PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H"

Transkripsi

1 18 KELIMPAHAN, SEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (Chiroptera) PADA BEBERAPA GUA DENGAN POLA PENGELOLAAN BERBEDA DI KAWASAN KARST GOMBONG JAWA TENGAH AMIN ASRIADI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H

2 19 KELIMPAHAN, SEBARAN DAN KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (Chiroptera) PADA BEBERAPA GUA DENGAN POLA PENGELOLAAN BERBEDA DI KAWASAN KARST GOMBONG JAWA TENGAH SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta AMIN ASRIADI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/ 1431 H

3 20 PENGESAHAN UJIAN Skripsi berjudul Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan Berbeda di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah yang ditulis oleh Amin Asriadi, NIM telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Februari Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi. Menyetujui, Penguji I Penguji II Priyanti, M. Si Megga Ratnasari Pikoli, M. Si NIP NIP Pembimbing I Pembimbing II Fahma Wijayanti, M. Si Paskal Sukandar, M. Si NIP NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud

4 21 NIP NIP PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR- BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Jakarta, Februari 2010 Amin Asriadi

5 22 ABSTRAK Amin Asriadi. Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan Berbeda di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Keberadaan kelelawar pada gua dengan pola pengelolaan berbeda dapat mempengaruhi kelimpahan dan jenis kelelawar di dalamnya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2009 dengan menghitung kelimpahan dan mengidentifikasi kelelawar di kawasan karst Gombong Jawa Tengah. Kelelawar dikoleksi menggunakan mist net, harp net dan jaring bertangkai di sekitar mulut Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua Intan. Selama penelitian diperoleh kelimpahan kelelawar pada Gua Petruk adalah ± 3927 ekor, Gua Intan ± 2884 ekor, Gua Jatijajar ± 1274 ekor dan Gua Liyah ± 433 ekor. Didapatkan 11 jenis kelelawar yaitu Chaerephon plicata, Hipposideros ater, H. larvatus, Miniopterus australis, Rhinolophus affinis, Cynopterus horsfieldii, C. brachyotis, C. titthaecheilus, Eonycteris spelaea, Rousettus amplexicaudatus dan Macroglossus sobrinus. Hasil analisis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner menunjukan keanekaragaman jenis kelelawar tertinggi di Gua Petruk (H = 1,5024) dan terendah di Gua Intan (H = 0,4504). Indeks Kemerataan Shannon Evenness menunjukan kemerataan jenis kelelawar tertinggi di Gua Liyah (E = 0,7956) dan terendah di Gua Intan (E = 0,6497). Indeks Simpson menunjukan dominasi tertinggi di Gua Intan (C = 0,7220) dan terendah di Gua Petruk (C = 0,2371). Cynopterus brachyotis dan Hipposideros larvatus merupakan jenis kelelawar yang paling sering ditemukan selama penelitian. Kata kunci: Kelelawar, Gua, Karst.

6 23 ABSTRACT Amin Asriadi. Species Abundance, Distribution and Diversity of Bats (Chiroptera) in Various Cave Type With Diverge Managerial System at Gombong Karst Area Central Java. Thesis. Biological Study Program. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta The existence of bats in cave type with diverge managerial system are influenced abundance and species bats. This research was conducted on Juny to July 2009 that counting abundance and identify bats at Gombong karst area Central Java. The bats were collected by using mist net, harp net and stalk net at flying track surrounding cave s mouth of Petruk Cave, Liyah Cave, Jatijajar Cave and Intan Cave. Bats abundance at Petruk Cave amount ± 3927 bats, Intan cave amount ± 2884 bats, Jatijajar Cave amount ± 1274 bats and Liyah Cave amount ± 433 bats. The eleven spesies were collected from this research, such as Chaerephon plicata, Hipposideros ater, H. larvatus, Miniopterus australis, Rhinolophus affinis, Cynopterus horsfieldii, C. brachyotis, C. titthaecheilus, Eonycteris spelaea, Rousettus amplexicaudatus and Macroglossus sobrinus. The analysis result is used Diversity Index of Shannon-Wienner showed the highest diversity at Petruk Cave (H = 1,5024) and the lowest at Intan Cave (H = 0,4504). Similarity Index of Shannon Evenness is showed the highest similarity at Liyah Cave (E = 0,7956) and the lowest at Intan Cave (E = 0,6497). Domination Index of Simpson is showed the highest domination at Intan Cave (C = 0,7220) and the lowest at Petruk Cave (C = 0,2371). Cynopterus brachyotis and Hipposideros larvatus are spesies that common and often founded during this research. Keyword: Bats, Cave, Karst.

7 24 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan hidayah-nya yang dianugrahkan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW. Skripsi berjudul Kelimpahan, Sebaran dan Keanekaragaman Jenis Kelelawar (Chiroptera) Pada Beberapa Gua Dengan Pola Pengelolaan Berbeda di Kawasan Karst Gombong Jawa Tengah disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan selesainya naskah skripsi penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua tersayang, Mimih dan Babeh yang selalu memberikan dukungan do a dan semangat. Adik-adikku: Fajar Nur Husein dan Nur Ilham Zein, kalian berdua adalah sumber motivasi terbesarku untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Fahma Wijayanti M.Si Selaku pembimbing I yang dengan ikhlas memberikan bantuan, saran dan bimbingannya selama melaksanakan penelitian hingga selesainya skripsi ini. 3. Paskal Sukandar M.Si selaku pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8 25 4. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 5. Dr. Lily Surayya EP. M. Env. Stud. selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Narti Fitriana, M.Si dan Drh. Bhintarti S. Hastari, M.Biomed selaku penguji I dan penguji II pada seminar proposal dan seminar hasil penelitian yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini. 7. Priyanti, M. Si dan Megga Ratnasari Pikoli, M. Si selaku penguji I dan penguji II pada sidang munaqosyah yang telah memberikan banyak masukan pada penulis. 8. Seluruh staf pengajar Program Studi Biologi, terima kasih atas semua ilmu yang telah diberikan, semoga bisa bermanfaat untuk penulis. 9. Desi Haryanti yang selalu memberikan perhatian dan motivasi ketika senang maupun sedih. 10. Saudara-saudaraku tersayang yang juga melakukan penelitian di Karst Gombong: Muhammad Rizki, Heru Harisma dan Marzuki Pujiantoro. Tanpa kalian penulis tidak akan semangat dan tidak bisa bertukar fikiran. Penelitian selama satu bulan bersama kalian menjadi sangat bermakna dan indah.

