ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN JEMBER DALAM ERA DESENTRALISASI FISKAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN JEMBER DALAM ERA DESENTRALISASI FISKAL"

Transkripsi

1 Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012 ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN JEMBER DALAM ERA DESENTRALISASI FISKAL (ANALYSIS OF FINANCIAL INDEPENDENCE IN THE REGENCY ERA JEMBER FISCAL DECENTRALIZATION) Regina Niken Wilantari Staf Pengajar Program Studi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37 Jember Telp /HP Absract One aspect that is important in the implementation of regional autonomy and fiscal decentralization is a regional financial independence. Local governments should have the financial resources sufficient to finance regional development. The ability of a local government in carrying out its duties and functions specified by the local government's financial condition. This study aims to analyze the financial independence of Jember districts in a decentralized fiscal (2008 to 2011). In measuring the area of financial independence using Independence Financial Ratios, Ratio effectiveness and Degree of Fiscal Decentralization. The results of this study are 1) Jember have a relationship with the central government pattern that is instructive, so the dominant role of the central government over local government. 2) The ability of local governments to undertake the realization of revenue targets have been planned well enough 3) Jember have a fairly high level of dependency on government transfers Keywords : Fiscal Decentralization, financial independence 1. Pendahuluan Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berawal dari krisis moneter dengan peningkatan inflasi yang cukup tinggi, jatuhnya nilai tukar rupiah serta terpuruknya sektor riil dan pada akhirnya berujung pada krisis yang bersifat multidimensi. Krisis tersebut memunculkan gerakan reformasi, salah satu agenda reformasi 1998 adalah otonomi daerah yang pada dasarnya ingin menata kembali hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Kaho,2012). Berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dijelaskan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam TAP MPR tersebut menunjukkan bahwa peran aktif dari pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam pembagunan ekonomi nasional. Dengan adanya otonomi daerah maka kapasitas dan potensi daerah dapat dioptimalkan, selain itu hasil-hasil pembangunan diharapkan dapat lebih merata. 269

2 Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember Otonomi daerah dilaksanakan secara resmi dimulai 1 Januari tahun Dengan otonomi daerah maka otoritas pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah berdasarkan aspirasi masyarakat (Abimanyu, 2009). Otonomi daerah merupakan wujud pergeseran pola pemerintahan sentralistik ke dalam pola pemerintahan desentralisasi. Pelaksanaan pemerintahan yang terdesentralisasi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta memenuhi tujuan demokratisasi. Pengertian desentralisasi menurut Litvack (dalam Mardiasmo, 2009) dibedakan dalam desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Kaho,2012). Untuk mewujudkan tercapainya desentralisasi fiskal, maka sejak tahun 2001 transfer dana dari APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan (balancing fund). Pengalokasian dana perimbangan tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian sumber pendaaan bagi daerah, mempersempit celah fiskal, dan mengurangi adanya ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah serta antara daerah sendiri. Dengan pengelolaan dana perimbangan yang cukup baik, diharapkan pemerintah daerah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat daerah serta mampu meningkatkan ekonomi daerah. Salah satu aspek yang cukup penting dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, bahwa selain dari dana perimbangan, pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber keuangan daerah yang cukup untuk membiayai penyelenggaran urusan rumah tangganya sendiri. Kemampuan suatu pemerintahan daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya ditentukan oleh kondisi keuangan pemerintah daerah. Dalam Kaho (2012), dijelaskan bahwa dalam sistem desentralisasi, daerah berhak merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sehingga Pendapatan Asli Daerah menjadi salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah ke pusat. Kabupaten Jember adalah salah satu kabupaten yang berada di bagian timur Pulau Jawa. Sebagai daerah otonom, Kabupaten Jember secara geografis memiliki luas wilayah mencapai 3.293,34 km 2 atau ,94 Ha dengan sumberdaya yang dimiliki didalamnya, yang merupakan aset potensial dalam mendukung kegiatan pembangunan daerah. Sumberdaya tersebut merupakan sumber untuk meningkatkan pendapatan daerah, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan di Kabupaten Jember, dan dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka diharapkan kemandirian daerah dapat tercapai. Penerimaan daerah Kabupaten Jember pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 selalu melampaui target yang telah ditetapkan, seperti yang disajikan dalam tabel

3 Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012 Tabel 1 : Perkembangan Realisasi Pendapatan Kabupaten Jember (Ribu Rupiah) Tahun Target Realisasi Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember Seperti halnya penerimaan daerah, PAD Kabupaten Jember dalam kurun waktu 2008 sampai 2011 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2008,realisasi PAD sebesar Rp , dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi Rp Tahun 2010 nilai PAD kembali meningkat menjadi Rp sedangkan pada tahun 2011 nilai PAD adalah Rp Meskipun PAD selalu meningkat, tetapi secara umum dana perimbangan merupakan penyumbang terbesar pendapatan atau penerimaan kabupaten Jember, sedangkan pendapatan asli daerah sendiri menempati posisi kedua dan pendapatan lain-lain memberikan kontribusi terkecil terhadap pendapatan daerah seperti yang tersaji dalam Gambar 1. Gambar 1 Perkembangan Pendapatan Kabupaten Jember Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (diolah) Berdasarkan data tersebut, maka dengan pertumbuhan penerimaan daerah serta PAD yang terus meningkat, seharusnya pemerintah daerah Kabupaten Jember dapat meraih tingkat kemandirian fiskal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana kemandirian keuangan daerah kabupaten Jember dalam era desentralisasi fiskal, semakin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah maka tingkat ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat akan semakin rendah. 271

4 Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Peran Pemerintah dalam Perekonomian Tujuan dari pembanguan ekonomi adalah mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah mempunyai peran penting. Pemerintah dapat ikut campur dalam perekonomian baik secara aktif maupun secara pasif. Menurut kaum klasik terutama teori Adam Smith pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi (Guritno,1993; Suparmoko,1992): a) fungsi pemerintah untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan. b) fungsi pemerintah untuk menyelenggarakan peradilan. c) fungsi pemerintah untuk menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya dengan jalan, irigasi dan sebagainya. Disamping itu kaum klasik menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah tidak mengerjakan aktivitas yang telah dikerjakan oleh pihak individu atau pihak swasta. Pemerintah hendaknya mengerjakan aktivitas yang tidak atau belum pernah dilakukan oleh pihak swasta. Pemerintah perlu ikut campur tangan dalam kegiatan perekonomian, karena adanya kegagalan pasar dalam mekanisme pasar. peran pemerintah dalam perekonomian modern dapat diklasifikasikan dalam 4 golongan besar, yaitu peranan alokasi, peranan distribusi, peranan stabilisasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi (Suparmoko,1992). Peran pemerintah dalam alokasi adalah kegiatan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi maupun barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat yang tidak dapat disediakan dalam mekasnisme pasar. Melihat penjelasan diatas maka Peran pemerintah dapat dibedakan secara makroekonomi dan mikroekonomi. Dalam Rosen (1988:5) dijelaskan bahwa fungsi pemerintah secara mikroekonomi, adalah bagaimana pemerintah melakukan alokasi sumberdaya dan distribusi pendapatan. Sedangkan peran pemerintah dalam makroekonomi adalah menggunakan pajak, pengeluaran pemerintah dan kebijakan moneter dalam mengatasi pengangguran dan inflasi. Seiring dengan berkembangnya perekonomian suatu negara, maka dibutuhkan peran pemerintah yang semakin besar. Peran pemerintah dapat terlihat dalam besarnya porsi pengeluaran pemerintah dalam pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah tersebut. Hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan kegiatan pemerintah dapat dijelaskan dengan hukum law of ever increasing state activity yang dikemukakan oleh Adolph Wagner atau lebih dikenal dengan Wagner Law (Suparmoko,1992, Rosen,1988) dimana hukum ini kemudian diuji kembali oleh Peacock dan Wiseman. Dalam hukum menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah meningkat dari tahun ketahun Baik dalam arti uang ataupun secara absolut maupun relatif dalam perbandingannya dengan pendapatan nasional (GNP) yang disebabkan oleh perkembangan sosial, karena berkembanganya industri. Pengeluaran pemerintah tercermin antara lain dalam anggaran negara yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta anggaran pemerintah daerah yaitu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pasal 15 menjelaskan bahwa fungsi dari APBD adalah otorisasi, perencanaan,alokasi, distribusi dan Stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang 272

5 Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012 bersangkutan. Fungsi perencanaan adalah, bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan dalam tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan menjelaskan bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan pennyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi adalah bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan. Sedangkan fungsi stabilisasi menjelaskan bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan menggupayakan kesimbangan fundamental perekonomian daerah. 2.2 Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Widjaja, 2011). Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat seetempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah dengan otonomi adalah peralihan dari sistem sentralisasi ke dalam sistem desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi. Tujuan dari otonomi adalah efisiensi dan efektivitas pelayan kepada masyarakat, kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan ekonomi. Penyerahan kewenangan berupa urusan-urusan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dapat dilakukan dengan mengunakan beberapa sistem (Kaho, 2012): a) sistem residu, dalam sistem ini telah ditentukan lebih dahulu secara umum, tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah; b) sistem material, dalam sistem ini, tugas-tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif dan rinci. Diluar tugas-tugas yang telah ditentukan tersebut, merupakan urusan pemerintah pusat; c) sistem formal, dalam sistem ini, urusan-urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tidak ditetapkan secara rinci dan tidak ditetapkan dengan Undangundang. Sistem formal memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan menjadikan urusan tersebut sebagai urusan rumah tangga daerah; d) sistem otonom riil, dalam sistem ini penyerahan urusan-urusan atau tugas-tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil sesuai dengan kemampuan riil dari daerah-daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan yang terjadi di masyarakat. Sistem ini dianut Indonesia pada saat berlakunya Undang- Undang No I Tahun 1957 dan Undang-Undang no 18 Tahun 1965, Undang-Undang No 22 Tahun 1999, Undang-Undang No 32 Tahun

6 Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember 2.3 Desentralisasi Fiskal Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu, dengan adanya desentralisasi mendorong munculnya daya saing di daerah tanpa mengabaikan prinsip demokrasi, pemerataan, kekhususan, keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah (Mardiasmo, 2009). Konsep desentralisasi fiskal menunjukkan bahwa pembagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan diikuti dengan pembagian kewenangan pendanaan (money follow fucntion) (Bahl, 1998 dalam Mardiasmo, 2009). Menurut Rahmawati (dalam Mardiasmo : 2009) dengan adanya desentralisasi fiskal berarti hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan suatu pengaturan sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya Undang- Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Nota Keuangan RAPBN 2009, 2008: V-1). Desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan, antara lain, untuk (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance); (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (4) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; dan (5) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan memungut pajak (taxing power). Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri atas dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Dana perimbangan tersebut terdiri atas dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana transfer ke daerah. 274

7 Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober Metode Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember, Dinas Pendapatan Daerah Kebupaten Jember serta literatur lainnya yang sesuai dengan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun dengan pertimbangan periode tersebut menunjukkan periode setelah pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam mengukur kinerja keuangan daerah digunakan metode analisis data sebagai berikut: a) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD), rasio ini menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri semua kegiatannya melalui penerimaan pajak dan restribusi sebagai sumber penerimaan, dibandingkan sumber penerimaan lainnya, dengan persamaan sebagai berikut Halim 2004 (Dalam Kaho 2012) : RKKD : Pendapatan Asli Daerah t x 100 % Bantuan pemerintah pusat dan pinjaman t Semakin tinggi angka rasio, maka semakin kecil tingkat ketergantungan kinerja suatu daerah, ada empat pola hubungan pusat daerah dalam pelaksanaan otonomi, yaitu : 1) pola instruktif, dimana peran pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah (pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah, skala nilai RKKD 0 % sampai dengan 25% 2) pola konsultatif, intervensi pemerintah pusat sedikit demi sedikit mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi, skala nilai RKKD 25 % sampai dengan 50 % 3) pola partisipatif, peran pemerintah pusat semakin berkurang dan daerah yang bersangkutan semakin mandiri dan dinilai mampu melaksanakan otonomi, skala nilai RKKD 50 % sampai dengan 75 % 4) pola delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada, karena daerah telah mandiri dalam melaksanakan otonomi, skala nilai RKKD 75 % sampai dengan 100 % b) Rasio efektivitas, rasio ini menunjukkan kemampuan daerah dalam merealisasi pendapatan asli daerah yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Angka minimal bagi rasio ini 1 atau 100% target penerimaan daerah dalam satu periode dapat direalisasikan. Semakin tinggi nilai rasio yang dihasilkan semakin baik ; 275

8 Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember Rasio efektivitas : Realisasi Pendapatan Asli Daerah t x 100 % Target Pendapatan Asli Daerah t c) Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), adalah mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan daerahnya. Derajat desentralisasi fiskal diukur dengan formula sebagai berikut : DDF = Pendapatan Asli daerah x 100 % Total Pendapatan Asli daerah t Kriteria penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal menggunakan kriteria yang digunakan dalam penelitian Tim Fisipol UGM seperti dalam tabel 1. Tabel 1 : Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Desentralisasi Fiskal (%) Kemampuan Keuangan Daerah ,01 20,00 20,01 30,00 30,01 40,00 40,01 50,00 > 50,00 Sumber : Tangkilisan (2005) Sangat kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat baik 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio Kemandiran Keuangan Daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam mendanai atau membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hasil dari perhitungan dari Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini : 276

9 Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012 Tabel 2. Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember Tahun Anggaran No Tahun PAD Dana Perimbangan RKKD , , , ,59 Jumlah ,39 Rata-rata ,39 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (data diolah) RKKD tahun 2008 = ( / ) x 100% = 12,74% RKKD tahun 2009 = ( / ) x 100% = 12,44 % RKKD tahun 2010 = ( / ) x 100% = 13,60 % RKKD tahun 2011 = ( / ) x 100% = 14,59 Berdasarkan perhitungan rasio kemandirian keuangan daerah pada tabel 1 diatas, menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Jember dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat masih rendah, meskipun semakin lama rasio kemandirian keuangan daerah semakin meningkat. Pada tahun 2009 nilai RKKD terjadi peenurunan menjadi 12,44 %, setelah sebelumnya nilai RKKD sebesar 12,74 % pada tahun 2008, pada tahun 2010 terjadi peningkatan nilai RKKD menjadi sebesar 13,60% dan kenaikan tersebut berlanjut sampai dengan tahun 2011 yaitu naik menjadi 14,59. meskipun nilai RKKD meningkat dari tahun ketahun, tetapi secara keseluruhan rata-rata nilai RKKD selama kurun waktu empat tahun, yaitu dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 nilainya masih rendah, sekitar 13,39%. Penurunan nilai RKKD pada tahun 2009, diakibatkan adanya penurunan jumlah penerimaan PAD dari penerimaan pendapatan lain-lain yang sah. Pada tahun 2008 penerimaan pendapatan asli daerah yang berasal dari lain-lain pendapatan asli yang sah adalah sebesar Rp , sedangkan pada tahun 2009 turun menjadi sebesar Rp Nilai RKKD kurang dari 25 % menunjukkan bahwa pola hubungan Kabupaten Jember dengan pemerintah pusat, masih bersifat Instruktif, sebab angka pembagi yaitu dana ekternal masih jauh lebih besar daripada jumlah PAD. Dengan pola hubungan Instruktif tersebut, maka kemandirian daerah Kabupaten Jember masih rendah, hal tersebut mempunyai makna bahwa peran pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah. Akibat yang muncul dari pola hubungan tersebut adalah pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah, seperti yang diinginkan oleh pemerintah pusat. 4.2 Rasio Efektivitas Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan realisasi pendapatan asli daerah dari target yang telah direncanakan. Hasil dari rasio efektivitas dapat dilihat dalam tabel 3 dibawah ini : 277

