BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terapi jangka panjang dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terapi jangka panjang dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terapi jangka panjang dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas yang mungkin digunakan. Belum lagi apabila pasien juga menerima obat dalam jenis yang banyak. Pengetahuan pasien yang kurang dalam hal obat dapat menimbulkan masalah seperti tidak efektifnya terapi yang dijalani, minimnya kepatuhan pasien dalam konsumsi obat dan bahkan mengakibatkan timbulnya risiko overdosis bila obat tidak dikonsumsi tepat dosis. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan seseorang adalah penyuluhan langsung perorangan sebagai faktor untuk meningkatkan pengetahuan dan membentuk sikap yang positif. Dalam hal ini peran apoteker untuk memberi konsultasi informasi obat dan edukasi kepada pasien sangat penting (Handayani dkk, 2006). Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahanbahan alam (galenis) menjadi penemuan dan sintesa senyawa bahan obat untuk diproduksi secara masal, telah membuat pergeseran pada orientasi pelayanan kefarmasian dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (IAI, 2014).

2 2 Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut dan untuk menindaklanjuti peraturan perundang-undangan yaitu Undang Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian serta tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Ikatan Apoteker Indonesia telah membuat Standar Kompetensi Apoteker Indonesia yang diantaranya meliputi standar kompetensi dalam pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan. Apoteker dituntut untuk meningkatkan kompetensinya yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan perannya dalam pemberian informasi obat (IAI, 2014). Data yang diperoleh dari apotek UGM menunjukkan bahwa jumlah resep yang masuk per hari nya bisa mencapai 30 lembar per hari (Apotek UGM, 2014). Banyaknya jumlah resep yang harus dilayani juga harus disertai dengan pemberian kualitas pelayanan kefarmasian yang baik. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pelayanan kefarmasian di Apotek UGM Yogyakarta khususnya dalam hal pemberian informasi obat. Dalam memberikan pelayanan informasi obat, apoteker di apotek harus memperhatikan kualitas pelayanan informasi. Apoteker dituntut untuk dapat melaksanakan praktek pelayanan yang bertanggung jawab terhadap informasi obat agar dapat tercapai hasil yang optimal yang akan meningkatkan kualitas hidup pasien. Seorang apoteker dituntut untuk melakukan kontak secara langsung dengan penderita sehingga dapat lebih memahami kebutuhan penderita dalam menjalani terapinya. Sehingga apa yang dilakukan apoteker dapat memenuhi kebutuhan

3 3 penderita daripada hanya memenuhi tuntutan resep yang di tulis Dokter (Surahman & Husein, 2011). Pemberian informasi obat terkadang masih belum dapat dilaksanakan dengan lengkap dan baik di apotek di Yogyakarta meskipun presentase apoteker sebagai sumber informasi obat menurut pengunjung apotek di kota Yogyakarta cukup besar (Handayani dkk, 2006). Konsumen menilai bahwa pelayanan informasi dan konsultasi obat di apotek di Kotamadya Yogyakarta kurang memuaskan (Handayani, 2003). Kenyataan di lapangan saat ini pelayanan kefarmasian yang berupa pemberian informasi biasanya hanya mengenai cara dan aturan pakai obat (Handayani dkk, 2006). Untuk dapat meningkatkan pelayanan tersebut dapat diberikan suatu intervensi terhadap apoteker. Penelitian tentang pengaruh intervensi kepada apoteker terhadap kualitas pelayanan informasi obat di puskesmas-puskesmas kota Yogyakarta bagian timur pernah dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi apoteker yang berupa pemberian buku panduan (modul) tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap materi informasi yang diberikan sekaligus yang diterima pasien, sehingga tidak efektif meningkatkan kualitas pelayanan informasi obat di puskesmas. Hasil ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dan ketidakefektifan intervensi yang diberikan sehingga perlu dirumuskan tentang standar pelaksanaan pelayanan informasi dan konsultasi obat (Wahyuningtyaswari, 2004). Keputusan MENKES RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek telah menjelaskan bahwa dalam pemberian

4 4 Informasi Obat, Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi Obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Untuk menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyaswari sebelum dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek, maka dilakukan sebuah penelitian yang melihat apakah pemberian informasi sesuai standar pelayanan kefarmasian di Apotek berdasarkan Keputusan MENKES RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dapat meningkatkan pengetahuan pasien di apotek. Jumlah rata-rata jenis obat yang terdapat pada resep yang ditebus di Apotek UGM adalah sebanyak 2,5 jenis obat per resep. Resep dengan lebih dari 3 jenis obat jarang untuk ditemui (Apotek UGM, 2014). Semakin banyak jenis obat yang diterima oleh pasien maka semakin lama waktu pemberian informasi yang harus dilakukan. Lamanya waktu pemasukan informasi (act of remembering) akan mempengaruhi kekuatan retensi masuknya informasi tersebut. Makin lama intervalnya, makin kurang kuat retensinya, atau dengan kata lain kekuatan retensi masuknya informasi akan semakin menurun (Octaviani, 2014). Inilah yang menjadi latar belakang dipilihnya obat dengan lebih dari 2 obat pada penelitian ini. Dengan melakukan analisa terhadap pasien dengan resep lebih dari dua jenis obat, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keefektifan transfer informasi

5 5 yang dilakukan pada apoteker terhadap pasien dengan jenis obat yang banyak. Untuk membatasi agar data yang diperoleh tidak terlalu luas dan bias, maka pengambilan subjek penelitian dibatasi dengan resep maksimal sebanyak lima jenis obat. Pengetahuan pasien yang baik akan obatnya tentu akan mendorong pasien untuk lebih peduli terhadap pengobatan yang dijalaninya. Hal ini dapat meningkatkan compliance pasien dan memaksimalkan pengobatan (Idris, 2011). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan penelitian ini : 1. Informasi apa sajakah yang masih belum diketahui pasien sebelum mendapatkan informasi obat? 2. Bagaimanakah tingkat pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima sebelum dan setelah diberikan informasi obat? 3. Bagaimanakah pengaruh pemberian informasi obat dengan tingkat pengetahuan pasien? 4. Karakteristik apa sajakah yang mempengaruhi pengetahuan pasien? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui informasi yang masih belum diketahui pasien sebelum mendapatkan informasi obat. 2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima sebelum dan setelah diberikan informasi obat.

6 6 3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian informasi obat dengan tingkat pengetahuan pasien. 4. Untuk mengetahui karakteristik yang mempengaruhi pengetahuan pasien. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan agar : 1. Bermanfaat sebagai salah satu referensi gambaran tentang bagaimana tingkat pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima sebelum dan setelah diberikan informasi obat. 2. Bermanfaat sebagai masukan agar apoteker dapat selalu memberikan informasi obat yang tepat dan lengkap saat memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien. 3. Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengayaan materi ilmu kefarmasian khususnya dalam bidang farmasi klinik. 4. Bagi penelitian lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pembanding atau sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih baik. 5. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman belajar untuk dapat memahami kaedah penelitian. 6. Bagi pasien sendiri, agar mampu lebih memahami tentang informasi obat yang diberikan demi tercapainya pengobatan yang rasional.

7 7 E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian pengetahuan dan hubungannya dengan ketaatan Pengetahuan adalah suatu fakta atau kondisi mengetahui sesuatu dengan baik yang didapat lewat pengalaman dan pelatihan. Adapun definisi lain dari pengetahuan menurut Chabris (1983), yaitu pengetahuan adalah segala maklumat yang berguna bagi tugas yang akan dilakukan (Fibrianty, 2009). Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal akan mempengaruhi sikapnya. Sikap tersebut positif maupun negatif tergantung dari pemahaman individu tentang suatu hal tersebut, sehingga sikap ini selanjutnya akan mendorong individu melakukan perilaku tertentu pada saat dibutuhkan, tetapi kalau sikapnya negatif, justru akan menghindari untuk melakukan perilaku tersebut (Azwar & Syaifuddin, 2003). Tindakan mulai terbentuk dari pengetahuan, saat seseorang mengetahui adanya rangsangan. Kemudian akan timbul rangsangan batin dalam bentuk sikap terhadap rangsangan yang diketahuinya tersebut. Setelah rangsangan tadi diketahui dan disadari sepenuhnya, akan timbul tindakan terhadap rangsangan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

8 8 Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar dan dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap). Sesuai dengan batasan tersebut perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Sarwono, 1997). Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dari dalam atau dari luar individu. Disamping susunan syaraf yang mengontrol reaksi individu terhadap segala rangsangan, aspek-aspek dari dalam individu yang juga berpengaruh dalam pembentukan dan perubahan perilaku ialah persepsi, motivasi, dan emosi. Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi penglihatan, pendengaran, penciuman serta pengalaman masa lalu. Suatu obyek yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang. Motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan suatu kebutuhan (Sarwono, 1997). Menurut Widayatun (1999), terbentuknya perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak berlangsung lama.

9 9 Dalam penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadaptasi perilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu: a. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek). b. Interest (merasa senang), yaitu orang mulai tertarik terhadap stimulus atau obyek tersebut. c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap pasien baik. d. Trial (mencoba), yaitu orang telah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki stimulus. e. Adaptation (menerima), yaitu subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2007). Bukti bahwa seseorang sudah mengadaptasi perilaku baru di dalam dirinya dapat dilihat dari bagaimana kepatuhannya dalam melakukan perilaku tersebut. Dalam bidang kesehatan, kepatuhan atau ketaatan (compliance atau adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain (Smet & Bart, 1994). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketaatan pasien dalam menggunakan obat antara lain : tingkat pemahaman pasien tentang obat dan pengobatan, adanya efek samping obat yang terkadang mengganggu pasien, adanya anggapan bahwa pelayanan kesehatan informasi obat kurang penting, adanya keterbatasan waktu untuk konsultasi, kurangnya bekal pengetahuan dan keterampilan terapi dari pembuat resep atau petugas pemberi obat yang memberi peranan besar terjadinya ketidakrasionalan

10 10 penggunaan obat, kurangnya informasi ilmiah, hanya mengandalkan praktek sehari-hari tanpa disertai dasar ilmiah serta pengaruh dari industri farmasi (Wati & Murti, 2003). Di sisi lain adanya ketidaktaatan pasien meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Riset membuktikan bahwa setiap orang dapat menjadi taat kalau situasinya memungkinkan (Smet & Bart, 1994). Ley mengajukan sebuah model kognitif yang menjelaskan hubungan antara pengertian, ingatan, kepuasan dengan perilaku ketaatan pasien seperti gambar 1. Memory Satisfaction Compliance Understanding Gambar 1. Hubungan hipotesis antara pengertian, ingatan, kepuasan dengan perilaku ketaatan (Smet & Bart, 1994) Usia dan atau status kedewasaan merupakan faktor yang penting. Sebagai contoh, terkadang anak-anak mempunyai tingkat ketaatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja, meskipun anak-anak tersebut mendapatkan informasi yang kurang, seperti dilaporkan oleh Johnson (1988) dalam Wahyuningtyaswari (2004) pada penderita diabetes. Berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan

11 11 ketaatan, seperti misalnya meningkatkan ketrampilan komunikasi para dokter, memberikan informasi yang jelas kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya, keterlibatan lingkungan sosial (misalnya keluarga), dan beberapa pendekatan perilaku. Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien (Smet & Bart, 1994). 2. Standar pelayanan kefarmasian di apotek Definisi apotek telah dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 yang menyebutkan bahwa Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004). Apotek dipimpin oleh seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang telah diberi surat ijin apotek (SIA). Apoteker adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan di bidang kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian (Ahaditomo,1995). Dalam mengelola apotek, apoteker dibantu oleh seorang Asisten Apoteker (AA). Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal. Lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, mulai persediaan bahan baku obat, membuat sediaan jadinya sampai dengan melayankan kepada pemakai obat atau pasien (Ahaditomo,2001). Menurut Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek adalah sebagai berikut.

12 12 a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. b. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi, antara lain, obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika. d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelola obat dan pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Anonim, 2009 a ) Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1027/MENKES/SK/IX/2004 dijelaskan bahwa dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus : a. Memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik b. Mengambil keputusan dengan tepat c. Mampu berkomunikasi antar profesi d. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner e. Mampu mengelola SDM secara efektif f. Selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004). Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 telah menjelaskan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

13 13 informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Anonim, 2009 a ). Standar Kompetensi Apoteker Indonesia telah disusun oleh Ikatan Apoteker Indonesia pada tahun Standar kompetensi apoteker ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi oleh apoteker. Didalam standar tersebut dijelaskan 9 unit kompetensi apoteker yang sistematikanya adalah : a. Unit kompetensi 1 merupakan etika profesi dan profesionalisme apoteker dalam melakukan praktek kefarmasian. b. Unit kompetensi 2 merupakan keahlian apoteker dalam menyelesaikan setiap permasalahan terkait penggunaan sediaan farmasi. c. Unit kompetensi 3 merupakan keahlian dasar apoteker yang meliputi unsur pengetahuan, ketrampilan dan karakter sebagai care giver. d. Unit kompetensi 4 merupakan keahlian dalam memformulasi dan memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku. e. Unit kompetensi 5 merupakan ketrampilan dalam mengkomunikasikan pemahaman terhadap sediaan farmasi serta pengaruh (efek) yang ditimbulkan bagi pasien. f. Unit kompetensi 6 merupakan pemahaman apoteker terhadap permasalah public health yang banyak dijumpai di lingkungan sekitar.

14 14 g. Unit kompetensi 7 adalah kemampuan apoteker dalam bidang manajemen dengan didasari oleh pemahaman terhadap sifat fisiko kimia sediaan farmasi dan alat kesehatan serta keahlian memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu untuk mempermudah pengelolaan. h. Unit kompetensi 8 adalah ketrampilan dalam mengelola dan mengorganisasikan serta ketrampilan menjalin hubungan interpersonal dalam melakukan praktik kefarmasian. i. Unit kompetensi 9 adalah karakter dan perilaku apoteker untuk selalu meningkatkan pengetahuan, ketrampilan (IAI, 2014). Apoteker di Indonesia dalam menangani pasien harus sama dengan apotekerapoteker di negara maju yaitu berdasarkan harkat pasien sebagai manusia dan bukannya sebagai pembeli obat. Menurut konsep Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, produk kerja profesi apoteker tidak hanya berupa obat namun juga informasi obat yang memenuhi syarat kefarmasian (IAI, 2014). Menurut Afdhal (1995), apoteker merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan kesehatan yang kini tengah memperkuat peranannya pada masyarakat dengan merubah orientasinya dari drug oriented menjadi patient oriented sebagai upaya untuk melayani kebutuhan kefarmasian masyarakat secara baik (Suharnoto, 2000). Profesi apoteker bertanggung jawab untuk menghasilkan produk kerja profesi yang memenuhi syarat kefarmasian berupa jaminan kemanfaatan obat dan sekaligus informasi bagi pemakainya, yaitu pada pelayanan kefarmasian (patient care), tugas tersebut adalah menjelaskan aturan penggunaan obat kepada pasien, menasehati

15 15 pasien atas aspek potensi dan bahaya obat yang akan digunakan, merujukkan kepada pusat pelayanan kesehatan, memonitor dan melakukan pusat evaluasi resep terapeutik dari obat yang digunakan pasien serta mengkaji informasi tambahan obat bila perlu (Ahaditomo, 1995). Jika saat ini sedang terjadi lemahnya pengakuan terhadap profesi apoteker, menurut Pane (1998) dalam Suharnoto (2000) hal ini karena kurang profesionalnya apoteker dalam mengartikulasikan dirinya sebagai pelaku pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) seperti menganggap pekerjaan di apotek sebagai by job, bermental tekab (teken kabur) dan mengandalkan kemampuan farmasi hanya karena SIK. Menurutnya ada 3 hal yang menyebabkan apotek harus memiliki paradigma baru dalam memposisikan profesinya, yaitu : a. Adanya peningkatan kebutuhan tentang patient councelling. b. Adanya kesadaran terhadap pentingnya pharmaceutical care. c. Adanya cost saving (Suharnoto, 2000). Menurut pasien, asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) seorang apoteker memikul tanggung jawab secara langsung terhadap segala sesuatu sebagai akibat yang ditimbulkan oleh karena terapi dengan obat pada individu pasien. Keberadaan apoteker dituntut senantiasa berinteraksi dengan setiap pasien mulai dari penilaian resep, persiapan obat, dispensing, informasi obat sampai memberikan monitoring terhadap keberhasilan pengobatan. Dalam Undang Undang (UU) nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa : Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban

16 16 untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 2009 b ). Pada penjelasan dari Undang Undang tersebut menerangkan bahwa : a. Setiap orang berhak atas kesehatan b. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan c. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau d. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya e. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya f. Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan g. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab h. Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan (Anonim, 2009 b ). Dengan demikian pelayanan informasi obat di apotek merupakan wujud dari pemenuhan hak pasien (Anonim, 2009 b ). Pemenuhan hak-hak pasien ini juga telah diatur dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen, dimana pasien dipandang sebagai konsumen apotek.

17 17 Menurut ketentuan pasal 4 Undang Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak antara lain sebagai berikut : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan d. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen (Anonim, 1999). Segala upaya agar obat sampai kepada masyarakat tidak ada gunanya apabila dalam pelayanan obat tidak menjamin penyerahan obat yang benar kepada pembeli obat yang disertai dengan informasi yang jelas. Salah satu tujuan utama pengelolaan obat di apotek adalah bagaimana obat yang sampai ke tangan pasien akan digunakan secara benar dan tepat sehingga memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya. Sesuai dengan keterangan tersebut, kemampuan berkomunikasi dan penguasaan informasi kefarmasian merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan informasi obat di apotek (Suryawati, 1998). Apoteker apotek selanjutnya disebut apoteker adalah profesional yang paling banyak berhubungan langsung dengan masyarakat. Karena itu apotek sebagai salah satu bentuk sarana pelayanan kesehatan yang berkewajiban untuk menyediakan dan menyalurkan obat yang aman dan rasional harus meningkatkan fungsi dan perannya

18 18 dengan selalu memperhatikan aspek kemanusiaan serta etika pelayanan kesehatan (Siregar, 1994). Farmasi komunitas adalah profesional kesehatan yang sangat berkaitan dengan masyarakat atau publik. Mereka memberikan pelayanan kesehatan berupa pemberian obat resep maupun obat bebas. Wujud dari tanggung jawab ini juga meliputi pengumpulan informasi tentang riwayat kesehatan pasien dan pemberian informasi tentang obat dan pengobatan kepada pasien dan mengawasi penggunaan obat oleh pasien (WHO, 1990). Untuk dapat meningkatkan pelayanan farmasi, menurut Siregar (1994), perlu dilakukan hal-hal di bawah ini : a. Untuk meningkatkan kepatuhan penderita, apoteker wajib memberi informasi dan atau konseling kepada penderita tentang obatnya terutama hal yang perlu diketahui penderita b. Apoteker wajib memberi informasi obat dan kesehatan kepada masyarakat baik secara aktif maupun pasif. Informasi obat lebih ditekankan pada penggunaan obat yang baik dalam pengobatan sendiri (self medication), misalnya risiko lewat dosis, terjadinya interaksi antara berbagai obat yang dipakai sekaligus, petunjuk penggunaan, merekomendasikan dosis yang lazim, peringatan terhadap penggunaan obat yang salah, bahaya penggunaan obat, dan sebagainya. 3. Pelayanan informasi obat di apotek Ada berbagai macam definisi dari informasi obat, tetapi pada umumnya maksud dan intinya sama saja. Salah satu definisinya adalah, informasi obat merupakan setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi

19 19 mencakup farmakologi, toksikologi, dan farmakoterapi obat. Informasi obat mencakup, tetapi tidak terbatas pada pengetahuan seperti nama kimia, struktur dan sifat-sifat, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, mekanisme kerja, waktu mulai kerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, absorpsi, metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda, gejala dan pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data klinik, data penggunaan obat, dan setiap informasi lainnya yang berguna dalam diagnosis dan pengobatan pasien (Siregar, 2006). Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian, pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan, pendistribusian, penyebaran serta penyampaian informasi tentang obat dalam berbagai bentuk dan berbagai metode kepada pengguna nyata dan yang mungkin (Siregar, 2006). Pada umumnya, ada dua jenis metode utama dalam pelayanan informasi obat kepada pasien, yaitu dengan metode lisan dan tertulis. Apoteker, perlu memutuskan kapan suatu jenis dari metode itu digunakan untuk memberikan informasi obat dengan lebih tepat. Dalam banyak situasi klinik, pemberian informasi lisan biasanya diikuti dengan pemberian informasi tertulis. a. Informasi tertulis Informasi tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan kepada pasien. Keuntungan dari format tertulis adalah memungkinkan pasien untuk membaca ulang informasi tersebut dan secara pelan-pelan menginterpretasikan

20 20 informasi tersebut (Siregar, 2006). Pemberian informasi obat secara tertulis dapat dilakukan oleh apoteker dengan jalan memberikan buletin, leaflet, dan label obat kepada pasien (Anonim, 2004). b. Informasi lisan Setelah ditetapkan bahwa informasi lisan adalah tepat, apoteker perlu memutuskan jenis metode informasi lisan yang digunakan. Ada dua jenis metode pemberian informasi secara lisan, yaitu komunikasi tatap muka dan komunikasi telepon. Komunikasi tatap muka dengan pasien lebih disukai, komunikasi tatap muka dengan pasien dapat lebih membantu apoteker dalam menilai keberhasilan pemberian informasi yang dilakukan (Siregar, 2006). Untuk mewujudkan pengertian dan penerimaan yang baik antara apoteker dan pasien dalam pelaksanaan konsultasi, menurut Santoso (1994), idealnya mencakup beberapa komponen informasi seperti disebut berikut ini: a. Informasi tentang masalah kesehatan pasien Pasien seharusnya diberikan informasi yang sesuai dengan masalah kesehatan yang dideritanya. b. Informasi tentang perawatan c. Informasi tentang obat dan pemilihan obat Tujuan yang spesifik dari setiap pemilihan obat dan cara kerja obat harus diinformasikan secara benar dan obyektif. Informasi ini meliputi informasi tentang dosis, frekuensi pemakaian, dan durasi pengobatan. d. Informasi tentang reaksi obat yang digunakan

21 21 Pemberian informasi ini seringkali tidak dilakukan karena dirasakan tidak penting bagi pasien untuk mengetahui bagaimana reaksi obat yang digunakan. Penjelasan tentang risiko penggunaan obat tidaklah mudah, akan tetapi perlu diberikan informasi tentang segala sesuatu yang mungkin terjadi. e. Informasi tentang pengawasan perawatan Pada akhirnya pasien perlu diberikan informasi tentang bagaimana melakukan pengawasan terhadap akibat dari pengobatan yang dipilihnya. Untuk beberapa kasus, saat dimana efek yang diharapkan terjadi adalah sangat penting untuk diinformasikan. Pasien juga perlu diinformasikan tentang apa yang harus dilakukan apabila terjadi efek yang tidak diinginkan (side effect). Dalam situasi dimana pasien telah mendapat resep, maka komponen informasi yang harus diberikan meliputi (Suryawati, 1998) : a. Nama obat dan indikasi/kegunaan obat b. Cara penggunaan dan aturan pakai khusus c. Efek samping, kontraindikasi, dan peringatan, dan apa yang harus dilakukan kalau terjadi efek samping yang tak diharapkan d. Tanda-tanda kesembuhan e. Cara menyimpan obat di rumah, dan bagaimana mengetahui kalau obat sudah rusak. Apotek sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan memiliki kekuatan yang harus diperhatikan, yaitu harus disadari bahwa obat merupakan komoditi khusus yang harus dilayankan kepada pasien dengan informasi. Hal ini yang membedakan apotek dengan toko obat biasa.

22 22 Kebutuhan penggunaan jasa informasi, perilaku kebutuhan informasi, tingkat penerimaan informasi perlu diketahui untuk mengembangkan pelayanan informasi tersebut. Seringkali kegagalan informasi disebabkan pelayanan yang diberikan belum tentu sesuai dengan kebutuhan penggunaan. Informasi obat tidak secara otomatis dapat mengubah perilaku penggunaan obat, kecuali pelayanan informasi obat memang diarahkan secara khusus untuk intervensi penggunaan obat. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek telah menjelaskan bahwa dalam pemberian Informasi Obat, Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi Obat pada pasien sekurangkurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Dalam Standar Prosedur Operasional (SPO) Komunikasi, Informasi, Dan Edukasi yang disusun oleh Apotek UGM Yogyakarta, tertulis bahwa dalam hal pemenuhan kewajiban Apotek UGM dalam memberikan informasi obat, Apotek UGM membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) tersebut agar pasien mengetahui cara penggunaan obat yang benar dan aman (Apotek UGM, 2011). Lingkup pemberian informasinya sendiri mencakup informasi cara penggunaan, aturan pakai, durasi penggunaan, efek samping yang mungkin timbul, serta makanan/minuman dan aktivitas yang harus dilakukan/dihindari selama penggunaan obat resep atau obat wajib apotek dengan Apoteker sebagai penanggung jawabnya (Apotek UGM, 2011).

23 23 Instruksi dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional ini sendiri antara lain : a. Gali masalah pengobatan yang dialami pasien (terkait usia, terapi yang sudah atau sedang dijalani), riwayat penyakit dan riwayat pengobatan pasien. b. Berikan empati dan senyum kepada pasien. c. Berikan solusi atas masalah yang dialami pasien dengan melibatkan persetujuan dari pasien. d. Beri informasi dan edukasi mengenai pengobatan yang sedang dijalani oleh pasien. Informasi yang disampaikan meliputi aturan penggunaan obat, cara penggunaan, durasi penggunaan, makanan/minuman dan aktivitas yang harus dilakukan/dihindari selama penggunaan obat. e. Pastikan informasi yang diberikan sesuai literatur. f. Dokumentasikan KIE disertai tanggal pelayanan tersebut pada buku kerja KIE Apoteker (Apotek UGM, 2011). 4. Pentingnya pemberian informasi dan konsultasi obat Informasi tentang suatu obat dan promosi yang dilakukan sangat mempengaruhi penggunaan obat tersebut dan tinggi rendahnya pemahaman konsumen mengenai produk tergantung pada tingkat kebenaran informasi yang disampaikan penjual atau pengusaha serta daya tangkap konsumen yang bersangkutan (Siregar, 1994). Untuk menjaga dan memajukan kesehatan, kekuatan mental dan fisik rakyat adalah pemberian informasi yang cukup mengenai obat pada orang yang memerlukan informasi oleh orang yang dalam kedudukannya cakap memberikan

24 24 informasi tersebut dan orang yang diharapkan tahu banyak tentang obat adalah apoteker. Karena hal tersebut adalah bidangnya dan menjadi tanggung jawabnya (Anief, 2001). Pasien perlu informasi obat karena : a. Interpretasi pasien beragam terhadap etiket/label obat (signa) b. Tingkat pemahaman pasien beragam c. Tingkat kepatuhan pasien beragam d. Efek samping obat yang mungkin terjadi e. Obat populer untuk terapi penyakit tertentu dipakai untuk penyakit lain (Kimia Farma, 2003). Informasi obat bagi para pelaku pelayanan berfungsi untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai obat dan meningkatkan pengambilan keputusan dalam memberikan informasi tentang penggunaan obat pada waktu melayani pasien. Informasi obat juga penting untuk meningkatkan pengetahuan obat dan penggunaannya secara rasional (Trisna & Yulia, 2001). Dasar dari konsep pengobatan adalah untuk memberikan kebutuhan pasien dengan tepat, yakni kebutuhan yang sesuai dengan keadaan kesehatan pasien yaitu kebutuhan akan pengobatan dan diagnosa yang tepat, dan terakhir adalah kebutuhan akan informasi dan konsultasi (Santoso, 1994). Pengalaman menunjukkan bahwa informasi yang tidak proporsional dan benar akan menyebabkan masalah yang terpendam. Akibatnya akan terjadi kegagalan terapi. Konsultasi yang diberikan kepada pasien tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan informasi mengenai keadaan dan pengobatan yang

25 25 diresepkan, tetapi juga untuk mengajak pasien menuju kebiasaan dan perilaku yang baik untuk kesehatan. Hasil dari tindakan ini akan lebih baik jika diimbangi dengan pengertian dan penerimaan yang baik (Santoso, 1994). F. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat pengetahuan pasien tentang penggunaan obat sebelum dan sesudah diberikan informasi obat oleh apoteker, termasuk gambaran tentang informasi apa saja yang belum diketahui oleh pasien sebelum diberikan informasi tersebut. Pengaruh pemberian informasi obat dengan peningkatan pengetahuan pasien serta hubungan antara karakteristik pasien dengan peningkatan pengetahuan tersebut juga diharapkan dapat diketahui.

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI Oleh : DIDIK SANTOSO K 100 050 243 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam struktur kesehatan, apotek termasuk salah satu pilar penunjang yang sering menjadi korban ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan apotek yang menganggap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya perkembangan dan perubahan pola hidup pada manusia (lifestyle) dapat berdampak langsung salah satunya pada kesehatan, sehingga kesehatan menjadi salah satu hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu kunci pokok suksesnya sistem kesehatan. Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, maka dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia dalam melakukan segala aktivitas dengan baik dan maksimal yang harus diperhatikan salah satu hal yaitu kesehatan. Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan yang esensial dari setiap individu, keluarga, dan masyarakat. Kesehatan juga merupakan perwujudan dari tingkat kesejahteraan suatu masyarakat

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah mengalami perubahan orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana untuk memperoleh generasi yang baik perlu adanya peningkatan

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Oleh : DWI KURNIYAWATI K 100 040 126 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009). BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah apoteker (PP 51, 2009 ; Permenkes RI, 2014). Apoteker sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat dengan berkembangnya ilmu tekhnologi yang ada. Kesehatan saat ini dipandang sebagai suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Profesi Farmasi Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri dari Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Farmasis adalah sarjana farmasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang paling penting dan utama dalam kehidupan. Dengan menjaga kesehatan, manusia dapat memenuhi pekerjaan atau aktivitas sehari-hari dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakikatnya kesehatan adalah hak dasar yang senantiasa dimiliki oleh setiap manusia, tak terkecuali seluruh rakyat Indonesia. Menurut Undang - Undang Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi komunitas merupakan salah satu bagian penting karena sebagian besar apoteker melakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008 b ). 1. Periode zaman penjajahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: ROSY MELLISSA K.100.050.150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu aspek yang sangat penting yang dapat menunjang aktivitas kehidupan manusia. Apabila kesehatannya baik maka aktivitas yang dijalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia, setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapat

Lebih terperinci

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya Swamedikasi Pemilihan dan penggunaan obat-obatan oleh individu, termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan juga meningkat. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI INSTALASI FARMASI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA S K R I P S I

ANALISIS KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI INSTALASI FARMASI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA S K R I P S I ANALISIS KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI INSTALASI FARMASI RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA S K R I P S I Oleh : NILA HIDAYATI K100040056 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat secara nyata. Kesehatan sangat mempengaruhi aktivitas seseorang. Dalam kondisi sehat jasmani dan rohani

Lebih terperinci

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia adalah kesehatan. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan sesuai dengan tingkat kepuasan ratarata penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang diatur dalam perundang-undangan, salah satunya yaitu hak mengenai kesehatan, sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 bahwa kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA), pelayanan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA), pelayanan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA), pelayanan kefarmasian di apotek meliputi aspek Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana, pengelolaan

Lebih terperinci

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT Peranan Apoteker Farmasi Rumah Sakit adalah : 1. Peranan Dalam Manajemen Farmasi Rumah Sakit Apoteker sebagai pimpinan Farmasi Rumah Sakit harus mampu mengelola Farmasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan penting dari setiap manusia. Hidup sehat bukan hanya tujuan dari setiap individu melainkan juga tanggung jawab dan tujuan dari setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Presiden RI, 2009). Praktik kefarmasian meliputi pembuatan

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT ISLAM AMAL SEHAT SRAGEN SKRIPSI

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT ISLAM AMAL SEHAT SRAGEN SKRIPSI TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT ISLAM AMAL SEHAT SRAGEN SKRIPSI Oleh : MUTTI ATUN HAFSAH K 100 050 213 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

MAKALAH FARMASI SOSIAL

MAKALAH FARMASI SOSIAL MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profesi Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu menegakkan diri dan diterima oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki ketrampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mewujudkan pembangunan kesehatan di Indonesia pada dasarnya berhubungan dengan semua segi kehidupan, baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan setiap manusia dan menjadi suatu hal yang penting untuk dapat menjalankan segala bentuk aktifitas sehari-hari dengan baik. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan status kesehatan yang masih tergolong rendah. Hal ini dapat disebabkan kurangnya kepedulian dan pemahaman masyrakat Indonesia akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puskesmas merupakan unit pelaksana tingkat pertama dan ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk menyelenggarakan upaya kesehatan di tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented (Hepler dan Strand, 1990). Perubahan paradigma tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : LINDA WIDYA RETNA NINGTYAS K 100 050 110 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengobatan Sendiri 1. Definisi dan Peran Pengobatan sendiri atau swamedikasi yaitu mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotik atau

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI Oleh : MEILINA DYAH EKAWATI K 100 050 204 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian kesehatan menurut Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia No.36 tahun 2009 yaitu keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang penting dalam pelayanan kesehatan. Cara pelayanan kefarmasian yang baik menyangkut seluruh aspek pelayanan kefarmasian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, sedangakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, sedangakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, sedangakan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini, pola pikir masyarakat semakin berkembang sesuai dengan perkembangan dunia saat ini. Demikian juga dalam hal kesehatan, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pada umumnya, mulai memperhatikan kesehatannya dengan cara mengatur pola makan serta berolahraga secara teratur. Kesadaran mengenai pentingnya kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini, dunia kesehatan semakin berkembang pesat dengan ditemukannya berbagai macam penyakit yang ada di masyarakat dan segala upaya untuk mengatasinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta adanya perubahan paradigma kefarmasian, yaitu Pharmaceutical Care, konsekuensi dari perubahan orientasi tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi Persepsi diartikan sebagai proses individu dalam memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi yang ada untuk menciptakan sebuah gambar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan terbaik bagi dirinya. Pengertian kesehatan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Implikasinya tersedia berbagai jenis dan jumlah pilihan obat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Implikasinya tersedia berbagai jenis dan jumlah pilihan obat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan penelitian di bidang obat berlangsung sangat cepat. Industri farmasi di seluruh dunia, lembaga-lembaga riset, hingga perguruan tinggi sebagai instansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek Setiap manusia berhak atas kesehatan, serta memiliki kewajiban dalam memelihara serta meningkatkan kesehatan tersebut. Kesehatan merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, berkembang pula akan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi

Lebih terperinci

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG .. MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN 01 APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan kualitas hidup yang lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada penelitian sebelumnya dengan judul pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kabupaten Banyumas berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan serta didukung dengan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi memunculkan tantangan dan harapan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak paling mendasar yang harus dipenuhi setiap orang dalam mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi setiap manusia, karena dengan tubuh yang sehat setiap manusia dapat hidup produktif baik secara sosial

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kefarmasian serta makin tingginya kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, maka dituntut

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: WAHID BEKTI FITRIANTO K 100 040 146 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi prioritas utama program pemerintah menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. Untuk

Lebih terperinci

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek 2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek Cilacap. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Focus Group Discusion

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. APOTEK Apotek adalah tempat tertentu untuk melakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Fungsi apotek adalah

Lebih terperinci

PHARMACEUTICAL CARE. DALAM PRAKTEK PROFESI KEFARMASIAN di KOMUNITAS

PHARMACEUTICAL CARE. DALAM PRAKTEK PROFESI KEFARMASIAN di KOMUNITAS PHARMACEUTICAL CARE DALAM PRAKTEK PROFESI KEFARMASIAN di KOMUNITAS PELAYANAN KEFARMASIAN (Kep.Men.Kes.1027/MenKes/SK/IX/2004) PASIEN PRODUK Pengelolaan obat Kualitas hidup pasien APOTEKER dituntut utk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia kesehatan menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan. Perkembangan atau perubahan pola hidup manusia (lifestyle) berdampak langsung pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan menentukan mutu kehidupan dalam pembangunan nasional. Menurut World Health Organization (WHO),

Lebih terperinci