2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu. hingga Pulau Sebira di Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu. hingga Pulau Sebira di Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu terletak pada 106 o BT hingga 106 o BT dan 5 o LS hingga 5 o LS yang terbentang dari Teluk Jakarta di Selatan hingga Pulau Sebira di Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara (Muzaki, 2008). Lokasi Kepulauan Seribu mempunyai batas-batas wilayah secara umum adalah sebagai berikut : sebelah Utara adalah Laut Jawa dan Selat Sunda, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Selat Sunda, serta sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Jakarta dan Tanggerang Banten (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Luas wilayah Kepulauan Seribu ± 8,7 km 2 terdiri dari perairan dan daratan pulau-pulau. Terdapat 103 buah pulau yang tersebar didalam beberapa gugus pulau, dengan jumlah penduduk ± jiwa yang bermukim di 11 pulau yang penyebarannya lebih terkonsentrasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yaitu berjumlah ± jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan berjumlah jiwa (BPS, 2010) Topografi Kepulauan Seribu merupakan suatu gugusan kepulauan yang sebagian besar terdiri dari pulau-pulau karang dan gosong karang. Topografi Kawasan Kepulauan Seribu rata-rata mendatar dan mempunyai tingkat ketinggian dari permukaan laut antara 1 sampai dengan 2 meter, keadaan tanah di kawasan tersebut merupakan tanah berpasir dengan tingkat kesuburan yang relatif rendah. 3

2 4 Kawasan ini terdiri dari gugus pulau-pulau yang sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar hektar (reef flat seluas ha, laguna seluas 119 ha, selat seluas 18 ha dan teluk seluas 5 ha), terumbu karang dengan tipe karang fringing reef, mangrove dan lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/ lumpur, dan kedalaman dangkal sekitar 0-40 m (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007) Hidro-oseanografi Kondisi perairan gugus Kepulauan Seribu pada umumnya memiliki karakteristik yang relatif beragam pada setiap pulaunya. Tipe pasang surut (pasut) tahunan di Kepulauan Seribu adalah pasang surut harian tunggal (diurnal), dimana dalam satu hari terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode pasut selama 24 jam 50 menit (Ali et al, 1994). Kedudukan air tertinggi sebesar 6 dm diatas duduk tengah,dan kedudukan air terendah sebesar 5 dm di bawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani (masa pertengahan bulan) adalah 9 dm, dan rata-rata tunggang air pada pasang mati (masa seperempat bulan akhir) adalah 2 dm (Miharja dan Pranowo, 2001). Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara 28.5 C-30.0 C. Pada musim timur suhu permukaan berkisar antara 28.5 C-31.0 C, Salinitas permukaan berkisar antara 30%-34% pada musim barat maupun pada musim timur. Tinggi gelombang dan arus permukaan di perairan Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh musim. Gelombang pada musim barat ketinggiannya antara m, dan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1.5 meter. Gelombang pada musim timur ketinggiannya antara m, Sedangkan gelombang pada musim peralihan ketinggiannya dapat lebih rendah

3 5 dari 0.5 meter (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001). Kecepatan arus permukaan pada musim timur berkisar antara m/detik, kecepatan reletif lebih besar terjadi pada musim barat yaitu sekitar 0.43 m/detik Iklim Cuaca di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim hujan, musim kemarau, diantara kedua musim tersebut terdapat musim peralihan. Kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah, tetapi relatif tenang (LAPI-ITB, 2001). Musim hujan terjadi bulan November April dengan banyaknya hari hujan antara hari per bulan, dan curah hujan terbesar terjadi pada sekitar bulan Januari. Musim kemarau terjadi bulan Mei Oktober dengan banyaknya hari hujan antara 4 10 hari per bulan, dan curah hujan terkecil terjadi pada sekitar bulan Agustus (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Sedangkan musim peralihan terjadi pada bulan April Mei dan Oktober November. Dalam hal ini cuaca buruk sering terjadi dalam bulan Desember November, dan cuaca baik umumnya terjadi pada bulan Juni Oktober (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001). Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim peralihan terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim timur kecepatan

4 6 angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara Budidaya Perikanan Laut Definisi Budidaya Perikanan Laut Budidaya perikanan laut merupakan budidaya yang dilakukan di perairan laut yang kadar garam berkisar antara ppt (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2010). Budidaya laut dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan laut dengan memanipulasi laju pertumbuhan, mortalitas dan reproduksi. Kegiatan budidaya telah dilakukan sejak dulu yaitu pemeliharaan pada media air dengan pemberian makanan untuk biota yang dipelihara. Kegiatan budidaya ikan laut pada umumnya dilakukan menggunakan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap. Budidaya ikan dengan menggunakan karamba merupakan alternatif wadah budidaya ikan yang sangat potensial untuk dikembangkan karena seperti yang telah diketahui bahwa wilayah Indonesia ini terdiri dari 70% perairan baik air tawar maupun air laut. Dengan menggunakan wadah budidaya karamba dapat diterapkan beberapa sistem budidaya ikan yaitu secara ekstensif, semi intensif maupun intensif disesuaikan dengan kemampuan para pembudidaya ikan. Teknologi yang digunakan dalam membudidayakan ikan dengan karamba ini relatif tidak mahal dan sederhana, tidak memerlukan lahan daratan menjadi badan air yang baru serta dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya.

5 Pemilihan Lokasi Budidaya Perikanan Laut Pemilihan lokasi untuk budidaya memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan kesesuaian perairan untuk budidaya ikan khususnya pada keramba dapat digolongkan menjadi dua bagian. Pertama adalah faktor kesesuaian fisik/teknis wilayah perairan dan kedua adalah faktor kesesuaian sosial ekonomi (sosek) masyarakat (LAPAN, 2004). Menurut Murdjani (2003), faktor teknis adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan budidaya yang meliputi diantaranya pemilihan lokasi budidaya, struktur kerangka keramba yang digunakan, ketersediaan atau kemudahan transportasi, serta hal-hal lainnya yang berkaitan secara langsung terhadap proses kegiatan budidaya. Beberapa parameter fisik yang perlu diperhatikan itu diantaranya yaitu keadaan angin, gelombang, kedalaman perairan, keterlindungan, substrat dasar, serta kualitas air. Beberapa parameter kualitas air yang menjadi perioritas, diantaranya yaitu: a. Kecerahan Perairan yang jernih secara visual menandakan adanya kualitas air yang baik, karena dalam air yang jernih umumnya kandungan partikel terlarut yang rendah. Pada air yang mempunyai tingkat kecerahan tinggi, beberapa parameter kualitas air yang terkait erat dengan bahan organik seperti NO 2, H 2 S, dan NH 3 cenderung rendah. Kekeruhan suatu perairan pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu blooming plankton dan tersuspensinya partikel- partikel dasar perairan. Partikel penyebab kekeruhan menyebabkan gangguan penetrasi cahaya yang

6 8 masuk dalam media air, sehingga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fitoplankton. Disamping itu keadaan blooming plankton juga dapat menyebabkan kematian (Murdjani, 2003). b. Salinitas Pada umumnya perairan terumbu karang memiliki salinitas ppt. Oleh karena itu lokasi hendaknya tidak dekat dengan muara sungai, karena pada wilayah muara sungai salinitas cenderung fluktuatif. Salinitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan budidaya dapat menyebabkan gangguan kesehatan, pertumbuhan, serta nafsu makan terhadap biota yang dibudidaya (Tiskiantoro, 2006). Hal ini disebabkan secara fisiologis salinitas akan mempengaruhi fungsi organ osmoregulator ikan. Perbedaan salinitas air media pada tubuh ikan akan menyebabkan gangguan keseimbangan. c. Derajat Keasaman (ph) Reaksi asam basa sangat penting bagi lingkungan, karena semua proses biologi terjadi dalam kisaran ph optimum. Derajat keasaman umumnya yaitu berkisar antara 7-9, hal ini disebabkan didalam massa air laut terdapat sistem penyangga (buffer). Menurut Boyd (1982) dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan kandungan oksigen terlarut, sekaligus menaikkan kandungan CO 2 yang berdampak menurunnya ph air laut. Dalam pemilihan lokasi budidaya yang tepat salah satunya dengan melihat keberadaan padang lamun, koral, maupun hutan mangrove yang pada umumnya memiliki ph yang optimum. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph pada kisaran 7,0 8,5. Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai ph.

7 9 d. Suhu Suhu secara langsung berpengaruh terhadap metabolisme ikan. Pada suhu tinggi metabolisme dipacu, sedangkan pada suhu rendah proses metabolisme diperlambat. Bila terjadi hal seperti ini dan berlangsung lama maka akan menggangu proses metabolisme dari ikan, sehingga untuk pemilihan lahan budidaya hendaknya memilih lokasi yang memiliki kisaran suhu yang stabil. Peningkatan 10 C suhu perairan meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (LAPAN, 2004). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O 2, CO 2, N 2, CH 4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Suhu dapat berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit pada ikan. Suhu perairan pada umumnya tidak berubah antara lokasi satu dengan yang lainnya kecuali suatu daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang menyebabkan naik atau turunnya suhu di suatu perairan seperti, kawasan perindustrian yang membuang limbanya langsung ke perairan. Dalam menentukan lokasi budidaya hendaknya jauh dari kawasan industri yang menghasilkan banyak limbah. e. Amoniak Amoniak (NH 3 ) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu hasil dari proses penguraian bahan organik. Amoniak terdapat dalam dua bentuk yaitu amoniak tak berion (NH 3 ) dan amoniak berion (NH 4 ). Amoniak berion sifatnya tidak beracun, sedangkan amoniak tak berion sifatnya beracun.

8 10 Menurut Boyd (1982) tingkat keracunan NH 3 berbeda- beda untuk tiap spesies, tetapi pada kadar 0.5 mg/l dapat berbahaya bagi organisme. Kadar amoniak yang ideal untuk suatu perairan yaitu berkisar antara mg/l. f. Oksigen Terlarut Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Selain itu Oksigen terlarut di perairan sangat dibutuhkan sumua organisme yang ada di dalamnya untuk proses respirasi dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam tubuh. Ikan akan hidup dengan baik pada kandungan oksigen 5 8 ppm (BBL Lampung, 2001). g. Bahan Organik Bahan organik merupakan berbagai bentuk ikatan kimia karbon dan hidrogen dengan unsur-unsur lain yang terikat pada atom karbon. Bahan organik dalam perairan biasanya berasal dari sisa-sisa organisme yang telah mati maupun yang berasal dari daratan yang dibawa oleh sungai. Pengaruh bahan organik secara langsung terhadap organisme yang dipelihara yaitu dapat mengakibatkan gangguan sistem pernapasan. h. Sumber Polutan Sumber polutan pada lingkungan perairan secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sumber polutan tetap dan sumber polutan tersebar. Sumber polutan tetap berasal dari industri, sedangkan sumber polutan tersebar berasal dari rumah tangga, peternakan, tempat akhir pembuangan sampah, limpasan daerah

9 11 pertanian. Selain itu sumber polutan dapat berasal dari pakan ikan yang dibudidayakan itu sendiri, pakan ikan yang tidak termakan akan jatuh ke dasar perairan jika jumlahnya berlebih maka akan menimbulkan yang signifikan terhadap perubahan lingkungan perairan (Prihadi et al, 2008). Hendaknya untuk memilih lokasi yang akan digunakan dalam kegiatan budidaya jauh dari sumbersumber polutan Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis adalah alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menayangkan kembali data spasial dari dunia nyata (real world) untuk kepentingan-kepentingan tertentu (Prahasta, 2001). Sistem informasi geografis sering juga diartikan sebagai suatu integrasi dari perangkat keras dan lunak beserta manusianya yang dapat membantu dalam mempresentasikan dan menganalisis data berbasis geografi. Sistem ini mereferensi koordinat dunia nyata. SIG dapat juga menyimpan data atribut yang mengandung informasi yang menjelaskan fitur peta. Informasi ini biasanya diletakan terpisah dari data grafis, dalam suatu file database, tetapi tetap terkait dengan data grafis yang ada. Secara umum terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang ada di dunia nyata. Pertama yaitu data spasial, jenis data ini merepresentasikan aspek-aspek keruangan dan fenomena yang bersangkutan. Sedangkan yang kedua merupakan jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang dimodelkan. Aspek deskriptif ini mencakup items atau properties dari fenomena

10 12 yang bersangkutan hingga dimensi waktu, data ini sering disebut juga data non spasial. Data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu data vektor dan data raster (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan dalam bentuk garis, area, titik dan nodes (titik perpotongan antar dua garis). Sementara data raster atau data grid yaitu data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel. Resolusi tergantung pada ukuran piksel, dengan kata lain resolusi piksel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pikselnya. Contoh dari data vektor dan data raster seperti yang terdapat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Sumber: ESRI (2002) Gambar 1. Data Vektor

11 13 Sumber: ESRI (2002) Gambar 2. Data Raster Analisis dalam SIG dikenal suatu metode yang disebut cell based modelling. Menurut ESRI (2002), cell based modelling merupakan analisis spasial pada data raster yang bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada cell based modelling dibagi menjadi lima kelompok (Gambar 3), yakni meliputi : 1) Local function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input. 2) Focal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat. 3) Zonal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama. 4) Global function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut. 5) Application function adalah gabungan dari keempat operasi diatas yang meliputi local function, focal function, zonal function, dan global function.

12 14 Local Function Focal Function Zonal Function Global Function Sumber: ESRI (2002) Gambar 3. Ilustrasi Operasi Piksel pada Cell Based Modelling Keunggulan menggunakan metode cell based modelling dibandingkan analisis lainnya adalah struktur data raster yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dalam pemodelan dan analisis serta kompatibel dengan data citra satelit serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi lapangan (Muzaki, 2008). Dasar cell based modeling dapat diperoleh melalui data penginderaan jarak jauh, setiap piksel dari citra satelit memiliki informasi cakupan area yang dapat diidentifikasi. Integrasi SIG dengan data penginderaan jarak jauh dapat membantu dalam suatu kegiatan perencanaan (Mainassy, 2005), seperti informasi mengenai peluang pengembangan berbagai berbagai jenis budidaya yang didasarkan pada jenis dan kuantitas lahan serta dapat memperoleh keuntungan dalam hal perlakuan-perlakuan secara komprehensif dan

13 15 terintegrasi terhadap kriteria pengembangan budidaya perikanan laut dibandingkan dengan metode lain yang menggunakan teknik analitik dan pembuatan peta secara manual Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Perolehan data penginderaan jarak jauh dapat dilakukan baik dengan sensor aktif maupun pasif. Sensor pasif merekam radiasi elektromagnetik alami yang dipantulkan atau dipancarkan oleh bumi. Sensor aktif seperti radar dan sonar dimana mencari permukaan bumi dengan radiasi elektromagnetik buatan dan kemudian merekam sejumlah fluks radian yang dikembalikan kepada sensor (Jensen, 1996 dalam Faisal, 2009). Proses penginderaan jarak jauh dengan energi elektromagnetik untuk sumber daya alam meliputi dua hal yaitu pengumpulan data dan analisis data. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) elemen pengumpulan data meliputi sumber energi, perjalanan energi menuju atmosfer, interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, sensor, dan hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial atau bentuk numerik. Sedangkan proses analisis data meliputi pengujian data menggunakan alat interpretasi, informasi yang didapat biasanya disajikan dalam bentuk peta dan tabel, selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan. Sistem penginderaan jarak jauh secara skematik ditampilkan pada Gambar 6.

14 16 Sumber : Canada Center for Remote Sensing (2003) Gambar 4. Sistem Penginderaan Jarak Jauh Keterangan: A = Sumber Energi; B = Radiasi Elektromagnetik dan Atmosfer; C = Interaksi dengan objek; D = Perekaman energi oleh sensor; E = Transmisi, penerimaan, serta pemrosesan; F = Analisis data penginderaan jarak jauh; G = Aplikasi data penginderaan jarak jauh Aplikasi dalam penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkandung di permukaan bumi (daratan) dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi objek-objek di dasar perairan dengan menggunakan sistem akustik contohnya dalam pemetaan batimetri. Informasi dapat diperoleh melalui penginderaan jarak jauh antaranya mengetahui luas penutupan lahan (mangrove, terumbu karang, sawah, perkebunan), estimasi atau pengukuran suhu permukaan, klorofil, dan TSS. Selain itu penginderaan jarak jauh dapat pula diaplikasikan dalam pembuatan potensi wisata (Jakti, 2009). Pemanfatan sistem penginderaan jarak jauh sangat menguntungkan, karena wilayah cakupan area yang cukup luas serta wilayah yang sulit dijangkau dan berbahaya (wilayah kebakaran hutan) dapat diliput dengan menggunakan sistem ini. Keuntungan ini dapat dimanfaatkan dalam perekaman data-data di negara Indonesia yang areanya sangat luas. Perekaman data penginderaan jarak jauh

15 17 dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan periode tertentu tergantung dari resolusi temporal satelit (Faisal, 2009) Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ALOS merupakan satelite milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA ) yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006, dari komplek peluncuran Yoshinobu, Tanegashima Space Center Jepang. Satelite ALOS merupakan generasi setelah satelit japanese Earth Resources Satellite (JERS-1) yang digunakan untuk melakukan observasi terhadap permukaan bumi. Instrumen Satelit ALOS disajikan pada Gambar 7. Sumber: JAXA (2010) Gambar 5. Skema Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) Satelit ALOS membawa tiga sensor remote sensing (Faisal, 2009), yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrumen for Stereo Mapping (PRISM) yang digunakan untuk memetakan topografi permukaan bumi, Advance Visible and Near Infrared Radiometer 2 (AVNIR-2 ) untuk observasi permukaan bumi dengan akurasi tinggi dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar

16 18 (PALSAR ) untuk observasi permukaan bumi pada setiap waktu (malam-siang) dan pada kondisi cuaca apa pun. AVNIR-2 adalah radiometer cahaya tampak dan infra merah dekat untuk observasi daratan dan wilayah pesisir. AVNIR-2 merupakan pengembangan dari AVNIR yang dibawa oleh satelit ADEOS. Adapun karakteristik dari citra ALOS yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS International Designation Code A Waktu Peluncuran 24 Januari 2006 pukul 10:33 Kendaraan Peluncur H-IIA Launch Vehicle No.8 Lokasi Peluncuran Perlengkapan Berat Orbit Ketinggian Injklinasi periode Kontrol Ketinggian Band AVNIR Sumber: JAXA, 2010 Tanegashima Space Center Box shape with a solar array paddle, phased array type L-band synthetic aperture radar (PALSAR), and data relay satellite communication antenna Main body: about 6.2m x 3.5m x4.0m Solar Array Paddle: Approx. 3.1m x 22.2m PALSAR Antenna: Approx. 8.9m x 3.1m kg Sun-Synchronous Subrecurrent/ Recurrent Perid:Approx. 46day 700 km 98 degrees 99 menit Three-axis stabilization (High accuracy attitude control orbit determination function) Band 1 : 0.42 to 0.50 micrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 micrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 micrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 micrometers AVNIR-2 mempunyai 4 band (Jakti, 2009) : band 1 (0,42-0,50 µm) yang digunakan untuk melihat penetrasi tubuh air, band 2 (0,52-0,60 µm) yang

17 19 digunakan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penelitian kesuburan, band 3 (0,61-0,69 µm) digunakan untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, dan band 4 (0,76-0,89 µm) yang digunakan untuk membedakan tanah, tanaman, lahan, dan air. ALOS memiliki karakteristik citra diantaranya resolusi spasial sebesar 10 x 10 meter, dengan lebar sapuan 70 km.

POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA.

POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA. POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Githa Prima Putra C54061123 SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut. Secara sepintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara geografis, Kecamatan Padang Cermin terletak di sebelah Tenggara Kabupaten

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL) 54 Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 hal. 54-60 PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem Tabel Parameter Klasifikasi Basis Data SIG Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Kelautan No Parameter Satuan 1 Parameter Fisika Suhu ºC Kecerahan M Kedalaman M Kecepatan Arus m/det Tekstur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wilayah pesisir dan pengembangan pariwisata pesisir 2.1.1 Wilayah pesisir Pada umumnya wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Berdasarkan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Journal Of Aquaculture Management and Technology Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman

Journal Of Aquaculture Management and Technology Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman STUDI KESESUAIAN LAHAN BUDIDAYA IKAN KERAPU DALAM KARAMBA JARING APUNG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TELUK RAYA PULAU SINGKEP, KEPULAUAN RIAU Hasnawiya *) Program Studi Budidaya Perairan,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kepulauan Krakatau terletak di Selat Sunda, yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Luas daratannya sekitar 3.090 ha terdiri dari Pulau Sertung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan paling mendasar untuk menunjang suatu kehidupan. Sifat-sifat air menjadikannya sebagai suatu unsur yang paling penting bagi makhluk hidup. Manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. i HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI. ii PERNYATAAN. iii PRAKATA. iv DAFTAR ISI. vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN. xxiii INTISARI. xxiv

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk

III. METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang V. KEADAAN UMUM WILAYAH 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang Wilayah Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 12 pulau dan memiliki kondisi perairan yang sesuai untuk usaha budidaya. Kondisi wilayah

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan ABSTRAK

FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan ABSTRAK FORMASI SPASIAL PERAIRAN PULAU 3S (SALEMO, SAGARA, SABANGKO) KABUPATEN PANGKEP UNTUK BUDIDAYA LAUT Fathuddin dan Fadly Angriawan Ilmu Kelautan, Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik Diwa Makassar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA Astrolabe Sian Prasetya 1, Bangun Muljo Sukojo 2, dan Hepi Hapsari

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 Sistem Informasi Geografis Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 5 Cara Memperoleh Data / Informasi Geografis 1. Survei lapangan Pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto)

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) KADAR SALINITAS, OKSIGEN TERLARUT, DAN SUHU AIR DI UNIT TERUMBU KARANG BUATAN (TKB) PULAU KOTOK KECIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Ahmad Arif Zulfikar 1, Eko Kusratmoko 2 1 Jurusan Geografi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat E-mail : Ahmad.arif31@ui.ac.id

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali

Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali Karakteristik Oseanografi Dalam Kaitannya Dengan Kesuburan Perairan di Selat Bali B. Priyono, A. Yunanto, dan T. Arief Balai Riset dan Observasi Kelautan, Jln Baru Perancak Negara Jembrana Bali Abstrak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu tergolong kedalam suku poaceae atau gramineae, marga bambuseae, dan anak suku bambusoideae. Bambu dikenal memiliki karakter yaitu tumbuh merumpun, memiliki batang

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi, BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Analisis parameter kimia air laut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci