Gambar 8. Kelimpahan Sel Chlorella Selama Kultur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 8. Kelimpahan Sel Chlorella Selama Kultur"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelimpahan Sel Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukan bahwa kultur Chlorella yang diberi pupuk berupa ekstrak etanol bayam mengalami peningkatan kelimpahan sel yang tinggi dibanding dengan kelimpahan sel Chlorella yang diberi pupuk anorganik (pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP). Hal tersebut menandakan bahwa media perlakuan yang diberi ekstrak etanol bayam sebagai substitusi pupuk anorganik lebih baik dalam menghasilkan kelimpahan sel Chlorella. Rerata kelimpahan sel Chlorella selama penelitian pada masing-masing pemberian pupuk perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8. (data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11). Rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l, 5 mg/l dan 8 mg/l terus meningkat hingga hari ke tujuh selama kultur, sedangkan rerata kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l hanya dapat mencapai puncak populasi hingga hari ke enam selama kultur dan untuk perlakuan kontrol, sel Chlorella dapat mencapai puncak populasi hingga hari ke delapan. 63,6 x ,1 x ,1 x ,3 x ,3 x 10 5 Gambar 8. Kelimpahan Sel Chlorella Selama Kultur 34

2 35 Pencapaian puncak populasi pada perlakuan kontrol lebih lama disebabkan kandungan unsur hara makro yang terdapat dalam perlakuan kontrol kurang dapat dioptimalkan dengan baik oleh sel-sel Chlorella untuk melakukan proses pembelahan sel dan disisi lain, pupuk kontrol (pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP) tidak mengandung unsur hara mikro yang dapat menunjang proses pembelahan sel Chlorella, sehingga perlakuan kontrol mencapai waktu puncak populasi yang lebih lama dibandingkan dengan 4 perlakuan yang diberi ekstrak etanol bayam. Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam dapat mencapai puncak populasi lebih cepat dibandingkan perlakuan kontrol yang diberi perlakuan pupuk anorgaik, hal ini dikarenakan ekstrak etanol bayam mengandung unsur hara mikro seperti unsur Fe, Zn dan Mn sebagai penunjang proses pembelahan sel Chlorella. Emerson dan Lewis (1939) melaporkan bahwa Mn dan Zn yang terdapat dalam media kultur akan mengefektifkan fotosintesis pada strain Chlorella sorokiniana. Menurut Bassham (1965), proses fotosintesis yang berlangsung efektif akan mempengaruhi produk yang dihasilkan, dengan hasil produk akhir fotosintesis berupa oksigen, glukosa, ATP dan sel-sel baru Chlorella. Dalam ekstrak etanol bayam terdapat beberapa vitamin seperti vitamin B 1 (thiamin), vitamin B 7 (biotin), vitamin B 12 (kobalamin), dan vitamin C. Vitamin berperan penting sebagai stimulan dalam laju perkembangbiakan fitoplankton. Berdasarkan penelitian Droop (1962), menyatakan bahwa vitamin esensial yang dibutuhkan bagi perkembangbiakan fitoplankton antara lain yakni vitamin B 1 (thiamin), vitamin B 7 (biotin) dan vitamin B 12 (kobalamin). Vitamin thiamin berfungsi dalam reaksi -dekarboksilase dan reaksi transketolase pada proses katabolisme, dimana proses katabolisme merupakan reaksi penguraian senyawa kompleks (unsur hara makro) menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan tujuan untuk menghasilkan ATP (energi) yang digunakan organisme untuk proses metabolisme sel atau proses pembelahan sel (Campbell 2003). Vitamin biotin berfungsi dalam sintesis asam lemak dan fiksasi karbondioksida dan vitamin kobalamin berfungsi untuk sintesis deoksiribosa atau sintesis senyawa protein.

3 36 Betawati (2007) menjelaskan mengenai mekanisme sintesis protein. Pada tahap awal protein diuraikan menjadi monomer-monomer penyusunnya, pada akhirnya akan menjadi asetil Koenzim-A (KoA). Selanjutnya, asetil KoA masuk ke dalam siklus Krebs, dilanjutkan dengan rantai transpor elektron yang akan menghasilkan ATP. Energi yang terkandung dalam ATP tersebut digunakan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel Chlorella. Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l, memiliki waktu yang lebih cepat untuk memasuki puncak populasi dibandingkan oleh 3 perlakuan yang diberikan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l, 5mg/l dan 8 mg/l. Puncak populasi dengan waktu yang lebih cepat tidak selalu dianggap bagus, hal ini dapat diterangkan dengan rerata kelimpahan sel Chlorella yang diberi ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l memiliki rerata kelimpahan sel paling rendah dibandingkan dengan perlakuan ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi 2 mg/l, 5 mg/l dan 8 mg/l, serta kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D ini lebih kecil dibandingkan dengan rerata kelimpahan sel Chlorella perlakuan kontrol. Hal ini diduga, ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l, mengandung unsur fosfor yang cukup tinggi. Effendie (2003), menyatakan bahwa kelebihan unsur seperti unsur fosfor menyebabkan penyerapan unsur hara mikro seperti unsur Fe, Cu dan Zn dapat terganggu. Dengan dilakukannya perhitungan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l (Lampiran 12), didapatkan estimasi nilai fosfor yang melebihi ambang batas optimum untuk proses perkembangbiakan sel Chlorella. Menurut Mackentum (1969), konsentrasi fosfor yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l. Rendahnya rerata kelimpahan sel Chlorella rendah pada perlakuan D juga diakibatkan ekstrak etanol bayam (EEB) dengan konsentrasi sebesar 11 mg/l, mengandung senyawa saponin (senyawa fitokimia yang terdapat dalam bayam) yang cukup tinggi. Hal ini pun diperkuat dengan adanya pernyataan dari Lipkin (1995), konsentrasi saponin yang tinggi menyebabkan penurunan kandungan lipid pada Chlorella, dimana fungsi lipid itu sendiri pada Chlorella berfungsi untuk penyimpanan ATP bagi proses perkembangbiakan sel Chlorella. Kandungan

4 37 senyawa saponin yang terdapat pada perlakuan D (11 mg/l) sudah melebihi ambang batas toleran sel Chlorella, sehingga rerata kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D ketika mencapai puncak populasi menjadi rendah. Pada media kultur yang diberi perlakuan ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l dan 11 mg/l menghasilkan kelimpahan sel Chlorella terendah. Rerata kelimpahan biakan sel Chlorella rendah pada perlakuan A, diakibatkan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 2 mg/l semakin berkurang akibat adanya proses pengenceran. Berdasarkan pernyataan dari O Kelley (1968), kekurangan unsur hara makro nutrien seperti unsur hara N (unsur nitrogen) mempengaruhi pembentukan klorofil. Sementara itu, kekurangan unsur mikro nutrien seperti unsur Mn dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena unsur Mn merupakan aktivator enzim pada reaksi terang fotosintesis. Hal tersebut akan mempengaruhi laju fotosintesis. Laju fotosintesis menentukan kuantitas produk (karbohidrat) yang dihasilkan. Karbohidrat hasil fotosintesis oleh fitoplankton selain digunakan untuk perkembangbiakan juga digunakan untuk respirasi seluler. Apabila hasil fotosintesis berkurang, maka karbohidrat yang tersisa setelah sebagian digunakan dalam proses respirasi tidak mencukupi untuk perkembangbiakan bagi sel Chlorella. Peningkatan rerata kelimpahan sel Chlorella dapat dilihat dari perubahan warna kultur. Warna kultur fitoplankton merupakan warna pigmen utama yang terdapat dalam sitoplasma sel, yaitu klorofil. Pada pengamatan hari pertama (saat inokulasi), kultur Chlorella yang ditumbuhkan dengan menggunakan ekstrak etanol bayam terlihat bening (Gambar 9). Gambar 9. Warna Media Kultur Chlorella Hari Pertama

5 38 Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah sel inokulum Chlorella belum sebanding dengan volume media. Selain itu, perbandingan antara volume media dengan konsentrasi klorofil belum dapat memberikan warna pada media kultur. Pada pengamatan hari ketujuh (Gambar 10), kultur dengan pemberian ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi 2 mg/l dan 11 mg/l dan perlakuan kontrol berwarna hijau muda, kultur dengan pemberian ekstrak etanol bayam dengan konsentrasi 5 mg/l berwarna hijau apel, dan kultur dengan pemberian esktrak etanol bayam dengan konsentrasi 8 mg/l berwarna hijau tembaga. Perubahan warna hijau kultur mulai dari hijau muda hingga hijau tembaga menunjukkan bahwa populasi sel meningkat seiring dengan bertambahnya umur kultur. Gambar 10. Warna Media Kultur Chlorella Hari Ketujuh Setelah mencapai puncak populasi, rerata kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan C (8 mg/l), perlakuan B (5 mg/l) dan perlakuan A (2 mg/l) pada hari ke delapan mulai menurun, sedangkan perlakuan D (11 mg/l) mulai memasuki fase stationer pada hari ke tujuh dan perlakuan kontrol mulai memasuki fase stationer ketika hari ke sembilan (Lampiran 11). Fase stationer ini disebabkan oleh berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase logaritmik, adanya toksik yang dihasilkan oleh Chlorella itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni Chlorella itu sendiri dan berkurangnya fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel, sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Pelczar 2005).

6 39 Pada hari kultur ke sepuluh, perlakuan C, perlakuan K, perlakuan B, perlakuan A dan perlakuan D telah memasuki fase deklinasi dengan kelimpahan sel akhir yakni pada perlakuan C dengan kelimpahan sel akhir sebesar 43,3 x 10 5 sel/ml, perlakuan K dengan kelimpahan sel akhir sebesar 28,1 x 10 5 sel/ml, perlakuan B dengan kelimpahan sel akhir sebesar 27,6 x 10 5 sel/ml, perlakuan A dengan kelimpahan sel akhir sebesar 19 x 10 5 sel/ml sedangkan untuk perlakuan D dengan kelimpahan sel akhir sebesar 16,5 x 10 5 sel/ml. Pada fase deklinasi ini sel menjadi mati lebih cepat dari pada terbentuknya sel-sel yang baru, laju kematian mengalami percepatan menjadi eksponensial bergantung pada spesiesnya, semua sel mati dalam waktu beberapa hari atau beberapa bulan. Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan energi seluler (Purwoko 2007). Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol terhadap kelimpahan sel Chlorella dibuktikan dengan uji statistik Duncan 95% dapat dilihat pada Lampiran Laju Perkembangbiakan Spesifik Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukan, pemberian ekstrak etanol bayam sebagai substitusi pupuk untuk kultur Chlorella memberikan laju perkembangbiakan spesifik tertinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik seperti pupuk urea, pupuk ZA dan pupuk TSP (Lampiran 14). Perl akuan B memiliki laju perkembangbiakan spesifik tertinggi ketika hari kedua kultur, hal ini diduga kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro yang terdapat dalam ekstrak etanol bayam sesuai dengan permeabilitas sel Chlorella. Permeabilitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh membran sel Chlorella dalam menyaring partikelpartikel yang akan melalui membran sel, sehingga kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro yang berasal dari ekstrak etanol bayam dapat dioptimalkan oleh sel Chlorella dalam proses pembelahan sel yang berfungsi untuk perbanyakan jumlah koloni sel-sel Chlorella. Ditambahkan oleh Suminto dan Hirayama (1996), dalam penelitiannya menyatakan bahwa nilai laju perkembangbiakan spesifik yang lebih besar mempunyai arti bahwa pada proses

7 40 pembelahan sel Chlorella menjadi lebih cepat, sehingga pertambahan sel per satuan waktu akan lebih besar dari pada pertambahan waktu itu sendiri. Perlakuan A pada hari kultur kedua mempunyai laju perkembangbiakan spesifik yang sangat rendah dibandingkan dengan perlakuan D, perlakuan K, perlakuan B dan perlakuan C (Gambar 11). Hal ini diduga pada perlakuan A, konsentrasi unsur hara makro yang terlalu sedikit (Lampiran 15). Kekurangan unsur hara makro seperti unsur nitrat (NO - 3 ) dan unsur ortofosfat (PO 3-4 ) ini berperan penting dalam proses sintesis protein (Isnansetyo dan Kurniastuti 1995). Menurut penelitian Mackentum (1969) mengenai konsentrasi nitrat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,9-3,5 mg/l, sedangkan untuk konsentrasi ortofosfat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l. Dalam penelitian ini, didapatkan perhitungan konsentrasi nitrat dan ortofosfat pada Lampiran 15, didapatkan konsentrasi nitrat pada perlakuan A sebesar 0,852 mg/l dan konsentrasi ortofosfat sebesar 1,1 mg/l. Dengan meninjau estimasi perhitungan konsentrasi unsur N dan unsur P pada perlakuan A, dapat ditarik pernyataan, konsentrasi unsur N (unsur nitrat) dibawah 0,9 mg/l dan unsur P (unsur ortofosfat) sebesar 1,1 mg/l merupakan konsentrasi minimum bagi proses perkembangbiakan sel Chlorella. Gambar 11. Laju Perkembangbiakan Spesifik Chlorella Selama Kultur

8 41 Laju perkembangbiakan spesifik sel Chlorella tertinggi pada saat puncak populasi terdapat pada perlakuan C, yakni sebesar 0,74. Hal ini diduga pada perlakuan C dengan penambahan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 8 mg/l memiliki kandungan vitamin B 12 (kobalamin) yang sesuai dengan membran sel Chlorella. Vitamin B 12 (kobalamin) ini berfungsi untuk sintesis deoksiribosa atau sintesis protein. Hal ini diperkuat oleh penelitian Droop (1968), mengenai kinetika keterbatasan vitamin B 12 (kobalamin) pada suatu spesies fitoplankton seperti Monochrysis lutheri dengan menghubungkan laju perkembangbiakan spesifik dari fitoplankton tersebut. Dari percobaan tersebut kemudian diperoleh bahwa laju perkembangbiakan spesifik sel fitoplankton dengan vitamin B 12 memiliki hubungan yang erat. Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol terhadap laju perkembangbiakan spesifik sel Chlorella juga dibuktikan dengan uji statistik Duncan 95% dapat dilihat pada Lampiran Waktu Lag Phase Sel Chlorella sp. Hasil penelitian menunjukan, waktu lag phase sel Chlorella tercepat pada perlakuan A dan perlakuan K, kemudian diikuti oleh perlakuan B, perlakuan C dan perlakuan D (Lampiran 17). Waktu lag phase menunjukan lamanya adaptasi Chlorella dengan media barunya. Perbedaan lamanya masa adaptasi diduga karena adanya perbedaan kepekatan antara media kultur dengan cairan sel Chlorella, dalam masa adaptasi sel-sel memulihkan enzim dan konsentrasi substrat ke tingkat yang diperlukan untuk pertumbuhan serta masukya unsur hara ke dalam sel Chlorella terjadi melalui proses difusi sebagai akibat perbedaan konsentrasi antara media kultur dengan cairan sel. Pada fase ini tidak ada pertambahan populasi. Sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi dan bertambah ukurannya, substansi interaseluler bertambah (Perclazar 2005). Proses adaptasi meliputi sintesis enzim baru yang sesuai dengan medianya dan pemulihan terhadap metabolit yang bersifat toksik (misalnya asam, alkohol, dan basa) pada waktu media lama (Purwoko 2007). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol bayam akan mempengaruhi kenaikan konsentrasi unsur-unsur hara makro dan unsur hara mikro, dimana unsur-unsur

9 42 hara makro dan mikro ini bersifat asam maupun basa, sehingga semakin besar kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro akan mempengaruhi lamanya waktu lag phase sel Chlorella. Perlakuan dengan menggunakan pupuk perlakuan dan pupuk kontrol (pupuk anorganik) memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada waktu lag phase dapat dilihat pada Lampiran 18, dengan perlakuan terbaik adalah perlakuan A dan perlakuan Kontrol, dimana perlakuan A memberikan waktu lag phase yakni 2,56 jam dan diikuti oleh perlakuan K memberikan waktu lag phase yakni 2,6 jam. Perlakuan A dan perlakuan K (Gambar 12) memberikan waktu phase yang terbaik dikarenakan kepekatan antara media kultur dengan cairan sel hampir sama sehingga masa adaptasinya lebih cepat. Sedangkan pada perlakuan B memberikan waktu lag phase yakni 3,84 jam, perlakuan C memberikan waktu lag phase yakni 5,36 jam dan perlakuan D memberikan waktu lag phase terlama yakni 13,68 jam, hal ini disebabkan karena kepekatan antara cairan sel dengan media barunya berbeda, sehingga masa adaptasi sedikit lebih lama dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan K. Gambar 12. Waktu Lag Phase Sel Chlorella Dengan Berbagai Perlakuan Menurut Surawiria (1987), Chlorella sp. mempunyai waktu generasi yang sangat cepat. Oleh karena itu dalam waktu yang relatif singkat, perbanyakan sel akan terjadi sangat cepat, terutama jika tersedia cahaya sebagai sumber energi, walaupun dalam jumlah minimal. Pada umumnya perbanyakan sel terjadi dalam

10 43 kurun waktu 4-14 jam, tergantung pada lingkungan pendukungnya dan kesesuaian nutrisi bagi perkembangbiakan sel-sel Chlorella tersebut. 4.4 Klorofil-a Hasil pengukuran nilai klorofil-a pada akhir penelitian menunjukan bahwa kultur Chlorella yang diberi pupuk kontrol (pupuk anorga nik) memiliki nilai klorofil-a akhir yang lebih tinggi dibandingkan ke empat perlakuan pupuk substitusi ekstrak etanol bayam. Hasil pengukuran klorofil-a (Lampiran 19) pada perlakuan kontrol dan perlakuan A termasuk dalam kategori klorofil-a dengan nilai sedang, sedangkan untuk perlakuan B, perlakuan D dan perlakuan C termasuk dalam kategori klorofil-a dengan nilai rendah. Menurut Hatta (2002), konsentrasi klorofil-a < 0,07 mg/m 3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan nilai sedang, konsentrasi klorofil-a dengan rentang nilai sebesar 0,07-0,14 mg/m 3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan nilai sedang dan konsentrasi klorofil-a dengan nilai > 0,14 mg/m 3 termasuk kedalam kategori klorofil-a dengan nilai besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan sel Chlorella dengan pemberian ekstrak etanol bayam tidak sebanding dengan kadar klorofil-a yang dikandung oleh sel Chlorella. Kelimpahan sel yang tinggi tidak diikuti dengan kadar klorofil-a yang tinggi pula. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Rachmayanti (2004), yaitu kelimpahan sel yang tinggi tidak selalu menghasilkan klorofil-a yang tinggi. Nontji (1973) menyatakan bahwa kandungan klorofil sangat dipengaruhi oleh ph, oksigen, cahaya, enzimatik, unsur nitrogen, unsur magnesium, unsur besi dan unsur air. Tidak adanya salah satu faktor tersebut akan mencegah terjadinya sintesa klorofil yang disebut chlorosis. Rendahnya nilai klorofil-a pada perlakuan C (EEB 8 mg/l), perlakuan D (EEB 11 mg/l) dan perlakuan B (EEB 5 mg/l) diduga kuat dikarenak an pada akhir penelitian, media kultur ketiga perlakuan tersebut (perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B) dalam kondisi ph akhir yang bersifat asam (Lampiran 20). ph asam dalam media kultur perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B pada akhir penelitian diduga kuat dapat mengaktifkan enzim klorofillase pada Chlorella tersebut. Diungkapkan

11 44 oleh Bogorad (1962), enzim klorofilase merupakan sebuah esterase dimana secara in vitro dapat mengkatalis pemecahan gugus phytol (C 20 H 39 OH). Phytol adalah alkohol primer jenuh yang mempunyai daya afinitas yang kuat terhadap O 2 dalam proses reduksi klorofil dan pada tahap akhir klorofil akan merubah phytol menjadi chlorophyllidac (Gambar 13) dan kemudian unsur Mg akan tergeser oleh 2 molekul atom H bila dalam suasana asam, sehingga membentuk suatu persenyawaan yang disebut phaeophytin, selanjutnya proses degradasi atau proses perombakan phaeophytin oleh enzim klorofillase akan membentuk senyawa phaeophorbide. Tidak liniernya konsentrasi klorofil-a dengan kelimpahan sel dikarenakan pengujian klorofil-a dilakukan pada akhir penelitian, sehingga sel Chlorella sudah memasuki fase deklinasi, dimana sel Chlorella menghasilkan produk degradasi klorofil-a berupa phaeophytin. Gambar 13. Skema Proses Dekomposisi Pada Klorofil-a (Sumber : Nontji 1973) Terlepasnya unsur Mg pada phaeophorbide menyebabkan terjadinya perubahan warna kultur Chlorella dari hijau menjadi kecoklatan (Gambar 14). Reaksi ini bersifat irreversible dalam larutan cair (larutan ekstrak etanol bayam). Gambar 14. Warna Media Kultur Chlorella pada ph Asam

12 45 Penurunan nilai klorofil-a pada perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan B juga diduga disebabkan telah habisnya unsur hara makro, seperti penurunan unsur nitrogen (N), unsur magnesium (Mg) dan unsur hara mikro, seperti unsur besi (Fe) dan unsur air (H 2 O) dalam media kultur. Menurut Odum (1994) dalam Susana (2004), nitrogen merupakan bagian dari molekul klorofil, maka tidak mengherankan bila defisiensi unsur ini akan menghambat pembentukan klorofil. Unsur magnesium (Mg) adalah satu -satunya unsur logam yang merupakan komponen utama, karena merupakan atom pusat dari klorofil dan defisiensinya akan menghambat. Menurut Parsons et al. (1984), unsur besi (Fe) merupakan unsur yang esensial untuk pembentukan klorofil meskipun besi sendiri tidak merupakan bagian dari molekul klorofil (sebagai katalisator). Nontji (1973) menyatakan, berkurangnya kadar air dalam fitoplankton tidak saja menghambat pembentukan klorofil, tetapi juga dapat mempercepat perombakan (dekomposis i) klorofil yang telah ada. Ketiadaan unsur air, fitoplankton tidak dapat hidup hal ini dikarenakan untuk melakukan proses fotosintesis diperlukan adanya unsur air. Pengaruh pemberian pupuk perlakuan dan pupuk kontrol terhadap nilai klorofil-a Chlorella juga dibuktikan dengan uji statistik Duncan taraf 95% dapat dilihat pada Lampiran Kualitas Air Suhu Hasil penelitian menunjukan, parameter suhu sangat berfluktuatif pada berbagai macam perlakuan (Lampiran 22). Suhu mempengaruhi proses-proses fisik, kimiawi dan biologis yang berlangsung dalam sel fitoplankton. Suhu di bawah 16 0 C dapat menyebabkan kecepatan perkembangbiakan Chlorella sp. turun, sedangkan suhu diatas 36 0 C dapat menyebabkan kematian (Taw 1990). Perubahan suhu rata-rata media kultur Chlorella dapat dilihat pada Gambar 15. Perubahan suhu tersebut diduga dipengaruhi oleh jumlah sel Chlorella dalam media kultur. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) dan Taw (1990) kisaran suhu tersebut masih berada dalam kisaran suhu optimal bagi pertumbuhan Chlorella sp. untuk kultur di ruangan yaitu C.

13 46 Pada saat mencapai puncak populasi, suhu media kultur pada perlakuan C lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A, perlakuan B, perlakuan D dan perlakuan K, hal ini dapat disebabkan pada saat memasuki puncak populasi, sel Chlorella pada perlakuan C (8 mg/l) memiliki kelimpahan sel tertinggi, dengan kelimpahan sel sebesar sel/ml. Tingginya kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan C mengindikasikan bahwa sel Chlorella dapat memanfaatkan suhu media kultur secara optimum untuk proses perkembangbiakannya. Menurut penelitian Sachlan (1982), peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang aktifitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis. Dapat ditarik pernyataan bahwa suhu yang optimum bagi perkembangbiakan sel Chlorella adalah pada suhu 26,7 0 C (Lampiran 22). Pada saat memasuki puncak populasi ini pun, suhu berimplikasi positif dengan kenaikan oksigen terlarut pada media kultur (Lampiran 23). Gambar 15. Suhu Media Selama Kultur Pada hari terakhir kultur, media kultur Chlorella pada perlakuan C mengalami peningkatan secara drastis dibandingkan dengan perlakuan A, perlakuan B dan perlakuan K. Hal ini mengindikasikan kelimpahan sel Chlorella pada media perlakuan C telah memasuki fase deklinasi. Dengan semakin meningkatnya suhu, akan berimplikasi negatif terhadap enzim photo oksidatif yang dimiliki oleh Chlorella. Menurut Strickland (1960), untuk sintesa klorofil

14 47 yang efektif umumnya diperlukan intensitas cahaya yang relatif rendah. Cahaya yang intensitasnya terlalu kuat akan merusak klorofil dalam reaksi yang disebut photo oxidation. Diperjelas lebih lanjut melalui penelitian Tomasick et al. (1997), mengenai suhu bagi fitoplankton, secara umum laju fotosintesis fitoplankton akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan setiap spesies fitoplankton selalu beradaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu. Derajat Keasaman (ph) Hasil penelitian menunjukan, perlakuan C memberikan nilai ph tertinggi pada hari kedua kultur hingga sel Chlorella mencapai puncak populasi pada hari ketujuh, kemudian diikuti oleh perlakuan B dan perlakuan A (Gambar 16). Sedangkan perlakuan D, peningkatan nilai ph pada hari kedua kultur hingga hari ke enam kultur pada saat mencapai puncak populasi dan perlakuan K mengalami peningkatan nilai ph pada hari kedua kultur hingga hari ke delapan kultur (Lampiran 20). Gambar 16. ph Media Selama Kultur Peningkatan nilai ph pada hari kedua hingga hari ke tujuh kultur media kultur pada perlakuan C, perlakuan B dan perlakuan A ini diduga adanya penguraian protein yg terdapat dalam ekstrak etanol bayam oleh Chlorella

15 48 menjadi amonium, nitrat dan nitrit (unsur nitrogen). Senyawa amonium ini bersifat basa, dikarenakan dalam reaksi pembentukan dari amoniak menjadi amonium menghasilkan gugus OH atau gugus basa (Fessenden 1999). Meningkatnya nilai ph disebabkan juga oleh proses fotosintesis, dikarenakan pada saat fotosintesis, CO 2 bebas merupakan jenis karbon anorganik utama yg digunakan Chlorella sebagai bahan baku utama dalam proses fotosintesis. juga dapat menggunakan ion karbonat (CO 2-3 ) dan ion bikarbonat (HCO - 3 ). Penyerapan CO 3 bebas dan ion bikarbonat menyebabkan penurunan konsentrasi CO 2 terlarut pada media kultur dan mengakibatkan peningkatan nilai ph (Sze 1993). Secara umum, pada perlakuan A, perlakuan B, perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan K pada hari kedua kultur hingga mencapai puncak populasi, nilai ph masih dalam rentang nilai ph 7 hingga 8,16 (Lampir an 20). Menurut Morel (1983) in Zahara (2003), pada kisaran ph 7-9 terdapat dua kemungkinan pemanfaatan nitrogen dari nutrien dalam media oleh sel Chlorella, yaitu pemanfaatan unsur nitrogen dalam bentuk nitrat dan amonium. Adapun reaksi biologis pemanfaatan nitrogen dalam bentuk nitrat adalah sebagai berikut: 106HCO NO HPO H 2 O + 124H Protoplasma + 138O 2 Pemanfaatan senyawa nitrogen dalam bentuk amonium adalah melalui reaksi biologis sebagai berikut: 106 HCO NH HPO H 2 O + 92H Protoplasma + 138O 2 Berdasarkan kedua reaksi di atas maka reaksi pemanfaatan senyawa N yang dapat terjadi selama kultur Chlorella adalah reaksi kedua, yaitu pemanfaatan amonium (NH4 + ) oleh sel Chlorella. Menurut pernyataan dari Reynolds (1984), pada lingkungan netral (kisaran ph 7), CO 2 berada dalam bentuk bebas sehingga dapat berdifusi dengan mudah ke dalam sel Chlorella. Hal tersebut menyebabkan CO 2 sebagai sumber karbon utama bagi proses fotosintesis Chlorella cukup tersedia sehingga proses metabolisme dapat berlangsung cepat dan kelimpahan sel dapat meningkat. Pada perlakuan D, peningkatan nilai ph hanya sampai pada hari ke enam kultur. Cepatnya peningkatan nilai ph pada perlakuan D tidak berbanding lurus dengan hasil kelimpahan sel Chlorella, hal ini tidak menandakan dampak yang

16 49 bagus. Diduga, pada perlakuan D dengan penambahan konsentrasi ekstrak etanol bayam sebesar 11 mg/l, kandungan senyawa flavonoid yang bersifat asam melebihi ambang batas yang tidak dapat ditolelir oleh sel Chlorella, sehingga dengan adanya senyawa asam yang berlebih dari senyawa flavonoid ini mengakibatkan rendahnya kelimpahan sel Chlorella pada perlakuan D. Menurut Goldman et al. (1983) dalam Prihantini et al. (2005), karbon anorganik yg paling banyak terdapat pada media asam adalah asam karbonat (H 2 CO 3 ). Asam karbonat pada kisaran ph tersebut umumnya berada dalam bentuk senyawa yg sangat mudah masuk ke dalam sel Chlorella, sehingga membuat ph internal sel Chlorella menjadi asam. Kondisi ph asam mengakibatkan proses biokimia sel terganggu sehingga mempengaruhi pertumbuhan sel dari Chlorella itu sendiri (Lane 1981). Pada perlakuan K, peningkatan nilai ph media kultur hingga hari ke delapan, hal ini diduga kuat, Chlorella kurang dapat memanfaatkan secara optimal unsur-unsur makro yang terdapat dalam pupuk anorganik. Setelah mencapai puncak populasi, semua perlakuan (perlakuan A, perlakuan B, perlakuan C, perlakuan D dan perlakuan K) mengalami penurunan nilai ph secara drastis, hal ini diduga oleh telah habisnya unsur hara makro dan unsur hara mikro dalam media kultur, sehingga kelimpahan sel Chlorella mengalami penurunan. Degradasi sel Chlorella yang telah mati menyebabkan ph media kultur menjadi asam, dimana komponen penyusun Chlorella tersusun oleh protein dengan presentasi sebesar 51-58%, karbohidrat dengan presentasi 12-26% dan lemak dengan presentasi sebesar 2-22% (Becker 1994). Degradasi yang terjadi pada sel Chlorella terjadi secara anaerob, dimana karbohidrat yang terkandung dalam sel Chlorella akan menghasilkan produk akhir karbondioksida (Pelczar 2005). Penurunan nilai ph pada kelima media kultur ini pun disebabkan oleh degradasi klorofil-a (pada ph asam, enzim klorofillase pada Chlorella akan aktif dengan demikian nilai klorofil-a menjadi rendah). Rendahnya klorofil-a, menyebabkan fiksasi CO 2 menjadi rendah, sehingga ph pada media kultur menjadi asam. Beberapa penelitian Soeder (1974) yang lain memperlihatkan bahwa ph asam mempengaruhi konsentrasi dan mobilitas logam berat dalam sel Chlorella.

17 50 Salah satu logam berat tersebut adalah tembaga (Cu). Kelarutan Cu meningkat pada media yang asam, Cu terserap oleh sel dalam jumlah banyak, akibatnya Cu dalam sel Chlorella menjadi toksik, sehingga kelimpahan sel Chlorella menjadi berkurang secara drastis (Lampiran 11). Nilai ph akhir pada kelima media kultur perlakuan masih dapat dikatakan sebagai media untuk proses kelangsungan hidup Chlorella, hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Hladka (1971), ph pertumbuhan yang optimum bagi Chlorella berkisar antara 4,9-7,7. Sementara Nielsan (1995) dalam Prihantini et al. (2005) menyatakan bahwa rentang ph kultur yang terukur tersebut pada rentang ph pertumbuhan yang baik yaitu 4,5-9,3. Oksigen Terlarut (DO) Hasil penelitian menunjukan, hari pertama hingga hari ke tiga kultur, DO pada perlakuan C rendah, hal ini disebabkan karena waktu lag phase pada perlakuan C lebih lama dari pada perlakuan A, perlakuan K dan perlakuan B. Pada perlakuan K, nilai DO (oksigen terlarut), tidak dapat mencapai nilai DO sebesar 8 mg/l, (Lampi ran 23), hal ini disebabkan komponen penyusun pupuk kontrol tidak memiliki kandungan unsur hara mikro yang dapat menunjang sintesis fotosintesis. Perlakuan C memberikan nilai DO tertinggi pada hari ke empat kultur hingga sel Chlorella mencapai puncak populasi pada hari ketujuh, kemudian diikuti oleh perlakuan B dan perlakuan A (Gambar 17). Gambar 17. DO Media Selama Kultur

18 51 Perlakuan D memiliki nilai DO yang lebih rendah dibandingkan ke empat perlakuan, hal ini disebabkan oleh tidak terserapnya unsur hara mikro sebagai faktor penunjang dalam proses fotosintesis. Kandungan DO (oksigen terlarut) pada akhir perlakuan C adalah perlakuan dengan kandungan DO paling rendah diantara empat perlakuan, hal ini diduga adanya reduksi klorofil-a oleh enzim klorofillase, dengan demikian klorofil-a akan terhidrolisa, sehingga akan didapatkan gugus alkohol yang disebut phytol. Gugus phytol membentuk sepertiga dari molekul klorofil dan mempunyai afinitas yang kuat terhadap oksigen, sehingga kandungan DO menjadi rendah (Prezelin 1981). Penurunan DO terjadi setelah memasuki puncak populasi, pada tahap ini sel Chlorella sudah mati sehingga proses fotosintesis untuk menghasilkan produk akhir oksigen terlarut menjadi rendah. 4.6 Korelasi Antara ph dan DO Dengan Klorofil-a Hasil penelitian menunjukan adanya kaitan antara ph (derajat keasaman), DO (oksigen terlarut) dengan nilai klorofil-a yang terkandung dalam sel Chlorella (Lampiran 24). Semakin tinggi nilai klorofil-a, maka akan semakin tinggi pula nilai oksigen terlarut dalam media kultur, dikarenakan klorofil-a merupakan komponen penyusun dalam proses fotosintesis, yang mana produk akhir dari proses fotosintesis ini adalah oksigen terlarut (Prezelin 1981). Hasil uji korelasi didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara nilai klorofil-a dengan DO dengan persamaan regresi linier sebagai berikut : y = a + bx DO = 6, ,756 x Klorofil-a r = 0,688 Dari hasil perhitungan uji korelasi, didapatkan bahwa sebesar 68,8%, kandungan DO dipengaruhi oleh klorofil-a dan 31,2% dipengaruhi oleh parameter lain seperti kekuatan aerasi pada media kultur.

19 52 Semakin tinggi nilai klorofil-a yang dikandung oleh sel Chlorella, maka semakin tinggi pula nilai ph pada media kultur, hal ini dikarenakan adanya penguraian protein dari ekstrak etanol bayam oleh sel Chlorella menjadi senyawa amonium (senyawa basa) dalam proses pembentukan klorofil-a. Hasil uji korelasi didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara nilai klorofil-a dengan ph dengan persamaan regresi linier sebagai berikut : y = a + bx ph = 7, ,082 x Klorofil-a r = 0,680 Dari hasil perhitungan uji korelasi, didapatkan bahwa sebesar 68%, kandungan ph dipengaruhi oleh klorofil-a dan 32% dipengaruhi oleh parameter lain, seperti kandungan CO 2 pada media kultur dan degradasi sel Chlorella sp. pada media kultur..

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha budidaya ikan pada dewasa ini nampak semakin giat dilaksanakan baik secara intensif maupun ekstensif. Usaha budidaya tersebut dilakukan di perairan tawar, payau,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Ekstrak Etanol Bayam Dalam 100 g bayam mengandung 426 mg nitrat dan 557 mg fosfor dan konsentrasi nitrat yang optimum dalam perkembangbiakan fitoplankton adalah 0,9-3,5

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pembagian tugas yang jelas pada sel sel komponennya. Hal tersebut yang

TINJAUAN PUSTAKA. pembagian tugas yang jelas pada sel sel komponennya. Hal tersebut yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan tanaman yang mendominasi lingkungan perairan. Morfologi mikroalga berbentuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap pertumbuhan Chlorella sp.diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap pertumbuhan Chlorella sp.diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Limbah Cair Tahu Terhadap Kelimpahan Mikroalga Chlorella sp. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh konsentrasi limbah cair tahu terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama

TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton adalah alga yang berfungsi sebagai produsen primer, selama hidupnya tetap dalam bentuk plankton dan merupakan makanan langsung bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME

SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) BIOLOGI METABOLISME Metabolisme adalah seluruh reaksi kimia yang dilakukan oleh organisme. Metabolisme juga dapat dikatakan sebagai proses

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal walaupun secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Mikroalga merupakan organisme tumbuhan paling primitif berukuran seluler yang umumnya dikenal dengan nama fitoplankton. Organisme ini merupakan produsen primer perairan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari pengamatan yang telah dilakukan, diperoleh data mengenai biomassa panen, kepadatan sel, laju pertumbuhan spesifik (LPS), waktu penggandaan (G), kandungan nutrisi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. Klasifikasi Tetraselmis sp. menurut Bold & Wynne (1985) adalah sebagai berikut: Filum Kelas Ordo

Lebih terperinci

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron

dari reaksi kimia. d. Sumber Aseptor Elektron I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan didefenisikan sebagai pertambahan kuantitas konstituen seluler dan struktur organisme yang dapat dinyatakan dengan ukuran, diikuti pertambahan jumlah, pertambahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perbedaan Suhu Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus sp. yang Dibudidayakan Pada Media Limbah Cair Tapioka

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perbedaan Suhu Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus sp. yang Dibudidayakan Pada Media Limbah Cair Tapioka BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perbedaan Suhu Terhadap Pertumbuhan Scenedesmus sp. yang Dibudidayakan Pada Media Limbah Cair Tapioka Berdasarkan hasil analisis statistik One Way Anova tentang

Lebih terperinci

4. Jenis pupuk. Out line. 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman

4. Jenis pupuk. Out line. 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman PUPUK Out line 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman 4. Jenis pupuk 5. Proses pembuatan pupuk 6. Efek penggunaan pupuk dan lingkungan Definisi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Konsentrasi Limbah Cair Tapioka Terhadap Pertumbuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Konsentrasi Limbah Cair Tapioka Terhadap Pertumbuhan 41 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Konsentrasi Limbah Cair Tapioka Terhadap Pertumbuhan Kelimpahan Mikroalga Scenedesmus sp. Berdasarkan hasil statistik One Way Anova diketahui bahwa ada pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pakan merupakan kebutuhan penting dan berpengaruh besar dalam kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya usaha budidaya perikanan. Pakan

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2.

Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Pertemuan : Minggu ke 7 Estimasi waktu : 150 menit Pokok Bahasan : Respirasi dan metabolisme lipid Sub pokok bahasan : 1. Respirasi aerob 2. Respirasi anaerob 3. Faktor-faktor yg mempengaruhi laju respirari

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Scenedesmus sp. Scenedesmus sp. merupakan mikroalga yang bersifat kosmopolit dan sebagian besar dapat hidup di lingkungan akuatik seperti perairan tawar

Lebih terperinci

Antiremed Kelas 12 Biologi

Antiremed Kelas 12 Biologi Antiremed Kelas 12 Biologi UTS BIOLOGI latihan 1 Doc Name : AR12BIO01UTS Version : 2014-10 halaman 1 01. Perhatikan grafik hasil percobaan pertumbuhan kecambah di tempat gelap, teduh, dan terang berikut:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang

I. PENDAHULUAN. Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan jasad renik dengan tingkat organisasi sel yang termasuk dalam tumbuhan tingkat rendah, dikelompokan dalam filum Thalophyta karena tidak memiliki akar,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mikroalga Scenedesmus sp. sebagai bioremidiator limbah cair tapioka. Hal ini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mikroalga Scenedesmus sp. sebagai bioremidiator limbah cair tapioka. Hal ini BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Scenedesmus sp. Sebagai Bioremidiator Limbah Cair Tapioka Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa ada pengaruh mikroalga Scenedesmus sp. sebagai bioremidiator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien

I. PENDAHULUAN. mikroalga dikenal sebagai organisme mikroskopik yang hidup dari nutrien I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroalga merupakan organisme air fotoautropik uniseluler atau multiseluler (Biondi and Tredici, 2011). Mikroalga hidup dengan berkoloni, berfilamen atau helaian pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

BAB IV METABOLISME. Proses pembentukan atau penguraian zat di dalam sel yang disertai dengan adanya perubahan energi.

BAB IV METABOLISME. Proses pembentukan atau penguraian zat di dalam sel yang disertai dengan adanya perubahan energi. BAB IV METABOLISME Proses pembentukan atau penguraian zat di dalam sel yang disertai dengan adanya perubahan energi METABOLISME ANABOLISME Proses Pembentukan Contoh: Fotosintesis, Kemosintesis Sintesis

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup

II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup II. Pertumbuhan dan aktivitas makhluk hidup Kompetensi: Setelah mengikuti kuliah mahasiswa dapat menjelaskan aktivitas makhluk hidup yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan A. Sifat pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis. dalam siklus kehidupan tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis. dalam siklus kehidupan tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung Manis Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan proses yang penting dalam siklus kehidupan tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung

Lebih terperinci

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb.

Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Rangkaian reaksi biokimia dalam sel hidup. Seluruh proses perubahan reaksi kimia beserta perubahan energi yg menyertai perubahan reaksi kimia tsb. Anabolisme = (biosintesis) Proses pembentukan senyawa

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL PEMBAHASAN 5.1. Sukrosa Perubahan kualitas yang langsung berkaitan dengan kerusakan nira tebu adalah penurunan kadar sukrosa. Sukrosa merupakan komponen utama dalam nira tebu yang dijadikan bahan

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 4-5. METABOLISME Ada 2 reaksi penting yang berlangsung dalam sel: Anabolisme reaksi kimia yang menggabungkan bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga

I. PENDAHULUAN. memerlukan area yang luas untuk kegiatan produksi. Ketersediaan mikroalga I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keunggulan dalam keragaman hayati seperti ketersediaan mikroalga. Mikroalga merupakan tumbuhan air berukuran mikroskopik yang memiliki

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram

Lebih terperinci

Metabolisme : Enzim & Respirasi

Metabolisme : Enzim & Respirasi Metabolisme : Enzim & Respirasi SMA Regina Pacis Ms. Evy Anggraeny August 2014 1 Pengantar Metabolisme Yaitu modifikasi reaksi biokimia dalam sel makhluk hidup Aktivitas sel Metabolit Enzim/fermen Macamnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Efek Laju Pembebanan Gas CO 2 terhadap Laju Pertumbuhan Mikroalga Pada penelitian ini, laju pembebanan gas CO 2 dibuat bervariasi untuk mengetahui efek laju pembebanan gas

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

@BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Nutrien tersebut memiliki

@BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Nutrien tersebut memiliki @BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan makro dan mikro nutrien sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Nutrien tersebut memiliki berbagai fungsi yang saling mendukung

Lebih terperinci

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA UNSUR HARA MAKRO UTAMA N P K NITROGEN Phosfat Kalium UNSUR HARA MAKRO SEKUNDER Ca Mg S Kalsium Magnesium Sulfur

Lebih terperinci

III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA

III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA III. NUTRISI DAN MEDIUM KULTUR MIKROBA Medium pertumbuhan (disingkat medium) adalah tempat untuk menumbuhkan mikroba. Mikroba memerlukan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi dan untuk bahan pembangun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN KADAR C (KARBON) DAN KADAR N (NITROGEN) MEDIA KULTIVASI Hasil analisis molases dan urea sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan metode Walkley-Black dan Kjeldahl,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kepadatan Sel Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dapat melakukan fotosintesa. Klasifikasi Nannochloropsis sp. menurut Renny

II. TINJAUAN PUSTAKA. dapat melakukan fotosintesa. Klasifikasi Nannochloropsis sp. menurut Renny II. TINJAUAN PUSTAKA A. Nannochloropsis sp. A.1. Klasifikasi dan Morfologi Nannochloropsis sp. Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah salah satu jenis Chlorophyta yang dapat melakukan fotosintesa. Klasifikasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinggi Bibit (cm) Dari hasil sidik ragam (lampiran 4a) dapat dilihat bahwa pemberian berbagai perbandingan media tanam yang berbeda menunjukkan pengaruh nyata terhadap tinggi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisi yang sulit dengan struktur uniseluler atau multiseluler sederhana. Contoh 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroalga Nannochloropsis sp. Mikroalga merupakan mikroorganisme prokariotik atau eukariotik yang dapat berfotosintesis dan dapat tumbuh dengan cepat serta dapat hidup dalam kondisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c. Pada proses pembentukan magnetit, urea terurai menjadi N-organik (HNCO), NH + 4,

HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c. Pada proses pembentukan magnetit, urea terurai menjadi N-organik (HNCO), NH + 4, 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis Magnetit Pembentukan magnetit diawali dengan reaksi reduksi oleh natrium sitrat terhadap FeCl 3 (Gambar 1). Ketika FeCl 3 ditambahkan air dan urea, larutan berwarna jingga.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fitoplankton Chaetoceros sp. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum Heterokontophyta, kelas Bacillariophyta) berbentuk uniseluler, walaupun demikian terdapat

Lebih terperinci

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1)

FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) FISIOLOGI TUMBUHAN MKK 414/3 SKS (2-1) OLEH : PIENYANI ROSAWANTI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA 2017 METABOLISME Metabolisme adalah proses-proses

Lebih terperinci

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA UNSUR HARA MAKRO UTAMA N P K NITROGEN Phosfat Kalium UNSUR HARA MAKRO SEKUNDER Ca Mg S Kalsium Magnesium Sulfur UNSUR

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan pemberian pupuk akar NPK dan pupuk daun memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN, SURABAYA

KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN, SURABAYA Program Magister Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN,

Lebih terperinci

Unsur Hara Mikro yang dibutuhkan oleh Tanaman

Unsur Hara Mikro yang dibutuhkan oleh Tanaman Unsur Hara Mikro yang dibutuhkan oleh Tanaman Oleh : Mamik Tanaman, seperti halnya makhluk hidup lainnya memerlukan nutrisi yang cukup memadai dan seimbang agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Produksi padi nasional mencapai 68.061.715 ton/tahun masih belum mencukupi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pertumbuhan tanaman buncis Setelah dilakukan penyiraman dengan volume penyiraman 121 ml (setengah kapasitas lapang), 242 ml (satu kapasitas lapang), dan 363 ml

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2

Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Metabolisme (Katabolisme) Radityo Heru Mahardiko XII IPA 2 Peta Konsep Kofaktor Enzim Apoenzim Reaksi Terang Metabolisme Anabolisme Fotosintesis Reaksi Gelap Katabolisme Polisakarida menjadi Monosakarida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setiap hari tumbuhan membutuhkan nutrisi berupa mineral dan air. Nutrisi yang

BAB I PENDAHULUAN. setiap hari tumbuhan membutuhkan nutrisi berupa mineral dan air. Nutrisi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pupuk merupakan salah satu sumber nutrisi utama yang diberikan pada tumbuhan. Dalam proses pertumbuhan, perkembangan dan proses reproduksi setiap hari tumbuhan membutuhkan

Lebih terperinci

METABOLISME MIKROBIAL OLEH: FIRMAN JAYA

METABOLISME MIKROBIAL OLEH: FIRMAN JAYA METABOLISME MIKROBIAL OLEH: FIRMAN JAYA 1. Metabolisme Aerobik dan Anaerobik Proses metabolisme: a. Katabolisme: reaksi eksergonik (Penguraian Senyawa Karbohidrat energi). Contoh: respirasi asam piruvat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva (Renaud et.al, 1999). Pemberian pakan

I. PENDAHULUAN. yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva (Renaud et.al, 1999). Pemberian pakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakan alami memiliki peran penting dalam usaha akuakultur, terutama pada proses pembenihan. Peran pakan alami hingga saat ini belum dapat tergantikan secara menyeluruh.

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monotyledonae : Gramineae (Poaceae)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Media Kultur Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. ph Tanah Data hasil pengamatan ph tanah gambut sebelum inkubasi, setelah inkubasi, dan setelah panen (Lampiran 4) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan ph tanah.

Lebih terperinci

Media Kultur. Pendahuluan

Media Kultur. Pendahuluan Media Kultur Materi Kuliah Bioindustri Minggu ke 4 Nur Hidayat Pendahuluan Medium untuk pertumbuhan skala laboratorium umumnya mahal sehingga dibutuhkan perubahan agar dapat dipakai medium yang murah sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan.

I. PENDAHULUAN. Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Benih ikan berkualitas baik dibutuhkan dalam tahapan utama pembesaran ikan. Peningkatan benih berkualitas mampu didapatkan dengan pengontrolan panti benih dan pakan

Lebih terperinci

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya

Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT BAHAN BAKU DAN PRODUK BIOINDUSTRI Nimas Mayang Sabrina S, STP, MP Lab. Bioindustri, Jur Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya Email :

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

BIOKIMIA NUTRISI. : PENDAHULUAN (Haryati)

BIOKIMIA NUTRISI. : PENDAHULUAN (Haryati) BIOKIMIA NUTRISI Minggu I : PENDAHULUAN (Haryati) - Informasi kontrak dan rencana pembelajaran - Pengertian ilmu biokimia dan biokimia nutrisi -Tujuan mempelajari ilmu biokimia - Keterkaitan tentang mata

Lebih terperinci

Fungsi Hara bagi Tanaman AGH 322

Fungsi Hara bagi Tanaman AGH 322 Fungsi Hara bagi Tanaman AGH 322 Esensialitas Hara bagi Tanaman Hara Esensial: Tanpa kehadiran hara tersebut maka tanaman tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Fungsi hara tersebut tidak dapat digantikan

Lebih terperinci

1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant metabolic functions).

1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant metabolic functions). Hara esensial : 1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant metabolic functions). 2. Tanaman tidak akan sempurna siklus hidupnya tanpa adanya unsur tersebut (plant can not

Lebih terperinci

TINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat

TINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat TINJAUN PUSTAKA Sifat sifat Kimia Tanah Tanah memiliki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi. Sifat fisik dan biologi tanah dapat dilihat secara kasat mata dan diteliti dengan warna tanah, tekstur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah satu unsur yang dapat mempengaruhi kualitas air yakni unsur karbon (Benefield et al., 1982).

Lebih terperinci

5 Kimia dalam Ekosistem. Dr. Yuni. Krisnandi

5 Kimia dalam Ekosistem. Dr. Yuni. Krisnandi 5 Kimia dalam Ekosistem Dr. Yuni. Krisnandi 13-10-06 Pendahuluan: apakah ekosistem itu? Suatu ekosistem teridiri dari komunitas biologi yang terjadi di suatu daerah, dan faktor-faktor kimia dan fisika

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura Lampung pada bulan Juli - Agustus 2011. B. Materi Penelitian B.1. Biota Uji Biota

Lebih terperinci

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN

MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN MODUL 2-1 NUTRISI MINERAL TUMBUHAN Elemen esensial: Fungsi, absorbsi dari tanah oleh akar, mobilitas, dan defisiensi Oleh : Retno Mastuti 1 N u t r i s i M i n e r a l Jurusan Biologi, FMIPA Universitas

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting dalam peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Hal tersebut didasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu Berdasarkan analisis ANAVA (α=0.05) terhadap Hubungan antara kualitas fisik dan kimia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Selada Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), khususnya dalam hal bentuk daunnya. Tanaman selada cepat menghasilkan akar tunggang diikuti

Lebih terperinci

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010

DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT PEMBELAJARAN BIOLOGI KELAS XII IPA 2009/2010 DIKTAT 2 METABOLISME Standar Kompetensi : Memahami pentingnya metabolisme pada makhluk hidup Kompetensi Dasar : Mendeskripsikan fungsi enzim dalam proses

Lebih terperinci