BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembicaraan hukum, tak lepas dari dua kategori. Kalau kita berbicara hukum materiil, maka kita juga harus membicarakan hukum formilnya atau yang biasa disebut dengan Criminal justice system (pelaksanaan dari hukum pidana itu sendiri). Dengan demikian hukum disini merupakan sebuah sitim yang jika salah satu organ tersebut tidak berfungsi, maka semua organ yang melingkupinya akan menjadi mati. Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Usaha-usaha ini dilakukan demi untuk mencapai tujuan dari peradilan pidana. 1 Dalam mencapai tujuan peradilan pidana mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistim dimana masing-masing petugas hukum tersebut harus berhubungan secara fungsional. Proses hukum yang adil merupakan cita-cita dari pelaksanaan hukum acara pidana. Namun sayang, nampaknya hal ini hanya banyak mengatur tentang perlindungan tersangka atau terdakwa. Hal inilah yang diatur dalam hukum materiil (KUHAP) di Indonesia. Tersangka maupun terdakwa memiliki sejumlah hak yang diatur secara tegas dan rinci dalam suatu bab 1 Adang dan Yesmil, 2009, Sistim Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran. Jakarta. Hal. 28 Mardjono Reksodipoetra mengatakan, bahwa tujuan sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

2 tersendiri. Perlindungan yang demikian besar kepada tersangka atau terdakwa seolah-olah telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan pidana termasuk dalam hal ini adalah pelapor. Contoh tersebut terjadi pada pengungkapan keterangan Susno Duadji. Sebagai mantan pejabat yang langsung menyidik kasus mafia majak tersebut, dia mengetahui detail tentang kasus penyelewengan pajak oleh Gayus Tambunan. Belum lagi tuntas penanganan kasus-kasus yang diungkapkannya, beliau sendiri sudah diberondong oleh 2 (dua) kasus dengan status tersangka pada Oktober 2010 lalu dan harus mendekam di Mako Brimob Kelapa Dua. Terlepas dari terbukti atau tidak kasus yang disangkakan kepadanya, namun logika terbalik dengan mendahulukan proses hukum terhadap Susno Duadji dan tidak pada kasus yang diungkap beliau, semakin mengukuhkan adanya dugaan kriminalisasi dan retaliasi (balas dendam) terhadap whistle blower. 2 Tak hanya itu, permohonan uji matriil terhadap pasal 10 (2) Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diajukan oleh Susno Duadji kepada Makamah Konstitusi pada tanggal 3 september 2010, ditolak seluruhnya oleh Makamah Konstitusi karena Mahkamah menilai permohonan pemohon tidak terbukti dan beralasan hukum. 3 Kasus ini merupakan akibat dari kurangnya perhatian oleh Negara mengenai perlindungan terhadap pelapor. Hal ini memberikan pesan negatif bagi penegakan hukum di Indonesia. Meski telah diundangkanya undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, namun nampaknya masih terdapat banyak kelemahan dalam undang-undang ini yang mengakibatkan saksi maupun pelapor tidak bisa mendapatkan perlindungan yang layak dan maksimal. 2 Muhammad Helmy Hakim, Dilema Sang Peniup Peluit, dilema-peniup-peluit_files, 27 Desember Liputan6.com, MK Tolak Permohonan susno, 26 Desember 2010.

3 Apabila kita ingin mengembalikan proses penegakan hukum ke dalam jalurnya semula maka sudah saatnya diberikan perhatian yang lebih besar pada pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan, selain tersangka atau terdakwa dan aparat penegak hukum. Berdasarkan pada asas equality before the law, yang merupakan syarat suatu negara hukum, tidak berlebihan kiranya bila pelapor diberikan sejumlah hak yang akan memberikan perlindungan padanya. Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dinilai sebagai suatu terobosan yang diharapkan mampu menutupi kelemahan-kelemahan sistem peradilan kita berkaitan dengan keterbatasan perlindungan bagi seorang pelapor. Undang-Undang ini dengan lebih spesifik (lex specialis) mengatur syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban sebagai pelapor yang sebelumnya terserak-serak dalam beberapa peraturan. Namun demikian dalam prateknya undang-undang ini dinilai belum maksimal. Undang-undang ini tidak membedakan secara tegas syarat seorang saksi dan syarat seorang pelapor. Namun demikian meskipun tidak secara tegas disebutkan bahwa pelapor juga termasuk dalam perlindungan Undang-undang ini, Penulis berkeyakinan bahwa pelapor sudah termasuk dalam tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam pengertian saksi yang menyatakan bahwa Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. 4 Pengertian saksi dalam undang-undang ini lebih maju dibandingkan dengan pengertian saksi yang ada dalam KUHAP karena berupaya mencoba memasukan atau memperluas perlindungan terhadap orang-orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang 4 Lihat pasal 1 (1) Undang-undang No. 13 tahun 2006

4 masih bersetatus pelapor 5 atau pengadu. Peranan pelapor sangat penting, terutama dalam kejahatan yang dikelompokkan extra ordinary crime, yang penangananya juga membutuhkan extra ordinary action. Adakalanya seorang pelapor itu memang murni dalam pengertian pengadu yang tidak terlibat langsung dalam proses tindak pidana. Misalnya, seseorang yang mengetahui atau menemukan keberadaan dokumen atau data dari perbuatan pidana. Ada pula pelapor ini adalah seseorang yang juga menjadi korban dari tindak pidana yang telah terjadi. Kemudian ada pula pelapor yang sekaligus pelaku tindak pidana (wistleblower) 6 Seorang pelapor sangat perlu bila diberikan perlindungan hukum yang pantas terhadapnya karena telah memberikan informasi penting terhadap suatu tindak pidana terutama untuk tindak pidana yang sulit dibuktikan. Belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan pelapor. Yang ada adalah mekanisme yang sangat ringkas sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 13 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa: 7 Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan Namun kemudian timbul pertanyaan dengan siapa pelapor ini akan bernegosiasi dan seberapa banyak keringanan hukuman yang akan dijatuhkan, Kemudian bagaimana peran LPSK ataupun lembaga penegak hukum yang lain dapat memainkan perannya saat bernegosiasi dengan pelapor ini. Tentunya pelapor yang seperti ini akan memilih diam daripada harus melapor kemudian tidak ada jaminan baginya untuk tidak dihukum atas laporan yang telah ia sampaikan. Tidak banyak orang yang bersedia mengambil resiko untuk melaporkan suatu tindak pidana jika 5 Tentang perlindungan terhadap pelapor sendiri telah lebih awal diatur dalam pasal 31 UU No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjelaskan bahwa pelapor tidak dapat diajukan dalam sidang pengadilan melainkan harus dilindungi identitas dan alamatnya 6 Secara terjemahan harfiah dalam Bahasa Indonesia whistleblower adalah peniup peluit maksudnya adalah orangorang yang memberi peringatan kepada publik, namun secara umum pengertian whistleblower adalah pelapor, pengadu atau orang-orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik, maladministrasi maupun tindak pidana. 7 Lihat pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

5 dirinya, keluarganya dan harta bendanya tidak mendapat perlindungan dari ancaman yang mungkin timbul karena laporan yang dilakukan. Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) oleh pemerintah merupakan kebutuhan dalam kerangka penegakan hukum (pidana) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan dalam rangka mentaati prinsip-prinsip Good Governance yakni tegaknya supremasi hukum. 8 Peran serta lembaga LPSK selama ini dalam memberikan perlindungan terhadap pelapor perkara pidana dapat dijadikan tolak ukur seberapa kuat undang-undang ini mampu melindungi para pelapor perkara pidana. Di tengah-tengah keterbatasan aturan, seharusnya LPSK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan khusus menurut UU dapat membuat terobosan-terobosan yang dapat menciptakan iklim bagi terciptanya integrasi sistem dan mekanisme perlindungan saksi maupun pelapor di Indonesia. Hal lain yang menjadi permasalahan dalam Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini adalah pembatasan mengenai kategori tindak pidana yang menjadi ruang lingkup kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam pasal Undang -Undang No.13 tahun 2006 dikatakan : 9 (1) Seorang Saksi dan Korban berhak: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menetukan bentuk perlindungan dan dukungan kemanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan; 8 Krisna Harahap, 2006, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, PT.Grafitri, Bandung, hal Lihat pasal 5 Undang-undang No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

6 i. Mendapat identitas baru; j. Mendapat tempat kediaman baru; k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana di maksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Yang dimaksud kasus - kasus tertentu dalam ayat dua (2) ini, antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yag mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya 10 Jika kita memandang dari sebuah situasi yang dianggap membahayakan atau tidak, Kita tahu bahwa ada tindak pidana seperti pembalakan liar (illegal logging), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ataupun kejahatan pers, dimana saksi dan korbannya tidak jarang mendapatkan ancaman yang sangat berat dari pelaku tindak pidana. Kemudian dapat kita pertanyakan mengenai peran lembaga LPSK itu sendiri. Bagaimana ketika tindak pidana tersebut terjadi di sebuah daerah yang jauh dari tempat LPSK didirikan, karena dalam pasal 11 undang-undang no. 13 tahun 2006 ayat 2 (dua) dikatakan bahwa lembaga LPSK berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. Meskipun pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan,pada faktanya sejak Undang-undang ini diundangkan sampai dengan sekarang,belum ada pernah ada lembaga perwakilan yang dimaksud. Mengenai mekanisme pembentukan lebaga tersebutpun tidak jelas, kemudian siapasiapa yang akan menduduki lembaga perwakilan yang dimaksud, apakah diambil dari anggota LPSK pusat ataukah dipilih lagi dari setiap daerah. Kemudian berapa lama lembaga perwakilan 10 Lihat Pada bagian Penjelasan pasal 5 Undang-undang no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban

7 tersebut bisa terbentuk dan saksi maupun pelapornya harus menunggu untuk mendapatkan perlindungan hukum. Pada Undang-undang No.13 tahun 2006 dikatakan : 11 Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut: a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban; b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/ Korban; c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban. Bila kita melihat ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa persyaratan yang diajukan oleh UU ini sangat berlapis. Sehingga bisa dipastikan, akan sangat sedikit saksi maupun pelapor yang tercakup dalam program perlindungan saksi dan korban. Pada dasarnya ketentuan pada pasal 28 ini sudah cukup efektif diberikan kepada saksi dan korban ( pelapor ) tindak pidana, tanpa membatasi perlindungan terhadap kasusu-kasus tertentu. Ketentuan pembatasan atau kategori tindak pidana yang berhak mendapatkan perlindungan dalam undang-undang ini berlapis dan membingungkan. Jika memang perlindungan ini hanya diperuntukkan untuk kasus yang meliputi Organized Crime atau kejahatan terorganisir, pembatasan ini juga seolah berarti ada penggolongan tindak pidana yang bobotnya cukup berat sehingga saksi dan korbannya harus dilindungi, dan ada tindak pidana yang bobotnya dianggap ringan sehingga saksi dan korbannya tidak perlu dilindungi. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul: Perlindungan Hukum bagi Pelapor Tindak Pidana Dalam Perspekif Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. B. Rumusan Masalah 11 Lihat pasal 28 Undang undang No.13 tahun 2006

8 Berdasarkan uraian di atas, memandang perlu untuk dirumuskan permasalahan yang akan menjadi analisis hukum berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu sebagai berikut: 1. Kriteria Pelapor yang seperti apa yang mendapat perlindungan dalam perspektif Undangundang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? 2. Kriteria Tindak Pidana seperti apa yang pelapornya mendapat perlindungan hukum dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? 3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada Pelapor Tindak Pidana dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kriteria pelapor yang mendapat perlindungan hukum dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 2. Untuk mengetahui kriteria tindak pidana yang pelapornya mendapat perlindungan hukum dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan korban. 3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan kepada pelapor tindak pidana dalam perspektif Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 Tentang Perindungan Saksi dan Koban. D. Manfaat Penelitian

9 Adapun manfaat penulisan tugas akhir ini adalah : 1) Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran untuk perkembangan pemikiran ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum serta mengetahui lebih mendalam mengenai jaminan perlindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana. 2) Praktis a. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat tentang perlindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana sehingga diharapkan dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak pidana. b. Bagi Aparat Hukum/ Praktisi Hukum Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana bagi kalangan praktisi di wilayah hukum pidana terutama berkaitan dengan perlindungan pelapor dalam perkara pidana. c. Bagi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan serta sumber referensi berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana. d. Bagi Penulis Untuk memperdalam, menguasai dan juga menambah wawasan dan pengetahuan mengenai perlindungan hukum bagi pelapor perkara pidana. Selain itu bagi penulis sebagai syarat meraih gelar Strata Satu (S1). E. Metode Penelitian

10 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau penelitian pustaka (library research) dengan menelusuri buku-buku dan tulisan-tulisan yang terkait dengan permasalahan. Adapun jenis penelitian yuridis dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis terhadap asas hukum Sumber Data Langkah-langkah yang diambil dalam melakukan penulisan ini adalah dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu melakukan kajian terhadap bahan-bahan yang merupakan data sekunder (data yang tidak diperoleh langsung dari sumber utama, melainkan dari sumber yang berupa tulisan). Penulis menggunakan bahan kajian perpustakaan antara lain: 13 a). Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif) atau sumber data yang berupa peraturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dianut antara lain Undang-Undang serta peraturan-peraturan lain yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Adapun bahan hukum primer yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari : 1. UUD Undang-udang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 4. Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 12 Soerjono Soekamto, dalam Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta: 1986 menyebutkan bahwa jenis penelitian hukum normative ada 5 (lima) macam, yaitu: a. Menarik azas hukum; b. Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan; c. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan; d. Perbandingan hukum; e. Sejarah hukum. 13 Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal

11 5. PP No. 57 tahun 2003 tentang Tata Cara Khusus Perlindungan Bagi Pelapor dan Tindak Pidana Pencucian Uang. 6. PP No. 2 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat 7. PP No. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Tindak Pidana Terorisme. 8. PP No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b). Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tetang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. atau sumber data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari buku, makalah, artikel yang berkaiatan dengan permasalahan yang diteliti. c). Bahan-bahan Tertier, yaitu sumber hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain-lain. 14 Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang dipakai berupa Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Ensiklopedi. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan ini untuk memperoleh bahan dan data penulisan skripsi ini, peneliti mencari serta mengumpulkan dari media cetak, internet, jurnal, buku-buku literatur, perundangundangan, dan catatan-catatan lain yang terkait dengan obyek penulisan guna memperoleh landasan teoritis. 4. Metode Analisa Data 14 Ibid. hal. 47

12 Setelah data keseluruhan terkumpul, maka selanjutnya data tersebut akan dianalisa dangan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Deskriptif artinya penelitian yang berusaha mengambarkan dan menginterprestasikan kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau kecenderungan yang berkembang. Dan penelitian Kualitatif artinya penelitian yang menyajikan data tidak berupa angka-angka, melainkan bentuk kata-kata dan gambar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian Deskriptif Kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan secara menyeluruh bagaimana bentuk perlindungan bagi Pelapor Tindak Pidana menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dibuat dalam bentuk penulisan hukum atau skripsi dengan melakukan penelusuran data kepustakaan berupa sumber-sumber literatur yang berkenaan dengan masalah jaminan pelindungan hukum bagi pelapor dalam perkara pidana. E. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan rangkaian penulisan ini, maka penulis akan membuat suatu sistematika penulisan dengan tujuan untuk memberikan landasan yang dapat ditelusuri secara maksimal, sehingga mempermudah dalam pembahasan. Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 4 (empat) bab dan masing-masing terdiri dari sub bab. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan yang muncul mengenai perlindungan terhadap korban Tindak Pidana dalam perspektif Undang-undang No 13 tahun 2006 tentang perlindungn saksi dan korban. Pada bab ini juga akan membahas mengenai

13 tujuan penulisan, kegunaan penulisan, serta metode penulisan dan sistematika penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis memaparkan secara teoritis mengenai uraian doktrin, pendapat para pakar, kajian yuridis serta bahan-bahan kerangka teori yang akan dipakai penulis untuk mendukung analisa terhadap permasalahan mengenai kriteria pelapor dan tindak pidana yang dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban beserta bentuk-bentuk perlindungan yang terdapat dalam Undang-undang No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. BAB III: PEMBAHASAN Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan yang diteliti yang disertai dengan analisa deskriptif kualitatif. Adapun kosentrasi pembahasan terletak pada kriteria pelapor dan tindak pidana yang saksinya mendapat perlindungan serta bentuk perlindungan yang diberikan terhadap pelapor tindak pidana dalam perspektif undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang perlidungsn saksi dan korban. BAB IV: PENUTUP Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran yang perlu dijawab atas permasalahan yang ada dan mencari penyelesaiannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

Aktivitas Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Lingkup Kerja Lpsk. Disusun Oleh: Kombes Pol (Purn). basuki Haryono, S.H., M.H.

Aktivitas Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Lingkup Kerja Lpsk. Disusun Oleh: Kombes Pol (Purn). basuki Haryono, S.H., M.H. Aktivitas Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Lingkup Kerja Lpsk Disusun Oleh: Kombes Pol (Purn). basuki Haryono, S.H., M.H. VISI DAN MISI Visi Terwujudnya perlindungan saksi dan korban dalam sistem peradilan

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar atas

Lebih terperinci

JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011

JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011 46 BAB III JUSTICE COLLABORATORS DALAM SEMA RI NOMOR 4 TAHUN 2011 A. Pengertian Justice Collaborators dalam SEMA RI Nomor 4 Tahun 2011 Pengaturan tentang keberadaan justice collaborators atau saksi pelaku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis, IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karekteristik Responden Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan cara mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyidik Polri dalam menjalankan tugasnya untuk membuat terang setiap tindak pidana yang terjadi di masyarakat adalah peran yang sangat penting terutama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai akibat sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, dan di Indonesia sendiri korupsi telah menjadi masalah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 D butir 1 mengatur bahwa, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL.

Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL. Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL.M Ketua LPSK RI Latar Belakang LPSK dirancang untuk memberikan perlindungan

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum yang berlaku. Kemajuan teknologi informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, konsep Negara hukum tersebut memberikan kewajiban bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4 Perbedaan dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Korupsi sudah berkembang di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini jelas sangat merugikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

III. METODE PENELITIAN. dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293) I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal penerapan hukum sebab kehidupan suatu bangsa dipengaruhi oleh susunan masyarakat dan tingkat perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak sedikit membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia dalam meningkatkan sumber daya manusia, sebagai modal dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak mempunyai permasalahan atau berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial sesuai dengan apa yang termuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN I. UMUM Lembaga Perlindungan Saksi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang korupsi sudah menjadi hal yang biasa untuk diperbincangkan. Korupsi bukan lagi menjadi suatu hal yang dianggap tabu untuk dilakukan bahkan tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI JURNAL SKRIPSI D I S U S U N OLEH : JAMES ANTRO YOSUA PANJAITAN NIM : 080200178

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan diperhatikan harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia seutuhnya. Hak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci