MP3EI DAN PEMBANGUNAN KOMPETENSI INTI INDUSTRI DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN DAYA SAING NEGARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MP3EI DAN PEMBANGUNAN KOMPETENSI INTI INDUSTRI DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN DAYA SAING NEGARA"

Transkripsi

1 Fokus MP3EI DAN PEMBANGUNAN KOMPETENSI INTI INDUSTRI DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN DAYA SAING NEGARA Oleh: Dr. Ir. Agus Maulana, MSM Volume 18 No. 2, Desember

2 Pada 20 Mei 2011 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) no 32 tahun 2011 yang selanjutnya dikenal sebagai MP3EI (Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia ). Dokumen ini menjadi bagian yang terintegrasi dengan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) dan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) ). MP3EI disusun dalam rangka memenuhi tuntutan untuk mempercepat transformasi ekonomi nasional. Meskipun memang patut dipertanyakan mengapa dokumen ini menggunakan bahasa asing (Master Plan) dan bukan, misalnya: Rencana Induk, pokok-pokok yang terkandung di dalamnya, khususnya yang menyangkut perubahan pola pikir dalam mentransformasi ekonomi Indonesia, layak menjadi pedoman bagi sektor-sektor perekonmian Indonesia. Sesuai penjelasan dalam Perpres tersebut, MP3EI disusun untuk memberi arah pembangunan ekonomi hingga tahun 2025, dengan visi Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur. Dalam Perpres tersebut juga ditegaskan bahwa pembangunan manusia Indonesia sebagai bangsa maju tidak hanya dilakukan melalui peningkatan pendapatan dan daya-beli masyarakat semata, melainkan harus dibarengi dengan membaiknya pemerataan dan kualitas hidup seluruh bangsa. MP3EI diharapkan menjadi acuan kebijakan sektoral bagi semua lembaga pemerintahan baik kementerian maupun lembaga lain yang harus tertuang dalam rencana strategik masing-masing lembaga, dan juga menjadi acuan bagi kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Melalui MP3EI diharapkan terjadi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi yang akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita USD, dan nilai total PDB sebesar 4,0 4,5 triliun USD. Untuk mencapai sasaran ini diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 7,5% per tahun pada periode , dan 8,0 9,0% pada periode Bersamaan dengan itu, laju inflasi harus diturunkan dari 6,5% ( ) menjadi 3,0% pada (MP3EI, 2011) Visi dan sasaran-sasaran di atas akan diwujudkan melalui tiga misi sebagai fokus utama MP3EI yaitu: peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai produksi dan distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) sumber daya alam (SDA), geografis wilayah, dan sumber daya manusia, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam dan antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produk, proses, dan pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan menuju innovation-diriven economy (ekonomi berbasis inovasi). Dari ketiga fokus utama MP3EI tampak jelas bahwa ada keinginan kuat dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing negara berkelanjutan di tingkat global melalui pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dengan mendorong pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menuju kepada perekonomian berbasis inovasi. Ini berarti bahwa sektor industri pengolahan yang menghasilkan produkproduk inovatif bernilai-tambah tinggi merupakan salah satu kunci terciptanya daya saing negara yang tinggi. Dapatlah dikatakan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia di masa-masa mendatang haruslah ditujukan untuk membangun daya saing negara berkelanjutan yang ditumpukan pada kualitas SDM, karena pada dasarnya pembangunan daya saing negara haruslah ditumpukan pada kompetensi dan kemampuan inovatif SDM. 36 Volume 18 No. 2, Desember 2013

3 Fokus Tulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan tentang peran pembangunan kompetensi inti daerah dalam membangun daya saing negara sesuai dengan yang diamanatkan oleh MP3EI. Tulisan ini banyak didasarkan pada pengalaman penulis ketika mendapat kepercayaan dari Kementerian Perindustrian untuk menjadi salah satu anggota tim yang mengkaji kompetensi inti industri daerah. Daya Saing Negara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan daya-saing sebagai kemampuan makhluk hidup untuk dapat tumbuh (berkembang) secara normal di antara makhluk hidup lainnya sebagai pesaing di satu habitat (di satu bidang usaha dan sebagainya). Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa organisasi atau perusahaan atau juga negara harus memiliki daya-saing untuk dapat tumbuh secara normal di tengah-tengah beragam organisasi/perusahaan/negara sejenis yang juga perlu hidup. Porter dalam presentasinya di depan Thailand Competitiveness Institute (TCI) tahun 2003 mendefinisikan daya saing sebagai hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan. Dapat disimpulkan bahwa jika suatu bangsa/negara ingin memiliki daya-saing, maka produktivitas negara tersebut harus selalu ditingkatkan secara berkelanjutan. Seperti diketahui, produktivitas adalah tingkat kemampuan menghasilkan sesuatu (output) dengan jumlah input tertentu. World Economic Forum (WEF), badan yang setiap tahun mengeluarkan daftar peringkat daya-saing negara-negara di dunia mendefinisikan daya-saing sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuhan PDB/kapita secara berkelanjutan. Sementara Competitiveness Advisory Group (CAG) menyatakan bahwa daya-saing harus dilihat sebagai suatu cara dasar untuk meningkatkan standar hidup, menyediakan kesempatan kerja bagi yang menganggur dan menurunkan angka kemiskinan. Daya-saing mengandung bukan hanya elemen produktivitas, melainkan juga efisiensi dan profitabilitas. Lebih lanjut CAG menegaskan bahwa daya-saing bukanlah tujuan, melainkan alat atau cara untuk mencapai peningkatan standar hidup dan kesejahteraan sosial. Artinya, setiap negara harus menyadari bahwa upaya meraih dayasaing yang tinggi hanyalah cara untuk menyejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, daya-saing negara pada akhirnya haruslah ditumpukan pada daya-saing individu yang bersinergi hingga mewujudkan daya-saing negara (nasional). Pemerintah Indonesia sangat menyadari perlunya bangsa ini membangun daya-saing, karenanya Wakil Presiden RI menegaskan bahwa pada saat ini pemerintah telah menerapkan tiga pilar strategi yang ditujukan untuk meningkatkan daya-saing dan memperbanyak jumlah industri di Indonesia. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia harus mampu mengembangkan industri pengolahan sehingga kekayaan sumber daya alam dapat dimanfaatkan seefisien mungkin. Ketiga pilar yang dikemukakan Wakil Presiden adalah: 1. Indonesia tidak lagi menjual bahan mentah ke pasaran dunia. Strategi ini dilanjutkan dengan program hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah. 2. Menumbuhkan industri dalam negeri agar terjadi pemerataan dan penciptaan lapangan kerja baru. 3. Menjadi bagian dari rantai pasok global. Strategi ini mendorong Indonesia untuk selalu mengidentifikasi pada titik-titik mana saja dalam rantai-nilai industri Indonesia perlu meningkatkan daya-saingnya. Volume 18 No. 2, Desember

4 Selaras dengan MP3EI, Kementerian Perindustrian yang bertanggungjawab membina industri di Indonesia juga telah mencanangkan keinginan untuk menyebarkan lokasi industri ke luar Pulau Jawa agar terjadi pemerataan kesempatan kerja serta terjadi proses alih-keterampilan dan teknologi ke daerahdaerah di luar Jawa. Disadari bahwa strategi yang diterapkan ini sangat membutuhkan ketersediaan SDM yang berkualitas serta kreatif. (Renstra Kementerian Perindustrian , 2010) Di masa yang lalu, demi meningkatkan kesempatan kerja pemerintah mempunyai strategi mengutamakan industri-industri padat-karya (industri yang menyerap banyak tenaga kerja). Akibatnya tumbuhlah banyak industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja tidak terampil dengan upah yang rendah. Di satu pihak situasi ini sangat menguntungkan karena dengan tersedianya lapangan kerja, berbagai potensi gejolak sosial dapat dicegah. Di pihak lain, situasi ini telah mengakibatkan tertekannya upah buruh karena tenaga kerja yang diperlukan adalah tenaga kerja tidak terampil yang bersedia diberi upah rendah. Nilai tambah yang dihasilkan industri lebih banyak jatuh ke tangan para pemilik modal yang mampu menjual produk mereka dengan harga yang bagus di pasar mancanegara, sementara para pemilik modal ini dapat menekan biaya produksi melalui penekanan upah buruh. Di era perekonomian terbuka saat ini, strategi upah murah tidak lagi efektif. Banyak negara lain, khususnya negara berkembang yang juga menawarkan upah murah dengan tingkat produktivitas buruh yang lebih tinggi. Akibatnya Indonesia menjadi kalah bersaing dalam menarik investasi asing. Sejalan dengan pernyataan CAG tentang daya-saing yang menegaskan bahwa daya-saing mengandung tiga elemen, yaitu produktivitas, efisiensi, dan profitabilitas, sudah selayaknya Indonesia tidak lagi mengutamakan upah rendah untuk menumbuhkan industri. Indonesia harus mulai mencari keselarasan di antara ketiga elemen tersebut. Salah satu pendekatan yang sekarang banyak digunakan adalah pendekatan nilai-tambah. Pendekatan ini tidak lagi terlalu menekankan pada biaya-rendah, melainkan lebih pada penyampaian nilai kepada pelanggan. Fokus pendekatan ini bukan lagi pada biaya yang rendah melainkan pada nilai tambah yang dihasilkan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendekatan ini bersedia mengeluarkan biaya yang lebih tinggi asalkan hasil yang diperoleh jauh lebih tinggi (secara relatif). Nilai tambah yang tinggi salah satunya dapat diperoleh melalui proses kreatif (daya cipta) dari manusia yang terlibat dalam proses produksi. Dapat dipahami dengan jelas bahwa sasaran pencapaian pendapatan per kapita serta PDB yang tercantum dalam MP3EI salah satunya bergantung pada keberhasilan Indonesia membangun kompetensi dan kreativitas sumber daya manusianya. 38 Volume 18 No. 2, Desember 2013

5 Fokus Membangun Daya Saing Pembangunan Kompetensi Inti Negara Melalui Para pakar manajemen strategik berpendapat bahwa setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan perusahaan (ataupun negara) untuk mencapai daya saing yang tinggi. Pendekatan pertama dikenal sebagai pendekatan berbasis pasar (market-based view) yang menyatakan bahwa untuk memiliki daya saing yang kuat suatu negara haruslah mengawalinya dengan melihat lingkungan utama pasarnya terlebih dahulu. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa tidak ada strategi yang berhasil tanpa mendasarkannya pada pemenuhan kebutuhan pasar yang ada sekarang. Pendekatan berbasis pasar ini sering diasosiasikan dengan pemikiran Michael Porter (1980) yang terkenal dengan model Five Competitive Forces. Pendekatan kedua berpendapat bahwa daya saing yang tinggi bersumber pada kemampuan menciptakan inovasi di masa depan melalui pendaya-gunaan sumber daya guna membangun kompetensi inti (Hamel dan Prahalad, 1994). Konsep kompetensi inti mulai mendapat perhatian peneliti manajemen sejak Hamel dan Prahalad menulis artikel The Core Competence of Corporation pada tahun Artikel ini selanjutnya dikembangkan menjadi sebuah buku berjudul Competing for the Future yang secara umum menyatakan bahwa untuk dapat bersaing di masa depan suatu perusahaan (dan juga negara) harus mampu menguasai kompetensi yang vital bagi keberhasilan perusahaan (negara) tersebut. Hamel dan Prahalad terinspirasi oleh keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang yang saat itu dapat mengatasi pesaing-pesaing dari Amerika Serikat. Hamel dan Prahalad melihat bahwa keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang bukanlah sekadar karena perusahaan-perusahaan tersebut mampu memenuhi kebutuhan pasar yang mereka layani, melainkan, yang lebih penting lagi, perusahaanperusahaan ini mampu mengidentifikasi kompetensi inti mereka dan memanfaatkan kompetensi tersebut untuk menghasilkan beragam produk yang sebelumnya bahkan tidak pernah terbayangkan oleh pasar (konsumen). Hamel dan Prahalad mendefinisikan kompetensi inti sebagai berikut: Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumber daya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis. Kemampuan yang berjalan sendiri-sendiri tidak dapat optimal mendukung kemampuan bersaing. Hasil pembelajaran kolektif khususnya mengenai bagaimana mengkoordinasikan kemampuan produksi yang bermacam-macam dan mengintegrasikannya dengan arus teknologi yang berkembang. Barney mengemukakan bahwa sumber daya dan kapabilitas penting bagi daya saing apabila bernilai bagi pasar, langka dan sulit ditiru pesaing. Kompetensi inti juga dapat disarikan menjadi kumpulan keahlian, pengetahuan dan teknologi yang vital bagi bisnis. (Hitt, Ireland, Hoskisson, 2001) Reve mendefinisikan kompetensi inti sebagai aset yang memiliki keunikan tinggi sehingga berbeda dengan aset yang dimiliki daerah lainnya dan sulit ditiru. Keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti. (Hitt, Ireland, Hoskisson, 2001) Volume Volume No. No. 2, 2, Desember Desember

6 Kotler (2003) mengemukakan tiga syarat dari kompetensi inti yaitu : Kompetensi inti merupakan sumber keunggulan bersaing yang dapat dikembangkan untuk menghadapi persaingan di tingkat global. Kompetensi inti hendaknya memberi kontribusi besar dalam memberi manfaat bagi pengguna produk yang akan dihasilkan. Kompetensi inti berpotensi untuk diaplikasikan di berbagai pasar baik pasar lokal, domestik, maupun internasional. Pengembangan kompetensi inti hendaknya membuka peluang untuk menghasilkan beragam produk yang bernilai bagi pasar. Kompetensi inti haruslah sulit ditiru pesaing karena merupakan kemampuan khas yang dimiliki oleh organisasi dan sesuai dengan karakteristik khas organisasi. Konsep kompetensi inti pada dasarnya merupakan hasil dari pembelajaran kolektif yang berlangsung lama dalam organisasi untuk mengkoordinasikan kemampuan produksi yang beragam dan mengintegrasikannya dengan teknologi yang beragam secara optimal. Apabila konsep komptensi inti ini diaplikasikan untuk skala daerah maka terdapat tiga masalah utama yang berhubungan dengan kompetensi inti : Penciptaan kompetensi inti muncul setelah melalui proses kewirausahaan atau kemampuan inovasi yang berjalan secara kumulatif, karenanya teori dan aplikasi kewirausahaan dan inovasi perlu dikuasai dengan baik oleh para pengelola perusahaan. Apabila konsep kompetensi inti ini diaplikasikan untuk tingkat negara atau bagian dari suatu negara (provinsi atau daerah tingkat dua), khususnya Indonesia, permasalahannya adalah kualitas sumber daya di beberapa daerah tidak merata. Proses penguasaan kemampuan oleh pengusaha lokal harus didukung oleh berbagai pihak khususnya pemerintah daerah dan tentu saja, pemerintah pusat. Upaya-upaya yang dilakukan dalam membangun kompetensi inti hendaknya tidak mengabaikan keunggulan komparatif yang sudah dimiliki daerah. Seyogyanya pembangunan kompetensi inti didasarkan pada keunggulan komparatif yang ada. Upaya ini harus dilakukan oleh segenap komponen masyarakat dan pemerintahan sekaligus juga kalangan pengusaha di daerah. Diperlukan perencanaan yang komprehensif khususnya menyangkut perubahan sikap dan perilaku pelaku usaha dan masyarakat terhadap pentingnya pembangunan kompetensi inti bagi peningkatan daya saing daerah. Konsep Saka-sakti untuk Membangun Daya Saing Negara Huseini (1999) mengemukakan gagasan pembangunan daya saing negara yang ditumpukan pada daya saing daerah. Huseini berpendapat bahwa sesuai dengan implementasi otonomi daerah di Indonesia maka seyogyanya daya saing negara dibangun melalui pembangunan daya saing daerah tingkat dua (kabupaten/kota) yang merupakan daerah otonom. Usul ini dikemukakan karena Huseini beranggapan bahwa agar pembangunan daya saing dapat berjalan dengan baik, pihak yang membangun haruslah mempunyai otoritas yang memadai. Untuk membangun daya saing daerah, Huseini mengusulkan pembangunan kompetensi inti daerah yang bersangkutan. Pengembangan kompetensi inti daerah haruslah terfokus sehingga sumber daya fisik dan non fisik di daerah tersebut dapat dioptimalkan untuk mengembangkan kompetensi inti daerah. 40 Volume 18 No. 2, Desember 2013

7 Fokus Huseini (1999) selanjutnya memperkenalkan konsep Saka-Sakti yang merupakan kependekan dari Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti. Pada dasarnya Huseini menegaskan bahwa suatu daerah hendaknya dapat memusatkan sumber daya fisik dan non-fisik yang dimiliki untuk membangun satu kompetensi inti yang bersifat khas daerah tersebut dan selanjutnya membangun daya saing berbasis kompetensi inti tersebut. Konsep ini dikembangkan dengan memperhatikan: Pemberdayaan para pelaku ekonomi di daerah dengan menggali potensi dasar sumber daya saing yang sudah ditetapkan sebagai kompetensi inti, baik yang bersifat tangibles, intangibles, maupun very intangibles. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan kualitas aparat pemerintah yang berhubungan dengan pelaku usaha. Pelaku usaha daerah dapat diberdayakan melalui bantuan modal usaha maupun pendampingan pelaku usaha untuk peningkatan hasil produksi dan pemasaran hasil produksi. Kabupaten/kota dikembangkan bukan berdasarkan komoditas atau produk unggulan melainkan berdasarkan kompetensi inti. Hal ini mencegah timbulnya pandangan yang terlalu sempit yang mengarah pada produksi satu komoditas tertentu tanpa memikirkan mengapa komoditas tertentu dapat menjadi unggulan. Namun demikian, suatu komoditas unggulan dapat dijadikan dasar dalam pembentukan kompetensi inti yang harus mendapatkan dukungan dari sumber daya daerah baik fisik maupun non fisik. Pengembangan kompetensi inti didasarkan pada pembelajaran kolektif dari sumber daya manusia yang ada sehingga dukungan pada kompetensi inti dapat diwujudkan. Kerja sama atau kemitraan antar daerah dimungkinkan melalui penguasaan kompetensi inti yang berbeda, misalnya melalui kebijakan rantainilai lintas-batas dan analisis skala dan cakupan ekonomis. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan kompetensi inti adalah: Kinerja ekonomi, untuk mengukur outcome pengembangan kompetensi inti, indikator-indikator makro seperti pendapatan daerah (PDRB ataupun PAD), tingkat pengangguran, tingkat inflasi maupun besaran-besaran yang sudah lazim digunakan untuk setiap sektor usaha dapat digunakan. Jaringan dan kemitraan yang terbentuk antara pemerintah daerah dan dunia usaha. Kemitraan juga dijalin antar-daerah dan apabila memungkinkan dapat dijalin kerja sama dengan investor dari luar negeri. Kualitas dan kuantitas jaringan dan kemitraan ini dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan kompetensi inti. Perluasan modal sosial masyarakat. Modal ini diperlukan untuk mendukung proses pengembangan kompetensi inti melalui semangat kerja dari masyarakat di daerah. Modal sosial masyarakat dapat diukur misalnya dengan melihat seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan kompetensi inti. Inovasi melalui peningkatan penelitian dan pengembangan. Termasuk didalamnya penambahan kapasitas penelitian dan pengembangan. Indikator ini menunjukkan peluang munculnya kreativitas dan inovasi-inovasi dari pengembangan kompetensi inti daerah. Banyaknya riset dan temuan baru yang dihasilkan dapat menjadi indikator pembangunan kompetensi inti. Sumber daya manusia yang ada dilihat dari tingkat keahlian yang dimiliki, serta ketersediaan dan kualitas tenaga kerja daerah dapat pula dijadikan sebagai salah satu indikator. Volume 18 No. 2, Desember

8 Pengembangan perekonomian dan dunia usaha yang dapat menunjukkan tingkat keterlibatan tenaga kerja serta ketersediaan lapangan kerja juga dapat menjadi kriteria keberhasilan. Indikator yang dapat digunakan misalnya adalah tingkat keterampilan pekerja, jumlah perusahaan yang ada beserta kinerja dan hasilnya. Dalam mengukur indikator tersebut, harus dilakukan penetapan target untuk beberapa indikator yang merupakan aspek penting dalam pengembangan kompetensi inti, karena hal tersebut berguna untuk mengetahui seberapa jauh pembangunan kompetensi inti telah dilakukan. Model Konseptual Saka-sakti dan Implementasinya Model konseptual Saka Sakti yang digunakan dalam proses pembangunan kompetensi inti industri daerah oleh Kementerian Perindustrian merupakan gambaran keterkaitan antara rantai nilai dari komoditas unggulan yaitu pembelajaran kolektif, kompetensi dan sumber daya dengan sembilan faktor yang dikembangkan oleh Choo dan Moon yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari model berlian Porter (Porter, 2000). Keterkaitan tersebut melibatkan kemampuan sosial (social capability) dengan struktur industri yang sesuai dengan kompetensi inti. Secara konseptual Saka Sakti dapat dimodelkan Gambar 1. Model tersebut menunjukkan bahwa sembilan faktor dalam model (politisi dan birokrat; tenaga kerja; manajer dan insinyur profesional; wirausahawan; lingkungan bisnis; sumber daya; permintaan domestik; industri terkait dan pendukung serta peluang eksternal) digunakan untuk menunjang rantai nilai (value chain) komoditas unggulan yang dilingkupi oleh kemampuan sosial yang ada berupa sintesis dinamis dari sumber daya (tangibles dan intangibles), kompetensi SDM, dan pembelajaran kolektif (collective learning) baik di dalam maupun antar-kabupaten/kota. Selanjutnya konsep saka sakti dapat diimplementasikan melalui beberapa langkah sebagai berikut: Identifikasi komoditas/produk unggulan. Komoditas unggulan yang terpilih haruslah mempunyai akses pasar domestik dan internasional yang mudah. Komoditas unggulan juga harus memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian daerah, serta memiliki nilai tambah ekonomis dan sosial yang tinggi. Analisis sembilan faktor daerah. Analisis ini dilakukan untuk dapat mengetahui faktor mana saja yang perlu diperhatikan dalam pembangunan daya saing daerah. Daerah yang berbeda mungkin menghadapi situasi yang berbeda sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dapat berbeda pula. Analisis rantai nilai komoditas unggulan yang menyeluruh mulai dari rantai nilai primer berupa pasokan bahan baku, bahan setengah jadi, produksi barang jadi hingga proses pemasaran dan distribusi kepada konsumen, sampai ke rantai nilai pendukung berupa aspek-aspek SDM, teknologi, organisasi, permodalan, dan sebagainya. Analisis ini diperlukan untuk mengidentifikasi titik-titik pada rantai nilai yang dapat dijadikan landasan pembangunan kompetensi inti. Tentukan kompetensi inti yang akan dikembangkan berdasarkan hasil analisis rantai nilai. Kompetensi inti yang hendak dikembangkan haruslah diidentifikasi dengan menggunakan data dan analisis yang akurat serta didukung oleh metode yang tepat. Gambar 1. Model konseptual Saka Sakti yang dikembangkan oleh Choo dan Moon 42 Volume 18 No. 2, Desember 2013

9 Fokus Identifikasi kesenjangan pada sembilan faktor yang ada. Kesenjangan ini harus segera diperkecil agar pengembangan kompetensi inti tidak terkendala. Pemerintah dapat berperan besar dalam upaya menutup kesenjangan ini. (presentasi penulis di depan Rapat Kerja Kementerian Perindustrian 2009) Penutup Kompetensi inti memiliki peran penting dalam peningkatan daya saing daerah yang pada dasarnya menjadi tumpuan daya saing negara. Kompetensi khas suatu daerah yang sulit ditiru daerah lain dapat menjadi kunci keberhasilan daerah dalam menentukan arah pembangunannya, dan juga dapat menjadi acuan untuk menggalang kemitraan dengan daerah lain. Kesadaran dan pengakuan bahwa setiap daerah dapat memiliki kompetensi inti yang berbeda justru dapat menjadi landasan kerja sama yang efektif di antara berbagai daerah. Didasarkan pada berbagai indikator ekonomi dan sosial, serta perangkat kebijakan pendukung, kompetensi inti dapat berperan sebagai: Pertimbangan utama dalam penyusunan kebijakan daerah mengenai industri yang akan dikembangkan. Pemilihan industri yang tepat akan memberikan dampak yang lebih baik bagi pengembangan daya saing daerah. Sumber keunggulan daerah dalam menghadapi persaingan global, serta mendorong kemandirian pembangunan. Landasan bagi pembangunan kemitraan antardaerah. Mengingat pentingnya peran kompetensi inti dalam membangun daya saing daerah, Pemerintah daerah diharapkan dapat mengubah paradigma yang terfokus pada komoditas unggulan menjadi fokus pada kompetensi inti daerah, serta juga mengubah paradigma persaingan antar-daerah menjadi kemitraan antar-daerah. Perubahan paradigma ini menuntut kesediaan dan kemampuan menemukan serta mengembangkan masa depan, dan juga menuntut dihilangkannya egosentrisme daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah tidak hanya perlu melakukan proses pembelajaran (learning) tetapi juga harus membuang pandangan dan pemahaman yang yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi berjalan atau yang oleh Hamel dan Prahalad disebut proses penanggalan (unlearning). Perlu pula disadari bahwa fokus pada kompetensi inti bukan berarti meninggalkan komoditas unggulan daerah yang sudah ada. Identifikasi kompetensi inti justru dapat dilakukan dengan titik tolak produk unggulan yang sudah ada saat ini, melalui analisis rantai nilai dan proses untuk mengidentifikasi dan menetapkan kompetensi inti yang layak dikembangkan untuk suatu daerah. Referensi Porter M Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York: Free Press. Hamel, Prahalad, Competing for the Future. USA: Harvard Business Press. Dokumen Renstra Kementerian Perindustrian (2010) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Kotler P Marketing Management. Ed. 11. USA: Prentice Hall. Hitt M, Duane R, Robert H Strategic Management: Concepts and Cases. USA. Porter M Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York: Free Press. Volume 18 No. 2, Desember

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Master Plan Latar belakang Penyusunan Cetak Biru (Master Plan) Pengembangan Penanaman Modal Kabupaten Banyuasin secara garis besar adalah Dalam rangka mewujudkan Visi

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA DUKUNGAN KEBIJAKAN PERPAJAKAN PADA KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH TERTENTU DI INDONESIA Oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Indonesia memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, terdiri dari pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama pembangunan ekonomi dinegara berkembang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pencapaian kesejahteraan tersebut dapat diukur dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat. (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tantangan ke depan pembangunan ekonomi Indonesia tidaklah mudah untuk diselesaikan. Dinamika ekonomi domestik dan global mengharuskan Indonesia senantiasa siap terhadap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014

ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 ADHI PUTRA ALFIAN DIREKTUR PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKM BATAM, 18 JUNI 2014 OUTLINE 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 2. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2 1. LINGKUNGAN STRATEGIS 3 PELUANG BONUS DEMOGRAFI Bonus Demografi

Lebih terperinci

REVITALISASI KOPERASI DI TENGAH MEA. Bowo Sidik Pangarso, SE Anggota DPR/MPR RI A-272

REVITALISASI KOPERASI DI TENGAH MEA. Bowo Sidik Pangarso, SE Anggota DPR/MPR RI A-272 REVITALISASI KOPERASI DI TENGAH MEA Bowo Sidik Pangarso, SE Anggota DPR/MPR RI A-272 Apa itu Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) MEA adalah agenda integrasi ekonomi negara-negara ASEAN yang bertujuan untuk meminimalisasi

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS, POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS, POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS, POKOK DAN FUNGSI 1.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan SKPD Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016, yang merupakan sebuah integrasi ekonomi yang didasarkan pada kepentingan bersama

Lebih terperinci

otonomi daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah selaku pengelola

otonomi daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah selaku pengelola BAB I P E N D A H U L U AN A. Latar Belakang Berkembangnya aktivitas masyarakat sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 memberikan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA

VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA VI. STRATEGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO INDONESIA Penurunan daya saing sektor industri agro Indonesia pada tahun 1995-2000, khususnya dibandingkan dengan Thailand dan China, perlu diantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat menunjang kegiatan pembangunan. Laju pertumbuhan ekonomi menggambarkan adanya

Lebih terperinci

CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG

CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG CUPLIKAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011, TANGGAL 20 MEI 2011 TENTANG MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011-2025 A. Latar Belakang Sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian di dalam negeri maupun di dunia internasional. Dampak yang

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN 1 (satu) bulan ~ paling lama Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana

Lebih terperinci

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian 12 Rapat Dengan Wakil Presiden (Membahas Special Economic Zone) Dalam konteks ekonomi regional, pembangunan suatu kawasan dapat dipandang sebagai upaya memanfaatkan biaya komparatif yang rendah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA Disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Dalam acara Rapat Kerja Kementerian Perindustrian tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Selain sebagai sumber utama minyak nabati, kelapa sawit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda pada proses perencanaan strategis. itu dilakukan (Bryson and Roering 1988; Elbanna 2007; Hassan et al).

BAB I PENDAHULUAN. berbeda pada proses perencanaan strategis. itu dilakukan (Bryson and Roering 1988; Elbanna 2007; Hassan et al). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan strategis pada awalnya merupakan tradisi yang dikembangkan oleh organisasi sektor swasta menghadapi perubahan dalam memenangkan persaingan. Tetapi dalam

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Pada bagian perumusan isu strategi berdasarkan tugas dan fungsi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan mengemukakan beberapa isu strategis

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG UMKM DAN KOPERASI

ARAH KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG UMKM DAN KOPERASI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL ARAH KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG UMKM DAN KOPERASI Direktur Pengembangan UKM dan Koperasi Disampaikan

Lebih terperinci

BIRO PERENCANAAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN

BIRO PERENCANAAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN BIRO PERENCANAAN DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI INTI DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH DEPARTEMEN PERINDUSTRIAN 2009 LATAR BELAKANG SEKTOR INDUSTRI MERUPAKAN MOTOR UTAMA

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum (WEF) 1 Tulus Tambunan Kadin Indonesia Tanggal 8 Oktober 2008 World Economic Forum (WEF), berkantor pusat di Geneva (Swis), mempublikasikan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH SAMBUTAN GUBERNUR SULAWESI TENGAH PADA ACARA PEMBUKAAN RAPAT KOORDINASI PERENCANAAN DAN EVALUASI PROGRAM KOPERASI, UMKM, INDUSTRI DAN PERDAGANGAN DAERAH SE-PROVINSI SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas Sektor industri merupakan salah satu sektor yang mampu mendorong percepatan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana mengenai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang semakin mengarah pada kebijakan untuk menciptakan kawasan-kawasan terpadu sebagai cara

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Sektor UMKM adalah salah satu jalan untuk

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Sektor UMKM adalah salah satu jalan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia adalah salah satu sektor yang memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam konteks desentralisasi ekonomi maka setiap daerah harus kreatif, artinya mampu mengembangkan ekonomi daerahnya dan memberikan iklim yang kondusif untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2014 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Perencanaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua per tiga wilayahnya adalah perairan dan terletak pada lokasi yang strategis karena berada di persinggahan rute perdagangan dunia.

Lebih terperinci

RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH TAH

RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN DENGAN PEMERINTAH DAERAH TAH Jakarta, 2 Maret 2012 Rapat Kerja dengan tema Akselerasi Industrialisasi Dalam Rangka Mendukung Percepatan Pembangunan Ekonomi yang dihadiri oleh seluruh Pejabat Eselon I, seluruh Pejabat Eselon II, Pejabat

Lebih terperinci

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lamandau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lamandau bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya 1.1. Latar Belakang Strategi pembangunan ekonomi bangsa yang tidak tepat pada masa lalu ditambah dengan krisis ekonomi berkepanjangan, menimbulkan berbagai persoalan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Mulai

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena

alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang S alah satu dinamika pembangunan suatu wilayah diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut. Oleh karena itu semua wilayah mencanangkan laju pertumbuhan

Lebih terperinci

Sukses MP3EI melalui Pembangunan Infrastruktur Broadband

Sukses MP3EI melalui Pembangunan Infrastruktur Broadband Sukses MP3EI melalui Pembangunan Infrastruktur Broadband KEYNOTE SPEECH MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN dalam SEMINAR NASIONAL BROADBAND ECONOMY Kementerian Komunikasi dan Informatika Hotel Borobudur,

Lebih terperinci

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI - 1 - LAMPIRAN PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2016 TENTANG ROAD MAP REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN SOSIAL TAHUN 2015-2019. BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

Jakarta, 10 Maret 2011

Jakarta, 10 Maret 2011 SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM ACARA TEMU KONSULTASI TRIWULANAN KE-1 TAHUN 2011 BAPPENAS-BAPPEDA PROVINSI SELURUH INDONESIA Jakarta,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Peraturan Presiden No 32 Tahun 2011 tentang MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) merupakan sebuah langkah besar permerintah dalam mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar perusahaan semakin ketat. Kondisi persaingan saat ini

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar perusahaan semakin ketat. Kondisi persaingan saat ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi yang semakin pesat di Indonesia membuat persaingan antar perusahaan semakin ketat. Kondisi persaingan saat ini menunjukan perubahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

Konsep, Kajian dan Kebijakan

Konsep, Kajian dan Kebijakan Konsep, Kajian dan Kebijakan DAYA SAING DAERAH KONSEP, KAJIAN DAN KEBIJAKAN Rina Indiastuti Copyright 2016 Penulis: Rina Indiastuti Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau meperbanyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaruan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di dunia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejatinya tak dapat dipungkiri bahwa setiap negara menghadapi berbagai macam polemik terutama dari segi ekonomi. Hal ini mengharuskan pemahaman lebih mendalam secara

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri suatu daerah diarahkan untuk menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah melalui keterkaitan antara budidaya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perekonomian di Indonesia sejak terjadinya krisis moneter mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN. Perekonomian di Indonesia sejak terjadinya krisis moneter mengalami BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Perekonomian di Indonesia sejak terjadinya krisis moneter mengalami kesulitan. Keadaan ini tidak hanya terjadi pada industri besar atau menengah saja, melainkan

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Pembangunan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Pembangunan 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perencanaan Pembangunan Perencanaan pembangunan sebagai ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk mengidentifikasi kondisi dan permasalahan riil yang dihadapi, mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang isi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu Dengan Iman dan Taqwa Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep daya saing daerah berkembang dari konsep daya saing yang digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak mewarnai pengembangan dan aplikasi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 5 TAHUN : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN PRODUK LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO,

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perubahan ekonomi dalam era globalisasi mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perubahan ekonomi dalam era globalisasi mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan ekonomi dalam era globalisasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Proses tersebut adalah suatu perubahan di dalam perekonomian dunia, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang sedemikian pesat serta potensi pemanfaatannya secara luas, membuka peluang bagi proses akses, pengelolaan, dan

Lebih terperinci

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46 RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2015 Jakarta, 5 Februari 2015 Rapat Kerja Menteri Perindustrian Tahun 2015 dengan tema Terbangunnya Industri yang Tangguh dan Berdaya Saing Menuju

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi krisis ekonomi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah membuat Ketetapan MPR Nomor XVI Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI PEMBANGUNAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang cukup serius dihadapi Indonesia dewasa ini adalah masalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang saat ini

Lebih terperinci

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan INDONESIA VISI 2050 Latar belakang Anggota Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD) dan Indonesia Kamar Dagang dan Industri (KADIN Indonesia) mengorganisir Indonesia Visi 2050 proyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan konsep

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan konsep BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia periode tahun 2014-2019, mengesahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 dengan konsep membangun Indonesia dari pinggir.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (PEPD) maka ada 3 (tiga) komponen yang memajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluar untuk mengatasi masalah perekonomian di Indonesia. UMKM di. ditampung sehingga tingkat pengangguran semakin berkurang.

BAB I PENDAHULUAN. keluar untuk mengatasi masalah perekonomian di Indonesia. UMKM di. ditampung sehingga tingkat pengangguran semakin berkurang. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah perekonomian di Indonesia. UMKM di Indonesia mampu membuka

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG UMKM DAN KOPERASI

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG UMKM DAN KOPERASI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG UMKM DAN KOPERASI Rahma Iryanti Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang pembangunan dan pemerintahan. Perubahan dalam pemerintahan adalah mulai diberlakukannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan baru bermunculan sehingga mengakibatkan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan baru bermunculan sehingga mengakibatkan persaingan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fenomena persaingan bisnis yang sangat pesat sejalan dengan atribut perusahaan baru bermunculan sehingga mengakibatkan persaingan kompetitif yang ketat dan beragam.

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA KONGRES GERAKAN ANGKATAN MUDA KRISTEN INDONESIA (GAMKI) TAHUN 2015

Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA KONGRES GERAKAN ANGKATAN MUDA KRISTEN INDONESIA (GAMKI) TAHUN 2015 Menteri Perindustrian Republik Indonesia NARASI PADA ACARA KONGRES GERAKAN ANGKATAN MUDA KRISTEN INDONESIA (GAMKI) TAHUN 2015 Memajukan Industri Kawasan Timur Indonesia Manado, 30 April 2015 Yth.: 1. Gubernur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Terhadap Objek Studi Sejarah dan Perkembangan PT Leoco Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Terhadap Objek Studi Sejarah dan Perkembangan PT Leoco Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Terhadap Objek Studi 1.1.1 Sejarah dan Perkembangan PT Leoco Indonesia PT Leoco Indonesia didirikan pada tahun 1981, Leoco adalah produsen kelas dunia interkoneksi dan mencapai

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Investasi atau penanaman modal merupakan instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang ada di suatu negara atau wilayah. Karena pada dasarnya, investasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI 8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI Pengembangan agroindustri terintegrasi, seperti dikemukakan oleh Djamhari (2004) yakni ada keterkaitan usaha antara sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 5.1 KESIMPULAN A. Hasil tipologi berdasarkan tingkat penggangguran dan openness dalam penelitian ini menemukan: 1. Posisi negara Indonesia dan Filipina rata-rata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal. Pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dalam suatu negara sangat penting, karena pembangunan ekonomi bertujuan untuk mewujudkan ekonomi yang handal dan mandiri. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

PROGRAM REFORMASI KOPERASI

PROGRAM REFORMASI KOPERASI PROGRAM REFORMASI KOPERASI Tim Reformasi Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta, 21 Desember 2015 LATAR BELAKANG (1) a. Selama 15 tahun terakhir perekonomian Indonesia tumbuh ratarata 6% per tahun,

Lebih terperinci