Bab IV Pengembangan Model

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Pengembangan Model"

Transkripsi

1 Bab IV Pengembangan Model IV.1 Konsep Penentuan Nilai Indeks Banjir Konsep awal dari pengembangan model indeks banjir dalam penelitian ini adalah adanya suatu nilai yang dapat menggambarkan karakteristik banjir dari sisi hidrologi maupun hidrolik. Dari sisi hidrologi faktor dominan yang menyebabkan banjir adalah karakteristik hujan. Biasanya hujan yang mempunyai intensitas tinggi yang dapat menyebabkan tingginya hidrograf di outlet DAS atau sub DAS, sehingga menimbulkan banjir di sungai yang dilaluinya. Sedangkan dari sisi hidrolik adalah dampak hidrolis yang disebabkan oleh adanya banjir terhadap dataran banjir (flood plain) yaitu luas, kedalaman dan lama waktu genangan yang terjadi. Berdasarkan teori tentang indeks yang dijelaskan oleh Spiegel M.R. (1961) dalam bukunya Theory and Problems of Statistics, nilai indeks merupakan perbandingan atau rasio antara nilai yang ditinjau terhadap nilai pembanding. Untuk nilai indeks yang paling sederhana, pembanding yang dimaksud adalah nilai awal sebelum nilai yang ditinjau berubah sesuai fungsi waktu. Sedangkan agar nilai indeks lebih spesifik dapat mencirikan suatu karakteristik tertentu, maka dapat ditambahkan dengan beberapa variabel lain sehingga menjadi rasio antar kelompok variabel. Jenis maupun jumlah variabel dalam rasio tersebut adalah sama, ini tentunya sangat beralasan karena dengan membandingkan suatu nilai objek yang sama dari satu atau kelompok variabel akan menghilangkan satuan yang berbeda-beda, sehingga indeks menjadi sebuah nilai yang solid. Sedangkan dalam pengembangannya, nilai indeks dapat berupa nilai tunggal satu variabel atau jumlah dari beberapa variabel dalam satuan yang sama, seperti yang dapat dilihat dari studi terdahulu tentang indeks banjir sebagai berikut : - Flash Flood Potential Index, variabel indeks yang menentukan adalah variabel tunggal berupa besaran jumlah hujan pada nilai tertentu. Dalam hal ini indeks banjir masih mempunyai satuan, akan tetapi karena hanya satu variabel yang menentukan, maka penentuan nilai indeks tidak bermasalah. 83

2 - Indeks Banjir dalam disertasinya Sutanhaji, 2005 merupakan rasio antara nilai debit, nilai indeks tidak mempunyai satuan. - Coastal Flood Index, indeks banjir ini merupakan jumlah dari empat variabel yang berbeda, yaitu runup gelombang, tinggi gelombang, tinggi air pasang ramalan dan anomali tinggi air pasang ramalan. Meskipun masing-masing keempat variabel mempunyai satuan, akan tetapi karena satuannya sama yaitu satuan panjang, maka indeks dapat ditentukan. - Flood Index yang dikembangkan oleh Byun dan Wilhite, 1999, menggunakan rasio besaran hujan sebagai variabelnya, sehingga penentuan nilai indeks relatif mudah dilakukan. - Daily Flood Index adalah indeks banjir yang dikembangkan berdasarkan fungsi kumulatif banjir harian. Nilai indeks ini juga diturunkan hanya berdasarkan satu variabel, sehingga tidak bermasalah dengan satuan. Dari hasil analisis di atas baik teoritis maupun aplikatif yang sudah dikembangkan peneliti sebelumnya, nilai indeks dapat berupa : 1. Nilai tunggal dari satu variabel dengan satuan atau tanpa satuan, 2. Rasio dari variabel tunggal tanpa satuan, 3. Gabungan rasio variabel tunggal tanpa satuan dan 4. Jumlah dari beberapa variabel yang berbeda, akan tetapi mempunyai satuan yang sama. Sesuai dengan hipotesa awal bahwa indeks banjir yang dikembangkan merupakan gabungan dari beberapa variabel dengan satuan yang berbeda, maka konsep yang dapat dikembangkan oleh peneliti untuk nilai Indeks Banjir dalam penelitian ini sama dengan point (3) di atas yaitu gabungan dari empat rasio variabel tunggal yang dapat menggambarkan karakteristik banjir dari sisi hidrologi dan hidrolik. Keempat rasio variabel tersebut yaitu rasio debit inflow, rasio luas genangan, rasio kedalaman genangan dan rasio waktu genangan. Selanjutnya masing-masing rasio berturutan disebut sebagai Indeks Debit Inflow, Indeks Luas Genangan, Indeks Kedalaman Genangan dan Indeks Waktu Genangan. Dengan kata lain Indeks Banjir dapat juga dikatakan sebagai gabungan dari indek debit inflow, indeks luas genangan, indeks kedalaman dengan dan indeks waktu genangan. 84

3 Dari analisa di atas juga dapat diketahui bahwa nilai indeks didekati sesederhana mungkin dengan bentuk persamaan indeks disesuaikan, sehingga tujuan yang akan diperoleh atau ditampilkan dari nilai indeks tersebut dapat tercapai. Selanjutnya masing-masing indeks dan persamaan indeks banjir dijelaskan lebih rinci pada pasal di bawah ini. IV.1.1 Indeks Debit Inflow Yang dimaksud dengan debit inflow dalam penelitian ini adalah debit real time yang masuk ke sungai utama hasil simulasi rainfall runoff dari sebuah sub DAS atau jumlah dari beberapa sub DAS. Karena indeks yang didesain adalah indeks debit inflow yang merupakan bagian dari indeks banjir, maka tidak semua debit puncak dapat digunakan dalam menentukan nilai indeks debit. anya debit-debit puncak yang dapat menimbulkan banjir saja yang berpengaruh dalam menentukan indeks debit. Untuk menentukan debit puncak terkecil yang dapat mengakibatkan banjir, dilakukan simulasi rainfall runoff dengan data hujan puncak real time terhadap masing-masing sub DAS. Setiap simulasi hujan puncak terhadap satu sub DAS, hujan pada sub DAS yang lainnya sesuai dengan real time yang sama. Simulasi tersebut dimulai dari hujan terendah 1 jam sampai dengan hujan yang dapat menimbulkan banjir. Sehingga debit tersebut selanjutnya dinamakan debit minimum, Q min. Untuk menentukan debit puncak maksimum, dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah perhitungan debit banjir rencana berdasarkan SNI Dalam SNI ini periode ulang banjir untuk sungai direncanakan untuk 25 tahun. Atas dasar penjelasan di atas, maka Indeks Debit Inflow dirumuskan sebagai perbandingan antara debit banjir yang terjadi dikurangi debit minimum dengan tenggang debit antara maksimum dengan minimum seperti berikut : Q Q I t min Q = (IV.1) Q Q maks min 85

4 Dimana : I Q = Indeks debit inflow Q t Q min = debit saat kejadian banjir = debit minimum yang menyebabkan banjir Q maks = debit maksimum yang menyebabkan banjir Berdasarkan rumus di atas, maka nilai ideks yang akan diperoleh berkisar antara 0 sampai dengan 1. IV.1.2 Indeks Luas Genangan Yang dimaksud dengan luas genangan dalam penelitian ini adalah luas genangan yang terjadi pada dataran banjir akibat luapan air sungai sepanjang sungai yang dimodelkan. Besar kecilnya luas genangan yang terjadi merupakan fungsi besar kecilnya debit inflow, artinya semakin besar debit banjir akan semakin besar juga luas genangan yang terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka penurunan persamaan Indeks Luas Genangan analog dengan Indeks Debit Inflow. Dalam hal ini A min artinya luas genangan yang diakibatkan olek debit minimum dan A maks adalah luas genangan yang diakibatkan oleh debit maksimum. Berdasarkan analisis di atas maka dirumuskan bahwa Indeks Luas Genangan adalah perbandingan antara luas genangan yang terjadi dikurangi luas genangan minimum dengan selisih luas genangan maksimum dengan luas genangan minimum seperti berikut : I A A A t min = (IV.2) A A maks min Dimana : I A = Indeks luas genangan A t A min = luas genangan saat kejadian banjir = luas genangan minimum yang terjadi akibat banjir A maks = luas genangan maksimum yang terjadi akibat banjir Berdasarkan rumus di atas, maka nilai ideks yang akan diperoleh berkisar antara 0 sampai dengan 1. IV.1.3 Indeks Kedalaman Genangan Kedalaman genangan akibat banjir di dataran banjir sangat bervariasi, tergantung posisi dan elevasi tanah terhadap elevasi muka air yang terjadi. Dalam 86

5 kenyatannya di lapangan, data hasil observasi yang menyatakan kedalaman banjir tidak mempunyai posisi yang jelas dimana sebenarnya kedalaman tersebut berada dan sampai saat ini belum ada acuan yang menyatakan tentang hal tersebut. Akan tetapi data kedalaman yang disebutkan biasanya merupakan kedalaman maksimum yang terjadi saat banjir tersebut. Berdasarkan kenyataan di atas, maka sebagai pendekatan dalam penelitian ini bahwa kedalaman genangan yang dimaksud adalah rata-rata kedalaman maksimum dari zona kedalaman tertentu. Atau dalam bentuk persamaan turunan untuk mencari kedalaman genangan adalah sebagai berikut :.A +.A +.A +.A An n A1 1 A2 2 A3 3 = i Atotal (IV.3) Dimana : i = kedalaman genangan A 1, A 2, A 3, A n = luas genangan pada zona tertentu A1 = kedalaman pada zona tertentu A total = luas total genangan Akan tetapi karena dataran banjir dibuat dalam sistem grid yang terdiri dari banyak sel dan setiap sel mempunyai luas yang sama maka : A1 A 1 = A1 (n 1.A sel ) A2 A 2 = A2 (n 2.A sel ) A3 A 3 = A3 (n 3.A sel ) An A n = An (n n.a sel ) A total = n total. A sel Sehingga persamaan IV. 3 menjadi : i Dimana : A = sel (n 1 A1 + n 2 n A2 total + n.a 3 sel A3 + n atau (n + n + n + n ) 1 A1 2 A2 3 A3 n An = i n total (IV.4) n A4 ) n = jumlah sel yang mempunyai kedalaman sama n total = n 1 + n 2 + n 3 + n n = total jumlah sel yang tergenang 87

6 Kedalaman genangan masih merupakan fungsi dari besarnya debit yang mengakibatkan banjir, semakin besar debit banjir maka akan semakin dalam genangan yang terjadi pada suatu lokasi atau sel. Dengan demikian persamaan indeks kedalaman genangan masih analog dengan indeks debit banjir maupun indeks luas genangan seperti di bawah ini. t I min = maks min (IV.5) Dimana : I = Indeks kedalaman genangan t = kedalaman genangan rata-rata saat kejadian banjir min = kedalaman genangan minimum rata-rata terjadi maks = kedalaman genangan maksimum rata-rata terjadi IV.1.4 Indeks Waktu Genangan Sama halnya dengan kedalaman genangan, waktu genangan mempunyai harga yang berbeda untuk setiap posisi. Lebih spesifik lagi, untuk kedalaman maksimum yang sama pada posisi yang berbeda, belum tentu mempunyai waktu genangan yang sama. Dengan demikian sebagai patokan dalam menentukan waktu genangan dalam setiap kejadian banjir, ditentukan sebuah lokasi/posisi sel yang selalu terkena genangan banjir sejak awal kejadian banjir sampai surut. Pada lokasi-lokasi tertentu yang elevasi tanahnya lebih rendah dari elevasi tanah di sekelilingnya, apabila lokasi tersebut terkena luapan banjir, genangan akan sulit menjadi surut kembali. Dengan demikian waktu genangan tersebut ditentukan sejak terjadinya genangan sampai kedalaman muka air tetap tidak surut kembali. Berdasarkan konsep yang dijelaskan di atas, maka waktu genangan akan ada korelasinya dengan besarnya debit dan kedalaman genangan, sehingga dalam menurunkan persamaan Indeks Waktu Genangan analog juga dengan kedua persamaan tersebut. Indeks Waktu Genangan dirumuskan sebagai perbandingan antara waktu genangan yang terjadi pada saat kejadian banjir dikurangi waktu minimum banjir dengan tenggang waktu antara waktu genangan maksimum dengan minimum seperti berikut : 88

7 I T T t T = min (IV.6) T maks T min Dimana : I T = Indeks waktu genangan T t T min = waktu genangan saat kejadian banjir = waktu genangan minimum saat terjadi banjir T maks = waktu genangan maksimum saat terjadi banjir IV.1.5 Indeks Banjir Sesuai dengan konsep teori indeks (Spiegel M.R., 1961), perumusan indeks dimulai dari yang paling sederhana, penambahan variabel disesuaikan dengan tujuan karakteristik indeks yang akan dicapai. Dalam perumusan Indeks Banjir yang menjadi pokok masalah adalah bagaimana merumuskan nilai indeks dari beberapa karakteristik indeks yang sudah ada menjadi sebuah nilai indeks yang dapat mempresentasikan indeks-indeks pembentuknya. Dengan karakteristik indeks yang berbeda, maka persamaan sederhana Indeks Banjir yang dapat mengakomodasinya adalah sebagai berikut : I = ai + b. I + c. I + d. I (IV.7) B Q A T Untuk menghindari adanya nilai negatif karena adanya pengaruh vektor dari salah satu nilai indeks, maka dapat digunakan persamaan sebagai berikut : B Dimana : [ ai + b I + c. I d. I ] 0, 5 I = + I B I Q I A I I T Q. A T = Indeks banjir = Indeks debit puncak = Indeks luas genangan = Indeks kedalaman genangan = Indeks waktu genang a, b, c, d adalah konstanta variabel laten hasil simulasi PLS. (IV.8) IV.2 Klasifikasi Nilai Indeks Banjir Seperti yang sudah disinggung pada pasal III.3.1 bahwa diperlukan klasifikasi dalam menentukan Indeks Banjir. Klasifikasi tersebut diturunkan dari variabel- 89

8 variabel pembentuk Indeks Banjir, yaitu debit inflow, luas genangan, kedalaman genangan dan waktu genangan. Berikut ini adalah klasifikasi variabel Indeks Banjir yang digolongkan berdasarkan karanteristik masing-masing variabel tersebut. IV.2.1 Klasifikasi Debit Inflow Karena dalam penentuan Indeks Banjir debit yang diperhitungkan adalah besarnya debit yang menyebabkan terjadinya banjir, maka debit minimum adalah debit terkecil yang menyebabkan saat mulai terjadi banjir. Sedangkan debit maksimum adalah debit terbesar yang mungkin terjadi akibat dari kemungkinan hujan maksimum terjadi pada DAS tersebut. Adapun debit rata-rata adalah rata-rata dari nilai debit yang dapat menyebabkan banjir. Berdasarkan analisis di atas, maka peneliti mengklasifikasikan dua kondisi debit yang dapat menyebabkan banjir, yaitu debit yang berada antara minimum dan rata-rata dengan debit yang berada antara rata-rata dan maksimum, seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Q di bawah rata-2 Q di atas rata-2 Q min Q rata-rata Q maks Gambar IV.1 Klasifikasi Debit Inflow IV.2.2 Klasifikasi Luas Genangan Luas genangan merupakan fungsi dari besarnya debit yang menyebabkan banjir di daerah genangan, oleh karena itu peneliti menurunkan pendekatan klasifikasi luas genangan didasarkan pada besaran debit yang masuk ke daerah genangan tersebut. Sehingga klasifikasi yang diperoleh analog dengan klasifikasi debit inflow yaitu : 1. Luas genangan antara minimum dan rata-rata 2. Luas genangan antara rata-rata dan maksimum 90

9 IV.2.3 Klasifikasi Kedalaman Genangan Dalam menurunkan klasifikasi kedalaman genangan akibat banjir, dasar yang digunakan adalah analisis dampak banjir terhadap bangunan, infrastruktur, pertanian dan lain-lain. Mengingat kondisi nyata di lokasi studi kasus, kondisi tata guna lahan yang ada di dataran banjir didominasi oleh aspek pemukiman, pertanian dan industri, maka klasifikasi kedalaman didasarkan atas ketiga aspek tersebut. Berdasarkan hasil investigasi baik wawancara langsung dengan masyarakat di lapangan maupun dengan nara sumber yang berkompeten dari ketiga aspek di atas, maka kedalaman genangan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kondisi. Ketiga kondisi tersebut adalah kedalaman genangan rendah, kedalaman genangan sedang dan kedalaman genangan tinggi. asil analisis terhadap korban banjir yang sering terjadi dan berulang-ulang terjadi di sekitar DAS Citarum ulu menunjukkan bahwa ada empat faktor yang dapat dipakai sebagai indikator dalam menentukan klasifikasi banjir berdasarkan kedalaman genangan terhadap pemukiman, yaitu keselamatan jiwa, kelayakan rumah tinggal untuk ditempati sementara, keamanan terhadap harta/barang berharga dan kesempatan untuk menyelamatkan barang-barang berharga. Secara lebih terinci analisis klasifikasinya dapat dilihat seperti pada tabel berikut : Tabel IV.1 Matrik Analisis Klasifikasi Kedalaman Genangan Terhadap Pemukiman Kedalaman Genangan untuk kawaasan Keselamatan Jiwa Kelayakan tinggal sementara di Keamanan terhadap barang Kesempatan untuk menyelamatkan barang berharga Pemukiman rumah berharga 0,3 m Aman Masih bisa Masih aman Dapat diselamatkan 0,3 0,5 m Sebagian besar tidak aman, trutama anak-anak Tidak bisa Sebagian besar tidak aman Sebagian besar sudah tidak bisa diselamatkan >0,5 m Tidak aman Tidak bisa Tidak aman Tidak bisa diselamatkan Catatan : ini hanya berlaku untuk rumah tinggal satu lantai Berdasarkan matrik di atas maka klasifikasi kedalaman genangan berdasarkan dampak terhadap aspek pemukiman dapat dibagi menjadi tiga yaitu kedalaman 91

10 rendah dibawah 30 cm, kedalaman sedang antara 30 cm sampai dengan 50 cm dan kedalaman tinggi di atas 50 cm. Karena sawah merupakan lahan utama dalam memproduksi bahan pangan utama (padi) untuk kepentingan masyarakat, maka sawah sering dijadikan indikator aspek pertanian terhadap dampak terjadinya banjir. al tersebut di atas sesuai dengan kondisi di lokasi studi kasus bahwa sektor pertanian yang dominan di dataran banjir adalah sawah. Oleh karena itu dalam penelitian ini sawah dijadikan sebagai lahan yang dianalisis dalam mengklasifikasi kedalaman banjir terhadap pertanian. Secara lebih terinci analisis klasifikasinya dapat dilihat seperti pada tabel berikut : Tabel IV.2 Matrik Analisis Klasifikasi Kedalaman Genangan Terhadap Pertanian Kedalaman Genangan untuk kawasan Ketahanan Tubuh Tanaman Terhadap Pengaruh terhadap produksi Resiko Langsung Tidak tumbuh (mati) Pertanian Genangan 0,2 m Masih tahan Tidak berpengaruh Tidak beresiko 0,2 0,4 m Kurang tahan Produksi dapat Ada kemungkinan mati berkurang >0,4 m Tidak tahan Tidak berproduksi Cenderung mati Dari tabel di atas, maka klasifikasi kedalaman genangan terhadap sektor pertanian dapat dibagi ke dalam kedalaman rendah apabila genangan di sawah lebih kecil dari 20 cm, kedalaman sedang apabila genangan antara 20 cm sampai dengan 40 cm dan kedalaman tinggi apabila kedalaman genangan di atas 40 cm. Sedangkan untuk kawasan industri klasifikasi didasarkan pada posisi perletakkan mesin-mesin pada fundasinya. Berdasarkan informasi dari nara sumber tinggi fundasi untuk perletakkan mesin industri khususnya tekstil yang banyak di wilayah studi adalah rata-rata 25 cm dari lantai. Dan kondisi ekstrim yang masih mungkin terjadi sampai genangan 40 cm, dengan penghentian operasi mesin 6 jam untuk menurunkan muka air sampai di bawah 25 cm. Berdasarkan kondisi tersebut analisis klasifikasi kedalaman genangan untuk kawasan industri dapat dirinci dalam tabel berikut : 92

11 Tabel IV.3 Matrik Analisis Klasifikasi Kedalaman Genangan Terhadap Kawasan Industri Kedalaman Genangan Keamanan terhadap Pengaruh terhadap produksi untuk Kawasan Industri Operasional mesin indutri 0,25 m Masih aman Masih bisa berproduksi 0,25 0,4 m Kurang aman Produksi berhenti sementara >0,4 m Tidak aman Tidak berproduksi Dari tabel di atas, maka klasifikasi kedalaman genangan terhadap kawasan industri dapat dibagi ke dalam tiga kelas, yaitu kedalaman rendah apabila genangan lebih kecil dari 25 cm, kedalaman sedang apabila genangan antara 25 cm sampai dengan 40 cm dan kedalaman tinggi apabila genangan di atas 40 cm. IV.2.4 Klasifikasi Waktu Genangan Meskipun waktu genangan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia dan pertanian (khususnya tanaman padi) akan tetapi terhadap keduanya masih ada toleransi dengan lamanya genangan, sedangkan untuk operasional mesin-mesin industri dapat dikatakan tidak ada toleransi lagi. Dengan demikian klasifikasi waktu genangan hanya dapat dilakukan terhadap sektor pertanian dan kesehatan masyarakat. Padi akan mati setelah tergenang selama tiga hari berturut-turut (Kriteria Perencanaan Irigasi), maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Tabel IV.4 Matrik Analisis Klasifikasi Waktu Genangan Terhadap Kawasan Pertanian Waktu Genangan untuk Kawasan Pertanian T 3 hari T > 3 hari Kelangsungan idup Tanaman Padi Masih bertahan Mati Berdasarkan tabel di atas maka klasifikasi waktu genangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu waktu genangan aman di bawah 3 hari dan waktu genangan tidak aman di atas 3 hari. 93

12 Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap lokasi-lokasi genangan di dataran banjir DAS Citarum ulu (Wangsaatmaja, S., 2004), lama waktu genang berpengaruh terhadap dampak kesehatan masyarakat yang terkena genangan. asil penelitian tersebut mengklasifikasikan dampak waktu genangan sebagai berikut : Tabel IV.5 Klasifikasi Lama Genangan Klasifikasi Lama Genangan Lama Genangan (hari) Tidak Lama 0-7 Sedang 7-21 Lama > 21 Sumber : Wangsaatmaja, S., 2004 IV.3 Zonasi Indeks Banjir Apabila dalam suatu kawasan terjadi beberapa genangan banjir yang mempunyai beda luasan yang signifikan, maka terhadap masing-masing kawasan tersebut dapat dibuat nilai Indeks Banjir rata-rata. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan seperti pada gambar IV. 2 di bawah ini : Indeks Banjir Banjaran Indeks Banjir Rancaekek Indeks Banjir Dayeuh Kolot Gambar IV.2 Gambar Potensi Daerah Banjir di Citarum ulu (banjir terjadi pada elevasi dibawah m dpl) 94

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III.1 Umum Proses penelitian dalam mendapatkan nilai indeks banjir mengikuti metodologi seperti yang diuraikan pada Gambar 3.1 di bawah ini. Proses dimulai dengan penggunaan

Lebih terperinci

REKAYASA HIDROLOGI II

REKAYASA HIDROLOGI II REKAYASA HIDROLOGI II PENDAHULUAN TIK Review Analisis Hidrologi Dasar 1 ILMU HIDROLOGI Ilmu Hidrologi di dunia sebenarnya telah ada sejak orang mulai mempertanyakan dari mana asal mula air yang berada

Lebih terperinci

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan IV.1 Bagan Alir Metodologi Penelitian Bagan alir metodologi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar IV.1. Bagan Alir Metodologi Penelitian menjelaskan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau Toba merupakan hulu dari Sungai Asahan dimana sungai tersebut berasal dari perairan Danau Toba. DAS Asahan berada sebagian besar di wilayah Kabupaten Asahan

Lebih terperinci

Bab V Analisa dan Diskusi

Bab V Analisa dan Diskusi Bab V Analisa dan Diskusi V.1 Pemilihan data Pemilihan lokasi studi di Sungai Citarum, Jawa Barat, didasarkan pada kelengkapan data debit pengkuran sungai dan data hujan harian. Kalibrasi pemodelan debit

Lebih terperinci

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bendungan adalah sebuah bangunan air yang berfungsi sebagai penangkap air dan menyimpannya di musim penghujan waktu air sungai mengalir dalam jumlah besar. Waduk merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mencari nafkah di Jakarta. Namun, hampir di setiap awal tahun, ada saja

BAB I PENDAHULUAN. dan mencari nafkah di Jakarta. Namun, hampir di setiap awal tahun, ada saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai pusat bisnis dan ekonomi Indonesia, banyak orang tergiur untuk tinggal dan mencari nafkah di Jakarta. Namun, hampir di setiap awal tahun, ada saja cerita banjir

Lebih terperinci

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal DRAINASE POLDER Drainase sistem polder berfungsi untuk mengatasi banjir yang diakibatkan genangan yang ditimbulkan oleh besarnya kapasitas air yang masuk ke suatu daerah melebihi kapasitas keluar dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai, sehingga memiliki potensi sumber daya air yang besar. Sebagai salah satu sumber daya air, sungai memiliki

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Banjir adalah salah satu bencana alam yang sering terjadi. Kerugian jiwa dan material yang diakibatkan oleh bencana banjir menyebabkan suatu daerah terhambat pertumbuhannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang DKI Jakarta terletak di daerah dataran rendah di tepi pantai utara Pulau Jawa, dilintasi oleh 13 sungai, sekitar 40% wilayah DKI berada di dataran banjir dan sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan oleh semua benda hidup serta merupakan energi yang mempertahankan permukaan bumi secara konstan.

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE Untuk merancang suatu sistem drainase, yang harus diketahui adalah jumlah air yang harus dibuang dari lahan dalam jangka waktu tertentu, hal ini dilakukan untuk menghindari

Lebih terperinci

MODEL HIDROLOGI. (continuous flow) dan debit/hidrograf. besar/banjir (event flow). Contoh: : SSARR, SHE, MOCK, NASH, HEC-HMS

MODEL HIDROLOGI. (continuous flow) dan debit/hidrograf. besar/banjir (event flow). Contoh: : SSARR, SHE, MOCK, NASH, HEC-HMS MODEL HIDROLOGI Tiruan proses hidrologi untuk keperluan analisis tentang keberadaan air menurut aspek jumlah, waktu, tempat, probabilitas dan runtun waktu (time series). Rainfall runoff model: jumlah/waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Pulau Jawa, Indonesia dengan panjang sekitar 548,53 km. Wilayah Sungai Bengawan Solo terletak di Propinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

ABSTRAK Faris Afif.O,

ABSTRAK Faris Afif.O, ABSTRAK Faris Afif.O, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, November 2014, Studi Perencanaan Bangunan Utama Embung Guworejo Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Dosen Pembimbing : Ir. Pudyono,

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM Untuk dapat memenuhi tujuan penyusunan Tugas Akhir tentang Perencanaan Polder Sawah Besar dalam Sistem Drainase Kali Tenggang, maka terlebih dahulu disusun metodologi

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di dunia. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana banjir sudah menjadi bencana rutin yang terjadi setiap

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Geomorfologi Daerah Aliran Sungai Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memiliki Stasiun Pengamatan Aliran Sungai (SPAS) yang merupakan satu-satunya alat pendeteksi

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bendung, embung ataupun bendungan merupakan bangunan air yang banyak dibangun sebagai salah satu solusi dalam berbagai masalah yang berhubungan dengan sumber daya

Lebih terperinci

THE MODEL OF FLOOD INDEX AND PROBABILITY OF RISK

THE MODEL OF FLOOD INDEX AND PROBABILITY OF RISK THE MODEL OF FLOOD INDEX AND PROBABILITY OF RISK ON KRUENG MEUREUDU FLOODPLAIN AT PIDIE JAYA-ACEH PROVINCE-INDONESIA MODEL INDEKS BANJIR DAN PROBABILITAS RESIKO PADA DAERAH BANTARAN BANJIR KRUENG MEUREUDU

Lebih terperinci

IX. HIDROGRAF SATUAN

IX. HIDROGRAF SATUAN IX. HIDROGRAF SATUAN Hidrograf satuan merupakan hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan mangkus (efektif) yang terjadi merata di seluruh DAS dengan intensitas tetap dalam satu satuan waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) (catchment, basin, watershed) merupakan daerah dimana seluruh airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

3.4.1 Analisis Data Debit Aliran Analisis Lengkung Aliran Analisis Hidrograf Aliran Analisis Aliran Langsung

3.4.1 Analisis Data Debit Aliran Analisis Lengkung Aliran Analisis Hidrograf Aliran Analisis Aliran Langsung DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI...v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii INTISARI...x ABSTRACT... xi BAB I PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 50 Lampiran 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2001 51 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 52 53 Lampiran 4. Penampakan citra landsat untuk masing-masing

Lebih terperinci

dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui

dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui 55 4.2 Validasi Data Profil Sungai Sebelum dilakukan pengujian model sistem polder Pluit pada program, maka harus dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui validasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat salah satunya adalah perlu adanya penyediaan air yang cukup. Maka perlu kiranya untuk menyeimbangkan antara

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian bencana mewarnai penelitian geografi sejak tsunami Aceh 2004. Sejak itu, terjadi booming penelitian geografi, baik terkait bencana gempabumi, banjir,

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Analisis Kajian

Bab III Metodologi Analisis Kajian Bab III Metodologi Analisis Kajian III.. Analisis Penelusuran Banjir (Flood Routing) III.. Umum Dalam kehidupan, banjir adalah merupakan musibah yang cukup sering menelan kerugian materi dan jiwa. Untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah banjir dan kekeringan merupakan masalah-masalah nasional yang akhir-akhir ini terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia. Kedua masalah tadi saling

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cikapundung yang merupakan salah satu Sub DAS yang berada di DAS Citarum Hulu. Wilayah Sub DAS ini meliputi sebagian Kabupaten

Lebih terperinci

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI Alwafi Pujiraharjo, Suroso, Agus Suharyanto, Faris Afif Octavio Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas batas topografi secara alami sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam

Lebih terperinci

Tahun Penelitian 2005

Tahun Penelitian 2005 Sabtu, 1 Februari 27 :55 - Terakhir Diupdate Senin, 1 Oktober 214 11:41 Tahun Penelitian 25 Adanya peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis

Lebih terperinci

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA Ronaldo Toar Palar L. Kawet, E.M. Wuisan, H. Tangkudung Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas

Lebih terperinci

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU

PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU ISSN 197-877 Terbit sekali 2 bulan Volume Nomor. Juni 29 PENGURANGAN RESIKO BANJIR IBUKOTA DENGAN PENGEMBANGAN DAM PARIT DI DAS CILIWUNG HULU Curah hujan tinggi yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan

Lebih terperinci

BIOFISIK DAS. LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI

BIOFISIK DAS. LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI BIOFISIK DAS LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI SUNGAI Air yang mengalir di sungai berasal dari : ALIRAN PERMUKAAN ( (surface runoff) ) ALIRAN BAWAH PERMUKAAN ( (interflow = subsurface flow) ALIRAN AIR TANAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah drainase kota sudah menjadi permasalahan utama pada daerah perkotaan. Masalah tersebut sering terjadi terutama pada kota-kota yang sudah dan sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA Kriteria Perencanaan Hidrolika Kriteria perencanaan hidrolika ditentukan sebagai berikut;

BAB IV ANALISA Kriteria Perencanaan Hidrolika Kriteria perencanaan hidrolika ditentukan sebagai berikut; BAB IV ANALISA Analisa dilakukan berdasarkan data-data yang diperoleh. Data tersebut berupa data hasil pengamatan dilapangan dan data lain baik termasuk gambar guna memberikan gambaran kondisi wilayah.

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 54 BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1 TINJAUAN UMUM Perencanaan bendungan Ketro ini memerlukan data hidrologi yang meliputi data curah hujan. Data tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan maupun perencanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang terletak di dataran pantai Utara Jawa. Secara topografi mempunyai keunikan yaitu bagian Selatan berupa pegunungan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hampir pada setiap musim penghujan di berbagai provinsi di Indonesia terjadi banjir yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Salah satu wilayah yang selalu mengalami banjir

Lebih terperinci

PENERAPAN SISTEM SEMI POLDER SEBAGAI UPAYA MANAJEMEN LIMPASAN PERMUKAAN DI KOTA BANDUNG

PENERAPAN SISTEM SEMI POLDER SEBAGAI UPAYA MANAJEMEN LIMPASAN PERMUKAAN DI KOTA BANDUNG PENERAPAN SISTEM SEMI POLDER SEBAGAI UPAYA MANAJEMEN LIMPASAN PERMUKAAN DI KOTA BANDUNG ALBERT WICAKSONO*, DODDI YUDIANTO 1 DAN JEFFRY GANDWINATAN 2 1 Staf pengajar Universitas Katolik Parahyangan 2 Alumni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banjir merupakan salah satu peristiwa alam yang seringkali terjadi. Banjir dapat terjadi karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan

Lebih terperinci

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI 3.1. Pengantar Pada bab ini akan ditinjau permasalahan dasar terkait dengan penerapan ilmu hidrologi (analisis hidrologi) untuk perencanaan bangunan di sungai. Penerapan ilmu

Lebih terperinci

PENGENDALIAN DEBIT BANJIR SUNGAI LUSI DENGAN KOLAM DETENSI DI KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN

PENGENDALIAN DEBIT BANJIR SUNGAI LUSI DENGAN KOLAM DETENSI DI KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 471 476 JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 471 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan kegiatan penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005), konsekuensi keruangan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data Data yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini merupakan data sekunder. Data-data yang diperlukan antara lain, data hujan, peta daerah tangkapan air, peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini, masalah lingkungan telah menjadi isu pokok di kota-kota

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini, masalah lingkungan telah menjadi isu pokok di kota-kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah lingkungan telah menjadi isu pokok di kota-kota besar di Indonesia. Mulai dari banjir, polusi udara, longsor, hingga kurangnya air bersih. Berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pekalongan dibagi menjadi dua wilayah administratif yaitu wilayah Kabupaten Pekalongan dan wilayah Kotamadya Pekalongan. Di Kabupaten Pekalongan mengalir beberapa sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banjir merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi pada saat musim hujan. Peristiwa ini hampir setiap tahun berulang, namun permasalahan ini sampai saat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. topik permasalahan yang lebih fokus. Analisa kinerja sistem polder Pluit ini dibantu

BAB III METODOLOGI. topik permasalahan yang lebih fokus. Analisa kinerja sistem polder Pluit ini dibantu BAB III METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian Awal dari studi ini adalah identifikasi masalah yang mengarahkan penelitian pada topik permasalahan yang lebih fokus. Analisa kinerja sistem polder Pluit ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada sifat-sifat arus tetapi juga pada sifat-sifat sedimen itu sendiri. Sifat-sifat di dalam proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghujan mempunyai curah hujan yang relatif cukup tinggi, dan seringkali

BAB I PENDAHULUAN. penghujan mempunyai curah hujan yang relatif cukup tinggi, dan seringkali BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia berada di daerah yang beriklim tropis dimana pada musim penghujan mempunyai curah hujan yang relatif cukup tinggi, dan seringkali mengakibatkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. air. Kota Medan dilintasi oleh beberapa sungai termasuk diantaranya Sungai Sei

BAB I PENDAHULUAN. air. Kota Medan dilintasi oleh beberapa sungai termasuk diantaranya Sungai Sei 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Medan adalah salah satu kota yang sangat pesat pertumbuhannya, dimana daerah pinggiran yang selama ini adalah daerah pertanian ataupun lahan kosong berubah menjadi

Lebih terperinci

SKRIPSI SUYANTI X. Oleh

SKRIPSI SUYANTI X. Oleh ANALISA VOLUME PUNCAK BANJIR RENCANA UNTUK MENENTUKAN KETINGGIAN PEIL MINIMUM BANGUNAN KAWASAN (STUDY KASUS KAWASAN ATMAJAYA BUMI SERPONG DAMAI TAHAP II-1) SKRIPSI Oleh SUYANTI 040521045X DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk lahan perumahan, industri sehingga terjadi. penyimpangan guna lahan yang mengakibatkan meluapnya aliran aliran

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk lahan perumahan, industri sehingga terjadi. penyimpangan guna lahan yang mengakibatkan meluapnya aliran aliran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tangerang merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi banjir, hampir setiap tahunya mengalami permasalahan banjir, berbagai upaya penanganan telah dilakukan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Berdasarkan analisis penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 22 dan 27 diketahui bahwa penurunan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan Danau Singkarak terletak di dua kabupaten yaitu KabupatenSolok dan Tanah Datar. Kedua kabupaten ini adalah daerah penghasil berasdan menjadi lumbung beras bagi Provinsi

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan

Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-6 1 Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan Rossana Margaret, Edijatno, Umboro Lasminto Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

Surface Runoff Flow Kuliah -3

Surface Runoff Flow Kuliah -3 Surface Runoff Flow Kuliah -3 Limpasan (runoff) gabungan antara aliran permukaan, aliran yang tertunda ada cekungan-cekungan dan aliran bawah permukaan (subsurface flow) Air hujan yang turun dari atmosfir

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAFTAR ISI Abstrak... Kata Pengantar... Ucapan Terimakasih... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Indentifikasi Masalah... 2 1.3 Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

Aplikasi Software FLO-2D untuk Pembuatan Peta Genangan DAS Guring, Banjarmasin

Aplikasi Software FLO-2D untuk Pembuatan Peta Genangan DAS Guring, Banjarmasin JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) C-27 Aplikasi Software FLO-2D untuk Pembuatan Peta Genangan DAS Guring, Banjarmasin Devy Amalia dan Umboro Lasminto Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidrograf dapat digambarkan sebagai suatu penyajian grafis antara salah satu unsur aliran dengan waktu. Selain itu, hidrograf dapat menunjukkan respon menyeluruh Daerah

Lebih terperinci

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI Puji Harsanto 1, Jaza ul Ikhsan 2, Barep Alamsyah 3 1,2,3 Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan,

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

KAJIAN SISTEM DRAINASE PATUKANGAN-PEGULON KABUPATEN KENDAL

KAJIAN SISTEM DRAINASE PATUKANGAN-PEGULON KABUPATEN KENDAL JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, Volume 6, Nomor 2 Tahun 2017, Halaman 276 285 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkts KAJIAN SISTEM DRAINASE PATUKANGAN-PEGULON KABUPATEN KENDAL Bustan Fadhilsyah

Lebih terperinci

BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR

BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR 2.1 Faktor Penyebab Banjir Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana sebagai peristiwa/kejadian potensial yang merupakan ancaman terhadap kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau

Lebih terperinci

ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI BONAI KABUPATEN ROKAN HULU MENGGUNAKAN PENDEKATAN HIDROGRAF SATUAN NAKAYASU. S.H Hasibuan. Abstrak

ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI BONAI KABUPATEN ROKAN HULU MENGGUNAKAN PENDEKATAN HIDROGRAF SATUAN NAKAYASU. S.H Hasibuan. Abstrak Analisa Debit Banjir Sungai Bonai Kabupaten Rokan Hulu ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI BONAI KABUPATEN ROKAN HULU MENGGUNAKAN PENDEKATAN HIDROGRAF SATUAN NAKAYASU S.H Hasibuan Abstrak Tujuan utama dari penelitian

Lebih terperinci

KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG

KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG KEBERADAAN, POTENSI DAN GAGASAN PEMANFAATAN SUNGAI MATI DI SEPANJANG SUNGAI CITARUM DAERAH BANDUNG Dede Rohmat 1, Mudjiadi 2, Hendra Ahyadi 3 1. Guru Besar Bidang Konservasi SDA pada Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pengertian Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis, adalah sebagai berikut :. Hujan adalah butiran yang jatuh dari gumpalan

Lebih terperinci

Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Bengawan Solo yang merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa adalah sebuah simbol (landmark) Pulau Jawa. Banyak masyarakat di sekitarnya yang tergantung dari

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas DAS/ Sub DAS Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS) yang dijadikan objek penelitian adalah Stasiun Pengamatan Jedong yang terletak di titik 7 59

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN (RUN OFF) DI KAWASAN INDUSTRI MEDAN MENGGUNAKAN METODE SCS

ANALISIS POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN (RUN OFF) DI KAWASAN INDUSTRI MEDAN MENGGUNAKAN METODE SCS Hanova Reviews in Civil Engineering, v.0, n., p.47-5, Maret 8 P-ISSN 64-3 E-ISSN 64-39 jurnal.untidar.ac.id/index.php/civilengineering/ ANALISIS POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN (RUN OFF) DI KAWASAN INDUSTRI

Lebih terperinci

DEFt. W t. 2. Nilai maksimum deficit ratio DEF. max. 3. Nilai maksimum deficit. v = max. 3 t BAB III METODOLOGI

DEFt. W t. 2. Nilai maksimum deficit ratio DEF. max. 3. Nilai maksimum deficit. v = max. 3 t BAB III METODOLOGI v n t= 1 = 1 n t= 1 DEFt Di W t 2. Nilai maksimum deficit ratio v 2 = max DEFt Dt 3. Nilai maksimum deficit v = max { } DEF 3 t BAB III METODOLOGI 24 Tahapan Penelitian Pola pengoperasian yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau beton, yang terletak melintang pada sebuah sungai yang tentu saja bangunan ini

BAB I PENDAHULUAN. atau beton, yang terletak melintang pada sebuah sungai yang tentu saja bangunan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bendung adalah suatu bangunan yang dibuat dari pasangan batu kali, bronjong atau beton, yang terletak melintang pada sebuah sungai yang tentu saja bangunan ini dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Karakteristik Hidrologi Di SUB DAS CIRASEA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang berfungsi untuk menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan sampai akhirnya bermuara

Lebih terperinci

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI 83 4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI 4.17.1. UMUM Perencanaan garis sempadan Kali Sememi untuk melindungi dan menjaga kelestarian sungai dengan menciptakan Kali Sememi yang bersih

Lebih terperinci

3 BAB III METODOLOGI

3 BAB III METODOLOGI 3 BAB III METODOLOGI 3.1 SURVEY LAPANGAN Lokasi survey meliputi ruas saluran Banjarcahyana mulai dari outlet PLTA Tapen sampai dengan Bangunan BBC-8a (got miring) dimana rencana PLTA Siteki akan dibangun.

Lebih terperinci

KAJIAN HUBUNGAN SIFAT HUJAN DENGAN ALIRAN LANGSUNG DI SUB DAS TAPAN KARANGANYAR JAWA TENGAH :

KAJIAN HUBUNGAN SIFAT HUJAN DENGAN ALIRAN LANGSUNG DI SUB DAS TAPAN KARANGANYAR JAWA TENGAH : KAJIAN HUBUNGAN SIFAT HUJAN DENGAN ALIRAN LANGSUNG DI SUB DAS TAPAN KARANGANYAR JAWA TENGAH : Oleh : Ugro Hari Murtiono Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS (BPTKP DAS) Seminar Nasional

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN KATA PENGANTAR Pedoman Desain Optimasi Lahan Rawa dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi para

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Morfometri Sungai Berdasarkan hasil pengukuran morfometri DAS menggunakan software Arc-GIS 9.3 diperoleh panjang total sungai di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Sekayu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Air adalah unsur yang sangat penting dalam kehidupan di dunia ini. Distribusi air secara alamiah, dipandang dari aspek ruang dan waktu adalah tidak ideal. Sebagai contoh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1 Jumlah Bencana Terkait Iklim di Seluruh Dunia (ISDR, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air di bumi ini sebagian besar terdapat di laut dan pada lapisan-lapisan es (di kutub dan puncak-puncak gunung), air juga hadir sebagai awan, hujan, sungai, muka air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA 4.1 Ketersediaan Data Hidrologi 4.1.1 Pengumpulan Data Hidrologi Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi (hydrologic phenomena).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana banjir seakan telah dan akan tetap menjadi persoalan yang tidak memiliki akhir bagi umat manusia di seluruh dunia sejak dulu, saat ini dan bahkan sampai di masa

Lebih terperinci