BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi Panataran merupakan situs percandian terbesar di Jawa Timur.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi Panataran merupakan situs percandian terbesar di Jawa Timur."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi Panataran merupakan situs percandian terbesar di Jawa Timur. Komplekss percandian Panataran memiliki luas kurang lebih m 2. Posisi candi ini membujur dari barat daya ke timur laut dengan gerbang yang berada di sebelah barat. Secara keruangan candi ini memiliki tiga halaman yang mana halaman I-nya terletak di bagian paling barat, halaman II berada di tengah dan halaman III terletak dibagian paling belakang, tiap halaman tersebut disekat oleh pagar dan dihubungkan dengan pintu gerbang/gapura. Keletakan bangunan tersebut semakin ke belakang semakin tinggi dan semakin suci (Kumoro, 2007). Konsep keruangan yang dimiliki oleh Candi Panataran ini menjadi latar belakang keruangan Pura di Bali pada masa sekarang ini. Kesamaan antara Candi Panataran dengan pura yang terdapat di Bali yakni adanya konsep Tri-Mandala yang terdiri dari Utama Mandala (jeroan), Madya Mandala (jaba tengah) dan Nista Mandala (jaba sisi) (Rata. dkk, 1987: 28). Keberadaan Candi Panataran saat ini merupakan salah satu potensi yang cukup besar dalam perkembangan pariwisata di Kabupaten Blitar. Candi tersebut termasuk dalam koridor Pembangunan Wisata IV yang memiliki potensi pariwisata cukup kuat, antara lain: (1) Keberadaan Candi Panataran sebagai objek warisan budaya yang dibangun dari masa Kerajaan Kadiri hingga masa Kerajaan Majapahit; (2) Candi terbesar di Jawa Timur dengan konsep bangunan Tri-Mandala; (3) Terletak ±10 km sebelah utara Kota Blitar dan berada dalam satu jalur dengan Objek Wisata Makam Proklamator Ir. Soekarno, yaitu sekitar 8 km, sehingga berpotensi menjaring wisatawan yang berkunjung ke Makam Bung 1

2 2 Karno; (4) Pencapaian yang mudah, karena kondisi jalan yang sudah diaspal; (5) Beriklim relatif sejuk yang berkisar antara 23ºC-32ºC karena terletak di kaki Gunung Kelud; dan (5) Menawarkan kondisi alam dengan pemandangan daerah pedesaan karena wilayahnya didominasi oleh lahan pertanian. Melihat potensi yang ditawarkan tersebut dalam jangka panjang akan menarik pengunjung yang cukup banyak. Data yang diperoleh dalam jangka tiga tahun terakhir (2009, 2010, dan 2011) menunjukan bahwa puncak kunjungan terjadi pada bulan Juni dengan jumlah kunjungan melebihi pengunjung dalam bulan tersebut. Selain itu Candi Panataran juga menempati posisi teratas dalam jumlah pengunjung terbanyak dalam kategori Jumlah Pengunjung Peninggalan Klasik Hindu-Budha pada tahun 2011 dengan wisatawan sebanyak orang dan masuk dalam sepuluh besar (peringkat 6) pengunjung terbanyak wisata budaya di Provinsi Jawa Timur. Posisi tersebut hanya kalah banyak dari pengunjung kategori pengunjung peninggalan masa Islam yang menempati posisi satu hingga lima. Hal tersebut dapat dipahami karena mayoritas penduduk di Jawa Timur memeluk agama Islam dimana ziarah merupakan salah satu kegiatan keagamaan yang kerap dilakukan (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur, 2012: 12-14). Pemanfaatan cagar budaya sebagai objek dan daya tarik wisata juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan cagar budaya itu sendiri agar mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena memiliki nilai ekonomis. Pariwisata sebagai sektor ekonomi, memiliki potensi sebagai sumber devisa negara, menciptakan lapangan kerja, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tujuan wisata. Pariwisata budaya yang merupakan bagian strategi pembangunan berkelanjutan adalah

3 3 strategi pelestarian sumberdaya budaya. Pelestarian melalui pemanfaatan pariwisata merupakan strategi pembangunan yang mendatangkan keuntungan, karena selain upaya melestarikan, di satu sisi mendatangkan devisa akibat dari pemanfaatan candi tersebut yang dijadikan sebagai objek wisata. Dalam hal ini cagar budaya yang dijadikan objek wisata akan didorong untuk menarik pengunjung sebanyak-banyaknya demi peningkatan perekonomian. Meskipun jumlah pengunjung yang cukup banyak tergolong menggembirakan di sektor pariwisata, namun hal tersebut pastinya juga akan memiliki dampak buruk terkait pelestarian situs itu sendiri. Menurut Subroto (1997: 10) dalam tulisan Najib (2010: ) kerusakan situs disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: 1. Faktor Mekanis: Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas alam misalnya banjir, gempa bumi, dan gunung meletus; 2. Faktor Kimia: Kerusakan akibat proses kimia misalnya oksidasi; dan 3. Faktor Biologi: kerusakan akibat perlakuan makhluk hidup misalnya tumbuhan, hewan maupun manusia. Taufik (2005: ) menyebutkan beberapa jenis kerusakan yang disebabkan oleh manusia akibat adanya kegiatan pariwisata, diantaranya: 1. Vandalisme: vandalisme merupakan kegiatan merusak. Kegiatan merusak pada cagar budaya berupa memanjat dinding candi, pencungkilan relief, corat-coret dan peledakan; 2. Sampah: sampah merupakan barang sisa dari hasil perbuatan manusia. Sampah tersebut bisa berupa kertas pembungkus, sisa makanan dan minuman, puntung rokok, dll;

4 4 3. Keausan: keausan disebabkan oleh adanya gesekan antara batu penyusun candi dengan alas kaki manusia; 4. Kerontokan: kerontokan terjadi bisa disebabkan dua hal yaitu karena pengunjung yang berupa pijakan kaki kaki pengunjung serta dari kegiatan konservasi yang berupa penyikatan; dan 5. Keretakan: keretakan disebabkan oleh beban yang harus ditanggung sebuah bangunan. Beban tersebut dibagi menjadi dua hal yaitu beban dinamis dan beban statis. Beban statis merupakan beban yang dimiliki bangunan itu sendiri sedangkan beban dinamis merupakan beban bergerak yang berasal dari pengunjung. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa di antara situs-situs arkeologi yang termasuk dalam World Heritage Sites menurut ICOMOS (International Council of Monuments and Sites) mengalami kerusakan atau terganggu dengan adanya aktivitas wisatawan (Najib, 2010: 210). Pendapat tersebut juga pernah diungkapkan M. Taufik (2005) bahwa meningkatnya jumlah pengunjung ke Candi Borobudur akan memberikan dampak kurang baik bagi upaya pelestarian warisan budaya, keberadaan Taman Wisata Borobudur diharapkan membuat pengunjung akan tersebar ke berbagai penjuru taman. Tersebarnya pengunjung akan mengurangi beban yang ditanggung oleh bangunan candi (Tanudirjo, dalam Taufik, 2005). Dampak dari banyaknya pengunjung di Candi Borobudur dikhawatirkan akan terjadi pula di Candi Panataran. Candi merupakan salah satu cagar budaya yang material penyusunnya terbuat baik dari batuan andesit maupun bata akan mudah aus dari waktu ke waktu serta akan mengalami penurunan kondisi maupun kualitasnya. Dengan mengetahui kondisi tersebut maka pemanfaatan candi yang dijadikan objek

5 5 wisata akan dapat mempercepat kerusakan candi sehingga perlu diadakan perhitungan mengenai daya dukung yang ada (Setyastuti, 2005). Daya dukung merupakan hal yang cukup penting mengingat setiap bangunan memiliki daya dukungnya masing-masing. Ketika daya dukung tersebut melebihi kapasitas maka yang terjadi adalah sumberdaya tersebut secara perlahan akan kehilangan fungsi dan harapannya (Witten, 2001: 588). Fandeli (2005: ) pernah menerapkan salah satu strategi untuk mengetahui ambang batas jumlah kunjungan melalui strategi penghitungan PCC (Physical Carrying Capacity) dengan memberi contoh studi kasus di Wisata Alam Grojogan Sewu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. PCC atau Daya Dukung Fisik merupakan salah satu metode daya dukung yang digunakan untuk menghitung mengenai jumlah wisatawan yang masih dapat ditampung dalam suatu tempat secara fisik (bangunan) dan tetap dapat memberikan kualitas pengalaman terhadap wisatawan. Perlunya penghitungan ini sebenarnya untuk memberikan kepuasan bagi wisatawan yang akan berkunjung di situs tersebut dan yang paling penting mampu memberikan solusi atau upaya konservasi situs-situs arkeologi (Najib, 2010: 217; Fandeli, 2002: 260). B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diketahui bahwa Komplekss Percandian Panataran memiliki beberapa permasalahan yang berkaitan dengan daya dukung fisik. Adapun permasalahannya dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Berapa daya dukung fisik Candi Panataran pada Halaman I, Halaman II, dan Halaman III?

6 6 2. Apakah jumlah pengunjung pada Halaman I, Halaman II dan Halaman III di Candi Panataran sudah sesuai dengan daya dukung fisiknya? 3. Bagaimana korelasi antara daya dukung fisik dengan aktifitas pengunjung? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Adapun tujuannya antara lain: Untuk mengetahui nilai ambang batas pengunjung yang sesuai dengan daya dukung fisik Candi Panataran; Menentukan langkah-langkah yang perlu diterapkan apabila kapasitas pengunjung tersebut tidak sesuai dengan daya dukung situs Candi Panataran; Memberikan kontribusi keilmuan terhadap pengembangan wisata Candi Panataran di masa depan yang berguna untuk mengimbangi antara pemanfaatan dan pelestarian; dan Memunculkan rekomendasi untuk mengantisipasi jumlah pengunjung yang terus meningkat setiap tahunnya. D. TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan hasil penelusuran penulis sampai saat ini, ada beberapa tulisan yang membahas tentang daya dukung objek wisata terhadap pengunjung. Dalam buku Pearson & Sullivan (1995) berjudul Looking After Heritage Places diungkapkan bahwa dalam melakukan penetapan pengelolaan manajemen yang tepat dalam menjaga cagar budaya ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi

7 7 antara lain konservasi, manajamen pengunjung, marketing, penggunaan jasa konsultan, dan perlindungan hukum. Salah satu metode terebut yakni manajemen pengunjung merupakan bagian penting dalam penulisan skripsi ini karena berkaitan dengan CRM (Cultural Resource Management) dan memunculkan rekomendasi yang tepat dalam pengelolaan situs cagar budaya. Seorang ahli Ekowisata (ecoutourism) Chafid Fandeli dalam tulisannya yang berjudul Perencanaan Kepariwisataan Alam menjelaskan tentang pengelolaan atraksi. Menurut Fandeli (2002: ) atraksi wisata memiliki beragam jenis di antaranya atraksi alam, atraksi buatan, heritage, dan living culture. Dalam hal ini pengelolaan atraksi menjadi hal yang penting terkait dengan konservasi heritage (cagar budaya), yakni dengan menghitung jumlah wisatawan yang dapat ditampung dalam suatu destinasi dalam satuan luas dan waktu tertentu, tetapi masih memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi pengunjung. Fandeli juga menambahkan bahwa terlalu banyak pengunjung dalam suatu area pariwisata menyebabkan daerah tujuan wisata tersebut menjadi tidak menarik lagi dan akan mengurangi tingkat kepuasan pengunjung. Dalam kasus kepariwisataan alam banyaknya pengunjung juga menyebabkan berbagai macam kasus yang menyebabkan atraksi alam menjadi tidak menarik lagi diantaranya vandalisme, pencemaraan udara, kebisingan selain itu sampah yang menumpuk juga akan menghilangkan estetika. Untuk itu perlu diterapkannya beberapa strategi untuk membatasi jumlah pengunjung. Salah satu strategi yang diterapkan Fandeli ialah melakukan pembatasan jumlah pengunjung dengan cara mendistribusikan pada atraksi-atraksi lain di lingkungan objek wisata (Fandeli, 2002: 44). Hal tersebut dapat dicapai dengan melibatkan atraksi wisata lain atau membuat atraksi wisata di lingkungan objek wisata.

8 8 Tulisan Fandeli (2005) yang lain dengan judul Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi Di Taman Nasional juga memaparkan tentang metode pembatasan pengunjung dan juga cara mengatur arus pengunjung dengan harapan untuk meminimalisir dampak buruk akibat ekowisata (ecotourism). Penelitian yang dilakukan di Candi Prambanan oleh Setyastuti (2005) dalam tesis-nya yang berjudul Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Candi-candi Di Kawasan Prambanan (Analisis Berdasarkan Pendekatan Pariwisata Pengembangan Yang Berkelanjutan). Dalam tulisan tersebut beliau memaparkan mengenai langkah-langkah pengembangan pariwisata berkelanjutan dan kaitannya dengan objek peninggalan budaya yang dapat dikategorikan dalam tujuh prinsip dasar. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: prinsip konservasi, prinsip partisipasi masyarakat, prinsip edukasi, prinsip ekonomi, prinsip wisata, prinsip ekologis dan prinsip fisik. Dalam kesimpulannya Setyastuti berpendapat bahwa pengelolaan berdasarkan Keppres No. 1 Tahun 1992 memiliki kelemahan terutama dalam hal pelestarian dan pemanfaatan sebagai objek wisata. Model pengelolaan tersebut telah memunculkan berbagai macam konflik kepentingan diantaranya pemanfaatan yang tidak memberikan kontribusi bagi pelestarian objek, konflik dalam pengembangan atraksi, pengelolaan pengunjung (visitor management) yang tidak dikoordinasikan dengan baik. Muhammad Taufik (2005) dalam tesis-nya yang berjudul Minimalisasi Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur Sebagai Objek Wisata menjelaskan mengenai adanya kerusakan-kerusakan di Candi Borobudur akibat perilaku pengunjung sekaligus memberikan rekomendasi mengenai penanggulangan dampak negatif-nya. Dampak negatif terhadap Candi

9 9 Borobudur dalam kasus ini antara lain berupa vandalisme, sampah, keausan, kerontokan, keretakan, rembesan air. Pemanfaatan Candi Borobudur yang dijadikan objek wisata tidak selamanya membawa dampak buruk, Taufik (2005) juga menjelaskan beberapa manfaat situs yang dijadikan objek wisata antara lain situs Candi Borobudur saat ini lebih diperhatikan. Selain itu pemintakatan (zonasi) juga sudah dilakukan demi melindungi situs dari upaya kerusakan yang dilakukan baik oleh manusia, binatang maupun alam. Beberapa penelitian mengenai daya dukung fisik juga pernah ditulis dalam jurnal penelitian. Tulisan Rahma Hayati (2010) yang berjudul Model Ambang Batas Fisik Dalam Perencanaan Kawasan Area Wisata Berwawasan Konservasi Di Komplekss Candi Gedongsongo Kabupaten Semarang membahas tentang daya dukung fisik dan daya dukung ekologi Candi Gedongsongo. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa daya dukung ekologi dan daya dukung fisik belum melebihi ambang batas sehingga perlu dipertahankan atau justru ditingkatkan. Pada Jurnal Konservasi Benda Cagar Budaya Borobudur Vol. IV No. 4 terdapat tulisan berjudul Physical Carrying Capacity (Daya Dukung Fisik) Candi Borobudur yang ditulis oleh Wahyuningsih (2010). Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa pada musim puncak kunjungan jumlah kunjungan di Candi Borobudur bisa mencapai lebih dari 70% dibanding daya dukung fisik Candi Borobudur sendiri. E. RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini hanya difokuskan terhadap Kompleks Percandian Panataran. Proses penghitungan jumlah pengunjung dan pengambilan sampel nantinya dilakukan di dalam Kompleks Percandian Panataran yang meliputi

10 10 Halaman I (Nista Mandala), Halaman II (Madya Mandala) dan Halaman III (Utama Mandala). F. KEASLIAN PENELITIAN Candi Panataran ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles ( ), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Hindia Belanda pada waktu itu. Setelah diketemukan kembali oleh Raffles, para peneliti mulai berdatangan untuk melakukan penyelidikan dan pencatatan benda purbakala di kawasan Panataran.Penelitian tentang Candi Panataran sudah dimulai sejak jaman penjajahan Hindia-Belanda. Penelitian pada waktu itu diantaranya dilakukan oleh J.L.A Brandes yang pada tahun 1887 melaporkan bahwa dia telah berhasil mengenal relief-relief Batur Pendopo yang melukiskan sebuah kidung Jawa. Bentuk kata dan ejaan kata-kata pada tulisan-tulisan singkat di atas relief-relief tersebut cocok juga dengan angka yang ada batur itu yaitu 1297 Ç. Dia juga menerangkan arah hadap untuk membaca relief-relief itu searah dengan jarum jam (pradaksina). Setelah itu Brandes juga menguraikan relief serta pahatan binatang pada pelipit atas yang tersusun menjadi cerita binatang (Sulaiman, 1981). Kemudian Brandes dalam notulen XL 1902 juga membahas tentang relief yang terdapat di dinding Candi Induk. Menurutnya relief binatang tersebut merupakan cerita binatang (fabel). Adapun cerita tersebut dihubungkan dengan relief binatang yang ada di dinding Candi Kidal, Tumpang. P.V. van Stein Callenfels pada tahun 1919 mengulas kembali mengenai relief cerita Bubuksah. Dia secara khusus juga membahas tentang alat musik yang dihubungkan dengan relief yang ada di Batur Pendopo yang dalam adegannya ada figur memainkan alat musik. Menurutnya alat-alat

11 11 musik tersebut merupakan alat musik jenis gambang dan saron seprti yang pernah dilihatnya di Bali (Callenfels 1919, Bijlage IX: dalam Ngadiono, dkk. 2003: 10). Satyawati Suleiman pada tahun 1981 membahas khusus tentang bangunan Batur Pendopo yang dimuat dalam seri penerbitan bergambar dengan judul Batur Pendopo Panataran. Dalam buku tersebut beliau membahas tentang relief-relief terdapat di dinding Batur Pendopo baik yang belum maupun sudah diketahui jalan ceritanya. Bagian relief yang sudah diketahui jalan ceritanya adalah relief Sang Satyawan dan relief cerita Bubuksah. Sedangkan relief tentang Sri Tanjung, Suleiman menanyakan kembali pendapat dari Galestin yang pada 1948 menyebutkan tentang beberapa relief yang merupakan bagian dari adegan dalam cerita Sri Tanjung. Bob Hering pada tahun 1985 menerbitkan bukunya yang berjudul Candi and Pura a Pictorial History. Dalam buku tersebut dia membahas beberapa candi dimana diantaranya ialah Candi Panataran. Dia berpendapat bahwa denah halaman yang dimiliki oleh Candi Panataran berbentuk memanjang ke belakang mirip sekali dengan denah pura-pura di Bali. Bambang Sulistyanto pada tahun 1985 membahas tentang relief Bubuksah dan Gagang-Aking yang terdapat di dinding Batur Pendopo dalam skripsinya yang berjudul Relief Bubuksah-Gagang Aking Pada Candi-Candi Periode Jawa Timur. Kesimpulan dari hasil penelitiannya ialah relief tersebut merupakan simbol persatuan agama Budha dan Siwa. Hal tersebut dikarenakan cerita Bubuksah adalah jenis karya sastra Budha sehingga tanpa adanya pandangan persatuan keagamaan tidak mungkin relief tersebut dipahatkan pada relief Candi Siwa.

12 12 Pada tahun 1987 Hariana Suryaningsih dalam skripsinya yang berjudul Peranan dan Fungsi Tokoh Punakawan Pada Candi-Candi Periode Jawa Timur. Dalam skripsi tersebut Suryaningsih menyinggung tentang relief tokoh punakawan yang ada di kompleks Candi Panataran. Dalam tulisan tersebut dia menyimpulkan bahwa tokoh punakawan merupakan salah satu unsur kepercayaan asli Indonesia. Hal tersebut dilihatnya melalui penampakan relief tokoh Punakawan dalam Candi Hindu, dimana dalam ajaran agama Hindu tidak dikenal adanya tokoh Punakawan. Pada tahun 1991 penelitian terhadap Prasasti Palah dilakukan oleh Ismail Luthfi melalui skripsinya yang berjudul Telaah Prasasti Palah Dalam Hubungannya Dengan Candi Panataran. Dalam penelitiannya tersebut Lutfi menyimpulkan bahwa Prasasti Palah dikeluarkan oleh Raja Srengga atau Kertajaya dari Kadiri bukan sebagai piagam pendirian bangunan suci (candi) melainkan piagam penetapan sima. Sima tersebut berujuan untuk menjaga keberlangsungan peribadatan di tempat suci Palah. Selain itu usia Prasasti Palah yang lebih tua 100 tahun dibandingkan dengan Candi Panataran menunjukan adanya pembangunan tempat perbidatan Palah yang baru di lokasi yang sama. Sehingga antara Prasasti Palah dan Candi Panataran memiliki akar kesejarahan yang sama. Sukawati Susetyo pada tahun 1993 dalam skripsinya yang berjudul Cerita Sri Tanjung: Studi Perbandingan Antara Relief Dengan Naskah Cerita, juga menyinggung tentang tentang relief Sri Tanjung di Batur Pendopo Panataran. Menurutnya relief tersebut dipahatkan dalam delapan panil di sisi depan dinding sebelah selatan mulai dari tangga naik kedua ke selatan sampai sudut barat daya. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa adegan cerita Sri

13 13 Tanjung dimulai saat Sidapaksa kebingungan hendak pergi ke Kahyangan dan diakhiri saat Sidapaksa menyusul istrinya di Pranggalas. Pada tahun 1995, skripsi mahasiswa UGM berjudul Aspek Pendidikan Politik Pada Relief Cerita Ramayana di Candi Panataran dan Kakawin Ramayana yang ditulis oleh Widya Rahmayani. Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa episode cerita Ramayana yang terdapat pada panil di Candi Panataran sarat akan aspek pendidikan politik yang berhubungan dengan kerajaan lain, yakni kerajaan Langka ketika terjadi konflik. Menurutnya hal tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian sebenarnya di kerajaan Singasari dan Majapahit. Kertanegara sebagai raja terakhir Singasari pernah melakukan politik mandala seperti dimuat dalam Nagarakrtagama pupuh XLII/2. Setelah itu penerapan ajaran astabrata oleh raja tampak pada pemberian hadiah sima untuk daerah tertentu. Sedangkan penerapan ajaran sadguna tampak pada kisah perjuangan Raden Wijaya dalam usaha merebut kekuasaan dari raja Jayakatwang. Skripsi lain yang ditulis pada tahun 1995 oleh mahasiswa UGM berjudul Pola Tangga Candi-Candi Periode Jawa Timur: Studi Kasus Pada Candi Jago dan Candi Induk Panataran Berdasarkan Kajian Arsitektural yang ditulis oleh Edi Seno Adji. Skripsi tersebut membahas tentang variasi pola tangga di candi-candi periode Jawa Timur sekaligus menyinggung tentang kesesuaian pola tangga dalam satu sisi di Candi Induk Panataran yang dihubungkan dengan kaidah pendirian bangunan suci di India. Dalam bahasannya Edi Seno Adji mengaitkan hubungan pola tangga dengan prosesi pradaksina dan prasaviya. Dalam Skripsi jurusan Arkeologi UGM pernah ada beberapa tulisan yang membahas tentang relief di Candi Panataran diantaranya Brediana

14 14 Dwimarta (1996) dengan judul Latar Belakang Pemilihan Episode Cerita Kresna di Candi Wisnu Candi Panataran dan Candi Jago. Dalam skripsi ini Dwimartha mencoba menghubungkan kondisi sosial politik pemerintahan saat itu dengan konsep dewa raja melalui relief cerita Kresna. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa setiap komponen dalam pembangunan candi-candi di Jawa TImur termasuk penggambaran relief Kresna secara tidak langsung mendudukan raja tersebut dalam posisi yang cukup tinggi di mata rakyatnya. Seperti hal nya di Candi Panataran, Dwimartha juga menjelaskan bahwa pemilihan cerita Kresna di candi tersebut secara religi akan memperkokoh posisi rajasebagai identifikasi Dewa Wisnu. Dalam skripsi Rr. Isti Retno Kumaraningrum pada tahun 1997 yang berjudul Nilai-Nilai Kepahlawanan Krsna dan Latar Belakang Penggambarannya Dalam Relief Cerita Krsnayana di Candi Panataran secara mendalam dibahas mengenai relief Krsnayana yang berada di Candi Induk Panataran. Kesimpulan di dalam skripsi tersebut dinyatakan bahwa penggambaran tokoh tersebut berkaitan dengan pemimpin yang diidamkan oleh masyarakat Kadiri pada saat itu. Hal tersebut didasari oleh tokoh Krsna yang merupakan perwujudan Dewa Wisnu sehingga merupakan karakter yang ideal sebagai seorang pemimpin. Selain itu Candi Panataran yang secara terus-menerus digunakan hingga masa Majapahit juga menimbulkan asumsi bahwa nilai-nilai tersebut masih tetap relevan hingga masa Majapahit. Pada tahun 2000 Yuni Dwi Rahmawati membahas tentang relief cerita Ramayana dalam skripsinya yang berjudul Studi Komparatif Relief Cerita Ramayana Pada Candi Prambanan dan Candi Panataran. Dalam skripsi tersebut Rahmawati memaparkan bahwa terdapat banyak perbedaan dalam

15 15 penggambaran kedua cerita Ramayana yang dikarenakan perbedaan budaya di Jawa Tengah dan Jawa TImur. Perbedaan tersebut terletak pada gaya pahatan ragam hias dan pola penempatan relief. Pada Candi Prambanan gaya relief digambarkan lebih naturalis dibandingkan yang terdapat di Candi Induk Panataran yang digambarkan dalam dua dimensi seperti penggambaran dalam tokoh Wayang. Selain itu pahatan di Candi Prambanan juga lebih dalam atau disebut dengan relief tinggi (haut relief) sedangkan Candi Panataran tampak lebih tipis atau disebut dengan relief rendah (bas relief). Penelitian sebelumnya lebih fokus terhadap aspek historis, arsitektur, serta budaya sedangkan penelitian kali ini akan membahas tentang daya dukung fisik di Candi Panataran yang dijadikan sebagai objek wisata. Candi Panataran yang merupakan salah satu objek wisata potensial di Kabupaten Blitar dan sekaligus menjadi salah satu candi terbesar di Jawa Timur sangat penting untuk diketahui daya dukung fisik-nya terhadap pengunjung. G. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif analitis untuk memberikan gambaran tentang fakta-fakta yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Penalaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penalaran induktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris. Dalam penalaran induktif seperti ini kerangka pikir yang diuraikan berdasarkan pada dugaan yang belum pasti, bahwa terdapat hubungan-hubungan tertentu dalam variabel masalah yang tidak dideduksi dari teori yang baku (Sharer dan Ashmore, 1993: 564).

16 16 Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini ialah CRM (Cultural Resource Management), karena di dalam studi arkeologi segala hal yang berkaitan dengan pelestarian dan pemanfaatan situs akan menjadi kajian dalam CRM (Pearson & Sullivan, 1995: 5). Prasodjo (2000: 157) mengutip tulisan Pearson & Sullivan (1995: 8-9) mengenai gambaran tahapan pengelolaan cagar budaya melalui empat tahap yang dipaparkan sebagai berikut: 1. Identifikasi sumberdaya arkeologis. Tahap ini digunakan untuk mengenali situs dengan dilakukannya deskripisi lokasi, identifikasi, dan dokumentasi batas-batas situs yang mengandung sumberdaya lokasi. 2. Penaksiran terhadap nilai penting situs terhadap masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. 3. Perencanaan dan pembuatan kebijakan, dengan menimbang nilai penting yang dimiliki situs terhadap kepentingan lainnya. Pada tahap ini pengelola situs harus memperhatikan kelestarian situs sebagai dasar dalam menghasilkan kebijakan. 4. Implementasi dari kebijakan yang dihasilkan dan ditetapkan untuk mengelola situs pada masa mendatang. Dalam hal ini penelitian mengenai daya dukung Candi Panataran merupakan kajian dalam CRM karena berkaitan dengan pemanfaatan. Selain itu penelitian ini juga mendukung kegiatan pada tahap pertama (identifikasi), kedua (penaksiran nilai penting) hingga ketiga (perencanaan dan pembuatan kebijakan) dalam pengelolaan CRM. Alur penelitian mengenai daya dukung fisik Candi Panataran kali ini diuraikan sebagai berikut:

17 17 1. Tahap Pengumpulan Data Data dalam sebuah penelitian dibagi menjadi dua macam yaitu data primer dan data sekunder. Pada penelitian kali ini penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data tersebut. Data primer merupakan data yang diperoleh peneliti di lapangan sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber lain yang dapat menjadi rujukan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data langsung ke lapangan (data primer) berupa survei, observasi, wawancara serta melakukan pendokumentasian. Data primer pertama kali didapatkan dari hasil survei dan observasi hal ini dilakukan untuk mendapatkan secara pasti jumlah pengunjung yang datang ke lokasi penelitian. Hasil survei yang didapatkan dari buku pengunjung di Candi Panataran ( ) menunjukan bahwa puncak kunjungan terjadi pada setiap bulan Juni. Dengan pengamatan tersebut penelitian ini dilakukan pada waktu dan pada bulan tersebut karena bertepatan dengan musim puncak kunjungan. Pada saat penelitian berlangsung yakni pada saat puncak kunjungan peneliti menghitung seluruh pengunjung yang masuk. Selain itu peneliti juga mengambil data lain sebagai syarat penghitungan daya dukung fisik berupa rata-rata durasi kunjungan pada masing-masing halaman Candi Panataran melalui pengambilan sampel. Sampel sendiri merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh suatu populasi (keseluruhan objek) (Sugiyono, 2008: 81). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah Probability Sampling. Probability Sampling adalah teknik

18 18 pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi simple random sampling, stratified random sampling, disproportionate strafified random sampling dan cluster sampling (sampling menurut daerah). Dalam kasus pencarian sampel seperti yang dilakukan dalam penelitian PCC semacam ini maka seluruh pengunjung dianggap sama dengan kata lain populasi yang dicari bersifat homogen. Dalam pencarian sampel, penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling. Simple random sampling merupakan pengambilan anggota sampel dari suatu populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi tersebut. cara demikian dilakukan apabila populasi bersifat homogen (Sugiyono, 2008: 82). Pengunjung dalam hal ini merupakan unsur dari populasi yang akan dipilih secara acak. Adapun pengambilan sampel yang bersifat homogen pada dasarnya dengan jumlah sampel yang mencapai 1% saja sudah cukup mewakili jumlah populasi yang ada. Meskipun demikian pengunjung yang akan diambil sampling yakni 300 orang yang disaring menjadi 200 orang dengan syarat mereka memasuki Halaman I, Halaman II dan Halaman III. Hal tersebut digunakan untuk mengantisipasi pengunjung yang hanya memasuki area sebagian candi akan membuyarkan hasil perhitungan sampel untuk dimasukkan ke dalam persamaan PCC. Adapun jumlah 200 pengunjung tersebut kurang lebih setara dengan 20% dari total populasi kunjungan pada rata-rata peak season di bulan Juni yang mencapai 1000 pengunjung per hari. Sampel tersebut digunakan untuk mengetahui rata-rata durasi kunjungan.

19 19 Data primer lain berupa wawancara dan pendokumentasian. Wawancara dilakukan untuk mengetahui tentang pengelolaan Candi Panataran sebagai objek wisata maupun kegiatan atau event yang pernah diadakan di lokasi penelitian yang berpengaruh terhadap manajemen pengunjung. Hasil wawancara tersebut diperoleh dari narasumber yang berasal dari pengelola dan pihak-pihak yang terkait dengan penanganan pelestarian Candi Panataran. Perolehan data secara langsung lainnya yakni berupa pendokumentasian yang dilakukan di lokasi penelitian sebagai bukti visual. Hasil dari dokumentasi diharapkan dapat membantu penulis dalam melakukan analisis serta menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan. Pengumpulan data tidak dilakukan secara langsung di lapangan saja melainkan melalui data-data yang sudah tertulis dan dapat diacu sebagai pijakan dalam penelitian ini yang biasa disebut dengan data sekunder. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan informasi yang menyangkut masalah penelitian. Informasi tertulis tersebut menjadi rujukan dalam penelitian ini secara garis besar terkait dengan masalah pelestarian yang mencakup pengelolaan, pariwisata, manajemen pengunjung, serta gambaran umum mengenai Candi Panataran dan pemanfaatannya selama ini. 2. Tahap Analisis Data Berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada tahap pengumpulan data, kemudian data diolah pada tahap analisis data. Adapun data tersebut akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif akan dilakukan untuk merepresentasikan hasil dari

20 20 penghitungan daya dukung fisik yang didapat dari pengambilan sampel pengunjung. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan setelah memperoleh data dari hasil analisis kuantitatif yang dirujuk dari data survei, observasi, wawancara dan kajian pustaka untuk menghasilkan rekomendasi (Taufik, 2005: 23). Analisis yang dilakukan melalui data yang didapat dari jumlah pengunjung dan durasi pengunjung dalam zona inti kemudian diolah dengan menggunakan rumus penghitungan PCC (Physical Carrying Capacity) yang diadopsi Fandeli (2002: 260) dari Douglas (1975) sebagai berikut: PCC = A x V/a x Rf Keterangan: PCC = Physical Carrying Capacity (Daya Dukung Fisik) A = Luas Area (Wilayah Penelitian) Nilai V/a = Areal yang dibutuhkan wisatawan dalam menikmati situs Nilai Rf = Rotation Factor (Berdasar puncak kunjungan selama satu jam) Rumus yang diuraikan di atas digunakan untuk mengetahui daya dukung fisik Candi Panataran. Adapun untuk pengukuran luas area pada masing-masing halaman candi dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS Desktop 10.0 untuk membuat kartografi digital yang merupakan salah satu kajian dalam Sistem Informasi Geografi (GIS). Proses pengukuran ini dimulai dengan input data berupa foto citra satelit Candi Panataran yang diambil dari google earth yang kemudian akan di overlay (tumpang susun) ke dalam peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) yang sudah teregristasi ke dalam ArcGIS Desktop.

21 21 Setelah melalui rumus penghitungan PCC data akan diolah dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif. Penggambaran Teknik analisis data dalam peneltian kuantitatif semacam ini disebut statistik deskriptif. Teknik analisis seperti ini digunakan untuk menganalisis dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Penyajian data dalam analisis semacam ini bisa berupa tabel dan grafik (Sugiyono, 2008: ). Analisis ini juga dapat dilakukan untuk mencari korelasi, yaitu berupa hasil dari daya dukung fisik yang dikorelasikan dengan aktifitas kegiatan wisata pada masing-masing halaman di Candi Panataran. Pada tahap ini analisis sudah menggunakan analisis kualitatif atas dasar hasil analisis kuantitatif yang berupa daya dukung fisik. Hasil tersebut akan digunakan untuk menjelaskan fenomena kegiatan kunjungan pada masing-masing halaman Candi Panataran. 3. Penutup Data yang telah diolah dalam proses analisis data akan menghasilkan sebuah kesimpulan mengenai nilai ambang batas daya dukung fisik (Physical Carrying Capacity) Situs Candi Panataran pada Halaman I, Halaman II dan Halaman III serta korelasinya dengan aktifitas pengunjung. Selain itu diharapkan penelitian ini memunculkan rekomendasi sebagai respon atas hasil penelitian mengenai kegiatan wisata yang berkaitan dengan daya dukung fisik. Rekomendasi tersebut nantinya selain difokuskan untuk menjaga kelestarian situs juga akan disesuaikan ke arah pemberdayaan masyarakat setempat tanpa mengkesampingkan prinsip pelestarian cagar budaya. Hal tersebut

22 22 dikarenakan dalam praktek CRM terhadap tinggalan arkeologi di satu sisi adalah untuk melestarikan warisan budaya tersebut dan di lain sisi juga dapat memanfaatkannya bagi kepentingan masyarakat (Prasodjo, 2000: 152).

23 H. Bagan Alir Penelitian Pengumpulan Data Data Primer Data Sekunder Dokumentasi Pencatatan Data Kunjungan Wawancara Dengan Pengelola (BPCB, Disporbudpar. dan Kepala Desa) - Pengambilan Sampel Durasi - Pengukuran Area dengan GIS Kajian Daya Dukung Fisik Studi Pustaka Data Artefaktual Analisis Daya Dukung Fisik Halaman I, Halaman II, dan Halaman III Candi Panataran Identifikasi Nilai Penting Keterangan: Analisis Korelasi Dukung Fisik Candi Panataran Dengan Aktifitas Kegiatan Wisata : Hasil Berupa : Diperoleh Juga Dari Kesimpulan Rekomendasi 23

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pulau Jawa kaya akan peninggalan-peninggalan purbakala, di antaranya ialah bangunan-bangunan purbakala yang biasa disebut candi. Candi-candi ini tersebar di

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN WISATA CANDI PENATARAN DI BLITAR JAWA TIMUR Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

MODEL AMBANG BATAS FISIK DALAM PERENCANAAN KAPASITAS AREA WISATA. Abstrak

MODEL AMBANG BATAS FISIK DALAM PERENCANAAN KAPASITAS AREA WISATA. Abstrak MODEL AMBANG BATAS FISIK DALAM PERENCANAAN KAPASITAS AREA WISATA BERWAWASAN KONSERVASI DI KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO KABUPATEN SEMARANG Rahma Hayati Jurusan Geografi FIS -UNNES Abstrak Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Candi Cetho merupakan salah satu candi peninggalan jaman Hindu yang dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar. Berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Indonesia yang strategis terletak di antara benua Asia dan Australia, sehingga menyebabkan berbagai suku bangsa telah memasuki kepulauan nusantara mulai dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan,

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang turut mengembangkan perekonomiannya melalui industri pariwisata. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kekayaan

Lebih terperinci

Persepsi Masyarakat Sekitar Terhadap Pemanfaatan dan Kelestarian Candi Borobudur

Persepsi Masyarakat Sekitar Terhadap Pemanfaatan dan Kelestarian Candi Borobudur Persepsi Masyarakat Sekitar Terhadap Pemanfaatan dan Kelestarian Candi Borobudur Oleh : Panggah Ardiyansyah, S.S Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Pendahuluan Semenjak diresmikannya pada tanggal 23

Lebih terperinci

APLIKASI PETA TEMATIK UNTUK PARIWISATA (KASUS APLIKASI PETA LOKASI DAN. Absatrak

APLIKASI PETA TEMATIK UNTUK PARIWISATA (KASUS APLIKASI PETA LOKASI DAN. Absatrak APLIKASI PETA TEMATIK UNTUK PARIWISATA (KASUS APLIKASI PETA LOKASI DAN WAKTU TEMPUH BAGI PELAKU JASA WISATA DI KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO KABUPATEN SEMARANG) Rahma Hayati Jurusan Geografi FIS UNNES Absatrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Candi merupakan istilah untuk menyebut bangunan monumental yang berlatar belakang Hindu atau Buddha di Indonesia, khususnya di Jawa. Orangorang di Jawa Timur menyebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan serta menggalakan dunia kepariwisataan kini semakin giat

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan serta menggalakan dunia kepariwisataan kini semakin giat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan terhadap dunia kepariwisataan di Indonesia menjadi salah satu komoditas dan sumber pendapatan devisa negara yang cukup besar dan usaha untuk mengembangkan

Lebih terperinci

CAGAR BUDAYA. Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

CAGAR BUDAYA. Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan CAGAR BUDAYA Kab. Boyolali, Provinsi Jawa Tengah Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Boyolali, 29 Maret 2017 1 April 2017 Daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, salah satu bentuk pemanfaatan cagar budaya yang diperbolehkan adalah untuk kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu

BAB I PENDAHULUAN. Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gejala Pariwisata telah ada semenjak adanya perjalanan manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain. Selain itu tinggal secara tidak menetap. Semenjak itu pula

Lebih terperinci

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang

BAB II METODE PERANCANGAN. A. Analisis Permasalahan. Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang BAB II METODE PERANCANGAN A. Analisis Permasalahan Berdasarkan fokus permasalahan di atas ada tiga permasalahan yang muncul dalam mengembangkan relief candi menjadi sebuah motif. Pertama, permasalahan

Lebih terperinci

KAJIAN POLA PERGERAKAN DAN PENYEDIAAN RUANG PEJALAN KAKI DI KAWASAN WISATA CANDI BOROBUDUR TUGAS AKHIR

KAJIAN POLA PERGERAKAN DAN PENYEDIAAN RUANG PEJALAN KAKI DI KAWASAN WISATA CANDI BOROBUDUR TUGAS AKHIR KAJIAN POLA PERGERAKAN DAN PENYEDIAAN RUANG PEJALAN KAKI DI KAWASAN WISATA CANDI BOROBUDUR TUGAS AKHIR Oleh: OKTAFIA RACHMAWATI L2D 004 341 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yogyakarta memiliki banyak bangunan monumental seperti Tamansari, Panggung Krapyak, Gedung Agung, Benteng Vredeburg, dan Stasiun Kereta api Tugu (Brata: 1997). Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sejarah beserta peninggalannya. Candi merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang tidak dapat lepas nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara yang sejarah kebudayaannya dipengaruhi oleh kebudayaan India. Salah satu pengaruh kebudayaan India ialah dalam aspek religi, yakni

Lebih terperinci

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

Jurnal Geografi. Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian Jurnal Geografi Media Informasi Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian MODEL AMBANG BATAS FISIK DALAM PERENCANAAN KAPASITAS AREA WISATA BERWAWASAN KONSERVASI DI KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO KABUPATEN

Lebih terperinci

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa

Tengah berasal dari sebuah kota kecil yang banyak menyimpan peninggalan. situs-situs kepurbakalaan dalam bentuk bangunan-bangunan candi pada masa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Propinsi Jawa Tengah yang merupakan salah satu Daerah Tujuan Wisata ( DTW ) Propinsi di Indonesia, memiliki keanekaragaman daya tarik wisata baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beragam kebudayaan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peninggalan peninggalan sejarah yang tersebar luas hampir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus 30 KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Wilayah perencanaan situs Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak kompleks candi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk bersemayam para dewa (Fontein, 1972: 14). Dalam kamus besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Candi adalah bangunan yang menggunakan batu sebagai bahan utamanya. Bangunan ini merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu Budha di Indonesia. Candi dibangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sangat kaya akan peninggalan kebudayaan pada jaman Hindu Budha. Kebudayaan sendiri berasal dari bahasa sansekerta

Lebih terperinci

Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan

Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5, No.2, (2016) 2337-3520 (2301-928X Print) G-169 Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan Shinta Octaviana P dan Rabbani Kharismawan Jurusan Arsitektur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan alam dan hayati yang sangat beragam. Potensi tersebut menciptakan peluang pengembangan dan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kompleks Candi Prambanan merupakan salah satu cagar budaya Indonesia yang menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia (world heritage list) dibawah UNESCO sejak

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Pondok Bulu merupakan hutan pendidikan dan latihan (hutan diklat) yang dikelola oleh Balai Diklat Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Lebih terperinci

PARTISIPASI KELOMPOK USAHA SOUVENIR REBO LEGI DALAM SISTEM PARIWISATA DI KLASTER PARIWISATA BOROBUDUR TUGAS AKHIR. Oleh : GRETIANO WASIAN L2D

PARTISIPASI KELOMPOK USAHA SOUVENIR REBO LEGI DALAM SISTEM PARIWISATA DI KLASTER PARIWISATA BOROBUDUR TUGAS AKHIR. Oleh : GRETIANO WASIAN L2D PARTISIPASI KELOMPOK USAHA SOUVENIR REBO LEGI DALAM SISTEM PARIWISATA DI KLASTER PARIWISATA BOROBUDUR TUGAS AKHIR Oleh : GRETIANO WASIAN L2D 004 314 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1 Tinjauan Tema Berikut ini merupakan tinjauan dari tema yang akan diterapkan dalam desain perencanaan dan perancangan hotel dan konvensi. 3.1.1 Arsitektur Heritage Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu ritus kehidupan yang dilalui baik oleh individu maupun oleh kelompok masyarakat, sehingga melalui ritus kehidupan, kebudayaan dapat dialami

Lebih terperinci

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT...

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRACT... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA LEMBAR PENGESAHAN.. HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN UCAPAN TERIMKASIH ABSTRAK. ABSTRACT... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN..

Lebih terperinci

lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks

lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks 3 Relief menjadi media penyampaian pesan karena merupakan media yang lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luas daripada teks. Membaca teks lebih sulit karena diperlukan pengetahuan tentang bahasa

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 188/ 147 /KPTS/013/2016 TENTANG PENETAPAN CANDI GUNUNG GANGSIR DI KABUPATEN PASURUAN SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA PERINGKAT PROVINSI GUBERNUR JAWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

PERUBAHAN NILAI RUANG KAWASAN WISATA BOROBUDUR

PERUBAHAN NILAI RUANG KAWASAN WISATA BOROBUDUR PERUBAHAN NILAI RUANG KAWASAN WISATA BOROBUDUR Nur Adi Kusno Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada adikusno@gmail.com ABSTRAK. Kawasan Wisata Borobudur mempunyai nilai sangat tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun.

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemerintah sudah mencanangkan bahwa pariwisata harus menjadi andalan pembangunan Indonesia. Keputusan Presiden (Keppres) No. 38 Tahun 2005, mengamanatkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Bagelen yang dibangun untuk menghadapi perlawanan Pangeran

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Bagelen yang dibangun untuk menghadapi perlawanan Pangeran I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Purworejo di masa lalu merupakan pos pertahanan militer Belanda di wilayah Bagelen yang dibangun untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830)

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. perancangan merupakan paparan deskriptif mengenai langkah-langkah di dalam

BAB III METODE PERANCANGAN. perancangan merupakan paparan deskriptif mengenai langkah-langkah di dalam BAB III METODE PERANCANGAN Merancang sebuah Griya Seni dan Budaya Terakota sesuai dengan konsep dan teori yang diinginkan tidak terlepas dari metode perancangan. Metode perancangan merupakan paparan deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Banten merupakan salah satu provinsi baru hasil pemekaran dari provinsi Jawa Barat, dimana saat ini Provinsi Banten berada dalam tahap pembangunan yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan adat istiadat yang sangat unik dan berbeda-beda, selain itu banyak sekali objek wisata yang menarik untuk dikunjungi

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 33 METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Rencana Penataan Lanskap Kompleks Candi Muara Takus sebagai Kawasan Wisata Sejarah dilakukan di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh dengan keberagaman budaya dan pariwisata. Negara yang memiliki banyak kekayaan alam dengan segala potensi didalamnya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mereka sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna untuk menggambarkan,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN

BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN BAB 5 KESIMPULAN PENELITIAN Para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pembagian gaya seni candi masa Majapahit maupun Jawa Timur antara lain adalah: Pitono Hardjowardojo (1981), Hariani Santiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik,

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan kepariwisataan merupakan kegiatan yang bersifat sistematik, memiliki ruang lingkup, komponen dan proses pengelolaan tersendiri. Terkait dengan sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan suatu proses kepergian seseorang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Hal yang mendorong kepergiannya seperti kepentingan agama,

Lebih terperinci

2014 PENGARUH KUALITAS PRODUK WISATA TERHADAP KEPUTUSAN PENGUNJUNG UNTUK BERKUNJUNG KE MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK DI JAKARTA

2014 PENGARUH KUALITAS PRODUK WISATA TERHADAP KEPUTUSAN PENGUNJUNG UNTUK BERKUNJUNG KE MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK DI JAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pariwisata merupakan salah satu industri yang banyak diandalkan oleh negara-negara di dunia. Pariwisata juga merupakan salah satu faktor ekonomi yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pada masa sekarang kepariwisataan menjadi topik utama di seluruh dunia. Isu-isu mengenai pariwisata sedang banyak dibicarakan oleh masyarakat luas baik di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Blitar memiliki banyak sektor pariwisata yang salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Blitar memiliki banyak sektor pariwisata yang salah satunya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Blitar memiliki banyak sektor pariwisata yang salah satunya adalah sektor yang sangat menjanjikan. Dibalik perkembangan teknologi yang begitu cepat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berkembang secara dinamis. Sebagai pusat pemerintahan, Kota Jakarta dilengkapi dengan berbagai

Lebih terperinci

PENATAAN KORIDOR JALAN KASONGAN DI BANTUL

PENATAAN KORIDOR JALAN KASONGAN DI BANTUL LANDASAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN KORIDOR JALAN KASONGAN DI BANTUL Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Disusun oleh : BOGI DWI CAHYANTO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang sifatnya kompleks, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu pembangunan pariwisata harus ditinjau

Lebih terperinci

BAB III IDENTIFIKASI DATA. A. Candi Cetho

BAB III IDENTIFIKASI DATA. A. Candi Cetho BAB III IDENTIFIKASI DATA A. Candi Cetho 1. Lokasi Candi Cetho terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di desa Cetho kelurahan Gumeng kecamatan Jenawi, kabupaten Karanganyar provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I

BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I 1.1 Latar Belakang Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Pulau Jawa yang memiliki kekayaan akan peninggalan kebudayaan. Bentuk dari peninggalan kebudayaan dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK DAN SUBJEK PENELITIAN. Gambar 4.1. Peta Kabupaten Sleman

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK DAN SUBJEK PENELITIAN. Gambar 4.1. Peta Kabupaten Sleman 46 BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK DAN SUBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Kabupaten Sleman Gambar 4.1 Peta Kabupaten Sleman Kota Sleman terletak antara 110 33 00 sampai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 6.1 Kesimpulan. sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 6.1 Kesimpulan. sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai 98 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang dijabarkan sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, di Kawasan Candi Cetho masih terdapat berbagai potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL Proyek yang direncanakan dalam Studio Konsep Perancangan Arsitektur (SKPA) berjudul Boyolali Historical Park sebagai Pengembangan Taman Sonokridanggo. Maksud dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selain

BAB I PENDAHULUAN. penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selain 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan tentang permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selain itu bab ini juga menjelaskan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa lalu, wilayah nusantara merupakan jalur perdagangan asing yang sangat strategis, yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan yang menghubungkan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. mengandalkan sektor pariwisata untuk membantu pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. mengandalkan sektor pariwisata untuk membantu pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang mengandalkan sektor pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdirinya hotel dan restoran di kawasan wisata dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, sebagai akibat dari pembangunan pariwisata yang tidak terpadu. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Pariwisata dikenal sebagai suatu bentuk rangkaian kegiatan kompleks yang berhubungan dengan wisatawan dan orang banyak, serta terbentuk pula suatu sistem di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Menurut Tika (2005:4) metode deskriptif adalah metode yang

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Menurut Tika (2005:4) metode deskriptif adalah metode yang BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Tika (2005:4) metode deskriptif adalah metode yang mengarah pada pengungkapan

Lebih terperinci

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya BAB V A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya ilmiah ini, diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, akan diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam arti luas, pariwisata adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktivitas,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA P LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN MASJID AGUNG DEMAK DAN SEKITARNYA SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PENEKANAN DESAIN TIPOLOGI PADA ARSITEKTUR BANGUNAN SETEMPAT Diajukan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA

PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA PEMANFAATAN POTENSI WARISAN BUDAYA PURA MEDUWE KARANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KABUPATEN BULELENG SEBAGAI TEMPAT TUJUAN PARIWISATA Elfrida Rosidah Simorangkir Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wisatawan menuju daerah tujuan wisata. Terdapat dua fungsi dari atraksi

BAB I PENDAHULUAN. wisatawan menuju daerah tujuan wisata. Terdapat dua fungsi dari atraksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Atraksi wisata merupakan salah satu komponen penting dalam pariwisata. Atraksi merupakan salah satu faktor inti tarikan pergerakan wisatawan menuju daerah tujuan wisata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. membentang luas lautan yang merupakan pesisir utara pulau Jawa. Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Tuban provinsi Jawa Timur merupakan wilayah yang berada di Jalur Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa. Sebelah utara Kabupaten Tuban membentang luas lautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Manusia khususnya di daerah perkotaan sibuk dengan pekerjaannya yang terlalu menyita waktu. Akibatnya mereka berusaha mencari kegiatan yang dapat melepaskan keletihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dengan luas 1.910.931 km, Pariwisata di Indonesia merupakan sektor ekonomi penting di Indonesia. Pada tahun 2009,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Statistik Kunjungan Wisatawan ke Indonesia Tahun Tahun I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengakuan berbagai organisasi

Lebih terperinci

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7 SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 1. INDAHNYA KEBERSAMAANLatihan Soal 1.7 1. Sejarah Sunda Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode Survey Deskriptif Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey deskriptif. Metode survey deskriptif merupakan metode untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada sekitar abad IV sampai pada akhir abad XV M, telah meninggalkan begitu banyak peninggalan arkeologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pariwisata merupakan sektor mega bisnis. Banyak orang bersedia mengeluarkan uang untuk mengisi waktu luang (leisure) dalam rangka menyenangkan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi era globalisasi. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 selanjutnya direvisi

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi era globalisasi. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 selanjutnya direvisi 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan merupakan suatu proses transformasi yang dilakukan secara sadar dan terencana oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah dalam menghadapi era globalisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Indonesia menempati peringkat kedua dunia setelah Brasil dalam hal keanekaragaman hayati. Sebanyak 5.131.100 keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) atau yang sering disebut Taman Jurug adalah obyek wisata yang terletak di tepian sungai Bengawan Solo dengan luas lahan 13.9 Ha, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan BAB I PENDAHULUAN Sejarah perkembangan ekowisata yang tidak lepas dari pemanfaatan kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan definisi ekowisata sebagai perjalanan ke wilayah-wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. To live in the future, one must first understand their history by. anonymous. Pernyataan ini menjelaskan tentang mengapa manusia

BAB I PENDAHULUAN. To live in the future, one must first understand their history by. anonymous. Pernyataan ini menjelaskan tentang mengapa manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG To live in the future, one must first understand their history by anonymous. Pernyataan ini menjelaskan tentang mengapa manusia mempelajari benda-benda dari masa lalu,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012).

1. PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna menjadikan Indonesia sebagai salah satu mega biodiversity. peningkatan perekonomian negara (Mula, 2012). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki karakteristik kekayaan hayati yang khas dan tidak dimiliki oleh daerah lain di dunia. Keanekaragaman jenis flora dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata sebagai salah satu aspek eksternal, menjadi salah satu industri yang tumbuh dominan dan memiliki peran penting dalam aspek kehidupan manusia. Pariwisata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dari tahun sebelumnya. Angka itu diatas pertumbuhan ekonomi nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. tinggi dari tahun sebelumnya. Angka itu diatas pertumbuhan ekonomi nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan industri terbesar dan terkuat dalam pembiayaan ekonomi global. Industri pariwisata terbukti kebal dari krisis global. Saat perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata sebagai salah satu industri jasa ikut membantu meningkatkan perekonomian negara seiring dengan industri lainnya seperti pertanian, pertambangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung

VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR. dari 67 orang laki-laki dan 33 orang perempuan. Pengunjung TWA Gunung VI. KARAKTERISTIK PENGUNJUNG TAMAN WISATA ALAM GUNUNG PANCAR 6.1 Karakteristik Responden Penentuan karakteristik pengunjung TWA Gunung Pancar diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner dari 100

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Bandung Selatan memiliki sebuah kawasan wisata potensial, yaitu kawasan wisata Ciwidey. Di kawasan tersebut terdapat empat tujuan wisata utama, diantaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prima Charismaldy Ramadhan, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Prima Charismaldy Ramadhan, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki banyak daya tarik didalamnya, termasuk pariwisata. Selain memiliki banyak nilai sejarah dan menjadi

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI ATRAKSI WISATA RAWAPENING YANG DIMINATI PASAR WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SUSILOWATI RETNANINGSIH NIM L2D398188

STUDI IDENTIFIKASI ATRAKSI WISATA RAWAPENING YANG DIMINATI PASAR WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SUSILOWATI RETNANINGSIH NIM L2D398188 STUDI IDENTIFIKASI ATRAKSI WISATA RAWAPENING YANG DIMINATI PASAR WISATA TUGAS AKHIR Oleh : SUSILOWATI RETNANINGSIH NIM L2D398188 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH & KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci