Negara Indonesia jang diberikan kepada seorang bapa dengan sendirinja berlakoe djoega oentoek anak-anaknja jang sah

42 disahkan atau olehnja diakoei dengan tjara jang sah, dan anak-anakangkatnja jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin. (2) Kewargaan Negara Indonesia jang diberikan kepada seorang iboe-djanda dengan tjara natoeralisasi dengan sedirinja berlakoe djoega oentoek anak-anaknja jang sah atau disahkan, jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin. (3) Kewargaan Negara Indonesia jang didapat oleh seorang iboe dengan sendirinja berlakoe djoega oentoek anak-anaknja jang hanja olehnja diakoei dengan tjara jang sah, jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin. (4) Kehilangan kewargaan Negara Indonesia seorang bapa atau seorang iboe menoeroet perintjian diatas berlakoe djoega oentoek anakanaknja menoeroet perintjian itoe dan anak-anak-angkatnja, hanja djika anak-anak itoe toeroet mendapat kewargaan negara negeri lain. (5) Kehilangan kewargaan Negara Indonesia seorang iboe karena atau sebagai akibat dari perkawinannja atau karena pernjataan sebagai terseboet dalam pasal 10 tidak berlakoe oentoek anak-anaknja. Pasal 4. (1) Pernjataan terseboet dalam pasal 1 bab b haroes disampaikan dengan toelisan kepada Menteri Kehakiman dalam waktoe 1 tahoen setelah peratoeran dalam pasal terseboet berlakoe boeat orang jang bersangkoetan. (2) Bersama dengan soerat pernjataan orang jang menjatakan haroes menjampaikan atau bersanggoep akan memberi boekti-boekti tentang: a. kelahirannja dan kelahiran anak-anaknja menoeroet perintjian dalam pasal 3, jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin, dengan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteri-isterinja; b. perkawinan-perkawinannja; c. perpoetoesan perkawinan-perkawinannja; d. bahwa mereka adalah warga negera negeri lain. (3) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima soerat pernjataan itoe Menteri Kehakiman haroes mendaftarkan dan mengoemoemkan pernjataan itoe dalam madjallah Pemerintah, djika pernjataan itoe disahkan dan oentoek siapa pernjataan itoe berlakoe, dan memberitahoekan poetoesan tentang pernjataan itoe kepada orang jang menjatakan. Pasal 5. ( 1) Kewargaan Negara Indonesia dengan tjara natoeralisasi diperoleh dengan berlakoenja oendang-oendang jang memberikan natoeralisasi ito e.x) 31 I ^ a t 1^ gd a n s"im daris no- 4> 5, 9, 24, 25, 26 dan 27 th. 1947, d an n o. 4 d an

43 (2) Jang dapat memperoleh kewargaan Negara Indonesia dengan tjara natoeralisasi ialah orang jang telah beroemoer 21 tahoen atau jang telah kawin, jang telah bertempat kedoedoekan atau bertempat kediaman didalam daerah Negara Indonesia selama 5 tahoen bertoeroet-toeroet jang paling achir dan jang tjakap berbahasa Indonesia. (3) Oentoek tiap-tiap natoeralisasi haroes dibajar kepada Kas Negeri Indonesia oeang sedjoemlah / 500,. (4) Permohonan oentoek mendapat kewargaan Negara Indonesia dengan tjara natoeralisasi haroes disampaikan dengan toelisan diatas kertas jang bermeterai kepada Menteri Kehakiman dengan peranraraan Pengadilan Negeri dari daerah tempac kedoedoekan pemohon. (5) Bersama dengan permohonan oentoek natoeralisasi pemohon haroes menjampaikan atau bersanggoep akan memberi boekti-boekti dari hal: a. kelahirannja dan kelahiran anak-anaknja menoeroet perintjian dalam pasal 3, jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin, dengan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteri-isterinja; b. perkawinan-perkawinannja; c. perpoetoesan perkawinan-perkawinannja; d. telah bertempat kedoedoekan atau bertempat kediaman didalam daerah Negara Indonesia selama 5 tahoen bertoeroet-toeroet jang paling achir; e. ketjakapan berbahasa Indonesia; f. telah membajar oentoek natoeralisasi oeang sedjoemlah jang ditetapkan diatas kepada Kas Negeri Indonesia; g. djika pemohon itoe orang dari negeri asing, bahwa oendang-oendang negeri asing itoe tidak mendjadi halangan bagi natoeralisasi terseboet. (6) Setelah menerima soerat permohonan itoe maka Pengadilan Negeri berwadjib dengan selekas-lekasnja memeriksanja oentoek menetapkan apakah sjarat-sjarat jang ditetapkan oleh oendang-oendang ini dipenoehi. Dengan selekas-lekasnja setelah mengambil penetapan tentang permohonan itoe maka Pengadilan Negeri berwadjib mengirimkan salinan dari penetapan itoe disertai dengan soerat permohonan dan soerat-soerat lampirannja kepada menteri Kehakiman. (7) Djika permohonan itoe dikaboelkan maka dengan selekaslekasnja Menteri Kehakiman haroes memberitahoekannja kepada pemohon dengan perantaraan Ketoea Pengadilan Negeri jang bersangkoetan. (8) Oendang-oendang jang mengaboelkan permohonan oentoek natoeralisasi akan berlakoe pada hari pemohon dihadapan Pengadilan

44 Negeri dari daerah tempat kadoedoekannja bersoempah atau berdjandji setia kapada Negara Indonesia sebagai berikoet: Saja bersoempah (berdjandji), bahwa saja mengakoei dan menerima kekoeasaan jang tertinggi dari Negara Indonesia dan akan menepati kesetiaan kepadanja, bahwa saja akan mendjoendjoeng tinggi hoekoem-hoekoem Negara Indonesia, dan bahwa saja memikoel kewadjiban ini dengan rela hati dan tidak akan mengoerangi sedikitpoen. (9) Dari penjoempahan atau pengambiian djandji ini oleh penoelis Pengadilan Negeri haroes dibikin rentjana. (10) Kepada orang jang telah bersoempah atau berdjandji itoe dan kepada semoea orang jang toeroet terbawa dalam natoeralisasi itoe oleh Pengadilan Negeri seketika itoe djoega haroes diberikan sehelai kartoe boekti Warga Negara Indonesia menoeroet tjontoh jang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. (11) Dengan selekas-lekasnja Pengadilan Negeri haroes memberitahoekan pemberian kartoe boekti itoe kepada Menteri Kehakiman. (12) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima pemberitahoean terseboet diatas maka Menteri Kehakiman haroes mendaftarkan dan mengoemoemkannja dalam madjallah Pemerintah. (13) Djika permohonan oentoek natoeralisasi tidak dikaboelkan maka djoemlah oeang jang dibajarkan kepada Kas Negeri Indonesia haroes dikembaiikan Jagi. Pasal 6. (1) Bilamana anak jang mendapat kewargaan Negara Indonesia arena terbawa dalam natoeralisasi bapa atau iboenja sampai beroemoer ' ucn se^e^oem *toe kawin, maka dalam tahoen jang berikoet a o e menjatakan bahwa ia tidak soeka lagi terbawa dalam natoeralisasi itoe. (2) Pernjataan itoe haroes disampaikan kepada Menteri Kehakiman dengan toelisan. ersama dengan soerat pernjataan orang jang menjatakan haroes menjampaikan atau bersanggoep akan memberi boekti-boekti tentang: e a irannja dan kelahiran anak-anaknja menoeroet perintjian dalam pasal 3, dengan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteriistennja; b. kelahirannja sebeloem bapa atau iboenja mendapat kewargaan Negara Indonesia dengan tjara natoeralisasi; c. perkawinan-perkawinannja;

45 d. perpoetoesan perkawinan-perkawinannja; e. bahwa anak-anaknja terseboet diatas dengan pernjataan ini mendapat kewargaan negara negeri Iain. (3) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima soerat pernjataan itoe maka Menteri Kehakiman haroes mendaftarkan dan mengoemoemkan pernjataan itoe dalam madjallah Pemerintah, djika pernjataan itoe disahkan dan oentoek siapa pernjataan itoe berlakoe, dan memberitahoekan poetoesan tentang pernjataan itoe kepada orang jang menjatakan. Pasal 7. Natoeralisasi djoega dapat diberikan dengan beralasan kepentingan Negara. Dalam hal ini maka peratoeran-peratoeran terseboet dalam pasal 5 ajat 2 sampai dengan ajat 7 dan ajat 13 tidak berlakoe. Oendang-oendang jang memberikan natoeralisasi ini tiap-tiap kali menetapkan sjarat-sjaratnja oentoek natoeralisasi ini. Pasal 8. Kewargaan Negara Indonesia akan hilang: 1. oleh karena mendapat kewargaan negara dari negeri lain. 2. oleh karena dengan tidak mendapat idzin lebih dahoeloe dari Presiden Repoeblik Indonesia masoek mendjadi peradjoerit atau pegawai negeri dari negeri lain. Pasal 9- (1) Seorang perempoean jang disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannja kehilangan kewargaan Negara Indonesia, dapat memperoleh kewargaan itoe kembali, djika dalam waktoe 1 tahoen setelah perkawinannja terpoetoes ia menjatakan kehendaknja kepada Menteri Kehakiman dengan toelisan. Bersama dengan soerat pernjataan orang jang menjatakan haroes menjampaikan atau bersanggoep akan memberi boekti-boekti tentang: a. perkawinannja; b perpoetoesan perkawinannja; c' bahwa ia sebeloem kawin itoe adalah Warga Negara Indonesia; d kelahiran dan nama-nama jang lengkap dari anaknja jang lahir diloear perkawinan sesoedahnja perkawinan termaksoed diatas terpoetoes, jang hanja olehnja diakoei dengan tjara jang sah. (2) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima soerat pernjataan itoe maka Menteri Kehakiman haroes mendaftarkan dan mengoemoemkan pernjataan itoe dalam madjallah Pemerintah, djika pernjataan itoe disahkan ^ dan oentoek siapa pernjataan itoe berlakoe, dan memberitahoekan poetoesan * tentang pernjataan itoe kepada orang jang menjatakan.

46 (1) Seorang perempoean jang disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannja mendapar kewargaan Negara Indonesia, tetap mendjadi Warga Negara Indonesia, ketjoeali djika dalam waktoe 1 tahoen setelah perkawinannja terpoetoes, ia menjatakan dengan toelisan kepada Menteri Kehakiman, bahwa ia tidak soeka lagi mendjadi Warga Negara Indonesia. Bersama dengan soerat pernjataan orang jang menjatakan haroes menjampaikan atau bersanggoep akan memberi boekti-boekti tentang: a. perkawinannja; b. perpoetoesan perkawinannja; c. bahwa ia sebeloem kawin itoe boekan Warga Negara Indonesia. (2) Dengan selekas-lekasnja setelah menerima soerat pernjataan itoe maka Menteri Kehakiman haroes mendaftarkan dan mengoemoemkan pernjataan itoe dalam madjallah Pemerintah djika pernjataan itoe disahkan, dan memberitahoekan poetoesan tentang pernjataan itoe kepada orang jang menjatakan. Pasal 11. (1) Anak Warga Negara Indonesia jang kehilangan kewargaan Negara Indonesia karena terbawa oleh bapa atau iboenja jang dengan tjara natoeralisasi memperoleh kewargaan Negara dari negeri lain, dapat memperoleh kewargaan Negara Indonesia kembali, djika dalam waktoe 1 ta oen setelah ia beroemoer 21 tahoen atau sebeloemnja itoe setelah ia todisania men^ata^an kehendaknja kepada Mentiri Kehakiman dengan ^ ersama dengan soerat pernjataan orang jang menjatakan haroes njampai an atau bersanggoep akan memberi boekti-boekti tentang: a- e ahirannja dan kelahiran anak-anaknja menoeroet perintjian dalam P sa, engan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteriistennja; kelahirannja sebeloem bapa atau iboenja mendapat kewargaan negara dari negeri lain dengan tjara natoeralisasi; c. perkawinannja; d. perpoetoesan perkawinan-perkawinannja., ^ Den an selekas-lekasnja setelah menerima soerat pernjataan itoe ma a enteri Kehakiman haroes mendaftarkan dan mengoemoemkan ^ern taan.lt0e ^a^am madjallah Pemerintah, djika pernjataan itoe disahkan dan oentoek siapa pernjataan itoe berlakoe, dan memberitahoekan poetoesan tentang pernjataan itoe kepada orang jang menjatakan.

47 Menteri Kehakiman haroes mengadakan dan memelihara dalam departemennja seboeah dafcar goena pendaftaran-pendaftaran terseboet diatas. Pasal 13- Barang siapa boekan Warga Negara Indonesia, ialah orang asing. Pasal 14. (1) Pendoedoek Negara Indonesia ialah tiap-tiap orang jang bertempat kedoedoekan didalam daerah Negara Indonsia selama 1 tahoen bertoeroet-toeroec. (2) Kedoedoekan-hoekoem Pendoedoek Negara Indonesia seseorang hilang dengan sendirinja oleh karena orang itoe bertempat kedoedoekan diloear daerah Negara Indonesia. (3) Seorang perempoean selama didalam perkawinan toeroet kedoedoekan-hoekoem pendoedoek negara soeaminja. (4) Anak jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin dianggap sebagai Pendoedoek Negara Indonesia, djika bapa atau walinja mempoenjai kedoedoekan-hoekoem Pendoedoek Negara Indonesia. Bilamana anak itoe sampai beroemoer 21 tahoen atau sebeloem itoe kawin, maka ia tetap mendjadi Pendoedoek Negara Indonesia, djika ia bertempat kedoedoekan didalam daerah Negara Indonesia. Pasal 15. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkannja. Peratoeran peralihan. I. Orang-orang, jang pada waktoe oendang-oendang ini moelai berlakoe tidak mempoenjai bapa lagi dan pada waktoe itoe beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin, adalah Warga Negara Indonesia, djika bapanja pada waktoe meninggal doenia memenoehi sjarat-sjarat terseboet dalam pasal 1 bab b. Jang dapat menjatakan sebagai terseboet dalam achir pasal 1 bab b boeat orang-orang terseboet diatas ialah wali orang-orang itoe. II. Seorang perempoean jang pada waktoe oendang-oendang ini moelai berlakoe tidak mempoenjai soeami lagi karena soeaminja jang achir meninggal doenia, sedangkan soeami itoe pada waktoe m eninggal doenia memenoehi sjarat-sjarat terseboet dalam pasal 1 bab a atau bab b, adalah Warga Negara Indonesia, ketjoeali djika dalam waktoe 1 tahoen sesoedahnja oendang-oendang ini berlakoe ia menjatakan tidak soeka m endjadi Warga Negara Indonesia karena ia sendiri tidak memenoehi sjarat-sjarat terseboet.

48 Dalam hal ini berlakoe peratoeran-peratoeran dalam pasal 10 dengan perbedaan ajat 1 kalimat 2 bab c mendjadi: bahwa ia tidak memenoehi sjarat-sjarat terseboet dalam pasal 1 bab a atau pasal 1 bab b. III. Sampai waktoe jang akan ditetapkan dengan peratoeran Pemerintah maka soerat pernjataan terseboet dalam pasal 4 ajat 1, pasal 6 ajat 2, pasal 9 ajat 1, pasal 10 ajat 1 dan pasal 11 ajat 1 haroes disampaikan kepada Menteri Kehakiman dengan perantaraan Pengadilan Negeri dari daerah tempat kedoedoekan orang jang menjatakan. Setelah menerima soerat pernjataan terseboet dalam ajat 1 maka Pengadilan Negeri dengan selekas-lekasnja haroes meneroeskannja kepada Menteri Kehakiman. Agar Oendang-oendang ini diketahoei oleh oemoem, memerintahkan soepaja dioemoemkan sebagai biasa. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 10 A pril Presiden Repoeblik Indonesia, SOEKARNO. Menteri Kehakiman, Dioemoemkan pada SOEWANDI. tg- 10 April Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. a. Pendjelasan umum 15 Djanuari 1946 B.R.I. Siaran Istimewa, h Kepada Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat, Djalan Tjilatjap 4, D JAKARTA. Bersama ini saja sampaikan kepada toean-toean rantjangan oendangoendang tentang warga negara dan pendoedoek Negara Indonesia dengan Pendjelasan -nja, oentoek dibitjarakan dalam sidang toean-toean. Rantjangan terseboet diselenggarakan dengan bantoean seboeah Panitia di Kementerian Kehakiman, jang boeah oesahanja mendapat persetoedjoean saja. Oentoek mendjelaskan dan menambah keterangan jang termoeat dalam Pendjelasan, saja kemoekakan sebagai berikoet: A. Oendang-oendang tentang apapoen djoega tidak boleh berten-

49 tangan dengan Oendang-oendang Dasar; maka dalam merantjang oendangoendang tentang kewargaan Negara Indonesia kita terikat pada pasal 26 dari Oendang-oendang Dasar, jang menetapkan: (1) Jang mendjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia aseli dan orang-orang bangsa lain jang disahkan dengan oendang-oendang sebagai warga negara. (2) Sjarat-sjarat jang mengenai kewargaan negara ditetapkan dengan oendang-oendang. Selain dari pada pasal dari Oendang-oendang Dasar itoe kita terikat djoega pada Makloemat Pemerintah Repoeblik Indonesia, tertanggal , karena Makloemat terseboet memoeat pendirian Pemerintah Repoeblik Indonesia tentang kewargaan Negara Indonesia dalam kalimat: Sedjadjar dengan oesaha persahabatan kita dengan tetangga kita serta dengan seloeroeh doenia, kita tidak sadja akan berichtiar mendjadi soeatoe anggauta United Nations menjetoedjoei benar-benar maksoed Charter United Nations, akan tetapi didalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan kita dengan atoeran kewargaan jang akan lekas memboeat semoea golongan Indo Asia dan Eropah mendjadi orang Indonesia sedjati, mendjadi patriot dan demokrat Indonesia. Dalam Oendang-oendang Dasar diperintalikan bahwa jang mendjadi Warga Negara Indonesia tidak hanja orang-orang bangsa Indonesia aseli; akan tetapi terhadap Warga Negara jang Iain itoe Oendang-oendang Dasar tidak memberi batasan tentang: 1. bangsa lain mana; 2. sjarat-sjarat apa; 3. tjara bagaimana; hanja menetapkan bahwa orang-orang bangsa lain itoe mendjadi Warga Negara Indonesia karena disahkan dengan oendang-oendang, djadi tidak karena soedah ditetapkan dalam Oendang- oendang Dasar. Dalam Makloemat Pemerintah terseboet didjelaskan bahwa dari orang-orang bangsa lain itoe golongan Indo Asia dan (Indo) Eropah, jang dengan singkat diseboet golongan peranakan, haroes diistimewakan, jaitoe atoeran kewargaan (negara) haroes akan lekas (moedah) memboeat semoea golongan peranakan itoe mendjadi orang (warga) Indonesia sedjati, mendjadi patriot dan demokrat Indonesia. Pendjelasan ini berarti bahwa boleh ditetapkan sjarat-sjarat jang haroes dipenoehi oleh orang-orang peranakan oentoek memperoleh kewargaan Negara Indonesia, akan tetapi sjarat-sjarat itoe tidak boleh terasa berat oleh orang-orang itoe, sedangkan tjara memperoleh kewargaan negara itoe haroes moedah poela.

50 Terhadap bangsa lain jang boekan peranakan, jaitoe biasa diseboet golongan totok, oendang-oendang jang mengatoer kewargaan negara tidak diikat oleh Makloemat Politik, hanja haroes mengingat haloean politik Pemerintah dalam hal ini, jang ternjata memboeka pintoe. Sebab itoe sjarat-sjarat dan tjara oentoek golongan totok haroes moedah poela. Maka jang mendjadi soal ialah golongan peranakan. 1. Siapakah jang dinamakan peranakan; 2. Sjarat-sjarat bagaimanakah jang dinamakan moedah; 3. Tjara bagaimanakah jang dinamakan moedah dan jang dapat melaksanakan tjita-tjita diatas itoe? Tentang hal No. 1 dapat dikemoekakan bahwa jang dinamakan peranakan itoe ialah semoea orang boekan bangsa Indonesia jang lahir didalam daerah Negara Indonesia. Hal No. 2 dapat dipermoedahkan mendjadi soal tawar-menawar. Tentang hal No. 3 adalah doea aliran jang masing-masing mempoenjai tjai;a jang moedah oentoek melaksanakan tjita-tjita dalam Makloemat Pemerintah itoe, akan tetapi jang satoe sama Iain bertentangan dalam azasnja, ja'ni: I. Semoea orang bangsa peranakan jang memenoehi beberapa sjarat jang moedah kita djadikan Warga Negara Indonesia, dengan memberi kesempatan kepada mereka oentoek menolak atau melepaskan kewargaan negara ini dengan tjara jang moedah (dengan singkat diseboet systeem passief). II. Kepada orang-orang peranakan itoe kita berikan kesempatan dengan tjara jang moedah dengan soeka rela mendjadi W arga Negara Indonesia (dengan singkat diseboet systeem actief). Rantjangan oendang-oendang jang dilampirkan adalah menoeroet systeem passief, akan tetapi, oleh karena Panitya sendiri memeloek systeem actie, maka disamping rantjangan terseboet (dalam Pendjelasan ) dikemoekakan djoega seboeah rantjangan jang sesoeai dengan pendirian Panitya itoe. Dalam menjelenggarakan systeem actief ini, Panitya tidak meloepakan pendirian Makloemat Politik jang terhadap soal ini (bersikap) loeas. Meskipoen hoeboengan Panitya dengan Kementerian Kehakiman a a ah soal intern, mengingat pentingnja masalah, pendirian Panitya terse oet djoega disadjikan kepada Dewan Pekerdja oentoek menambah bahan pertimbangan. B. Peratoeran tentang kewargaan negara sebetoelnja hanja memberi djawaban atas pertanjaan jang singkat, ja ni:

51 Siapakah jang mendjadi Warga Negara? Akan terapi karena soal kewargaan negara itoe mengenai: 1. soal politik; 2. soal bangsa dan kebangsaan; 3. soal perkawinan dan perpoetoesan perkawinan; 4. soal anak; 5. soal memperoleh kewargaan negara dengan akibatnja; 6. soal kehilangan kewargaan negara dengan akibatnja, jang masingmasing masih haroes dipetjah lagi, dan soal-soal itoe sering tersoelam satoe sama lain, maka djawaban atas pertanjaan itoe tidak begitoe moedah diberikannja, seperti moengkin disangka. 1. Soal politik. Pembedaan warga negara dari boekan warga negara ialah berdasar atas perhoeboengan-hoekoem terhadap soeatoe negara. Orang-orang jang perhoehoengan-hoekoemnja terhadap negara itoe tererat, jaitoe orang2 dari golongan jang sepandjang pengetahoean sedjarah (boekan hypothese) hidoep dan mati didalam daerah negara itoe atau dengan pendek kata orang" asli, soedah barang tentoe mendjadi warga negara. Dinegeri manapoen djoega peratoeran kewargaan negara tentoe mengambil orang2 ini sebagai pokok-pangkal (ketjoeali kalau orang- itoe soedah tidak mempoenjai soeara). Maka dalam peratoeran kewargaan Negara Indonesia kita mengambil orang-orang jang asli dalam daerah Negara Indonesia sebagai pokokpangkal. Kebetoelan golongan orang2 ini terdiri dari satoe bangsa. Apakah disamping orang2 asli itoe ada orang2 Iain jang perhoeboengan-hoekoemnja terhadap Negara Indonesia kita persamakan dengan perhoeboenganhoekoem orang2 asli, itoe adalah soal politik. Djoega siapa (sjarat-sjarat) dan bagaimana (tjara) kita persamakan itoe adalah soal politik. Karena tiada tractaat jang mengikat maka menoeroet hoekoeminternasional Negara Indonesia merdeka oentoek mengatoer kewargaan negaranja dengan semaoe- (boekan semaoe-maoe-) nja. Haloean politik Negara Indonesia terhadap soal kewargaan negara telah diterangkan diatas. Haloean itoe ternjata bersifat memboeka pintoe. 2. Soal bangsa dan kabangsaan. Adapoean dalam Rantjangan Oendang-oendang Kewargaan Negara Indonesia ini diseboetkan djoega orang jang asli dalam daerah Negara Indonesia ialah karena perkataan itoe dipakai dalam pasal 26 Oendangoendang Dasar dan memang tepat. Meskipoen kita tidak melanggar Oendang-oendang Dasar djika kita memakai perkataan lain jang djoega maksoednja asli akan tetapi menoeroet perasaan perkataan asli itoe lebih

52 tepat dan nikmat daripada perkataan2 lain, misalnja perkataan (ingatlah zaman jang lampau) boemipoetera. Bahwasanja pasal 26 Oendang-oendang Dasar itoe mempergoenakan perkataan2 bangsa Indonesia asli dan 5)bangsa lain. Ini tidak berarti bahwa peratoeran kewargaan Negara Indonesia didasarkan kepada rascriterium, akan tetapi bermaksoed menjeboetkan sadja. Djoega peratoeran2 dalam Rantjangan Oendang-oendang ini sama sekali tidak berdasar atas ras-criterium, meskipoen didalam pasal 1 soedah moentjoel perkataan asli \ Menoeroet oeraian diatas kita haroes membedakan antara 3 golongan (boekan bangsa), jaitoe: 1. golongan (kebetoelan 1 bangsa) Indonesia asli; 2. (beberapa) golongan peranakan; 3. (beberapa) golongan totok; jang satoe sama lain terhadap kewargaan Negara Indonesia hanja berbedaan dalam sjarat2 dan tjara oentoek memperolehnja. Semoea golongan itoe haroes memenoehi sjarat2 oentoek memperoleh kewargaan Negara Indonesia, dan menoeroet haloean politik Pemerintah sjarat-sjarat itoe haroes moedah, djoega tjara memperoleh kewargaan negara itoe haroes moedah. X. Golongan Indonesia asli (jang telah memenoehi sjarat asli) dengan sendirinja memperoleh kewargaan Negara Indonesia (Pasal 1 bab a). 2. Golongan peranakan (jang telah memenoehi sjarat kelahiran didalam daerah Negara Indonesia) dengan sendirinja memperoleh kewargaan Negara Indonesia, djika memenoehi beberapa siarat laei iane moedah. (Pasal 1 bab b). 3. Golongan totok (jang sama sekali beloem memenoehi sjarat) dapat memperoleh kewargaan Negara Indonesia, djika memenoehi beberapa sjarat. (Pasal 1 bab c jo. pasal 5). Setelah memperoleh kewargaan Negara Indonesia maka golongan apapoen djoega anak-anaknja dengan sendirinja mendjadi W arga Negara Indonesia karena toeroenan. Memang jang diambil sebagai azas dalam salah soeatoe tjara oentoek memperoleh kewargaan Negara Indonesia, jaitoe karena kelahiran xa ah azas-ketoeroenan (Warga Negara Indonesia) (Pasal 1 bab d, e dan f). zas aerah kelahiran diambil oentoek mentjegah adanja orang tidak mempoenjai kewargaan negara (Pasal 1 bab g dan h; djoega bab b). 3. Soal perkawinan dan perpoetoesan perkawinan. Dalam perkawinan soeami dan isteri haroes mempoenjai kesatoean kewargaan negara. Azas ini tidak hanja dipakai dalam soal memperoleh

53 dan kehilangan kewargaan negara, akan tetapi djoega dalam perkawinan internasional. Terhadap perkawinan internasional kita haroes berpendirian bahwa semoea kebangsaan diatas doenia ini sama tinggi deradjatnja. Karena dalam perkawinan selajaknja jang mendjadi kepala keloearga ialah soeami, maka dihoeboengkan dengan pendirian-pendirian diatas, dalam rantjangan diambil sebagai azas dalam perkawinan bahwa seorang isteri selaloe toeroet kewargaan negara soeaminja (Warga Negara Indonesia atau Asing). (Pasal 2). Karena oleh karena atau sebagai akibat dari perkawinannja sang isteri terbawa dalam kewargaan negara sang soeami, maka moengkin sekali sesoedahnja perkawinannja itoe karena apapoen djoega terpoetoes, sang (bekas) isteri ingin mendapat kembali kewargaan negaranja sendiri. Maka keinginan ini haroes ditoeroeti dengan tjara moedah (Pasal 9 dan 10). 4. Soal anak. Dalam keloearga soeami dan isteri haroes dan semoea warga keloearga sedapat-dapat mempoenjai kesatoean kewargaan negara. Sedapat-dapat ini berarti djika tidak bertentangan dengan azas lain jang lebih penting. Siapakah jang mendjadi warga keloearga? Hal ini ialah soal hoekoem sipil; hoekoem-keloearga. Sebagai akibat dari zaman jang lampau soal hoekoem sipil ini, jang pada zaman itoe soedah boekan soal jang moedah (lihatlah pasal 131 I.S.), sekarang mendjadi soal jang memoesingkan (setidak-tidaknja dalam hal kesatoean kewargaan negara dalam keloearga). Walaupoen tidak diharoeskan mengadakan golongan2 (lihatlah pasal 163 I.S.) tetapi terhadap hoekoem sipil jang berlakoe boeat Nederlandsch onderdaan diadakan 3 golongan, jaitoe hoekoem sipil boeat golongan: 1) Europeanen ; 2) Inlanders ; 3) Vreemde Oosterlingen. Malahan sebetoelnja ada 4 golongan karena golongan No. 3 ini dibedakan lagi dalam Vreemde Oosterlingen Chineezen dan Vreemde Oosterlingen andere dan Chineezen, tambah poela masih ada Vrijwillige onderwerping dan Oplossing. Hoekoem-hoekoem itoe dahoeloe didalam Hindia-Belanda berlakoe sebagai hoekoem(nja) sendiri dan selama beloem ada perobahan, didalam Negara Indonesia djoega berlakoe sebagai hoekoem sendiri, artinja hoekoem2 jang berlakoe boeat warga-warganja. Ketjoeali beberapa orang jang bernaoeng di bawah hoekoem sipil Eropah, golongan Indonesia asli dilipoeti oleh hoekoem-adat Indonesia,

54 sedangkan sebagian besar dari golongan-golongan jang lain dilipoeti oleh hoekoem sipil Eropah dalam hal ini. Jang soedah tentoe mendjadi warga keloearga menoeroet hoekoem manapoen djoega ialah soeami dan isteri. Tentang kadoedoekan-hoekoem seorang isteri telah diterangkan diatas. Maka jang sekarang dipersoalkan ialah anak. Jang penting oentoek menetapkan apakah anak itoe mendjadi warga keloearga orang toeanja ialah: 1) Oemoer, dan 2) djenis anak. Oemoer itoe penting berhoeboeng dengan hal tjoekoep oemoer jang dalam hal kewargaan negara berarti: dapat menentoekan kewargaan negaranja sendiri. Boeat golongan Indonesia asli (bernaoeng dibawah hoekoem sipil apapoen djoega) jang dengan sendirinja telah memperoleh kewargaan Negara Indonesia, menentoekan kewargaan negaranja sendiri ini hanja berarti oentoek kehilangan kewargaan Negara Indonesia. Karena boeat golongan Indonesia asli satoe-satoenja tjara oentoek kehilangan kewargaan Negara Indonesia jang berhoeboengan dengan oemoer itoe hanja tjara natoeralisasi asing (lihat soal 6), dan tjoekoep atau tidaknja oemoer itoe oentoek mendapat natoeralisasi asing ditetapkan oleh peratoeran negeri asing ^oe, maka dalam peratoeran kewargaan Negara Indonesia soal oemoer itoe boeat golongan Indonesia asli tidak ada. Dalam hoekoem sipil jang berlakoe boeat sebagian besar dari golongan jang lainnja ditetapkan bahwa orang jang minderjarig itoe ialah orang jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin. Karena hak,.menentoekan kewargaan negara sendiri itoe penting maka kita tidak boleh mengoerangi batas ini, dan djoega tiada alasan oentoek menambahnja, atau meroebahnja. JHandlichting tidak perloe ipersoalkan karena pada waktoe sekarang tiada seorang jang mempoenjainja, dan memang tidak diambil dalam peratoeran ini. Anak jang dalam hal kewargaan negara masoek dalam keloearga orang toeanja ialah anak jang beloem tjoekoep oemoer. Apakah semoea anak jang beloem tjoekoep oemoer mendjadi warga eloearga, itoe tergantoeng pada djenis anak. Jang djoega soedah tentoe mendjadi warga keloearga orang toeanja ialah anak lang Iahir dari atau dalam perkawinan orang toea itoe, anak jang sah. Selain dari anak jang sah ini dalam hoekoem sipil Belanda ada anak dari soeami dan isteri jang lahir sebeloem mereka kawin. Kalau anak ini

55 oleh mereka diakoei dengan tjara jang sah maka setelah orang toeanja kawin, anak ini mendjadi anak jang disahkan. Djoega anak ini mendjadi warga keloearga orang toeanja. Dalam hoekoem-adat Indonesia terdapat anak dari orang lain jang oleh sang soeami dan sang isteri diambil sebagai anak sendiri, jaitoe anak angkat. Dalam hal kewargaan negara anak ini djoega termasoek Halam keloearga orang toea jang mengangkat (memoengoet)nja. Akan tetapi boeat golongan Indonesia asli djenis anak ini djoega tidak mendjadikan soal terhadap kewargaan negera, karena anak-anak itoe sebagai orang asli soedah dengan sendirinja memperoleh kewargaan Negara Indonesia, dan apakah anak itoe akan toeroet kehilangan kewargaan Negara Indonesia itoe tergantoeng pada pertanjaan apakah ia memperoleh kewargaan negara negeri asing (lihat dibawah). Dan negeri asing itoe jang menetapkan djenis-djenis anak jang diterimanja. Maka jang mendjadi warga keloearga ialah soeami, isteri, anak jang sah dan anak jang disahkan; dan kalau tidak bertentangan dengan azas jang lebih penting maka keloearga ini mempoenjai kesatoean kewargaan negara (Indonesia atau asing). Azas jang lebih penting seperti dimaksoed diatas sehingga dapat memetjahkan kesatoean kewargaan negara dalam keloearga, ialah azas memperlindoengi anak, mentjegah soepaja anak itoe tidak mendjadi apatride (orang jang tidak mempoenjai kewargaan negara). Maka kalau sang soeami adalah atau mendjadi warga Negara Indonesia, sang isteri dan anak-anak jang sah dan jang disahkan mendjadi Warga Negara Indonesia djoega (Pasal 3 ajat 1). Kalau sang soeami mendjadi orang asing, maka sang isteri toeroet mendjadi orang asing; akan tetapi apakah anak-anak mereka jang sah dan jang disahkan toeroet djoega mendjadi orang asing itoe tergantoeng pada pertanjaan apakah anak-anak itoe mendapat kewargaan negara asing. (Pasal 3 ajat 4). Selain dari anak-anak terseboet diatas adalah anak jang lahir diloear perkawinan dan orang toeanja kemoedian tidak kawin, atau tidak mengesahkannja. Moengkin anak ini sama sekali tidak diketahoei siapa orang toeanja, dan moengkin djoega walaupoen diketahoei siapa orang toeanja mereka tidak maoe mengadakan perhoeboengan-hoekoem dengan anak itoe. Maka berdasar atas azas memperlindoengi anak, anak itoe (djika lahir didalam daerah Negara Indonesia) mendjadi Warga Negara Indonesia. (Pasal 1 bab h dan g). Perhoeboengan-hoekoem in i dapat diadakan oleh b ap an ja atau oleh

56 iboenja. Dalam soal kewargaan Negara Indonesia kalau perhoeboenganhoekoem itoe telah diadakan oleh bapanja maka tidak dipersoalkan lagi apakah iboenja djoega mengadakan perhoeboengan itoe. Perhoeboenganhoekoem ini diadakan dengan tjara mengakoei dengan tjara jang sah. Tjara jang sah oentoek mengakoei itoe ditetapkan oleh hoekoem sipil orang toea jang mengakoei anak itoe. Antara orang toea jang mengakoei dan anak jang diakoei dengan tjara jang sah djoega sedapat-dapat diadakan kesatoean kewargaan negara. Akan tetapi berdasar atas azas memperlindoengi anak, jaitoe sebagai djaminan bahwa orang toea itoe mengadakan perhoeboengan betoel-betoel, maka jang diambil sebagai oekoeran ialah pada waktoe lahirnja. Djadi kalau orang toea jang mengakoei anak itoe ingin soepaja anak itoe djoega toeroet dalam peroebahan kewargaan negaranja, maka ia haroes mengakoei anak itoe sebeloem kewargaan negaranja diroebah (Pasal 1 bab d dan f). 5. Soal memperoleh kewargaan Negara Indonesia dengan akibatnja. Bahwa golongan Indonesia asli memperoleh kewargaan Negara Indonesia ialah telah terang, dan bahwa anak seorang Warga Negera Indonesia djoega memperoleh kawargaan Negara Indonesia itoe memang soedah selajaknja. Seperti telah diperbintjangkan diatas, maka pertanjaan: apakah golongan boekan Indonesia asli dapat memperoleh kewargaan Negara Indonesia djoega, adalah soal politik. Terhadap soal ini politik Negara Indonesia berhaloean memboeka pintoe", jang kita oelangi lagi berarti bahwa sjarat-sjarat dan tjara-tjara oentoek memperoleh kewargaan Negara Indonesia boeat golongan terseboet, haroes moedah. Djoega telah dikemoekakan diatas bahwa oentoek melaksanakan haloean politik ini terhadap sebahagian dari golongan boekan Indonesia asli itoe jaitoe terhadap golongan peranakan adalah doea aliran jang bertentangan paham, jaitoe: 1) golongan peranakan jang memenoehi beberapa sjarat, kita (Negara Indonesia) djadikan Warga Negara Indonesia; jang berarti bahwa Negara Indonesia menganggap golongan peranakan itoe dengan sendinnja mendjadi Warga Negara Indonesia (systeem passief); 2) kepada golongan peranakan itoe kita beri kesempatan seloeasnja oentoek dengan soeka rela mendjadi Warga Negara Indonesia, jang berarti bahwa Negara Indonesia menganggap golongan peranakan itoe dengan sendirinja mendjadi Warga Negara Indonesia, djikalau dari pihak golongan itoe ditoendjoekkan anggapan itoe (systeem actief). Haloean politik memboeka pintoe itoe boekan hasil perhitoengan laba roegi seorang ahli politik, akan tetapi memang soedah aliran zaraan,

57 zaman kesadaran, zaman perdamaian, zaman persaudaraan, zaman United Nations. Walaupoen soal hoekoem-negara djoega, akan tetapi karena soal memperoleh kewargaan Negara Indonesia boeat golongan boekan Indonesia asli itoe teroetama soal politik-negara, maka azas-azas jang haroes diperhatikan dalam menetapkan sjarat-sjarat dan tjara-tjara oentoek memperoleh kewargaan Negara Indonesia dengan sjarat-sjarat dan tjaratjara demikian beberapa azas-azas-hoekoem-negara terganggoe. Maka tjara-tjara oentoek memperoleh kewargaan Negara Indonesia jang kita ambil ialah, karena: a. kelahiran... boeat: 1) golongan Indonesia asli; 2) golongan peranakan jang memenoehi beberapa sjarat; 3) anak Warga Negara; 4) anak jang (kalau tidak demikian) mendjadi apatride. b. natoeralisasi... boeat: 1) golongan totok; 2) golongan peranakan jang tidak memenoehi sjarat2 terseboet diatas. c. perkawinan... boeat perempoean. Tjara memperoleh kewargaan Negara karena kelahiran dalam systeem kita itoe didasarkan atas azas-ketoeroenan (Warga Negera), boeat anak Warga Negara dan boeat golongan Indonesia asli, atas azas-daerah kelahiran boeat anak terseboet no. 4 dan boeat sebagian dari golongan peranakan, dan atas kedoea azas itoe bersama boeat bagian lain dari golongan peranakan itoe. Azas hoekoem-negara jang moengkin sekali terganggoe karena systeem passief ini ja ni dengan mengambil azas2 terseboet diatas boeat golongan peranakan, ialah: azas-kewargaan negara satoe, karena dengan memperoleh kewargaan Negara Indonesia dengan tjara demikian, moengkin sekali orang peranakan itoe mempoenjai kewargaan negara lebih dari satoe. Adapoen kita masih djoega mempertahankan systeem passief ialah karena berdasar atas pendirian politik, jaitoe azas-pertalian. Golongan orang2 terseboet dalam pasal 1 bab b itoe boekan asing atau boekan asing lagi boeat Negara Indonesia. Antara mereka dan golongan Indonesia asli ada atau soedah ada pertalian. Sebahagian dari mereka mempoenjai pertalian-golongan dengan golongan Indonesia asli. Adapoen pertalian-golongan itoe tidak dirasai seperti seharoesnja, ialah karena politik dan keadaan pada zaman jang lampau.

58 Bahagian jang lain soedah membikin pertalian dengan golongan Indonesia asli, karena telah hidoep dan bertjampoer gaoel sebegitoe lama didalam masjarakat Indonesia sehingga kita boleh mendoega bahwa mereka menaroh mi nat kepada Negara Indonesia dan kita boleh menetapkan bahwa antara mereka dan golongan Indonesia asli soedah ada pertalian. Djadi bagaimanapoen djoega dirasai atau tidak dirasai pertalian2 itoe ada. Maka karena adanja pertalian2 itoe, kita dapat mempersamakan perhoeboengan-hoekoem mereka terhadap Negara Indonesia dengan perhoeboengan-hoekoem golongan Indonesia asli, sehingga mereka dengan sendirinja mendjadi Warga Negara Indonesia, tidak tergantoeng pada anggapan mereka sendiri. Adapoen mereka mengakoei, menolak atau melepaskan pertalian itoe, atau meskipoen mengakoeinja akan tetapi karena merasa terikat oleh pertalian jang lebih koeat sehingga mereka terpaksa melepaskan pertalian dengan Negara Indonesia itoe ialah boekan soal Negara Indonesia. Kita djoega tidak menghalangi mereka oentoek menolak atau melepaskan pertalian itoe, akan tetapi karena keadaan didalam soeatoe negara haroes tata tertib, maka rintangan jang kita akoei bagi mereka oentoek mendjadi Warga Negara Indonesia ialah hanja kewargaan negara negeri lain, karena pertalian dengan Negara Indonesia jang ada itoe tidak boleh dipoetoeskan oleh seseorang dengan semaoe-maoenja sendiri (lihat achir kalimat pasal 1 sub b). Sekali lagi kita akoei bahwa dengan systeem passief" ini azas hoekoem-negara terseboet diatas moengkin sekali terganggoe. Akan tetapi al ini tidak mendjadi halangan boeat kita, karena kekatjauan jang moengm timboel oleh karenanja kita dapat hilangkan dengan mengadakan tractaat dengan negeri-negeri jang bersangkoetan. Lam halnja dengan golongan totok dan golongan peranakan jang ti a memenoehi sjarat-sjarat terseboet dalam pasal 1 bab b. Antara mere a an Negara Indonesia tidak ada pertalian (lagi) atau beloem ada perta lan. Sebagai lazim dipakai dinegeri-negeri lain tjara boeat mereka oentoe memperoleh kewargaan Negara Indonesia ialah natoeralisasi. aupoen sjarat-sjaratnja moedah, azas hoekoem-negara terseboet diatas ira pertahankan (lihat pasal 5 ajat 5 bab g, jang berarti, bahwa dengan memperoleh kewargaan Negara Indonesia menoeroet oendang-oendang negeri asing itoe ia kehilangan kewargaan negara negeri itoe: azas kewargaan negara satoe). Azas-hoekoem negara jang djoega penting ialah azas-kesatoean kewargaan negara dalam keloearga. Azas-hoekoem negara ini telah dipermtjangkan diatas dalam soal anak. Karena kita berpendirian bahwa azas am jang lebih penting dari pada azas ini sehingga dapat memetjahkan

59 kesatoean-kewargaan negara dalam keloearga, ialah hanja azas-memperlindoengi anak soepaja tidak mendjadi apatride, maka dalam hal memperoleh kewargaan Negara Indonesia kita ambil sebagai salah soeatoe sjarat ialah tjoekoep oemoer, (lihat pasal 1 bab b, pasal 5 ajat 2, jo. pasal 3 ajat 1, 2 dan 3). Azas-hoekoem negara jang pencing poela jang haroes diperhatikan berhoeboeng dengan soal memperoleh kewargaan negara, ialah azasmentjegah adanja apatride. Sebagai telah diterangkan diatas azas ini didjamin dengan tjara memperoleh kewargaan Negara Indonesia karena kelahiran jang didasarkan atas azas-daerah kelahiran. Ketjoeali dapat diperoleh, kewargaan Negara Indonesia dapat diperoleh kembali, jaitoe oleh orang-orang jang karena terbawa oleh orang lain (soeami, bapa, atau iboe) kehilangan kewargaan Negara Indonesia. Djika mereka ingin memperoleh kembali kewargaan Negara Indonesia, hendaknja mereka dipermoedah dapatnja mentjapai keinginannja itoe, karena mereka ada pertalian-asal dengan Negara Indonesia (lihat pasal 9 dan 11). Akan tetapi memperoleh kembali kewargaan Negara Indonesia dengan tjara jang moedah itoe jang disebabkan karena adanja pertalian-asal tidak boleh berlakoe djoega terhadap orang lain jang tidak mempoenjai pertalian itoe. Maka anak-anak jang sah dan jang disahkan dari sang (bekas) isteri dan sang (bekas) soeami tidak toeroet memperoleh kewargaan Negara Indonesia (tersimpoel) dalam pasal 3 ajat 2. Lain hal dengan anak loear perkawinan sang isteri terpoetoes (lihat pasal 3 ajat 3). Djoega anak-anak seorang bapa jang dahoeloe sebagai anak jang beloem tjoekoep oemoer kehilangan kewargaan Negara Indonesia karena terbawa oleh bapa atau iboenja. Anakanaknja toeroet memperoleh kewargaan Negara Indonesia karena bapa inilah jang menentoekan kewargaan negara keloearganja (lihat pasal 3 ajat 1). Moengkin Negara Indonesia menganggap perloe memberi kewargaan Negara Indonesia kepada seorang atau segolongan orang-orang, maka perloe diadakan natoeralisasi loear biasa (lihat pasal 7). 6. Soal kehilangan kewargaan Negara Indonesia dengan akibatnja. Tentang soal kehilangan kewargaan Negara Indonesia dan akibatnja soedah dibitjarakan diatas pada beberapa tempat. Tjara-tjara kehilangan kewargaan Negara Indonesia menoeroet systeem passief ialah karena: 1. natoeralisasi; 2. pernjataan; 3. perkawinan (boeat perempoean); 4. dengan tidak mendapat idzin lebih dahoeloe dari Presiden Repoeblik

60 Indonesia masoek mendjadi peradjoerit atau pegawai negeri dari negeri Iain. Tjara No. 4 ini tidak berdasar atas azas-azas hoekoem jang dioeraikan diatas, melainkan meloeloe berdasar atas azas-politik. Seperti dalam hal memperoleh kewargaan Negara Indonesia, djoega dalam hal kehilangan kewargaan negara ini kita haroes memberi kesempatan jang moedah kepada orang-orang jang memperoleh kewargaan Negara Indonesia karena terbawa oleh orang Iain, oentoek kembali kepada kewargaan negara asalnja (lihat pasal 6 dan 10). Terhadap orang-orang ini akibat kehilangan kewargaan Negara Indonesia berdasar atas azas-azas jang sama dengan azas-azas dalam hal memperoleh kewargaan Negara Indonesia kembali (lihat pasal 3 ajat 5), akan tetapi kehilangan dengan tjara bagaimanapoen djoega hanja berlakoe oentoek anak-anak jang beloem tjoekoep oemoer, djika anak-anak itoe oleh karenanja tidak mendjadi apatride (lihat pasal 3 ajat 1). C. Pendjelasan tentang peratoeran Pendoedoek Negara Indonesia rasanja tidak diperloekan Iagi karena peratoeran ini moedah dimengerti dengan membatja pendjelasan diatas. Djakarta, 15 Djanoeari 1946 (dikirim 18 Djanoeari 1946) Menteri Kehakiman, SOEWANDI. b * ^ t nrd jc?a s a n p a s a l d em i Pa s a l 15 Djanuari 1946 Siaran Istimewa h I. Pokok-pokok rantjangan. Sebagai pokok dari peratoeran kewargaan Negara Indonesia jang irentjana an mi, se ain dari pasal 26 dari Oendang-oendang Dasar maka d.amb,l Makloemat Pemerintah Repoeblik Indonesia, tertanggal , tenstimewa kalimat jang berboenji sebagai berikoet: Sedjadjar dengan oesaha persahabatan kita dengan tetangga kita serta dengan seloeroeh doenia, kita tidak sadja akan berichtiar mendjadi soeatoe anggauta United Nations menjetoedjoei benar-benar maksoed Charter United Nations, akan tetapi didalam Negeri kita a an melaksanakan kedaulatan kita dengan atoeran kewargaan jang akan Ideas memboeat semoea golongan Indo Asia dan Eropah / oran& n onesia sedjati, mendjadi patriot dan demokrat Indonesia. A. Pasal 1. Pasal ini menjatakan siapa jang mendjadi W arga Negara Indonesia.

61 Bab a. Adapoen dinjatakan bahwa orang jang asli dalam daerah Negara Indonesia adalah Warga Negara Indonesia itoe ialah sesoeai dengan penetapan dalam pasal 26 dari Oendang-oendang Dasar, lagi poela memang soedah selajaknja. Bab b. Penetapan ini adalah pelaksanaan dari Makloemat terseboet diatas. Bab d, e dan f: berdasar atas azas ketoeroenan (ius sanguinis). Bab g dan h: berdasar atas azas daerah kelahiran (ius soli); demikian ini oentoek mentjegah adanja orang ta mempoenjai kewargaan negara. B. Pasal-pasal jang lain: pada oemoemnja mengandoeng sjarat-sjarat dan atjara-atjara lazim dipakai oentoek penetapan warga negara. jang C. Peratoeran Pendoedoek Negara. Adapoen peratoeran tentang pendoedoek negara (ingezetenschap) digaboengkan dengan peratoeran kewargaan negara ialah oleh karena perhoeboengannja antara kedoea kedoedoekan-hoekoem itoe erat. II. Pendirian Panitia. Rentjana tentang peratoeran kewargaan negara jang dioesoelkan oleh Panitia ialah rentjana jang bermaksoed oentoek memenoehi tjita-tjita jang termaktoeb didalam Makloemat Pemerintah Repoeblik Indonesia tertanggal i n 1945, akan tetapi Panitia jang merentjanakan peratoeran itoe mempoenjai pendirian dan pendapat sendiri, jang sekedar berbeda dengan azas dan atjara sebagaimana tertera dalam pasal 1 bab b, jang berboenji sebagai berikoet: Warga Negara Indonesia ialah: a... b. orang jang tidak masoek dalam golongan terseboet diatas akan tetapi toeroenan dari seorang dari golongan itoe, jang lahir dan bertempat kedoedoekan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, dan orang boekan toeroenan seorang dari golongan termaksoed jang lahir dan bertempat kedoedoekan dan kediaman selama sedikitnja 5 tahoen bertoeroet-toeroet jang paling achir didalam daerah Negara Indonesia, jang telah beroemoer 21 tahoen atau telah kawin, ketjoeali djika ia menjatakan keberatan mendjadi Warga Negara Indonesia karena ia adalah warga negara negeri lain. Menoeroet paham Panitia azas terseboet akan tidak tjoekoep

62 oentoek mendjamin tanggoengan bahwa orang-orang jang menoeroet pasal 1 bab b itoe akan mendjadi Warga Negara Indonesia dengan sendirinja, pasti akan mendjadi orang Indonesia jang sedjati, dan mendjadi patriot dan demokrat Indonesia, bahwa menoeroet paham Panitia, berdasar atas keadaan-keadaan jang telah kita alami dizaman jang lampau dan pada masa ini, moengkin golongan warga negara terseboet akan melemahkan kedaulatan kita, djika kita melihat sikap dan tindakantindakan mereka terhadap kedaulatan Repoeblik Indonesia, sikap dan tindakan-tindakan mana ta boleh diabaikan. Panitia berpendirian bahwa orang-orang terseboet dalam pasal 1 bab b itoe, haroes diberi kesempatan oentoek mendjadi Warga Negara Indonesia dengan tjara jang moedah, akan tetapi... orang-orang itoe haroes mempoenjai kehendak sendiri oentoek mendjadi Warga Negara Indonesia, dan menjatakan kehendaknja itoe kepada Pemerintah Negara Indonesia, oleh karena orang jang dengan kamaoean sendiri menjatakan kehendaknja mendjadi Warga Negara Indonesia akan lebih memberi djaminan akan mendjadi orang Indonesia sedjati dari pada orang jang passief didjadikan Warga Negara Indonesia. Maka oleh karena itoe Panitia mengandjoerkan meroebah: Pasal 1 bab b mendjadi: b. orang jang tidak masoek dalam golongan terseboet diatas, akan tetapi toeroenan seorang dari golongan itoe, jang lahir dan bertempat edoedoekan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, dan orang jang boekan toeroenan seorang dari golongan termaksoed, jang a it an bertempat kedoedoekan dan kediaman selama sedikitnja 5 lid 06" bert0eroet:'toeroec ians paling achir didalam daerah Negara onesia, jang menjatakan kehendaknja oentoek mendjadi W area Negara Indonesia; Pasal 3 ajat (2) mendjadi: djanda (j ar^3an Negara Indonesia jang diberikan kepada seorang iboe- atau denea^11* anak-anak^ ^ern^ataan sebagai terseboet dalam passal 1 bab b & natoera^sas* dengan sendirinja berlakoe djoega oentoek dan beloem k ^ ^ ^ atau ^^sa^^an ians beloem beroemoer 2 1 tahoen Pasal 4 mendjadi: ^apat menjatakan sebagai terseboet dalam passal 1 bab b ^ p te^ beroemoer 21 tahoen atau jang telah kawin. i., Jataan terseboet haroes disampaikan dengan toelisan diatas er as jang ermeterai kepada Pengadilan Negeri dari daerah tempat

63 kedoedoekan orang jang menjatakan, boeat orang-orang pada waktoe oendang-oendang ini moelai berlakoe telah beroemoer 2 1 tahoen atau telah kawin dalam waktoe 1 tahoen sesoedahnja oendang-oendang ini berlakoe, dan boeat orang-orang jang lain dalam waktoe 1 tahoen setelah beroemoer 21 tahoen atau setelah kawin sebeloem beroemoer 2 1 tahoen. (3) Bersama dengan soerat pernjataan orang jang menjatakan haroes menjampaikan atau bersanggoep akan memberi boekti-boekti tentang: a. kelahirannja didalam daerah Negara Indonesia; b. ketoeroenannja dari seorang dari golongan Indonesia asli dan bertempat kedoedoekan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, atau telah bertempat kedoedoekan atau bertempat kediaman didalam daerah Negara Indonesia selama 5 tahoen bertoeroet-toeroet jang paling achir; c. kelahirannja dan kelahiran anak-anaknja menoeroet perintjian dalam pasal 3 jang beloem beroemoer 21 tahoen dan beloem kawin, dengan nama-nama jang lengkap dari mereka dan dari isteri-isterinja; d. perkawinan-perkawinannja; e. perpoetoesan perkawinan-perkawinannja; f. djika orang jang menjatakan itoe warga negara dari negeri asing, bahwa oendang-oendang negeri asing itoe tidak mendjadi halangan bagi pernjataan itoe. (4) Setelah menerima soerat pernjataan itoe maka Pengadilan Negeri berwadjib dengan selekas-lekasnja memeriksanja oentoek menetapkan apakah sjarat-sjarat jang ditetapkan oleh oendang-oendank ini dipenoehi. (5) Djika sjarat-sjarat itoe dipenoehi, maka dihadapan Pengadilan Negeri orang jang menjatakan haroes bersoempa atau berdjandji setia kepada Negara Indonesia sebagai berikoet: Saja bersoempah (berdjandji), bahwa saja mengakoei dan menerima kekoeasaan jang tertinggi dari Negara Indonesia dan akan menepati kesetiaan kepadanja, bahwa saja akan mendjoendjoeng tinggi hoekoem-hoekoem Negara Indonesia dan bahwa saja memikoel kewadjiban ini dengan rela hati dan tidak akan mengoerangi sedikitpoen. 6) Dengan bersoempah atau berdjandji itoe maka orang jang menjatakan mendjadi W arga Negara Indonesia. (7) Dari pemeriksaan dan penjoempahan atau pengambilan djandji ini oleh penoelis Pengadilan Negeri haroes dibikin rentjana. (8) Kepada orang jang telah bersoempah atau berdjandji itoe dan kepada semoea orang jang toeroet terbawa dalam pernjataan itoe oleh Pengadilan Negeri seketika itoe djoega haroes diberikan sehelai kartoe

64 boekti Warga Negara Indonesia menoeroet tjontoh jang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. (9) Dengan selekas-lekasnja Pengadilan Negeri haroes memberitahoekan pemberian kartoe boekti itoe kepada Menteri Kehakiman. (10) Dalam waktoe 1 boelan setelah menerima pemberitahoean itoe maka Menteri Kehakiman haroes mendaftarkan dan mengoemoemkannja dalam madjalah Pemerintah. Pasal 5 ajat 8 mendjadi: Oendang-oendang jang mengaboelkan permohonan oentoek natoeralisasi akan berlakoe pada hari pemohon dihadapan Pengadilan Negeri dari daerah tempat kedoedoekannja bersoempah atau berdjandji setia kepada Negara Indonesia sebagai tertera dalam pasal 4 ajat 5. Pasal 6 ajat 1 mendjadi: Bilamana anak jang mendapat kewargaan Negara Indonesia karena terbawa dalam pernjataan sebagai terseboet dalam pasal 1 bab b atau natoeraliasi bapa atau iboenja sampai beroemoer 21 tahoen atau sebeloem itoe kawin, maka dalam tahoen jang berikoet ia boleh menjatakan bahwa ia tidak soeka lagi terbawa dalam pernjataan atau natoeralisasi itoe. Pasal 6 ajat 2 kalimat 2 bab b mendjadi: b. kelahirannja sebeloem bapa atau iboenja mendapat kewargaan Negara Indonesia dengan tjara pernjataan terseboet diatas atau dengan tjara natoeralisasi; Peratoeran peralihan m endjadi: Wali anak-anak jang pada waktoe oendang2 ini moelai berlakoe tidak mempoefljai bapa lagi, sedangkan bapanja terseboet pada waktoe mening- ^ -i e *a memenoehi sjarateterseboet dalam pasal 1 bab b, dapat menjampai an pernjataan terseboet dalam achir pasal itoe oentoek anak-anak itoe. 4- Pindjaman Nasional *) (Nationale lening 1946) 29 April 1946 B.R.I. th. II no. 15/16, h OENDANG-OENDANG No. 4 th Tentang pindjaman nasional Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesa, a. bahwa berhoeboeng dengan oesaha pembangoenan negara dalam berbagai lapangan, seperti pertahanan, ekonomi dan sosial, penerimaan %) Diubah dengan Undang-undang no. 9 th (lihat h. 100 dari buku ini).

65 negara biasa tak tjoekoep oentoek menoetoep segala pengeloearan; b. bahwa teroetama pembangoenan ekonomi penting sekali bagi oesaha menjehatkan keoeangan negeri dan oleh karena itoe tak boleh dihambatkan; c. bahwa berhoeboeng dengan jang terseboet diatas dianggap ada alasan tjoekoep bagi negara oentoek mengadakan Pindjaman-Dalam Negeri atas tanggoengan Negara. Mengingat: akan pasal 23, ajat 4, pasal 20 ajat 1, berhoeboeng dengan pasal IV Atoeran Peralihan dari Oendang-Oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden tertanggal No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Mengadakan pindjaman oeang atas tangggoengan Negara dan menetapkan atoeran tentang penjelenggaraan pindjaman terseboet sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang pindjaman nasional Pasal 1. Pemberian koeasa. Djoemlah. Nam a. (1) Menteri Keoeangan diberi koeasa oentoek mendjoeal soerat-soerat pengakoean oetang atas tanggoengan Negara dengan koers dan boenga, jang dipandangnja perloe oentoek memperoleh sedjoemlah oeang / , (seriboe djoeta roepiah). (2) Soerat-soerat pengakoean oetang hanja dapat dimiliki warga-negara Repoeblik Indonesia. (3) Soerat-soerat pengakoean oetang tidak dapat dilepaskan (didjoeal, digadaikan, diwariskan dsb.) kepada warga negara negeri lain atau kepada badan hoekoem negeri lain. (4) Pendjoealan terseboet dapat diselenggarakan, baik sekali goes sampai semoea djoemlah jang dimaksoed dalam ajat ke-1, maoepoen bertoeroet-toeroet sebagian-sebagian dari djoemlah itoe, pada waktoewaktoe jang dipandang baik oleh Menteri Keoeangan. (5) Pindjaman ini diseboet Pindjaman Nasional 1946 dan apabila tidak diselenggarakan sekaligoes tetapi sebagian-sebagian seperti termaksoed dalam ajat ke-empat, maka bagian itoe dinamakan Bagian (I, II dsb.) dari pindjaman Nasional Pasal 2. Roepiah dalam oendang-oendang ini berarti roepiah jang sah sebagai alat pembajaran Repoeblik Indonesia pada waktoe pindjaman dikeloearkan.

66 Peratoeran mendjalankan oendang-oendang. Perhitoengan pindjaman. Pembajaran pindjaman. (1) Perdjandjian-perdjandjian tenrang pendjoealan soerat-soerat pengakoean oetang jang dimaksoed dalam pasal satoe, ditetapkan oleh Menteri Keoeangan dengan mengingat atoeran-atoeran dalam oendangoendang ini. (2) Dari pendjoealan soerat-soerat pengakoean oetang, sebagai dimaksoed dalam ajat keempat pasal 1. oentoek tiap-tiap bagian pindjaman diboeat perhitoengan sendiri, jang setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keoeangan, diberitahoekan kepada Badan Perwakilan Rakjat. (3) Soerat-soerat pengakoean oetang didaftarkan oleh atau atas nama Badan Pemeriksa Keoeangan dan diboehoehi satoe boekti pendaftaran itoe, sebeloem soerat-soerat pengakoean itoe dikeloearkan. Sebeloem badan terseboet didirikan, maka pendaftaran termaksoed dilakoekan oleh kantor, jang ditoendjoek oleh Menteri Keoeangan. Pendaftaran terseboet dilakoekan djoega terhadap tanda-tanda penerimaan sementara (recepissen) sebeloem soerat-soerat pengakoean oetang dapat dikeloearkan. (4) Dengan tidak mengoerangi apa jang ditetapkan dalam ajat jang berikoet dalam pasal ini, oeang pindjaman jang diadakan menoeroet oendang-oendang ini, akan dibajar kembali dalam selama-lamanja 40 tahoen, dihitoeng moelai tahoen sesoedah sesoeatoe pendjoealan sebagai dimaksoed dalam ajat keempat pasal 1 diselenggarakan. (5) Diantara perdjandjian-perdjandjian jang dimaksoed dalam ajat kesatoe pasal mi, dapat poela dimasoekkan hak Pemerintah oentoek mempertjepat pembajaran kembali pindjaman jang diselenggarakan menoeroet oendang-oendang ini. (6) Djika Pemerintah mengeloearkan oeang sendiri, maka Pemerintah berhak oentoek merobah djoemlah nominal dari soerat-soerat pengakoean oetang jang telah dibajar penoeh dan djoemlah oeang terseboet dalam koepon-koepon sesoeai dengan koers jang ditetapkan oentoek oeang baroe itoe. (7) Soerat-soerat pengakoean oetang jang diterima kembali, setelah oetang jang bersangkoetan diloenasi menoeroet ajat ke-empat dan kelima, dikirimkan kepada Badan Pemeriksa Keoeangan oentoek dibinasakan.

67 Pasal 4. P r o v i s i. (1) Kepada bank-bank, jang Iangsoeng membeli sedjoemlah soerat-soerat pengakoean oetang, dapat diberlkan provisi sebanjak-banjaknja 3/8 prosen dari djoemlah nominal dalam soerat-soerat pengakoean oetang jang diberikan (toegewezen) kepadanja, provisi mana akan dibajarkan sesoedah djoemlah jang haroes dibajar disetor dalam kantor-kantor jang ditoendjoekkan oleh Menteri Keoeangan. (2) Djoega kepada bank-bank jang kantornja dipergoenakan oentoek memberi pertolongan boeat pendjoealan soerat-soerat pengakoean oetang, penerimaan pendaftaran-pendaftaran (inschrijvingen), setoransetoran dan pengeloearan soerat-soerat pengakoean oetang dapat diberikan keroegian sebanjak-banjaknja 3/8 prosen dari djoemlah nominal dari soerat-soerat pengakoean oetang jang didjoeal dengan perantaraannja. Pasal 5. Pembajaran boenga, tjitjilan dan ongkos-ongkos pindjaman. Oeang jang diboetoehkan oentoek memenoehi pembajaran boenga, pembajaran oetang dan biaja-biaja pendjoealan soerat-soerat pengakoean oetang jang dikeloearkan menoeroet oendang-oendang ini, disediakan dalam Anggaran Belandja Negara. Pasal 6. Pembelasan bea meterai. Segala soerat-soerat, kwitansi-kwitansi, soerat-soerat pendaftaran nama, soerat-soerat pengakoean oetang jang dimaksoed dalam pasal 1 dan soeratsoerat pengakoean oetang, jang diboeat dan dikeloearkan menoeroet oendang-oendang ini, dibebaskan dari pembajaran meterai. Pasal 7. Conversi. (1) Djika perdjandjian-perdjandjian jang dimaksoed dalam ajat 1 pasal 3 memperkenankan, maka Menteri Keoeangan diberi koeasa oentoek mengadakan conversi boeat seloeroehnja atau sebagian dari pindjaman jang diboeat menoeroet oendang-oendang ini dengan djalan mengadakan pindjaman lain dengan boenga jang lebih rendah. Oentoek keperloean itoe ia berhak mengeloearkan soerat-soerat pengakoean oetang baroe sebesar djoemlah jang diboetoehkan oentoek membajar

68 kembali soerat-soerat-pengakoean oetang jang lama jang termasoek dalam pindjaman jang haroes diganti (diconversikan). (2) Pindjaman-pindjaman jang akan diadakan menoeroet pasal ini dan jang akan diseboet sesoeai dengan pindjaman jang diadakan menoeroet pasal 1 dalam oendang-oendang ini, akan dilakoekan oleh Menteri Keoeangan menoeroet koers dan boenga jang ditetapkan olehnja. Dengan mengingat koers pengeloearan dan peratoeran tentang tjaranja membajar kembali, boenga ini haroes lebih rendah daripada boenga soerat-soerat pengakoean oetang jang akan dibajar kembali itoe. (3) Pindjaman jang akan diselenggarakan menoeroet pasal ini, akan dibajar kembali dalam waktoe selama-lamanja 40 tahoen, terhitoeng dari tahoen sesoedah pindjaman jang bermoela, jang diganti oleh pindjaman baroe itoe, diselenggarakan. (4) Selandjoetnja peratoeran-peratoeran dari oendang-oendang ini djoega akan berlakoe terhadap soerat-soerat petigakoean oetang jang akan dikeloearkan menoeroet pasal ini. Pasal 8. Berlakoenja oendang-oendang. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkan. Pasal 9- Kepala (titel). Oendang-oendang ini dapat diseboet dengan nama Oendang-oendang tentang Pindjaman Nasional Agar oendang-oendang ini diketahoei oleh oemoem, diperintahkan soepaja dioemoemkan sebagai biasa. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 29 A pril Presiden Repoeblik Indonesia, SOEKARHO. Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. Dioemoemkan pada tg. 29 A pril Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO.

69 5. Penetapan tarip padjak pendapatan tahun 1946/1947, tambahan pokok padjak dan tarip padjak upah. (Vaststelling van tarieven voor de inkomstenbelasting 1946/1947, heffing van opcenten en tarieven voor de loonbelasting) 10 Mai 1946 B.R.I. th. II no. 14, h Menimbang: OENDANG-OENDANG No. 5 th Tentang penetapan tarip padjak pendapatan 1946/1947, tambahan pokok padjak dan tarip padjak oepah. Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa oentoek tahoen anggaran 1946/1947 beberapa tarip padjak pendapatan perloe disamakan dengan tarip oentoek tahoen anggaran 1945/1946 dan dari ketetapan padjak kekajaan, ketetapan padjak perseroan serta ketetapan padjak oentoeng-perang, perloe dipoengoet tambahan pokok padjak oentoek negeri, sebagai telah terdjadi terhadap tahoen anggaran 1945/1946, dan djoega bahwa oentoek tahoen anggaran 1945/ 46 dan 1946/ 47 beberapa tarip padjak oepah perloe disamakan dengan tarip oentoek tahoen anggaran 1944/1945; bahwa berhoeboeng dengan kesoekaran-kesoekaran jang pada zaman ini diderita oleh kaoem boeroeh perloe diadakan peratoeran istimewa oentoek golongan terseboet; bahwa menoeroet pasal 23 ajat 2 oendang-oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia segala matjam padjak haroes ditetapkan dengan Oendang-oendang; Mengingat: akan pasal 20 ajat 1 herboeboeng dengan pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden tertanggal 16 Oktober 1945 No. 10; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan Oendang-oendang seperti terseboet dibawah ini: Pasal 1. (1) Boeat menentoekan besarnja ketetapan padjak pendapatan oentoek tahoen-padjak 1946/1947, maka tarip B dan tarip C terseboet dalam pasal 27 ajat 1 hoeroef b serta tarip terseboet dalam pasal 30 ajat 2 dan 3 ordonansi padjak pendapatan 1932 diganti dengan tarip jang ditetapkan

70 pada pasal 1 ajat 1 hoeroef a, b dan c ordonansi tanggal 18 Pebroeari 1942 (StbL No. 53). (2) Jang ditentoekan dalam pasal 1 ajat 2 ordonansi tanggal 18 Pebroeari jang baharoe diseboet diatas tadi, berlakoe oentoek ketetapan padjak dimaksoed diajat 1 dari pasal ini. (3) Boeat ketetapan padjak pendapatan oentoek tahoen padjak 1946/1947, maka perkataan drie vierden dalam pasal 73 ajat 1, pasal 73a ajat 1 dan pasal 75 ajat 1 dan 6 ordonansi padjak pendapatan 1932 dibatja delapan poeloeh lima persen. (4) Boeat tahoen-padjak 1945/1946, maka ketetapan jang dimaksoedkan dalam pasal 75 ordonansi padjak pendapatan 1932, menjimpang dari pada atoeran jang telah ditetapkan, tidak dilakoekan oentoek wadjibpadjak jang dalam tahoen padjak itoe pendapatannja jang haroes kena padjak boeat 90 atau lebih terdiri atas oepah jang haroes kena padjak oepah. Pasal 2. Dari ketetapan padjak kekajaan oentoek tahoen-padjak 1946/1947 dipoengoet lima poeloeh persen tambahan pokok padjak oentoek negeri. Pasal 3. Dari ketetapan padjak perseroan oentoek sesoeatoe masa jang berachir pada soeatoe tanggal antara tanggal 30 Djoeni 1945 dan tanggal 1 Djoeli 1946 dipoengoet empat ratoes persen tambahan pokok padjak oentoek negeri. Pasal 4. Dari ketetapan padjak oentoeng-perang jang berkenaan dengan tahoenkalender 1945 atau sebahagian dari itoe, atau oentoek soeatoe masa jang berachir pada soeatoe tanggal antara tanggal 30 Djoeni 1945 dan tanggal 1 Djoeli 1946 dipoengoet delapan poeloeh persen tambahan pokok padjak oentoek negeri. Pasal 5. Jang ditentoekan dalam pasal 3 ordonansi tanggal 18 Pebroeari jang diseboet pada pasal 1 ajat 1 diatas tadi, berlakoe boeat oepah terseboet dipasal 9 ajat 1 a ordonansi padjak oepah, jaitoe boeat oepah jang djoemlahnja ditetapkan didalam masa moelai dari tanggal 1 April 1945 sampai achir tanggal 31 Maret Pasal 6. Oendang-oendang in i moelai berlakoe pada hari dioem oem kan.

71 Agar Oendang-oendang ini diketahoei oleh oemoem, maka diperintahkan soepaja dioemoemkan sebagai biasa. Dioemoemkan pada tg. 10 Mai Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 10 Mai Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. a. P e n d je la s a n B.R.I. II no. 9, h Dalam oemoemnja maksoed Oendang-oendang ini ialah oentoek menetapkan tarip dan opsenten jang telah berlakoe tiap-tiap tahoen-padjak, sedjak tahoen Berhoeboeg dengan keadaan keoeangan Negeri, maka beloem ada alasan oentoek merobah itoe. Selain dari itoe, maka oentoek tahoen-padjak 1945/1946 dipandang perloe diadakan atoeran istimewa oentoek golongan kaoem boeroeh, jang lebih dari golongan-golongan lain mendjadi korban dari tingginja hargaharga dan sangat beratnja penghidoepan jang mendjadi akibatnja. Atoeran istimewa ini teroetama bermaksoed agar soepaja tindakan-tindakan Pemerintah oentoek memperbaiki, nasib kaoem boeroehnja (dengan menambah belandjanja d.1.1.) tidak boeat sebagian besar dihilangkan lagi oleh kewadjiban membajar tambahan padjak jang terlaloe berat. Maksoed ini dapat ditjapai dengan tidak melakoekan ketetapan tambahan menoeroet pasal 75 Ordonansi Padjak Pendapatan Pasal terseboet sebetoelnja berdasar atas fikiran, bahwa wadjib-padjak jang dalam tahoen jang djalan mendapat penghasilan lebih banjak dari pada penghasilan tahoen jang laloe (jang mendjadi dasar padjaknja tahoen jang djalan), menjimpan sebagian dari penghasilan jang lebih itoe oentoek membajar tambahan padjaknja. Dalam keadaan jang telah terdjadi dalam tahoen padjak 1945/1946 sampai sekarang taboengan oentoek padjak itoe satoe hal jang moestahil, oleh karena dengan tambahaan penghasilan itoepoen ditjoekoepi, sehingga pada permoelaan tahoen padjak-baroe ini kaoem boeroeh jang demikian dapat ketetapan padjak oentoek tahoen baroe, 1946/1947, jang djoega soedah tinggi + tambahan ketetapan tahoen jang lampau, 1945/1946, sedang penghasilan dalam tahoen j.l. semoea telah habis.

72 Boeat pemilik peroesahaan d.1.1. atoeran istimewa ini tidak beralasan, sebab jang bersangkoetan keadaannja pada oemoemnja lebih koeat dari kaoem boeroeh, dan kelebihan penghasilan itoe, djika peroesahaannja diatoer setjara bedrijfs-economisch ', tetap berada dalam peroesahaan itoe dalam salah satoe roepa (oeang kontan, stock atau barang kapital). Oentoek membatasi dalam hal wadjib-padjak mempunjai beberapa matjam soember penghasilan, maka ditetapkan, bahwa jang dapat pembebasan dari pasal 75 itoe ialah wadjib-padjak jang oentoek 90 % atau lebih dapat penghasilan dari perboeroehan. Menoeroet perhitoengan, maka atoeran istimewa ini tidak akan mengoerangkan penghasilan Negara dibandingkan dengan tahoen padjak jang lampau, oleh karena dalam oemoemnja ketetapan padjak pendapatan kaoem boeroeh oentoek tahoen 1946/1947 akan djaoeh lebih tinggi dari tahoenpadjak 1945/1946 berhoeboeng deng an lebih tingginja oepah dalam masa 1 April 1945 s/d 31 Maret 1946 dibanding dengan oepah dalam masa 1 April 1944 s/d 31 Maret Keadaan bahaja. *) 2) (Staat van gevaar) 6 Djuni 1946 B.R.I. th. II no , h Menimbang: OENDANG-OENDANG No. 6 th Tentang keadaan bahaja. Presiden Republiek Indonesia, bahwa perloe diadakan peratoeran jang dapat mendjamin keselamatan egara Repoeblik Indonesia dalam menghadapi keadaan bahaja; Mengingat: pasal 12 Oendang-oendang Dasar. 1} P-P.P.U.U. no. 1 th (h. 143 d a ri b u k u in i); ppptttt n8an R P -P-U -U no- 4 th (h. 157); d itja b u t dengan W ' i n ^ t^1 ^ ^ 6 (h. 165); d isjah kan dengan U n d an g-u n d an g no. 23 th (h. 140); 3 P P P m f " 51" P-P-P-U.U. no. 5 th (h. 158); d iu b ah dengan / ' ' ' ' ^ t^- *946 (h. 165); d isjah kan dengan U n d an g-u n d an g no. 23 th (h. 158)); to dengan P.P.P.U.U. no. 7 th (h. 162); 21 P, Itam ah dengan U n dan g-undan g no. 1 th d ari U n dan g uei^ erin t?. no- ^3 dan no. 70 th (u n tu k D jaw a) m en jim p an g

73 Mengingat poela: akan pasal 5 ajat 1 Oendang-oendang Dasar, pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar serta Makloemat Wakil-Presiden Repoeblik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X. Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan atoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang keadaan bahaja. Pasal 1. (1) Presiden dapat menjatakan seloeroeh atau sebagian dari Daerah Negara Repoeblik Indonesia berada dalam keadaan bahaja. (2) Keadaan bahaja dinjatakan, djika terdjadi: a. serangan, b. bahaja serangan, c. pemberontakan atau peroesoehan, hingga dichawatirkan pemerintah sipil tidak sanggoep mendjalankan pekerdjaannja, d. bentjana alam. (3) Dalam pernjataan keadaan bahaja diterangkan sebab-sebabnja seperti jang dimaksoedkan dalam ajat 2. Pasal 2. (1) Pernjataan keadaan bahaja disahkan dengan oendang-oendang. (2) Pernjataan terseboet disampaikan kapada Dewan Perwakilan Rakjat (Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat) pada hari pengoemoemannja oentoek mendapat pengesahan. (3) Dengan tidak mengoerangi jang dimaksoedkan dalam pasal 1 peratoeran-peratoeran dalam Oendang-oendang ini berlakoe sedjak hari pernjataan, dengan tidak menoenggoe pengesahan. (4) Penghapoesan keadaan bahaja dinjatakan oleh Presiden dan hal itoe disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat (Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat) pada hari pengoemoemannja, oentoek mendapat pengesahan. Pasal 3. (1) Setelah pernjataan keadaan bahaja dilakoekan oentoek sebagian maoepoen oentoek seloeroeh Daerah Negara, maka kekoeasaan jang mendjalankan peratoeran-peratoeran dalam oendang-oendang ini, ialah soeatoe Dewan pertahanan Negara, jang terdiri dari: a. Perdana-Menteri, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri,

74 Menteri Keoeangan, Menteri Kemakmoeran dan Menteri Perhoeboengan, b. Panglima Besar, c. 3 wakil-wakil organisasi rakjat. (2) Dewan Pertahanan Negara bertanggoeng djawab kepada Dewan Menteri. (3) Anggauta-anggauta Dewan Pertahanan Negara sub a dan b mendjadi anggauta karena djabatannja, anggauta sub c diangkat oleh Presiden, setelah mendengar organisati-organisasi rakjat. (4) Ketoea Dewan Pertahanan Negara ialah Perdana-Menteri, W akil ketoeanja Menteri Pertahanan. Pasal 4. (1) Djika seloeroeh negara dinjatakan dalam keadaan bahaja, maka ditiaptiap Keresidenan dibentoek soeatoe Dewan Pertahanan Daerah. (2) Djika hanja sebagian atau beberapa bagian dari negara dinjatakan dalam keadaan bahaja, dibagian-bagian itoe sadja diadakan Dewan Pertahanan Daerah. (3) Dewan Pertahanan Daerah terdiri dari: a. Residen dan 2 anggauta Badan Executief dari Badan Perwakilan Rakjat Daerah Keresidenan, b. Komandan Tentara tertinggi dalam daerah itu, C ^ wa^ organisasi rakjat didaerah itoe. ( ) Residen dan Komandan mendjadi anggauta karena djabatannja dan anggauta-anggauta lainnja diangkat oleh Ketoea Dewan Pertahanan aerah atas oesoel Dewan Perwakilan Daerah, dan disahkan oleh Ketoea Dewan Pertahanan Negara. (5) Dewan Pertahanan Daerah menerima perintah dari, dan bertanggoeng djawab, kepada Dewan Pertahanan Negara. (6) Ketoea Dewan Pertahanan Daerah, ialah Residen, Wakii-Ketoeanja, Komandan terseboet dalam ajat 3 sub b. Pasal 5. (1) Djika dalam soeatoe Keresidenan terdjadi hal-hal jang terseboet dalam pas 1 ajat 2, sedang perhoeboengan antara Pemerintah Keresidenan ^emer nt:a^ P esat terpoetoes sehingga Pemerintah Keresidenan ti a apat menjampaikan hal-hal itoe kepada Pemerintah Poesat, ma a Residen bersama-sama dengan pemimpin Tentara tertinggi l aera itoe dan Badan Executief dari Badan Perwakilan Rakjat aerah Keresidenan terseboet, dapat m enjatakan daerah itoe dalam keadaan bahaja.

75 (2) Pernjataan terseboet berlakoe pada hari pengoemoemannja. (3) Segera sesoedah perhoeboengan baik kembali Residen haroes memberi tahoekan pernjataan keadaan bahaja terseboet, kepada Pemerintah Poesat, disertai dengan alasan-alasannja oentoek disahkan dengan oendang-oendang. (4) Peratoeran-peratoeran dalam ajat 1, 2 dan 3 pasal ini hanja berlakoe oentoek daerah diloear poelau Djawa. (5) Semoea atoeran-atoeran dalam oendang-oendang ini berlakoe oentoek daerah jang dimaksoedkan dalam pasal ini. Pasal 6. Selama perhoeboengan terpoetoes Dewan Pertahanan Daerah termaksoed dalam pasal 5 mempoenjai hak-hak Dewan Pertahanan Negara. Pasal 7. (1) Dalam Keadaan Bahaja Kekoeasaan membentoek Oendang-oendang tetap ditangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakjat. (2) Dewan Pertahanan Negara berhak menetapkan peratoeran jang mempoenjai kekoeasaan sama dengan Oendang-oendang dalam daerah jang berada dalam keadaan bahaja dengan alasan jang dimaksoed dalam pasal 1 ajat 2 sub a. (3) Dalam waktoe selambat-lambatnja 10 hari, peratoeran terseboet dimintakan persetoedjoean oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakjat. Pasal 8. Dewan Pertahanan Negara berhak membatasi atau menghapoeskan kemerdekaan berserikat dan berkoempoel atau kemerdekaan mengeloearkan pikiran, menoeroet atoeran-atoeran jang ditetapkan olehnja. Pasal 9. Dewan Pertahanan Negara berhak membatasi atau melarang pentjetakan atau pengoemoeman menoeroet atoeran-atoeran jang ditetapkan olehnja. Pasal 10. Dewan Pertahanan Negara berhak membatasi atau melarang pengiriman berita dengan perantaraan pos, tilpon, tilgram dan radio menoeroet atoeran-atoeran jang ditetapkan olehnja. Pasal 11. (1) Atoeran-atoeran jang dimaksoed dalam pasal 8, 9 dan 10 berlakoe selama-lamanja 3 boelan.

76 (2) Memperpandjang waktoe berlakoenja atoeran-atoeran terseboet diatoer dengan oendang-oendang. Pasal 12. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak menahan seseorang selama-laraanja 15 hari. (2) Dalam 3 hari setelah ditahan, maka orang itoe haroes diperiksa. (3) Alasan-alasan penahanan serta toeroenan soerat-soerat pemeriksaan selekas-lekasnja dikirimkan kepada Kedjaksaan Agoeng. Pasal 13. Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak menjoeroeh atau melarang seseorang atau segerombolan orang meninggalkan sesoeatoe daerah, dengan djaminan peroemahan dan makanan. Pasal 14. Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak membatasi atau melarang perhoeboengan dengan alat kendaraan darat, laoet atau oedara. Pasal 15. Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak membatasi atau melarang pengeloearan, pemasoekan, pemakaian atau perdagangan sendjata api disoeatoe daerah. Pasal 16. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak melakoekan pemeriksaan dalam tempat-tempat milik seseorang dalam daerah jang dinjatakan dalam keadaan bahaja. (2) Dalam hal terseboet dalam ajat (1) jang bersangkoetan diwadjibkan memberikan bantoeannja oentoek memoedahkan djalannja pemeriksaan terseboet. Pasal 17. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak menggoenakan barang, tanah, bangoenan dan peroesahaan, kepoenjaan partikelir atau jang dikoeasai oleh Djawatan Negeri. (2) Djoemlah keroegian penggoenaan terseboet ditetapkan oleh seboeah panitya terdiri dari beberapa achli. (3) Orang-orang jang karena roemahnja digoenakan tidak mempoenjai kediaman lagi, diberi kediaman lain. (4) Orang-orang jang bekerdja diperoesahaan jang digoenakan menoeroet ajat 1, haroes tetap bekerdja, sedangkan oepahnja didjamin tidak boleh lebih rendah dari semoela.

77 Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak melarang segala perobahan bentoek tanah, bangoenan dan peroesahaan atau perobahan tentang hak-hak jang ada diatasnja. Pasal 19. (1) Dewan pertahanan Negara (Daerah) berhak menoetoep atau membatasi waktoe-boeka balai pertemoean, roemah bola, roemah makan dan lain-lain tempat penghiboeran. (2) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak mengadakan djam malam. Pasal 20. (1) Didalam daerah jang dinjatakan dalam keadaan bahaja, polisi, pembantoe polisi, barisan pemadam api dan Pendjaga Bahaja Oedara, dianggap sebagai tentara. (2) Menganggap golongan atau djawatan lain dari pada jang terseboet dalam ajat 1 sebagai tentara, haroes diatoer dengan Oendang-oendang. Pasal 21. Berhoeboeng dengan alasan-alasan jang dimaksoedkan, dalam pasal 1 ajat 2, maka ditetapkan: 1. Djika jang mendjadi alasan keadaan bahaja adalah hal jang diseboetkan dalam sub b, maka pasal 18 dari Oendang-oendang ini tidak berlakoe. 2. Djika jang mendjadi alasan keadaan bahaja adalah hal jang diseboetkan dalam sub c, maka pasal-pasal 17 dan 18 dari Oendang-oendang ini tidak berlakoe. 3. Djika jang mendjadi alasan keadaan bahaja adalah hal jang diseboetkan dalam sub d, maka pasal-pasal 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan 19 dari Oendang-oendang ini tidak berlakoe. Pasal 22. (1) Djika seseorang dalam pelaksanaan pasal-pasal 8 sampai 19 merasa diperlakoekan melampau batas, ia atau orang lain berhak mengadoe dengan lisan atau soerat kepada Ketoea Pengadilan Negara pada tempat itoe. (2) Pengadoean dengan soerat itoe dapat dilaloekan dengan tidak ditanda tangani. (3) Pengadoean-pengadoean itoe diperiksa selam bat-lam batnja d alam 5 h ari sesoedah m enerim anja. (4) Djikalau dalam pemeriksaan terboekti kebenaran pengadoean, perkara haroes diadili selambat-lambatnja dalam waktoe 2 boelan.

78 (1) Djika seseorang dalam pelaksanaan pasal-pasal 15, 17, 18 dan 19 merasa menderita keroegian benda, ia atau wakilnja berhak mengadoe kepada panitya jang diadakan oleh Dewan Pertahanan Negara. (2) Panitya terseboet menetapkan besarnja keroegian jang diderita dan kedoea pihak toendoek pada poetoesaan panitya itoe. Pasal 24. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak memaksa, sekalipoen dengan kekerasan agar Oendang-oendang ini atau peratoeran-peratoeran jang ditetapkan berdasar atas Oendang-oendang ini diindahkan serta dipenoehi. (2) Djika oentoek melakoekan tindakan terseboet diatas Pemerintah terpaksa mengeloearkan ongkos maka pelanggar-pelanggar itoe dapat diharoeskan memikoel ongkos-ongkos terseboet. Pasal 25. Djawatan-djawatan pemerintahan sipil dengan segenap pegawainja toendoek pada perintah jang dikeloearkan oleh Dewan Pertahanan Negara (Daerah) menoeroet peratoeran jang disoesoen oleh Presiden. Pasal 26. (1) Segala sesoeatoe jang haroess diatoer oentoek mendjalankan Oendangoendang ini ditetapkan oleh Dewan Pertahanan Negara. (2) Sebeloem terbentoeknja Dewan Pertahanan Negara, segala sesoeatoe jang haroes diatoer oentoek mendjalankan Oendang-oendang ini, ditetapkan oleh Presiden. Pasal 27. (1) Hoekoeman jang setinggi-tingginja, dapat ditetapkan oentoek perkaraperkara jang mengenai peratoeran-peratoeran dalam oendang-oendang dan peratoeran-peratoeran oleh Dewan Pertahanan Negara (Daerah), ialah: a) 3 boelan hoekoeman koeroengan, b) 20 tahoen hoekoeman pendj ara, c) / , hoekoem denda. (2) Barang-barang jang langsoeng bersangkoetan dengan pelanggaran, baik milik pelanggar peratoeran, maoepoen milik orang lain, boleh dirampas atau diroesak.

79 (X) Oendang-oendang ini diseboet Oendang-oendang keadaan bahaja. (2) Oendang-oendang ini berlakoe sedjak hari pengoemoemannja. Dioemoemkan pada tg. 6 Djoeni Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. Ditetapkan di Jogjakarta pada rg. 6 Djoeni Presiden Repoeblik Indonesia, SOEKARNO. Menteri Pertahanan, AM IR SJARIFOEDIN. a. Naskah jang penghabisan. Berhoeboeng dengan banjaknja peroebahan dalam Oendang-oendang Keadaan Bahaja, maka dibawah ini termaktoeblah boenjinja oendangoendang ini terachir sendiri, sebagaimana boenjinja setelah diadakan peroebahan jang penghabisan (Oendang-oendang no. 1 th. 1948). *) (In verband met de vele wijzigingen, die in de W et op de Staat van Gevaar hebben plaats gehad, volgt hier de uiteindelijke tekst, zoals deze luidt na de laatste wijziging bij W et 1948 no. 1). Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa perloe diadakan peratoeran jang dapat mendjamin keselamatan Negara Repoeblik Indonesia dalam menghadapi keadaan bahaja; Mengingat: pasal 12 Oendang-oendang Dasar; Mengingat poela: akan pasal 5 ajat (1) Oendang-oendang Dasar pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar serta Makloemat W k. Presiden Repoeblik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; x) T e tap i: P eraturan P em erintah no. 33 dan no. 70 th m en jim p an g dari U ndang-undang in i (u n tu k D jaw a).

80 Memoetoeskan: Menetapkan atoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang keadaan bahaja. Pasal 1. (1) Presiden dapat menjatakan seloeroeh atau sebagian Daerah Negara Repoeblik Indonesia berada dalam Keadaan bahaja. *) (2) Keadaan bahaja dinjatakan, djika terdjadi: a. serangan, b. bahaja serangan, c. pemberontakan atau peroesoehan, hingga dichawatirkan pemerintah sipil tidak sanggoep mendjalankan pekerdjaannja, d. bentjana alam. (3) Dalam pernjataan keadaan bahaja diterangkan sebab2nja seperti jang dimaksoedkan dalam ajat (2). Pasal la. Djikalau soeatoe daerah dinjatakan berada dalam keadaan bahaja, maka oentoek daerah itoe ada tijd van oorlog dalam arti Kitab Oendangoendang Hoekoem Pidana dan Kitab Oendang-oendang Hoekoem Pidana Tentara. Pasal 2. (1) Pernjataan keadaan bahaja disahkan dengan Oendang-oendang.2) Pernjataan terseboet disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat (Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat) pada hari pengoemoemannja oentoek mendapat pengesahan. (3) Dengan tidak mengoerangi jang dimaksoedkan dalam pasal 1 peratoeran-peratoeran dalam Oendang-oendang ini berlakoe sedjak hari pernjataan, dengan tidak menoenggoe pengesahan. (4) Penghapoesan keadaan bahaja dinjatakan oleh Presiden dan hal itoe disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat (Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat) pada hari pengoemoemannja oentoek mendapat pengesahannja. Pasal 3. (1) Setelah pernjataan keadan bahaja dilakoekan oentoek sebagian maoepoen oentoek seloeroeh Daerah Negara, maka kekoeasaan jang mendjalankan peratoeran-peratoeran dalam Oendang-oendang ini, ialah soeatoe Dewan Pertahanan Negara, jang terdiri dari: 11 ^ ac PenetaPkan P residen no. 1, 2 dan 4 th (d jilid II (1946) B). ) L ih at U n dan g-u ndan g no. 16 th (h. 115 d a ri b u k u in i).

81 a. Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, Menteri Loear Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keoeangan, Menteri Kemakmoeran dan Menteri Perhoehoengan. b. Panglima Besar. c. 3 wakil-wakil rakjat. (2) Dewan Pertahanan Negara bertanggoeng djawab kepada Dewan Menteri. (3) Anggauta-anggauta Dewan Pertahanan Negara sub a dan b mendjadi anggauta karena djabatannja, anggauta sub c diangkat oleh presiden, setelah mendengar organisasi-organisasi rakjat. (4) Ketoea Dewan Pertahanan Negara ialah Perdana Menteri, wakil ketoeanja Menteri Pertahanan. Pasal 4.1) (1) Djika seloeroeh negara dinjatakan dalam keadaan bahaja, maka ditiaptiap Karesidenan dibentoek soeatoe Dewan Pertahanan Daerah. (2) Djika hanja sebagian atau beberapa bagian dari Negara dinjatakan dalam keadaan bahaja, dibagian-bagian itoe sadja diadakan Dewan Pertahanan Daerah. (3) Dewan Pertahanan Daerah terdiri dari: a. Residen dan 2 anggauta Badan Executief dari Badan Perwakilan Rakjat daerah Karesidenan. b. seorang opsir sebagai wakil Tentara dari Daerah itoe, jang ditoendjoek oleh Panglima Besar. c. 3 wakil organisasi rakjat didaerah itoe. (4) Residen mendjadi anggauta karena djabatannja dan anggauta-anggautanja lain terketjoeali anggauta jang terseboet dalam ajat (3) sub b diangkat oleh Ketoea Dewan Pertahanan Daerah atas oesoel Dewan Perwakilan rakjat Daerah, dan disahkan oleh Ketoea Dewan Pertahanan Negara. (5) Ketoea Dewan Pertahanan Daerah ialah Residen, wakil ketoeanja opsir terseboet dalam ajat (3) sub b. (6) Dewan Pertahanan Daerah menerima perintah dari, dan bertanggoeng djawab kepada Dewan Pertahanan Negara. (7) Dipersebabkan oleh keadaan jang memaksa oentoek soeatoe daerah dapat diadakan soesoenan dan bentoek Dewan Pertahanan Daerah jang menjimpang dari apa jang ditentoekan dalam ajat (3), (4) dan (5) dari pasal ini, penjimpangan mana haroes disahkan oleh Dewan Pertahanan Negara. aj Pasal in i b erlak u d juga b u at susunan D ew an P ertah an an D aerah S u ra k a rta : lih a t P.P.P.U.U. no. 7 th (h. 162 d ari b u k u ini).

82 (1) Jang dimaksoed dengan Dewan Pertahanan Daerah dalam Daerah Istimewa di Djawa ialah: A... B. Satoe Dewan Pertahanan Daerah boeat Daerah Kasoeltanan dan Pakoealaman. (2)... (3)... (4)... (5) Dewan Pertahanan Daerah terseboet sub B dari ajat (1) terdiri dari: a. Seri Padoeka Kangdjeng Soeltan; b. Seri Padoeka Pakoe Alam; c. Seorang opsir sebagai wakil Tentara dari daerah itoe jang ditoendjoek oleh Panglima Besar. d. 2 anggauta Badan executief Dewan Perwakilan Rakjat dari Daerah itoe; e. 3 wakil organisasi-organisasi rakjat didaerah itoe. (6) Anggauta-anggauta terseboet sub a dan b dari ajat (5) mendjadi anggauta karena djabatannja, sedangkan anggauta-anggauta lainnja terketjoeali anggauta jang terseboet dalam ajat (5) sub c diangkat oleh Ketoea Dewan Pertahanan Daerah atas oesoel Dewan Perwakilan Daerah dan disahkan oleh Dewan Pertahanan Negara. (7) Ketoea Dewan Pertahanan Daerah terseboet sub b dari ajat (1) ialah Seri Padoeka Kangdjeng Soeltan dan W akil Ketoea kesatoe ialah Seri Padoeka Pakoe Alam, sedangkan W akil Ketoea kedoea ialah Opsir terseboet dalam pasal 4a ajat (5) sub c. Pasal 5. (1) Djika dalam satoe Karesidenan terdjadi hal-hal jang terseboet dalam pasal 1 ajat (2), sedang perhoeboengan antara Pemerintah Karesidenan dengan Pemerintah Poesat terpoetoes sehingga Pemerintah Karesidenan tidak dapat menjampaikan hal-hal itoe kepada Pemerintah Poesat, maka Residen bersama-sama dengan Pemimpin Tentara tertinggi didaerah itoe dan Badan Executief dari Badan Perwakilan akjat Daerah Karesidenan terseboet, dapat menjatakan daerah itoe dalam keadaan bahaja. (2) Pernjataan terseboet berlakoe pada hari pengoemoemannja. ) L ih at Presiden no. 3 th dan P en etap an P e m erin tah no. 15/ S.D. th (d jilid II (1946) B).

83 (3) Segera sesoedah perhoeboengan baik kembali, Residen haroes memberi tahoekan pernjataan keadaan bahaja terseboet kepada Pemerintah Poesat, disertai dengan alasan-alasannja oentoek disahkan dengan Oendang-oendang. (4) Peratoeran-peratoeran dalam ajat (1), (2) dan (3) pasal ini hanja berlakoe oentoek daerah diloear poelau Djawa. (5) Semoea atoeran-atoeran dalam oendang-oendang ini berlakoe oentoek daerah jang dimaksoedkan dalam pasal ini. Pasal 6. Selama perhoeboengan terpoetoes, Dewan Pertahanan Daerah termaksoed dalam pasal 5 mempoenjai hak-hak Dewan Pertahanan Negara. Pasal 7. (1) Dalam keadaan bahaja, kekoeasaan membentoek Oendang-oendang tetap ditangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakjat. (2) Dewan Pertahanan Negara berhak menetapkan peratoeran jang mempoenjai kekoeasaan sama dengan Oendang-oendang dalam daerah jang berada dalam keadaan bahaja dengan alasan jang dimaksoed dalam pasal 1 ajat (2) sub a.1) (3) Dalam waktoe selambat-lambatnja 10 hari, peratoeran terseboet dimintakan persetoedjoean oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakjat. Pasal 8. Dewan Pertahanan Negara berhak membatasi atau menghapoeskan kemerdekaan berserikat dan berkoempoel atau kemerdekaan mengeloearkan pikiran, menoeroet atoeran-atoeran jang ditetapkan olehnja.2) Pasal 9. Dewan Pertahanan Negara berhak membatasi atau melarang pentjetakan atau pengoemoeman menoeroet atoeran-atoeran jang ditetapkan olehnja.s) Pasal 10. Dewan Pertahanan Negara berhak membatasi atau melarang pengiri-!) L ih at P eraturan D.P.N. no. 6, 10, 12, 13, 15, 18, 19, 23, 24, 25 dan 26 th (d jilid II (1946) B), jan g disah kan dengan U n d an g-u n d an g no. 2 th dan P eraturan D.P.N. no. 27, 28, 30, 32 dan 33 th. 1947, serta no. 35 2) L ih at P eratu ran M en teri K oordlnator K eam anan no. R.I./ 3 th ) L ih at P eratu ran D.P.N. no. 8, 11 dan 16 th (d jilid II (1946) B) dan no. 34 th

84 man berita dengan perantaraan pos, tilpon, tilgram dan radio menoeroet atoeran-atoeran jang ditetapkan olehnja1) Pasal 11. (1) Atoeran-atoeran jang dimaksoed dalam pasal-pasal 8, 9 dan 10 berlakoe selama-lamanja 3 boelan. (2) Memperpandjang waktoe berlakoenja atoeran-atoeran terseboet diatoer dengan oendang-oendang.2) Pasal 12. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak menahan seorang selama2nja 15 hari. (2) Dalam 3 hari setelah ditahan, maka orang itoe haroes diperiksa. (3) Alasan2 penahanan serta toeroenan soerat2 pemeriksaan selekas2nja dikirimkan kepada Kedjaksaan Agoeng. Pasal 13. Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak menjoeroeh atau melarang seseorang atau segorombolan orang meninggalkan sesoeatoe daerah, dengan djaminan peroemahan dan makanan.3) Pasal 14. Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak membatasi atau melarang pengeloearan, dengan alat kendaraan darat, laoet atau oedara.4) Pasal 15. Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak membatasi atau melarang pengeloearan pemasoekan, pemakaian atau perdagangan sendjata-api disesoeatoe daerah.8) Pasal 16. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak melakoekan pemeriksaan dalam tempat2 milik seseorang dalam daerah jang dinjatakan dalam keadaan bahaja. J) L ih at P eraturan D.P.N. no. 5, 7, 8 dan 9 th (d jilid II (1946) B) dan no. 31 dan 34 th ) L ih at U ndang-undang no. 1, 15, 31 dan 37 th. 1947, dan no. 6, 18 dan 24 th P L ih at P eraturan D.P.N. no. 2 th (d jilid II (1946) B). ) L ih at P eraturan D.P.N. no. 4 dan 21 th (d jilid II (1946) B) dan no. 29 th ) L ih at P eraturan D.P.N. no. 14 dan 22 th (d jilid II (1946) B ), d ig an ti dengan U ndang-undang no. 8 th

85 (2) Dalam hal terseboet ajat (1) jang bersangkoetan diwadjibkan memberikan bantoeannja oentoek memoedahkan djalannja permeriksaan terseboet. Pasal 17. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak menggoenakan barang, tanah, bangoenan dan peroesahaan, kepoenjaan partikelir, atau jang dikoeasai oleh djawatan Negeri. 1) (2) Djoemlah keroegian penggoenakan tersebcet ditetapkan oleh seboeah panitya terdiri dari beberapa achli.2) (3) Orang2 jang karena roemahnja digoenakan tidak mempoenjai kediaman lagi, diberi kediaman lain. (4) Orang2 jang bekerdja diperoesahaan jang digoenakan menoeroet ajat (1) haroes tetap bekerdja, sedangkan oepahnja didjamin tidak boleh lebih rendah dari semoela. Pasal 18. Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak melarang segala perobahan bentoek tanah, bangoenan dan peroesahaan atiu perobahan tentang hak2 jang ada diatasnja. Pasal 19- (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak menoetoep atau membatasi waktoe/boeka balai pertemoean, rosmah bola, roemah makan dan lain2 tempat penghiboeran. (2) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak mengadakan djam malam. Pasal 20. (1) Didalam daerah jang dinjatakan dalam keadaan bahaja, Polisi, Pembantoe-Polisi, Barisan Pemadam api dm pendjaga Bahaja Oedara dianggap sebagai tentara.3) (2) Menganggap golongan atau djawatan lain dari pada jang terseboet dalam ajat (1) sebagai tentara, haroes diatoer dengan Oendangoendang. *) L ih at P eraturan D.P.N. no. 3 th (d jilid II (1946) B). 2) D ibentuk dengan Penetapan D.P.N. no. 53 th 1946, tg. 15 A gustus ) L ih at Penetapan D.P.N. no. 49 th. 1946, tg. 9 N opem ber 1946 (In stru ksi K epolisian N egara dalam K eadaan B ahaja) b erh u b :n g dengan no. 112 th. 1947, tg. 1 A gustus 1947 (m iliterisari Polisi N egara) dan In stru ksi D.P.N. no. 13 th. 1947, tg. 1 A gustus 1947 (jan g m endjalankan P enetapan D.P.N. no. 112 th. 1947).

86 Berhoeboeng dengan alasan2 jang dimakssoedkan dalam pasal 1 ajat (2) maka ditetapkan: 1. Djika jang mendjadi alasan keadaan bahaja adalah hal jang diseboetkan dalam sub b, maka pasal 18 dari Oendang-oendang ini tidak berlakoe. 2. Djika jang mendjadi alasan keadaan bahaja hal jang diseboetkan dalam sub c, maka pasal2 17 dan 18 dari Oendang-oendang ini tidak berlakoe. 3. Djika jang mendjadi alasan keadaan bahaja adalah hal jang dise> boetkan dalam sub d, maka pasal-pasal 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan 19 dari Oendang-oendang ini tidak berlakoe. Pasal 22. (1) Djika seseorang dalam pelaksanaan pasal-pasal 8 sampai 19 merasa diperlakoekan melampaoei batas, ia atau orang lain berhak mengadoe dengan lisan atau soerat kepada Ketoea Pengadilan Negara pada tempat itoe. (2) Pengadoean dengan soerat itoe dapat dilakoekan dengan tidak ditanda tangani. (3) Pengadoean2 itoe diperiksa selambat2nja dalam 5 hari sesoedah menerimanja. (4) Djikalau dalam pemeriksaan terboekti kebenaran pengadoean, perkara haroes diadili selambat^nja dalam waktoe 2 boelan. Pasal 23- (1) Djika seseorang dalam pelaksanaan pasal-pasal 15, 17, 18 dan 19 merasa menderita kemgian benda, ia atau wakilnja berhak mengadoe kepada panitya jang diadakan oleh Dewan Pertahanan Negara. (2) Panitya terseboet menetapkan besarnja kerugian jang diderita dan kedoea pihak toendoek pada poetoesan panitya itoe. Pasal 24. (1) Dewan Pertahanan Negara (Daerah) berhak memaksa, sekalipoen dengan kekerasan agar Oendang-oendang ini atau peratoeran2 jang ditetapkan berdasar atas Oendang-oendang ini diindahkan serta dipenoehi. (2) Djika oentoek melakoekan tindakan terseboet diatas Pemerintah terpaksa mengeloearkan ongkos maka pelanggar2 itoe dapat diharoeskan memikoel ongkos2 terseboet.

87 Djawatan2 pemerintah sipil dengan segenap pegawainja toendoek pada pemerintah jang dikeloearkan oleh Dewan Pertahanan Negara (Daerah) menoeroet peratoeran jang disoesoen oleh Presiden.1) Pasal 2 6. (1) Sebeloem terbentoeknja Dewan Pertahanan Negara, segala sesoeatoe jang haroes diatoer oentoek mendjalankan Oendang-oendang ini, ditetapkan oleh Presiden.2) (2) Segala sesoeatoe jang haroes diatoer oentoek mendjalankan Oendangoendang ini ditetapkan oleh Dewan Pertahanan Negara.3) Pasal 27. (1) Hoekoeman jang setinggi2nja, dapat ditetapkan oentoek perkara2 jang mengenai peratoeran2 dalam oendang-oendang dan peratoeran2 oleh Dewan Pertahanan Negara (Daerah), ialah: a. 3 boelan hoekoeman koeroengan. b. 20 tahoen hoekoeman pendjara. c. R hoekoeman denda. (2) Barang2 jang langsoeng bersangkoetan dengan pelanggaran, baik milik pelanggar peratoeran, maoepoen milik orang lain, boleh dirampas atau diroesak. Pasal 28. (1) Oendang-oendang ini diseboet Oendang-oendang keadaan bahaja. (2) Oendang-oendang ini berlakoe sedjak hari pengoemoemannja. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 6 Djoeni Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri pertahanan, AMIR SJARIFOEDIN. Dioemoemkan pada tg. 6 Djoeni Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. i) L ih at P eraturan Presiden no. 3 th (d jilid II (1946) B), P enetapan D P N no. 47 th. 1946, tg. 26 Septem ber 1946, dan no. 85 th. 1947, tg. 25 ^ L ih a ^ P e n e ta p a n P em erintah no. 13/S.D. th (d jilid II (1946) B). 3) L ih at P eraturan D.P.N. no. 1 th (d jilid II (1946) B).

88 7. Peraturan Pengadilan Tentara.l) (Militaire rechtbanken) 8 Djuni 1946 B.R.I. th. IX no. 17, h , dan B.R.I. th. II no , h Menimbang: OENDAN G-OENDANG No. 7 th Tentang peratoeran pengadilan tentara. Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa dianggap perloe disamping pengadilan biasa diadakan pengadilan tentara; Mengingat: pasal 5, ajat 1 dan pasal 24 dari Oendang-oendang Dasar, pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat Wakil- Presiden tertanggal 16 Oktober 1945 No. X; Memoetoeskan: Menetapkan atoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang pengadilan tentara. Pengadilan Tentara terdiri dari: a. Mahkamah-Tentara Agoeng; b. Mahkamah-Tentara. Bab I. Atoeran Oemoem. Pasal 1. Pasal 2. Pengadilan Tentara mengadili perkara-perkara pidana jang meroepakan kedjahatan dan pelanggaran jang dilakoekan oleh: a- peradjoerit Tentara Repoeblik Indonesia, Angkatan Laoet Repoeblik Indonesia dan Angkatan Oedara Repoeblik Indonesia; orang jang oleh Presiden dengan Peratoeran Pemerintah ditetapkan sama dengan peradjoerit jang dimaksoedkan dalam sub a; C orang tidak termasoek golongan a atau b, tetapi berhoeboeng dengan Perar an^i no" ^ ^947 m enjim pang d a ri U n d an g-u n d an g in i, jan g dengan P eraturan P em erintah no. 37 th (diu b ah dengan 37 thu ri9 4 s em er*n ta^ n " 49, ^ an ^ *948). P eratu ran P em erin tah no. /^ntu^ ^ aw a dan M ad u ra d igan ti dengan P eratu ran d a ru ra t no. se d fln c r P (diubah dengan P eraturan d a ru rat no, 4 th. 1949), tid ik eratu ra* d aru rat ini d itjab u t dengan P.P.P.U.U. no. 36 th. 1949, jan g ^er^a^ u - A tu ran -atu ran in i sem uanja d ig an ti dengan U n d an g. undang no. 5 th (Lem baran N egara R.I.S no 52).

89 kepentingan kecentaraan, atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetoedjoean Menteri Kehakiman haroes diadili oleh Pengadilan Tentara. Pasal 3. Berhoeboeng dengan jang terseboet dalam pasal 2a dan b, Pengadilan Tentara berkoeasa mengadili soeatoe perkara hanja djika pemboeatnja pada waktoe melakoekan perboeatannja adalah peradjoerit jang dimaksoedkan dalam pasal 2 sub a atau orang jang dimakssoedkan dalam pasal 2 sub b. Pasal 4. Pengadilan Tentara mengadili poela perkara-perkara kedjahatan jang dilakoekan oleh siapapoen djoega djikalau kedjahatan-kedjahatan terseboet termasoek titel I atau titel II boekoe doea dari Kitab Oendang-oendang hoekoem pidana dan dilakoekan dalam lingkoengan jang dinjatakan dalam keadaan bahaja berdasarkan pasal 12 Oendan-oendang Dasar. 1 Pasal 5. Kedjahatan atau pelanggaran jang dilakoekan oleh mereka jang dimaksoedkan dalam pasal 2 sub a dan b, bersama-sama dengan orang jang tidak termasoek golongan a dan b itoe, diadili oleh pengadilan biasa, ketjoeali djikalau menoeroet ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetoedjoean Menteri Kehakiman perkara itoe haroes diadili oleh pengadilan Tentara. Pasal 6. Perselisihan tentang kekoeasaan antara Pengadilan Tentara dan Pengadilan biasa dipoetoes oleh Presiden. Bab II. Tentang Mahkamah-Tentara Agoeng. Pasal 7. (1) Mahkamah-Tentara Agoeng berkedoedoekan Mahkamah Agoeng dan daerah hoekoemnja ialah seloeroeh Indonesia. (2) Mahkamah-Tentara Agoeng bersidang ditempat kedoedoekannja, ketjoeali djikalau berhoeboeng dengan keadaan Negara atas Ketetapan menteri Pertahanan dengan persetoedjoean Menteri Kehakiman sidang itoe haroes diadakan ditempat lain. Pasal 8. (1) Ketoea, W akil Ketoea dan anggauta-anggauta Mahkamah Agoeng

90 karena djabatannja mendjadi Ketoea, W akil Ketoea dan anggautaanggauta Mahkamah Tentara Agoeng. (2) Selain dari anggauta-anggauta terseboet dalam ajat 1, Mahkamah- Tentara Agoeng terdiri atas tiga orang ahli hoekoem lain dan enam opsir Tentara jang serendah-rendahnja letnan-kolonel. (3) Anggauta-anggauta terseboet dalam ajat 2 diangkat dan diperhentikan oleh Presiden. Pasal 9. (1) Djaksa Agoeng karena djabatannja mendjadi Djaksa-Tentara Agoeng. (2) Bilamana Djaksa-Tentara Agoeng berhalangan maka ia diwakili oleh seorang Djaksa Tinggi tingkat I pada Kedjaksaan Agoeng atau salah seorang Djaksa Tinggi lain jang ditoendjoek oleh Djaksa Agoeng. Pasal 10. (1) Panitera Mahkamah Agoeng karena djabatannja mendjadi panitera Mahkamah-Tentara Agoeng. (2) Apabila Panitera terseboet berhalangan ia diwakili oleh pegawai jang benhak mewakilinja sebagai Panitera Mahkamah Agoeng, atau oleh lain jang ditoendjoek oleh Ketoea Mahkamah-Tentara Agoeng. Pasal 11. (1) Mahkamah-Tentara Agoeng bersidang dengan lima orang hakim terhitoeng ketoeanja. (2) Dari lima orang hakim itoe doea orang haroes ahli hoekoem dan tiga orang opsir tentara. (3) Opsir ini haroes ketiga-tiganja berkedoedoekan militer lebih tinggi dari pada kedoedoekan militer terdakwa-terdakwa jang perkaranja haroes diadili. (4) Apabila dalam soeatoe perkara diantara enam opsir jang dimaksoedkan dalam pasal 8 ajat 2 tiada terdapat tiga opsir jang memenoehi sjarat terseboet dalam ajat 3 maka Presiden, hanja oentoek mengadili perkara itoe, mengangkat opsir setjoekoepnja, jang memenoehi sjarat tadi, sebagai hakim. (5) Hakim ini dengan sendirinja dianggap berhenti apabila ia telah ic\ tan an* poetoesan dalam perkara terseboet. pa a Ketoea atau W akil Ketoea berhalangan, maka sidang diketoeai o eh anggauta ahli hoekoem jang ditoendjoek oleh Ketoea. Pasal 12. Mahkamah-Tentara Agoeng memoetoeskan dalam tingkatan pertam a dan penghabisan: 1. Perkara-perkara jang terdakwanja atau salah satoe dari terdakwanja:

91 a. adalah peradjoerit jang serendah-rendahnja berpangkat major; b. adalah seorang jang seandainja ditoentoet dihadapan pengadilan biasa, dipoetoes oleh Mahkamah Agoeng atau Pengadilan Tinggi. 2. Perselisihan tentang kekoeasaan antara Mahkamah-mahkamah-Tentara. Pasal 13. Mahkamah-Tentara Agoeng mengadili dalam tingkatan kedoea dan penghabisan dalam perkara-perkara jang telah diadili oleh Mahkamah- Tentara. Bab III. Tentang Mahkamah-Tentara. Pasal 14. Tempat kedoedoekan Mahkamah-mahkamah-Tentara beserta daerah hoekoemnja masing-masing ditetapkan oleh Menteri Pertahanan. Pasal 15. (1) Djikalau tidak diadakan ketetapan lain oleh Menteri Kehakiman, maka Ketoea Pengadilan Negeri, jang dalam daerah-hoekoemnja termasoek tempat, jang ditoendjoek sebagai tempat kedoedoekan Mahkamah- Tentara, karena djabatannja mendjadi Ketoea Mahkamah-Tentara; begitoe djoega Panitera Pengadilan Negeri terseboet karena djabatannja mendjadi Panitera Mahkamah-Tentara. (2) Djikalau tidak diadakan ketetapan Iain oleh Menteri Kehakiman Kepala Kedjaksaan Pengadilan Negeri jang dimaksoedkan dalam ajat 1, karena djabatannja mendjadi Djaksa-Tentara pada Mahkamah- Tentara. (3) Menteri Kehakiman menoendjoek Ketoea dan Djaksa-pengganti Mahkamah-Tentara. (4) Apabila panitera jang dimaksoedkan dalam ajat 1 berhalangan, maka ia djoega oentoek pekerdjaannja pada Pengadilan-Tentara diwakili oleh pegawai jang mewakilinja pada Pengadilan Negeri. Pasal 16. (1) Boeat tiap-tiap Mahkamah-Tentara djoemlah anggauta-opsirnja sesedikit-sedikitnja empat orang. (2) Mereka diangkat dan diperhentikan oleh Presiden. Pasal 17. (1) Mahkamah-Tentara bersidang dengan seorang ahli hoekoem sebagai Ketoea, doea opsir tentara jang serendah-rendahnja berpangkat kapten sebagai anggauta, seorang Djaksa-Tentara dan seorang Panitera.

92 (2) Opsir jang dimaksoedkan dalam ajat 1 haroes kedoea-doeanja berkedoedoekan militer lebih tinggi dari pada kedoedoekan militer terdakwa-terdakwa jang perkaranja haroes diadili; (3) Apabila dalam soeatoe perkara diantara opsir-opsir jang dimaksoedkan dalam pasal 16 ajat 1 tiada terdapat doea opsir jang memenoehi sjarat terseboet dalam ajat 2, maka komandan tertinggi dari daerah hoekoem Mahkamah-Tentara jang bersangkoetan hanja oentoek mengadili perkara itoe, mengangkat opsir setjoekoepnja, jang ' memenoehi sjarat tadi, sebagai hakim. (4) Hakim ini dengan sendirinja dianggap berhenti apabila ia telah menanda tangani poetoesan dalam perkara terseboet. Pasal 18. Dengan tidak mengoerangi apa jang termoeat dalam pasal 2, 3 dan 4 Mahkamah-Tentara mengadili semoea perkara kedjahatan dan pelanggaran jang: a. dilakoekan oleh peradjoerit jang termasoek soeatoe pasoekan jang berada didalam daerah hoekoemnja; b. dilakoekan didalam daerah hoekoemnja. Pasal 19. (1) Apabila lebih dari satoe Mahkamah-Tentara berkoeasa mengadili soeatoe perkara dengan sjarat-sjarat jang sama koeatnja, maka Mahkamah jang menerima perkara itoe lebih dahoeloe dari kedjaksaan, haroes memoetoes perkara terseboet. (2) Dari sjarat-sjarat terseboet dalam pasal 18 maka sjarat a adalah lebih koeat dari pada sjarat b. Bab IV. Soesoenan Pengadilan Tentara boeat mengadili pelanggaran. Pasal 20. (1) Pengadilan Tentara dalam mengadili perkara pelanggaran terdiri dari iaitoe Ketoea pengadilan itoe. ^ A?T?eSannja ^ i atoehkan dalam tingkatan pertama dan penghabisan. a amah-tentara Agoeng dalam soesoenannja oentoek mengadili per ara pelanggaran berhak memerintah Ketoea Mahkamah-Tentara jang bersangkoetan sebagai pengganti Mahkamah-Tentara Agoeng mengadili perkara pelanggaran jang seharoesnja diadili oleh Mahkamah-Tentara Agoeng.

93 Atoeran penoetoep. Pasal 21. Ketoea, W akil Ketoea, Anggauta-anggauta, Djaksa serta Panitera Pengadilan Tentara jang boekan opsir tentara, oleh Presiden diberi pangkat militer sesoeai dengan kedoedoekan masing-masing. Pasal 22. Djika perloe berhoeboeng dengan keadaan, Presiden berhak membentoek pengadilan tentara loear biasa jang soesoenannja menjimpang dari peratoeran dalam Oendang-oendang ini. Pasal 23- Ketjoeali apa jang telah ditetapkan diatas, maka segala penjelenggaraan Oendang-oendang ini dikerdjakan dengan penetapan Menteri Pertahanan dengan persetoedjoean Menteri Kehakiman. Pasal 24. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkannja. Dioemoemkan pada tg. 8 Djoeni Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 8 Djoeni Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Kehakiman, SOEWANDI. Menteri pertahanan, AM IR SJARIFOEDIN. J) L ih at P eraturan P em erin tah no. 7 th (h. 190 d ari b u k u in i), d ig an ti dengan P eraturan P em erintah no. S 4 th. 1948, jan g d ig an ti d ju g a dengan no. 45 th (diubah no. 75 th. 1948). 2) L ih at P eraturan P em erintah no. 5 th. 1946; no. 6 th ja n g d itjab u t dengan no. 11 th (lih at b e rtu ru t-tu ru t h. 186, h. 188 dan h. 206 d a ri b u ku in i); no. 4 th dan no. 23 th

94 a. P e n d je la s a n B.R.I. th. II no. 17, h , dan th. II no. 18, h PENDJELASAN OEMOEM. Pada zaman Hindia-Belanda maka disamping pengadilan biasa (Hooggerechtshof, Raden van Justitie, Landgerechten, Landraden dll.) ada poela pengadilan tentara, jaitoe het Hoog Militair Gerechtshof van Ned. Indie di Djakarta, krijgsraden bij de zeemacht jang bersidang disalah satoe kapal atau tempat-tempat jang ditoendjoek oleh ^Commandant bij de Zeemacht (St No. 11). Djoega Negara Repoeblik Indonesia sangat memboetoehkan pengadilan tentara disamping pengadilan biasa. Pengadilan Tentara jang sekarang ada dibeberapa tempat adalah tidak sjah, sebab tidak berdasarkan oendang-oendang. Oleh karena peratoeran tentang pengadilan Hindia-Belanda, antaranja jang mengenai daerah krijgsraden, tidak sesoeai dengan keadaan serta keboetoehan sekarang, maka perloelah membentoek pengadilan tentara baroe. Pada masa sekarang dirasa beloem perloe boeat angkatan darat dan boeat angkatan laoet masing-masing pengadilan sendiri-sendiri. Oentoek mendjamin kepentingan bagian angkatan darat, angkatan laoet dan angkatan oedara tjoekoeplah kiranja dimana perloe mengangkat opsir-opsir dari angkatan-angkatan terseboet sebagai hakim pada pengadilan tentara. Menoeroet rantjangan oendang-oendang ini maka pengadilan tentara bertingkatan doea, jaitoe Mahkamah-Tentara Agoeng jang bersama dengan Mahkamah-Agoeng (biasa) bertempat kedoedoekan di Djakarta (akan tetapi dapat bersidang diloear kota itoe) dan Mahkamah-Tentara. Djoemlah tempat kedoedoekan serta daerah hoekoem Mahkamah-Tentara ini ditetapkan oleh Menteri Pertahanan, agar soepaja segala sesoeatoe moedah dapat disesoeaikan dengan keboetoehan dan keadaan. Maksoed Pemerintah djika perloe dan moengkin, akan mendirikan Mahkamah-Tentara ditiap-tiap dipisi. Oleh karena Tentara Repoeblik Indonesia masih moeda dan para opsirnja oemoemnja tidak mempoenjai didikan dan pengalaman tjoekoep dilapangan pengadilan, maka agar pengadilan tentara dapat berdjalan antjar menoeroet oendang-oendang pimpinan pengadilan dan penoentoetan diserahkan kepada hakim (ahli hoekoem) dan djaksa jang berpengalaman. Sebaliknja oentoek mendjamin kepentingan tentara, ditetapkan ahwa hakim-hakim pengadilan sebagian besar terdiri dari opsir-opsir tentara. Adapoen oendang-oendang hoekoem pidana jang haroes dipakai ialah Wetboek van Militair Strafrecht voor Ned. Indie (St No. 167) jang

95 menoeroet pasal 1 dari Oendang-oendang tentang peratoeran hoekoem pidana (Berita Repoeblik Indonesia tg No. 9) masih berlakoe, Pasal III, IV dan V dari oendang-oendang ini haroes dipergoenakan oentoek memakai Wetboek voor Militair Strafrecht tadi. Pemerintah bermaksoed selekas moengkin menjesoeaikan oendang-oendang ini dengan keadaan sekarang. Begitoe djoega Pemerintah berkehendak selekas moengkin mengadakan peratoeran atjara baroe goena pengadilan tentara oentoek pengganti peratoeran-peratoeran atjara Hindia-Belanda goena pengadilan militair lama. PENDJELASAN PASAL DEMI PASAL. Pasal 1: lihat pendjelasan oemoem. Pasal 2: Penting sekali ialah saat waktoe perboeatan dilakoekan. Djikalau pada saat itoe terdakwa beloem mendjadi peradjoerit atau tidak mendjadi peradjoerit atau ssoedah tidak mendjadi peradjoerit lagi, maka ia haroes diadili oleh pengadilan biasa. Pengadilan Tentara hanja berkoeasa djikalau terdakwa masih mendjadi peradjoerit, waktoe ia melakoekan perboeatan jang mendjadi perkara (lihatlah djoega pasal 3). sub a: tidak memboetoehkan pendjelasan. sub b: dianggap perloe berhoeboeng dengan keadaan sekarang memberi hak kepada Presiden oentoek menjamakan misalnja peradjoerit lasjkar ra jat dsb. dengan peradjoerit Tentara Repoeblik Indonesia. Dengan sendirinja Presiden dalam pada itoe berhak menetapkan sjarat-sjarat jang dirasa perloe. sub c: Pada masa pantjaroba ini dianggap perloe memberi hak jang dimaksoed disini kepada kedoea Menteri ini goena kepentingan ketentaraan. Pasal 3: lihatlah pendjalasan pasal 2. Pasal 4: sesoeai dengan pasal 3 sub 1 dari Bepalingen betreffende de rechtsmacht van den militairen rechter in Ned.-Indie (Staatsblad 1934 No. 173). Pasal 5: Pokok pasal ini sesoeai dengan pasal 6 ajat 1 dari Bepalingen betreffende de Rechtsmacht van den militairen rechter terseboet. Pasal 6: tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 1: ajat 1 tidak memboetoehkan pendjelasan. ajat 2: berhoeboeng dengan keadaan sekarang dirasa perloe memberi kekoeasaan kepada Menteri Pertahanan dengan persetoedjoean Menteri Kehakiman oentoek menetapkan, bahwa Mahkamah-Tentara Agoeng bersidang misalnja di Jogjakarta atau ditempat lain.

96 Pasal 8: ajat 1 dan 3 tidak memboetoehkan pendjelasan. ajat 2: memberi kesempatan mengangkac ahli hoekoem jang bertempat tinggal diloear kota Djakarta sebagai anggauta Mahkamah-Tentara Agoeng. Pasal 9- tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 10: ajat 1 tidak memboetoehkan pendjelasan. ajat 2: memberi kesempatan kepada ketoea Mahkamah-Tentara Agoeng menoendjoek seorang pegawai Kehakiman jang misalnja bertempat kedoedoekan di Jogjakarta sebagai wakil panitera Mahkamah-Tentara Agoeng. Pasal 11: ajat 1 tidak memboetoehkan pendjelasan. ajat 2: Pimpinan Mahkamah-Tentara Agoeng diserahkan kepada ahli hoekoem jang tjakap dan berpengalaman banjak, tetapi sebagian besar dari anggauta-anggauta Mahkamah itoe terdiri dari opsir-opsir tentara sehingga kepentingan pengadilan dan kepentingan tentara doea-doeanja dapat terdjamin. ajat 3, 4 dan 5 ini perloe, oleh -karena kepentingan tentara ta dapat mengid2inkan kepada Opsir oentoek memoetoes perkara Opsir lain jang lebih tinggi pangkat atau ranglisnja. Pasal 12: tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 13: tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 14: memberi kekoeasaan jang diboetoehkan oleh Menteri Pertahanan oentoek menempatkan Mahkamah-Mahkamah Tentara sesoeai dengan kepentingan tentara. Pasal 15: ajat 1, 2 dan 3 mendjamin bahwa pimpinan pengadilan dan pimpinan penoentoetan diserahkan kepada tenaga jang tjakap. ajat 4: tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 16: tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 17: lihatlah pendjelasan pasal 11. Pasal 18. maksoed pokok pasal ini sesoeai dengan maksoed pasal 11 dari Bepalingen betreffende de rechtsmacht van den Militairen rechter in Ned.-Indie. Pasal 19. ajat 1 sesoeai dengan pasal 16 ajat 2 dari Bepalingen... tadi. ajat 2: sesoeai dengan pasal 16, ajat 1 dari Bepalingen----- terseboet. Pasal 20: Atoeran dalam pasal ini dirasa perloe oentoek memoedahkan pem eriksaan perkara pelanggaran. Pasal 21: Oentoek memenoehi perasaan dan kebiasaan militair maka perloe memberi pangkat militair kepada Ketoea, Wakil-Ketoea, Djaksa, -An gauta-anggauta dan Panitera, jang boekan peradjoerit, sesoeai dengan kedoedoekan masing-masing.

97 Pasal 22: Ada kalanja perloe membentoek pengadilan tentara loear biasa sematjam Krijgsraad te velde atau Temporaire krijgsraad, pada zaman Hindia-Belanda. Pasal 23 dan 24: tidak memboetoehkan pendjelasan. 8. Peraturan hukum atjara pidana Pengadilan T entara.2) (Strafprocesrecht voor de Militaire rechtbanken) 8 Djuni 1946 B.R.I. th. II no. 17, h dan th. II no. 18/19, h OENDANG-OENDANG No. 8 th Tentang peratoeran hoekoem atjara pidana pengadilan tentara. Menimbang; Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa sebeloem membentoek* oendang-oendang hoekoem atjara pidana baroe goena pengadilan tentara, perloe boeat sementara waktoe memakai sebagai pedoman peratoeran-peratoeran atjara pidana pengadilan biasa, sesoedah peratoeran-peratoeran itoe disesoeaikan dengan keperloean pengadilan tentara; Mengingat: pasal 5 ajat 1 Oendang-oendang Dasar, pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat Wakil-Presiden tertanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan atoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang peratoeran hoekoem atjara pidana goena pengadilan tentara. Bagian I. Oemoem. Pasal 1. Goena pengadilan tentara, jang daerah hoekoemnja termasoek daerah Djawa dan Madoera berlakoe sebagai pedoman: *) U ndang-undang no. 36 th dan P eratu ran P em erin tah no. 26 th m enjim pang dari U n dan g-undan g ini, jan g kem udian diubah dengan P eratu ran P em erintah no. 38 th dan no. 65 th A tu ran -atu ran in i d ig an ti dengan U ndang-undang no. 6 th (L em b aran -N egara R.I.S no. 53).

98 a. het Herziene Inlandsch Reglement, dengan peroebahan-peroebahan seperti dimoeat dalam oendang-oendang ini; b. Reglement op de Strafvordering voor de raden van justitie op Java en het hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie, jang selandjoetnja diseboet Strafvordering, dengan peroebahan-peroebahan seperti dimoeat dalam oendang-oendang ini. Pasal 2. Goena pengadilan tentara, jang daerah hoekoemnja terletak diloear daerah Djawa dan Madoera berlakoe sebagai pedoman: RegIement tot regeling van het rechtswezen in de residenties buiten Java en Madoera, jang selandjoetnja diseboet Rechtsreglement Buitengewesten, dengan peroebahan-peroebahan seperi dimoeat dalam oendangoendang ini. Bagian II. Pemeriksaan Permoelaan. Pasal 3. (1) Selain daripada pegawai-pegawai dan orang lain jang diseboet dalam pasal 39 dari het Herziene Inlandsch Reglement" dan dalam bab III dari Rechtsreglement Buitengewesten, maka hak mengoesoet kedjahatan dan pelanggaran diserahkan djoega; a. kepada kepala pasoekan Tentara Repoeblik Indonesia, Angkatan Laoet Repoeblik Indonesia dan Angkatan Oedara Repoeblik Indonesia jang berpangkat opsir serta opsir-opsir bawahannja, terhadap anak-boeahnja masing-masing; b. kepada pemimpin-pemimpin pasoekan seperti jang dimaksoedkan dalam pasal 2 sub b Oendang-oendang tentang Peratoeran Pengadilan Tentara, jang ditoendjoek oleh Menteri Pertahanan dengan persetoedjoean Menteri Kehakiman terhadap anak-boeahnja; c. kepada pegawai-pegawai polisi tentara, jang mempoenjai angkatan jang sah, dalam daerahnja masing-masing. (2) Mereka teroetama memakai sebagai pedoman: boeat daerah Djawa dan Madoera: titel doea, bagian satoe, bagian tiga, bagian empaj^dan bagian lima dari het Herziene Inlandsch Reglement dan iboeat daerah diloearnja: bab III Rechts-Reglement Buitengewesten. (3) Berhoeboeng dengan penjelidikan kedjahatan dan pelan ggaran terseboet m ereka langsoeng dibaw ah pim pinan D jaksa-tentara. (4) Mereka wad jib menoeroeti petoendjoek3 Djaksa-Tentara dengan saksama.

99 Dengan tidak mengoerangi kewadjiban mereka seperti jang dimaksoedkan dalam pasal 3 pada tanggal 1 dan 15 dari tiap-tiap boelan mereka haroes memberi laporan tertoelis kepada Djaksa-Tentara tentang: a. penangkapan dan penahanan orang jang dilakoekan oleh mereka; b. penglepasan orang terseboet; c. pembeselahan barang-barang dan pemindahan barang-barang itoe oleh mereka. Pasal 5- Tentang peristiwa-peristiwa jang penting jang mengenai ketentaraan Djaksa-Tentara segera memberi laporan tertoelis kepala Divisi jang bersangkoetan. Pasal 6. Dengan mengingat kepentingan tentara dan tidak mengoerangi peratoeran-peratoeran dalam oendang-oendang ini atau oendang-oendang lain, Djaksa-Tentara melakoekan atau memimpin pemeriksaan permoelaan dalam perkara-perkara jang haroes diadili oleh pengadilan tentara sedapat-sedapat setjara pemeriksaan permoelaan dalam perkara-perkara jang haroes diadili oleh pengadilan biasa. Bagian III. Pemeriksaan Pengadilan Tentara dalam tingkatan pertama. Pasal 7- Dengan mengingat kepentingan tentara dan tidak menoerangi peratoeran-peratoeran dalam oendang-oendang ini atau oendang-oendang lain, maka pengadilan Tentara melakoekan pemeriksaan perkara-perkara pidana dalam tingkatan pertama dengan berpedoman atjara pemeriksaan perkara pidana jang dipakai oleh Pengadilan Negeri. Pasal 8. (1) Poetoesan Mahkamah-Tentara Agoeng dalam perselisihan tentang kekoeasaan antara Mahkamah-Mahkamah-Tentara haroes disertai alasan-alasannja. Poetoessan terseboet dikirimkan kepada Djaksa- Tentara pada Mahkamah jang ditoendjoek sebagai pengadilan jang haroes mengadilli. (2) Ketoea Mahkamah jang lain dan Djaksa-Tentaranja mendapat toeroenan poetoesan terseboet. (3) Mahkamah jang dimaksoed dalam achir ajat 1 wadjib menoeroeti poetoesan Mahkamah-Tentara Agoeng.

100 Pemeriksaan Mahkamah-Tentara Agoeng dalam tingkatan kedoea. Pasal 9- (1) Dengan mengingat kepentingan tentara dan tidak mengoerangi peratoeran-peratoeran dalam Oendang-oendang ini atau oendangoendang Iain maka Mahkamah-Tentara Agoeng melakoekan pemeriksaan perkara-perkara dalam tingkatan kedoea dengan pedoman. a. titel 15 dari Strafvordering, djika perkara itoe pada tingkatan pertama diadili oleh Mahkamah-Tentara didaerah Djawa dan Madoera; b. bab IV, titel V, bagian IV dari RechtsregIement Buitengewesten, djika perkara itoe pada tingkatan pertama diadili oleh Mahkamah- Tentara diloear daerah Djawa dan Madoera. (2) Waktoe jang dimaksoedkan dalam pasal 284 ajat 1 Strafvordering diperpandjang mendjadi 2 minggoe. Bagian V. Tjara mendjalankan poetoesan. Pasal 10. Poetoesan pengadilan tentara didjalankan oleh Djaksa-Tentara atau Djaksa-Tentara Agoeng jang bersangkoetan dengan pedoman; a. titel sepoeloeh, bagian empat dari het Herziene Inlandsch Reglement oentoek pengadilan tentara didaerah Djawa dan Madoera; b- bab IV, titel V, bagian V dari Rechtsreglement Buitengewesten oentoek pengadilan tentara diloear daerah Djawa dan Madoera. Atoeran penoetoep. Pasal 11. Djika perloe berhoeboeng dengan keadaan, maka Presiden berhak menetapkan peratoeran atjara goena pengadilan tentara ioear biasa jang menjimpang dari peratoeran dalam oendang-oendang in i.1) *) Lihat Peraturan Pemerintah no. 23 th

101 Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkannja. Dioemoemkan pada tg. 8 Djoeni Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 8 Djoeni Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Kehakiman, SOEWANDI. Menteri Pertahanan, AM IR SJARIFOEDIN. a. Pendjelasan B.R.I. th. II no. 17, h. 177 dan th. II no. 18 (h. 198). PENDJELASAN OEMOEM. Berhoeboeng dengan pembentoekan Pengadilan Tentara maka perloe ditetapkan oendang-oendang tentang peratoeran hoekoem atjara pidana goena pengadilan terseboet, oleh karena hoekoem atjara pidana goena pengadilan tentara Hindia Belanda tidak sesoeai dengan keadaan serta keboetoehan Tentara Repoeblik Indonesia dan tidak sesoeai poela dengan Pengadilan Tentara baroe. Dari sebab hoeboengan antara Pengadilan terseboet dan Pengadilan biasa menoeroet rantjangan oendang-oendang jang bersangkoetan rapat sekali, jaitoe pendjabat jang diserahi pimpinan pengadilan, pimpinan penoentoetan serta pimpinan panitera boeat kedoea djenis pengadilan masing-masing sama, jaitoe pendjabat jang bersangkoetan dalam pengadilan biasa, maka dirasa tepat bahwa Pengadilan Tentara sedapat-dapat mempergoenakan hoekoem atjara pidana jang dipakai Pengadilaan biasa dengan perobahan-perobahan jang perloe. Hal demikian akan memoedahkan pekerdjaan-pekerdjaan ketoea Pengadilan Tentara, Djaksa-Tentara dan Panitera Pengadilan itoe, oleh karena mereka telah biasa memakai hoekoem atjara pidana terseboet. Oleh karena peratoeran hoekoem atjara pidana boeat pengadilan biasa beloem disesoeaikan dengan keadaan sekarang, maka peratoeran terseboet

102 hanja dapat dipakai sementara waktoe sebagai pedoman goena Pengadilan Tentara. Adapoen perobahan jang penting jalah penetapan bahwa kepala2 pasoekan jang berpangkat opsir serta opsir-opsir dibawahnja dan poelisi tentara diberi kekoeasaan kepoelisian seperti jang diterangkan dalam pasal 3. Oleh karena mereka oemoemnja tidak mempoenjai didikan dan pengalaman jang tjoekoep dilapangan kepoelisian, maka mereka ditempatkan dibawah pimpinan Djaksa-Tentara agar soepaja hasil pekerdjaan mereka tidak mengetjewakan. PENDJELASAN PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. dan pasal 2 tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 3. telah diterangkan dipendjelasan oemoem. Pasal 4. Djika kewadjiban jang dimaksoed dalam pasal ini dipenoehi dan goena pelapoeran jang dimaksoed digoenakan daftar jang memoeat keterangan2 jang lengkap, maka Djaksa-Tentara dapat mengawasx dan memimpin poelisi jang dimaksoed dalam pasal ini, sehingga lambat laoen penangkapan orang-orang dan pembeslahan barang-barang oleh mereka jang tidak beralasan tidak akan terdjadi lagi. Pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal S tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 9 ajat 1 tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 9 ajat 2, Berhoeboeng dengan soekarnja perdjalanan pada masa sekarang dianggap perloe memandjangkan tempo oentoek meminta revisi atau tidak meminta revisi dari satoe minggoe mendjadi doea minggoe. Pasal 10 dan pasai n tidak memboetoehkan pendjelasan. Pasal 12 Djika oleh Presiden dibentoek pengadilan tentara Ioear biasa, rna a Per^oe poela menetapkan peratoeran atjara. 9' f 9e4 6bi)han Undang-undang Pindjaman Nasional (Wijziging der W et op de Nationale Lening 1946) - 12 Djuni ' B R I- *. II, h 199. L ih at h. 62 d ari b uku i i.

103 OENDANG-OENDANG No. 9 th Oentoek merobah Oendang-oendang tentang pindjaman nasional. Presiden Repoeblik Indonesia, Menimbang: bahwa perloe merobah Oendang-oendang tentang pindjaman Nasional 1946 (Oendang-oendang No. 4 tahoen 1946). Mengingat: akan pasal 23, ajat 4, pasal 20 ajat 1, berhoeboeng dengan pasal IV Atoeran Peralihan dari Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden tertanggal No. X: Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat, Memoetoeskan: Menetapkan oendang-oendang jang berikoet: Pasal I. Perkataan boenga dalam Oendang-oendang tentang Pindjaman Nasional 1946 dihapoeskan dan diganti dengan perkataan hadiah. Pasal II. Pasal 1 Oendang-oendang Pindjaman Nasional 1946 ditambah dengan ajat baroe, ja ni ajat 1 a, jang boenjinja: (1) Hadiah jang dimaksoed dalam ajat 1 tidak akan dibajarkan kepada pemegang soerat pengakoean oetang djaka ia tidak maoe menerimanja. (2) Semoea oeang hadiah jang ditolak oleh jang berhak akan disediakan oentoek badan-badan amal. Pasal III. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkan. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 12 Djoeni Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. Dioemoemkan pada tg. 12 Djoeni Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO.

104 10. Pembawaan uang-.*) (Het meenemen van geld) 22 Djuni 1946 B.R.I. th. II, no. 17, h , dan no , h OENDANG-OENDANG No. 10 th Tentang pembawaan oeang Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa berhoeboeng dengan keadaan loear biasa, perloe diadakan peratoeran oentoek mentjegah kekatjauan dalam peredaran oeang; Mengingat: pasal 20 ajar 1, berhoeboeng dengan pasal X V Atoeran Peralihan dari Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden, tertanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan oendang-oendang seperti berikoet: Pasal 1. arang siapa bepergian dari daerah-daerah, jang terseboet dalam pasal, kedaerah Iain di Djawa dan Madoera dilarang membawa oeang jang melebihi djoemlah /1000, (seriboe roepiah), djika tidak mendapat izin e ih dahoeloe dari kepala daerahnja atau pegawai lain jang ditoendjoek ^ e Kepala daerah terseboet menoeroet peratoeran jang ditetapkan oleh enteri Perdagangan dan Perindoestrian. Pasal 2. Daerah jang dimaksoed dalam pasal 1 ialah: Keresidenan-keresidenan J arta, Semarang, Soerabaja, Bogor, Priangan dan daerah lainnja jang dipandang perloe oleh Menteri Keoeangan. Pasal 3. siapa bepergian masoek poelau Djawa Madoera dilarang seorane^d'0^an^ me^ ^ i djoemlah f 5000, (lima riboe roepiah) j - a Cl ak mendapat izin dari Menteri Perdagangan dan Perindoestnan atau pegawai jang ditoendjoek olehnja. P al Pasal 4. "NJ/afror^ j S ^ diatas ^dak mengenai pembawaan oeang kepoenjaan o t L r Menteti ian s bersanskoetan atau pegawai iang >) D igan ti dengan U ndang-undang no. 19,h

105 Segala peratoeran tentang pembawaan oeang keloear atau kedalam soeatoe daerah, jang ditetapkan sebeloem oendang-oendang ini berlakoe dibatalkan. Pasal 6. Barang siapa dengan sengadja melanggar pasal 1 sampai dengan 3, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja satoe tahoen dan oeang jang terdapat padanja jang melebihi batas-batas djoemlah terseboet dalam pasal 1, 2 atau 3 dirampas boeat Negara, djoega kalau oeang itoe boekan kepoenjaan terhoekoem. Pasal 7. (1) Oendang-oendang ini dapat diseboet Oendang-oendang pembawaan oeang". (2) Oendang-oendang ini moelai berlakoe satoe minggoe sesoedah dioemoemkan. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 22 Djoeni Presiden Repoeblik Indonesia, SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. Dioemoemkan pada tg. 22 Djoeni Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. 11. Perubahan Aturan Bea Meterai 1921.x) (Wijziging van de Zegelverordening 1921) 24 Djuni 1946 B.R.I. th. II no , h OENDANG-OENDANG No. 11 th Tentang peroebahan atoeran bea meterai Presiden Repoeblik Indonesia, Mengingat: bahwa atoeran bea meterai ( zegelverordening ) 1921, Stbl i ) Perubahan in i tid ak b erlak u lagi, b erhubung dengan h u ru f t L am p iran FCnn<ri'fii<i R I S dan h u ru f O d ari In stru ksi Bersam a M en teri K eh akim an R.I.S. dan R.I., tg D juni 1950 (B erita-n egara R.I.S no. 54).

106 no. 498, menoeroet oendang-oendang No. 1 tanggal 7 Maret 1942, Makloemat Menteri Keoeangan No. 1 tanggal 5 Oktober 1945 dan peratoeran Presiden tanggal 10 Oktober 1945, Noa 2, masih berlakoe; Menimbang: bahwa perloe diadakan peroebahan dalam atoeran bea meterai terseboet; Mengingat: pasal 5 Oendang-oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia dan Makloemat W akil Presiden, tanggal 16 Oktober 1945 No. 10; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan Oendang-oendang sebagai berikoet: Pasal 1. Atoeran bea meterai ( zegeiverordening ) 1921, Stbl no. 498, dioebah sebagai berikoet: I. Dalam pasal 2 ajat Ia, perkataan van stukken aan een recht van meer dan vijf honderd gulden onderworpen, dihapoeskan. II. Pasal 8, pasal 9 dan pasal 22 ajat 3 dihapoeskan. Pasal 2. Osamu Seirei No. 23 tanggal 21 boelan 7 tahoen Syoowa 18 (2603), atoeran istimewa dalam peratoeran bea segel, dihapoeskan. Pasal 3. Oendang-oendang ini moelai berlakoe boeat Poelau Djawa dan Madoera toedjoeh hari sesoedah dioemoemkannja dan boeat daerah lain pada hari jang ditetapkan oleh Presiden. Agar oendang-oendang ini diketahoei oleh oemoem, memerintahkan soepaja dioemoemkan sebagai biassa. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 23 Djoeni Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Keoeangan,, SOERACHMAN. Dioemoemkan pada tg. 24 Djoeni Sekreraris Negara, A. G. PRINGGODIGDO.

107 12. Pembaharuan susunan Komite Nasional P u sat.l) 2) (Reorganisatie van het K.N.P.) 8 Djuli 1946 B.R.I. th. II no , h OENDANG-OENDANG No. 12 Th Tentang pembaharoean soesoenan Komite Nasional Poesat. Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa perloe diadakan pembaharoean soesoenan Komite Nasional Poesat; Mengingat: Kepoetoesan Rapat Pleno Komite Nasional Poesat pada tanggal 3 Maret tahoen 1946 di Soerakarta; Peratoeran Pemerintah No. 2 tahoen 1946; pasal 5 ajat 2, pasal 20 ajat 1, atoeran Peralihan pasal IV Oendang-oendang Dasar dan Makloemat wakil-presiden Repoeblik Indonesia No. X, tanggal 10 Oktober 1945; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan peratoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang Pembaharoean Soesoenan Komite Nasional Poesat. Pasal 1. (1) Djoemlah anggauta Komite Nasional Poesat ialah 200 orang jang terbagi dalam: a. 110 orang jang ditetapkan menoeroet pemilihan daerah; b. 60 orang wakil-wakil perkoempoelan politik, dan c. 30 orang jang ditoendjoek oleh Presiden. (2) Pembagian dalam golongan-golongan hanja herlakoe goena pembentoekan. *) D itjab u t dengan U n dan g-undan g no. 27 th. 1948, jan g diub ah dengan U n d an g- un dan g no. 12 th ) D idjalan kan oleh P eraturan P em erintah no. 9 th dan no. 10 th (lih at b ertu ru t-tu ru t h. 192 dan h. 204 d ari b u k u in i), jan g tid a k b erlak u lagi oleh karen a U ndang-undang no. 27 th

108 (1) Jang dimaksoed dengan golongan a. ialah anggauta-anggauta jang dipilih oleh pemilih-pemilih dalam tiap-tiap keresidenan bagi daerah Djawa dan Soematera, dan oleh pemilih-pemilih dalam tiap-tiap propinsi bagi daerah Kalimantan, Soelawesi, Soenda Ketjil dan Maloekoe. (2) Pembagian menoeroet daerah ditetapkan sebanding dengan banjaknja pendoedoek berdasarkan tjatjah djiwa 1930 dengan progressie (kemadjoean) jang didapat tiap-tiap tahoen. (3) Dalam menetapkan angka perimbangan dari djoemlah anggauta pada oemoemnja diboelatkan keatas. Berdasarkan kebidjaksanaan pemboelatan dapat dilakoekan menjimpang dari penetapan terseboet. Pasal 3. (1) Goena menetapkan pemilih-pemilih dalam tiap-tiap keresidenan di daerah Djawa maka dalam tiap-tiap kewedanaan dibentoek satoe komisi jang terdiri dari wakil-wakil perkoempoelan politik, sosial, ekonomi, dan lasjkar-lasjkar rakjat. (2) Banjaknja wakil perkoempoelan dalam komisi terseboet pada ajat satoe ialah seorang boeat satoe perkoempoelan. (3) Djoemlah anggauta komisi ialah sebanjak djoemlah badan-badan dan perkoempoelan jang terdapat pada kewedanaan, dengan memperhatikan pasal 5. Pasal 4. (1) Komisi terseboet menetapkan daftar pemilih jang terdiri dari 10 orang jang tinggi dalam daerah kewadanaan. (2) Orang jang tidak tergaboeng dalam perkoempoelan djoega boleh dimasoekkan dalam daftar pemilih terseboet pada ajat 1. Pasal 5. Djika dalam sesoeatoe kewedanaan tidak terdapat sesoeatoe perkoempoelan jang terseboet dalam pasal 3, maka Wedana bersama-sama dengan tjamat-tjamat bawahannja membentoek satoe komisi jang terdiri dari 7 orang-orang tjerdik pandai. Demikian poela djika djoemlah perkoempoelan jang ada koerang dari 5, maka djoemlah anggauta komisi ditambah oleh Wedana hersama-sama dengan wakil-wakil perkoempoelan jang ada sehingga mendjadi 7. Pasal 6. Pem ilih-pem ilih ditetapkan oleh komisi-komisi kewedanaan dari satoe keresidenan bersama-sama meroepakan badan pem ilih keresidenan.

109 (1) Goena menetapkan pemilih-pemilih keresidenan di daerah Soematera diadakan bagi tiap-tiap keresidenan satoe komisi jang sekaligoes menetapkan pemilih dari keresidenannja. (2) Komisi terdiri dari wakil-wakil perkoempoelan-perkoempoelan seperti jang dimaksoed dalam pasal 3 ajat 1. (3) Djoemlah pemilih bagi sesoeatoe keresidenan ialah 20 X djoemlah anggauta golongan a jang ditetapkan boeat keresidenannja. (4) Djika dalam keresidenan jang berkepentingan tidak terdapat sesoeatoe perkoempoelanpoen, maka residen bersama-sama dengan kepalakepala daerah jang langsoeng dibawahnja menetapkan seboeah komisi jang terdiri dari orang-orang tjerdik pandai dalam daerahnja. Pasal 8. (1) Goena menetapkan pemilih-pemilih dari daerah-daerah lainnja maka ditiap-tiap Propinsi diadakan soeatoe komisi pemilih menoeroet atoeran-atoeran jang berlakoe boeat keresidenan dalam pasal 7. (2) Berhoeboeng dengan keadaan maka Propinsi-propinsi jang dimaksoed dalam ajat 1 dapat menjelenggarakan pemilihan di Djawa. (3) Djika bagi sesoeatoe Propinsi tidak ada perkoempoelan jang bisa mengirimkan wakil kepada komisi terseboet maka Goepemoer bersama-sama dengan orang-orang tjerdik pandai jang berasal dari daerahnja membentoek soeatoe komisi jang terdiri dari 7 orang. Demikian poela djika djoemlah perkoempoelan-perkoempoelan jang dapat mengirimkan wakilnja koerang dari 5 (lima), djoemlah anggauta komisi ditambah oleh Goepernoer bersama-sama dengan wakil-wakil perkoempoelan jang ada itoe sesingga mendjadi 7 orang. (4) Djika Goepernoer tidak dapat membentoek Komisi jang dimaksoed dalam ajat 3 dalam waktoe jang ditetapkan oleh Badan Pembaharoean Soesoenan Komite Nasional Poesat maka Menteri Dalam Negeri menoendjoek penggantinja oentoek membentoek Komisi terseboet. Pasal 9- (1) Sesoeatoe Badan Pemilih boleh memilih orang jang tinggi diloear daerahnja. (2) Djika seseorang terpilih oleh lebih dari satoe daerah maka ia selekas moengkin memberitahoekan kepada Badan Pembaharoean Soesoenan Komite Nasional Poesat dari daerah mana ia menerima pemilihnja. (3) Pemilihan jang tidak diterima oleh orang jang dimaksoed dalam ajat 2 dioelangi dengan mengingat peratoeran-peratoeran Oendang-oendang ini.

110 (1) Goena menetapkan wakil-wakil perkoempoelan jang dimaksoed oleh pasal 1 hoeroef b, maka oleh Presiden diangkat satoe Komisi jang anggauta-anggautanja terdiri dari wakil-wakil perkoempoelan politik, jang memenoehi sjarat-sjarat berikoet: a. mempoenjai pengoeroes besar; b. mempoenjai tjabang-tjabang dalam 10 keresidenan. (2) Djoemlah wakil tiap-tiap perkoempoelan didalam komisi terseboet dalam ajat 1 sebanjak-banjaknja 2 orang jang ditoendjoek oleh perkoempoelan sendiri. (3) Komisi berapat dibawah pimpinan ketoea jang dipilih oleh dan dari anggauta-anggautanja. Pasal 11. Komisi terseboet dalam pasal 10 menetapkan: a. perkoempoelan politik mana jang haroes mempoenjai wakil dalam Komite Nasional Poesat; b. berapa djoemlah wakil bagi tiap-tiap perkoempoelan terseboet dengan mengingat djoemlah jang terseboet dalam pasal 1 b. Pasal 12. (1) Tiap-tiap perkoempoelan merdeka dalam menetapkan wakilnja dalam Komite Nasional Poesat. (2) Penetapan terseboet diatas berlakoe selama adanja Komite Nasional Poesat. Pasal 13. ^ Dalam menoendjoek anggaura-anggauta golongan c, Presiden ti terbatas pada orang-orang jang masoek sesoeatoe perkoempoelan. (2) Dalam menetapkan golongan c, Presiden haroes memperhatikan a anja wakil dari bagian warga negara jang dibawah pemerintah kolonial ti a termasoek dalam golongan bangsa Indonesia. (3) Dalam menetapkan wakil-wakil golongan jang terseboet dalam ajat 2 hendaklah Presiden mendengar gaboengan-gaboengan (perkoempoean-perkoempoelan jang terdapat diantara golongan jang berkepentingan). Pasal 14. Jang tidak boleh mendjadi anggauta Komite Nasional Poesat ialah: Presiden, Wakil Presiden Negara Repoeblik Indonesia; Menteri W akil Menteri, Direktoer-Djenderal dan Sekretaris dari soeatoe Departemen, Sekretaris Negara; Ketoea, W akil Ketoea dan Anggauta Dewan

111 Pertimbangan Agoeng; Ketoea dan Hakim Mahkamah Agoeng; Ketoea Pengadilan Tinggi; Djaksa Agoeng; Presiden dan W akil Presiden Bank Negara Indonesia, Goepernoer, Komisaris Tinggi, Residen; Pradjoerit Tentara dari pangkat Kolonel keatas. Pasal 15. (1) Ketoea, Wakil Ketoea I dan W akil Keroea II diangkat oleh Presiden dari 3 orang tjalon jang dipilih oleh sidang jang pertama Komite Nasional Poesat. (2) Angkatan terseboet pada ajat 1 dioemoemkan dalam berita Repoeblik Indonesia. Pasal 16. (1) Atoeran jang terseboet pada pasal 12 ajat 2 berlakoe poela boeat anggauta-anggauta jang termasoek dalam golongan a dan c dari pasal 1 ajat 1. (2) Berhenti djadi anggauta: a. karena meninggal; b. atas permintaan anggauta jang bersangkoetan; c. karena diangkat dalam djabatan seperti jang diseboet dalam pasal 14. (3) Penggantian anggauta jang berhenti menoeroet atoeran ajat 2 diserahkan kepada pihak jang memilih atau menoendjoek anggauta jang berhasil itoe. Pasal 17.J) (1) Oentoek menjelenggarakan pembentoekan Komite Nasional Poesat baroe oleh Presiden diadakan soeatoe badan jang dinamakan Badan Pembaharoean Soesoenan Komite Nasional Poesat. (2) Badan Pembaharoean berpoesat di Djokjakarta dan mempoenjai tjabang-tjabang pada tiap-tiap keresidenan Djawa dan Soematera dan pada tempat kedoedoekan Goepernoer oentoek Borneo dan Maloekoe, dan oentoek daerah Soelawesi dan Soenda Ketjil pada tempat menoeroet pendapat-pendapat Poesat Badan Pembaharoean. (3) Anggauta-anggauta Poesat Badan Pembaharoean diangkat oleh Presiden dan anggauta-anggauta tjabang Badan Pembaharoean diangkat oleh Residen atau Goepernoer jang bersangkoetan. Pasal 18. (1) Tjara-tjara pemilihan anggauta golongan a, ditetapkan dengan peratoeran jang disoesoen oleh Poesat Badan Pembaharoean. B adan Pem baharuan Susunan K.N.P. dib en tu k dengan P en etap an P em erin tah no. 19/S. D. th (d jilid II (1946) B ); la lu d ih ap uskan dengan P enetapan Presiden no. 26 th bcrhubung dengan no. 12 th

112 (2) Peratoeran itoe disoesoenkan dengan segala alat penjiaran. Pasal 19. Oentoek mendjaga djangan sampai ada pertepatan pemilihan seorang dan/atau penoendjoekan oleh partai dan oleh Presiden sebaik-baiknja dilakoekan lebih dahoeloe penetapan anggauta golongan a, kemoedian penetapan anggauta golongan b, dan achirnja penoendjoekan oleh Presiden. Pasal 20. Dengan berlakoenja Oendang-oendang ini Peratoeran Pemerintah No. 2 tanggal 18 April 1946 batal.1) Pasal 21. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkan. Peratoeran Peralihan. Komite Nasional Poesat jang lama2) boebar pada sa at pelantikan Komite Nasional Poesat baroe jang disoesoen menoeroet Oendang-oendang ini. Dioemoemkan pada tg. 10 Djoeli Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 8 Djoeli Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. a. Lampiran (pada pasal 2 ajat (2) dan (3)). DI DJAWA: (70 orang). 1- Bantan = 2 orang. 2. Djakarta: 4 (termasoek Djak.-Kota: 3) = orang, 3. Bogor = 4 orang, 4. Priangan = 6 orang, 5. Tjirebon = 3 orang,. Banjoemas = 4 orang, 7. Pekalongan = 4 orang, 8. Kedoe = 5 orang, 9. Semarang = 3 orang, 10. Pati = 3 orang, 11. Bodjonegoro = orang, 12. Madioen = 3 orang, 13. Kediri = 4 orang, 14. Soerabaja = orang, 15. Malang 5 orang, 16. Besoeki = 3 orang, 17. Madoera = 3 orang, 18. Soerakarta = 4 orang, 19. Djokjakarta = 3 orang. J) L ih at h. 169 d ari b u ku ini. 2) L ih at P eratu ran Presiden no. 6 th (d jilid II (1946) B) dan U n d an g- un dan g no. 6 th

113 DI SOEMATERA: (18 orang). 1. Atjeh = 2 orang, 2. Soematera Timoer = 3 orang, 3. Tapanoeli = 2 orang, 4. Soematera Barat = 3 orarig, 5. Riau = 1 orang, 6. Djambi = 1 orang, 7. Bangkahoeloe = 1 orang, 8. Palembang = 3 orang, 9- Bangka dan Bilitoeng = 1 orang, 10. Lampoeng = 1 orang. DI KALIM AN TAN: (5 orang). 1. Kalimantan Barat = 2 orang, 2. Kalimantan Selatan dan Timoer = 3 orang. DI SOELAWESI: (9 orang). 1. Soelawesi Oetara = 4 orang, 2. Soelawesi Selatan = 5 orang. DI SOENDA KETJIL: (4 orang). DI MALOEKOE: (4 orang). 13. Penghapusan desa-desa perdikan. (Opheffing van de vrije desa s") 4 September 1946 B.R.I. th. II no , h OENDANG-OENDANG No. 13 Th Tentang penghapoesan Desa-desa perdikan. Presiden Repoeblik Indonesia, Menimbang: Perloe adanja satoe matjam bentoek desa, oentoek menjoesoen masjarakat jang kokoh dalam Negara Repoeblik Indonesia; Mengingat: Akan pasal 18 dan 20 ajat 1 berhoeboeng dengan pasal IP Peratoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil- Presiden tanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: M enetapkan peratoeran sebagai berikoet: _ Oendang-oendang tentang Penghapoesan desa-desa perdikan. Pasal 1. Tang dianggap sebagai desa perdikan, ialah semoea desa-desa jang dalam tata negara Belanda dinamakan Vrije desa (Gouv. Besl. No. 25, tanggal , Bijbl. No. 7847).

114 Menteri Dalam Negeri menjelenggarakan oesaha penghapoesan desadesa perdikan, dengan mengingat kepada keadaan masing-masing daerah dan mengingat kepentingan mereka jang langsoeng. Pasal 3. Tjara menjelenggarakan oesaha jang terseboet dalam pasal 2 ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 4. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada tanggal 17 Agoestoes Dioemoemkan pada tg. 4 September Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 4 September W akil Presiden Repoeblik Indonesia, MOHAMMAD HATTA. Menteri Dalam Negeri, SOEDARSONO. 14. Perubahan sjarat-sjarat pem ilih kepala desa. (Wijziging van de bestaande bepalingen nopens de verkiezing van desa-hoofden 4 September 1946 B.R.I. th. II no , h OENDANG-OENDANG No. 14 Th Tentang peroebahan,5sjarat-sjarat pemilih Kepala Desa. Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa sambil menoenggoe oendang-oendang baroe, golongan pemilih kepala desa jang termaksoed dalam Pasal 1 (2) dari ordonansi Pemilihan kepala desa (Stb No. 212) perloe diperloeas agar hak memilih kepala desa tidak lagi semata-mata didasarkan kepada kekajaan atau kedoedoekan, melainkan kepada kewargaan negara;

115 Mengingat: a. ordinansi pemilihan kepala desa, Stb No. 212 (diroebah dengan Stb. No. 661, Stb No. 21 dan osamu seirei No. 7 tanggal 16 Pebroeari 1944); b. Pasal 18 dan 20 ajat 1 Oendang-oendang Dasar, berhoeboeng dengan Makloemat W akil Presiden tanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan Oendang-oendang tentang meroebah sjarat-sjarat pemilih kepala desa sebagai berikoet: Pasal 1. (1) Pasal ajat (2) dari ordonansi Pemilihan kepala desa, Stb No. 212 (diroebah dengan Stb , Stb dan osamu seirei No. 7 tanggal 16 Pebroeari 1944), diroebah sehingga berboenji sebagai berikoet: (2) Jang berhak memilih kepala desa jalah semoea warga negara pendoedoek desa, laki-laki maoepoen perempoean jang beroemoer 18 tahoen keatas atau soedah kawin. Pasal 2. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoem kannja. Peratoeran peralihan. Segala pemilihan-pemilihan kepala desa jang dilakoekan sebeloem pengoemoeman Oendang-oendang ini dan jang m enjim pang dari p eratoeran dalam Oendang-oendang ini, dianggap sjah. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 4 September W akil Presiden Repoeblik Indonesia, MOHAMMAD HATTA. Menteri Dalam Negeri, SOEDARSONO. Dioemoemkan pada tg. 4 September Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO.

116 15. Penetapan tambahan pokok padjak bumi untuk tahun-padjak 1946/1947. (Opcenten landrente belastingjaar ) 21 September 1946 (tidak termasuk dalam B.R.I.). Menimbang: OENDANG-OENDANG No. 15 Th Tentang penetapan tambahan pokok padjak boemi oentoek tahoen-padjak 1946/1947. Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa oentoek tahoen anggaran 1946/1947 dari ketetapan padjak boemi oentoek daerah Djawa dan Madoera perloe dipoengoet tambahan pokok padjak oentoek memperkoeat belandja Negara dalam masa jang genting ini; bahwa menoeroet pasal 23 ajat 2 Oendang-oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia segala matjam padjak haroes ditetapkan dengan Oendang-oendang; Mengingat: 1- peratoeran dalam Stbl No. 23, pasal 2 juncto Stbl No. 240, pasal 9 dan 11; 2. pasal 20 ajat 1, berhoeboeng dengan pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden tertanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean badan Pekerdja Komite Nasional Poesat, Memoetoeskan: M enetapkan Oendang-oendang seperti terseboet dibaw ah ini: Pasal 1. Dari ketetapan padjak boemi Djawa dan Madoera (Stbl No. 240) oentoek tahoen-padjak 1946/1947 dipoengoet tambahan pokok padjak oentoek negeri seperti berikoet: padjak f. o,0 f. 10, dipoengoet empat ratoes persen tambahan. diatas»» 10, , enam» 40, w 70, seriboe sembilan ratoes persen tambahan. 100, keatas doea riboe sembilan ratoes persen tambahan;

117 Oentoek poengoetan tambahan pokok padjak jang dimaksoed pada pasal 1 diberi oepah (gandjaran) memoengoet delapan persen dari djoemlah jang dipoengoet, menoeroet tjara ditetapkan dalam pasal 16 (2) Ordonnansi Padjak Boemi Djawa dan Madoera 1939, Stbl No Pasal 3. Pada kohir padjak boemi diadakan perobahan sesoeai dengan jang dimaksoed dalam pasal ini. Perobahan kohir ini diberitahoekan kepada wadjib-padjak. Pasal 4. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkan. Agar Oendang-oendang ini diketahoei oleh oemoem, memerintahkan soepaja dioemoemkan sebagai biasa. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 21 September W akil Presiden Repoeblik Indonesia, MOHAMMAD HATTA. Dioemoemkan pada tg. 21 September Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. 16. Pengesahan pernjataan keadaan bahaja diseluruh Indonesia.*) (Bekrachtiging van de verklaringen van de staat van gevaar) 27 September 1946 B.R.I. th. II no. 24, h OENDANG-OENDANG No. 16 Th Tentang pengesahan pernjataan keadaan bahaja diseloeroeh Indonesia. Presiden Repoeblik Indonesia, Menimbang: bahwa diseloeroeh Indonesia telah terdjadi serangan dan bahaja serangan seperti termaksoed dalam pasal 1 ajat 2 Oendang-oendang Keadaan Bahaja; *) L ih at P e n e t a p a n - p e n e t a p a n Presiden t g. 6, 7 dan 28 D ju n i 1946 (d jilid II (1946) B).

118 Mengingat: akan pasal 5 ajat 1 Oendang-oendang Dasar, pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang dasar serta Makloemat W akil Presiden Repoeblik Indonesia tanggal 16 Oktober 1945 No. X; Mengingat poela: pasal 2 ajat 1 Oendang-oendang Keadaan Bahaja tanggal ; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: M enetapkan Oendang-oendang sebagi berikoet: Satoe-satoenja pasal. Bahwasanja pernjataan keadaan bahaja boeat a. daerah Istimewa Soerakarta tanggal 6 Djoeni 1946, b. Djawa dan Madoera tanggal 7 Djoeni 1946, dan c. Seloeroeh Indonesia tanggal 28 Djoeni 1946 adalah sjah. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 27 September W akil Presiden Repoeblik Indonesia, MOHAMMAD HATTA. Menteri Pertahanan, AMIR SJARIFOEDIN. Dioemoemkan pada tg. 27 September Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. 17. Pengeluaran uang Republik Indonesia (no. I). *) (Uitgifte van Republikeins geld no. I) 1 Oktober 1946 th. II no , h Menimbang: OENDANG-OENDANG No. 17 Th Tentang pengeloearan oeang Repoeblik Indonesia (I). Presiden Repoeblik Indonesia, B.R.I. 2) Lihat Undang-undang ten tan g p en geluaran uan g R.I. (no. II) (U n d an g-u n d an g no. 19 th. 1946), h. 124 dari b u ku ini.

119 bahwa oeang jang dikeloearkan oleh Pemerintah asing, perloe diganti dengan oeang Repoeblik Indonesia sendiri; bahwa djoemlah oeang jang ada dalam peredaran pada waktoe sekarang oleh karena besarnja tidak sesoeai dengan kamoengkinan oentoek menggoenakannja; Mengingat: Pasal 5, 20 dan 23 Oendang-oendang Dasar, pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden Repoeblik Indonesia tanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat. Memoetoeskan: Menetapkan Oendang-oendang sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang pengeloearan oeang Repoeblik Indonesia (I) Pasal 1. Pemerintah mengeloearkan Oeang Repoeblik Indonesia. Pasal 2. Dasar nilai oeang terseboet, dasar penoekaran oeang Repoeblik Indonesia dengan oeang jang berlakoe sekarang dan tindakan terhadap oeang ini akan ditetapkan dalam Oendang-oendang lain. Pasal 3. Matjam, warna, djenis harga oeang Repoeblik Indonesia dan lain-lain hal jang berhoeboengan dengan pengeloearan oeang ini, ditetapkan oleh Menteri Keoeangan. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 1 Oktober Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. Dioemoemkan pada tg. 1 Oktober Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO.

120 18. Kewadjiban menjimpan uang dalam Bank. (Verplichting tot deponering van geld bij de banken) 1 Oktober 1946 B.R.I. th. II no , h , h OENDANG-OENDANG No. 18 Th Tentang kewadjiban menjimpan oeang dalam Bank. Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa sebeloem oeang Repoeblik dapat dikeloearkan, perloe dengan segera diadakan tindakan persiapan baik goena memoedahkan penoekaran oeang jang sekarang berlakoe dengan oeang Repoeblik dikemoedian hari, maoepoen oentoek menjehatkan keadaan oeang; bahwa Peratoeran Pemerintah Pengganti Oendang-oendang No. 3 tahoen 1946 tentang kewadjiban menjimpan dalam Bank perloe diganti dengan oendang-oendang dengan beberapa perobahan dan tambahan; M engingat: Pasal 5, 20 dan 22 Oendang-oendang Dasar, Pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden Repoeblik Indonesia tanggal 16 Oktober 1945, No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja K om ite N asional Poesat; Memoetoeskan: A. Menarik kembali Peratoeran Pemerintah Pengganti Oendang-oendang No.^3 tahoen 1946 tentang kewadjiban menjimpan oeang dalam B. M enetapkan Oendang-oendang sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang kewadjiban menjimpan oeang dalam Bank. Pasal 1. (1) Sebeloem tanggal 16 Oktober 1946, segenap oeang toenai haroes lsimpan pada salah soeatoe Bank dimaksoed dalam pasal 3, ketjoeali djika ipa ai oleh pemegang sebagai terseboet dalam ajat 2 dan djoemlahnja pa a soeatoe saat tidak melebihi djoemlah termaksoed dalam ajat itoe. ( ) joemlah oeang toenai pada soeatoe sa at, jang dapat dipakai adalah sebanjak-banjaknja: I- Oentoek orang-orang, a. soeatoe keloearga / *) L ih at h. 152 d ari b uku ini.

121 b. orang jang hidoep sendiri, tidak meroepakan soeatoe keloearga dengan lain-lain orang: / 1000, II. Oentoek peroesahaan-peroesahaan, menoeroet salah satoe dari dasar-dasar terseboet dibawah ini: a. menoeroet djoemlah laba: laba sampai f 5000,.../ 1000, ; selandjoetnja boeat tiap-tiap f 500, atau bagiannja ditambah d e n g a n , ; diatas / , paling b a n ja k , ; b. menoeroet djoemlah jang diboetoehkan oentoek membajar gadji, oepah dan pembelian bahan-bahan selama waktoe 1 boelan, dikoerangi dengan djoemlah jang dapat dibajar dengan perantaraan Bank; c. djoemlah penerimaan dari pendjoealan barang-barang selama satoe minggoe, dikoerangi dengan bagian jang dapat dibajar dengan perantaraan Bank. III. Oentoek badan-badan, jang tidak mendjalankan peroesahaan: j 5000,, ketjoeali djika diizinkan oleh Menteri Keoeangan atau pegawai, jang ditoendjoek olehnja oentoek memakai djoemlah oeang toenai, jang lebih besar. (3) Jang dipandang sebagai laba dalam ajat (2), II, hoeroef a, boeat: a. peroesahaan-peroesahaan jang dapat dikenakan padjak pendapatan atau perseroan, ialah laba bersih dalam satoe tahoen menoeroet penetapan padjaknja jang terachir, ketjoeali djika laba bersih terseboet dalam tahoen padjak jang berlakoe pada persangkaan dari jang berkepentingan akan mendjadi lebih besar; dalam hal ini, laba bersih dalam tahoen padjak jang berlakoe menoeroet taksiran dari jang berkepentingan dengan persetoedjoean Kepala Kantor Penetapan Padjak. b. Iain-lain peroesahaan, ialah laba jang ditetapkan menoeroet boekoe atau menoeroet taksiran. (4) Djoemlah oentoek waktoe satoe boelan, dimaksoedkan dalam ajat (2), II, hoeroef b, ialah sepertiga dari pengeloearan oentoek boelanboelan April, Mei Djoeni 1946, dan djoemlah oentoek waktoe 1 minggoe, dimaksoedkan dalam ajat (2), II, hoeroef c, ialah toedjoeh-pertiga poeloeh dari penerimaan atau pengeloearan dari boelan Djoeni (5) Djika ada perselisihan paham apakah seorang hidoep sendiri atau tidak, menoeroet ajat (2), I, hoeroef a, dan b, atau apakah sedjoemlah oeang dipakai oleh soeatoe badan atau tidak, soal-soal ini dipoetoeskan oleh Kepala Daerah atau pegawai jang ditoendjoek olehnja; djika ada perselisihan paham apakah sedjoemlah oeang dipakai dalam peroesahaan

122 atau tidak, soal ini dipoetoeskan oleh Kepala Kantor Penetapan Padjak. Pasal la. (1) Pada tanggal 16 Oktober 1946 segenap oeang toenai, jang ada pada soeatoe keloearga atau orang jang tidak berdiam dalam soeatoe keloearga, haroes soedah disimpan pada salah soeatoe bank dimaksoed dalam pasal 3, ajat 1, hoeroef a, b dan c, ketjoeali djika: a. Dipakai oleh soeatoe keloearga dan djoemlahnja pada soeatoe saat tidak melebihi f 300, b. Dipakai oleh orang jang hidoep sendiri, tidak meroepakan soeatoe keloearga dengan orang lain, dan djoemlahnja pada soeatoe saat melebihi f 100,. (2) Pada tanggal 20 Oktober 1946 segenap oeang toenai jang ada pada peroesahaan-peroesahaan dan badan-badan jang boekan peroesahaan, haroes soedah disimpan pada salah soeatoe bank dimaksoed dalam pasal 3, ajat 1, hoeroef a, b dan c. Pasal 2. Jang dibebaskan dari kewadjiban terseboet dalam pasal I, ajat 1 dan pasal 1 a ialah: pegawai Negeri, pegawai Pemerintah Daerah dan Bank terseboet dalam pasal 3, ajat 1, hoeroef a, b dan c, terhadap oeang jang dipakai dalam mendjalankan pedjabatannja atau peroesahaannja. Pasal 3. (1) Dengan mengingat boenjinja pasal la, maka bank jang ditoenjoe oentoek menerima simpanan oeang berdasarkan kewadjiban menoeroet oendang-oendang ini ialah a. Bank Negara Indonesia, b. Bank Rakjat Indonesia, c Kantor Taboengan Pos, d- Bank lain, setelah mendapat izin dari Menteri Keoeangan. ( ) Bank Negara dan Kantor Taboengan Pos tidak diwadjibkan mem ajar sewa modal terhadap djoemlah jang disimpan berdasar atas ajat. Bank Rakjat dan Bank lain dapat memberikan sewa modal menoeperatoerannja masing-masing jang mengenai hal ini. boeko ank-bank terseboet dalam ajat 1 diharoeskan mengadakan peman jang terang dari penerimaan dan pengeloearan oeang jang ditenma an ikeloearkan berdasar atas Oendang-oendang ini, menoeroet petoendjoek-petoendjoek jang djika perloe akan diberikan oleh Menteri eoeangan an oentoek menjampaikan laporan dari sisanja kepada Menten terse oet pada tanggal 15 dan pada achir boelan; laporan termaksoed

123 haroes disampaikan selambat-lambatnja dalam 2 minggoe setelah saat-saat terseboet. (4) Segenap Bank berwadjib memberikan keterangan dan mengizinkan pemeriksaan didalam boekoe-boekoenja oleh Menteri Keoeangan atau pegawai jang ditoendjoek olehnja djika segala sesoeatoe dianggap perloe oleh Menteri terseboet, (5) Simpanan berdasar atas ajat 1 pada Bank, terseboet dalam hoeroef a, b dan c dari ajat termaksoed, didjamin oleh Negara Repoeblik Indonesia. Pasal 4. Moelai tanggal 15 Djoeli 1946 hingga tanggal 16 Oktober 1946 segala Bank tidak dapat mengeloearkan oeang toenai, ketjoeali: a. djoemlah-djoemlah jang sebesar-besarnja setengahnja djoemlah-djoemlah termaksoed dalam pasal 1 ajat 2 oentoek golongan-golongan jang berkepentingan antara doea kali pengeloearan berdasar atas hoeroef ini haroes Iampau waktoe sedikit-dikitnja 4 minggoe; pengeloearan pertama kali tidak dapat didjalankan sebeloem tanggal 15 Agoestoes b. djoemlah oentoek membajar oepah pegawai atau pekerdja jang besarnja dalam boelan jang bersangkoetan melebihi / 500, daftar oepah haroes disertakan pada permintaan pada permintaan kepada Bank; pengeloearan, oeang oentoek oepah ini haroes dikoerangi dengan djoemlah oentoek pembajaran oepah jang soedah termasoek dalam djoemlah-djoemlah jang telah diterima oleh peroesahaan atau badan jang bersangkoetan berdasar atas hoeroef a dari pasal ini. c. Setelah mendapat izin dari Menteri Keoeangan atau pegawai jang ditoendjoek olehnja, izin mana hanja diberikan djikalau kepada pegawai termaksoed dinjatakan bahwa soeatoe djoemlah oeang diperloekan oentoek pembajaran jang tidak papat dipenoehi dari persediaan oeang toenai dan tidak dapat didjalankan dengan perantaraan Bank. d. penjerahan djoemlah oeang antara Bank atau antara Bank dan Pemerintah. Pasal 4a. (1) Moelai tanggal 16 Oktober 1946 tidak diizinkan mendjalankan atau menerima pembajaran oeang toenai jang berakibat, bahwa pada pihak jang menerima oeang ada pelanggaran dari pasal la. (2) Moelai tanggal terseboet diatas bank-bank termaksoed dalam pasal 3, ajat 1 hoeroef a, b dan c tidak diperbolehkan menerima atau

124 membajar kembali oeang simpanan oentoek keloearga atau orang jang tidak diam dalam soeatoe keloearga. Pasal 5. (1) Segala pembajaran dari djoemlah jang melebihi f 1000, dapat didjalankan dengan perantaraan Bank; djika fihak jang membajar dan fihak jang dibajar kedoeanja mempoenjai simpanan pada Bank, dengan djalan jang lazim digoenakan dalam hal ini; djika salah soeatoe fihak atau kedoea fihak tidak mempoenjai simpanan pada Bank djoemlah terseboet disampaikan kepada soeatoe Bank atas pemilihan fihak jang dibajar. Djika fihak jang dibajar tidak memberitahoekan pemilihannja, jang membajar berhak oentoek memilih Bank. (2) Pembajaran sebagai termaksoed dalam ajat 1 haroes disertai keterangan jang tjoekoep; segala hoetang jang dibajar menoeroet pasal mi dipandang telah dibajar dengan sah. Pasal 6. Djika persediaan oeang toenai dari soeatoe keloearga, orang jang tidak berdiam dalam soeatoe keloearga, soeatoe peroesahaan atau badan oleh karena penerimaan oeang mendjadi lebih besar dari pada djoemlah-djoemlah jang termaksoed dalam pasal 1 ajat 2 bagi golongan-golongan jang berkepentingan, penerimaan oeang jang menjebabkan hal ini haroes disertai keterangan tertanggal dari fihak jang menjampaikan oeang; maka jang berkepentingan haroes beroesaha soepaja dalam waktoe 3 X 24 djam setelah penerimaan oeang terseboet, kewadjiban termaksoed dalam pasal 1 ajat 1 dipenoehi lagi. Pasal 7. (1) Djikalau ternjata bahwa pada tanggal 10 Agoestoes 1946 kewadjiban sebagai terseboet dalam ajat 1 dari pasal 1 beloem dipenoehi oleh soeatoe keloearga, orang jang tidak berdiam dalam soeatoe keloearga, atau seboeah peroesahaan atau badan, maka kepala atau anggauta keloearga, orang jang tidak berdiam Halnm soeatoe keloearga, anggauta pimpinan peroesahaan, anggauta pimpinan badan atau anggauta badan jang menjebabkan kelalaian termaksoed dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja tiga tahoen. (2) Pemimpin Bank dan pegawai jang berkewadjiban, jang dengan sengadja tidak menjampaikan lapoeran, termaksoed dalam pasal 3 ajat 3, dalam waktoe semestinja, atau jang dengan sengadja tidak memenoehi kewadjibannja terseboet dalam pasal 3 ajat 4 atau menjampaikan lapoeran jang dengan sengadja diperboeat tidak sesoeai dengan keadaan sebenarnja, atau mengeloearkan oeaang bertentangan dengan pasal 4 dan pasal 4a

125 dihoekoem denda setinggi-tingginja f , atau hoekoeman pendjara setinggi-tingginja 3 tahoen. (3) Barang siapa setelah tanggal 15 Djoeli 1946 menerima oeang dari soeatoe Bank, bertentangan dengan pasal 4, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja tiga tahoen. (4) Barang siapa dalam hal terseboet pada pasal 6 dalam waktoe jang ditentoekan pada pasal itoe dengan sengadja tidak memenoehi kewadjiban jang ditentoekan dalam pasal 1, dihoekoem dengan hoekoeman pendjara setinggi-tingginja satoe tahoen. (5) Kalau orang dihoekoem karena melakoekan salah soeatoe kedjahatan terseboet dalam ajat 1 dan 4 dari pasal ini maka oeang jang seharoesnja disimpan dalam Bank mendjadi kepoenjaan Negara. Pasal 8. (1) Jang dapat menjelidiki atau menoesoet pelanggaran terhadap peratoeran ini hanja: a. pegawai jang pada oemoemnja diwadjibkan menjelidiki dan mengoesoet kedjahatan. b. Kepala Kantor Penetapan Padjak atau pegawai jang ditoendjoek olehnja. c. Pegawai jang ditoendjoek oleh Menteri Keoeangan menoeroet pasal 3 ajat 4 atau oleh Kepala Daerah menoeroet pasal 1 ajat 5. (2) Mereka terseboet dalam ajat 1 haroes memperboeat pemberitaan pemeriksaan djikalu terdapat pelanggaran. Pasal 9- Djikalau ternjata, bahwa kewadjiban termaksoed dalam ajat 1 pasal 1 dan dalam pasal la tidak dipenoehi, oeang jang seharoesnja disimpan dalam Bank tidak akan diterima oentoek ditoekar dengan oeang Repoeblik Indonesia. Pasal 9a. Apabila perloe Menteri Keoeangan boleh merobah perkataan, tanggal 16 Oktober 1946 dalam pasal la ajat 1, pasal 4 dan pasal 4a, perkataan 20 Oktober 1946 dalam pasal la ajat 2, dan djoemlah-djoemlah oeang terseboet dalam pasal la ajat 1, hoeroef a dan b. Pasal 10. Peratoeran-peratoeran oentoek mendjalankan Oendang-oendang ditetapkan oleh Menteri Keoeangan. Pasal 11. Peratoeran Pemerintah Pengganti Oendang-oendang No. 3 tahoen ini

126 1946 tentang kewadjiban menjimpan oeang dalam Bank dengan berlakoenja Oendang-oendang ini mendjadi batal. Pasal 12. (1) Oendang-oendang ini dapat diseboet Oendang-oendang tentang kewadjiban menjimpan oeang dalam Bank. (2) Oendang-oendang ini moelai berlakoe bagi seloeroeh Djawa dan Madoera pada hari dioemoemkannja; boeat daerah diloearnja pada hari jang akan ditetapkan oleh Menteri Keoeangan. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 1 Oktober Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SOERACHMAN. Dioemoemkan pada tg. 1 Oktober Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. 19. Pengeluaran Uang Republik Indonesia (no. II)*1) (Uitgifte van Republikeins geld no. II) 25 Oktober 1946 B.R.I. th. II no , h. 2 7 ^ OENDANG-OENDANG No. 19 Th Tentang pengeloearan oeang Repoeblik Indonesia (II). Menimbang: Presiden Repoeblik Indonesia, bahwa berhoeboeng dengan pengeloearan Oeang Repoeblik Indonesia perloe diadakan peratoeran tentang dasar n ilai Oeang terseboet, tentang dasar penoekaran oeang dengan oeang jang masih berlakoe sekarang, tentang pembajaran hoetang lama, dan tentang oeang Djepang jang m asih berlakoe sekarang; Mengingat: pasal 2 Oendang-oendang tentang pengeloearan Oeang Repoeblik Indonesia (I) (Oendang-oendang No. 17 tahoen 1946); pasal 5, 20 ) L ih at U n dan g-undan g ten tang p en geluaran uan g R.I. (no. I) (U n d an g-undan g no. 17 th. 1946), h. 116 dari b u k u ini.

127 dan 25 Oendang-oendang Dasar Negara Repoeblik Indonesia; pasal IV Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar dan Makloemat W akil Presiden Repoeblik Indonesia tanggal 16 Oktober 1946, No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan peratoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang pengeloearan oeang Repoeblik Indonesia (II). Pasal 1. Dengan tidak mengoerangi peratoeran jang akan ditetapkan selandjoetnja dalam Oendang-oendang tentang Oeang Repoeblik Indonesia, maka sebagai dasar nilai ditentoekan sepoeloeh roepiah oeang Repoeblik Indonesia sama dengan emas moerni seberat lima Gram. Pasal 2. (1) Sebagai dasar penoekaran, lima poeloeh roepiah oeang Djepang disamakan dengan satoe roepiah Oeang Repoeblik Indonesia. (2) Dalam daerah diloear Djawa dan Madoera dasar penoekaran ditetapkan seratoes roepiah oeang Djepang sama dengan satoe roepiah oeang Repoeblik Indonesia. Menteri Keoeangan berhak raengoebah dasar penoekaran itoe, djika dianggap perloe. Pasal 3. (1) Penoekaran oeang Djepang dengan oeang Repoeblik Indonesia hanja dilakoekan dengan perantaraan Bnk jang dimaksoed dalam pasal la Oendang-oendang tentang kewadjiban menjimpan oeang dalam Bank (Oendang-oendang No. 18 tahoen 1946). (2) Oentoek sementara jang ditoekar dengan Oeang Repoeblik Indonesia oleh Bank terseboet ialah hanja oeang Djepang jang telah disimpan dalam Bank menoeroet pasal la Oendang-oendang termaksoed dalam ajat 1. (3) Sebagai pengganti oeang toenai jang masih dapat dipakai menoeroet pasal la Oendang-oendang termaksoed dalam ajat 1, maka kepada segenap pendoedoek diberikan satoe roepiah oeang Repoeblik Indonesia seorang. (4) Apabila dipandang perloe, Menteri Keoeangan diperbolehkan menambah djoemlah oeang, jang diberikan kepada tiap-tiap pendoedoek asal sadja penambahan itoe tidak melebihi lima sen seorang. (5) Menoeroet peratoeran jang diboeat oleh Menteri Keoeangan pengambilan kembali simpanan oeang dapat dibatasi.

128 (1) Pembajaran segala matjam hoetang jang beloem dibajar loenas pada waktoe berlakoenja oeang Repoeblik Indonesia dilakoekan dengan dasar perhitoengan sebagai berikoet: a. Satoe roepiah oeang sah sebeloem oeang Repoeblik berlakoe disamakan dengan satoe roepiah oeang Repoeblik Indonesia, djika hoetang terdjadi sebeloem tanggal 1 boelan Djanoeari b. Doea poeloeh roepiah oeang sah sebeloem oeang Repoeblik Indonesia, berlakoe disamakan dengan satoe roepiah oeang Repoeblik Indonesia, djika hoetang terdjadi pada tanggal 1 boelan Djanoeari 1944 atau sesoedahnja tetapi sebeloem pada tanggal 1 boelan Djanoeari c. Lima poeloeh roepiah oeang sah sebeloem oeang Repoeblik berlakoe disamakan dengan satoe roepiah oeang Repoeblik Indonesia, djika hoetang terdjadi pada tanggal 1 boelan Djanoeari 1946 atau sesoedahnja. (2) Pembajaran hoetang termaksoed dalam hoeroef a dan b ajat 1 tidak boleh dilakoekan dengan oeang Djepang sesoedah Oendang-oendang ini berlakoe. (3) Menteri Keoeangan dapat mengadakan peratoeran choesoes oentoek hoetang-hoetang padjak atau hoetang2 lain kepada negeri, asal sadja tidak memberatkan orang-orang jang berhoetang. Pasal 5- Pembajaran hoetang, berdarsakan perdjandjian sewa harta tetap, jang djoega berlakoe sesoedah waktoe termaksoed dalam pasal 8 oentoek sebagian diketjoealikan dari penetapan dalam pasal 4; besarnja bagian hoetang terseboet oentoek masa jang akan datang, ditetapkan lagi. Pasal 6. (1) Menjimpang dari pasal 4 ajat 1 sub c, oepah oentoek boelan Oktober 1946 jang pada hari berlakoenja Oendang-oendang ini beloem dibajar, pembajarannja dengan oeang Repoeblik ditetapkan mengingat pedoman oepah Menteri Sosial. Penetapan oepah selandjoetnja haroes disesoeaikan poela dengan pedoman terseboet. (2) Atoeran terseboet dalam ajat 1 tidak mengenai pegawai/pekerdja Negeri. Hal itoe diatoer oleh Menteri Keoeangan. Pasal 7. (1) Menteri Kemakmoeran dapat menetapkan harga setinggi-tingginja dari barang-barang jang dipandang perloe olehnja. (2) Penetapan harga, termaksoed dalam ajat 1 dapat disertai antja-

129 man hoekoeman pendjara setinggi-tingginja setahoen dan/atau antjaman denda setinggi-tingginja roepiah oeang Repoeblik. Pasal 8. (1) Oeang Repoeblik Indonesia moelai berlakoe pada waktoe jang ditetapkan oleh Menteri Keoeangan. (2) Oeang jang berlakoe sebeloem ada oeang Repoeblik, tidak berlakoe lagi sebagai alat pembajaran sah moelai hari jang oentoek tiaptiap daerah ditetapkan oleh Menteri Keoeangan. (3) Boeat daerah-daerah di Djawa dan Madoera jang didoedoeki Tentara Asing Menteri Keoeangan dapat menjimpang dari pasal 3 ajat 3. Pasal 9- Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari dioemoemkannja. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 25 Oktober Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SAFROEDIN PRAW IRANEGARA. Dioemoemkan pada tg. 26 Oktober Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. 20. Penambahan djenis hukuman pokok dengan hukuman tu tu p an.*) (Aanvulling van de hoofdstraffen met opsluitingsstraf, hukuman tutupan te stellen op misdrijven, uit te eerbiedigen motieven begaan) 31 Oktober 1946 B.R.I. th. II no. 24, h OENDAN G-OENDANG No. 20 Th Tentang penambahan djenis hoekoeman pokok dengan hoekoeman toetoepan Presiden Repoeblik Indonesia, Menimbang: bahwa perloe mengadakan hoekoeman pokok baroe, selain dari pada hoekoeman-hoekoeman terseboet dalam pasal 10 hoeroef a Kitab l) Didjalankan dengan Peraturan Pemerintah no. 8 th

130 oendang-oendang hoekoem pidana dan pasal 6 hoeroef a Kitab oendang-oendang hoekoem pidana tentara; Mengingat: pasal 20 ajat 1 berhoeboeng dengan pasal IV Atoeran Peralihan dari Oendang-oendang Dasar Makloemat Wakil Presiden, tertanggal No. X: Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: Menetapkan atoeran sebagai berikoet: Oendang-Oendang tentang hoekoeman toetoepan. Pasal 1. Selain dari pada hoekoeman pokok terseboet dalam pasal 10 hoeroef a Kitab oendang-oendang hoekoem pidana dan pasal 6 hoeroef a Kitab oendang-oendang hoekoem pidana tentara adalah hoekoeman pokok baroe, jaitoe hoekoeman toetoepan, jang menggantikan hoekoeman pandjara dalam hal terseboet dalam pasal 2. Pasal 2. (1) Dalam mengadili orang jang melakoekan kedjahatan jang diantjam dengan hoekoeman pendjara, karena terdorong oleh maksoed jang patoet dihormati, hakim boleh mendjatoehkan hoekoeman toetoepan. (2) Peratoeran dalam ajat 1 tidak berlakoe djika perboeatan jang meroepakan kedjahatan atau tjara melakoekan perboeatan itoe atau akibat dari perboeatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hoekoemana pendjara lebih pada tempatnja. Pasal 3- (1) Barang siapa dihoekoem dengan hoekoeman toetoepan wadjib mendjalankan pekerdjaan jang diperintahkan kepadanja menoeroet peratoeran-peratoeran jang ditetapkan berdasarkan pasal 5. (2) Menteri jang bersangkoetan atau pegawai jang ditoendjoeknja berhak atas permintaan terhoekoem membebaskannja dari kewadjiban jang dimaksoedkan dalam ajat 1. Pasal 4. Semoea peratoeran jang mengenai hoekoeman pendjara berlakoe djoega terhadap hoekoeman toetoepan, djika peratoeran-peratoeran itoe tidak bertentangan dengan sifat atau peratoeran choesoes tentaang hoekoeman toetoepan.

131 (1) Tempat oentoek mendjalani hoekoeman toetoepan, tjara melakoekan hoekoeman itoe dan segala sesoeatoe jang perloe oentoek mendjalankan oendang-oendang ini diatoer dalam peratoeran pemerintah. (2) Peratoeran tata-oesaha atau tata-tertib goena roemah boeat mendjalankan hoekoeman toetoepan diatoer oleh menteri Kehakiman dengan persetoedjoean Menteri Pertahanan. Pasal 6. Oendang-oendang ini moelai berlakoe pada hari pengoemoemannja. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 31 Oktober Presiden Repoeblik Indonesia. SOEKARNO. Menteri Kehakiman, SOESANTO TIRTOPRODJO. Menteri Pertahanan, AMIR SJARIFOEDDIN. Dioemoemkan pada tg. 1 Nopember Sekretaris Negara, A. G. PRINGGODIGDO. a. Pendjelasan (tidak termasuk dalam B.R.I.) PENDJELASAN OEMOEM. Peristiwa-peristiwa jang terdjadi dilapangan politik pada waktoe belakangan ini memberi keinsjafan kepada Pemerintah bahwa djen.s hoekoeman pokok jang ada dalam kitab-kitab hoekoem pidana,ang sekatang berlakoe, tidaklah lengkap adanja dan tidak poela menjoekoepi keboetoehan.,, i_ u j--u Moengkin seseorang melakoekan kedjahatan sebab lam erasa w ad,* melakoekan perboearan itoe karena kejakinannja dalam hal politik, igama atau tata-soesila..,.... Orane jang melakoekan kedjahatan karena terdorong oleh kejakinan demikian pada oemoemnja boekanlah orang djahat, dalam arti kata orang jang bertabiat boeroek. Ia misalnja mempoenjai pendirian politik jang lain dari pada Pemerintah, dan oentoek mentjapai tjita-tjitanja itoe melakoekan perboeatan jang melanggar oendang-oendang, bahkan moengkin membahajakan keselamatan negara.

132 Orang jang berlakoe dem ikian perloe disingkirkan dari masjarakat oentoek m entjegah perboeatannja, jang meroegikan kepentingan oemoem itoe, akan tetapi, djika tidak ada sebab lain, dirasa tidakiah pada tempatnja memberikan hoekoeman pendjara kepadanja, jang berarti mengetjap orang itoe sama dengan pentjoeri, penipoe atau pemboenoeh dan menempatkan orang itoe dalam roemah pendjara hersama-sama dengan pendjahatpendjahat tadi. Berdasarkan alasan-alasan terseboet diatas dianggap perloe mengadakan kemoengkinan kepada orang-orang jang melakoekan soeatoe kedjahatan karena terdorong oleh maksoed jang patoet dihormati (uit achrenswaardige motieven) mendjatoehkan hoekoeman baroe, jaitoe hoekoeman toetoepan jang bersifat lain dari pada hoekoeman pendjara. Maksoed hoekoeman baroe itoe ialah teroetama menjingkirkan orang" jang berbahaja itoe dari masjarakat dan menempatkan mereka dalam roemah toetoepan jang dipisahkan dari roemah pendjara biasa, oentoek menegaskan, bahwa mereka tidak dipandang sebagai pendjahat dalam arti jang dimaksoedkan diatas. Pekerdjaan jang akan diperintahkan kepada orang-orang hoekoeman ini sedapat-dapat akan disesoeaikan dengan keadaan mereka. Dalam azasnja sebagai orang hoekoeman wadjib mendjalankan pekerdjaan jang diperintahkan kepadanja, akan tetapi dirasa perloe mengadakan kemoengkinan membebaskan mereka dari kewadjiban itoe atas permintaan mereka sendiri. Tjara dan tempat oentoek mendjalankan hoekoeman baroe ini akan diatoer menoeroet peratoeran-peratoeran jang akan ditetapkan berdasarkan pasal 5. Oleh karena hoekoeman sematjam hoekoeman toetoepan ini beloem pernah ada dalam salah satoe peratoeran hoekoeman pidana jang berlakoe di negara kita, sehingga sekarang beloem ada pengalaman tentang hoekoeman itoe, maka ditimbang sekarang beloemlah tiba saatnja menempatkan hoekoeman baroe itoe dalam kitab oendang-oendang hoekoem pidana atau dalam kitab oendang-oendang hoekoem pidana tentara, melainkan dalam oendang-oendang tersendiri. Oendang-oendang ini berlakoe djoega terhadap peradjoerit. Dirasa perloe djangan terlampau mengikat hakim dalam pertimbangannja hoekoeman apakah jang haroes didjatoehkan, berdasarkan hasil penjelidikan jang dilakoekannja. Sesoedah mendapat pengalaman tjoekoep tentang hoekoeman baroe itoe maka akan dipertimbangkan memindah hoekoeman itoe dalam kitab oendang-oendang hoekoem pidana dan kitab oendang-oendang hoekoem pidana tentara.

133 PENDJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Hanja dalam hal terseboet pada pasal 2 hoekoeman toetoepan itoe boleh didjatoehkan. Hoekoeman toetoepan adalah hoekoeman pokok sebagai pengganti hoekoeman pendjara. Oleh karena itoe hakim selain hoekoeman ini dapat djoega mendjatoehkan hoekoeman tambahan terseboet dalam pasal 10 hoeroef b kitab oendang-oendang hoekoem pidana dan pasal 6 hoeroef b kitab oendang-oendang hoekoem pidana tentara menoeroet sjarat-sjarat terseboet dalam doea kitab oendang-oendang itoe. Pasal 2. Hakim tidak wadjib mendjatoehkan hoekoeman toetoepan, walaupoen ditetapkannja, bahwa perboeatan jang meroepakan kedjahatan dilakoekan oleh tersalah karena terdorong oleh maksoed jang patoet dihormati, Ia boleh memberikan hoekoeman itoe. Ia haroes melihat sifat perboeatan itoe, tjara melakoekannja, dan akibat dari perboeatan terseboet jang dapat dipersalahkan kepada sipemboeat. Kalau sifat perboeatan itoe (misalnja pemboenoehan jang membabi boeta) atau tjara melakoekannja (oempamanja sangat melanggar perikemanoesiaan) atau akibat dari perboeatan itoe (misalnja sangat menjedihkan bagi jang mendjadi korban atau keloearganja) adalah demikian, sehingga tidak ada tjoekoep alasan oentoek membedakan tersalah dari pendjahat biasa, maka ia tidak boleh memberikan hoekoeman toetoepan. Pendek kata, djika sjarat jang dimaksoedkan dalam ajat 1 dipenoehi, maka kepada kebidjaksanaan hakimlah diserahkan memilih hoekoeman apakah jang haroes didjatoehkan berdasarkan hasil pemenksaan pengadilan dan maksoed oendang-oendang ini. Pasal 3. Telah diterangkan dalam pendjelasan oemoem. Pasal 4. Karena hoekoeman toetoepan itoe dimaksoedkan sebagai pengganti hoekoeman pendjara, maka peratoeran-peratoeran jang mengenai hoekoeman pendjara berlakoe djoega terhadap hoekoeman toetoepan, asal sadja p e r a t o e r a n - p e r a t o e r a n itoe tidak bertentangan dengan sifat atau peratoeran choesoes, jang telah atau masih haroes diadakan, tentang hoekoeman toetoepan itoe. Pasal 5. -,.. Ajat 1. Pemerintah bermaksoed menoendjoek tempat jang terpisah dari pendjara biasa sebagai tempat oentoek mendjalani hoekoeman toetoe-

134 pan. Tjara melakoekan hoekoeman toetoepan sedapat-dapat akan disesoeaikan dengan maksoed hoekoeman ini. Ajat 2. Menteri Pertahanan haroes menjetoedjoei peratoeran jang dimaksoedkan dalam ajat ini, karena peradjoerit angkoetan darat, laoet atau oedara Repoeblik Indonesia moengkin dikenakan djoega hoekoeman toetoepan. 21. Penurunan tjukai tembakau. (Verlaging tabaksaccijns) 9 Nopember OENDANG-OENDANG No. 21 Th Tentang penoeroean tjoekai tembakau. Presiden Repoeblik Indonesia, Menimbang: bahwa percentage tjoekai tembakau dirasakan amat tinggi beratkan kepada rakjat; Mengingat akan: a. Osamu Seirei No. 3 tahoen 1943; b. Osamu Seirei No. 27 tahoen 1944; an mem Mengingat akan:, Oendang-oendang tjoekai tembakau (Staatsblad 1932 No. 517) denga peroebahan-peroebahannja; Mengingat akan: pasal 5, pasal 23 ajat (2), Atoeran Peralihan pasal IV endang' e^ dang Dasar serta Makloemat W akil Presiden tanggal 1 to er No. V; Dengan persetoedjoean Badan Perkerdja Komite Nasional Poesat; Memoetoeskan: I. Membatalkan Osamu Seirei No. 3 tahoen 1943 dan Osamu Seirei No. 27 tahoen 1944; II. Menetapkan atoeran seperti berikoet: Oendang-oendang tentang menoeroenkan tjoekai tembakau. Pasal 1. Dengan berlakoenja Oendang-oendang ini Osamu Seirei No. 3 tahoen 1943 dan Osamu Seirei No. 27 tahoen 1944 mendjadi batal. Pasal 2. Diantara ajat (1) dan (2) dari pasal 5 Oendang-oendang Tjoekai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517) disisipkan ajat jang boenjinja sebagai berikoet:

135 (la). Harga etjeran jang dimaksoedkan pada ajat (1) ditetapkan oleh pegawai jang ditoendjoek oleh Kepala Pedjabatan Bea dan tjoekai menoeroet atoeran-atoeran jang dikeloearkan oleh pembesar terseboet. (lb). Oentoek penetapan terseboet pengoesaha paberik haroes memasoekkan keterangan tentang angka-angka jang diperloekan. (lc). Dalam hal-hal jang ditetapkan oleh Kepala Pedjabatan Bea dan Tjoekai pegawai jang terseboet pada ajat (la) haroes memperhatikan nasehat dari satoe panitya ahli-ahli jang ditetapkan oleh Kepala Pedjabatan terseboet. Pasal 3. Oendang-oendang ini moelai berlakoe oentoek Djawa dan Madoera pada hari dioemoemkannja, dan oentoek daerah lain pada hari jang akan ditetapkan oleh Menteri Keoeangan. Ditetapkan di Jogjakarta pada tg. 9 Nopember Presiden Repoeblik Indonesia, SOEKARNO. Menteri Keoeangan, SJAFROEDIN PRAWIRANEGARA. Dioemoemkan pada tg* 9 Nopember Sekretaris Negara, A. G. PRINGODIGDO. 22. Pentjatatan nikah, talak dan rudjuk. (Registratie van huwelijken, verstotingen en herroepingen van verstotingen) 21 Nopember OENDAN G-OENDANG No. 22 Th Tentang Pentjatatan nikah, talak dan roedjoek. Presiden Repoeblik Indonesia, Menimbang: 1. bahwa peratoeran pentjatatan nikah, talak dan roedjoek seperti jang diatoer didalam Huwelijks-ordonnantie S No. 348 jo S No 467, Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S No. 98 dan Huwelijksordonnantie Buitengewesten S No. 482 tidak sesoeai lagi dengan keadaan pada masa sekarang, sehingga perloe diadakan peratoeran baroe jang sampoerna dan memenoehi sjarat keadilan sosial;

136 2. bahwa pemboeatan peratoeran baroe jang dimaksoedkan diatas tidak moengkin dilaksanakan didalam waktoe jang singkat; 3. bahwa sambil menoenggoe peratoeran baroe itoe segera diadakan peratoeran pentjacatan nikah, talak dan roedjoek oentoek menenoehi keperloean jang sangat mendesak; Mengingat: ajat (1) pasal 5, ajat (1) pasal 2C, dan pasal IV dari Atoeran Peralihan Oendang-oendang Dasar, dan Makloemat W akil Presiden Repoeblik Indonesia tertanggal 16 Oktober 1945 No. X; Dengan persetoedjoean Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat; Memoeroeskan: I- Mentjaboet: 1- Huwelijksordonnantie S No. 348 jo S no Vorstenlandsche Huwelijksordonnantie S No. 98. II. Menetapkan: peratoeran sebagai berikoet: Oendang-oendang tentang pentjatatan nikah, talak dan roedjoek. Pasal 1. (1) Nikah jang dilakoekan menoeroet agama Islam, selandjoetnja diseboet nikah, diawasi oleh pegawai pentjatat nikah jang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai jang ditoendjoek olehnja. Talak dan roedjoek jang dilakoekan menoeroet agama Islam, selandjoetnja diseboet talak dan roedjoek, diberitahoekan kepada pegawai pentjatat nikah. (2) Jang berhak melakoekan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahoean tentang talak dan roedjoek, hanja pegawai jang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai jang ditoendjoek olehnja. (3) Bila pegawai itoe tidak ada atau berhalangan, maka pekerdjaan itoe dilakoekan oleh orang jang ditoendjoek sebagai wakilnja oleh kepala Djawatan Agama Daerah. (4) Seorang jang nikah, mendjatoehkan talak atau meroedjoek, diwadjibkan membajar biaja pentjatatan jang banjaknja ditetapkan oleh Menteri Agama. Dari mereka jang dapat menoendjoekkan soerat keterangan tidak mampoe dari kepala desanja (keloerahannja) tidak dipoengoet biaja. Soerat keterangan ini diberikan dengan pertjoema. Biaja pentjatatan nikah, talak dan roedjoek dimasoekkan didalam kas Negeri menoeroet atoeran jang ditetapkan oleh Menteri Agama. ^"empat kedoedoekan dan wilajah (ressort) pegawai pentjatat ni ah ditetapkan oleh kepala Djawatan Agama Daerah. (6) Pengangkatan dan pemberhentian pegawai pentjatat nikah dioemoemkan oleh kepala Djawatan Agama Daerah dengan tjara jang sebaik-baiknja.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebelum dapat melakukan pembentukan Undang-Undang hukum pidana baru, perlu

Lebih terperinci

*85 UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. Hal Undang-undang hukum pidana. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*85 UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. Hal Undang-undang hukum pidana. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Copyright (C) 2000 BPHN UU 1/1946, UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA *85 UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. Hal Undang-undang hukum pidana. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sebelum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG (UU) 1946 No. 1 (1/1946) HUKUM PIDANA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sebelum dapat melakukan pembentukan Undang-undang hukum pidana baru, perlu peraturan hukum pidana disesuaikan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG (UU) 1947 Nomer. 40. ) (40/1947) HUKUM DISIPLIN TENTARA. Menyesuaikan peraturan-peraturan Hukum Disiplin Tentara (Staatsblad 1934, No. 168) dengan keadaan sekarang. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1958 TENTANG PAJAK VERPONDING UNTUK TAHUN-TAHUN 1957 DAN BERIKUTNYA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1958 TENTANG PAJAK VERPONDING UNTUK TAHUN-TAHUN 1957 DAN BERIKUTNYA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 72 TAHUN 1958 TENTANG PAJAK VERPONDING UNTUK TAHUN-TAHUN 1957 DAN BERIKUTNYA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa oleh karena didalam praktek pemungutan tiap-tiap tahun

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia MEMUTUSKAN

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia MEMUTUSKAN 1 UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1951 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PERUBAHAN ORDONANSI PAJAK PERALIHAN 1944, ORDONANSI PAJAK UPAH DAN ORDONANSI PAJAK KEKAYAAN 1932 (UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Status : Mendjadi UU No.3 Th.1951 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1948 TENTANG PENGAWASAN PERBURUHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk mengawasi berlakunja Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1958 TENTANG PENEMPATAN TENAGA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk mendjamin bagian jang lajak dari

Lebih terperinci

Undang-undang 1946, No. 22 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-undang 1946, No. 22 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang-undang 1946, No. 22 PENTJATATAN NIKAH. Peraturan tentang pentjatatan nikah, talak dan rudjuk. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : 1) bahwa peraturan pentjatatan nikah, talak dan rudjuk seperti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1953 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG (UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 17 TAHUN 1951) SEBAGAI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN JANG MAHAESA

Lebih terperinci

UU 72/1958, PAJAK VERPONDING UNTUK TAHUN TAHUN 1957 DAN BERIKUTNYA *)

UU 72/1958, PAJAK VERPONDING UNTUK TAHUN TAHUN 1957 DAN BERIKUTNYA *) UU 72/1958, PAJAK VERPONDING UNTUK TAHUN TAHUN 1957 DAN BERIKUTNYA *) Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:72 TAHUN 1958 (72/1958) Tanggal:9 SEPTEMBER 1958 (JAKARTA) Tentang:PAJAK VERPONDING UNTUK TAHUN-TAHUN

Lebih terperinci

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan

Sumber : Perpustakaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan 1 UNDANG-UNDANG GRASI (Undang-Undang tgl. 1 Djuli 1950 No. 3.) LN. 50-40: (mulai berlaku. 6-7-'50.) Anotasi: Dg. UU ini, dicabut: Gratie Regeling, S. 1933-2; PP No. 67 th. 1948 tentang permohonan grasi;

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN No. 180 TAHUN 1953 TENTANG PERATURAN TENTANG PEMERIKSAAN-KAS PADA PARA BENDAHARAWAN JANG MENERIMA UANG UNTUK DIPERTANGGUNG DJAWABKAN DARI KANTOR-KANTOR PUSAT PERBENDAHARAAN OLEH PARA

Lebih terperinci

Dicabut dg Perpu No.2 Th.1950

Dicabut dg Perpu No.2 Th.1950 I Tahun 1945 1 No. 1 Tahun 1945 Peraturan Mengenai Kedudukan Komite HPPN 1945 23 Nopember 1945 Nasional Daerah II Tahun 1946 KATALOG UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 4 th. Ke IV tgl. 1 Djuni PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 4 TAHUN 1954.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 4 th. Ke IV tgl. 1 Djuni PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 4 TAHUN 1954. Tjetakan ke 2 tgl. Mei 1958. Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 4 th. Ke IV tgl. 1 Djuni 1954. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 4 TAHUN 1954. Tentang PERIZINAN MEMBUAT REKLAME DAN PEMUNGUTAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROVINSI BALI ) No. 12/1968 30 Agustus 1968 No. 1/DPRD.GR/1966. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN TABANAN Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 5

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 5 Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 5 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 9 TAHUN 1953 TENTANG PENDJUALAN MINUMAN KERAS DAN PEMUNGUTAN PADJAK ATAS IZIN PENDJUALAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1954 TENTANG UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 11 TAHUN 1952 TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN DARI "ORDONNANTIE OP DE VENNOOTSCHAPSBELASTING 1925" YANG

Lebih terperinci

KATALOG UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN DENGAN STATUS/ASPEK LEGALITASNYA TENTANG.

KATALOG UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN DENGAN STATUS/ASPEK LEGALITASNYA TENTANG. KATALOG UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-2012 DENGAN /ASPEK LEGALITASNYA I Tahun 1945 1 No. 1 Tahun 1945 Peraturan Mengenai Kedudukan Komite HPPN 1945 23 Nopember

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1 Tambahan Lembaran Kota Besar Ska No. 2 th. Ke IV tg. 1 April 1954 No. 1 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 TAHUN 1954, TENTANG SURAT MENGEMUDI KENDARAAN TIDAK BERMOTOR. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT

Lebih terperinci

Pelajaran 1-6 PENGANTAR

Pelajaran 1-6 PENGANTAR Pelajaran 1-6 PENGANTAR Teks-teks Pelajaran 1-6 berasal dari buku yang sama: J. van Goor, De Nederlandse Kolonien, Geschiedenis van de Nederlandse expansie 1600-1975, Den Haag: Sdu Uitgeverij, 1994. Buku

Lebih terperinci

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun TENTANG PEMADAM API

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun TENTANG PEMADAM API Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 3 th. II tg. 27 Des.1952. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 2 tahun 1952. TENTANG PEMADAM API DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA BESAR SURAKARTA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1954 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 11 TAHUN 1952 TENTANG PENGUBAHAN DAN PENAMBAHAN DARI "ORDONNANTIE OP DE VENNOOTSCHAPSBELASTING 1925" YANG

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1.

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1. No.6/ 1959. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KOTAPRADJA S U R A K A R T A. menetapkan peraturan-daerah sebagai berikut : PERATURAN-DAERAH Kotapradja Surakarta tentang padjak potong hewan. Pasal 1. (1) Dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI ) No. 25/1963. 8 Djuni 1963. No. 12/DPRD/1962. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BULELENG Menetapkan

Lebih terperinci

Ambonese woonoorden Barneveld

Ambonese woonoorden Barneveld Ambonese woonoorden Barneveld r B A R N E V E L D RAPPORT VAN C. 23-3.75 Aan : CFO No. : 18.307 Betr.: Ontruiming woonoord te Barneveld. Op 21-2-1973 werd van Hip., GP-Barneveld, het volgende vernomen*

Lebih terperinci

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 2 th. Ke II tg. 15 Ag. 51 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 tahun 1952.

Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 2 th. Ke II tg. 15 Ag. 51 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 tahun 1952. Kutipan dari Lembaran Kota Besar Ska. No. 2 th. Ke II tg. 15 Ag. 51 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 tahun 1952. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA BESAR SURAKARTA menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) No. 1 / 1966 14 Desember 1966 No. 8/D.P.R.D.G.R./1962 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT I BALI Menetapkan

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 6 TAHUN 1954.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 6 TAHUN 1954. Tjetakan ke 2 tgl. 1 Mei 1958. Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 6 TAHUN 1954. Tentang TAMAN PEMAKAIAN PEMELIHARAAN DAN

Lebih terperinci

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10 Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 10 No.11/ 1971 DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KOTAMADYA SURAKARTA Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT 53 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PEMANGGILAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS A. Analisa Hukum Mengenai Keharusan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA BESAR SURAKARTA Menetapkan peraturan daerah sebagai berikut :

DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA BESAR SURAKARTA Menetapkan peraturan daerah sebagai berikut : TJETAKAN KE II TANGGAL 1 MARET 1958 Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke III tg. 1 2-1953. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 TAHUN 1953. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH SEMENTARA KOTA

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 1 TAHUN 1955.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 1 TAHUN 1955. Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 1 th. Ke V tgl. 1 Djan. 1955. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 1 TAHUN 1955. Tentang TANDA-NOMOR DAN SURAT-TANDA-NOMOR BAGI KENDARAAN BERMOTOR DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta No. 6 th. ke III tgl. 1 Djuli No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 11 TAHUN 1953.

Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta No. 6 th. ke III tgl. 1 Djuli No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 11 TAHUN 1953. Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta No. 6 th. ke III tgl. 1 Djuli. 1953 No. 2. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 11 TAHUN 1953. TENTANG PEMERIKSAAN DAN PEMBANTAIAN HEWAN, PEMERIKSAAN DAGING

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 13 tahun 1970 29 April 1970 No. 2/DPRDGR/A/Per/15. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BULELENG Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

Presiden Republik Indonesia,

Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 37 TAHUN 1950 (37/1950) TENTANG PERUBAHAN PAJAK PERALIHAN 1944, ORDONANSI PAJAK DAN UPAH DAN ORDONANSI PAJAK KEKAYAAN 1932 Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Pasal 97 jo Pasal 89 dan Pasal 117 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

Pasal 97 jo Pasal 89 dan Pasal 117 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1954 (1/1954) Tanggal: 29 DESEMBER 1953 (JAKARTA) Sumber: LN 1954/8; TLN NO. 496 Tentang: PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI ) No. 10/1963 13 April 1963 No.5 /DPRDGR/1963. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BADUNG Meretapkan Peraturan

Lebih terperinci

KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN PEMUNGUTAN SUMBANGAN IURAN UNTUK MEMBANTU PEMBIAJAAN PENJELENGGARAAN RADIO REPUBLIK INDONESIA KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM ACARA PIDANA GUNA PENGADILAN TENTARA.

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM ACARA PIDANA GUNA PENGADILAN TENTARA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM ACARA PIDANA GUNA PENGADILAN TENTARA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : bahwa sebelum membentuk Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1950 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN Presiden Republik Indonesia Serikat, Menimbang : 1.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH TINGKAT II BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1961 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANDJAR

PERATURAN DAERAH TINGKAT II BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1961 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANDJAR PERATURAN DAERAH TINGKAT II BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1961 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANDJAR Menetapkan Peraturan Daerah Jang Berikut : PERATURAN DAERAH TENTANG MENGADAKAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930)

UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930) UNDANG-UNDANG UAP TAHUN 1930 (STOOM ORDONANTIE 1930) (Stb. No.225 TAHUN 1930) Mengubah Peraturan Uap No. 342 tahun 1924 Menimbang bahwa dianggap perlu untuk menindjau kembali Peraturan Uap jang ditetapkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA SERIKAT NOMOR 25 TAHUN 1950 TENTANG HAK PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEGAWAI-PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT, Menimbang:

Lebih terperinci

Mengingat : Akan Pasal 89 dan Pasal 117 dari Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

Mengingat : Akan Pasal 89 dan Pasal 117 dari Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1953 TENTANG MENGUBAH DAN MENAMBAH ORDONANSI PAJAK RUMAH TANGGA 1908 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 9 tahun 1969 24 Pebruari 1969 No. 1/DPRDGR/67. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BANGLI Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

BAB I OBJEK, DJUMLAH DAN TERUTANGNJA PADJAK. Pasal 1

BAB I OBJEK, DJUMLAH DAN TERUTANGNJA PADJAK. Pasal 1 III. I. ORDONANSI PADJAK PERSEROAN 1925. Stbl. 1925 No. 319; Stbl. 1927 No. 137; Stbl. 1930 No. 134; Stbl. 1931 No. 168; Stbl. 1932 No. 196 dan 634; Stbl. 1934 No. 106 dan 535; Stbl. 1938 No. 155 dan 319;

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN KEJAKSAAN AGUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN KEJAKSAAN AGUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1947 TENTANG SUSUNAN DAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN KEJAKSAAN AGUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa-sementara pengaturan susunan badan-badan

Lebih terperinci

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Memutuskan :

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Memutuskan : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1946 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA UNTUK SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 5

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 5 Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 5 No. 5 Tahun 1971 DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KOTAMADYA SURAKARTA Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROVINSI BALI ) No. 22/1968 18 Nopember 1968 No. 1/SK/DPRD-GR/1968 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN GIANYAR K E P U T U S A

Lebih terperinci

DJAWA SINBUN DJAKARTA T J E T A K A N KE I.

DJAWA SINBUN DJAKARTA T J E T A K A N KE I. ! oleh: DJAWA SINBUN KAl DJAKARTA 055858 T J E T A K A N KE I. Harga f 1. Diperiksa oleh : G U N KEN - E T U H A N D J A K A R T A No. 174 Syoowa 20-5-12 Diterbifkan dengan soerat izin: HÖDÖHAN DJAKARTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1970 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KABUPATEN BANDJAR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1970 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KABUPATEN BANDJAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDJAR NOMOR : 1 TAHUN 1970 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH KABUPATEN BANDJAR Menetapkan Peraturan Daerah Sebagai Berikut : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDJAR TENTANG PADJAK

Lebih terperinci

TRACTATENBLAD VAN HET KONINKRIJK DER NEDERLANDEN. JAARGANG 1954 No. 92

TRACTATENBLAD VAN HET KONINKRIJK DER NEDERLANDEN. JAARGANG 1954 No. 92 12 (1954) No. 1 TRACTATENBLAD VAN HET KONINKRIJK DER NEDERLANDEN JAARGANG 1954 No. 92 A. TITEL Verdrag tussen het Koninkrijk der Nederlanden en de Republiek Indonesië ter vermijding van dubbele belasting

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1953 TENTANG MENGUBAH DAN MENAMBAH ORDONANSI PAJAK RUMAH TANGGA 1908 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1953 TENTANG MENGUBAH DAN MENAMBAH ORDONANSI PAJAK RUMAH TANGGA 1908 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1953 TENTANG MENGUBAH DAN MENAMBAH ORDONANSI PAJAK RUMAH TANGGA 1908 PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa adalah perlu untuk mengenakan suatu pemungutan pajak yang istimewa atas pemegang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 48 TAHUN 1951 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 48 TAHUN 1951 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO. 48 TAHUN 1951 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dianggap perlu mengirimkan suatu perutusan Republik Indonesia sebagai penindjau (observer)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1950 (17/1950) TENTANG HUKUM ACARA PIDANA PADA PENGADILAN TENTARA. Presiden Republik Indonesia Serikat,

UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1950 (17/1950) TENTANG HUKUM ACARA PIDANA PADA PENGADILAN TENTARA. Presiden Republik Indonesia Serikat, UNDANG-UNDANG DARURAT (UUDRT) NOMOR 17 TAHUN 1950 (17/1950) TENTANG HUKUM ACARA PIDANA PADA PENGADILAN TENTARA Menimbang : Presiden Republik Indonesia Serikat, 1. bahwa perlu mengadakan peraturan tentang

Lebih terperinci

Sikap Hidjrah P.S.I.I. 2 Ditetapkan oleh: Madjlis Tahkim Party Sjarikat Islam Indonesia ke 22 Tjetak Pertama

Sikap Hidjrah P.S.I.I. 2 Ditetapkan oleh: Madjlis Tahkim Party Sjarikat Islam Indonesia ke 22 Tjetak Pertama Sikap Hidjrah P.S.I.I. 2 Ditetapkan oleh: Madjlis Tahkim Party Sjarikat Islam Indonesia ke 22 Tjetak Pertama Didjelaskan oleh: S.M. Kartosoewirjo, Vitje- President Dewan P.S.I.I. PENGIRING KALAM BAGIAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL (PERKOSAAN) DI BAWAH UMUR OLEH ORANG TUA TIRI

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL (PERKOSAAN) DI BAWAH UMUR OLEH ORANG TUA TIRI BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL (PERKOSAAN) DI BAWAH UMUR OLEH ORANG TUA TIRI A. Peraturan Menurut KUHP Tindak pidana kesopanan dalam hal persetubuhan tidak ada yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) No. 5 / 1966 14 Desember 1966 No. 4/D.P.R.D.G.R./1964. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT I BALI Menetapkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI)

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 30/1963 5 Juli 1963 No : 2/DPR/1962 DEWAN PERWKAILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BULELENG Menetapkan peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI ( PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI ) No. 16/1963 20 April 1963 No. 7/DPRD-GR/1963.- DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BADUNG Menetapkan

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 7/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Nomor 7/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SALINAN PUTUSAN Nomor 7/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta Nomor 3 Tahun Ke VI Tanggal 27 Agustus 1956 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 1956

Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta Nomor 3 Tahun Ke VI Tanggal 27 Agustus 1956 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 1956 Tambahan Lembaran Kota Besar Surakarta Nomor 3 Tahun Ke VI Tanggal 27 Agustus 1956 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 1956 TENTANG SETASIUN OTOBIS DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SEMENTARA

Lebih terperinci

APA KEGUNAAN BENDA-BENDA YANG DISIT A DALAM HUKUM ACARA PI DANA KIT A SEKARANG? Handoko Tjondroputranto

APA KEGUNAAN BENDA-BENDA YANG DISIT A DALAM HUKUM ACARA PI DANA KIT A SEKARANG? Handoko Tjondroputranto Hukum Acara Pidana 87 APA KEGUNAAN BENDA-BENDA YANG DISIT A DALAM HUKUM ACARA PI DANA KIT A SEKARANG? Handoko Tjondroputranto Benda-benda yang disita dalam suatu tindak pidana memegang peran penting dalam

Lebih terperinci

STAATSBLAD TAHUN 1927 NOMOR 346

STAATSBLAD TAHUN 1927 NOMOR 346 22 STAATSBLAD TAHUN 1927 NOMOR 346 MASIH BERLAKUKAH DEWASA INI? DAPATKAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA MEMBENTUK UNDANG-UNDANG SEMACAM ITU? L-- Oleh: A. Hamid S. Attamimi Pendahuluan 1. Staatsblad tahun 1927

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1958 TENTANG PENGGUANAAN LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1958 TENTANG PENGGUANAAN LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1958 TENTANG PENGGUANAAN LAMBANG NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa perlu diadakan peratuaran tentang penggunaan Lambang Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 29 tahun Mei 1969

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 29 tahun Mei 1969 LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 29 tahun 1969 28 Mei 1969 No. 6 a 1/DPRDGR/1966. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN BULELENG Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Wahyudi Djafar, S.H., Robert F. Sidauruk, SH., MBL., Erasmus A. T. Napitupulu, S.H., Ajeng Gandini Kamilah S.H.

Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Wahyudi Djafar, S.H., Robert F. Sidauruk, SH., MBL., Erasmus A. T. Napitupulu, S.H., Ajeng Gandini Kamilah S.H. Kepada Yang Terhormat, KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat 10110 Perihal: Permohonan Pengujian 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 Undang-undang

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN - NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia,

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN - NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Presiden Republik Indonesia, DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN - NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 40, 1955. BEA-MASUK DAN BEA-KELUAR-UMUM. PEMBEBASAN. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1955, tentang peraturan pembebasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG PERATURAN MENGENAI KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH. KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa sebelumnya diadakan pemilihan umum perlu

Lebih terperinci

PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA. Oleh: Sarah S. Kuahaty

PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA. Oleh: Sarah S. Kuahaty 53 PEMERINTAH SEBAGAI SUBJEK HUKUM PERDATA DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG ATAU JASA Oleh: Sarah S. Kuahaty ABSTRACT Dalam pembagiannya subjek hukum Perdata terdiri atas manusia (naturlijkperson) dan badan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG (UU 1948 No. 13. (13/1948) Peraturan tentang mengadakan perubahan dalam Vorstenlands Grondhuurreglement. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG (UU 1948 No. 13. (13/1948) Peraturan tentang mengadakan perubahan dalam Vorstenlands Grondhuurreglement. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG (UU 1948 No. 13. (13/1948) Peraturan tentang mengadakan perubahan dalam Vorstenlands Grondhuurreglement. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagian dari Vorstenlands Grondhuur-reglement

Lebih terperinci

DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : KARYA ILMIAH SUATU TINJAUAN TERHADAP TINDAK PIDANA DALAM KEADAAN MABUK DIATAS JALAN UMUM MENURUT PASAL 536 KUH PIDANA O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 1

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 1 Tambahan Lembaran Kota Besar Ska no. 5 th. Ke III tg. 1 Djuni 1953 No. 1 PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 7 TAHUN 1953 TENTANG MENDIRIKAN DAN MENJEWAKAN KIOSK DI TANAH MILIK DAERAH DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1947 TENTANG PEMBENTUKAN HAMINTE-KOTA SURAKARTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1947 TENTANG PEMBENTUKAN HAMINTE-KOTA SURAKARTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1947 TENTANG PEMBENTUKAN HAMINTE-KOTA SURAKARTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebelum diadakan Undang-undang yang menetapkan bentuk dan susunan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 1948 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1948 TENTANG "SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN/KEJAKSAAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN KETENTARAAN"

Lebih terperinci

Bab III SURAT KABAR SINAR BAROE. A. Surat Kabar dan Peraturannya

Bab III SURAT KABAR SINAR BAROE. A. Surat Kabar dan Peraturannya digilib.uns.ac.id 40 Bab III SURAT KABAR SINAR BAROE 1. Surat Kabar Jaman Jepang A. Surat Kabar dan Peraturannya Di jaman pendudukan Jepang, pers sebagai alat Jepang dan kabar-kabar karangan-karangan dan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI)

LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) LEMBARAN DAERAH TINGKAT I BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH TINGKAT I BALI) No. 3 / 1966 14 Desember 1966 No. 1/DPRD.GR./1962. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT II BANGLI Menetapkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1954 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN-PERATURAN PEMBERIAN PEMBEBASAN CUKAI UNTUK MINYAK TANAH (KEROZINE) DAN SULINGAN-SULINGAN MINYAK TAMBANG YANG DISAMAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1954 (LN 1954/96; TLN NO. 692) TENTANG PENUNJUKAN PENGUASA-PENGUASA MILITER

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1954 (LN 1954/96; TLN NO. 692) TENTANG PENUNJUKAN PENGUASA-PENGUASA MILITER PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1954 (LN 1954/96; TLN NO. 692) TENTANG PENUNJUKAN PENGUASA-PENGUASA MILITER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk memberi ketegasan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 31/1968 31 Desember 1968 No. 5/DPRD.GR.//1968- DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN TABANAN Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERAJAAN BELANDA

ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERAJAAN BELANDA PROTOKOL MENGUBAH PROTOKOL YANG DITANDATANGANI DI KUALA LUMPUR PADA TANGGAL 22 JULI 1991, YANG TELAH MENGUBAH PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KERAJAAN BELANDA MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Lebih terperinci

Mengembalikan Makna Makar dalam Hukum Pidana Indonesia

Mengembalikan Makna Makar dalam Hukum Pidana Indonesia Mengembalikan Makna Makar dalam Hukum Pidana Indonesia Uji Materil ICJR Terhadap Pasal-Pasal Makar dalam R KUHP di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No No 7/PUU-XV/2017 Mengembalikan Makna Makar dalam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA No. 237 TAHUN 1960 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA No. 237 TAHUN 1960 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN No. 237 TAHUN 1960 KAMI, PRESIDEN Menimbang : a. bahwa berhubung dengan keanggotaan Republik Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, dianggap perlu untuk mengirimkan suatu Delegasi

Lebih terperinci

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA INTERNASIONAL. Devica Rully, SH., MH., LLM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ESA UNGGUL MARET 2017

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA INTERNASIONAL. Devica Rully, SH., MH., LLM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ESA UNGGUL MARET 2017 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PERDATA INTERNASIONAL Devica Rully, SH., MH., LLM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ESA UNGGUL MARET 2017 OBYEK KAJIAN LATAR BELAKANG HPI PENGERTIAN HPI RUANG LINGKUP SUMBER

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 9/1968 19 April 1968 No. 3/P/DPRDGR/1968 DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KABUPATEN KARANGASEM Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

Hamba Toehan Pendjoeal Boekoe

Hamba Toehan Pendjoeal Boekoe Hamba Toehan Pendjoeal Boekoe Ellen G. White Copyright 2014 Ellen G. White Estate, Inc. Information about this Book Overview This ebook is provided by the Ellen G. White Estate. It is included in the

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG (UU) 1948 No. 26. (26/1948) Peraturan tentang mengadakan perubahan dalam Undang-undang Pajak Pendapatan 1932. (Ordonnantie op de Inkomstenbelasting 1932). PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Kepada yang terhormat orang tua-tua, saudara-saudari, anak2 Beilohy Amalatu,

Kepada yang terhormat orang tua-tua, saudara-saudari, anak2 Beilohy Amalatu, Secretariaat: Vrijhof 4, 5301 ZL Zaltbommel secretariaat@paban.nl www.paban.nl No : Paban/15102014/031/Penulis Pokok : Perayaan Natal Beilohy Amalatu Zaltbommel, 15 Oktober 2014 Kepada yang terhormat orang

Lebih terperinci

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 8

Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 8 Dimuat dalam Lembaran Daerah Djawa Tengah Tahun 1972 Seri B Nomor 8 No.10/ 1971 DENGAN RACHMAT TUHAN JANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG KOTAMADYA SURAKARTA Menetapkan Peraturan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 37/1968 31 Desember 1968 No. 4/D.P.R.D.-G R./1965 Pasal 1. DEWAN PERWAKILAN RAKJAT DAERAH GOTONG ROJONG DAERAH TINGKAT I BALI Menetapkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO 129 TAHUN 1957 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO 129 TAHUN 1957 KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NO 129 TAHUN 1957 KAMI, PRESIDEN Menimbang : bahwa berhubung dengan diadakannja Kementerian Peladjaran perlu menindjau kembali susunan dan lapangan pekerdjaan Kementerian Perhubungan.

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah 1950 No. 37

Peraturan Pemerintah 1950 No. 37 Peraturan Pemerintah 1950 No. 37 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNIVERSITEIT GADJAH MADA Peraturan tentang Universiteit Gadjah Mada. Menimbang : bahwa perlu mengadakan peraturan tentang Universitit Negeri

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 55 TAHUN 1972 TENTANG PENJEMPURNAAN ORGANISASI PERTAHANAN SIPIL DAN ORGANISASI PERLAWANAN DAN KEAMANAN RAKJAT DALAM RANGKA PENERTIBAN PELAKSANAAN SISTIM HANKAMRATA PRESIDEN, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1958 TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 12 TAHUN 1954 (LEMBARAN- NEGARA TAHUN 1954 NO. 147) TENTANG PERUBAHAN "KROSOK ORDONNANTIE 1937" (STAATSBLAD TAHUN 1937 NO.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1947 TENTANG TUNJANGAN KEPADA BEKAS PEGAWAI NEGERI SERTA JANDA DAN ANAK PIATUNYA.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1947 TENTANG TUNJANGAN KEPADA BEKAS PEGAWAI NEGERI SERTA JANDA DAN ANAK PIATUNYA. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1947 TENTANG TUNJANGAN KEPADA BEKAS PEGAWAI NEGERI SERTA JANDA DAN ANAK PIATUNYA. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa Pegawai Negeri yang

Lebih terperinci

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 1. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 5 TAHUN 1954.

Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 1. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA. No. 5 TAHUN 1954. Tjetakan ke 2 tgl. 1 Mei 1958. Tambahan Lembaran Kota Besar Ska. No. 7 th. Ke IV tgl. 1 Sept. 54 No. 1. PERATURAN DAERAH KOTA BESAR SURAKARTA No. 5 TAHUN 1954. Tentang TAMAN SRIWEDARI DAN TAMAN BALAI KAMBANG

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) Oleh: M. Guntur Hamzah gunturfile@gmail.com SEJARAH PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) DI INDONESIA Masa Penjajahan dan Pendudukan Masa Kemerdekaan 1 Masa

Lebih terperinci

BAB II. Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I. Maupun Tahap II

BAB II. Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I. Maupun Tahap II BAB II Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I Maupun Tahap II A. Sejarah Penerapan Grasi Pemberian grasi atau pengampunan pada mulanya di zaman kerajaan absolut di Eropa adalah berupa anugerah

Lebih terperinci