2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioprospeksi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioprospeksi"

Transkripsi

1 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioprospeksi Bioprospeksi didefinisikan sebagai pengambilan biota laut yang akan digunakan untuk proses penemuan, pengembangan dan jika memungkinkan, penyediaan bahan obat secara komersial (Hunt & Vincent 2006). Kajian bioprospeksi merupakan bagian dari penelitian penemuan dan pengembangan obat dari bahan alami laut dan bioprospeksi merupakan tahap awal dalam proses penemuan tersebut (Dewi et al. 2008). Bioprospeksi melibatkan pengambilan ribuan biota laut telah dikoleksi dari habitatnya untuk memenuhi harapan dapat menemukan substansi bioaktif baru dan mengembangkannya menjadi obat. Pengambilan awal biasanya bersifat luas dan spekulatif untuk memaksimalkan kemungkinan ditemukannya substansi bioaktif atau metabolit sekunder. Proses selanjutnya melibatkan proses ekstraksi dan maserasi untuk memperoleh ekstrak. Kemudian ekstrak yang diperoleh dari sekian banyak sampel bahkan ribuan diuji aktivitas biologisnya terhadap berbagai target penyakit menular atau kanker melalui uji in vitro untuk memperoleh sejumlah kecil sampel yang memiliki aktivitas biologis dan disebut sebagai hit. Untuk mengembangkan hit menjadi kandidat untuk uji pra-klinis atau disebut sebagai lead, ekstrak dianalisis lebih lanjut melalui proses fraksinasi, isolasi, dan kromatografi untuk penentuan struktur senyawa aktif. Proses ini dapat saja membutuhkan sekitar senyawa aktif untuk memperoleh satu lead (Hunt & Vincent 2006). Kunci utama bioprospeksi adalah menyediakan ribuan senyawa yang memiliki keunikan struktur kimia dan bioaktivitas (Kursar et al in Dewi et al. 2008). Secara umum, proses ini dapat terlihat pada Gambar 1. Hingga saat ini, sebagian besar sumber substansi bioaktif adalah metabolit sekunder yang berasal dari avertebrata laut yang bertubuh lunak dan menempel pada substrat (sessile), seperti Porifera (spons), Cnidaria (ubur-ubur, karang batu, karang lunak, anemone laut), dan Urochordata (ascidian). Hal ini disebabkan karena biota-biota tersebut relatif lebih mudah dikoleksi hanya dengan

2 8 menggunakan tangan pada saat penyelaman dari habitat dengan keanekaragaman yang tinggi, dangkal dan perairan yang hangat seperti terumbu karang (Hunt & Vincent 2006). Sampel-sampel Spons Ekstrak kasar Ekstraksi Analisa tidak diteruskan Tidak aktif Uji Aktivitas Sitotoksik Aktif Fraksinasi Analisa tidak diteruskan Tidak aktif Uji Aktivitas Sitotoksik Subfraksi Aktif Analisis Kromatografi Senyawa Murni Gambar 1 Gambaran umum tahap bioprospeksi yang ideal. Proses di atas disebut juga sebagai bioassay-guided fractionation atau fraksinasi dipandu uji bioaktivitas menggunakan sel lestari kanker atau pun biota lain seperti Artemia salina (brine shrimp lethality test atau BSLT). Proses utama

3 9 yang terlibat dalam proses ini adalah ekstraksi, fraksinasi dan kromatografi. Ekstraksi dilakukan dengan melakukan perendaman atau maserasi sampel biota laut di dalam larutan kimia seperti alkohol untuk memperoleh ekstrak kasar. Ekstraksi didefinisikan sebagai suatu metode pemisahan atau pengambilan secara selektif zat terlarut dari campuran yang didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan (Triyulianti 2009). Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode fase organik karena dalam prosesnya digunakan pelarut organik yaitu berupa alkohol teknis (96%) atau etanol. Fraksinasi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen organik dan ionik (larut dalam air) dalam suatu senyawa campuran menjadi dua fraksi berbeda (Parenrengi 1999 in Triyulianti 2009). Fraksinasi merupakan kegiatan awal pemurnian dalam tahapan isolasi dan melibatkan uji bioaktivitas untuk menentukan apakah ekstrak memiliki aktivitas atau tidak. Kromatografi adalah teknik analisis kimia bagi pemisahan komponen senyawa yang masih bercampur. Kromatografi analitik digunakan untuk menentukan identitas dan konsentrasi molekul pada suatu senyawa campuran, dimana pemisahan kromatografi dapat memurnikan sejumlah besar sampel molekul. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1987; Gritter et al. 1991). Tahap pengembangan, senyawa aktif lead memasuki standar uji pra-klinis dan klinis. Untuk menyiapkan uji ini, biasanya akan dibutuhkan bahan baku tambahan yaitu sampel biota laut. Proses pengambilan kembali (re-collection) sampel spesies yang merupakan kandidat atau lead (Hunt & Vincent 2006). Pada tahap kedua ini kuantitas sampel (per spesies) yang diambil akan lebih banyak daripada kuantitas sampel pada tahap pertama. Hal ini disebabkan: 1. sangat rendahnya konsentrasi alami senyawa aktif yang terkandung sehingga memungkinkan dilakukannya pengambilan sampel basah secara besar-besaran

4 10 untuk menjamin jumlah ekstrak pada proses pengembangan obat lanjutan (uji klinis) (Mendola 2003); 2. kompleksnya struktur kimia metabolit sekunder sehingga mempersulit industri farmasi dalam usahanya melakukan sintesis dan berpotensial tidak ekonomis (Faulkner 2000). Memasuki uji pra-klinis, senyawa aktif lead akan diuji melalui uji in vivo dengan menggunakan hewan dalam serangkaian tesnya. Sedangkan dalam uji klinis, senyawa aktif lead langsung diuji coba pada manusia. Biasanya satu dari 50 lead akan menghasilkan obat yang dapat dipasarkan (Hunt & Vincent 2006). Kedua proses baik penemuan maupun pengembangan membutuhkan waktu 15 tahun, diantaranya fase penelitian dan klinis membutuhkan waktu hingga 13 tahun ditambah fase akhir yang sifatnya administratif selama dua sampai tiga tahun (UNU-IAS Report 2005 in Dewi et al. 2008). Proses pengembangan obat baru sangat mahal dan membutuhkan dana sebesar 900 juta US dollar atau melebihi 1 miliar US dollar untuk menghasilkan suatu produk mulai dari konsep hingga ke pasar (Hunt & Vincent 2006; Lindberg 2006 in Dewi et al. 2008). 3.2 Biologi Spons Menurut Pechenik (2005), spons diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia atau hewan, subkingdom Metazoa, dan filum Porifera. Spons dimasukkan ke dalam filum Porifera dikarenakan seluruh tubuhnya yang berpori dimana dalam bahasa Latin Porifera berarti memiliki pori. Spons memiliki 3 pembagian dasar struktur tubuh, yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid. Sebagian besar spesies spons memiliki struktur tubuh leuconoid. Berdasarkan komposisi kimia dan morfologinya filum Porifera terbagi atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida. Namun saat ini telah diketahui kelas ke-4 dari filum ini, yaitu: Sclerospongia terdiri atas 16 spesies yang memiliki struktur leuconoid dan hanya terdapat di bagian gua-gua dan celah-celah terumbu karang yang gelap (Pechenik 2005). Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan di antara Porifera masa kini. Jenis ini tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun

5 11 organismenya sangat banyak. Umumnya berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar yang mengandung cambuk kecil yang berbentuk bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa spikulanya hanya terdiri dari serat spongin, serat kolagen atau tanpa spikula yaitu terdapat dalam famili Dictyoceratida, Dendroceratida, dan Verongida. Spons pada umumnya berwarna putih atau abu-abu, dan ada pula yang berwarna kuning, jingga, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut sebagai zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons pada umumnya adalah cyanophyta (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthellae). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980). Walaupun terlihat tidak memiliki pertahanan, spesies-spesies ini jarang dimakan oleh beberapa jenis ikan dan kepiting. Kenyataan inilah yang dijadikan acuan bahwa spesies-spesies tersebut memiliki semacam mekanisme pertahanan diri (Castro & Huber 2007). Sebagian besar spons laut yang bersifat sessile mengandung sistem imun yang primitif dan menghasilkan senyawa kimia yang bersifat toksik sebagai bentuk pertahanan dirinya. Beberapa senyawa ini memiliki aktivitas farmakologi karena interaksi mereka dengan reseptor dan enzim yang spesifik (Amador et al. 2003). Spons termasuk hewan filter feeder yang menyaring air yang memasuki tubuhnya melalui pori-pori kecil yang disebut sebagai ostia sebagai tempat masuknya air laut untuk bersirkulasi melalui sejumlah saluran atau kanal dimana partikel-partikel plankton dan organik akan dimakan dan disaring keluar kembali. Pori-pori tersebut dan sistem kanal tersebut berfungsi untuk menyaring air setiap 5 detik. Kanal-kanal tersebut adalah choanocytes yang merupakan lapisan sel

6 12 yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Partikel-partikel plankton dan organik tersebut di pompa masuk menuju ruang makan yang lebih besar yang disebut sebagai spongocoel. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994). Pada bagian atas tubuhnya terdapat kanal yang berfungsi sebagai tempat keluarnya air yang disebut osculum dengan jumlah yang lebih sedikit daripada ostia. Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekrutmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder. Dikatakan bahwa spons mengandung komunitas mikroba yang beragam dan kompleks, yang secara genetik berbeda dengan mikroba yang ditemukan di plankton dan sedimen laut (Fieseler et al in Sjögren 2006). Spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001) in Thakur & Müller (2004), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Ismet 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan, beberapa bakteri dan fungi diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Ismet 2007). Telah diketahui bahwa mikroba simbion spons memiliki peran menjaga kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Ismet 2007), beberapa spons hidup secara simbiosis dengan sianobakteria, yang berfungsi sebagai penyuplai nutrien melalui proses fotosintesis (Hoffmann et al in Sjögren 2006), menghambat mikroba patogen, serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar UV dan penghasil enzim antioksidan (Ismet 2007). Dugaan lain juga muncul bahwa mikroba yang

7 13 berasosiasi dengan spons inilah yang menjadi penghasil senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologis (Proksch 2003). Secara ekologis, spons yang mengalami tekanan evolusi yang intensif dari kompetitor, yang mengancam dengan mengungguli pertumbuhannya, meracuni, menginfeksi atau memangsa telah mempersenjatai dengan senjata kimia yang potensial. Kajian pada kimia ekologi spons berhasil mengungkap bahwa metabolit sekunder yang dikandung spons tidak hanya berperan pada beragam peran metabolisme tetapi juga dalam menghadapi lingkungan hidupnya (Thakur & Müller 2004). Spons bereproduksi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual, spons bereproduksi melalui proses fragmentasi atau dengan menghasilkan gemmules atau budding. Secara seksual, spons bereproduksi dengan menghasilkan sel telur dan sel sperma. Sebagian besar spesies spons bersifat hermafrodit dimana satu individu menghasilkan 2 jenis gamet (sel telur dan sel sperma) sekaligus. Proses pembuahan dan perkembangan awal embrio biasanya terjadi secara internal. Sebagian besar spons menahan embrionya yang sedang berkembang secara internal selama beberapa waktu, kemudian melepaskannya keluar melalui oscula sebagai larva yang berenang. Sedangkan sebagian kecil spons bersifat oviparous dimana sel telur yang baru dibuahi dilepaskan ke kolom air laut dan embrio akan berkembang secara eksternal. Larva spons biasanya tidak mampu untuk mencari makan dan berenang selama kurang dari 24 jam sebelum mengalami metamorfosis. Sebelum kehilangan kemampuannya untuk berenang, larva menempel pada suatu substrat. Selama proses metamorfosis lanjutan, sel-sel dari berbagai bagian embrio mengalami perpindahan dan perubahan menjadi spons dewasa secara besarbesaran (Pechenik 2005). 3.3 Produk Alami Laut dari Spons Pengertian produk alami laut merupakan salah satu cabang ilmu kimia yang membahas tentang senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam bahan alam laut baik dari tanaman atau hewan laut. Sebenarnya senyawa kimia yang biasa kita

8 14 jumpai seperti karbohidrat, lipid, vitamin dan asam nukleat termasuk bahan alam, namun ahli kimia memberikan arti yang lebih sempit tentang istilah bahan alam yakni senyawa kimia yang berkaitan dengan metabolit sekunder saja seperti alkaloid, terpenoid, golongan fenol, feromon dan sebagainya. Produk alami laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah diperoleh dalam jumlah yang besar dan barangkali dapat diubah menjadi bahan-bahan yang lebih berharga; (2) substansi bioaktif yang termasuk (a) senyawa antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologis (sinyal kimia), (c) senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; dan (3) racun laut (Ismet 2007). Metabolit terbagi atas dua tipe yaitu primer dan sekunder. Metabolit primer memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan kehidupan bagi semua makhluk hidup dan terbentuk melalui serangkaian reaksi metabolit yang terbatas. Metabolit primer berperan sebagai bahan penyusun dalam pembuatan makromolekul seperti protein, asam nukleat, karbohidrat dan lipid. Sedangkan metabolit sekunder tidak memiliki peran penting dalam kehidupan makhluk hidup dan terbentuk dari metabolit primer (Gudbjarnason 1999). Definisi metabolit sekunder yang berlaku secara luas yaitu senyawa yang terbentuk di dalam tubuh makhluk hidup tetapi tidak ikut berperan dalam proses metabolisme yang diperlukan dalam kehidupan dan perkembangan makhluk hidup (Hedner 2007). Kebanyakan metabolit sekunder berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan hidup suatu organisme dan dapat berfungsi, contohnya, sebagai senjata kimia untuk melawan bakteri, jamur, serangga dan hewan yang besar. Fungsi metabolit sekunder inilah yang dikatakan memiliki aktivitas biologis atau disebut juga sebagai substansi bioaktif. Sebagian besar produk alami yang menjadi perhatian industri farmasi adalah metabolit sekunder tetapi ada pula yang tertarik pada produk metabolit primer seperti beragam lipid laut, enzim dan heteropolisakarida yang kompleks (Gudbjarnason 1999). Karakteristik senyawa metabolit sekunder adalah (Ismet 2007): a. Masing-masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa organisme tertentu saja;

9 15 b. Metabolit sekunder bukanlah merupakan senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi; c. Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan organisme; d. Beberapa senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan organisme merupakan kelompok senyawa yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur); e. Beberapa organisme membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai metabolit sekundernya; f. Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat berbeda dengan metabolit primer; g. Produksi metabolit sekunder seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika terkait dengan produksi metabolit primer; h. Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil samping produk metabolit primer, atau disebut juga berasal dari beberapa produk intermedia yang terakumulasi selama metabolisme primer. Spons merupakan salah satu avertebrata laut yang memiliki kekayaan kandungan metabolit sekunder yang bersifat bioaktif. Dalam tinjauannya, Lee et al. (2001) menyajikan 89 spesies spons yang menghasilkan metabolit sekunder yang beragam. Spesies yang sama menghasilkan beberapa metabolit sekunder dan aktivitas biologis yang berbeda. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons laut memiliki golongan senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, poliketida dan lain-lain (Thakur & Müller 2004). Potensi biologis yang dimilikinya pun sangat beragam antara lain inhibitor enzim, inhibitor pembelahan sel, anti-virus, antifungi, antiparasit, insektisida, antimikroba, anti-inflamasi, antitumor, sitotoksik atau kardiovaskular. Spons yang kandungan metabolit sekundernya memiliki aktivitas biologis sitotoksik berjumlah 27 spesies, diantaranya berasal dari genus yang sama yaitu Haliclona, Jaspis, Petrosia, Spongia, dan Verongia. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Hingga tahun 2004 tercatat 16 senyawa metabolit sekunder yang bersumber dari spons layak memasuki tahap uji pra-klinis dan klinis. Senyawa-senyawa tersebut berhasil diisolasi dari 23 spesies spons dan diantaranya terdapat satu

10 16 metabolit sekunder yang diisolasi dari beberapa spons. Tahap uji yang dilakukan bervariasi dari uji sebagai obat anti asma, anti osteoarthritis, antikanker, antiinflamasi, anti malaria, anti TB (tuberculosis), dan lain-lain. Bahkan beberapa metabolit sekunder telah memperoleh ijin untuk dijadikan bahan pengembangan obat oleh beberapa perusahaan farmasi. Salah satu metabolit sekunder, yaitu Manzamin A, diperoleh dari spons Haliclona sp. yang diperoleh di perairan Indonesia. Selengkapnya daftar tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Metabolit sekunder yang paling menonjol diisolasi dari spons adalah halichondrin B. Halichondrin B adalah senyawa polieter dan merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder paling aktif diantara senyawa halichondrin B yang lain. Senyawa halichondrin B yang lain adalah isohomohalichondrin B dan homohalichondrin B. Isolasi halichondrin B pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 1986 dari spons Halichondria okadai. Metabolit ini juga pernah diisolasi dari beberapa spons yang hidup di wilayah Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, spesies spons tersebut antara lain Axinella sp. di Pasifik Barat, Phakellia carteri di Samudera Hindia bagian timur dan Lissodendoryx sp. di lautan dalam lepas Pantai Timur di South Island, Selandia Baru (Newman & Cragg 2004). Beberapa peneliti Indonesia juga telah melakukan isolasi dan identifikasi struktur senyawa metabolit sekunder dari spons di perairan Indonesia. Senyawa antioksidan berhasil diidentifikasi dari spons Callyspongia sp. asal Kepulauan Seribu (Hanani et al. 2005). Handayani et al. (2006) melaporkan spons laut Axinella carteri Dendy asal Pulau Babi, Sumatera Barat memiliki potensi sebagai larvasida. Gabungan 7 (tujuh) senyawa toksik berhasil diidentifikasi dari ekstrak spons laut yang berasal dari perairan Gili Sulat, Lombok (Swantara et al. 2007). Setyowati et al. (2007) telah berhasil mengisolasi senyawa bersifat sitotoksik terhadap sel lestari tumor myeloma dari ekstrak spons Kaliapsis sp. asal Pulau Menjangan, Bali Barat. Senyawa antibakteri pun telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari ekstrak spons Petrosia nigrans asal Pulau Babi, Sumatera Selatan (Handayani et al. 2008). Dan yang terkini adalah aktivitas antibakteri dan

11 17 toksisitas ekstrak metanol spons Geodia sp. asal Pantai Wediombo, Yogyakarta (Isnansetyo et al. 2009). 2.4 Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ± Ha ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002, terdiri dari 4 (empat) pulau besar (P. Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia dan P. Binongko) yang terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas masingmasing pulau tersebut adalah Pulau Wangi-wangi (156,5 km 2 ), Pulau Kaledupa (64,8 km 2 ), Pulau Tomia (52,4 km 2 ), dan Pulau Binongko (98,7 km 2 ) (Dirjen PHKA Dephut 2007). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lokasi pengambilan di perairan Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga. Berdasarkan Permenhut Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tanggal 29 Agustus 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kedua lokasi pengambilan sampel termasuk kedalam zona pemanfaatan (Dirjen PHKA Dephut 2007). Gambaran umum pulau-pulau tempat diambilnya dua sampel spons yang digunakan dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut (CRITC COREMAP II-LIPI 2007; Rudianto & Santoso 2008): 1. P. Wangi-wangi, bagian selatan bertopografi datar hingga curam. Pulau ini memiliki luas 156,5 km 2, berbentuk memanjang kearah barat laut dengan lebar sekitar 14,36 km dan panjang 16,09 km. pada rataan pulau ini sendiri terdiri dari beberapa pulau antara lain Pulau Kapota, Pulau Oroho, dan Pulau Sumanga. Rataan terumbu cenderung melebar ke arah timur dan selatan

12 18 dengan panjang sekitar 250 m 1,5 km. Pulau Wangi-wangi mempunyai profil yang hampir sama dengan pulau-pulau di sekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu lebar dengan dasar perairan karang mati dan pasir lumpuran. Kedalaman perairannya berkisar m. Lereng terumbu mempunyai kemiringan antara o dengan pertumbuhan karang hidup yang tidak begitu rapat sampai kedalaman 40 meter. Kecepatan arus perairan P. Wangi-Wangi 0,09 0,6 m/detik. Musim timur gelombang sangat kuat dipengaruhi angin Laut Banda, sedang musim barat tidak terlalu besar karena terhalang P. Buton. 2. P. Hoga, pulau ini merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam gugusan pulau dalam rataan terumbu Pulau Kaledupa dan berada di sebelah timur Pulau Kaledupa. Perairan Pulau Hoga bagian selatan telah ditetapkan sebagai daerah perlindungan (no fishing zone) oleh masyarakat. Secara geografis, Pulau Hoga memiliki kemiripan dengan Pulau Wangi-wangi, perairan bagian timurnya dipengaruhi langsung oleh Laut Banda dan sebelah baratnya terlindungi oleh Pulau Kaledupa.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar perairan kawasan timur Indonesia terletak di pusat keanekaragaman hayati ekosistem segitiga terumbu karang atau coral triangle. Batas coral triangle meliputi

Lebih terperinci

KAJIAN BIOPROSPEKSI SPONS LAUT ASAL TAMAN NASIONAL KEPULAUAN WAKATOBI DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA ENDAR MARRASKURANTO

KAJIAN BIOPROSPEKSI SPONS LAUT ASAL TAMAN NASIONAL KEPULAUAN WAKATOBI DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA ENDAR MARRASKURANTO KAJIAN BIOPROSPEKSI SPONS LAUT ASAL TAMAN NASIONAL KEPULAUAN WAKATOBI DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA ENDAR MARRASKURANTO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertiga bagian wilayahnya berupa lautan sehingga memiliki sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. pertiga bagian wilayahnya berupa lautan sehingga memiliki sumber daya alam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar dengan dua pertiga bagian wilayahnya berupa lautan sehingga memiliki sumber daya alam hayati laut yang sangat

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masih tingginya angka kematian akibat kanker. Lebih detail, jenis kanker serviks

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masih tingginya angka kematian akibat kanker. Lebih detail, jenis kanker serviks 36 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sampai saat ini penyakit kanker masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, baik di Indonesia maupun di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai negara kepulauan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai negara kepulauan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu wilayah yang dikenal sebagai negara kepulauan dan terletak di kawasan tropis dengan jumlah pulau ± 17.508. Kondisi Indonesia seperti

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Indonesia penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Indonesia penyakit kanker menduduki urutan ke-3 penyebab kematian sesudah 39 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka dan Konsep Penelitian Kanker merupakan penyebab kematian utama kedua (untuk semua umur) di Amerika Serikat. Hampir 1 juta individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. senyawa bioaktif yang tidak ditemukan dalam produk alami terrestrial (Jimeno,

BAB I PENDAHULUAN. senyawa bioaktif yang tidak ditemukan dalam produk alami terrestrial (Jimeno, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan laut merupakan reservoir yang luar biasa sebagai penghasil senyawa bioaktif yang tidak ditemukan dalam produk alami terrestrial (Jimeno, 2002). Lautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah bagian dari wilayah Indopasifik dan merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut sangat luas. Dua pertiga wilayah Indonesia merupakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memilki garis pantai sepanjang lebih kurang km dengan wilayah laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memilki garis pantai sepanjang lebih kurang km dengan wilayah laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memilki garis pantai sepanjang lebih kurang 81.000 km dengan wilayah laut yang sangat luas. Hal ini menjadikan perairan Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beragam sebagai mekanisme pertahanan terhadap predator lain (Grosso et al,

I. PENDAHULUAN. beragam sebagai mekanisme pertahanan terhadap predator lain (Grosso et al, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem laut meliputi lebih dari 70% permukaan bumi, habitat ini ditempati oleh berbagai organisme laut yang menghasilkan metabolit yang beragam sebagai mekanisme pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas Ascidiacea, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam

2. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas Ascidiacea, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ascidian Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam Kelas Ascidiacea, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam Subfilum Urochordata dari Filum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) yang dimiliki perairan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) yang dimiliki perairan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Keanekaragaman hayati (mega-biodiversity) yang dimiliki perairan Indonesia sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam banyak hal, di antaranya adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang luas melebihi wilayah daratannya, kurang lebih 70 % wilayah Indonesia adalah laut. Luasnya laut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai makhluk hidup terus dilakukan. Hal ini disebabkan penyalahgunaan

I. PENDAHULUAN. berbagai makhluk hidup terus dilakukan. Hal ini disebabkan penyalahgunaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencarian senyawa bioaktif yang memiliki kemampuan antibiotik dari berbagai makhluk hidup terus dilakukan. Hal ini disebabkan penyalahgunaan antibiotik menimbulkan resistensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan bermacam jenis spesies

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan bermacam jenis spesies I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan bermacam jenis spesies tumbuh-tumbuhan. Kekayaan hayati ini merupakan sumber yang potensial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi wilayah perairan yang luas, memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan dua pertiga wilayahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara maritim dikarenakan banyaknya gugus pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara maritim dikarenakan banyaknya gugus pulau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara maritim dikarenakan banyaknya gugus pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Jumlah pulau di Indonesia mencapai ± 17.508 dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang 70% alamnya merupakan perairan yang terdiri dari rawa, sungai, danau, telaga, sawah, tambak, dan laut. Kekayaan alam ini sangat potensial

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati. Letak Indonesia yang dilewati oleh garis katulistiwa berpengaruh langsung terhadap kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati

HASIL. Kadar Air Daun Anggrek Merpati 6 konsentrasi yang digunakan. Nilai x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva udang. Ekstrak dinyatakan aktif apabila nilai LC50 lebih kecil dai 1000 μg/ml.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia telah mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya penyembuhan berbagai penyakit, jauh sebelum pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah pantai terpanjang dan

I. PENDAHULUAN. alam. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah pantai terpanjang dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang subur dan kaya akan sumberdaya alam. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah pantai terpanjang dan terluas di dunia, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagian besar bumi ditutupi oleh badan perairan. Keberadaan perairan ini sangat penting bagi semua makhluk hidup, karena air merupakan media bagi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mikroorganisme terdapat dimana-mana, seperti di dalam tanah, atmosfer, dari puncak gunung dan di dasar lautpun mungkin dijumpai.

BAB I PENDAHULUAN. Mikroorganisme terdapat dimana-mana, seperti di dalam tanah, atmosfer, dari puncak gunung dan di dasar lautpun mungkin dijumpai. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mikroorganisme terdapat dimana-mana, seperti di dalam tanah, lingkungan akuatik, atmosfer, dibawa arus udara dari permukaan bumi ke lapisan atmosfer, dari puncak gunung

Lebih terperinci

Adina Rizka Amalia. Hafizhuddin Wafi. Annisa Putri Ningsih FILLUM PORIFERA. Nurul Hasna K. Bunga Amalia. Ulya Amalia

Adina Rizka Amalia. Hafizhuddin Wafi. Annisa Putri Ningsih FILLUM PORIFERA. Nurul Hasna K. Bunga Amalia. Ulya Amalia Adina Rizka Amalia Hafizhuddin Wafi Annisa Putri Ningsih Nurul Hasna K Bunga Amalia Ulya Amalia FILLUM PORIFERA Istilah porifera berasal dari bahasa latin, yaitu Pori yang artinya lubang dan Fere yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH)

BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) BIOAKTIVITAS EKSTRAK METANOL DAN FRAKSI N-HEKSANA DAUN SUNGKAI (PERONEMA CANESCENS JACK) TERHADAP LARVA UDANG (ARTEMIA SALINA LEACH) Islamudin Ahmad dan Arsyik Ibrahim Laboratorium Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terdiri atas penyakit bakterial dan mikotik. Contoh penyakit bakterial yaitu

PENDAHULUAN. terdiri atas penyakit bakterial dan mikotik. Contoh penyakit bakterial yaitu PENDAHULUAN Latar Belakang Indikator keberhasilan dalam usaha budidaya ikan adalah kondisi kesehatan ikan. Oleh karena itu masalah penyakit merupakan masalah yang sangat penting untuk ditangani secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki diversitas mikroorganisme dengan potensi yang tinggi namun belum semua potensi tersebut terungkap. Baru

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

SKRINING AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK DAN FRAKSI BEBERAPA JENIS SPON LAUT ASAL PULAU MANDEH SUMATERA BARAT

SKRINING AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK DAN FRAKSI BEBERAPA JENIS SPON LAUT ASAL PULAU MANDEH SUMATERA BARAT SKRINING AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK DAN FRAKSI BEBERAPA JENIS SPON LAUT ASAL PULAU MANDEH SUMATERA BARAT 1 Noveri Rahmawati, 2 Dian Handayani, 1 Nofri Mulyanti 1 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Riau Pekanbaru

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini, jumlah penderita kanker di Indonesia belum diketahui secara pasti, tetapi peningkatannya dari tahun ke tahun dapat dibuktikan sebagai salah satu penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup serta perbedaan-perbedaannya. Allah SWT menerangkan. dirasakan, dan dipikirkan oleh manusia. 1

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup serta perbedaan-perbedaannya. Allah SWT menerangkan. dirasakan, dan dipikirkan oleh manusia. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya baik keanekaragaman tumbuhan, maupun keanekaragaman hewan. Alqur an juga menyebutkan bahwa di

Lebih terperinci

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia terletak di daerah tropis dan sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi terhadap manusia. Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit, mikroorganisme

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

Apakah terumbu karang?

Apakah terumbu karang? {jcomments on} Apakah terumbu karang? Terumbu Karang adalah bangunan ribuan karang yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Bayangkanlah terumbu karang sebagai sebuah kota yang

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya hayati perairan laut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN PORIFERA DI ZONA SUB LITORAL GAMPONG RINON PULO BREUEH KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR SEBAGAI MATERI AJAR KINGDOM ANIMALIA

KEANEKARAGAMAN PORIFERA DI ZONA SUB LITORAL GAMPONG RINON PULO BREUEH KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR SEBAGAI MATERI AJAR KINGDOM ANIMALIA KEANEKARAGAMAN PORIFERA DI ZONA SUB LITORAL GAMPONG RINON PULO BREUEH KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR SEBAGAI MATERI AJAR KINGDOM ANIMALIA Zakiyul Fuad, S.Pd Alumni Program Studi Pendidikan Biologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman akan alamnya. Keanekaragaman alam tersebut meliputi tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Negara berkembang termasuk indonesia banyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seluas seluas hektar dan perairan kolam seluas hektar (Cahyono,

I. PENDAHULUAN. seluas seluas hektar dan perairan kolam seluas hektar (Cahyono, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki perairan tawar yang sangat luas dan potensial besar untuk usaha budidaya yang meliputi perairan umum seluas 141.690 hektar, sawah seluas seluas 88.500

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

aktivitas enzim antioksidan, yaitu superoxide dismutase (SOD), katalase

aktivitas enzim antioksidan, yaitu superoxide dismutase (SOD), katalase 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha memperoleh komponen aktif dari suatu organisme untuk mengatasi penyakit telah dimulai sejak tahun 1970 dan mengalami kemajuan yang pesat lebih dari tiga dasawarsa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Fraksinasi Sampel buah mahkota dewa yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paku di dunia (Jones dan Luchsinger, 1987; Sastrapradja, 1980 dalam Susilawati,

BAB I PENDAHULUAN. paku di dunia (Jones dan Luchsinger, 1987; Sastrapradja, 1980 dalam Susilawati, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu divisi tumbuhan yang menjadi kekayaan sumber daya alam Indonesia. Diperkirakan terdapat 1.300 spesies yang tumbuh di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu hasil laut komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 10 komoditas unggulan budidaya,

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO

TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO TOKSISITAS EKSTRAK ETANOL KULIT UMBI KETELA GENDRUWO (Manihot utilissima Pohl) DENGAN BRINE SHRIMP LETHALITY TEST Susan Retnowati, 2011 Pembimbing : (I) Sajekti Palupi, (II) Elisawati Wonohadi ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. 1993). Yang dimaksud dengan hama ialah semua binatang yang mengganggu dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kerusakan tanaman akibat serangan hama menjadi bagian budidaya pertanian sejak manusia mengusahakan pertanian ribuan tahun yang lalu. Mula-mula manusia membunuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah alga cokelat yang kaya akan komponen bioaktif. Selama beberapa dekade

I. PENDAHULUAN. adalah alga cokelat yang kaya akan komponen bioaktif. Selama beberapa dekade 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kawasan pesisir dan lautan luas dengan berbagai sumber daya hayati. Salah satu potensi sumber daya laut Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekuator, memiliki iklim tropis dan curah hujan yang tinggi mendukung berbagai

BAB I PENDAHULUAN. ekuator, memiliki iklim tropis dan curah hujan yang tinggi mendukung berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang sangat kaya akan sumber daya alam, baik sumber daya alam hayati maupun sumber daya alam non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Flora mulut pada manusia terdapat berbagai mikroorganisme seperti jamur, virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam rongga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mikroorganisme banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari seperti pada udara, tanah, air dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari mikroorganisme itu bisa merugikan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di atas permukaan air dan hidupnya selalu terbawa oleh arus, plankton digunakan sebagai pakan alami

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. artinya tumbuhan yang menempel pada tumbuhan lain, tetapi tidak hidup secara

BAB I PENDAHULUAN. artinya tumbuhan yang menempel pada tumbuhan lain, tetapi tidak hidup secara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sarang semut merupakan salah satu tumbuhan epifit dari Hydnophytinae (Rubiaceae) yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini meskipun bersifat epifit, artinya tumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci