BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Implementasi Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Putusan Pengadilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. ( diakses tanggal 16/ pukul 13:24). Implementasi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan dan penerapan, dimana kedua hal ini bermaksud untuk mencari bentuk tentang hal yang disepakati terlebih dahulu. Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Implementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana untuk membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama. Menurut Nurdin Usman, implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Nurdin Usman, 2002 : 70). Sementara itu pengertian implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau

2 15 keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatas, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-Undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata; baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap Undang-Undang atau Peraturan yang bersangkutan (Wahab, 2005 : 68). Berdasarkan pengertian-pengertian implementasi diatas dapat dikatakan bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang berwenang atau kepentingan baik pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan citacita atau tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan atau merealisasikan program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan karena pada dasarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai. Mengenai implementasi hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum itu sendiri dimana hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu melibatkan manusia dan tingkah lakunya. Lembaga kepolisian diberi tugas untuk menangani pelanggaran hukum, kejaksaan disusun dengan tujuan

3 16 untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan. Menurut Chambliss dan Seidman yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 1980 : 129), ada 2 faktor yang menentukan tugas pengadilan, yaitu: 1) Tujuan yang hendak dicapai oleh penyelesaian sengketa itu; 2) Tingkat pelapisan yang terdapat di dalam masyarakat. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat modern saat ini mengutamakan penerapan sanksi dari Undang-Undang yang ada. Berbeda dengan masyarakat sederhana yang masih mengedepankan musyawarah dan mufakat. Dikemukakan oleh Marwan Mas (Marwan Mas, 2004 : 65) penyelesaian konflik ada 2, yaitu: 1) Penyelesaian secara litigasi yaitu penyelesaian konflik yang dilakukan melalui pengadilan. 2) Penyelesaian secara nonlitigasi yaitu penyelesaian konflik yang dilakukan di luar pengadilan yang terbagi atas 4 jenis, yaitu: a) Perdamaian (settlement): dilakukan sendiri oleh pihak-pihak bersengketa. b) Mediasi (mediation): dilakukan oleh para pihak dengan menggunakan jasa pihak ketiga (tidak formal) sebagai mediator. c) Konsiliasi (conciliation): dilakukan oleh para pihak dengan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal (ditunjuk oleh Mahkamah Agung). d) Arbitrase (arbitration): dilakukan oleh para pihak dengan menggunakan pihak ketiga yang ditunjuk secara formal oleh Undang-undang dan kedudukannya mandiri.

4 17 2. Tinjauan Tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur di dalam Buku III KUH Perdata Pasal 1313, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi tersebut dianggap memiliki kelemahan karena di satu pihak kurang lengkap dan dipihak lainnya terlalu luas. Dikatakan kurang lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja, padahal dalam kehidupan sehari-hari di samping perjanjian sepihak juga dapat dijumpai suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai hak dan kewajiban. Perjanjian inilah yang disebut dengan perjanjian timbalbalik. Perjanjian timbal-balik ini juga merupakan perjanjian yang seharusnya tercakup dalam batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut (Purwahid Patrik, 1994 : 45). Dikatakan terlalu luas, karena perjanjian menurut pasal tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan. Apabila setiap perjanjian dikatakan sebagai suatu perbuatan, maka segala perbuatan baik yang bersifat hukum atau tidak, dapat dimasukkan dalam suatu perjanjian, misalnya perbuatan melawan hukum, perwakilan sukarela dan hal-hal mengenai janji kawin (Purwahid Patrik, 1994 : 46). Sehingga selanjutnya para ahli hukum mulai memberikan definisi terhadap perjanjian untuk menyempurnakan arti yang didapat dari KUH Perdata. Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (Subekti, 1998 : 1). Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kata sepakat untuk

5 18 menimbulkan akibat hukum (Sudikno Mertokusumo, 1991 : 97). Selanjutnya menurut Handri Raharjo perjanjian adalah Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subyek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subyek hukum) saling mengikatkan diri sehingga subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum (Handri Raharjo, 2009 : 42 ). Ditentukan di dalam Pasal 1233 KUH Perdata, perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Debitur dibebankan kewajiban untuk memberikan hak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati, maka kreditur berhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan perjanjian berupa bunga kerugian, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur. Perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, yang pada umumnya dapat dibuat secara lisan dan bila dibuat secara tertulis, perjanjian bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Hukum perjanjian dibicarakan sebagai bagian dari pada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah bagian dari pada hukum kekayaan, maka hubungan yang timbul antara para pihak di dalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan,

6 19 maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan (J. Satrio, 2012 : 28). Dari berbagai pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa perjanjian adalah salah satu sumber utama dari perikatan. Karena itu, dapat dikatakan juga bahwa perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan atau perjanjian obligatoir. Seperti yang dimaksud di atas, perikatan merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan hukum kekayaan, dimana pada satu pihak memiliki hak dan pihak yang lain memiliki kewajiban. Dalam hal ini berarti perjanjian yang dimaksud oleh Pasal 1313 KUH Perdata menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Terhadap perjanjian tersebut dapat diterapkan ketentuanketentuan buku III KUH Perdata maka perjanjian tersebut harus merupakan perjanjian yang bersifat hukum perdata. Perjanjianperjanjian yang bersifat publik mempunyai pengaturannya sendiri di luar KUH Perdata. b. Syarat Sahnya Perjanjian Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan: Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang. Di bawah ini adalah uraian dari syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri Adapun yang dimaksud dengan kata sepakat disini adalah penyesuaian kehendak antara para pihak mengenai

7 20 hal-hal yang menjadi pokok perjanjian, apa yang dikehendaki pihak yang satu disetujui oleh pihak yang lain (Purwahid Patrik, 1994 : 55). Mengenai kata sepakat ini di dalam KUH Perdata tidak ada pengaturannya lebih lanjut, KUH Perdata dalam Pasal 1321 hanya mengenai tidak adanya kata sepakat yang diberikan karena kekhilafan atau adanya paksaan atau penipuan. Berdasarkan yang tercantum dalam Pasal 1321 KUH Perdata, jika dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur paksaan, kekhilafan atau penipuan, berarti perjanjian tersebut tidak mempunyai unsur kata sepakat. Karena kata sepakat merupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dengan tidak ada kata sepakat mengakibatkan tidak sahnya perjanjian itu. 2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Menurut Pasal 1329 KUH Perdata disebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatanperikatan, jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kecakapan ini diperlukan mengingat bahwa orang yang membuat suatu perjanjian itu nantinya akan terikat, oleh karena itu ia harus mampu untuk menyadari benarbenar akan tanggung jawab atau perbuatannya itu dan ia harus sungguh-sungguh bebas atas harta kekayaannya (Subekti, 1998 : 18). Dari sudut keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, sepantasnya mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang

8 21 dipikulnya dengan perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban umum, karena yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya. Maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menyadari tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili pengampu atau kuratornya (Subekti, 1998 : 19). KUH Perdata tidak mengatur lebih lanjut mengenai siapa yang cakap bertindak. Dalam KUH Perdata Pasal 1330 hanya menyebutkan siapa yang tidak cakap untuk membuat perikatan adalah: 1. orang-orang yang belum dewasa; 2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua membuat persetujuan-persetujuan tersebut. Di Indonesia tidak berlaku lagi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang menyatakan pasal-pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.

9 22 3) Adanya obyek tertentu Pasal 1222 KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu yaitu: Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Nampaknya dalam KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004: 155). 4) Adanya sebab yang halal Sebab atau kausa disini menurut Achmad Ichsan (Achmad Ichsan 1982 : 19), ialah apa yang menjadi isi nurani dari pihak-pihak dalam persetujuan tersebut, maksudnya motif dari persetujuan atas dasar mana pihak yang bersangkutan menghendaki persetujuan itu. Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, dibedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wanzenlijke oordeel), sub bagian inti disebut esensialia dan bagian yang bukan inti disebut naturalia dan aksidentalia (Mariam Darus Badrulzaman, 2005 : 25):

10 23 1. Esensialia Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel) 2. Naturalia Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dari benda yang dijual (vrijwaring) 3. Aksidentalia Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Mengenai orang-orang yang belum dewasa telah ditentukan dalam Pasal 1848 KUH Perdata yang menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa (Purwahid Patrik, 1994: 62). c. Asas-Asas Dalam Perjanjian Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, perjanjian sebagai sumber perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, yaitu undangundang, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk

11 24 melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak dan kewajiban yang pada lawan pihaknya, apa, kapan, di mana dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya tersebut (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004: 14). Menurut Salim HS (Salim HS., 2003: 9) asas-asas dalam hukum perjanjian yaitu: 1) Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan (R. Subekti, 1987: 13-14). Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk a) Membuat atau tidak membuat perjanjian; b) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; d) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. 2) Asas Konsensualisme Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320, Pasal 1338 KUH Perdata). Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak. 3) Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

12 25 Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (Pasal 1338 angka (1) KUH Perdata). 4) Asas Itikad Baik (Togoe Dentrow) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 angka (3) KUH Perdata). 5) Asas Kepribadian (Personalitas) Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga (Handri Raharjo, 2009 : 43-45). 3. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit a. Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian kredit dapat dilihat dalam Pasal KUH Perdata termasuk ke dalam kategori perjanjian pinjam meminjam. Pasal 1754 KUH Perdata menegaskan dengan bunyi: pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula (Sutarno, 2004 : 97). Perjanjian kredit perbankan di Indonesia mempunyai arti yang khusus dalam rangka pembangunan, tidak merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang yang biasa. Perjanjian kredit menyangkut kepentingan nasional (Mariam Darus Badrulzaman, 2005 : 105). Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere, yang berarti kepercayaan. Hal ini menunjukkan, bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur adalah

13 26 kepercayaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diijinkan oleh bank atau badan lain. Pengertian kredit tersebut menunjukkan, bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi hutangnya, tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya (Hermansyah, 2005 : 55). Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) sebagai berikut : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kemudian yang dimaksud dengan Perjanjian Kredit adalah perjanjian pemberian kredit antara pemberi kredit dan penerima kredit. Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pemberi kredit dan penerima kredit wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit. b. Pengertian Kredit Macet Perkembangan pemberian kredit yang paling tidak menggembirakan bagi pihak bank adalah apabila kredit yang diberikannya ternyata menjadi kredit bermasalah. Hal ini terutama disebabkan oleh kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran (cicilan) pokok kredit beserta bunga yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian kredit (Lukman, 2001 : 85). Kredit macet adalah suatu keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada

14 27 bank seperti yang telah diperjanjikan (Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, 2002 : 462). Ada beberapa pengertian kredit macet yaitu: 1) Kredit yang di dalam pelaksanaannya belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan oleh pihak kreditur; 2) Kredit yang memiliki kemungkinan timbulnya resiko di kemudian hari bagi kreditur dalam arti luas; 3) Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajibankewajibannya, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya dan atau pembayaran bunga, denda keterlambatan serta ongkos-ongkos kreditur yang menjadi beban nasabah yang bersangkutan; 4) Kredit dimana pembayaran kembalinya dalam bahaya, terutama apabila sumber-sumber pembayaran kembali yang diharapkan codmipmerikt itroakuasner tidak cukup untuk membayar kembali kredit sehingga belum mencapai/memenuhi target yang diinginkan oleh kreditur; 5) Kredit dimana terjadi cidera janji dalam pembayaran kembali sesuai perjanjian, sehingga terdapat tunggakan, atau ada potensi kerugian di perusahaan nasabah sehingga memiliki kemungkinan timbulnya resiko di kemudian hari bagi kreditur dalam arti luas; 6) Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajibankewajibannya terhadap kreditur, baik dalam bentuk pembayaran kembali pokoknya, pembayaran bunga, pembayaran ongkos-ongkos kreditur yang menjadi beban nasabah yang bersangkutan; dan

15 28 7) Kredit golongan perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet serta golongan lancar yang berpotensi menunggak ( pengertian-kredit-bermasalah/#ixzz1gbv4SOTP diakses pada Kamis, 31 Januari 2016, 07:25). c. Fungsi Perjanjian Kredit Fungsi-fungsi perjanjian kredit yaitu (Gatot Wardoyo, 1992 : 64-69): a) Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditur dan debitur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. Hak debitur adalah menerima pinjaman dan menggunakan sesuai tujuannya. Dan kewajiban debitur adalah mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak kreditur adalah untuk mendapat pembayaran kembali pokok dan bunga. Kewajiban kreditur adalah meminjamkan sejumlah uang kepada debitur. b) Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dibantu dari ketentuan perjanjian kredit. c) Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak

16 29 bergerak milik debitur atau milik pihak ketiga yang harus dilakukan pengikatan jaminan. d) Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang debitur artinya perjanjian kredit tidak mempunyai kekuatan eksekutorial atau tidak memberikan kekuasaan langsung kepada bank atau kreditur untuk mengeksekusi barang jaminan apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya (wanprestasi). 4. Tinjauan Tentang Jaminan Fidusia a. Pengertian Jaminan Fidusia Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia, definisi fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sementara itu pengertian jaminan fidusia sendiri adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda (Nur Amin Solikhah, Pranoto, dan Al. Sentot Sudarwanto, 2015 : 9). Gatot Wardoyo (Gatot Wardoyo, 1992 : 206) menyatakan unsur atau elemen pokok jaminan fidusia adalah: 1. Jaminan fidusia adalah agunan untuk pelunasan utang;

17 30 2. Utang yang dijamin jumlahnya tertentu; 3. Obyek jaminan fidusia adalah benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud, benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang penguasaan benda jaminan tersebut masih dalam kekuasaan pemberi fidusia; 4. Jaminan fidusia memberikan hak preferen atau hak diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain; 5. Hak milik atas benda jaminan berpindah kepada kreditur atas dasar kepercayaan tetapi benda tersebut masih dalam penguasaan pemilik benda. b. Obyek Jaminan Fidusia Hal-hal yang sangat khusus, atas satu obyek (benda) jaminan fidusia dapat diberikan lebih dari satu fidusia, yakni dalam hal pemberian kredit secara konsorsium (atau sindikasi). Namun demikian, perlu kejelasan benda yang bagaimanakah yang dapat menjadi obyek jaminan fidusia tersebut. Ketentuannya terdapat antara lain dalam Pasal 1 angka (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 UUJF. Benda-benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut adalah sebagai berikut: (1) Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum; (2) Dapat atas benda berwujud; (3) Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang; (4) Benda bergerak; (5) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan;

18 31 (6) Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik; (7) Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri; (8) Dapat atas satu satuan atau jenis benda; (9) Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda; (10) Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi obyek fidusia; (11) Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; (12) Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi obyek jaminan fidusia (Munir Fuady, 2000 : 22). Pembebanan fidusia yang berobyekkan barang persediaan ini, dalam hukum Anglo Saxon dikenal dengan nama Floating Loan atau Floating Charge. Disebut dengan floating (mengambang) karena jumlahnya benda yang menjadi obyek jaminan sering berubahubah sesuai dengan persediaan stok mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut (Munir Fuady, 2000 : 23). c. Prosedur Pembebanan Fidusia Tahap-tahap pembebanan fidusia adalah rangkaian perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta Jaminan Fidusia sampai dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia. Rangkaian perbuatan hukum tersebut memerlukan beberapa tahap sebagai berikut (Fatma Paparang, 2014 : 59):

19 32 1. Tahap Pertama yaitu Pembebanan Sesuai dengan Pasal 5, 6, 7, menekankan mekanisme pembebanan yaitu kedua belah pihak bersepakat datang kepada notaris untuk membuat perjanjian fidusia. Tahapan pembebanan yaitu persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian fidusia. Dalam pasal perjanjian kredit harus dirumuskan utang yang pelunasannya dijamin fidusia dengan contoh perumusan. Untuk lebih menjamin pembayaran kembali pinjaman, baik hutang pokok, bunga, dan denda serta biaya-biaya lainnya oleh debitur kepada kreditur berdasarkan perjanjian kredit ini, termasuk segala perubahannya apabila ada, debitur memberikan jaminan berupa bendabenda bergerak yang akan dilakukan pembebanan dengan Jaminan Fidusia. Selanjutnya di tahap ini ada tahap pendaftaran yaitu pendaftaran yang dilakukan oleh kantor Departemen Hukum dan HAM terkait dengan jaminan fidusia. Tahap pembebanan diatur dalam Pasal 4, 5, dan 6 UUJF. Sebagai perjanjian ikutan (acesoir) Jaminan Fidusia timbul oleh karena adanya perjanjian pokok. 2. Tahap Kedua, yaitu Penentuan tentang Hutang yang Dapat Dijamin Proses selanjutnya yaitu ketika kedua belah pihak datang kepada notaris, maka pihak notaris akan melihat dan menentukan hutang yang dapat dijamin sebagaimana sudah diatur dalam perundang-undangan fidusia Nomor 42 tahun Pentingnya penentuan hutang yang dapat dijamin, karena tidak semua benda terutama benda tidak bergerak boleh dijaminkan dengan fidusia. Dalam proses ini, notaris akan melihat aturan-aturan yang terkait dengan kriteria dan sistem penjaminan.

20 33 3. Tahap Ketiga, yaitu Pemberian Sertifikat Jaminan Fidusia Tahap penting dalam pembebanan jaminan fidusia yaitu pemberian Akta Jaminan Fidusia. Dengan pemberian Akta Jaminan Fidusia, kedua belah pihak telah terikat pada perjanjian jaminan penjaminan fidusia. Aspek-aspek yang termuat dalam perjanjian sesuai dengan Pasal 6 yaitu : a) identifikasi pemberi dan penerima jaminan fidusia; b) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c) uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; d) nilai penjamin; dan e) nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 4. Tahap Keempat, yaitu Pendaftaran Fidusia Untuk semakin mempertegas proses pendaftaran jaminan fidusia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia yang termuat dalam Pasal 2 sebagai berikut: a. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia diajukan kepada Menteri. b. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia melalui kantor oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. c. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (2) dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri mengenai penerimaan negara bukan pajak.

21 34 d. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (2) dilengkapi dengan: 1) salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia 2) surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia 3) bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (3) e. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam angka (2) dilakukan dengan mengisi formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pendaftaran jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tersebut untuk memenuhi asas publisitas yang artinya dengan pendaftaran itu masyarakat dapat mengetahui setiap saat dengan melihat di Kantor Pendaftaran Fidusia apakah benda-benda telah dibebani dengan jaminan fidusia atau belum. Dengan asas publisitas dapat memberikan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Pasal 18 UUJF sebagai perwujudan dari asas publisitas menegaskan bahwa segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada pada kantor pendaftaran fidusia untuk umum. d. Hapusnya Jaminan Fidusia Mengenai hapusnya jaminan fidusia undang-undang fidusia telah menetapkan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan hapusnya jaminan fidusia yaitu: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia Sesuai sifat jaminan fidusia yang merupakan ikutan atau accessoir dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit

22 35 atau perjanjian utang artinya ada atau tidaknya jaminan fidusia tergantung perjanjian utangnya. Jadi apabila utang telah dilunasi maka perjanjian kredit menjadi berakhir sehingga otomatis jaminan fidusia yang keberadaannya atau eksistensinya tergantung dari perjanjian kredit atau perjanjian utang menjadi hapus juga. Hapusnya utang dapat disebabkan berbagai hal misalnya karena ada pelunasan utang atau penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau novasi/pembaruan utang atau pembebasan utang dan lainlain. Hapusnya jaminan fidusia yang disebabkan hapusnya utang karena pembayaran/pelunasan utang merupakan cara yang paling banyak terjadi. Adanya pelunasan hutang dapat dibuktikan dari keterangan tertulis dari kreditur. Hapusnya utang mengakibatkan hapusnya jaminan fidusia sebagai hak accessoir. b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur) Kreditur sebagai penerima fidusia dapat saja melepaskan jaminan fidusia artinya kreditur tidak menginginkan lagi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia menjadi jaminan lagi, misalnya karena terjadi penggantian jaminan sehingga jaminan lama dihapuskan. Hapusnya jaminan fidusia karena dilepaskan oleh kreditur sebagai penerima fidusia dapat dilakukan dengan keterangan atau pernyataan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur atau pemberi fidusia. Keterangan tertulis dari kreditur ini diperlukan sebagai bukti untuk melakukan roya

23 36 jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia agar beban jaminan fidusia pada benda tersebut menjadi bebas kembali. c. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia Obyek jaminan fidusia berupa benda bergerak berwujud, benda bergerak tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan. Apabila benda yang obyek jaminan fidusia tersebut musnah disebabkan misalnya karena kebakaran, hilang dan penyebab lainnya maka jaminan fidusia menjadi hapus. Kalau benda yang menjadi obyek jaminan fidusia diasuransikan kemudian benda tersebut musnah maka dengan musnahnya benda tersebut tidak menghapuskan klaim asuransi. Dengan demikian hak-hak asuransi dapat dipakai sebagai pengganti obyek jaminan fidusia yang musnah sebagai sumber pelunasan hutang debitur. Perlu dipahami bahwa dengan musnahnya obyek jaminan fidusia tidak mengakibatkan hapusnya benda jaminan fidusia, tidak mengakibatkan utangnya yang dijamin, debitur tetap mempunyai kewajiban untuk melunasi hutangnya sesuai perjanjian kredit/perjanjian utang. Hapusnya jaminan fidusia tidak mengakibatkan perjanjian pokok tetapi hapusnya perjanjian kredit mengakibatkan hapusnya perjanjian jaminan fidusia (Fatma Paparang, 2014 : 56).

24 37 B. Kerangka Pemikiran Perjanjian Kredit Jaminan Fidusia Pengalihan Benda Jaminan Fidusia Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Penyelesaian Keterangan: Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang diangkat oleh penulis. Perjanjian kredit yang dilakukan oleh debitur dan kreditur yang sepakat untuk mengikatkan diri merupakan perjanjian yang mensyaratkan adanya jaminan di dalam pemberian kredit. Hal itu dilakukan oleh bank selaku kreditur untuk memenuhi asas-asas perkreditan. Dari perjanjian kredit yang mengharuskan adanya jaminan ini maka lahir perjanjian jaminan fidusia.

25 38 Perjanjian kredit ini dalam pelaksanaannya menimbulkan permasalahan seperti adanya kredit macet pada benda jaminan fidusia yang tentunya merugikan kreditur apabila tidak dilakukan upaya penanganannya. Permasalahan lain yang muncul adalah dengan benda jaminan fidusia yang masih dikuasai oleh debitur, maka terjadi sebuah pelanggaran dengan mengalihkan benda jaminan fidusia kepada pihak lain. Debitur tentu sangat dirugikan dalam hal ini. Sehingga bank sebagai kreditur tentu mempunyai kebijakan yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dalam mengahadapi permasalahan-permasalahan di atas.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015 PEMBERLAKUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK MENURUT HUKUM PERDATA TERHADAP PELAKSANAANNYA DALAM PRAKTEK 1 Oleh : Suryono Suwikromo 2 A. Latar Belakang Didalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM A. Segi-segi Hukum Perjanjian Mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian pada umumnya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Buku

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT A. Pengertian Hukum Jaminan Kredit Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling, zekerheidsrechten atau security of law. Dalam Keputusan

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Oleh Rizki Kurniawan ABSTRAK Jaminan dalam arti luas adalah jaminan

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Uraian Teori Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian perjanjian, pembiayaan leasing dan teori fidusia. 2.1.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI A. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11 BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A.Pengertian Perjanjian Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pada masa sekarang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengatasi ketimpangan ekonomi guna mencapai kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi

Lebih terperinci

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum mengenai pembuatan suatu kontrak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN GADAI DAN PEGADAIAN. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN GADAI DAN PEGADAIAN. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN GADAI DAN PEGADAIAN A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, perjanjian melahirkan perikatan,

Lebih terperinci

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT Rochadi Santoso rochadi.santoso@yahoo.com STIE Ekuitas Bandung Abstrak Perjanjian dan agunan kredit merupakan suatu hal yang lumrah dan sudah biasa dilakukan dalam

Lebih terperinci

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW) Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata: Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Oleh: Nama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Hukum Perikatan Pada Umumnya 1. Pengertian Perikatan Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengertian perjanjian di dalam Buku III KUH Perdata diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata,

Lebih terperinci

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA 25 BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum, 19 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perjanjian Pembiayaan konsumen Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya Perjanjan memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun bukan berarti didalam suatu perjanjian kredit tersebut tidak ada risikonya. Untuk menghindari wanprestasi

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN 87 BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN A. Penyebab Terjadinya Take Over Pembiayaan di PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Take

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT PERJANJIAN KREDIT Yang bertanda tangan di bawah ini : I. ------------------------------------- dalam hal ini bertindak dalam kedudukan selaku ( ------ jabatan ------- ) dari

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT. Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat

Lebih terperinci

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA A. PENDAHULUAN Pada era globalisasi ekonomi saat ini, modal merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan untuk memulai dan mengembangkan usaha. Salah satu cara untuk

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai undang-undang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Secara umum pengertian perjanjian terdapat dalam Pasal 1313 KUHPdt yaitu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia di dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK. kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : 7. a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK 1. Pengaturan Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian secara umum dapat dilihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu suatu perbuatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi Perjanjian

Lebih terperinci

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN Rosdalina Bukido 1 Abstrak Perjanjian memiliki peran yang sangat penting dalam hubungan keperdataan. Sebab dengan adanya perjanjian tersebut akan menjadi jaminan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA

PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA http://www.thepresidentpostindonesia.com I. PENDAHULUAN Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian, 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI 2.1 Pengertian Perjanjian Kredit Pasal 1313 KUHPerdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata, dibawah judul Tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 25 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI 2.1 Pengertian Gadai Salah satu lembaga jaminan yang obyeknya benda bergerak adalah lembaga gadai yang diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN A. Tinjauan Terhadap Hipotik 1. Jaminan Hipotik pada Umumnya Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani* Al Ulum Vol.61 No.3 Juli 2014 halaman 17-23 17 AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Istiana Heriani* ABSTRAK Masalah-masalah hukum yang timbul dalam perjanjian

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA PELAKSANAAN PERJANJIAN FIDUSIA PADA FIF ASTRA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA Agustina Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gresik ABSTRAK Fidusia

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring. 28 BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata sebagai bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari IV buku. Buku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua)

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Perjanjian Dalam menjalankan bisnis pada dasarnya manusia tidak bisa melakukannya dengan sendiri, tetapi harus dilakukan secara bersama atau dengan mendapat bantuan

Lebih terperinci

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Menurut sistem terbuka yang mengenal adanya asas kebebasan berkontrak

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM. PERIKATAN & PERJANJIAN Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan verbintenis, yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia modern seperti sekarang ini, banyak orang atau badan hukum yang memerlukan dana untuk mengembangkan usaha, bisnis, atau memenuhi kebutuhan keluarga (sandang,pangan,dan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Wanprestasi Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Pembangunan nasional suatu bangsa mencakup di dalamnya pembangunan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan peran serta lembaga keuangan untuk

Lebih terperinci

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Perjanjian Dalam istilah perjanjian atau kontrak terkadang masih dipahami secara rancu, banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan adanya alat bukti tertulis dalam suatu pembuktian di persidangan mengakibatkan setiap perbuatan hukum masyarakat yang menyangkut pihak-pihak sebaiknya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan A. Pengertian Perjanjian Jual Beli BAB II PERJANJIAN JUAL BELI Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan paling pokok dalam kehidupan manusia. Rumah sebagai tempat berlindung dari segala cuaca sekaligus sebagai tempat tumbuh kembang

Lebih terperinci

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C. PROSES PELAKSANAAN SITA PENYESUAIAN TERHADAP BARANG TIDAK BERGERAK YANG DIAGUNKAN ATAU DIJAMINKAN DI BANK SWASTA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Sejarah dan Pengertian Jaminan Fidusia Fidusia berasal dari kata fides yang artinya adalah kepercayaan. Sesuai dengan arti dari kata ini, maka hubungan hukum

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya selalu terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D101 07 022 ABSTRAK Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Tanpa perjanjian kredit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering kita mendapati perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan di masyarakat sering dijumpai perbuatan hukum peminjaman uang antara dua orang atau lebih. Perjanjian yang terjalin antara dua orang atau disebut

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( ) PENGERTIAN PERJANJIAN KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) (166010200111038) FANNY LANDRIANI ROSSA (02) (166010200111039) ARLITA SHINTA LARASATI (12) (166010200111050) ARUM DEWI AZIZAH

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN A. Dasar Hukum Memorandum Of Understanding Berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi : Kemudian daripada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang akan mengajukan pinjaman atau kredit kepada bank. Kredit merupakan suatu istilah

Lebih terperinci

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA NO. URAIAN GADAI FIDUSIA 1 Pengertian Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor (si berpiutang) atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya 16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja.

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339 KEWENANGAN MENJUAL SENDIRI (PARATE EXECUTIE) ATAS JAMINAN KREDIT MENURUT UU NO. 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN 1 Oleh: Chintia Budiman 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK Sularto MHBK UGM PERISTILAHAN Kontrak sama dengan perjanjian obligatoir Kontrak sama dengan perjanjian tertulis Perjanjian tertulis sama dengan akta Jadi antara istilah kontrak,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, untuk mewujudkan hal tersebut salah satunya melalui lembaga perbankan, lembaga tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA A. Pengertian Dan Dasar Hukum Jaminan Fidusia 1. Pengertian Jaminan Fidusia Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis formal diakui

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

Lebih terperinci

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN Selamat malam semua Bagaimana kabarnya malam ini? Sehat semua kan.. Malam ini kita belajar mengenai Asas-asas dalam Hukum Perjanjian ya.. Ada yang tahu asas-asas apa saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 44 BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK 3.1 Hubungan Hukum Antara Para Pihak Dalam Perjanjian Kartu Kredit 3.1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. KUHPerdata sehingga disebut perjanjian tidak bernama. Dalam Buku III

BAB I PENDAHULUAN. KUHPerdata sehingga disebut perjanjian tidak bernama. Dalam Buku III BAB I PENDAHULUAN Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. 1 Dalam kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA, SH.MH 1 Abstrak : Eksekusi Objek Jaminan Fidusia di PT.Adira Dinamika Multi Finance Kota Jayapura

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan a. Pengertian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan P engertian mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kebutuhan yang sangat besar

Lebih terperinci

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (kreditur)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama oleh instansi-instansi yang menurut Undang-Undang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. terutama oleh instansi-instansi yang menurut Undang-Undang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian kredit macet perbankan yang terjadi pada bank-bank umum terutama pada bank umum milik pemerintah wajib di intensifkan dan harus dilaksanakan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial tidak terlepas dari adanya pembangunan ekonomi bangsa indonesia

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM 1 KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ANTARA KEJAKSAAN TINGGI GORONTALO DENGAN PT. BANK SULAWESI UTARA CABANG GORONTALO DALAM PENANGANAN KREDIT MACET RISNAWATY HUSAIN 1 Pembimbing I. MUTIA CH. THALIB,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanggung Jawab Sikap tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai tanggung jawab itu sendiri terdapat beberapa pengertian

Lebih terperinci

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan 2 Prof. Subekti Perikatan hubungan hukum antara 2 pihak/lebih, dimana satu pihak

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain sebagai makhluk sosial dimana manusia saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, sebuah dimensi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lebih terperinci