BAB II ANALISIS HUKUM TERHADAP DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA NOMOR: 3212/PID.B/2007/PN.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ANALISIS HUKUM TERHADAP DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA NOMOR: 3212/PID.B/2007/PN."

Transkripsi

1 BAB II ANALISIS HUKUM TERHADAP DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA NOMOR: 3212/PID.B/2007/PN. MDN Proses dari suatu peradilan pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) itu sendiri yang memiliki tugas dan wewenang masing-masing, adapun sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana tersebut adalah sebagai berikut: Kepolisian, dengan tugas utama menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat manakala terjadinya tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 2. Kejaksaan, dengan tugas pokok menyaring kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntututan dan melaksanakan putusan pengadilan. 3. Pengadilan, yang berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara cepat dan tepat, memberikan putusan yang adil dan berdasarkan hukum, dan mempersiapkan tempat untuk persidangan 37 Yesmil Anwar dan Adang, Op. cit, hlm: 64

2 sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan melakukan penilain terhadap proses peradilan di tingkat ini. 4. Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan perlindungan hak-hak narapidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana, mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat. 5. Advokat, berfungsi untuk melakukan pembelaan bagi klien dan menjaga hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana dalam setiap tingkatannya yang dimulai dari tingakat kepolisian hingga ke pengadilan bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Berdasarkan hal tersebut diatas maka jelas bahwa tahap awal dari suatu proses peradilan pidana dimulai dari tingkat kepolisian dengan melakukan penyelidikan setelah mendapat laporan atau pengaduan dari masyarakat. Menurut Pasal 1 butir 5 KUHAP di sebutkan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Setelah melalui tahap penyelidikan dilanjutkan dengan tahap penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP).

3 Tindakan penyelidikan dan maupun penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut didasarkan pada bahwa telah terjadinya tindak pidana yang dapat diketahui oleh pihak kepolisian berdasarkan beberapa kemungkinan yaitu: Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 butir 19 KUHAP) Menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP, pengertian tertangkap tangan meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Tertangkap tangan waktu sedang melakukan tindak pidana. b. Tertangkap segera sesudah beberapa saat perbuatan itu dilakukan. c. Tertangkap sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana. d. Tertangkap sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. 2. Karena laporan (Pasal 1 butir 24 KUHAP). 3. Karena pengaduan (Pasal 1 butir 25 KUHAP). 4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat kabar, mendengar dari radio atau orang bercerita dan lain sebagainya. 38 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm: 121

4 Selanjutnya dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana maka penyidik dari kepolisian juga dapat melakukan penangkapan dan penahanan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, yaitu: 39 a. Menurut ketentuan Pasal 1 butir 20 KUHAP, penangkapan itu sebenarnya sudah merupakan tindakan penyidikan dan hanya dapat dilakukan atau dapat diperintahkan untuk dilakukan apabila terdapat cukup bukti untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau peradilan. b. Penahanan terhadap seorang tersangka hanya perlu dilakukan apabila terdapat suatu dugaan yang kuat bahwa tersangka akan melarikan diri, akan merusak atau akan menghilangkan barang-barang bukti atau akan mengulangi tindak pidananya, yang semuanya itu haruslah didasarkan pada bukti-bukti yang cukup bahwa tersangka telah melakukan suatu tindak pidana tertentu. c. Penahanan itu hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana atau mencoba melakukan suatu tindak pidana ataupun membantu orang lain melakukan tindak pidana yang oleh undangundang diancam dengan pidana penjara selama lima tahun atau lebih ataupun tindak pidana tertentu seperti yang disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) hurup b KUHAP. d. Atas penahanan seseorang sebagaimana tersebut di atas, penyidik harus memberikan suatu surat perintah penahanan yang memenuhi syarat-syarat dalam 39 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op. Cit, hal: 78

5 Pasal 21 ayat (2) KUHAP kepada orang yang ditahan dan memberikan tembusan dari surat perintah penahanan tersebut kepada keluarganya. e. Dalam melakukan penahanan itu, penyidik hanya dapat menahan seseorang paling lama dua puluh hari, dan untuk kepentingan pemeriksaan penahanan tersebut dapat diperpanjang oleh penuntut umum untuk jangka waktu paling lama empat puluh hari, dengan catatan penyidik dapat mengeluarkan orang tersebut dari tahanan apabila kepentingan pemeriksaan telah terpenuhi, tanpa menunggu habisnya batas waktu penahanan yang dapat dilakukan oleh penyidik ataupun habisnya jangka waktu perpanjangan penahanan yang dapat dilakukan oleh penuntut umum. f. Setelah waktu enam puluh hari seseorang berada dalam tahanan, demi hukum penyidik harus mengeluarkan orang tersebut dari tahanan. g. Apabila penahanan atau perpanjang penahanan itu didasarkan pada alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena beberapa hal seperti yang dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) huruf a dan b KUHAP dianggap perlu untuk diperpanjang kembali maka pada tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan, perpanjangan tersebut hanya dapat diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri, yakni sebanyak dua kali masing-masing untuk jangka waktu paling lama tiga puluh hari. h. Terhadap perpanjangan penahanan yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri tersebut, orang yang ditahan berhak untuk mengajukan keberatan yakni pada

6 tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri. i. Setelah jangka waktu enam puluh hari seseorang itu tetap ditahan berdasarkan perpanjangan penahanan yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri demi hukum orang itu harus dikeluarkan dari tahanan walaupun perkaranya belum selesai diperiksa atau diputus oleh pengadilan. j. Penyidik harus benar-benar menaati ketentuan diatas karena kelalaian menaati ketentuan tersebut pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan melakukan penahanan secara tidak sah, yang menyebabkan orang yang ditahan dapat menuntut ganti kerugian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP dan apabila terbukti tidak menutup kemungkinan penyidik dapat dituntut karena telah melanggar Pasal 333 KUHP. k. Atas permintaan orang yang ditahan, penyidik berwenang untuk mengadakan penangguhan penahanan baik dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang dan sewaktu-waktu berwenang untuk mencabut penangguhan penahanan tersebut, dalam hal tersangka telah melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penyidik. Setelah proses penyelidikan dan penyidikan selesai maka selanjutnya memasuki tahap penuntutan. Tahapan ini merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara pidana sebelum hakim kemudian memeriksanya di sidang pengadilan.

7 Menurut Martiman Prodjohamidjojo, sebelum jaksa melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan dan melakukan penuntutan, ia wajib mengambil langkahlangkah sebagai berikut: Menerima dan memeriksa berkas perkara 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan segera mengembalikan berkas kepada penyidik dengan memberikan petunjuk-petunjuk untuk kesempurnaan. 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik. 4. Membuat surat dakwaan. 5. Melimpahkan perkara ke Pengadilan. 6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan persidangan dengan disertai panggilan, baik kepada terdakwa maupun saksi-saksi. 7. Melakukan penuntutan. 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum. 9. Melakukan tindakan lain dalam ruang lingkup dan tanggung jawab sebagai penuntut umum. 10. Melaksanakan penetapan hakim. Setelah penuntut umum beranggapan bahwa penyidikan telah lengkap maka penuntut umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi syarat untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke Pengadilan. Jika jaksa penuntut umum baranggapan bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka dibuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP). Akan tetapi apabila penuntut umum berpendapat sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, bahwa: a. Tidak terdapat cukup bukti, atau 40 Rusli Muhammad, Op. Cit, hlm. 69

8 b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran), atau c. Perkara ditutup demi hukum, Maka penuntut umum menghentikan penuntutan dan menerangkan hal tersebut dalam suatu penetapan. Untuk perkara yang dianggap cukup bukti dilimpahkan ke Pengadilan maka jaksa menentukan perkara itu akan diajukan dalam perkara singkat atau acara biasa. A. Pemeriksaan Perkara Di Sidang Pengadilan KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, yaitu pemeriksaan perkara biasa, pemeriksaan singkat dan pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas. Pada Pasal 203 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Selanjutnya untuk pemeriksaan cepat terhadap tindak pidana ringan ditentukan di dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda

9 sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini. Paragraf 2 yang dimaksud adalah mengenai acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan yang dijelaskan dalam Pasal 211 KUHAP yang menyebutkan bahwa yang diperiksa menurut acara pada paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas. Pemeriksaan perkara yang selanjutnya ialah diperiksa dengan pemeriksaan biasa, undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara mana yang termasuk pemeriksaan biasa. Ditinjau dari segi peraturan perundang-undangan maka terhadap pemeriksaan biasa ini paling luas pengaturannya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam acara pemeriksaan biasa inilah dilakukan pemeriksaan perkara-perkara tindak pidana kejahatan seperti tindak pidana pencurian sebagaimana yang tercatat dalam register perkara di Pengadilan Negeri Medan, Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn atas nama terdakwa Kohiruddin yang berkerja sebagai buruh bangunan dan di tuduh telah melakukan pencurian secara bersama-sama sejumlah kabel listrik di jalan Garu II Kelurahan Harjosari I Medan Amplas atau di Bangunan Perumahan Taman Harjosari Indah milik Tan Thun Sie (korban).

10 Adapun Proses pemeriksaan atas nama terdakwa Kohiruddin dalam perkara Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn adalah dengan acara pemeriksaan biasa di sidang Pengadilan yang dilaksanakan dengan melalui beberapa tahap, yaitu: 41 a. Tahap Panggilan. Apabila Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan dan berkas perkara berikut barang bukti dari penuntut umum (menggunakan formulir surat pelimpahan model P.31), kemudian berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim (majelis hakim atau hakim tunggal) yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk tersebut menetapkan hari sidang dan memerintahkan penuntut umum supaya memanggil tersangka dan saksi untuk datang di sidang pengadilan. 42 Penuntut umum diharuskan untuk menghadirkan terdakwa pada setiap proses persidangan dengan jalan memanggilnya. Penuntut umum diberi wewenang untuk memanggil terdakwa supaya hadir pada hari, tanggal dan tempat persidangan yang telah ditentukan. Ini berarti dengan ketidakhadiran terdakwa dianggap tidak sah. Kalau terdakwa tidak dapat dihadirkan maka persidangan diundurkan pada hari lain untuk memberi kesempatan penuntut umum melakukan pemanggilan untuk menghadirkan terdakwa Rusli Muhammad, Ibid, hlm HMA. Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2008), hal: Syafruddin Kalo, Makalah Hukum Acara Pidana Teori Dan Praktek, Disampaikan Pada Program Pendidikan Khusus Profesi Advokat, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Advokat Indonesia Cabang Medan Kerjasama Dengan Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan, 2007, hlm 31.

11 Menurut ketentuan Pasal 145 KUHAP, surat panggilan hanya dapat dipandang sebagai suatu sarana pemberitahuan yang sah apabila: 1. Surat panggilan disampaikan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir. 2. Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum di tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir. 3. Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan, surat panggilan disampaikan padanya melalui pejabat Rumah Tahanan Negara. 4. Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan. 5. Apabila tempat tinggal ataupun tempat kediaman terakhir tidak diketahui, surat panggilan di tempatkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya. Pemanggilan terhadap terdakwa Kohiruddin dalam perkara No. 3212/Pid. B/2007/PN. Mdn dilakukan oleh jaksa penuntut umum melalui pejabat Rumah Tahanan Negara (Rutan) disebabkan terdakwa sedang berada di dalam tahanan rutan. b. Tahap Pembukaan dan Pemeriksaan Identitas Terdakwa. Pembukaan sidang pengadilan oleh hakim ketua sidang dinyatakan terbuka untuk umum karena pada dasarnya semua persidangan pengadilan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak

12 (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) dan apabila terjadi pelanggaran terhadap pasal ini maka putusan pengadilan yang dijatuhkan batal demi hukum (Pasal 153 ayat (4) KUHAP). Setelah hakim membuka serta menyatakan terbuka untuk umum, ketua majelis hakim memeriksa identitas terdakwa yaitu: 1. Nama lengkap 2. Tempat lahir 3. Umur atau tanggal lahir 4. Jenis kelamin 5. Kebangsaan 6. Tempat tinggal 7. Agama, dan 8. Pekerjaan. c. Pembacaan Surat Dakwaan. Pada kesempatan ini diberikan pada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan. Untuk perkara No. 3212/ Pid. B/2007/PN. Mdn dan dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dalam dakwaan pertama telah melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP yaitu dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum, pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih. Sedangkan untuk dakwaan kedua, jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa kohiruddin telah melanggar Pasal 480 ke-1e KUHP yaitu dengan hukuman selamalamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,- dihukum karena

13 sebagai sekongkol, barang siapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh dari kejahatan. Dengan pembacaan surat dakwaan maka perkara yang bersangkutan telah dimulai pemeriksannya atau dengan demikian maka surat dakwaan adalah merupakan dasar pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. d. Eksepsi. Eksepsi adalah keberatan yang diajukan terdakwa dan atau penasehat hukumnya terhadap syarat hukum formil dan belum memasuki pemeriksaan hukum materil. Ada tiga hal yang menjadi objek eksepsi sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yaitu: Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara, meliputi: a. Keberatan tidak berwenang mengadili secara relative (competentie relative). b. Keberatan tidak berwenang secara absolute (competentie absolute). 2. Dakwaan tidak dapat diterima antara lain: a. Apa yang didakwakan terhadap terdakwa bukan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. b. Apa yang didakwakan terhadap terdakwa telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem) 44 Syafruddin Kalo, Ibid, hlm 33

14 c. Apa yang didakwakan terhadap terdakwa telah lewat waktu atau kadaluarsa. d. Apa yang didakwakan terhadap terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya. e. Apa yang didakwakan terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana melainkan perselisihan perdata. f. Apa yang didakwakan terhadap terdakwa adalah tidak pidana aduan sedang orang yang berhak mangadu tidak pernah menggunakan haknya. 3. Surat dakwaan harus dibatalkan karena tidak memenuhi syarat formil seperti yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) huruf b. Terdakwa Kohiruddin melalui kuasa hukumnya juga mengajukan eksepsi terhadap dakwaan jaksa penuntut umum dengan menyatakan bahwa jaksa penuntut umum tidak menguraikan secara cermat dan jelas mengenai tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b. e. Tahap Pembuktian. Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan

15 dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP yaitu bardasarkan ketengan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk maupun keterangan terdakwa maka terdakwa dinyatakan bersalah dan terhadap dirinya dapat dijatuhkan hukuman. Untuk pemeriksaan terhadap barang-barang bukti dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan para saksi. Barang-barang bukti yang diajukan diperlihatkan dan dimintakan keterangan dari saksi atau dari terdakwa tentang kebenarannya. Pemeriksaan alat bukti dalam tahap pembuktian dalam perkara No. 3212/ Pid. B/2007/PN. Mdn dilakukan dengan mendahulukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi setelah itu baru mendengarkan keterangan terdakwa dan saksi-saksi yang didengar kesaksiannya tersebut adalah ; 1. Ruarid Kurniawan alias Ruri yang pada intinya menerangkan bahwa perusahaan ada kehilangan kabel listrik yang telah dicuri orang namun saksi tidak mengetahui siapa yang mencurinya. 2. R. Hasibuan yang merupakan saksi verbal yaitu saksi dari pihak kepolisian yang telah memeriksa para saksi dan terdakwa pada tingkat penyidikan di kepolisian. Ia menerangkan bahwa tanda tangan yang tertera di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah benar tanda tangan terdakwa dan pada saat membubuhkan tanda tangan itu terdakwa tidak pernah dipaksa dan selama pemeriksan tidak ada di pukul. Pemeriksaan dilanjutkan pada terdakwa karena saksi-saksi lainnya yang terdapat dalam Berita Acara Pemeriksaan kepolisian tidak dapat dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum meskipun Majelis Hakim dalam Penetapannya tertanggal 13

16 November 2007 Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn telah memerintahkan agar Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi-saksi sebagaimana yang tercantum dalam berkas perkara. Adapun keterangan dari terdakwa Kohiruddin adalah bahwa ia tidak pernah mengambil atau ikut mencuri kabel di Perumahan Harjosari Indah dan benar terdakwa ada menandatangani berita acara pemeriksaan di kepolisian tapi itu ia lakukan karena ia takut, sebab sewaktu ditangkap terdakwa dipukuli dan disuruh mengaku. Terdakwa Kohiruddin juga mengenal Andi (tersangka lainnya yang saat itu masuk pada Daftar Pencarian Orang oleh pihak kepolisian) karena mereka memang sudah lama berteman dan mereka sering saling memberi dan menerima uang sehingga terdakwa tidak mengetahui apakah uang yang pernah diberikan oleh andi pada dirinya adalah hasil dari mencuri atau tidak. Setelah proses pembuktian selesai selanjutnya ketua majelis hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk mengajukan tuntutan (requisitoir). f. Pembacaan Surat Tuntutan (Requisitoir). Surat tuntutan berisi bagian-bagian mana dan ketentuan-ketentuan pidana yang didakwakan terhadap terdakwa yang telah terbukti disertai dengan penjelasan dari setiap unsur dari delik yang didakwakan. 45 Berdasarkan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 22 November 2007 dinyatakan bahwa terdakwa Kohiruddin terbukti secara sah dan meyakinkan 45 Syafruddin Kalo, Ibid, hlm. 37

17 bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana yang diatur dan diancam dalam pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP dalam dakwaan pertama. g. Pembelaan (Pleidoi). Pasal 182 KUHAP menyatakan bahwa: a. Setelah periksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan pidana. b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya selalu mendapat kesempatan terakhir. c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan. Terdakwa Kohiruddin melalui penasehat hukumnya juga mengajukan pembelaan yang pada intinya menyatakan bahwa terdakwa bukan pelaku pencurian sebagaimana yang dinyatakan jaksa penuntut umum dalam tuntutannya sehingga sudah sepatutnya Kohiruddin dibebaskan dari dakwaan jaksa penuntut umum. h. Tahap replik dan Duplik. Setelah terdakwa atau penasehat hukum mengajukan pembelaan maka kepada jaksa penunutut umum diberi kesempatan untuk mengajukan tanggapannya atas pledoi terdakwa atau penasehat hukum atau sering juga disebut dengan istilah replik. Terhadap replik jaksa penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum diberikan

18 kesempatan untuk mengajukan duplik yaitu jawaban atas replik jaksa penuntut umum. i. Putusan. Tahap ini merupakan tahap terakhir dari keseluruhan rangkaian proses di dalam persidangan. Namun hakim majelis tidak langsung menyusun dan membacakan putusannya pada saat itu tetapi selalu menunda persidangan untuk musyawarah tentang segala sesuatu yang terungkap dalam persidangan untuk kemudian mengambil keputusan. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Majelis hakim dapat menilai, apa yang didakwakan dalam surat dakwaan benar terbukti atau bisa juga majelis hakim menilai apa yang didakwakan memang benar terbukti akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan suatu tindak pidana tetapi masuk dalam perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak pidana aduan. Atau bisa juga majelis hakim menilai bahwa tindak pidana yang dijatuhkan tidak terbukti sama sekali dan dari setiap kemungkinan yang ada maka majelis hakim dapat menjatuhkan putusan berupa putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan berupa pemidanaan M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 347.

19 Untuk kasus yang pencurian dengan pemberatan atas nama Kohiruddin yang tercatat dalam register perkara No: 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn tersebut maka majelis hakim menjatuhkan putusan bebas yang berdasarkan hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa Kohiruddin atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dengan demikian maka terdakwa Kohiruddin oleh majelis hakim di putus bebas. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya dengan demikian maka terdakwa dibebaskan dari tahanan. B. Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Adapun bentuk-bentuk putusan pengadilan dalam perkara pidana adalah sebagai berikut: 1. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili. Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasehat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (keberatan). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa pengadilan negeri tersebut tidak berkopetensi (berwenang) baik secara relative maupun absolute

20 untuk mengadili perkara tersebut. 47 Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasehat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum. Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum. Baik hal itu oleh karena atas permintaan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukum dalam eksepsi maupun atas wewenang hakim karena jabatannya. Alasan utama untuk membatalkan surat dakwaan demi hukum adalah apabila surat dakwaan tidak menjelaskan secara terang segala unsur konstitutif yang dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Artinya adalah bahwa beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan dakwaaan jaksa batal demi hukum yaitu: 49 a. Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan. 47 Pengadilan tidak berkompetensi (berwenang) secara relative maksudnya adalah berkaitan dang an wilayah hukum bagi setiap pengadilan, pengadilan tertentu hanya mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk mengadili suatu perkara dalam suatu wilayah hukum yang menjadi kekuasaan atau wewenangnya. Sedangkan pengadilan tidak berkompetensi (berwenang) secara absolute maksudnya adalah berkaitan dengan lingkungan peradilan yang terdiri dari 4 (empat) yaitu: lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lengkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha Negara, tegasnya apa yang menjadi wewenang peradilan umum secara mutlak hanya dapat diperiksa dan diadili oleh peradilan umum, sedangkan peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara secara mutlak tidak boleh memeriksa dan mengadilinya dan demikian juga sebaliknya. Perhatikan M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Op. Cit, hlm Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, hlm. 359.

21 b. Tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan. c. Dakwaan kabur atau obscuur libel karena tidak dijelaskan bagaimana kejahatan dilakukan. 3. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan penuntut umum, sebab putusan tersebut dijatuhkan karena: 50 a. Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada. b. Perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem). c. Hak untuk menuntut hukuman telah hilang karena daluarsa (verjaring). 4. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus bebas dari segala tuntutan hukum. Pada dasarrnya, putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolding) dapat terjadi apabila majelis hakim beranggapan bahwa apa 50 Evi Hartanti, Op. Cit, hlm. 53

22 yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi sekalipun terbukti hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. 51 Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum juga dapat terjadi disebabkan oleh karena: 52 a. Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana. b. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Keadaan istimewa tersebut antara lain: 1. Tidak mampu bertanggung jawab. 2. Melakukan dibawah pengaruh daya paksa (overmacht). 3. Adanya pembelaan terdakwa. 4. Adanya ketentuan undang-undang. 5. Adanya perintah jabatan. 5. Putusan pemidanaan pada terdakwa. Putusan pemidanaan dalam tindak pidana apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan memahami setiap yang terungkap dalam persidangan. Sebagai hakim ia berusaha untuk menetapkan suatu hukuman yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh terdakwa 51 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teorotis, Praktik Dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hlm Evi Hartanti, Op. Cit, hlm. 54. Perhatikan juga Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

23 sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil, maka hakim harus memperhatikan: 53 a. Sifat tindak pidana. b. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana. c. Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana. d. Pribadi terdakwa. e. Sebab-sebab melakukan tindak pidana. f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan. g. Kepentingan umum. Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain dari pada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Memang benar hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pidana yang bersangkutan. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. 6. Putusan bebas. Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. 53 Evi Hartanti, Op. Cit, hlm 55.

24 Adapun yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. 54 Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak). Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa tidak dipidana. Adapun yang menjadikan alasan paling mendasar dijatuhkannya putusan bebas adalah apabila majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. 55 Oleh karena itu, secara yuridis dapat disebutkan bahwa putusan bebas apabila majelis hakim yang telah memeriksa pokok perkara dan bermusyawarah beranggapan bahwa: a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negative. Pembuktian yang diperoleh dipersidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim atau dengan perkataan lain bahwa 54 Perhatikan penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 55 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali,Op. Cit, hlm. 347.

25 ketiadaan alat bukti seperti ditentukan dalam asas minimum pembuktian menurut undang-undang secara negatif sebagaimana dianut oleh KUHAP. 56 b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Maksudnya adalah bahwa kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja. 57 Putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim tentang: Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan dipersidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, atau, 56 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teorotis, Praktik Dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), Op. Cit, hlm Sedangkan menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam ketentuan Pasal 183 tersebut terkandung 2 (dua) asas yaitu pertama asas pembuktian menurut undang-undang secara negative yang menyatakan bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula dibarengi dengan keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa. Kedua, asas minimum pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus sekurangkurangnya dengan dua alat bukti yang sah. 58 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali,Op. Cot, hlm. 348.

26 2. Secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misalnya alat bukti yang diajukan dipersidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Dalam hal yang seperti ini, disamping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian juga bertentangan dengan asas unus testis nullus testis atau seorang saksi bukanlah saksi, atau, 3. Putusan bebas bisa juga didasarkan atas penilaian adanya kesalahan yang terbukti namun tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian yang demikian sesuai dengan system pembuktian yang dianut oleh KUHAP yang mengajarkan pembuktian menurut undangundang secara negative. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung oleh keyakinan hakim sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti namun nilai pembuktian yang cukup tersebut akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.

27 Selanjutnya, jika ditelaah dari aspek teoritik, menurut pandangan doktrina 59 putusan bebas (vrijspraak) dibagi lagi dalam beberapa bentuk yaitu: a. Pembebasan murni (de zuivere vrijspraak) dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti. b. Pembebasan tidak murni (de onzuivere vrijspraak) yaitu dalam hal batalnya dakwaan secara terselubung atau pembebasan yang menurut kenyataannya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan. c. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan yaitu bahwa berdasarkan pertimbangan haruslah diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya. d. Pembebasan yang terselubung (de bedekte vrijspraak) dimana hakim telah mengambil putusan tentang suatu peristiwa hukum dan menjatuhkan putusan pelepasan dari tuntutan hukum, padahal putusan tersebut berisikan suatu pembebasan secara murni. Namun menurut pengamat hukum acara pidana T. Nasrullah menyatakan bahwa KUHAP tidak mengenal bentuk-bentuk putusan bebas murni maupun bebas tidak murni sebab di dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas hanya menggunakan kata bebas. KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan Dan Permasalahannya), Op.Cit, hlm T. Nasrullah, Kasasi Atas Vonis Bebas Yurisprudensi Yang Menerobos KUHAP, dalam diakses pada hari Senin, tanggal 3 Mei 2010, pukul wib.

28 C. Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara No. 3212/Pid.B/2007/PN.Mdn. Setelah melalui tahapan pemeriksaan dalam persidangan dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan maka majelis hakim menjatuhkan putusan dalam perkara No: 3213/Pid.B/2007/PN.Mdn atas kasus pencurian dengan pemberatan dengan terdakwa Kohiruddin yang amar putusannya adalah sebagai berikut: 1 Menyatakan bahwa terdakwa kohiruddin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum. 2 Membebaskan terdakwa tersebut di atas dari segala dakwaan. 3 Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya 4 Memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan. 5 Menetapkan barang bukti berupa 2 (dua) gulung kabel kecil dikembalikan kepada saksi Tan Thun Sie (korban). 6 Membebani ongkos perkara kepada negara. Putusan bebas ini dijatuhkan oleh majelis hakim sebab majelis hakim tidak yakin bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4e KUHP sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Terhadap putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Agung menjatuhkan

29 putusan yang pada intinya tetap menguatkan putusan dari Pengadilan Negeri Medan yaitu membebaskan terdakwa Kohiruddin dan menyatakan tidak dapat menerima permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum. Untuk dapat melihat lebih jelas tentang kasus tersebut diatas maka dibawah ini akan diuraikan secara lengkap tentang kasus posisi dan dasar pertimbangan Majelis Hakim, sebagai berikut: 1. Kasus Posisi. Bahwa terdakwa Kohiruddin secara bersama-sama semufakat dengan temannya bernama Andi dan Ari (yang saat itu belum tertangkap dan masuk dalam Daftar Pencararian Orang) pada bulan April 2007 bertempat di Perumahan Harjosari Indah Jalan harjosari I Kecamatan Medan Amplas telah mengambil kabel listrik sebanyak 105 gulung yang ditaksir seharga Rp ,- (empat puluh juta rupiah) milik Tan Thun Sie (korban). Atas perbuatannya tersebut selanjutnya terdakwa diajukan kepersidangan dan didakwa dalam dakwaan pertama melanggar Pasal 363 ayat (1) Ke-4e KUHP tentang pencurian dengan pemberatan dan dakwaan kedua melanggar Pasal 480 ke-1e KUHP. 2. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim. a. Keterangan Saksi. Bahwa di dalam berkas perkara terdapat 3 (tiga) orang saksi yaitu saksi korban Tan Thun Sie, Toni Kuswoyo alias Toni, dan Ruarid Kurniawan alias Ruri namun di dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum hanya mampu

30 menghadirkan 1 (satu) orang saksi (Ruarid Kurniawan alias Ruri ) ditambah 1 (satu) orang saksi verbalis (R. Hasibuan selaku penyidik pembantu). Meskipun dalam persidangan Majelis Hakim dengan penetapannya tertanggal 13 November 2007 Nomor: 3212/Pid.B/2007.PN. Mdn 61 telah memerintahkan agar jaksa penuntut umum menghadapkan saksi-saksi sebagaimana tercantum dalam berkas perkara. Masing-masing saksi yang hadir di persidangan menerangkan sebagai berikut: 1. Saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri, yang pada intinya menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa benar perusahaan ada kehilangan kabel listrik namun ia tidak tahu siapa yang mencurinya. b. Saksi diberitahu oleh pihak kepolisian bahwa terdakwa telah mengaku mengambil kabel listrik tersebut Saksi R. Hasibuan selaku penyidik pembantu (saksi verbalis), yang pada intinya menerangkan bahwa terdakwa ada menandatangani Berita Acara Pemeriksaan di kepolisian dan itu dilakukan terdakwa tanpa ada paksaan dari siapapun dan selama pemeriksaan tidak ada dipukul. 63 b. Barang Bukti Dalam persidangan, Jaksa penuntut Umum mengajukan 2 (dua) gulungan kecil kabel listrik berwarna hitam dan biru sebagai barang bukti. 61 Putusan pengadilan Negeri Medan Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn,, hlm Putusan pengadilan Negeri Medan Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn, hlm Putusan pengadilan Negeri Medan Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn,, hlm. 6

31 c. Keterangan Terdakwa. Pada intinya, dipersidangan terdakwa menerangkan sebagai berikut: 1. Terdakwa tidak pernah mengambil ataupun ikut mengambil/mencuri kabel sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum. 2. Apa yang terurai didalam berita acara penyidikan di kepolisian adalah tidak benar dan terdakwa terpaksa menandatangani berita acara tersebut karena takut pada polisi sebab saat ia ditangkap, ia dipukuli dan dipaksa untuk mengaku. 3. Terdakwa memang ada diberi uang oleh Andi (salah satu tersangka lainnya yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang) sebesar Rp ,- (dua belas ribu rupiah) tapi terdakwa tidak tahu apakah uang itu hasil penjualan kabel curian atau tidak karena antara terdakwa dan Andi sudah biasa saling memberi dan menerima uang. 64 d. Unsur-unsur Tindak Pidana. 1. Dakwaan pertama melanggar Pasal 363 ayat (1) Ke-4e KUHP mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Barang siapa b. Mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain. c. Dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak. d. Yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. 64 Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn,, hlm. 6

32 1. Tentang Unsur Barang Siapa. Bahwa yang dimaksud dengan barang siapa ialah setiap subjek hukum baik perorangan maupun korporasi yang didakwa telah melakukan tindak pidana atau dengan kata lain setiap orang yang harus bertanggungjawan atas peristiwa sebagai akibat perbuatannya atau mengenai siapa yang harus dijadikan sebagai terdakwa dalam suatu peristiwa pidana. 65 Dari keterangan saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri yang menerangkan bahwa ketika ia diperiksa polisi (penyidik), ia diberitahu penyidik bahwa yang mengambil kabel tersebut adalah terdakwa Kohiruddin, dihubungkan dengan keterangan R. hasibuan yang mengatakan bahwa saksi dalam kedudukannya sebagai penyidik pembantu, ada memeriksa terdakwa pada bagian akhir pemeriksaan dihubungkan pula dengan keterangan terdakwa yang mengakui bahwa benar identitas yang tercantum dalam dakwaan jaksa penuntut umum tersebut adalah terdakwa dan secara lahiriah Majelis melihat bahwa terdakwa berada dalam keadaan cukup sehat baik jasmani maupun rohaninya, Majelis berpendapat bahwa unsur barang siapa telah terbukti secara hukum. 65 Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn, hlm. 7

33 2. Mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain. Untuk membuktikan unsur ini, jaksa penuntut umum telah menghadirkan saksi-saksi sebagaimana yang telah disebutkan diatas yaitu saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri dan Saksi R. Hasibuan yang pada dasarnya para saksi menerangkan tidak tahu siapa pelaku dari pencurian tersebut. Untuk barang bukti yang diajukan dipersidangan yaitu dua gulungan kecil kabel warna hitam dan biru setelah diteliti oleh Majelis Hakim ternyata penyitaan barang bukti tersebut tanpa izin dari Pengadilan Negeri Medan, tentu saja hal ini bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHAP. Ditemukan fakta lain dalam berita acara pemeriksaan saksi korban (Tan Thun Sie) di kepolisian yang pada angka 10 atas pertanyaan penyidik saksi korban menyatakan bahwa: adapun sebabnya Kamal (pagawai saksi korban) memohon kepada saya (saksi) untuk menyelesaikannya dan oleh istrinya (istri Kamal) mengatakan kepada saya bahwa yang mengambil dan membakar kabel tersebut adalah Iful namun saya (saksi korban) mengatakan tidak mau tau siapa yang ambil itu, itu tanggung jawab Kamal hal itu dikatakan kepada saya (saksi korban) pada hari jum at tanggal 5 Juni Berdasarkan fakta tersebut maka Majielis Hakim berpendapat bahwa unsur ini tidak terbukti apa lagi penyidik tidak memeriksa 66 Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3212/Pid.B/2007/PN. Mdn,, hlm. 8

34 Kamal dan istrinya atau seseorang yang bernama iful tersebut dan dengan demikian maka unsur selanjutnya juga tidak perlu dipertimbangkan lagi. 2. Dakwaan kedua melanggar Pasal 480 ke 1e KUHP dengan unsur-unsur sebagai berikut: a. Karena sebagai sekongkol. b. Barang siapa membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan. Berdasarkan keterangan terdakwa bahwa ia ada menerima uang dari Andi (Daftar pencarian Orang) sejumlah Rp ,- (dua belas ribu rupiah) namun ia tidak mengetahui apakah uang itu hasil penjualan kabel curian atau tidak karena memang diantara mereka terbiasa saling memberi dan menerima uang. Dengan demikian maka unsur ini juga tidak terpenuhi apa lagi dari fakta lain juga ditemukan nama Iful yang disebut istri Kamal sabagai pelaku pencurian namun nama-nama tersebut tidak diperiksa pada tingkat penyidikan padahal untuk mencari kebenaran, seharusnya ketiga orang tersebut (Iful, Kamal dan Istrinya) harus didengar keterangannya.

35 Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka Majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum dalam dakwaan pertama dan kedua, karena itu terdakwa dibebaskan dari dakwaan. 3. Analisis Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim. a. Terhadap Keterangan Para Saksi. 1. Keterangan saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri Dari keterangan saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri dapat diketahui bahwa pada dasarnya ia tidak tahu siapa pelaku pencurian kabel listrik tersebut hanya saja ia diberitahu oleh pihak kepolisian bahwa terdakwa Kohiruddin telah mengaku sebagai pelakunya. Di dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkah bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Kemudian dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Maksudnya adalah bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah. 67 Dengan demikian, berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP maka keterangan saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menyatakan terdakwa sebagai pelaku tindak pidana 67 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm: 264.

36 sebab ia hanya diberitahu oleh pihak kepolisian bahwa terdakwa yang telah mengaku sebagai pelaku yang telah mengambil kabel listrik itu. 2. Keterangan Saksi R. Hasibuan (Verbalisan). Saksi R. Hasibuan merupakan penyidik pembantu yang juga ikut memeriksa terdakwa di kepolisian. Saksi menerangkan bahwa terdakwa (Kohiruddin) ada menandatangani Berita Acara Pemeriksaan di kepolisian dan itu dilakukan terdakwa (Kohiruddin) tanpa ada paksaan dari siapapun dan selama pemeriksaan tidak ada dipukul. Pada dasarnya keterangan yang disampaikan saksi R. Hasibuan ini tidak perlu di pertimbangkan oleh majelis hakim sebab keterangan yang disampaikan oleh saksi R. Hasibuan ini tidak bernilai pembuktian. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP). Selanjutnya Pasal 1 butir 27 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

37 Keterangan saksi yang memiliki nilai pembuktian adalah keterangan saksi mengenai peristiwa pidana yang dilihat sendiri, didengar sendiri dan dialami sendiri serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa keterangan yang disampaikan R. Hasibuan di persidangan sama sekali tidak mengandung nilai pembuktian karena keterangan itu ia berikan tidak berdasarkan atas apa yang ia lihat, ia dengar maupun ia alami sendiri bahkan seharusnya R. Hasibuan tidak dapat dijadikan sebagai seorang saksi karena ia tidak memenuhi kapasitas sebagai seorang saksi sebab ia tidak melihat, tidak mendengar dan tidak mengalami sendiri peristiwa pidana sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum. Dengan demikian maka hanya ada satu keterangan saksi yaitu keterangan saksi yang dikemukakan oleh saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri, bahwa perusahaan ada kehilangan kabel listrik namun ia tidak tahu siapa yang mencurinya. Meskipun keterangan yang disampaikan oleh saksi Ruarid Kurniawan alias Ruri ini pun pada dasarnya tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan tingkat

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Penuntut Umum Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, membedakan pengertian istilah antara Jaksa dan Penuntut Umum. Menurut ketentuan Bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id. P U T U S A N No. 6/PID.B/2014/PN.SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id. P U T U S A N No. 6/PID.B/2014/PN.SBG P U T U S A N No. 6/PID.B/2014/PN.SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan tingkat

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa alasan terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan eksepsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA. Welin Kusuma

HUKUM ACARA PIDANA. Welin Kusuma HUKUM ACARA PIDANA Welin Kusuma ST, SE, SSos, SH, SS, SAP, MT, MKn, RFP-I, CPBD, CPPM, CFP, Aff.WM, BKP http://peradi-sby.blogspot.com http://welinkusuma.wordpress.com/advokat/ Alur Penanganan Perkara

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO: 51 /PID.B/2014/PN-SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO: 51 /PID.B/2014/PN-SBG P U T U S A N NO: 51 /PID.B/2014/PN-SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang memeriksa dan mengadili perkara pidana biasa pada tingkat pertama telah menjatuhkan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 129/PID.B/2014/PN.SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 129/PID.B/2014/PN.SBG P U T U S A N NO. 129/PID.B/2014/PN.SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan tingkat

Lebih terperinci

Umur/tanggal lahir : 21 Tahun/24 Mei 1992;

Umur/tanggal lahir : 21 Tahun/24 Mei 1992; P U T U S A N Nomor : 540/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N Nomor 98/Pid.B/2014/PN-Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama menjatuhkan

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Wewenang Praperadilan 1. Pengertian Praperadilan Kehadiran Lembaga Praperadilan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia yang termuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa Setiap orang berhak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Nomor : 259 / PID / 2015 / PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : JAROT WIJAYANI Als. JAROT

Nomor : 259 / PID / 2015 / PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : JAROT WIJAYANI Als. JAROT P U T U S A N Nomor : 259 / PID / 2015 / PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang mengadili perkara-perkara Pidana pada peradilan tingkat banding telah menjatuhkan

Lebih terperinci

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN

STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN KEPANITERAAN PIDANA: STANDART OPERASIONAL KEPANITERAAN PELAKSANAAN TUGAS DAN ADMINISTRASI 1. Perkara Biasa: Meja Pertama: - Kepaniteraan pidana ada meja 1 (pertama) yang bertugas menerima pelimpahan berkas

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N. Nomor : 53/Pid.B/2014/PN-Sbg

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N. Nomor : 53/Pid.B/2014/PN-Sbg P U T U S A N Nomor : 53/Pid.B/2014/PN-Sbg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan

Lebih terperinci

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara A. Pengertian Penahanan Seorang terdakwa akan berusaha untuk menyulitkan pemeriksaan perkara dengan meniadakan kemungkinan akan dilanggar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Terdakwa yang

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO: 67 /PID.B/2014/PN-SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO: 67 /PID.B/2014/PN-SBG P U T U S A N NO: 67 /PID.B/2014/PN-SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang memeriksa dan mengadili perkara pidana biasa pada tingkat pertama telah menjatuhkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor : 283/Pid/2017/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang mengadili perkara pidana dalam Tingkat Banding, telah menjatuhkan putusan sebagai

Lebih terperinci

Nama Lengkap : HERMANSYAH Als. HERMAN Tempat Lahir : Selayang Umur / Tanggal : 38 tahun / 06 Nopember 1974

Nama Lengkap : HERMANSYAH Als. HERMAN Tempat Lahir : Selayang Umur / Tanggal : 38 tahun / 06 Nopember 1974 1 P U T U S A N Nomor : 117/PID.B/2013/PN.BJ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara Pidana dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 266/Pid.B/2015/PN. Bnj. Umur / Tanggal Lahir : 53 Tahun / 25 Februari 1962;

P U T U S A N Nomor : 266/Pid.B/2015/PN. Bnj. Umur / Tanggal Lahir : 53 Tahun / 25 Februari 1962; P U T U S A N Nomor : 266/Pid.B/2015/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang mengadili perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah jaksa adalah istilah Indonesia asli (Hindu-Jawa) yang telah dikenal sejak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah jaksa adalah istilah Indonesia asli (Hindu-Jawa) yang telah dikenal sejak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jaksa Istilah jaksa adalah istilah Indonesia asli (Hindu-Jawa) yang telah dikenal sejak zaman Majapahit sebagai nama pejabat Negara yang melaksanakan peradilan, kemudian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N NOMOR : 922/PID/2017/PT. MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara pidana pada pengadilan tingkat banding

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 223/Pid.B/2014/PN.BKN

P U T U S A N Nomor : 223/Pid.B/2014/PN.BKN P U T U S A N Nomor : 223/Pid.B/2014/PN.BKN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Bangkinang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008). DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008). Anwar, Yesmil dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep,

Lebih terperinci

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N No. 53 / Pid.B / 2013 / PN. UNH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada peradilan tingkat pertama dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR : 168 /PID/2012/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ------ PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA DI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N No : 590/PID/2016/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada peradilan tingkat banding dengan acara

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 255/Pid.B/2015/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 255/Pid.B/2015/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 255/Pid.B/2015/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 1 TAHUN 1950 (1/1950) Tentang SUSUNAN, KEKUASAAN DAN JALAN-PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SERIKAT Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal-pasal

Lebih terperinci