BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan beserta studi literatur terhadap ke-10 kriteria yang dibahas dalam studi ini, maka selanjutnya diuraikan mengenai hasil analisis dan pembahasan dari 10 (sepuluh) kriteria yang dibahas dalam studi ini. A. KRITERIA PELABUHAN YANG DAPAT DIUSAHAKAN SECARA KOMERSIAL DAN NON KOMERSIAL 1. Pelabuhan yang dapat diusahakan secara komersial Dalam pasal 5 PP 61 Tahun 2009 tentang kepelabuhanan dijelaskan bahwa pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan pengusahaan. Dalam hal pengusahaan atau sudut jasa yang diberikan, pelabuhan dibagi menjadi pelabuhan yang dapat dikomersialkan dan non komersial. Komersial berarti pelabuhan merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan keuntungan bagi penyedia jasa di pelabuhan. Pelabuhan yang diusahakan adalah pelabuhan dalam binaan Pemerintah yang sesuai kondisi, kemampuan dan pengembangan potensinya, diusahakan menurut azas hukum perusahaan. Pelabuhan yang diusahakan harus didukung oleh fasilitas bangunan pelabuhan yang merupakan seluruh bangunan atau konstruksi yang berada dalam daerah kerja pelabuhan, baik itu di darat maupun di laut yang merupakan sarana pendukung guna memperlancar jalannya kegiatan yang ada dalam pelabuhan. Fasilitas tersebut dapat berupa fasilitas pokok dan fasilitas penunjang sebagaimana yang diatur dalam PP 61 Tahun 2009 pasal 22 ayat 2. Fasilitas pokok meliputi: a. dermaga; b. gudang lini 1; c. lapangan penumpukan lini 1; d. terminal penumpang; e. terminal peti kemas; f. terminal ro-ro; g. fasilitas penampungan dan pengolahan limbah; h. fasilitas bunker; Laporan Akhir V - 1

2 i. fasilitas pemadam kebakaran; j. fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3); dan k. fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP). Fasilitas tambat atau yang biasa disebut dermaga merupakan salah satu fasilitas di pelabuhan sebagai sarana tambatan bagi kapal yang sandar untuk bongkar muat barang atau naik turun penumpang. Untuk pelabuhan yang diusahan secara komersial, tentunya akan dipungut biaya sandar, biaya bongkar muat, biaya pandu dan sebagainya. Gudang merupakan tempat menyimpan barang-barang. Gudang terminal merupakan tempat penimbunan barang-barang yang dibongkar dari kapal menunggu dikeluarkan dari pelabuhan. Di pelabuhan dikenal gudang lini I dan gudang lini II. Gudang lini II merupakan gudang yang lokasinya di daerah terminal pelabuhan, yang terdiri dari gudang tertutup dan gudang terbuka. Gudang laut dikenal dengan gudang lini I, yaitu gudang yang lokasinya di terminal laut (shipping terminal) terdiri dari gudang tertutup dan gudang terbuka. Gudang laut berada di bawah pengawasan Bea Cukai, digunakan gudang transit bagi lalu lintas barang dan lokasinya berhadapan langsung dengan dermaga. Selain dermaga dan gudang, lapangan penumpukan merupakan bagian terpenting dalam memperlancar arus kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan. Lapangan penumpukan merupakan tempat penyimpanan sementara peti kemas sebelum dimuat maupun yang sudah dibongkar. Pelabuhan menyediakan beberapa terminal sebagai tempat kegiatan bongkar muat barang maupun tempat naik turun penumpang seperti terminal peti kemas, terminal curah cair/curah kering, terminal penumpang dan terminal Ro Ro. Pelabuhan yang diusahakan memiliki beberapa jenis terminal yang penggunaannya tentunya akan dipungut biaya. Selain fasilitas pokok, pelabuhan juga harus didukung oleh fasilitas penunjang sebagaiman dijelaskan dalam pasal 22 ayat 3 PP 61Tahun 2009, yaitu: a. kawasan perkantoran; b. fasilitas pos dan telekomunikasi; c. fasilitas pariwisata dan perhotelan; d. instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi; e. jaringan jalan dan rel kereta api; Laporan Akhir V - 2

3 f. jaringan air limbah, drainase, dan sampah; g. areal pengembangan pelabuhan; h. tempat tunggu kendaraan bermotor; i. kawasan perdagangan; j. kawasan industri; dan k. fasilitas umum lainnya. Selain fasilitas pokok dan penunjang yang menjadi kriteria pelabuhan yang diusahakan, terdapat beberapa aspek lain yang dinilai menjadi kriteria juga, yaitu: a. Dikelola oleh badan usaha pelabuhan yang memiliki kompetensi di bidang kepelabuhanan Pelabuhan yang diusahakan sebagaimana diatur dalam UU 17 Tahun 2008 dikelola oleh badan usaha untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan. Dalam pasal 91 ayat 1 UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran disebutkan bahwa kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Jasa Pelabuhan sesuai dengan jenis izin usaha yang dimilikinya. b. Memiliki fasilitas telekomunikasi Fasilitas telekomunikasi harus dimiliki oleh pelabuhan yang diusahakan secara komersial untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 178 ayat 3, bahwa pengadaan telekomunikasi pelayaran dapat dilakukan oleh badan usaha. Fasilitas telekomunikasi merupakan salah satu fasilitas penunjang yang harus dimiliki oleh pelabuhan yang diusahakan secraa komersial. c. Didukung oleh SDM di bidang kepelabuhanan yang bersertifikat Kegiatan penyediaan dan/atau jasa kepelabuhanan dapat dilakukan oelh badan usaha yang didukung oleh SDM yang kompeten di bidang kepelabuhanan agar dapat memebrikan pelayanan yang prima kepada pengguna jasa pelabuhan. Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disusun diagram fishbone untuk menentukan kriteria pelabuhan yan dapat diusahakan secara komersil yang dapat dilihat pada Gambar 5.1 di bawah ini. Laporan Akhir V - 3

4 Pengelola Dan SDM TKBM SDM operasional. Fasilitas Pendukung Pemadam Kebakaran Petugas keamanan Bunker Service Badan Usaha Pelabuhan Arus kapal Arus penumpang Water Supply Keselamatan dan keamanan pelayaran Listrik Fasilitas SBNP Fasilitas telekomunikasi Sarana/transportasi darat (truk, KA) Pelayanan Meteorologi Pelayanan Pemanduan Kesiapan Fasilitas pokok Alur Dermaga Terminal Penumpang Gudang/ Penumpukan Instansi lain di pelabuhan, seperti BC, karantina, imigrasi lapangan Kriteria pelabuhan yang diusahakan secara komersil Arus barang Ketersediaan akses jalan/ka Perbankan Troughput Aksesibilitas ke pelabuhan Dukungan sektor lain Gambar 5.1. Diagram Fishbone Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersil Berdasarkan diagram fishbone tersebut, selanjutnya dijabarkan aspek yang dinilai menjadi kriteria dan sub kriteria dari pelabuhan yang dapat dikomersilkan yang mengacu kepada peraturan yang ada dan literatur lainnya. Hasil pengolahan opini responden didapatkan bobot masing-masing aspek yang dapat dilihat pada Tabel 5.1. di bawah ini. Tabel 5.1. Hasil Pembobotan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Komersial Kriteria Pelabuhan Komersial 1 Memiliki fasilitas dermaga 7,979 2 Memiliki gudang 7,979 3 Memiliki lapangan penumpukan 7,100 4 Memiliki terminal penumpang 7,979 5 Memiliki fasilitas pemadam kebakaran 7,979 6 Memiliki fasilitas bunker 6,037 Laporan Akhir V - 4

5 Kriteria Pelabuhan Komersial 7 Memiliki fasilitas gudang untuk barang berbahaya dan beracun 5,940 8 Memiliki fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan SBNP 5,424 9 Memiliki kawasan perkantoran 5, Memiliki instalasi air bersih, listrik, dan perhotelan 5, Memiliki fasilitas umum lainnya 4, Memiliki kolam pelabuhan untuk sandar dan olah gerak kapal 7, Dikelola oleh badan usaha pelabuhan yang memiliki kompetensi di bidang kepelabuhanan 6, Memiliki fasilitas telekomunikasi 7, Didukung oleh SDM di bidang kepelabuhanan yang bersertifikat Sumber : Data primer (diolah) 6,769 Total 100,000 Dari 15 (lima belas) aspek yang dinilai, masing-masing memiliki bobot yang nilainya hampir sama, dan aspek yang memiliki bobot terbesar adalah memiliki fasilitas dermaga, gudang, terminal penumpang, fasilitas pemadam kebakaran dan kolam pelabuhan. Posisi kedua dan ketiga adalah memiliki fasilitas telekomunikasi dan fasilitas lapangan penumpukan. Dari setiap aspek yang menjadi kriteria dijabarkan menjadi sub kriteria dengan hasil pembobotan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.2. berikut ini. Tabel 5.2. Hasil Pembobotan Sub Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Komersial Aspek dan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Komersial Memiliki fasilitas dermaga 7,979 a. Ukuran lebih besar dari yang eksisting 1,571 b. Alat bongkar muat dengan kapasitas besar 1,421 c. memiliki peralatan bongkar muat sesuai dengan jenis muatan kapal 1,571 Laporan Akhir V - 5

6 d. Aspek dan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Komersial Memiliki jalan untuk lalulintas kendaraan pengangkut dan penumpang sangat lebar 1,571 e. Sistem pengamanan yang ketat 1,844 2 Memiliki gudang 7,979 a. Memiliki gudang yang khusus untuk setiap jenis muatan 1,955 b. Memiliki gudang terbuka 1,769 c. Memiliki gudang tertutup 1,854 d. Pengamanan gudang 2,401 3 Memiliki lapangan penumpukan 7,100 a. Memiliki ukuran minimal untuk lapangan penumpukan curah 1,131 b. Memiliki ukuran minimal untuk lapangan penumpukan kontainer 1,122 c. Fasilitas lampu penerangan 1,183 d. Pengamanan 1,305 e. Pemagaran 1,175 f. Memiliki pos jaga 1,183 4 Memiliki terminal penumpang 7,979 a. Memiliki tempat tunggu yang nyaman dan ber-ac 1,541 b. Memiliki tempat masuk dan keluar yang tertata rapih dan teratur untuk masuk-keluar penumpang 1,814 c. Memiliki tempat tunggu khusus (Lounge) 1,541 d. Memiliki tempat pembelian tiket 1,541 e. Memiliki pengamanan yang baik 1,541 5 Memiliki fasilitas pemadam kebakaran 7,979 a. Memiliki kendaraan pemadam kebakaran dengan ukuran paling besar 1,541 b. Memiliki kendaraan pemadam kebakaran ukuran kecil 1,333 c. Memiliki ambulance 1,596 d. Mempunyai personil pemadam kebakaran yang terlatih 1,755 e. Sistem komunikasi keadaan darurat apabila terjadi 1,755 kebakaran 6 Memiliki fasilitas bunker 6,037 a. Memiliki bunker yang terpisah antara kepentingan umum dengan kepentingan khusus 1,400 Laporan Akhir V - 6

7 7 8 b. Aspek dan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Komersial Memiliki ukuran yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan, termasuk cadangan dalam jangka waktu 1 bulan 1,400 c. Sistem pengamanan pada bunker 1,529 d. Pengaturan pelayanan bongkar muat 1,708 Memiliki fasilitas gudang untuk barang berbahaya dan 5,940 beracun a. Lokasi tersendiri dan khusus 1,490 b. Jarak kurang lebih 3 Mil dari tepi pantai 1,410 c. Sistem pengamanan daerah B3 1,550 d. Monitoring daerah B3 1,490 Memiliki fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan 5,424 SBNP a. Memiliki workshop khusus dan lengkap 1,742 b. Memiliki lapangan tempat peletakan SBNP 1,941 c. Berada di dalam pelabuhan 1,742 9 Memiliki kawasan perkantoran 5,256 a. kawasan perkantoran satu atap 1,018 b. Berada di dalam kawasan pelabuhan 0,949 c. Ukuran kantor besar 0,984 d. Memiliki taman dan pepohonan 1,052 e. Keamanan terpadu 1, Memiliki instalasi air bersih, listrik, dan perhotelan 5,256 a. b. Memiliki instalasi pembangkit air tawar (jenis Reverse Osmosis) Memiliki instalasi pembangkit air tawar (jenis Fresh Water Generator) 1,026 0,922 c. mempunyai gardu listrik PLN khusus pelabuhan 1,101 d. Memiliki gardu listrik kapasitas besar untuk seluruh kawasan pelabuhan 1,285 e. Memiliki hotel yang dikelola oleh pelabuhan 0, Memiliki fasilitas umum lainnya 4,294 a. Food court 0,888 b. Rumah sakit 1,139 c. Tempat ibadah 1,233 d. Taman 1,034 Laporan Akhir V - 7

8 12 13 Aspek dan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Komersial Memiliki kolam pelabuhan untuk sandar dan olah gerak kapal Ukuran kolam pelabuhan minimal 2 X LOA kapal yang a. diijinkan b. c. d. Memiliki kedalaman (draft) minimal sesuai kapal yang diijinkan Ukuran tempat sandar minimal 2X LOA kapal yang bersandar Memiliki kedalaman (draft) tempat sandar minimal sesuai kapal yang diijinkan Dikelola oleh badan usaha pelabuhan yang memiliki kompetensi di bidang kepelabuhanan a. Badan usaha adalah perusahaan minimal dan perusahaan terbatas (PT) 7,979 1,927 1,927 1,927 2,197 6,379 1,589 b. c. memiliki SDM yang bersertifikat untuk melakukan kegiatan pelabuhan Memiliki pengalaman pengaturan kepelabuhanan sekurangkurangnya 5 tahun, minimal pada pelabuhan yang setara dengan dengan pelabuhan yang dikelola 1,701 1,544 Memiliki ijin badan usaha yang sesuai dengan kegiatan d. usahanya dan berhubungan dengan kegiatan yang 1,544 dikelolanya 14 Memiliki fasilitas telekomunikasi 7, a. telepon umum dan kemampuannya untuk interlokal dan internasional 2,322 b. Pelayanan faxcimile umum 2,322 c. Pelayanan internet (Hot Spot) 3,005 Didukung oleh SDM di bidang kepelabuhanan yang 6,769 bersertifikat Minimal dari pendidikan sekolah pelayaran yang a. 1,577 terakreditasi b. c. d. Memiliki sertifikat dengan pendidikan training yang diselenggarakan oleh badan pelatihan yang terakreditasi Memiliki senior expert minimal 1 orang dan junior yang jumlahnya sesuai kebutuhan dalam mengelola setiap kegiatan Setiap 2 tahun melakukan training, drilling, dan exercise, dengan bidang yang dimiliki oleh SDM tersebut Sumber : Data primer (diolah) 1,698 1,918 1,577 Laporan Akhir V - 8

9 Berdasarkan hasil pembobotan diatas, maka dapat disusun kriteria pelabuhan yang dapat diusahakan secara komersil dengan urutan sebagai berikut: a. Terdapat fasilitas dermaga dan fasilitas pendukungnya di dermaga termasuk alat bongkar muat yang sesuai dengan peruntukannya; b. Fasilitas darat yang dimiliki pelabuhan dapat mendukung operasional pelabuhan, antara lain gudang terbuka dan tertutup, lapangan penumpukan untuk kontainer, curah, cair dan terminal penumpang; c. Fasilitas perairan yang dimiliki pelabuhan dapat mendukung operasional pelabuhan, antara lain kapal pandu/ tug boat, perambuan dan SBNP, alur laut, kolam pelabuhan dan fasilitas lainnya yang diperlukan pelabuhan; d. Fasilitas pencegahan dan penanggulangan bencana, seperti pemadam kebakaran, ambulan, pengelolaan tumpahan minyak dan sistim komunikasi dalam keadaan bahaya; e. Fasilitas bunker, air, dan ketersediaan listrik yang dapat digunakan untuk kebutuhan operasional pelabuhan maupun pelayanan kepada kapal; f. Memiliki fasilitas pendukung perkantoran, rumah ibadah, kantin dan dukungan instansi lain yang terkait, seperti perbankan, bea dan cukai, imigrasi, karantina dan forwaders untuk mendukung operasional pelabuhan; g. Memiliki SDM yang mempunyai kompetensi pengelolaan pelabuhan yang memadai dan diberikan pelatihan secara periodik; h. Dikelola oleh badan usaha pelabuhan yang memiliki izin dibidang pelabuhan dari instansi yang berwenang. 2. Pelabuhan yang dapat diusahakan secara non komersial Pelabuhan yang tidak diusahakan adalah pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai kondisi, kemampuan dan perkembangan potensinya masih lebih menonjol sifat "overheidszorg" dan atau yang belum ditetapkan sebagai pelabuhan yang diusahakan. Rencana lokasi dan hierarki pelabuhan yang tidak diusahakan adalah sebagai kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan nasional, pembukaan wilayah yang terisolir/terpencil dan pertumbuhan wilyah disekitar pelabuhan tersebut berada. Dalam Pasal 14 Ayat 1, PP 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan menjelaskan bahwa dalam penetapan rencana lokasi pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan lokal yang Laporan Akhir V - 9

10 digunakan untuk melayani angkutan laut harus berpedoman pada: a. Tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pemerataan serta peningkatan pembangunan kabupaten/kota; b. Pusat pertumbuhan ekonomi daerah; c. Jarak dengan pelabuhan pengumpan lainnya; d. Luas daratan dan perairan; e. Pelayanan penumpang dan barang antar kabupaten/kota dan/atau antar kecamatan dalam 1 (satu) kabupaten/kota; f. Kemampuan pelabuhan dalam melayani kapal Dalam Ayat 2 Pasal 14 menjelaskan bahwa untuk pelabuhan pengumpan lokal yang digunakan untuk melayani angkutan memperhatikan aksesabilitas jalan darat dan kereta api yang terdapat dalam kabupaten/kota Penyelenggaraan pelabuhan yang diusahakan dilakukan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) sebagaimana diatur dalam Pasal 44 PP 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, menyatakan bahwa: a. Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial; b. Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) dibentuk dan bertanggung jawab kepada: 1) Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) Pemerintah; dan 2) Gubernur atau bupati/walikota untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) pemerintah daerah. c. Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan, mempunyai tugas dan tanggung jawab: 1) Menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan dan alur pelayaran; 2) Menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi Pelayaran; 3) Menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan; 4) Menyusun rencana induk pelabuhan serta daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan; 5) Menjamin kelancaran arus barang; dan 6) Menyediakan fasilitas pelabuhan Laporan Akhir V - 10

11 d. Dalam kondisi tertentu pemeliharaan penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur pelayaran dapat dilaksanakan oleh pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang dituangkan dalam perjanjian konsesi. Sedangkan dalam Pasal 45 PP 61 Tahun 2009 tentang kepelabuhanan mengatur bahwa: a. Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP); b. Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dapat juga dilaksanakan oleh Badan Isaha Pelabuhan setelah mendapat konsesi dari Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP). Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat dibuatkan diagram tulang ikan/fishbone untuk kriteria pelabuhan yang diusahakan secara non komersil dapat dilihat pada Gambar 5.2. di bawah ini. SDM Keselamatan dan keamanan pelayaran Fasilitas pokok SDM operasional pelabuhan rintah SDM Bongkar Muat Petugas keamanan Arus kapal Arus penumpang Arus barang Fasilitas telekomunikasi SBNP Pelayanan Pemanduan Sarana/transportasi darat (truk, KA) Ketersediaan akses jalan/ka Alur Breakwater Dermaga Gudang / lapangan Penumpukan Transportasi antar kota/ kabupaten Pelayanan angkutan barang dan penumpang daerah terpencil Rute non reguler/ perintis Kriteria pelabuhan yang diusahakan secara non komersil Troughput/Volume skala kecil Aksesibilitas ke pelabuhan Fungsi Pelayanan Pelabuhan Gambar 5.2. Diagram Fishbone Kriteria Pelabuhan yang Diusahakan Secara Non Komersil Laporan Akhir V - 11

12 Berdasarkan diagram fishbone tersebut, selanjutnya dijabarkan aspek yang dinilai menjadi kriteria dan sub kriteria dari pelabuhan yang diusahakan secara non komersil yang mengacu kepada peraturan yang ada dan literatur lainnya. Hasil pengolahan opini responden didapatkan bobot masing-masing aspek yang dapat dilihat pada Tabel 5.3. di bawah ini. Tabel 5.3. Hasil Pembobotan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Non Komersial Kriteria Pelabuhan Non Komersial 1 Memiliki fasilitas tambat 16,790 2 Berfungsi melayani penumpang dan barang antar kecamatan dalam kabupaten/kota 13,933 3 Memiliki kondisi perairan yang terlindung dari gelombang 16,342 4 Volume kegiatan bongkar muat berskala kecil 14,214 5 Tidak dilalui jalur pelayaran transportasi laut reguler 12,253 6 Kedalaman minimal pelabuhan - 1,5 mlws 12,253 7 Berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil, terisolasi, perbatasan, daerah terbatas 14,214 Sumber : Data primer (diolah) Total 100,000 Dari 7 (tujuh) aspek yang dinilai, masing-masing memiliki bobot yang nilainya hampir sama, dan aspek yang memiliki bobot terbesar adalah memiliki fasilitas tambat termasuk didalamnya fasilitas area perairan dan alat bongkar muat yang sesuai. Posisi kedua dan ketiga adalah memiliki fasilitas kolam pelabuhan yang terlindungi dan berperan sebagai tempat pelayanan penumpang dan angkutan barang di daerah terpencil dan daerah terbatas. Dari setiap aspek yang menjadi kriteria dijabarkan menjadi sub kriteria dengan hasil pembobotan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.4. berikut ini. Laporan Akhir V - 12

13 Tabel 5.4. Hasil Pembobotan Sub Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Non Komersial Aspek dan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Non Komersial 1 Memiliki fasilitas tambat 16,790 2 a. Untuk ukuran kapal sesuai dengan ukuran pelabuhan 3,884 b. Fasilitas tambat selalu dalam kondisi terawat 4,339 c. Mudah untuk melakukan penambatan 3,884 d. Perlengkapan tambat sesuai spesifikasi standar keselamatan kapal Berfungsi melayani penumpang dan barang antar kecamatan dalam kabupaten/kota 4,682 13,933 a. Memiliki prosedur pengangkutan penumpang dan barang 2,790 b. Melayani rute kecamatan dalam kabupaten/kota 2,790 c. Fasilitas pusat informasi untuk pelayanan tiket penumpang dan barang 3,015 d. Memiliki tempat khusus naik turun penumpang dan barang untuk tujuan antar kecamatan dan kabupaten/kota 2,790 e. Melayani penumpang cacat 2,548 3 Memiliki kondisi perairan yang terlindung dari gelombang 16,342 a. Memiliki breakwater 3,385 b. Ketinggian breakwater minimal 2 kali dari gelombang 2,805 c. Konstruksi penahan gelombang sesuai dengan keadaan pelabuhan 3,771 d. Memiliki fasilitas lego jangkar 3,191 e. Memiliki perangkat pemantauan gelombang 3,191 4 Volume kegiatan bongkar muat berskala kecil 14,214 a. Memiliki pelayanan bongkar muat dengan ukuran kecil 3,443 b. Memiliki sarana dan prasarana bongkar muat 3,443 c. Memiliki SDM khusus menangani kegiatan ini 3,886 d. Memiliki prosedur bongkar muat berskala kecil 3,443 5 Tidak dilalui jalur pelayaran transportasi laut reguler 12,253 a. Mempunyai jalur pelayaran transportasi tersendiri 3,150 b. Mempunyai tanda SBNP tersendiri 2,962 c. Memiliki Pandu khusus 3,071 Laporan Akhir V - 13

14 Aspek dan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Secara Non Komersial d. Adanya pengawasan lalulintas pelayaran yang khusus 3,071 6 Kedalaman minimal pelabuhan - 1,5 mlws 12,253 7 a. Tidak memiliki gelombang yang melebihi syarat kapal saat berada pada kolam pelabuhan maupun daerah sandar 3,132 b. Pemberian tanda kedalaman pada daerah pelabuhan 2,857 c. Arus laut yang direduksi kecepatannya melalui konstruksi tertentu 3,132 d. Monitoring terhadap sedimentasi 3,132 Berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil, terisolasi, perbatasan, daerah terbatas yang hanya 14,214 didukung oleh moda transportasi a. Ketersediaan alur menuju ke daerah terpencil, terisolasi, perbatasan, dan daerah terbatas 2,501 b. Ketersediaan olah gerak kapal 3,071 c. Area pelabuhan untuk naik turun penumpang dan bongkar muat barang 3,071 d. Ketersediaan SBNP 2,786 e. Ketersediaan telekomunikasi 2,786 Sumber : Data primer (diolah) Berdasarkan hasil pembobotan diatas, maka dapat disusun kriteria pelabuhan yan diusahakan secara non komersil dengan urutan sebagai berikut: a. Memiliki fasilitas tambat, termasuk didalamnya dermaga dan sarana alat bongkar yang sesuai dengan kebutuhan operasional pelabuhan; b. Pelabuhan yang diusahakan secara non komersil ditujukan untuk melayani angkutan barang dan penumpang pada daerah terpencil dan terbatas; c. Melakukan kegiatan pelayanan angkutan barang dan penumpang dengan volume relatif kecil dibandingkan pelabuhan yang diusahakan secara komersil; d. Pelabuhan umumnya melayani kegiatan angkutan barang dan penumpang dengan jadwal kapal yang tidak reguler atau pelayanan terhadap kapal-kapal perintis dalam rangka public service obligation (PSO) dari pemerintah; e. Memiliki fasilitas perairan yang terlindung dari gelombang, mempunyai alur pelayaran yang aman didukung oleh SBNP yang memadai dan mempunyai kedalaman kolam pelabuhan yang sesuai dengan tujuan operasional pelabuhan; Laporan Akhir V - 14

15 f. Memiliki SDM yang cukup dan memadai dalam mendukung kegiatan operasional pelabuhan. Berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku bahwa Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhann, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. B. KRITERIA TRAYEK ANGKUTAN LAUT DAN LINTAS PENYEBERANGAN Trayek angkutan laut ditetapkan berdasarkan kebutuhan daerah akan pentingnya angkutan laut dan lintas penyeberangan untuk melaksanakan proses pemindahan barang dan penumpang antar pulau. Dengan telah diketahuinya beberapa akses pelabuhan yang dapat disinggahi kapal-kapal pengangkut akan terlihat kebutuhan sarana angkutan laut dari kegiatan kunjungan kapal ke masing-masing pelabuhan. Didalam UU 17 Tahun 2008 dijelaskan mengenai definisi trayek yang menyatakan bahwa rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Dijelaskan pula dalam pasal 2 dan pasal 9 mengenai keterpaduan dalam pelayaran yang disusun secara terpadu intra-maupun antarmoda dengan berdasarkan trayek tetap dan teratur (liner) serta dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper) yang semuanya dilakukan dalam jaringan trayek. Penyusunan jaringan trayek dilandasi pada pengembangan pusat industri, perdagangan dan pariwisata. Selanjutnya untuk memperhatikan pengembangan wilayah serta rencana umum tata ruang untuk menunjang keterpaduan inta-dan antarmoda transportasi guna perwujudan Wawasan Nusantara. Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur harus mempertimbangkan kelaiklautan kapal, berbendera Indonesia serta diawaki oleh warga negara Indonesia. Selanjutntya permintaan dan tersedianya ruangan menjadi bagian dalam pengoperasian kapal. Kondisi alur dan fasilitas pelabuhan perlu diperhatikan untuk proses bongkar muat penumpang atau barang berdasarkan tipe dan ukuran kapal yang akan berlabuh. Setiap aktifitas pengoperasian yang dilakukan pada trayek harus dilaporkan kepada pemerintah. Oleh karena luasnya pelayanan untuk trayek maka perlu dipisahkan untuk penyusunan kriteria angkutan laut dan lintas penyeberangan. Laporan Akhir V - 15

16 Seperti dikatakan dala pasal 22 ayat 2 mengenai lintas angkutan penyeberangan harus mempertimbangkan jaringan trayek angkutan laut, sehingga mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar dan intramoda. Penetapan lintas penyeberangan sesuai PP 20 Tahun 2010 pasal 62 dinyatakan bahwa untuk lintas penyeberangan antarprovinsi dilakukan oleh Menteri, untuk lintas penyebrangan antar kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur, sedangkan untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota. Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat dibuatkan diagram tulang ikan/fishbone untuk Kriteria trayek angkutan laut dan lintas penyeberangan pada Gambar 5.3. di bawah ini. 1. Kriteria Trayek Angkutan Laut SDM Pengoperasian Kapal Jembatan bergerak Berbendera Indonesia dan Kelaiklautan diawaki oleh Kapal WNI Ketersediaan ruangan Arus kapal Arus penumpang Arus barang Sarana/transportasi darat (truk, KA) Ketersediaan akses jalan/ka Tipe dan Ukuran Kapal Alur Menteri Dermaga Kesiapan Fasilitas pokok Gudang dan lapangan Penumpukan Pelaporan setiap 3 bulan ke menteri Kriteria Trayek Angkutan Laut Troughput Aksesibilitas ke pelabuhan Pemerintah Gambar 5.3. Diagram Fishbone Kriteria Trayek Angkutan Laut Gambar 5.3 diatas menunjukkan bahwa kriteria trayek angkutan laut harus dimonitor oleh pemerintah yang memberikan persetujuan dan pelaporan yang dilakukan dari daerah yang melakukan aktifitas terselenggaranya trayek ke Pemerintah, termasuk rute dan idak menyinggahi pelabuhan secara teratur dan berjadual serta tidak Laporan Akhir V - 16

17 mengangkut penumpang. Yang dimaksud dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur adalah mengangkut curah kering dan curah cair, barang sejenis atau barang tidak sejenis. Selanjutnya wajib dilengkapi dengan syarat-syarat perjanjian pengakutan yang bersifat tetap dan berlaku umum. Berdasarkan data dari opini responden, maka hasil pengolahan bobot dari setiap aspek yang dinilai menjadi kriteria trayek angkutan laut dapat dilihat pada Tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5.5. Hasil Pembobotan Kriteria Pelabuhan Yang Diusahakan Non Komersial Kriteria Trayek Angkutan Laut dan Lintas Penyeberangan 1 Tidak dilakukan dalam jaringan trayek tertentu Rute dilakukan berdasarkan permintaan pengirim barang Dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan Tidak menyinggahi pelabuhan secara teratur dan berjadual Tidak mengangkut penumpang Trayek tidak tetap dan tidak teratur hanya dapat mengangkut muatan barang curah kering dan curah cair, barang sejenis, atau barang tidak sejenis 8 Muatan pada trayek tidak tetap dan tidak teratur wajib dilengkapi dengan syarat-syarat perjanjian pengangkutan yang bersifat tetap dan berlaku umum Total Sumber : Data primer (diolah) Tabel 5.5 diatas menunjukkan bahwa 8 aspek memiliki bobot cukup bervariasi, dan terdapat 8 (delapan) aspek yang memiliki bobot yang cukup besar dilanjutkan melalui beberapa peringkat, yakni: a. Dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional b. Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan c. Muatan pada trayek tidak tetap dan tidak teratur wajib dilengkapi dengan syarat-syarat perjanjian pengankutan yang bersifat tetap dan berlaku umum d. Rute dilakukan berdasarkan permintaan pengirim barang e. Tidak dilakukan dalam jaringan trayek tertentu f. Tidak mengangkut penumpang Laporan Akhir V - 17

18 g. Trayek tidak tetap dan tidak teratur hanya dapat mengangkut muatan barang curah kering dan curah cair, barang sejenis, atau barang tidak sejenis h. Tidak menyinggahi pelabuhan secara teratur dan berjadual Tahap berikut dari setiap kriteria dijabarkan menjadi sub kriteria dengan nilai pembobotan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.6. dibawah ini Tabel 5.6 Hasil subkriteria pembobotan Trayek Angkutan Laut Kriteria Trayek Angkutan laut 1 Tidak dilakukan dalam jaringan trayek tertentu a. Memiliki trayek tersendiri 3.00 b. Memiliki standar minimal pelayanan 3.00 a. Memiliki pengaturan waktu keberangkatan dan tiba 3.36 b. Memiliki penataan trayek untuk tujuan tertentu Rute dilakukan berdasarkan permintaan pengirim barang a. Mempunyai pelayanan rute pengiriman barang dengan tujuan 2.37 yang dapat dipilih b. Pelayanan 24 jam 3.57 c. Ketepatan waktu 4.06 d. Penyediaan pelayanan pengangkutan barang setiap waktu 3.49 pengiriman sesuai permintaan 3 Dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional a. Memiliki ruang lingkup usaha sesuai dengan kebutuhan 4.99 pekerjaan ini b. Mempunyai pengalaman pekerjaan oleh perusahaan minimal tahun c. Lokasi perusahaan berada di daerah pelabuhan 3.91 d. Kinerja perusahaan dalam kondisi baik Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan a. Adanya database untuk setiap laporan 3.84 b. Format laporan yang seragam dan informatif 4.04 c. Selalu online dalam update data 5.08 d. Komunikasi teratur dari penyelenggara kegiatan dengan 3.84 penghubung yang akan membawa data ke Menteri 5 Tidak menyinggahi pelabuhan secara teratur dan berjadual 7.40 a. Mempunyai kebebasan berlabuh yang tidak secara teratur 1.36 dan tidak berjadual b. Kemampuan menyelenggarakan trayek sesuai permintaan Tidak mengangkut penumpang 8.27 a. Khusus pengangkutan barang 1.60 b. Kecepatan bongkar muat 2.33 c. Memiliki area penumpukan barang 2.33 c. Pengawasan barang yang diangkut dan terhadap non barang 2.67 Laporan Akhir V - 18

19 Kriteria Trayek Angkutan laut 7 Trayek tidak tetap dan tidak teratur hanya dapat mengangkut muatan barang curah kering dan curah cair, barang sejenis, atau barang tidak sejenis tetapi untuk menunjang kegiatan tertentu. Ke tentuan ini tidak berlaku untuk pelayaran rakyat a. Pengelompokan jenis muatan 2.08 b. Kemampuan menangani jenis muatan 2.25 c. Memiliki sistem prosedur penanganan muatan 2.25 d. Dapat menentukan pelabuhan yang dapat disinggahi dari jenis muatan tertentu 8 Muatan pada trayek tidak tetap dan tidak teratur wajib dilengkapi dengan syarat-syarat perjanjian pengangkutan yang bersifat tetap dan berlaku umum a. Memiliki format syarat-syarat perjanjian pengangkutan yang bersifat tetap dan berlaku umum secara seragam b. Kemampuan mendata barang yang diangkut dan dituangkan secara cepat ke dalam surat perjanjian c. Mempunyai informasi tertulis mengenai proses keluarnya perjanjian pengangkutan Sumber : Data primer (diolah) Dari uraian diatas dapat ditetapkan kriteria trayek angkutan laut sebagai berikut : a. Dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional yang memiliki ruang lingkup usaha pengalaman serta lokasi dekat dengan pelabuhan dan berkinerja baik b. Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan melalui sarana internet dan selalu dibuatkan data base, serta format laporan yang seragam Muatan pada trayek tidak tetap dan tidak teratur wajib dilengkapi dengan syarat-syarat perjanjian pengankutan yang bersifat tetap dan berlaku umum c. Rute dilakukan berdasarkan permintaan pengirim barang dengan memperhatikan dengan tujuan yang dapat dipilih, beroperasi selama 24 jam dan tepat waktu serta penyediaan pelayanan angkutan barang. d. Tidak dilakukan dalam jaringan trayek tertentu dengan dimilikinya trayek tersendiri, mempunyai standar minimal pelayanan, pengaturan keberangakatan dan tiba serta memiliki penataan trayek untuk tujuan tertentu. e. Tidak mengangkut penumpang dimaksudkan adalah khusus pengangkutan barang, memiliki bongkar muat dan area penumpukan barang yang disertai dengan pengawasan barang yang diangkut terhadap non barang f. Trayek tidak tetap dan tidak teratur hanya dapat mengangkut muatan barang curah kering dan curah cair, barang sejenis, atau Laporan Akhir V - 19

20 barang tidak sejenis melalui pengelompokan jenis muatan, kemampuan menangani jenis muatan dan memiliki sistem prosedur penanganan serta dapat menentukan pelabuhan yang dapat disinggahi. g. Tidak menyinggahi pelabuhan secara teratur dan berjadual yang member pengertian tentang kebebasan berlabuh yang tidak secara teratur dan tidak berjadual serta kemampuan menyelenggarakan trayek sesuai permintaan. SDM Pengoperasian Kapal Kesiapan Fasilitas pokok Jembatan bergerak Berbendera Indonesia dan diawaki oleh WNI Arus kapal Arus penumpang Arus barang Kelaiklautan Kapal Ketersediaan ruangan Sarana/transportasi darat (truk, KA) Ketersediaan akses jalan/ka Tipe dan Ukuran Kapal Alur Menteri Dermaga Gudang dan lapangan Penumpukan Pelaporan setiap 3 bulan ke menteri Kriteria lintas penyeberangan Troughput Aksesibilitas ke pelabuhan Pemerintah Gambar 5.4. Diagram Fishbone Kriteria Lintas Penyeberangan Gambar 5.4. diatas menunjukkan bahwa lintas penyeberangan harus benar-benar menyiapkan menetapkan jaringan trayek serta kewenangan dan laporan ke pemerintah, disamping itu pula fasilitas moda lintas penyeberangan harus menjadi perhatian. Berdasarkan data dari opini responden, maka hasil pengolahan bobot dari setiap aspek yang dinilai menjadi kriteria lintas penyeberangan dapat dilihat pada Tabel 5.7. di bawah ini. Laporan Akhir V - 20

21 Tabel 5.7. Hasil pembobotan Kriteria Lintas Penyeberangan Kriteria Lintas Penyeberangan 1 Memiliki jaringan trayek tetap dan teratur Kewenangan dalam menetapkan trayek tetap dan teratur Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani dan mendukung terselenggaranya lintas penyebrangan 4 Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan Fasilitas moda lintas penyeberangan Total Sumber : Data primer (diolah) Tabel 5.7. diatas menunjukkan bahwa 5 (lima) aspek memiliki bobot cukup bervariasi, dan beberapa aspek yang memiliki bobot yang cukup besar dilanjutkan melalui beberapa peringkat, yakni: a. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani dan mendukung terselenggaranya lintas penyebrangan Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan b. Fasilitas moda lintas penyeberangan c. Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan d. Memiliki jaringan trayek tetap dan teratur e. Kewenangan dalam menetapkan trayek tetap dan teratur Tahap berikut dari setiap kriteria dijabarkan menjadi sub kriteria dengan nilai pembobotan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.8 dibawah ini Tabel 5.8 Hasil Pembobotan Sub Kriteria Lintas Penyeberangan Kriteria Lintas Penyeberangan 1 Memiliki jaringan trayek tetap dan teratur a. Memiliki trayek tersendiri 4.54 b Memiliki standar minimal pelayanan 4.54 c. Memiliki pengaturan waktu keberangkatan dan tiba 5.19 d. Memiliki penataan trayek untuk tujuan tertentu 4.85 e. Menetapkan trayek tetap dan teratur Kewenangan dalam menetapkan trayek tetap dan teratur a Untuk lintas penyeberangan antarprovinsi yang ditetapkan 2.96 oleh Menteri b. Untuk lintas penyeberangan antarkabupaten/kota yang 4.42 ditetapkan oleh gubernur c. Untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota 5.05 Laporan Akhir V - 21

22 Kriteria Lintas Penyeberangan e. Mempunyai pelayanan rute dengan jarak tertentu dan 4.32 memiliki peta lintas f. Memiliki database lintas lewat inventarisasi 2.96 g. Tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan 4.79 pengangkutnya h. Pelayanan 24 jam 4.32 i. Ketepatan waktu Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani dan mendukung terselenggaranya lintas penyebrangan a. Pengembangan jaringan jalan dan/ atau jaringan jalur kereta 6.15 api b. Fungsi sebagai jembatan 4.77 c. Menentukan dan menetapkan daerah pelabuhan yang akan 4.75 dijadikan tempat untuk melayani angkutan pelabuhan d. Memiliki dan menyesuaikan dengan tata ruang wilayah 6.15 dan menyesuaikan dengan rencana induk pelabuhan nasional e. Memiliki perencanaan dan penerapan keterpaduan angkutan 6.15 intra dan antarmoda 4 Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan a. Adanya data base untuk setiap laporan 4.72 b. Format laporan yang seragam dan informatif 4.97 c. Selalu online dalam update data 6.13 d. Komunikasi teratur dari penyelenggara kegiatan dengan 4.72 penghubung yang akan membawa data ke Menteri 5. Fasilitas moda lintas penyeberangan a. Menyediakan kapal dengan spesifikasi teknis kapal sesuai 9.59 pelabuhan b. Kapal yang dapat digunakan memiliki kelaikan dan 3.49 kelayakan laut c. Memiliki kenyamanan dalam ruang penumpang 8.68 d. Memiliki perangkat keselamatan e. Kecepatan kapal yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan 9.56 f. Proses bongkar muat kendaraan dan penumpang yang 7.39 memadai g. Ketersediaan terminal penyeberangan atau pelabuhan 8.35 h. Ketersediaan fasilitas terminal penyeberangan atau pelabuhan seperti untuk bongkar muat kendaraaan dan penumpang, ruang tunggu, tempat pembelian tiket yang nyaman dan teratur serta bersih i. Memiliki perangkat informasi keberangkatan dan kedatangan yang memudahkan para penumpang untuk memantau j. Pengamanan atas kapal dan terminal yang memenuhi standar minimal keamanan 7.37 Laporan Akhir V - 22

23 Kriteria Lintas Penyeberangan k. Tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan, prinsip angkutan penyeberangan yang tidak mengangkut barang lepas. l. Menjadi jaringan trayek angkutan laut untuk mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar dan intermoda Sumber : Data primer (diolah) Pembobotan terbesar tetap diprioritaskan pada aspek lintas penyeberangan, yakni ketersediaan dan kesiapan pemerintah dalam mengadakan dan memfasilitasi dan juga penetapan trayek serta sarana pendukung berjalannya trayek yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil pembobotan diatas, maka dapat disusun kriteria lintas penyeberangan berdasarkan urutannya sebagai berikut: a. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani dan mendukung terselenggaranya lintas penyebrangan Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi dari pengembangan, fungsi, penyesuaian tata ruang wilayah dan perencanaan dan penerapan keterpaduan angkutan. b. Fasilitas moda lintas penyeberangan, menunjukan menyediakan sarana tranportasi penyeberangan yang aman dan bongkar muat penumpang dan kendaraan dengan fasilitas kapal dan terminal yang memadai guna mencapai keterpaduan angkutan antar dan intermodal. c. Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan melalui sarana internet dan selalu dibuatkan data base, serta format laporan yang seragam. d. Memiliki jaringan trayek tetap dan teratur dengan dilengkapi standar minimal pelayanan. Pengaturan waktu keberangkatan dan tiba yang selalu tercatat dalam perencanaan serta penetapannya. e. Kewenangan dalam menetapkan trayek tetap dan teratur yang telah ditetapkan yang dilengkapi dengan kesesuaian dengan perencanaan dan penerapan keterpaduan angkutan intra dan antarmoda C. KRITERIA PELABUHAN YANG DAPAT DIOPERASIKAN 24 JAM DALAM SEHARI DAN 7 HARI DALAM SEMINGGU Dalam Pasal 97 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan dijelaskan bahwa pengoperasian pelabuhan dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. Laporan Akhir V - 23

24 Selanjutnya pada pasal (2) dijelaskan pula bahwa pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. Peningkatan pengoperasian pelabuhan menjadi pelabuhan yang beroperasi selama 24 jam dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Adanya peningkatan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang; 2. Tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan laut. Pada Pasal 98 ayat (3) disebutkan bahwa pengajuan izin pengoperasian pelabuhan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 97 ayat (2) harus memenuhi persyaratansebagai berikut : 1. Kesiapan kondisi alur; 2. Kesiapan pelayanan pemanduan bagi perairan pelabuhan yang sudah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu; 3. Kesiapan fasilitas pelabuhan; 4. Kesiapan gudang dan/atau fasilitas lain di luar pelabuhan; 5. Kesiapan keamanan dan ketertiban; 6. Kesiapan sumber daya manusia operasional sesuai kebutuhan; 7. Kesiapan tenaga kerja bongkar muat dan naik turun penumpang atau kendaraan; 8. Kesiapan sarana transportasi darat; 9. Rekomendasi dari syahbandar pada pelabuhan setempat. Berdasarkan pasal 98 ayat 3 PP 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, bahwa jika pelabuhan dioperasikan selama 24 jam dalam 7 hari, maka kesiapan fasilitas dan SDM di pelabuhan juga harus 24 jam dalam memberikan pelayanan di pelabuhan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/PMK.04/2009 Tentang Pelayanan Kepabeanan 24 (Dua Puluh Empat) Jam Sehari Dan 7 (Tujuh) Hari Seminggu Pada Kantor Pabean Di Pelabuhan Tertentu, menetapkan pelayanan kepabeanan selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu pada 4 (empat) kantor pabean di pelabuhan tertentu, yaitu : 1. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok; 2. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Belawan; 3. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Tanjung Perak; 4. Kantor pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A2 Makassar. Laporan Akhir V - 24

25 Selain menetapkan 4 (empat) lokasi kantor pelayanan bea dan cukai yang beroperasi selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, Surat Keputusan ini juga menetapkan beberapa hal, yaitu : 1. Jam kerja kantor pabean di pelabuhan tertentu dalam rangka pelayanan kepabeanan; 2. Penugasan pejabat/pegawai dengan giliran kerja (shift) dan/atau kerja lembur; 3. Pelimpahan tugas dan wewenang kepala kantor pabean; 4. Pelimpahan penyelesaian pelayanan kepabeanan yang belum dapat diselesaikan. Beberapa aspek yang dinilai menjadi kriteria pelabuhan yang dapat dioperasikan 24 jam dan 7 hari dalam seminggu diantaranya adalah kesiapan fasilitas pokok dan penunjang selama 24 jam, kesiapan SDM di pelabuhan selama 24 jam, kesiapan instansi terkait seperti Pabean, KSOP, Karantina, Imigrasi selama 24 jam serta dukungan dari instansi lain seperti perbankan. Dalam PP 61/2009 pasal 97 ayat 1 bahwa pengoperasian pelabuhan dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. Pengoperasian pelabuhan selama 24 jam dalam sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan: 1. adanya peningkatan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang; 2. tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran, kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan laut. Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat dibuatkan diagram tulang ikan/fishbone untuk kriteria pelabuhan yang dapat dioperasikan 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu dapat dilihat pada Gambar 5.5. di bawah ini. Laporan Akhir V - 25

26 SDM Keselamatan dan keamanan pelayaran Kesiapan Fasilitas pokok SDM operasional pelabuhan TKBM Petugas keamanan Arus kapal Arus penumpang Arus barang Fasilitas telekomunikasi Pelayanan Meteorologi Sarana/transportasi darat (truk, KA) Ketersediaan akses jalan/ka Pelayanan Pemanduan Alur Dermaga Perbankan Gudang dan lapangan Penumpukan Instansi lain di pelabuhan, seperti BC, karantina, imigrasi Kriteria pelabuhan 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu Troughput Aksesibilitas ke pelabuhan Dukungan sektor lain Gambar 5.5 Diagram Fishbone Kriteria Pelabuhan yang Dapat Dioperasikan 24 Jam dalam Sehari dan 7 Hari dalam Seminggu Gambar 5.5. diatas menunjukkan bahwa pelabuhan yang akan dioperasikan selama 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu harus benar-benar menyiapkan fasilitas pokok dan penunjang selama 24 jam serta didukung oleh sektor lain selama 24 jam juga (bea cukai, karantina, imigrasi, perbankan). Aksesibilitas menuju pelabuhan 24 jam juga harus siap dan tersedia moda jalan/kereta api menuju pelabuhan selama 24 jam juga. Berdasarkan data dari opini responden, maka hasil pengolahan bobot dari setiap aspek yang dinilai menjadi kriteria pelabuhan 24 per 7 dapat dilihat pada Tabel 5.9. di bawah ini. Laporan Akhir V - 26

27 Tabel 5.9. Hasil Pembobotan Kriteria Pelabuhan yang Dapat dioperasikan 24 Jam dalam Sehari dan 7 Hari dalam Seminggu No Kriteria Pelabuhan yang Dapat Dioperasikan 24 Jam dalam Sehari dan 7 Hari dalam Seminggu 1 Ketersediaan dan kesiapan kondisi alur selama 24/7 7,09 2 Ketersediaan dan kesiapan pelayanan pemanduan selama 24/7 7,09 3 Ketersediaan SBNP selama 24/7 7,09 4 Ketersediaan telekomunikasi pelayaran selama 24/7 6,71 5 Ketersediaan pelayanan meteorology selama 24/7 6, Ketersediaan pelayanan bea dan cukai, imigrasi, dan karantina, selama 24/7 Ketersediaan fasilitas tambat petikemas yang dioperasikan selama 24/7 Ketersediaan gudang dan lapangan penumpukan yang dioperasikan selama 24/7 Kesiapan SDM operasional di pelabuhan sesuai kebutuhan selama 24/7 6,71 7,09 6,71 6,71 10 Kesiapan tenaga kerja bongkar muat selama 24/7 6,71 11 Ketersediaan sarana transportasi darat untuk menunjang kegiatan kepelabuhanan selama 24/7 6,33 12 ketersediaan fasilitas perbankan di pelabuhan selama 24/7 6,02 13 Kesiapan petugas keamanan dan ketertiban selama 24/7 6,33 14 Peningkatan arus kapal dan barang di pelabuhan 6,71 15 Penyediaan Gudang / depo diluar pelabuhan yang dibuka selama 24/7 6,71 Total 100,00 Sumber : Data primer (diolah) Tabel 5.9. menunjukkan bahwa 15 (lima belas) aspek memiliki bobot cukup bervariasi, dan terdapat 10 (sepuluh) aspek yang memiliki bobot yang cukup besar, yakni: 1. Ketersediaan dan kesiapan kondisi alur selama 24/7 2. Ketersediaan dan kesiapan pelayanan pemanduan selama 24/7 3. Ketersediaan SBNP selama 24/7 4. Ketersediaan telekomunikasi pelayaran selama 24/7 Laporan Akhir V - 27

28 5. Ketersediaan pelayanan bea dan cukai, imigrasi, dan karantina, selama 24/7 6. Ketersediaan gudang dan lapangan penumpukan yang dioperasikan selama 24/7 7. Kesiapan SDM operasional di pelabuhan sesuai kebutuhan selama 24/7 8. Kesiapan tenaga kerja bongkar muat selama 24/7 9. Peningkatan arus kapal dan barang di pelabuhan 10. Penyediaan Gudang / depo diluar pelabuhan yang dibuka selama 24/7 Selanjutnya dari setiap kriteria dijabarkan menjadi sub kriteria dengan nilai pembobotan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Tabel Hasil Pembobotan Sub Kriteria Pelabuhan yang Dapat Dioperasikan 24 Jam dalam Sehari dan 7 Hari dalam Seminggu Aspek dan Kriteria 1 Ketersediaan dan kesiapan kondisi alur selama 24/7 7,09 2 a. b. Harus memiliki alur eksisting yang mampu menangani arus lalulintas pada alur masuk dan keluar Memiliki kedalaman alur yang sesuai dengan kapasitas kemampuan pelabuhan menerima kapal yang masuk 1,42 1,42 c. Memiliki sarana bantu navigasi yang memadai 1,42 d. Monitoring sepanjang alur terhadap sedimentasi dan kerangka kapal akibat kandas, adanhya konstruksi bawah laut, serta sampah-sampah e. Pelayanan pandu 1,42 1,42 Ketersediaan dan kesiapan pelayanan pemanduan 7,09 selama 24/7 a. Jumlah personil pandu untuk pelayanan 24 Jam 1,18 b. Setiap Pandu memiliki sertifikat keahlian di bidang pandu yang terakreditasi 1,18 c. Sarana telekomunikasi untuk pelayanan pemanduan 1,18 d. tersedianya shift jaga Pandu untuk pelayanan pemanduan 1,18 e. Pengaturan terhadap kapal yang datang dan yang sedang sandar untuk bongkar muat penumpang atau barang 1,18 Laporan Akhir V - 28

29 f. Aspek dan Kriteria Memiliki kantor pengawasan pelayanan Pandu di pelabuhan 1,18 3 Ketersediaan SBNP selama 24/7 7,09 a. Merupakan perlengkapan standar pelabuhan 1,03 b. SBNP dalam keadaan baik dan beroperasi 1,03 c. Penempatan sesuai titik koordinat pada rencana induk pelabuhan yang sudah disetujui oleh Distrik Navigasi 1,03 (Disnav) d. Perawatan sarana bantu navigasi 1,03 e. Memiliki bengkel perbaikan SBNP di pelabuhan 0,98 f. Kemampuan beroperasi SBNP dengan kegiatan rutinitasnya selama 24/7 1,03 g. Memiliki kantor pengawasan SBNP di pelabuhan 0,97 4 Ketersediaan telekomunikasi pelayaran selama 24/7 6,71 a. Memiliki pembangkit listrik yang mampu menangani perangkat telekomunikasi pada saat digunakan dalam kegiatan rutinitasnya 0,97 b. radio telekomunikasi memiliki kehandalan yang tinggi dalam penggunaannya 0,97 c. Memiliki cadangan radio telekomunikasi 0,92 d. Melakukan perawatan terhadap radio komunikasi 0,92 e. Operator radio yang memiliki sertifikat radio 1,02 f. Memiliki chanel khusus untuk telekomunikasi 1,02 g. Lokasi pusat radio telekomunikasi berada di pelabuhan 0,88 5 Ketersediaan pelayanan meteorology selama 24/7 6,02 Memiliki pembangkit listrik yang mampu menangani a. perangkat jaringan pada saat digunakan dalam kegiatan 0,89 rutinitasnya b. Memiliki jaringan radio untuk pelayanan meteorology 0,85 c. Memiliki jaringan faxcimile untuk pelayanan meteorology 0,85 d. Memiliki jaringan telepon untuk pelayanan meteorology 0,90 e. Memiliki jaringan internet untuk pelayanan meteorology 0,85 f. Memiliki jaringan satelit untuk pelayanan meteorology 0,81 g. Memiliki kantor pelayanan meteorology di pelabuhan 0,85 Laporan Akhir V - 29

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial dan Non Komersial a. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Diusahakan Secara Komersial 1) Memiliki fasilitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 70-1996 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 127, 2001 Perhubungan.Pelabuhan.Otonomi Daerah.Pemerintah Daerah.Tarif Pelayanan. (Penjelasan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA A. DEFINISI KRITERIA Pengertian dan literatur yang membahas khusus masalah kriteria ternyata belum banyak ditemukan, scope kriteria sangat sempit setelah melihat kenyataan bahwa kriteria

Lebih terperinci

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagaimana yang tertuang dalam Ketentuan Umum Undang Undang Nomor : 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, telah diatur

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1996 Tentang : Kepelabuhanan Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 70 TAHUN 1996 (70/1996) Tanggal : 4 DESEMBER 1996 (JAKARTA) Sumber : LN 1996/107; TLN PRESIDEN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 51 TAHUN 2015 TENT ANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PELABUHAN PENGUMPAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI ALOR, : a. bahwa pelabuhan mempunyai peran

Lebih terperinci

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1867, 2016 KEMENHUB. Pelabuhan Laut. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH R.I. NOMOR 69 TAHUN 2001 TANGGAL 17 OKTOBER 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN,

TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, TATANAN KEPELABUHAN NASIONAL KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa angkutan di perairan selain mempunyai peranan yang strategis dalam

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 84 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PELABUHAN LINAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Membaca : 1. surat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KETAPANG dan BUPATI KETAPANG MEMUTUSKAN : 1 BUPATI KETAPANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN KEPELABUHANAN, ANGKUTAN SUNGAI, DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR : 45 TAHUN : 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA CILEGON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN

RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN RANCANGAN KRITERIA KLASIFIKASI PELAYANAN PELABUHAN LAMPIRAN 1 i DAFTAR ISI 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Istilah dan Definisi 4. Persyaratan 4.1. Kriteria dan Variabel Penilaian Pelabuhan 4.2. Pengelompokan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL

PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL PENYELENGGARAAN ANGKUTAN LAUT DALAM NEGERI BERDASARKAN SISTEM TRANSPORTASI NASIONAL http://images.hukumonline.com I. PENDAHULUAN Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1523, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Angkutan Laut. Penyelenggaraan. Pengusahaan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 93 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa angkutan di perairan selain mempunyai peranan yang strategis dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

eresli::>en REP1.JOLIt< INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLlK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

eresli::>en REP1.JOLIt< INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLlK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA eresli::>en REP1.JOLIt< INDONESIA!_SA_L'_NA_N_l PERATURAN PEMERINTAH REPUBLlK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 10 TAHUN 2007 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 52 Tahun 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846] UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN [LN 2008/64, TLN 4846] BAB XIX KETENTUAN PIDANA Pasal 284 Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG T E R M I N A L DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.71, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Bandar Udara. Pembangunan. Pelestarian. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5295) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1298, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan Tegal. Jawa Tengah. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pelabuhan merupakan tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pelabuhan merupakan sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Perkembangan pelabuhan

Lebih terperinci

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb

2 Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian (Lemb BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.216, 2015 KEMENHUB. Penyelenggara Pelabuhan. Pelabuhan. Komersial. Peningkatan Fungsi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 23 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN DAN IZIN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAU RANCANGAN KRITERIA TRAYEK TETAP DAN TERATUR, SERTA TIDAK TETAP DAN TIDAK TERATUR

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAU RANCANGAN KRITERIA TRAYEK TETAP DAN TERATUR, SERTA TIDAK TETAP DAN TIDAK TERATUR RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAU RANCANGAN KRITERIA TRAYEK TETAP DAN TERATUR, SERTA TIDAK TETAP DAN TIDAK TERATUR LAMPIRAN 2 i RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT DAFTAR ISI 1.

Lebih terperinci

Pesawat Polonia

Pesawat Polonia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara maritim sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia, tidak bisa dibantah bahwa pelabuhan menjadi cukup penting dalam membantu peningkatan

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002. Tentang

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002. Tentang Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 55 Tahun 2002 Tentang PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. Bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1879, 2014 KEMENHUB. Pelabuhan. Terminal. Khusus. Kepentingan Sendiri. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 73 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP DIREKTORAT PELABUHAN PERIKANAN PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN SYAHBANDAR DI PELABUHAN PERIKANAN Memiliki kompetensi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERHUBUNGAN DAN KEPALA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM NOMOR: KP 99 TAHUN 2017 NOMOR: 156/SPJ/KA/l 1/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21

LEMBARAN DAERAH K E P E L A B U H A N A N KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 26 TAHUN 2003 SERI D NOMOR 21 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG K E P E L A B U H A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 KOTA DUMAI LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR : 9 TAHUN : 2003 SERI : D NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA DUMAI, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1522,2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan Makassar. Sulawesi Selatan. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 92 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG LALU LINTAS ANGKUTAN SUNGAI, DANAU DAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 276, 2015 KEMENHUB. Penumpang. Angkatan Laut. Pelayanan. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 37 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 17-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 98, 1992 (PERHUBUNGAN. Laut. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 24 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG KEPELABUHANAN DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 66 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS PERHUBUNGAN, INFORMASI DAN KOMUNIKASI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang

Lebih terperinci

FUNGSI PELABUHAN P P NOMOR 69 TAHUN 2001 SIMPUL DALAM JARINGAN TRANSPORTASI; PINTU GERBANG KEGIATAN PEREKONOMIAN DAERAH, NASIONAL DAN INTERNASIONAL;

FUNGSI PELABUHAN P P NOMOR 69 TAHUN 2001 SIMPUL DALAM JARINGAN TRANSPORTASI; PINTU GERBANG KEGIATAN PEREKONOMIAN DAERAH, NASIONAL DAN INTERNASIONAL; FUNGSI PELABUHAN P P NOMOR 69 TAHUN 2001 SIMPUL DALAM JARINGAN TRANSPORTASI; PINTU GERBANG KEGIATAN PEREKONOMIAN DAERAH, NASIONAL DAN INTERNASIONAL; TEMPAT KEGIATAN ALIH MODA TRANSPORTASI; PENUNJANG KEGIATAN

Lebih terperinci

PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO

PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO PROFILE PELABUHAN PARIWISATA TANAH AMPO 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Terminal Kapal Pesiar Tanah Ampo Kabupaten Karangasem dengan sebutan "Pearl from East Bali" merupakan tujuan wisata ketiga setelah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 09 TAHUN 2005 TENTANG KEPELABUHANAN DI KOTA PANGKALPINANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG P E L A Y A R A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG P E L A Y A R A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG P E L A Y A R A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.

Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan. G. PEMBAGIAN URUSAN BIDANG PERHUBUNGAN - 135-1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi

Lebih terperinci

KRITERIA HIERARKI PELABUHAN

KRITERIA HIERARKI PELABUHAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT DIREKTORAT DAN PENGERUKAN HIERARKI BATAM, 26 JANUARI 2012 BERDASARKAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 53 TAHUN 2002 TENTANG TATANAN KEAN

Lebih terperinci

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDOl\IESIA

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDOl\IESIA MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDOl\IESIA PERATURAN MENTER! PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 51 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Standar Pelayanan Berdasarkan PM 37 Tahun 2015 Standar Pelayanan Minimum adalah suatu tolak ukur minimal yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMANFAATAN PELABUHAN PERIKANAN

KEBIJAKAN PEMANFAATAN PELABUHAN PERIKANAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN PELABUHAN PERIKANAN DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 28 APRIL 2015 NAMA DOSEN BAGIAN : : THOMAS NUGROHO, S.Pi,

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN EVALUASI

BAB 5 ANALISIS DAN EVALUASI BAB 5 ANALISIS DAN EVALUASI Kriteria ini memberikan ketentuan ukuran sebagai dasar penilaian atau penetapan sepuluh Rancangan Kriteria di Bidang Transportasi Laut, yaitu : (i) Kriteria Klasifikasi Pelayanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2004 TENTANG KEPELABUHANAN KOTA BALIKPAPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang pelaksanaan

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN UTAMA HUB INTERNASIONAL

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN UTAMA HUB INTERNASIONAL PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN UTAMA HUB INTERNASIONAL LAMPIRAN 3 i DAFTAR ISI 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Istilah dan Definisi 4. Persyaratan 4.1. Persyaratan Utama 4.2. Bobot setiap aspek Kriteria

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 100 (1) Barangsiapa dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan apapun yang mengakibatkan tidak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG KEPELABUHANAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1983 TENTANG PEMBINAAN KEPELABUHANAN Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang perekonomian nasional, Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG TERMINAL TRANSPORTASI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA No.440, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Kepelabuhan. Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2012 TENTANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM 32 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1996 tentang Kepelabuhan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 104 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN PENYEBERANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 16/MEN/2006 TENTANG PELABUHAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pasal 41 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi sungai, danau dan penyeberangan merupakan tiga jenis angkutan yang mempunyai banyak persamaan. Ketiga jenis angkutan tersebut merupakan angkutan perairan,

Lebih terperinci

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS

TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG IZIN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN PELABUHAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2001 TENTANG KEBANDARUDARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanakan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

MANAJEMEN PELABUHAN DAN REALISASI EKSPOR IMPOR

MANAJEMEN PELABUHAN DAN REALISASI EKSPOR IMPOR MANAJEMEN PELABUHAN DAN REALISASI EKSPOR IMPOR ADMINISTRATOR PELABUHAN Oleh : Mochammad Agus Afrianto (115020200111056) JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA Administrator

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112,

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1439, 2015 KEMENHUB. Kepelabuhanan. Konsensi. Bentuk Kerja Sama. Pemerintah. Badan Usaha Pelabuhan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 15 TAHUN

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERHUBUNGAN DENGAN

Lebih terperinci

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N

2016, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5208); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran N BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.413, 2016 KEMENHUB. Penumpang dan Angkutan Penyeberangan. Daftar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 25 TAHUN 2016 TENTANG DAFTAR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.363, 2013 KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Pelabuhan. Tanjung Balai Karimun. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN PENGUMPAN REGIONAL

RANCANGAN KRITERIA DI BIDANG TRANSPORTASI LAUT PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN PENGUMPAN REGIONAL PENETAPAN KRITERIA LOKASI PELABUHAN PENGUMPAN REGIONAL LAMPIRAN 6 i DAFTAR ISI 1. Ruang Lingkup 2. Acuan 3. Istilah dan Definisi 4. Persyaratan 4.1. Persyaratan Utama 4.2. Bobot Aspek-Aspek Kriteria Pelabuhan

Lebih terperinci