BAB II KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH"

Transkripsi

1 BAB II KEDUDUKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PERKAWINAN POLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI YANG SAH A. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 1. Perkawinan Poligami Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara yuridis formal, poligami di Indonesia diatur dalam Undangundang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) 56 bagi penganut agama Islam. Walaupun pada dasarnya asas 57 yang melekat dalam Undang-undang perkawinan tersebut merupakan asas monogami. 58 Namun menurut Yahya Harahap asas hukum 59 dalam Undang-undang tersebut tidaklah berimplikasi pada asas monogami mutlak akan tetapi asas monogami terbuka Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil konsensus (ijma ) ulama dari berbagai golongan melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan Negara. Yang mana kompilasi hukum Islam ini bertujuan untuk memositifkan hukum islam di Indonesia. Dalam kaitan ini kata hukum islam harus diartikan sebagai hukum perdata islam, Budiono, Abdul Rahmat. Peradilan Agama Dan Hukum Islam Di Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2003), hal Secara etimologi kata asas berasal dari bahasa arab yaitu asasun yang berarti pondasi. Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa asas merupakan dasar, prinsip, atau suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, lihat; Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal Asas yang menjelaskan bahwa perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. (pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan No 1 tahun 1974), Mohd. Idris Ramulyo, Hukum perkawinan Islam: suatu Analisa dari UU No 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal The Liang Gie berpendapat bahwa yang dimaksud asas hukum adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara- cara khusus mengenai pelaksanaanya, yang diterapkan oleh serangkain perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

2 Sementara asas yang melekat pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah asas poligami tertutup. Sebab secara tersurat dalam Pasal 55 ayat 1 (satu) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa asas perkawinanya adalah poligami. Namun pasal-pasal setelahnya mengindikasikan untuk menutup asas poligami tersebut dengan berbagai persyaratan yang begitu ketat, sehingga tidak memungkinkan bagi para pelaku poligami untuk menerapkannya dengan sewenang-wenang. Kedua asas tersebut tentunya terdapat konsekuensi hukum yang sama, yaitu poligami diperbolehkan di negara Indonesia. Akan tetapi dengan persyaratan yang begitu ketat dan selektif. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa 61 : 1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri, begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih satu, jika dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, didalam memberi putusan selain memeriksa persyaratan yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus Sedangkan Bellefroid berpendapat asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Dan asas hukum merupakan pengedepan hukum positif dalam suatu masyarakat. lihat; Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005 ), hal Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hal Lebih Lanjut Lihat Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3 mengingat pula, apakah ketentuan hukum perkawinan agama dari calon suami mengizinkan adanya poligami ataukah dilarang. Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: 1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 (dua) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 (satu) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 62 Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas, telah menjelaskan mengenai alasan-alasan bagi seorang suami untuk dapat beristri lebih dari seorang. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan pula bahwa: 1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 (satu) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. d. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. 63 Penjelasan Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat fakultatif yang harus dipenuhi. Sedangkan Pasal 5 62 Lebih Lanjut Lihat Pasal 4 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 63 Lebih Lanjut Lihat Pasal 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4 ayat 1 (satu) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan syarat kumulatif yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dari pengadilan. Perkawinan oleh seorang pria untuk kedua kalinya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin kawin untuk kedua kalinya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur lebih lanjut tentang tatacara seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami). Pasal-pasal tersebut antara lain, Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa: Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan. Selanjutnya Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 juga menyebutkan alasan yang memungkinkan bagi seorang suami untuk kawin lagi. Secara lengkap Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang PelaksanaanUndang-undang Perkawinan menyatakan: 64 Pengadilan kemudian memeriksa mengenai: 1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan suami kawin lagi ialah: a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. 2. Ada atau tidaknya dari persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan. 3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup, istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan; 64 Lebih lanjut lihat Pasal 41 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

5 a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja; atau b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. 4. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaa Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa: 1. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan Pasal 41, pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. 2. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. 65 Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa: Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang. 66 Pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkann bahwa: Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal Lebih Lanjut Lihat Pasal 42 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 66 Lebih Lanjut Lihat Pasal 43 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 67 Lebih lanjut lihat pasal 44 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

6 Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa seorang suami yang bermaksud untuk beristri lebih dari seorang (berpoligami), haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang tercantum didalam ketentuan pasal-pasal tersebut. 2. Perkawinan Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengaturan tentang tatacara berpoligami bagi pemeluk agama Islam. Sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari Pasal 55 sampai Pasal 59. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam memuat syarat substansial berpoligami yang melekat pada seorang suami, yakni terpenuhinya keadilan sebagimana yang telah ditetapkan. Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan bahwa: 1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. 2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 3. Apabila syarat utama yang disebut pada Ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. 68 Syarat yang disebutkan Pasal 55 ayat 2 (dua) Kompilasi Hukum Islam tersebut diatas merupakan hal yang terpenting dari poligami, sebab apabila syarat utama tersebut tidak mampu dipenuhi oleh suami, maka suami dilarang untuk Islam. 68 Lebih Lanjut Lihat Pasal 55 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

7 berpoligami dan pengadilan agama pun tidak akan memberikan izin kepada suami untuk berpoligami. Selanjutnya Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam juga mengemukakan bahwa seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. 2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada Ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami, karena di Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) sehingga segala urusan hubungan manusia, maka pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang. Selanjutnya Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang bagi seorang suami yang hendak berpoligami, manakala istri tidak mampu menjalankan kewajibannya. Hal tersebut juga pada hakikatnya haruslah mendapat izin dari Pengadilan Agama. Sebagaimana Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dan seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Islam. 69 Lebih Lanjut Lihat Pasal 56 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

8 c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. 70 Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat substansial yang melekat pada seorang istri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupinya sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami. Selanjutnya dalam Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam memberikan syarat bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa: 1. Selain syarat utama yang disebut pada Pasal 55 Ayat (2) KHI, maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yaitu: a. Adanya persetujuan istri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 2. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 Huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama. 3. Persetujuan dimaksud pada Ayat 1 (satu) Huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. 71 Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang istri sebagai respon terhadap suami yang hendak Islam. 70 Lebih Lanjut Lihat Pasal 57 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum 71 Lebih Lanjut Lihat Pasal 58 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

9 memadu dirinya yang melibatkan instansi yang berwenang. Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami. Selanjutnya Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 Ayat 2 (dua) KHI dan Pasal 57 KHI. Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. 72 Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari istri yang saling mempertahankan pendapatnya. Dengan demikian ketentuan poligami yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak bertentangan dengan hukum agama Islam. Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa hukum perkawinan nasional walaupun menganut kuat prinsip monogami tetapi membuka peluang bagi seorang pria untuk berpoligami dengan syarat dapat memenuhi ketentuan- ketentuan yang telah ditentukan oleh perundang-undangan berlaku. Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit 72 Lebih Lanjut Lihat Pasal 59 Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

10 dan mempersempit praktek poligami, bukan sama sekali menghapus praktek poligami. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 2 ayat 2 (dua) Undang-undang Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau memperbolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat izin dari pengadilan agama sesuai dengan amanat Pasal 51 ayat 1 (satu) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan yang beragama selain Islam harus mendapat izin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu. Untuk mendapatkan izin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan baru dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 (dua) Undang-Undang Perkawinan:

11 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Di samping syarat-syarat yang tersebut diatas merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami, juga harus dipenuhi syarat-syarat menurut Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan, yaitu: 1. Adanya persetujuan dari istri. 2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya. 3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anakanaknya. Jadi, apabila merujuk berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Intruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan poligami yang tidak memenuhi prosedur, syarat-syarat dan batas-batas yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan berlaku, maka terdapat kedudukan sanksi pidana yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). B. Kedudukan Sanksi Pidana

12 Hukum seringkali dipahami oleh masyarakat sebagai suatu perangkat aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk menegakkan hukumnya. Negara mempunyai hak untuk memaksa diberlakukannya sanksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum dimana pelakunya dinyatakan salah oleh keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada hakikatnya hukum pidana sama kedudukannya dengan cabang hukum lainnya seperti hukum administrasi Negara, hukum perdata dan lain-lainnya. Namun dalam hal tertentu ada perbedaan khas yang tidak dimiliki hukum lainnya yaitu hukum pidana memberikan sanksi hukum yang keras berupa penderitaan (nestapa) khususnya tidak dimiliki bidang hukum lain, yaitu yang disebut dengan perampasan kebebasan (pidana penjara), dan perampasan nyawa (pidana mati). Menurut Sudarto, Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 73 Alf Ross mengatakan pidana adalah tanggung jawab sosial yang: 74 a. Terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum. b. Dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak yang berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum. c. Merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. d. Perwujudan pencelaan terhadap pelanggar. 73 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal Ibid, hal 3.

13 Berdasarkan beberapa pengertian (definisi) pidana yang dikemukakan oleh para ahli, Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang). 3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang. Hukum pidana (Ius Poenale) secara singkat dapat diartikan sejumlah peraturan yang mengandung perumusan peristiwa pidana serta ancaman hukumannya, 76 sedangkan rumusan yang lengkap dapat dilihat dari pendapat Moeljatno yaitu: Bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1. menentukan perbuatanperbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada 77 orang yang disangka telah melangar larangan tersebut. Selanjutnya dijelaskan oleh Moeljatno bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Bagian lainnya adalah hukum 75 Ibid, hal Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema (Bagan) dan Synopsis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2000), hal 1.

14 perdata, hukum tata-negara dan tata-pemerintahan. Bagian hukum tersebut lazimnya dibagi dalam dua jenis yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu mengatur hubungan antara Negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Sebaliknya hukum privat mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur kepentingan perseorangan. 78 Hukum pidana sebagai hukum publik mempunyai hubungan yang erat dengan hukum administrasi. Prodjodikoro: Menurut Hazewinkel-Suringga sebagaimana dikutip oleh Wirjono Tidak pernah dapat dikatakan secara tepat, dimana letak batas antara hukum pidana dan hukum perdata, antara hukum pidana dan hukum pendidikan, antara hukum pidana dan hukum administrasi. Demikian eratnya hubungan antara hukum pidana dengan cabang hukum lainnya khususnya dalam hal ini hukum administrasi negara, sehingga Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tanda-tanda batas antara hukum pidana disatu pihak dan hukum tata usaha negara di pihak lain, terletak pada rasa keadilan. 79 Utrecht menganggap hukum pidana mempunyai kedudukan istimewa, yang harus diberi tempat tersendiri di luar kelompok hukum publik dan hukum privat. Utrecht melihat hukum pidana sebagai suatu hukum yang memiliki sanksi (bijzonder sanctie recht) keras dan memaksa yang tidak dimiliki oleh cabang hukum lain. Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam 78 Ibid, hal Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), hal

15 kepentingan itu dengan membuat sanksi istimewa. Sanksi istimewa ini perlu, kata Utrecht, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras. 80 Romeyn memberi pendapat tentang hubungan kedua hukum tersebut yaitu hukum pidana dapat dipandang sebagai hukum pembantu atau hulprecht bagi hukum administrasi negara karena penetapan sanksi pidana merupakan sarana untuk menegakkan hukum administrasi negara. Sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administrasi dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum pidana. 81 Demikian dapat disimpulkan bahwa perundang-undangan hukum pidana tidak hanya bersifat otonom tetapi dapat bersifat komplementer yaitu membantu menegakkan hukum administrasi dan cabang hukum lainnya. Sehubungan dengan sifat perundang-undangan hukum pidana tersebut, Sudarto membedakan peraturan perundangan-undangan hukum pidana menurut sifatnya yaitu: a. Undang-undang pidana dalam arti sesungguhnya, ialah Undang-undang, yang menurut tujuannya, bermaksud mengatur hak memberi pidana dari negara, jaminan dari ketertiban hukum, misalnya KUHP, Ordonansi lalulintas jalan raya b. Peraturan-peraturan hukum pidana dalam Undang-undang tersendiri, ialah peraturan-peraturan, yang hanya dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar hukum pidana, misalnya Undang-undang tentang penyelesaian perselisihan perburuhan (UU No. 16 Drt tahun 1951), Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960). Peraturan perundang-undangan ini dimasukkan dalam pengertian Undang-undang pidana khusus Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hal A. Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1993), hal Sudarto, Kapita Selekta Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal

16 Selanjutnya Sudarto mengkualifikasikan Undang-undang pidana khusus dalam tiga (3) kelompok yaitu: 1. Undang-undang yang tidak dikodifikasikan, misalnya Undang-undang Lalu Lintas Jalan Raya (UU No. 3 tahun 1965), Undang-undang tentang Narkotika (UU No. 9 tahun 1976), Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 Drt tahun 1955), Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU no. 3 tahun 1971), Undang-undang tentang pemberantasan Kegiatan Subversi (UU No. 11 Drt tahun 1963). 2. Peraturan-peraturan hukum administratif yang memuat sanksi pidana, misalnya Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (UU no. 16 Drt tahun 1951), Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960). 3. Undang-undang yang memuat hukum pidana khusus (ius singulare, ius speciale) yang memuat delik-delik untuk kelompok orang tertentu atau berhubungan dengan perbuatan tertentu, misalnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara, Undang-undang tentang Pajak Penjualan, Undangundang Tindak Pidana Ekonomi.Sudarto menyimpulkan bahwa Undangundang pidana khusus adalah Undang-undang pidana selain Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana. 83 Kelompok (b) sebagaimana dinyatakan oleh Sudarto di atas, lebih banyak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan mengatur dari pemerintah. Jadi kelompok (b) ini akan terlihat atau kemungkinan besar hukum pidana mengatur bidang tersebut antara lain hukum pidana membantu menegakkan hukum di luar hukum pidana seperti hukum administrasi. Dengan adanya undang-undang pidana khusus ini maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Keterkaitan hukum administrasi negara dengan hukum pidana juga digambarkan oleh T.H.Ranidajita yang menyatakan hubungan hukum administrasi dengan hukum pidana sangat erat disamping keduanya merupakan hukum publik dimana didalamnya ada unsur-unsur: 83 Ibid, hal 63-64

17 a. pemerintah. b. yang diperintah atau yang dikenai suatu kewajiban. c. suatu paksaan dari pemerintah terhadap yang diperintah. 84 Hubungan antara hukum pidana dengan hukum administrasi, mengaitkan dengan perkembangan hukum pidana nasional. Muladi memberikan gambaran perkembangan hukum pidana nasional yang sampai saat ini mengikuti pelbagai pendekatan sebagai berikut: a. Pendekatan evolusioner melalui pelbagai amandemen pasal-pasal tertentu baik yang berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a KUHP Jo UU No. 1 Tahun 1965) maupun dekriminalisasi sebagai konsekuensi Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1946); b. Pendekatan semi-global dengan munculnya pelbagai tindak pidana khusus diluar KUHP seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme dan sebagainya, mengingat kekhususankekhususan pengaturan baik di bidang hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil; c. Pendekatan kompromis, dengan pengaturan suatu Bab baru dalam KUHP akibat ratifikasi konvensi internasional yang signifikan (misalnya Bab XXIX A KUHP jo UU No. 4 Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi terhadap Konvensi-Konvensi Montreal, Tokyo dan Konvensi The Haque tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana Penerbangan); d. Pendekatan Komplementer dengan munculnya hukum pidana administrative (administrative penal law) dimana sanksi hukum pidana digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi (UU Pers, UU tentang HAKI, UU perlindungan Konsumen dan sebagainya). 85 Berkaitan dengan pendekatan komplementer ini, Muladi menyatakan bahwa kecenderungan perundang-undangan hukum administrasi mencantumkan sanksi pidana adalah untuk memperkuat sanksi administrasi (administrative penal law). Sanksi pidana tersebut didayagunakan apabila sanksi administratif sudah tidak efektif 84 T.H.Ranidajita, Op.Cit, hal Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru, Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam 17 Januari hal 2.

18 khususnya berkaitan dengan pelaku tindak pidana yang sudah keterlaluann dan menimbulkan kerugian besar misalnya dalam bidang perpajakan, lingkungan hidup, hak cipta dan lain-lain 86. H.L. Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya "The limits of criminal sanction", akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut: 1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it); 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm). 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan 'penjamin yang utama/ terbaik' dan suatu ketika merupakan 'pengancam yang utama' dari kebebasan manusia. la merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener). 87 Keterkaitan hukum administrasi dengan hukum pidana dapat dipahami karena keduanya merupakan hukum publik dan dalam proses penegakan hukum, sanksi pidana (hukum pidana) dipergunakan untuk memperkuat sanksi dalam hukum administrasi negara. Di dalam Hukum Administrasi Negara, pemerintah menduduki peranan penting karena pemerintah menjalankan roda pembangunan dan memberikan pelayanan umum (public service). 86 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002), hal Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal

19 Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut terciptanya suasana tertib, termasuk tertib hukum. Salah satu upaya pemaksaan hukum (law enforcement) itu adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap pihak pelanggar, mengingat sanksi pidana membawa serta akibat hukum yang terpaut dengan kemerdekaan pribadi (berupa pidana penjara, kurungan) dan harta benda (antara lain berupa pengenaan denda) dari pelanggar yang bersangkutan. Itulah sebabnya, hampir pada pelbagai ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan (termasuk utamanya dibidang pemerintahan dan pembangunan negara) selalu disertai dengan pemberlakuan sanksi pidana, berupa pidana penjara, kurungan, denda dan semacamnya Sanksi Pidana Administrasi Penggunaan sanksi pidana dalam bidang hukum administrasi ini oleh beberapa sarjana diberikan istilah yang berbeda-beda. Barda Nawawi Arief dan Sudarto memberikan istilah hukum pidana administrasi. 89 Muladi memberikan istilah dengan Administrative Penal Law (Verwaltungs Strafrecht) yang termasuk dalam kerangka Public Welfare Offenses (Ordnungswidrigkeiten). Sanksi pidana dalam hal ini dipergunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggungjawab negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain dipergunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrasi 88 A.Siti Soetami, Hukum Administrasi Negara Lanjut, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000), hal Sudarto, Opcit, hal. 65.

20 dalam pelbagai hal. 90 Dalam kesempatan lain, Muladi memberi nama Administrative Criminal Law. 91 sebagai berikut: Barda Nawawi Arief memberikan pengertian hukum pidana administrasi Hukum pidana administrasi adalah hukum pidana dibidang pelanggaranpelanggaran hukum administrasi. Oleh karena itu, kejahatan/tindak pidana administrasi (administrative crime) dinyatakan sebagai An Offence consisting of a violation of an administrative rule or regulation and carrying with it a criminal sanction (Black s 1990; 45). Disamping itu karena hukum administrasi pada dasarnya hukum mengatur atau hukum pengaturan (regulatory rules) yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan (regulatory powers), maka hukum pidana administrasi sering disebut pula hukum pidana (mengenai) pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan (Ordnungstrafrecht/Ordeningstrafrecht). Selain itu karena istilah hukum administrasi terkait dengan tata pemerintahan (sehingga istilah hukum administrasi negara sering juga disebut hukum tata pemerintahan ). maka istilah hukum pidana administrasi juga ada yang menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan sehingga dikenal pula istilah Vervaltungsstrafrecht ( Vervaltungs yang berarti administrasi/pemerintahan ) dan Bestuursstrafrecht ( Bestuur yang berarti pemerintahan ). 92 Sudarto memberikan istilah hukum pidana administratif yang berbeda dengan hukum pidana dalam arti sesungguhnya. 93 Sarjana lain yang memberikan istilah lain dari hukum pidana administrasi adalah Mostert dan Peters. Mosters memberikan istilah hukum pidana pemerintahan, sedangkan Peters menyebutnya dengan instrumentalisasi dari hukum pidana. Hukum pidana 90 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Naskah Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990 hal Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hal Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti) hal Sudarto, Op.cit. hal 51.

21 dijadikan suatu instrument pemerintah dalam mempengaruhi kelakuan masyarakat. 94 Scholten juga memberikan istilah hukum pidana pemerintahan. Beliau membedakan bagian hukum pidana menjadi hukum pidana umum dengan hukum pidana pemerintahan, untuk sebagian besar sejalan dengan garis perbedaan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran Undang-undang. 95 Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat perkembangan hukum pidana baru selain hukum pidana umum. Hal ini sesuai pendapat Roling dan Jesserun d Oliveira-Prakken yang dikutip oleh Roeslan Saleh menyebutkan bahwa disamping hukum pidana umum telah lahir yang disebut dengan Ordeningsstrafrecht (hukum pidana administrasi) sebagai alat kebijaksanaan bagi Pemerintah. Roling dan Jesserun mengemukakan ciri-ciri khas dari yang disebut Ordeningsstrafrecht dengan mengatakan bahwa hukum pidana tidak ditujukan kepada individu yang bebas, tidak pula kepada hal tidak hukum dilihat secara sosial dan psikologis, melainkan ditujukan terhadap manusia sebagai pemain dari peranan-peranan tertentu, yang diharuskan mengkonfirmasikan dirinya dengan bentuk-bentuk tindakan yang diharapkan sesuai dengan peranannya, misalnya dalam peranan sebagai produsen orang antara lain diharapkan memproduksi sesuai dengan norma-norma dari Undang-undang yang berhubungan dengan pencapaian 94 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal W.F.Prins dan R. Kosim Adisapeotra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal 17.

22 produksi tertentu. Dalam peranan sebagai peserta lalu-lintas di jalan, orang harus mengikuti aturan-aturan lalu lintas di jalan seperti yang telah ditetapkan. Ordeningsstrafrecht (hukum pidana administrasi) tidak diarahkan kepada manusia dalam arti yang konkrit, melainkan kepada salah satu dari posisi-posisi sosial yang demikian banyak yang telah membentuk manusia abstrak itu dalam memainkan peranan sosialnya. Menurut Ordeningsstrafrecht (hukum pidana administrasi) gambaran manusianya adalah seorang conformist. Hukum pidana tidak lagi hukum pidana mengenai perbuatan atau hukum pidana mengenai pembuatnya, melainkan hukum pidana dari aturan-aturan. Permasalahnya bukan lagi meniadakan perbuatan-perbuatan tertentu dan tidak untuk memperbaiki atau menjadikan pembuat delik dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, melainkan untuk mencapai suatu keadaan yang diinginkan. 96 Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang telah ditetapkan sebagai perbuatan pidana ini masuk lingkup kejahatan atau istilahistilah lain yang menunjukkan adanya kejahatan seperti Administrative crime, 97 delik administrasi, 98 tindak pidana administratif (administrative penal law) atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offenses). 99 Sudarto mengartikan delik-delik administrasi sebagai delik-delik yang merupakan pelanggaran terhadap usaha pemerintah untuk mendatangkan 96 Roeslan Saleh, Op.Cit, hal Henry Compbell Black, Black s Law Dictionary, (United States of America: West Group St. Paul,1999), hal Sudarto, Op.Cit., hal Muladi, Op.Cit., hal.94.

23 kesejahteraan atau ketertiban masyarakat, ialah apa yang dinamakan regulatory offences atau Ordnungsdelikte 100. Berkaitan dengan masalah perbuatan pidana atau tindak pidana, dikenal adanya istilah mala in se yaitu suatu perbuatan yang salah dan immoral pada dirinya dan mala prohibita yaitu hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut dilarang atau melanggar peraturan yang dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan umum. Yang terakhir ini menunjukkan kemungkinan bergesernya pandangan tradisional hukum pidana tentang unsur kebejatan moral. 101 Sehubungan dengan istilah mala in se dan mala prohibita ini maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana administrasi masuk dalam lingkup mala prohibita. Hal ini sesuai dengan pendapat Scholten di atas yang membedakan bagian hukum pidana menjadi hukum pidana umum dengan hukum pidana pemerintahan, sejalan dengan garis perbedaan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran Undang-undang. Pada hakikatnya, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan dan melaksanakan hukum administrasi, jadi merupakan fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi. 102 Menurut Barda Hal Sudarto,Op.Cit., hal Muladi, Op.Cit., hal Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003),

24 Nawawi arif, hukum pidana administratif merupakan hukum pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran administrasi. 103 Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi membawa hukum pidana hanya dapat diterapkan pada suatu peristiwa tertentu tergantung apakah peristiwa tersebut tergolong perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi atau tidak. Berkaitan dengan uraian diatas, pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan salah satunya mengenai perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah diancam sanksi pidana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan pengaturan lebih lanjut mengatur perkawinan poligami, dan tatacara berpoligami menurut Undangundang Perkawinan. Guna mendapatkan keabsahan dan perlindungan hukum bagi pelaku yang melakukan perkawinan poligami. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam BAB VIII dirumuskan tentang beristri lebih dari seorang, di Pasal 40 menyebutkan: Apabila seorang 103 Ibid hal 15.

25 suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan. Berdasarkan Pasal tersebut, jika seorang suami bermaksud untuk melakukan perkawinan lebih dari satu orang istri (poligami), maka seorang suami wajib mengajukan permohonan tertulis kepada pengadilan. Selanjutnya pengadilan memeriksa dan memberikan izin kepada suami untuk beristri lebih satu dengan memperhatikan ketentuan menurut Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan. Pasal 5 ayat 1 (satu) Undang-undang Perkawinan berbunyi: 1. Adanya persetujuan dari istri. 2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya 3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anakanaknya. Apabila seorang suami yang bermaksud melakukan perkawinan lebih dari seorang istri (poligami) tidak mengajukan permohonan poligami ke pengadilan, lalu melakukan perkawinan poligami tanpa seizin pengadilan, maka terhadap seorang suami tersebut diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan yang terdapat dalam BAB IX tentang ketentuan pidana. Pasal 45 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menyebutkan; 1. Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:

26 a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat 3 (tiga), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp ,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); b. Pegawai pencatatan melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1 (satu), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp ,- ( tujuh ribu lima ratus rupiah). 2. Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat 1 (satu) diatas merupakan pelanggaran. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, bilamana Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut dilanggar, maka diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang Perkawinan. Ketentuan Pidana dalam Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan merupakan tindak pidana dibidang administrasi. Jika kita melihat Pasal 7 huruf d Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijelaskan bahwa jenis hierarki peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Pemerintah. Ketentuan pidana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan merupakan aturan pidana khusus diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sesuai dengan maksud Pasal 103

27 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mana dijelaskan bahwa ketentuan dari Bab I sampai Bab VIII dari buku I KUHP berlaku bagi perbuatanperbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain yang diancam dengan pidana. Pasal 10 KUHP secara tegas membagi pidana dalam 2 kategori yaitu pemidanaan pokok dan pemidanaan tambahan. Pemidanaan pokok bagiannya adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pemidanaan tambahan bagiannya adalah dari pencabutan hakhak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Memperhatikan Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dijelaskan bahwa hukuman bagi yang melanggar ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan adalah hukuman denda setinggi-tingginya Rp (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan itu merupakan pemidanaan pokok. Berdasarkan uraian diatas, sesuai dengan penjelasan umum angka 4 huruf c yang disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami. Bahwa hakikatnya Undang-undang Perkawinan berasaskan monogami, tetapi memberikan pengecualian untuk dapat beristri lebih dari satu melalui prosedur yang telah ditetapkan. Namun apabila beristri lebih dari satu orang (perkawinan poligami) tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, kepada suami tersebut diancam dengan ketentuan sanksi pidana Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Peraturan

28 Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan tindak pidana pelanggaran administratif (Wetsdelicten). Menurut petunjuk Mahkamah Agung, bilamana seorang suami melakukan perkawinan lagi, maka ia dikenakan ketentuan Pasal 45 ayat 1 (satu) huruf a Jo Pasal 40 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undangundang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jika pada waktu melakukan perkawinan keduanya tidak memohon izin kawin kepada pengadilan. Namun apabila si suami pernah mengajukan permohonan izin kawin, kemudian permohonan izin tersebut ditolak oleh pengadilan dan suami tersebut tetap kawin juga dengan istri yang baru, maka suami tersebut dikenakan ancaman Pasal 279 ayat 1 (satu) KUHP Sanksi Pidana Menurut KUHP Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP) merupakan peraturanperaturan hukum pidana yang saat ini tetap berlaku di Indonesia. Dalam KUHP, perkawinan poligami tanpa persetujuan istri yang sah dipandang sebagai tindak pidana perkawinan poligami. Tindak pidana perkawinan poligami pada dasarnya termasuk kepada tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan perdata. Ada 4 (empat) Pasal yang berhubungan dengan tindak pidana kejahatan terhadap kedudukan perdata ini, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 277, Pasal 278, Pasal 279, dan Pasal 280 KUHP. Pengaturan tindak pidana terhadap 104 Petunjuk Ketua Mahkamah Agung Mengenai Penetapan Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, No. MA/Pemb/0156/77, Tanggal 25 Februari 1977, hal.10

29 perkawinan poligami terdapat dalam buku kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Kejahatan (Rechtdelicten), secara spesifik diatur pada Bab XIII tentang Kejahatan terhadap Asal-usul dan Perkawinan. Pasal 279 KUHP ayat 1 (satu) berbunyi diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun: a. barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu b. barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu. Sedangkan Pasal 279 ayat 2 (dua) KUHP berbunyi; Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 (satu) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 ( tujuh) tahun. Selanjutnya Pasal 280 berbunyi; barangsiapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda menyebutkan tindak pidana tersebut dinamakan dubble huwalijke atau bigami, karena di negara belanda diantara seluruh warganya dianut prinsip monogami, maka tindak pidana semacam ini selalu mengakibatkan adanya 2 (dua) perkawinan. Di Indonesia diantara para penganut agama Islam, ada kemungkinan seorang laki-laki secara sah mempunyai 2 (dua), 3 (tiga), atau 4 (empat) istri.

30 Oleh karena itu, diantara mereka seorang laki-laki barulah melakukan tindak pidana dari Pasal 279 KUHP ini, apabila ia melakukan perkawinan yang ke 5 (lima) setelah 4 (empat) kali melakukan perkawinan secara sah. Bagi si istri, kawin kedua kali sudah merupakan tindak pidana ini. 105 Bagi penganut agama hindu Bali yang mengizinkan seorang memiliki sejumlah istri tanpa batas, tindak pidana ini hanya dapat dilakukan oleh seorang istri bersama patnernya, namun persoalannya adalah apabila perkawinan yang baru tidak ada memenuhi syaratsyarat perundang-undangan sehingga dapat dibatalkan. Tentang hal ini ada dua pendapat: Menurut Simons, Pompe dan Noyon Langemeyer, pelaku tetap dapat dihukum karena perkawinan dahulu tetap ada sebelum dibatalkan. 2. Menurut Van Bemmelen, para pelaku tidak selalu dihukum, tetapi ada kemungkinan bahwa ini digantungkan kepada penyelesaian suatu perkara perdata mengenai batal atau tidaknya perkawinan yang dulu itu. Dihubungkan dengan Pasal 279 KUHP, tindak pidana poligami dalam kitab Undang-undang hukum pidana diatur pada Pasal 279 KUHP tentang kejahatan terhadap Asal-usul perkawinan yang berbunyi: 107 Ayat 1 (satu) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun: Ke-1. Barangsiapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk itu Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia,(Bandung: PT Eresco, 1981), hal 106 Ibid, hal Lihat Lebih Lanjut Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI. dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti kawin. Kawin banyak disini

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI. dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti kawin. Kawin banyak disini 11 BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI A. Pengertian Perkawinan Poligami. Dari sudut pandang terminologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti

Lebih terperinci

BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 49 BAB III POLIGAMI DAN PASAL 279 TENTANG KEJAHATAN ASAL- USUL PERNIKAHAN KITAB INDANG-UNDANG HUKUM PIDANA A. Poligami di Indonesia 1. Poligami menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Kata poligami berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers.

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers. DAFTAR PUSTAKA Buku dan artikel: Abidin, Zamhari, 1986, Pengertian dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema (Bagan) dan Synopsis (Catatan Singkat), Jakarta, Ghalia Arief, Barda Nawawi, 1990, Perbandingan Hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya

BAB I PENDAHULUAN. bertumbukan, serang-menyerang, dan bertentangan. Pelanggaran artinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi lalu lintas di jalan raya semakin padat, bahkan bisa dibilang menjadi sumber kekacauan dan tempat yang paling banyak meregang nyawa dengan sia-sia. Kecelakaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana BAB 1 PENDAHULUAN A. Istilah Hukum Pidana Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana, yang mengandung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT SERTA PENGAWASAN PELAKSANAANYA DALAM KASUS PEMBERIAN UPAH KARYAWAN DI BAWAH UPAH MINIMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Disusun

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIV/2016 Frasa dapat merugikan keuangan negara dan Frasa atau orang lain atau suatu korporasi Sebagai Ketentuan Menjatuhkan Hukuman Pidana Bagi Tindak

Lebih terperinci

POLITIK (PEMBARUAN ) HUKUM PIDANA DI INDONESIA. (Indonesia Criminal Law Reform Policy)

POLITIK (PEMBARUAN ) HUKUM PIDANA DI INDONESIA. (Indonesia Criminal Law Reform Policy) POLITIK (PEMBARUAN ) HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Indonesia Criminal Law Reform Policy) BEBERAPA ISTILAH Politik Hukum Pidana Kebijakan Hukum Pidana Penal Policy Criminal Law Policy Strafrechts Politiek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN BAB IV ANALISIS PENETAPAN PA SIDOARJO NOMOR. 94/PDT.P/2008/PA.SDA TENTANG PERUBAHAN NAMA SUAMI DALAM PERKAWINAN A. Analisis Terhadap Dasar pertimbangan Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim Dalam Penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF Hukum positif adalah "kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai subsistem sosial menempati posisi penting dalam eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha membangun sistem hukum

Lebih terperinci

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN Oleh : Sumaidi ABSTRAK Negara Indonesia mengatur secara khusus segala sesuatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP 2012 A. Pengertian Zina Lajang Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul yang sekarang

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana di dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hukum Pidana, Tindak Pidana, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hukum Pidana, Tindak Pidana, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana, Tindak Pidana, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan. 1. Pengertian Hukum Pidana Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia dikarunia dengan daerah daratan, lautan dan

I. PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia dikarunia dengan daerah daratan, lautan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara kesatuan Republik Indonesia dikarunia dengan daerah daratan, lautan dan udara dimana musim penghujan dan musim kemarau berlangsung seimbang. Segala urusan daerah-daerah

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci