BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat 3 mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas dasar amanat tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 2 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun Pasal berikutnya yaitu pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Atas hal tersebut, setiap upaya dalam bidang pendidikan perlu mengarah pada tujuan pendidikan nasional tersebut. Belajar di perguruan tinggi berbeda dengan belajar pada level-level sebelumnya. Mahasiswa mempunyai cara berpikir yang berbeda dengan siswa. Cara berpikir mahasiswa sebagai individu yang memasuki tahap dewasa awal berada dalam tahap kognitif post formal thought, yaitu cara berpikir yang sudah

2 fleksibel, terbuka, adaptif, dan individualistik (Piaget, dalam Santrock, 1997). Cara berpikir orang dewasa ini, biasanya ditandai dengan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian, ketidakstabilan, sesuatu yang kontradiktif, ketidaksempurnaan, dan berkompromi; bahkan kemampuan metakognisi mahasiswa dipandang lebih baik dibandingkan dengan pada level sebelumnya (Pintrich & DeGroot 1990). Hal ini dikarenakan mahasiswa memiliki kemampuan lebih dalam berbahasa, konsep, dan pengalaman dalam belajar dan berpikir. Ini juga yang membuat pengajaran dan diskusi tentang kognisi dan metakognisi terasa lebih mudah pada mahasiswa (Zimmerman, 2000). Masa dewasa juga merupakan saat-saat di mana seseorang mengalami perubahan psikologis dan fisik bersamaan dengan penyesuaian diri dan harapanharapan terhadap perubahan tersebut (Santrock, 1997). Menurut Santrock (1997), karakteristik masa dewasa yang berkaitan dengan proses pembelajaran adalah: masa pengaturan (settle down), masa ketegangan emosional, masa komitmen, masa perubahan nilai, dan masa penyesuaian diri dengan kehidupan baru. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa dituntut harus lebih bertanggungjawab dan harus melepaskan ketergantungannya menuju kemandirian untuk menjalankan peran dan tugas-tugas barunya yang sesuai dengan harapannya, termasuk tugas-tugas baru terkait pembelajarannya. Kondisi di atas berdampak pada bagaimana pembelajaran mahasiswa. Menurut Knowles (1970) pembelajaran orang dewasa memiliki karakteristik seperti: a) pertumbuhan dan kematangan konsep diri orang dewasa bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri (self directed). b) orang dewasa akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman di mana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu

3 yang sama memberikan orang dewasa sebagai dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru, dan c) orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupan (problem centeredorientation), bukan berpusat pada materi. Konsekuensi dalam pembelajaran di kelas, penyampaian materi kepada mahasiswa perlu menggunakan pendekatan pembelajaran yang mendukung pada pencapaian self directed mahasiswa, menjadikan pengalaman sebagai sumber pembelajaran, dan mengarahkan orientasi belajar mahasiswa pada pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Uraian di atas menyiratkan bahwa pembelajaran di Perguruan Tinggi diarahkan pada pencapaian self directed, kemandirian, dan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki mahasiswa sebagai upaya untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Pengalaman juga sangat berperan terhadap proses konstruksi pengetahuan mahasiswa (Kolb, 1984). Pengalaman mahasiswa akan mengantarkan pada kebermaknaan materi yang dipelajari (Tennant, 2006). Pengetahuan yang bermakna akan membantu mahasiswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi (Kolb, 1984). Laurillard (2002) memperkuat hal ini dengan mengungkapkan bahwa belajar di Perguruan Tinggi menuntut mahasiswa untuk belajar lebih mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang lebih terarah dan intensif sehingga memungkinkan mahasiswa tampil produktif, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran di Perguruan Tinggi salah satunya bertujuan untuk membebaskan mahasiswa dari kebutuhan mereka terhadap dosen, sehingga para mahasiswa dapat terus belajar secara mandiri sepanjang hidupnya (Slavin, 2009). Untuk terus belajar secara mandiri, maka mahasiswa harus menjadi seorang pembelajar dengan mengatur pembelajarannya sendiri (self regulated

4 learner) (Woolfolk, 2008). Bekal utama yang dibutuhkan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut adalah memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengatur kegiatan belajar, mengontrol perilaku belajar, dan mengetahui tujuan, arah, serta sumber-sumber yang mendukung untuk belajarnya (Ormrod, 2008). Frustrasi dengan tugas-tugas kuliah menuntut pembelajaran baru yang harus diprakarsai dan diarahkan sendiri atau diistilahkan sebagai belajar berdasar regulasi diri (BBRD) (Zimmerman & Martinez-Pons, 2001). BBRD menempatkan pentingnya kemampuan seseorang untuk belajar disiplin, mengatur, dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Dalam hal belajar, mahasiswa yang sudah mengetahui secara pasti tujuan dari kegiatan belajarnya akan mengarahkan segala pemikiran, perasaan, penerapan starategi, dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mempertahankan prestasi akademiknya (Paris & Turner, 1994). BBRD merupakan kombinasi keterampilan belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajaran terasa lebih mudah, sehingga mahasiswa lebih termotivasi (Knowles, 1985). BBRD menekankan pentingnya tanggungjawab personal dan mengontrol pengetahuan dan keterampilanketerampilan yang diperoleh (El-Anzi, 2005). Oleh karena itu, BBRD melibatkan proses-proses yang bersifat metakognitif seperti penetapan tujuan (goal setting), merencanakan pembelajaran, motivasi diri, kontrol perhatian, penggunaan strategi belajar yang fleksibel, monitor diri, mencari bantuan yang tepat, dan evaluasi diri (Zimmerman, 2002; Zimmerman, 1990; Winne & Hadwin, 2008; Zimmerman & Martinez-Pons, 1998; Wolters, 2003; Winne, 1995).

5 Mahasiswa yang melakukan BBRD memiliki keterampilan (skill) dan kemauan (will) untuk belajar (McCombs & Marzano, 1990). Mahasiswa juga mentransformasikan kemampuan-kemampuan mentalnya menjadi keterampilanketerampilan dan strategi akademik (Zimmerman, 2002). Lebih lanjut Schunk (1997) mengemukakan bahwa mahasiswa dikatakan telah melakukan BBRD bila mereka secara sistematis mengatur perilaku dan kognisinya dengan memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol berjalannya suatu proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai positif belajarnya. Mahasiswa juga dikatakan telah menerapkan BBRD apabila mahasiswa memiliki strategi untuk mengaktifkan metakognisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar mereka sendiri (Zimmerman dan Martinez-Ponz, 1990, Zimmerman, 1989). Kebiasaan mengatur dan mengarahkan diri sendiri diharapkan dapat terbentuk dalam diri mahasiswa. Ini mengindikasikan bahwa BBRD menekankan pentingnya inisiatif karena BBRD merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif. Mahasiswa yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk mempergunakan pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah lakunya yang ditunjukkan untuk mencapai tujuan (Zimmerman, 2002). Fakta di lapangan berdasar sejumlah hasil penelitian seperti yang dilakukan Sawitri & Ariati (2010), Latipah (2009), Darmiany (2009), Alsa (2005), Sunawan (2003) menunjukkan bahwa para mahasiswa nampak masih belum menghayati kebiasaan belajar di Perguruan Tinggi dan belum dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus. Ironisnya lagi, mereka

6 beranggapan ketidak-hadiran dosen sebagai suatu hal yang sangat menyenangkan, sehingga banyak di antara mereka memperoleh prestasi rendah, kurang sesuai dengan harapan. Penelitian Rosiana, dkk. (2010) dan Arjanggi & Suprihatin (2010) menemukan bahwa masih banyak mahasiswa yang BBRD-nya rendah, yang ditunjukkan dalam rendahnya tanggungjawab personal terhadap materi yang dipelajari. Dengan tanggungjawab personal yang rendah tersebut mengakibatkan mahasiswa merasa kesulitan ketika ujian; akhirnya merekapun mencontek saja. Mahasiswa lebih senang menggunakan jalan pintas dalam menghadapi ujian atau tesnya dengan cara mencontek daripada harus dengan cara belajar giat. Ini diperkuat hasil survey Davis (2009) terhadap mahasiswa di perguruan tinggi swasta yang menemukan bahwa 95% (dari 600 orang) mahasiswa mengaku pernah mencontek, dan frekuensi mencontek mereka di atas lima kali. Di tempat lain, mencontek sudah diidentikkan dengan nilai kerjasama dan solidaritas. Tindakan mencontek telah mewabah hampir di setiap perguruan tinggi, baik dilakukan secara individual, bekerjasama dengan teman sebaya, bahkan dengan para administrator di perguruan tinggi. Penelitian Sawitri & Ariati (2010) mengkaji tentang penyebab rendahnya IPK di kalangan mahasiswa. Mereka menemukan bahwa mahasiswa memiliki IPK rendah yang disebabkan oleh rendahnya BBRD. Rendahnya BBRD ditunjukkan dalam perilaku seperti tidak mengetahui alasan mereka belajar, mahasiswa minim menggunakan strategi belajar kognitif, dan malas meminta bantuan kepada orang yang tepat. Karena tidak mengetahui alasan mengapa mereka belajar tersebut menjadikan mahasiswa sering merasa malas, ngantuk, dan bosan. Rasa malas muncul ketika mereka harus membaca referensi

7 berbahasa Inggris, berkutat dengan materi yang tidak sedikit, serta menghadapi setumpuk tugas dengan deadline ketat. Sementara rasa kantuk menyerang ketika mereka mulai sulit berkonsentrasi, mendengarkan penjelasan dosen dan mencatat hal-hal penting, dan hal ini mereka alihkan dengan mengobrol. Mereka lebih memilih untuk mengkopi materi perkuliahan dalam bentuk soft dan hard copy daripada tune in dengan situasi perkuliahan, termasuk menghindari tatap muka, mengerjakan tugas, dan membaca buku teks. Penelitian serupa juga telah dilakukan Latipah (2009) terhadap mahasiswa program studi (prodi) Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga. Latipah telah mengkaji tingkat BBRD pada mahasiswa prodi PGMI. Temuan Latipah menunjukkan bahwa BBRD mahasiswa masih rendah. Ini menunjukkan bahwa mahasiswa rendah dalam hal tanggung jawab personal, kurang mengontrol pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperoleh. Rendahnya tanggung jawab personal ini misal ditunjukkan mahasiswa ketika mereka diberi tugas berupa pekerjaan rumah (PR). Terkait hal ini, mahasiswa lebih banyak yang mengerjakan tugasnya secara mendadak dengan cara meminjam hasil pekerjaan milik teman. Dalam kondisi demikian mahasiswa tidak mempunyai keinginan untuk menggunakan strategi-strategi belajar kognitifnya, seperti menggunakan peta konsep (mind map), membuat singkatan-singkatan dari materi yang akan diingat, atau bahkan melakukan elaborasi sebagai proses untuk memperdalam pemahaman materi. Selanjutnya tentang BBRD mahasiswa prodi PGMI yang dimaksud, dirangkum pada Grafik 1.

8 Grafik 1. Rangkuman Persentase Sebaran Frekuensi Skor Motivasi Belajar, Strategi Belajar Kognitif, Regulasi Metakognitif, dan Kelola Sumber Daya (N=405) Ditunjukkan pada Grafik 1, BBRD mahasiswa rendah yang ditunjukkan dalam dimensi-dimensi BBRD, yaitu mahasiswa memiliki motivasi belajar yang sedang, sementara tingkat strategi belajar kognitif, regulasi metakognitif, dan kelola sumber dayanya rendah. Selain berdasar pengisian skala BBRD, temuan ini diperkuat oleh wawancara. Hasil wawancara terhadap mahasiswa diperoleh informasi bahwa hal-hal yang menyebabkan motivasi belajar mereka rendah adalah terkait performa dosen. Performa dosen yang dimaksud adalah seperti penampilan fisik dan cara penyampaian materi. Berdasar hasil wawancara preliminary (Latipah, 2009) juga terungkap bahwa mahasiswa sebenarnya mengetahui dan menyadari bahwa dosen sangat menguasai materi, namun jika cara penyampaian yang kurang sesuai seperti kurangnya penguatan terhadap materi yang disampaikan, kurang mengaitkan materi dengan kehidupan nyata, minimnya penggunaan media dan peraga,

9 kurang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya, dan jarangnya praktek- membuat mereka menjadi kurang terdorong untuk belajar. Terkait bagaimana mahasiswa mempelajari atau memahami materi yang disampaikan dosen, hasil wawancara terhadap mahasiswa terungkap bahwa kebanyakan mereka menggunakan cara-cara yang sama persis seperti yang dilakukan dosen. Dikarenakan caranya yang sama persis seperti yang dilakukan dosen, maka ketika dosen memberikan soal yang berbeda dalam ujian, mahasiswa sering mengalami tidak bisa mengatasi (Latipah, 2009). Alhasil, karena terbiasa menggunakan cara yang sama persis, mereka seringkali tidak bisa mengembangkan strategi-strategi yang berbeda dengan dosen. Dalam hal ini mahasiswa dikatakan minim menggunakan strategi-strategi belajar kognitif yang berbeda sesuai dengan sifat materi atau soal yang dihadapi. Hasil wawancara terungkap juga bahwa mahasiswa jarang melakukan perencanaan yang baik dalam pembelajarannya. Menurut mereka, perencanaan dalam pembelajaran kurang penting karena tidak akan berdampak pada penguasaan materi yang ingin mereka pelajari. Terakhir, yang disampaikan mahasiswa terkait pembelajarannya adalah bahwa mereka merasa sungkan untuk bertanya kepada dosen. Bagi mereka, bertanya atau tidak kepada dosen, hasilnya akan sama saja (Latipah, 2009). Kondisi tersebut tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, kondisi tersebut perlu diatasi, paling tidak diubah ke arah yang lebih baik agar menghasilkan lulusan yang mampu belajar secara mandiri,

10 mampu mengatur tingkah lakunya secara dinamis, dan fleksibel dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Untuk mencapai hal di atas, mahasiswa membutuhkan BBRD. BBRD dibutuhkan mahasiswa agar mereka mampu mengatur dan mengarahkan dirinya sendiri, mampu menyesuaikan dan mengendalikan diri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Rendahnya BBRD dapat disebabkan oleh banyak faktor. Jika merunut pada hasil wawancara dengan mahasiswa sebagaimana diuraikan di muka, rendahnya BBRD disebabkan salah satunya oleh cara dosen mengajar. Dalam hal ini dosen minim melakukan pembelajaran dengan cara praktek, simulasi, eksperimen, dsb. Dosen juga minim memberikan feedback; tidak pernah ada sesi refleksi yaitu proses mengungkapkan kembali terhadap proses pembelajarannya. Cara dosen tersebut menunjukkan bahwa dosen masih dominan dengan cara yang konvensional, yaitu ceramah. Dengan mempertimbangkan uraian tentang BBRD di atas, maka strategi pembelajaran yang dipandang sesuai atau mampu meningkatkan BBRD mahasiswa adalah strategi pembelajaran eksperiensial. Strategi pembelajaran eksperiensial merupakan sebuah strategi yang menekankan pada pentingnya pengalaman mahasiswa. Pengalaman dijadikan sebagai sumber belajar untuk mengkonstruksi pengetahuan baru (Kolb, 1984). Strategi pembelajaran eksperiensial terdiri dari sebuah siklus yang memiliki empat tahapan yaitu: mengalami, mengamati dan merefleksikan, konstruksi abstrak atau generalisasi, dan implementasi (Kolb, 1984). Strategi pembelajaran eksperiensial berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Ini artinya bahwa yang aktif dalam pembelajaran adalah

11 mahasiswa, bukan dosen (Tennant, 2006). Hal ini memungkinkan mahasiswa untuk mengarahkan pada pembelajarannya sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri sebagaimana yang menjadi salah satu karakteristik dari BBRD. Selain itu strategi pembelajaran eksperiensial berorientasi pada aktivitas (Tennant, 2006). Ini artinya bahwa dalam pembelajaran mahasiswa lebih sering melakukan kegiatan-kegiatan, uji coba, eksperimen, bermain peran, demonstrasi, dan sebagainya sebagai proses untuk memahami materi (Walters, 1981). Banyaknya aktivitas dalam belajar melalui latihan, uji coba, praktek, demonstrasi, simulasi, dan sebagainya, memungkinkan mahasiswa memiliki BBRD tinggi, karena hal tersebut selaras dengan kegiatan yang perlu dilakukan oleh seseorang yang melakukan BBRD (Zimmerman, 2002). Karakteristik khusus dalam pembelajaran eksperiensial adalah adanya proses refleksi. Refleksi yang dimaksud adalah refleksi personal tentang pengalaman dan perumusan rencana untuk menerapkan belajar ke dalam konteks lain. Dalam proses refleksi, mahasiswa memandang kembali aktivitas untuk mengklarifikasi pembelajaran dan perasaan-perasaannya secara kritis, menggambarkan manfaat pengetahuan dari analisis tersebut, dan menyimpan pembelajaran untuk bekerja dalam situasi baru (Pfeipper & Jones, 1979). Proses ini memungkinkan mahasiswa untuk melakukan perubahan atas berbagai hal, seperti tentang perencanaan belajar yang lebih baik, penggunaan strategi belajar yang lebih sesuai, atau bahkan melakukan penataan atas lingkungan belajarnya (Woolfolk, 2008). Kondisi ini selaras dengan seseorang yang melakukan belajar berdasar regulasi diri. Uraian di atas mempertegas bahwa strategi pembelajaran eksperiensial dipandang mampu meningkatkan BBRD mahasiswa.

12 Sejumlah penelitian menemukan bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, di antaranya adalah dalam bidang prestasi, seperti prestasi olah raga (Smoll & Schutz, 1990), prestasi matematika (Eisenberg, 1996), dan prestasi IPA (National Assessment of Educational Progress, 2005). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam hal BBRD. Zimmerman & Martinez-Pons (2001) menemukan bahwa perempuan lebih unggul dalam menggunakan strategi belajar kognitif dibandingkan laki-laki. Perempuan terbukti lebih sering menggunakan metode-metode tertentu dalam pembelajarannya seperti membuat mind map, mengaitkan materi dengan sesuatu yang mudah diingat, dan membuat singkatan-singkatan untuk memudahkan menghafal. Perbedaan dalam penggunaan strategi belajar kognitif berdampak pada keyakinan mereka terhadap kesuksesan akademiknya (efikasi diri), di mana perempuan memiliki keyakinan akan kemampuannya yang lebih baik daripada laki-laki. Temuan Karyanta (2002) memperkuat hal ini, di mana perempuan menggunakan 14 strategi BBRD lebih sering daripada laki-laki; sementara Laila (2012) menemukan bahwa mahasiswa perempuan penghafal al-quran memiliki perencanaan waktu yang lebih baik untuk menghafal al-qur an daripada laki-laki. Perempuan memilih waktu-waktu tertentu yang dianggapnya lebih baik untuk menghafal al-qur an sementara laki-laki menggunakan waktu kapan saja, sesempatnya. Temuan Bembenutty & Karabenick (dalam Bembenutty, 2002) bahwa perempuan memiliki tingkat penundaan pilihan (delay of preferences) yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan juga memperoleh skor yang lebih tinggi pada dimensi penundaan kepuasan (delay of gratification-nya), motivasi ekstrinsik, pengorganisasian, dan juga usahanya. Perempuan menggunakan strategi belajar

13 lebih sering daripada laki-laki khususnya dalam regulasi personal, pengoptimalan lingkungan, dan penyelesaian tugas atau kegiatan belajar yang sukar (Albard & Lipschultz, 1998). Atas hal tersebut, dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana perbedaan BBRD pada laki-laki dan perempuan. Dalam sejumlah penelitian ditemukan bahwa BBRD berperan terhadap peningkatan prestasi akademik. Menurut Zimmerman & Martinez-Pons (1998), perilaku aktif dalam proses BBRD menghasilkan peningkatan kinerja akademik. Mereka menemukan bahwa mahasiswa yang mendapat skor tes prestasi satu persen paling tinggi dalam populasi, merupakan para mahasiswa yang sering menggunakan strategi BBRD, yaitu dengan cara mengorganisasi dan mentransformasikan informasi; menyediakan hadiah dan hukuman berdasar kinerjanya; serta mereviu catatan, minta bantuan teman, dosen, atau para ekspert. Selain itu, mereka juga cenderung menstruktur kembali lingkungan fisiknya agar dapat memenuhi kebutuhannya dalam belajar. Berbagai prestasi akademik yang terbukti mampu ditingkatkan melalui BBRD adalah seperti: kemampuan menulis cerita (Graham & Harris, 1999), prestasi belajar matematika (Camahalan, 2000; Sunawan, 2003; Alsa, 2005), kemampuan berbahasa Inggris (Pintrich & DeGroot, 1990), medis (Kuiper, 2005), dan teknologi informasi (Kramarski & Mizrachi, 2006), bahkan strategi BBRD efisien digunakan bagi seseorang yang mengalami kesulitan dalam belajar sekalipun (Graham & Harris, 1999). Penelitian lain yang serupa adalah sebagaimana telah dilakukan Cekolin (2001). Dalam penelitiannya dia membandingkan dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama pengetahuannya tinggi tetapi BBRD-nya rendah, dan kelompok kedua sebaliknya yaitu pengetahuan rendah tetapi BBRD-nya tinggi.

14 Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok kedua lebih sukses dalam melaksanakan tugas yang disajikan (yang menuntut pengetahuan) dibandingkan kelompok pertama. Berdasar sejumlah penelitian tentang peran BBRD terhadap prestasi belajar khususnya prestasi belajar matematika dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana keterkaitan BBRD dengan prestasi belajar matematika pada mahasiswa Prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa ini adalah calon guru kelas di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sebagai calon guru kelas di MI, maka mereka dituntut untuk menguasai materimateri (mata pelajaran) di MI sekaligus menguasai bagaimana cara mengajarkannya. Salah satu mata pelajaran yang perlu dikuasai oleh mahasiswa calon guru MI adalah matematika. Alasan dipilihnya mata pelajaran matematika adalah karena matematika selain merupakan salah satu mata pelajaran inti yang ada di MI, nilai matematika pada mahasiswa PGMI FITK UIN Suka merupakan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan nilai mata kuliah lain. Ini diketahui berdasar penelitian Latipah-b (2010) terhadap mahasiswa prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga yang menemukan prestasi matematika mahasiswa berada dalam kategori rendah, sebagaimana dirangkum pada Tabel 1. Tabel 1 Rangkuman Nilai Akhir Pembelajaran Matematika Mahasiswa Prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Semester, Rata-rata Konversi Angkatan Nilai Huruf Jumlah Gasal, 2007/ C+ 61 (dari 90 org) 67,8 Genap, 2007/ C 60 (dari 90 org) 66,7 Gasal, 2008/ B/C 95 (dari 120 org) 79,2 Genap, 2008/ C+ 80 (dari 120 org) 66,67 Gasal, 2009/ B/C 64 (dari 100 org) 64 Genap, 2009/ B- 60 (dari 100 org) 60 Gasal, 2010/ B- 63 (dari 95 org) 66,3 Genap, 2010/ B- 61 (dari 95 org) 64,2 Persentase (%)

15 Berdasar Tabel 1, mahasiswa memiliki nilai rata-rata matematika yang rendah. Jika dikonversikan ke dalam huruf, mereka memperoleh nilai B- ke bawah. Walaupun nilai tersebut dianggap lulus, namun jika dibandingkan dengan nilai mata kuliah-mata kuliah lain, nilai matematika mahasiswa merupakan nilai yang paling rendah. Atas hal ini, maka akan dilihat bagaimana korelasi antara BBRD mahasiswa calon guru kelas di MI dengan prestasi belajar matematikanya. B. Rumusan Permasalahan Meningkatkan kualitas belajar dengan melibatkan partisipasi aktif mahasiswa merupakan hal penting yang tidak dapat dielakkan lagi. Era teknologi yang serba canggih telah mendorong sejumlah perguruan tinggi untuk melakukan pembelajaran berbasis digital, sehingga sejumlah kampus menamakan dirinya sebagai kampus digital (digital campus). Pembelajaran berbasis digital menuntut mahasiswa untuk belajar mandiri, terlibat aktif dalam pembelajaran, dan mengatur pembelajarannya sendiri. Singkat kata, mahasiswa perlu belajar berdasar regulasi diri (BBRD). Dalam kenyataan, BBRD mahasiswa masih rendah. Melalui survey dan penelitian yang telah dilakukan peneliti (Latipah-b, 2010) terungkap bahwa sejumlah mahasiswa PGMI memiliki BBRD rendah, yang terlihat dari motivasi belajar rendah, penggunaan strategi belajar yang kaku (seringkali menggeneralisir semua strategi untuk semua materi), tidak melakukan perencanaan belajar yang baik, malas meminta bantuan dengan cara bertanya ketika mereka tidak paham atau kesulitan dengan materi yang dipelajari, dan kurang peduli dengan lingkungan belajar positif yang dapat memacu semangat belajarnya. Motivasi belajar, strategi belajar kognitif, regulasi metakognitif, dan

16 kelola sumber daya merupakan dimensi-dimensi dari belajar berdasar regulasi diri. Penyebab rendahnya BBRD mahasiswa salah satunya adalah dikarenakan strategi pembelajaran yang digunakan dosen. Berdasar hasil wawancara dengan sejumlah mahasiswa terungkap bahwa sejumlah dosen, khususnya yang mengajar mata kuliah yang nilainya rendah (seperti matematika), masih dominan menggunakan metode ceramah padahal karakteristik materinya sangat menuntut banyak praktek, latihan, simulasi, demonstrasi, dan sejenisnya. Terlalu banyaknya metode ceramah dalam pembelajaran matematika menjadikan para mahasiswa sebagai calon guru MI/SD seringkali keliru dalam memahami materi, bahkan menjadikan materi matematika kurang bermakna bagi mereka sehingga sulit untuk diimplementasikan dalam situasi lain yang berbeda. Hasil-hasil penelitian dalam bidang matematika menunjukkan bahwa pembelajaran matematika akan lebih berhasil jika metode-metode yang digunakan banyak melibatkan partisipasi aktif dari mahasiswa/siswa (Donovan, dkk., 2005). Namun demikian tidak berarti metode ceramah harus dihilangkan. Metode ceramah tetap diperlukan terutama untuk memberikan informasi atau mengembangkan keterampilan tahap demi setahap (Joyce dkk., 2009). Dengan masih dominannya metode ceramah dalam pembelajaran (terlebih dalam pembelajaran matematika) telah menjadikan mahasiswa tidak banyak terlibat secara aktif, mahasiswa cenderung pasif, sehingga mahasiswa kurang terdorong untuk belajar lebih mendalam atau bagaimana mengelaborasi materi pembelajaran. Mahasiswa juga cenderung tidak fleksibel dalam menggunakan strategi pembelajaran, monoton hanya menggunakan strategi itu-

17 itu saja karena terbiasa diceramahi. Lebih lanjut mahasiswa kurang terdorong untuk meminta bantuan kepada pihak lain jika menemui kesulitan karena model pembelajaran di dalam kelas dosen langsung memberikan arahan/jawabannya. Kondisi demikian menentukan tinggi rendahnya BBRD mahasiswa. Dengan mempertimbangkan harapan dan realita tersebut, maka strategi pembelajaran yang dipandang mampu meningkatkan BBRD mahasiswa adalah strategi pembelajaran eksperiensial (EL). Strategi EL adalah strategi yang menekankan pada pengalaman mahasiswa sebagai sumber pembelajaran, dengan melibatkan mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran melalui sebuah siklus yang terdiri dari empat tahapan yaitu mengalami, observasi refleksi, generalisasi, dan implementasi. Sejumlah penelitian menemukan bahwa ada perbedaan BBRD dan dimensi-dimensinya antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dipandang memiliki tingkat BBRD lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Karyanta, 2002; Zimmerman & Martinez-Pons, 2001). Berdasar uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Berapa besar perbedaan BBRD pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol)? a. Berapa besar perbedaan motivasi belajar pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol)? b. Berapa besar perbedaan strategi belajar kognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen)

18 dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol)? c. Berapa besar perbedaan regulasi metakognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol)? d. Berapa besar perbedaan kelola sumber daya pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol)? 2. Berapa besar perbedaan BBRD pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? a. Berapa besar perbedaan motivasi belajar berdasar regulasi diri pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? b. Berapa besar perbedaan strategi belajar kognitif pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? c. Berapa besar perbedaan regulasi metakognitif pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? d. Berapa besar perbedaan kelola sumber daya pada mahasiswa laki-laki dan perempuan? 3. Berapa besar hubungan antara BBRD dengan prestasi belajar matematika? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh strategi pembelajaran eksperiensial yang dilaksanakan dalam setting perkuliahan pada mahasiswa

19 Prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga yang dijabarkan dalam beberapa tujuan berikut: 1. Menguji besar perbedaan BBRD pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). Tujuan ini kemudian dijabarkan lagi menjadi beberapa sub-tujuan berikut yang merupakan dimensi-dimensi dari BBRD. a. Menguji besar perbedaan motivasi belajar pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). b. Menguji besar perbedaan strategi belajar kognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). c. Menguji besar perbedaan regulasi metakognitif pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). d. Menguji besar perbedaan kelola sumber daya pada kelompok yang diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak diberi strategi pembelajaran eksperiensial (kelompok kontrol). 2. Menguji besar perbedaan BBRD pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tujuan ini kemudian dijabarkan lagi menjadi beberapa sub-tujuan berikut.

20 a. Menguji besar perbedaan motivasi belajar berdasar regulasi diri pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. b. Menguji besar perbedaan strategi belajar kognitif pada mahasiswa lakilaki dan perempuan. c. Menguji besar perbedaan regulasi metakognitif pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. d. Menguji besar perbedaan kelola sumber daya pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. 3. Menguji besar hubungan antara BBRD dengan prestasi belajar matematika. Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka terdapat manfaat secara teoritis dan secara praktis dari penelitian ini. Manfaat secara teoritisnya adalah bahwa penelitian ini menemukan cara atau strategi untuk meningkatkan BBRD mahasiswa yakni dengan strategi pembelajaran eksperiensial; membantu menemukan pengaruh strategi pembelajaran eksperiensial terhadap BBRD; menemukan BBRD pada mahasiswa laki-laki dan perempuan; serta bagaimana korelasi BBRD dengan prestasi belajar matematika, sehingga hal ini dapat memperkaya khasanah keilmuan psikologi pada umumnya dan psikologi pendidikan pada khususnya, serta diharapkan dapat memacu perkembangan ilmu psikologi. Adapun manfaat praktisnya adalah bahwa hasil penelitian ini: 1. Referensi bagi dosen tentang strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran terutama untuk meningkatkan BBRD (belajar berdasar regulasi diri) mahasiswa. 2. Informasi bagi dosen tentang bagaimana cara meningkatkan BBRD mahasiswa melalui strategi pembelajaran eksperiensial.

21 3. Informasi bagi dosen tentang keadaan BBRD mahasiswa, sehingga hal ini dapat berguna bagi dosen khususnya dosen pembimbing akademik dalam memberikan bimbingan. 4. Informasi bagi dosen dan mahasiswa tentang BBRD pada mahasiswa lakilaki dan perempuan. Dengan temuan ini dosen tidak perlu membedabedakan perlakuan kepada mahasiswa laki-laki dan perempuan sebagaimana ditemukan dalam beberapa penelitian (Alsa, 2005; Woolfolk, 2008) bahwa pendidik (guru, dosen) seringkali menunjukkan perlakuan yang spesial kepada mahasiswa yang rajin atau pintar saja. 5. Informasi bagi dosen dan mahasiswa tentang bagaimana peran BBRD dalam meningkatkan prestasi belajar khususnya prestasi belajar matematika. Dengan demikian mahasiswa termotivasi untuk meningkatkan BBRD-nya dan di sisi lain dosenpun termotivasi untuk mengajarkan bagaimana cara meningkatkan BBRD mahasiswa. 6. Pertimbangan bagi dosen dalam mengambil kebijakan atau keputusan terkait penyelenggaraan pembelajaran di kelas. D. Keaslian Penelitian Jenis penelitian tentang pengaruh pembelajaran eksperiensial terhadap belajar berdasar regulasi diri dan prestasi belajar khususnya prestasi pembelajaran matematika dan adanya perbedaan belajar berdasar regulasi diri dan prestasi pembelajaran matematika antara laki-laki dan perempuan yang pernah dilakukan oleh para ahli, baik di dalam maupun di luar negeri akan menjadi latar belakang yang sangat bermanfaat sebagai bahan banding untuk menentukan keaslian penelitian ini.

22 Strategi pembelajaran eksperiensial dipandang mampu meningkatkan prestasi akademik -seperti prestasi matematika- dan prestasi non-akademik - seperti belajar berdasar regulasi diri. Hasil-hasil penelitian dalam bidang prestasi matematika yang terhimpun dalam The Cornerstone of Tech Prep (1999) menunjukkan bahwa prestasi matematika dapat ditingkatkan melalui pembelajaran realistik. Pembelajaran realistik artinya pembelajaran dengan mengenalkan mahasiswa pada hal-hal yang riil (nyata) dalam kehidupan seharihari. Mahasiswa mengalami sendiri apa yang mereka pelajari, sehingga mereka mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini diperkuat oleh Grouws & Cebulla (2001) bahwa untuk meningkatkan prestasi matematika dapat dilakukan dengan banyak praktik, menyajikan materi-materi secara konkrit, dan adanya interaksi kelompok. Kose (2008) telah mengkaji tentang pengaruh pembelajaran eksperiensial terhadap prestasi dan sikap mahasiswa terhadap ilmu-ilmu sains. Dengan membandingkan antara kelompok yang diberikan metode experiential learning dengan kelompok yang diberikan metode pembelajaran langsung (direct instruction) menunjukkan bahwa kelompok dengan menggunakan metode experiential learning terbukti memiliki prestasi dan sikap terhadap ilmu-ilmu sains yang lebih baik. Ini artinya bahwa metode pembelajaran eksperiensial mampu meningkatkan prestasi ilmu-ilmu sains. Pembelajaran eksperiensial juga terbukti dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, prestasi, retensi, recall, transfer pengetahuan, motivasi, dan sikap baik mahasiswa (Acikgoz, 1992; Johnson & Johnson, 1999; Kagan, 1990; Gillies, 2004; Jordan & Le Metaias, 1997). Selain itu, kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran-pemikiran mahasiswapun meningkat (Shachar

23 & Sharan, 1994). Experiential learning mampu meningkatkan kemampuankemampuan dan keterampilan-keterampilan tersebut melalui penggunaan metode pembelajaran aktif yang menekankan pada peran mahasiswa seperti bermain peran (role playing), simulasi, demonstrasi, dan latihan (drill). Penelitian Huynh (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman berupa praktik farmasi tingkat advanced berkorelasi positif dengan kesiapan belajar berdasar regulasi diri. Dengan adanya praktik ini berdampak terhadap kesiapan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa. Dengan membandingkan pemerolehan skor pada saat sebelum dan sesudah praktik farmasi tingkat advanced nampak bahwa terjadi peningkatan skor belajar berdasar regulasi diri. Ini artinya bahwa pengalaman-pengalaman dalam praktik farmasi tingkat advanced mampu meningkatkan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa, meskipun dengan tingkat korelasi yang rendah. Hal serupa telah dilakukan Slazak & Zurick (2009) dalam mengkaji tentang dampak pengalaman pembelajaran berbasis praktik untuk mengembangkan sikap tanggung jawab mahasiswa sebagai warga fakultas kedokteran. Untuk mewujudkan sikap tanggung jawab ini, para mahasiswa menempati hunian sambil praktik sebagai dokter, membimbing atau mendidik, dan kegiatan akademik lainnya yang berkaitan dengan sikap tanggung jawab. Setelah melalui beberapa rotasi, pengalaman belajar berbasis praktik menunjukkan mampu meningkatkan minat para mahasiswa terhadap kegiatankegiatan akademik. Di antara siklus dalam pembelajaran eksperiensial adalah adanya proses refleksi atas pengalaman yang telah diperoleh. Berkaitan dengan hal ini, Roberts (2010) telah mengkaji tentang pengaruh refleksi atas pengalaman-pengalaman

24 hidup yang mampu meningkatkan pemahaman mendalam dalam pembelajaran. Dalam kajiannya tersebut mahasiswa diminta untuk merefleksikan tentang persepsi mereka terhadap kehidupan usia lanjut. Hasil dari refleksi menunjukkan bahwa pembelajaran dengan cara merefleksikan pengalaman hidup pada usia lanjut mampu menggugah perasaan-perasaan dan harapannya sendiri tentang kehidupan usia lanjut. Pada akhirnya mahasiswa memiliki perasaan sangat kasihan (compassionate) terhadap orang dewasa lanjut, sekaligus dapat memikirkan bagaimana menyikapi masa usia lanjutnya kelak, sebagai indikator dari pembelajaran mendalam (deeper learning). Pembelajaran mendalam dikatakan Zimmerman & Martinez-Pons (1998) sebagai sebuah hasil dari seseorang yang melakukan belajar berdasar regulasi diri. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran mendalam diperoleh karena seseorang telah melakukan regulasi metakognitif dalam proses pembelajarannya. Ini menunjukkan bahwa proses refleksi (sebagai bagian dari proses strategi pembelajaran eksperiensial) berkorelasi positif dan mampu meningkatkan belajar berdasar regulasi diri. Dimensi dalam belajar berdasar regulasi diri di antaranya adalah bahwa seseorang akan melakukan pengelolaan lingkungan untuk mendapatkan pembelajaran yang maksimal. Atas dasar hal ini, penelitian yang dilakukan Huerta-Wong & Schoech (2010) ingin membuktikan asumsinya tentang adanya korelasi antara teknik pengajaran dengan lingkungan pembelajaran. Dalam hal ini teknik pengajaran yang dimaksudkan adalah teknik experiential learning dengan teknik pembelajaran ceramah plus diskusi. Adapun lingkungan belajarnya adalah lingkungan yang berbasis komputer dan sistem internet (virtual) dan tatap muka (face to face). Hasil temuan menunjukkan bahwa

25 lingkungan belajar, baik secara virtual maupun tatap muka dengan berbasis eksperiensial mampu mengembangkan keterampilan mendengarkan aktif (active listening skills) mahasiswa (semester II dan VI) dalam pembelajaran. Namun demikian, dalam hal interaksi antara dosen dan mahasiswa terdapat perbedaan, di mana pada kelas tatap muka dan menggunakan teknik experiential learning memiliki tingkat interaksi yang lebih solid dibandingkan dengan pada kelas virtual dan menggunakan teknik experiential learning. Dalam kajian social work (Vandsburger, 2010) yang mengkaji tentang efek simulasi kemiskinan dengan menggunakan strategi experiential learning terhadap pemahaman mahasiswa tentang kemiskinan terbukti bahwa simulasi dengan menggunakan strategi experiential learning dapat mengembangkan sikap kritis, pemahaman terhadap orang lain, dan belajar aktif dalam proses memahami kemiskinan. Kajian di Indonesia tentang experiential learning telah dilakukan Darmiany (2009) yang mengkaji tentang penerapan experiential learning dalam mengembangkan belajar berdasar regulasi diri. Dalam penelitiannya Darmiany mendeskripsikan tentang bagaimana mahasiswa menggunakan belajar berdasar regulasi diri melalui siklus experiential learning untuk meningkatkan penguasaan materi psikologi belajar yang ditunjukkan dalam kemampuan mahasiswa dalam pembuatan artikel. Hasil penelitiannya dengan penelitian tindakan kelas terhadap 52 orang mahasiswa menunjukkan bahwa setelah mahasiswa menerapkan belajar berdasar regulasi diri dengan pola experiential learning, kemampuan penguasaan materi dasar-dasar perkembangan yang ditunjukkan dalam pembuatan artikel, meningkat dibandingkan dengan sebelumnya, meskipun dari mereka belum meningkat dengan baik secara keseluruhan.

26 Penelitian lainnya telah dilakukan Cahyani (2009) yang telah memanfaatkan metode experiential learning sebagai suatu metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan mahasiswa untuk membangun pengetahuan dan keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Experiential learning dalam penelitiannya menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong mahasiswa mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Pola-pola yang digunakan dalam metode tersebut yaitu let the experiences speak by their self, tell story, and reflection. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode experiental learning mampu meningkatkan semangat mahasiswa (karena mahasiswa aktif), membantu terciptanya suasana belajar yang kondusif, mahasiswa bersandar pada penemuan individu dan memunculkan kegembiraan dalam proses belajar mengajar, mendorong dan mengembangkan berfikir kreatif, dan memberikan pengalaman nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Penelitian yang berkaitan dengan BBRD telah dilakukan beberapa peneliti juga, di antaranya adalah oleh Sungur & Tekkaya (2006). Mereka membandingkan perbedaan efektivitas pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran tradisional untuk meningkatkan belajar berdasar regulasi diri pada enam puluh satu siswa SMA. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang disajikan pembelajaran berbasis masalah memiliki skor tinggi dalam orientasi tujuan intrinsik (intrinsic goal orientation), nilai tugas (task value), menggunakan strategi belajar elaborasi, berfikir kritis (critical thinking), regulasi metakognitif, regulasi usaha, dan belajar dengan teman sebaya (peer learning) dibandingkan dengan siswa yang tidak mendapat pembelajaran berbasis masalah.

27 Demikian juga Kristiyani (2010) telah meneliti efektivitas metode belajar Classroom Assessment Techniques (CATs) terhadap belajar berdasar regulasi diri dan prestasi statistik mahasiswa. Hasil penelitian Kristiyani secara total menunjukkan bahwa terdapat perbedaan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa pada kelompok kontrol dan eksperimen. Berdasar analisis per aspek menunjukkan bahwa perbedaan signifikan terdapat pada dimensi metakognisi dan motivasi, sedang pada aspek kognisi tidak terdapat perbedaan dalam hal prestasi statistik antara kelompok kontrol dan eksperimen. Belajar berdasar regulasi diri secara keseluruhan terdapat pada kelompok yang diberi metode CATs. Ruseno (2010) telah meneliti efektivitas metode pembelajaran tutor sebaya terhadap belajar berdasar regulasi diri. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode tutor sebaya (peer) sangat efektif dalam meningkatkan belajar berdasar regulasi diri mahasiswa. Ini diperlihatkan dari adanya perbedaan belajar berdasar regulasi diri pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen setelah mendapat perlakuan berupa metode tutor sebaya memiliki tingkat belajar berdasar regulasi diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (F=12,808 dan p=0,001). Ada pengaruh metode pembelajaran tutor teman sebaya terhadap belajar berdasar regulasi diri. Mahasiswa yang belajar dengan menggunakan metode tutor sebaya dengan pembimbing yang dipilih dari teman mereka sendiri, menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Metode tutor sebaya memberikan kebebasan kepada mahasiswa yang menjadi tutor untuk mengembangkan metode dalam menjelaskan materi kepada teman-temannya, namun mereka juga diberi tanggung jawab oleh dosen agar bisa menjelaskan

28 materi pelajaran pada teman (tutee) yang masih belum paham, sehingga dalam pelaksanaannya tutor bisa lebih leluasa dalam menyampaikan materi sesuai dengan keinginan tutee. Nampak bahwa pembelajaran eksperiensial telah dilakukan para ahli dalam berbagai bentuk seperti sebagai sebuah strategi, metode, bahkan sebagai teknik pembelajaran. Strategi, metode, dan teknik tersebut telah digunakan para ahli dalam mengembangkan belajar berdasar regulasi diri atau komponenkomponennya, sekaligus mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial atau komponen-komponennya. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pengembangan belajar berdasar regulasi diri dapat dilakukan dengan menggunakan metode lain yang hampir mirip dengan experiential learning. Dikatakan hampir mirip karena sama-sama menekankan pentingnya keterlibatan aktif mahasiswa seperti pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), classroom assessment techniques (CATs), dan pembelajaran dengan teman sebaya (peer learning). Dalam penelitian-penelitian tersebut nampak juga secara implisit bahwa penggunaan strategi experiential learning berdampak pada meningkatnya prestasi belajar. Penelitian yang paling mirip dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah penelitian Darmiany (2009) yakni tentang penerapan pembelajaran eksperiensial dalam mengembangkan BBRD. Namun demikian terdapat perbedaannya dengan yang dilakukan peneliti yakni: 1) penelitian Darmiany dilakukan dalam bentuk penelitian tindakan kelas terhadap mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya, sementara yang akan dilakukan peneliti adalah dalam bentuk penelitian kuasi eksperimen; 2) Jenis mata kuliah. Mata kuliah yang digunakan Darmiany dalam penelitian tindakan kelasnya adalah psikologi

29 belajar, sementara mata kuliah dalam penelitian ini adalah matematika dan pembelajarannya. Beberapa pertimbangan menggunakan mata kuliah matematika dan pembelajarannya adalah: (a) bahwa mata kuliah matematika merupakan mata kuliah yang sangat unik. Dikatakan unik, karena bersifat menantang/penuh tantangan, namun di sisi lain matematika merupakan mata kuliah yang seringkali dianggap momok oleh mahasiswa; (b) bahwa mata kuliah matematika sangat memungkinkan untuk dilakukan banyak aktivitas, latihan, percobaan melalui berbagai media atau alat peraga, di mana ini semua menuntut penggunaan strategi pembelajaran eksperiensial; (c) berdasar kurikulum prodi PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga bahwa matematika merupakan mata kuliah kurikulum inti khusus utama sehingga semua mahasiswa wajib mengambilnya dan tentunya dituntut untuk bernilai tinggi. 3) karena penelitian Darmiany merupakan jenis penelitian tindakan kelas, maka teknik analisa datanya tentu berbeda dengan teknik dalam penelitian kuasi eksperimen. Penelitian serupa terkait adanya perbedaan belajar berdasar regulasi diri dan prestasi pembelajaran matematika berdasar jenis kelamin telah dilakukan Kalkowsky (2004) dan CalCroix (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih termotivasi dalam bidang matematika dan sains sementara perempuan lebih termotivasi dalam bidang bahasa, seni, dan sejarah. Berdasarkan deskripsi hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran eksperiensial, jenis kelamin, belajar berdasar regulasi diri, dan prestasi belajar matematika di atas, tidak ada satupun judul penelitian yang sama persis dengan yang akan dilakukan peneliti. Oleh karena itu, peneliti menganggap bahwa penelitian yang dilakukan yakni tentang pengaruh strategi pembelajaran

30 eksperiensial terhadap belajar berdasar regulasi diri mahasiswa belum pernah dilakukan oleh siapapun dan di manapun.

PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA PESERTA DIDIK DITINJAU DARI BELAJAR BERDASAR REGULASI DIRI (SELF REGULATED LEARNING) BAB I PENDAHULUAN

PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA PESERTA DIDIK DITINJAU DARI BELAJAR BERDASAR REGULASI DIRI (SELF REGULATED LEARNING) BAB I PENDAHULUAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA PESERTA DIDIK DITINJAU DARI BELAJAR BERDASAR REGULASI DIRI (SELF REGULATED LEARNING) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prestasi belajar sudah sejak lama menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup Negara, juga merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan kemajuan bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan kemajuan bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah salah satu faktor yang menentukan kemajuan bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Karena dengan pendidikan kita dapat mempersiapkan kondisi sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai fungsi dan tujuan yang harus diperhatikan. Fungsi dan tujuan tersebut dapat dilihat pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan yang mendasar bagi kemajuan suatu bangsa. Untuk mencapai kemajuan harus ada upaya yang sungguh-sungguh baik dari lembaga resmi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,

BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peran penting dalam kemajuan suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Pendidikan kejuruan, atau yang sering disebut dengan Sekolah Menengah Kejuruan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan pondasi utama dalam upaya memajukan bangsa. Suatu bangsa dapat dikatakan maju apabila pendidikan di negara tersebut maju dan dapat mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar, terencana untuk mewujudkan proses belajar dan hasil belajar yang optimal sesuai dengan karekteristik peserta didik. Dalam proses pendidikan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembentukan manusia sempurna melalui pendidikan, di dalam pendidikan berlaku

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembentukan manusia sempurna melalui pendidikan, di dalam pendidikan berlaku 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembentukan manusia sempurna melalui pendidikan, di dalam pendidikan berlaku undang-undang pada saat ini adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari pendidikannya. Semakin baik tingkat pendidikan suatu negara, semakin baik juga sumber daya manusianya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha yang mempunyai tujuan, yang dengan. didik (Sardiman, 2008: 12). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha yang mempunyai tujuan, yang dengan. didik (Sardiman, 2008: 12). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha yang mempunyai tujuan, yang dengan sistematis terarah pada perubahan tingkah laku menuju ke kedewasaan anak didik (Sardiman, 2008: 12). Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang diharapkan. Karena hal itu merupakan cerminan dari kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang diharapkan. Karena hal itu merupakan cerminan dari kemampuan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada dasarnya proses belajar mengajar merupakan proses komunikasi antara guru dengan siswa. Proses pembelajaran dapat dikatakan berhasil apabila siswa mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam lingkungan tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan ciri atau karakter dari dinamika di abad ke-21 yang merupakan abad

BAB I PENDAHULUAN. merupakan ciri atau karakter dari dinamika di abad ke-21 yang merupakan abad BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan cepat dan pesat sering terjadi dalam berbagai bidang, seperti politik/ketatanegaraan, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, ini merupakan ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari waktu ke waktu semakin pesat. Perkembangan ini tidak terlepas dari peranan dunia pendidikan, karena melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem Pendidikan Nasional (BNSP, 2006) menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, segala sesuatu berkembang secara pesat dan sangat cepat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, segala sesuatu berkembang secara pesat dan sangat cepat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, segala sesuatu berkembang secara pesat dan sangat cepat. Globalisasi ini juga meliputi dalam perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan. Kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan. Kualitas sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan. Kualitas sumber daya manusia merupakan aspek yang dominan terhadap kemajuan suatu bangsa. Manusia dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Veithzal dan Sylviana (2010:1) mengatakan bahwa: Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM menuju era globalisasi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan dan kesejahteraan bangsa ditentukan oleh

I. PENDAHULUAN. Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan dan kesejahteraan bangsa ditentukan oleh I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan dan kesejahteraan bangsa ditentukan oleh kemampuannya dalam mengembangkan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa globalisasi seperti saat ini masalah yang dihadapi adalah persaingan yang semakin ketat, salah satunya adalah persaingan dalam dunia kerja. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha sadar untuk membekali warga negara agar menjadi warga negara yang memiliki kecerdasan dan kepribadian yang baik. Hal tersebut sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkah laku yang baik. Pada dasarnya pendidikan merupakan proses untuk

BAB I PENDAHULUAN. tingkah laku yang baik. Pada dasarnya pendidikan merupakan proses untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan masalah yang penting, sebab maju atau tidaknya suatu bangsa tergantung pada pendidikan. Siapa pun yang mendapat pendidikan yang baik akan

Lebih terperinci

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini disampaikan pendahuluan penelitian yang meliputi latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Penyelenggaraan. pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia yang berkualitas yang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Penyelenggaraan. pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia yang berkualitas yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Penyelenggaraan pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia yang berkualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi sekarang ini, setiap orang dihadapkan pada berbagai macam tantangan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi tantangan tersebut maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan pendidikan dalam kehidupan manusia sangatlah penting. Dengan pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan hidup. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika kita berbicara tentang pendidikan, kita merasa bahwa kita sedang membicarakan permasalahan yang kompleks dan sangat luas. Mulai dari masalah peserta didik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya, pendidikan merupakan suatu proses yang membantu manusia dalam mengembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha sadar dan

I. PENDAHULUAN. pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha sadar dan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap manusia membutuhkan sekaligus berhak mendapatkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai telah ditetapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kegunaan penelitian. Pembahasan secara rinci masing-masing kajian tersebut

I. PENDAHULUAN. kegunaan penelitian. Pembahasan secara rinci masing-masing kajian tersebut 1 I. PENDAHULUAN Pembahasan pada bagian pendahuluan mencakup beberapa hal pokok yang berupa latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Menurut M.J.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Menurut M.J. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Menurut M.J. Langeveld (2015), pendidikan adalah upaya manusia dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran penting dalam menghasilkan generasi muda yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran penting dalam menghasilkan generasi muda yang berkualitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada masa sekarang ini merupakan kebutuhan yang memiliki peran penting dalam menghasilkan generasi muda yang berkualitas dan berdaya saing. Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menentukan kualitas sumber daya manusia di suatu negara,

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menentukan kualitas sumber daya manusia di suatu negara, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan menentukan kualitas sumber daya manusia di suatu negara, sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pada bab 2 pasal 3 menyatakan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan budaya kehidupan. Pendidikan yang dapat mendukung pembangunan di masa

BAB I PENDAHULUAN. perubahan budaya kehidupan. Pendidikan yang dapat mendukung pembangunan di masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan adalah hal yang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bidang yang memiliki peran penting dalam peningkatan daya saing suatu negara adalah pendidikan. Pendidikan saat ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 BAB II pasal 3 Undang- Undang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan berperan penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan potensi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistematis, rasional, dan kritis terhadap permasalahan yang dihadapi.

BAB I PENDAHULUAN. sistematis, rasional, dan kritis terhadap permasalahan yang dihadapi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dipandang sebagai cara yang tepat untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses pengembangan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan proses pengembangan sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan proses pengembangan sumber daya manusia. Melalui pendidikan seseorang akan dapat mengembangkan potensi dirinya yang diperlukan dalam

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu kompleks perbuatan yang sistematis untuk membimbing anak menuju pada pencapaian tujuan ilmu pengetahuan. Proses pendidikan yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 20 tahun negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 20 tahun negara yang demokratis dan bertanggung jawab. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karena itu setiap individu yang terlibat dalam pendidikan dituntut berperan serta

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berpikir merupakan kemampuan alamiah yang dimiliki manusia sebagai pemberian berharga dari Allah SWT. Dengan kemampuan inilah manusia memperoleh kedudukan mulia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian manusia. Pada dasarnya pendidikan merupakan interaksi antara pendidik dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya pendidikan merupakan suatu pembentukan dan pengembangan kepribadian manusia secara menyeluruh, yakni pembentukan dan pengembangan potensi ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global sekarang ini menuntut individu untuk berkembang menjadi manusia berkualitas yang memiliki

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan merupakan kunci yang nantinya akan membuka pintu ke arah modernisasi dan kemajuan suatu bangsa. Tujuan pendidikan nasional Indonesia terdapat pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah pengalaman baru yang menuntut siswa untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah pengalaman baru yang menuntut siswa untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah pengalaman baru yang menuntut siswa untuk menggunakan cara-cara baru dan strategi yang matang sejak awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia Indonesia, yaitu manusia yang mampu berfikir tinggi dan kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. manusia Indonesia, yaitu manusia yang mampu berfikir tinggi dan kreatif, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk mengantisipasi adanya berbagai masalah, hambatan dan tantangan di era globalisasi ini, perlu adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas masalah pendidikan tidak dapat terlepas dari pengertian pendidikan secara umum. Pendidikan memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Pendidikan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem

I. PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 BAB II pasal 3 (2003:11) yaitu: Pendidikan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam kehidupan suatu negara memegang peranan yang. sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam kehidupan suatu negara memegang peranan yang. sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dalam kehidupan suatu negara memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa. Pendidikan merupakan wahana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pendidikan yang baik. Pendidikan menjadi pilar pembangunan bagi

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pendidikan yang baik. Pendidikan menjadi pilar pembangunan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam masa globalisasi, suatu negara dianggap maju apabila memiliki kualitas pendidikan yang baik. Pendidikan menjadi pilar pembangunan bagi suatu negara untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Terjadinya perubahan paradigma dalam metode belajar mengajar yang

PENDAHULUAN. Terjadinya perubahan paradigma dalam metode belajar mengajar yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Terjadinya perubahan paradigma dalam metode belajar mengajar yang tadinya berpusat pada guru (teacher centered), menjadi berpusat pada siswa (student centered),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini.

BAB I PENDAHULUAN. sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah laksana eksperimen yang tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Dikatakan demikian, karena pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang pendidikan sebagai salah satu bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang pendidikan sebagai salah satu bagian dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang pendidikan sebagai salah satu bagian dari pembangunan dan juga berperan penting untuk menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan merupakan sarana utama untuk mempersiapkan diri dengan keterampilan dan pengetahuan dasar. Sekolah merupakan sarana yang diharapkan mampu menolong individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tantangan berat bangsa Indonesia adalah menyiapkan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tantangan berat bangsa Indonesia adalah menyiapkan sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tantangan berat bangsa Indonesia adalah menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas yaitu manusia yang cerdas, unggul dan berdaya saing. Kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan wadah mencerdaskan kehidupan bangsa sebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan wadah mencerdaskan kehidupan bangsa sebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan wadah mencerdaskan kehidupan bangsa sebab melalui pendidikan tercipta sumber daya manusia yang terdidik dan mampu menghadapi perkembangan zaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang. Dengan pendidikan manusia berusaha mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu perlu dilakukan peningkatan mutu pendidikan. Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu perlu dilakukan peningkatan mutu pendidikan. Negara Kesatuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada hakekatnya merupakan syarat mutlak bagi pengembangan sumber daya manusia dalam menuju masa depan yang lebih baik. Melalui pendidikan dapat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Dengan ilmu,

BAB I PENDAHULUAN. berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Dengan ilmu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia. Ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi siswa, sehingga yang

BAB I PENDAHULUAN. adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi siswa, sehingga yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi siswa, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan sehari-hari. Setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan diharapkan untuk selalu

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAMS GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPS KELAS IIIA SDN SEMBORO 01 JEMBER TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Kasmiati 10 Abstrak. Tujuan pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (PP No.19 tahun 2005). Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mampu memecahkan masalah di sekitar lingkungannya. menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. mampu memecahkan masalah di sekitar lingkungannya. menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan bangsa dan negara. Agar keberlangsungan bangsa dan negara dapat tercapai, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Pentingnya pendidikan, baik bersifat formal maupun non

Lebih terperinci

Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2

Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Pembelajaran Berbasis Kontekstual 2 Ada sesuatu yang salah dengan proses pendidikan Sebelum Sekolah 1. Anak lincah 2. Selalu belajar apa yang diinginkannya dengan gembira,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan dewasa ini semakin berkembang. Pendidikan disebut sebagai kunci dari kemajuan Negara. Pendidikan dapat meningkatkan pola pikir seseorang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan karena

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan tuntutan baru dalam masyarakat. Perubahan tersebut. terlebih jika dunia kerja tersebut bersifat global.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan tuntutan baru dalam masyarakat. Perubahan tersebut. terlebih jika dunia kerja tersebut bersifat global. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi persaingan dalam hal apapun dirasa semakin ketat. Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang keberadaannya tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dan komunikasi berkembang secara cepat seiring dengan globalisasi sehingga interaksi dan penyampaian informasi akan berkembang dengan cepat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum suatu lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menghadapi zaman globalisasi saat ini dengan persaingan yang semakin ketat, penguasaan sains dan teknologi adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Untuk maksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No. 20 pasal ke-3 (2003)

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang No. 20 pasal ke-3 (2003) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara yang maju adalah negara yang memiliki mutu pendidikan yang berkualitas. Dimana pendidikan merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan optimal sesuai dengan potensi pribadinya sehingga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan optimal sesuai dengan potensi pribadinya sehingga menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana pendidikan merupakan usaha sadar dan penuh tanggung jawab dari orang dewasa dalam membimbing, memimpin,

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. pendidikan nasional di Indonesia menyatakan bahwa: Pendidikan nasional

BAB I PEDAHULUAN. pendidikan nasional di Indonesia menyatakan bahwa: Pendidikan nasional BAB I PEDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas No. 20/2003 tentang tujuan pendidikan nasional di Indonesia menyatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam rangka menghadapi era kompetisi yang mengacu pada penguasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ferri Wiryawan, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ferri Wiryawan, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemajuan ilmu pengetahuan di abad 21 menuntut seorang individu untuk memiliki kemampuan berkompetensi yang sangat tinggi. Persaingan yang terjadi dilapangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar lahiriah seperti

BAB I PENDAHULUAN. ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar lahiriah seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berdasarkan pengamatan awal, ditemukan beberapa permasalahan yang terjadi selama pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di kelas IV A, yaitu rendahnya hasil belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa. Sasaran pendidikan adalah manusia, dengan tujuan menumbuhkembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional negara kita adalah pembangunan di bidang pendidikan. Pendidikan nasional sebagai salah satu sistem dari supra sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 (2003:4): Bahwa Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 (2003:4): Bahwa Undang-Undang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mensukseskan rencana pemerintah dalam membentuk manusia Indonesia yang bermoral dan berkualitas maka pengembangan dunia pendidikan sangat diperlukan. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sesuatu yang penting dan sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Di Indonesia masalah pendidikan menjadi hal yang paling utama yang mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya dalam bentuk pola pikir. Sebagai proses transformasi, sudah barang tentu

BAB I PENDAHULUAN. budaya dalam bentuk pola pikir. Sebagai proses transformasi, sudah barang tentu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses transformasi budaya dari generasi ke generasi berikutnya, baik yang berbentuk ilmu pengetahuan, nilai, moral maupun budaya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk watak serta

Lebih terperinci

JURNAL PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai Gelar S-1 Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

JURNAL PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai Gelar S-1 Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR PKn MELALUI PENERAPAN METODE ROLE PLAYING PADA SISWA KELAS V SDN 03 KARANGSARI KEC. JATIYOSO KAB. KARANGANYAR TAHUN PELAJARAN 2012/2013 JURNAL PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Kejuruan (SMK). Posisi SMK menurut UU Sistem Pendidikan. SMK yang berkarakter, terampil, dan cerdas.

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Kejuruan (SMK). Posisi SMK menurut UU Sistem Pendidikan. SMK yang berkarakter, terampil, dan cerdas. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia dapat ditempuh melalui tiga jalur, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Salah satu satuan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menuntut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menuntut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menuntut sumber daya manusaia yang berkualitas. Peningkatan sumber daya manusia juga merupakan syarat

Lebih terperinci