9 Saudara-saudaraku di Biologi angkatan 2005 (BIOMA), Kita semua telah mengarungi lautan dan gunung selama hampir 4 tahun bersama. Semoga Allah SWT selalu memberkahi langkah kita semua. 12. Ade Suryadi, Irvan Rachmatullah, Luqman Budianto, Fachri Fahrudin, Maulya Arfi S, Dede Elica, Galih Hakim Antarnusa, Walid Rumblat dan seluruh warga kosan yang selalu memberikan keceriaan. Rangga Punji Mulyawan yang merelakan laptopnya dipinjam selama penulisan skripsi ini. 13. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang membangun masih diharapkan. Akhir kata penulis berharap bahwa skripsi ini berguna khususnya bagi penulis. Jakarta, Februari 2010 (Penulis)

10 27 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Hipotesis Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kelelawar Klasifikasi Kelelawar Morfologi Kelelawar Reproduksi Kelelawar Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar Perilaku Makan Kelelawar Gua Karst Sebagai Habitat Kelelawar Peran Kelelawar Dalam Ekosistem Gua Karst Kawasan Karst Gombong... 16

11 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Cara Kerja Penentuan Lokasi Penelitian Pengambilan Sampel Metode Estimasi Kelelawar Analisis Data Identifikasi Jenis Kelelawar Indeks Keanekaragaman Jenis BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Gua Pengamatan Kelimpahan Kelelawar Pada Tiap Gua Jenis-Jenis Kelelawar Indeks Keanekaragaman Jenis Pada Masing-Masing Gua Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Keberadaan Kelelawar BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 62

12 29 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi yang mencakup keanekaragaman flora, fauna dan mikroba (Primack et al, 1998). Tingginya keanekaragaman hayati ini dikarenakan wilayah Indonesia yang terletak di daerah tropik, memiliki berbagai macam tipe habitat, serta berbagai isolasi sebaran berupa laut atau pegunungan (Noerdjito dan Maryanto, 2005). Indonesia memiliki keanekaragaman jenis kelelawar yang cukup tinggi, lebih dari 205 jenis kelelawar yang terdiri dari 72 jenis kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) dan 133 jenis kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera); atau sekitar 20% dari jumlah jenis di dunia yang telah diketahui (Suyanto, 2001). Kelelawar memiliki peranan penting dalam ekosistem. Kelelawar berfungsi sebagai pemencar biji tumbuh-tumbuhan di hutan tropik. Karena perilaku makan dan kemampuan terbang yang jauh menyebabkan daya pencar biji-bijian pun jauh. Fungsi lainnya adalah sebagai penyerbuk bunga. Terdapat sekitar 300 jenis tanaman tropik yang penyerbukan dan pemencarannya dilakukan oleh kelelawar. Contoh tanaman bernilai ekonomi yang dibantu penyerbukannya oleh kelelawar adalah durian (Durio zibethinus), aren (Arenga sp), petai (Parkia speciosa), kapuk randu (Ceiba pentandra), pisang-pisangan (Musa sp) kelapa (Cocos nucifera) (Suyanto, 2003). Selain itu kelelawar merupakan penghasil guano yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Wiyatna (2003) menyebutkan bahwa

13 30 guano kelelawar memiliki kandungan bahan-bahan utama pupuk yaitu 10% nitrogen, 3% fosfor dan 1% potasium. Kandungan nitrogen yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan tanaman, sedangkan fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar. Akan tetapi keanekaragaman hayati dan peranan ini belum mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat dalam usaha konservasi kelelawar. Masyarakat pada umumnya menganggap kelelawar sebagai hama karena memakan buah-buahan dari tanaman budidaya, sehingga banyak perburuan kelelawar yang menyebabkan habitatnya terganggu dan populasi kelelawar di alam menurun. Ekosistem gua merupakan salah satu ekosistem yang paling rentan di muka bumi dan merupakan tempat berlangsungnya proses adaptasi dan evolusi berbagai jenis organisme (Rahmadi, 2007). Lebih dari 50% Microchiroptera dan 20% Megachiroptera tinggal di gua. Sebagai penghuni gua, kelelawar memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem di dalam gua, namun hingga saat ini kawasan gua tidak luput dari usaha-usaha eksploitasi yang berpontensi menghancurkan fungsi gua baik sebagai habitat alami kelelawar maupun sebagai pengatur siklus hidrologi. Wilayah Gombong memiliki bentang alam karst yang terletak di Kecamatan Ayah (Riswan et al, 2006). Kawasan karst Gombong memiliki struktur geologi berupa gunung-gunung berbatu yang terjal dan terbentuk dari batuan kapur. Kawasan karst Gombong merupakan salah satu contoh kawasan karst yang memiliki banyak gua dengan karakteristik yang beragam, terdapat sekitar 15 gua, 8 gua di antaranya dihuni oleh kelelawar (Rahmadi, 2007).

14 31 Beberapa gua di kawasan ini dijadikan obyek wisata, sehingga dikhawatirkan populasi kelelawar yang ada di dalamnya maupun ekosistem gua itu sendiri akan mengalami gangguan, mengingat ekosistem gua yang rapuh dan memiliki fungsi cukup penting, terutama dalam kaitannya dengan ekosistem luar gua, maka dibutuhkan pola pengelolaan gua yang tepat. Agar dapat dibuat pola pengelolaan gua yang tepat dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, diperlukan informasi yang luas mengenai ekosistem gua serta segala sesuatu yang menyangkut berlangsungnya proses ekologi yang terkait. Penelitian tentang kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar di kawasan karst Gombong Jawa Tengah sangat diperlukan Perumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) di kawasan karst Gombong Jawa Tengah? 2. Bagaimana kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah? 1.3. Hipotesis 1. Tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) di kawasan karst Gombong Jawa Tengah adalah tinggi.

15 32 2. Terdapat perbedaan kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) dan mengetahui perbedaan kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan yang berbeda di kawasan karst Gombong Jawa Tengah Manfaat Penelitian 1. Memberi informasi mengenai perbedaan kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) pada beberapa gua dengan pola pengelolaan yang berbeda.di kawasan karst Gombong Jawa Tengah. 2. Sumber informasi bagi para peneliti yang terkait dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan gua yang berbasis ekologi.

16 33 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Kelelawar Klasifikasi Kelelawar Klasifikasi kelelawar menurut Kunz (1991) adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Sub Filum Kelas Ordo Sub Ordo : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Chiroptera : - Megachiroptera - Microchiroptera Saat ini tercatat jenis kelelawar (Kingston et al, 2006) yang tersebar hampir di seluruh dunia. Diperkirakan keanekaragaman jenis kelelawar lebih dari 50% dari keanekaragaman seluruh mamalia. Hampir seperempat dari seluruh jenis mamalia di dunia merupakan anggota ordo Chiroptera (Zimmer, 1998). Jenis kelelawar yang sudah diketahui di Indonesia berkisar 205 jenis yang terbagi menjadi 9 famili dan 52 genus. Kesembilan famili tersebut antara lain Pteropodidae, Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Mollosidae (Suyanto, 2001).

17 Morfologi Kelelawar Kelelawar termasuk ordo Chiroptera. Chiroptera berasal dari bahasa Yunani cheir yang berarti tangan, dan pteros yang berarti selaput, atau dapat diartikan sebagai sayap tangan, karena kaki depannya termodifikasi menjadi sayap. Sayap ini dinamakan patagium, yang membentang dari tubuh sampai jari kaki depan, kaki belakang, dan ekornya. Pada kelelawar betina, patagium berfungsi untuk memegang anaknya yang baru dilahirkan dengan kepala di bawah. Selain untuk terbang, sayap kelelawar berfungsi untuk menyelimuti tubuhnya ketika cuaca dingin dan mengipaskan sayapnya jika cuaca panas, kelelawar aktif pada malam hari karena pada siang hari dapat mengakibatkan radiasi yang merugikan sayap yang disebabkan karena terkena cahaya matahari sehingga lebih banyak panas yang diserap daripada yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan sayap kelelawar hanya berupa selaput kulit tipis yang sangat rentan terkena sinar matahari (Cobert dan Hill, 1992). Gambar 1. Morfologi kelelawar (Cobert dan Hill, 1992)

18 35 Kelelawar memiliki dua sub ordo yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera umumnya herbivora dan memiliki ciri-ciri mata besar, penciuman yang baik, memiliki struktur telinga yang sederhana, tidak memiliki tragus/antitragus, ekor biasanya pendek bahkan tidak ada, jari sayap kedua umumnya bercakar, kecuali Eonycteris, Dobsonia, dan Neopteryx. Megachiroptera yang paling kecil (Balionycteris, Chironax, dan Aethalops) berbobot 10 gram, dan yang paling besar Kalong kapuk (Pteropus vampyrus) bisa mencapai berat 1500 gram, bentangan sayapnya mencapai 1700 mm, dan lengan bawah sayapnya mm, sedangkan Microchiroptera merupakan insektivora, dan sebagian kecil merupakan omnivora, karnivora, piscivora, frugivora dan nectarivora. Microchiroptera umumnya berukuran kecil, memiliki struktur telinga yang kompleks, memiliki tragus/antitragus. Tragus adalah bagian menonjol dari dalam daun telinga seperti tongkat, sedangkan antitragus adalah bagian menonjol dari luar daun telinga yang berbentuk bundar atau tumpul (Suyanto, 2001). Microchiroptera paling kecil berbobot 2 gram dan paling besar 196 gram, dan lengan bawah sayapnya mm (Suyanto, 2001). Jenis kelelawar tertentu, terutama famili Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki bagian khusus pada wajah, terutama di bagian lubang hidung, yang disebut daun hidung. Bagian ini merupakan tonjolan kulit. Pada jenis-jenis kelelawar lain, daun hidungnya sangat sederhana, berupa lipatan kulit yang kecil tunggal dan tumbuh di ujung hidung saja. Jari sayap kedua tidak bercakar, tetapi pada genus Miniopterus memiliki panjang ruas akhir (kedua) jari sayap nomor tiga hampir tiga kali panjang ruas jari pertama (Suyanto, 2001).

19 Reproduksi Kelelawar Kelelawar melahirkan anaknya dalam keadaan head-down (posisi terbalik) pada posisi roosting. Selaput kulit (patagium) digunakan sebagai tempat melahirkan anaknya (Altringham, 1996). Pada umumnya kelelawar berkembang biak hanya satu kali dalam setahun dengan masa kehamilan 3 sampai 6 bulan, dan hanya bisa melahirkan satu atau dua ekor bayi setiap periode melahirkan. Bayi yang baru dilahirkan ini mempunyai bobot yang dapat mencapai 25-30% dari bobot tubuh induknya, lebih besar dari bayi manusia yang mencapai 5% dari bobot tubuh induknya (Nowak, 1995). Kelelawar yang baru lahir memiliki gigi susu, tetapi akan segera digantikan dengan gigi permanen. Gigi susu pada beberapa jenis cukup tajam dengan bentuk membengkok. Ini dapat membantu bayi kelelawar berpegangan pada induknya saat induknya terbang berkeliling dengan menggendong bayinya. Kelelawar pemakan serangga memiliki geraham yang sangat tajam dan digunakan untuk menghancurkan serangga, sedangkan taringnya didesain untuk menggigit dan membawa mangsa yang masih hidup. Gigi tengah umumnya sangat kecil pada kelelawar pemakan serangga dan ketika membuka mulut, terlihat seperti tidak memiliki gigi depan sama sekali. Kelelawar pemakan buah memiliki geraham yang besar dan kuat untuk mengunyah buah dan biji-bijian. Juga memiliki otot rahang yang kuat untuk membantu mengunyah makanan yang keras (Ceave, 1999).

20 Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar Kelelawar hidup pada beberapa tipe habitat seperti gua, hutan alami, hutan buatan, dan perkebunan. Kelelawar mempunyai banyak alternatif dalam memilih tempat bertengger. Jenis kelelawar seperti Kalong kapuk (Pteropus vampyrus), Cecadu pisang besar (Macroglosus sobrinus) dan kebanyakan jenis sub ordo Megachiroptera lainnya memilih tempat bertengger untuk tidur pada pohon-pohon yang tergolong besar, sebaliknya beberapa jenis kelelawar yang termasuk sub ordo Microchiroptera lebih banyak memilih tempat berlindung pada lubanglubang batang pohon, celah bambu, maupun gua. Beberapa jenis hidup secara berkoloni, berkelompok kecil, berpasangan, dan bahkan hidup soliter (Cobert dan Hill, 1992). Kelelawar gua sebagian besar termasuk sub ordo Microchiroptera. Ukuran tubuhnya yang relatif kecil, bola mata kecil dan tidak berfungsi sebagai alat penglihatan merupakan penyesuaian dengan keadaan di dalam gua yang gelap. Kemampuan penglihatan kelelawar untuk terbang dalam kegelapan digantikan oleh kemampuan penala gema yang dikenal dengan istilah ekholokasi. Ketika terbang, kelelawar mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi (ultrasonik) rata-rata 50 Khz yang tidak terdengar oleh telinga manusia yang hanya dapat menangkap suara 3-18 Khz (Suyanto, 2001). Pantulan suara ultrasonik (ekholokasi) dapat digunakan untuk memandu arah terbang, mengenali dan melacak posisi mangsanya. Daerah jelajah kelelawar ketika mencari makan bervariasi seperti Cecadu pisang besar (Macroglosus sobrinus), yang mencapai radius 3 km, sedangkan

21 38 Lalai kembang (Eonycteris spelaea) mencapai radius 40 km, sementara Kalong kapuk (Pteropus vampyrus) mencapai radius 60 km. Kelelawar pada waktu terbang membutuhkan oksigen yang jauh lebih banyak dibandingkan ketika tidak terbang (27 ml berbanding 7 ml Oksigen/1 gram bobot tubuhnya), dan denyut jantung berdetak lebih kencang (822 kali berbanding 522 kali permenit), untuk mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar dibandingkan kelompok lain (0,9% berbanding 0,5% bobot tubuh) (Suyanto, 2001) Perilaku Makan Kelelawar Kebiasaan makan kelelawar bervariasi seperti kebanyakan mamalia pada umumnya. Keanekaragaman makanan disesuaikan dengan morfologi dan fisiologi pada kelelawar. Jenis pakan dari beberapa kelelawar adalah arthropoda, serangga, mamalia kecil, burung, reptil, amfibi, ikan, darah, bangkai, buah, bunga, nektar, polen dan daun (Altringham, 1996). Sub ordo Megachiroptera memiliki komposisi pakan sebagian besar terdiri atas buah, bunga, daun, polen dan nectar. Lebih dari 250 jenis kelelawar memakan satu atau beberapa jenis tumbuhan, dengan memakan buah ataupun nektar bunga sedangkan sub ordo Microchiroptera sebagian besar adalah pemakan serangga, selain itu beberapa terdapat jenis sub ordo Microchiroptera adalah penghisap darah misalnya Desmodus rotundus dan pemakan madu misalnya Leptonecteris curasoae (Altringham, 1996). Meskipun serangga merupakan komponen utama dari kebanyakan pakan kelelawar tetapi laba-laba, kalajengking, udang-udangan

22 39 dan arthropoda lainnya juga dimakan, sekitar 70% dari semua spesies kelelawar adalah pemakan serangga. Kelelawar pemakan buah dapat menyebarkan biji sekitar 47 spesies tanaman berbeda pada setiap jenis kelelawar (Lopez dan Christopher, 2007). Menurut Suyanto (2001), bahwa penyebaran biji ini dapat meningkatkan variabilitas sifat-sifat tumbuhan yang selanjutnya akan meningkatkan kualitas hidup tumbuhan itu sendiri. Kelelawar pemakan buah atau madu ini mempunyai peranan sangat penting di dalam regenerasi hutan dan penyerbuk tanaman yang memiliki nilai komersial tinggi. Kelompok kelelawar ini sering memakan buah tidak di lokasi tanaman yang sedang berbuah, akan tetapi membawa dan membuang sepah dan biji buah jauh dari tempat lokasi tanaman tersebut (Sinaga, 2006). Kelelawar pemakan nektar dan polen memiliki perilaku makan yang unik, yaitu terbang mengelilingi pohon sebelum mendarat pada kelopak bunga, melayang-layang di atas kelopak bunga kemudian secara perlahan mendekati bunga dan mulai menghisap nektar. Kelelawar menghisap nektar dari 2 sampai 3 bunga sebelum pergi (Elangovan, 2000). Kelelawar pemakan serangga memiliki tubuh yang kecil, keunggulan dari ukuran tubuh yang kecil memudahkan kelelawar melakukan manuver dan kegiatan dalam hal menangkap serangga yang sedang terbang yang tertangkap oleh sistem ekholokasi jarak dekat. Serangga yang dijadikan mangsa disesuaikan dengan ukuran tubuh kelelawar, serangga dengan ukuran yang besar hanya akan menyulitkan pada saat penangkapan, penaklukan dan proses makan, hal ini akan

23 40 banyak membuang energi kelelawar. Apabila ukuran serangganya terlalu kecil, penangkapan sulit dilakukan dan tidak mencukupi kebutuhan energi harian (Altringham, 1996) Gua Karst Sebagai Habitat Kelelawar Gua dalam arti yang sederhana merupakan lubang di bawah permukaan tanah yang dapat dimasuki manusia. Definisi gua mencakup ruangan-ruangan yang lebih kecil, misalnya rekahan-rekahan dan celah-celah yang biasa terdapat di dalam batu gamping. Gua dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan letak dan batuan pembentuknya, yaitu gua lava, gua litoral, gua batu gamping (karst), gua pasir, gua batu halit, gua es dan lain-lain. Di antara gua-gua tersebut, gua karst merupakan gua yang banyak dihuni oleh jenis-jenis fauna seperti kelelawar, walet, dan fauna khas gua (KPG, 2004). Gua karst terbentuk dari proses pelarutan batuan gamping oleh air. Sifat batu gamping yang mudah meloloskan air menyebabkan batuan ini mudah dilalui aliran air permukaan seperti sungai yang menjadi aliran air bawah tanah jika sudah memasuki lorong gua. Aliran air tersebut membawa sumber makanan dari luar gua yang mendukung terjadinya proses rantai makanan di dalam gua, sehingga memungkinkan berbagai jenis fauna mikro untuk hidup dan menyesuaikan diri di dalamnya (KPG, 2004). Ekosistem gua merupakan suatu ekosistem unik yang kondisinya berbeda dengan kondisi ekosistem lain di luar gua. Interaksi yang terjadi dalam ekosistem gua terbentuk dari komponen-komponen fisik (abiotik) dan biotik. Komponen

24 41 fisik gua meliputi air, ornamen gua, tanah, temperatur dan kelembaban yang mempengaruhi keanekaragaman jenis fauna gua sebagai komponen biotik yang mendiaminya. Berdasarkan kondisi fisiknya, Gllenie (1962) dalam Samodra (2001) membagi lorong gua dibagi ke dalam empat zona/mintakat yaitu: a. Zona terang, dimulai dari mulut gua atau bagian dalam ceruk yang masih dipengaruhi sinar matahari. b. Zona peralihan, batas antara bagian terang dan gelap. c. Zona gelap, bagian gua yang masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua sehingga suhu di dalamnya masih berfluktuasi. d. Zona gelap abadi, bagian gua tanpa fluktuasi suhu dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh iklim di luar gua. Keberadaan kelelawar di dalam gua erat kaitannya dengan keadaan mikroklimat untuk masing-masing gua. Selain itu kandungan guano untuk setiap gua mempengaruhi perbedaan kelelawar dalam memilih gua tertentu sebagai tempat bertengger, karena secara tidak langsung guano menyebabkan perbedaan temperatur dan kelembaban gua (Maryanto dan Mahadaratunkamsi, 1991). Fauna gua yang ada di kawasan karst tropis jenisnya sangat beragam. Fauna tersebut dapat menyesuaikan hidupnya dengan lingkungan yang panas, gersang, sedikit air, dan hanya mempunyai lapisan tanah yang relatif tipis. Samodra (2001) menjelaskan bahwa fauna gua bisa tinggal di atas dan di bawah permukaan pada celah atau retakan batuan, pada sela-sela bongkahan batu dan sebagainya.

25 42 Berdasarkan derajat adaptasi fauna gua terhadap lingkungannya di dalam gua, Vandel (1965 ) dalam Samodra (2001) membagi fauna gua menjadi 3 kategori, yaitu: a. Troglobite : Fauna yang telah beradaptasi secara penuh terhadap lingkungan gua dan merupakan penghuni tetap gua, contohnya adalah ikan gua (Puntius microps), udang gua (Macrobrachium poeti) dan Ketam (Cancrocaea xenomorpha) b. Troglophile : Fauna yang secara teratur memasuki gua tetapi tidak sepenuhnya di dalam gua. Sebagian siklus hidupnya dapat berlangsung di dalam atau di luar gua. Contohnya adalah kelelawar dan jangkrik gua (Rhaphidophora dammermani dan R. dehaan) c. Trogloxene : Fauna yang kadang-kadang memasuki gua. Trogloxene ini ada yang datang ke dalam gua secara sengaja dan ada yang masuk ke dalam gua secara tidak sengaja, contohnya adalah ular phyton gua, tokek, biawak, landak dan satwa liar lain yang menggunakan gua sebagai tempat berlindung sementara Peran Kelelawar Dalam Ekosistem Gua Karst Kelelawar memiliki peranan dan manfaat yang sangat penting bagi kelangsungan ekosistem, baik di dalam maupun luar gua. Pada suatu ekosistem gua, kelelawar adalah penyeimbang ekosistem. Guano kelelawar diyakini sebagai sumber energi yang memiliki peranan penting dalam rantai makanan di dalam ekosistem gua (Suyanto, 2001). Guano kelelawar merupakan produsen bagi fauna

26 43 lain seperti jangkrik gua sebagai konsumen pertama. Manfaat lain dari guano yaitu sebagai bahan dasar pupuk. Guano kelelawar adalah 100% pupuk organik yang mengandung elemen mikro dan makro lengkap yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Kandungan kasar bahan-bahan utama pupuk yang terdapat dalam guano yaitu 10% nitrogen, 3% fosfor dan 1% potasium (Wiyatna, 2002). Kondisi iklim mikro gua dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan fisik seperti kelembaban, suhu, cahaya, air, kadar oksigen, CO 2, aliran udara, dan ph tanah, yang berpengaruh terhadap jenis fauna gua yang tinggal di dalamnya. Gua-gua yang dihuni kelelawar memiliki karakteristik yang berbeda dengan guagua yang tidak dihuni kelelawar. Perbedaan tersebut di antaranya dapat dilihat dari suhu dan kelembaban. Pada umumnya, gua-gua yang dihuni kelelawar, memiliki suhu yang lebih rendah dan kelembaban yang lebih tinggi daripada yang tidak dihuni kelelawar (Maryanto dan Mahadaratunkamsi, 1991). Hasil penelitian di kawasan karst Gudawang menunjukkan bahwa gua yang dihuni kelelawar memiliki suhu dan kelembaban rata-rata 26,15 ± 0,97 o C dan 90,7 ± 3,49%, sedangkan gua yang tidak dihuni kelelawar meiliki suhu dan kelembaban rata-rata sebesar 26,68 ± 1,55 o C dan 87,6 ± 8,2% (Apriandi, 2004). Gua-gua di daerah tropis cenderung lebih hangat karena variasi suhunya kecil. Sebagian besar fauna gua beradaptasi dengan kondisi suhu yang stabil, karena suhu dalam gua tidak berfluktuasi besar. Suhu sangat berperan dalam tahap reproduksi jenis termasuk fauna gua. Iklim mikro gua tidak hanya dipengaruhi oleh suhu udara tetapi juga oleh suhu air. Suhu air yang mengalir biasanya sama

27 44 dengan suhu air di luar, karena berasal dari air resurgence (aliran sungai yang masuk ke gua (Rahmadi, 2007) Kawasan Karst Gombong Kawasan karst Gombong terletak di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Letaknya kurang lebih 44 km di sebelah barat daya kota Kebumen, dan sekitar 23 km selatan kota Gombong. Berada pada 109 o _ 110 o Bujur Timur dan 7 o 8 o Lintang Selatan. Ketinggian dari permukaan laut sekitar 20 sampai 40 m. Luas wilayah sekitar 82 km 2. Sepertiga luas wilayahnya merupakan lahan persawahan, sisanya adalah tanah kering yang dimanfaatkan untuk perkebunan, pemukiman, dan hutan. Gambar 2. Peta Kawasan Karst Gombong (TourismJavaIsland, 2009)

28 45 Menurut Riswan et al (2006) Gombong memiliki bentang alam karst yang terletak di Kecamatan Ayah. Menurut Whitten et al (1999), Paparan Sunda awalnya merupakan lautan tropik dangkal dimana di dasarnya banyak mengendap kalsium karbonat yang dihasilkan oleh binatang berkerangka kapur koral dan foraminifera. Sekitar tiga juta tahun yang lalu, dasar lautan terdorong ke atas oleh gaya tektonik, akibatnya terbentuk barisan bukit karst. Selanjutnya CO 2 (karbondioksida) di udara yang larut dalam air hujan membentuk asam karbonat lemah. Larutan asam karbonat tersebut melarutkan batu gamping sehingga tebentuklah gua karst. Setelah proses jutaan tahun, gua karst (batu gamping) menjadi ekosistem unik dengan karakteristik ruang tertutup, gelap, temperatur stabil, lembab, ada aliran udara dan dihuni oleh flora dan fauna khas. Secara keseluruhan kawasan karst Gombong mempunyai banyak gua-gua horizontal maupun vertikal yang tersebar di kecamatan-kecamatan pada bagian pegunungan. Gua-gua yang sudah terdata sekitar 50 gua dan sebagian besar merupakan gua fosil. Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah memiliki dua bentang alam yang memiliki fenomena geologi yang unik, langka dan bernilai tinggi, yaitu daerah karst Gombong dan Karangsambung. Sekitar sepertiga luas wilayahnya merupakan lahan persawahan, sisanya adalah kawasan tanah kering yang dipakai untuk pemukiman, perkebunan, dan hutan. Hutan produksi seluas 17 ribu ha atau 13% luas daerah ditumbuhi oleh jati, pinus, dan sungkai. Vegetasi karst di kawasan Gombong menunjukkan bahwa kawasan karst merupakan ekosistem hutan karst sekunder yang sudah mengalami kerusakan sebelumnya (Riswan et al, 2006).

29 46 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai kelimpahan, sebaran dan keanekaragaman jenis kelelawar (Chiroptera) dilakukan di gua-gua yang terdapat di kawasan karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah pada bulan Juni - Juli Analisis spesimen dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta dan Laboratorium Mamalia, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Gambar 3. Peta lokasi penelitian (Badan Survey Geologi Nasional, 2004) Ket: Lokasi pemasangan perangkap di sekitar mulut gua 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: mist net, harp net, jaring bertangkai, kantong blacu, head lamp, lampu senter, meteran gulung, tali

30 47 rafia, kertas label, GPS, anemometer, termometer, timbangan digital, jangka sorong, galah, dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kelelawar, formalin 4%, alkohol 96%, aquades dan kloroform.

31 Cara kerja Penentuan Lokasi Penelitian Penangkapan dan estimasi populasi kelelawar dilakukan di Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua Intan yang terdapat di kawasan karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Pemilihan keempat gua tersebut karena dikelola dengan pola pengelolaan yang berbeda. Gua Petruk dan Gua Liyah pengelolaannya dibiarkan alami dengan fasilitas penunjang seadanya sebagai obyek wisata alam minat khusus. Gua Jatijajar dan Gua Intan dikembangkan sebagai obyek wisata alam umum dengan berbagai sarana penunjang yang diberi fasilitas jalan, jembatan dan lampu di sepanjang lorong gua Pengambilan Sampel Penangkapan kelelawar dilakukan pada pukul WIB dengan menggunakan mist net dan harp net pada jalur terbang kelelawar yang berada di sekitar mulut gua. Jaring bertangkai digunakan untuk menangkap kelelawar pada tempat bertengger di dalam gua. Sebelumnya, dilakukan pengukuran parameter fisik seperti suhu, kelembaban, dan kecepatan angin. Kelelawar yang tersangkut kemudian dipindahkan ke dalam kantung blacu. Kelelawar yang tertangkap, dibius dengan kloroform 4 %, kemudian ditimbang dan diukur dengan jangka sorong. Bagian-bagian luar tubuh kelelawar yang diukur tersaji pada Gambar 4. E HB FA Tb HF T

32 49 Gambar 4. : Bagian-bagian tubuh kelelawar (Amin, 2009) - HB (Head and Body) = panjang total tubuh kelelawar, dari mulai kepala sampai dengan pangkal ekor. - T (Tail) = panjang ekor mulai dari pangkal ekor sampai ujung ekor. - HF (Hindfoot) = diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang tanpa cakar. - E (Ear), diukur dari pangkal sampai dengan ujung telinga yang terjauh. - FA (Forearm), diukur dari sisi luar siku sampai dengan sisi luar pergelangan sayap yang melengkung. - Tb (Tibia), diukur mulai dari lutut sampai lengan pergelangan kaki. Setelah itu dilakukan pemberian label dan penyuntikan dengan formalin 4%, kemudian kelelawar direndam pada alkohol 70% dan semua sampel yang diperoleh, selanjutnya dianalisis di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta Metode Estimasi Jumlah Kelelawar Metode estimasi jumlah kelelawar di Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar dan Gua Intan dilakukan dengan cara metode sensus (Ahlen, 1993), yaitu dengan menghitung jumlah total individu. Penghitungan dilakukan pada saat kelelawar ke luar dari mulut gua pada sore hari oleh dua orang pengamat dengan menggunakan counter setiap interval waktu lima menit mulai dari kelelawar pertama ke luar gua hingga tidak ada lagi kelelawar yang keluar. Penghitungan kelelawar diulang sebanyak tiga kali pada hari yang berbeda Analisis Data Identifikasi Jenis Kelelawar

33 50 Data yang dikumpulkan terdiri dari data karakteristik morfologi kelelawar, yang meliputi ukuran tubuh (Gambar 4), untuk mengidentifikasi jenis kelelawar yang ditemukan. Cara mengidetifikasi jenis adalah menggunakan kunci identifikasi yang mengacu pada kunci identifikasi menurut Suyanto (2001) dalam buku Panduan Lapangan Jenis-jenis Kelelawar di Indonesia dan Kingston (2006) dalam buku Bats of Krau Wildlife Reserve Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks Keanekaragaman Jenis yang digunakan adalah Indeks Keanekaragaman, Kemerataan, Kesamaan dan Dominasi Jenis. Untuk mengetahui Keanekaragaman jenis kelelawar pada setiap gua digunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner (Bower dan Zar, 1977). Keterangan: - H = Indeks Keanekaragaman Shannon- Wienner - n i = Jumlah individu jenis ke-i - N = Jumlah individu seluruh jenis Kisaran nilai Indeks Keanekaragaman (H ) (Odum, 1971) adalah sebagai berikut: - H < 1 Tingkat Keanekaragaman rendah - 1 < H < 3 Tingkat Keanekaragaman sedang - H > 3 Tingkat Keanekaragaman tinggi Indeks Keanekaragaman menunjukkan kekayaan jenis dalam suatu komunitas dan juga memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu tiap jenis (Odum, 1971). Nilai Indeks Keanekaragaman digunakan untuk menentukan nilai Indeks Kemerataan Jenis dengan menggunakan rumus Indeks Kemerataan Shannon Evenness (Krebs, 1989).

34 51 Keterangan: - E = Indeks Kemerataan Shannon Evenness - H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner - S = Jumlah jenis Kisaran nilai Indeks Kemerataan (E) (Ludwig dan Reynolds, 1988) adalah sebagai berikut: - E < 0.4 Kemerataan rendah < E < 0.6 Kemerataan sedang - E > 0.6 Kemerataan tinggi Semakin kecil Indeks Kemerataan (E) akan semakin kecil pula kemerataan suatu populasi, yang menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominasi dari jenis yang ada. Semakin besar nilai Indeks Kemerataan (E) maka populasi menunjukkan kemerataan yang tinggi, yang menandakan bahwa cenderung tidak terjadi dominasi antar jenis yang ada. Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan komposisi jenis antara lokasi Gua Petruk, Gua Liyah, Gua Jatijajar, dan Gua Intan dengan menggunakan Indeks Sorensen (IS). IS = 2c 100% a + b dengan: a b c = jumlah jenis di lokasi A = jumlah jenis di lokasi B = jumlah jenis yang sama ditemukan di kedua lokasi

35 52 Indeks Dominasi dihitung berdasarkan Indeks Simpson dalam Krebs (1989) dengan menggunakan rumus: Keterangan: - C = Indeks Dominasi - n i = Jumlah individu jenis ke-i - N = Jumlah total individu Indeks Dominasi berhubungan terbalik dengan Keanekaragaman dan Kemerataan. Nilai Indeks Dominasi (C) berkisar antara 0-1. Jika C mendekati 1, berarti dalam populasi cenderung terjadi dominasi dari salah satu jenis yang ada, dan bila C mendekati 0 maka dalam populasi cenderung tidak terjadi dominasi.

36 53 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Lingkungan Gua - Gua Petruk Terletak sekitar 7 km selatan Taman Wisata Jatijajar di mana jalan yang beraspal baik menghubungkan keduanya (07 o LS/109 o BT). Untuk mencapai mulut gua harus ke bukit melalui jalan berundak sejauh lebih kurang 350 m. Pemandangan sebelum masuk kawasan Gua Petruk adalah deretan perbukitan batu gamping yang membentuk morfologi karst. Beberapa bukit yang berlereng curam dibatasi oleh struktur geologi batu gamping di kawasan ini berwarna putih kotor kekuningan atau coklat muda. Vegetasi di sekitar mulut gua cukup lebat, menunjukkan banyaknya air di bagian ini. Mulut Gua Petruk berbangun persegi, yang memanjang ke atas. - Gua Liah Terletak di sebelah selatan Gua Petruk dengan bentuk mulut guanya yang melengkung rendah dan sempit (07 o LS/109 o BT). Tinggi mulut gua hampir sama dengan Gua Petruk, yaitu sekitar 80 m di atas permukaan laut. Sebagai gua fosil, ornamen di dalamnya kurang berkembang. Beberapa ruangan yang cukup besar ukurannya dihubungkan dengan lorong-lorong sempit yang beratap tinggi. Stalakmit di dasar gua tersebar mengikuti stalaktit yang tumbuh berderet di atap gua. Sederetan stalaktit aktif yang berwarna putih berakhir pada sebuah pilar. Stalaktit itu tumbuh di bawah retakan atap gua. Sehingga kelurusannya akan mencirikan arah retakan yang memotong mulut gua - Gua Jatijajar

37 54 Gua Jatijajar terletak ± 42 Km sebelah Barat Kota Kebumen yaitu di Desa Jatijajar, Kecamatan Ayah (07 o LS/109 o BT). Ketinggian dari permukaan laut ± 81 meter dan jarak dari pantai ± 10 Km. Tinggi mulut gua ± 8 meter, tinggi rata-rata ± 12 meter, lebar ± 15 meter dan panjang total gua ± 250 meter. Gua Jatijajar merupakan objek wisata andalan Kabupaten Kebumen yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Mulut gua yang tinggi dan lebar menyingkapkan lapisan batu gamping pejal yang kompak dan keras. - Gua Intan Gua Intan berada pada Desa Jatijajar dan terletak ± 500 m sebelah barat dari Gua Jatijajar dan berada pada (07 o LS/109 o BT) dan 74 meter di atas permukaan laut, merupakan gua alam fosil yang penuh dengan ornamen yang masih aktif. Sebuah stalaktit di dinding pintu masuk sebelah kanan dilingkupi oleh sedimen pasir lempungan berwarna merah kecoklatan yang mengandung fosil moluska. Sedimen tersebut merupakan sisa endapan gua yang menyingkap sejarah pembentukan gua. Moluska tersebut adalah binatang darat yang hidup di sekitar gua ketika terjadi aliran air hujan yang masuk ke dalam gua, bersama-sama dengan sedimen pasir dan lempung binatang itu terangkut kedalam gua. Saat terjadi banjir seluruh lorong gua terendam air, dan sebuah stalaktit yang terletak 3 m dari dasar gua ditutupi oleh sedimen tersebut. Pada musim hujan, dasar gua yang dilapisi oleh lempung cokelat tua yang cukup tebal menjadi basah. Sekelompok stalaktit yang menyatu dengan stalakmit membentuk pilar-pilar indah setinggi beberapa meter. Ornamen gua di bagian ini umumnya masih aktif Jumlah Penghitungan Populasi Kelelawar Berdasarkan hasil penghitungan yang diulang sebanyak tiga kali, rata-rata jumlah kelelawar penghuni Gua Petruk pada tanggal 28, 29 dan 30 Juni 2009 adalah ± 3927 ekor. Rata-rata jumlah kelelawar penghuni Gua Jatijajar pada tanggal 1, 2, dan 3 Juli 2009 adalah ±

38 ekor. Kedua gua ini merupakan gua wisata, yang membedakannya adalah Gua Petruk lebih dibiarkan alami dengan fasilitas penunjang seadanya sebagai obyek wisata alam minat khusus, sedangkan Gua Jatijajar dikembangkan sebagai obyek wisata alam umum dengan berbagai sarana penunjang. Bahkan bagian dalam Gua Jatijajar telah diberi fasilitas jalan dan jembatan serta dilengkapi dengan deorama yang menggambarkan rangkaian cerita legenda Raden Kamandaka-Lutung Kasarung. Jumlah kelelawar di Gua Petruk jauh lebih banyak dibandingkan dengan Gua Jatijajar, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pendukung kehidupan kelelawar yang berupa faktor biotik dan faktor abiotik Gua Petruk lebih mendukung perkembangan populasi kelelawar dibandingkan dengan Gua Jatijajar (Wijayanti, 2001). Menurut Altringham (1996), kondisi gua yang jauh dari kebisingan, gelap, lembab dan suhu yang stabil cocok sebagai tempat beristirahat dan bereproduksi kelelawar. Dengan kondisi demikian kelelawar dapat berlindung dari pemangsa, mencegah evaporasi, menjaga suhu tubuh dan berkembang biak dengan aman. Menurut Griffin (1970) dalam Wijayanti (2001), dalam mencari makan kelelawar mempunyai kemampuan terbang dari tempat bertenggernya sejauh 60 km. Jarak antara Gua Petruk dengan Gua Jatijajar hanya ± 5 km, sehingga wilayah tempat pencarian makan kelelawar penghuni Gua Petruk dan Gua Jatijajar diperkirakan sama. Oleh karena itu, faktor makanan bukan merupakan penyebab adanya perbedaan jumlah populasi kelelawar di kedua gua. Faktor biotik lain yang diduga mempengaruhi jumlah populasi kelelawar di Gua Petruk dan Gua Jatijajar adalah manusia. Jumlah pengunjung ke Gua Petruk jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Gua Jatijajar. Berdasarkan hasil pengamatan, para pengunjung tidak mengusik ataupun memburu kelelawar secara langsung, namun kebisingan yang ditimbulkannya diduga sangat mengganggu populasi kelelawar. Menurut Altringham (1996),

39 56 kelelawar sangat peka terhadap kebisingan, karena kebanyakan jenis kelelawar mempunyai alat pendengaran yang sangat sensitive sebagai adaptasi dari aktifitas hidupnya di malam hari. Menurut Tidemann & Flavel (1987) dalam Wijayanti (2001), kelelawar memilih tempat bertengger pada pohon-pohon tinggi, cerobong asap, gedung-gedung tua dan gua untuk menghindari kebisingan yang disebabkan oleh manusia dan hewan lainnya. Ukuran Gua Petruk yang lebih besar (panjang 350 m, lebar rata-rata 45 m) dibandingkan dengan Gua Jatijajar (panjang 250 m, lebar rata-rata 15 m) juga menyebabkan Gua Petruk menampung lebih banyak jenis fauna dibandingkan Gua Jatijajar, hal ini sesuai dengan pendapat Cox dan Moore (1995) yang menyatakan bahwa habitat yang luas menampung lebih banyak jenis makhluk hidup di dalamnya dibandingkan dengan habitat yang lebih sempit. Lingkungan fisik ekosistem Gua Jatijajar juga telah berubah dari keadaan aslinya akibat pembangunan sarana penunjang pariwisata. Hal itu berbeda sekali dengan lingkungan fisik Gua Petruk yang dibiarkan seperti aslinya. Menurut Ehrlich dan Roughgarden (1987) dalam Wijayanti (2001), ekosistem yang secara fisik mantap memungkinkan tercapainya komunitas klimaks dalam suksesi sehingga terjadi penimbunan keragaman biologi yang tinggi, sedangkan ekosistem yang berubah karena suatu gangguan akan mengalami suksesi kembali (suksesi sekunder), sehingga komunitasnya jauh dari kondisi klimaks Jenis-jenis Kelelawar Berdasarkan hasil penelitian selama bulan Juni-Juli 2009 di kawasan karst Gombong Selatan Kabupaten Kebumen didapatkan dari 4 gua yang diamati terdapat 79 individu yang terdiri dari 2 sub ordo: Megachiroptera yang hanya terdiri dari 1 famili (Pteropodidae) dengan 6 jenis kelelawar dan Microchiroptera yang terdiri dari 4 famili (Mollosidae, Hipposideridae, Rhinolophidae, dan Vespertilionidae) dengan 5 jenis kelelawar yang terdapat

40 57 pada semua titik pengambilan kelelawar. Persentase jumlah jenis kelelawar yang didapat pada seluruh gua terlampir pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis kelelawar yang tertangkap pada seluruh gua No. Famili Jenis Nama Lokal Jumlah Individu Cynopterus horsfieldii Codot horsfieldi C. brachyotis Codot krawar Pteropodidae C. titthaecheilus Codot besar Eonycteris spelaea Lalai kembang Rousettus amplexicaudatus Nyap biasa Macroglossus sobrinus Cecadu pisang besar Mollosidae Chaerephon plicata Tayo kecil Hipposideridae Hipposideros larvatus Barong horsfieldi H. ater Barong Malaya Rhinolophidae Rhinolophus affinis Prok bruk hutan Vespertilionidae Miniopterus australis Tomosu australi Jumlah (%) Tabel 2. Keanekaragaman jenis kelelawar yang ditemukan pada seluruh gua terlampir pada Tabel 2. Hasil rekapitulasi tangkapan kelelawar pada seluruh gua No. Jenis Lokasi Pengambilan Gua Petruk Gua Liah Gua Jatijajar Gua Intan 1 Cynopterus horsfieldii X 2 C. brachyotis X X X 3 C. titthaecheilus X 4 Eonycteris spelaea X 5 Rousettus amplexicaudatus X X 6 Macroglossus sobrinus X 7 Chaerephon plicata X 8 Hipposideros larvatus X X X 9 H. ater X 10 Rhinolophus affinis X 11 Miniopterus australis X Pengukuran parameter fisik pada saat pengambilan kelelawar di jalur terbang (pada masing-masing gua) terlampir pada Tabel 3. Tabel 3. Parameter fisik Parameter fisik Gua Petruk Gua Liah Gua Jatijajar Gua Intan Suhu ( o C)

41 58 Kelembaban (%) Intensitas cahaya (Klux/m) Ketinggian (m dpl) Kunci Identifikasi Tingkat Famili Kelelawar 1a. Mata besar, tidak memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan gerahamtumpul... Pteropodidae b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan gerahamruncing a. Tidak berekor, selaput kulit antarpaha tumbuh baik... 3 b. Ekor ada a. Telinga besar dan panjang, telinga kanan dan kiri bersambung padapangkalnya... Megadermatidae b. Telinga tidak seperti 3a... Hipposideridae 4a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha... 5 b. Tidak seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha a. Tidak memiliki daun hidung... Vespertilionidae b. Memiliki daun hidung a. Ujung tulang ekor berbentuk seperti huruf T... Nycteridae b. Ujung tulang ekor tidak seperti 6a a. Daun hidung belakang tumbuh baik sehingga berbentuk segitiga Rhinolophidae b. Daun hidung belakang tumpul... Hipposideridae 8a. Ekor yang mencuat di tengah selaput kulit antar paha... Emballonuridae b. Ekor yang bebas mencuat di ujung selaput kulit antarpaha a. Ekor yang bebas sangat panjang, lebih dari setengah panjang ekornya, ada

42 59 lipatan kulit sederhana di atas lubang hidung. Lubang hidung sempit bercelah... Rhinopomatidae b. Ekor yang bebas lebih pendek, kurang dari setengah panjang ekor, tidak ada lipatan kulit seperti 8a. Lubang hidung agak bundar... Molossidae 4.4. Kunci Identifikasi Kelelawar Karst Gombong Selatan Spesimen kelelawar dengan kode: P 1, P 2, P 5 -P 11, P 13 -P 14. 1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham runcing b. Ekor ada b. Tidak seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha b. Ekor yang bebas mencuat di ujung selaput kulit antar paha b. Ekor yang bebas lebih pendek, kurang dari setengah panjang ekor, lubang hidung agak bundar... Molossidae Wajah ditumbuhi rambut-rambut kaku yang pendek dan hitam. Bibir sangat berkerutkerut seperti dijahit, daun telinga tebal, bundar dan lebar (telinga bagian kanan dan kiri dihubungkan dengan selaput kulit). Dengan ciri-ciri tersebut di atas, spesimen kelelawar ini termasuk jenis Chaerephon plicata (Buchanan, 1800 dalam Cobert & Hill, 1992). Spesimen kelelawar dengan kode: P 16 -P 20, P 22 -P 25, P 32 -P 40. 1b. Mata relatif kecil, memiliki tragus dan anti tragus, tonjolan geraham runcing b. Ekor ada a. Seluruh ekor terbenam dalam selaput kulit antar paha b. Memiliki daun hidung... 6

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. Karst merupakan. saluran bawah permukaan (Setiawan et al., 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah karst sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia. Istilah aslinya adalah krst / krast yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di

III. METODE PENELITIAN. dilakukan pada bulan Desember Maret Penelitian dilaksanakan di III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian tentang tanda keberadaan tidak langsung kelelawar pemakan buah telah dilakukan pada bulan Desember 2014 - Maret 2015. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro

Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro ISSN: 2252-3979 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio Kekayaan Jenis Kelelawar (Chiroptera) di Kawasan Gua Lawa Karst Dander Kabupaten Bojonegoro Hendrik Nurfitrianto, Widowati Budijastuti,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kelelawar memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan menempati II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kelelawar Klasifikasi kelelawar menurut Corbet and Hill ( 1992) Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mammalia : Chiroptera Kelelawar memiliki

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1 Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Peta Konsep Ciri khusus mahkluk hidup 1. Mencari makan 2. Kelangsungan hidup 3. Menghindari diri dari Hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Sumatera Barat banyak ditemukan kawasan berkapur (karst) dengan sejumlah goa. Goa-goa yang telah teridentifikasi di Sumatera Barat terdapat 114 buah goa (UKSDA, 1999

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di

TINJAUAN PUSTAKA. I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di TINJAUAN PUSTAKA I. Ekologi Tanaman Kelapa Sawit (Elais guinensis Jacq.) Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15 LU - 15 LS). Tanaman ini tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar Kelelawar merupakan mamalia yang dapat terbang yang termasuk ordo Chiroptera. Hewan ini merupakan satu-satunya mamalia yang dapat terbang dengan menggunakan sayap.

Lebih terperinci

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA BAB 1 CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA Tujuan Pembelajaran: 1) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri khusus hewan dengan lingkungannya; 2) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni Lampung Barat pada bulan Juni sampai bulan Oktober 2012. Penelitian ini berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai

BAB I PENDAHULUAN. Hamparan karst di Indonesia mencapai km 2 dari ujung barat sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah baik sumber daya alam hayati maupun non-hayati. Salah satu dari sekian banyak

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Ekologi. Faktor Biotik

Prinsip-Prinsip Ekologi. Faktor Biotik Prinsip-Prinsip Ekologi Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan,

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) PADA BEBERAPA TIPE EKOSISTEM DI CAMP LEAKEY

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) PADA BEBERAPA TIPE EKOSISTEM DI CAMP LEAKEY BIOMA 12 (1), 2016 Biologi UNJ Press ISSN : 0126-3552 STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) PADA BEBERAPA TIPE EKOSISTEM DI CAMP LEAKEY KAWASAN TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING (TNTP), KALIMANTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian 20 III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei 2011 di Stasiun Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS),

Lebih terperinci

KOMUNITAS KELELAWAR (Ordo Chiroptera) DI BEBERAPA GUA KARST GUNUNG KENDENG KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

KOMUNITAS KELELAWAR (Ordo Chiroptera) DI BEBERAPA GUA KARST GUNUNG KENDENG KABUPATEN PATI JAWA TENGAH KOMUNITAS KELELAWAR (Ordo Chiroptera) DI BEBERAPA GUA KARST GUNUNG KENDENG KABUPATEN PATI JAWA TENGAH Kamal Tamasuki*, Fahma Wijayanti, Narti Fitriana Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kelelawar Kelelawar adalah mamalia dari ordo Chiroptera dengan dua sub ordo yang dibedakan atas jenis pakannya. Ordo Chiroptera memiliki 18 famili, 188 genus, dan 970 spesies

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Ekologi Kelelawar Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu kelompok mamalia yang sukses beradaptasi hingga saat ini, hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KELELAWAR (CHIROPTERA) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA Diversity of Bats (Chiroptera) at The Mountain of Ambawang Forest Protected Areas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

KOMUNITAS KELELAWAR DI GUA PUTRI DAN GUA SELABE KAWASAN KARST DESA PADANG BINDU KECAMATAN SEMIDANG AJI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

KOMUNITAS KELELAWAR DI GUA PUTRI DAN GUA SELABE KAWASAN KARST DESA PADANG BINDU KECAMATAN SEMIDANG AJI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN KOMUNITAS KELELAWAR DI GUA PUTRI DAN GUA SELABE KAWASAN KARST DESA PADANG BINDU KECAMATAN SEMIDANG AJI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN Yusni Atmawijaya, Zulkifli Dahlan dan Indra Yustian Dosen

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 17 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011 bertempat di Stasiun Pusat Penelitian dan Pelatihan Konservasi Way

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan BAB III METODOLOGI PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang subkawasan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dengan ketinggian 700-1000 m dpl,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diversitas atau keanekaragaman makhluk hidup termasuk salah satu sumber daya lingkungan dan memberi peranan yang penting dalam kestabilan lingkungan. Semakin tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami pengertian

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA

POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA POLA PENGGUNAAN RUANG BERTENGGER KELELAWAR DI GUA PUTIH HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI JAWA BARAT RIYANDA YUSFIDIYAGA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014,

METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, 19 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2014, di areal pertambakan intensif PT. CPB Provinsi Lampung dan PT. WM Provinsi

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER Disusun oleh : Nama NIM : Mohammad Farhan Arfiansyah : 13/346668/GE/07490 Hari, tanggal : Rabu, 4 November 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga.

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga. Siregar (2009), menyebutkan

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi secara purposive sampling (penempatan titik sampel dengan tujuan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survai, yaitu pengambilan sampel semut pada tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif,

Lebih terperinci

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi Pengertian Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi dibedakan menjadi 3 jenis 1. Adaptasi Morfologi Proses adaptasi yang dilakukan dengan menyesuaikan bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Harpiocephalus harpia Serangga Rhinolophus keyensis Serangga Hipposideros cervinus Serangga

MATERI DAN METODE. Harpiocephalus harpia Serangga Rhinolophus keyensis Serangga Hipposideros cervinus Serangga MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kota Tual, desa Ohoira, desa Ohoidertawun dan desa Abean, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian lapang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang kompleks untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada

Lebih terperinci

Siti Rabiatul Fajri dan Sucika Armiani Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram

Siti Rabiatul Fajri dan Sucika Armiani Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram e-issn: 2442-7667 p-issn: 1412-6087 Analisis Pakan Kelelawar sebagai Polinator dan Pengendali Populasi Serangga Hama: Studi di Gua Gale-Gale Kawasan Karst Gunung Prabu Kuta Lombok Tengah Siti Rabiatul

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapangan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu bulan Agustus 2015 sampai dengan September 2015. Lokasi penelitian berada di Dusun Duren

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret 2012 di Rawa Bujung Raman Desa Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat. B. Alat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

Penentuan batas antar komunitas tidak mudah Zona transisi dengan lingkungan tertentu Proses perubahan secara gradual struktur komunitas disebut

Penentuan batas antar komunitas tidak mudah Zona transisi dengan lingkungan tertentu Proses perubahan secara gradual struktur komunitas disebut KOMUNITAS Komunitas beragam struktur biologinya Diversitas meliputi dua aspek : > Kekayaan Jenis > Kemerataan Komunitas memiliki struktur vertikal Variasi Spatial struktur komunitas berupa zonasi. Penentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci