II. TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Ridwan Santoso
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelembagaan Konsepsi mengenai kelembagaan telah dikemukakan oleh banyak ahli. Mengacu pada pendapat Schmid (1987) dan North (1991), secara umum kelembagaan (institution) memiliki dua pengertian. Pengertian pertama adalah kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game) dalam interaksi interpersonal, yaitu sekumpulan aturan baik formal maupun infomal, tertulis maupun tidak tertulis, serta tata perilaku hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Sedangkan dalam pengertian kedua, kelembagaan merupakan suatu organisasi, yang dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh harga-harga, tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan. Menurut Kasper dan Streit (1998), aturan buatan manusia dalam kelembagaan selalu ditegakkan melalui berbagai jenis sanksi. Ini didasari persepsi bahwa interaksi antar manusia selalu didasari oleh perilaku oportunistik, sehingga kelembagaan tanpa sanksi akan sia-sia. Schmid (1987) menyatakan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama, yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property right), dan aturan representasi. Batas yurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan. Batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Hak kepemilikan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak kepemilikan dapat menjadi sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Hak kepemilikan dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai suatu alokasi sumberdaya. Keputusan yang diambil dan akibatnya terhadap kinerja suatu kelembagaan akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
2 12 Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. Yustika (2006) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, pendefinisian kelembagaan dapat dipilah dalam dua klasifikasi. Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka kelembagaan merujuk pada upaya untuk mendesain pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga mereka dapat melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagan berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasar struktur kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial antar pelakunya. Secara praktis, kelembagaan yang tersedia dalam kegiatan ekonomi akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus akan menentukan seberapa besar distribusi ekonomi yang diperoleh oleh masing-masing partisipan. Bila pelaku ekonomi menganggap bahwa kelembagaan tidak efisien, misalnya gagal mencapai pertumbuhan ekonomi atau tidak merata dalam membagi kesejahteraan antar pelakunya, maka hasrat untuk mengubah kelembagaan (institutional change) dipastikan akan terjadi. Tujuan perubahan kelembagaan adalah untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik dari yang diharapkan. Perubahan institusi secara internal disebut institusionalisasi atau pelembagaan. Huttington dalam Kartodihardjo (2008) menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi, yaitu : 1) Otonomi, yaitu kemampuan institusi untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dibuatnya. 2) Adaptabilitas, yaitu sanggup beradaptasi dalam lingkungannya. 3) Kompleksitas, yaitu mampu membentuk struktur di dalam dirinya sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 4) Koheren, yaitu kemampuan institusi untuk mengelola aktivitas dan mengembangkan prosedur sehingga tugas-tugasnya selesai tepat pada waktunya. B. Batasan Operasional Beberapa Istilah dalam Bidang Perbenihan Batasan operasional beberapa istilah dalam bidang perbenihan yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
3 13 (Permenhut) No 01/Menhut-II/2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS) No P.03/2007 sebagai berikut : 1). Perbenihan Tanaman Hutan yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut perbenihan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya genetik, pemuliaan tanaman hutan, pengadaan dan pengedaran benih dan dan sertifikasi. 2) Benih tanaman hutan yang selanjutnya di dalam penelitian ini disebut benih adalah bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji) atau bahan vegetatif tanaman yang digunakan untuk mengembangbiakan tanaman hutan. 3) Bibit tanaman hutan yang selanjutnya di dalam peraturan ini disebut adalah tumbuhan muda hasil pengembangbiakan secara generatif atau secara vegetatif. 4) Sumber Benih adalah suatu tegakan hutan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas. 5). Kriteria sumber benih adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sumber benih tanaman hutan. 6). Standar sumber benih adalah spesifikasi teknis sumber benih tanaman hutan yang dibakukan sebagai patokan dalam menentukan mutu sumber benih. 7). Prosedur sertifikasi sumber benih adalah tahapan dan mekanisme dalam pelaksanaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan. 8). Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), yaitu sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata, yang ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman dan lokasinya teridentifikasi dengan tepat. 9). Tegakan Benih Terseleksi (TBS) adalah sumber benih yang berasal dari TBT dengan kualitas tegakan di atas rata-rata. 10). Areal Produksi Benih adalah sumber benih yang dibangun khusus atau berasal dari TBT atau TBS yang ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohon-pohon yang fenotipanya tidak bagus. 11). Tegakan Benih Provenan adalah sumber benih yang dibangun dari benih yang provenannya telah teruji.
4 14 12). Kebun Benih Semai adalah (KBS), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan. 13) Kebun Benih Klon adalah Kebun Benih Klon (KBK), yaitu sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan. 14). Kebun Benih Pangkas adalah sumber benih yang dibangun dari bahan generatif atau vegetatif dari pohon induk yang berasal dari KBK atau KBS. 15).Pengadaan benih adalah kegiatan yang meliputi kegiatan pengunduhan, penanganan, pengujian, pengepakan dan penyimpanan. 16).Pengadaan adalah kegiatan yang meliputi penyiapan benih, pembuatan, seleksi, dan pemeliharaan sampai siap digunakan dan/atau diedarkan. 17). Pengedaran benih adalah kegiatan yang meliputi pengemasan, pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi benih. 18). Pengedaran adalah kegiatan yang meliputi pengemasan, pengangkutan, dan distribusi 19).Pengada benih adalah BUMN/BUMD/BUMS, koperasi atau perorangan yang mempunyai kegiatan pengadaan benih. 20).Pengedar benih dan adalah BUMN/BUMD/BUMS, koperasi atau perorangan yang mempunyai kegiatan peredaran benih dan/atau. 21). Label benih adalah keterangan tertulis yang diberikan pada benih yang sudah dikemas dan akan diedarkan yang memuat antara lain jenis benih, asal benih, mutu benih, tanggal unduh benih, data hasil uji laboratorium serta akhir masa edar benih. C. Kebijakan Pemerintah yang Terkait dengan Perbenihan Tanaman Hutan Sertifikasi sumber benih tanaman hutan merupakan titik awal jaminan mutu produksi benih untuk keperluan rehabilitasi lahan hutan, oleh karena itu pembahasan mengenai kebijakan sertifikasi sumber benih tanaman hutan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan nasional perbenihan tanaman hutan secara
5 15 keseluruhan. Hasil identifikasi peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan disajikan dalam Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Peraturan perundangan yang terkait dengan perbenihan tanaman hutan No Peraturan Perundangan Perihal 1 UU No 12/1992 Sistem Budidaya Tanaman 2 UU No 41/1999 Kehutanan 2 PP No 44 Tahun 1995 Perbenihan Tanaman 3 PP No 38/2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 4 SK Menhut No 663/ Kpts- II/2002 Organisasi dan Tata Kerja BPTH 5 Permenhut No P.01/Menhut- II/2009 Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan Permenhut No P.01/Menhut-II/2009 diundangkan tanggal 12 Januari 2009 menggantikan Permenhut No P.10/Menhut-II/2007. Permenhut No P.01/2009 ini memuat berbagai lampiran teknis yang mementahkan berbagai Peraturan Dirjen RLPS yang diterbitkan tahun 2007 (sebagai penjabaran teknis Permenhut P.10/2007) dan membuatnya tidak efektif lagi. Reduksi tugas pokok dan fungsi BPTH dalam Permenhut P.01/Menhut-II/2009 (meski tidak dinyatakan secara eksplisit) juga mementahkan SK Menhut No 663/Kpts-II/2002 mengenai Organisasi dan Tata Kerja BPTH. Dalam Permenhut No P.01/Menhut-II/2009 disebutkan bahwa pengaturan perbenihan tanaman hutan bertujuan untuk : 1) menjamin kelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan dan pemanfaatannya; 2) menjamin tersedianya benih dan/atau tanaman hutan dengan mutu yang baik. Pengaturan perbenihan tanaman hutan meliputi pembangunan sumberdaya genetik, pemuliaan tanaman hutan, pengadaan benih, pengedaran benih dan, sertifikasi, dan pembinaan. Sertifikasi perbenihan tanaman hutan bertujuan untuk menjamin kualitas benih atau tanaman hutan; meningkatkan penggunaan benih atau yang berkualitas; memberikan perlindungan intelektual kepada para pemulia tanaman hutan; memberikan pengakuan kebenaran terhadap sumber benih, mutu benih, mutu, kesehatan benih dan ; dan menjamin kebenaran asal usul benih.
6 16 Dalam Permenhut P.01/2009 yang diberi wewenang melakukan sertifikasi perbenihan adalah Dinas Propinsi, Dinas Kabupaten/Kota, dan BPTH. Ada 4 (empat) macam sertifikasi dalam bidang perbenihan, yaitu : a. Sertifikasi sumber benih : untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih berdasarkan kualitas genetik. b. Sertifikasi mutu benih : untuk menjamin kebenaran mutu genetik berdasarkan kelas sumber benih dan mutu fisik-fisiologis benih. c. Sertifikasi mutu : untuk menjamin kebenaran mutu genetik berdasarkan kelas sumber benih dan mutu fisik-fisiologis. d. Sertifikasi asal usul benih dan/atau. Sertifikasi mutu benih diikuti dengan pemberian label benih apabila akan diedarkan. Sertifikat mutu benih/ diterbitkan apabila asal-usul benih diketahui, sedangkan apabila asal-usul benih tidak diketahui, maka diterbitkan surat keterangan pengujian benih/. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk menjamin tertibnya dan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dalam penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. Kegiatan pembinaan berupa bimbingan teknis dan administrasi, pelatihan, arahan dan/atau supervisi, dilakukan oleh pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota kepada penyelenggara perbenihan tanaman hutan. Kegiatan pengawasan dalam perbenihan adalah sebagai berikut : a. Menteri Kehutanan dapat melarang pengadaan, peredaran dan penanaman benih dari jenis yang ternyata merugikan masyarakat, budidaya tanaman, sumberdaya alam lain atau lingkungan hidup. b. Direktur Jenderal RLPS bersama dengan dinas provinsi/kabupaten/kota melakukan pengawasan atas pengadaan, peredaran, sertifikasi dan tata usaha benih dan/atau. c. Kepala Badan Litbang Kehutanan melakukan pengawasan atas penelitian konservasi sumber daya genetik dan pemuliaan tanaman hutan. Sedangkan kegiatan pengendalian perbenihan tanaman hutan diselengarakan oleh Dirjen RLPS, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, meliputi :
7 17 a. Pengawasan : untuk memperoleh data dan informasi penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. b. Evaluasi : untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. c. Tindak lanjut : kegiatan tindak lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi guna penyempurnaan kebijakan penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan. D. Sertifikasi Sumber Benih Sertifikasi sumber benih adalah proses pemberian sertifikat kepada sumber benih yang menginformasikan keadaan sumber benih yang bermutu, sedangkan sertifikat sumber benih adalah dokumen yang menyatakan kebenaran mutu sumber benih tanaman hutan. Sertifikasi sumber benih dilakukan untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih berdasarkan kualitas genetik. Berdasarkan kualitas genetiknya, sumber benih diklasifikasikan menjadi 7 kelas, berturut-turut adalah : 1. Tegakan Benih Teridentifikasi (TB Teridentifikasi); 2. Tegakan Benih Terseleksi (TB Terseleksi); 3. Areal Produksi Benih (APB); 4. Tegakan Benih Provenan (TB Provenans); 5. Kebun Benih Semai (KBS); 6. Kebun Benih Klon (KBK); 7. Kebun Benih Pangkas (KBP). Sumber benih dapat berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Sumber benih dalam Cagar Alam serta Zona Inti dan Zona Rimba pada Taman Nasional hanya untuk Tegakan Benih Teridentifikasi. Sebelum penerbitan Permenhut No P.01/2009, sumber benih dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, BUMS, koperasi atau perorangan. Namun menurut Permenhut No P.01/2009, sumber benih hanya dapat dikelola oleh BUMN, BUMD, BUMS, koperasi atau perorangan, sehingga menjadi pertanyaan bagaimana status pengelolaan sumber benih yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
8 18 Berikut adalah pemegang kewenangan melakukan sertifikasi sumber benih berdasar Permenhut No P.01/2009 pasal 45 dan 51 : 1. Dinas Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap sumber benih yang berada di wilayahnya: 2. Dinas Propinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas Kehutanan atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. 3. BPTH melakukan sertifikasi di wilayah Propinsi terhadap Propinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas atau Kabupaten/Kota tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan. Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang akan melaksanakan sertifikasi harus memenuhi standar kriteria sumberdaya manusia dan sarana tertentu sesuai yang ditetapkan dalam Permenhut P.01/2009 (namun tidak disebutkan siapa yang berhak melakukan akreditasi terhadap kelayakan Dinas tersebut). Selanjutnya dalam pasal 52 dinyatakan bahwa setiap pemanfaatan jasa atau sarana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan perbenihan tanaman hutan dikenakan pungutan jasa perbenihan tanaman hutan, termasuk dalam penerbitan sertifikasi sumber benih. Semua penerimaan dari pungutan tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus disetor ke Kas Negara. Besaran pungutan akan ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. Sedangkan biaya sertifikasi di lapangan ditanggung oleh pemohon sertifikasi (pasal 46). Satu nomor sertifikat sumber benih hanya berlaku untuk satu lokasi sumber benih dan untuk satu jenis tanaman (spesies). Sertifikat sumber benih tidak berlaku apabila terjadi kerusakan pada sumber benih, perubahan fungsi/status sumber benih, dan tidak produktif lagi. Masa berlaku sertifikat sumber benih 5 (lima) tahun, setelah itu dapat dievaluasi kembali dengan prosedur yang sama. Berikut adalah standar sumber benih dari kriteria yang bersifat umum (berlaku untuk semua kelas sumber benih ), menurut Permenhut P.01/2009 : 1. Aksesibilitas : Lokasi sumber benih harus mudah dijangkau sehingga memudahkan untuk pemeliharaannya serta pengunduhan buahnya serta
9 19 mempercepat waktu pengangkutan. Lokasi sumber benih yang memiliki aksesibilitas yang baik juga akan lebih menjamin mutu fisik-fisiologis benih. 2. Pembungaan/pembuahan : Tegakan harus pernah berbunga dan berbuah, kecuali untuk kebun benih pangkas. 3. Keamanan : Tegakan harus aman dari ancaman kebakaran, penebangan liar, perladangan berpindah, penggembalaan dan penjarahan kawasan. 4. Kesehatan tegakan : Tegakan harus tidak terserang hama dan penyakit. 5. Batas areal : Batas areal harus jelas, sehingga pengumpul benih mengetahui tegakan yang termasuk sebagai sumber benih. 6. Terkelola dengan baik. Sumber benih jelas status kepemilikannya serta memiliki indikator manajemen yang baik, seperti pemeliharaan, pengorganisasian, pemanfaatan benih dan lain-lain. Kriteria khusus sumber benih berbeda-beda menurut kelas sumber benihnya. Sebelum penerbitan Pemenhut No 01/2009, untuk kelas sumber benih TB Teridentifikasi, TB Terseleksi, dan APB (selanjutnya ketiganya disebut sumber benih kelas rendah), kriteria tersebut ditetapkan oleh Dirjen RLPS. Sedang Kepala Badan Litbang Kehutanan bertugas menetapkan kriteria khusus untuk sumber benih kelas tinggi, yaitu TB Provenans, KBS, KBK, dan KBP. Badan Litbang Kehutanan belum menerbitkan pedoman kriteria khusus tersebut hingga diterbitkannya Permenhut No P.01/2009 yang menetapkan kriteria khusus untuk masing-masing kelas sumber benih. Berikut adalah prosedur sertifikasi sumber benih menurut Permenhut P.01/Menhut-II/2009 : 1). Pemilik sumber benih mengajukan permohonan sertifikasi sumber benih kepada Dinas Kabupaten/Kota di wilayahnya dengan dilampiri dokumen pendukung. 2). Dalam hal Dinas Kabupaten/Kota belum dapat melakukan sertifikasi sumber benih, maka Dinas Kabupaten/Kota akan meneruskan permohonan kepada Dinas Propinsi. Demikian selanjutnya apabila Dinas Propinsi tidak dapat melakukan sertifikasi, maka Dinas Propinsi akan meneruskan permohonan kepada BPTH.
10 20 3). Atas dasar permohonan tersebut, Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Dinas Propinsi atau BPTH membentuk Tim Penilai dengan melibatkan unsur terkait dalam kegiatan sertifikasi sumber benih, antara lain Balai PTH, UPT Badan Litbang Departemen Kehutanan dan/atau tenaga pakar di bidangnya. 4). Tim Penilai melakukan pengumpulan informasi dengan orientasi lapangan (quick tour) untuk menentukan kelayakan sebagai sumber benih. Informasi yang dikumpulkan untuk menentukan kelayakan sumber benih digunakan sebagai bahan untuk memenuhi kriteria umum sumber benih. 5). Hasil identifikasi yang memenuhi kriteria umum sumber benih dapat diterima sebagai calon sumber benih, kemudian dilanjutkan dengan deskripsi keadaan tegakan sedangkan untuk sumber benih yang ditolak, Tim tidak melakukan deskripsi. 6). Tim memberikan laporan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas kehutanan Kabupaten/Kota. 7). Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Dinas Propinsi atau Balai menerbitkan sertifikat sumber benih atas dasar laporan Tim dan disampaikan kepada pemilik sumber benih dengan tembusan kepada Balai. Menurut hasil penelitian Falah et al. (2008), berdasarkan status pengelola, pengusahaan sumber benih bersertifikat di Kalimantan bisa diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok berikut : 1). Pemegang sertifikasi adalah Dinas Kehutanan Kabupaten atau Propinsi, LSM, atau koperasi, sedang pengelola di lapangan adalah kelompok tani. Berupa tegakan benih teridentifikasi berasal dari hutan alam, luas bervariasi antara 10,0 hingga 200 ha. Pengelolaan tidak intensif, pemungutan benih masih tradisional, umumnya benih/ dikonsumsi oleh penangkar/pengedar benih untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan oleh pemerintah. (Catatan : karena berdasarkan Permenhut P.01/2009 hanya BUMD, BUMS, BUMN, koperasi atau perorangan yang berhak mengelola sumber benih, masih menjadi pertanyaan akan diserahkan kepada siapa hak pengelolaan sumber benih yang sebelumnya dikelola Dinas Kehutanan Kabupaten atau Propinsi). 2). Pemegang sertifikasi dan pengelola adalah badan hukum perusahaan skala kecil/menengah. Kelas sumber benih adalah tegakan benih teridentifikasi, luas
11 21 bervariasi antara 1 ha hingga 53,86 ha. Pengelolaan kurang intensif, umumnya benih/ dikonsumsi oleh penangkar/pengedar benih untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan oleh pemerintah. 3). Pengelola adalah pemegang IUPHHK-HT ( Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman) seperti PT ITCI Kartika Utama, PT Suka Jaya Makmur, PT Inhutani III Sebuhur dan Riam Kiwa, PT Dwimajaya Utama, dan lain-lain. Kelas sumber benih bervariasi dari tegakan benih teridentifikasi, tegakan benih terseleksi, Areal Produksi Benih, TB Provenans, hingga Kebun Benih dan Kebun Pangkas. Untuk tegakan benih teridentifikasi dan terseleksi umumnya berupa jenis tanaman hutan lokal, sedang APB hingga Kebun Benih adalah jenis tanaman non lokal. Benih/ sebagian besar dikonsumsi sendiri untuk keperluan HTI, sebagian kecil dipasarkan untuk keperluan reklamasi perusahaan tambang (seperti di PT ITCIKU), atau dipasarkan hingga ke Jawa (seperti di PT Inhutani III). E. Para pemangku kepentingan dalam Bidang Perbenihan Tanaman Hutan di Kalimantan Terdapat tiga kelompok pemangku kepentingan dalam bidang sertifikasi sumber benih di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sebagai berikut : a. Pihak penentu kebijakan, yaitu Ditjen RLPS c.q. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan (Dit.PTH). c.q. BPTH Banjarbaru. b. Pengelola sumber benih yang telah disertifikasi di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan c. Konsumen benih : - Konsumen benih tingkat pertama, yang mengambil benih dari sumber benih untuk disemaikan/dikan sendiri dan diedarkan, yaitu pemegang hak pengusahaan Hutan Tanamam Industri (HTI), petani penangkar, atau badan-badan hukum pengada/pengedar benih dan atau atau. - Konsumen tingkat kedua, yang memanfaatkan hasil persemaian untuk ditanam, baik instansi-instansi pelaksana GNRHL seperti BPDAS dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, serta kelompok tani hutan rakyat sebagai pelaksana penanaman di lapangan.
12 22 Peran para pemangku kepentingan menurut kewajiban yurisdiksinya berdasar Permenhut P.01/2009 disajikan dalam Gambar 3. Diklat : Ditjen RLPS Kegiatan Litbang & Diseminasi Hasil Litbang : Balitbang, Perguruan Tinggi Pembuat kebijakan (decision maker) tingkat nasional : Menhut, Dirjen RLPS Perijinan : Ditjen RLPS, Dinas Operasional/ pelaksanaan (Pembangunan & pengelolaan sumber benih, pengadaan dan peredaran benih/ ) : Pengada dan pengedar benih dan Pemantauan, evaluasi : Ditjen RLPS Pengawasan : Dinas Propinsi, Kabupaten/ Kota Bimbingan, supervisi, konsultasi : Ditjen RLPS, Dinas Propinsi dan Kabupaten/Kota Sertifikasi : BPTH, Dinas Propinsi dan Kabupaten /Kota Pengelolaan sistem informasi: BPTH Gambar 3. Skema fungsi peran para pemangku kepentingan dalam perbenihan tanaman hutan Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan proyek pemerintah dalam rehabilitasi lahan disajikan pada Gambar 4. Pengelola sumber benih (pengada benih) Penanaman Penangkar Kelompok tani pelaksana lapangan Pengada /pengedar (badan hukum) Konsumen tingkat II (Pemkab/Pemkot) Konsumen tingkat I (BPDAS atau Pemkab/ Pemkot) Gambar 4. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan proyek rehabilitasi lahan (sumber : Falah et al., 2007) Dalam skema di atas, konsumen adalah instansi pemerintah pelaksana proyek rehabilitasi lahan. Skema tersebut berlaku jika pengelola sumber benih hanya berperan sebagai pengada benih saja. Terdapat beberapa variasi dalam skema tersebut yang mempersingkat jalur peredaran benih, yaitu : 1. Pengelola sumber benih (pengada benih) juga berperan sebagai penangkar, sehingga kegiatan produksi benihnya juga meliputi pengolahan benih menjadi.
13 23 2. Penangkar sekaligus berperan sebagai pengedar. Sedangkan benih untuk keperluan non proyek pemerintah rehabilitasi lahan, biasanya digunakan untuk keperluan pengusahaan HTI, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), atau reklamasi lahan tambang. Jalur peredaran benih untuk keperluan non proyek pemerintah disajikan dalam Gambar 5. Pengelola sumber benih (pengada benih) Penangkar Pengedar Konsumen Penanaman Gambar 5. Jalur peredaran benih di Kalimantan untuk keperluan selain proyek pemerintah (sumber : Falah et al., 2007) Keterangan gambar : a. Produsen untuk keperluan pengusahaan HTI atau reklamasi lahan tambang adalah pengelola sumber benih serta penangkar. b. Konsumen adalah pemegang hak pengusahaan HTI, pengelola tambang, atau pengelola HTR. c. Pengelola HTR dapat berperan sekaligus sebagai penangkar dan konsumen (tanpa pengedar), bisa juga membeli dari pengedar. F. Konsep Tataniaga Menurut Kohl dan Uhl (2002), tataniaga merupakan suatu peragaan dari aktivitas bisnis dan aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Ada dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam memandang tataniaga. Konsumen ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen ingin memperoleh penerimaan yang besar atas penjualan produk. Dalam kegiatan tataniaga terdapat saluran pemasaran. Menurut Limbong dan Sitorus (1987)), saluran tataniaga atau saluran pemasaran merupakan rangkaian lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen dan konsumen. Dalam pelaksanaan aktivitas distribusi dari produsen kepada konsumen, produsen kerapkali harus bekerjasama dengan berbagai perantara, lembaga pemasaran sebagai perantara. Perantara atau lembaga pemasaran adalah orang atau badan yang menyelenggarakan kegiatan pemasaran, menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen serta mempunyai
14 24 hubungan organisasi satu dengan lainnya (Stanton, 2003). Terlibatnya lembaga pemasaran dalam pergerakan produk dari produsen kepada konsumen menghasilkan marjin tataniaga. Marjin terjadi karena adanya biaya-biaya pemasaran (pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan lainlain) dan keuntungan lembaga pemasaran yang akhirnya menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukan harga (Tomek dan Robinson, 1987 dalam Nurasa, 2003). Berdasarkan Gambar 3, dapat disimpulkan bahwa dalam tataniaga benih di Kalimantan terdapat dua macam saluran : 1. Saluran satu tingkat, yaitu apabila benih di sumber benih berupa bahan vegetatif () sehingga pengada benih kemudian juga berperan sebagai penangkar dan pengedar. 2. Saluran dua tingkat (two level channel) yang mencakup dua perantara antara produsen (pengada benih) hingga konsumen. Kedua perantara tersebut adalah pengada serta pengedar. Pengada biasanya melakukan kegiatan pengolahan benih menjadi (penangkaran ), sedang pengedar melakukan kegiatan pengumpulan dan distribusi kepada konsumen. Kotler (2002) dalam Rachma (2008) menyatakan bahwa berdasarkan strukturnya, pasar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna. Pasar yang tidak sempurna berarti mengalami kegagalan pasar (market failure). Ciri-ciri pasar bersaing sempurna antara lain sebagai berikut : 1. terdapat banyak penjual dan pembeli. 2. Harga mencerminkan biaya produksi dan konsumsi. 3. Pertukaran informasi sempurna (symetric information). 4. Penjual dan pembeli bebas keluar masuk pasar. Tataniaga yang efisien dicirikan oleh tercapainya kepuasan bagi semua pihak, yaitu produsen, lembaga pemasaran, dan konsumen. Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolaham, distribusi, serta fasilitas. Pendekatan efisiensi
15 25 operasional dapat dilakukan melalui marjin tataniaga, farmer s share, dan biaya tataniaga (Kohl dan Uhl, 2002). Marjin tataniaga adalah perbedaan harga yang diterima produsen dibanding harga yang dibayar konsumen. Efisiensi sistem tataniaga dapat dilihat dari distribusi marjin tataniaga yang merata antar tiap-tiap pelaku. G. Biaya Transaksi Kegagalan pasar akibat informasi, kompetisi, sistem kontrak, dan jual beli yang asimetris menimbulkan biaya transaksi (transaction cost). Menurut North (1991), biaya transaksi adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa yang akan dipertukarkan (information cost), biaya untuk melindungi hak atas barang (exclusion cost), biaya untuk menetapkan kontrak (contractual cost), dan biaya untuk menjalankan kontrak (policing cost).. Adanya biaya transaksi akan memperkecil keuntungan dari perdagangan. Suatu kelembagaan ekonomi dianggap efisien apabila biaya transaksinya dapat diminimumkan. Hobbs (1997) dan Yustika (2006) membagi biaya transaksi menjadi tiga kelompok berikut : a. Biaya untuk menyiapkan kontrak (dapat diartikan sebagai biaya untuk pencarian dan informasi), termasuk di dalamnya adalah biaya untuk menentukan mitra dalam pertukaran, serta biaya mengumpulkan informasi mengenai harga, kualitas, dan jumlah suatu produk. b. Biaya untuk mengeksekusi kontrak, termasuk di dalamnya biaya komisi, biaya negosiasi syarat-syarat pertukaran dalam kontrak, dan biaya membuat kontrak formal. c. Biaya pengawasan (monitoring) dan pemaksaan kewajiban yang tertuang dalam kontrak (enforcing the contractual obligations), meliputi biaya pemantauan pelaksanaan syarat-syarat kontrak (dalam hal ini kualitas dan kuantitas produksi benih, pengedaran benih) akibat adanya persoalan bencana moral (moral hazard).
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Saat ini hutan Indonesia mengalami proses deforestasi dan degradasi yang memprihatinkan, yang terutama diakibatkan oleh kegiatan penebangan, pembukaan lahan dan kebakaran
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tanaman Hutan. Perbenihan.
No.4, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tanaman Hutan. Perbenihan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.1/Menhut-II/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERBENIHAN
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P.03/V-PTH/2007 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 1/Menhut-II/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 1/Menhut-II/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERBENIHAN TANAMAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan lebih
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor: P. 01/V-PTH/2008 TENTANG TATA CARA
Lebih terperinci2 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
No.1350, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tanaman Hutan. Penyetoran. Pemungutan. Pengenaan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 85/Kpts-II/2001 Tentang : Perbenihan Tanaman Hutan MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 telah ditetapkan ketentuan-ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG KRITERIA,
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 08/V-PTH/2007 PEDOMAN PEMASUKAN
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Observasi Kondisi Terkini Pada tahun 2008 tercatat sebanyak 73 sumber benih bersertifikat di Kalimantan (Lampiran 1). Jumlah tersebut menjadi 42 sumber benih pada bulan
Lebih terperinciPERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL. Nomor : P. 05 /V-PTH/2007 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI MUTU BIBIT TANAMAN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 05 /V-PTH/2007 TENTANG PEDOMAN
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN JAKARTA DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 04 /V-PTH/2007 TENTANG PEDOMAN
Lebih terperinciPERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 06 /V-PTH/2007
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 06 /V-PTH/2007 TENTANG PEDOMAN
Lebih terperinciDEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA
DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 14 /V-PTH/2007 TENTANG TATA USAHA
Lebih terperinciPenyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1
Penyiapan Benih Unggul Untuk Hutan Berkualitas 1 Arif Irawan 2, Budi Leksono 3 dan Mahfudz 4 Program Kementerian Kehutanan saat ini banyak bermuara pada kegiatan rehabillitasi hutan dan lahan serta kegiatan
Lebih terperinciMENTERI, KEHUTANAN REPUBLIK INDONESTA.
MENTERI, KEHUTANAN REPUBLIK INDONESTA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor t P. 72 Menhut-ll 2014 TENTANG TATA CARA PENGENAAN, PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pengembangan persuteraan alam nasional terutama
Lebih terperinciPROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH
LAMPIRAN 7 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.1/Menhut-II/2009 Tanggal : 6 Januari 2009 PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH A. Identifikasi dan Deskripsi Calon Sumber Benih 1. Pemilik sumber benih mengajukan
Lebih terperinciPeluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013)
Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013) Muhammad Satriadi, S.P. Pengendali Ekosistem Hutan Pertama BPTH Bali dan Nusa Tenggara Intisari
Lebih terperinciPENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS 1
PENYIAPAN BENIH UNGGUL UNTUK HUTAN BERKUALITAS 1 Arif Irawan 2, Budi Leksono 3 dan Mahfudz 4 2,4 Balai Penelitian kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget Manado, E-mail : arif_net23@yahoo.com
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN
Lebih terperinciKEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN. Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan
KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan Latar Belakang Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 58 TAHUN 2013 TAHUN 2013 TENTANG
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 58 TAHUN 2013 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 28/Menhut-II/2010 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN BENIH TANAMAN HUTAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 28/Menhut-II/2010 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN BENIH TANAMAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 13/Menhut-II/2009 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 42 ayat (8)
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. UPT. Pembenihan. Tanaman. Klasifikasi. Kriteria.
No.9, 008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. UPT. Pembenihan. Tanaman. Klasifikasi. Kriteria. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR: P.66/Menhut-II/008 TENTANG KRITERIA DAN KLASIFIKASI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 24/Menhut-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.9/Menhut-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciEFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN SERTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN : STUDI KASUS DI KALIMANTAN TIMUR DAN KALIMANTAN SELATAN FAIQOTUL FALAH
EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN SERTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN : STUDI KASUS DI KALIMANTAN TIMUR DAN KALIMANTAN SELATAN Oleh : FAIQOTUL FALAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.46/Menhut-II/2010 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.46/Menhut-II/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.24/MENHUT-II/2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.893, 2012 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Rehabilitasi Hutan. Lahan. Dana Reboisasi. Tata Cara. Penyaluran. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2012
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.54, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTAN. Benih Bina. Peredaran. Produksi. Sertifikasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/Permentan/SR.120/1/2014 TENTANG
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/Permentan/SR.120/1/2014 TENTANG PRODUKSI, SERTIFIKASI, DAN PEREDARAN BENIH BINA
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/Permentan/SR.120/1/2014 TENTANG PRODUKSI, SERTIFIKASI, DAN PEREDARAN BENIH BINA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 46/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU ATAU HASIL HUTAN BUKAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa kebutuhan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA
Lebih terperinciBUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG
BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IJIN PEMANFAATAN KAYU PADA AREAL PENGGUNAAN LAIN ATAU KAWASAN BUDIDAYA NON KEHUTANAN BUPATI BULUNGAN, Menimbang
Lebih terperincitertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang
PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2009
Lebih terperinciBUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinci2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H
No.688, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Izin Usaha. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.31/Menhut-II/2014 TENTANG TATA
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 6887/KPTS-II/2002 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF ATAS PELANGGARAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN, IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DAN IZIN USAHA INDUSTRI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 66/Menhut-II/2008 TENTANG KRITERIA DAN KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 66/Menhut-II/008 TENTANG KRITERIA DAN KLASIFIKASI UNIT PELAKSANA TEKNIS PERBENIHAN TANAMAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang :
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.72/Menhut-II/2009
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.72/Menhut-II/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.01/MENHUT-II/2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
Lebih terperinciBUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 958, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kemitraan Kehutanan. Masyarakat. Pemberdayaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinci2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.407, 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. IUPHHK. Hutan Tanaman Rakyat. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.55/Menhut-II/2011 TENTANG TATA CARA PERMOHONAN
Lebih terperinciASPEK INFORMASI TATA NIAGA PERBENIHAN DI KALIMANTAN SELATAN DAN KALIMANTAN TIMUR
ASPEK INFORMASI TATA NIAGA PERBENIHAN DI KALIMANTAN SELATAN DAN KALIMANTAN TIMUR Faiqotul Falah 1 dan Mira Kumala Ningsih 2 Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno Hatta Km.
Lebih terperinciJenis prioritas Mendukung Keunggulan lokal/daerah
PERBENIHAN 1 Pengadaan benih tanaman hutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam hutan. Kegiatan pengadaan benih mencakup beberapa kegiatan
Lebih terperinciPEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN
Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman
Lebih terperinciEFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN SERTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN : STUDI KASUS DI KALIMANTAN TIMUR DAN KALIMANTAN SELATAN FAIQOTUL FALAH
EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KELEMBAGAAN SERTIFIKASI SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN : STUDI KASUS DI KALIMANTAN TIMUR DAN KALIMANTAN SELATAN Oleh : FAIQOTUL FALAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciGUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2
GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.12/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PENGENAAN, PENAGIHAN, DAN PEMBAYARAN IURAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciGUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013
GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56/Permentan/PK.110/11/2015 TENTANG PRODUKSI, SERTIFIKASI, DAN PEREDARAN BENIH BINA TANAMAN PANGAN DAN TANAMAN HIJAUAN PAKAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Lebih terperinciAA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG
- 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 9 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN MUTU BENIH TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA
PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 9 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI PENGUJIAN MUTU BENIH TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2006 TENTANG INVENTARISASI HUTAN PRODUKSI TINGKAT UNIT PENGELOLAAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEMANDIRIAN BENIH PERKEBUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH
PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 22 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEMANDIRIAN BENIH PERKEBUNAN DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a.
Lebih terperinciPERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 2 / V-SET/2010 TENTANG
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 2 / V-SET/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR P.264/V-SET/2006
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.704, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Bakti Sarjana. Kehutanan. Pembangunan Hutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.30/MENHUT-II/2013 TENTANG BAKTI
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPROSEDUR PENETAPAN PENGADA DAN ATAU PENGEDAR BENIH DAN ATAU BIBIT
PROSEDUR PENETAPAN PENGADA DAN ATAU PENGEDAR BENIH DAN ATAU BIBIT DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BALAI PERBENIHAN DAN PROTEKSI TANAMAN KEHUTANAN 207 KATA PENGANTAR Standar Operasional Prosedur (SOP)
Lebih terperinciBUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BUPATI MADIUN,
BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal
Lebih terperinci2 c. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
No.1498, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hasil Hutan. Bukan Kayu. Hutan Negara. Penatausahaan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.91/Menhut-II/2014 TENTANG
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 14 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PELELANGAN KAYU TEMUAN DAN KAYU SITAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR, Menimbang : Mengingat: a. bahwa keanekaragaman
Lebih terperincidi Indonesia Landasan Hukum Program Pengembangan Sumber Benih
Program Pengembangan Sumber Benih di Indonesia WORKSHOP PEMANFAATAN SUMBER BENIH UNGGUL DARI SUMBER BENIH BERSERTIFIKAT Jogjakarta 5-6 juli 2012 PUSAT LITBANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN Landasan Hukum
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.100, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan. Prosedur. Hutam Produksi.
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.100, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan. Prosedur. Hutam Produksi. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.12/MENHUT-II/2010 TENTANG
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6885/Kpts-II/2002 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6885/Kpts-II/2002 TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU Menimbang : MENTERI KEHUTANAN,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN
1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK
Lebih terperinciA. Bidang. No Nama Bidang Nama Seksi. 1. Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan. - Seksi Perencanaan dan Penatagunaan Hutan
Lampiran Surat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten Nomor : 522/ /Hutbun.1/2016 Tanggal : Nopember 2016 Perihal : Kajian Pembentukan UPTD Urusan Kehutanan pada Dinas Lingkungan Hidup dan
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014 BERBURU (PP. 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru) menangkap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Perintah, Pemerintah
Lebih terperinciTugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan
- 1 - Tugas, Pokok dan Fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pacitan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah unsur pelaksana Pemerintah Kabupaten di bidang Kehutanan dan Perkebunan serta mempunyai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi
Lebih terperinciPET U N J U K P E L A K S A N A A N STANDAR SUMBER BENIH
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG DIREKTORAT PERBENIHAN TANAMAN HUTAN PET U N J U K P E L A K S A N A A N STANDAR SUMBER
Lebih terperinciBAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD
BAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD 2.1. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Lebih terperinciPeraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 Tentang : Pembenihan Tanaman
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 Tentang : Pembenihan Tanaman Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 44 TAHUN 1995 (44/1995) Tanggal : 30 DESEMBER 1995 (JAKARTA) Sumber : LN 1995/85; TLN NO.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan jati merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, karena kayu jati telah dianggap sebagai sejatining kayu (kayu yang sebenarnya).
Lebih terperinci