OPTIMASI FUNGSI EKOLOGI-EKONOMI DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERBASIS IKAN TARGET

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMASI FUNGSI EKOLOGI-EKONOMI DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERBASIS IKAN TARGET"

Transkripsi

1 OPTIMASI FUNGSI EKOLOGI-EKONOMI DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERBASIS IKAN TARGET (Kasus Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara) UNSTAIN NEGINSER WELLY JOHNLY REMBET SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i

2 ii

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Optimasi Fungsi Ekologi- Ekonomi dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Ikan Target (Kasus Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara) adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juni 2012 Unstain NWJ Rembet NIM C iii

4 iv

5 ABSTRACT UNSTAIN NWJ REMBET. Optimization of Ecological-Economic Functions in Target Fishes-Based Coral Reef Management (Case of Hogow Island and Putus- Putus Island, North Sulawesi). Under direction of MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH G BENGEN and ACHMAD FAHRUDIN. This study provides a framework to optimize the ecological-economic roles of the coral reefs. In general, it was aimed at developing the management optimization design in order to raise the ecological and economic functions of the coral reefs which oriented in utilization sustainability of the coral reef resources in Hogow and Putus-Putus Islands. The specific objectives were (1) to determine the spawning ground, the nursery ground and the feeding ground in the coral reefs and evaluate the relationship between the occurrence of target fish and the coral reef building benthic organisms in space and time; (2) to optimize the ecologicaleconomic roles in spawning ground, nursery ground, and feeding ground in the target fish-based coral reef management; (3) to evaluate the benefits of coral reef ecosystem to the economy, social and culture of adjacent communities. Based on the target fish distribution pattern data of 2002 to 2011, Hogow Island was determined as spawning ground, Putus-Putus Island (Station 1 and 2) as nursery ground and Putus-Putus Island (Station 4, 5 and 6) as feeding ground. The optimization of ecological and economic functions of the coral reefs was reached at the live coral cover of ha, the target fish stock of 165 tons/yr, the target fish production of tons/yr, and the fishing efforts of 200 trips/yr. The success of the sustainable coral reef management in Hogow Island and Putus- Putus Island could result from the community and government s participation, and therefore, the governmental policies should integrate the ecological, economic, social, institutional, and technological aspects. Keywords : optimize, ecology, economic, coral reefs, target fish v

6 vi

7 RINGKASAN UNSTAIN NWJ REMBET. Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Ikan Target (Kasus Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara). Di bawah bimbingan: MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH G BENGEN dan ACHMAD FAHRUDIN. Sumberdaya alam khususnya terumbu karang, dalam hal ini pemanfaatan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus umumnya dilakukan oleh masyarakat Desa Basaan, yang sumberdaya manusianya terbatas baik segi kualitas maupun kuantitas. Status keberlanjutan ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dipahami sebagai suatu permasalahan yang layak dikaji dalam kerangka pengembangan dan pelestarian ekosistem terumbu karang, mengingat hasil pengamatan yang dilakukan dari tahun telah terjadi penurunan tutupan karang 5-20% dan produksi ikan target dari 65,45 ton pada tahun 2002 menjadi hanya 38,83 ton pada tahun Penelitian ini menyajikan kerangka kerja untuk mengoptimalkan fungsi ekologi-ekonomi terumbu karang. Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun desain optimasi pengelolaan untuk meningkatkan kondisi ekologi dan ekonomi terumbu karang yang berorientasi pada keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) Menentukan wilayah pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) pada kawasan terumbu karang, serta mengevaluasi hubungan keberadaan ikan target dengan organisme bentik penyusun terumbu karang secara spasial dan temporal; (2) Mengoptimasi fungsi ekologi-ekonomi dalam pengelolaan terumbu karang berbasis ikan target; (3) Mengevaluasi manfaat ekosistem terumbu karang terhadap ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sekitar. Penelitian ini dilakukan pada ekosistem terumbu karang yang terdapat di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, Kabupaten Minahasa Tenggara Provinsi Sulawesi Utara. Letak posisi geografis Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus adalah antara 0º º53 00 LU dan 124º º26 30 BT. Pengambilan data kondisi terumbu karang dan ikan target dilakukan sejak tahun 2002 hingga 2011 (satu kali setahun) pada lokasi tetap (permanent transect) dengan ukuran transek 50 meter pada kedalaman 3 dan 10 meter. Teknik yang digunakan dalam pengambilan data adalah Line Intercept Transect (LIT) untuk organisme bentik penyusun terumbu karang dan sensus visual untuk kelimpahan ikan target, dengan 3 ulangan pada setiap kedalaman di 6 stasiun pengamatan. Untuk data sosialekonomi masyarakat dilakukan di Desa Basaan. Hasil analisis menunjukan pola-pola sebaran yang diperoleh: lokasi Stasiun 3 yang didominasi ikan target dewasa yang merupakan lokasi pemijahan, lokasi Stasiun 1 dan 2 yang didominasi ikan target belum dewasa yang merupakan lokasi pembesaran, dan lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 yang memiliki jumlah ikan dewasa dan belum dewasa tidak berbeda nyata merupakan lokasi mencari makan. Untuk daerah pemijahan Stasiun 3, secara temporal diketahui waktu pemijahan terjadi pada bulan Pebruari hingga April khususnya jenis Caesio cuning, Scarus vii

8 viii dimidiatus dan Siganus puellus dan bulan September hingga Oktober khususnya jenis Epinephelus coioides. Hasil optimasi fungsi ekologi, tutupan karang hidup optimal sebesar 66,82 ha. Untuk lokasi pemijahan, komponen bentik karang hidup dengan bentuk pertumbuhan seperti daun (CF-coral foliose) genus Echinopora memberikan kontribusi terbesar diikuti soft coral dan algae. Lokasi pembesaran kontribusi terbesar juga diberikan oleh komponen bentik karang hidup tetapi berbeda dengan lokasi pemijahan, pada lokasi ini bentuk pertumbuhan karang hidup adalah bercabang (CB-coral branching dan ACB-Acropora branching) genus Anacropora, Porites dan Acropora, diikuti kontribusi selanjutnya oleh soft coral dan algae. Untuk lokasi makan, kontribusi terbesar diberikan oleh komponen biotik algae diikuti karang hidup dan soft coral. Optimasi ekonomi menunjukkan bahwa luas tutupan karang hidup di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus (52,48ha) dengan upaya penangkapan (effort) optimal sebesar 200 trip, produksi optimal ikan target sebesar 66,36 ton per tahun dan keuntungan optimal yang diterima nelayan dari kegiatan perikanan terumbu karang sebesar Rp Marjinal produktivitas luas terumbu karang (MP T ) adalah 0,50 ton per hektar, artinya perubahan setiap satu satuan luas tutupan karang hidup pada ekosistem terumbu karang (per 1 hektar) akan berdampak pada produksi ikan target sebesar 0,50 ton. Dampak dari degradasi luasan tutupan karang hidup yang rata-rata 3,93% per tahun atau 16,5 hektar per tahun akan mengurangi produksi ikan target sebesar 8,75 ton per tahun. Sedangkan marjinal produktivitas upaya penangkapan (MP E ) adalah 0,40 ton per trip, artinya perubahan setiap satu satuan upaya penangkapan (effort) akan berdampak pada perubahan produksi ikan target sebesar 0,40 ton. Keberlanjutan fungsi ekologi-ekonomi terumbu karang sebagai wilayah pemijahan, pembesaran dan makan yang menjadi habitat ikan target, memerlukan suatu bentuk pengelolaan secara spasial dan temporal terhadap kegiatan penangkapan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, termasuk pembentukan zonasi. Implikasi hasil penelitian ini dapat dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah dan pihak terkait lainnya yang terintegrasi sehingga program kegiatan dapat dilaksanakan secara terpadu, sehingga program pengelolaan yang disusun tidak hanya memperbaiki satu aspek pengelolaan tetapi bersifat lebih terpadu untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan yang ada. Kata kunci : optimasi, ekologi, ekonomi, terumbu karang, ikan target

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. ix

10 x

11 OPTIMASI FUNGSI EKOLOGI-EKONOMI DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG BERBASIS IKAN TARGET (Kasus Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara) UNSTAIN NEGINSER WELLY JOHNLY REMBET Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 xi

12 xii Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Suharsono (Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI) 2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Alex S.W. Retraubun, MSc (Wakil Menteri Perindustrian) 2. Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr (Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan)

13 Judul Disertasi Nama NRP Program Studi : Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Ikan Target (Kasus Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara) : Unstain Neginser Welly Johnly Rembet : C : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 23 Mei 2012 Tanggal Lulus: xiii

14 xiv

15 PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan rahmatnya sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul: Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Ikan Target (Kasus Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara) dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di Program Studi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penyusunan karya ilmiah ini telah melibatkan banyak pihak terkait, dan tanpa bantuan mereka penyusunannya mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Komisi pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA (Ketua), Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA. (Anggota), dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. (Anggota) atas segala bimbingan dan arahan; 2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB Bogor dan staf administrasinya; 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa yang diberikan; 4. Pimpinan Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan ijin dan rekomendasi tugas belajar; 5. Istri saya Cisca dan anak Axl dan Aurellia serta orang tua tercinta atas segala doa, dukungan dan kesabaran selama proses penyelesaian program doktor; 6. Staf dosen dan teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor; 7. Staf dosen Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Unsrat; 8. Otty, Djonlie (alm), Ari dan Angky dalam pengumpulan data lapangan. Sebagai suatu hasil dari proses belajar, penulis menyadari karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam upaya pengelolaan terumbu karang di Indonesia. Bogor, Juni 2012 Unstain NWJ Rembet xv

16 xvi

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kawangkoan-Minahasa pada tanggal 23 April 1970, dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Johannes Rembet (alm) dan Marie Sondakh. Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Manado. Selanjutnya, pendidikan S1 diselesaikan pada Tahun 1993 di Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi Manado. Tahun 2000 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS Dikti dan lulus tahun Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS Dikti dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf dosen mulai tahun 1994 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi. Bidang yang ditekuni adalah ekologi-ekonomi pesisir, dan kajian selama ini difokuskan pada aspek ekologiekonomi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, khususnya terumbu karang. Dua karya ilmiah yang terkait dengan disertasi ini telah dipublikasikan. Pertama, Struktur Komunitas Ikan Target di Terumbu Karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara. Kedua, Status Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Sulawesi Utara. Kedua artikel ini dipublikasikan di Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi. xvii

18 xviii

19 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xxi xxiii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Identifikasi dan Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan TINJAUAN PUSTAKA Pulau Kecil Sistem Pesisir (Coastal System) Ekosistem Terumbu Karang Komunitas Karang Karang Sebagai Ruang Karang Sebagai Tempat Perlindungan Karang Sebagai Sumber Pakan Komunitas Ikan Karang Aspek Reproduksi Ikan Karang Cara Makan Ikan Karang Interaksi Ikan Karang dan Terumbu karang Daya Dukung Terumbu Karang Pendekatan Ekologi-Ekonomi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Terumbu Karang Data Sosial, Ekonomi, dan kelembagaan Analisis Data Ekologi Terumbu Karang Penentuan Wilayah Pemijahan, Pembesaran dan Mencari Makan Analisis Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang Analisis Sosial Sumberdaya Terumbu Karang Analisis Model Optimasi Analisis Keberlanjutan Pemanfaatan Terumbu Karang HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Sosial-Ekologi Desa Basaan xxv xix

20 xx Sistem Sumberdaya Kondisi Sosial Masyarakat dan Infrastruktur Ekologi Terumbu Karang Oseanografi Komponen Bentik Penyusun Terumbu Karang Kondisi Ikan Target Penentuan Wilayah Pemijahan, Pembesaran dan Mencari Makan Secara Spasial Dan Temporal Penentuan Secara Spasial Penentuan Secara Temporal Nilai Ekonomi Terumbu Karang Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang Optimasi Fungsi Ekologi Terumbu Karang Sebagai Habitat Ikan Target Optimasi Ekonomi Pengelolaan Ikan Target Optimasi Keterkaitan Terumbu Karang dan Produksi Ikan Target Status Keberlanjutan Deskripsi Dimensi Dan Atribut Status Keberlanjutan IMPLIKASI KEBIJAKAN Manajemen Perikanan (Fisheries Management) Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management- ICM) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

21 DAFTAR TABEL Halaman 1 Definisi pulau dan pulau-pulau kecil Nilai ekonomi ekosistem pesisir dan lautan Parameter lingkungan perairan yang diamati dan metode ukur Tingkat kematangan gonad menurut Nikolsky Jenis data sosial, ekonomi dan kelembagaan Komponen bentik terumbu karang Dimensi dan atribut ekologi untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang Dimensi dan atribut ekonomi untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang Dimensi dan atribut sosial untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang Dimensi dan atribut kelembagaan untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang Dimensi dan atribut teknologi untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang Pengukuran parameter fisik-kimia perairan Kategori penentuan kondisi terumbu karang Laju degradasi terumbu karang Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun Indeks keanekaragaman (H ) ikan target Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 3 kedalaman 3 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 3 kedalaman 10 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 1 kedalaman 3 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 1 kedalaman 10 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 2 kedalaman 3 meter xxi

22 xxii 27 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 2 kedalaman 10 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 4 kedalaman 3 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 4 kedalaman 10 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 5 kedalaman 3 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 5 kedalaman 10 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 6 kedalaman 3 meter Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 6 kedalaman 10 meter Model hubungan komponen bentik penyusun terumbu karang dengan kehadiran ikan target pada setiap wilayah Hasil estimasi bioekonomi sumberdaya ikan target di wilayah terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Analisis regresi produksi ikan target, effort dan luas terumbu karang Nilai stress dan koefisien determinasi dalam proses ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menurut dimensinya

23 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pikir penelitian Tahapan penelitian optimasi pengelolaan terumbu karang berbasis ikan target Keterkaitan fungsi ekologis ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun (Bengen 2000) Wilayah pesisir dan sistem sumber daya pesisir (Thia-Eng 2006) Kerangka keterpaduan dan keberlanjutan pulau-pulau kecil (Debance 1999 in Adrianto 2004) Peta lokasi penelitian Pengambilan data terumbu karang dengan teknik LIT Pengambilan data ikan karang dengan teknik sensus visual (English et al. 1994) Diagram penentuan spasial wilayah pemijahan, pembesaran dan makan Peta administrasi Desa Basaan Perubahan persentase tutupan karang tahun Luasan tutupan karang hidup dan komponen biotik Proyeksi dari stasiun dan komponen bentik dalam bidang dua dimensi (sumbu 1 dan sumbu 2) dengan menggunakan PCA Perubahan jumlah spesies ikan target tahun Perubahan jumlah Individu ikan target tahun Penurunan biomassa ikan target tahun 2002 hingga Stok, potensial tangkapan dan MSY opt ikan target tahun Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 3 tahun Peta lokasi Stasiun 3 (Pulau Hogow) sebagai lokasi pemijahan Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 1 dan 2 tahun Peta lokasi Stasiun 1 dan 2 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi pembesaran Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 4, 5 dan 6 tahun Peta lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi mencari makan Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 3 mengikuti bulan pengamatan TKG ikan Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus dan Siganus puellus dalam satu tahun pengamatan xxiii

24 xxiv 26 Persentase kontribusi setiap wilayah terhadap produksi ikan target Kontribusi produksi ikan target pada setiap wilayah Optimal tutupan karang hidup (Tt), optimal produksi ikan target (Qt), optimal pendapatan (Rt) dan optimal upaya penangkapan (Et) Model optimal coral covered area (Tt) Model optimal production of target fish (Qt) Model optimal revenues (Rt) Model optimal effort (Et) Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi ekologi Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi ekonomi Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi sosial Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi kelembagaan Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi teknologi Kepekaan atribut dimensi ekologi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Kepekaan atribut dimensi ekonomi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Kepekaan atribut dimensi sosial (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Kepekaan atribut dimensi kelembagaan (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Kepekaan atribut dimensi teknologi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Peningkatan produksi ikan target mengikuti peningkatan tutupan karang hidup Kegiatan penangkapan dialihkan ke Pulau Putus-Putus pada bulan Pebruari-April dan Oktober-Nopember saat terjadi pemijahan ikan target di Pulau Hogow Tutupan karang hidup jika ada transplantasi karang pada 2% wilayah terumbu karang yang kosong per tahun Usulan penentuan zonasi di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kondisi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun Kondisi ikan target Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun Produksi, effort, biaya, harga dan CPUE perikanan ikan target di Desa Basaan hasil tangkapan dari Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Analisis stok ikan target berdasarkan jumlah individu Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Kontribusi (%) dari stasiun (a) dan komponen bentik penyusun terumbu karang (b) pada kedalaman 3 meter Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Kontribusi (%) dari stasiun (a) dan komponen bentik penyusun terumbu karang (b) pada kedalaman 10 meter Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Length at first maturity dan max length ikan target Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Estimasi nilai a dan b untuk analisis biomassa (W = al b ) ikan target Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Produksi, effort, biaya dan harga ikan target serta luasan karang hidup di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun Jumlah individu berdasarkan tingkat kematangan gonad ikan target jenis Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus, dan Siganus puellus di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Kontribusi produksi ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus tahun Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus serta pantai Desa Basaan xxv

26 xxvi

27 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut, peran terumbu karang yang lebih menonjol adalah dalam kaitannya dengan fungsi ekologi seperti fungsi fisik terumbu karang sebagai penahan gelombang dan pelindung pantai dari hantaman gelombang dan gerusan air laut (Suharsono 2007). Menurut Fauzi (2004) fungsi ekonomi suatu ekosistem dilihat dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem tersebut. Nilai ekonomi terumbu karang merupakan nilai total dari kegunaan terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung. Nilai total dari terumbu karang sangat bervariasi tergantung dari lokasi, kemudahan dan beberapa faktor lainnya. Sampai saat ini metoda perhitungan nilai ekonomi masih beragam. Salah satu nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang yang menonjol adalah nilai manfaat langsung perikanan terumbu berupa hasil tangkapan ikan target (ikan ekonomis penting). Hasil penelitian LIPI menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia pada akhir tahun 2007 yang datanya diambil dari 77 daerah dan 908 lokasi adalah 5,51% dalam kondisi sangat baik, 25,11% dalam kondisi baik, 37,33% dalam kondisi sedang dan 32,05% dalam kondisi buruk. Lebih lanjut dikatakan bahwa terumbu karang yang berada di Kawasan Barat Indonesia pada tahun 1995 lebih buruk jika dibandingkan dengan karang yang ada di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia, namun pada hasil evaluasi terakhir kategori terumbu karang yang buruk meningkat di Kawasan Timur Indonesia dan di Kawasan Barat Indonesia menjadi lebih baik (Suharsono 2007). Keberadaan ikan karang termasuk di dalamnya ikan target dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas karang sebagai habitatnya (Dartnall & Jones 1986; Choat & Bellwood 1991; Kuiter 1992; La Mesa et al. 2004; Gratwicke et al. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa penurunan fungsi ekologi terumbu karang juga akan menurunkan fungsi ekonomi terumbu karang khususnya nilai manfaat langsung perikanan terumbu. 1

28 2 Untuk mengatasi penurunan fungsi ekologi terumbu karang diperlukan kajian yang dapat menjelaskan dan menganalisis kondisi fungsi ekologi-ekonomi dan pengambilan keputusan dalam kebijakan pengelolaan pesisir khususnya terumbu karang yang bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas ekologi dan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, Jentoft et al. (2007), Chuenpagdee dan Jentoft (2009), Kooiman et al. (2008) dan Chuenpagdee et al. (2008) menyatakan perlunya melihat keberlanjutan pengelolaan dari segi sistem pengelolaan, sistem yang dikelola dan pengelolaan interaktif. Dalam sistem ini, sistem pengelolaan dipandang sebagai subyek tatakelola dimana instrumen manajemen dihasilkan, sistem yang dikelola sebagai obyek tatakelola dimana sistem sosial-ekologis harus dikelola dalam mencapai tujuan manajemen, dan pengelolaan interaktif sebagai proses interaksi antara sistem pengelolaan dan sistem yang dikelola. Semakin menipisnya sumberdaya alam khususnya terumbu karang dan menurunnya kemampuan terumbu karang dalam menyediakan jasa-jasa lingkungan bagi keperluan pembangunan dan kehidupan manusia, mendorong semua bangsa di dunia untuk menerapkan paradigma pembangunan baru, yaitu pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan dengan konsep pengelolaan ekosistem sumberdaya alam secara berkelanjutan mengacu pada upaya pemanfaatan ekosistim sumberdaya alam secara optimal dan diimbangi dengan tindakan konservasi secara berkelanjutan. Pengelolaan yang dimaksud menghindari pemanfaatan yang eksploitatif dan melampaui ambang batas daya dukung ekosistem sumberdaya tersebut. Sebaliknya menjaga kelestarian ekosistem tersebut merupakan nilai tambah tersendiri bagi penduduk setempat secara khusus dan masyarakat luas secara umum. Integrated coastal management-icm merupakan metode pengelolaan yang banyak digunakan untuk melindungi dan mengelola sumberdaya pesisir. Menurut Schwartz (2005) definisi ICM bisa dikatakan sebagai suatu proses terintegrasi yang mengelola semua bidang kegiatan wilayah pesisir yang terjadi sepanjang bentangan garis pantai, secara holistik, sehingga meminimalisasi dampak yang dapat merugikan pesisir itu sendiri. Hasil ICM dapat menjadi rencana pengelolaan yang mengidentifikasi masalah pesisir dan menguraikan solusi untuk setiap

29 3 pemanfaatan wilayah pesisir. Salah satu ekosistem yang ada di pesisir dan memegang peranan penting dalam ICM adalah terumbu karang. Terumbu karang sebagai lahan milik bersama, oleh karena itu sumberdaya yang terkandung di dalamnya tidak dapat dimiliki secara pribadi. Dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama tersebut, semua berhak memanfaatkan segala potensinya dan karenanya persaingan antar pelaku, baik nelayan maupun pengusaha, sangat ketat dan sulit dikendalikan. Setiap pelaku cenderung berupaya memaksimumkan kepentingannya sendiri dengan cara menggunakan alat yang memaksimalkan hasilnya seperti dengan menggunakan trawl, purse seine dan bahkan memakai bahan kimia dan peledak tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan dan daya dukungnya. Sumberdaya alam khususnya terumbu karang, dalam hal ini pemanfaatan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus umumnya dilakukan oleh masyarakat Desa Basaan, dimana sumberdaya manusia yang ada terbatas dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Penduduk Desa Basaan umumnya bekerja sebagai nelayan dan petani, selain ada pekerjaan-pekerjaan lainnya yang mereka lakukan, dengan tingkat pendidikan umumnya hanya sampai pada sekolah dasar sampai sekolah menengah. Keberlangsungan hidup penduduk ini tidak terlepas dari pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia, namun demikian pemanfaatan yang tidak sesuai akan memberikan dampak negatif terhadap penduduk setempat, seperti pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan dan penangkapan ikan di daerah terumbu karang dengan cara merusak ekosistem terumbu karang. Kegiatan-kegiatan inilah yang membawa kondisi sumberdaya alam pesisir gugus Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus mengalami penurunan kualitas yang berdampak negatif terhadap kondisi fisik pulau dan penduduk setempat. Berdasarkan uraian di atas, status keberlanjutan ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dipahami sebagai suatu permasalahan yang layak dikaji dalam kerangka pengembangan dan pelestarian ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan dari tahun telah terjadi penurunan tutupan karang 5-20% dan produksi ikan target dari 65,45 ton pada tahun 2002 menjadi hanya 38,83 ton pada tahun Dalam konteks pengelolaan terumbu karang, belum ada penelitian yang

30 4 memperhatikan fungsi ekologis suatu kawasan terumbu karang secara spasial dan temporal (wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan), sehingga penelitian ini ingin menentukan wilayah-wilayah tersebut sebagai dasar dalam pengelolaan terumbu karang. Suatu upaya penelitian yang komprehensif dan terintegrasi diarahkan untuk peningkatan fungsi ekologi-ekonomi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus untuk memperoleh suatu arahan pengembangan menjadi penting untuk dilakukan. Integrasi berbagai aspek dan kondisi yang ada saat ini dapat menjadi bagian bagi pengembangan konsep pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. 1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah Ekosistem terumbu karang merupakan mata rantai utama yang berperan sebagai produsen dalam jaring makanan ekosistem pantai. Selain itu ekosistem terumbu karang yang memiliki produktivitas tinggi menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan laut dan menyediakan tempat memijah, berkembang biak, dan membesarkan anak bagi beberapa jenis ikan, kerang, kepiting dan udang, sehingga secara tidak langsung kehidupan manusia tergantung pada keberadaan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang juga memiliki fungsi fisik bagi pantai yaitu sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan penahan abrasi. Ancaman terhadap usaha perikanan laut, khususnya keberadaan ikan target, menjadi semakin besar karena degradasi terumbu karang yang menyebabkan penurunan stok ikan dan adanya konflik sosial di antara pengguna (nelayan) sumberdaya ikan. Persoalan nyata dalam perikanan tangkap adalah persaingan antar nelayan di daerah penangkapan ikan, karena sumberdaya dan daerah operasinya menjadi terbatas, sementara jumlah unit penangkapan ikan yang beroperasi semakin meningkat. Perikanan ikan karang hidup untuk konsumsi (life reef food fish-lrff) memberikan kehidupan bagi banyak nelayan pantai. Di daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit alternatif mata pencaharian, perdagangan LRFF bisa menjadi sumber pendapatan utama bahkan dapat dijadikan komoditi eksport. Ikan karang hidup untuk konsumsi mempunyai nilai jual yang tinggi, dengan volume yang

31 5 rendah, untuk itu perikanan tersebut sangat berharga dan dapat menjadi nilai tambah bagi perikanan karang di suatu daerah jika dikelola secara bertanggung jawab. Namun demikian, perikanan ini identik dengan praktek penangkapan ikan yang merusak dan penangkapan ikan secara berlebihan, dimana tidak hanya merusak lingkungan laut namun juga ekonomi dan jaringan sosial komunitas nelayan pantai yang bergantung pada sumberdaya ekosistem terumbu karang. Dampak negatif dalam jangka yang lebih panjang dari perikanan LRFF yang tidak dikelola dengan baik, dapat mengancam ketersediaan potensi ikan dan juga komunitas nelayan tradisional yang memanfaatkan perikanan tersebut, dimana kondisi ini telah dirasakan di banyak negara di dunia. Pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab menjadi kebutuhan untuk menjamin pemanfaatan sumber daya kelautan yang berkelanjutan dan perlindungan terumbu karang untuk kepentingan generasi yang akan datang. Pada saat ini aktivitas dan jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya terumbu karang semakin hari semakin meningkat, sedangkan sumberdaya terumbu karang tetap atau cenderung berkurang. Di sisi lain pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang ada saat ini kurang ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Kondisi ini akhirnya akan menurunkan daya dukung sumberdaya terumbu karang. Oleh karenanya, dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir terpadu, maka optimasi fungsi ekologi-ekonomi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berbasis ikan target memunculkan permasalahan yang dapat diajukan sebagai berikut: 1. Bagaimana menentukan wilayah pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan target pada kawasan terumbu karang? 2. Bagaimana meningkatkan kondisi ekologi terumbu karang sebagai tempat pemijahan, tempat pembesaran dan tempat mencari makan bagi ikan target? 3. Bagaimana potensi ikan target pada sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara optimal? Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu penelitian yang sistematis, rasional dan obyektif terhadap semua faktor yang mempengaruhi optimasi fungsi ekologi-ekonomi agar sesuai untuk kepentingan pengelolaan terumbu karang berkelanjutan. Alur pemikiran dan tahapan penelitian ini disajikan dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

32 6 Kondisi existing Ekosistem Terumbu Karang Organisme Bentik Penyusun Terumbu Karang - Degradasi Terumbu Karang - Penurunan Fungsi Ekologi Keberadaan Ikan Target - Pemanfaatan oleh nelayan - Penurunan tingkat pendapatan Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi Feedback Analisis Kebutuhan Identifikasi Optimasi Formulasi Optimasi Penentuan Optimasi Validasi Partisipasi Masyarakat Kajian Pemanfaatan Ekosistem Terumbu Karang yang optimum Desain Optimasi Pengelolaan Terumbu Karang Yang Terpadu Berkelanjutan Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

33 7 Kajian Teoritis Ekosistem 1. Faktor Biofisik dan Ekonomi 2. Optimasi Konsep Hubungan Organisme Bentik Penyusun Terumbu Karang Dengan Ikan Target Konsep Optimasi Tahap 1 Observasi (data) Lapang Kajian Pustaka Analisis Data Ekologi Ekonomi Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Target Spasial Temporal Tahap 2 Optimasi Ekologi-Ekonomi Tahap 3 Kesimpulan dan Rekomendasi Terhadap Desain Optimasi Pengelolaan Terumbu Karang Terpadu Berkelanjutan Gambar 2 Tahapan penelitian optimasi pengelolaan terumbu karang berbasis ikan target

34 8 1.3 Tujuan Penelitian Dari uraian di atas maka tujuan penelitian ini secara umum adalah membangun desain optimasi pengelolaan untuk meningkatkan kondisi ekologi dan ekonomi terumbu karang yang berorientasi pada keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, sedangkan tujuan khususnya adalah : 1. Menentukan wilayah pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) pada kawasan terumbu karang, serta mengevaluasi hubungan keberadaan ikan target dengan organisme bentik penyusun terumbu karang secara spasial dan temporal. 2. Mengoptimasi fungsi ekologi-ekonomi pada wilayah pemijahan, tempat pembesaran dan tempat mencari makan dalam pengelolaan terumbu karang berbasis ikan target. 3. Mengevaluasi manfaat ekosistem terumbu karang terhadap ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sekitar. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Pemanfaatan kawasan dan potensi ekosistem terumbu karang yang optimal dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. 2. Adanya desain optimasi pemanfaatan ekosistem terumbu karang dapat menjadi masukan dalam menyusun perencanaan pembangunan kawasan pesisir dan lautan umumnya dan khususnya di Kabupaten Minahasa Tenggara. 3. Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan pada wilayah pesisir lain yang memiliki terumbu karang. 1.5 Kebaruan Kebaruan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Penentuan wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan berdasarkan sebaran ukuran panjang ikan target. 2. Hubungan komponen penyusun terumbu karang dengan kehadiran ikan target. 3. Optimasi fungsi ekologi-ekonomi terumbu karang berbasis ikan target.

35 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau Kecil Menurut Beller et al. (1990) pulau kecil dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas km 2 atau kurang dan mempunyai penduduk atau kurang. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari km 2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 km 2 dan lebar tidak lebih dari 3 km (UNESCO 1991). Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau- Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Pada Masyarakat menyebutkan bahwa definisi pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya kurang dari km 2 dengan jumlah penduduk kurang dari jiwa. Kepmen KP No. 41 Tahun 2000 juga menyebut bahwa untuk pulau dengan ukuran kurang dari km 2 terdapat pedoman khusus yang menyangkut kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ukuran pulau tersebut. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya kelautan, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran kurang dari km 2 pada peraturan perundangan terbaru yaitu UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang pulau-pulau kecil selain bahwa luas lahan dan populasi menjadi indikator utama bagi definisi tersebut (Adrianto 2006). Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus merupakan gugus pulau di Kabupaten Minahasa Tenggara. Pulau-pulau ini berukuran kecil dan tidak berpenduduk, tetapi merupakan kawasan yang menunjang kehidupan masyarakat di daratan utama, khususnya masyarakat Desa Basaan karena jarak pulau-pulau tersebut cukup dekat atau tidak lebih dari 2 mil. Masyarakat Desa Basaan yang berprofesi 9

36 10 sebagai nelayan, umumnya menjadikan ekosistem terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai lokasi penangkapan ikan karang. Sehubungan dengan keberadaan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai pulau kecil, ada beragam definisi tentang pulau yang sudah digunakan, namun dalam penelitian ini pulau didefinisikan sebagaimana yang telah dituangkan dalam UNCLOS (1982, Bab VIII Pasal 121 Ayat 1) yaitu: Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas air pasang. Banyaknya pulau-pulau yang berukuran lebih kecil dari 100 km 2 dengan lebar kurang dari 3 km, menjadikan golongan pulau ini sebagai pulau sangat kecil (Bengen 2002 a ). Secara ringkas definisi pulau kecil dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Definisi pulau dan pulau-pulau kecil No Definisi Acuan 1. Pulau dengan luas area maksimum km 2 CSC, 1984 in Bengen dan Retraubun (2006) 2. Pulau dengan luas km 2 atau kurang dan mempunyai penduduk atau kurang Beller et al. (1990) 3. Suatu wilayah dimana wilayah tersebut Fakland (1991) memiliki luas tidak lebih dari km 2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km 4. Pulau-pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari km 2 atau pulau yang memiliki UNESCO, 1991 lebar kurang dari 10 km 5. Pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut. Pemahaman tersebut menyimpulkan bahwa seluruh daratan (termasuk kontinen/benua) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari darat dan laut. Untuk pulau kecil sendiri memiliki luas >1.000 km 2 6. Pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan km 2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan orang 7. Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang 8. Pulau dengan ukuran kurang dari km 2 atau lebarnya kurang dari 10 km 9. Pulau berukuran lebih kecil atau sama dengan km 2 beserta kesatuan ekosistemnya Nunn (1994) in Adrianto (2006) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No 41 Tahun 2000 Bengen dan Retraubun (2006) Diaz dan Huertas (1986) in Bengen dan Retraubun (2006) UU No 27 Tahun 2007

37 11 Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Bengen 2002 b ) : Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen, masuk ke laut Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utama (pulau besar atau benua) Tidak mempunyai daratan (hintarland) yang jauh dari pantai Pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus memenuhi kriteria pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dahuri et al. (2001) mengemukakan bahwa kriteria-kriteria pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan dapat dikelompokkan ke dalam 4 aspek yaitu ekologis, sosialekonomi, sosial-politik dan hukum-kelembagaan. Untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km 2 pemerintah hanya mengijinkan bagi peruntukkan konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan. Beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang dapat menjadi kendala dalam pembangunan adalah : Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan sarana dan prasarana menjadi mahal, sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Apabila terjadi pertambahan penduduk secara drastis, maka diperlukan barang dan jasa serta pasar yang jauh dari pulau tersebut. Kesukaran mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil (Hein 1990).

38 12 Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti sumber air tawar, vegetasi tanah, ekosistem pesisir, dan satwa liar pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan semua kegiatan pembangunannya. Produktivitas sumberdaya alam dan jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap lokasi di dalam pulau maupun yang ada di sekitar pulau saling terkait secara erat satu dengan yang lainnya (Bengen 2003 a ). Misalnya penebangan hutan dan lahan darat secara tidak terkendali akan meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi di perairan pesisir, kemudian mematikan/merusak ekosistem terumbu karang, yang akhirnya menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari. Oleh karena itu keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau kehutanan di lahan darat suatu pulau tidak lepas dari pengelolaan menurut prinsip-prinsip ekologis. Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Misalnya pariwisata yang dianggap sebagai penolong dalam pembangunan pulau-pulau kecil, tetapi dibeberapa pulau kecil akan menolak budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) karena dianggap tidak sesuai dengan adat atau norma setempat (Bengen 2003 b ). 2.2 Sistem Pesisir (Coastal System) Dalam keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir terdapat tiga aspek penting yaitu ekologi, ekonomi dan sosial, dimana ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lainnya, dan membentuk suatu sistem. Aspek ekologi, ekonomi dan sosial menjadi tiang utama yang menentukan keberhasilan pembangunan di wilayah pesisir, dan dalam proses pembangunan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dan sangat diperlukan suatu keseimbangan (Adrianto 2004). Menurut Bengen (2000) terdapat beberapa ekosistem di wilayah pesisir, diantaranya adalah ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun. Ketiga ekosistem ini masing-masing memiliki sistem ekologi, tetapi dalam konteks wilayah pesisir ketiganya merupakan kesatuan dalam sistem ekologi pesisir. Dimana dalam sistem pesisir, jika salah satu dari ekosistem tersebut mengalami gangguan, secara otomatis akan turut mempengaruhi kondisi ekologis

39 ekosistem yang lain. Keterkaitan antar ekosistem dapat terjadi dalam bentuk keterkaitan fungsi ekologis antar ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun. 13 Gambar 3 Keterkaitan fungsi ekologis ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun (Bengen 2000). Ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun dalam fungsi biologinya merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna, baik sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground) dan tempat persinggahan atau transit beberapa jenis biota. Dan untuk berbagai aktivitas kehidupan manusia, ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun juga sebagai tempat untuk menikmati kenyamanan lingkungan dan keindahan alam. Fungsi lain dari ketiga ekosistem ini adalah secara fisik sebagai pelindung pantai, pencegah erosi, dan perangkap sedimen, dan secara kimiawi dalam bentuk transfer dan aliran bahan organik terlarut maupun partikel (Nagelkerken et al. 2000; Morinière et al. 2002; Dorenbosch et al. 2004; Dorenbosch et al. 2006; Nakamura et al. 2007; Nakamura & Tsuchiya 2008). Gambar 4 menunjukkan bahwa adanya interaksi yang terjadi di kawasan pesisir karena kawasan pesisir menyediakan barang-barang berupa barang terbarukan (seperti ikan dan organisme lainnya) atau tidak terbarukan (seperti mineral, gas dan lain-lain). Daerah pesisir juga menyediakan berbagai layanan, sebagai akibat dari proses yang terjadi dalam sistem pesisir yang beragam.

40 14 Contohnya termasuk perlindungan garis pantai, pemeliharaan keanekaragaman hayati laut dan kualitas air, serta peluang untuk transportasi, rekreasi dan pariwisata. Ekosistem pesisir seperti terumbu karang, lahan basah mangrove, dan bentuk lain dari vegetasi pantai, tidak hanya yang sangat produktif, mereka juga menyediakan pertahanan alami penting dari angin kencang, gelombang pasang surut dan arus laut. Ekosistem pesisir secara efektif melindungi kehidupan orang yang hidup di sepanjang daerah pesisir. Gambar 4 Wilayah pesisir dan sistem sumber daya pesisir (Thia-Eng 2006). Daerah pesisir menjadi target kegiatan urbanisasi. Urbanisasi di wilayah pesisir saat ini terjadi lebih cepat karena peningkatan aktivitas ekonomi di wilayah ini. Kepadatan penduduk di kota-kota pesisir termasuk yang tertinggi di dunia. Selain itu terjadi proses pembangunan seperti pembuatan infrastruktur pelabuhan, perikanan, minyak dan mineral yang sangat besar peluangnya untuk dieksploitasi. 2.3 Ekosistem Terumbu Karang Komunitas Karang Sebagai salah satu ekosistem yang khas di wilayah pesisir daerah tropis, terumbu karang banyak menyediakan sumberdaya hayati bagi kehidupan manusia, disamping fungsi-fungsi ekologisnya. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria,

41 15 ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen 2000). Beberapa penelitian tentang distribusi biota yang hidup di daerah terumbu karang Sulawesi Utara telah dilakukan seperti di Kawasan Taman Nasional Bunaken diantaranya oleh Lalamentik (1985) yang mengidentifikasi karang batu sebagai komponen utama terumbu karang di rataan terumbu bagian Timur Pulau Bunaken beserta kepadatan, pola penyebaran dan keanekaragamannya, Tioho (1987) yang meneliti jenis-jenis karang batu yang terdapat di Pulau Bunaken serta Lalamentik (1996) melaporkan kondisi terumbu karang yang ditemukan di Pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen. Beberapa faktor pembatas keberadaan karang dalam ekosistem terumbu karang adalah : (1) Cahaya/kecerahan. Diperlukan bagi proses fotosintesis algae simbiotik zooxanthellae. (2) Suhu. Yang optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25 o -28 o C. (3) Salinitas. Karang mempunyai toleransi terhadap salinitas dengan salinitas optimal (4) Sedimentasi. Sedimentasi yang tinggi akan menutup polip-polip karang dan menyebabkan kematian karang. (5) Arus. Pergerakan arus sangat diperlukan untuk tersedianya aliran makanan dan oksigen, serta terhindarnya karang dari timbunan sedimen. Karang batu hidup berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang disebut koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk lempengan yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang batu. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda, dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut endodermis. Dalam endodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal yang dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan karang. Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis, yang

42 16 kemudian disekresikan sebagian ke dalam jaringan karang sebagai makanan (Bengen 2000). Lebih lanjut Bengen (2000) menyatakan bahwa karang batu berbiak secara seksual maupun aseksual. Pembiakan secara seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut planula. Planula akan menyebar kemudian menempel pada substrat yang keras dan tumbuh menjadi polip. Kemudian polip tersebut akan melakukan pembiakan aseksual. Pembiakan aseksual dilakukan dengan cara pembentukan tunas/pertunasan, sehingga terbentuk polip-polip yang baru yang saling menempel sampai terbentuk koloni yang besar, dengan bentuk yang beragam sesuai jenisnya. Menurut Knowlton (2001) dan Hughes et al. (2003), karang merupakan fauna yang dominan dalam ekosistem terumbu karang yang mengalami ancaman kerusakan sebagai akibat interaksi global dan lokal dari berbagai pihak yang berkontribusi terhadap degradasi karang. Sedangkan degradasi karang didefinisikan sebagai kematian jaringan karang hidup dan menurunnya keragaman hayati karang seiring meningkatnya persentase penutupan dari alga atau karang mati. Kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi: kegiatan penangkapan dan perubahan struktur tropik (Jackson et al. 2001; Pandolfi et al. 2003), polusi nutrien (Pastorok & Bilyard 1985), sedimentasi (Rogers 1990; Fabricius 2005), toksin (Glynn et al. 1989), dan perubahan suhu permukaan laut (Glynn & D Croz 1990; Glynn 1993, 1996; Hoegh-Guldberg 1999). Tekanan dapat menyebabkan karang terdegradasi secara langsung melalui peningkatan tingkat kematian, dan secara tidak langsung melalui peningkatan penyakit dan menurunnya proses rekruitmen karang. Pada skala waktu yang lama (dekade) kekuatan tekanan terhadap degradasi ekosistem tertumbu karang terjadi melalui penurunan kemampuan pemulihan setelah terjadinya gangguan, seperti bencana alam (Hughes 1994) dan kejadian pemutihan karang (Hughes et al. 2007). Pada beberapa lokasi di dunia telah dilaporkan tentang pengaruh peningkatan faktor tekanan terhadap sistem terumbu karang yang menimbulkan kehilangan yang besar bagi keberadaan karang seperti di Karibia oleh Hughes (1994) dan Gardner et al. (2003), pulau Virginia oleh Watlington (2006), Afrika

43 17 oleh Garrison et al. (2003), dan Tropical Western Atlantic oleh Levitus et al. (2000). Dari hasil-hasil penelitian tersebut, membuktikan bahwa tekanan simultan dari berbagai sumber merupakan penyebab degradasi karang dan lebih mematikan. Isu utama saat ini sebagai salah satu penyebab degradasi terumbu karang adalah pemutihan karang, seperti kejadian pemutihan karang di Timur Karibia disebabkan oleh kenaikan suhu yang berhubungan dengan kegiatan antropogenik (Donner et al. 2007), serta kejadian pemutihan karang, penyakit dan kematian karang di US Virgin Islands (Manzello et al. 2007; Miller et al. 2006). Kejadian kematian karang dengan berbagai kombinasi penyebab akan menurunkan kesehatan karang sehingga diperlukan upaya untuk penciptaan kondisi ekologis terumbu karang yang baik (Birkeland 2004). Secara global dan regional, pertumbuhan dan pengembangan populasi penduduk secara lokal meningkatkan tekanan terhadap terumbu karang. Menurut Brooks et al. (2007) dan Nemeth dan Nowlis (2001), akibat pertumbuhan penduduk tersebut, menyebabkan perubahan yang cepat melalui pengembangan secara eksponensial terhadap peningkatan laju sedimentasi sebagai akibat erosi (run-off) membawa sedimen daratan masuk ekosistem laut, sehingga mengakibatkan peningkatan laju deposisi sedimen terhadap karang. Selain itu, aktivitas industri seperti perawatan alat transportasi, tumpahan minyak dan pencemaran berkontribusi terhadap input senyawa beracun ke lingkungan pesisir yang dapat menurunkan laju fotosintesis, serta kegiatan penangkapan telah mengalami peningkatan seiring dengan terjadinya mordernisasi alat tangkap ikan secara signifikan telah menurunkan biomas ekologis ikan karang ekonomis penting (Beets 1997; Beets & Rogers 2000; Rogers & Beets 2001). Pengembangan daerah dengan cara larang tangkap untuk melindungi ikan target (ekonomis penting) seperti kakap dan kerapu pada zona-zona terjadinya agregasi pemijahan telah mendorong peningkatan jumlah populasi ikan tersebut (Nemeth 2005; Nemeth et al. 2006; Kadison et al. 2006). Pengembangan zona larang tangkap di berbagai kawasan lindung telah menunjukkan pengaruh yang positif dalam melindungi, memelihara dan meningkatkan kembali populasi ikan dan spesies invertebrata pada zona inti. Pada banyak kawasan lindung hanya

44 18 sekitar 10 20% dari daerah paparan (kedalaman <50 m) secara penuh atau sebagian yang dilindungi dengan cara zona larang tangkap dan kebanyakan daerah ini dikembangkan dengan mengunakan pertimbangan karakter ekologi yang baik tetapi dengan penegakan hukum yang rendah. Mengantisipasi peningkatan tekanan yang terjadi secara global dan lokal, perlindungan terumbu karang membutuhkan kepedulian antar pengguna (stakeholders), publik dan pengambil keputusan untuk melindungi melalui penyediaan informasi yang baik sebagai petunjuk pengelolaan. Tindakan pengelolaan akan menjadi responsif ketika karakteritik diagnostik karang sebagai akibat faktor antropogenik dan alamiah serta besaran tekanan yang mempengaruhi kesehatan terumbu karang diketahui dengan baik. Kerangka lintasan (trajectory) degradasi terumbu karang dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap semua komponen penyebab tekanan yang selanjutnya dapat diformulasikan dalam bentuk model keberlanjutan pengelolaan Karang Sebagai Ruang Densitas ikan karang dibatasi oleh ketersediaan ruang hidup (space) yang cocok, tertama jika ruang dijadikan sebagai pertahanan diri atau tempat aktivitas mutualisme. Keberadaan ruang biasanya berkaitan dengan individu ikan yang bersifat teritorial, dimana densitas yang tinggi dan diversitas dari ikan-ikan di pengaruhi oleh ruang terumbu karang. Fluktuasi dalam populasi ikan karang, salah satunya disebabkan berkurangnya ruang di karang. Menurut Jones (1991), pentingnya ruang bagi ikan karang adalah karena : - Ikan karang yang bersifat teritorial sangat terbatas pada ruang untuk mengembangkan populasinya, sehingga perubahan ruang cenderung menurunkan jumlah populasi. - Perbedaan kelas umur cenderung mengunakan tipe ruang yang berbeda. - Kompetisi ruang dapat terjadi jika terdapat banyak ruang yang kualitasnya bervariasi Karang Sebagai Tempat Perlindungan Keberadaan lubang atau celah merupakan tempat perlindungan (shelter) ikan karang, terutama selama adanya serangan badai atau predator. Korelasi

45 19 umum antara topografi karang dengan kelimpahan ikan karang serta observasi dalam pertahanan ikan di lokasi perlindungan bersifat nyata sebagai sumberdaya pembatas. De Boer (1978) menunjukkan bahwa kelimpahan ikan Chromis cyanea berkorelasi positif dengan jumlah tempat perlindungan. Selain itu, beberapa studi komprehensif yang dilakukan dengan hipotesis tentang pentingnya tempat perlindungan, menggambarkan bahwa tempat perlindungan memberikan perbedaan yang nyata dalam kelimpahan ikan karang, sehingga menjadikan karang sebagai tempat persembunyian (Jones 1991) Karang Sebagai Sumber Pakan Salah satu sumber pakan bagi ikan yang banyak dijumpai di terumbu karang adalah lendir yang dihasilkan oleh karang, yang sebenarnya digunakan karang untuk menangkap mangsanya. Lendir tersebut berfungsi sebagai pembersih dan pelindung luka yang dikeluarkan oleh kantong mucus yang ada di ectodermis. Lendir ini merupakan sumber pakan penting bagi jenis ikan tertentu dan hewan karang lainnya (Barnes 1980). Selain itu, keberadaan karang merupakan pakan dari beberapa jenis ikan pemakan karang famili Chaetodontidae, Apogonidae, Balistidae, Labridae dan sekolompok kecil Scaridae. Sekelompok ikan famili Chaetodontidae, Labridae dan Scaridae secara langsung memakan polip karang serta bersimbiosis dengannya. Sedangkan kelompok Acanturids dan kebanyakan spesies dari famili Labridae lainnya memakan alga yang tumbuh pada batuan keras berkapur (calcareous). Pemakan karang sangat bergantung kepada jaringan hidup karang sebagai pakannya dan hal ini hanya terdapat pada struktur karang yang masih hidup. Keberadaan karang hidup juga memberikan perlindungan terhadap invertebrata dan organisme bentik lainnya yang juga merupakan pakan beberapa jenis ikan (Nakamura et al. 2007) Komunitas Ikan Karang Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keaneragaman spesies sebanding dengan keanekaragaman spesies karang batu. Tingginya keragaman ini, disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua

46 20 tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Emor 1993). Sekitar 50-70% ikan yang ada di terumbu karang merupakan kelompok ikan karnivor, 15-20% kelompok herbivor dan sisanya omnivor. Ikan-ikan dari kelompok tersebut sangat bergantung kepada kesehatan karang untuk mengembangkan populasinya. Sebagian besar ikan karang memiliki diversitas yang tinggi, jumlah spesies yang banyak dan range morfologi yang luas. Kelimpahan absolut atau biomassa ikan karang sangat besar dibandingkan dengan biomassa ikan di luar lingkungan karang. Diversitas morfologi juga terjadi dalam banyak bentuk, mulai dari struktur yang berhubungan dengan jenis makanan sampai variabilitas dalam ukuran ikan, sebagai contoh famili Labridae memiliki diversitas luas dan tertinggi pada kawasan terumbu karang Indo-Pasifik (Choat & Bellwood 1991). Menurut Dartnall dan Jones (1986), ikan karang dapat juga dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan pengelolaan, yaitu : (1) Kelompok ikan target (ekonomis/konsumsi) (2) Kelompok ikan indikator (3) Kelompok ikan mayor (berperan dalam rantai makanan) Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ikan target adalah ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae dan Haemulidae Aspek Reproduksi Ikan Karang Pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni tahap sebelum memijah (pra-spawning), memijah (spawning), dan sesudah memijah (post-spawning). Pada ikan, perkembangan awal daur hidup juga terbagi lagi menjadi lima periode perkembangan utama, yaitu periode telur, larva, juvenile, dewasa dan periode tua. Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi pada suatu stok ikan. Tingkat kematangan gonad juga merupakan tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad (Effendie 1997).

47 21 Pencatatan perubahan kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengamatan perkembangan tingkat kematangan gonad ini juga didapatkan informasi kapan ikan tersebut akan memijah, baru akan memijah, atau sudah selesai memijah. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali gonadnya menjadi masak tidak sama ukurannya. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya. Untuk ikan di daerah tropis, faktor suhu secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat. Pengamatan kematangan gonad dilakukan dengan dua cara, yakni secara histologis dan morfologis. Pengamatan secara histologis dilakukan di laboratorium untuk mengetahui anatomi perkembangan gonad tadi lebih jelas dan mendetail. Sedangkan pengamatan secara morfologis dapat dilakukan langsung di lapang dengan melihat ciri-ciri gonad (Effendie 1997). Beberapa jenis ikan memiliki sifat reproduksi khusus. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betima ke fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan. Fenomena perubahan jenis kelamin pada ikan kerapu sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran. Pada ikan beronang (Siganus sp.) pematangan gonad dan pemijahan secara alami dapat terjadi di lingkungan air laut dengan salinitas ppm dan suhu antara o C, dimana pematangan gonad tersebut terjadi sepanjang tahun. ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan jenis hewan ovipar, yakni jenis yang menghasilkan telur dan membuahinya diluar tubuh, dengan jumlah telur yang banyak, berukuran kecil, dan mengapung (Gratwicke et al. 2006) Cara Makan Ikan Karang Banyak jenis ikan yang memakan langsung di daerah terumbu karang menunjukkan tingkah laku teritorial dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berbiak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lainnya. Semua itu menambah kerumitan hubungan ikan terumbu yang satu dengan yang lain (Choat & Bellwood 1991; Romimohtarto & Juwana, 2001).

48 22 Menurut Gratwicke et al. (2006) berdasarkan cara makan maka terdapat 3 kelompok ikan karang yaitu : a. Herbivora Ikan herbivor di terumbu karang sebagian besar bertahan karena adanya alga serta diatom yang ada di permukaan karang. Sejauh ini Scaridae dan Acanthuridae adalah herbivor yang paling penting di daerah terumbu karang. Meskipun demikian Siganidae, beberapa spesies Pomacentridae dan Blennidae termasuk pula dalam golongan penting pada ikan kategori ini. b. Planktonovora Ikan ini terbagi atas kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer terdiri atas beberapa spesies dari jenis ikan pelagis karang seperti Caesio cuning, yang beradaptasi dengan lingkungan karang. Adaptasinya berupa ukuran tubuh yang kecil dan bergerombol. Pada siang hari bersama dengan gerombolannya bersembunyi di daerah tubir, laguna atau dalam goa. Pada malam hari mereka berpencar dan mencari makan, yaitu zooplankton karang nokturnal di kolom air. c. Karnivora Tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di terumbu adalah karnivora, mungkin sekitar 50-70% dari spesies ikan. Banyak dari ikan karnivora ini tidak mengkhususkan makanannya pada suatu sumber makanan tertentu, tetapi sebaliknya merupakan oportunistik, mengambil apa saja yang berguna. Salah satu family ikan kelompok ini adalah Serranidae Interaksi Ikan Karang dan Terumbu karang Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan karang, karena sebagian besar populasi ikan karang mengadakan rekruit secara langsung dalam terumbu karang. Stadia planktonik ikan karang selalu berada pada substrat karang, seperti ikan-ikan scarids, acanthurids, siganids, chaetodontids, pomacantids dan banyak jenis dari ikan labrids dan pomacentrids. Walaupun banyak yang tidak berasosiasi langsung dengan karang, tetapi pergerakannya kebanyakan berasosiasi dengan struktur khusus dan keadaan biotik dari karang. Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti

49 23 yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama, hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan di karang. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan sama, dan terdapat persaingan aktif di antara spesies. Dari kedua teori ini ternyata belum bisa ditentukan pandangan mana yang benar. Walaupun ikan-ikan menunjukkan preferensi yang jelas pada biotop yang spesifik, kebanyakan ikan menggunakan banyak tipe biotop sebagai daerah pengasuhan secara bersamaan. Nagelkerken et al. (2000) menunjukan ketidakhadiran juvenil ikan pada zona terumbu karang yang dalam (15 20 m) menunjukkan bahwa jevenil ikan sangat bergantung pada biotop perairan dangkal. Kebanyakan spesies ikan secara spasial berdasarkan aspek ontogenik terlihat pada tingkat hidup spesifik menggunakan biotop perairan dangkal ke perairan yang dalam (terumbu karang). Dorenbosch et al. (2006) mendapatkan juvenil Cheilinus undulatus sangat dominan di daerah lamun sedangkan fase dewasa hanya terbatas di daerah terumbu karang. Peneliti ini menunjukan kehadiaran lamun menyebabkan tingginya densitas ikan karang pada daerah terumbu karang yang terletaknya di depan daerah lamun. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran ekosistem lamun sangat penting sebagai habitat bagi ikan juvenil. Juvenil Scarus guacamaia secara eksklusif ditemukan di daerah mangrove sedangkan fase dewasa hanya ditemukan di terumbu karang. Fase dewasa S. guacamaia ditemukan pada semua karang dimana pelindung pantainya berupa mangrove, tetapi belum ditemukan korelasi antara jarak mangrove yang diamati dengan densitas S. guacamaia di daerah terumbu karang. Nakamura et al. (2007) di Pulau Iriomote Japan menguji hipotesis tentang apakah rekruitmen ikan karang pada lamun diakibatkan oleh preferensi dari peletakkan larva (larval settlement). Tiga perlakuan yang dilakukan adalah patahan karang (branching coral patch), patahan lamun (seagrass patch), dan tanpa patahan sebagai kontrol (control without patches). Hasil penelitian

50 24 menunjukan bahwa 4 spesies Pomacentridae, Amblyglyphidodon curacao, Dischistodus prosopotaenia, Cheiloprion labiatus dan Dascyllus aruanus mengalami rekruitmen secara ekslusif di patahan karang, mengindikasikan bahwa larva yang terdistribusi lebih menyukai karang daripada lamun sebagai tempat peletakkan (settlement habitat). Pengaruh perbedaan bentuk fisik substrat sebagai tempat peletakkan yaitu bentuk kisi-kisi (grid) dari patahan karang dengan struktur vertikal daun lamun serta kekakuan antara karang dan lamun sebagai substrat pada pola rekruitmen diuji dengan menggunakan karang buatan dan unit lamun (seagrass units). Hasil penelitian menunjukan bahwa densitas yang tinggi dari rekruitmen ikan A. curacao dan D. prosopotaenia terjadi pada substrat yang kaku (karang) daripada yang fleksibel (seagrass), sedangkan perbedaan jumlah antar dua jenis tersebut belum jelas apakah sebagai akibat pengaruh bentuk unit yang berbeda. Meskipun larva ikan Pomacentridae terdistribusi pada lamun, larva ini tidak menetap di lamun tetapi lebih memilih substrat yang kaku sebagai preferensinya. Selanjutnya, keberadaan dari C. labiatus dan D. aruanus pada unit habitat buatan mengisyaratkan bahwa karang hidup sebagai persyaratan tempat larva sesudah peletakkan (post settlement) daripada bentuk fisik/kekakuan unit substrat. Tingginya keragaman ikan karang, seperti yang dikatakan oleh Hutomo et al. (1988) disebabkan karena beberapa tingkah laku yang menarik dari kehidupan ikan karang, yaitu adanya spesies diurnal dan nokturnal, serta hubungan simbiosis inter-intra spesifik, misalnya antara spesies Amphiprion dengan sea anemon, kemudian kegiatan spesies Lambroides yang mendirikan stasiun pembersih di terumbu untuk membersihkan kotoran dan parasit pada ikan-ikan yang lebih besar, kemudian kegiatan grazing beberapa spesies ikan terhadap algae, dimana kegiatan ini sekaligus mengontrol persaingan algae dengan terumbu karang dalam memperebutkan ruang untuk pertumbuhan. Hutomo (1987) in Hutomo et al. (1988) dalam penelitiannya di Pulau Bali dan Batam, mendapatkan bahwa kondisi karang yang baik, ditandai dengan persentase tutupan yang tinggi yang berhubungan linier dengan kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Hal ini ditunjang oleh pendapat Sutton (1983) in Emor (1993), dimana terdapat hubungan positif antara keragaman ikan karang

51 25 dengan heterogenitas habitat karang. Tetapi Purwanto (1987) dan Aktani (1990) in Emor (1993) menemukan hal yang lain di Kepulauan Seribu, bahwa kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang tidak selalu tergantung dari baiknya kondisi terumbu, melainkan juga tergantung dari ketersediaan sumber makanan dikaitkan dengan sifat makan dari ikan karang. Mereka membuktikan bahwa penurunan kondisi karang akan diganti oleh komunitas algae sebagai niche dari ikan-ikan herbivor. Menurut Hutomo et al. (1988), Chaetodontidae (kepe-kepe) bersama dengan suku Gobiidae (glodok), Pomacentridae (betok), dan Serranidae (kerapu) merupakan contoh yang baik penghuni terumbu karang primer yang tipikal, karena hidupnya selalu berasosiasi dengan terumbu karang, baik sebagai habitat maupun sebagai tempat mencari makanan dan mungkin sebagian besar sejarah hidupnya berlangsung disini. Selanjutnya Nybakken (1988) menyatakan bahwa, ketertarikan Chaetodontidae terhadap terumbu karang kuat sekali. Chaetodontidae pada umumnya bersifat omnivora, makanan kegemarannya adalah polip-polip karang. Kecuali itu juga yang memakan bagian-bagian dari polychaeta, anemon dan invertebrata kecil lainnya yang hidup di dasar serta krustasea kecil, sponge, polip karang lunak, plankton, telur ikan, dan cairan lendir (mucus) yang dikeluarkan karang. Jenis-jenis ikan hias yang tergolong dalam family Chaetodontidae merupakan komponen yang paling tampak di antara ichthiofauna karang. Jenisjenisnya mudah diidentifikasi dan taxonominya telah ditentukan. Mereka sering dijumpai berpasangan dan memiliki teritorial, sehingga mudah dihitung secara individual. Selain itu, ikan tersebut dapat dipakai sebagai ukuran terbaik untuk biodiversity dari pada karang, karena mereka cenderung untuk mengintegrasikan berbagai kondisi lingkungan. Boleh jadi hal inilah diantaranya yang menjadikan family Chaetodontidae sebagai spesies indikator. 2.4 Daya Dukung Terumbu Karang Kapasitas daya dukung (carrying capacity) didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan yang sebanding dengan pemanfaatannya. Kenchington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat

52 26 didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu panjang. Sedangkan Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (deteriorasi). Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung adalah pembatas akhir (ultimate constraint) yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, dan salinitas. Selanjutnya dijelaskan oleh Dahuri (2002), daya dukung kawasan pada akhirnya akan menentukan kelangkaan sumberdaya alam vital dan jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh manusia dan organisme hidup yang mendiami kawasan tersebut. Jadi sistem daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark 1974). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP 1993). Menurut Dahuri et. al. (2001), pembangunan berkelanjutan dapat tercapai apabila pemanfaatan sumberdaya alam tidak melebihi fungsi ekologis sumberdaya tersebut. Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan pantai dan terumbu karang menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung lebih menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan ekonomis diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis yang ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit manfaat/keuntungan ekonomis, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Dalam pemanfaatan lingkungan perairan, ditemukan banyak sekali kesulitan dalam menentukan daya dukung lingkungan, terutama yang sangat berkaitan dengan kapasitas asimilasinya. Terkadang, daya dukung baru dapat diketahui

53 27 setelah terlihat adanya tanda-tanda kerusakan lingkungan. Padahal kegiatan perikanan sangat tergantung pada kualitas perairan di sekitarnya. Kegagalan kegiatan ini seringkali merupakan pertanda telah terlampauinya daya dukung kawasan perairan tersebut. Oleh karena itu, sangat perlu dikembangkan suatu cara untuk mengetahui daya dukung lingkungan secara periodik dan prediktif. Metode dan kebutuhan data harus terus dikembangkan untuk kebutuhan ini, sehingga kehancuran lingkungan dikemudian hari dapat dihindarkan. 2.5 Pendekatan Ekologi-Ekonomi Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini terkesan lepas dari kebijakan lingkungan dan sosial. Pada tataran pelaksanaan baru dilakukan pada tingkat pembicaraan ataupun koordinasi antar instansi yang terkait. Koordinasi yang dimaksud masih terbatas pada tahap pembicaraan rencana pelaksanaan dan belum terwujud. Alasannya belum ada perangkat aturan yang dapat memberikan rujukan tolak ukur untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya perkembangan ekonomi yang meningkat sekian persen maka berapa seharusnya target untuk perbaikan lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proposional. Adrianto et al. (2005) mengemukakan pertumbuhan ekonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik dimana ekonomi menuju kondisi stabil (steady state economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability condition). Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan diatas, Adrianto et al. (2005) berargumen perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan ekonomi dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan interaksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain. Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersamaan. Para ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang

54 28 memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika ekonomi. Sehingga pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh konteks utama ekologi ekonomi (mainstream ecological economic) yang memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan kerangka waktu (time-frame) yang lebih panjang antara sistem ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstreem ini adalah berusaha mewujudkan terciptanya masyarakat yang bukan tanpa batas (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Fauzi 2010). Selanjutnya dengan mengubah paradigma dari cara pandang pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep daya dukung merupakan salah satu alat (tools) yang dapat diimplementasikan sebagai salah satu nilai normatif dalam kebijakan pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang tidak terlepas pada paradigma keberlanjutan ilmu pengetahuan (sustainability sciences). Terumbu karang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia diantaranya adalah merupakan objek pariwisata yang merupakan sumber pendapatan bagi daerah sehingga secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Ikan-ikan karang pada umumnya memiliki nilai jual yang sangat tinggi, sehingga banyak nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sekurangnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia (White & Trinidad 1998). Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km 2 /tahun, terumbu karang dalam kondisi yang baik menghasilkan 13 ton/km 2 /tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km 2 /tahun produksi perikanan Cesar (1996).

55 29 Cesar (1996) juga memperkirakan bahwa daerah terumbu karang yang masih asli dengan daerah perlindungan lautnya (marine sanctuary) dapat menghasilkan US$24.000/km 2 /tahun apabila penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan (sustainable). Terumbu karang dengan kondisi yang sangat baik tanpa daerah perlindungan laut di atasnya dapat menghasilkan US$12.000/km 2 /tahun jika penangkapan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang yang rusak akibat penangkapan dengan racun dan bahan peledak atau kegiatan pengambilan destruktif lainnya (seperti penambangan karang, perusakan dengan jangkar, dan lain-lain) menghasilkan jauh lebih sedikit keuntungan ekonomi. Kawasan terumbu karang yang sudah rusak/hancur 50% hanya akan menghasilkan $6.000/km 2 /tahun, dan daerah yang 75% rusak menghasilkan hanya sekitar $2.000/km 2 /tahun. Apabila terumbu karang sudah mengalami tangkap lebih (overfishing) oleh cukup banyak nelayan maka keuntungan ekonomi akan menurun sangat tajam. Terumbu karang juga mempunyai nilai lain selain nilai ekonomi termasuk keuntungan ekonomi dan kemungkinan pengembangan pariwisata, perlindungan garis pantai, dan keanekaragaman hayati. Di Filipina diperkirakan bahwa 1km 2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara US$ dari perikanan secara berkelanjutan, US$ dari keuntungan pariwisata, dan keuntungan ekonomi sekitar US$ dari perlindungan pesisir (perlindungan abrasi) dengan total keuntungan/pendapatan potensial antara US$ /km 2 /tahun (White & Trinidad 1998). Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat-NTB adalah sekitar kg/ha/tahun dengan nilai Rp /ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi untuk pariwisata bahari sekitar Rp ,36. Hasil penelitian yang serupa dilakukan oleh Wawo (2000) di Pulau Nusa Laut Maluku menghasilkan nilai ekonomi total terumbu karang adalah Rp /ha/tahun serta penelitian Dahuri (1999) di kawasan Barelang dan Bintan Rp /ha/tahun. Hiew dan Lim (1998) in Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi adalah sebesar US$34.871,75 atau dengan asumsi US$1 setara dengan Rp9.500 maka

56 30 nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai pencegah erosi adalah sebesar Rp /ha/tahun. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang sangat penting dari berbagai segi. Sementara itu Ruitenbeek (2001), menyatakan bahwa nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity adalah sebesar US$15/ha/tahun atau sekitar Rp /ha/tahun. Pemanfaatan terumbu karang dapat digolongkan kedalam dua bagian, yaitu a) pemanfaatan ekstratif meliputi kegunaan konsumtif, seperti penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya, dan b) pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem terumbu untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan sebagainya (Baker & Koeoniam 1986). Nilai ekonomi pemanfaatan ekstratif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh dilaporkan oleh Parwinia (2006), yaitu nilai ekonomi ekstratif di kawasan Selat Lembeh dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar antara Rp27 juta per vessel per tahun (Kelurahan Aertembaga) sampai Rp238 juta per vessel per tahun (Kelurahan Makawidey). Selain itu kawasan Selat Lembeh memiliki nilai ekonomi non-ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem, meliputi kegiatan menyelam, transportasi dan taxi air, dimana dari kegiatan penyelaman telah memberikan manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp300 juta/tahun, taxi air Rp90 juta/tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp25 juta/tahun. 2.6 Potensi Ekosistem Terumbu Karang Sebagai salah satu eksosistem, terumbu karang mempunyai peranan penting dalam kehidupan biota perairan di sekitarnya, dimana umumnya hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal dengan penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, terumbu karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara C. Karena sifat hidup ini maka terumbu karang banyak dijumpai di perairan Indonesia, yang relatif banyak mendapat cahaya matahari, dengan menempati area seluas km 2 dari luas perairan Indonesia. Terumbu karang juga mempunyai

57 31 produktivitas primer yang tinggi, dimana menurut Yonge (1963) dan Stoddart (1969) in Supriharyono (2000) umumnya produktivitas primer perairan karang berkisar antara gc/m 2 /th, namun hal ini bisa mencapai 100 kali lebih besar daripada perairan lautan tropis sekitarnya. Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan sebagai tempat makanan bagi kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan (termasuk hewan lainnya) di daerah terumbu karang sangat tinggi. Menurut Supriharyono (2000) bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah perairan karang. Manfaat lain dari ekosistem ini seperti sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budidaya, peredam gelombang/ombak, mencegah terjadinya erosi pesisir, juga sebagai bahan bangunan. Banyak orang menyadari bahwa terumbu karang bukan hanya memiliki nilai ekologis tetapi juga nilai ekonomi khususnya bagi industri wisata bahari. Berkembangnya industri wisata bahari, semakin menambah jumlah wisatawan yang tertarik pada olahraga air seperti selam dan snorkeling. Meski pada era tahun 70-an hanya terdapat sekitar beberapa ratus penyelam amatir, namun sekarang jumlahnya sudah berkembang dengan pesat. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang populer di masyarakat seperti ikan kerapu, ikan beronang, dan juga merupakan tempat hidup tiram mutiara, berbagai jenis kerang, serta invertebrata lainnya yang menjadi sumber makanan dan biasa diperdagangkan. Diperkirakan antara 9-12% produksi ikan dunia berasal dari ikan karang, sedangkan di Philipina sebanyak 8-20% berasal dari ikan karang bahkan pada suatu pulau kecil hasil ikan rata-rata bisa mencapai 30 ton/km 2 /tahun (Soedharma 1997). Kawasan pesisir dan lautan termasuk pulau-pulau kecil, merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya. Total nilai ekonomi kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word s gross natural product, yang termasuk di dalamnya estuaria, terumbu karang, paparan, rawa payau/hutan mangrove dan padang lamun adalah sebesar US$14,227 trilyun (Constanza et al. 1997). Secara keseluruhan nilai ekonomi masing-masing ekosistem seperti pada Tabel 2.

58 32 Tabel 2 Nilai ekonomi ekosistem pesisir dan lautan. Ekosistem Nilai (US $ triliun) Laut terbuka 8,381 Padang lamun 3,801 Terumbu karang 0,375 Hutan mangrove 1,648 Paparan/self 4,293 Estuaria 4,10 Sumber : Constanza et al. (1997) Terjadinya hal-hal yang merusak lingkungan dikarenakan fungsi-fungsi lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem tidak tertampung dalam mekanisme pasar, sehingga proses ekonomi tidak menanggapi masalah lingkungan atau masalah lingkungan ditanggapi tanpa disertai dengan pertimbangan ekonomi dan ditangani secara terisolasi (Bengen 2003 b ), seperti yang terjadi di wilayah pesisir Sulawesi Utara. Perairan laut Sulawesi Utara yang luasnya sekitar km 2 terdiri dari perairan teritorial seluas km 2, dan perairan Zona Ekonomi Esklusif seluas km 2. Sejak dahulu kala laut memberikan manfaat yang besar bagi pembangunan bangsa, negara dan masyarakat umumnya. Khususnya Sulawesi Utara, peran laut terlihat dalam berbagai sektor pembangunan, seperti: perikanan, perhubungan dan angkutan, rekreasi, serta pariwisata (Whitten et al. 2002). Lebih lanjut Whitten et al. (2002) mengatakan bahwa panjang garis pantai Sulawesi Utara kurang lebih 1985 km, dengan luas daratan sekitar km 2. Angka kompleksitas garis pantai didefinisikan sebagai rasio dari ujung garis pantai dan keliling dari lingkaran hipotesis luar ekivalen daratan adalah 3,38 (bandingkan Pulau Jawa 1,79, Pulau Sumatera 2,05). Lebar semenanjung Sulawesi Utara cukup sempit, sehingga kebanyakan jarak garis pantai utara selatan tidak melebihi 30 km, dan maksimum 80 km. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat keragaman pantai dan besarnya pengaruh matra pantai pada kondisi alam dan perekonomian serta sosial budaya masyarakat. Karena itu tidak mengherankan kalau kegiatan penduduk cenderung berada di daerah pantai.

59 33 Seperti diketahui ekosistem laut terdiri dari beberapa habitat yakni terumbu karang, padang lamun laut, hutan bakau, pantai, dan laut lepas. Habitat yang paling mendapat perhatian besar oleh masyarakat (termasuk masyarakat Sulawesi Utara) adalah terumbu karang karena mempunyai multifungsi sebagai berikut (Bengen 2000): 1. Menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya laut. Berbagai jenis ikan karang serta berbagai biota laut lainnya sangat tergantung pada ekosistem terumbu karang, baik untuk makanan, tempat berkembang biak, maupun untuk pembesaran. 2. Terumbu karang yang sehat yang dikelola dengan teknik-teknik pengelolaan yang cocok, merupakan sumber yang sangat berharga untuk berbagai macam industri, usaha biota untuk akuarium, produk-produk farmasi, maupun keperluan kedokteran. 3. Terumbu karang juga berfungsi sebagai penjaga pantai dari erosi gelombang dan badai. 4. Terumbu karang yang sehat dengan kekayaan biotanya, berpotensi dalam pengembangan wisata bahari, akan menarik para wisatawan untuk berkunjung dan menyelam. 5. Terumbu karang sangat berjasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya sebagai laboratorium hidup. Kelestarian terumbu karang, seperti halnya kelestarian hutan, sangat ditentukan oleh aktivitas manusia. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia, biasanya diiringi dengan peningkatan eksploitasi terhadap alam. Eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam baik yang berada di darat maupun yang berada di laut mungkin dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan manusia akan tetapi dalam jangka panjang, sebenarnya hal tersebut sangat merugikan. Eksploitasi hutan yang tak terkendali misalnya, di samping merusak alam itu sendiri sebenarnya juga mematikan sumber pekerjaan bagi masyarakat yang selama bertahun-tahun hidup dan sangat tergantung kepada hutan. Kondisi yang sama juga dapat ditemukan di laut, eksploitasi secara besarbesaran apalagi tanpa dibarengi dengan teknologi yang memadai akan dapat merusak habitat laut. Berbagai kegiatan manusia di laut seperti penangkapan ikan

60 34 dengan menggunakan bahan peledak, racun sianida, alat tangkap bubu, muro ami (sejenis alat tangkap gillnet) serta aktivitas manusia lainnya seperti kegiatan pemanfaatan sumberdaya di kawasan darat, akan sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Bengen 2002 a ). Usaha-usaha untuk melestarikan terumbu karang sangat ditentukan oleh masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung selalu terlibat dengan kehidupan di laut. Masyarakat nelayan merupakan salah satu contoh kelompok sosial yang hidupnya secara langsung tergantung kepada hasil laut. Disamping itu ada juga beberapa kelompok yang secara tidak langsung memperoleh penghasilan dari sektor perikanan laut seperti pedagang, dan para penampung hasil tangkapan ikan (petibo). Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian dalam hal rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang adalah para pengambil dan pembeli batu karang sebagai bahan pondasi bangunan, secara langsung maupun tidak langsung ikut menyumbangkan kerusakan terumbu karang yang sudah ada. Kelompok terakhir yang juga dapat memberikan andil dalam hal kerusakan terumbu karang adalah kelompok pengusaha yang berkecimpung dalam usaha budidaya rumput laut, souvenir dari jenis kerang-kerangan serta sumberdaya laut lainnya. Selain itu kerusakan terumbu karang dapat diakibatkan oleh faktor alam, seperti iklim, penyakit, bencana, dan sedimentasi (Charles 2001). 2.7 Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) Prinsip keterpaduan sangat penting dan memegang peran yang fundamental sebagai salah satu kunci sukses pengelolaan dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, dimana hal tersebut berkaitan dengan sifat alamiah dari wilayah pesisir yang sering disebut sebagai the most complex system and multi-use region. Seperti yang di ungkapkan oleh Thia-Eng (2006), dapat dipastikan bahwa keterpaduan merupakan konsistensi internal antara kebijakan dan aksi pengelolaan, sehingga memunculkan 3 katagori keterpaduan atau integrasi yaitu sistem, fungsi dan kebijakan. Lebih lanjut Thia-Eng (2006) mengatakan bahwa penerapan integrasi sistem harus mempertimbangkan dimensi temporal dan spasial dari sistem sumberdaya pesisir di dalam perubahan fisik lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan sosioekonomi. Dengan demikian integrasi sistem dapat relevan dengan isu

61 35 pengelolaan yang berkaitan dengan lingkungan, ekonomi dan sosial. Untuk integrasi fungsi sangat berhubungan dengan program dan manajemen proyek dalam kaitannya dengan sasaran dan tujuan. Sebagai contoh integrasi fungsi yang efektif adalah skema zona pesisir yang mengalokasikan sumberdaya alam guna pemanfaatan spesifik, dan melalui skema ini ditemukan tipe dan level dari aktivitas yang diijinkan di tiap zona, sesuai dengan sasaran dan tujuan dari pengelolaan pesisir terpadu. Sedangkan integrasi kebijakan bertujuan untuk mencapai konsistensi antara kebijakan pemerintah lokal dan nasional dalam perencanaan pengembangan ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Dengan melihat pada kenyataan yang ada bahwa fungsi wilayah pesisir yang dinamik, Cicin-Sain dan Knecht (1998) memberikan petunjuk bahwa ada 5 komponen keterpaduan dalam pengelolaan pesisir yaitu : (1) Keterpaduan sektoral, mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Integrasi antar sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir ini dapat bersifat horisontal dan vertikal, misalnya sektor perikanan dan pariwisata bahari untuk horisontal, dan sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan yang memanfaatkan sumberdaya daratan yang memberikan pengaruh terhadap dinamika ekosistem pesisir dan laut (sektor perikanan dengan pertanian pesisir) untuk vertikal. (2) Keterpaduan pemerintahan, memiliki makna integrasi antar level penyelenggara pemerintahan dalam sebuah konteks pengelolaan wilayah pesisir tertentu. Seperti contoh pengelolaan sebuah teluk dapat melibatkan lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian koordinasi dan integrasi antar level pemerintah seperti antara pemerintah kabupaten/ kota dengan pemerintah propinsi atau bahkan pemerintah pusat diperlukan dalam konteks keterpaduan pemerintah ini. (3) Keterpaduan spasial, memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan pesisir, yaitu mencakup kawasan daratan dan kawasan laut. Seperti yang telah dikemukakan, terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara ekosistem daratan dan ekosistem laut. Dengan demikian pengelolaan pesisir harus mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem tersebut sehingga integrasi pengelolaan secara spasial menjadi kebutuhan mutlak.

62 36 (4) Keterpaduan ilmu dan manajemen, menitikberatkan pada integrasi antar ilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan pesisir. Dalam konteks ini, integrasi pemahaman bersama antara ilmu (alam, ekonomi dan sosial) menjadi sangat penting sehingga tujuan pengelolaan pesisir berkelanjutan dapat diwujudkan. (5) Keterpaduan internasional, mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih negara seperti dalam konteks transboundary species, high migratory biota maupun efek polusi antar ekosistem. Keterpaduan ini misalnya sangat diperlukan ketika pemerintah harus terlibat dalam pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization) seperti yang diisyaratkan oleh Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995), IOTC (Indian Ocean of Tuna Commision) dan lain sebagainya. Menurut Adrianto (2004) pendekatan keterpaduan dalam sistem wilayah pesisir di pulau-pulau kecil berbasis keberlanjutan menjadi sebuah syarat mutlak. Dengan kata lain, pengelolaan lingkungan wilayah pesisir di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar komponen yang secara nyata tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterpaduan ini akan menjadi salah satu motor bagi tercapainya keberlanjutan pembangunan pengelolaan wilayah pesisir dan laut khususnya di pulau-pulau kecil. Skema interkorelasi antar sub-wilayah dalam wilayah pesisir dan laut pulau-pulau kecil yang memiliki tujuan akhir pengelolaan wilayah yang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini. Gambar 5 Kerangka keterpaduan dan keberlanjutan pulau-pulau kecil (Debance 1999 in Adrianto 2004)

63 3 METODOLOGI Di dalam mengembangkan kegiatan di kawasan ekosistem terumbu karang perlu diketahui aspek-aspek yang bepeluang untuk dikaji. Aspek-aspek yang menjadi kajian dalam penelitian ini meliputi aspek potensi dan biofisik sumberdaya ekosistem terumbu karang (subsistem biofisik), aspek pasar dan finansial ekosistem sumberdaya terumbu karang (subsistem ekonomi), aspek penguatan kapasitas kelembagaan dan modal sosial, aspek sarana dan prasarana, dan aspek teknis (subsistem sosial). 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada ekosistem terumbu karang yang terdapat di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Kabupaten Minahasa Tenggara Provinsi Sulawesi Utara (Gambar 5). Letak posisi geografis Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus adalah antara 0º º53 00 LU dan 124º º26 30 BT. Untuk pengambilan data terumbu karang dan ikan target dilakukan sejak tahun 2002 hingga tahun 2011 (satu kali setahun) pada 6 stasiun dengan pembuatan transek tetap (permanent transect), sehingga pengambilan data dilakukan pada lokasi yang sama setiap tahun. Untuk data sosial-ekonomi masyarakat dilakukan di Desa Basaan. Penentuan stasiun pengamatan berdasarkan hasil survei dengan teknik manta tow. Dari hasil survei tersebut dipilih 6 stasiun pengamatan yang dapat mewakili posisi geografis Pulau Hogow dan Putus-Putus secara keseluruhan, dimana ke-6 stasiun pengamatan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Stasiun 1 dan 2 mewakili wilayah terumbu karang di bagian dalam (Teluk Totok), Stasiun 3 mewakili wilayah terumbu karang Pulau Hogow, Stasiun 4 dan 5 mewakili wilayah terumbu karang bagian luar (berhadapan dengan Laut Maluku), dan Stasiun 6 mewakili wilayah terumbu karang Teluk Buyat. Kondisi morfologi dari ke-6 stasiun pengamatan tersebut berbeda-beda. Stasiun 1 dan 2 memiliki rataan terumbu yang pendek (<100 m) dan memiliki dinding terumbu yang curam (45-90 o ), Stasiun 3 memiliki rataan terumbu yang cukup panjang ( m) dan memiliki dinding terumbu yang curam (45-90 o ), 37

64 38 Stasiun 4 dan 5 memiliki rataan terumbu yang panjang (>1000 m) dan kemiringan terumbu landai (15-30 o ), Stasiun 6 memiliki rataan terumbu yang pendek (<150 m) dengan dinding terumbu yang tidak terlalu curam (<45 o ). Gambar 6 Peta lokasi penelitian 3.2 Metode Pengumpulan Data Terumbu Karang Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara survei dan pengukuran di lapangan serta pengambilan sampel untuk dianalisis di laboratorium dan melalui pengamatan serta wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun terhadap stakeholder dan instansi atau pihak-pihak yang terkait. Menurut Nazir (1988), metode survei adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual baik tentang instansi sosial dan ekonomi dari usaha kelompok atau suatu daerah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari catatan yang berupa laporan atau arsip hasil-hasil penelitian yang relevan dari lembaga-lembaga atau instansi yang terkait.

65 Pengumpulan data primer dilakukan dengan mempergunakan metoda pengamatan lapangan (observasi) dan metoda sampling stratifikasi (stratified sampling method). Metoda observasi merupakan metoda yang sangat mendasar dalam melakukan inventarisasi potensi sumberdaya di ekosistem terumbu karang (UNEP 1993). Data sosial yang terkait dengan kegiatan penelitian ini akan dikumpulkan di lokasi penelitian dari para responden yang dipilih secara acak berdasarkan metode sampling di atas. Pengumpulan data terhadap responden akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan wawancara mendalam (deep interview) dengan menggunakan kuesioner. Tabel 3 Parameter lingkungan perairan yang diamati dan metode ukur No Parameter Satuan Metode Peralatan Ket. A. Aspek Fisika-Kimia: 1. Kecerahan m Visual Secchi disc in-situ 2. Kekeruhan NTU Nefelometer/Hellige Turbidimetrik Turbiditimeter in-situ 3. Suhu 0 C Pemuaian Termometer in-situ 4. Salinitas Konduktivitimetrik/ Argentometrik Refractometer in-situ 5. DO mg/l Elektrokimiawi Do-meter in-situ B. Aspek Biologi 6. Terumbu karang - LIT SCUBA in-situ 7. Jenis Ikan - Sensus Visual SCUBA in-situ 39 Pengambilan data potensi ekosistem terumbu karang dilakukan dengan teknik Line Intercept Transect-LIT (UNEP 1993), dengan ukuran transek 50 meter. Pengambilan data dilakukan sejak tahun 2002 hingga 2011 oleh tim CRITC-4 (Coral Reef Information and Training Center) pada 6 lokasi yang telah diletakkan transek permanen, dimana setiap tahun dilakukan satu kali pengambilan data dengan bulan yang berbeda. Pada 6 lokasi tersebut ditentukan 2 kedalaman peletakkan transek yaitu 3 dan 10 meter dengan 3 ulangan pada setiap kedalaman dan setiap biota yang dilewati transek dicatat menurut kategori dan taksonnya. Dari data tersebut akan diketahui persentase tutupan, keragaman jenis dan dominasi karang batu. Teknik pengambilan data seperti yang disajikan pada Gambar 7.

66 40 Gambar 7 Pengambilan data terumbu karang dengan teknik LIT Untuk pengambilan data ikan target menggunakan metode sensus visual (Dartnall & Jones 1986), dimana penetapan areal dan waktu penelitian mengikuti lokasi pengambilan data karang batu (LIT). Data yang diperoleh adalah jumlah spesies, jumlah individu masing-masing spesies ikan dan estimasi panjang ikan. Dari data tersebut akan diketahui indeks keanekaragaman, kelimpahan dan biomassa ikan. Teknik pengambilan data ikan karang seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pengambilan data selama penelitian dilakukan oleh peneliti yang sama. Gambar 8 Pengambilan data ikan karang dengan teknik sensus visual (English et al. 1994) Untuk mengetahui waktu pemijahan ikan target di lokasi penelitian (aspek temporal), khusus untuk wilayah terumbu karang yang telah ditetapkan sebagai tempat pemijahan, maka dilakukan pengambilan sampel ikan setiap bulan selama satu tahun (tahun 2011) dan dilakukan pengamatan TKG (tingkat kematangan gonad). Pengambilan data dilakukan dengan cara mengikuti nelayan pada saat mereka melakukan kegiatan penangkapan dan alat tangkap yang di gunakan adalah pancing. Pengamatan dilakukan pada 4 jenis ikan yang umum di tangkap

67 41 nelayan yaitu Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus dan Siganus puellus. Dengan berpedoman pada ukuran pertama matang gonad (length at first maturity dari dari masing-masing jenis ikan yaitu Caesio cuning 14 cm, Epinephelus coioides cm, Scarus dimidiatus 15 cm dan Siganus puellus 16 cm, maka ikan-ikan yang berukuran lebih kecil dari nilai-nilai tersebut tidak diamati TKG-nya. Dengan demikian jumlah individu masingmasing jenis ikan yang diamati setiap bulan bervariasi jumlahnya (Lampiran 10). Penentuan TKG mengikuti kriteria Nikolsky (Effendie 1997) seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Tingkat kematangan gonad menurut Nikolsky TKG Klasifikasi Ciri-ciri I Tidak masak Individu masih belum berhasrat mengadakan reproduksi. Ukuran gonad kecil II Masa istirahat Produk seksual belum berkembang. Gonad berukuran kecil. Telur tidak dapat dibedakan oleh mata III Hampir masak Telur dapat dibedakan oleh mata. Testes berubah dari transparan menjadi warna ros. IV Masak Produk seksual masak. Produk seksual mencapai berat maksimum. Tetapi produk tersebut belum keluar bila perut diberi sedikit tekanan V Reproduksi Bila perut diberi sedikit tekanan produk seksualnya akan menonjol keluar dari lubang pelepasan. Berat gonad cepat menurun sejak permulaan berpijah sampai pemijahan selesai VI Keadaan salin Produk seksual telah dikeluarkan. Lubang genital berwarna kemerahan. Gonad mengempis. Ovarium berisi beberapa telur sisa. Testis juga berisi sperma sisa. VII Masa istirahat Produk seksual telah dikeluarkan. Warna kemerahmerahan pada lubang genital telah pulih. Gonad kecil dan telur belum terlihat oleh mata. Sumber : Effendie (1997) Data Sosial, Ekonomi, dan kelembagaan Data sosial ekonomi dikumpulkan secara langsung dengan cara wawancara yang berpedoman pada kuisioner. Sedangkan data jumlah penduduk, mata pencaharian, dan tingkat pendidikan diperoleh dari kantor desa, kantor kecamatan, dan badan pusat statistik Kabupaten Minahasa Tenggara.

68 42 Tabel 5 Jenis data sosial, ekonomi dan kelembagaan No. Komponen Data Parameter Sumber/Metode Pengumpulan Data 1 Karakteristik sosial dan budaya Pemanfaatan SDA, partisipasi masyarakat, persepsi dan perilaku, pengetahuan masyarakat, kegiatan perikanan, pengelolaan sumberdaya, jumlah dan pertumbuhan penduduk, konflik, etnis, budaya lokal, kualitas hidup 2 Kelembagaan Regulasi, aturan formal, peran stakeholders, aturan adat, pengambilan keputusan, lembaga ekonomi, infrastruktur penunjang, penegakan hukum Data primer dan sekunder; wawancara dan kuesioner, FGD Data primer dan sekunder; wawancara dan kuesioner, FGD Responden dipilih sebagai unit penelitian dengan metode acak berstratifikasi (stratified random sampling) berdasarkan stratifikasi jenis kegiatan pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan pertimbangan responden yang dipilih adalah masyarakat yang sering berasosiasi dengan terumbu karang yang tinggal di Desa Basaan, berusia dewasa atau yang berusia 17 tahun keatas. Pemilihan responden berumur 17 tahun keatas dilakukan karena pada usia dewasa seseorang dapat berpikir lebih jauh dalam memberikan jawaban ataupun mengambil tindakan dan keputusan terhadap suatu permasalahan. Data yang diperoleh dari wawancara adalah : 1. Karakteristik individu masyarakat berupa identitas responden (umur, pendapatan, lama tinggal, pekerjaan, dan tingkat pendidikan). Tingkat pendidikan formal yang dimaksud adalah SD, SMP, SMA atau lainnya. 2. Pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan yang terutama dilakukan sehari-hari untuk pemenuhan kebutuhan hidup, sedangkan pendapatan, yaitu jumlah penghasilan per bulan yang diperoleh dari berbagai sumber mata pencaharian. 3. Tingkat pemahaman masyarakat terhadap sumberdaya ekosistem terumbu karang yaitu mengenai pendapat atau pandangan responden tentang pemanfaatan dan partisipasi dalam mengelola ekosistem terumbu karang.

69 43 4. Pemanfaatan yang biasanya dilakukan pada ekosistem terumbu karang baik itu berupa potensi biologi seperti pemanfaatan biota di ekosistem terumbu karang ataupun potensi fisik ekosistem terumbu karang. 5. Peranan pemerintah dalam pelestarian ekosistem terumbu karang melalui intensitas frekuensi kegiatan, berupa penyuluhan, pembangunan infrastruktur, dan pengawasan. 6. Partisipasi masyarakat dalam upaya untuk pelestarian sumberdaya pesisir khususnya ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari program pemerintah. Bentuk partisipasi masyarakat ini adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengikuti kegiatan mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, dan pelatihan, tahap pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi dan pengawasan, serta tingkat partisipasi masyarat 3.3 Analisis Data Ekologi Terumbu Karang Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan perhitungan matematik. Di dalam analisis data, beberapa formula akan digunakan dalam penentuan hasil untuk mencapai jawaban yang diinginkan di dalam tujuan penelitian ini. Analisis data dikerjakan dengan menggunakan formula atau model matematis yang tepat. Persentase tutupan masing-masing komponen bentik penyusun terumbu karang dihitung menurut persamaan yang dikemukakan UNEP (1993) sebagai berikut :...(1) N i adalah persentase penutupan komponen bentik jenis i (%), L i adalah panjang tutupan komponen bentik jenis i (cm), dan L adalah panjang transek garis (5000 cm). Penentuan komponen bentik (Tabel 6) yang menjadi komponen utama pada setiap stasiun pengamatan dianalisis menggunakan analisis komponen

70 44 utama/principal component analysis (PCA) (Ludwig & Reynold 1988; Bengen 2000). Dari hasil analisis ini, akan diketahui komponen-komponen bentik yang memberikan kontribusi terbesar pada masing-masing stasiun. Pada prinsipnya PCA menggunakan pengukuran jarak Euclidean dimana semakin kecil jarak Euclidean antara dua individu maka semakin mirip karakteristik variabel pengembangan partisipasi kedua individu tersebut. Tabel 6 Komponen bentik terumbu karang Komponen bentik Bentuk pertumbuhan Kode Karang Hidup (Acropora) Karang Hidup (non Acropora) Karang Mati Alga Tumbuhan Lain Abiotik Branching Tabulate Encrusting Submassive Digitate Branching Massive Encrusting Submassive Foliose Mushroom Millepora Heliopora Dead Coral Dead Coral With Alga Macro Turf Coralline Halimeda Alga Assemblage Soft Coral Sponge Zoanthids Other Sand Rubble Silt Water Rock ACB ACT ACE ACS ACD CB CM CE CS CF CMR CME CHL DC DCA MA TA CA HA AA SC SP ZO OT S R SI WA RCK

71 Untuk menganalisis keanekaragaman jenis (Genus) karang batu dan ikan karang mengikuti Formulasi Shannon-Wienner (Krebs 1989 in Bengen 2000) : 45 H = n i=1 n i N Log n i N...(2) H adalah indeks keanekaragaman, N adalah total jumlah individu, dan n i adalah jumlah individu dalam jenis ke-i. Untuk melihat laju degradasi tutupan karang pada masing-masing stasiun digunakan persamaan sebagai berikut : ( )...(3) D adalah laju degradasi tutupan karang hidup (%), L adalah persentase tutupan karang, I adalah stasiun/lokasi, t 0 adalah tahun awal, dan t 1 adalah tahun akhir. Untuk potensi sumberdaya ikan karang yang mengambarkan perikanan terumbu karang diestimasi dengan beberapa tahap : Pertama, perhitungan kepadatan ikan digunakan persamaan (modifikasi dari English et al. 1994) :...(4) d adalah kepadatan (ekor/ha), c adalah jumlah ikan karang yang terhitung dalam pengamatan, A adalah luas daerah pengamatan, dan adalah konversi hektar ke meter. Kedua, perhitungan kelimpahan stok digunakan persamaan :...(5) B o adalah kelimpahan stok (ekor), d adalah kepadatan (ekor/ha), dan L adalah luas daerah penelitian (Ha). Biomassa ikan target dihitung berdasarkan hasil pengambilan data estimasi panjang ikan dan di masukkan dalam model hubungan panjang berat ikan target. Model hubungan panjang berat yang digunakan adalah W = al b. Nilai a dan b dari masing-masing jenis ikan yang diperoleh bersumber dari data (Polunin & Roberts 1993). Dengan mengetahui biomassa ikan

72 46 target, maka akan digunakan utuk melihat perubahan biomassa ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, yang pada akhirnya akan menjadi salah satu dasar dalam membuat rekomendasi pengelolaan terumbu karang Penentuan Wilayah Pemijahan, Pembesaran dan Mencari Makan Salah satu aspek yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah menentukan wilayah terumbu karang secara spasial, yaitu wilayah terumbu karang yang dijadikan ikan target sebagai tempat pemijahan, tempat pembesaran dan tempat mencari makan. Untuk mengetahui hal tersebut, digunakan data variasi ukuran ikan yang ditemukan pada masing-masing stasiun penelitian. Dari sebaran variasi ukuran ikan tersebut dibuat dua kelompok yaitu kategori ikan dewasa dan belum dewasa. Penentuan ikan dewasa dan belum dewasa berdasarkan pada ukuran pertama matang gonad (length at first maturity) dari masing-masing jenis ikan ( Berdasarkan asumsi yang dibuat yaitu jika ditemukan dominasi ukuran panjang kategori dewasa maka lokasi ini ditentukan sebagai wilayah pemijahan, jika di dominasi ukuran panjang kategori belum dewasa maka ditentukan sebagai wilayah pembesaran, sedangkan jika ukuran ikan yang ditemukan tidak adanya dominasi dari ukuran panjang kategori dewasa dan belum dewasa maka ditentukan sebagai wilayah makan. Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Diagram penentuan spasial wilayah pemijahan, pembesaran dan makan Untuk melihat waktu pemijahan yang terjadi di wilayah pemijahan, data variasi ukuran ikan di wilayah ini diurutkan berdasarkan bulan pengamatan (hal ini dapat dilakukan karena pengambilan data setiap tahun dilakukan pada bulanbulan yang berbeda). Bulan-bulan pengamatan yang memiliki jumlah ikan dewasa

73 47 jauh lebih banyak dari ikan belum dewasa diduga merupakan waktu pemijahan ikan. Selain berdasarkan data variasi ukuran ikan, juga dilihat data dari hasil pengamatan TKG. Berdasarkan kedua hasil pengamatan tersebut maka dapat disimpulkan waktu pemijahan yang terjadi di wilayah pemijahan Analisis Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis ekonomi sumberdaya terumbu karang adalah metode valuasi ekonomi. Dijelaskan oleh Barbier et al. (1997), ada tiga jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu impact analysis, partial analysis dan total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu, misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Pendekatan partial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, pendekatan total valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat. Pada penelitian ini, pendekatan yang dilakukan adalah valuasi total (total valuation). Untuk itu, data ekonomi sumberdaya terumbu karang yang diperoleh dari masyarakat melalui kuesioner sebagai data primer dan data sekunder yang didapatkan dari instansi terkait akan dianalisis untuk menentukan nilai manfaat langsung (direct use value-duv) dan nilai manfaat tidak langsung (indirect use value-iuv) yang merupakan bagian dari total nilai ekonomi (total economic value). Nilai manfaat langsung (DUV) terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus merupakan hasil penjumlahan dari manfaat langsung hasil karang (MLH), manfaat langsung hasil perikanan (MLP) dan manfaat langsung wisata. Nilai manfaat langsung dihitung sebagai berikut: MLH n H i 1 i (6) MLH adalah manfaat langsung hasil karang dan H i adalah jenis hasil karang ke-i (i=1,2,3,... n) yaitu bahan bangunan, kapur dan seterusnya.

74 48 n MLP Pi i (7) MLP adalah manfaat langsung perikanan dan P i adalah jenis perikanan ke-i (i=1,2,3,4,... n) yaitu ikan, kepiting, udang, kerang, dan seterusnya (8) MLW adalah manfaat langsung sebagai daerah wisata dan W i adalah jenis wisata ke-i (i=1,2,3,... n) yaitu estetika, lindungan flora, lindungan fauna, dan seterusnya. Semua nilai tersebut diestimasi setara dengan nilai rupiah yang diperoleh dari responden, pejabat dan wisatawan. Nilai manfaat tidak langsung (IUV) dihitung dengan analisis berikut: (a) Analisis Fungsi Biologis Fungsi ekosistem terumbu karang diantaranya adalah sebagai tempat pembesaran, pemijahan dan mencari makan ikan, moluska, krustacea serta organisme lain. Nilai fungsi biologis ini didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan di ekosistem terumbu karang tersebut dikurangi biaya investasi dan operasional (asumsi fungsi ini tersebar secara merata). Terumbu karang sebagai tempat kehidupan ikan, nilai ekonominya dapat dihitung dengan menggunakan rumus:...(9) V n adalah nilai terumbu karang sebagai tempat kehidupan ikan, β adalah koefisien terumbu karang yang utuh, L t adalah luas terumbu karang total, dan U n adalah nilai rente ekonomi terumbu karang. (b) Analisis Fungsi Fisik Fungsi fisik ekosistem terumbu karang sebagai pelindung pantai dari gelombang laut didekat dengan menghitung biaya pembuatan beton yang setara dengan fungsi terumbu karang sebagai penangkal gelombang (Turmudi et al. 2005). Nilai ini dihitung dengan persamaan berikut:...(10)

75 49 NF adalah nilai fungsi fisik (Rp/Ha/th), P g adalah ukuran pemecah gelombang (m 3 ), D t adalah daya tahan (th), G p adalah panjang garis pantai (m), dan B adalah biaya standard beton (Rp/ m 3 ) Analisis Sosial Sumberdaya Terumbu Karang Parameter fisik, sosial dan lingkungan yang diamati, yaitu aksesbilitas menuju lokasi penelitian, kesehatan, keamanan lingkungan, jarak dengan pusatpusat pengembangan lainnya, respon masyarakat dan keadaan sosial-budaya masyarakat. Data sosial dan budaya masyarakat setempat, diperoleh dengan cara melakukan wawancara dan penyebaran kuesioner secara terstruktur untuk mendapatkan data persepsi (kesiapan, keinginan, dan partisipasi) masyarakat dalam pengelolaan ekosistem sumberdaya terumbu karang. Analisis aspek sosial dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh sosial dari upaya pengembangan, sehingga diharapkan dengan program pengembangan yang akan dilaksanakan akan tercapai pemerataan kesejahteraan bagi semua pengguna (stakeholder) yang terlibat dalam kegiatan pengembangan dan peningkatan ekonomi serta kelestarian ekosistem sumberdaya terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Untuk itu pendekatan yang diukur yaitu: tenaga kerja yang dapat diserap (pekerjaan), pendapatan per orang per tahun, tingkat pendidikan, lama tinggal dan umur tenaga kerja serta variabel-variabel lain yang berperan dalam menentukan pelestarian ekosistem terumbu karang dengan pendekatan partisipasi. Selanjutnya dari data diatas ingin diketahui bagaimana informasi atau variabel penting mana yang bisa menjelaskan partisipasi masyarakat terhadap pengembangan ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dan memahami hubungan antar variabel tersebut digunakan pada analisis MDS (Multi Dimensional Scaling) Analisis Model Optimasi Selanjutnya untuk mengoptimalkan fungsi ekologi terumbu karang secara spasial (pemijahan, pembesaran dan mencari makan) digunakan pendekatan metode analisis regresi berganda (Sokal and Rohlf 1981). Model optimasi dengan analisis regresi berganda mengikuti persamaan berikut :

76 50...(11) Y adalah variabel terikat yaitu parameter ikan karang, β 0 adalah intersep, β 1,2,3 adalah koefisien regresi, dan X adalah variabel bebas yaitu komponen bentik penyusun terumbu karang. Komponen bentik penyusun terumbu karang yang digunakan pada analisis ini diperoleh dari hasil analisis komponen utama (PCA). Sehingga hasil analisis ini akan menunjukkan komponen bentik penyusun terumbu karang yang memberikan kontribusi terbesar terhadap kelimpahan ikan target pada masingmasing lokasi. Dengan demikian, dalam tindakan-tindakan untuk mengoptimasi fungsi ekologi terumbu karang secara spasial (pemijahan, pembesaran dan mencari makan) mengutamakan peningkatan persentase tutupan dari komponen bentik penyusun terumbu karang yang memberikan kontribusi terbesar pada setiap lokasi. Untuk mengoptimalkan fungsi ekonomi terumbu karang sebagai penyedia sumberdaya ikan target dilakukan melalui pendekatan metode produksi surplus. Dengan berbasis fakta bahwa sumberdaya ikan target memiliki keterkaitan dengan tutupan karang (T t ), maka perubahan stok ikan (x t ) dalam waktu tertentu diberikan sebagai (modifikasi dari Adrianto 2010): ( ) ( )...(12) Dari model di atas dapat dilihat bahwa net expansions dari perikanan ikan target tergantung dari produktivitas biologis [F(X t,t t )] dan pemanfaatan bersih dari sumberdaya [h(x t,e t )]. Fungsi biologis di sini terkait dengan tutupan karang yang berkondisi baik sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan bagi ikan. Sehingga dampak tutupan karang yang berkondisi baik terhadap fungsi ini adalah positif atau F T > 0. Sebagai langkah awal dalam mengoptimalisasi stok ikan target adalah menentukan tangkapan dan upaya lestari dengan menggunakan metode surplus produksi sebagai berikut : ( ) ( )... (13)

77 51 ( ) adalah fungsi pertumbuhan stok ikan, x adalah stok ikan, r adalah laju perubahan intrinsik ikan, dan K adalah kapasitas daya dukung. Aktifitas penangkapan ikan di terumbu karang diasumsikan punya hubungan yang linier antara produksi dan upaya menggunakan konvensi Gordon- Schaefer yang dinyatakan dengan fungsi:...(14) h adalah produksi, x adalah stok ikan, E adalah upaya, dan q adalah koefisien daya tangkap (catchability coefficient) Jika persamaan (14) disubsitusikan ke persamaan (12) maka akan menghasilkan : [ ( ( ) ) ]...(15) r dan K dipengaruhi secara positif oleh tutupan karang (T), sehingga K memiliki nilai positif atau K > 0 Dengan tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan di mana ekspansi effort untuk periode tertentu adalah tergantung dari profit (p) pemanfaatan sumberdaya maka model effort expansions-nya diberikan sebagai : [ ( ) ]...(16) p adalah harga ikan per unit produksi, c adalah biaya riil, dan Ø adalah koefisien penyesuaian (adjusment coeficient), Ø > 0. Pada kondisi open access equilibrium (steady state) yang dipengaruhi oleh kondisi perubahan area tutupan karang dapat ditentukan dengan asumsi bahwa tingkat upaya tangkap dan area tutupan karang dalam kondisi equilibrium, sehingga persamaan 15 dan 16 dapat dipecahkan untuk tingkat steady state stok ikan (x) dan upaya tangkap (E) yaitu :...(17) ( ( ) )...(18) Dengan demikian secara empiris kondisi ini bisa dianalisis dengan mengestimasi parameter bioekonomi (α, r, q) dan parameter harga dan biaya (p dan c).

78 52 Substitusi persamaan 14 ke dalam persamaan 18 menghasilkan: ( )...(19) dimana persamaan di atas dapat diestimasi dengan menggunakan suatu urutan data (time series data) dari produksi (harvest), upaya (effort) dan tutupan karang. Karena b 1 = αq dan b2 = -q 2 /r maka estimasi model pada persamaan (19) dapat ditulis :...(20) Dari data dan analisis yang dilakukan, penelitian ini mengestimasi produksi optimal ikan target (optimal production of target fish-qt), Luasan optimal tutupan karang (optimal coral covered area-tt), pendapatan optimal (optimal revenues- Rt) dan upaya optimal (optimal effort-et) Analisis Keberlanjutan Pemanfaatan Terumbu Karang Keberlanjutan pembangunan (sustainable development), dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan perikanan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Plante et al. (2009) menyatakan bahwa untuk tujuan memupuk kemampuan adaptif dan menciptakan kesempatan, keberlanjutan dapat pula diartikan sebagai kapasitas untuk menimbulkan, menguji, dan memelihara kemampuan adaptif. Meskipun terbatas pada kapasitas sumber daya pesisir (perikanan) dan pemanfaatannya. Keberlanjutan kegiatan perikanan pesisir, pada dasarnya mencakup keseluruhan elemen sistem perikanan. Charles (2001) mengemukakan bahwa keberhasilan menggapai keberlanjutan perikanan berkaitan erat dengan adopsi secara memadai atas konsepsi tentang perikanan sebagai suatu sistem dari interaksi antar komponen-komponen ekologi, biofisik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sedangkan FAO (1999) sudah mengadopsi definisi tentang pembangunan berkelanjutan dalam lima elemen utama, yaitu: sumber daya alam, lingkungan, kebutuhan manusia (ekonomi dan sosial), teknologi, dan institusi. Sumber daya

79 53 alam dan lingkungan adalah dua elemen untuk dilindungi, sedangkan elemen lainnya dipenuhi, diawasi dan berlangsung sesuai dengan proses pengelolaan FAO (2005). Secara singkat, keberlanjutan ekologi berkenaan dengan jaminan kelestarian sumber daya pesisir yang dieksplotasi. Selanjutnya menurut Charles (2001), keberlanjutan ekologi mencakup juga pemeliharaan basis sumber daya dan spesies terkait serta mempertahankan kelenturan dan kesehatan menyeluruh dari ekosistemnya. Sementara keberlanjutan sosio-ekonomi difokuskan pada tingkat makro, seperti mempertahankan dalam jangka panjang kesejahteraan sosioekonomi pelaku perikanan termasuk distribusi keuntungan secara wajar. Keberlanjutan komunitas (sosial-budaya) dapat ditandai pada komunitas sebagai sistem insani yang bernilai lebih dari sekedar kumpulan individu-individu. Penekanannya pada pemeliharaan secara kelompok untuk kesejahteraan dan kesehatannya dalam jangka panjang. Selain itu, pemeliharaan sistem penopang kehidupan merupakan prasyarat keberlanjutan sosial (Buanes et al. 2005). Menurut Zagonari (2008) dan Williams et al. (2008), keberlanjutan perikanan untuk semua dimensinya, dievaluasi untuk mengetahui statusnya pada suatu periode waktu tertentu. Selanjutnya berdasarkan statusnya, pengambilan keputusan untuk mempertahankan dan/atau mengembangkan status dimaksud dapat secara objektif dilakukan. Dalam hal pengembangan status keberlanjutan, tentu saja, fokusnya pada perbaikan keadaan dari atribut-atribut keberlanjutan perikanan. Multidimensional scaling merupakan salah satu analisis statistika multivariabel (multivariate) yang berkaitan dengan permasalahan bahwa untuk sejumlah asosiasi, dalam hal ini jarak euclidean (euclidean distance squared) yang diamati antara setiap pasang n obyek (titik posisi) dalam multidimensi (sumbu), akan dicari sebuah wakil asosiasi dari setiap pasang obyek tersebut dalam dimensi yang diperkecil sedemikian sehingga dugaan wakil asosiasi obyek-obyek ini (proximities) hampir sama dengan asosiasi awal. Keterwakilan asosiasi tersebut dinilai baik jika jarak relatif (susunan peringkat jarak antar dua obyek dari yang terbesar hingga yang terkecil) dapat dipertahankan walaupun dimensi (sumbu) telah diperkecil dari banyak menjadi dua saja. Proses proximitying (reduksi

80 54 dimensi) pada prinsipnya merupakan analisis faktor (factor analysis) dimana dimensi akhir yang diperkecil tersebut merupakan kombinasi linier (linear combination) dari dimensi (variabel) awal (Susilo 2005). Pada proses reduksi dimensi (proximitying) jarak absolut antar obyek akan berubah, oleh karena itu jarak ini dihitung kembali dan pada tahap selanjutnya disusun kembali peringkat jarak antar obyek sehingga didapatkan peringkat jarak antar obyek dalam dua dimensi. Output pada tahapan selanjutnya adalah nilai stress: yang merupakan penyimpangan karakteristik jarak (peringkat jarak) setelah reduksi dimensi dibandingkan dengan sebelum reduksi dilakukan. stress merupakan % penyimpangan dari karakteristik awal. Makin kecil nilai stress berarti makin besar representasi jarak dapat dipertahankan pada analisis proximitying dalam ruang yang diperkecil atau hasil analisis makin dapat dipercaya. Susilo (2005) menyatakan bahwa untuk dapat menerima hasil analisis multidimensional scaling kriteria stress <25%. Nilai stress akan sangat dipengaruhi oleh jumlah variabel (dimensi awal), jumlah obyek yang diteliti, dan dimensi akhir yang dibuat. Makin sedikit dimensi awal, makin banyak obyek yang diteliti, dan makin besar dimensi akhir yang dibuat, nilai stress akan semakin kecil. Dimensi dan atribut yang digunakan dalam menentukan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan dan teknologi seperti terlihat pada Tebel 7, 8, 9, 10 dan 11. Tabel 7 Dimensi dan atribut ekologi untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang No Atribut Skor Keterangan 1 Persentase penutupan karang 0;1;2;3 0-24% (0); 25-49% (1); 50-74% (2); >74% (3) (Yap & Gomez 1984) 2 Keanekaragaman 0;1;2 Kecil (0), Sedang (1), Tinggi (2) ikan karang 3 Substrat 0;1;2 Pasir (0); Karang Mati (1); CaCO 3 (2) (Sukarno et al. 1981) 4 Salinitas 0;1;2;3 < 25 o / oo (0); o / oo (1); o / oo (2); >32 o / oo (3) (Nybakken 1988) 5 Sedimentasi 0;1;2 Tinggi/>5 NTU (0), sedang/3-5 NTU (1), rendah/0-2 NTU (2) 6 Tingkat eksploitasi 0;1;2;3 Kurang (0); Tinggi (1); Lebih ikan karang tangkap (2); collapsed (3)

81 Tabel 8 Dimensi dan atribut ekonomi untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang No Atribut Skor Keterangan 1 Keuntungan (profit) 0;1;2 Sangat merugikan (0); rugi (1); menguntungkan (2); (Rapfish 2005) 2 Rata-rata penghasilan relatif terhadap UMR 3 Ketergantungan pada sumberdaya sebagai sumber nafkah 4 Waktu yg digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang 0;1;2 Di bawah (0); mendekati/sama (1); lebih tinggi (2) (Rapfish 2005) 0;1;2 Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2) (Nikijuluw 2002) 0;1;2 Tidak (0); paruh waktu (1); penuh waktu (2): (Rapfish 2005) 5 Pemandu wisata 0;1;2 Tidak ada (0); 5-10 orang (l); >10 orang (2) 6 Wisatawan lokal 0;1;2 Tidak ada (0); <100 orang/bulan (1); >100 orang/bulan (2) 7 Wisatawan mancanegara 0;1;2 Tidak ada (0); <100 orang/tahun (1); >100 orang/tahun (2) 8 Jumlah obyek wisata 0;1;2 Tidak ada (0); 1-2 (1); >2 (2) 9 Lama tinggal wisatawan 0;1;2 1-3 hari (0); 4-6 hari (1); >6 hari (2) 55 Tabel 9 Dimensi dan atribut sosial untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang No Atribut Skor Keterangan 1 Partisipasi keluarga 0;1;2 Tidak ada (0); 1-2 (1); 3-4 orang (2) (Rapfish 2005) 2 Peran partisipasi 0;1;2 Netral (0); negatif (1);positif (2) (Susilo 2005) 3 Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan 0;1;2 Tidak ada (0); 1-2 (1); >2 (2) (Nikijuluw 2002) 4 Tingkat pendidikan 0;1;2;3 Tidak tamat SD (0); tamat SD- SMP (1); tamat SMA (2); S 0 -S 1 (3) 5 Pertumbuhan pekerja eksploitasi 10 thn akhir 6 Upaya perbaikan ekosistem terumbu karang 7 Zonasi peruntukan lahan 0;1;2;3 10% (0), 10-20% (1), 20-30% (2); >30% (3) (Rapfish 2005) 0;1;2;3 tidak ada (0); 1-3/tahun (1); 4-6/tahun (2); >6/tahun (3) (Susilo 2005) 0;1;2 Tidak ada (0); ada tapi dilanggar (1); ada dan ditaati (2) (Nikijuluw 2002)

82 56 Tabel 10 Dimensi dan atribut kelembagaan untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang No Atribut Skor Keterangan 1 Ketersediaan 0;1 Tidak ada (0); Ada (1) peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal 2 Tingkat kepatuhan Masyarakat terhadap peraturan 0;1;2 Patuh (0); sedang (1) tidak patuh (2) (Nikijuluw 2002) 3 Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya 4 Pemantauan, pengawasan dan pengendalian 0;1;2 Nelayan (0); pemerintah (1); swasta (2) (Nikijuluw 2002) 0;1;2 Tidak ada (0) kadang-kadang (1) Ada (2) (Nikijuluw 2002) 5 Tokoh panutan 0;1;2 Tidak ada (0); <3 orang (l); >3 orang (2) (Nikijuluw 2002) 6 Penyuluhan hukum lingkungan 0;1;2 Tidak pernah (0); <2/tahun (1); >2/tahun (2) (Nikijuluw 2002) 7 Koperasi 0;1 Tidak ada (0); Ada (1) 8 Tradisi/budaya 0;1 Tidak ada(0); Ada (1) Tabel 11 Dimensi dan atribut teknologi untuk penilaian keberlanjutan ekosistem terumbu karang No Atribut Skor Keterangan 1 Alat eksploitasi yang 0;1;2 Mayoritas pasif (0); seimbang digunakan (1); mayoritas aktif (2): 2 Ketersediaan alur atau akses eksploitasi (mengacu Rapfish 2005) 0;1;2 Tidak ada (0); sedikit (1); banyak 3 Tipe alat pengangkut 0;1;2 Tidak ada (0); rakit (1); perahu (2) 4 Teknologi penanganan pasca panen 0;1;2 Tidak ada (0); sedikit (1); cukup lengkap (2) (Rapfish 2005) 5 Ekoteknologi pada kegiatan wisata 0;1;2 Sangat kurang (0); cukup (1); banyak (2) 6 Teknologi perahu 0;1;2 Tidak bermotor (0); katinting (1); perahu bermotor (2)

83 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sistem Sosial-Ekologi Desa Basaan Sistem Sumberdaya Desa Basaan Kabupaten Minahasa Tenggara tidak terlepas dari kegiatan tektonik dan magmatisme busur gunung api karena lajur Tunjaman Sulawesi Utara, Sangihe Timur dan Selatan. Morfologi dataran dengan kemiringan lereng antara 0-5% menempati daerah pantai dan muara sungai dengan ketinggian 0-25m di atas muka laut. Relief pantai rendah hingga datar dengan karakteristik garis pantai yaitu pantai berpasir dan berbatuan dasar dan daratan berlumpur. Panjang area tapak daerah pantai di Desa Basaan secara vertikal dari arah pantai bervariasi kurang lebih m, sedangkan pada Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus berkisar 5-100m. Terdapat dua sungai yang bermuara di Teluk Totok yaitu Sungai Basaan dan Sungai Totok. Morfologi perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar 5-15%, di beberapa tempat >30%, dan ketinggian antara 0-200m di atas permukaan laut mengisi pantai belakang. Karakteristik garis pantai berpasir, berkerikil hingga berbatuan dasar. Untuk morfologi perbukitan terjal, kemiringan lereng antara 15-70%, dan ketinggian berkisar m di atas permukaan laut ada di bagian dari kaki tubuh pegunungan hingga pesisir pantai, di antaranya ada pada daerah sekitar pesisir pantai Laut Maluku antara Kema hingga Ratatotok. Karakteristik garis pantai yang terdiri dari batuan dasar mengisi pantai belakang. Berdasarkan derajat kekuatan geologi teknik, daerah pantai Bentenan hingga Belang dan sebagian pantai Ratatotok memiliki zona derajat kekuatan geologi teknik sangat rendah karena dibentuk oleh endapan alluvium (Qal) berupa lanau pasiran dan endapan pantai. Untuk daerah pantai Desa Basaan memiliki zona derajat kekuatan geologi teknik rendah karena dibentuk oleh endapan sungai (Qs). Daerah ini sangat rentan terhadap abrasi, dimana daerah ini terdapat sungai yang mengendapkan material di pesisir pantai dengan bantuan arus laut. Sungaisungai yang ada membentuk gosong-gosong pasir dan bahan-bahan yang dibawanya mengendap di depan pantai. 57

84 58 Di wilayah pesisir Desa Basaan terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun. Keberadaan ekosistem-ekosistem tersebut sangat penting untuk menunjang kehidupan di Desa Basaan. Selain menghasilkan barang (ikan, kayu bakar, dll) yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat, juga menghasilkan jasa ekologi seperti penahan gelombang pasang, abrasi dan angin. Keterkaitan fungsi antar ke tiga ekosistem tersebut sangat penting, karena kerusakan salah satu ekosistem akan mempengeruhi keberadaan ekosistem yang lain Kondisi Sosial Masyarakat dan Infrastruktur Desa Basaan masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Ratatotok Kabupaten Minahasa Tenggara. Pada tahun 2011, penduduk Desa Basaan sebagian besar berasal dari suku Minahasa dan Bajo, dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa, yang terdiri dari 629 jiwa Laki-laki dan 549 jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga sebanyak 329 dengan rata-rata anggota keluarga sebanyak 4 orang. Hal ini menunjukkan program keluarga berencana yaitu 2 anak setiap keluarga sudah diterapkan oleh masyarakat Desa Basaan. Pola pemukiman masyarakat bersifat menetap, ada rumah-rumah permanen, rumah panggung yang beratapkan seng yang didirikan di sebelah menyebelah jalan desa dengan bagian depan rumah atau serambi muka menghadap kejalan, antara rumah dan jalan desa dibatasi dengan pagar, ada yang permanen seperti beton, ada pula yang menggunakan patok-patok kayu dan bambu dan ada pula yang manjadikan tanaman-tanaman tertentu sebagai pagar hidup. Rumah-rumah permanen dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan WC. Untuk rumah-rumah yang didirikan di pesisir pantai memiliki bentuk rumah yang sangat sederhana, berlantaikan tanah, sedangkan di pinggiran pantai umumnya berbentuk rumah panggung yang sebagian besar berdiri diatas permukaan laut dengan dindingnya dari anyaman bambu dan tiang-tiangnya terdiri dari kayu bakau bulat di samping rumah terdapat jembatan darurat yang terbuat dari bambu yang menghubungkan rumah satu ke rumah yang lain dan rumah-rumah tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan WC, sehingga masyarakat menggunakan hutan bakau di belakang rumahnya, pantai dan sungai sebagai tempat buang hajat. Meskipun di pesisir pantai telah disediakan oleh pemerintah jamban keluarga (WC) sebanyak 3 buah, tetapi tidak dapat menampung seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan adanya antrian

85 masyarakat yang akan menggunakan fasilitas tersebut. Secara umum sanitasi yang ada di Desa Basaan cukup baik. 59 Gambar 10 Peta administrasi Desa Basaan. Adapun mata pencaharian masyarakat Desa Basaan adalah petani (65%), nelayan (30%) dan lain-lain (5%). Sebagian besar nelayan merupakan mereka yang berasal dari suku Bajo, walaupun saat ini komunitas nelayan tersebut sudah merupakan generasi campuran, artinya telah terjadi kawin antar suku. Untuk tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi lima yaitu : (1) tidak sekolah 132

86 60 penduduk (11,66%); (2) sekolah dasar 453 penduduk (40,17%); (3) sekolah menengah pertama 375 penduduk (33,13%); (4) sekolah menengah atas 136 penduduk (12,01%); dan (5) perguruan tinggi 36 penduduk (3,18%). Dari data yang ada, dapat dikatakan tungkat pendidikan masyarakat tergolong rendah. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada, dimana berdasarkan hasil observasi di Desa Basaan hanya terdapat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), sedangkan sekolah menengah atas (SMA) terdapat di Ratatotok dan Belang yang jaraknya cukup jauh dari Desa Basaan. Usaha ekonomi produktif yang dilakukan masyarakat selain dalam bidang penangkapan ikan, maka melalui kelompok nelayan yang ada mereka melakukan usaha pemeliharaan ikan dalan kurungan jaring apung (KJA). Mengingat pembangunan kelautan dan perikanan di kawasan ini akan melibatkan partisipasi semua kalangan masyarakat, maka upaya memberdayakan ekonomi masyarakat merupakan keharusan. Pemberdayaan ekonomi yang dimaksud diharapkan mampu meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) dan kesejahteraannya tanpa mengesampingkan kultural dan sistem nilai yang dianut. 4.2 Ekologi Terumbu Karang Oseanografi Perairan sekitar Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memiliki pasang surut ganda utama atau semi diurnal tides, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari dengan nilai tunggang pasut (tidal range) sebesar 1,17 m. Pasang surut di perairan ini dipengaruhi oleh rambatan pasang surut dari perairan Laut Maluku. Kondisi ini menunjang kegiatan budidaya perikanan dengan metode kurungan jaring apung (KJA) dan jaring tancap. Pada umumnya arus yang bergerak ke dalam Teluk Totok lebih dominan, terutama melewati selat-selat yang ada di Pulau Putus-Putus, karena adanya masukan massa air dari Laut Maluku. Analisis pola arus pasang surut tersebut menunjukkan bahwa kecepatan arus di perairan sekitar Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memenuhi persyaratan untuk kegiatan budidaya terutama metode KJA. Melihat kondisi geografis Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, semua arah angin dapat membangkitkan gelombang, terutama arah angin dari selatan dan

87 timur. Kondisi bergelombang yang besar terjadi pada saat musim selatan (bulan Agustus hingga Oktober) dengan tinggi gelombang lebih besar dari 1 m. Hasil pengukuran beberapa variabel kualitas air (Tabel 12) menunjukkan bahwa kondisi perairan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dalam kondisi yang baik. Nilai oksigen terlarut yang diperoleh (lebih besar 3 ml/l) menggambarkan bahwa perairan mendukung kehidupan organisme laut khususnya ikan. Apabila oksigen terlarut kurang dari 3 ml/l dan berlangsung dalam waktu lama, akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan kurangnya nafsu makan ikan. Walaupun demikian pada kondisi oksigen terlarut dalam jumlah yang sangat banyak dapat juga mengakibatkan terjadinya kematian pada ikan, sebab di dalam pembuluh-pembuluh darah terjadi emboli gas yang dapat mengakibatkan tertutupnya pembuluh-pembuluh rambut dalam daun-daun insang ikan. Tabel 12 Pengukuran parameter fisik-kimia perairan STASIUN KED. KONDUK TURBID DO TEMP SAL. KECEPATAN (m) (ms/cm) (NTU) (ml/l) ( C) ( o /oo) ARUS (cm/dtk) ,4 0 4,05 27,7 29, ,5 2 3,73 26,9 30, ,1 0 4,22 28,6 30, ,6 2 4,35 27,5 30, ,1 0 4,12 26,8 30, ,2 0 4,15 26,9 30, ,3 0 4,08 27,5 30, ,6 3 4,07 27,5 30, ,4 0 4,05 26,2 30, ,3 2 4,03 25,9 30, ,5 0 3,80 26,7 30, ,3 6 3,54 26,4 31,2 Cat: Pengukuran dilakukan tanggal 7 september Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan penyebaran organisme laut. Umumnya organisme di daerah terumbu beradaptasi dengan kisaran suhu yang normal di mana mereka tinggal dan apabila suhu air menjadi lebih dingin atau lebih panas dari suhu normal, organisme yang hidup akan menderita atau bahkan mati. Khususnya organisme karang, perubahan suhu yang cukup besar dapat

88 62 menyebabkan pemutihan karang dan menyebabkan kematian bagi karang. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan karang adalah o C (Nybakken 1988). Distribusi salinitas di daerah ini secara signifikan tidak berbeda antar stasiun penelitian. Hasil ini menunjukkan bahwa sebaran salinitas hampir homogen dan masih berada dalam kisaran ideal untuk kegiatan budidaya. Proses metabolisme terutama di dalam osmoregulasi dengan tekanan osmotik pada karang dapat berlangsung dengan baik. Karang mempunyai toleransi terhadap salinitas dengan salinitas optimal (Nybakken 1988) Komponen Bentik Penyusun Terumbu Karang Kondisi terumbu karang ditentukan mengikuti parameter kriteria baku kerusakan terumbu karang dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2001 dan Yap dan Gomes (1984). Tabel 13 Kategori penentuan kondisi terumbu karang Kepmen LH No 4 tahun 2001 Yap dan Gomez (1984) Kategori Sub Kategori Tutupan Karang (%) Kategori Tutupan Karang (%) Rusak Buruk 0-24,9 Poor 0-24,9 Sedang 25-49,9 Enough 25-49,9 Baik Baik 50-74,9 Good 50-74,9 Baik sekali excellent Kondisi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun 2011, diperoleh tutupan karang pada Stasiun 1, 2, 5 dan 6 sebesar 25-49,9% sehingga dikategorikan enough-sedang, Stasiun 4 dengan tutupan karang 23,50% dikategorikan poor-buruk dan Stasiun 3 dengan tutupan karang 72,95% dikategorikan good-baik. Selain itu dari hasil pengukuran kondisi fisik-kimia perairan (Tabel 12) secara umum memiliki nilai dengan kisaran yang mendukung kehidupan terumbu karang, kecuali nilai turbiditas pada kedalaman 10 meter di Stasiun 6 sebesar 6 NTU yang berada di atas ambang batas sebesar 5 NTU (berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut). Tutupan karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus telah mengalami degradasi. Laju degradasi berkisar dari 0,02%/tahun hingga 7,74%/tahun. Degradasi terkecil terjadi di Stasiun 3 (Pulau Hogow) kedalaman 10 meter dan

89 terbesar di Stasiun 4 (Pulau Putus-Putus) kedalaman 3 meter. Stasiun 1,2,4,5 mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 meter, dan untuk Stasiun 6 yang mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 dan 10 meter. Tabel 14 Laju degradasi terumbu karang Stasiun Laju Degradasi (%/tahun) 3m 10m St-1 6,93 3,24 St-2 6,28 0,51 St-3 0,42 0,02 St-4 7,74 2,63 St-5 5,72 1,52 St-6 5,96 6,20 63 Gambar 11 Perubahan persentase tutupan karang tahun

90 64 Pada pengamatan persentase tutupan karang, secara keseluruhan terlihat adanya penurunan tutupan karang. Pada Stasiun 1, 2, 3 dan 6 penurunan tutupan karang pada tahun relatif kecil. Penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2011 di Stasiun 1 (kedalaman 3 meter 15%, 10 meter 8%), 2 (kedalaman 3 meter 13%), 4 (kedalaman 3 meter 12%) dan 6 (kedalaman 3 meter 29%, 10 meter 15%). Penurunan yang cukup besar pada tahun 2011 di beberapa stasiun tersebut, disebabkan adanya fenomena pemutihan karang (coral bleaching) yang umumnya terlihat pada kedalaman 3 meter dan mulai teramati sejak tahun 2009, dan khusus pada Stasiun 6 juga teramati tingkat kekeruhan yang tinggi pada kedalaman 10 meter. Khusus Stasiun 3, persentase tutupan karang relatif stabil dari tahun 2002 hingga Salah satu faktor yang membedakan kondisi tutupan karang di Stasiun 3 dengan stasiun lainnya, karena tidak ditemukan fenomena pemutihan karang di lokasi ini. Pada Stasiun 4 penurunan yang cukup besar (5%) terjadi di kedalaman 10 meter pada tahun 2005, tahun terjadi penurunan yang relatif kecil dan pada tahun 2011 terjadi penurunan yang besar di kedalaman 3 meter (13%) tetapi terjadi peningkatan di kedalaman 10 meter (4%). Penurunan tutupan karang yang cukup besar di Stasiun 5 terjadi pada tahun di kedalaman 3 meter (7-9%), relatif stabil pada tahun dan meningkat pada tahun 2011 (kedalaman 3 meter 1%, 10 meter 3%). Gambar 12 Luasan tutupan karang hidup dan komponen biotik Dari Gambar 12 terlihat bahwa degradasi persentase tutupan karang juga menyebabkan penurunan luasan terumbu karang yang memiliki karang hidup.

91 Secara keseluruhan, luasan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus sebesar 114,96 Ha. Pada tahun 2002, luasan tutupan karang hidup sebesar 63,20 Ha dan menjadi hanya 49,90 Ha pada tahun Akibat penurunan tutupan karang hidup memunculkan ruang yang ditempati oleh komponen biotik lainnya di terumbu karang seperti algae, soft coral dan fauna lainnya. Penempatan ruang ini, mengakibatkan luasan tutupan komponen biotik dari tahun 2002 hingga 2010 tidak mengalami perubahan secara drastis. Penurunan tutupan komponen biotik yang cukup besar justru di temukan pada tahun Perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang pada Stasiun 1 secara siknifikan terjadi pada tahun 2006 dan 2011 (Tabel 15). Perubahan pada tahun 2006 terlihat pada penurunan yang cukup besar pada tutupan alga (10,00% pada tahun 2005 menjadi 2,68%) dan peningkatan tutupan abiotik berupa pasir dan rubble (6,70% pada tahun 2005 menjadi 28,55%). Pada tahun 2011 terjadi penurunan tutupan karang hidup yang cukup besar yaitu 58,45% pada tahun 2010 menjadi 40,52%, diikuti dengan lonjakan tutupan abiotik berupa pasir dan patahan karang (12,73% pada tahun 2010 menjadi 32,25%). Tabel 15 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 1 Komponen BIOTIK Karang Hidup 66,94 66,00 64,60 63,25 62,62 62,15 61,85 59,35 58,45 40,52 Karang Lunak 4,20 7,70 14,82 4,50 4,30 7,00 10,45 12,23 5,70 3,10 Sponge 7,02 1,55 4,07 4,40 1,60 3,10 3,65 2,87 2,10 7,20 Alga 4,87 6,50 1,70 10,00 2,68 5,75 4,40 10,02 8,80 8,08 Fauna lain 0,39 1,60 0,07 0,70 0,25 1,60 0,90 0,92 0,71 0,00 Jumlah 83,42 83,35 85,26 82,85 71,45 79,60 81,25 85,39 75,76 58,90 ABIOTIK Karang Mati 11,80 6,30 3,54 10,45 6,25 10,35 2,90 3,80 11,51 8,85 Pasir dll. 4,78 10,35 11,20 6,70 22,30 10,05 15,85 10,81 12,73 32,25 Jumlah 16,58 16,65 14,74 17,15 28,55 20,40 18,75 14,61 24,24 41,10 65 Pada Stasiun 2, perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang secara signifikan terjadi pada tahun 2011 (Gambar 16). Dimana perubahan pada tahun 2011 terlihat pada penurunan yang cukup besar pada tutupan karang hidup (53,77% pada tahun 2010 menjadi 44,15%) dan tutupan alga (21,83% pada

92 66 tahun 2010 menjadi 10,70%). Penurunan kedua komponen biotik tersebut diikuti dengan peningkatan yang cukup besar dari tutupan komponen abiotik yaitu karang mati (8,10% pada tahun 2010 menjadi 20,55%) dan pasir dan patahan karang (9,09% pada tahun 2010 menjadi 17,10%). Tabel 16 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 2 Komponen BIOTIK Karang Hidup 60,14 59,13 58,60 59,10 59,13 58,28 57,18 55,45 53,77 44,15 Karang Lunak 24,50 22,42 22,08 21,60 24,40 23,80 26,17 22,50 21,83 10,70 Sponge 0,30 0,90 2,58 1,65 0,92 2,40 1,40 0,53 0,93 0,40 Alga 2,40 1,80 1,45 1,00 3,00 2,30 2,40 4,68 6,18 6,85 Fauna lain 0,70 1,50 0,00 1,25 0,45 1,90 0,70 0,10 0,10 0,25 Jumlah 88,04 85,75 84,71 84,60 87,90 88,68 87,85 83,26 82,81 62,35 ABIOTIK Karang Mati 1,05 3,25 4,44 4,20 3,10 2,80 2,80 6,95 8,10 20,55 Pasir dll. 10,91 11,00 10,85 11,20 9,00 8,52 9,35 9,79 9,09 17,10 Jumlah 11,96 14,25 15,29 15,40 12,10 11,32 12,15 16,74 17,19 37,65 Tabel 17 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 3 Komponen BIOTIK Karang Hidup 74,84 72,80 72,86 73,85 72,83 73,35 73,60 73,00 78,81 72,95 Karang Lunak 7,06 8,60 9,00 8,20 8,66 9,00 7,75 9,25 7,95 2,90 Sponge 1,90 1,50 2,42 1,20 1,35 1,20 1,10 2,00 1,10 0,95 Alga 3,30 3,35 2,06 3,40 4,16 3,05 3,85 1,85 1,20 7,85 Fauna lain 0,65 0,65 0,23 1,20 1,05 0,70 0,85 1,15 0,90 0,20 Jumlah 87,75 86,90 86,57 87,85 88,05 87,30 87,15 87,25 89,96 84,85 ABIOTIK Karang Mati 6,30 6,00 6,55 4,80 4,90 5,80 5,90 6,53 3,90 4,15 Pasir dll. 5,95 7,10 6,88 7,35 7,05 6,90 6,95 6,22 6,14 11,00 Jumlah 12,25 13,10 13,43 12,15 11,95 12,70 12,85 12,75 10,04 15,15 Perubahan yang terjadi di Stasiun 3 tidak siknifikan (Tabel 17). Terjadinya perbedaan nilai merupakan fluktuasi tutupan pada komponen biotik dan abiotik setiap tahun. Pada Stasiun 3 ini terjadi fluktuasi tutupan karang hidup, seperti peningkatan tutupan pada tahun 2005, 2007, 2008 dan yang cukup besar terjadi pada tahun 2010 (73,00% pada tahun 2009 menjadi 78,81%). Meskipun demikian pada tahun 2011 terjadi penurunan tutupan komponen biotik (89,96% pada tahun

93 2010 menjadi 84,85%) dan peningkatan tutupan abiotik (10,04% pada tahun 2010 menjadi 15,15%), dimana perubahan ini lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tabel 18 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 4 Komponen BIOTIK Karang Hidup 38,06 37,40 37,22 34,58 34,10 33,55 31,07 29,33 27,69 23,50 Karang Lunak 18,52 19,35 17,87 16,50 16,82 21,01 21,50 20,27 21,10 16,12 Sponge 0,00 0,85 0,00 0,35 0,58 0,35 0,00 0,60 0,90 0,60 Alga 12,72 11,60 11,07 15,47 16,65 13,04 16,11 16,90 17,87 3,94 Fauna lain 1,00 0,60 0,50 1,30 0,10 0,60 0,00 3,40 2,45 0,60 Jumlah 70,30 69,80 66,66 68,20 68,25 68,55 68,68 70,50 70,01 44,76 ABIOTIK Karang Mati 6,60 6,80 8,58 5,65 5,60 6,28 5,12 5,55 5,40 7,66 Pasir dll. 23,10 23,40 24,75 26,15 26,15 25,17 26,20 23,95 24,59 47,58 Jumlah 29,70 30,20 33,34 31,80 31,75 31,45 31,32 29,50 29,99 55,24 Perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang yang terjadi di Stasiun 4 dan 5 dari tahun 2002 hingga 2010 tidak siknifikan (Tabel 18 dan 19). Perubahan yang siknifikan terlihat pada tahun 2011 pada total persentase tutupan biotik dan abiotik. Di Stasiun 4 terjadi penurunan tutupan biotik (70,01% pada tahun 2010 menjadi 44,76%) dan peningkatan tutupan abiotik (29,99% pada tahun 2010 menjadi 55,24%). Demikian juga di Stasiun 5 terjadi hal yang sama, penurunan tutupan biotik (80,65% pada tahun 2010 menjadi 56,75%) dan peningkatan tutupan abiotik (19,35% pada tahun 2010 menjadi 43,25%). Tabel 19 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 5 Komponen BIOTIK Karang Hidup 40,65 39,84 38,57 37,97 38,26 34,45 28,53 27,39 25,88 27,78 Karang Lunak 27,05 27,76 27,48 29,53 26,04 25,60 36,97 36,82 39,07 20,45 Sponge 1,30 1,25 1,51 1,75 2,17 2,30 2,20 1,54 1,20 0,35 Alga 12,55 11,45 11,56 13,80 13,20 14,80 12,10 12,23 12,45 6,17 Fauna lain 0,95 2,95 1,52 0,90 0,70 3,20 0,90 1,48 2,05 2,00 Jumlah 82,50 83,25 80,64 83,95 80,37 80,35 80,70 79,46 80,65 56,75 ABIOTIK Karang Mati 3,35 2,20 4,58 4,15 6,20 8,00 7,40 6,56 5,70 5,15 Pasir dll. 14,15 14,55 14,79 11,90 13,43 11,65 11,90 13,98 13,65 38,10 Jumlah 17,50 16,75 19,36 16,05 19,63 19,65 19,30 20,54 19,35 43,25 67

94 68 Kesamaan perubahan yang terjadi pada Stasiun 4 dan 5, disebabkan oleh karena posisi stasiun-stasiun tersebut yang sejajar dan terletak pada sisi bagian luar Pulau Putus-Putus yang berbatasan langsung dengan Laut Maluku. Posisi ini menyebabkan tekanan yang diterima baik secara alami maupun aktivitas manusia pada kedua stasiun tersebut relatif sama. Persentase tutupan pada Stasiun 6 mengalami perubahan yang siknifikan pada komponen karang hidup di tahun 2011 (Tabel 20). Pada tahun 2011 tersebut, penurunan tutupan karang hidup sangat besar (47,81% pada tahun 2010 menjadi 25,95%), diikuti dengan peningkatan tutupan karang mati (6,40% pada tahun 2010 menjadi 17,60%) dan pasir dan rubble (17,86% pada tahun 2010 menjadi 33,65%). Tabel 20 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 6 Komponen BIOTIK Karang Hidup 48,40 48,59 48,29 48,85 48,51 48,05 48,05 48,11 47,81 25,95 Karang Lunak 12,79 14,00 14,53 16,45 17,48 17,65 10,50 11,99 9,14 9,15 Sponge 1,20 1,10 2,08 1,20 1,40 0,90 3,10 3,25 4,30 2,20 Alga 8,60 9,11 7,67 10,65 9,27 7,75 12,35 11,54 12,59 10,70 Fauna lain 1,20 2,90 2,18 1,60 0,80 1,60 2,65 1,70 1,90 0,75 Jumlah 72,19 75,70 74,75 78,75 77,46 75,95 76,65 76,59 75,74 48,75 ABIOTIK Karang Mati 5,30 7,70 7,53 3,55 4,55 5,15 4,10 5,20 6,40 17,60 Pasir dll. 22,51 16,60 17,72 17,70 17,99 18,90 19,25 18,21 17,86 33,65 Jumlah 27,81 24,30 25,25 21,25 22,54 24,05 23,35 23,41 24,26 51,25 Tingginya penurunan tutupan karang batu di Stasiun 6 pada tahun 2011 sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan, dimana hasil pengukuran kualitas air khususnya kekeruhan pada lokasi ini menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu sebesar 6 NTU (Tabel 12). Seperti diketahui karang sangat sensitif terhadap tingkat kekeruhan/sedimentasi, pada tingkatan kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan kematian karang. Menurut Knowlton (2001) dan Hughes et al. (2003), karang merupakan fauna dominan dalam ekosistem terumbu karang yang mengalami ancaman kerusakan sebagai akibat interaksi global dan lokal dari berbagai pihak yang berkontribusi terhadap degradasi karang. Selanjutnya menurut mereka, degradasi

95 69 karang dapat didefinisikan sebagai kematian jaringan karang hidup dan menurunnya keragaman hayati karang seiring meningkatnya penutupan dari alga dan komponen biotik lainnya. Lebih lanjut dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi penangkapan dan perubahan struktur tropik yang mengakibatkan perubahan struktur dalam rantai makanan (Jackson et al. 2001; Pandolfi et al. 2003), polusi nutrient (Pastorok & Bilyard 1985), sedimen (Rogers 1990; Fabricius 2005), toksin (Glynn et al. 1989), perubahan suhu permukaan laut (Glynn & D Croz 1990; Glynn 1993, 1996; Hoegh-Guldberg 1999). Tekanan yang menyebabkan karang terdegradasi secara langsung melalui peningkatan tingkat kematian dan secara tidak langsung melalui peningkatan penyakit dan menurunnya proses rekruitmen karang. Pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan faktor penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menjadi salah satu penyebab utama degradasi terumbu karang karena beberapa nelayan masih menggunakan cara-cara yang merusak seperti penggunaan bom dan racun dari getah pohon. Selain faktor teknik penangkapan ikan, degradasi terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus ditemukan fenomena pemutihan karang. Dalam kurun waktu 10 tahun pengamatan selalu di temukan karang-karang yang mengalami pemutihan pada semua lokasi, dengan jumlah terbesar ditemukan pada tahun 2009 hingga Hal ini sangat terlihat dampaknya dengan turunnya secara drastis luasan tutupan karang pada pengamatan tahun Isu pemutihan karang sebagai salah satu penyebab degradasi karang juga terjadi di Wakatobi Indonesia (BAPPENAS 2010) dan Timur Karibia (Donner et al. 2007) yang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan. Kejadian yang sama juga dilaporkan oleh Watlington (2006) di pulau Virginia, Garrison et al. (2003) di Afrika dan Levitus et al. (2000) di Tropical Western Atlantic. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tekanan simultan dari berbagai sumber merupakan penyebab degradasi karang. Dalam analisis komponen utama (principal component analysis-pca), variabel yang dilihat adalah komponen-komponen bentik penyusun terumbu karang. Dalam analisis ini digunakan 2 sumbu yang memiliki kontribusi terbesar terhadap karakteristik perairan. Untuk kedalaman 3 meter, sumbu pertama memberikan kontribusi sebesar 44,21% terhadap sebaran karakteristik ACB

96 70 (Acropora branching), ACT (Acropora tabulate) dan CM (coral masive) pada Stasiun 1, 2 dan 6. Pada sumbu ini korelasi yang bersifat negatif ditunjukkan oleh komponen ACT dan CM, artinya disaat persentase tutupan ACB tinggi pada Stasiun 1, 2 dan 6, akan diikuti dengan rendahnya persentase tutupan ACT dan CM. Sumbu kedua memberikan kontribusi 35,52% terhadap sebaran CF (coral foliose), SC (soft coral) dan algae pada Stasiun 3, 4 dan 5. Korelasi negatif ditunjukkan CF pada Stasiun 4 dan 5, sedangkan SC dan algae pada Stasiun 3, jadi ketika persentase tutupan CF tinggi di Stasiun 3 akan diikuti dengan persentase tutupan SC dan algae yang rendah. Hal sebaliknya terjadi di Stasiun 4 dan axis F2 (35.51 %) --> 2 1,5 1 0,5 0-0,5-1 -1,5 Kedalaman 3 meter Algae CM ACT St-4 CB DCA St-5 CF St-3 SC St-2 St-6 St-1 ACB ,5-1 -0,5 0 0,5 1 1, axis F1 (44.21 %) --> -- axis F2 (24.46 %) --> Gambar 13 Proyeksi dari stasiun dan komponen bentik dalam bidang dua dimensi (sumbu 1 dan sumbu 2) dengan menggunakan PCA Untuk kedalaman 10 meter, sumbu pertama memberikan kontribusi sebesar 44,64% terhadap sebaran karakteristik SC dan algae pada Stasiun 4, 5 dan 6. Pada sumbu ini korelasi yang ada bersifat positif. Sumbu kedua memberikan kontribusi 24,46% terhadap sebaran CF, ACB dan CB (coral branching) pada Stasiun 1, 2 dan 3. Korelasi negatif ditunjukkan CF pada Stasiun 4 dan 5, jadi ketika persentase tutupan ACB dan CB tinggi di Stasiun 4 dan 5 akan diikuti dengan persentase tutupan CF yang rendah. Dominasi karang dengan bentuk pertumbuhan ACB dan CB di Stasiun 4 dan 5 karena posisi lokasi berhadapan langsung dengan Laut Maluku sehingga sering mengalami gempuran ombak serta memiliki reef flat yang cukup luas, kondisi seperti itu tidak cocok untuk karang dengan bentuk 2,5 2 1,5 1 0,5 0-0,5-1 -1,5-2 Kedalaman 10 meter ACB CB St-1 CF DCA CE CM St-2 St-3 St-6 St-4 St-5 Algae -2,5-2,5-2 -1,5-1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 -- axis F1 (44.64 %) --> SC

97 71 pertumbuhan CF. Wilayah terumbu karang yang sering mendapat tekanan fisik gelombang perairan biasanya disominasi oleh karang bercabang Kondisi Ikan Target Dari hasil penelitian, ditemukan 86 spesies yang masuk dalam 13 famili ikan target. Jumlah spesies yang ditemukan bervariasi pada setiap tahun dan stasiun pengamatan. Gambar 14 menunjukkan bahwa perubahan jumlah spesies tidak membentuk suatu pola dari tahun ke tahun, dimana hal tersebut terlihat dari nilai indeks determinasi (R 2 ) yang sangat kecil. Gambar 14 Perubahan jumlah spesies ikan target tahun Seperti yang diungkapkan Nybakken (1988), perubahan jumlah spesies ikan target pada suatu lokasi sulit untuk dilihat jika lokasi tersebut masih mempunyai banyak tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan karang. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan ini mempunyai

98 72 relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies. Emor (1993) dalam penelitiannya di pulau Bunaken menyatakan bahwa banyaknya spesies ikan karang disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang yang berbeda. Gambar 15 Perubahan jumlah Individu ikan target tahun Jumlah individu ikan target yang ditemukan pada masing-masing kedalaman dan stasiun berkisar dari 351 individu/250m 2 (kedalaman 10m Stasiun 6 tahun 2008) hingga 2027 individu/250m 2 (kedalaman 10m Stasiun 3 tahun 2002). Berbeda dengan jumlah spesies, pada jumlah individu membentuk suatu pola penurunan jumlah individu dari tahun 2002 hingga 2011 dengan koefisien determinasi lebih dari 0,5. Penurunan jumlah individu ikan target di Pulau Hogow

99 73 dan Pulau Putus-Putus ini (Gambar 15) mengikuti apa yang terjadi pada luasan tutupan karang hidup. Seperti yang dikemukakan oleh Hutomo et al. (1988) dalam penelitiannya di pulau Bali dan Batam bahwa kondisi karang yang baik, ditandai dengan persentase tutupan karang hidup yang tinggi berhubungan linier dengan kelimpahan ikan. Hal ini ditunjang oleh pendapat Sutton (1983) in Emor (1993) yang mendapatkan hubungan positif antara kelimpahan ikan karang dengan heterogenitas habitat karang. Seperti halnya pada jumlah individu, biomassa ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menunjukkan suatu pola penurunan dari tahun 2002 hingga 2008 dan mulai meningkat pada tahun 2009 (Gambar 16). Setelah dilakukan analisis diperoleh model dengan koefisien determinasi R 2 = 0,69 artinya model ini layak untuk digunakan. Walaupun dari data jumlah individu dan biomassa terlihat adanya penurunan, tidak bisa karena hal tersebut dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa penurunan yang terjadi pada komunitas ikan target semata-mata karena tekanan kegiatan eksploitasi ikan target. Data kondisi terumbu karang telah menunjukkan, bahwa efek penurunan tutupan karang hidup telah memainkan peran penting dalam menghasilkan kondisi ikan target seperti yang telah diamati. Gambar 16 Penurunan biomassa ikan target tahun 2002 hingga 2011

100 74 Penurunan biomassa ikan target akan mempengaruhi keberadaan ekosistem terumbu karang yaitu dengan adanya perubahan kondisi ikan target akan secara substansial berpengaruh terhadap perubahan tingkatan tropik (tropic level) di ekosistem terumbu karang dan memiliki dampak terhadap ketahanan hidup dan interaksi antara spesies ikan target. Selain itu, dengan memperhatikan hubungan antara ukuran panjang dan fekunditas, diharapkan bahwa biomassa ikan target dewasa yang dilihat dari ukuran panjangnya (dijelaskan lebih rinci pada bab 4.3) cukup untuk mendukung hasil telur lebih besar dan output larva per satuan luas terumbu karang khususnya pada wilayah pemijahan, sehingga produksi larva terus meningkat dan tersebar ke wilayah terumbu karang sekitarnya. Berdasarkan jumlah individu dari masing-masing jenis ikan target yang diperoleh, dilakukan perhitungan indeks keannekaragaman. Secara keseluruhan, indeks keannekaragaman ikan target yang diperoleh cukup tinggi dengan rata-rata nilai yang diperoleh pada keseluruhan stasiun pengamatan sebesar 2,48 hingga 3,19. Nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada Stasiun 1 kedalaman 3 meter dan terendah pada Stasiun 2 kedalaman 10 meter. Dari Tabel 21 terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata indeks keanekaragaman antara kedalaman 3 meter dan 10 meter. Pada kedalaman 3 meter nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh lebih besar 3, sedangkan pada kedalaman 10 meter lebih kecil 3. Hal ini tentunya berhubungan dengan keberagaman habitat (komponen bentik penyusun terumbu karang) yang ada pada masing-masing kedalaman. Pada lokasi penelitian, ditemukan keberagaman habitat yang lebih banyak pada kedalaman 3 meter. Topografi lokasi ikut mendukung keberagaman habitat yang ada, dimana kedalaman 3 meter umumnya terletak pada daerah reef flat hingga reef slope, sedangkan kedalaman 10 meter umumnya sudah berada pada daerah drop dengan tingkat kemiringan hingga 90 o. Kondisi ini menyebabkan komponen bentik karang yang mendiami kedalaman 10 meter didominasi oleh tipe bentuk pertumbuhan tertentu, seperti karang encrusting dan foliose. Lebih sedikitnya tipe habitat yang ada pada kedalaman 10 meter menyebabkan jenis ikan target yang ada pada kedalaman ini lebih sedikit dibandingkan dengan kedalaman 3 meter. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tingginya keragaman ikan target pada suatu lokasi berhubungan erat dengan variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh jenis ikan target.

101 Tabel 21 Indeks keanekaragaman (H ) ikan target Tahun m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m ,17 2,94 3,20 2,62 3,35 3,27 3,19 3,21 3,25 3,29 3,41 3, ,86 2,86 3,09 2,34 3,17 3,10 3,08 2,97 3,28 3,13 3,16 2, ,06 2,74 3,00 2,31 3,19 3,03 3,05 2,99 3,25 3,15 3,17 3, ,13 2,81 3,08 2,41 3,18 2,65 3,22 3,01 3,30 3,16 3,38 2, ,16 2,78 2,99 2,28 3,04 3,19 3,23 3,04 3,22 3,11 3,20 2, ,18 2,43 2,74 2,44 3,10 3,03 3,12 3,02 2,92 2,94 2,87 2, ,24 2,90 3,00 2,70 2,95 2,49 2,90 2,62 2,86 2,12 2,75 2, ,41 2,61 3,15 2,53 3,11 2,79 3,15 2,82 3,27 2,96 3,03 2, ,37 2,90 3,30 2,57 3,27 3,07 3,21 2,83 3,23 3,10 3,10 2, ,33 2,95 3,26 2,63 3,29 2,89 3,18 2,45 3,22 2,87 3,08 2,86 Rata-rata 3,19 2,79 3,08 2,48 3,17 2,95 3,13 2,90 3,18 2,98 3,11 2,87 Keberadaan ikan target di lokasi peneltian, juga dilihat dari sisi potensi sumberdaya perikanannya. Potensi ini menggambarkan perikanan terumbu yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dengan mengestimasi kelimpahan stok, hasil tangkapan potensial dan MSY (maximum sustainable yield) optimal. 75 Gambar 17 Stok, potensial tangkapan dan MSY opt ikan target tahun Adanya degradasi yang terjadi pada tutupan karang hidup, berimplikasi terhadap keberadaan stok ikan target, seperti pada Gambar 17 terlihat penurunan stok, potensial tangkapan dan MSY opt dari tahun 2002 hingga 2011, dimana khusus untuk stok pada tahun 2002 sebesar ekor menjadi

102 76 ekor pada tahun Penurunan yang sangat besar ini tentu sangat mengkhawatirkan dari sudut ekologi karena hal ini mengindikasikan terjadinya degradasi kualitas terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dampak langsung dari hal tersebut dirasakan oleh nelayan khususnya nelayan yang beraktifitas di terumbu karang. 4.3 Penentuan Wilayah Pemijahan, Pembesaran dan Mencari Makan Secara Spasial Dan Temporal Penentuan Secara Spasial Penentuan wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan dilakukan dengan melihat sebaran individu ikan target pada setiap stasiun berdasarkan kategori ukuran ikan yang dibagi dalam dua kategori yaitu dewasa dan belum dewasa. Dari sebaran individu yang diperoleh terlihat 3 pola sebaran yaitu pertama, pola yang didominasi oleh ikan target dewasa (ditemukan pada Stasiun 3); kedua, pola yang didominasi oleh ikan target belum dewasa (ditemukan pada Stasiun 1 dan 2); ketiga, pola yang jumlah ikan target dewasa dan belum dewasa tidak berbeda jauh (ditemukan pada Stasiun 4, 5 dan 6). Melihat pola-pola sebaran yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa lokasi Stasiun 3 yang didominasi oleh ikan target dewasa merupakan lokasi pemijahan, lokasi Stasiun 1 dan 2 yang didominasi oleh ikan target belum dewasa merupakan lokasi pembesaran, dan lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 yang memiliki jumlah ikan dewasa dan belum dewasa tidak berbeda jauh merupakan lokasi mencari makan. Gambar 18 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 3 tahun

103 77 Dari Tabel 22 dan 23 terlihat pada Stasiun 3 jumlah individu melimpah pada kelas ukuran 16-30cm. Selain itu ditemukan jumlah ikan yang cukup banyak pada kelas ukuran 46-60cm, bahkan pada beberapa tahun pengamatan ditemukan ikan berukuran lebih besar 60cm dari famili Serranidae. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi Stasiun 3 didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran siap untuk reproduksi. Gambar 19 Peta lokasi Stasiun 3 (Pulau Hogow) sebagai lokasi pemijahan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ditemukan adanya penurunan kelimpahan ikan yang siknifikan pada tahun 2003 dibandingkan dengan tahun Melihat faktor kondisi terumbu karang di Stasiun 3 yang relatif stabil dengan laju degradasi yang kecil (Tabel 14), maka penurunan ini lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal seperti penangkapan oleh nelayan. Hal ini didukung oleh pernyataan masyarakat bahwa sejak tahun 2003 jumlah ikan karang di pesisir pantai mereka menurun drastis, sehingga masyarakat khususnya nelayan mengalihkan daerah penangkapan ikan karang ke Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus. Sejak tahun 2004 terlihat kelimpahan ikan target pada Stasiun 3 relatif stabil.

104 78 Dijadikannya daerah Stasiun 3/Pulau Hogow sebagai lokasi pemijahan didukung dengan kondisi terumbu karang yang baik (diatas 70%) dan keanekaragaman karang yang tinggi sehingga memiliki banyak bentuk pertumbuhan karang. Dengan demikian banyak habitat yang dapat dijadikan tempat memijah bagi ikan target. Tabel 22 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 3 kedalaman 3 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 23 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 3 kedalaman 10 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae

105 79 Untuk Stasiun 1 dan 2 menjadi lokasi pembesaran selain didukung dengan kondisi terumbu karang yang cukup, juga karena lokasi ini terletak pada daerah yang relatif terlindung, dimana lokasi ini terletak di bagian dalam teluk. Gambar 20 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 1 dan 2 tahun Gambar 21 Peta lokasi Stasiun 1 dan 2 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi pembesaran

106 80 Melihat hasil yang diperoleh pada Stasiun 1 dan 2 (Tabel 24, 25, 26 dan 27) menunjukkan jumlah individu ikan target melimpah pada ukuran yang lebih kecil 15cm. Kondisi ini memperjelas keberadaan ikan-ikan yang berukuran belum siap reproduksi melimpah pada lokasi-lokasi tersebut, sehingga semakin mempertegas bahwa lokasi Stasiun 1 dan 2 sebagai daerah pembesaran. Tabel 24 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 1 kedalaman 3 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 25 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 1 kedalaman 10 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae

107 Tabel 26 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 2 kedalaman 3 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 27 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 2 kedalaman 10 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Seperti halnya pada Stasiun 3, ditemukan adanya penurunan kelimpahan ikan yang siknifikan pada tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 2002 di Stasiun 1 dan 2, tetapi berbeda dengan Stasiun 3 yang kondisi terumbu karangnya relatif stabil, pada Stasiun 1 dan 2 laju degradasi terumbu karang cukup tinggi terutama pada kedalaman 3 meter (Tabel 14), sehingga penurunan kelimpahan ikan banyak disebabkan oleh faktor degradasi tersebut selain faktor eksternal seperti penangkapan oleh nelayan. 81

108 82 Stasiun 4, 5 dan 6 menjadi lokasi mencari makan disebabkan karena lokasi ini memiliki tutupan algae dan tumbuhan lain cukup besar yang menjadi sumber makanan bagi ikan target herbivor. Sebagai satu tingkatan dalam tingkatan tropik, maka ikan herbivor akan mengundang ikan karnivor untuk berkumpul juga di Stasiun 4, 5 dan 6 guna mencari makan. Tabel 28 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 4 kedalaman 3 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 29 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 4 kedalaman 10 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae

109 Tabel 30 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 5 kedalaman 3 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 31 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 5 kedalaman 10 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Hasil yang diperoleh pada Stasiun 4, 5 dan 6 (Tabel 28, 29, 30, 31, 32 dan 33) menunjukkan jumlah individu ikan target melimpah pada ukuran yang lebih kecil 15cm dan 16-30cm. Untuk ukuran panjang 31-45cm cukup melimpah pada Stasiun 4 dan 5. Dengan penyebaran ukuran ikan yang diperoleh, sangat jelas terlihat bahwa kelimpahan ikan yang belum siap reproduksi dan ikan siap 83

110 84 reproduksi merata atau tidak berbeda pada stasiun-stasiun tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 sebagai daerah mencari makan. Penurunan kelimpahan ikan yang siknifikan pada tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 2002 juga terlihat pada Stasiun 4, 5 dan 6. Tidak berbeda dengan Stasiun 1 dan 2, laju degradasi terumbu karang yang tinggi terutama pada kedalaman 3 meter (Tabel 14) merupakan faktor utama penurunan kelimpahan ikan selain faktor eksternal kegiatan penangkapan oleh nelayan yang ikut berpengaruh. Tabel 32 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 6 kedalaman 3 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 33 Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2 ) pada Stasiun 6 kedalaman 10 meter Famili Tahun Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae

111 85 Gambar 22 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 4, 5 dan 6 tahun Gambar 23 Peta lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi mencari makan

112 86 Adanya perbedaan preferensi habitat yang menjadikan lokasi-lokasi di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai wilayah spawning ground, pembesaran dan mencari makan disebabkan karena ikan target dalam keberadaannya selalu akan menyesuaikan diri pada lingkungannya. Setiap spesies memperlihatkan preferensi/kecocokan habitat yang tepat yang diatur oleh kombinasi faktor ketersediaan makanan, tempat berlindung dan variasi parameter fisik. Sejumlah besar spesies ditemukan pada terumbu karang adalah refleksi langsung dari besarnya kesempatan yang diberikan habitat (Allen & Steene 1996) Penentuan Secara Temporal Penentuan secara temporal lebih dikhususkan untuk lokasi pemijahan yaitu penentuan waktu ikan target memijah. Setelah ditentukan bahwa daerah terumbu karang Stasiun 3 atau Pulau Hogow sebagai lokasi pemijahan ikan target berdasarkan distribusi ikan dewasa dan belum dewasa, maka ingin diketahui secara temporal waktu dari pemijahan tersebut. Memperhatikan distribusi ikan dewasa dan belum dewasa di Pulau Hogow mengikuti urutan bulan pengambilan data (Gambar 24) ada keunikan yang tercipta yaitu suatu pola dimana adanya perbandingan jumlah dewasa yang jauh lebih besar pada bulan pebruari hingga april dan bulan september hingga nopember. Dari pola ini dapat mengindikasikan bahwa pada bulan-bulan tersebut merupakan waktu beberapa jenis ikan target melakukan pemijahan. Gambar 24 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 3 mengikuti bulan pengamatan Selain menggunakan distribusi kehadiran ikan target sebagai dasar penentuan waktu pemijahan, juga dilakukan pengamatan TKG (tingkat

113 87 kematangan gonad) dari 4 jenis ikan target yang banyak ditemukan di pulau Hogow selama 12 bulan pengamatan yaitu Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus dan Siganus puellus. Gambar 25 TKG ikan Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus dan Siganus puellus dalam satu tahun pengamatan Pada pengamatan TKG ikan Caesio cuning ditemukan bahwa ikan ini melakukan pemijahan pada kisaran bulan pebruari hingga april, dimana pada bulan-bulan tersebut ditemukan TKG III-VI. Bulan pebruari ditemukan 4 ekor TKG III (hampir masak) dan empat ekor TKG IV (masak), bulan maret ditemukan 3 ekor TKG IV dan 5 ekor TKG V (siap reproduksi), dan bulan april ditemukan 2 ekor TKG VI (keadaan salin-produk seksual telah dikeluarkan). Pada pengamatan bulan-bulan yang lain TKG tertinggi di temukan pada bulan agustus dan september yaitu TKG III. Ikan Epinephelus coioides melakukan pemijahan pada bulan september hingga oktober. Pada bulan september ditemukan 2 ekor TKG III, 7 ekor TKG IV dan 1 ekor TKG V, sedangkan pada bulan oktober ditemukan 3 ekor TKG III, 3

114 88 ekor TKG IV, 1 ekor TKG V dan 1 ekor TKG VI. Untuk bulan yang lain, hanya april, juli dan agustus ditemukan ikan memiliki TKG III. Seperti halnya ikan Caesio cuning, ikan Scarus dimidiatus dan Siganus puellus juga berdasarkan TGK yang diperoleh melakukan pemijahan pada bulan pebruari hingga maret. Pengamatan TKG ikan Scarus dimidiatus pada bulan pebruari ditemukan 2 ekor TKG 3, 1 ekor TKG IV dan 3 ekor TKG V, bulan maret ditemukan 3 ekor TKG IV, 1 ekor TKG V dan 1 ekor TKG VI. Untuk ikan Siganus puellus pada pebruari ditemukan 2 ekor TKG IV dan 5 ekor TKG V, bulan maret ditemukan 1 ekor TKG IV dan 4 ekor TKG 5. Dengan hasil-hasil yang diperoleh, baik sebaran distribusi kehadiran ikan target maupun lewat pengamatan TKG, menunjukkan bahwa secara temporal waktu pemijahan yang terjadi di pulau Hogow adalah bulan pebruari hingga april dan bulan september hingga oktober. 4.4 Nilai Ekonomi Terumbu Karang Nilai ekonomi terumbu karang merupakan total nilai manfaat langsung dan tidak langsung yang diidentifikasi di lokasi penelitian. Dari hasil identifikasi diperoleh 3 manfaat langsung terumbu karang yaitu perikanan, karang mati sebagai bahan bangunan dan wisata selam. Hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai perikanan sebesar Rp /ha/tahun atau Rp /tahun, bahan bangunan sebesar Rp /ha/tahun atau Rp /tahun dan wisata selam sebesar Rp /tahun, sehingga total nilai manfaat langsung sebesar Rp /ha/tahun atau Rp /tahun. Untuk nilai manfaat tidak langsung didekati melalui fungsi ekosistem terumbu karang sebagai habitat ikan target (pemijahan, pembesaran dan mencari makan) dan fungsi fisik terumbu karang sebagai pelindung pantai dari gelombang. Sebagai habitat ikan target di peroleh nilai sebesar Rp /ha/tahun atau Rp /tahun (wilayah pemijahan Rp , wilayah pembesaran Rp dan wilayah mencari makan Rp ) dan pelindung pantai (dengan panjang garis pantai kurang lebih 12km) diperoleh nilai sebesar Rp /ha/tahun atau Rp /tahun, sehingga total nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp /ha/tahun atau

115 Rp Dari hasil nilai manfaat langsung dan tak langsung, diperoleh total nilai ekonomi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebesar Rp ,13/ha/tahun atau Rp /tahun. Nilai manfaat langsung perikanan dan wisata yang diperoleh ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Husni (2001) di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat NTB yaitu perikanan sebesar Rp /ha/tahun dan wisata sebesar Rp Jika mengacu pada pernyataan Hiew dan Lim (1998) in Kusumastanto (2000) bahwa nilai fungsi terumbu karang sebagai pencegah erosi sebesar US$34.871,75/ha/tahun atau Rp /ha/tahun dengan asumsi US$1 setara dengan Rp.8.000, maka nilai fungsi terumbu karang sebagai pencegah erosi yang akan diperoleh di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan jauh lebih besar. Kecilnya nilai yang diperoleh tersebut karena mengacu pada pembuatan break water dinas pengairan Sulawesi Utara sebesar Rp /m 3. Demikian juga dengan total nilai ekonomi yang jauh lebih kecil dari hasil yang diperoleh Dahuri (1999) di kawasan Barelang dan Bintan sebesar Rp /ha/tahun. Kecilnya total nilai ekonomi yang diperoleh juga disebabkan karena belum dimasukkannya nilai-nilai lain seperti nilai keindahan, keragaman biota (biodiversity), warisan dan lain-lain (Ruitenbeek 2001). Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya, untuk itu perlu dilakukan tindakantindakan pengelolaan terumbu karang guna meningkatkan nilai ekonomi yang ada. Seperti hasil penelitian White & Trinidad (1998) di Philipina yaitu setiap 1 km 2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara US$ dari kegiatan perikanan berkelanjutan, US$ dari pariwisata dan US$ dari fungsi perlindungan pesisir (perlindungan abrasi) dengan total keuntungan/pendapatan potensial antara US$ /km 2 /tahun. 4.5 Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang Optimasi Fungsi Ekologi Terumbu Karang Sebagai Habitat Ikan Target Optimasi fungsi ekologi yang dilakukan adalah melihat hubungan antara komponen biotik penyusun terumbu karang dengan kehadiran ikan target pada masing-masing lokasi yang telah ditentukan fungsi ekologinya (pemijahan, 89

116 90 pembesaran dan mencari makan). Berdasarkan analisis PCA yang dilakukan pada komponen penyusun terumbu karang, diperoleh komponen utama yang memiliki kontribusi terbesar terhadap jumlah ikan target yaitu karang hidup, soft coral dan algae (Bab 4.2.2). Berdasarkan hasil analisis PCA tersebut dilakukan analisis regresi berganda untuk melihat hubungan antara tutupan komponen biotik dengan kehadiran ikan target. Model hubungan yang dihasilkan dari analisis tersebut seperti terlihat pada Tabel 34. Tabel 34 Model hubungan komponen bentik penyusun terumbu karang dengan kehadiran ikan target pada setiap wilayah Wilayah Model R 2 Pemijahan y = -2,5E ,56x 1 + 0,09x 2-0,03x 3 0,72 Pembesaran y = -2E ,45x 1-0,06x 2-0,42x 3 0,76 Mencari makan y = -8,3E ,18x 1 + 0,02x 2 + 0,22x 3 0,74 Keterangan: y adalah jumlah ikan; x 1 adalah persentase tutupan karang hidup; x 2 adalah persentase tutupan soft coral; x 3 adalah persentase tutupan algae; dan R 2 adalah koefisien determinasi. Melihat model-model hubungan yang dihasilkan maka secara umum interaksi antara ikan karang dengan habitatnya yang menggambarkan fungsi ekologis terumbu karang meliputi tiga bentuk utama. Pertama, adanya suatu interaksi peran yang melibatkan struktur terumbu dan pola reproduksi dan makan ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu. Kedua, adanya hubungan langsung antara struktur terumbu dan tempat perlindungan. Hal ini akan terlihat jelas pada ikan-ikan yang kecil. Lebih jauh interaksi ini penting bagi eksistensi karang yaitu penyedian substrat dasar. Ketiga, adanya interaksi pola makan yang melibatkan beberapa ikan karang dan biota sesil, termasuk alga. Dari model yang terbentuk dan berdasarkan nilai koefisien regresi, terlihat bahwa untuk lokasi pemijahan komponen bentik karang hidup dengan bentuk pertumbuhan foliose atau CF (jenis Echinopora) memberikan kontribusi terbesar diikuti soft coral dan algae. Lokasi pembesarankontribusi terbesar juga diberikan oleh komponen bentik karang hidup tetapi berbeda dengan lokasi pemijahan pada lokasi ini bentuk pertumbuhan karang hidupnya adalah bercabang (branching) atau CB dan ACB (jenis Anacropora, Porites dan Acropora) diikuti kontribusi selanjutnya oleh soft coral dan algae. Untuk lokasi mencari makan kontribusi

117 91 terbesar diberikan oleh komponen biotik algae diikuti karang hidup dan soft coral. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang sebagian merupakan ikan herbivor sangat membutuhkan kehadiran algae (selain karang hidup) sebagai sumber makanan mereka. Hasil yang diperoleh pada Stasiun 4, 5 dan 6, seperti yang ditemukan oleh Purwanto (1987) dan Aktani (1990) in Emor (1993) di Kepulauan Seribu, dimana mereka menemukan kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang tidak selalu tergantung dari buruknya kondisi terumbu (yang dilihat dari tutupan karang hidup), melainkan juga tergantung dari ketersediaan sumber makanan dikaitkan dengan sifat makan dari ikan karang. Mereka membuktikan bahwa penurunan kondisi karang akan diganti oleh komunitas algae sebagai niche dari ikan-ikan herbivor. Choat & Bellwood (1991) menyebutkan bahwa interaksi yang kuat antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitat tidak hanya dijelaskan dari konteks fisik namun juga melalui perilaku makan ikan. Ikan harus makan untuk dapat bertahan hidup, dan apa yang dimakan oleh ikan karang merupakan informasi yang penting dalam mempelajari ekologi ikan yang hidup di terumbu karang. Perilaku makan ikan karang akan memberi pengaruh terhadap keseluruhan ekosistem terumbu karang dan juga sebaliknya. Lebih lanjut Choat & Bellwood (1991) mengatakan ikan herbivora adalah kelompok yang paling tinggi penyebaran dan kelimpahannya di daerah terumbu karang. Ikan herbivora terdiri dari sekitar 76 spesies Siganidae, 25 spesies Scaridae, 79 spesies Pomacentridae dan sekitar 159 spesies yang bersifat omnivora-herbivora. Keberadaan ikan ikan herbivora mempunyai tiga peranan penting pada ekosistem terumbu karang. Pertama, sebagai konsumer dari produsen, herbivora merupakan penghubung antara aliran energi yang berasal dari produsen ke konsumen tingkat 2 (karnivora). Kedua, mereka mempengaruhi penyebaran, ukuran, komposisi dan bahkan pertumbuhan dari tumbuhan di terumbu karang. Komposisi dan struktur dari tumbuhan yang berasosiasi dengan terumbu karang digambarkan melalui konteks aktivitas herbivori. Pemangsaan oleh ikan herbivora (grazing) secara substansi mengubah alga yang ada di terumbu, dimana hal ini memberika pengaruh positif maupun negatif pada karang. Ketiga, interaksi antara

118 92 ikan ikan herbivora merupakan alat dalam model demografi dan perilaku ikan karang secara keseluruhan. Selain ikan herbivora, di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus juga ditemukan banyak ikan karnivora, khususnya dari famili Lutjanidae dan Seranidae. Ikan karnivora mempunyai morfologi untuk makan yang bervariasi, mulai dari mulut kecil yang khusus seperti pada ikan Forceps Butterflyfish (Forcipiger spp) sampai struktur mulut yang besar seperti pada ikan Scorpionfish (Scorpaenidae), Kakap (Lutjanidae) dan Kerapu (Seranidae). Karnivora mempunyai peranan penting dalam siklus energi dimana hal tersebut terkait dengan struktur fisik terumbu, pola makan ikan dan siklus nutrien. Dalam model hubungan yang diperoleh, keberadaan ikan karnivora di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sangat dipengaruhi oleh persentase tutupan karang hidup karena ketersediaan makanan ikan ini berkorelasi positif dengan keberadaan karang hidup. Hal ini berhubungan dengan tingkatan tropik dimana banyak organisme (seperti krustasea, invertebrata dan zoobenthos) yang merupakan sumber makanan ikan karnivora memanfaatkan karang hidup sebagai tempat hidup mereka Optimasi Ekonomi Pengelolaan Ikan Target Pemanfaatan sumberdaya ikan target pada terumbu karang seringkali tidak memperhatikan stok alami dan kemampuan regenerasi sehingga sumberdaya tersebut dieksploitasi berlebihan. Di sisi lain apabila stok sumberdaya alami ikan target tidak dimanfaatkan maka tidak akan memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat khususnya nelayan. Pada estimasi kriteria pengelolaan digunakan parameter bioekonomi seperti r (laju pertumbuhan intrinsik ikan), q (koefisien daya tangkap), K (kapasitas daya dukung), p (harga) dan c (biaya). Berdasarkan analisis menggunakan parameter bioekonomi tersebut akan diketahui nilai optimal pemanfaatan sumberdaya ikan target pada terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Pendugaan hasil tangkapan optimum (catch) dan upaya tangkap optimum (effort) dengan menggunakan model produksi surplus, didasarkan pada pemahaman bahwa hasil tangkapan per satuan upaya merupakan ukuran biologi yang mengindikasikan kelimpahan dan/atau densitas dari suatu stok ikan yang

119 dieksploitasi. Sparre & Venema (1999) menyatakan model ini dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik, untuk beberapa tahun terdahulu, hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per satuan upayanya dan/atau hasil tangkapan persatuan upaya dan upaya tangkapnya. Lebih lanjut Sparre & Venema (1999) menyatakan cara termudah untuk mempelajari perikanan multi spesies dengan model ini, hanya menghasilkan interpretasi yang tidak langsung tentang stok. Pada dasarnya upaya tangkap yang diperhitungkan berdasarkan banyaknya waktu (trip) dan perahu yang beroperasi, berkaitan pula dengan biaya operasi penangkapan dan harga ikan. Sesuai IHK (Indeks Harga Konsumen) 2010 di Kabupaten Minahasa Tenggara menurut harga nominal tahun 2006, harga ikan target sebesar Rp /ton. Sementara rata-rata biaya operasi penangkapan ikan target setiap upaya tangkap (perahu-hari) sebesar Rp Berdasarkan data harga dan biaya tersebut, pendekatan bioekonomi telah diterapkan untuk menentukan upaya tangkap optimal beserta kontribusinya pada hasil tangkapan dan keuntungan usaha. Tabel 35 menyajikan hasil analisis dengan pendekatan bioekonomi tersebut. Tabel 35 Hasil estimasi bioekonomi sumberdaya ikan target di wilayah terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Parameter MSY MEY OA OPT Stock (ton/th) 190,58 191,90 2,64 165,44 Catch (ton/th) 67,54 67,53 1,86 66,36 Effort (trip) 176,76 175,53 351,07 200,08 Rente (Rp) , ,42 0, ,17 Ket : MSY = Maximun Sustainable Yield; MEY = Maximum Economic Yield; OA = Open Access; OPT = Optimal Tabel 35 menunjukkan upaya tangkap untuk memperoleh hasil tangkapan maksimum optimal (OPT) adalah sebesar 200,08 trip. Hasil tangkapan tersebut sebanyak 66,36 ton ikan target dengan nilai rente/pendapatan 93 sebesar Rp ,17. Besaran ini sedikit lebih kecil dari hasil pendugaan MSY yang sebanyak 67,54 ton ikan target. Posisi OPT ini, demikian pula dengan MSY, MEY dan OA yang tidak optimum, sesuai dengan kaidah dari pendekatan bioekonomi yang diterapkan Fauzi (2004).

120 94 Jika diasumsikan nelayan menangkap ikan merata pada semua wilayah (pemijahan, pembesaran dan mencari makan) maka dapat diprediksi kontribusi dari masing-masing wilayah terhadap produksi ikan target. Kontribusi terbesar diberikan oleh wilayah mencari makan dan pemijahan, sedangkan wilayah pembesaran kontribusinya relatif kecil. Hal ini disebabkan wilayah mencari makan dan pemijahan memiliki jumlah ikan berukuran besar yang banyak. Gambar 26 Persentase kontribusi setiap wilayah terhadap produksi ikan target Dari Gambar 27 terlihat bahwa produksi perikanan pada wilayah mencari makan dan pemijahan saling berkorelasi negatif, artinya disaat produksi dari salah satu wilayah naik akan diikuti penurunan produksi pada wilayah lainnya. Dengan kata lain, kegiatan nelayan setiap tahun terkonsentrasi pada kedua wilayah secara bergantian, sangat bergantung pada jumlah ikan di kedua wilayah tersebut. Gambar 27 Kontribusi produksi ikan target pada setiap wilayah

121 Selain melihat persentase kontribusi produksi ikan target dari setiap wilayah, juga dapat diprediksi kontribusi jumlah produksi dari masing-masing wilayah tersebut. Dari data produksi yang tercatat di Desa Basaan, terlihat produksi ikan target setiap tahun belum mencapai nilai produksi optimal yaitu sebesar 66,36 ton, dimana produksi terbesar pada tahun 2002 sebesar 65,45 ton. Walaupun produksi ikan target yang terdata setiap tahun belum mencapai nilai produksi optimal, tetapi diperoleh data penurunan produksi ikan target pada semua wilayah (indikasi kelebihan tangkap). Hal ini terlihat dari jumlah trip penangkapan yang dilakukan nelayan sejak tahun 2006 (Lampiran 3) sudah diatas trip optimal yaitu 200,08 trip (Tabel 35). Selain itu, banyaknya data produksi nelayan yang tidak tercatat terutama produksi ikan target yang dilakukan nelayan yang berasal dari luar Desa Basaan. Terjadinya hal tersebut karena terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai kawasan milik umum (common property), sehingga banyak negai layan dari daerah lain yang menjadikan kawasan ini sebagai wilayah penangkapan. Tentunya kondisi ini perlu ditangani dengan baik untuk mencegah kelebihan tangkap ikan target Optimasi Keterkaitan Terumbu Karang dan Produksi Ikan Target Hubungan antara produksi ikan target, upaya penangkapan (E) dan luas terumbu karang diestimasi melalui analisis regresi. Hasil dari estimasi parameter biologi mengikuti determinasi kombinasi dari α, r dan q, juga dengan menggabungkan nilai dari parameter ekonomi p dan c, dapat menstimulasi efek tetap dari perubahan luas terumbu karang dalam ekuilibrium produksi dan TR dari perikanan ikan target pada tahun Tabel 36 Analisis regresi produksi ikan target, effort dan luas terumbu karang Peubah Coefficients Standard Error t Stat P-value Terumbu Karang x Effort (E) 0,0024 0,0016 1,4599 0,1877 Efford squared (E 2 ) -0,0006 0,0002-2,8818 0,0236 R Square 0,8417 Adjusted R Square 0,7964 Marginal Produktivity - Terumbu karang (MP T ) 0, Estimates (at means) (MP E ) 0,

122 96 Nilai-nilai dari hasil analisis regresi tersebut diestimasi dengan menggunakan data time series dari harvest, effort dan tutupan karang. Model estimasi yang diperoleh :, h adalah harvest (produksi), E adalah effort (upaya penangkapan) dan T adalah terumbu karang (luasan karang hidup) Model tersebut menunjukkan bahwa jika luas tutupan karang hidup di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus (59 ha) dengan rata-rata upaya penangkapan (effort) sebesar 207,40 trip akan dapat menghasilkan produksi perikanan ikan target sebesar 55,18 ton per tahun. Bila mengikuti harga ikan target pada tahun 2011 di Kabupaten Minahasa Tenggara sebesar Rp /kg, maka nilai produksi yang diterima nelayan dari manfaat terumbu karang sebesar Rp Marjinal produktivitas dari luas terumbu karang (MP T ) adalah 0,50 ton per hektar, artinya perubahan setiap satu satuan luas tutupan karang hidup pada ekosistem terumbu karang (per 1 hektar) akan berdampak pada produksi ikan target sebesar 0,50 ton. Sedangkan marjinal produktivitas dari upaya penangkapan (MP E ) adalah 0,40 ton per trip, artinya perubahan setiap satu satuan upaya penangkapan (effort) akan berdampak pada perubahan produksi ikan target sebesar 0,40 ton. Melihat hubungan perubahan luas tutupan karang hidup terhadap perubahan produksi ikan target adalah linier yang berarti jika terjadi perubahan luas tutupan karang hidup positif (semakin bertambah), maka perubahan hasil produksi ikan target bernilai positif (meningkat). Terganggunya fungsi-fungsi ekosistem terumbu karang secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap ketersediaan stok ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tiap periode, seperti yang ditunjukkan pada analisis di atas dimana penurunan tutupan karang hidup berpengaruh terhadap stok ikan target. Kondisi ini menyebabkan hasil tangkapan nelayan semakin berkurang sehingga menurunkan total penerimaan (total revenue) nelayan dan devisa Kabupaten Minahasa Tenggara. Dari Gambar 28 menunjukkan bagaimana kerugian ekonomi yang terkait dengan degradasi tutupan karang hidup dari tahun 2002 hingga 2011 akibat pemanfaatan ikan target secara terbuka (open access). Seperti terlihat, pada awal-

123 97 awal periode (tahun ) dengan upaya tangkap (effort) yang jauh lebih rendah memperoleh produksi perikanan ikan target yang lebih tinggi dari periode berikutnya (tahun ). Dampak dari degradasi luasan tutupan karang hidup yang rata-rata 3,93% per tahun (lihat Bab 4.2.2) atau 16,5 hektar akan mengurangi produksi ikan target sebesar 8,75 ton atau kerugian sebesar Rp Melihat apa yang dihasilkan pada Gambar 28, diperoleh modelmodel estimasi optimal coral covered area (Tt), optimal production of target fish (Qt), optimal revenues (Rt) dan optimal effort (Et). Gambar 28 Optimal tutupan karang hidup (Tt), optimal produksi ikan target (Qt), optimal pendapatan (Rt) dan optimal upaya penangkapan (Et). Gambar 29 Model optimal coral covered area (Tt)

124 98 Model optimal coral covered area (Tt) : Dari model ini diperoleh tutupan karang hidup optimal sebesar 66,82 hektar pada tahun Model optimal tutupan karang hidup (Gambar 29), terlihat bahwa pada tahun 2015 tutupan karang hidup yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan mencapai luasan sebesar 2,4 hektar. Model optimal production of target fish (Qt) : Dari model ini diperoleh produksi optimal ikan target sebesar 61,07 ton pada tahun Pada Gambar 30, terlihat bahwa pada tahun 2014 produksi ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebesar 0 ton. Gambar 30 Model optimal production of target fish (Qt) Model optimal revenues (Rt) : Gambar 31 Model optimal revenues (Rt)

125 99 Dari model ini diperoleh pendapatan optimal sebesar Rp pada tahun Seperti terlihat pada Gambar 31, pada tahun 2019 pendapatan perikanan ikan target yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan mencapai nilai sebesar Rp. 0. Model optimal effort (Et) : Dari model ini diperoleh upaya penangkapan optimal pada tahun 2013 sebesar 289 trip. Pada Gambar 32 terlihat bahwa upaya penangkapan akan meningkat terus hingga tahun 2013 untuk mengejar produksi sebesar-besarnya, dan selanjutnya mulai terjadi penurunan karena ketersediaan ikan target yang semakin berkurang. Gambar 32 Model optimal effort (Et) Hasil-hasil analisis optimalisasi telah menunjukkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang dalam mendukung perikanan ikan target dapat diperkirakan melalui penerapan fungsi produksi, dimana model fungsi produksi menunjukkan nilai produksi akibat perubahan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang. Dengan kata lain pendekatan fungsi produksi cocok untuk menilai peran ekologi terumbu karang dalam mendukung perikanan ikan target. Sebagai suatu sistem ekologi, terumbu karang mengalami ancaman sebagai dampak pembangunan wilayah pesisir, sehingga penting untuk mengoptimalkan nilai ekonomi dari fungsi ekologis terumbu karang. Kegagalan untuk mempertimbangkan nilai ini, menggambarkan tidak dihargainya nilai ekonomi terumbu karang dalam keputusan-keputusan pembangunan wilayah pesisir atau sering dianggap tidak siknifikan atau bahkan dinilai nol. Hal ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang (Barbier

126 ) termasuk Indonesia, dimana banyak ekosistem terumbu karang terancam akibat kegiatan budidaya, pariwisata dan pembangunan infrastruktur. Dalam konteks pengelolaan, selama tingkat upaya penangkapan meningkat tanpa memperhatikan stok ikan yang ada akan menyebabkan produksi ikan target menurun, bahkan jika kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus sepenuhnya di lindungi. Selain itu setiap peningkatan produksi dan pendapatan dari kegiatan perikanan ikan target di terumbu karang cenderung tidak akan berlangsung lama karena hal tersebut akan menarik lebih banyak upaya penangkapan di kawasan terumbu karang tersebut. Pengelolaan yang baik dari kegiatan perikanan ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus dalam jangka pendek adalah mengontrol eksploitasi berlebihan untuk membawa produksi ke level yang optimal serta perlunya melindungi terumbu karang untuk kebijakan ekonomi jangka panjang Status Keberlanjutan Sesuai dengan tujuan penelitian, pemanfaatan ikan target di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus ditelaah status keberlanjutannya dengan menggunakan RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries). Berdasarkan survei, hasil penilaian cepat mengenai status keberlanjutan perikanan ikan target dikemukakan menurut dimensinya yang terdiri dari sejumlah atribut. Deskripsi penilaian tersebut sebagai suatu diagnosis status keberlanjutan perikanan ikan target di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, dikemukakan secara berurutan mencakup dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi Deskripsi Dimensi Dan Atribut Dimensi ekologi a. Persentase tutupan karang Persentase tutupan karang merupakan indikator dalam menentukan kondisi dari terumbu karang. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab bahwa terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sedang mengalami degradasi dengan penurunan tutupan karang hidup. Degradasi terumbu karang ini tentu berdampak pada keberadaan organisme lain yang hidup di habitat ini sehingga dalam pengelolaan berkelanjutan atribut ini sangat perlu untuk diperhatikan.

127 101 b. Keanekaragaman ikan target Salah satu indeks ekologi untuk melihat keberadaan komunitas ikan target adalah keanekaragaman. Semakin tinggi indeks keanekaragaman ikan target akan menunjukkan banyaknya tipe habitat di terumbu karang untuk tempat hidup ikan (lihat bab 4.2.3), atau dengan kata lain ekosistem terumbu karang masih representatif untuk kehidupan banyak jenis ikan. c. Substrat Keberadaan jenis substrat di terumbu karang sangat penting untuk diketahui, karena larva karang batu (planula) sangat memerlukan subsrat yang keras (CaCO 3 ) sebagai tempat untuk menempel. Semakin sedikitnya subsrat keras yang ada, akan semakin memperkecil peluang planula untuk menempel yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan karang batu. Dalam penelitian ini, khususnya Stasiun 3, 4 dan Tanjung Buyat banyak ditemukan substrat pasir. d. Salinitas Keberadaan ekosistem terumbu khususnya karang batu sangat ditentukan oleh faktor-faktor pembatas, dimana salah satu faktor pembatas tersebut adalah salinitas. Kisaran optimal salinitas guna pertumbuhan karang adalah Kisaran salinitas yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang diukur pada bulan September 2011 adalah 29,6-31,2. e. Sedimentasi Seperti halnya salinitas, faktor pembatas lain bagi pertumbuhan karang adalah sedimentasi. Sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan kematian karang batu. Dalam pengamatan yang dilakukan, sedimentasi yang ada berdasarkan nilai turbiditas yang diperoleh. Dari hasil pengukuran yang dilakukan di peroleh kisaran turbiditas di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus adalah 0-6 NTU yang artinya tingkat kekeruhan yang ada relatif rendah. f. Tingkat eksploitasi ikan karang Selama ini, kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus merupakan lokasi penangkapan ikan target oleh masyarakat Desa Basaan. Pada tahun 2011 jumlah produksi ikan target berjumlah 35,72 ton, sangat sedikit dibandingkan pada tahun 2002 yang mencapai 65,45 ton. Penurunan ini juga dipengaruhi oleh kondisi ekologi karang batu yang mengalami degradasi.

128 102 Dimensi ekonomi a. Keuntungan (profit) Yang dimaksud keuntungan disini adalah besarnya pendapatan yang diperoleh oleh nelayan yang menangkap ikan target, dalam hal ini apakah hasil yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan. Sebagai responden adalah nelayan Desa Basaan Kabupaten Minahasa Tenggara. Hasil pengambilan data pada masyarakat nelayan menunjukkan keuntungan dari hasil perikanan ikan target masuk kategori menguntungkan. b. Rata-rata penghasilan relatif terhadap UMR Yang dilihat pada atribut ini adalah apakah hasil usaha/pendapatan nelayan yang menangkap ikan target sebanding/lebih kecil/lebih besar dengan UMR (upah minimal regional) yang berlaku di Sulawesi Utara sebesar Rp per bulan. Pendapatan perbulan yang diperoleh nelayan Desa Basaan dari kegiatan perikanan ikan target berkisar Rp Rp per bulan. c. Ketergantungan pada sumberdaya sebagai sumber nafkah Banyak nelayan di Minahasa Tenggara juga berprofesi sebagai petani, sehingga pada saat musim angin Selatan (pada bulan Agustus-September), musim yang membuat aktivitas nelayan untuk melaut di wilayah ini terganggu maka sebagian nelayan mengisi waktu dengan bertani. Karena sebagian besar nelayan yang ada di Desa Basaan adalah turunan suku Bajo yang memiliki karakteristik nelayan penuh tetapi umumnya nelayan tradisional dengan wilayah operasi terjauh hanya pada terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, maka yang ingin dilihat adalah apakah nelayan Desa Basaan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ikan target d. Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang Untuk kegiatan ekonomi, penggunaan waktu oleh nelayan dalam kegiatan pemanfaatan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan itu sendiri. Sebagian besar nelayan di desa Basaan mengunakan seluruh waktunya untuk berkegiatan di terumbu karang. Hal ini, seperti yang sudah dijelaskan di atas karena sebagian besar nelayan di Desa Basaan adalah nelayan tradisional yang tidak dapat beroperasi pada wilayah yang jauh.

129 103 e. Pemandu wisata Keindahan terumbu karang yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus akan mengundang wisatawan khususnya penyelam untuk menyelam di lokasi ini. Untuk itu ingin dilihat apakah sudah ada pemandu wisata lokal yang terlibat dalam kegiatan wisata tersebut, sebagai salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat. Hasil pengambilan data diperoleh belum adanya pemandu wisata di Desa Basaan. f. Wisatawan lokal Dalam hal ini ingin dilihat jumlah wisatawan lokal yang berkunjung di daerah ini, apakah menikmati pantai ataupun menyelam. Kedatangan wisatawan lokal ke daerah ini tentu akan memberikan efek samping dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Wisatawan lokal yang banyak mengunjungi daerah ini adalah masyarakat dari daerah sekitar hingga Manado. Kedatangan wisatawan lokal di daerah ini biasanya terjadi pada akhir pekan (hari sabtu dan minggu). g. Wisatawan mancanegara Seperti halnya wisatawan lokal, kehadiran wisatawan mancanegara yang umumnya untuk menyelam tentu akan berdampak pada kegiatan ekonomi di kawasan ini. Kedatangan wisatawan mancanegara di kawasan ini masih dalam jumlah yang sedikit (rata-rata 55 wisatawan per tahun) dan umumnya datang untuk menyelam. h. Jumlah objek wisata Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memiliki banyak lokasi yang dapat dijadikan objek wisata. Untuk itu ingin diketahui apakah telah ditentukan lokasilokasi yang dapat dijadikan objek wisata. Semakin banyak objek wisata yang menarik tentunya akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Dari hasil penelitian didapatkan belum adanya penentuan lokasi wisata oleh pemerintah di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Oleh sebab itu umumnya wisatawan berkunjung ke pantai pasir putih yang ada di pulau Hogow. i. Lama tinggal wisatawan Lama tinggal wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menyebabkan sangat berpengaruh pada sektor ekonomi. Semakin lama wisatawan tinggal tentu akan lebih besar

130 104 pendapatan yang diterima masyarakat maupun daerah. Kondisi yang terjadi adalah tidak adanya wisatawan khususnya dari manca negara yang menginap di lokasi ini, disebabkan belum tersedianya tempat/rumah untuk mereka menginap. Untuk wisatawan lokal seluruhnya langsung pulang ke asal mereka sesudah berkunjung ke Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dimensi sosial a. Partisipasi keluarga Partisipasi keluarga yang ingin dilihat adalah jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Saat ini yang ada di Desa Basaan, jumlah anggota keluarga yang berkegiatan di terumbu karang rata-rata 2 orang per keluarga. b. Peran partisipasi Peran partisipasi masing-masing anggota keluarga dalam pemanfaatan terumbu karang ingin dilihat dalam bentuk parsipasi yang positif (tidak merusak terumbu karang) atau negatif (cenderung merusak terumbu karang). Masyarakat Desa Basaan saat ini berperan positif dalam pemanfaatan terumbu karang. c. Jumlah lokasi potensi konflik Dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan meningkat di satu sisi, sedangkan di sisi lain terjadinya degradasi terumbu karang tentu akan menimbulkan konflik dalam pemanfaatan. Untuk itu ingin dilihat jumlah lokasilokasi pemanfaatan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang rawan konflik. Untuk masyarakat Desa Basaan sendiri hingga saat ini tidak tercipta konflik dalam pemanfaatan terumbu karang. Konflik yang ada adalah konflik antara masyarakat Desa Basaan dengan desa lain dalam pemanfaatan terumbu karang dan terjadi pada banyak lokasi di Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus. d. Tingkat pendidikan Dalam pemanfaatan terumbu karang yang berkelanjutan tentu diperlukan sumberdaya manusia yang paham akan pentingnya pengelolaan. Keberadaan sumberdaya manusia yang menunjang program pengelolaan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri. Hasil yang diperoleh, tingkat pendidikan masyarakat nalayan Desa Basaan umumnya hanya lulus SD dan SMP.

131 105 e. Pertumbuhan pekerja eksploitasi 10 tahun terakhir Meningkatnya tingkat eksploitasi ikan target dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah nelayan yang beroperasi di wilayah terumbu karang. Dari hasil pengambilan data lapangan didapatkan peningkatan jumlah upaya penangkapan (effort) dari tahun 2002 hingga Peningkatan upaya tangkap ini salah satu penyebabnya adalah bertambahnya nelayan terumbu karang di Desa Basaan. Kondisi di Desa Basaan menunjukkan peningkatan jumlah nelayan yang beroperasi di kawasan terumbu karang hanya 5-10% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. f. Upaya perbaikan ekosistem terumbu karang Dengan adanya degradasi terumbu karang yang menyebabkan berkurangnya produksi ikan target telah disadari masyarakat Desa Basaan. Untuk itu dalam penelitian ini, ingin dilihat upaya yang dilakukan masyarakat untuk perbaikan ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dari hasil penelitian di lapangan, didapatkan adanya upaya-upaya perbaikan ekosistem terumbu karang berupa transplantasi karang yang dibuat bekerjasama dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan UNSRAT sejak tahun 2010 sampai g. Zonasi peruntukan lahan Untuk menghindari konflik sosial dalam pemanfaatan terumbu karang serta guna perbaikan kondisi terumbu karang perlu dilakukan zonasi peruntukan lahan. Zonasi peruntukan lahan sudah dibuat di sekitar Desa Basaan seperti lokasi budidaya ikan karang dan daerah perlindungan laut (DPL). Khusus untuk DPL banyak dilanggar karena hilangnya tanda-tanda batas wilayah. Dimensi kelembagaan a. Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal Untuk melakukan pengelolaan yang baik tentunya diperlukan aturan-aturan formal yang dapat dijadikan acuan dalam tindakan-tindakan pengelolaan terumbu karang. Saat ini di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus belum ada aturan formal yang mengatur pengelolaan terumbu karang. b. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan Keberlanjutan keberadaan ekosistem terumbu karang sangat tergantung pada sikap masyarakat khususnya nelayan dalam kegiatan pemanfaatan. Sikap

132 106 yang dimaksud disini adalah kepatuhan terhadap aturan untuk tidak melakukan kegiatan yang berdampak merusak terumbu karang. Hasil survey menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pemanfaatan terumbu karang di Desa Basaan relatif rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak efektif dalam kegiatan di terumbu karang seperti bubu dan jaring. c. Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya harusnya adalah pihak yang paling berkepentingan atau berhubungan langsung dengan keberadaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yaitu masyarakat. Yang terjadi saat ini adalah pengendali pemanfaatan sumberdaya adalah pemerintah yang tingkat perhatian terhadap keberadaan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus sangat kecil. d. Pemantauan, pengawasan dan pengendalian Tidak adanya kelompok nelayan terumbu karang yang telah dibentuk, serta belum adanya zonasi peruntukan di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, sehingga kegiatan pemantauan, pengawasan dan pengendalian belum berjalan dengan baik di kawasan ini. e. Tokoh panutan Tokoh panutan yang dimaksud adalah tokoh masyarakat yang dapat didengar nasihat dan perintahnya oleh masyarakat. Di Desa Basaan terdapat beberapa orang yang terdiri dari tokoh agama dan pemerintah desa maupun anggota masyarakat yang menjadi panutan oleh masyarakat umumnya. f. Penyuluhan hukum lingkungan Kurangnya pemahaman masyarakat Desa Basaan bahwa akibat dari kegiatan yang merusak terumbu karang dapat mendapat hukuman disebabkan karena sedikitnya penyuluhan tentang hukum yang diterima. Hasil survey mendapatkan bahwa selama tahun 2010 hingga 2011 hanya satu kali masyarakat menerima penyuluhan tentang hukum lingkungan. g. Koperasi Salah satu sebab yang seringkali menghambat kegiatan perikanan oleh nelayan adalah kekurangan modal atau pemasaran hasil perikanan. Untuk

133 107 mengatasi hal ini langkah terbaik adalah mendirikan koperasi. Hingga saat ini di Desa Basaan belum ada koperasi yang didirikan, yang ada hanyalah kegiatan simpan pinjam yang dilakukan beberapa komunitas seperti kelompok agama maupun arisan para ibu-ibu. h. Tradisi/budaya Tradisi atau budaya masyarakat perlu dilihat dalam konteks pengelolaan berkelanjutan. Salah satu sisi negatif dari tradisi masyarakat nelayan Desa Basaan yang keturunan suku Bajo adalah seluruh aktifitas mereka lakukan di pesisir pantai termasuk membuang sampah dan hajat. Hal ini tentu berdampak negatif kepada keberadaan ekosistem pesisir. Dimensi teknologi a. Alat eksploitasi yang digunakan Umumnya alat yang digunakan masyarakat nelayan Desa Basaan dalam kegiatan penangkapan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus bersifat pasif, seperti pancing, jaring tancap dan bubu. Khusus untuk bubu, karena peletakkannya di antara karang batu, maka dalam operasionalnya berdampak negatif karena merusak karang batu. b. Ketersediaan alur atau akses eksploitasi Alur atau akses eksploitasi di ekosistem terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus secara resmi belum ditentukan, sehingga masyarakat nelayan menentukan sendiri alur atau akses yang akan mereka gunakan. c. Tipe alat pengangkut Alat pengangkut hasil tangkapan ikan target oleh nelayan Desa Basaan umumnya adalah perahu dengan ukurun kecil. Hal ini menyebabkan dalam setiap trip penangkapan jumlah produksi yang dapat diangkut terbatas. d. Teknologi penanganan pasca panen Teknologi pasca panen yang diterapkan nelayan Desa Basaan masih sederhana. Jika hasil tangkapan ikan target tidak seluruhnya dapat dijual atau dimakan maka teknologi yang dilakukan adalah pembuatan ikan asin. e. Ekoteknologi pada kegiatan wisata Ekoteknologi yang dimaksud adalah teknologi yang ramah lingkungan. Untuk wilayah Desa Basaan dan kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus

134 108 belum ada teknologi seperti itu. Karena wisatawan yang umumnya datang di lokasi adalah wisatawan lokal maka akibat yang terjadi adalah menumpuknya sampah di lokasi. Mengatasi hal ini hanya dilakukan pengumpulan sampah oleh masyarakat, itupun dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja seperti ulang tahun kemerdekaan atau adanya kegiatan bersih pantai yang dilakukan instansi pemerintah atau LSM. f. Teknologi perahu Perahu yang digunakan oleh masyarakat nelayan Desa Basaan umumnya adalah perahu katinting dengan ukuran yang relatif kecil. Pada saat-saat kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak untuk mesin katinting, biasanya masyarakat memasang layar pada perahu mereka Status Keberlanjutan Dengan mengacu pada deskripsi umum dari masing-masing dimensi dan atribut yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis untuk status keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang berbasis ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dilakukan. Hal ini untuk melihat atribut mana pada masingmasing dimensi yang menjadi pengungkit atau menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Hasil analisis ordinasi untuk dimensi ekologi (Gambar 33) mendapatkan nilai indeks 54,64 pada skala Berdasarkan klasifikasi kondisi, maka kondisi aspek ekologi berada pada kategori baik. Hal ini mengacu pada pengklasifikasian status yaitu indeks <50 berarti status buruk, berarti baik dan >75 berarti sangat baik. Untuk menguji pengaruh dari beragam kekeliruan (ketidak-pastian), baik yang berkenaan dengan skoring maupun dalam proses ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dilakukan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo yang telah diterapkan memperlihatkan hasil simulasi yang relatif identik dengan ordinasi semula. Indikatornya ditunjukkan pancaran hasil simulasi ordinasi yang berada di dan sekitar posisi ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang yang terdahulu ditentukan. Hal ini berarti bahwa hasil penilaian terhadap agregat kegiatan pengelolaan berada pada kriteria berkelanjutan atau cukup efektif. Selanjutnya berdasarkan posisi titik acuan utama (reference) dan acuan tambahan (anchors)

135 109 memperlihatkan bahwa kedudukannya berada pada kondisi baik (good) serta pada posisi atas (up) (di atas garis horizontal antara buruk dan baik, serta terletak pada posisi sebelah kanan dari garis vertikal atas dan bawah). Kondisi ini menunjukan kegiatan pemanfataan saat ini masih baik tapi cenderung ke menurunkan kualitas kawasan karena nilai indeks yang mendekati 50. Implikasinya, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengelolaan dan pembangunan saat ini cenderung ditata ke arah kurang berkelanjutan. Dengan demikian hasil penelitian ini menjadi peringatan bagi pengelola dan semua pengguna (stakeholders) untuk dapat mengevaluasi program pengelolaan terumbu karang saat ini. Gambar 33 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi ekologi Gambar 34 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi ekonomi

136 110 Untuk dimensi ekonomi (Gambar 34), hasil analisis ordinasi dan analisis Monte Carlo untuk dimensi ekonomi mendapatkan nilai indeks 50,74 pada skala 0 100, berada pada kategori baik. Walaupun nilai ordinasi ini berada pada kategori yang baik, tetapi sudah sangat mendekati nilai kritis 50, bahkan pada analisis Monte Carlo sebagian titik sudah berada pada nilai indeks lebih kecil 50. Hal ini menunjukkan bahwa status pengelolaan terumbu karang dari dimensi ekonomi saat ini memerlukan penanganan yang lebih baik. Hasil analisis ordinasi dan Monte Carlo untuk dimensi sosial mendapatkan nilai indeks 52,68 pada skala berada pada kategori baik (Gambar 35). Seperti halnya dimensi ekologi dan ekonomi, meskipun nilai ordinasi ini berada pada kategori yang baik, tetapi sudah mendekati nilai kritis 50. Sehingga menunjukkan status pengelolaan terumbu karang dari dimensi sosial juga memerlukan penanganan yang lebih baik. Kondisi yang baik ini terlihat dari peran partisipasi masyarakat Desa Basaan yang cukup baik pada setiap kegiatan pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah, LSM maupun masyarakat itu sendiri. Gambar 35 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi sosial Berbeda dengan dimensi-dimensi yang sudah dijelaskan sebelumnya yang nilai ordinasinya mendekati 50, hasil analisis ordinasi dan Monte Carlo untuk dimensi kelembagaan mendapatkan nilai indeks 65,16 pada (Gambar 36). Hasil ini menunjukkan status pengelolaan terumbu karang dari dimensi kelembagaan berlangsung dengan penanganan yang baik. Meskipun dari hasil pengambilan data, di Desa Basaan hanya terdapat satu kelompok nelayan yang eksis hingga

137 111 sekarang yaitu kelompok nelayan untuk kegiatan budidaya, tetapi masyarakat Desa Basaan sudah sering mendapat penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan terumbu karang. Dengan cukup sering mendapat penyuluhan dan pelatihan yang diterima masyarakat Desa Basaan, menghasilkan pola kelembagaan yang cukup baik pada masyarakat, sehingga berimplikasi terhadap sikap dan pola kegiatan masyarakat pada kawasan terumbu karang. Pengetahuan masyarakat tentang pentingnya terumbu karang dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya hubungannya dengan keberadaan ikan target sebagai salah satu sumber penghasilan masyarakat sudah cukup baik. Gambar 36 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi kelembagaan Gambar 37 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi teknologi

138 112 Untuk dimensi teknologi (Gambar 37), hasil analisis ordinasi dan analisis Monte Carlo untuk dimensi teknologi mendapatkan nilai indeks 58,76 pada skala 0 100, berada pada kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa status pengelolaan terumbu karang dari dimensi teknologi saat ini sudah berlangsung relatif baik. Kondisi yang baik ini terlihat dari ketersediaan alur atau akses eksploitasi dan penggunaan alat eksploitasi yaitu pancing oleh nelayan Desa Basaan yang tidak merusak terumbu karang. Hasil ordinasi status keberlanjutan, pada dasarnya memberikan ilustrasi tentang status keberlanjutan setiap dimensi sesuai skor dari atribut-atributnya. Posisi nilai indeks dilustrasikan pada sumbu absis yang mencerminkan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dalam dua ekstrim acuan yang diklasifikasi antara 0 (buruk) dan 100 (baik). Sementara posisi pada sumbu ordinat mengindikasikan variasi skor dari atribut-atribut pengelolaan yang telah ditelaah. Untuk semua dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang, hasil pemetaan ordinasi yang dilakukan menunjukkan status keberlanjutan yang baik untuk dilakukan. Untuk melihat ketepatan analisis, maka sebagai patokannya adalah nilai stress dan koifisien r 2 yang dihasilkan. Data pada Tabel 37 mengungkapkan koefisien determinasi untuk semua dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang bernilai lebih besar 0,90. Hasil estimasi nilai proporsi ragam data masukan yang dapat dijelaskan teknik analisis ini, terindikasi memadai. Tabel 37 Nilai stress dan koefisien determinasi dalam proses ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menurut dimensinya Kriteria Dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Ketepatan Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi Stress 0,14 0,13 0,15 0,14 0,11 Koefisien r 2 0,95 0,95 0,94 0,95 0,98 Menurut Hardle & Simar (2007) nilai stress yang lebih kecil dari 0,20 tidak menunjukkan goodness of fit yang tergolong poor, seperti yang ditunjukkan nilai stress untuk semua dimensi keberlanjutan yang lebih kecil dari 0,20. Dengan demikian, data hasil skoring sebagai persepsi terhadap atribut-atribut status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dapat secara tepat diolah dan dihasilkan ordinasinya dengan analisis multi dimensional seperti yang terlihat pada Gambar 33 hingga 37.

139 113 Kepekaan setiap atribut terhadap hasil pemetaan ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang telah diestimasi menggunakan analisis leverage (pengungkitan). Kepekaan atribut-atribut dalam dimensi ekologi bervariasi antara 1,10 dan 17,90; dimensi ekonomi 0,93 dan 8,26; dimensi sosial 0,25 dan 4,54; dimensi kelembagaan 2,33 dan 3,78; dan dimensi teknologi 6,21 dan 7,25. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa setiap dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang mengandung satu atau lebih atribut yang dominan menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, besaran nilai proporsi (%) ini mengindikasikan kontribusi atribut dimaksud terhadap ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Gambar 38 Kepekaan atribut dimensi ekologi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Dalam dimensi ekologi mengungkapkan atribut persentase penutupan karang memberikan kontribusi terbesar pada status tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, terjadinya laju degradasi tutupan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus cukup tinggi, sehingga untuk meningkatkan status keberlanjutan terumbu karang, hal ini menjadi atribut yang paling penting untuk diperhatikan dan ditangani.

140 114 Untuk dimensi ekonomi atribut pemandu wisata, waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan kepada sumberdaya sebagai sumber nafkah dan wisatawan mancanegara diindikasikan berpengaruh pada status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Hingga saat ini belum terdapat pemandu wisata di Desa Basaan, sehingga wisatawan lokal maupun internasional yang berkunjung ke Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus ditangani langsung oleh pemandu wisata dari Manado. Disisi lain masyarakat Desa Basaan sangat menggantungkan sumber pendapatannya dari terumbu karang, khususnya eksploitasi ikan target sehingga waktu terbesar di habiskan untuk kegiatan di terumbu karang. Ketergantungan yang sangat besar ini memberikan kontribusi yang besar terhadap tekanan ekologi bagi terumbu karang. Gambar 39 Kepekaan atribut dimensi ekonomi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Dalam dimensi sosial indikasi serupa ditunjukkan oleh atribut-atribut jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan, tingkat pendidikan dan upaya perbaikan kerusakan ekosistem terumbu karang. Semakin berkurangnya hasil penangkapan ikan target menyebabkan sering terjadi konflik pada wilayah penangkapan. Hal ini lebih diperparah dengan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah, sehingga resolusi konflik yang dilakukan pemerintah maupun pihak-pihak yang coba mengatasi konflik yang terjadi menjadi sangat sulit. Kebutuhan ekonomi yang mendesak, membuat upaya perbaikan kerusakan terumbu karang menjadi sedikit sulit walaupun pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan terumbu karang sudah cukup baik.

141 115 Gambar 40 Kepekaan atribut dimensi sosial (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Gambar 41 Kepekaan atribut dimensi kelembagaan (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Pada dimensi kelembagaan kontribusi yang diberikan atribut-atribut merata, tetapi yang tertinggi adalah tradisi/budaya dan koperasi. Tradisi dan budaya yang perlu diperhatikan adalah budaya Suku Bajo yang melakukan seluruh aktivitas di pantai, termasuk membuang sampah dan hajat. Saat ini sebagian masyarakat Suku Bajo sudah mulai melakukan perubahan aktivitas tersebut setelah penyuluhanpenyuluhan kesehatan dilakukan, serta pembuatan sarana MCK (mandi-cucikakus) oleh pemerintah. Dari hasil FGD dengan masyarakat, mereka memerlukan

142 116 koperasi terutama untuk proses penjualan hasil perikanan mereka. Selama ini hasil perikanan debeli tengkulak dengan harga yang sangat murah. Seperti halnya pada dimensi kelembagaan, pada dimensi teknologi kontribusi yang diberikan atribut-atribut merata, dengan kontribusi tertinggi adalah atribut teknologi perahu dan teknologi pasca panen. Secara umum, perahu yang digunakan nelayan Desa Basaan berupa perahu tanpa motor atau menggunakan layar. Beberapa nelayan telah mendapatkan bantuan mesin ketinting, tetapi dengan kesulitan mendapatkan bahan bakar serta harganya yang tinggi membuat nelayan tidak menggunakan mesin ketinting tersebut. Untuk teknologi pasca panen yang ada memang masih tradisional yaitu pembuatan ikan asin, sehingga harga ikan menjadi relatif murah. Gambar 42 Kepekaan atribut dimensi teknologi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Atribut-atribut yang memberikan kontribusi terbesar pada setiap dimensi adalah atribut yang perlu ditangani dengan baik untuk keberhasilan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Dengan kata lain, atribut-atribut tersebut saat ini belum berjalan sebagaimana yang diinginkan status berkelanjutan dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Untuk itu perlu koordinasi dari semua pihak yang terkait, baik pemerintah maupun masyarakat.

143 5 IMPLIKASI KEBIJAKAN Proses pengelolaan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus saat ini dengan memfokuskan pada optimasi fungsi ekologi dan ekonomi merupakan momentum penting untuk mengelolanya ke arah yang lebih baik lagi. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan analisis yang telah diuraikan sebelumnya maka arah kebijakan pengelolaan terumbu karang dapat mempertimbangkan hal-hal berikut: 5.1 Manajemen Perikanan (Fisheries Management) 1. Keberadaan ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai sumber ekonomi utama masyarakat Desa Basaan menjadi begitu penting untuk diperhatikan. Guna mengoptimalkan nilai ekonominya perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya tersebut supaya berkelanjutan. Sesuai dengan hasil analisis yang telah dilakukan (Bab 4.5.2), telah diketahui bahwa jumlah tangkapan optimal (catch optimal) ikan target sebesar 66,36 ton. Dari data yang diperoleh, ternyata jumlah tangkapan nelayan Desa Basaan sejak tahun 2002 hingga 2011 belum pernah mencapai 66,36 ton, tetapi jumlah tangkapan mereka semakin menurun dari tahun ke tahun (tahun 2011 hanya 35,71 ton) karena penurunan jumlah ikan target. Kondisi ini didukung oleh data kelimpahan individu ikan target yang menunjukkan penurunan dari tahun Penyebab penurunan kelimpahan ikan target selain adanya degradasi terumbu karang juga terindikasikan adanya kelebihan tangkap (over exploitation) ikan target. Indikasi kelebihan tangkap ini berdasarkan kenyataan di lapangan yaitu jumlah trip penangkapan yang dilakukan nelayan sejak tahun 2006 (Lampiran 3) sudah diatas trip optimal yaitu 200,08 trip (Tabel 34) serta banyaknya nelayan dari luar Desa Basaan menjadikan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai wilayah penangkapan (fishing groundi), sedangkan data produksi sebagai bahan analisis hanya dari hasil tangkapan nelayan Desa Basaan. Untuk itu perlu kebijakan dari instansi terkait khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Tenggara untuk melakukan pengawasan serta mengeluarkan aturan terhadap kegiatan 117

144 118 penangkapan ikan target di wilayah terumbu karang. Keberhasilan peningkatan tutupan karang hidup akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan ikan target, yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi perikanan ikan target oleh nelayan. Jika kondisi yang ada sekarang dibiarkan, maka diprediksi pada tahun 2013 produksi ikan target hanya sebesar 20,68 ton. Dengan adanya perbaikan kondisi terumbu karang melalui peningkatan tutupan karang hidup maka diprediksi pada tahun 2019 produksi ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan mencapai 66,37 ton dengan nilai sebesar Rp (asumsi harga per kilogram Rp ). Gambar 43 Peningkatan produksi ikan target mengikuti peningkatan tutupan karang hidup 2. Guna keberlanjutan fungsi ekologi terumbu karang sebagai wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan yang menjadi habitat ikan target, diperlukan suatu bentuk pengelolaan secara spasial dan temporal terhadap kegiatan penangkapan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Kebijakan penangkapan perlu diperhatikan terutama di lokasi Pulau Hogow (Stasiun 3) yang telah ditetapkan sebagai wilayah pemijahan. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 4.3.2, di Pulau Hogow terjadi aktivitas pemijahan ikan target pada bulan Pebruari-April dan September-Nopember. Untuk itu pada bulan-bulan tersebut tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan

145 119 target di Pulau Hogow, kegiatan penangkapan dikonsentrasikan di Pulau Putus- Putus (Stasiun 4, 5 dan 6). Hal ini dapat dilakukan karena sesuai data kelimpahan ikan target pada tahun 2011, khususnya yang berukuran besar (lebih besar dari 15cm) di Stasiun 4, 5 dan 6 terdapat kurang lebih ekor ikan/hektar/tahun atau 18,71 ton/tahun. Kegiatan penangkapan juga, perlu dibatasi pada Stasiun 1 dan 2 dalam hal penggunaan jenis alat tangkap. Dibuat suatu kebijakan untuk tidak menggunakan jaring dengan mata jaring berukuran kecil (lebih kecil dari 20cm), mengingat lokasi ini sebagai lokasi pembesaran dimana banyak terdapat ikan-ikan berukuran kecil. Penggunaan alat tangkap yang baik di lokasi Stasiun 1 dan 2 adalah pancing dengan selektivitas mata pancing untuk menangkap ikan target berukuran relatif besar. Sosialisasi kebijakan perlu disampaikan kepada masyarakat agar mereka dapat memahami pentingnya tidak menangkap ikan di Pulau Hogow pada bulan Pebruari-April dan September-Nopember serta selektivitas alat tangkap di Stasiun 1 dan 2. Pebruari - April Oktober - Nopember Gambar 44 Kegiatan penangkapan dialihkan ke Pulau Putus-Putus pada bulan Pebruari-April dan Oktober-Nopember saat terjadi pemijahan ikan target di Pulau Hogow

146 Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management-ICM) 1. Terkait dengan degradasi ekosistem terumbu karang akibat aktivitas manusia dan alam (seperti yang sudah di jelaskan pada Bab 4.2), maka prioritas utama kebijakan adalah memperbaiki ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Perbaikan ekosistem ini tidak terbatas pada terumbu karang yang rusak tetapi juga menyangkut perilaku pengguna sumberdaya. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, telah diketahui secara spasial wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan (Bab 4.3), maka untuk mengoptimalkan fungsi ekologi terumbu karang, dalam kegiatan rehabilitasi terumbu karang harus memperhatikan fungsi dari masing-masing wilayah tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan fungsi ekologi terumbu karang sebagai wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan adalah dengan melakukan transplantasi karang, dimana jenis karang yang akan ditransplant harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing lokasi (Bab 4.5.1). y = -0,8374x2 + 14,226x + 6,7091 R² = 0,7237 Gambar 45 Tutupan karang hidup jika ada transplantasi karang pada 2% wilayah terumbu karang yang kosong per tahun Dengan kegiatan ini akan meningkatkan tutupan karang hidup dan mengoptimalkan fungsi ekologi terumbu karang. Jika dalam setahun tutupan karang batu dapat ditingkatkan melalui usaha transplantasi dan kemampuan

147 121 karang itu sendiri dalam aktivitas recovery, maka dalam 6 tahun (dimulai tahun 2013) kondisi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan kembali seperti tahun Selain itu, perilaku pengguna sumberdaya khususnya masyarakat nelayan perlu dipecahkan permasalahan yang mereka alami seperti tingkat pendidikan, konflik wilayah penangkapan, peningkatan teknologi alat tangkap, alternatif mata pencaharian dan kelembagaan (Bab 4.5.4). 2. Sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka untuk mencegah kerusakan ekosistem terumbu karang maka perlu ditetapkan zonasi seperti kawasan konservasi atau zona inti yang berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh lokasinya yaitu Pulau Hogow sebagai daerah pemijahan, kawasan zona penyangga yaitu Stasiun 1 dan 2 Pulau Putus-Putus sebagai daerah pembesaran dan kawasan pemanfaatan yaitu Stasiun 4, 5 dan 6 Pulau Putus- Putus sebagai daerah mencari makan. Zona Inti Zona Penyanggah Zona Pemanfaatan Gambar 46 Usulan penentuan zonasi di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus

148 122 Selanjutnya diatur mengenai jumlah yang boleh dimanfaatkan, kompensasi atas dampak dari pemanfaatan, kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan pemberian ijin yang ketat, sanksi hukum dan mitigasi bencana. Dalam penerapan kebijakan untuk zonasi ini berbeda dengan penerapan zonasi pada kawasan terumbu karang yang lain, dimana jika pada kawasan terumbu karang yang lain zona inti merupakan daerah atau wilayah larang tangkap, maka pada kawasan zona inti ini pelarangan pemanfaatan/penangkapan hanya pada saat ikan memijah yaitu di bulan Pebruari-April dan Oktober-Nopember. 3. Guna keberhasilan pengelolaan berkelanjutan di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus maka dalam kebijakan-kebijakan yang akan dibuat perlu memperhatikan hal-hal yang menyangkut persentase penutupan karang (ekologi); waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang dan ketergantungan kepada sumberdaya sebagai sumber nafkah (ekonomi); tingkat pendidikan dan upaya perbaikan kerusakan ekosistem terumbu karang (sosial); tradisi/budaya dan koperasi (kelembagaan); serta teknologi perahu dan teknologi pasca panen (teknologi). Guna mengatasi hal-hal tersebut, tentu diperlukan campur tangan yang besar dari pemerintah karena sangat tidak mungkin menyerahkan pemecahan masalah-masalah tersebut kepada masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah menciptakan mata pencaharian alternatif seperti budidaya ikan karang dengan teknik jaring apung serta melibatkan masyarakat dalam kegiatan wisata sebagai pemandu wisata yang mulai berkembang di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus seperti wisata selam.

149 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Optimasi fungsi ekologi-ekonomi ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus berbasis ikan target berserta status keberlanjutan pengelolaannya telah dapat ditelaah. Hasil-hasil penelaahan yang diperoleh sesuai metode yang diterapkan dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Penentuan wilayah pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) ikan target pada kawasan terumbu karang dapat dilakukan dengan mengetahui distribusi ukuran panjang ikan target berdasarkan pada ukuran pertama matang gonad (length at first maturity). Ditetapkan wilayah terumbu karang Stasiun 3 (Pulau Hogow) sebagai lokasi pemijahan, Stasiun 1 dan 2 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi pembesaran dan Stasiun 4, 5 dan 6 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi mencari makan. Untuk daerah pemijahan Stasiun 3, secara temporal diketahui waktu pemijahan terjadi pada bulan Pebruari hingga April dan bulan September hingga Oktober. (2) Optimasi ekologi memperoleh tiga komponen bentik pemberi kontribusi terbesar pada kondisi ekologi terumbu karang yaitu karang batu (x 1 ), soft coral (x 2 ) dan algae (x 3 ). model optimasi yang dihasilkan adalah : Pemijahan : y = -2,5E ,56x 1 + 0,09x 2-0,03x 3 Pembesaran : y = -2E ,45x 1-0,06x 2-0,42x 3 Mencari makan : y = -8,3E ,18x 1 + 0,02x 2 + 0,22x 3 Untuk optimasi ekonomi, stok optimal sebesar 165,44 ton/tahun, produksi optimal sebesar 66,36 ton/tahun, upaya tangkap optimal sebesar 200,08 trip/tahun dan pandapatan optimal sebesar Rp ,17 /tahun. (3) Hubungan luasan tutupan karang hidup dan hasil produksi ikan target selama kurun waktu tahun diperoleh optimal coral covered area sebesar 66,82 hektar pada tahun 2008, optimal production of target fish sebesar 61,07 ton pada tahun 2007, optimal revenues sebesar Rp pada tahun 2011 dan optimal effort sebesar 289 trip pada tahun

150 124 (4) Keberhasilan pengelolaan berkelanjutan di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tidak bisa lepas dari peran yang besar dari pemerintah, maka dalam kebijakan yang dibuat perlu memadukan aspekaspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan serta teknologi. 6.2 Saran Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi hasil penelitian ini dapat dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah dan pihak terkait lainnya yang terintegrasi sehingga program kegiatan dapat dilaksanakan secara terpadu. Perlu dilakukan kegiatan inisiasi, perencanaan dan implementasi, pemantauan dan evaluasi, serta umpan balik pengelolaan terkait dengan bentuk-bentuk pengelolaan di lapangan dan hendaknya dilakukan secara terbuka antar semua pihak yang terkait untuk menjamin akuntabilitas program. Sehingga program pengelolaan yang disusun tidak hanya memperbaiki satu aspek pengelolaan tetapi bersifat lebih terpadu untuk menyelesaikan masalah-masalah pengelolaan yang ada.

151 DAFTAR PUSTAKA Adrianto L Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Wilayah Pesisir. Kumpulan working paper tahun Bogor: PKSPL. Adrianto L Mewujudkan Tata Kelola Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan: Gelombang Ketiga Tata Kelola Kelautan dan Perikanan. Forum Perguruan Tinggi Kelautan dan Perikanan Seluruh Indonesia. Batam. 15 hlm. Adrianto L Model Keterkaitan Mangrove dan Perikanan di Kawasan Estuari: Pendekatan Ekologi-Ekonomi. Paper. Diseminarkan pada Delta Forum Semarang. Adrianto L, Matsuda Y, Sakuma Y Assessing local sustainability of fisheries system: a multi-criteria participatory approach with the case of Yoron Island, Kagoshima prefecture, Japan. Marine Policy 29:9-23. Allen GR, Steene R Indo-Pacific coral reef field guide. Tropical Reef Research, Singapore. 378 hlm. Baker LP, Kaeoniam Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. Jakarta: The Unesco MAP and COMAR Programmes. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia. BAPPENAS Jakarta. Barbier EB, Mike A, Ducan K Economic valuation of wetlands: a guide for policy makers and planners. Ramsar website. Barbier EB The values of wetlands: landscape and institutional perspectives. Valuing the environment as input: review of applications to mangrove-fishery linkages. Ecological Economics 35: Barnes RDK Invertebrate Zoology. Holt-Sauders International hlm. Beets J Can coral reef fish assemblages be sustained as fishing intensity increases. Proceedings of the 8th International Coral Reef Symposium in Panama 2(2): Beets J, Rogers C Changes in fishery resources and reef fish assemblages in a Marine Protected Area in the US Virgin Islands: the need for a no take marine reserve. Proceeding of the 9th International Coral Reefs Symposium in Bali 1(2): Beller WS, Ayala P, Hein P Sustainable development and environmental management of small islands. Paris:UNESCO. Bengen DG Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Sinopsis PKSPL. Bogor: FPIK IPB. 125

152 126 Bengen DG a. Ekosistem dan sumber alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. Sinopsis PKSPL. Bogor: FPIK IPB. Bengen DG b. Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil. Peluang pengembangan investasi pulau-pulau kecil di Indonesia. Jakarta. Bengen DG a. Realitas ekosistem dan sumberdaya pulau-pulau kecil. Pelatihan konservasi dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Bengen DG b. Definisi, batasan dan realitas pulau-pulau kecil. Validasi jumlah pulau-pulau dan panjang garis pantai di Indonesia. Jakarta. Bengen DG, Retraubun AWS Menguak realitas dan urgensi pengelolaan berbasis eko-sosio sistem pulau-pulau kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). ISBN Birkeland C Ratcheting down the coral reefs. BioScience 54(11): Brooks G, Devine B, Larson RA, Rood BP Sedimentary developmentof Coral Bay, St. John, USVI: shift from natural to anthropogenic influences. Caribbean Journal of Marine Science 43(2): Buanes A, Jentoft S, Maurstad A, Soreng SU, Karlsen GR Stakeholder Participation in Norwegian Coastal Zone Planning. Ocean & Coastal Management 48: Cesar H Economic Analisys of Indonesian Coral Reefs. The World Bank. 23 hlm. Charles AT Sustainable Fishery System. London: Blackwell Science, Ltd. Oxford University Press. Choat JH, Bellwood DR The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Reef Fishes: Their history and evolution. Sale PF. Eds. Department of Zoology University of New Hamshire Durham. Hlm Chuenpagdee R. Jentoft S Governability assessment for fisheries and coastal systems: A reality check. Hum Ecol 37: Chuenpagdee R. Kooiman J. Pullin RSV Assessing governability in capture fisheries, aquaculture and coastal zones. The Journal of Transdisciplinary Environmental Studies 7:1-2. Cicin-Sain B, Knecht RW Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Washington, DC: Island Press. Clark J Coastal ecosystems: Ecological considerations for management of the coastal zone. Washington DC: The Conservation Foundation. Constanza R et al Introduction to Ecological Economics. Florida: CRC Press.

153 127 Dahuri R Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang Indonesia. [Makalah] Lokakarya Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang, Nopember 1999, Jakarta: LIPI. Dahuri R The application of carrying capacity concept for sustainable coastal resources development in Indonesia. Center for Coastal and Marine Resources Studies (CCMRS) Bogor Agricultural University (EPB). [7 September 2002]. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Edisi revisi. Jakarta: Pradnya Paramita. de Boer BA Factor influencing the distribution of the damsefish Chromis cyanea (Poey), Pomacentridae on a reef Curacao, Netherlands Antilles. Bull. Mar. Sci. 28: Dartnall AJ, Jones M A Manual of Survey Methods; Living Resources in Coastal Areas. ASEAN-Australia Cooperative Program On Marine Science Handbook. Townsville: Australian Institute of Marine Science. 166 hlm Donner S, Knutson T, Oppenheimer M Model-based assessment of the role of human-induced climate change in the 2005 Caribbean coral bleaching event. Proceedings of the National Academy of Science 104(13): Dorenbosch M, van Riel MC, Nagelkerken I, van der Velde G The relationship of reef fish densities to the proximity of mangrove and seagrass nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Science 60(1): Dorenbosch M, Grol MGG, Nagelkerken I, van der Velde G Seagrass beds and mangroves as potential nurseries for the threatened Indo-Pacific humphead wrasse, Cheilinus undulatus and Caribbean rainbow parrotfish, Scarus guacamaia. Biological Conservation 129(2): Effendie MI Biologi Perikanan. Bogor : Yayasan Pustaka Nusantara. 160 hlm. English S, Wilkinson C, Baker V Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: Mc Graw Publication. Emor D Hubungan Korresponden Antara Pola Sebaran Komunitas Karang dan Komunitas Ikan Di Terumbu Karang Pulau Bunaken [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 95 hlm. [FAO] Food and Agriculture Organization The development and use of indicators for sustainable development of marine capture fisheries.. Technical guidelines for responsible fisheries 08. Roma: FAO. [FAO] Food and Agriculture Organization Ethical issues in fisheries. FAO Ethics Series. Publ. Manag. Serv. FAO. 30 hlm. Fabricius K Effects of terrestrial runoff on the ecology of corals and coral reefs: review and synthesis. Marine Pollution Bulletin 50:

154 128 Falkland A Hydrology and Water Resources of Small Islands: a practical guide. Paris:UNESCO. Fauzi A Ekonomi Sumber Daya Alam Dan Lingkungan, Teori Dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A Ekonomi Perikanan. Teori, Kebijakan Dan Pengelolaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gardner TA, Côté IM, Gill JA, Grant A, Watkinson AR Long-term regionwide declines in Caribbean corals. Science 301: Garrison VH et al African and Asian dust: from desert soils to coral reefs. BioScience 53: Glynn PW Coral reef bleaching: Ecological perspectives. Coral Reefs 12(1):1-17. Glynn PW Coral reef bleaching: Facts, hypotheses and implications. Global Change Biology 2(6): Glynn PW, D Croz L Experimental evidence for high temperature stress as the cause of El Nino-coincident coral mortality. Coral Reefs 8(4): Glynn PW, Szmant AM, Corcoran EF, Cofer-Shabica SV Condition of coral reef cnidarians from the northern Florida reef tract: Pesticides, heavy metals, and histopathological examination. Marine Pollution Bulletin 20(11): Gratwicke B. Petrovic C. Speight MR Fish distribution and ontogenetic habitat preferences in non-estuarine lagoons and adjacent reefs. Environ Biol Fish 76: Hardle W, Simar L Applied multivariate statistical analysis. Second Edition. Berlin Heidelberg: Springer. Hein PL Economic problems and prospects of small islands. Di dalam: Beller W, d Ayala P and Hein P, editor. Sustainable development and environmental management of small islands. UNESCO, Paris. Hlm Hoegh-Guldberg O Climate change, coral bleaching and the future of the world s coral reefs. Marine and Freshwater Research 50(8): Hughes TP Catastrophes, phase shifts, and large-scale degradation of a Caribbean coral reef. Science 265(5178): Hughes TP et al Climate change, human impacts, and the resilience of coral ceefs. Science 301(5635): Hughes TP et al Phase Shifts, Herbivory, and the Resilience of Coral Reefs to Climate Change. Current Biology 17(4): Hutabarat AA, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bogor: Departemen Kehutanan Indonesia dan Korea International Cooperation Agency SECEM.

155 129 Hutomo M, Suharti SR, Harahap IH Spatial Variability In The Chaetodontid Fish Community Structure Of Sunda Strait Reefs. Proceeding of The Regional Symposium On Living Resources In Coastal Areas. Marine Science Institute, University Of The Philippines. Hlm Jackson JBC et al Historical overfishing and the recent collapse of coastal ecosystems. Science 293(5530): Jones GP Postrecrutment processes in the ecology of coral reef fish population : A multivactorial perspective. The ecology of fishes on coral reefs. New Hampshire: Sale P.F. ed. Hlm Jentoft S. Van Son TJ. Bjørkan M Marine protected areas: a governance system analysis. Hum Ecol 35: Kadison E, Nemeth R, Herzlieb S, Blondeau J Temporal and spatial dynamics of Lutjanus cyanopterus and L. jocu (Pisces: Lutjanidae) spawning aggregations on a multi-species spawning site in the USVI. Revista Biologia Tropical 54(s3):69-78 Kenchington RA, Hudson BET Coral reef management handbook. Jakarta: UNESCO Regional Officer for Science and Technology in South-East Asia. Knowlton N The future of coral reefs. Di dalam: Proceedings of the National Academy of Science. Hlm Kooiman J. Bavinck M. Chuenpagdee R. Mahon R. Pullin R Interactive Governance and Governability: An Introduction. The Journal of Transdisciplinary Environmental Studies 7:1-8. Kuiter RH Tropical Reef-Fishes of The Western Pasific (Indonesia and Adjacent Water). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kusumastanto T Valuasi ekonomi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. [Makalah] Pelatihan untuk pelatih pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bogor: PKSPL. La Mesa G. Micalizzi M. Giaccone G. Vacchi M Cryptobenthic fishes of the Ciclopi Islands marine reserve (central Mediterranean Sea): assemblage composition, structure and relations with habitat features. Marine Biology 145: Lalamentik, LTX Karang Batu Di Daerah Rataan Pantai Timur Pulau Bunaken; Identifikasi, Kepadatan, Pola Penyebaran, dan Keragaman [tesis]. Manado: Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi. Lalamentik, LTX Studi Potensi Terumbu Karang Pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen Sulawesi Utara. Manado: Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi. Levitus S, Antonov JI, Boyer TP, Stephens C Warming of the world ocean. Science 287(5461):

156 130 Ludwig JA, Reynolds JF Statistical Ecology; Primer on Methods and Computing. Singapore: John Wiley & Sons. Manzello DP et al Hurricanes benefit bleached corals. Proceedings of the National Academy of Science 104(29): Miller J, Waara R, Muller E, Rogers C Coral bleaching and disease combine to cause extensive mortality on reefs in US Virgin Islands. Coral Reefs 25(3):418. Morinière C de la, Pollux BJA, Nagelkerken I, van der Velde G Postsettlement Life Cycle Migration Patterns and Habitat Preference of Coral Reef Fish that use Seagrass and Mangrove Habitats as Nurseries. Estuarine, Coastal and Shelf Science 55(2): Nakamura Y, Kawasaki H, Sano M Experimental analysis of recruitment patterns of coral reef fishes in seagrass beds: Effects of substrate type, shape, and rigidity. Estuarine, Coastal and Shelf Science 71(3-4): Nakamura Y, Tsuchiya M Spatial and temporal patterns of seagrass habitat use by fishes at the Ryukyu Islands, Japan. Estuarine, Coastal and Shelf Science 76(2): Nagelkerken I, van der Velde G, Gorissen MW, Meijer GJ, Van't Hof T, den Hartog C Importance of Mangroves, Seagrass Beds and the Shallow Coral Reef as a Nursery for Important Coral Reef Fishes, Using a Visual Census Technique. Estuarine, Coastal and Shelf Science 51(1): Nazir M Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nemeth RS Population characteristics of a recovering US Virgin Islands red hind spawning aggregation following protection. Marine Ecology Progress Series 286: Nemeth RS, Kadison E, Herzlieb S, Blondeau J, Whiteman E Status of a yellowfin grouper (Mycteroperca venenosa) spawning aggregation in the US Virgin Islands with notes on other species. Proceedings of the 57th Gulf and Caribbean Fish Institute in St. Petersburg, FL 57: Nemeth RS, Nowlis JS Monitoring the effects of land development on the near-shore reef environment of St. Thomas, USVI. Bulletin of Marine Science 69(2): Nikijuluw V Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Nybakken JW Biologi laut : Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: Gramedia. Pandolfi JM et al Global trajectories of the long-term decline of coral reef ecosystems. Science 301(5635): Parwinia Pemodelan ko-eksistensi pariwisata dan perikanan: analisis konvergensi-divergensi (KODI) di Selat Lembeh Sulawesi Utara. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

157 131 Pastorok R, Bilyard G Effects of sewage pollution on coral-reef communities. Marine Ecology Progress Series 21: Plante S, Boisjoly J, Guillemot J Participative governance and integrated coastal management. An experiment of dialogue in an insular community at isle-aux-coudres (Quebec, Canada). J Coast Conserv 10: Pitcher TJ, Preikshot D Rapfish: a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Research 49: Polunin NVC, Roberts CM Greater biomass and value of target coral-reef fishes in two small Caribbean marine reserves. Mar. Ecol. Prog. Ser. 100: Rapfish Attributes of rapfish analyses for ecological, technological, economic, social and sustainability, and ethical status evaluation fields (revised Dec, May 2000, Feb 2002, Jan 2003, Dec 2003). [9 Mei 2006]. Rogers CS Responses of coral reefs and reef organisms to sedimentation. Marine Ecology Progress Series 62: Rogers C, Beets J Degradation of marine ecosystems and decline of fishery resources in marine protected areas in the US Virgin Islands. Environmental Conservation 24(4): Romimohtarto K. Juwana S Biologi Laut. Penerbit Jembatan. Jakarta. Ruitenbeek HJ Mangrove Management: An Economic Analysis of Management Options with A Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Jakarta: Environmental Management Development in Indonesia (EMDI) Project. Soedharma D Pengelolaan Terumbu Karang Secara Berkelanjutan. Lokakarya Terumbu Karang di Kendari. BAPPEDA. 15 hlm. Sokal RR, Rohlf FJ Biometry. The principles and practice of statistics in biological research. Ed ke-2. New York: WH Freeman and Company. Sparre P, Venema SC Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1:Manual. Jakarta: FAO-PBB. Suharsono Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia. Orasi pengukuhan profesor riset bidang ilmu oseanografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sukarno, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P Terumbu karang di Indonesia. Sumberdaya, permasalahan dan pengelolaannya. LON LIPI 100:112 hlm Supriharyono Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Susilo, B.H Keberlanjutan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Maritek 5(2):9-15.

158 132 Schwartz ML, editor Encyclopedia of Coastal Science. Western Washington University: Springer. Thia-Eng C The Dynamics of Integrated Coastal Management : Practical applications in the sustainable coastal development in East Asia. Quezon City, Philippines: Global Environment Facility-United Nations Development Programme-International Maritime Organization Regional Programme on Building Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia. 468 hlm. Tioho, H., Inventarisasi dan Identifikasi Karang Batu Di Pulau Bunaken. [tesis]. Manado: Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi. Turmudi B et al Pusat survei sumberdaya alam laut. Cibinong: Bakosurtanal.. PDF File. [21 September 2007]. Turner GE Codes of practice and manual of procedures for consideration on introductions and transfer of marine and freshwater organisms. Occasional Paper EIFAC/CECPI 23. Hlm 44. [UNEP] United Nation Environmental Program Monitoring Coral Reefs For Global Change. Regional Seas. Reference Methods For Marine Pollution Studies 61. Australian Institute Of Marine Science. 60 hlm. [UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization Hydrology and water resources of small islands: A practical guide. Studies and report on hydrology No.49. Prepared by. A.Falkland (ed) and E. Custodio with contribution from A. Diaz Arenas and L. Simler. Paris, France. 435 hlm. Watlington R An 1867-class tsunami: potential devastation in the US Virgin Islands. Di dalam: Mercado-Irizarry A, Liu P, editor. Caribbean Tsunami Hazard. World Scientific, New Jersey. 341 hlm. Wawo M Penilaian ekonomi terumbu karang: studi kasus di Desa Ameth Pulau Nusalaut Provinsi Maluku. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. White AT, Trinidad AC The Values of Philippine Coastal Resources: Why Ptotection and Management are Critical. Cebu City, Philippines: Coastal Resources Management Project. Whitten T, Henderson GS, Mustafa M The Ecology of Sulawesi; The Ecology of Indonesia Series. Vol:4. Periplus Edition (HK) Ltd. 759 hlm. Williams ID et al Assessing the importance of fishing impacts on Hawaiian coral reef fish assemblages along regional-scale human population gradients. Environmental Conservation 35: Yap HT, Gomes ED Coral reef degradation and pollution in the East Asian seas region. UNEP Regional Seas Reports and Studies 69: Zagonari F Integrated coastal management: Top-down vs communitybased approaches. Journal of Environmental Management 88:

159 LAMPIRAN 133

160 134

161 135 Lampiran 1 Kondisi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun a) Persentase tutupan karang di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus tahun Stasiun ,94 66,00 64,60 63,25 62,62 62,15 61,85 59,35 58,45 40, ,14 59,13 58,60 59,10 59,13 57,18 57,18 55,45 53,77 44, ,84 72,80 72,86 73,85 72,83 73,60 73,60 73,00 78,81 72, ,06 37,40 37,22 34,58 34,10 31,07 31,07 29,33 27,69 23, ,65 39,84 38,57 37,97 38,26 28,53 28,53 27,39 25,88 27, ,40 48,59 48,29 48,85 48,05 48,05 48,05 48,11 47,81 25,95 b) Persentase tutupan komponen biotik di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun Stasiun ,42 83,35 85,26 82,85 71,45 79,60 81,25 85,39 75,76 58, ,04 85,75 84,71 84,60 87,90 88,68 87,85 83,26 82,81 62, ,75 86,90 86,57 87,85 88,05 87,30 87,15 87,25 89,96 84, ,30 69,80 66,66 68,20 68,25 68,55 68,68 70,50 70,01 44, ,50 83,25 80,64 83,95 80,37 80,35 80,70 79,46 80,65 56, ,19 75,70 74,75 78,75 77,46 75,95 76,65 76,59 75,74 48,75 c) Jenis karang yang dominan di setiap stasiun pada terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Kedalaman Stasiun Acropora Acropora Echinopora Acropora Acropora Acropora 10 Anacropora Acropora Acropora Acropora Pectinia Acropora

162 136 Lampiran 2 Kondisi ikan target Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun a) Jumlah spesies ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus tahun Stasiun Tahun m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m b) Kelimpahan ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus tahun Stasiun Tahun m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m

163 Lampiran 3 Produksi, effort, biaya, harga dan CPUE perikanan ikan target di Desa Basaan hasil tangkapan dari Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus Tahun Prod Effort Biaya Harga (H) (E) (C) (P) CPUE , , ,27 0, , , ,81 0, , , ,83 0, , , ,93 0, , , ,04 0, , , ,12 0, , , ,02 0, , , ,45 0, , , ,10 0, , , ,62 0,13 137

164 138 Lampiran 4 Analisis stok ikan target berdasarkan jumlah individu Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Tahun Stok Potential yield MSYopt

165 139 Lampiran 5 Kontribusi (%) dari stasiun (a) dan komponen bentik penyusun terumbu karang (b) pada kedalaman 3 meter Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus a. Variabel Stasiun F1 F2 F3 F4 F5 F6 St-1 28,124 4,293 2,286 18,465 38,767 8,064 St-2 31,438 1,899 0,511 22,717 4,035 39,400 St-3 5,220 26,930 45,022 0,039 21,368 1,422 St-4 0,183 35,382 13,857 33,319 0,454 16,804 St-5 6,977 31,194 12,313 15,039 1,415 33,062 St-6 28,057 0,302 26,011 10,421 33,961 1,247 Eigenvalue 2,652 2,130 0,565 0,477 0,155 0,021 % variance 44,208 35,508 9,414 7,946 2,576 0,348 Cumulative % 44,208 79,715 89,130 97,076 99, ,000 b. Observasi Komponen Bentik F1 F2 F3 F4 F5 F6 ACB 55,012 3,317 18,902 2,860 4,656 0,647 ACT 10,111 1,147 9,811 15,717 0,004 45,423 CB 0,096 0,000 0,079 5,377 70,855 0,472 CM 15,020 0,117 5,512 6,678 7,613 18,199 CF 0,075 44,470 40,382 0,568 1,800 0,140 SC 11,693 39,307 15,186 20,349 0,015 0,153 Algae 6,618 11,443 3,497 47,638 13,094 5,123 DCA 1,375 0,198 6,631 0,813 1,962 29,843 Keterangan : ACB : Acropora branching ACT : Acropora tabulate CB : Coral branching CM : Coral massive CF : Coral foliose SC : Soft coral DCA : Dead coral with algae

166 140 Lampiran 6 Kontribusi (%) dari stasiun (a) dan komponen bentik penyusun terumbu karang (b) pada kedalaman 10 meter Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus a. Variabel Stasiun F1 F2 F3 F4 F5 F6 St-1 2,041 48,203 1,338 44,861 3,162 0,396 St-2 2,483 45,183 9,839 25,544 16,684 0,267 St-3 1,054 4,676 69,962 17,257 7,021 0,030 St-4 30,782 0,230 6,062 9,543 25,325 28,057 St-5 36,023 0,778 0,245 2,165 0,124 60,665 St-6 27,617 0,929 12,554 0,631 47,684 10,585 Eigenvalue 2,678 1,468 1,152 0,481 0,204 0,017 % variance 44,638 24,461 19,195 8,023 3,401 0,283 Cumulative % 44,638 69,099 88,293 96,317 99, ,000 b. Observasi Komponen Bentik F1 F2 F3 F4 F5 F6 ACB 2,406 53,836 12,909 17,462 0,433 0,280 CE 3,929 7,578 8,062 0,014 6,703 60,874 CB 2,993 16,500 17,550 48,737 0,819 0,583 CM 7,072 12,494 4,959 1,644 18,834 5,874 CF 0,356 2,414 47,144 30,349 4,056 0,181 SC 73,949 0,042 0,034 0,091 10,060 3,243 Algae 4,475 2,951 9,146 1,700 43,575 25,017 DCA 4,819 4,185 0,196 0,004 15,520 3,949

167 141 Lampiran 7 Length at first maturity dan max length ikan target Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus No Spesies Length at first maturity Max length (cm) Family Acanthuridae 1 Acanthurus pyroferus A. nigricans 14 21,3 3 A. thompsoni A. xanthopterus A. lineatus A. mata A. nigrofuscus Zanclus cornutus Zebrasoma scopas Z. veliferum Naso lituratus N. vlamigii N. lopezi Ctenochaetus striatus C. tominiensis C. binotatus Family Labridae 17 Cheilinus fasciatus C. trilobatus C. chlorourus C. undulatus Cheilinus sp 22 Epibulus insidiator Hemigymnus melapterus H. fasciatus Chaerodon anchorago Chaerodon sp Family Carangidae 27 Caranx sp Carangoides sp Family Serranidae 29 Epinephelus coioides E. sexfasciatus E. fasciatus E. areolatus Epinephelus sp 34 Cephalopolis miniatus C. argus C. urodeta Anyperodon 37 leucogrammicus Family Lethrinidae 38 Lethrinus harak 17 50

168 142 Lampiran 7. (Lanjutan) No Spesies Length at first maturity Max length (cm) 39 L. lentjan Letrinus sp Family Lutjanidae 41 Lutjanus sp 42 Lutjanus decussatus L. fulviflamma 13 range L. gibbus L. fulvus L. kasmira Macolor niger M. macularis Family Holocentridae 49 Myripristis murdjan 17, Myripristis sp 51 Sargocentron caudimaculatus Family Mullidae 52 Parupeneus bifasciatus P. multifasciatus P. indicus P. barberinus Upeneus tragula U. flavolineatus Family Scaridae 58 Scarus ghobban S. dimidiatus S. sordidus S. tricolor 10 26,6 62 S. atropectoralis S. bleekeri S. chameleon S. altipinnis Scarus sp Family Nemipteridae 67 Scolopsis sp 68 S. bilineata S. margaritifera S. lineata S. trilineata Family Siganidae 72 Siganus puellus S. canaliculatus S. doliatus S. vulpinus S. corallinus 14 35

169 143 Lampiran 7. (Lanjutan) No Spesies Length at first maturity Max length (cm) 77 S. spinus Family Haemulidae Plectorhynchus chaetodonoides P. orientalis P. flavomaculatus P. goldmani Family Caesionidae 82 Pterocaesio tile P. chrysozona P. marri P. randalli Caesio cuning C. caerulaurea Sumber :

170 144 Lampiran 8 Estimasi nilai a dan b untuk analisis biomassa (W = al b ) ikan target Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus No Spesies a b Family Acanthuridae 1 Acanthurus pyroferus 0,0051 3, A. nigricans 0,0670 2, A. thompsoni 0,0369 3, A. xanthopterus 0,0267 2, A. lineatus 0,0126 3, A. mata 0,0222 3, A. nigrofuscus 0,0301 2, Zanclus cornutus 0,0147 3, Zebrasoma scopas 0,0304 2, Z. veliferum 0,0343 2, Naso lituratus 0,0497 2, N. vlamigii 0,0525 2, N. lopezi 0,0525 2, Ctenochaetus striatus 0,0231 3, C. tominiensis 0,0197 3, C. binotatus 0,0392 2,8746 Family Labridae 17 Cheilinus fasciatus 0,0318 3, C. trilobatus 0,0162 3, C. chlorourus 0,0197 2, C. undulatus 0,0123 3, Cheilinus sp 0,0318 3, Epibulus insidiator 0,0296 3, Hemigymnus melapterus 0,0182 3, H. fasciatus 0,0289 3, Chaerodon anchorago 0,0208 3, Chaerodon sp Family Carangidae 27 Caranx sp 0,0200 3, Carangoides sp 0,0160 3,0100 Family Serranidae 29 Epinephelus coioides 0,0105 3, E. sexfasciatus 0,0265 2, E. fasciatus 0,0138 3, E. areolatus 0,0117 2, Epinephelus sp 0,0105 3, Cephalopolis miniatus 0,0107 3, C. argus 0,0093 3, C. urodeta 0,0138 3, Anyperodon leucogrammicus 0,0014 3,5481 Family Lethrinidae 38 Lethrinus harak 0,0154 3, L. lentjan 0,0197 2,9862

171 145 Lampiran 8. (Lanjutan) No Spesies a b 40 Letrinus sp 0,0154 3,0430 Family Lutjanidae 41 Lutjanus sp 0,0239 2, Lutjanus decussatus 0,0239 2, L. fulviflamma 0,0205 2, L. gibbus 0,0153 3, L. fulvus 0,0211 2, L. kasmira 0,0111 3, Macolor niger 0,0308 3, M. macularis 0,0145 3,0000 Family Holocentridae 49 Myripristis murdjan 0,0376 3, Myripristis sp 0,0376 3, Sargocentron caudimaculatus 0,0162 3,0700 Family Mullidae 52 Parupeneus bifasciatus 0,0036 3, P. multifasciatus 0,0114 3, P. indicus 0,0118 3, P. barberinus 0,0151 3, Upeneus tragula 0,0137 3, U. flavolineatus 0,0089 3,0602 Family Scaridae 58 Scarus ghobban 0,0165 3, S. dimidiatus 0,0233 2, S. sordidus 0,0127 3, S. tricolor 0,0243 2, S. atropectoralis 0,0319 2, S. bleekeri 0,0233 2, S. chameleon 0,0184 3, S. altipinnis 0,0188 3, Scarus sp 0,0165 3,0412 Family Nemipteridae 67 Scolopsis sp 0,0138 3, S. bilineata 0,0138 3, S. margaritifera 0,0149 3, S. lineata 0,0344 3, S. trilineata 0,0194 3,0000 Family Siganidae 72 Siganus puellus 0,0246 3, S. canaliculatus 0,0120 3, S. doliatus 0,0104 3, S. vulpinus 0,0287 3, S. corallinus 0,0023 3, S. spinus 0,0150 3,0925

172 146 Lampiran 8. (Lanjutan) No Spesies a b Family Haemulidae 78 Plectorhynchus chaetodonoides 0,0148 3, P. orientalis 0,0173 3, P. flavomaculatus 0,0137 3, P. goldmani 0,0126 3,0786 Family Caesionidae 82 Pterocaesio tile 0,0174 3, P. chrysozona 0,0112 3, P. marri 0,0174 3, P. randalli 0,0112 3, Caesio cuning 0,0315 3, C. caerulaurea 0,0200 2,9914 Sumber :

173 Lampiran 9 Produksi, effort, biaya dan harga ikan target serta luasan karang hidup di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun Tahun Karang Produksi (H) Effort (E) Biaya (C) Harga (P) hidup (Ha) (ton) (trip) (per trip) (Rp) ,20 65,45 114, , , ,02 61,85 120, , , ,59 59,28 136, , , ,36 54,53 170, , , ,81 54,14 215, , , ,89 59,54 210, , , ,03 49,01 255, , , ,03 46,44 295, , , ,30 38,83 284, , , ,90 35,71 275, , ,62

174 148 Lampiran 10 Jumlah individu berdasarkan tingkat kematangan gonad ikan target jenis Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus, dan Siganus puellus di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Januari 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I II III IV V VI Pebruari 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I 1 II 2 5 III IV V 3 5 VI Maret 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I 1 1 II 1 3 III IV V VI 1 April 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I 1 1 II III 1 1 IV V VI 2 Mei 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I II III IV V VI

175 149 Lampiran 10. (Lanjutan) Juni 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I II III IV V VI Juli 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I 1 1 II III 2 1 IV V VI Agustus 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I 1 1 II III IV V VI September 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I II III 1 2 IV 2 5 V 1 VI Oktober 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I 1 2 II III 2 1 IV 1 2 V 1 VI 1

176 150 Lampiran 10. (Lanjutan) Nopember 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I II III 1 IV V VI Desember 2011 TKG Caesio cuning Epinephelus coioides Scarus dimidiatus Siganus puellus Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina I II III IV V VI

177 151 Lampiran 11 Kontribusi produksi ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus tahun a) Persentase Tahun Spawning Nursery Feeding b) Ton Tahun Spawning Nursery Feeding Total ,72 0,78 28,95 65, ,00 1,32 29,54 61, ,58 1,74 35,97 59, ,81 1,00 29,72 54, ,63 1,22 28,30 54, ,71 1,61 30,22 59, ,92 1,19 29,90 49, ,41 1,20 23,83 46, ,09 0,86 22,88 38, ,63 0,36 18,71 35,71

178 152 Lampiran 12 Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus serta pantai Desa Basaan a) Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus b) Kondisi pantai Desa Basaan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DISAMPAIKAN OLEH Ir. Agus Dermawan, M.Si DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA,

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi hutan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi.

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci