DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR NOTASI... BAB I PENDAHULUAN... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR NOTASI... BAB I PENDAHULUAN... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..."

Transkripsi

1 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR NOTASI... i iii v vii ix x BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Batasan Masalah Sistematika Penulisan... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pisau Egrek Baja Klasifikasi Baja Sifat-Sifat Baja Diagram Fasa Fe-C Diagram TTT Perlakuan Panas (Heat Treatment) Annealing Normalizing Quenching Tempering Media Pendingin Pengujian Kekerasan Pengujian Tarik Pengujian Fatique Analisis Struktur Butir Pertumbuhan Struktur Butir Perhitungan Diameter Butir... 47

2 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Peralatan Bahan Spesifikasi Spesimen Spesifikasi Spesimen Kekerasan Spesifikasi Spesimen Uji Tarik Spesifikasi Spesimen Uji Fatique Spesifikasi Spesimen Uji Metallografi Proses Heat Treatment Pengujian Pengujian Kekerasan Pengujian Tarik Pengujian Fatique Pengujian Metallografi Diagram Alir Penelitian Diagram Alir Pengujian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil Uji Kekerasan Hasil Uji Tarik Hasil Fatique Hasil Pengamatan Metalografi Pembahasan Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Kekerasan Hubungan Antara Kekerasan dengan Diameter Butir Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Diameter Butir BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

3 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Pisau Egrek... 7 Gambar 2.2 Mesin Tempa (Hammer)... 8 Gambar 2.3 Mesin Gerinda Kasar Gambar 2.4 Diagram Fasa Besi Karbon (fe-c) Gambar 2.5 Diagram TTT Untuk Baja Hypoeutectoid Gambar 2.6 Struktur Kristal Martensite BCT Gambar 2.7 Kurva Tegangan Regangan Baja Gambar 2.8 Bentuk Penampang Patahan Gambar 2.9 Bentuk Siklus Tegangan Lelah Gambar 2.10 Kurva S N Untuk Logam Ferro dan Non Ferro Gambar 2.11 Bentuk Tegangan Pada Pengujian Fatique Rotary Bending Gambar 2.12 Perhitungan Butiran Menggunakan Metode Planimetri Gambar 3.1 (a) Spesimen Kekerasan, (b) Dimensi Spesimen(mm) Gambar 3.2 Spesimen Uji Tarik Gambar 3.3 (a) Spesimen Uji Fatique, (b) Dimensi Spesimen(mm) Gambar 3.4 (a) Spesimen Metallografi, (b) Dimensi Spesimen (mm) Gambar 3.5 Skema Proses Heat Treatment dan Quenching Oli SAE Gambar 3.6 Skema Proses Heat Treatment dan Quenching Air Es Gambar 3.7 Pemanasan Spesimen di dalam Furnace Gambar 3.8 Thermocouple Digital Tipe K Gambar 3.9 Alat Uji Brinell Gambar 3.10 Alat Uji Tarik Torsee Type INSTRON Gambar 3.11 (a) Mesin Uji Fatique TECO 3-Phase Induction, (b) Beban Gambar 3.12 Mikroskop optic Gambar 3.13 Diagram Alir Penelitian Gambar 3.14 Diagram Alir Pengujian... 68

4 Gambar 4.1 Grafik Hubungan Antara Kekerasan dan Jenis Perlakuan Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara Kekuatan Tarik dan Jenis Perlakuan Tempering Gambar 4.3 Grafik Kurva S N Raw Material Gambar 4.4 Grafik Kurva S N Hardening (1000 C) Gambar 4.5 Grafik Kurva S N Tempering (350 C Air Es) Gambar 4.6 Foto Mikro Raw Material Perbesaran 500X Gambar 4.7 Foto Mikro Pembesaran 500X Gambar 4.8 Grafik Hubungan Antara Diameter Butir Dengan Jenis Perlakuan Heat Treatment Gambar 4.9 Grafik Hubungan antara Kekuatan Tarik Dengan Kekerasan Gambar 4.10 Grafik Hubungan antara Kekerasan Dengan Diameter Butir Gambar 4.11 Grafik Hubungan antara Kekuatan Tarik Dengan Diameter Butir... 85

5 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Syarat Mutu Egrek SNI 11 Tabel 2.2 Hubungan Antara Perbesaran Yang Digunakan Dengan Pengali Jeffries Tabel 4.1 Sifat Mekanis Raw Material Tabel 4.2 Hasil Uji Komposisi Kimia Baja Stainless Steel M303 Extra Tabel 4.3 Pengujian Kekerasan Bedasarkan Skala Brinell (BHN) Tabel 4.4 Tabel Data Hasil Uji Tarik Tabel 4.5 Tabel Data Hasil Uji Fatique Tabel 4.6 Tabel Hasil Pengukuran Diameter Butir... 81

6 DAFTAR NOTASI Lambang Keterangan Satuan A Luas penampang mm 2 d Diameter butir Μm D Diameter mm 2 ε Regangan % f Pengali Jeffries butiran/mm 2 F Gaya tarik N L Panjang Mm σ Tegangan MPa N Jumlah Butir - Δ Perubahan - π Konstanta 3,14 -

7 ABSTRAK Perlakuan panas (heat treatment) didefenisikan sebagai kombinasi operasi pemanasan dan pendinginan yang terkontrol dalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu pada baja/logam atau paduan. Salah satu metode perlakuan panas tersebut adalah dengan proses quenching dan tempering. Proses ini dilakukan pada temperatur austenite (1000 C) selama 60 menit kemudian didinginkan dengan oli dan air es, kemudian di-temper pada temperatur 300 C, 350 C, 400 C, 450 C, 500 C, 550 C, 600 C dengan lama waktu penahanan 1 jam. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa nilai kekerasan optimum adalah 506,6 BHN setelah quenching dengan oli pada suhu C dan pada proses tempering rata rata kekerasanya secara bertahap menurun dengan bertambahnya temperatur tempering. Sedangkan nilai kekerasan setelah quenching dengan air es pada suhu 1000 C adalah 499,2 BHN dan pada proses tempering kekerasan yang didapat rata rata secara bertahap menurun dengan bertambahnya temperatur tempering, namun pada temperatur tempering 450 C kekerasannya naik yang didapat 426,6 BHN. Hal ini disebabkan laju difusi lambat hanya sebagian kecil karbon yang dibebaskan, hasilnya sebagian struktur tetap keras tetapi mulai kehilangan kerapuhanya. Hasil pengujian tarik memperlihatkan nilai yang optimum diperoleh tegangan luluh (yield strength) 1155,671 MPa dan tegangan batas (ultimate strength) 1335,313 MPa. Hasil pengujian Fatique diperoleh kekuatan lelah maksimum pada siklus N selama detik dengan beban 7 kg pada raw material. Menurunnya besar butir dari raw material 3,83 μm menjadi 2,86 μm dan 2,47 μm setelah quenching dengan oli dan air es, dan setelah tempering rata rata kenaikan besar butir secara bertahap dengan bertambahnya temperatur tempering. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pada proses tempering dapat menurunkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik. Sementara hasil mikro struktur memperlihatkan bahwa diameter butiran bahan menunjukkan menurunnya diameter butiran selama proses hardening dengan quenching oli. Dimana semakin kecil diameter butiran maka sifat mekanis bahan meningkat. Kata Kunci: Heat Treatment, Baja Stainless Steel M303 Extra, Sifat Mekanis, Struktur Mikro

8 ABSTRACT Heat treatment is defined as a combination of heating and cooling operations are controlled in the solid state to obtain certain properties in the steel / metals or alloys. One of these is a method of heat treatment with quenching and tempering process. This process is carried out at a temperature of austenite (1000 C) for 60 minutes and then cooled with ice water and oil, then in-tempering at 300 C, 350 C, 400 C, 450 C, 500 C, 550 C, 600 C with a holding time 1 hour long. The test results showed that the optimum value is BHN hardness after quenching in oil at a temperature of 1000 C and the tempering process average hardness gradually decreases with increasing tempering temperature. While the value of hardness after quenching with ice water at a temperature of 1000 C is BHN and the process of tempering hardness obtained average gradually decreased with increasing tempering temperature, but at temperatures of 450 C tempering hardness obtained up BHN. This is due to slow diffusion rate only a small fraction of carbon that was released, the result is still hard but most of the structure began to lose brittleness. Tensile test results showed that the optimum value obtained yield stress (yield strength) MPa and limit strength (ultimate strength) MPa. Fatigue test results obtained maximum fatigue strength at N cycles for Second with 7 kg load the raw material. Decreasing grain size of the raw material 3.83 μm to 2.86 μm and 2.47 μm after quenching with oil and ice water, and after tempering average - average grain size increase gradually with increasing tempering temperature. From the research it can be concluded that the tempering process can reduce the value of hardness and tensile strength. While the results showed that the diameter of the micro-structure of granular materials exhibit decreasing grain diameter during the process of heat treatment with quenching oil. Where the greater diameter of the granules decreased mechanical properties of materials. Keywords: Heat Treatment, Steel Stainless Steel Extra M303, Mechanical Properties, Microstructure

9 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Baja adalah salah satu logam ferro yang banyak digunakan dalam dunia teknik, misalnya digunakan untuk membuat alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan rumah tangga, dan semua struktur logam akan terkena pengaruh gaya luar berupa tekanan dan tegangan gesek. Usaha menjaga agar baja lebih tahan tekanan atau gesekkan adalah dengan cara perlakuan panas pada baja, hal ini memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kekerasan baja sesuai kebutuhan [1]. Selama ini baja yang sering digunakan oleh pandai besi untuk pembuatan mata pisau pemanen sawit berupa baja karbon sedang yaitu pegas belakang mobil (pegas daun), Seperti yang telah diketahui bahwa cukup banyak kekurangan dari mata pisau pemanen sawit yang dibuat dipasaran, terutama pada kekerasannya yang tidak merata akibat proses penempaan konvesional, juga sifat ketangguhannya yang masih rendah yang menyebabkan mudah mengalami korosi, sering patah atau lecetnya mata pisau sehingga umur pakai mata pisau lebih singkat [2]. Alasan yang mendasari peneliti mengambil baja bohler stainless steel M303 Extra karena baja tersebut banyak dipergunakan dalam bidang teknik atau industri salah satunya untuk pembuatan cetakan (PVC), extrusion Tool yang akan diaplikasikan pada mata pisau egrek/dodos. Baja ini memiliki daya ketanguhan yang sangat baik terhadap panas dan gesekan, keras, ulet, tahan aus, dan tahan

10 terhadap korosi,dapat ditempa,mudah dipolish, sehingga cocok untuk komponen yang membutuhkan kekerasan, keuletan, maupun ketahanan terhadap gesekan serta umur pakai yang panjang [3]. Salah satu upaya mendapatkan sifat mekanis baja yang baik maka dikembangkan baja dengan penambahan unsur paduan seperti carbon, silicon, mangan, chromium, nickel, molebdenum, vanadium dan sebagainya [4]. Perlakuan panas adalah kombinasi dari waktunya pemanasan dan pendinginan diterapkan pada logam tertentu atau paduan dalam keadaan padat dengan cara seperti untuk menghasilkan mikro tertentu dan sifat mekanik yang diinginkan (kekerasan, ketangguhan, kekuatan luluh, kekuatan tarik, dan persentase elongasi) [5]. Pengerasan (hardening), yaitu proses pemanasan baja sampai suhu di daerah atau diatas daerah kritis disusul dengan pendinginan yang cepat dinamakan quench. Metode quenching adalah berupa pencelupan baja yang telah dipanaskan mencapai fasa austenit ke dalam bak berisi media pendingin sehingga panas pada baja terabsorbsi ke media pendingin yang akan menghasilkan peningkatan derajat kekerasan sebagai akibat perubahan struktur mikronya [6]. Akibat proses hardening pada baja, maka timbulnya tegangan dalam (internal stresses), dan rapuh (britles), sehingga baja tersebut belum cocok untuk segera digunakan. Oleh karena itu pada baja tersebut perlu dilakukan proses lanjut yaitu temper. Dengan proses temper kegetasan dan kekerasan dapat diturunkan sampai memenuhi syarat penggunaan, kekuatan tarik turun sedangkan keuletan dan ketangguhan meningkat. Namun yang menjadi permasalahan sejauh mana sifat

11 sifat yang memenuhi syarat yang diinginkan ini dapat dicapai melalui proses temper [7]. Proses tempering didefenisikan sebagai proses pemanasan baja setelah dikeraskan pada temperatur tempering (dibawah suhu kritis) sehingga diperoleh keuletan (ductility) tertentu, yang dilanjutkan dengan proses pendinginan. Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu o C dan didingikan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut [8]. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, oleh karena itu penulis perlu melakukan penelitian lanjut dengan proses perlakuan panas. Proses heat treatment dilakukan dengan proses hardening dengan quenching kemudian dilanjutkan dengan proses tempering. Perbaikan sifat mekanis dapat dikendalikan dengan proses tempering sehingga akan menghasilkan pembuatan mata pisau yang lebih baik lagi untuk pisau pemanen kelapa sawit yang dikenal dengan pisau egrek/dodos Perumusan Masalah Permasalahan yang akan Akan menjadi pokok perumusan masalah adalah: 1. Bagaimana pengaruh tempering terhadap sifat mekanis bahan seperti kekerasan, kekuatan tarik, fatique dan struktur mikro baja stainless steel M303 Extra sebelum dan setelah di uji heat treatment. 2. Bagaimana pengaruh ukuran butir terhadap sifat mekanis bahan baja stainless steel M303 Extra.

12 3. Bagaimana memilih bahan yang tepat pada mata pisau sawit 4. Apakah baja stainless steel M303 Extra yang telah diproses dengan heat treatment memiliki sifat mekanis lebih baik dari bahan awal tanpa perlakuan apapun Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan yang akan dicapai, yaitu: 1. Melihat dan mengamati pengaruh tempering terhadap sifat mekanis bahan seperti kekerasan, kekuatan tarik, fatique dan struktur mikro baja stainless steel M303 Extra sebelum dan setelah di uji heat treatment. 2. Mengetahui pengaruh ukuran butir terhadap sifat mekanis bahan baja stainless steel M303 Extra. 3. Mengetahui memilih bahan yang tepat pada mata pisau sawit 4. Melihat apakah baja stainless steel M303 Extra yang telah diproses dengan heat treatment memiliki sifat mekanis lebih baik dari bahan awal tanpa perlakuan apapun Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman tentang material dan ilmu logam fisik khususnya proses heat treatment. 2. Bagi akademik, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan untuk penelitian tentang mikrosturktur logam.

13 3. Bagi industri dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam pembuatan bahan pisau egrek atau dodos sawit yang dapat diproduksi dalam skala besar. Hal ini dapat ditingkatkan dengan heat treatment atau termomekanikal sehingga dapat mengurangi biaya produksi sekaligus meningkatkan kualitas produk khususnya sifat mekanisnya 1.5. Batasan Masalah Adapun pembatasan masalah pada skripsi ini yaitu: 1. Material yang digunakan adalah baja stainlees steel M303 Extra termasuk baja paduan (high alloy steel) dengan komposisi Fe (70,525), C(0,480), Si(0,225), Mn(0,638), P(0,025), S(0,020), Cr(24,749), Mo(0,154), Ni(3), Cu (0,040), Ti(0,055), V(0,89). 2. Pemanasan awal dilakukan pada suhu 1000 o C dan diikuti dengan proses waktu tahan selama 1 jam lalu di quenching dengan media pendingin oli SAE 40 dan air es dipanasi kembali pada temperature 300 o C, 350 o C, 400 o C, 450 o C, 500 o C, 550 o C, 600 o C dengan waktu tahan 1 jam (proses tempering), dan didinginkan hingga mencapai temperatur kamar. 3. Pengujian sifat mekanis setelah dilakukan proses heat treatment meliputi uji kekerasan, uji tarik, uji fatique Pengamatan struktur mikro setelah dilakukan proses heat treatment. 1.6.Sistematika Penulisan Laporan tugas akhir ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

14 BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka yang berisi tentang baja dan aplikasinya, pengaruh unsur paduan, dan teori dasar pengujian sifat mekanik (uji kekerasan, uji tarik, uji fatique dan struktur mikro), dan materi yang berhubungan dengan judul tugas akhir. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian yang dilakukan mencakup diagram alir penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh, pemilihan bahan, persiapan bahan, proses pengerjaan dan proses pengujian. BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN Pembahasan meliputi hasil uji kekerasan, uji tarik, dan uji fatique pengamatan struktur mikro setelah pengujian. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dan saran berisikan tentang hasil pengujian tersebut pada bab sebelumnya akan diperoleh kesimpulan tentang sifat mekanik dan struktur mikro pada baja yang diuji. DAFTAR PUSTAKA Berisikan daftar buku-buku yang menjadi referensi dalam penelitian. LAMPIRAN Berisikan data-data hasil pengujian.

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisau Egrek Bahan baku alat pemanen sawit dalam hal ini pisau egrek seperti pada gambar 2.1 biasanya menggunakan baja karbon sedang dari pegas daun mobil yang dalam bentuk potongan platstrip sesuai dengan ukuran pisau egrek dan tipe yang ada. Proses produksi egrek ini dilakukan dengan pembakaran arang kayu atau dipanaskan didalam furnace guna untuk mempermudah proses tempa (hammer). Proses pembakaran arang kayu atau furnace dapat dilakukan sesuai dengan bahan yang akan di tempa. Sumber : Gambar 2.1 Pisau Egrek/Pisau Pemanen Sawit Dalam proses produksi egrek, beberapa tahapan yang harus dilalui antara lain: 1. Proses tempa (hammer) Baja karbon sedang yang sudah dalam bentuk potongan platstrip dibakar dalam tungku pembakaran dengan waktu kurang lebih 45 menit tujuannya agar baja karbon sedang tersebut mudah untuk dibengkokkan

16 karena pada awal tahap ini dilakukan proses tarik ekor yaitu pada ujung potongan baja karbon sedang. Proses tarik ekor ini dilakukan dengan menggunakan mesin tempa manual. Setelah proses tarik ekor, potongan baja karbon sedang dipanaskan kembali. Akibat pemanasan ini, ukuran baja karbon sedang semakin memanjang karena mengalami proses pemuaian. Selanjutnya dilakukan proses buka bagian depan dengan menggunakan mesin tempa. Agar ukuran/dimensi platstrip tersebut rata, maka dibawa ke tempat pemotongan dan dipotong dengan menggunakan mesin potong. Kemudian dipanaskan kembali di tungku pembakaran agar baja karbon sedang tersebut dapat dibengkokkan dengan menggunakan mesin rolling sesuai dengan bentuk egrek yang sudah standard dan dipukul rata dengan menggunakan mesin tempa. Seperti ditunjukan pada gambar 2.2. Sumber : Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan Gambar 2.2 Mesin tempa (hammer)

17 2. Proses Polishing Hasil akhir dari proses tempa (hammer) sudah dalam bentuk egrek tetapi masihmemerlukan pemolesan kembali agar sesuai dengan ukuran standard perusahaan. Tahap pertama proses ini adalah penggambaran pola. Dalam penggambaran polaini, digunakan egrek yang sudah terstandar sebagai acuan. Dengan menggambarpola ini, maka operator dapat dengan mudah memformat dengan menggunakanmesin format dan mempertajam bagian tepinya. Setelah selesai diformat, egrek dibawa ke proses flating. Proses flating ini merupakan proses pemukulan dengan menggunakan palu, tujuannya agar egrek tersebut tidak baling. 3. Gerinda kasar Setelah selesai dari proses format yang ditunjukan pada gambar 2.3 egrek dibawa ke stasiun gerinda kasar.pada tahap ini dilakukan kegiatan tekuk ekor dengan menggunakan mesin gerinda sehingga bagian ujungnya runcing dan bagian tepinya juga makin dipertajam. Proses ini merupakan proses paling lama karena membutuhkan waktu sekitar 7 menit untuk menyelesaikannya. Setelah kegiatan gerinda selesai, maka kembali. dibawa ke tempat flating untuk dipukul dengan palu. Tiap akhir proses selalu dilakukan proses pemukulan yang tujuannya agar egrek tersebut tidak baling karena biasanya setelah mengalami proses permukaan egrek tersebut tidak rata.

18 Sumber : Pandai Besi Pancur Batu Gambar 2.3 Mesin Gerinda Kasar 4. Penyepuhan Setelah mengalami proses gerinda kasar, egrek tersebut di sepuh dengan memanaskan pada tungku pembakaran. Oleh karena itu sebelum disepuh, arang dibakar selama 5 menit pada tungku pemanasan sehingga suhu mencapai diatas 850 C. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengeluarkan kandungan karbon sehingga egrek tersebut makin keras. Pada tahap penyepuhan ini terjadi dua proses yaitu proses pengerasan (hardening) dan proses tempering. Pada proses hardening, egrek dipanaskan agar kandungan karbon hilang namun apabila pada tahap pemanasan suhu sudah terlalu tinggi maka egrek dapat patah maka dilanjutkan dengan tahap tempering agar panas pada egrek dapat disesuaikan. Sesudah disepuh, egrek masih mengalami proses flating untuk meratakan permukaan egrek (agar tidak baling). 5. Gerinda halus Egrek yang sudah disepuh dibawa ke mesin gerinda halus untuk digerinda. Tujuan dari tahap ini adalah untuk memutihkan permukaan egrek sehingga tampak mengkilap dan tampak lebih tajam.

19 6. Finishing Tahap finishing merupakan tahap pengecatan dengan menggunakan tiner. Egrek direndam sebentar dalam wadah yang berisi tiner kemudian ditiriskan pada lemari oven dengan temperatur 600 C. Dalam lemari oven ini, bertujuan untuk mengeringkan cat clear dan dibutuhkan waktu sekitar 30 menit agar cat clear tersebut dapat benar-benar kering. Setelah itu, egrek yang sudah selesai dibawa ke gudang produk jadi dengan menggunakan beko. Tabel 2.1. Syarat Mutu Egrek SNI No Jenis Uji Satuan Persyaratan 1 Tampak Luar - Tidak cacat 2 Sisi Potong - Tajam 3 Bahan Baku - Baja karbon sedang atau setara 4 Kekerasan Sisi Potong Dilakukan Perlakuan Panas HRC 45,3 Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2.2. Baja Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0,1% hingga 1,7% sesuai tingkatannya. Dalam proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal di dalam baja seperti mangan (Mn), silikon (Si), kromium (Cr), vanadium (V), dan unsur lainnya.

20 Baja adalah paduan logam yang tersusun dari besi sebagai unsur utama dan karbon sebagai unsur penguat.unsur karbon banyak berperan sebagai peningkatan kekerasan.perlakuan panas dapat mengubah sifat fisis baja jadi lunak seperti kawat menjadi keras seperti pisau. Perlakuan panas mengubah struktur mikro baja dan struktur kristal dari bcc ke fcc yang bersifat paduan dan bila didinginkan tibatiba terjadi perubahan struktur kristal dari fcc ke bcc. Baja merupakan bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan baja. Baja menduduki peringkat pertama di antara barang tambang logam dan produknya melingkupi hampir 90 % dari barang berbahan logam Klasifikasi Baja Berdasarkan komposisi dalam prakteknya baja terdiri dari beberapa macam yaitu: Baja Karbon (Carbon Steel), dan Baja Paduan (Alloy Steel) Berdasarkan tinggi rendahnya presentase karbon di dalam baja, baja karbon diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel) Baja karbon rendah mengandung karbon antara 0,10 s/d 0,30 %. Baja karbon ini dalam perdagangan dibuat dalam plat baja, baja strip dan baja batangan atau profil. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja, maka baja karbon rendah dapat digunakan atau dijadikan baja-baja sebagai berikut:

21 a. Baja karbon rendah yang mengandung 0,04 % - 0,10% C. untuk dijadikan baja baja plat atau strip. b. Baja karbon rendah yang mengandung 0,10-0,15% C digunakan untuk keperluan badan-badan kendaraan. c. Baja karbon rendah yang mengandung 0,15% - 0,30% C digunakan untuk konstruksi jembatan, bangunan, membuat baut atau dijadikan baja konstruksi. 2. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel) Baja karbon menengah mengandung karbon antara 0,30% - 0,60% C. Baja karbon menengah ini banyak digunakan untuk keperluan alat-alat perkakas bagian mesin. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung dalam baja maka baja karbon ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri kendaraan, roda gigi, pegas dan sebagainya. 3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel) Baja karbon tinggi mengandung kadar karbon antara 0,60% - 1,7% C dan setiap satu ton baja karbon tinggi mengandung karbon antara kg. Baja ini mempunyai tegangan tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material tools. Salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung didalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas, alat-alat perkakas seperti: palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji dan lain sebagainya.

22 Baja karbon rendah merupakan baja yang paling murah diproduksi, mudah dimachining dan dilas, serta keuletan dan ketangguhannya sangat tinggi tetapi kekerasannya rendah dan tahan aus. Sehingga pada penggunaannya, baja jenis ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan komponen mobil, struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, pagar, dan lain-lain. Selain baja dengan paduan karbon (C), ada juga baja dengan paduan lainnya seperti Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain. Baja paduan didefenisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki seperti sifat kekuatan, kekerasan, dan keuletannya. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat khas dari baja. Misalnya baja yang dipaduan dengan Ni dan Cr akan menghasilkan baja yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasarkan kadar paduannya, baja paduan dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Baja Paduan Rendah (Low Alloy Steel) Baja paduan rendah merupakan baja paduan yang elemen paduannya kurang dari 2,5% wt. 2. Baja Paduan Menengah (Medium Alloy Steel) Baja paduan menengah merupakan baja paduan yang elemen paduannya antara 2,5% - 10% wt. 3. Baja Paduan Tinggi (High Alloy Steel) Baja paduan tinggi merupakan baja paduan yang elemen paduannya lebih dari 10% wt.

23 Pada umunya, baja paduan mempunyai sifat yang unggul dibandingkan dengan baja karbon biasa, diantaranya adalah mempunyai keuletan yang tinggi tanpa pengurangan kekuatan tarik, tahan terhadap korosi dan keausan yang tergantung pada jenis paduannya, tahan terhadap perubahan suhu, serta memiliki butiran yang halus dan homogen. Berdasarkan golongan paduannya,baja paduan dibagi dua golongan, yaitu: 1. HSS (High speed steel) kandungan karbonnya antara 0,70%-1,50%.kegunaanya untuk membuat alat-alat potong seperti pengebor (drills),pembentuk lembaran baja (reamers), dan peniling (milling cutters). Disebut sebagai HSS karena alat potong tersebut dapat dioperasikan dua kali lebih cepat dibandingkan dengan baja karbon. 2. Baja paduan khusus (special alloy steel) baja jenis ini mengadung satu atau lebih logam-logam seperti nikel (Ni), Krom (Cr), mangan (Mn), molybdenum (Mo) dan vanadium (V). Dengan menambahkan unsure-unsur tersebut kedalam baja maka sifat mekanik dan kimianya berubah, seperti menjadi keras, kuat dan ulet dibandingkan dengan baja karbon. Baja paduan khusus dibedakankan lagi menjadi: 1. Baja Perkakas (Tool Steel) Mempunyai sifat-sifat yang harus memiliki yaitu tahan pakai/awet, Tajam atau mudah di asah, tahan panas, kuat dan ulet. Pemilihan baja perkakas tergantung pada syarat pemakiannya,misalnya baja perkakas

24 pemotong harus tahan aus dan tangguh. Perkakas penumbuk seperti pahat, pemukul, paku keeling, harus memiliki ketangguhan yang baik. 2. HSLS (High Strength Low Alloy Steel) Sifat dari HSLS adalah memiliki kuat luluh (tensile strength) yang tinggi, anti bocor, tahan terhadap abrasi, mudah dibentuk tahan terhadap korosi, ulet, sifat mampu mesin (diproses/dibentuk) yang baik dan sifat mampu las yang tinggi (weld ability). Untuk mendapatkan sifat-sifat di atas maka baja ini diproses secara khusus dengan menambahkan unsur-unsur paduan seperti : Tembaga (Cu), Nikel (Ni), Krom (Cr), Molibdenum (Mo), Vanadium (V) dan kolumbium. 3. Baja Tahan Karat (Stainless Steel) Baja stainless steel sebenarnya adalah baja paduan dengan kadar paduan tinggi, dimana terdapat unsur paduan kromium pada sistem paduan besi dan karbon. untuk membatasi paduan ini masuk kedalam jenis paduan baja (alloy steel) atau paduan ini masuk ke dalam golongan stainless steel, the american iron and steel institute (AISI) memberikan batasan kandungan 4% kromium. Bila kandungan kromium dalam paduan melebehi 4% maka paduan tersebut sudah memenuhi syarat masuk kedalam golongan stainless. Baja stainless steel ini memiliki daya tahan yang baik terhadap panas, tahan temperatur rendah maupun tinggi tahan korosi, keras, ulet,dan tahan aus, dapat ditempa, mudah dipolish serta mengkilat. Pengaruh unsur-unsur paduan dalam baja adalah sebagai berikut: 1. Unsur Karbon (C) Karbon merupakan unsur terpenting yang dapat meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja. Kandungan karbon di dalam baja sekitar 0,3 1,7%,

25 sedangkan unsur lainnya dibatasi sesuai dengan kegunaan baja. Unsur paduan yang bercampur di dalam lapisan baja adalah untuk membuat baja bereaksi terhadap pengerjaan panas dan menghasilkan sifat-sifat yang khusus. Karbon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan tetapi jika berlebihan akan menurunkan ketangguhan. 2. Unsur Mangan (Mn) Semua baja mengandung mangan karena sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan baja. Kandungan mangan kurang lebih 0,6% tidak mempengaruhi sifat baja, dengan kata lain mangan tidak memberikan pengaruh besar pada struktur baja dalam jumlah yang rendah. Penambahan unsur mangan dalam baja dapat menaikkan kekuatan tarik sehingga baja dengan penambahan mangan dapat memiliki sifat kuat dan ulet. 3. Unsur Silikon (Si) Silikon merupakan unsur paduan yang ada pada setiap baja dengan kandungan lebih dari 0,4% yang mempunyai pengaruh untuk menaikkan tegangan tarik dan menurunkan laju pendinginan kritis. Silikon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, kekenyalan, ketahanan aus, dan ketahanan terhadap panas dan karat. 4. Unsur Nikel (Ni) Nikel mempunyai pengaruh yang sama seperti mangan, yaitu memperbaiki kekuatan tarik dan menaikkan sifat ulet, tahan panas, jika pada baja paduan terdapat unsur nikel sekitar 2,5% maka baja dapat tahan terhadap korosi. Unsur nikel yang bertindak sebagai tahan korosi disebabkan nikel bertindak sebagai lapisan penghalang yang melindungi permukaan baja.

26 5. Unsur Kromium (Cr) Sifat unsur kromium dapat menurunkan laju pendinginan kritis (kromium sejumlah 1,5% cukup meningkatkan kekerasan dalam media pendinginan minyak). Penambahan kromium pada baja menghasilkan struktur yang lebih halus dan membuat sifat baja dikeraskan lebih baik karena kromium dan karbon dapat membentuk karbida. Kromium dapat menambah kekuatan tarik dan keplastisan serta berguna juga dalam membentuk lapisan pasif untuk melindungi baja dari korosi serta tahan terhadap suhu tinggi Sifat-Sifat Baja Untuk dapat menggunakan bahan teknik dengan tepat, maka bahan tersebut harus dapat dikenali dengan baik sifat-sifatnya yang mungkin akan dipilih untuk digunakan. sifat-sifat tersebut tentunya sangat banyak macamnya, untuk itu secara umum sifat-sifat bahan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Sifat Kimia Dengan sifat kimia diartikan sebagai sifat bahan yang mencakup antara lain kelarutan bahan terhadap larutan kimia, basa atau garam dan pengoksidasiannya terhadap bahan tersebut. Salah satu contoh dari sifat kimia yang terpenting adalah Korosi 2. Sifat Teknologi Sifat teknologi adalah sifat suatu bahan yang timbul dalam proses pengolahannya. Sifat ini harus diketahui terlebih dahulu sebelum mengolah atau mengerjakan bahan tersebut.

27 Sifat-sifat teknologi antara lain : sifat mampu las (weldability), sifat mampu dikerjakan dengan mesin (machineability), sifat mampu cor (castability), dan sifat mampu dikeraskan (hardenability) 3. Sifat Mekanik Sifat mekanik suatu bahan adalah kemampuan bahan untuk menahan beban-beban yang dikenakan padanya. Beban-beban tersebut dapat berupa beban tarik, tekan, bengkok, geser, puntir, atau beban kombinasi. Sifat-sifat mekanik yang terpenting antara lain: a. Kekuatan (strength) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa menyebabkan bahan tersebut menjadi patah. Kekuatan ini ada beberapa macam, dan ini tergantung pada beban yang bekerja antara lain dapat dilihat dari kekuatan tarik, kekuatan geser, kekuatan tekan, kekuatan puntir, dan kekuatan bengkok. b. Kekerasan (hardness) Dapat didefenisikan sebagai kemampuan bahan untuk bertahan terhadap goresen, pengikisan (abrasi), penetrasi. Sifat ini berkaitan erat dengan sifat keausan (wear resistance). Dimana kekerasan ini juga mempunyai korelasi dengan kekuatan. c. Kekenyalan (elasticity) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk yang permanen setelah tegangan dihilangkan. Bila suatu bahan mengalami tegangan maka akan terjadi perubahan bentuk. Bila tegangan yang bekerja besarnya tidak

28 melewati suatu batas tertentu maka perubahan bentuk yang terjadi bersifat sementara, perubahan bentuk ini akan hilang bersamaan dengan hilangnya tegangan, akan tetapi bila tegangan yang bekerja telah melampaui batas, maka sebagian bentuk itu tetap ada walaupun tegangan telah dihilangkan. Kekenyalan juga menyatakan seberapa banyak perubahan bentuk yang permanen mulai terjadi, dengan kata lain kekenyalan menyatakan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah menerima beban yang menimbulkan deformasi. d. Kekakuan (stiffness) Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan/beban tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) atau defleksi. Dalam beberapa hal kekakuan ini lebih penting daripada kekuatan. e. Plastisitas (plasticity) Menyatakan kemampuan bahan untuk mengalami sejumlah deformasi plastis yang permanen tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Sifat ini sangat diperlukan bagi bahan yang akan diproses dengan berbagai proses pembentukan seperti, forging, rolling, extruding dan sebagainya. Sifat ini sering juga disebut sebagai keuletan/kekenyalan (ductility). Bahan yang mampu mengalami deformasi plastis yang cukup tinggi dikatakan sebagai bahan yang mempunyai keuletan / kekenyalan tinggi, dimana bahan tersebut dikatakan ulet / kenyal (ductile). Sedang bahan yang tidak menunjukan terjadinya deformasi plastis dikatakan

29 sebagai bahan yang mempunyai keuletan rendah atau dikatakan getas / rapuh (brittle). f. Ketangguhan (toughness) Menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah energi tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan. Juga dapat dikatakan sebagai ukuran banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan suatu benda kerja, pada suatu kondisi tertentu. Sifat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga sifat ini sulit untuk diukur. g. Kelelahan (fatigue) Merupakan kecenderungan dari logam untuk patah apabila menerima tegangan berulang-ulang (cyclic stress) yang besarnya masih jauh dibawah batas kekuatan elastisitasnya. Sebagian besar dari kerusakan yang terjadi pada komponen mesin disebabkan oleh kelelahan. Karenanya kelelahan merupakan sifat yang sangat penting tetapi sifat ini juga sulit diukur karena sangat banyak faktor yang mempengaruhinya. h. Keretakan (creep) Merupakan kecenderungan suatu logam mengalami deformasi plastis yang besarnya merupakan fungsi waktu, pada saat bahan tersebut menerima beban yang besarnya relatif tetap Diagram Fasa Fe-C Diagram keseimbangan besi karbon seperti pada gambar 2.4 adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan yang lambat

30 dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar pemahaman untuk semua operasi-operasi perlakuan panas. Dimana fungsi diagram fasa adalah memudahkan memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil, normalizing maupun proses pengerasan. Besi karbon terbagi atas dua bagian yaitu baja (steel) dan cast iron. Baja adalah paduan besi dengan karbon maksimal sampai sekitar 2%, sedangkan cast iron adalah paduan besi dengan karbon diatas 2%. Baja dibagi dua bagian yaitu baja yang mengandung kurang dari 0,83% disebut hypoetectoid dan baja yang mengandung lebih dari 0,83% sampai dengan 2% karbon disebut dengan hyperetectoid. Pemanasan pada suhu C dengan komposisi 0,8 % C disebut dengan titik eutectoid. Apabila dilakukan pemanasan sebelum mencapai titik eutectoid, pada titik hypoeutectoid terbentuk fasa pearlit dan ferrit. Sedangkan dibawah hypereutectoid mempunyai fasa pearlit dan sementit. Pada pemanasan melewati garis eutectoid, terjadi perubahan fasa pearlit menjadi austenit. Ketika paduan A (A 1 ) mencapai suhu C (suhu eutektoid) sisa austenit sekitar 0,8% C (meskipun sebenarnya jumlah komposisinya 0,4%). Oleh karena itu, pada titik eutectoid reaksi yang terjadi adalah perubahan sisi austenite menjadi pearlite (α + Fe 3 C). ketika paduan A (A 3 ) mencapai suhu C, ferit bcc mulai berubah bentuk menjadi austenite. Ini merupakan reaksi solid dan dipengaruhi oleh difusi karbon pada austenit. Ferrit yang berisi karbon terbentuk dengan sangat lambat. Keadaaan paduan A (A cm ) transformasi Fe 3 C menjadi austenit secara keseluruhan pada suhu ini, seperti

31 prediksi pada diagram. Seluruh sistem austenit fcc dengan kadar karbon 0.95 %. Dari gambar 2.4 andaikan suatu bahan dipanaskan sampai sekitar suhu C dengan komposisi 0,68 % karbon sampai fasa austenit, kemudian didinginkan sampai C fasa yang terbentuk adalah fasa pearlit tetapi bila didinginkan sampai batas kritis C, fasa gamma sebagian akan terdistorsi menjadi fasa alpha, dan bila dilanjutan pendinginan di bawah sedikit batas kritis, ferrit akan bergabung didalam pearlit dan austenite akan bertransformasi menjadi karbida (sementit). Andaikan didinginkan cepat, fasa akan bertransformasi menjadi sementit dan pearlit. Dalam hal ini, pengaruh waktu tahan sangat menetukan pada pembetukan perubahan butir. (Sumber: file.upi.edu) Gambar 2.4. Diagram Fasa Fe-C

32 Adapun macam macam struktur yang ada pada besi karbon adalah sebagai berikut: 1. Ferrit Ferrit adalah fasa larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Ferrit terbentuk akibat proses pendinginan yang lambat dari austenit baja hypotectoid pada saat mencapai A3. Ferrit bersifat sangat lunak, ulet dan memiliki kekerasan sekitar BHN dan memiliki konduktifitas yang tinggi. 2. Austenit Fasa Austenit memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam keadaan setimbang fasa austenit ditemukan pada temperatur tinggi. Fasa ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat austenit lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fasa ferrit dan memiliki kekerasan sekitar 200 BHN. 3. Sementit Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang umum dikenal sebagai karbida besi dengan kandungan karbon 6,67% yang bersifat keras sekitar 5-68 HRC 4. Perlit Perlit adalah campuran sementit dan ferit yang memiliki kekerasan sekitar 10-30HRC. Perlit yang terbentuk sedikit dibawah temperatur eutectoid memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak.

33 5. Bainit Bainit merupakan fasa yang kurang stabil yang diperoleh dari austenit pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit. 6. Martensit Martensit terbentuk oleh pendinginan cepat austenit dimana atom karbon terperangkap sehingga tidak punya waktu untuk berdifusi dari kristal. Martensit terbentuk pada suhu diatas suhu ruang, atau dibawah temperatur uetektoid dimana struktur austenit menjadi tidak stabil. Martensit mempunyai struktur kristal yang sama dengan austenit dengan komposisi yang hampir sama. Martensit sebagai fasa menstabil yang mengadung larutan padat dalam struktur. Tidak mengubah bentuk diagram besi karbida. Pada suhu dibawah euktektoid setelah waktu tertentu,larutan lewat jenuh karbon dalam besi terus berubah sehingga membentuk ferrit dan karbida yang lebih stabil Dagram TTT (Time Temperature Transformation) Pada Gambar 2.5 menunjukkan diagram TTT untuk jenis baja hypoeutectoid, dimana garis ordinat menunjukkan temperatur sedangkan garis absis menunjukkan waktu. Melalui diagram TTT ini, dapat diketahui kapan transformasi austenit dimulai serta waktu yang dibutuhkan untuk membentuk austenit sempurna. Untuk mencapai martensit, kecepatan turunnya suhu dapat relatif dipercepat dengan menggunakan media pendingin air.seiring dengan turunnya suhu, pembentukan mendekati seratus persen martensit. Terbentuknya struktur mikro bainit dengan kecepatan suhu yang relatif

34 lambat yaitu dengan menggunakan media pendinginan udara. Dimana media pendinginan udara diberikan secara alam, sehingga lamanya untuk dingin membutuhkan waktu yang lambat. Sumber: R.E.Smallman dan R.J. Bishop (2000) Gambar 2.5 Diagram TTT Untuk Baja Hypoeutectoid Dari gambar 2.5 di atas menunjukkan hidung (nose) sebagai batasan waktu minimum dimana sebelum waktu tersebut bertransformasi austenite ke perlit tidak akan terjadi. Posisi hidung dari diagram TTT dapat bergeser menurut kadar karbon, semakin kekanan berarti kadar karbon makin mudah untuk membentuk bainit/martensite atau makin mudah dikeraskan.

35 2.3. Perlakuan Panas (Heat Treatment) Perlakuan panas atau heat treatment mempunyai tujuan untuk meningkatkan keuletan, menghilangkan tegangan internal (internal stress), menghaluskan ukuran butir kristal dan meningkatkan kekerasan atau tegangan tarik logam. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perlakuan panas, yaitu suhu pemanasan, waktu yang diperlukan pada suhu pemanasan, laju pendinginan dan lingkungan atmosfir. Cara yang dipakai ialah memanaskan logam sehingga terbentuk suatu fasa, kemudian diikuti dengan pendinginan cepat. Dengan cara ini pada temperature kamar akan terbentuk satu fasa yang kelewat jenuh. Bila logam dalam keadaan tersebut dipanaskan maka fasa-fasa yang larut akan mengendap. Perlakuan panas adalah kombinasi anatara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau paduannyadalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka kecepatan pendinginan dan batas temperatur sangat menentukan (Daryanto,2010). Perlakuan panas dibedakan: (a) proses laku panas dengan kondisi equilibrium, seperti annealing, normalising (b) proses laku panas non-equilibrium, seperti pengerasan (hardening). Jenis-jenis perlakuan panas antara lain: Annealing Proses annealing atau melunakkan baja adalah proses pemanasan baja diatas temperatur kritis (723 o C) selanjutnya dibiarkan berapa lama sampai temperatur merata disusul dengan pendinginan secara perlahan-lahan sambil

36 dijaga agar temperatur bagian luar dan dalam kira-kira sama hingga diperoleh struktur yang diinginkan dengan menggunakan media pendingin udara. Tujuan proses annealing yaitu : Melunakkan material logam Menghilangkan tegangan dalam/sisa Memperbaiki butir-butir logam Normalizing Normalizing adalah proses pemanasan logam hingga mencapai fase austenite yang kemudian didinginkan secara perlahan-lahan dengan media pendingin udara. Hasil pendinginan ini berupa perlit dan ferit namun hasilnya jauh lebih mulus dari annealing. Prinsip proses normalizing adalah melunakkan logam. Namun pada baja karbon tinggi atau paduan tertentu dengan proses ini belum tentu memperoleh baja lunak. Mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung dari kadar karbon. Normalizing dilakukan untuk mendapatkan struktur mikro dengan butir halus dan seragam. Proses ini dapat diartikan sebagai pemanasan dan mempertahankan pemanasan pada suhu yang sesuai diatas batas perubahan diikuti dengan pendinginan secara bebas di dalam udara luarsupaya menjadi seragam dan juga untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik dari baja tersebut Quenching Pengertian pengerasan ialah perlakuan panas terhadap baja dengan sasaran meningkatkan kekerasan alami baja.perlakuan panas menuntut

37 pemanasan benda kerja menuju suhu pengerasan dan pendinginan secara cepat dengan kecepatan pendinginan kritis (Schonmetz,1985). Faktor penting yang dapat mempengaruhi proses hardening terhadap kekerasan baja yaitu oksidasi oksigen udara. Selain berpengaruh terhadap besi, oksigen udara berpengaruh terhadap karbon yang terikat sebagai sementit atau yang larut dalam austenit. Oleh karena itu pada benda kerja dapat berbentuk lapisan oksidasi selama proses hardening. Pencegahan kontak dengan udara selama pemanasan atau hardening dapat dilakukan dengan jalan menambah temperatur yang tinggi karena bahan yang terdapat dalam baja akan bertambah kuat terhadap oksigen. Jadi, semakin tinggi temperatur, semakin mudah untuk melindungi besi terhadap oksidasi (Sconmetz,1985). Proses quenching atau pengerasan baja adalah suatu proses pemanasan logam sehingga mencapai batas austenit yang homogen. Untuk mendapatkan ke-homogenan ini maka austenite perlu pemanasan yang cukup.selanjutnya secara cepat baja tersebut dicelupkan ke media pendingin, tergantung pada kecepatan pendinginan yang kita inginkan untuk mencapai kekerasan baja (Daryanto,2010). Pada waktu pendinginan yang cepat pada fase austenit tidak sempat berubah menjadi ferit atau pearlit karena tidak ada kesempatan bagi atomatom karbon yang telah larut dalam austenite untuk mengadakan pergerakan difusi dan berbentuk sementit oleh karena iti terjadi fase yang martensit, ini berupa fase yang sangat keras dan tergantung pada keadaan karbon.

38 Menurut Edih Supardi (1999) dasar pengujian pengerasan pada bahan baja yaitu suatu proses pemanasan dan pendinginan untuk mendapatkan struktur kerasyang disebut martensit. Martensit yaitu fasa larutan padat lewat jenuh dari karbondalam sel satuan tetragonal pusat badan atau mempunyai bentuk Kristal Body Centered Tetragonal (BCT) seperti pada gambar 2.6. Sumber : ASM International, Material Park Gambar 2.6 Struktur Kristal Martensit-Body Centered Tetragonal (BCT) Makin tinggi derajat kelewatan jenuh karbon, maka makin besar perbandingan satuan sumbu sel satuannya, martensit makin keras tetapi getas. Martensit adalah fasa metastabil terbentuk dengan laju pendinginan cepat, semua unsur paduan masih larut dalam keadaan padat.pemanasan harus dilakukan secara bertahap (preheating) dan perlahan-lahan untuk memperkecil deformasi ataupun resiko retak.setelah temperatur pengerasan (austenitizing) tercapai, ditahan dalam selang waktu tertentu (holding time) kemudian didinginkan cepat. Tahap pendinginan lambat pada baja mengakibatkan suatu keadaan yang relatif lunak atau plastis.untuk menambah kekerasan baja, dapat

39 dilakukan dengan pengerjaan yang dimana baja dipanaskan sampai suhu 830 o C kemudian didinginkan secara cepat (quenching).tujuan pengerjaan ini dengan maksud pengerasan baja adalah mendinginkan atau melindungi suatu perubahan austenitic dari pada pendinginan Tempering Tempering didefinisikan sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan (quenching) pada temperatur tempering (di bawah suhu kritis) sehingga diperoleh ductility tertentu, yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (Koswara, 1999). Prosesnya adalah memanaskan kembali berkisar antara suhu 150 o C 650 o C dan didinginkan secara perlahan-lahan tergantung sifat akhir baja tersebut. Menurut Schonmetz (1985) tujuan proses tempering dibedakan sebagai berikut: a. Tempering pada suhu rendah (150 o C o C) Perlakuan ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat kerja yang tidak mengalami beban berat seperti alat-alat potong, mata bor dan sebagainya. b. Tempering suhu menengah (300 o C o C) Bertujuan untuk menambah keuletan, dan kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas.

40 c. Tempering pada suhu tinggi (550 o C -650 o C) Tempering pada suhu tinggi bertujuan untuk memberikan daya keuletan yang besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah, misalnya pada roda gigi, poros, batang penggerak dan sebagainya. Pada dasarnya baja yang telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan. Melalui temper, kekerasan, dan kerapuhan dapat diturunkan sampai memenuhi persyaratan. Kekerasan turun, kekuatan tarik akan turun, sedang keuletan dan ketangguhan akan meningkat (Djafrie, 1985). Meskipun proses ini menghasilkan baja yang lebih lemah, proses ini berbeda dengan annealing karena dengan proses ini belum tentu memperoleh baja yang lunak, mungkin berupa pengerasan dan ini tergantung oleh kadar karbon. Pada saat tempering proses difusi dapat terjadi yaitu karbon dapat melepaskan diri dari martensit berarti keuletan (ductility) dari baja naik, akan tetapi kekuatan tarik, dan kekerasan menurun. Senada dengan itu Djafrie (1986) menyatakan sifat-sifat mekanik baja yang telah dicelup, dan di-temper dapat diubah dengan cara mengubah temperatur tempering Media Pendingin Media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan baja bermacammacam.berbagai bahan pendingin yang digunakan dalam proses perlakuan panas antara lain:

41 1. Air Pendinginan dengan menggunakan air akan memberikan daya pendinginan yang cepat. Biasanya ke dalam air tersebut dilarutkan garam dapur sebagai usaha mempercepat turunnya temperatur benda kerja dan mengakibatkan bahan menjadi keras. Air memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut (Dugan, 1972; Hutchinson, 1975; Miller, 1992). Pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni 0 o C (32 o F) 100 o C, air berwujud cair.suhu 0 o C merupakan titik beku (freezing point) dan suhu 100 o C merupakan titik didih (boiling point) air. Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik.sifat ini memungkinkan air tidak menjadi panas atau dingin dalam seketika. Air memerlukan panas yang tinggi dalam proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan air es dalam proses pendinginan setelah proses heat treatment karena dapat mendinginkan logam yang telah dipanaskan secara cepat. Suhu air es berkisar antara 0 C-5 C, densitas (berat jenis) air maksimum sebesar 1 g/cm 3 terjadi pada suhu 3,95 o C. Pada suhu lebih besar maupun lebih kecil dari 3,95 o C, densitas air lebih kecil dari satu (Moss, 1993; Tebbut, 1992).

42 2. Minyak Minyak yang digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panas adalah benda kerja yang diolah. Selain minyak yang khusus digunakan sebagai bahan pendingin pada proses perlakuan panas, dapat juga digunakan oli. Penggunaan pelumas atau oli sebagai media pendingin akan menyebabkan timbulnya selaput karbon pada spesimen tergantung dari besarnya viskositas pelumas. Atas dasar tujuan untuk memperbaiki sifat baja tersebut,oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan oli SAE 40 dalam proses pendinginan setelah proses heat treatment. 3. Udara Pendinginan udara dilakukan untuk perlakuan panas yang membutuhkan pendinginan lambat. Untuk keperluan tersebut udara yang disirkulasikanke dalam ruangan pendingin dibuat dengan kecepatan yang rendah. Udara sebagai pendingin akan memberikan kesempatan kepada logam untuk membentuk kristal kristal dan kemungkinan mengikat unsur unsur lain dari udara. Adapun pendinginan pada udara terbuka akan memberikan oksidasi oksigen terhadap proses pendinginan. 4. Garam Garam dipakai sebagai bahan pendingin disebabkan memiliki sifat mendinginkan yang teratur dan cepat. Bahan yang didiginkan di dalam cairan garam yang akan mengakibatkan ikatannya menjadi lebih keras karena pada permukaan benda kerja tersebut akan meningkat zat arang.

43 Kemampuan suatu jenis media dalam mendinginkan spesimen bisa berbedabeda, perbedaan kemampuan media pendingin disebabkan oleh temperatur, kekentalan, kadar larutan dan bahan dasar media pendingin Pengujian Kekerasan Kekerasan logam didefinisikan sebagai ketahanan terhadap penetrasi, dan memberikan indikasi cepat mengenai perilaku deformasi (Smallman, 2000). Alat uji kekerasan menekankan bola kecil, piramida atau kerucut ke permukaan logam dengan beban tertentu, dan bilangan kekerasan (Brinell atau piramida Vickers) diperoleh dari diameter jejak. Kekerasan dapat dihubungkan dengan kekuatan luluh atau kekuatan tarik logam, Karena sewaktu indentasi, material di sekitar jejak mengalami deformasi plastis mencapai beberapa persen regangan tertentu. Bilangan kekerasan Vickers (VPN) didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan jejak piramida dan dinyatakan dalam satuan kgf/mm 2 dan besarnya sekitar tiga kali tegangan luluh untuk material yang tidak mengalami pengerasan kerja yang berarti. Bilangan kekerasan Brinell (BHN) diberikan oleh persamaan (2.1). Dimana bilangan Brinell didefinisikan sebagai tegangan P/A, dalam satuan kgf/mm 2, diamana P adalah beban dan A adalah luas permukaan kutub bola yang membentuk indentasi. Jadi BHN = 2P πd(d D 2 d 2 )...(2.1) dimana d adalah diameter jejak dan D adalah diameter indentor. Agar diperoleh hasil yang kosisten maka rasio d/d harus kecil dan diusahakan agar tetap konstan. Dengan begini nilai BHN untuk material lunak adalah sama.

44 Pengujian kekerasan penting, baik untuk pengendalian kerja maupun penelitian, khususnya bilamana diperlukan informasi mengenai getas pada suhu tinggi Pengujian Tarik Pengujian tarik dilakukan terhadap batang uji yang standar. Pada bagian tengah batang uji merupakan bagian yang menerima tegangan yang uniform, danpada bagian ini diukurkan panjang uji (gauge length), yaitu bagian yang dianggap menerima pengaruh dari pembebanan. Pada bagian inilah yang selalu diukur panjangnya dalam proses pengujian. Dasar yang digunakan untuk mengetahui kekuatan tarik dari suatu material adalah kurva tegangan dan regangan. Donan (1952) menyatakan, The parameters which are used to describe the stress - strain curve of metals are the tensile strength, yield strength, percent elongation and reduction of area. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa komponen-komponen utama dari kekuatan tarik adalah kekuatan maksimum (tensile strength), tegangan luluh dari material, regangan yang terjadi saat penarikan dan pengurangan luas penampang seperti. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti digambarkan pada gambar 2.7. Kurva ini menunjukkan hubungan antara tegangan dengan regangan. Perubahan panjang dalam kurva disebut sebagai regangan teknik (ε eng.), yang didefinisikan sebagai perubahan panjang yang terjadi akibat perubahan statik ( L)

45 terhadap panjang batang mula-mula (L 0 ). Tegangan yang dihasilkan pada proses ini disebut dengan tegangan teknik (σ eng ), dimana didefinisikan sebagai nilai pembebanan yang terjadi (F) pada suatu luas penampang awal (A 0 ). Sumber : Pengujian Bahan Logam, Engkos Koswara Gambar2.7 Kurva Tegangan Regangan Baja Tegangan normal tesebut akibat gaya tarik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.2) (Koswara, 1999). F σ =...(2.2) Ao Dimana: σ = Tegangan tarik (MPa) F= Gaya tarik (N) A o = Luas penampang spesimen mula-mula (mm 2 ) Dalam uji tarik dikenal juga sifat ulet. Keuletan ini dinyatakan dengan regangan maksimum yang bisa dicapai oleh bahan, yaitu pada saat patah. Semakin

46 besar regangan yang bias dicapai oleh bahan, semakin ulet bahan tersebut. Regangan (e) merupakan perbandingan antara perpanjangan yang terjadi dengan panjang awal dari spesimen. Regangan akibat beban tekan statik dapat ditentukan berdasarkan persamaan (2.3) (Koswara, 1999). L ε = x100%...(2.3) L Dimana: L = L-L 0 Keterangan: ε = Regangan akibat gaya tarik L = Perubahan panjang spesimen akibat beban tekan (mm) Lo = Panjang spesimen mula-mula (mm) Pada praktiknya nilai hasil pengukuran tegangan pada suatu pengujian tarik pada umumnya merupakan nilai teknik. Regangan akibat gaya tarik yang terjadi, panjang akan menjadi bertambah dan diameter pada spesimen akan menjadi kecil, maka ini akan terjadi deformasi plastis (Nash, 1998). Hubungan antara stress dan strain dirumuskan pada persamaan (2.4) (Koswara, 1999). E = σ / ε...(2.4) E adalah gradien kurva dalam daerah linier, di mana perbandingan tegangan (σ) dan regangan (ε) selalu tetap. E diberi nama Modulus Elastisitas atau Young Modulus. Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini kerap disingkat kurva SS (SS curve).

47 Sifat lainnya dalam uji tarik adalah adanya reduksi penampang. Reduksi penampang atau reduction of area pada saat patah. Sebenarnya sifat ini erat kaitannya dengan regangan yang dialami oleh bahan. Sifat ini dinyatakan dengan persamaan (2.5) (Koswara, 1999). A = A A₀ A X 100%...(2.5) Keterangan : A : Reduksi penampang A : Luas penampang akhir (mm 2 ) A 0 : Luas penampang awal (mm 2 ) Saat spesimen mengalami patah, maka akan terbentuk suatu penampang patah yang bentuknya dapat diklasifikasikan menurut bentuk teksturnya. Jenis-jenis perpatahan menurut bentuknya adalah simetri, kerucut mangkok (cup cone), rata dan tak teratur bermacam-macam bentuk tekstur adalah silky (seperti sutera), butir halus, butir kasar atau granular, berserat (fibrous), kristalin, glassy (seperti kaca) dan pudar seperti terlihat pada gambar 2.8. Sumber : Pengujian Bahan Logam, Engkos Koswara Gambar 2.8 Bentuk Penampang Patahan

48 Tujuan pengujian tarik untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dan perubahanperubahan dari suatu logam terhadap pembebanan tarik. Dalam setiap pengujian tentang logam, pengujian tarik wajib dilakukan Pengujian Fatigue Batas lelah merupakan batas tegangan suatu spesimen saat spesimen tersebut masih dapat menerima tegangan bolak-balik yang tak hingga tanpa terjadi patah. Batas lelah material dapat ditentukan dari pengujian lelah lentur putar (rotary bending fatique test) terhadap beberapa specimen uji. Beban yang diberikan pada masingmasing specimen uji dibuat berbeda-beda. Bentuk penampang patahan akibat pembebanan dinamik dapat dicirikan oleh adanya : a. Retakan awal (crack inisiation) b. Daerah rambatan retak (crack growth) c. Daerah beban berlebih (overload area) Faktor utama yang menyebabkan terjadinya patah lelah adalah fluktuasi tegangan, dan secara umum kondisi tegangan dibagi menjadi tiga jenis dan dapat digambarkan sebagai berikut: a. Tegangan pembalikan (reversed stress) gambar 1(a) menunjukkan kondisi tegangan balik dengan bentuk sinusoidal hal ini dapat terjadi bila dalam keadaan ideal. Misalnya poros yang berputar dengan kecepatan konstan tanpa beban lebih sehingga keadaan tegangan maksimum dan minimum yang terjadi sama besar. b. Tegangan berulang (repeated stress) pada gambar 1(b) terlihat bahwa tegangan maksimum dan tegangan minimum tidak sama dan keduanya

49 dalam keadaan tarik. Tegangan berulang ini dapat juga terjadi dalam keadaan tekan kedua-duanya. c. Tegangan tidak beraturan (irregular stress) gambar 1(c) keadaan tegangan tidak teratur, hal ini terjadi pada bagian sayap pesawat terbang karena factor aerodinamik sehingga besar kecilnya beban yang mengenai sayap tidak dapat dideteksi pada setiap periode waktu. Gambar 2.9. Bentuk Siklus Tegangan Lelah Perbandingan antara tegangan minimum dengan tegangan maksimum disebut stress ratio diberi notasi R, hasilnya dapat dihitung dengan persamaan berikut ini....(2.6) Sedangkan pada pengujian fatik ada beberapa sistim penbebanan yang dapat digunakan seperti berikut ini: - Tegangan tarik rata-rata (tensile mean stress), R= +1 - Tegangan balik sempurna (completely reversed stress ), R= -1 - Tegangan tarik pulsa (pulsating tension), 0 < R < 1 - Tegangan tekan pulsa (pulsating compession), 1 < R < + tak terhingga

50 - Tegangan tarik bolak-balik rata-rata (alternating tensile mean stress), -1 < R < 0 - Tegangan tekan bolak-balik rata-rata (alternating compressive mean stress) - tak terhingga < R < 0 Pada pengujian fatik suatu bahan yang dilaksanakan di Laboratorium biasanya tegangan yang dipakai disederhanakan serta hasilnya diperlihatkan dalam bentuk diagram S N, disebut juga Wohler diagram. 1. Kurva tegangan Vs Jumlah siklus Metode dasar untuk memperlihatkan data-data fatik adalah dengan menarik kurva tehadap nilai logaritmik jumlah siklus dimana bahan itu gagal. Nilai tegangan yang dipakai dapat berupa nilai tegangan maksimum, tegangan minimum, tegangan rata-ratanya. Nilai tegangan dapat berupa tegangan nominal atau tegangan maksimum, pada gambar 2.10 dapat dilihat satu bentuk kurva S N dari suatu pengujian Fatique rotary bending. Gambar Kurva S N Untuk Logan Ferro Dan Non Ferro

51 Jumlah siklus pada kurva tegangan bahan yang tahan terhadap perpatahan akan meningkat dengan menurunnya tegangan. Pengujian fatik untuk baja pada tegangan rendah dapat mencapai jumlah siklus sampai dengan 106 siklus, dan untuk bahan bukan besi sampai 107 siklus. Untuk beberapa jenis logam seperti baja dan titanium, garis pada kurva S N akan berbentuk garis horizontal pada nilai tegangan tertentu yang lazim disebut sebagai batas kelelahan (endurance limit). Bila beban bahan bekerja dibawah garis horizontal ini berarti bahwa bahan dapat menahan beban tanpa mengalami patah. Hampir semua bahan bukan besi (non ferrous metal) seperti Al, Mg, Cu tidak menunjukkan garis horizontal dan hanya mempunyai kemiringan yang bertahap dengan meningkatnya jumlah siklus sampai pada suatu saat akan patah. Pengujian yang dilakukan akan menghasilkan data yang menyebar, ini disebabkan sifat-sifat internal bahan juga proses pembuatan benda uji. Untuk mendapatkan data yang dapat mewakili kurva S N maka dilakukan pengolahan data secara statistik. Mekanisme patah lelah rotary bending, yang diakibatkan oleh pembebanan dinamis tersebut merupakan suatu proses pemisahan dari dua bidang padat akibat tegangan. proses perpatahan ini terdiri dari tiga fase yaitu: Inisiasi retakan (crack initiation), perambatan retak (crack propagation), Patah akhir ( fracture failure). Pembebanan pada uji Fatique rotary bending pada dasarnya merupakan penerapan momen lentur yang dihasilkan oleh gaya berat pada lengan pemberat. Pada pengujian rotary bending ini, tegangan yang bekerja pada benda uji seperti ditunjukkan pada gambar 2.11.

52 Sumber : ASTM E 466, ASTM Handbook Gambar Bentuk Tegangan Pada Pengujian Fatique Rotary Bending. Tegangan bending yang terjadi pada permukaan benda uji dapat ditentukan dengan menggunakan momen inersia dan jarak melintang benda uji dengan persamaan sebagai berikut:...(2.7) dimana: σb = Tegangan bending pada benda uji ( kg/cm 2 ) Mb = Momen bending pada benda uji ( kg cm ) I = Momen inersia ( cm 2 ) Dan besarnya momen bending yang terjadi pada benda uji adalah :...(2.8) dimana: Mb = Besar momen bending ( kg cm ) W = Beban yang dipergunakan ( kg ) L = Jarak beban diantara dua titik tumpuan yaitu 20 cm

53 2.8. Analisa Struktur Butir Tiap volume yang mempunyai orientasi tertentu disebut butir dan daerah tidak teratur antar butir disebut batas butir. Lebar batas butir sekitar dua atau tiga deretan atom. Sebetulnya, butir dan batas butir berdimensi tiga. Dan gambar hanya menampilkan penampang tertentu. Gelembung polyhedral yang terbentuk bila larutan sabun kita kocok merupakan model tiga dimensi dari kristal dengan batas butirnya. Butir kristal tidak sepenuhnya berbentuk polyhedral, tetapi dapat mempunyai bentuk yang berbeda, bergantung pada riwayat termal dan mekanik bahan utuh. Sifat mekanik turut ditentukan oleh ukuran butir. Makin halus butir, makin keras bahan dan kekuatan luluh; keuletan dan ketangguhan bahan juga lebih tinggi. Hubungan antara besar butir dan kekuatan diberikan oleh persamaan Petch yang dirumuskan pada persamaan (2.9). Dimana: σ y = Tegangan luluh σ y = σ 1 + K y d (2.9) σ 1 = Tegangan friksi (friction stress) k= Koefisien penguat (strengthening coefficient) d= ukuran (diameter) butir Pertumbuhan Struktur Butir Struktur kristal logam akan rusak pada titik cairnya (Alexander, 1991). Batas butir akan lenyap dan kekuatan mekanik tidak akan berarti lagi. Struktur kristal akan terbentuk kembali jika logam didinginkan. Sewaktu

54 membeku, energi dilepaskan dalam bentuk panas laten pembekuan, dan laju pembekuan bergantung pada jumlah panas yang dapat dilepaskan. Bila pendinginan berlangsung secara perlahan-lahan, terbentuklah kelompok atom pada permukaan cairan yang kemudian menjadi inti butiran padat. Selama solidifikasi dengan laju pendinginan lambat, inti pertama bertambah besar akibat kepindahan atom dari cairan kebahan padat. Akhirnya, semua cairan bertransformasi dan butir bertambah besar. Batas butir merupakan titik pertemuan pertumbuhan berbagai inti. Bila pendinginan cepat, jumlah kelompok bertambah dan tiap-tiap kelompok tumbuh dengan cepat hingga akhirnya saling bertemu. Sebagai hasil akhir, diperoleh logam dengan jumlah butir yang banyak atau disebut logam padat berbutir halus. Bila logam direntangkan melampaui batas elastik dan mengalami deformasi tetap sebagian energi deformasi tertumpuk dalam butir sebagai distorsi kisi dan rangkaian dislokasi. Struktur coran logam yang langsung membeku dari cairan tidak mengadung energi deformasi mekanik. Oleh karena itu, struktur akan stabil dan hampir-hampir tidak mempunyai kecederungan untuk berubah. Pemanasan hingga suhu tinggi hanya akan mengubah bentuk butir secara terbatas, terkecuali pada besi dan baja. Pada logam ini, transformasi struktur padat terjadi jauh dibawah titik cair, dan mempunyai efek memperhalus butir struktur coran. Akan tetapi, umumnya bahan teknik tidak mengalami transformasi seperti itu dan struktur coran akan tetap ada sampai dipecahkan secara mekanik.

55 Perhitungan Diameter Butir Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengukur besar butir dari struktur mikro suatu material salah satunya adalah metode Planimetri yang dikembangkan oleh Jeffries. Dimana metode ini cukup sederhana untuk menetukan jumlah butir persatuan luas pada bagian-bidang yang dapat dihubungkan pada standar ukuran butir ASTM E 112. Metode planimetri ini melibatkan jumlah butir yang terdapat dalam suatu area tertentu yang dinotasikan dengan N A. Secara skematis proses perhitungan menggunakan metode ini seperti pada gambar Gambar 2.12 Perhitungan Butiran Menggunakan Metode Planimetri Jumlah butir bagian dalam lingkaran (N inside ) ditambah setengah jumlah butir yang bersingungan (N intercepted ) dengan lingkaran dikalikan oleh pengali Jeffries (f) dapat dituliskan pada persamaan (2.10). N A = f (N inside + N intercepted 2 )...(2.10) Dimana pengali Jeffries yang dipergunakan tergantung pada perbesaran yang digunakan pada saat melihat struktur mikro dan dapat ditetukan melalui tabel 2.2. Untuk selanjutnya setelah diperoleh nilai N A maka ukuran butir dapat dihitung dengan rumus persamaan (2.11). d = (3,322 log N A ) 2,95...(2.11)

56 Tabel 2.2. Hubungan antara perbesaran mikroskop optik yang digunakan dengan pengali Jeffries Perbesaran (M) Pengali Jefrries( f) untuk menetukan butiran/mm Sumber: ASTM E , 2000

57 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai waktu dan tempat penelitian, alat dan bahan, spesifikasi spesimen, perlakuan panas, serta metode pengujian Waktu dan Tempat Waktu penelitian ini direncanakan selama empat bulan yang dimulai dari maret sampai dengan november Tempat dilaksanakan penelitian ini adalah di Laboratorium Teknologi Mekanik, Laboratorium Metalurgi Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dan Balai Riset dan Standarisasi Industri Medan (BARISTAND INDUSTRI MEDAN) Alat dan Bahan Alat Adapun peralatan yang di pergunakan selama penelitian ini adalah: 1. Tungku Pemanas (Furnace Wilmonn) 2. Thermocouple Type-K 3. Jangka sorong 4. Penjepit spesimen 5. Mesin poles (polisher) 6. Mikroskop optic 7. Mikroskop VB 8. Teropong Indentor

58 9. Mesin Sekrap 10. Alat uji kekerasan Brinell 11. Mesin uji tarik Torsee INSTRON model 100 HDX - GIB 12. Wadah cairan pendingin air es dan wadah pendinginan oli SAE Bahan Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Baja stainless stell M303 Extra (Sumber: PT. BHINNEKA BAJANAS) 2. Kertas pasir dengan grade 120, 220, 400, 600, 800, 1000, 1200 dan Larutan etsa HCl 75% 4. Larutan H 2 O 100% 5. Larutan FeCl 5gram 6. Kain Panel 7. Larutan alumina Adapun banyaknya jumlah spesimen dalam penelitian ini berjumlah 29 spesimen, dengan perincian 17 spesimen uji kekerasan, 9 spesimen uji tarik, 3 spesimen uji fatique dan 9 spesimen uji, metallografi Spesifikasi Spesimen Spesimen yang dipergunakan dalam pengujian ini ada 4 yaitu spesimen uji kekerasan, uji tarik, uji fatique dan struktur mikro. Seperti yang diperlihatkan pada spesimen kekerasan ASTM E-10 gambar 3.1, spesimen uji tarik dari ASTM

59 E-8M gambar 3.2, spesimen uji kelelahan (Fatigue) sesuai ASTM E 466 gambar 3.3, serta spesimen struktur mikro gambar Spesifikasi Spesimen Kekerasan Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen terlebih dahulu dipotong dengan menggunakan alat mesin gergaji dengan dimensi seperti terlihat pada gambar 3.1 (a) (b) Sumber : ASTM E-10, ASTM Handbook Gambar 3.1 (a) Spesimen Kekerasan (b) Dimensi Spesimen (mm) Spesimen kekerasan pada benda uji ini dilakukan pada beberapa titik secara acak untuk mengetahui kekerasan serta kekerasan rata-rata pada daerah tersebut dengan metode Brinell atau BHN (Brinell Hardness Number) Spesifikasi Spesimen Uji Tarik Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen dipotong dan dibentuk dengan menggunakan mesin skrap sehingga sesuai dengan standar uji tarik untuk baja sheet atau lembaran yaitu ASTM E-8M seperti terlihat pada gambar 3.2

60 R12.5 Sumber : ASTM E-8M, ASTM Handbook Gambar 3.2 Spesimen Uji Tarik Spesimen uji tarik pada benda uji ini dilakukan untuk mengetahui besarnya kekuatan tarik dan pertambahan panjang yang terjadi setelah di uji tarik Spesifikasi Spesimen Uji Fatique Sebelum diuji, pada masing-masing spesimen dipotong dan dibentuk dengan menggunakan mesin bubut sehingga sesuai dengan standar uji fatique untuk baja stainless steel M303 extra yaitu ASTM E 466 seperti terlihat pada gambar 3.3. (a) (b) Sumber : ASTM E 466, ASTM Handbook Gambar 3.3 (a) Spesimen Uji Kelelahan (b) Dimensi Spesimen

61 Spesifikasi Spesimen Uji Metallografi Spesimen untuk metallografi sebelumnya dipotong dari spesimen kekerasan pada bagian ujungnya sesuai dengan gambar 3.4 yang kemudian dimasukan ke dalam cetakan resin yang telah dikeraskan agar spesimen dapat dipegang pada saat dilakukannya proses pe-molishan dan pengetsaan (a) (b) Gambar 3.4 (a) Spesimen Metallografi (b) Dimensi Spesimen (mm) Pengamatan struktur mikro atau metallografi dalam pengujian ini sangat diperlukan untuk mengetahui besar atau diameter dari butiran spesimen. 3.4 Proses Heat Treatment Pemanasan awal memberikan pengaruh pada sifat mekanis bahan. Setelah dipanaskan pada temperatur 1000 C, spesimen didinginkan dengan media pendingin (Quenching) oli SAE 40 dan air es. Dalam penelitian ini digunakan thermocouple digital untuk mendapatkan pembacaan suhu yang akurat di dalam furnace. Berikut ini adalah skema proses Heat Treatment yang dilakukan dalam penelitian ini seperti terlihat pada gambar 3.5 adalah skema proses skema proses heat treatment dan quenching oli dan pada gambar 3.6 adalah proses skema proses heat treatment dan quenching air es.

62 Temperatur ( C) Grafik Heat Treatment Quenching Oli 60 Menit Waktu (Menit) Quenching Oli 60 Menit Gambar 3.5 Skema Proses Heat Treatment dan Quenching Oli Temperatur ( C) Grafik Heat Treatment Qenching Air Es 60 Menit Quenching Air Es 60 Menit Waktu (Menit) Gambar 3.6 Skema Proses Heat Treatment dan Quenching Air Es Lama laju proses pendinginan pada proses quenching air es yaitu sekitar 1 menit sampai 2 menit dan untuk pendinginan oli yaitu 15 menit sampai 20 menit karena pada oli laju pendinginan lebih lambat dibanding dengan quenching air es. Setelah proses hardening selesai, proses selanjutnya yaitu proses tempering dengan variasi temperatur 300 C, 350 C, 400 C, 450 C, 500 C, 550 C, dan 600 C dengan lama penahanan 1 jam.

63 Proses pemanasan seperti terlihat pada gambar Gambar 3.7 Pemanasan Spesimen Di Dalam Furnace Spesifikasi : Merk Made in : WILMONN : Bremen Germany Suhu max : 1300 ºC Keteranagn Gambar : 1. Dapur pemanas furnace 2. Tombol ON/OFF 3. Panel pengatur temperatur furnace Berikut ini adalah prosedur percobaan untuk proses perlakuan panas atau heat treatment yang dilakukan dalam penelitian ini : 1. Furnace dihidupkan dan disetting pada temperatur 1000 C hingga kondisi idle. 2. Seluruh spesimen yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan kedalam furnace dan dipanaskan pada suhu 1000 C dengan lama waktu penahanan 1 jam (proses hardening).

64 3. Setelah dipanaskan selama 1 jam, spesimen dikeluarkan dari dalam furnace kemudian didinginkan dengan media pendingin air es dan oli SAE 40 (quenching). 4. Setelah spesimen dingin pada suhu kamar (30 C), temperatur furnace diturunkan hingga temperatur untuk kemudian proses tempering yaitu 300 C. 5. Kemudian spesimen dimasukkan kedalam furnace dan ditahan selama 1 jam (proses tempering). Setelah selesai spesimen dikeluarkan dari furnace dan didinginkan hingga mencapai temperatur kamar dengan udara bebas. 6. Prosedur yang sama juga dilakukan pada temperatur 350 C, 400 C, 450 C dan 500 C, 550 C, dan 600 C untuk proses tempering. Pada proses pemanasan digunakan thermocouple untuk pengukuran temperatur yang akurat di dalam furnace sekaligus sebagai alat untuk mengkalibrasi panel suhu pada furnace. Kabel thermocouple dapat digunakan selama proses pembacaan temperatur jika pada suhu ruangan thermocouple menunjukkan angka 30 C. Berikut ini adalah gambar dari Thermocouple digital tipe K seperti terlihat pada gambar Gambar 3.8 Thermocouple Digital Tipe K

65 Spesifikasi : Merk Made in : KRISBOW : Japan Type : Kw Suhu max : 1100 ºC Keterangan Gambar : 1. Kabel thermocouple 2. Layar penunjuk pengukuran temperatur kabel thermocouple 3. Tombol ON/OFF 4. Tombol pilihan jenis temperatur 3.5. Pengujian Pengujian yang dilakukan terhadap baja stainless stell M303 extra yang belum dan telah mengalami proses perlakuan panas meliputi uji kekerasan, uji tarik, uji fatique dan metalografi Pengujian Kekerasan Pengujian kekerasan dilakukan di Laboratorium Metallurgi, Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik USU. Sebelum diuji kekerasannya, spesimen dibersihkan dan diratakan permukanya terlebih dahulu dengan mesin poles dan kertas pasir. Setelah itu pengujian kekerasan dilakukan dengan alat brinell dengan pembebanan 3000 Kg dan diameter jejak diukur mengunakan teropong indentor. Setiap benda uji dilakukan

66 pengujian kekerasan sebanyak 5 kali kemudian diambil rata-ratanya sesuai skala Brinell. Adapun alat uji Brinell dapat dilihat pada gambar Gambar 3.9 Alat Uji Brinell (Lab. Metallurgi USU, 2012) Spesifikasi: Type : BH-3CF Kapasitas max : 3500 Kg Bola indentasi : 3, 5, dan 10 mm Keterangan Gambar : 1. Panel beban 2. Tuas Hidrolik 3. Indentor/bola indentor 4. Katup hidrolik 5. Beban 6. Landasan uji

67 Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian kekerasan dengan metode Brinell: 1. Spesimen dibersihkan permukaannya dengan mesin polish hingga permukaannya rata dan mengkilap. 2. Setelah bersih, spesimen diletakkan pada landasan uji dan bola indentor yang digunakan adalah bola dengan diameter 10 mm. 3. Spesimen dinaikkan hingga menyentuh bola indentor, kemudian katup hidrolik dikunci. 4. Tuas hidrolik ditekan berulang-ulang hingga skala pada panel menunjukkan angka 3000 kg kemudian ditahan selama 15 detik. 5. Setelah 15 detik katup hidrolik dibuka untuk mengembalikan beban ke posisi semula (0 kg). 6. Pengamatan diameter indentasi dilakukan dengan menggunakan teropong Indentor dan data diameternya disesuaikan dengan tabel kekerasan BHN. 7. Pengambilan data kekerasan diulang sebanyak 5 kali untuk masing-masing spesimen dan diambil data rata-ratanya Pengujian Tarik Pada penelitian ini pengujian tarik dilakukan pada nilai kekerasan yang optimum setelah proses tempering. Pada pengujian tarik dicari tegangan luluh (σ y ), tengangan batas (σ u ) dan regangan. Karena terjadi perbedaan kelunakan bahan akibat variasi suhu perlakuan panas maka perlu dihitung kembali ketebalan bahan sebelum dilakukan engujian. Pada penelitian ini pengujian

68 tarik menggunakan alat uji tarik Torsee Type INSTRON dengan kapasitas 100 ton seperti yang diperlihatkan oleh gambar Gambar 3.10 Alat Uji Tarik Torsee INSTRON Spesifikasi: Type Made in : INSTRON : USA (UNITED STATES OF AMERICA) Beban max : 100 Ton Force Tahun :2012 Keterangan Gambar: 1. Panel untuk menghidupkan komputer 2. Tombol ON untuk menhidupkan mesin uji tarik 3. Pembaca grafik dari komputer 4. Grip atau penjepit spesimen

69 5. Chuck atas 6. Chuck bawah Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian tarik dengan menggunakan alat uji tarik Torsee Type INSTRON: 1. Spesimen dibentuk sesuai ukuran menurut standar ASTM E-8M, yaitu panjang daerah uji 60 mm, panjang daerah cekam 60 mm, tebal spesimen 5 mm. 2. Mesin uji tarik dan komputer dihidupkan kemudian disetting dikomputer untuk memulai uji tarik. 3. Spesimen dicekam pada chuck atas, kemudian chuck bawah dinaikkan dengan menekan tombol UP hingga mencekam spesimen secara keseluruhan. 4. Katup hidrolik (load valve) dibuka kemudian mesin (pompa hidrolik/pump) dijalankan sampai spesimen putus. 5. Setelah spesimen putus katup hidrolik (load valve) ditutup dan katup pembuka (unload valve) dibuka, kemudian chuck bawah diturunkan dengan menekan tombol DOWN. 6. Spesimen yang putus dilepas dari chuck atas dan bawah, kemudian diukur besar pertambahan panjangnya dan besar nilai regangan yang diperoleh dari grafik hasil uji tarik seperti yang terlihat pada lampiran uji tarik kemudian dicatat data hasil pengujian. 7. Prosedur yang sama dilakukan pada spesimen uji tarik yang lain.

70 3.5.3 Pengujian Kelelahan Pada penelitian ini pengujian kelelahan dilakukan dari hasil pengujian uji tarik yang paling tinggi dari proses hardening dan tempering 300 C, 350 C, 400 C, 450 C, 500 C, 550 C, dan 600 C. Pada pengujian kelelahan dicari massa pakai (kekuatan lelah) dan yield strengh. Berikut ini adalah metode percobaan untuk proses perlakuan panas atau heat treatment yang dilakukan dalam penelitian ini: 1. Benda uji yang sudah melalui proses heat treatment dan tempering diambil 3 spesimen yang paling tinggi dari uji kekerasan yang kemudian dibentuk sesuai ASTM E 466 di letakkan pada chuck poros pada posisi horizontal kemudian dikunci dengan rapat. 2. Benda uji diberi beban 7 Kg. 3. Motor pada mesin fatigue dihubungkan ke poros melalui pully dan belt. 4. Setelah semua sudah terpasang dengan baik kemudian mesin uji Fatigue TECO 3-Phase Induction dengan putaran 1420 rpm dihidupkan melalui tombol kontaktor. 5. Setelah mesin dihidupkan putaran mesin menjadi menurun sebesar 1398 rpm hal ini dikarenakan penambahan beban 7 Kg. 6. Pada setiap perlakuan suhu optimal pada proses mechano heat treatment didapat umur lelah yang berbeda-beda. Pada penelitian ini pengujian kelelahan menggunakan mesin uji Fatigue TECO 3-Phase Induction dengan putaran 1020 rpm seperti yang diperlihatkan oleh gambar 3.11.

71 (a) (b) Gambar (a) Mesin Uji Fatigue TECO 3-Phase Induction (b) Beban Yang Digunakan Keterangan Gambar: 1. Motor Berfungsi sebagai penggerak atau sebagai sumber daya putaran. 2. Pully dan Belt Berfungsi sebagai penghubung dari motor dengan bantalan poros.

72 3. Bantalan Poros Berfungsi sebagai penerus daya dari motor. 4. Poros Berfungsi sebagai tempat benda uji dan tempat pully 5. Kontaktor Berfungsi sebagai tempat off / on untuk motor dan sebagai tempat melihat putaran pada motor. 6. Tempat beban Ber fungsi untuk meletakkan benda uji. Spesifikasi: Type : AEEBAC Tahun : 1987 Putaran : 1020 Rpm Pengujian Metallografi Pengujian metallografi agar dapat diamati mikrostrukturnya, maka terlebih dahulu benda uji di potong yang merupakan bagian dari spesimen kekerasan. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam pembuatan spesimen metallografi: 1. Penghalusan (grinding) Dilakukan pada spesimen untuk pengujian struktur mikro dengan jalan menghaluskan permukaan dengan mesin penghalus.

73 2. Pengampelasan Tujuan pengampelasan adalah untuk menghilangkan kotoran atau karat yang terdapat pada spesimen uji. Pengampelasan dilakukan mulai dari nomor seri amplas yang paling kasar sampai dengan nomor seri kekasaran yang cukup halus, yaitu dimulai dari grade 120, 220, 400, 600, 800, 1000, 1200 dan Nomor kecil menunjukkan kertas amplas kasar dan nomor lebih besar menunjukkan kertas amplas lebih halus. 3. Pemolesan (Polishing) Tujuan pemolesan adalah untuk memperhalus permukaan spesimen uji. Pada pengamatan struktur mikro, untuk menaikkan tingkat kehalusan maka benda uji dipoles dengan kain panel, air dan almunium dioksida (bubuk alumina) untuk didapat permukaan seperti cermin sehingga struktur mikro dari benda uji ini nantinya dapat terlihat jelas dengan menggunakan mikroskop. Pemolesan ini ke benda uji dilakukan dengan kain lembut agar permukaan yang diperolah benar-benar halus tanpa adanya goresan bekas pengerjaan. Setelah proses ini selesai, benda uji perlu diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya goresan. Apabila ternyata masih ada goresan maka proses pemolesan perlu dilanjutkan sampai goresan hilang. 4. Pengetsaan Pengetsaan hanya dilakukan untuk benda uji yang akan dimati struktur mikronya. Bahan etsa benda uji ini menggunakan FeCl 3 75 gram yaitu campuran HCl 75 ml dan H 2 O 100 ml dengan waktu pencelupan selama 5-30 detik. Tujuan dari proses ini yaitu untuk manampakkan batas butir atau

74 struktur mikro dibawah mikroskop agar nampak jelas dimana sangat tergantung dari lamanya proses pencelupan. Adapun langkah-langkah pengetsaan sebagai berikut: 1. Larutan etsa dituangkan secukupnya ke dalam cawan, sekitar 5 gram dari serbuk FeCl 3 dan dituangkan secukupnya larutan HCl 75 ml dan H 2 O 100 ml. 2. Permukaan benda uji dicelupkan kedalam larutan dengan memakai tang penjepit. 3. Benda uji dibersihkan dengan alkohol yang bertujuan untuk menghilangkan sisa larutan etsa yang masih menempel. 4. Benda uji kemudian dikeringkan dengan udara bebas atau agar lebih cepat dengan menggunakan hair dryer agar alkohol pada proses pembersihan sebelumnya hilang. Pengruh reaksi dari larutan kimia terhadap benda uji adalah seluruh permukaan akan tampak seperti garis-garis tak beraturan yang menunjukkan batas antara butir butir logam. Adapun corak antara butir-butir yang berbeda jenisnya akan nampak jelas dilakukan dengan mikroskop optic kemudian dihitung besar butirannyadengan metode planimetri. Adapun perbesaran yang dipergunakan adalah 200 X. Alat mikroskop optik seperti terlihat pada gambar 3.12.

75 Gambar 3.12 Mikroskop Optik (Lab. Metallurgi USU, 2012) Spesifikasi: Merk : Rax Vision 3 Pembesaran Optik : 50X, 100X, 200X, 500X, dan 800X Keterangan Gambar: 1. Sambungan USB 2. Lensa mikroskop 3. Optik pembesaran mikroskop 4. Bidang atau landasan uji 5. Pengatur fokus mikroskop Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pada pengujian Metallografi: 1. Spesimen dipolish dengan kertas pasir grade 120 selama 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan grade 220, 400, 600, 800, dan 1000 selama 15 menit.

76 2. Setelah dipolish dengan kertas pasir, spesimen dipolish dengan bubuk alumina sampai terbentuk kilatan seperti cermin. 3. Etsa FeCl 3 5% dicampurkan dengan HCl 75 ml dan H 2 O 100 ml kemudian dituangkan dalam wadah atau cawan kemudian spesimen dicelupkan kedalam etsa selama 5-30 detik. 4. Spesimen yang telah dietsa dibersihkan dengan cara dicelupkan lagi ke dalam alkohol kemudian dikeringkan di udara bebas atau dikeringkan dengan hair dryer. 5. Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop optik rax vision yang disambungkan ke program Rax Vision Plus 4.1 pada komputer. 6. Spesimen diletakkan diatas bidang uji atau meja mikroskop kemudian didekatkan dengan optic mikroskop. 7. Digunakan perbesaran 200X dan diambil photo dari masing-masing spesimen pada titik tengah dari masing-masing spesimen. 8. Fokus pada mikroskop diputar untuk mendapatkan pengamatan yang baik pada spesimen. 9. Setelah didapatkan fokus dan pencahayaan yang yang pas, diambil photo dari spesimen dengan mengklik icon Capture frame pada program Rax Vision plus Prosedur yang sama juga dilakukan untuk spesimen lainnya. 11. Setelah itu diukur diameter masing-masing spesimen dengan metode planimetri dan dicatat data hasil pengukuran.

77 3.6 Diagram Alir Penelitian Diagram alir penelitian diperlihatkan pada gambar Mulai Studi Literatur (Baja Stainless Steel M303 Extra) Persiapan Benda Uji Bahan Raw material Proses Heat Treatment Hardening Suhu 1000 C. 60 Menit Tempering Suhu 300 C,350 C,400 C, 450 C dan 500 C. 60 Menit Uji Kekerasan, Uji Tarik, Uji Fatique, Struktur Mikro Tidak Perbandingan Data Hasil Pengujian Raw Material dengan Proses Heat Treatment Ya Analisa Data Raw Material dan Heat Treatment Laporan Selesai Gambar 3.13 Diagram Alir Penelitian

78 3.7 Diagram Alir Pengujian Diagram alir pengujian dapat dilihat pada gambar Mulai Persiapan Benda Uji Uji Kekerasan (BHN) Uji Tarik (Tegangan) Uji Fatique Struktur Mikro (Diameter Butir) 1. Polishing 2. Indentor 10 mm 3. Pompa hidrolik 4. Pembebanan 3000 kg selama 15 detik. 5. Diameter Indentasi 6. Tabel BHN 1. Pembentukan spesimen ASTM E- 8M 2. Cekam chuck atas dan chuck bawah 3. Pompa hidrolik 4. Load Valve 5. Unload valve 6. Grafik uji tarik (Regangan) 1. Pembentukan spesimen ASTM E diletakkan pada chuck poros 3. Benda uji diberi beban 7 Kg 4. Putaran motor 1420 rpm 5. Waktu hasil patahan spesimen. 1. Mounting 2. Polishing 3. Pengetsaan (FeCl 3 % dicampur dengan HCl ml dan H 2 O 100 ml) 4. Mikroskop optic Rax Vision pembesaran 200x 5. Photo mikro/batas butir 6 i b i Analisa Data Pengujian Selesai Gambar 3.14 Diagram Alir Pengujian

79 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Bab ini berisikan data angka, grafik dan foto-foto hasil penelitian setelah dilakukan perlakuan heat treatment, yaitu pada kondisi suhu tertentu. Berikut ini adalah data hasil pengujian sifat mekanis awal dari raw material tanpa perlakuan panas (30 C) dapat dilihat pada tabel 4.1 dan hasil dari uji komposisi kimia dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.1 Sifat Mekanis Raw Material Spesimen Raw Material Kekerasan (BHN) σy (Mpa) σu (Mpa) ε (%) Diameter Butir (μm) 275,4 658, ,077 9,96 3,83 Tabel 4.2 Hasil Uji Komposisi Kimia Baja Stainless Steel M303 Extra No Parameter Satuan Hasil Fe C Si Mn P S Cr Mo Ni Cu Ti V % % % % % % % % % % % % 70,525 0,480 0,225 0,638 0,025 0,020 24,749 0,154 3,000 0,040 0,055 0,089

80 Hasil pengujian komposisi kimia spesimen baja karbon sedang mengandung unsur penyusun utama besi (Fe) = 70,525% karbon (C) = 0,480 yang berguna untuk meningkatkan kekerasan dan kekuatan pada baja, silikon (Si) = 0,225 berguna untuk meningkatkan kekuatan, kekerasan, keuletan, ketahanan aus, dan ketahanan terhadap panas dan tahan korosi dan dapat menaikan tegangan tarik, mangan (Mn) = 0,638 % yang berguna untuk meningkatkan kekerasan dan mampu meningkatkan keuletan, kromium (Cr) = 24,749 % berguna untuk menghasilkan struktur yang lebih halus dan membuat sifat baja yang dikeraskan lebih baik serta berguna untuk meningkatkan tegangan tarik, keuletan, tahan terhadap karat. Serta unsur-unsur lainnya didapatkan dalam persentase lebih rendah Hasil Uji Kekerasan Kekerasan logam dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap, ketika gaya tertentu diberikan pada suatu benda uji. Pengujian kekerasan dalam penelitian ini dilakukan agar dapat diketahui pengaruh proses heat treatment terhadap perubahan kekerasan material baja stainless steel M303 Extra. Penghitungan nilai kekerasan dari benda uji yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala brinell yang bekas injakannya atau indentasinya dapat dilihat dengan teropong indentor dan nilai BHN-nya disesuaikan dengan tabel kekerasan. Pada tabel 4.3 adalah tabel kekerasan Spesimen setelah dilakukan proses perlakuan panas, dimana pada proses hardening didinginkan dengan

81 media pendingin oli SAE 40 dan air es (quenching) dan lama waktu penahanan proses tempering adalah 1 jam. Tabel 4.3 Pengujian Kekerasan Bedasarkan Skala Brinell Quenching Oli SAE 40 dan Air Es Spesimen Nilai Kekerasan (BHN) Rata- Rata Standar Deviasi Hardening 1000 C 1 Jam, Quenching Oli SAE ,6 14,80 Tempering 300 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE 40 Tempering 350 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE 40 Tempering 400 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE 40 Tempering 450 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE 40 Tempering 500 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE 40 Tempering 550 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE 40 Tempering 600 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE 40 Hardening 1000 C 1 Jam, Quenching Air Es Tempering 300 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es Tempering 350 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es Tempering 400 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es Tempering 450 C 1 Jam, Setelah Quenching Air 457,6 6,80 447,4 6,80 477,4 6, , ,00 420,8 11,60 345,4 8,80 499,2 18,13 435,4 12,80 420,8 11,60 409,6 10,80 426,6 14,21

82 Es Tempering 500 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es Tempering 550 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es Tempering 600 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es 409,6 10, ,00 298,6 8,80 Tabel 4.3 jika disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut ini yang nilai kekerasannya dibandingkan dengan nilai kekerasan raw material tanpa perlakuan panas. Gambar 4.1 Grafik Hubungan Antara Kekerasan dan Jenis Perlakuan Keterangan dari gambar 4.1 di atas dapat dilihat untuk jenis perlakuan yaitu RM adalah Raw Material, H adalah proses Hardening, dan T adalah proses Tempering. Dari data kekerasan yang disajikan di atas terlihat bahwa nilai kekerasan material setelah di hardening dengan penahanan 1 jam dan didinginkan dengan media oli dan air es sangat jauh meningkat dari 275,4 BHN menjadi 506,6 BHN dan 499,2 BHN. Pada bahan dengan media oli, hal ini disebabkan karena bahan yang telah dipanaskan pada fasa austenit

83 memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic) fasa ini bersifat non magnetik dan ulet, dan dengan penggunaan media oli akan memperngaruhi kekerasan karena dengan penggunaan oli akan menyebabkan timbulnya selaput karbon yang dapat memperbaiki sifat pada baja. Sedangkan Pada bahan dengan media air es, hal ini disebabkan karena proses quenching terbentuk struktur martensite yang keras, yang merupakan fasa menstabil yang terbentuk dengan pendinginan cepat. Karena pada waktu pendinginan yang cepat fasa austenit tidak sempat berubah menjadi fasa ferit atau pearlit karena tidak ada kesempatan bagi atom atom karbon yang telah larut dalam austenite untuk mengadakan pergerakan difusi dan berbentuk sementit oleh karena itu terjadi fase martensit yang sangat keras. Akan tetapi, bahan yang keras ini bersifat getas dan belum layak digunakan sehingga diperlukan proses tempering untuk mengurangi kegetasan atau kerapuhan dari bahan. Data kekerasan yang disajikan pada proses tempering setelah di-quenching dengan media oli dengan penahanan 1 jam dilihat bahwa rata rata kekerasannya secara bertahap menurun dengan bertambahnya suhu tempering, sedangkan pada proses tempering setelah di-quenching dengan media air es dengan penahanan 1 jam dilihat bahwa rata rata kekerasanya secara bertahap menurun. Namun pada suhu tempering 450 C kekerasan naik yang disebabkan laju difusi lambat hanya sebagian kecil karbon dibebaskan, hasilnya sebagian struktur tetap keras tetapi mulai kehilangan kerapuhannya.

84 4.1.2 Hasil Uji Tarik Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis dari material akibat pengaruh perubahan suhu. Dalam penelitian ini pengujian tarik hanya dilakukan pada nilai kekerasan yang optimum dari proses tempering. Dan dibandingkan dengan nilai kekuatan tarik dari raw materialnya. Adapun spesimen yang akan diuji tarik setelah proses tempering yaitu tempering 300 C 1 jam, setelah quenching oli dan air es, tempering 350 C 1 jam, setelah quenching oli dan air es, tempering 450 C 1 jam, pendinginan oli dan air es. Hasil pengujian tarik terdiri dari tiga parameter yaitu tegangan luluh (yield strength) tegangan batas (ultimate strength) dan keuletan yang ditunjukkan oleh besarnya regangan. Data hasil pengujian tarik dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini. Tabel 4.4 Tabel Data Hasil Uji Tarik Spesimen σy (MPa) σu (MPa) ε (%) Raw Material 658, ,077 9,96 Hardening 1000 C,quenching oli SAE 40 Tempering 300 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE , ,313 0,6 862, ,966 4,48 Tempering 350 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE , ,013 4,20

85 Tempering 450 C 1 Jam, Setelah Quenching Oli SAE , ,785 5,60 Hardening 1000 C, Quenching Air Es 905, ,235 2,20 Tempering 300 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es 1063, ,064 4,16 Tempering 350 C 1 Jam, Setelah Quenchingair Es 1141, ,075 5,20 Tempering 450 C 1 Jam, Setelah Quenching Air Es 1172, ,822 6,48 Tabel 4.4 bila disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut ini yang nilai tegangannya dibandingkan dengan nilai tegangan raw material tanpa perlakuan panas. Tegangan [MPa] , , , , , , , , , , , , , , ,785 6,48 749, , ,776 5,20 4,48 5,60 658,418 4,16 4,20 2,20 0,60 RM H T300 C T350 C T450 C ultimate ( Oli ) ultimate ( Air Es ) yield ( Oli ) Regangan (%) Yield ( Air Es ) Regangan (Oli) Regangan (Air Es) Gambar 4.2 Grafik Hubungan Antara Tegangan Batas (Ultimate Strangth) dan Tegangan Luluh (Yield Strength) dengan Jenis Perlakuan Tempering

86 Dari gambar 4.2 di atas dapat kita lihat bahwa akibat proses hardening setelah di quenching oli dan air es penahanan 1 jam dapat meningkatkan tegangan batas (ultimate strangth) yaitu 749,077 MPa menjadi 1335,313 Mpa dan 1214,235 Mpa. Pada proses tempering memperlihatkan bahwa ratarata kekuatan tariknya secara bertahap menurun dengan bertambahnya waktu tempering. Namun pada proses tempering suhu T350 C 1 jam yang sebelumnya pada proses hardening didinginkan dengan oli memperlihatkan nilai tegangan luluh dan tegangan batas naik sedangkan daya keuletan dan ketangguhan menurun. Sedangkan daya keuletan dan ketangguhan yang paling tinggi memperlihatkan pada proses tempering suhu T450 C 1 jam. Pada proses tempering yang sebelumnya di hardening dengan quenching air es memperlihatkan naiknya tegangan luluh (yield strangth) dan tegangan batas (ultimate strangth) rata - rata naik secara bertahap akibat dari proses tempering dimana semakin tinggi suhu tempering maka tegangan luluh (yield strangth) dan tegangan batas (ultimate strangth) juga naik. Karena baja yang telah dipanaskan sampai suhu austenite dan didinginkan dengan air es, baja tersebut belum layak digunakan karena bersifat sangat rapuh (britles) dan getas. Setelah tempering memperlihatkan bahwa pada proses tempering dapat meningkatkan tegangan luluh dan tegangan batas secara bertahap. Sedangkan semakin tinggi suhu tempering dapat menambah daya keuletan dan ketangguhan pada bahan. Pada bahan yang paling tinggi memperlihatkan pada proses tempering suhu T450 C 1 jam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa proses tempering tidak hanya meningkatkan ketangguhan pada baja tetapi memberikan sifat tarik yang lebih tinggi.

87 4.1.3 Hasil Uji Fatigue Pengujian fatigue dilakukan untuk mengetahui hubungan kekuatan fatigue terhadap masa pakai (life time) serta mengetahui pengaruh perlakuan pada material baja stainless steel M303 Extra terhadap kekuatan fatigue. Dalam penelitian ini pengujian fatigue hanya dilakukan pada hasil yang optimal pada proses uji tarik. Adapun spesimen yang akan di uji fatique setelah proses uji tarik yaitu raw material, hardening 1000 C setelah diqueching air es, tempering 350 C 1 jam setelah quenching air es. Hasil pengujian fatigue terdiri dari dua parameter yaitu siklus (life time), tegangan luluh (yield strength). Secara umum hasil pengujian fatigue dapat dilihat pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Tabel Data Hasil Uji Fatique SPESIMEN Waktu (S) SIKLUS (N) Raw Material Hardening air es (1000 C) Tempering 350 C 1 Jam, Setelah quenching air es Tabel 4.5 bila disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar 4.3, 4.4 dan 4.5 berikut :

88 a. Kurva S-N Raw Material Kekuatan Lelah σ (MPa) ,E+004,E+078,E+071,E+082,E+082,E+082,E+083,E+083,E+08 Siklus (N) Gambar 4.3 Grafik Kurva S-N Raw Material b. Kurva S-N Hardening 1000 C (Air Es) 1600 Kekuatan Lelah σ (MPa) ,E+00 2,E+06 4,E+06 6,E+06 8,E+06 1,E+07 1,E+07 1,E+07 2,E+07 Siklus (N) Gambar 4.4 Grafik Kurva S-N Hardening 1000 C (Air Es)

89 c. Kurva S-N Tempering 350 C (Air Es) Kekuatan Lelah σ (MPa) ,E+00 6,E+06 1,E+07 2,E+07 2,E+07 3,E+07 4,E+07 4,E+07 5,E+07 Siklus (N) Gambar 4.5 Grafik Kurva S-N Tempering 350 C (Air Es) Dari gambar 4.3, 4.4, dan 4,5 terlihat bahwa setelah di hardening dengan penahanan 1 jam dan didinginkan dengan media air es memiliki umur lelah detik, namun pada tempering memperlihatkan naiknya umur lelah detik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin rendah kekuatan lelah pada bahan dapat meningkatkan umur lelah yaitu pada raw mateial Hasil Pengamatan Metallografi Pengujian metallografi dilakukan terhadap benda uji pada seluruh kondisi. Dalam penelitian ini spesimen dicelupkan ke dalam larutan HCl 75 ml, FeCl 5gram dan 100 ml H 2 O kemudian ditahan selama 5-30 detik. Pada skripsi ini perhitungan diameter butiran menggunakan metode planimetri sesuai standard ASTM E-112 dan bentuk butiran diasumsikan

90 spherical. Dalam penelitian ini diketahui bahwa suhu perlakuan panas atau heat treatment memengaruhi ukuran butiran dimana pada gambar terlihat ukuran butiran dari spesimen raw material tanpa perlakuan apapun. Kemudian setelah dilakukan proses perlakuan panas terjadi berkurangnya diameter butir. Berikut ini adalah gambar foto mikro hasil heat treatment dengan perbesaran 500X dari raw material sebelum dilakukan proses perlakuan panas (30 C). Pearlit Ferrit Gambar 4.6 Foto Mikro Raw Material Perbesaran 500X (Sebelum Pemanasan) Berikut ini adalah foto mikro dari spesimen yang telah dilakukan perlakuan panas : (a) (b)

91 (c) (d) (e) (f) (g) (h) Gambar 4.7 Foto Mikro Pembesaran 500X (a) Hardening Setelah Quenching oli, (b) Hardening Setelah Quenching air es, (c) Setelah Tempering 300 C selama 1 jam hasil Quenching oli, (d) Setelah Tempering 300 C selama 1 jam hasil Quenching air es, (e) Setelah Tempering 350 C selama 1 jam hasil Quenching oli, (f) Setelah Tempering 350 C selama 1 jam hasil Quenching air es, (g) Setelah Tempering 450 C selama 1 jam hasil Quenching oli, (f) Setelah Tempering 450 C selama 1 jam hasil Quenching air es.

92 Dari gambar 4.6 diketahui bahwa yang berwarna terang adalah fasa ferit, sementara yang berwarna hitam adalah perlit. Untuk bahan yang diquenching air es terlihat pada gambar terbentuk fasa martensite yang keras. Hasil pengukuran diameter butir ditampilkan pada tabel 4.6 berikut ini, dimana untuk hasil pengukuran pada gambar dibawah ini adalah pengukuran dari foto raw material. N A = f (N inside + N intercepted 2 N inside = 221 N intercepted = 76 N A = d = (3,322 log N A ) 2,95 d = 3,83 μm ) `

93 Tabel 4.6 Tabel Hasil Pengukuran Diameter Butir quenching oli SAE40 dan Air Es Spesimen Diameter Butir Raw Material 3,83 μm Hardening 1000 C, Quenching Oli SAE40 2,86 μm Tempering 300 C 1 Jam setelah Quenching Oli 3,19 μm SAE40 Tempering 350 C 1 Jam setelah Quenching Oli 3,40 μm SAE40 Tempering 450 C 1 Jam setelah Quenching Oli 3,63 μm SAE40 Hardening 1000 C, Quenching air es 2,47 μm Tempering 300 C 1 Jam setelah Quenching air es 2,70 μm Tempering 350 C 1 Jam setelah Quenching air es 2,96 μm Tempering 450 C 1 Jam setelah Quenching air es 3,32 μm 4.8. Tabel 4.6 bila disajikan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar Diameter Butir (μm) 4 3,5 3 2,5 3,83 2,86 2,47 3,19 2,7 3,4 2,96 3,63 3,32 Air es Oli 2 RM H T300 C T350 C T450 C Spesimen (Jenis Perlakuan) Gambar 4.8 Grafik Hubungan Antara Diameter Butir dengan Jenis Perlakuan Heat Treatment.

94 Dari gambar 4.8 di atas dapat dilihat bahwa akibat perlakuan heat treatment besarnya diameter butir bertambah besar. Pada proses hardening oli diameter butir menurun 0,9 μm, dan untuk air es diameter butir menurun 1,36 μm, Dan pada proses tempering besarnya diameter butir bertambah karena proses tempering bertujuan untuk menurunkan kekerasan dan kekuatan tarik sehingga memenuhi syarat pemakain, selaras dengan persaan Hall and Petch dimana semakin besar diameter butir maka kekuatan tarik dan kekerasan menurun. 4.2 Pembahasan Pada sub-bab ini membahas hubungan antara kekerasan, kekuatan tarik, diameter butiran dan perbesaran butiran akibat perlakuan heat treatment Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Kekerasan Jika dikaitkan dengan tabel 4.4 pada nilai kekerasan yang diuji tarik akibat perlakuan tempering maka didapat grafik seperti yang terlihat pada gambar 4.9 berikut ini. Tegangan (Mpa) ,8; 1347, ,4; 1357, ,6; 1308, ,6; 1335, ,4; 1261, ,6; 1172, ,2; 1214, ,8; 1141, ; 1141, ,6; 1056, ,6; 1155, ,4; 1065, ,4; 1063, ,6; 862,776499,2; 905, ; 723,829 Ultimate (Oli) Ultimate (Air Es) Yield (Oli) Yield (Air Es) Kekerasan (BHN) Gambar 4.9 Grafik Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Kekerasan.

95 Dari gambar 4.9 di atas dapat kita tarik kesimpulan sesuai dengan garis linier bahwa pada proses hardening dan tempering dengan pendinginan dengan media oli bahwa semakin tinggi kekuatan tarik material maka kekerasannya semakin tinggi. Disini dapat juga kita lihat bahwa pada proses tempering dapat menurunkan kekuatan tarik dan kekerasan dari spesimen selaras dengan teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Sedangkan pada proses hardening dan tempering dengan pendinginan dengan media air es rata rata kekuatan tariknya naik secara bertahap dengan menurunnya kekerasan Hubungan Antara Kekerasan dengan Diameter Butir Perubahan diameter butir akibat perlakuan panas memengaruhi nilai kekerasan material, hal ini dapat diperlihatkan dengan menghubungkan data kekerasan dengan tabel 4.6. Jika data-data ini dihubungkan secara regresi linier maka didapat suatu persamaan garis linier. Pada gambar 4.10 Berikut ini diperlihatkan hubungan antara kekerasan dengan diameter butir. 600 Kekerasan (BHN) ,2,2,47 435,4;2,70 506,6: 2,86 457,6: 3,19 447,4; 3,4 438; 3,63 420,8; 2,96 426,6; 3,32 Oli Air es ,5 Diameter 3Butir (μm) 3,5 4 Gambar 4.10 Grafik Hubungan Antara Kekerasan Dengan Diameter Butir

96 Dari gambar 4.10 di atas dapat kita lihat bahwa besarnya diameter butir memengaruhi nilai kekerasannya, semakin besar diameter butiran maka kekerasannya akan menurun. Ini dikarenakan dengan membesarnya diameter butir maka batas butir yang terbentuk akan semakin berkurang. Batas butir yang sedikit ini akan mengakibatkan gerakan dislokasi semakin mudah karena semakin sedikit rintangan sehingga bahan jadi semakin lunak akibat adanya proses tempering Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Diameter Butir Perubahan diameter butir akibat perlakuan panas memengaruhi nilai kekuatan tarik material, hal ini dapat diperlihatkan dengan menghubungkan data tabulasi tabel 4.4 dengan 4.6. Jika data-data ini dihubungkan secara regresi linier maka didapat suatu persamaan garis linier. Pada gambar 4.11 Berikut ini diperlihatkan hubungan antara kekuatan tarik dengan diameter butir. Tegangan (Mpa) ,86; 1335,313 2,96; 1347,075 3,4; 1357,013 3,32; 1308,822 2,7; 1261,064 2,96; 1141,117 3,32; 1172,406 2,47; 1214,235 3,63; 1141,785 2,86; 1155,671 2,7; 1063,912 3,4; 1065,785 3,19; 1056,966 2,47; 905,018 3,19; 862,776 Utimate (Oli) Ultimate (Air Es) Yield (Oli) Yield ( Air Es) ,63; 723, ,5 3 3,5 Diameter Butir (μm) 4 Gambar 4.11 Grafik Hubungan Antara Kekuatan Tarik dengan Diameter Butir

97 Dari gambar 4.11 di atas dapat kita tarik kesimpulan sesuai dengan garis linier bahwa pada proses hardening dan tempering dengan pendinginan dengan media oli, semakin besar diameter butir material maka kekuatan tarik material juga turun, Hal ini memiliki karakteristik yang sama dengan kekerasan. ini sesuai dengan persamaan Hall-petch untuk diameter butir yang sangat halus, dimana semakin kecil diameter butir yang terbentuk maka kekuatan material akan semakin meningkat. Sedangkan pada proses hardening dan tempering dengan pendinginan dengan media air es memperlihatkan bahwa berbanding terbalik dengan media pendinginan oli dimana semakin besar diameter butir maka kekuatan tarik naik. Hal ini disebabkan akibat proses hardening yang di-queching dengan air es bersifat sangat rapuh dan getas, setelah di-tempering kekuatan tari naik dengan bertambahnya diameter butir.

98 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Sifat mekanis bahan baja stainless steel M303 extra dengan perlakuan heat treatment yang didapatkan dari hasil pengujian: Hasil uji kekerasan raw material adalah 275,4 setelah proses hardening 1000 C ditahan selama 1 jam quenching oli kekerasan maksimum yang didapat adalah 506,6 BHN setelah proses hardening 1000 C di tahan selama 1 jam dan quenching oli. Pada proses tempering rata - rata kekerasan secara bertahap menurun dengan bertambahnya suhu tempering. Sedangkan proses hardening 1000 C ditahan selama 1 jam quenching air es kekerasan maksimum yang didapat adalah 499,2 BHN setelah proses hardening 1000 C di tahan selama 1 jam dan quenching air es. Pada proses tempering kekerasan yang didapat rata - rata secara bertahap menurun. Namun pada suhu tempering 450 C, kekerasan naik yang didapat 426,6 BHN. Hal ini disebabkan laju difusi lambat hanya sebagian kecil karbon yang dibebaskan,hasilnya sebagian struktur tetap keras tetapi mulai kehilangan kerapuhannya.

99 Hasil pengujian tarik maksimum untuk nilai tegangan luluh (yield strength) sebesar 1214,235 Mpa dan tegangan batas (ultimate strength) sebesar 1335,313 MPa pada proses hardening ditahan selama 1 jam quenching oli. Sedangkan pada air es kekuatan tarik maksimum untuk nilai tegangan luluh (yield strength) sebesar 1141,117 Mpa dan tegangan batas (ultimate strength) sebesar 1347,075 MPa pada proses suhu tempering 350 C. Hasil pengujian Fatique diperoleh kekuatan lelah maksimum pada siklus N selama detik dengan beban 7 Kg pada raw material. Meningkatnya suhu tempering memiliki kecenderungan menurunkan nilai kekerasan dan kekuatan tarik material, sedangkan keuletan meningkat. 2. Hubungan antara ukuran butiran dengan kekerasan dan kekuatan tarik dimana semakin kecil ukuran butiran maka kekerasan dan kekuatan tarik material makin meningkat untuk quenching oli, sedangkan hubungan antara ukuran butiran dengan kekerasan dan kekuatan tarik dengan quenching air es dimana semakin kecil ukuran butiran maka kekerasan meningkat dan kekuatan tarik menurun, hal ini disebabkan karena baja yang telah dipanaskan sampai suhu austenite dan didinginkan dengan air es atau pendinginan cepat, baja tersebut belum layak digunakan karena bersifat sangat rapuh (brittles) dan getas. 3. Hasil pengamatan dari sifat mekanis bahan stainless steel M303 Extra dengan perlakuan heat treatment memiliki kekerasan, kekuatan tarik yang lebih unggul dari pada baja yang sering digunakan oleh pandai besi untuk

100 pembuatan mata pisau pemanen sawit berupa baja pegas belakang mobil (pegas daun). 4. Pengaruh dari perlakuan heat treatment yang telah dilakukan, setelah diambil nilai optimalnya maka hasil yang diperoleh setelah di hardening jauh lebih tinggi dari raw material, nilai kekerasan raw material 275,4 BHN menjadi 506,6 dengan quenching oli, kekuatan batas (ultimate strength) raw material 749,077 MPa setelah di hardening menjadi 1335,313 MPa quenching oli dan 1214,235 MPa quenching air es, dan pengamatan struktur mikro memperlihatkan menurunnya diameter butir dari raw material 3,83 μm setelah hardening menjadi 2,86 μm quenching oli dan 2,47 quenching air es. 5.2 Saran 1. Proses heat treatment untuk bahan baja stainless steel M303 Extra dalam penelitian ini, sebaiknya dicoba dengan media pendingin yang lain, seperti minyak trafo dan air garam. Dan untuk quenching dengan air es sebaiknya dicoba dengan kondisi vakum. 2. Peneliti menyarankan untuk perkembangan penelitian selanjutnya diadakan penelitian lanjutan dari data hasil penelitian yang menyangkut sifat mekanis lainnya, seperti uji ketangguhan bahan (impact), uji keausan dan uji

101 DAFTAR PUSTAKA [1]. Wibowo, Tri Bambang Tugas Akhir : Pengaruh Temper dengan Quechin Media Pendinginan Oli Mesran Sae 40 Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Baja ST 60, UNNES, Semarang. [2]. Murtiono, Arief Tugas Akhir : Pengaruh Quenching dan Tempering Terhada Kekerasan dan Kekuatan Tarik Serta Struktur Mikro Karbon Sedang untuk Matapisau pemanen sawit,usu, Medan. [3]. diakses 20 september 2013 [4]. Yudiono, Heri Tugas Akhir : Pengaruh Temperatur Pemanasan Terhadap Kekuatan Tarik Material Baja Karbon C1045 Akibat Tempering, UNNES, Semarang. [5]. D. A. Fadare, T. G. Fadara and O. Y. Akanbi Tugas Akhir : Effect Of Heat Treatment On Mechanical Properties And Microstructure Of NST 37-2 Steel, University Of Ibadan, Nigeria. [6]. Djafri, Sriati Terjemahan dari Mechanical Metallurgy, Jakarta, Erlangga : Metallurgy Mekanik [7]. LI Hong-ying, HU Ji-dong, LI Jun, CHEN Guang, SUN Xiong-jie Tugas Akhir : Effect Of Tempering Temperature On Microstructure And Mechanical Properties Of AISI6150 steel, Central South University Press and Springer Verlag Berlin Heidelberg, China [8]. Koswara, Engkos Pengujian Bahan Logam.Bandung : Humaniora Utama Press [9]. Schonmetz, Alois dan Karl Gruber Pengetahuan Bahan dalam Pengerjaan Logam. Bandung : Angkasa.

102 LAMPIRAN 1 Nilai Kekerasan (BHN) Pada Proses Hardening C (Quenching) Oli Lama Proses Hardening dan Tempering Adalah 1 Jam Spesimen Nilai Kekerasan (BHN) BHN Standar Rata-rata Deviasi Raw Material ,4 7,84 Hardening 1000 C ,6 14,80 Tempering 300 C ,6 6,80 Tempering 350 C ,4 6,80 Tempering 400 C ,4 6,80 Tempering 450 C ,35 Tempering 500 C ,00 Tempering 550 C ,8 11,60 Tempering 600 C ,4 8,80 Nilai Kekerasan (BHN) Pada Proses Hardening 1000 C (Quenching) Air Es Dan Lama Proses Hardening dan Tempering Adalah 1 Jam Nilai Kekerasan (BHN) BHN Standar Spesimen Rata-rata Deviasi Raw Material ,4 7,84

103 Hardening 1000 C Tempering 300 C Tempering 350 C Tempering 400 C Tempering 450 C Tempering 500 C Tempering 550 C Tempering 600 C ,2 18, ,4 12, ,8 11, ,6 10, ,6 14, ,6 10, , ,6 8,80

104 LAMPIRAN 2

PENGARUH STRUKTUR MIKRO TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA STAINLESS STEEL M303 EXTRA UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT

PENGARUH STRUKTUR MIKRO TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA STAINLESS STEEL M303 EXTRA UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT PENGARUH STRUKTUR MIKRO TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA STAINLESS STEEL M303 EXTRA UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja Heat Treatment Pada Logam Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma Proses Perlakuan Panas Pada Baja Proses perlakuan panas adalah suatu proses mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penguatan yang berdampak terhadap peningkatan sifat mekanik dapat terjadi dengan berbagai cara, antara lain dengan mekanisme pengerasan regangan (strain hardening),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau dipanaskan didalam furnace guna untuk mempermudah proses tempa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau dipanaskan didalam furnace guna untuk mempermudah proses tempa 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pisau Egrek Bahan baku alat pemanen sawit dalam hal ini pisau egrek seperti pada gambar 2.1 biasanya menggunakan baja karbon sedang dari pegas daun mobil yang dalam bentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Baja Baja merupakan bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR MIKRO TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA HSS ASP 23 UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI

PENGARUH STRUKTUR MIKRO TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA HSS ASP 23 UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI PENGARUH STRUKTUR MIKRO TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA HSS ASP 23 UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik MAUJAN YUDIKA 080401009

Lebih terperinci

HEAT TREATMENT. Pembentukan struktur martensit terjadi melalui proses pendinginan cepat (quench) dari fasa austenit (struktur FCC Face Centered Cubic)

HEAT TREATMENT. Pembentukan struktur martensit terjadi melalui proses pendinginan cepat (quench) dari fasa austenit (struktur FCC Face Centered Cubic) HEAT TREATMENT Perlakuan panas (heat treatment) ialah suatu perlakuan pada material yang melibatkan pemanasan dan pendinginan dalam suatu siklus tertentu. Tujuan umum perlakuan panas ini ialah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom)

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom) BAJA Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom) Baja merupakan paduan yang terdiri dari besi,karbon dan unsur lainnya. Baja

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO BAJA SETELAH HARDENING DAN TEMPERING Struktur mikro yang dihasilkan setelah proses hardening akan menentukan sifat-sifat mekanis baja perkakas, terutama kekerasan

Lebih terperinci

BAB 1. PERLAKUAN PANAS

BAB 1. PERLAKUAN PANAS BAB PERLAKUAN PANAS Kompetensi Sub Kompetensi : Menguasai prosedur dan trampil dalam proses perlakuan panas pada material logam. : Menguasai cara proses pengerasan, dan pelunakan material baja karbon.

Lebih terperinci

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT STRUKTUR LOGAM DAPAT BERUBAH KARENA : KOMPOSISI KIMIA (PADUAN) REKRISTALISASI DAN PEMBESARAN BUTIRAN (GRAIN GROWTH) TRANSFORMASI FASA PERUBAHAN STRUKTUR MENIMBULKAN PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini telah merambah pada berbagai aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali di dunia industri manufacture (rancang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan-bahan logam Baja adalah paduan antara besi dengan karbon (Fe-C) yang mengandung karbon maksimal 2,0 % dengan sedikit unsur silikon (Si), Mangan (Mn), Phospor (P), dan

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C Syaifudin Yuri, Sofyan Djamil dan M. Sobrom Yamin Lubis Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, Jakarta e-mail:

Lebih terperinci

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C)

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C) MK: TRANSFORMASI FASA Pertemuan Ke-6 Sistem Besi-Karbon Nurun Nayiroh, M.Si Sistem Besi-Karbon Besi dengan campuran karbon adalah bahan yang paling banyak digunakan diantaranya adalah baja. Kegunaan baja

Lebih terperinci

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE Pengertian Diagram fasa Pengertian Diagram fasa Adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan

Lebih terperinci

07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA

07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA 07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA 7.1. Diagram Besi Karbon Kegunaan baja sangat bergantung dari pada sifat sifat baja yang sangat bervariasi yang diperoleh dari pemaduan dan penerapan proses perlakuan panas.

Lebih terperinci

ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH

ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH Sumidi, Helmy Purwanto 1, S.M. Bondan Respati 2 Program StudiTeknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda

I. PENDAHULUAN. Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda logam yang keras dan kuat (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Sedangkan menurut Setiadji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pisau pemanen sawit dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu pisau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pisau pemanen sawit dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu pisau 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Pisau Pemanen Sawit Pisau pemanen sawit dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu pisau dodos dan pisau egrek. Penggunaan alat ini tergantung dari umur atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Logam Logam cor diklasifikasikan menurut kandungan karbon yang terkandung di dalamnya yaitu kelompok baja dan besi cor. Logam cor yang memiliki persentase karbon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metalurgi merupakan ilmu yang mempelajari pengenai pemanfaatan dan pembuatan logam dari mulai bijih sampai dengan pemasaran. Begitu banyaknya proses dan alur yang harus

Lebih terperinci

TIN107 - Material Teknik #9 - Metal Alloys 1 METAL ALLOYS (1) TIN107 Material Teknik

TIN107 - Material Teknik #9 - Metal Alloys 1 METAL ALLOYS (1) TIN107 Material Teknik 1 METAL ALLOYS (1) TIN107 Material Teknik Definisi 2 Metal Alloys (logam paduan) adalah bahan campuran yang mempunyai sifat-sifat logam, terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur, dan sebagai unsur utama

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING

PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING Pramuko Ilmu Purboputro Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos I Surakarta Pramuko_ip@ums.ac.id ABSTRAK Tujuan penelitian

Lebih terperinci

Kategori unsur paduan baja. Tabel periodik unsur PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY

Kategori unsur paduan baja. Tabel periodik unsur PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY Dr.-Ing. Bambang Suharno Dr. Ir. Sri Harjanto PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY 1. DASAR BAJA 2. UNSUR PADUAN 3. STRENGTHENING

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan

I. TINJAUAN PUSTAKA. unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan I. TINJAUAN PUSTAKA Teori yang akan dibahas pada tinjauan pustaka ini adalah tentang klasifikasi baja, pengaruh unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan martensit,

Lebih terperinci

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA Ahmad Supriyadi & Sri Mulyati Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. H. Sudarto, SH.,

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS BAHAN DAN PROSES PENGERASAN TERHADAP KEKERASAN DAN KEAUSAN PISAU TEMPA MANUAL

PENGARUH JENIS BAHAN DAN PROSES PENGERASAN TERHADAP KEKERASAN DAN KEAUSAN PISAU TEMPA MANUAL PENGARUH JENIS BAHAN DAN PROSES PENGERASAN TERHADAP KEKERASAN DAN KEAUSAN PISAU TEMPA MANUAL Balkhaya 2114201007 Dosen Pembimbing Suwarno, ST., M.Sc., Ph.D. LATAR BELAKANG Alat potong bidang pertanian

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *)

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *) PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI Purnomo *) Abstrak Baja karbon rendah JIS G 4051 S 15 C banyak digunakan untuk bagian-bagian

Lebih terperinci

PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST

PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST Sub Modul Praktikum PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST Tim Penyusun Herdi Susanto, ST, MT NIDN :0122098102 Joli Supardi, ST, MT NIDN :0112077801 Mata Kuliah FTM 011 Metalurgi Fisik + Praktikum JURUSAN

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK PERKAPALAN

JURNAL TEKNIK PERKAPALAN http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/naval JURNAL TEKNIK PERKAPALAN Jurnal Hasil Karya Ilmiah Lulusan S1 Teknik Perkapalan Universitas Diponegoro ISSN 2338-0322 Analisa Pengaruh Proses Quenching Dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGEROLAN PANAS DAN TINGKAT DEFORMASI TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA KARBON SEDANG UNTUK MATA PISAU PEMANEN SAWIT

PENGARUH PENGEROLAN PANAS DAN TINGKAT DEFORMASI TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA KARBON SEDANG UNTUK MATA PISAU PEMANEN SAWIT PENGARUH PENGEROLAN PANAS DAN TINGKAT DEFORMASI TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA KARBON SEDANG UNTUK MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016 BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Data dan Analisa Metalografi Pengambilan gambar atau foto baik makro dan mikro pada Bucket Teeth Excavator dilakukan pada tiga dua titik pengujian, yaitu bagian depan spesimen

Lebih terperinci

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut :

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut : PERLAKUAN PANAS Perlakuan panasadalah suatu metode yang digunakan untuk mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan pendinginan dengan atau

Lebih terperinci

PENGARUH QUENCHING DAN TEMPERING TERHADAP

PENGARUH QUENCHING DAN TEMPERING TERHADAP sering patah atau lecetnya mata pisau PENGARUH QUENCHING DAN TEMPERING TERHADAP sehingga umur pakai mata pisau lebih KEKERASAN DAN KEKUATAN TARIK singkat. SERTA Alasan yang STRUKTUR mendasari peneliti

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN ENERGIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP KEKERASAN CANGKUL PRODUKSI PENGRAJIN PANDE BESI

PENGARUH BAHAN ENERGIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP KEKERASAN CANGKUL PRODUKSI PENGRAJIN PANDE BESI PENGARUH BAHAN ENERGIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP KEKERASAN CANGKUL PRODUKSI PENGRAJIN PANDE BESI Eko Surojo 1, Joko Triyono 1, Antonius Eko J 2 Abstract : Pack carburizing is one of the processes

Lebih terperinci

STUDI KOMPARASI HEAT TREATMENT TERHADAP SIFAT-SIFAT MEKANIS MATERIAL RING PISTON BARU DAN BEKAS

STUDI KOMPARASI HEAT TREATMENT TERHADAP SIFAT-SIFAT MEKANIS MATERIAL RING PISTON BARU DAN BEKAS STUDI KOMPARASI HEAT TREATMENT TERHADAP SIFAT-SIFAT MEKANIS MATERIAL RING PISTON BARU DAN BEKAS Fuad Abdillah FPTK IKIP Veteran Semarang Email : fuadabdillah88@yahoo.co.id ABSTRAK Akhir-akhir ini banyak

Lebih terperinci

PENELITIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN LOW TEMPERING

PENELITIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN LOW TEMPERING TUGAS AKHIR PENELITIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN LOW TEMPERING, MEDIUM TEMPERING DAN HIGH TEMPERING PADA MEDIUM CARBON STEEL PRODUKSI PENGECORAN BATUR-KLATEN TERHADAP STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat logam akibat

II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat logam akibat II TINJAUAN PUSTAKA A. Heat Treatment Proses perlakuan panas (Heat Treatment) adalah suatu proses mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dibidang konstruksi, pengelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan peningkatan industri, karena mempunyai

Lebih terperinci

PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO

PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO Cahya Sutowo 1.,ST.MT., Bayu Agung Susilo 2 Lecture 1,College student 2,Departement

Lebih terperinci

PROSES PENGERASAN (HARDENNING)

PROSES PENGERASAN (HARDENNING) PROSES PENGERASAN (HARDENNING) Proses pengerasan atau hardening adalah suatu proses perlakuan panas yang dilakukan untuk menghasilkan suatu benda kerja yang keras, proses ini dilakukan pada temperatur

Lebih terperinci

METALURGI FISIK. Heat Treatment. 10/24/2010 Anrinal - ITP 1

METALURGI FISIK. Heat Treatment. 10/24/2010 Anrinal - ITP 1 METALURGI FISIK Heat Treatment 10/24/2010 Anrinal - ITP 1 Definisi Perlakuan Panas Perlakuan panas adalah : Proses pemanasan dan pendinginan material yang terkontrol dengan maksud merubah sifat mekanik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 58 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Mulai Data awal: Spesifikasi awal Studi pustaka Persiapan benda uji: Pengelompokkan benda uji Proses Pengujian: Pengujian keausan pada proses

Lebih terperinci

Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135 JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika Vol. 4, No. 02, Juli Tahun 2016 Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI

Lebih terperinci

PENGARUH PROSES TERMOMEKANIK TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA BOHLER VCN 150 UNTUK MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI

PENGARUH PROSES TERMOMEKANIK TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA BOHLER VCN 150 UNTUK MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI PENGARUH PROSES TERMOMEKANIK TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA BOHLER VCN 150 UNTUK MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik ROYYAN SY NASUTION

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010 TUGAS AKHIR TM091486

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010 TUGAS AKHIR TM091486 TUGAS AKHIR TM091486 STUDI EKSPERIMENTAL UMUR LELAH BAJA AISI 1045 AKIBAT PERLAKUAN PANAS HASIL FULL ANNEALING DAN NORMALIZING DENGAN BEBAN LENTUR PUTAR PADA HIGH CYCLE FATIGUE Oleh: Adrian Maulana 2104.100.106

Lebih terperinci

PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760

PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760 PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760 Syaiful Rizal 1) Ir.Priyagung Hartono 2) Ir Hj. Unung Lesmanah.MT 3) Program Strata Satu Teknik Universitas

Lebih terperinci

PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) HEAT TREATMENT PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT) Proses laku-panas atau Heat Treatment kombinasi dari operasi pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap logam atau paduan

Lebih terperinci

03/01/1438 KLASIFIKASI DAN KEGUNAAN BAJA KLASIFIKASI BAJA 1) BAJA PEGAS. Baja yang mempunyai kekerasan tinggi sebagai sifat utamanya

03/01/1438 KLASIFIKASI DAN KEGUNAAN BAJA KLASIFIKASI BAJA 1) BAJA PEGAS. Baja yang mempunyai kekerasan tinggi sebagai sifat utamanya KLASIFIKASI BAJA KLASIFIKASI DAN KEGUNAAN BAJA L U K H I M U L I A S 1 Baja yang mempunyai kekerasan tinggi sebagai sifat utamanya 1) BAJA PEGAS Baja pegas adalah baja karbon yang mengandung 0,5-1,0% karbon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena

BAB I PENDAHULUAN. perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada bidang metalurgi, terutama mengenai pengolahan baja karbon rendah ini perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena erat dengan

Lebih terperinci

Perlakuan panas (Heat Treatment)

Perlakuan panas (Heat Treatment) Perlakuan panas (Heat Treatment) Pertemuan Ke-6 PERLAKUAN PANAS PADA BAJA (Sistem Besi-Karbon) Nurun Nayiroh, M.Si Sifat mekanik tidak hanya tergantung pada komposisi kimia suatu paduan, tetapi juga tergantung

Lebih terperinci

PERBEDAAN STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN, DAN KETANGGUHAN BAJA HQ 705 BILA DIQUENCH DAN DITEMPER PADA MEDIA ES, AIR DAN OLI

PERBEDAAN STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN, DAN KETANGGUHAN BAJA HQ 705 BILA DIQUENCH DAN DITEMPER PADA MEDIA ES, AIR DAN OLI PERBEDAAN STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN, DAN KETANGGUHAN BAJA HQ 705 BILA DIQUENCH DAN DITEMPER PADA MEDIA ES, AIR DAN OLI Darmawi, (1) M. Amin Indra Putra (1) (1) Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember PENGARUH VARIASI VISKOSITAS OLI SEBAGAI MEDIA PENDINGIN TERHADAP SIFAT KEKERASAN PADA PROSES QUENCHING BAJA AISI 4340 Bayu Sinung Pambudi 1, Muhammad Rifki Luthfansa 1, Wahyu Hidayat Nurdiansyah 1 1 Jurusan

Lebih terperinci

PENGARUH MANUAL FLAME HARDENING TERHADAP KEKERASAN HASIL TEMPA BAJA PEGAS

PENGARUH MANUAL FLAME HARDENING TERHADAP KEKERASAN HASIL TEMPA BAJA PEGAS 45 PENGARUH MANUAL FLAME HARDENING TERHADAP KEKERASAN HASIL TEMPA BAJA PEGAS Eko Surojo 1, Dody Ariawan 1, Muh. Nurkhozin 2 1 Staf Pengajar - Jurusan Teknik Mesin - Fakultas Teknik UNS 2 Alumni Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, banyak kalangan dunia industri yang menggunakan logam sebagai bahan utama operasional atau sebagai bahan baku produksinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pisau egrek masalah yang sering dijumpai yaitu umur yang singkat yang. mengakibatkan cepat patah dan mata pisau yang cepat habis.

BAB I PENDAHULUAN. pisau egrek masalah yang sering dijumpai yaitu umur yang singkat yang. mengakibatkan cepat patah dan mata pisau yang cepat habis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pemanenan kelapa sawit sangat banyak dijumpai permasalahan. Diantaranya adalah alat pemanen sawit yang disebut dengan pisau egrek. Pada pisau egrek masalah

Lebih terperinci

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN Annealing adalah : sebuah perlakukan panas dimana material dipanaskan pada temperatur tertentu dan waktu tertentu dan kemudian dengan perlahan didinginkan. Annealing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan 1

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Baja perkakas (tool steel) merupakan baja yang biasa digunakan untuk aplikasi pemotongan (cutting tools) dan pembentukan (forming). Selain itu baja perkakas juga banyak

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL

PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL Pramuko I. Purboputro Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan

Lebih terperinci

Proses perlakuan panas diklasifikasikan menjadi 3: 1. Thermal Yaitu proses perlakuan panas yang hanya memanfaatkan kombinasi panas dalam mencapai

Proses perlakuan panas diklasifikasikan menjadi 3: 1. Thermal Yaitu proses perlakuan panas yang hanya memanfaatkan kombinasi panas dalam mencapai Heat Treatment atau proses perlakuan panas adalah proses pemanasan yang diikuti proses pendinginan selama waktu tertentu dan bila perlu dilanjutkan dengan pemanasan serta pendinginan ulang. Perlakuan panas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Alat Pengujian Impak Sejarah pengujian impak terjadi pada masa Perang Dunia ke 2, karena ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 4340

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 4340 ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 30 Sasi Kirono, Eri Diniardi, Seno Ardian Jurusan Mesin, Universitas Muhammadiyah Jakarta Abstrak.

Lebih terperinci

Analisa Deformasi Material 100MnCrW4 (Amutit S) Pada Dimensi Dan Media Quenching Yang Berbeda. Muhammad Subhan

Analisa Deformasi Material 100MnCrW4 (Amutit S) Pada Dimensi Dan Media Quenching Yang Berbeda. Muhammad Subhan IRWNS 213 Analisa Deformasi Material 1MnCrW4 (Amutit S) Pada Dimensi Dan Media Quenching Yang Berbeda Muhammad Subhan Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung, Sungailiat, 33211

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Struktur dan Sifat Material 2013

Laporan Praktikum Struktur dan Sifat Material 2013 BAB IV UJI JOMINY (JOMINY TEST) 4.1 PENDAHULUAN 4.1.1 Latar Belakang Pada dunia engineering, penggunaan bahan yang spesifik pada aplikasi tertentu sangatlah krusial. Salah satu metode yang sering diaplikasi

Lebih terperinci

PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S

PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S Mahasiswa Edwin Setiawan Susanto Dosen Pembimbing Ir. Rochman Rochiem, M. Sc. Hariyati Purwaningsih, S.Si, M.Si. 1 Latar

Lebih terperinci

PENGARUH PROSES TERMOMEKANIK TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA BOHLER K-110 KNL EXTRA UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI

PENGARUH PROSES TERMOMEKANIK TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA BOHLER K-110 KNL EXTRA UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI PENGARUH PROSES TERMOMEKANIK TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA BOHLER K-110 KNL EXTRA UNTUK BAHAN MATA PISAU PEMANEN SAWIT SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

Pengaruh Heat Treatment denganvariasi Media Quenching Oli dan Solar terhadap StrukturMikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

Pengaruh Heat Treatment denganvariasi Media Quenching Oli dan Solar terhadap StrukturMikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135 JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika Vol. 4, No.0 2, Juli Tahun 2016 Pengaruh Heat Treatment denganvariasi Media Quenching Oli dan Solar terhadap StrukturMikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

Lebih terperinci

ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO

ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO EFEK WAKTU PERLAKUAN PANAS TEMPER TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KETANGGUHAN IMPAK BAJA KOMERSIAL Bakri* dan Sri Chandrabakty * Abstract The purpose of this paper is to analyze

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. Dalam penggunaannya, logam yang digunakan akan mengalami gaya luar atau

II. LANDASAN TEORI. Dalam penggunaannya, logam yang digunakan akan mengalami gaya luar atau 6 II. LANDASAN TEORI 2.1 Sifat-Sifat Logam Dalam penggunaannya, logam yang digunakan akan mengalami gaya luar atau pembebanan. Setiap logam mempunyai daya tahan terhadap pembebanan yang berbeda-beda, perbedaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon

II. TINJAUAN PUSTAKA. unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Baja Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja

Lebih terperinci

PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111

PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111 PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111 Agung Setyo Darmawan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos I Pabelan Kartasura agungsetyod@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB VI L O G A M 6.1. PRODUKSI LOGAM

BAB VI L O G A M 6.1. PRODUKSI LOGAM BAB VI L O G A M Baja banyak di gunakan dalam pembuatan struktur atau rangka bangunan dalam bentuk baja profil, baja tulangan beton biasa, anyaman kawat, atau pada akhir-akhir ini di pakai juga dalam bentuk

Lebih terperinci

Machine; Jurnal Teknik Mesin Vol. 2 No. 2, Juli 2016 ISSN :

Machine; Jurnal Teknik Mesin Vol. 2 No. 2, Juli 2016 ISSN : PEMANFAATAN CANGKANG BUAH KARET SEBAGAI ALTERNATIF CARBURIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING BAJA KARBON RENDAH ST.37 Saparin Jurusan Teknik Mesin, Universitas Bangka Belitung Kampus Terpadu Desa Balun Ijuk

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI SUHU PADA PROSES SELF TEMPERING DAN VARIASI WAKTU TAHAN PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA AISI 4140

PENGARUH VARIASI SUHU PADA PROSES SELF TEMPERING DAN VARIASI WAKTU TAHAN PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA AISI 4140 VANOS JOURNAL OF MECHANICAL ENGINEERING EDUCATION http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/vanos ISSN 2528-2611, e-issn 2528-2700 Vol.1, No.1, Juli 2016, Hlm.79-88. PENGARUH VARIASI SUHU PADA PROSES SELF

Lebih terperinci

11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon :

11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon : 11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon : Material Teknik Suatu diagram yang menunjukkan fasa dari besi, besi dan paduan carbon berdasarkan hubungannya antara komposisi dan temperatur. Titik

Lebih terperinci

STUDI PEMBUATAN BESI COR MAMPU TEMPA UNTUK PRODUK SAMBUNGAN PIPA

STUDI PEMBUATAN BESI COR MAMPU TEMPA UNTUK PRODUK SAMBUNGAN PIPA STUDI PEMBUATAN BESI COR MAMPU TEMPA UNTUK PRODUK SAMBUNGAN PIPA Agus Yulianto Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik UMS Jl. A. Yani Pabelan Kartosuro, Tromol Pos 1 Telp. (0271) 715448 Surakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

ANALISA KEKERASA DAN STRUKTUR MIKRO TERHADAP VARIASI TEMPERATUR TEMPERING PADA BAJA AISI 4140

ANALISA KEKERASA DAN STRUKTUR MIKRO TERHADAP VARIASI TEMPERATUR TEMPERING PADA BAJA AISI 4140 ANALISA KEKERASA DAN STRUKTUR MIKRO TERHADAP VARIASI TEMPERATUR TEMPERING PADA BAJA AISI 4140 Susri Mizhar 1) dan Gerhana Burhanuddin Tampubolon 2) 1,2 Jurusan Teknik Mesin,Institut Teknologi Medan (ITM)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pisau egrek adalah alat yang digunakan untuk pemanen kelapa sawit. Pisau

BAB I PENDAHULUAN. Pisau egrek adalah alat yang digunakan untuk pemanen kelapa sawit. Pisau 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisau egrek adalah alat yang digunakan untuk pemanen kelapa sawit. Pisau egrek yang sering dipergunakan petani pemanen sawit adalah pisau egerk yang materialnya

Lebih terperinci

Pengaruh Lama Pemanasan, Pendinginan secara Cepat, dan Tempering 600 o C terhadap Sifat Ketangguhan pada Baja Pegas Daun AISI No.

Pengaruh Lama Pemanasan, Pendinginan secara Cepat, dan Tempering 600 o C terhadap Sifat Ketangguhan pada Baja Pegas Daun AISI No. JURNAL Teori dan Aplikasi Fisika Vol. 01, No. 02, Juli 2013 Pengaruh Lama Pemanasan, Pendinginan secara Cepat, dan Tempering 600 o C terhadap Sifat Ketangguhan pada Baja Pegas Daun AISI No. 9260 Desti

Lebih terperinci

PENGARUH KEKUATAN PENGELASAN PADA BAJA KARBON AKIBAT QUENCHING

PENGARUH KEKUATAN PENGELASAN PADA BAJA KARBON AKIBAT QUENCHING PENGARUH KEKUATAN PENGELASAN PADA BAJA KARBON AKIBAT QUENCHING Nur Subkhan 1, Kun Suharno 2, NaniMulyaningsih 3 Abstrak Studi kekuatan tarik pada sambuangan las telah dilakukan pada baja karbon rendah

Lebih terperinci

Simposium Nasional RAPI XII FT UMS ISSN

Simposium Nasional RAPI XII FT UMS ISSN PENGARUH PENGELASAN GAS TUNGTEN ARC WELDING (GTAW) DENGAN VARIASI PENDINGINAN AIR DAN UDARA PADA STAINLESS STEEL 304 TERHADAP UJI KOMPOSISI KIMIA, STRUKTUR MIKRO, KEKERASAN DAN UJI IMPACT Agus Sudibyo

Lebih terperinci

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH Komponen : adalah logam murni atau senyawa yang menyusun suatu logam paduan. Contoh : Cu - Zn (perunggu), komponennya adalah Cu dan Zn Solid solution (larutan padat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan tarik adalah sifat mekanik sebagai beban maksimum yang terusmenerus

BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan tarik adalah sifat mekanik sebagai beban maksimum yang terusmenerus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Umum Kekuatan tarik adalah sifat mekanik sebagai beban maksimum yang terusmenerus oleh spesimen selama uji tarik dan dipisahkan oleh daerah penampang lintang yang asli. Kekuatan

Lebih terperinci

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN Annealing adalah : sebuah perlakukan panas dimana material dipanaskan pada temperatur tertentu dan waktu tertentu dan kemudian dengan perlahan didinginkan. Annealing

Lebih terperinci

TIN107 - Material Teknik #10 - Metal Alloys (2) METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik

TIN107 - Material Teknik #10 - Metal Alloys (2) METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik 1 METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik Tool Steel (Baja Perkakas) 2 W Pengerasan dengan air (Water hardening) Pengerjaan Dingin (Cold Work) O Pengerasan dengan oli (Oil hardening) A Pengerasan dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini, baja HSLA 0,029% Nb dan baja karbon rendah digunakan sebagai benda uji. Benda uji dipanaskan ulang pada temperatur 1200 O C secara isothermal selama satu jam.

Lebih terperinci

Pembahasan Materi #11

Pembahasan Materi #11 1 TIN107 Material Teknik Pembahasan 2 Tool Steel Sidat dan Jenis Stainless Steel Cast Iron Jenis, Sifat, dan Keterbatasan Non-Ferrous Alloys Logam Tahan Panas 1 Tool Steel (Baja Perkakas) 3 W Pengerasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Baja Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN Data Pengujian Pengujian Kekerasan.

BAB IV PEMBAHASAN Data Pengujian Pengujian Kekerasan. BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Data Pengujian. 4.1.1. Pengujian Kekerasan. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan metoda Rockwell C, pengujian kekerasan pada material liner dilakukan dengan cara penekanan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.. Sejarah Perusahaan PT. Sarana Panen Perkasa merupakan sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang produksi alat-alat pertanian terkhususnya perkebunan kelapa sawit.

Lebih terperinci

PEMBUATAN STRUKTUR DUAL PHASE BAJA AISI 3120H DARI BESI LATERIT

PEMBUATAN STRUKTUR DUAL PHASE BAJA AISI 3120H DARI BESI LATERIT PEMBUATAN STRUKTUR DUAL PHASE BAJA AISI 3120H DARI BESI LATERIT Saefudin 1*, Toni B. Romijarso 2, Daniel P. Malau 3 Pusat Penelitian Metalurgi dan Material Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Kawasan PUSPIPTEK

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADA BAJA AAR-M201 GRADE E

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADA BAJA AAR-M201 GRADE E ANALISA PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADA BAJA AAR-M201 GRADE E Mochammad Ghulam Isaq Khan 2711100089 Dosen Pembimbing Ir. Rochman Rochiem, M.Sc. Wikan Jatimurti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen,

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen, dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu tempering terhadap sifat mekanik baja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel atau baja yang memiliki kandungan 0,38-0,43% C, 0,75-1,00% Mn, 0,15-0,30% Si, 0,80-1,10%

Lebih terperinci

PENGARUH ANNEALING TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAHAT HSS DENGAN UNSUR PADUAN UTAMA CROM

PENGARUH ANNEALING TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAHAT HSS DENGAN UNSUR PADUAN UTAMA CROM PENGARUH ANNEALING TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PAHAT HSS DENGAN UNSUR PADUAN UTAMA CROM Bibit Sugito Dosen Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A.Yani Tromol Pos I Pabelan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia teknik dikenal empat jenis material, yaitu : logam,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia teknik dikenal empat jenis material, yaitu : logam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia teknik dikenal empat jenis material, yaitu : logam, plastik, komposit dan keramik. Logam itu sendiri masih dibagi menjadi dua bagian, yaitu : logam ferro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Logam mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, hampir semua kebutuhan manusia tidak lepas dari unsur logam. Karena alat-alat yang digunakan manusia terbuat

Lebih terperinci

POLITEKNOSAINS VOL. XI NO. 1 Maret 2012

POLITEKNOSAINS VOL. XI NO. 1 Maret 2012 PENGARUH TEMPER DENGAN QUENCHING MEDIA PENDINGIN OLI MESRAN SAE 40 TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN STRUKTUR MIKRO BAJA ST 60 Jeni Fariadhie Fakultas Teknik, Teknik Mesin, Universitas Sultan Fatah Demak ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB VI TRANSFORMASI FASE PADA LOGAM

BAB VI TRANSFORMASI FASE PADA LOGAM BAB VI TRANSFORMASI FASE PADA LOGAM Sebagian besar transformasi bahan padat tidak terjadi terus menerus sebab ada hambatan yang menghalangi jalannya reaksi dan bergantung terhadap waktu. Contoh : umumnya

Lebih terperinci