10 Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember Tabel 3. Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jember Tahun Anggaran No Tahun Target PAD Realisasi PAD Rasio Efektivitas (%) , , , ,92 Jumlah ,89 Rata-rata ,89 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (data diolah) Rasio Efektivitas 2008 = ( / ) x 100% = 120,12% Rasio Efektivitas 2009 = ( / ) x 100% = 112,69% Rasio Efektivitas 2010 = ( / ) x 100% = 102,72% Rasio Efektivitas 2011 = ( / ) x 100% = 105,92% Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa rasio efektivitas pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Jember cukup baik, karena realisasi PAD diatas 100 %. Pada tahun 2008 rasio efektitas sebesar 120,12 %, dan pada tahun 2009 rasio efektifitas menurun menjadi 122,04%. Pada tahun 2010, terjadi penurunan sekitar 9%, antara target PAD dan realisasinya, jika dibandingkan dengan tahun 2009, hal tersebut dapat dilihat dari rasio efektifitas yang turun menjadi 102,72%, tetapi kembali meningkat pada tahun 2011 menjadi 105,92%. Meskipun nilai rasio efektifitas mengalami fluktuasi dan cenderung menurun selama kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, tetapi secara rata-rata rasio efektifitas diatas 100%, yaitu sekitar 108,89%. 4.3 Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat desentralisasi fiskal adalah untuk mengetahi bagaimana kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, untuk membiayai pembangunan daerah tersebut. Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember dapat dilihat dalam tabel 4. Tabel 4. Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Kabupaten Jember Tahun Anggaran No Tahun Total Pendapatan Realisasi PAD DDR (%) , , , ,70 Jumlah ,07 Rata-rata ,07 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (data diolah) 278

11 Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012 DDR tahun 2008 = ( / ) x 100 % = 10,66% DDR tahun 2009 = ( / ) x 100% = 10,09 % DDR tahun 2010 = ( / ) x 100% = 9,97% DDR tahun 2011 = ( / ) x 100% = 9,70% Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel 4, menunjukkan bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember dalam kurun waktu 4 tahun ( ) cenderung menurun. Secara rata-rata, Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember adalah sebesar 8,07% per tahun atau masuk dalam kategori sangat kurang. Artinya PAD memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap pendapatan daerah, sehingga kemampuan Kabupaten Jember dalam membiayai pembangunan daerah sangat kurang, dan masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap pendanaan dari pusat. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telash diuraikan diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a) Pemerintah Kabupaten Jember memiliki pola hubungan dengan pemerintah pusat yang bersifat Instruktif, dimana tingkat kemandirian Pemerintah Kabupaten Jember masih rendah, sehingga peran pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah b) Kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan realisasi pendapatan asli daerah dari target yang telah direncanakan cukup baik, hal tersebut tercermin dari Rasio efektivitas, dengan nilai rata-rata sebesar 108,89% c) Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember adalah sebesar 8,07% per tahun, artinya Pemerintah Kabupaten Jember memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap transfer pemerintah. Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan penelitian ini, maka disarankan hal-hal sebagai berikut : a) Kemandirian keuangan daerah Kabupaten Jember masih rendah sehingga perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah antara lain dengan melakukan optimalisasi pemungutan pajak dan restribusi daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki b) melakukan pengawasan serta pengendalian terhadap pemungutan pajak dan restribusi untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan c) Menggali serta mengelola potensi sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jember guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah 279

12 Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember Daftar Pustaka Abimanyu, Anggito, 2009,Tantangan Kebijakan Fiskal : dari Krisis Asia ke Krisis Global, dalam Anggito Abimanyu dan Andie Mergantara, Kompas, Jakarta , 2009, Era Baru Kebijakan Fiskal, Kompas, Jakarta Kaho, Josef Riwu,2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, PolGov, Yogyakarta Guritno Mangkoesubroto, 1993, Ekonomi Publik, edisi 3, BPFE, Yogyakarta Mardiasmo, 2003, Perpajakan, Andi, Jakarta, 2009, Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Era Reformasi : , dalam Anggito Abimanyu dan Andie Mergantara, 2009, Era Baru Kebijakan Fiskal, Kompas, Jakarta Republik Indonesia, Departemen Keuangan, 2008, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 Suparmoko, M, 1992, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta Tangkilisan, dan Hessel, NS, 2005, Manajemen Publik, PT Grasindo,Jakarta Widjaja, HAW, 2001, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Rajawali Pers, Jakarta 280

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam menyikapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan reformasi di segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*) ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN Haryani 1*) 1) Dosen FE Universitas Almuslim Bireuen *) Haryani_68@yahoo.co.id ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk menganalisis

Lebih terperinci

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur

Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Ratna Wulaningrum Politeknik Negeri Samarinda Email: ratna_polsam@yahoo.com ABSTRACT The purpose of this study is to determine the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Besarnya tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini, membawa dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

Poppy Kemalasari et al., Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan Tingkat Kemandirian Daerah di Era Otonomi Daerah

Poppy Kemalasari et al., Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan Tingkat Kemandirian Daerah di Era Otonomi Daerah ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN TINGKAT KEMANDIRIAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH: STUDI KASUS KABUPATEN PROBOLINGGO (TAHUN ANGGARAN 2002-2014) (Performance Analysis of Financial Management

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

Oleh: Syukria Dewi Pembimbing: Restu Agusti dan Rahmiati Idrus

Oleh: Syukria Dewi Pembimbing: Restu Agusti dan Rahmiati Idrus ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH PEMERINTAH KOTA BUKITTINGGI (Studi Di Kota Bukittinggi Tahun Anggaran 2009-2013) Oleh: Syukria Dewi Pembimbing: Restu Agusti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia, adanya desentralisasi pengelolaan pemerintah di daerah dan tuntutan masyarakat akan transparansi serta akuntabilitas memaksa pemerintah baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang melanda indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat ekonomi lemah berupa ketimpangan ekonomi.

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KERINCI DAN KOTA SUNGAI PENUH

ANALISIS PERBANDINGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KERINCI DAN KOTA SUNGAI PENUH ANALISIS PERBANDINGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN KERINCI DAN KOTA SUNGAI PENUH AFDHAL CHATRA 1, ARGA SUWITRA 2 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sakti Alam Kerinci 1,2 afdhalchatra@gmail.com ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan penyelenggaran

Lebih terperinci

KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN TABALONG DALAM OTONOMI DAERAH

KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN TABALONG DALAM OTONOMI DAERAH DINAMIKA EKONOMI, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol.6.No.1. Maret 3013 KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN TABALONG DALAM OTONOMI DAERAH Muzdalifah Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi telah menjadi suatu fenomena global, tak terkecuali di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT EFEKTIVITAS DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN

ANALISIS TINGKAT EFEKTIVITAS DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN ANALISIS TINGKAT EFEKTIVITAS DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2008-2012 Berlian Jawa Kesuma, Fitrie Arianti 1 Jurusan IESP Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Reformasi yang terjadi pada sektor publik di Indonesia juga diikuti dengan adanya tuntutan demokratisasi, tentunya dapat menjadi suatu fenomena global bagi bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerapan otonomi daerah diberlakukan sejak tanggal 1 januari 2001 membawa implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang.

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang. BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Peneltian Penelitian ini dilakukan di BPKAD Kota Balikpapan, Kalimantan Timur yang beralamat di Jl. Jenderal Sudirman No.1 RT.13, Klandasan Ulu, Kota Balikpapan. B.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 memberikan dampak besar bagi semua aspek kehidupan, yakni era reformasi. Reformasi yang terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan rangkaian dari program-program di segala bidang secara menyeluruh, terarah dan berkesinambungan

Lebih terperinci

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT Lia Ekowati, Cathryna R.B.S, Rodiana Listiawati Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Jakarta, Depok, 16422 Email: liaekowati@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daearh merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era otonomi terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi daerah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

PENDAPATAN ASLI DAERAH BERDAMPAK PADA KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH. Rosmiaty Tarmizi. Abstract

PENDAPATAN ASLI DAERAH BERDAMPAK PADA KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH. Rosmiaty Tarmizi. Abstract JURNAL Akuntansi & Keuangan Vol. 1, No. 1, September 2010 Halaman 123-128 PENDAPATAN ASLI DAERAH BERDAMPAK PADA KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH Rosmiaty Tarmizi Abstract Demands for reform in all fields are

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan suatu langkah awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN JAYAPURA

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN JAYAPURA ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN JAYAPURA La Ode Abdul Wahab 1 jurnalmkd@gmail.com Siti Rofingatun 2 sitiro@yahoo.co.id Balthazar Kreuta 3 kreutabalthazar@gmail.com Abstract The

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah untuk kemandirian keuangan daerah. Hal ini membuat topik tentang kemandirian keuangan daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH DI KOTA TARAKAN TAHUN

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH DI KOTA TARAKAN TAHUN ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH DI KOTA TARAKAN TAHUN 2010-2015 Oleh: Febby Randria Ramadhani Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Muhammadiya Malang Email: febby.randria@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DAN TREND PADA PEMERINTAH KABUPATEN BULELENG TAHUN ANGGARAN

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DAN TREND PADA PEMERINTAH KABUPATEN BULELENG TAHUN ANGGARAN ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DAN TREND PADA PEMERINTAH KABUPATEN BULELENG TAHUN ANGGARAN 2004-2013 Anjar Nora Vurry, I Wayan Suwendra, Fridayana Yudiaatmaja Jurusan Manajemen Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang- BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Istilah Otonomi Daerah atau Autonomy berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era reformasi ini tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia yang menyebabkan adanya aspek akuntabilitas dan transparansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintahan merupakan suatu organisasi yang diberi kekuasaan untuk mengatur kepentingan Bangsa dan Negara. Lembaga Pemerintah dibentuk umumnya untuk menjalankan

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN TINGKAT KEMANDIRIAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH: STUDI PADA KOTA MANADO (TAHUN )

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN TINGKAT KEMANDIRIAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH: STUDI PADA KOTA MANADO (TAHUN ) ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN TINGKAT KEMANDIRIAN DAERAH DI ERA OTONOMI DAERAH: STUDI PADA KOTA MANADO (TAHUN 2010-2014) ANALYSIS OF THE PERFORMANCE OF FINANCIAL MANAGEMENT AND DEGREE

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Analisis Rasio untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah 333 ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Vidya Vitta Adhivinna Universitas PGRI Yogyakarta,

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN ANGGARAN Susilowati 1) Suharno 2) Djoko Kristianto 3) ABSTRACT

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN ANGGARAN Susilowati 1) Suharno 2) Djoko Kristianto 3) ABSTRACT ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN ANGGARAN 2013 2015 Susilowati 1) Suharno 2) Djoko Kristianto 3) 1, 2, 3) Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi

Lebih terperinci

Kemampuan anggaran pendapatan desa: studi komparatif pada Desa Tanjung Mulia dan Desa Ujung Tanjung di Kecamatan Bahar Selatan Kabupaten Muaro Jambi

Kemampuan anggaran pendapatan desa: studi komparatif pada Desa Tanjung Mulia dan Desa Ujung Tanjung di Kecamatan Bahar Selatan Kabupaten Muaro Jambi Kemampuan anggaran pendapatan desa: studi komparatif pada Desa Tanjung Mulia dan Desa Ujung Tanjung di Kecamatan Bahar Selatan Kabupaten Muaro Jambi Andri Apriyanto; Parmadi; Erni Achmad Prodi Ekonomi

Lebih terperinci

INUNG ISMI SETYOWATI B

INUNG ISMI SETYOWATI B PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA SE JAWA TENGAH PERIODE 2006-2007)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu semangat reformasi keuangan daerah adalah dilakukannya pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dan penilaian kinerja keuangan daerah otonomi secara

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI ERA OTONOMI PADA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI ERA OTONOMI PADA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN 733 ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI ERA OTONOMI PADA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN I Gusti Ngurah Suryaadi Mahardika 1 Luh Gede Sri Artini 2 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana (Unud),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan dampak reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu konsekuensi reformasi yang harus dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota sebagai unit pelaksana otonomi

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE 2005-2009 Muhammad Amri 1), Sri Kustilah 2) 1) Alumnus Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Muhammadiyah Purworejo 2) Dosen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Daerah memerlukan sumber pendanaan yang tidak sedikit jumlahnya guna menjamin kelangsungan pembangunan daerah yang bersangkutan. Untuk melaksanakan otonomi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian dan menuntut pemerintah agar mampu melaksanakan reformasi di segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu unsur reformasi total adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI ACEH BERDASARKAN RASIO KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH Tri Prastiwi 1 Muhammad Arfan 2 Darwanis 3 Abstract: Analysis of the performance of

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN DAERAH, TINGKAT KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN

ANALISIS KEMAMPUAN DAERAH, TINGKAT KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN ANALISIS KEMAMPUAN DAERAH, TINGKAT KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN 2010-2014 oleh : Riris Dwi Anggraini Universitas Negeri Surabaya Email : ririsdwianggraini@gmail.com

Lebih terperinci

1 UNIVERSITAS INDONESIA

1 UNIVERSITAS INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru seiring diberlakukannya desentralisasi fiskal. Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci