PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA TM 999 (Capsicum annuum) SECARA KONVENSIONAL DAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) FAHRUDIN SURAHMAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA TM 999 (Capsicum annuum) SECARA KONVENSIONAL DAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) FAHRUDIN SURAHMAT"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA TM 999 (Capsicum annuum) SECARA KONVENSIONAL DAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) FAHRUDIN SURAHMAT DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRAK FAHRUDIN SURAHMAT. Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dibimbing oleh HERMANU TRIWIDODO. Pengelolaan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 secara konvensional dan PHT dilaksanakan di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Bogor dengan tujuan untuk mengkaji pengaruh pengelolaan tanaman cabai keriting TM 999 secara konvensional dan PHT. Penelitian ini merupakan sebuah observasi mengenai pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya konvensional dan PHT. Budidaya konvensional merupakan praktik pengelolaan tanaman cabai yang umum dilakukan oleh petani, pengendalian hama dan penyakit pada budidaya ini dilakukan dengan menerapkan aplikasi pestisida secara intensif. Budidaya PHT merupakan strategi pengelolaan tanaman yang menerapkan pendekatan alami dan meminimalisir penggunaan pestisida kimia. Budidaya PHT dan konvensional memberikan hasil yang hampir sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai keriting hibrida TM 999 terlihat lebih baik pada budidaya PHT, sedangkan budidaya konvensional memberikan hasil yang sedikit lebih baik dalam menekan keberadaan hama dan penyakit. Nilai rata-rata tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter, jumlah cabang dan produksi cabai keriting pada budidaya PHT sebesar cm, cm, 0.96 cm, dan 1.85 kg, sedangkan pada budidaya konvensional cm, cm, 0.81 cm, dan 1.45 kg. Budidaya PHT mendukung perkembangan organisme lain yang berguna bagi tanaman, sehingga tanaman cabai berkembang dengan optimal. Keberadaan hama dan penyakit pada tanaman cabai seperti, Empoasca sp., lalat buah, puru, bercak daun, antraknosa dan virus kuning lebih banyak terlihat pada budidaya PHT daripada konvensional, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua pengendalian tersebut. Penelitian lebih lanjut mengenai peluang dan tantangan budidaya PHT dalam budidaya cabai masih perlu untuk dilakukan, sebagai upaya penyempurnaan konsep budidaya PHT pada tanaman cabai. Kata kunci : Budidaya, cabai keriting, pengendalian hama terpadu (PHT), budidaya konvensional, pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, produktivitas tanaman.

3 PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA TM 999 (Capsicum annuum) SECARA KONVENSIONAL DAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) FAHRUDIN SURAHMAT Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

4 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan PHT Nama Mahasiswa : Fahrudin Surahmat NIM : A Disetujui, Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc Dosen Pembimbing Diketahui, Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc Ketua Departemen Tanggal lulus :

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur tanggal 5 September 1987 sebagai putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Chamsun dan Ibu Badriyah. Tahun 2006 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 1 Tumpang dan diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Setelah menempuh tingkat persiapan bersama (TPB) selama 2 semester penulis memilih Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB sebagai mayor dan Perlindungan Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Pertanian sebagai minor studi. Penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang lingkungan, yaitu Uni Konservasi Fauna (UKF) sebagai biro kesekretariatan pada tahun , ketua pendidikan pada tahun dan ketua umum pada tahun Penulis pernah magang di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman pada tahun 2008, asisten praktikum mata kuliah Vertebrata Hama pada tahun 2008 dan 2010 dan asisten praktikum mata kuliah Entomologi Umum pada tahun Penulis pernah menjadi panitia Pelatihan Monitoring Burung Migran dan Workshop Internasional Burung Migran yang diadakan oleh Raptor Indonesia (RAIN). Sampai saat ini penulis mengikuti pelatihan pencincinan burung yang diadakan oleh Indonesia Bird Banding Schame (IBBS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berpartisipasi dalam pembentukan Bogor Bird Banding Club (BBC). Penulis juga aktif dalam kegiatan kebudayaan dalam kelompok Wahana Telisik Seni dan Sastra (WTS).

6 PRAKATA Rasa syukur yang sedalam-dalamnya selalu tercurahkan kepada Tuhan yang merahmati seisi alam, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Proteksi Tanaman. Penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Chamsun, Ibu Badriyah, Yanuar dan Nisa yang telah memberikan kehangatan dalam sebuah keluarga serta semua dukungan yang telah diberikan. 2. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan nasihat. 3. Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu selama masa kuliah. 4. Dr. Ir. Sri Hendrastuti, Msc selaku dosen penguji tamu. 5. Bapak Dadang, Slamet, Edi yang selalu membantu selama pengamatan. 6. Dosen, laboran dan staf Departemen Proteksi tanaman. 7. Mbak Dama yang membantu memperbaiki skripsi. 8. Teman-teman sekelas PTN 43 atas kebersamaannya selama masa kuliah. 9. Teman-teman seperjuangan di UKM Uni Konservasi Fauna. 10. Penghuni shelter Balio, baik penghuni asli maupun yang temporer. 11. Penghuni rumah bambu (Akmal, Ayi, Paus, Age, Purwanto, Putra, Mujib, Nanang, Safi ) 12. Semua teman dimanapun berada. Semua hal yang ada tidaklah sempurna, namun penulis berharap skripsi ini menjadi sebuah awal bagi sesuatu yang lebih baik. Bogor, Agustus 2011 Penulis

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Manfaat... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Tanaman Cabai... 3 Cabai Keriting Hibrida TM Budidaya Tanaman Cabai... 4 Hama dan Penyakit Tanaman Cabai... 6 BAHAN DAN METODE Waktu dantempat Metode Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Penentuan Petak Perlakuan dan Tanaman Contoh Pengamatan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan Hama dan Penyakit Thrips Empoasca sp Lalat Buah Puru Bercak Daun Antraknosa Virus Kuning Produksi Cabai Keriting Hibrida TM KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii ix x

8 DAFTAR TABEL No Halaman 1 PertumbuhanTanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan SeranganThrips pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan Serangan Empoasca sp. pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan Serangan Lalat Buah pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan Penyakit Puru pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perkembangan Serangan Virus Kuning pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Produksi Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM

9 DAFTAR GAMBAR No Halaman 1 Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 pada Budidaya Konvensional Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 pada Budidaya PHT Gejala Serangan Thrips pada Daun Cabai Keriting Hibrida TM Gejala Serangan Empoasca sp Gejala Serangan Lalat Buah pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM Gejala Penyakit Puru pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM Gejala Penyakit Bercak Daun pada Daun Cabai Keriting Hibrida TM Gejala Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM Gejala Serangan Virus Kuning pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Panen Buah Cabai Keriting Hibrida TM

10 DAFTAR LAMPIRAN No Halaman 1 Analisis Ragam Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Analisis Ragam Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Analisis Ragam Hasil Panen Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM Perbandingan Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT... 37

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas penting pertanian di Indonesia, tanaman ini memiliki tingkat permintaan dan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Luas lahan produksi cabai di Indonesia mencapai ha, dengan tingkat produksi cabai sebesar ton (Deptan 2010). Budidaya cabai dapat dilakukan di dataran rendah maupun tinggi, tantangan terbesar dalam budidaya cabai adalah keberadaan hama dan penyakit. Keberadaan hama dan penyakit tanaman menurunkan tingkat kualitas dan kuantitas produksi cabai. Beberapa hama dan penyakit penting yang menyerang tanaman cabai adalah thrips, kutu daun, antraknosa dan bercak daun (Pracaya 1999). Sebagian besar petani cabai di Indonesia masih menggunakan pestisida kimia dalam menggendalikan keberadaan hama dan penyakit. Survei yang dilakukan oleh Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB di Tegal, Garut, Pengalengan, Magelang, Nganjuk dan Blitar, menunjukkan bahwa petani masih menggunakan pestisida kimia secara rutin dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Aplikasi pestisida kimia dilakukan setiap seminggu sekali atau kurang lebih sekitar 20 kali selama satu musim tanam. Pemilihan jenis dan aplikasi pestisida kimia yang digunakan dilakukan dengan kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Petani masih menggunakan pestisida berkategori sangat berbahaya dan prior infrom concern (PIC), kategori PIC merupakan pestisida yang tingkat persistensi di alam yang tinggi, berdasarkan konvensi Stockholm (2004) pestisida jenis ini secara internasional dilarang atau dibatasi penggunaannya. Pestisida kimia memang terbukti efektif dan efisien dalam mengendalikan hama dan penyakit, namun aplikasi pestisida kimia yang dilakukan mampu menimbulkan dampak negatif yang besar bagi tanaman, lingkungan dan manusia (Igbedioh 1991). Penggunaan pestisida kimia menimbulkan kematian pada musuh alami, resistensi dan menyebabkan munculnya hama dan penyakit baru. Aplikasi pestisida kimia juga menyebabkan kematian pada organisme selain hama dan penyakit, kondisi ini menyebabkan hilangnya kemampunan alami lingkungan dalam menekan serangan hama dan penyakit tanaman (natural control). Selain itu, residu pestisida yang tersisa pada buah cabai membahayakan kesehatan konsumen. Mengingat besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia maka perlu adanya alternatif lain dalam mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman cabai. Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan strategi budidaya tanaman yang mampu meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia dalam meningkatkan produktifitas tanaman. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan menggabungkan pengendalian secara biologi dan kimia, pengendalian kimia dilakukan sesuai dengan nilai ambang ekonomi (Gray et al. 2009). Minimnya penggunaan pestisida kimia dalam budidaya cabai

12 memungkinkan perkembangan mikroorganisme yang berguna bagi tanaman cabai, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai menjadi optimal. Konsep PHT mulai dikembangkan pada tahun 1976, setelah banyak laporan mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia. Program PHT semakin gencar dilaksanakan pada tahun 1989 dengan fokus utama pada tanaman padi. Sosialisasi budidaya PHT kepada petani dilakukan melalui program sekolah lapang PHT (SLPHT), program ini merupakan serangkaian kegiatan pelatihan dan praktik budidaya PHT pada tanaman padi. Namun, sampai saat ini kegiatan budidaya PHT masih belum memasyarakat di kalangan petani, tingginya tingkat kekhawatiran petani mengenai kemungkinan gagal panen menyebabkan pestisida kimia masih tetap digunakan dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Disamping itu, penerapan budidaya PHT di lapangan cukup berat dan tidak semudah budidaya konvensional. Budidaya PHT perlu ditunjang dengan berbagai pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman, bioekologi hama dan penyakit, informasi dasar mengenai morfologi, fisiologi dan genetik dari masing-masing hama dan penyakit, interaksi antara hama dan penyakit dengan tanaman dan lingkungan, dan potensi munculnya kerugian secara ekonomi (Gray et al. 2009). 2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pengelolaan tanaman cabai keriting TM 999 secara konvensional dan PHT terhadap pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman. Manfaat Penelitian Memberikan informasi dan data mengenai pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada pengelolaan secara konvensional dan PHT. Sehingga dapat menjadi gambaran mengenai kegiatan budidaya PHT yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang terdapat pada budidaya cabai.

13 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Cabai Cabai merupakan salah satu tanaman perdu dari famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh para pelancong. Jenis dan ragam tanaman cabai cukup banyak, diperkirakan terdapat 20 jenis cabai di seluruh dunia. Jenis cabai yang umum dibudidayakan oleh masyarakat adalah C. annuum, C. frutescens, C. chinense, C. pendulum dan C. pubescens (Basu et al. 2003). Buah cabai memiliki rasa dan aroma yang khas, beberapa jenis kuliner nusantara menggunakan cabai sebagai salah bahan pelengkapnya. Buah cabai mengandung vitamin, gizi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. Buah cabai tidak hanya dimanfaatan sebagai bahan penambah rasa, aroma atau hiasan pada makanan, buah cabai juga digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan obat-obatan (Duke 2002). Klasifikasi Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Tumbuhan : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Solanales : Solanaceae : Capsicum : annum Agronomi. Cabai merupakan tanaman berkayu dengan panjang batang utama berkisar antara cm dan diameter batang antara cm (Hewindati 2006). Percabangan batang berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm dengan diameter cabang dikotom sekitar cm. Bentuk percabangan menggarpu dengan posisi daun berselang-seling, daun berbentuk hati, lonjong atau agak bulat telur (Dermawan 2010). Bunga cabai berbentuk seperti terompet atau bintang dengan warna bunga umumnya putih, namun ada beberapa jenis cabai yang memiliki warna bunga ungu. Bunga cabai termasuk bunga sempurna, karena mempunyai struktur bunga yang lengkap seperti tangkai, dasar, kelopak, mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok. Bagian ujung buah meruncing, mempunyai permukaan yang licin dan mengkilap, posisi buah menggantung pada cabang tanaman. Buah cabai mempunyai bentuk dan warna yang beragam, namun setelah masak sebagian besar berwarna merah.

14 4 Cabai Keriting Hibrida TM 999 Cabai keriting hibrida TM 999 merupakan salah satu varietas dari C. annuum yang berasal dari Hungnong, Korea. Tanaman tegak dengan pertumbuhan tanaman yang kuat dan kokoh, tanaman ini memiliki ketinggian sekitar cm. Pembungaan berlangsung terus-menerus sehingga dapat dipanen dalam jangka waktu yang panjang. Bentuk buah yang dihasilkan ramping dengan ujung buah runcing, buah berukuran 12.5 x 0.8 cm dengan berat buah sekitar 5-6 g. Buah muda berwarna hijau dengan kulit buah agak mengkilat, setelah masak warna buah berubah menjadi merah. Panen dapat dilakukan setelah tanaman berumur 90 hst untuk dataran rendah dan 105 hst pada dataran tinggi. Produksi cabai keriting hibrida TM 999 berkisar antara kg setiap tanamannya. Budidaya Tanaman Cabai Persiapan lahan meliputi kegiatan pembersihan lahan dari sampah dan sisa tanaman, kemudian dilakukan penggemburan tanah. Penggemburan tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul atau traktor dengan kedalaman tanah kurang lebih 30 cm. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan bedeng, umumnya tinggi bedeng sekitar 0.4 m, lebar 1 m dan jarak antar bedeng cm. Bedeng yang telah siap kemudian ditutup dengan menggunakan mulsa perak. Pembuatan lubang tanam dilakukan dengan jarak sekitar 60 cm. Kegiatan persemaian dimulai dengan menyiapkan media semai, media semai yang digunakan adalah campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 2 : 1. Campuran tersebut diaduk secara merata dan dimasukkan ke dalam polibag yang berukuran 4 x 6 cm. Benih yang telah diperam dimasukan kedalam polibag yang telah disediakan, kemudian ditutup dengan sedikit media semai. Polibag yang telah terisi benih cabai kemudian diletakkan pada petak semai. Penyiraman dilakukan dua kali sehari atau disesuaikan dengan kondisi cuaca. Pemindahan bibit cabai ke lahan dilakukkan ketika bibit sudah berumur 25 hari setelah semai (hss) atau ketika tanaman telah memiliki daun sebanyak 4-5 helai. Bibit yang akan ditanam terlebih dahulu dikeluarkan dari polibag dengan cara mengepal polibag terlebih dahulu sebelum merobeknya. Bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan posisi tegak dan ditutup dengan tanah. Pemberian ajir dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam (hst) pada bagian luar lubang tanam dengan jarak sekitar 10 cm. Setelah cabai berumur hst dilakukan pengikatan dengan menggunakan tali. Pemupukan dilakukan setelah tanaman cabai berumur 3, 6 dan 9 minggu setelah tanam (mst). Pupuk yang diberikan adalah Urea, Suprphos dan KCL dengan perbandingan 2:1:1 pada umur tanaman 3 mst, 1:1:1 pada umur tanaman 6 mst dan 1:2:2 pada umur 9 mst. Dosis dan perbandingan pupuk sangat tergantung pada kondisi lahan yang digunakan, sehingga kemungkinan adanya perbedaan mengenai dosis dan perbandingan pada masing-masing daerah sangat besar. Pemupukan dilakukan dengan memasukkan pupuk tersebut ke dalam lubang tanam sebanyak 10 gram dengan jarak pemberian pupuk dari tanaman cabai sekitar 15 cm.

15 Panen dilakukan ketika buah telah berwarna merah secara keseluruhan, umumnya panen dilakukan ketika tanaman cabai berumur 2 bulan. Panen dilakukan dengan memetik buah beserta tangkainya atau dengan menarik buah secara berlawanan dengan arah buah. Interval panen 3-5 hari sekali dengan masa panen 1-2 bulan atau lebih. Buah yang cacat (karena penyakit atau penyebab lain) dipisahkan dari buah yang lain. Budidaya Konvensional. Budidaya konvensional pada tanaman cabai merupakan kegiatan budidaya tanaman yang umum dilakukan oleh petani, penggunaan pupuk dan pestisida kimia dilakukan secara intensif. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara intensif dimulai sejak munculnya gerakan revolusi hijau di Indonesia. Selama revolusi hijau, teknologi di bidang pertanian berkembang pesat dan telah digunakan dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang terbukti berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, namun dampak negatif yang ditimbulkan cukup besar bagi pertanian. Sekitar akhir tahun 1970 beberapa ahli pertanian melaporkan adanya berbagai permasalahan yang muncul dari penggunaan pestisida kimia dalam bidang pertanian (Oka 1978). Permasalahan yang muncul seperti resistensi hama, munculnya outbreak hama dan penyakit, pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia (Resosudarmo et al. 2011). Penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman masih tetap dilakukan petani sampai saat ini. Petani masih menganggap bahwa penggunaan pestisida kimia merupakan pilihan yang tepat dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Dampak negatif yang ditimbulkan dari aplikasi pestisida yang dilakukan oleh petani semakin besar karena penggunaannya yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku. Kondisi ini dipicu oleh minimnya informasi mengenai dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida, serta tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap kemungkinan gagal panen. Budidaya Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Stern et al. (1959) memperkenalkan konsep pengendalian terpadu ketika penggunaan pestisida kimia seperti organoklorin, organopospat (Ops) dan karbamat menjadi pilihan utama dalam mengendalikan hama dan penyakit. Konsep pengendalian hama terpadu (PHT) didasarkan pada ambang ekonomi dan ekologi, dimana pengendalian kimia dan biologi dikembangkan secara bersama-sama dan sinergis. Penggunaan agen hayati dan pendekatan rasional merupakan kunci utama strategi PHT yang mampu memenuhi tantangan di bidang pertanian (Ishaaya 2003; Horowitz dan Ishaaya 2004; Ishaaya et al. 2005). Ehler et al. (2006) dalam Weiss et al. (2009) memaparkan bahwa PHT merupakan suatu kegiatan bersama yang mencakup pengelolaan hama, monitoring hama, musuh alami dan agen antagonis. Penggunaan pestisida dan taktik pengendalian hama berdasarkan nilai ambang ekonomi. Penerapan PHT secara operasional mencakup upaya pengendalian hama dan penyakit secara preemtif dan responsif. Upaya preemtif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi dan pengalaman mengenai status hama dan penyakit pada waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola 5

16 tanam, penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam, pemupukan, pengairan, jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen antagonis dan budidaya lainnya. Sedangkan upaya responsif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi status hama dan penyakit dan faktor yang berpengaruh pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan biaya dari tindakan yang perlu dilakukan. Upaya ini meliputi penggunaan musuh alami, pestisida nabati, pengendalian mekanis, antraktan dan pestisida kimia. Konsep PHT di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 1976, pada tahun 1989 dikembangkan program PHT yang fokus pada tanaman padi. Pemerintah mendukung pengembangan PHT dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No.3 tahun 1986 mengenai pelarangan 57 formulasi insektisida pada tanaman padi. Perkembangan PHT cukup signifikan dalam periode tahun periode melalui program sekolah lapang PHT (SLPHT). Program ini membantu petani untuk menerapkan konsep PHT pada budidaya padi dan tanaman pangan, melalui serangkaian kuliah dan praktek langsung di lapangan. Budidaya PHT terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia, serta mendukung pertanian yang berkelanjutan. Minimnya penggunaan bahan kimia berdampak positif bagi kesehatan tanah dan mendukung perkembangan mikroorganisme yang berguna bagi tanaman. Secara teknis budidaya PHT memang terkesan lebih rumit daripada budidaya konvensional, kemungkinan hal inilah yang menyebabkan budidaya PHT kurang diminati oleh petani. Kurangnya informasi mengenai program PHT dan berbagai hal yang mendukungnya merupakan permasalahan utama dalam penerapan PHT di Indonesia. 6 Hama dan Penyakit Tanaman Cabai Empoasca sp. Empoasca sp. merupakan serangga penghisap cairan tanaman yang berukuran kecil (sekitar 3-4 mm). Umumnya serangga ini berbentuk brachyptera, yaitu serangga yang memiliki sayap pendek dan aktif pada malam hari (Capinera 2001). Serangga ini menjadi hama penting pada tanaman kapas, selain kapas serangga ini juga menyerang rumput, bunga, sayuran, buah, semak, palem dan gulma. Serangan Empoasca sp. terlihat dari munculnya bercak berwarna putih pada permukaan daun. Serangga ini menghisap cairan tanaman pada mesofil dan jaringan pembuluh (floem dan xylem) daun. Empoasca sp. lebih menyukai daerah yang teduh, sehingga serangan yang berat sering terlihat pada daun bagian bawah. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan teknik pengendalian fisik, mekanik, biologi dan kimia. Pemanfaatan musuh alami dilaporkan mampu mengendalikan serangan hama ini.

17 7 Kutu Kebul Bemisia tabaci (Genn) (Hemiptera : Aleyrodidae) Kutu kebul merupakan salah satu serangga dari famili Aleyrodidae yang dijumpai menyerang tanaman cabai di daerah tropis dan sub-tropis. Kisaran inang serangga ini cukup luas dan dapat mencapai populasi yang besar dalam waktu yang cepat apabila kondisi kondisi lingkungan menguntungkan. Beberapa tanaman pertanian yang menjadi inang kutu kebul adalah kentang, timun, melon, labu, terong, cabai, lettuce dan brokoli. Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh aktivitas imago dan nimfa yang mengisap cairan daun, gejala yang timbul berupa becak nekrotik pada daun akibat rusaknya sel-sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu kebul menghasilkan embun madu, embun madu yang dihasilkan lebih susah dihilangkan daripada yang dihasilkan oleh aphid, karena ukuran embun madu yang dihasilkan lebih besar. Embun madu merupakan media yang baik bagi tumbuhnya embun jelaga, keberadaan embun jelaga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis pada daun. Selain kerusakan langsung oleh isapan imago dan nimfa, kutu kebul sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Sampai saat ini tercatat 60 jenis virus yang ditularkan oleh kutu kebul antara lain Geminivirus, Closterovirus, Nepovirus, Carlavirus, Potyvirus, Rod-shape DNA Virus. Pengendalian dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pergiliran tanaman (rotasi) dengan tanaman bukan inang, seperti tanaman tomat, cabai, kentang dan mentimun. Pemasangan perangkap warna, kelambu dan sanitasi tanaman yang terserang merupakan pengendalian teknis yang mampu menekan populasi hama ini. Secara biologi pengendalian dapat dilakukan dengan menginfestasikan kumbang predator Menochilus sexmaculatus (Coccinelidae) atau parasitoid nimfa Encarcia formosa. Kutu daun melon Aphis gossypii (Glover) (Hemiptera: Aphididae) Penyebaran hama ini sangat luas, meliputi daerah beriklim tropis dan sedang kecuali Canada bagian utara dan Asia bagian utara. Kisaran inang dari hama ini cukup luas, seperti tanaman dari family Fabaceaae (Legumes, Lucerne), Solanaceae, Cucurbitaceae dan asteraceae. Kutu daun menyebabkan kerusakan yang cukup serius pada beberapa tanaman sayuran, seperti asparagus, cabai, terong dan okra. Selain tanaman sayuran, kutu daun juga menyebabkan kerusakan yang cukup parah pada jeruk, kapas dan melon. Serangan berat biasanya terjadi pada musim kemarau. Bagian tanaman yang diserang oleh nimfa dan imago biasanya pucuk tanaman dan daun muda. Daun yang diserang akan mengkerut, mengeriting dan melingkar, menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Hama ini juga mengeluarkan cairan manis seperti madu, yang biasanya disebut dengan embun madu. Embun madu menarik datangnya semut dan cendawan jelaga. Adanya cendawan pada buah dapat menurunkan kualitas buah. Aphid juga dapat berperan sebagai vektor virus (50 jenis virus) seperti, Papaya Ringspot Virus, Watermelon Mosaic Virus, Cucumber MosaicVirus (CMV).

18 Pengendalian dapat dilakukan dengan menginfestasikan musuh alami seperti, parasitoid Aphelinus gossypi (Timberlake), Lysiphlebus testaceipes (Cresson), predator Coccinella transversalis atau cendawan entomopatogen Neozygites fresenii. 8 Lalat Buah Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae) Keragaman jenis dari lalat buah (Tephhritidae) di seluruh dunia cukup tinggi, kurang lebih terdapat sekitar 4000 jenis lalat buah yang tersebar di seluruh dunia. Beberapa jenis dari serangga ini merupakan hama penting pada pertanian, diantaranya adalah lalat buah dari genus Anastrepha, Ceratitis dan Bactrocera. Genus Bactrocera terdiri dari jenis, sedangkan jenis yang umum menjadi hama pada genus ini adalah Bactrocera dorsalis (Hendel). Lalat buah tercatat telah menyerang lebih dari 150 jenis buah dan sayuran, termasuk jeruk, jambu biji, mangga, pepaya, alpukat, pisang, tomat, ceri Suriname, jambu, markisa, kesemek, nanas, persik, pir, aprikot, ara, dan kopi. Alpukat, manga dan pepaya merupakan buah-buahan yang sering diserang oleh hama ini. Lalat buah oriental menyebabkan kebusukan pada buah, gejala pada buah yang terserang ditandai dengan adanya titik hitam pada bagian pangkal buah, gejala ini timbul karena bekas tusukan ovipositor lalat dewasa yang memasukkan telurnya. Pengendalian hama ini cukup sulit untuk dilakukan, karena hama ini menyerang dari dalam buah dan hanya stadia larva yang menjadi hama. Umumnya pengendalian dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman, pembungkusan, perangkap feromon (metil eugenol) atau infestasi parasitoid. Thrips Thrips parvispinus (Karny) (Thripidae:Thysanoptera) Thrips menjadi hama penting pada beberapa tanaman pertanian di Indonesia dan mampu menyebabkan kerugian yang cukup besar. Hama ini berasal dari Asia Tenggara, penyebaran hama ini meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia, Papua Nugini dan Australia Utara, Hawaii, kepulauan Mikronesia, dan Yunani. Di Indonesia, serangga ini menyerang beberapa tanaman di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Hama ini bersifat polifag dengan tanaman inang utama cabai, bawang merah, bawang daun dan jenis bawang lainnya dan tomat.sedangkan tanaman inang lainnya tembakau, kopi, ubi jalar, waluh, bayam, kentang, kapas, tanaman dari famili Crusiferae, Crotalaria dan kacang-kacangan. Thrips menyebabkan daun bagian bawah berwarna keperak-perakan, kemudian daun mengeriting atau keriput. Hama ini menyerang dengan cara menghisap cairan tanaman pada bagian daun atau bunga. Gejala awal ditandai dengan adanya bercak-bercak berwarna putih atau keperak-perakan yang tidak beraturan. Setelah beberapa waktu, noda keperakan tersebut akan berubah menjadi cokelat tembaga, kemudian daun akan mengeriting/keriput dan mati. Serangan yang berat dapat menyebabkan pucuk daun menggulung ke dalam dan timbul

19 benjolan seperti tumor. Pertumbuhan tanaman yang terserang akan terhambat, kerdil bahkan mati pucuk. Thrips merupakan vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Pengendalian yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan memasang mulsa perak, melakukan sanitasi, pergiliran tanaman dan aplikasi insektisida. 9 Ganjur Cabai (Asphondylia sp) (Diptera: Ceccidomyiidae) Hama ganjur cabai merupakan hama baru yang menyerang tanaman cabai. Buah cabai yang terserang akan mengalami malformasi, bentuk buah memuntir dan membengkak (Orphanides 1975; Harris 1975). Kerusakan yang ditimbulkan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi buah. Serangan hama ini sering terlihat pada buah muda daripada buah matang, buah muda yang terserang masih berkembang dan matang meskipun dengan ukuran yang lebih kecil. Hama ganjur cabai meletakkan telur pada saat cabai mulai berbunga, sehingga ketika larva menetas mendapatkan makanan berupa jaringan daging buah muda. Gejala serangan pada buah terlihat pada kisaran 7-10 hari setelah peneluran, lama stadium telur dan larva masing-masing 3 dan 7 hari (Orphanides 1975). Gallagheret et all. (2002) menyarankan pengendalian preventif dengan memanfaatkan musuh alami dan tindkan pengendalian secara fisik, mekanik dan kimia. Antraknosa (Colletotrichum capsici) Penyakit ini menyerang bagian buah cabai, baik buah yang masih muda maupun yang sudah masak. Cendawan ini termasuk salah satu patogen yang terbawa oleh benih. Penyebaran penyakit ini terjadi melalui percikan air, baik air hujan maupun alat semprot. Suhu optimum bagi perkembangan cendawan ini berkisar antara C. Gejala awal penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair, berwarna hitam, orange dan coklat. Warna hitam merupakan struktur dari cendawan (mikro skelerotia dan aservulus), apabila kondisi lingkungan lembab tubuh buah akan berwarna orange atau merah muda. Luka yang ditimbulkan akan semakin melebar dan membentuk sebuah lingkaran konsentris dengan ukuran diameter sekitar 30 mm atau lebih. Dalam waktu yang tidak lama buah akan berubah menjadi coklat kehitaman dan membusuk, ledakan penyakit ini sangat cepat pada musim hujan. Pencegahan dapat dilakukan dengan membersihkan lahan dan tanaman yang terserang agar tidak menyebar. Seleksi benih atau menggunakan benih cabai yang tahan terhadap penyakit ini perlu dilakukan mengingat penyakit ini termasuk patogen tular benih. Hindari pengguanaan alat semprot, atau lakukan sanitasi terlebih dahulu sebelum menggunakan alat semprot. Secara kimia, pengendalian dapat dilakukan dengan aplikasi fungisida sistemik yang berbahan aktif triadianefon dicampur dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida atau mankozeb.

20 10 Layu Bakteri (Pseudomonas solanacearum) Penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum, bakteri ini ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa-sisa tanaman, pengairan, nematoda atau alat-alat pertanian. Selain itu, bakteri ini mampu bertahan selama bertahun-tahun di dalam tanah dalam keadaan tidak aktif. Penyakit ini cepat meluas terutama di tanah dataran rendah. Gejala awal ditandai dengan munculnya kelayuan yang tidak permanen pada tanaman cabai, namun pada stadia lanjut kelayuan terjadi secara menyeluruh dan permanen. Tanaman cabai mengalami kelayuan dan mati pada kurun waktu 3 hari atau lebih. Keberadaan bakteri pada tanaman dapat diketahui dari adanya cairan berwarna coklat susu berlendir, semacam asap yang keluar dari jaringan pembuluh apabila batang dimasukkan ke dalam air. Pengendalian dilakukan dengan menyingkirkan tanaman yang terserang dengan segera sehingga tidak menyebar ke tanaman yang lain. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga bedengan tanam selalu dalam kondisi kering di luar. Rotasi tanaman mampu mengurangi resiko serangan penyakit tersebut. Secara kimiawi, pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida berbahan aktif tembaga hidroksida, konsentrasi yang digunakan adalah 5-10 g/liter. Aplikasi dilakukan pada lubang tanam sebanyak 200 ml/tanaman dengan interval waktu hari dan dimulai saat tanaman mulai berbunga. Bercak Daun (Cercospora capsici) Bercak daun disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici, cendawan ini mampu bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman. Gejala awal penyakit ditandai dengan munculnya bercak berbentuk bulat pada daun tanaman cabai. Serangan yang berat dapat menyebabkan daun berguguran, sehingga pertumbuhan tanaman kurang optimal. Cendawan ini juga menyerang batang, tangkai daun serta tangkai bunga. Pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan membuang tanaman yang terserang sekaligus membersihkan lingkungan disekitar tanaman. Secara kimia dapat juga dicegah dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida atau mankozeb. Virus gemini Cabai sangat rentan dengan berbagai macam jenis penyakit yang ditimbulkan oleh virus, lebih dari 70 jenis virus dilaporkan mampu menyebabkan penyakit pada tanaman cabai. Beberapa dari virus tersebut merupakan patogen penting secara ekonomi, salah satunya adalah virus gemini. Penyebaran virus ini meliputi daerah Amerika bagian Utara dan Selatan, Asia, Timur Tengah dan daerah Mediterania. Selain cabai virus ini juga mampu menyerang tanaman tomat, gula bit atau tanaman pertanian yang lain. Penyakit ini disebabkan oleh virus gemini dengan diameter partikel isometri berukuran nm. Virus gemini mempunyai genome sirkular DNA tunggal.

21 Gejala serangan penyakit ini pada tanaman cabai terlihat dari adanya warna kuning pada daun, penggulungan daun dan pertumbuhan tanaman yang tidak sempurna. Penyakit ini menghambat jaringan floem, sehingga pertumbuhan tanaman tidak sempurna dan kerdil. Keberadaan penyakit ini sangat merugikan karena mampu mempengaruhi produksi buah. 11

22 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2010 di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Metode Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 Lahan Konvensional. Lahan yang digunakan diolah sebagaimana pengolahan lahan pada umumnya, tanah dibersihkan dari sampah dan sisa tanaman sebelumnya. Tanah kemudian digemburkan dan dibuat bedengan, pada bedengan yang telah siap ditambahkan pupuk kandang sebanyak dua karung, diratakan dan kemudian ditutup dengan mulsa perak. Benih yang digunakan adalah benih cabai keriting hibrida TM 999, sebelum disemaikan benih terlebih dahulu direndam dengan air hangat selama kurang lebih 1 jam. Setelah direndam benih cabai dikering anginkan dan disemai pada media persemaian. Ketika tanaman sudah berumur 14 hari setelah semai dilakukan penyemprotan dengan pupuk NPK majemuk dengan merek dagang Gandasil D, dosis yang digunakan adalah 0.5 g/l air. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada umur 3, 6 dan 9 minggu setelah tanam (mst), pupuk yang digunakan adalah pupuk dasar seperti Urea, Superphos dan KCL. Pemupukan ditambah dengan aplikasi larutan kotoran hewan (kohe), larutan kohe dibuat dengan mencampurkan kotoran hewan dan Efektif Mikroorganism (EM-4) yang dibiarkan selama 1 minggu. Dosis EM-4 yang digunakan adalah sebanyak 10% dari seluruh larutan kohe. Aplikasi larutan kohe dilakukan ketika tanaman telah berumur 4, 7, dan 10 minggu setelah tanam (mst). Penanggulangan hama dan penyakit tanaman cabai dilakukan dengan menyemprotkan pestisida kimia pada tanaman cabai. Penyemprotan pestisida dilakukan setiap 2 minggu sekali ketika tanaman cabai berumur 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 hari setelah tanam (hst). Ketika tanaman sudah memasuki masa produksi, penyemprotan dilakukan seminggu sekali atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Pestisida yang digunakan dikenal dengan nama dagang Dithane yang berbahan aktif karbamat, Curacron yang berbahan aktif profenofos, Antracol yang berbahan aktif propineb dan Actara yang berbahan aktif thiamethoxan, aplikasi pestisida dilakukan dengan dosis 5-10 g/l untuk fungisida dan 5 cc/l untuk insektisida. Lahan PHT. Lahan yang digunakan diolah sebagaimana pengolahan lahan pada umumnya, tanah dibersihkan dari sampah dan sisa tanaman sebelumnya. Tanah kemudian digemburkan dan dibuat bedengan, pada bedengan yang telah siap ditambahkan pupuk kandang sebanyak dua karung, diratakan dan kemudian ditutup dengan mulsa perak. Selain pupuk kandang, bedengan yang telah

23 disiapkan disemprot dengan larutan dekomposer maximum (Decomax) dengan dosis 10 cc/liter air. Decomax merupakan dekomposer alami yang mengandung Zygosaccharonyces fermentasi dan Pichia guilliermondii, bakteri ini merupakan perombak selulosa. Perlakuan pada benih dilakukan dengan merendam benih dalam larutan Actigrow dengan dosis 10 cc/ltr selama kurang lebih 6 jam. Bacillus polymixa dan Pseudomonas fluorrescens yang terkandung di dalam Actigrow diharapkan mampu mengurangi keberadaan patogen yang terdapat pada benih. Benih yang telah direndam kemudian dikeringanginkan dan disemaikan. Ketika persemaian telah berumur 14 hss dilakukan penyemprotan Actigrow dengan dosis 10 cc/liter air. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada umur 3, 6 dan 9 mst, pupuk yang digunakan adalah Urea, Superphos dan KCL. Pemupukan ditambah dengan aplikasi larutan kotoran hewan (kohe), larutan kohe dibuat dengan mencampurkan kotoran hewan dan Decomax yang dibiarkan selama 1 minggu dengan dosis 10% dari seluruh larutan kohe. Aplikasi larutan kohe dilakukan ketika tanaman telah berumur 4, 7, dan 10 mst. Penanggulangan hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan menyemprotkan Fitplanta dan Actigrow pada tanaman cabai. Fitplanta merupakan penyehat tanaman yang mempunyai fungsi ganda sebagai pupuk dan biopestisida alami yang mengandung unsur makro dan mikro, bakteri dan aktinomycetes antagonis. Penyemprotan Fitplanta dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu ketika tanaman cabai berumur 14, 28, 42/50, dan 90 hst. Dosis penyemprotan yang dilakukan adalah 10 cc/l, penyemprotan dilakukan secara merata pada semua bagian tanaman cabai. Aplikasi Actigrow dilakukan ketika tanaman cabai telah berumur 30, dan 60 hst. Dosis yang digunakan adalah 10 cc/l air, aplikasi Actigrow dilakukan dengan menyiramkan larutan disekitar perakaran tanaman cabai. 13 Penentuan Petak Perlakuan dan Tanaman Contoh Penentuan Petak Perlakuan. Penentuan petak perlakuan dilakukan secara berurutan, petak 1, 3 dan 5 merupakan petak budidaya secara PHT, sedangkan petak 2, 4 dan 6 merupakan petak budidaya konvensional. Petak budidaya PHT dikelilingi oleh tanaman penghalang yang berupa singkong dan jagung, sedangkan petak budidaya konvensional tidak dikelilingi oleh tanaman penghalang. Pergantian antara petak budidaya PHT dengan konvensional diberi jarak kurang lebih 50 cm. Pengambilan Tanaman Contoh. Pengambilan tanaman contoh dilakukan secara acak dengan mengambil 5 tanaman pada masing-masing petak. Pada setiap bedengan terdapat satu tanaman contoh. Pengamatan hanya dilakukan pada tanaman contoh yang telah ditentukan, apabila terdapat tanaman contoh yang mengalami kematian pengamatan dilakukan pada tanaman lain di sekitarnya yang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan tanaman contoh yang mengalami kematian.

24 14 Pengamatan Pertumbuhan Tanaman. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali, ketika tanaman berumur 2, 4 dan 10 mst. Pengamatan dilakukan dengan melihat tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter dan jumlah pucuk. Pengukuran tinggi tanaman dan tinggi cabang dikotom dilakukan dengan menggunakan penggaris pancang, tinggi tanaman diukur dari tanah sampai daun bagian atas. Sedangkan tinggi cabang dikotom adalah tinggi tanaman sampai percabangan pertama. Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan posisi horisontal dan sejajar dengan mulsa perak. Hama dan Penyakit. Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali dengan melihat kejadian hama dan penyakit pada masing-masing tanaman contoh yang telah ditentukan. Pengamatan dilakukan dengan melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh hama dan penyakit pada beberapa bagian tanaman cabai keriting, seperti pucuk daun, daun dan buah cabai keriting. Pengamatan pada pucuk daun dilakukan untuk melihat gejala serangan thrips dan Empoasca sp., daun untuk melihat gejala penyakit bercak daun dan buah untuk melihat gejala serangan lalat buah, puru dan antraknosa. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan kejadian penyakit dengan kerusakan parsial, yaitu kerusakan yang terjadi pada beberapa bagian tanaman. Penghitungan persentase kerusakan dilakukan dengan menggunakan rumus, Kejadian penyakit (%) = (n N) X 100% n : bagian tanaman terserang N : total bagian tanaman. Produksi. Pengamatan produksi buah cabai dilakukan ketika tanaman sudah memasuki masa generatif. Pengamatan dilakukan dengan menghitung total panen pada masing-masing petak. Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 2 perlakuan dan 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 5 tanaman contoh. Uji lanjutan dilakukan dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 5 % dengan menggunakan bantuan program statistik statistical analysis software (SAS) for Windows 6.12.

25 HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Sebagian besar petani di Indonesia menerapkan budidaya jenis ini dalam mengembangkan tanaman cabai. Penggunaan pestisida kimia yang intensif pada kegiatan budidaya menimbulkan dampak negatif yang besar bagi tanaman, lingkungan dan manusia (Igbedioh 1991). Penggunaan pestisida kimia yang intensif dipicu oleh minimnya informasi mengenai teknologi budidaya tanaman yang ramah lingkungan dan tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap kemungkinan gagal panen. Kondisi ini diperparah dengan cara aplikasi pestisida kimia yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku. Besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia mengharuskan adanya pembatasan atau pengurangan penggunaannya dalam budidaya tanaman. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan budidaya tanaman secara pengendalian hama terpadu (PHT). PHT merupakan strategi budidaya tanaman yang menerapkan pendekatan budidaya alami dan ramah lingkungan. Konsep budidaya PHT telah terbukti mampu meminimalisir penggunaan pestisida kimia dalam kegiatan budidaya tanaman. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memanfaatkan agen antagonis, musuh alami dan meningkatkan ketahanan alami tanaman. Penggunaan pestisida kimia dalam budidaya PHT hanya dilakukan ketika upaya pengendalian yang lain gagal dan disesuaikan dengan nilai ambang ekonomi, sehingga kerugian ekonomi pada budidaya cabai dapat dihindari. Budidaya konvensional yang diterapkan pada penelitian ini mengadopsi praktik budidaya cabai yang dilakukan oleh petani, mulai dari pengolahan lahan sampai dengan panen. Praktik budidaya cabai konvensional yang dilakukan pada penelitian ini disajikan secara lengkap di dalam lampiran. Aplikasi pestisida kimia dalam budidaya konvensional tidak sepenuhnya sama dengan yang dilakukan oleh petani, penelitian ini hanya mengadopsi jenis-jenis pestisida kimia yang umum digunakan oleh petani dalam megendalikan hama dan penyakit pada budidaya cabai keriting hibrida TM 999. Jenis pestisida kimia yang digunakan umumnya dikenal dengan nama dagang Dithane, Curacron, Antracol dan Actara. Budidaya PHT yang dilakukan dalam penelitian ini memanfaatkan beberapa jenis bakteri yang telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, serta membantu meningkatkan sistem ketahanan alami tanaman. Bakteri yang digunakan adalah Bacillus polymixa dan Pseudomonas fluorrescens yang terkandung dalam Actigrow, bakteri ini termasuk dalam kelompok plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). PGPR merupakan kelompok bakteri yang hidup pada perakaran tanaman, bakteri ini mampu mengikat nitrogen bebas dari alam dan mengubahnya menjadi amonia yang kemudian dimanfaatkan oleh tanaman. PGPR juga mampu menginduksi sistem ketahan tanaman, sehingga tanaman menjadi lebih tahan terhadap serangan hama

26 dan penyakit (Kaymak 2010). Aplikasi kedua bakteri ini juga membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai keriting dengan cara memproduksi zat pengatur tumbuhan (ZPT) dan meningkatkan penyerapan fosfat pada akar tanaman. Selain itu, kedua bakteri ini juga mampu merangsang pembentukan antibodi dan fitoaleksin pada tanaman yang membantu meningkatkan kesehatan tanaman (Dardanelli 2010). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa budidaya PHT mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi cabai keriting hibrida TM 999, namun masih kurang begitu baik dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Secara umum, kedua jenis budidaya yang dilakukan pada penelitian ini memberikan hasil yang hampir sama terhadap budidaya cabai keriting hibrida TM 999. Uji selang ganda Duncan yang dilakukan terhadap hasil penelitian tidak menunjukkan adanya nilai beda nyata yang signifikan diantara kedua jenis budidaya yang dilakukan. 16 Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan tanaman, budidaya cabai keriting hibrida TM 999 secara PHT menunjukkan hasil yang lebih baik daripada konvensional. Secara umum pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak PHT terlihat lebih cepat, tanaman tumbuh lebih subur dan perkembangan tanaman optimal. Budidaya PHT membantu tanaman cabai keriting hibrida TM 999 mengoptimalkan unsur-unsur penting yang dibutuhkannya, sehingga tanaman mampu berkembang dengan baik. Parameter yang diamati seperti tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter dan jumlah cabang menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi pada budidaya cabai secara PHT. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa parameter tinggi tanaman pada budidaya keriting hibrida TM 999 secara PHT memiliki nilai yang lebih tinggi daripada konvensional, walaupun setelah dilakukan uji lanjut tidak menunjukkan adanya nilai beda nyata diantara kedua jenis budidaya yang dilakukan. Perbedaan tertinggi dapat dilihat pada pengamatan ke-2 mst. Tinggi cabang dikotom adalah tinggi tanaman dimana cabang pertama mulai terbentuk. Budidaya cabai keriting hibrida TM 999 secara PHT menunjukkan nilai tinggi cabang dikotom yang lebih tinggi daripada konvensional, perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-4 mst. Parameter berikutnya yang diamati adalah diameter batang tanaman cabai keriting hibrida TM 999, dari 3 kali pengamatan yang telah dilakukan hanya pengamatan ke-2 mst yang menunjukkan adanya tingkat perbedaan nyata. Jumlah cabang berkorelasi positif dengan kemampuan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 dalam menghasilkan buah, semakin banyak cabang yang dihasilkan maka kemungkinan buah yang dihasilkan akan semakin besar. Budidaya PHT menghasilkan jumlah cabang yang lebih banyak daripada konvensional, perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-2 mst.

27 Tabel 1 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Sifat agronomi Tinggi tanaman Umur saat pengamatan (mst) Konvensional PHT a 46.80a a 75.20a a 80.00a Tinggi cabang Dikotom a 30.73a Diameter Jumlah cabang a 33.93a a 34.30a a 0.66a b 1.06a a 1.14a a 12.47a a 52.27a a 89.87a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan 17 Aplikasi mikroorganisme bermanfaat seperti Bacillus polymyxa dan Pseudomonas fluorescens yang dilakukan pada budidaya PHT mampu memacu pertumbuhan tanaman cabai. Kedua mikroorganisme tersebut merupakan bagian dari plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) yang berfungsi sebagi pupuk hayati (Vessey 2003). PGPR mampu mengikat nitrogen bebas di udara dan mengubahnya menjadi senyawa yang siap diserap oleh tanaman (Dardanelli et al. 2010). PGPR juga mampu menekan keberadaan penyakit pada tanaman dengan cara menstimulus pembentukan ketahanan tanaman. Selain itu budidaya PHT juga memberikan ruang bagi perkembangan organisme lain yang bermanfaat bagi tanaman, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kondisi inilah yang menjadikan PHT mempunyai nilai lebih dalam pengembangan pertanian berkelanjutan (Heinrichs et al. 2009).

28 18 (a) (b) (c) Gambar 2 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya Konvensional: (a) 2 mst, (b) 4 mst, (c) 10 mst (a) (b) (c) Gambar 3 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya PHT: (a) 2 mst, (b) 4 mst, (c) 10 mst Perkembangan Hama dan Penyakit Thrips (Thrips parvispinus Karny) Gejala serangan thrips terlihat dari adanya bercak berwarna putih atau keperakan yang tidak beraturan pada daun cabai. Setelah beberapa waktu bercak tersebut akan berubah menjadi cokelat tembaga. Daun cabai yang terserang akan mengeriting/keriput dan kemudian mati. Serangan berat menyebabkan pucuk daun menggulung ke dalam dan muncul benjolan seperti tumor. Keberadaan thrips menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terganggu, tanaman menjadi kerdil atau bahkan mati pucuk. Terhambatnya pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada lahan penelitian menyebabkan terganggunya proses produksi buah. Berdasarkan Tabel 2, aplikasi Fitplanta dan insektisida kimia pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam mengendalikan keberadaan thrips. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini hampir merata pada kedua jenis budidaya yang dilakukan, namun pengendalian secara PHT menunjukkan hasil yang lebih baik pada pengamatan ke- 9 mst.

29 Tabel 2 Umur saat pengamatan (mst) Perkembangan gejala thrips pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Rata-rata gejala serangan (pucuk tanaman) Rata-rata persentase gejala serangan (%) Konvensional PHT Konvensional PHT a 1.13a 26.67a 63.33a a 6.73a 31.46a 60.55a a 15.40a 59.70a 68.46a a 6.80a 25.71a 17.65a a 5.93a 21.55a 11.27a a 4.93a 16.06a 10.11a a 2.47a 9.26a 4.71a a 2.00a 6.27a 2.42a b 2.40a 8.01b 2.75a a 2.80a 7.54a 3.10a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan 19 Secara umum terlihat bahwa persentase serangan thrips cukup tinggi pada tanaman muda, kemudian semakin berkurang ketika tanaman memasuki masa berbuah. Thrips menyukai tanaman cabai yang masih muda atau pucuk tanaman, ketika tanaman memasuki masa generatif hama ini lebih sering terlihat meyebabkan kerusakan pada bunga. Thrips memanfaatkan celah kecil pada pangkal daun atau bunga sebagai tempat bersembunyi dari predator atau ketika dilakukan kegiatan pengendalian. Kondisi ini cukup menyulitkan tindakan pengendalian yang dilakukan pada lahan penelitian, kondisi hujan yang tidak menentu juga mempengaruhi keefektifan dari tindakan pengendalian yang dilakukan. Gambar 4 Gejala serangan thrips pada daun cabai keriting hibrida TM 999

30 20 Empoasca sp. Keberadaan Empoasca sp. pada tanaman cabai menimbulkan bercak berwarna putih pada daun. Hama ini merupakan serangga penghisap cairan tanaman, aktifitas makan yang dilakukan oleh hama ini menimbulakan bercak putih pada daun tanaman cabai. Empoasca sp. terlihat cukup banyak pada daun tanaman cabai, terutama pada daun muda atau pucuk tanaman. Keberadaan tanaman terong di sekitar lahan penelitian merupakan salah satu faktor melimpahnya Empoasca sp. pada tanaman cabai. Pengendalian Empoasca sp. dilakukan bersaman dengan thrips, aplikasi Fitplanta dan insektisida kimia dilakukan untuk mengurangi serangan hama ini pada lahan penelitian. Pengendalian yang dilakukan masih belum mampu mengurangi keberadaan Empoasca sp., hama ini masih terlihat cukup melimpah pada lahan penelitian. Faktor utama yang menyebabkan kurang efektifnya pengendalian yang dilakukan adalah kemampuan mobilitas Empoasca sp. yang tinggi, serta keberadaan inang lain disekitar lahan penelitian. Hama ini akan menghindar ketika aplikasi dilakukan, baik penyemprotan Fitplanta maupun insektisida kimia. Setelah 1 atau 2 hari kemudian hama ini kembali terlihat menyerang tanaman cabai. Berdasarkan hasil pengamatan gejala serangan Empoasca sp. yang disajikan pada Tabel 3, diketahui bahwa pengendalian secara PHT dan konvensional menunjukkan hasil yang hampir sama pada tingkat serangan hama Empoasca sp. Pengendalian secara konvensional terlihat sedikit lebih efektif dan mampu menekan keberadaan hama ini pada tanaman cabai. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 10 kali pengamatan pada tingkat serangan Empoasca sp., terdapat 3 kali pengamatan yang menunjukkan adanya nilai perbedaan nyata. Tingkat perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-10 mst. Tabel 3 Umur saat pengamatan (mst) Perkembangan serangan Empoasca sp. pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Rata-rata gejala serangan (pucuk tanaman) Rata-rata persentase gejala serangan (%) Konvensional PHT Konvensional PHT b 0.80a 13.33b 46.67a b 4.13a 13.44b 38.45a a 9.07a 34.69a 41.00a a 17.73a 38.88a 45.12a a 19.67a 37.47a 34.87a a 27.87a 56.67a 51.28a a 43.93a 36.20a 75.39a b 88.13a 28.35b a a 84.33a 25.78a 92.91a a 84.33a 29.17a 88.51a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

31 Gejala serangan Empoasca sp. lebih banyak terlihat pada budidaya PHT, hampir semua tanaman cabai yang terdapat pada lahan penelitian terserang oleh hama ini. Empoasca sp. juga terlihat menyerang tanaman cabai yang ditanam secara konvensional, namun serangan yang terjadi tidak sebesar pada budidaya PHT. Tindakan pengendalian yang dilakukan pada budidaya konvensional mampu mengurangi jumlah hama ini secara langsung, beberapa Empoasca sp. terlihat mati setelah dilakukan aplikasi pengendalian pada budidaya ini. 21 a b Gambar 5 Gejala serangan Empoasca sp. : (a) serangga dewasa, (b) bercak putih Lalat Buah (Bactrocera spp.) Lalat buah menyebabkan kerusakan pada buah, buah yang terserang akan membusuk dan kemudian jatuh ke tanah. Lalat buah menyebabkan kerusakan pada buah cabai yang masih muda maupun buah yang sudah matang. Gejala awal terlihat dari adanya titik hitam pada bagian pangkal buah, titik hitam pada pangkal buah muncul karena aktifitas lalat buah dewasa yang memasukkan telurnya pada buah cabai. Telur tersebut akan menetas dan berkembang di dalam buah cabai. Larva yang terdapat di dalam buah menimbulkan kerusakan dari dalam, buah menjadi berwarna kuning pucat dan layu. Kualitas buah cabai yang terserang hama ini akan menurun dan tidak layak untuk dipasarkan. Pengendalian hama ini cukup sulit untuk dilakukan, karena hama ini menyebabkan kerusakan dari dalam buah dan hanya stadia larva yang menjadi hama. Umumnya pengendalian dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman, pembungkusan buah, perangkap feromon (metil eugenol) atau infestasi parasitoid. Pengendalian lalat buah pada penelitian ini dilakukan secara alami dan kimia, pengendalian alami dilakukan dengan mengaplikasikan Fitplanta, sedangkan pengendalian kimia dilakukan dengan mengaplikasikan insektisida kimia. Kedua pengendalian yang dilakukan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kedua jenis pengendalian yang dilakukan masih belum mampu menekan serangan lalat buah.

32 Tabel 4 Perkembangan serangan lalat buah pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Umur saat pengamatan (mst) Konvensional PHT a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 0.60a b 0.47a a 0.80a a 0.67a a 1.07a a 0.53a a 2.00a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan 22 Serangan lalat buah pada lahan penelitian terlihat cukup kecil dan tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar pada budidaya cabai yang dilakukan. Perkembangan populasi lalat buah tidak berlangsung dengan baik, kondisi tanah yang padat dan sering tergenang air kurang mendukung perkembangan pupa dari lalat buah. Disamping itu, sanitasi yang dilakukan terhadap buah yang terserang cukup efektif dalam menurunkan tingkat serangan hama ini. Gambar 6 Gejala serangan lalat buah pada buah cabai keriting hibrida TM 999 Puru Puru merupakan penyakit baru yang terlihat menyerang tanaman cabai keriting hibrida TM 999, penyakit ini ini disebabkan oleh Asphondylia capsici Barnes (Diptera : Cecidomyiidae). Keberadaan penyakit puru pada tanaman cabai menyebabkan buah menjadi kerdil dan tidak mampu berkembang dengan baik, buah cabai membengkak dan tumbuh melingkar.

33 Pengendalian yang dilakukan pada penelitian ini tidak terlalu spesifik, karena tingkat serangan yang relatif kecil dan secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian. Gejala serangan puru lebih sering terlihat pada budidaya PHT. Kedua jenis budidaya yang dilakukan menunjukkan hasil yang hampir sama terhadap keberadaan penyakit puru. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan sebanyak 10 kali, diketahui bahwa pengamatan ke-8 mst menunjukan adanya tingkat perbedaan yang nyata. 23 Tabel 5 Perkembangan penyakit puru pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Umur saat pengamatan (mst) Konvensional PHT a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 2.00a a 2.20a a 1.47a b 2.07a a 1.87a a 2.47a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan Penyakit puru yang terlihat pada lahan pertanaman cabai keriting hibrida TM 999 tidak menimbulkan kerugian yang besar. Serangan penyakit ini memang hanya terlihat pada beberapa buah saja, namun dampak yang ditimbulkan pada buah cabai perlu diwaspadai karena mampu menurunkan kualitas dan kuantitas buah. Buah menjadi tidak layak untuk dikonsumsi, karena terjadi penghitaman pada bagian dalam buah dan rasa buah menjadi agak pahit. Gambar 7 Gejala penyakit puru pada buah cabai keriting hibrida TM 999

34 24 Bercak Daun (Cercospora sp.) Bercak daun merupakan salah satu jenis penyakit yang umum menyerang tanaman cabai di Asia Tenggara. Penyakit ini menimbulkan kerusakan pada daun, batang dan akar. Gejala serangan penyakit ini mulai terlihat dari munculnya bercak berwarna coklat pada daun, ukuran bercak bisa mencapai sekitar 1 inci. Bercak daun mampu menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada budidaya cabai, daun yang terserang akan layu dan rontok. Serangan berat meyebabkan tanaman cabai kehilangan hampir semua daunnya, kondisi ini akan mempengaruhi kemampuan cabai dalam menghasilkan buah. Kondisi lingkungan yang selalu hujan mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit bercak daun. Berdasarkan Tabel 6 serangan penyakit bercak daun mulai muncul pada pengamatan ke-5 mst, penyebaran penyakit bercak daun sangat terbatas dan tidak meluas. Gejala penyakit hanya terlihat menyerang beberapa tanaman cabai di lahan penelitian. Upaya pengendalian yang dilakukan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, baik pengendalian secara PHT maupun konvensional. Terdapat 2 kali pengamatan yang menunjukkan adanya nilai perbedaan nyata diantara kedua pengendalian, yaitu pada pengamatan ke- 8 dan 10 mst. Tabel 6 Umur saat pengamatan (mst) Perkembangan penyakit bercak daun pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Rata-rata gejala serangan (pucuk tanaman) Rata-rata persentase gejala serangan (%) Konvensional PHT Konvensional PHT a 0.00a 0.00a 0.00a a 0.00a 0.00a 0.00a a 0.00a 0.00a 0.00a a 0.00a 0.00a 0.00a a 0.13a 0.00a 0.55a a 0.13a 0.00a 0.73a a 0.47a 0.74a 1.60a b 1.93a 2.71b 7.54a a 1.27a 5.24a 8.09a b 1.40a 5.09b 7.41a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan Serangan penyakit bercak daun pada lahan penelitian terlihat cukup rendah dan tidak menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada kegiatan budidaya cabai cabai keriting hibrida TM 999. Beberapa daun cabai terlihat menunjukkan gejala serangan penyakit ini, namun penyebaran penyakit ini sangat terbatas dan hanya menyerang sebagian kecil tanaman cabai. Penyakit bercak daun lebih banyak terlihat pada budidaya PHT daripada konvensional, namun gejala serangan yang ditimbulkan masih ringan dan tidak menimbulkan kematian pada tanaman.

35 25 Gambar 8 Gejala penyakit bercak daun pada daun cabai keriting hibrida TM 999 Antraknosa (Colletotrichum sp.) Petani cabai umumnya menyebut penyakit ini dengan nama patek, karena gejala yang ditimbulkan menyerupai penyakit kulit pada manusia. Antraknosa merupakan penyakit penting pada tanaman cabai, keberadaan penyakit ini pada pertanaman cabai mampu menurunkan kuantitas dan kualitas buah cabai dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Gejala awal terlihat dari adanya bercak kecil pada buah cabai, bercak tersebut akan meluas dan membentuk sebuah lingkaran konsentris. Buah cabai yang terserang akan mengkerut dan tetap melekat pada cabang tanaman cabai. Penyakit ini mampu menimbulkan kerusakan pada semua buah cabai, baik buah yang masih muda maupun yang sudah matang. Penyebaran penyakit antraknosa ke tanaman lain dilakukan melalui percikan air. Tabel 7 Perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Umur saat pengamatan (mst) Konvensional PHT a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 0.87a a 3.47a b 10.60a b 17.40a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

36 Berdasarkan Tabel 7, serangan penyakit antraknosa mulai terlihat pada pengamatan ke-7 mst. Penyakit ini mampu menimbulkan kerusakan pada waktu tanaman cabai mulai berbuah. Serangan antraknosa semakin meningkat pada pengamatan berikutnya dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada lahan pertanaman cabai. Serangan terberat terlihat pada pengamatan ke-10 mst, hampir semua tanaman cabai pada lahan penelitian terserang penyakit ini. Pengendalian secara konvensional menunjukkan hasil yang sedikit lebih baik dalam menekan serangan penyakit antraknosa. Terdapat 2 kali pengamatan yang menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam mengendalikan penyakit ini, yaitu pada pengamatan ke-9 dan 10 mst. Pengendalian antraknosa pada budidaya cabai harus didukung dengan kegiatan sanitasi, baik sanitasi terhadap lingkungan di sekitar pertanaman maupun buah yang terserang. Sanitasi yang kurang optimal menyebabkan melimpahnya inokulum pada lahan penelitian, sehingga penyebaran penyakit ini mampu meluas dan menyebabkan kerusakan dengan cepat. Kondisi cuaca di lahan penelitian yang sering diguyur air hujan, serta lokasi penanaman yang berada di bawah sangat mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit antraknosa. 26 \ Gambar 9 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai keriting hibrida TM 999 Virus Kuning Gejala penyakit virus kuning pada tanaman cabai ditandai dengan munculnya vein clearing pada helaian daun, serangan penyakit ini pada umumnya dimulai dari pucuk daun. Daun yang terserang akan berwarna kuning dengan tulang daun yang menebal dan terjadi penggulungan daun. Serangan tingkat lanjut menyebabkan daun mengecil dan pengkerdilan tanaman, tanaman yang telah terserang tidak mampu menghasilkan buah. Serangan penyakit virus kuning pada budidaya cabai keriting hibrida TM 999 terlihat cukup rendah, jumlah tanaman yang terserang penyakit ini berkisar antara 1-6 tanaman setiap petaknya. Rendahnya tingkat serangan disebabkan oleh minimnya serangga vektor yang membantu proses penyebaran penyakit ini. Serangga Bemisia tabaci yang merupakan vektor utama penyakit virus kuning hanya terlihat pada 2 kali pengamatan dengan jumlah populasi yang sedikit, yaitu sebanyak 6 dan 8 individu.

37 Tabel 8 Perkembangan penyakit virus pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Umur saat pengamatan (mst) Konvensional PHT a 0.00a a 0.00a a 0.00a a 2.33a a 3.33a a 3.33a a 4.67a a 4.67a a 4.67a a 4.67a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan 27 Gambar 10 Gejala penyakit virus kuning pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 Produksi Cabai keriting hibrida TM 999 Tanaman cabai keriting hibrida TM 999 memasuki masa generatif pada umur 7 mst, beberapa tanaman cabai mulai terlihat berbuah. Jumlah buah pertama yang dihasilkan relatif sedikit dan tidak merata pada semua tanaman. Buah cabai yang sudah matang harus segera di panen walaupun jumlahnya sedikit, hal ini dilakukan guna merangsang pembentukan buah berikutnya. Kegiatan panen dilakukan pada buah yang sudah benar-benar matang dengan warna merah yang merata pada seluruh bagian buah, buah cabai yang setengah matang atau belum matang sempurna tidak dipanen. Umumnya panen dilakukan setiap 3-5 hari sekali, atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Panen buah dilakukan secara manual, yaitu pemetikan buah dilakukan dengan menggunakan tangan.

38 Panen sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau ketika embun sudah mulai menguap, apabila kondisi cuaca sedang hujan sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pemanenan. Panen pada kondisi hujan akan meningkatkan resiko kebusukan ketika buah disimpan, buah cabai yang dipanen pada waktu hujan sebaiknya dikering anginkan terlebih dahulu. Kegiatan pemanenan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan sanitasi buah yang terserang penyakit antraknosa. Kegiatan sanitasi yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan pemanenan sebaiknya dihindari, karena akan meningkatkan laju penyebaran penyakit antraknosa. Berdasarkan tabel produksi cabai keriting hibrida TM 999 diketahui bahwa tingkat produktivitas buah pada budidaya PHT lebih baik daripada konvensional. Rata-rata hasil panen buah cabai pada budidaya PHT lebih tinggi daripada konvensioanal, rata-rata panen tertinggi terdapat pada panen ke-4. Berdasarkan hasil panen dilakukan diketahui bahwa budidaya secara PHT lebih baik, walaupun perbedaan rata-rata panen cabai keriting hibrida TM 999 antara budidaya secara PHT dengan konvensional cukup kecil. 28 Tabel 9 Produksi tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010 Panen ke- Konvensional PHT a 0.70a a 1.13a a 2.00a a 3.10a a 2.33a Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan Gambar 11 Panen buah cabai keriting hibrida TM 999

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Cabai TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Cabai Cabai merupakan salah satu tanaman perdu dari famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh para pelancong. Jenis dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang Kehilangan hasil yang disebabkan gangguan oleh serangga hama pada usaha tani komoditas hortikultura khususnya kentang, merupakan

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT TEKNIK BUDIDAYA TOMAT 1. Syarat Tumbuh Budidaya tomat dapat dilakukan dari ketinggian 0 1.250 mdpl, dan tumbuh optimal di dataran tinggi >750 mdpl, sesuai dengan jenis/varietas yang diusahakan dg suhu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran dan Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

Oleh Administrator Kamis, 07 November :05 - Terakhir Diupdate Kamis, 07 November :09

Oleh Administrator Kamis, 07 November :05 - Terakhir Diupdate Kamis, 07 November :09 Tanaman tomat (Lycopersicon lycopersicum L.) termasuk famili Solanaceae dan merupakan salah satu komoditas sayuran yang sangat potensial untuk dikembangkan. Tanaman ini dapat ditanam secara luas di dataran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016 yang bertempat di Greenhouse Fakultas Pertanian dan Laboratorium Penelitian,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Istimewa Yogyakarta. Waktu pelaksanaan dimulai pada bulan September 2015

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Istimewa Yogyakarta. Waktu pelaksanaan dimulai pada bulan September 2015 III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Green house Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Daerah

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT PENDAHULUAN Eli Korlina Salah satu masalah dalam usahatani bawang putih adalah gangguan hama dan penyakit. Keberadaan hama dan penyakit dalam usahatani mendorong petani untuk menggu-nakan pestisida pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merata sepanjang tahun. Curah hujan (CH) untuk pertanaman pepaya berkisar

TINJAUAN PUSTAKA. merata sepanjang tahun. Curah hujan (CH) untuk pertanaman pepaya berkisar 4 TINJAUAN PUSTAKA Pepaya (Carica papaya L.) Asal-usul Pepaya Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba yang diduga berasal dari Amerika Tropis, diantaranya Meksiko dan Nikaragua. Penyebaran tanaman pepaya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bumi Agung, September 2015 Penulis

KATA PENGANTAR. Bumi Agung, September 2015 Penulis KATA PENGANTAR Buah terung ini cukup populer di masyarakat, bisa di dapatkan di warung, pasar tradisional, penjual pinggir jalan hingga swalayan. Cara pembudidayaan buah terung dari menanam bibit terung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Masalah yang sering dihadapi dan cukup meresahkan petani adalah adanya serangan hama

Lebih terperinci

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. PERENCANAAN TANAM 1. Pemilihan lokasi tanam 2. Sistem tanam 3. Pola tanam 4. Waktu tanam 5. Pemilihan varietas Perencanaan Persyaratan Tumbuh

Lebih terperinci

Hama penghisap daun Aphis craccivora

Hama penghisap daun Aphis craccivora Hama Kacang tanah Hama penghisap daun Aphis craccivora Bioekologi Kecil, lunak, hitam. Sebagian besar tdk bersayap, bila populasi meningkat, sebagian bersayap bening. Imago yg bersayap pindah ke tanaman

Lebih terperinci

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT SEMANGKA. Dr. M. SYUKUR, SP, MSi INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT SEMANGKA. Dr. M. SYUKUR, SP, MSi INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT SEMANGKA Dr. M. SYUKUR, SP, MSi INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Hama Penting Semangka Hama penting pada semangka: 1. Thrips (Thrips parvispinus Karny) 2. Ulat perusak daun

Lebih terperinci

BUDIDAYA CABAI KERITING DALAM POT. Oleh: YULFINA HAYATI

BUDIDAYA CABAI KERITING DALAM POT. Oleh: YULFINA HAYATI BUDIDAYA CABAI KERITING DALAM POT Oleh: YULFINA HAYATI PENDAHULUAN Tanaman cabai (Capsicum annum) dalam klasifikasi tumbuhan termasuk ke dalam family Solanaceae. Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS TUGAS LINGKUNGAN BISNIS Budiaya Cabai Rawit Disususn Oleh: Nama : Fitri Umayasari NIM : 11.12.6231 Prodi dan Jurusan : S1 SISTEM INFORMASI 11-S1SI-12 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK

Lebih terperinci

HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN CABAI SERTA PENGENDALIANNYA

HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN CABAI SERTA PENGENDALIANNYA HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN CABAI SERTA PENGENDALIANNYA BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) JAMBI BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Famili ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

Budidaya Cabai. Potensi hasil 9 ton/ha. Warna buah merah Panjang buah 10 cm Cocok untuk dataran rendah Toleran terhadap hama pengisap daun

Budidaya Cabai. Potensi hasil 9 ton/ha. Warna buah merah Panjang buah 10 cm Cocok untuk dataran rendah Toleran terhadap hama pengisap daun Budidaya Cabai Pendahuluan Cabe (Capsicum Annum varlongum) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Cabe merupakan tanaman perdu dari famili terong

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

BAB III BAHAN DAN METODE. Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan Percut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Mentimun Klasifikasi tanaman mentimun ( Cucumis sativus L.) (Cahyono, 2006) dalam tata nama tumbuhan, diklasifikasikan kedalam : Divisi :

Lebih terperinci

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PENGENDALIAN OPT CABAI Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau hama dan

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan. Kabupaten Pesawaran dari Oktober 2011 sampai April 2012.

III BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan. Kabupaten Pesawaran dari Oktober 2011 sampai April 2012. III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran dari Oktober 2011 sampai April 2012. 3.2 Bahan dan alat Bahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran, dari bulan Oktober 2011 sampai dengan April 2012. 3.2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran yang tergolong tanaman tahunan berbentuk perdu.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Industri Tempe Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih di kenal sebagai sampah, yang kehadiranya

Lebih terperinci

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR

BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR 13 BAB III TATALAKSANA TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Pelaksanaan Tugas Akhir dilaksanakan di Dusun Kwojo Wetan, Desa Jembungan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. B. Waktu Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

RESPON TANAMAN JAGUNG MANIS AKIBAT PEMBERIAN TIENS GOLDEN HARVEST. Oleh : Seprita Lidar dan Surtinah

RESPON TANAMAN JAGUNG MANIS AKIBAT PEMBERIAN TIENS GOLDEN HARVEST. Oleh : Seprita Lidar dan Surtinah RESPON TANAMAN JAGUNG MANIS AKIBAT PEMBERIAN TIENS GOLDEN HARVEST Oleh : Seprita Lidar dan Surtinah Staf Pengajar fakultas pertanian Universitas Lancang kuning Jurusan Agroteknologi ABSTRAK Permintaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tanaman cabai rawit adalah sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Unit Pelayanan Teknis (UPT), Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pelaksanaannya dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN GELAR TEKNOLOGI BUDIDAYA TOMAT

PETUNJUK PELAKSANAAN GELAR TEKNOLOGI BUDIDAYA TOMAT PETUNJUK PELAKSANAAN GELAR TEKNOLOGI BUDIDAYA TOMAT Ir.. SISWANI DWI DALIANI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU 2012 PETUNJUK PELAKSANAAN NOMOR : 26/1801.18/011/A/JUKLAK/2012 1. JUDUL RDHP :

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

Ralstonia solanacearum

Ralstonia solanacearum NAMA : Zuah Eko Mursyid Bangun NIM : 6030066 KELAS : AET-2A Ralstonia solanacearum (Bakteri penyebab penyakit layu). Klasifikasi Kingdom : Prokaryotae Divisi : Gracilicutes Subdivisi : Proteobacteria Famili

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB, Darmaga Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan elevasi 250 m dpl dan curah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai (Capsicum sp.) berasal dari Amerika dan menyebar di berbagai negara di dunia. Cabai termasuk ke dalam famili terong-terongan (Solanaceae). Menurut

Lebih terperinci

Budidaya Bawang Putih di Dataran Rendah

Budidaya Bawang Putih di Dataran Rendah Budidaya Bawang Putih di Dataran Rendah Bawang putih (allium sativum) termasuk genus afflum dan termasuk klasifikasi tumbuhan terna berumbi lapis atau siung yang bersusun. Bawang putih tumbuh secara berumpun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Cabai merupakan tanaman semusim berbentuk perdu tegak, batang berkayu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Cabai merupakan tanaman semusim berbentuk perdu tegak, batang berkayu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cabai Merah Besar Cabai merupakan tanaman semusim berbentuk perdu tegak, batang berkayu namun pada batang muda berambut halus berwarna hijau. Tinggi tanaman mencapai 1 2,5 cm dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak digemari oleh masyarakat. Ciri dari jenis sayuran ini adalah rasanya yang pedas dan aromanya yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca laboratorium Lapangan Terpadu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca laboratorium Lapangan Terpadu 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca laboratorium Lapangan Terpadu Universitas Lampung mulai dari bulan Maret sampai Juni 2012. 3.2 Bahan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tembakau adalah: Menurut Murdiyanti dan Sembiring (2004) klasifikasi tanaman tembakau Kingdom Divisi Sub divisi Class Ordo Family Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

Cara Menanam Cabe di Polybag

Cara Menanam Cabe di Polybag Cabe merupakan buah dan tumbuhan berasal dari anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang 1 Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang Kelompok penyakit tanaman adalah organisme pengganggu tumbuhan yang penyebabnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang seperti : cendawan, bakteri,

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Risiko Produksi Fluktuasi yang terjadi pada suatu usaha, baik fluktuasi hasil produksi, harga dan jumlah permintaan yang berada dibawah standar yang ditetapkan merupakan indikasi

Lebih terperinci

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah Latar Belakang Di antara pola tanam ganda (multiple cropping) yang sering digunakan adalah tumpang sari (intercropping) dan tanam sisip (relay

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemupukan pada Tanaman Tomat 2.1.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Kimia Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada tanaman tomat tertinggi terlihat pada

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta.

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta. III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Greenhouse dan Lahan Percobaan Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta. Penelitian ini

Lebih terperinci

Agro inovasi. Kiat Sukses Berinovasi Cabai

Agro inovasi. Kiat Sukses Berinovasi Cabai Agro inovasi Kiat Sukses Berinovasi Cabai 2 AgroinovasI Kiat Sukses Berinovasi Cabai Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomis cukup penting. Salah satu faktor yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman cabai Cabai (Capsicum sp ) merupakan tanaman semusim, dan salah satu jenis tanaman hortikultura penting yang dibudidayakan secara komersial, hal ini disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di lahan kebun Desa Pujon (1200 meter di atas permukaan laut) Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam kondisi pertanian Indonesia saat ini dengan harga pestisida tinggi, menyebabkan bahwa usaha tani menjadi tidak menguntungkan sehingga pendapatan tidak layak. Kondisi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Dolat Rakyat-

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Dolat Rakyat- 22 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian ini dilaksanakan di lahan milik petani di Desa Dolat Rakyat- Tongkoh, Kabupaten Karo, Sumatera Utara dengan jenis tanah Andosol, ketinggian tempat

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI Triyani Dumaria DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua ilmu pengetahuan sesungguhnya bersumber dari Al Qur an, karena

BAB I PENDAHULUAN. Semua ilmu pengetahuan sesungguhnya bersumber dari Al Qur an, karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua ilmu pengetahuan sesungguhnya bersumber dari Al Qur an, karena di dalam Al Qur an telah dijelaskan proses penciptaan alam semesta termasuk makhluk hidup yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung Gedung Meneng, Kecamatan raja basa, Bandar Lampung

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA. disusun oleh: Vishora Satyani A Listika Minarti A

LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA. disusun oleh: Vishora Satyani A Listika Minarti A LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA disusun oleh: Lutfi Afifah A34070039 Vishora Satyani A34070024 Johan A34070034 Listika Minarti A34070071 Dosen Pengajar:

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Peluang Usaha Budidaya Cabai? Sambal Aseli Pedasnya Peluang Usaha Budidaya Cabai? Tanaman cabai dapat tumbuh di wilayah Indonesia dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Peluang pasar besar dan luas dengan rata-rata konsumsi cabai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut

TINJAUAN PUSTAKA. utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Cabai dalam: Menurut Setiadi (2006) klasifikasi tanaman cabai merah termasuk ke Kingdom Diviso Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Desa Joho, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo dari bulan Mei hingga November 2012. B. Bahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 1.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Lahan Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area, Jalan Kolam No.1 Medan Estate kecamatan Percut Sei

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan September 2012 sampai bulan Januari 2013. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR 16 III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Tugas Akhir Kegiatan Tugas Akhir dilaksanakan di Banaran RT 4 RW 10, Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. B. Waktu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik.

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik. Buahnya dikenal sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN BIOPESTISIDA TERHADAP DAYA KENDALI SERANGAN HAMA KUTU PADA TANAMAN CABE RAWIT OLEH : HENDRI YANDRI, SP (WIDYAISWARA PERTAMA)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN BIOPESTISIDA TERHADAP DAYA KENDALI SERANGAN HAMA KUTU PADA TANAMAN CABE RAWIT OLEH : HENDRI YANDRI, SP (WIDYAISWARA PERTAMA) PENGARUH LAMA PENYIMPANAN BIOPESTISIDA TERHADAP DAYA KENDALI SERANGAN HAMA KUTU PADA TANAMAN CABE RAWIT OLEH : HENDRI YANDRI, SP (WIDYAISWARA PERTAMA) I. PENDAHULUAN Budidaya tanaman cabe merupakan kegiatan

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE

III. MATERI DAN METODE III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Penelitian dilakukan pada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Gedung Meneng, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung mulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di

I. PENDAHULUAN. negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sayuran cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Komoditas sayuran dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016 III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016 di Lahan Percobaan, Laboratorium Penelitian dan Laboratorium Tanah Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Cabai ditemukan pertama kali oleh Columbus pada saat menjelajahi Dunia Baru. Tanaman cabai hidup pada daerah tropis dan wilayah yang bersuhu hangat. Selang beberapa

Lebih terperinci

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN IZZATI SHABRINA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dikebun percobaan Politeknik Negeri Lampung, Bandar lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai

Lebih terperinci

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi

Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 PROBOLINGGO 67271 Pendahuluan Waspadai Kemunculan Pengorok Daun (Liriomyza sp) pada Tanaman Kopi Oleh : Ika Ratmawati, SP,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lahan pertanian milik masyarakat Jl. Swadaya. Desa Sidodadi, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. pertumbuhan tanaman cabai merah telah dilakukan di kebun percobaan Fakultas. B.

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. pertumbuhan tanaman cabai merah telah dilakukan di kebun percobaan Fakultas. B. III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lahan Percobaan milik Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan di laboratorium. Pengamatan pertumbuhan

Lebih terperinci

Cara Menanam Tomat Dalam Polybag

Cara Menanam Tomat Dalam Polybag Cara Menanam Tomat Dalam Polybag Pendahuluan Tomat dikategorikan sebagai sayuran, meskipun mempunyai struktur buah. Tanaman ini bisa tumbuh baik didataran rendah maupun tinggi mulai dari 0-1500 meter dpl,

Lebih terperinci

*) Dibiayai Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2009 **) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Univ.Andalas Padang

*) Dibiayai Dana DIPA Universitas Andalas Tahun Anggaran 2009 **) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Univ.Andalas Padang PENERAPAN PENGGUNAAN INSEKTISIDA BIORASIONAL UNTUK MENGENDALIKAN HAMA KUTU KEBUL, Bemisia tabaci PENYEBAB PENYAKIT VIRUS KUNING KERITING CABAI DI NAGARI BATU TAGAK, KECAMATAN LUBUK BASUNG, KABUPATEN AGAM,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk kedalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 20-30 spesies yang termasuk kedalam genus Capsicum, termasuk diantaranya

Lebih terperinci

BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. PERENCANAAN TANAM 1. Pemilihan lokasi tanam 2. Sistem tanam 3. Pola tanam 4. Waktu tanam 5. Pemilihan varietas Perencanaan Persyaratan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN PERTANIAN ISBN :

KEMENTERIAN PERTANIAN ISBN : KEMENTERIAN PERTANIAN ISBN :978-979-8304-70-5 ISBN : 978-979-8304-70-5 Modul Pelatihan Budidaya Kentang Berdasarkan Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Modul 1 : Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci