BAGIAN PERTAMA WACANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAGIAN PERTAMA WACANA"

Transkripsi

1 BAGIAN PERTAMA WACANA

2

3 Hartini Retnaningsih CATATAN KRITIS TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN Hartini Retnaningsih 1 A. Kemiskinan yang Terus Aktual Permasalahan kemiskinan terus aktual di Indonesia, bahkan sejak Indonesia merdeka pada tahun Kemiskinan bagai benang kusut yang tak terurai dari waktu ke waktu, bahkan dari pemerintahan ke pemerintahan. Namun hal ini bukan berarti suatu pembenaran untuk membiarkan kemiskinan terus berlangsung di negeri ini. Justru setiap periode pemerintahan ditantang untuk mengatasinya, atau setidaknya mengurangi kusutnya benang kemiskinan yang menggurita selama ini. Kini, pada masa pemerintahan Presiden SBY-Budiono, masalah kemiskinan juga masih menjadi permasalahan panjang yang tak ada ujung. Permasalahan kemiskinan tersebut dapat dilihat dari berbagai dimensi, yang terkadang membuat bingung, dari mana harus mencari solusi. Bertahun-tahun kemiskinan dibahas para pakar, bertahun-tahun pemerintah membuat dan melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan, namun tetap saja kemiskinan menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Kenyataan tersebut memunculkan banyak pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan dan faktor-faktor apa yang dominan di balik kemiskinan? Mungkin hanya sebuah impian, bagi siapapun yang ingin mendapat jawaban secepatnya atas permasalahan tersebut. Sungguh, diperlukan waktu dan pemikiran yang jernih serta analisis yang komprehensif untuk mendapatkannya. 1 Penulis adalah Peneliti Bidang Studi Kemasyarakatan Spesialisasi Analisis Dampak Sosial dan Evaluasi Program di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, hartiniretnaning@yahoo.com. 3

4 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Selama ini dikenal adanya empat kategori kemiskinan: 1) Kemiskinan absolut, adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll; 2) Kemiskinan relatif, adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan kondisi umum suatu masyarakat; 3) Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern); 4) Kemiskinan sruktural, adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. 2 Dari keempat kategori kemiskinan tersebut, semuanya bisa disaksikan di berbagai wilayah Indonesia sekarang ini. Berbicara masalah kemiskinan, berarti juga berbicara tentang keluarga miskin. Menurut BPS ada 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin: 1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; 2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; 3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester; 4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersamasama dengan rumah tangga lain; 5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; 6) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; 7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; 8) Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun; 10) Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari; 11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; 12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp per bulan; 13) Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; 14) Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp , seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, 2 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Edisi Revisi, Alfabeta, Bandung, 2008, h

5 Hartini Retnaningsih atau barang modal lainnya. 3 Kriteria tersebut masih digunakan hingga saat ini, meskipun tidak selalu cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang plural. Di Kota Manado misalnya, orang yang rumahnya berlantai tanah belum tentu miskin, dan orang miskin di Manado bisa makan daging/ susu/ayam lebih dari satu kali dalam seminggu. Selain itu, kriteria tentang uang misalnya, juga tidak cocok dengan keragaman tingkat harga barang dan jasa di berbagai wilayah Indonesia. Nilai Rp ,- di Jakarta tentu tidak sama dengan nilai Rp ,- di Papua, misalnya. Ada berbagai versi tentang ukuran kemiskinan, di antaranya versi BPS dan versi Bank Dunia. Menurut Rizky dan Majidi, BPS menggunakan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Garis Kemiskinan dilakukan terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll.) Sedangkan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. 4 Sedangkan Garis Kemiskinan menurut Bank Dunia adalah pendapatan US$ 2 per hari yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat setiap negara. 5 Sehubungan dengan itu, sudah saatnya pemerintah jeli dan membuka diri untuk memahami betapa rumitnya masalah kemiskinan. Tanpa pemahaman yang komprehensif , Badan Pusat Statistik. 4 Awalil Rizky & Nashyith Majidi, Neo Liberalisme Mencengkeram Indonesia: Indonesia Undercocer Economy, Penerbit: E. Publisihing Company, Jakarta, 2008, h Ibid., h

6 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik terhadap berbagai penyebab kemiskinan dan tanpa menggunakan kriteria yang konsisten untuk mengukur kemiskinan, maka pemerintah tidak akan pernah dapat melakukan penanggulangan kemiskinan dengan tepat. Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks, sehingga masalah kemiskinan tak dapat dipahami hanya dari satu sisi saja. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penanggulangan kemiskinan, karena tanpa memahami berbagai hal yang menjadi penyebabnya, upaya penanggulangan kemiskinan tidak akan dapat mencapai hasil yang optimal. Mengenai penyebab kemiskinan, Waidl, Sudjito, dan Bahagijo mengutip Bradshaw, yaitu: 1) Kelemahan-kelemahan individual (individual deficiencies); 2) Sistem budaya yang mendukung subkultur kemiskinan; 3) Distorsi-distorsi ekonomipolitik atau diskrimiasi sosial-ekonomi; 4) Kesenjangan kewilayahan; 5) Asalusul lingkungan yang bersifat kumulatif. 6 Untuk melakukan penanggulangan kemiskinan yang tepat, pemerintah perlu memperhatikan penyebab-penyebab kemiskinan, dan berdasarkan permasalahan yang ada, pemerintah membuat program-program yang cocok untuk memberdayakan masyarakat miskin. Waktu setahun adalah waktu yang singkat untuk menilai berbagai hal yang telah dilakukan pemerintahan Presiden SBY-Budiono terkait dengan penanggulangan kemiskinan. Sungguh tidak elok untuk mengadili secara gegabah, namun perlu diingatkan kembali bahwa hingga kini kemiskinan masih menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Presiden SBY-Budiono diharapkan mampu memimpin dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin di Indonesia. Pada masa pemerintahan sebelumnya, yaitu pemerintahan Presiden SBY- JK, angka kemiskinan di Indonesia masih fluktuatif, di samping juga masih adanya perbedaan cara pandang terhadap kemiskinan dan kriteria yang digunakan untuk mengukurnya. Hal ini merupakan permasalahn tersendiri yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Perbedaan cara pandang dan kriteria terhadap kemiskinan tersebut, mengakibatkan ketidakpastian tentang jumlah orang miskin yang sebenarnya. Dengan demikian, upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan menjadi tidak optimal. 6 Abdul Waidl, Ari Sudjito, Sugeng Bahagijo, Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber bagi Anggaran Pro Rakyat, LKiS, Yogyakarta, 2008, h

7 Hartini Retnaningsih Data resmi yang digunakan dasar oleh pemerintah untuk melakukan penanggulangan kemiskinan adalah data BPS. Menurut BPS, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 jumlah penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan, dari 38,70 juta orang (19,14 %) pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta orang (15,97 %) pada tahun Akan tetapi pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup besar, dari 35,10 juta orang (15,97 %) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta orang (17,75 %) pada bulan Maret Sebaliknya, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin pada periode Maret 2007-Maret 2008, dari 37,17 juta orang(16,58 %) pada tahun 2007 menjadi 34,96 juta orang (15,42 %) pada tahun Penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi pada tahun 2009, dari 34,96 juta orang (15,42 %) pada tahun 2008 menjadi 32,53 juta orang(14,15 %) pada tahun Dari data BPS tersebut, terlihat kecenderungan bahwa kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia kian membaik. Namun apakah demikian kenyataan yang ada di lapangan? Kita masih perlu mempertanyakan dan mengaitkannya dengan kriteria yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Perlu dicatat bahwa untuk mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan, perlu didasari langkah awal yang benar, yaitu menggunakan kriteria kemiskinan yang relevan dengan kenyataan. Jika tidak, hasilnya tidak akan optimal, dan ini berarti pemborosan anggaran negara. B. Kebijakan yang Kurang Responsif Kebijakan sosial yang kurang responsif menjadi penyebab kegagalan atau kelambanan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah perlu memiliki konsep pembangunan sosial yang tepat dan relevan. Pembangunan sosial adalah bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan sosial membutuhkan kebijakan sosial yang relevan. Menurut Suharto, kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. 8 Kebijakan sosial adalah 7 Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009, dalam Berita Resmi Statistik No.43/07/Th.XII, Juli Edi Suharto, Loc. Sit. h

8 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik seperangkat tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi, yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis pemerintah atau lembaga pemerintah dalam program dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial (social welfare). Secara rinci, tujuan-tujuan kebijakan sosial adalah: (1) Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat; (2) Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan-tindakan kolektif; (3) Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian-sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor internal-personal maupun eksternal-struktural; (4) Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-peranan sosial dan pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat, dan martabat kemanusiaan; (5) Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. 9 Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, kebijakan sosial merupakan pedoman yang harus dipegang oleh penyelenggara negara. Oleh karena itu kebijakan sosial haruslah responsif terhadap permasalahan yang nyata-nyata dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Selama ini masih terlihat kebijakan sosial yang kurang responsif terhadap permasalahan di lapangan, sehingga hasilnya pun salah sasaran. Sebagai contoh, dalam Program BLT (Bantuan Langsung Tunai), banyak penerima bantuan adalah orang yang lebih mampu dari yang diperkirakan, sehingga maksud baik pemerintah justru disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak berhak. Dalam hal ini Program BLT kurang disertai pengenalan secara jeli terhadap orang-orang yang sesungguhnya ingin dibantu, dan justru melahirkan mental-mental pengemis di kalangan masyarakat. Menurut Hill dan Bramley, First and foremost we would stress the point that in discussing social policy we are discussing an aspect of public policy, that is the action and positions taken by the state as the overriding authoritative collective entity in society Edi Suharto, Loc. Sit. h Michael Hill & Glen Bramley, Analysing Social Policy, Blackwell Publishers, 108 Cowley Road, Oxford OX4 1JF, United Kingdom, 1994, p. 4. 8

9 Hartini Retnaningsih Keduanya juga menyatakan betapa sulitnya mendefinisikan kebijakan sosial: A rather similar approach is that which defines social policy in terms of the institutions involved in the making and delivery of policy. Thus, in Britain social policy embraces: (1) certain central government departments, notably the Department of Health and Social Security, together with associated ministers, parliamentary committees, etc.; (2) certain social government departments, notably Social Service Departments, and associated committees; (3) the National Health Service; (4) other offshoots of government such as (perhaps) the Manpower Service Commission; (5) (possibly) certain professional bodies whose members are centrally involved in social service, e.g. medicine, nursing, social work, teaching, and associated teaching and research institutions. 11 Meskipun Hill dan Bramley sulit mendefinisikan kebijakan sosial, namun dari pernyataannya dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan sosial mencakup pengertian tentang kegiatan pemerintah dalam rangka menangani masalah sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk di dalamnya masalah penanggulangan kemiskinan. Kebijakan sosial identik dengan kebijakan dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial masyarakat. Sehubungan dengan ini, Gilbert, Specht, dan Terrell mengemukakan: Analysts tend to approach social welfare policy in several interrelated ways. The major approaches to analysis can be characterized as studies of the three p s: process, product, and performance. Each approaches examines social welfare policy questions that are primarily relevant to the professional roles of planning, administration, and research. Professional engaged these activities devote most of their resources and energies to questions concerning the process, product, and performance of social welfare policy. 12 Kebijakan kesejahteraan sosial terkait dengan kegiatan profesional yang menggunakan pendekatan dan analisis terhadap proses, produk, dan kinerja. Setiap pendekatan akan menguji pertanyaan-pertanyaan kebijakan kesejahteraan sosial melalui perencanaan, administrasi dan penelitian yang profesional. Para profesional terikat untuk memperhatikan proses, menghasilkan produk, dan menunjukkan kinerja kebijakan kesejahteraan sosial. Dalam konteks penang- 11 Ibid. 12 Neil Gilbert, Harry Specht, & Paul Terrell, Dimensions of Social Welfare Policy, Third Edition, Prentice Hall Inc, A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey 07632, 1993, p

10 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik gulangan kemiskinan di Indonesia, para profesional perlu terus berupaya melakukan peningkatan kualitas diri dan lembaganya dalam rangka memperkuat penyusunan kebijakan kesejahteraan sosial. Selain itu para politisi juga harus bersedia mendengar saran-saran yang profesional pada saat melakukan formulasi kebijakan kesejahteraan sosial dalam rangka penanggulangan kemiskinan. C. Upaya Penanggulangan Kemiskinan Penanggulangan kemiskinan adalah tantangan nyata yang dihadapi Pemerintah Indonesia saat ini. Demi keberhasilan penanggulangan kemiskinan, semestinya pemerintah belajar pada kegagalan masa lampau. Dan fokus yang tak dapat ditinggalkan adalah orang miskin itu sendiri. Salah satu faktor penting dari gagalnya pemberantasan kemiskinan adalah kebijakan politik pemerintah tidak memihak penduduk miskin. Hampir setiap periode, pemerintah terlihat tidak secara sungguh-sungguh memperjuangkan peningkatan kesejahteraan kaum miskin. Rezim Orde Baru misalnya, lebih memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi. Meskipun pada saat itu dibuat berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan, misalnya Instruksi Presiden (INPRES), namun program tersebut dan program lainnya tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi ketika itu diwarnai oleh tetap adanya kemiskinan dengan jumlah yang cukup signifikan. Rezim-rezim di era reformasi pun tidak memperlihatkan kebijakan yang pro rakyat miskin (pro-poor). Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan terlihat berada di sisi ekstrim dalam hal kebijakan yang tidak pro-poor ini. Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu amat pro pasar dan investasi. 13 Kembali fokus pada masyarakat miskin adalah hal krusial yang harus dilakukan oleh pemerintah, selain juga memperhatikan data-data dan fakta-fakta lain tentang kemiskinan yang dihasilkan oleh lembaga riset di luar BPS. Hanya dengan kembali fokus pada masyarakat miskin yang nyata-nyata ada di lapangan, maka negara akan menghasilkan kebijakan sosial yang pro-poor dan pemerintah akan dapat menciptakan serta menyelenggarakan program-program penanggulangan kemiskinan yang relevan, efektif dan efisien. 13 Toto Sugiarto, Kemiskinan, Demokrasi Terkonsolidasi dan Keutuhan Bangsa, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat, Akses Selasa, 28 September

11 Hartini Retnaningsih Permasalahan riil yang dihadapi Pemerintah Indonesia sekarang ini adalah masih banyaknya masyarakat miskin, meskipun angka kemiskinan (versi pemerintah) dinyatakan mengalami penurunan. Masalah kriteria yang digunakan untuk mengukur angka kemiskinan terus menjadi perdebatan, dan ada kecenderungan politik pada masing-masing pihak yang berkepentingan. Namun, alangkah baiknya jika pemerintah mau memahami dan membuka diri terhadap berbagai dimensi yang ada dalam permasalahaan kemiskinan di Indonesia. Hal ini sangat penting, karena tanpa itu, kemiskinan hanya akan dipahami sebagai angka-angka, dan program-program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan akan hambar dan berakhir tanpa hasil yang optimal. Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia sekarang ini juga merupakan bagian dari upaya mewujudkan MDGs. Menurut analis kampanye dan dan advokasi MDGs di Indonesia, Siahaan, pencapaian MDGs Indonesia bagaikan potret bercampur. Di satu sisi, beberapa sasaran, seperti pengurangan kemiskinan, telah on track. Namun kinerja dalam pengentasan rakyat miskin tetap menjadi masalah. Selama periode , kemiskinan hanya turun 1 %. 14 Dengan demikian, hingga kini upaya penanggulangan kemiskinan dapat dikatakan belum berhasil, karena masih banyak permasalahan yang terkait dengan masyarakat miskin di Indonesia. Jika hal ini tidak segera direspon dengan cepat dan tepat, dikhawatirkan target MDGs untuk mengurangi separoh jumlah orang miskin pada tahun 2015 tidak akan berhasil. Menanggulangi kelaparan dan kemiskinan adalah tujuan pertama dari MDGs. Sebagai negara yang turut menyepakati KTT Millenium, Indonesia menetapkan target-target yang ingin dicapai pada tahun , yaitu: , Rakyat Indonesia Masih Miskin, dalam SK Kompas, Senin, 20 September 2010, h , Tim Penyusun Laporan Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007, Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, November

12 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Tujuan 1: Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US $ 1 per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu Indikatornya (a) presentase penduduk dengan pendapatan di bawah US $ 1 per hari; (b) presentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional; (c) indeks kedalaman kemiskinan; (d) indeks keparahan kemiskinan; (e) proporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama) Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam kurun waktu Indikatornya : (a) persentase anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi buruk; dan (b) persentase anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami gizi kurang Tujuan 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Tujuan 4: Menurunkan Angka Kematian Anak Tujuan 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Target 3: Menjamin pada tahun 2015, semua anak (laki dan perempuan) dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Indikatornya: (a) angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun); (b) angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun); dan (c) angka melek huruf usia tahun Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun Indikatornya: (a) rasio anak perempuan terhadap anak laki-laku di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak lakilaki; (b) rasio melek huruf perempuan terhadap anak laki-laki usia tahun yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender); (c) tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan; (d) tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan; (e) kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan; (f) tingkat daya beli pada kelompok perempuan; dan (g) proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, yudikatif) Target 5: Menurunkan angka kematian Balita sebesar duapertiganya dalam kurun waktu Indikatornya: (a) angka kematian bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup; (b) angka kematian Balita (AKBA) per 1000 kelahiran hidup; (c) anak usia bulan yang diimunisasi campak (%) Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya dalam kurun waktu Indikatornya: (a) angka kematian ibu melahirkan (AKI) per kelahiran hidup; (b) proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan; dan (c) proporsi wanita tahaun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat keluarga berencana 12

13 Hartini Retnaningsih Tujuan 6: Memerangi HIV/ AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun Indikatornya: (a) prevalensi HIV dan AIDS; (b) penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko tinggi; (c) penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi; dan (d) persentase penduduk usia muda tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria serta penyakit lainnya pada tahun Indikatornya : (a) prevalensi malaria per penduduk; (b) prevalensi tuberkolusis per penduduk; (c) angka penemuan pasien tuberkulosis BTA positif baru (%); dan (d) angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%). Tujuan 7: Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup Target 9: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang. Indikatornya: (a) rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan Satelit Landsat terhadap luas daratan; (b) rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung, dan kawasan konservasi termasuk kawasan perkebunan dan hutan rakyat terhadap luas daratan; (c) rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan; (d) rasio luas kawasan lindung perairan; (e) jumlah emisi karbondioksida (metrik/ton); (f) jumlah konsumsi bahan perusak ozon (ton); (g) rasio jumlah emisi karbondioksida terhadap jumlah penduduk Indonesia; (h) jumlah penggunaan energi (total) dari berbagai jenis; (i) rasio penggunaan energi dari berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto; (j) penggunaan energi dari berbagai jenis secara absolut (metrik/ton). Target 10: Menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar sebesar separuhnya pada Indikatornya : (a) proporsi rumah tangga terhadap penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (total); (b) proporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (perdesaan); (c) proporsi rumah tangga/penduduk dengan berbagai kriteria sumber air (perkotaan); (d) cakupan pelayanan perusahaan daerah air minum (KK); (e) proporsi rumah tangga dengan akses pada fasilitas sanitasi yang layak (total, perdesaan, perkotaan) Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun Indikatornya proporsi rumah tangga yang memiliki atau menyewa rumah (%). 13

14 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Menurut Siahaan, berdasarkan garis kemiskinan nasional, pada tahun 1990 kemiskinan 15,1 % (27,2 juta orang miskin) dan pada tahun 2009 kemiskinan 14,15 % (32,5 juta orang miskin), sementara tahun 2010 sekitar 31,7 juta orang miskin. Memang ada penurunan karena saat krisis tahun 1998 kemiskinan sempat mencapai 24 %. Hanya saja penurunan tidak cukup kencang dalam waktu 11 tahun. 16 Dari data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia berjalan lamban, dan pemerintah belum berhasil mengentaskan masyarakat miskin dari jurang kemiskinan dan penderitaannya. Masalah penanggulangan kemiskinan di Indonesia juga terkait dengan kerancuan angka kemiskinan. Sebagaimana dirilis Kompas, besarnya angka kemiskinan di Indonesia masih simpang siur. Untuk kepentingan yang berbeda, angka yang menunjukkan jumlah penduduk miskin tersebut muncul dengan besaran berbeda. Dalam Program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diperuntukkan orang miskin, penerima bantuan iuran dari pemerintah berjumlah 76,4 juta orang. Mereka adalah penduduk yang menggunakan jaminan itu ketika sakit. Angka itu lebih dari dua kali lipat dari angka penduduk miskin menurut BPS, yakni 31,02 juta jiwa pada tahun Masalah kesimpangsiuran angka kemiskinan tersebut mungkin akan bertambah rumit lagi jika dikonfrontir dengan angka-angka lain tentang kemiskinan dari lembaga riset yang berbeda. Kondisi semacam ini perlu direspon dan ditindaklanjuti dengan langkah nyata oleh pemerintah, yaitu melakukan harmonisasi dan konsistensi terhadap penggunaan data kemiskinan dalam rangka penyusunan program-program dan anggaran penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pemerintah perlu mengetahui secara jelas siapa dan berapa jumlah masyarakat miskin di Indonesia, agar program-program penanggulangan kemiskinan yang diselenggarakan nantinya tidak sia-sia. Selain angka kemiskinan yang masih simpang siur, masalah kemiskinan yang sudah ada selama ini juga sangat rentan untuk bertambah beban. Ketika ada satu saja faktor baru yang masuk, misalnya bertambahnya pengangguran, maka masalah kemiskinan di Indonesia akan bertambah pelik. Berdasarkan catatan Kemendiknas, saat ini ada sedikitnya 2 juta lulusan perguruan dengan , Rakyat Indonesia Masih Miskin, dalam SK Kompas, Senin, 20 September 2010, h , Laporan MDGs: Angka Kemiskinan Masih Simpang Siur, dalam SK Kompas, Senin 21 September 2010, h

15 Hartini Retnaningsih aneka jenjang menjadi penganggur. 18 Jika masalah pengangguran ini tidak dapat segera diatasi, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan kemiskinan baru pada masa mendatang, bahkan dalam jangka waktu yang tidak akan lama. Dan ini berarti, angka kemiskinan akan bertambah pula. D. Catatan Kritis Dari serangkaian uraian di atas, ada tiga catatan penting yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini yaitu: Pertama, kemiskinan yang terus aktual. Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang terus aktual di Indonesia hingga kini, sehingga pemerintah perlu merespon permasalahaan tersebut dengan sebaik-baiknya. Kemiskinan adalah tantangan nyata yang dihadapi pemerintah, yang menuntut perhatian dan pembenahan secara serius. Pemerintah perlu melihat kembali siapa sebenarnya orang miskin, apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan dari kemiskinan tersebut, dan faktor-faktor apa yang dominan di balik kemiskinan tersebut. Untuk merespon permasalahan kemiskinan, diperlukan pemikiran yang jernih serta analisis yang komprehensif, agar nantinya dapat dilakukan tindak lanjut penanggulangan kemiskinan yang relevan, efektif dan efisien. Kedua, kebijakan sosial yang kurang responsif. Penanggulangan kemiskinan membutuhkan kebijakan sosial yang responsif, yaitu kebijakan sosial yang mampu merespon permasalahan nyata yang ada dalam masyarakat. Kebijakan sosial yang kurang responsif menjadi penyebab kegagalan atau kelambanan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia selama ini. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, kebijakan sosial merupakan pedoman yang harus dipegang oleh penyelenggara negara, oleh karena itu, kebijakan sosial haruslah responsif terhadap permasalahan yang nyata-nyata dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Ketiga, upaya penanggulangan kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan membutuhkan keseriusan, dalam hal ini adalah keseriusan melihat dan memahami siapa orang miskin yang sebenarnya, apa yang mereka butuhkan, dan bagaimana melakukannya. Pemerintah perlu kembali fokus pada permasalahan masyarakat miskin, selain juga membuka diri terhadap data-data dan fakta-fakta lain tentang kemiskinan yang dihasilkan oleh lembaga riset di , Penganggur Akademik Dua Juta Orang, dalam SK Kompas, Senin, 27 September 2010, h

16 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik luar BPS. Masalah kriteria dalam pengukuran kemiskinan yang terus menjadi perdebatan, juga perlu direspon, agar terjadi harmonisasi dan satu kesatuan gagasan pada elemen-elemen bangsa yang terlibat dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Hal ini sangat penting, agar upaya dan tindakan penanggulangan kemiskinan dapat mencapai target dengan tepat sasaran. 16

17 Hartini Retnaningsih Daftar Pustaka Abdul Waidl, Ari Sudjito, Sugeng Bahagijo, Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber bagi Anggaran Pro Rakyat, LKiS, Yogyakarta, Awalil Rizky & Nashyith Majidi, Neo Liberalisme Mencengkeram Indonesia: Indonesia Undercocer Economy, Penerbit: E. Publisihing Company, Jakarta, Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Edisi Revisi, Alfabeta, Bandung, Michael Hill & Glen Bramley, Analysing Social Policy, Blackwell Publishers, 108 Cowley Road, Oxford OX4 1JF, United Kingdom, Neil Gilbert, Harry Specht, & Paul Terrell, Dimensions of Social Welfare Policy, Third Edition, Prentice Hall Inc, A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey 07632, Toto Sugiarto, Kemiskinan, Demokrasi Terkonsolidasi dan Keutuhan Bangsa, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat, Akses Selasa, 28 September , Tim Penyusun Laporan Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007, Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, November , Badan Pusat Statistik. 17

18 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Lain-lain: -----, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2009, dalam Berita Resmi Statistik No.43/07/Th.XII, Juli , Rakyat Indonesia Masih Miskin, dalam SK Kompas, Senin, 20 September 2010, h , Laporan MDGs: Angka Kemiskinan Masih Simpang Siur, dalam SK Kompas, Senin 21 September 2010, h , Penganggur Akademik Dua Juta Orang, dalam SK Kompas, Senin, 27 September 2010, h

19 Dina Martiany Perspektif Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Sosial Dina Martiany The education and empowerment of women throughout the world cannot fail to result in a more caring, tolerant, just and peaceful life for all (Aung San Suu Kyi-Myanmar s Leader) I. PENDAHULUAN Pembangunan dilaksanakan secara terencana dan berkesinambungan dengan tujuan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat secara adil dan merata. Pendekatan yang seringkali digunakan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu melalui pembangunan ekonomi. Di satu sisi pembangunan ekonomi meningkatkan pendapatan per kapita di suatu negara, tetapi juga menimbulkan permasalahan sosial yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pembangunan ekonomi lebih terfokus pada pengembangan fisik, seperti pertumbuhan Produk Nasional Bruto (Gross National Product/GNP), serta pembangunan struktur dan infrastruktur. Sementara itu, pemerataan hasil pembangunan dan keseimbangan lingkungan kehidupan kurang diperhatikan, sehingga proses pembangunan justru menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan miskin, serta permasalahan sosial lainnya. Pembangunan sosial dilakukan untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup manusia, yang indikatornya terletak pada pencapaian di bidang kehidupan sosial. Dalam Wikipedia online disebutkan bahwa pendekatan pembangunan 19

20 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sosial dianggap sebagai suatu proses perubahan sosial terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dimana pembangunan dilakukan untuk saling melengkapi dengan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan sosial dalam suatu negara dapat dilihat dari tingkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicapai. Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) yang dikeluarkan oleh United Nation Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa HD/IPM Indonesia pada tahun 2008 berada di peringkat 109 dari 179 negara, dengan nilai 0,726, jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Pembangunan sosial dan upaya peningkatan kualitas hidup manusia, akan memberikan dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Keduanya harus terlibat dalam setiap proses pembangunan, sehingga dapat tercipta suatu kesetaraan gender. Sejak awal perencanaan pembangunan, analisa harus dilakukan berdasarkan data terpilih. Selama ini, perempuan sebagai bagian dari proses pembangunan nasional, yaitu sebagai pelaku sekaligus pemanfaat hasil pembangunan, masih belum dapat memperoleh akses, berpartisipasi, dan memperoleh manfaat yang setara dengan laki-laki. Pada proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan pembangunan di semua bidang dan semua tingkatan, keterlibatan perempuan masih sangat rendah. Masih rendahnya kualitas hidup perempuan yang disebabkan oleh relasi gender yang masih timpang, tercermin dalam berbagai bidang yang diukur melalui Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM). Pencapaian keadilan dan kesetaraan gender sesungguhnya merupakan suatu hal yang penting. Millenium Development Goals (MDGs) menunjukkan bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu target yang harus dicapai pada tahun Sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, sesungguhnya keterlibatan perempuan dalam setiap tahapan pembangunan perlu terus didorong. Keterlibatan tersebut bukan hanya dilibatkan secara pasif, namun sebagai pelaku aktif dan agen dalam pembangunan sosial. Pada kenyataannya, data dan fakta di lapangan menggambarkan bahwa kualitas hidup perempuan yang masih rendah dan keterlibatan perempuan yang minim dalam pembangunan sosial, disebabkan karena perempuan selama ini diposisikan sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya. 20

21 Dina Martiany Adanya persepsi mengenai peran yang dilekatkan pada perempuan dan lakilaki, menjustifikasi peran gender yang menempatkan perempuan pada kerja domestik (caring works) dan dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Peran gender perempuan seperti yang disebutkan oleh Moser (1995), yaitu peran reproduksi, peran produktif, dan peran sosial (dalam masyarakat), seharusnya dapat dimanfaatkan dengan optimal. Sebaliknya, akibat peran gender tersebut, perempuan seringkali mengalami ketidakadilan gender dan diskriminasi. Ketidakadilan gender itu berupa marginalisasi, subordinasi, pelabelan/stereotipe, kekerasan, dan beban ganda. Ketidakadilan gender dapat terjadi secara langsung berupa perlakuan dan sikap atau tidak langsung seperti dampak dari kebijakan, peraturan perundang-undangan, norma, dan budaya yang berlaku di masyarakat. Program pembangunan kesetaraan gender yang dirumuskan oleh para stake holders selama ini cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek pasif. Pasifitas tersebut dianggap sebagai ketidakmampuan yang diakibatkan karena keterbatasan dan pengaruh peran gender yang disandangnya. Hal ini berdampak pada perspektif dalam melihat peranan perempuan dalam pembangunan sosial. Keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial masih sangat rendah. Intervensi sosial dalam bentuk pemberdayaan cenderung bersifat memberikan bantuan (charity) terhadap pihak yang dianggap tidak mampu, lemah, dan terpinggirkan. Program pembangunan yang ditujukan untuk kelompok perempuan berdasarkan pada relasi power, yang menunjukkan kekuasaan negara terhadap pihak yang teropresi (power over). Program yang dirumuskan dengan perspektif kekuasaan dalam arti dominasi pihak yang berkuasa (pemerintah) terhadap pihak yang lemah dan harus diatur (rakyat), mengakibatkan rakyat terus diposisikan sebagai obyek yang pasif. Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial akan memberikan konsekuensi yang positif dalam terjadinya perubahan sosial dan peningkatan kualitas hidup bangsa. Perspektif pemberdayaan tersebut hendaknya tidak hanya menempatkan perempuan sebagai pihak yang teropresi karena konstruksi budaya dan ketidakadilan struktural, melainkan sebagai subyek pembangunan. Peran perempuan sebagai obyek yang pasif harus direposisi menjadi subyek aktif dalam pembangunan sosial. Perempuan dipandang sebagai agen perubahan yang memegang peranan besar dalam komunitasnya masing-masing. Seperti pendapat Amartya Sen yang menjelaskan bahwa dengan adanya peranan aktif perempuan dalam pembangunan berpotensi membawa perubahan dalam ke- 21

22 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik hidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Empowerment of women through education, employment and social and economic participation, brings about changes in society such as reduced child mortality, reduced fertility rates and often an increased well- being of the whole family. (Sen,1999) Sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan sosial dan pencapaian kesetaraan gender, perlu dilakukan pemberdayaan perempuan. Kabeer (1994: xii) dalam Reversed Realities, menjelaskan bahwa selama ini ada pergeseran fokus analisis pembangunan dari perempuan (women) menjadi relasi gender (gender relation). Permasalahan yang sering terjadi apabila fokus analisa ketidakadilan gender dalam pembangunan hanya pada perempuan, maka analisanya hanya akan melihat pada persoalan perempuan terisolasi dari sisa kehidupannya dan dari hubungan yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Sehingga, yang terlihat sebagai penyebab ketidakadilan yang dialami oleh dirinya adalah perempuan itu sendiri, bukan relasi gender. Pada akhirnya dalam analisis pembangunan para ahli gender memfokuskan pada relasi gender. Meskipun demikian, dalam hal relasi gender, dapat dilihat bahwa pemberdayaan perempuan merupakan komponen utama yang terkait erat untuk mendorong percepatan pencapaian relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Pemberdayaan perempuan dilihat sebagai suatu upaya intervensi sosial dalam pembangunan sosial. Tetapi bagaimana agar perspektif pemberdayaan perempuan tersebut dapat memampukan perempuan sebagai subyek yang aktif dan tidak terus-menerus dianggap sebagai penyebab ketidakadilan gender yang dialami dirinya sendiri. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisa bagaimanakah perspektif pemberdayaan perempuan yang dapat diterapkan dalam pembangunan sosial. II. Pemahaman Konsep Pembangunan Sosial Pembangunan secara umum adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam suatu negara dan merupakan proses perubahan sosial. Prayitno (2009:3) menyebutkan bahwa perubahan sosial harus dimulai dengan adanya motivasi yang kuat untuk bersedia dan menerima perubahan dan penetapan tujuan perubahan harus dilakukan terlebih dahulu. Di Indonesia, pembangunan nasional dirumuskan sebagai suatu rangkaian pembangunan secara berkesinambungan terhadap berbagi bidang kehidupan rakyat, dengan tujuan mencapai cita-cita bangsa yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Un- 22

23 Dina Martiany dang Dasar (UUD) Hakikat pembangunan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dengan berlandaskan pada Pancasila. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuannya, maka pembangunan nasional dilakukan secara menyeluruh, terencana, terpadu, bertahap, dan berkesinambungan. Pembangunan nasional terdiri dari pengembangan fisik seperti struktur dan infrastruktur dari suatu negara, yang mendukung pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kenaikan pendapatan total, pendapatan perkapita, dan pemerataan pendapatan rakyat. (Wikipedia online Meskipun demikian, orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, agar dapat mencapai keseimbangan dalam pencapaian tujuan pembangunan. Edi Suharto dalam Bahri (20 09) mengartikan pembangunan sosial sebagai pendekatan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna, yakni memenuhi kebutuhan manusia yang terentang mulai dari kebutuhan fisik sampai sosial. Pembangunan sosial secara kontekstual lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial daripada pertumbuhan ekonomi. Beberapa program yang termasuk dalam lingkup pembangunan sosial mencakup bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan rakyat, pengentasan kemiskinan, dan kesetaraan gender. Prayitno (2009:4) menjelaskan bahwa pembangunan sosial merupakan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan (rakyat) secara menyeluruh. Pembangunan sosial melibatkan manusia secara langsung, sebagai agen pembangunan sekaligus penikmat hasilnya. Pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dinilai sebagai dua entitas yang terpisah. Midgley (1995: 250) dalam Adi (2003: 49) mendefinisikan pembangunan sosial sebagai: a process of planned social change designed to promote the well-being of the population as a whole in conjunction with a dynamic process of development (suatu proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, di mana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi). Lebih lanjut dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan sosial, Midgley yang dikutip dalam Adi (2003:49) mengemukakan ada 3 (tiga) strategi yang dapat dilakukan, yaitu: 23

24 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Pembangunan sosial melalui individu (social development by individual), di mana individu dalam masyarakat secara swadaya memberikan pelayanan untuk memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebih mengarah pada pendekatan individualis atau perusahaan (individualist or enterprise approach). 2. Pembangunan sosial melalui komunitas (social development by communitites), di mana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokal di daerah masing-masing. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komunitarian (communitarian approach). 3. Pembangunan sosial melalui pemerintah (social development by government), di mana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (government agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis (statist approach). Berdasarkan pada uraian strategi pembangunan sosial, pembangunan manusia merupakan pembangunan sosial dalam tingkat mikro; pembangunan/ pengembangan komunitas (community development) merupakan pembangunan sosial pada tingkat meso; dan apa yang disebut sebagai pembangunan sosial itu sendiri, merupakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau berskala makro. Widowati (2009, iii) dalam buku Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia, menjelaskan bahwa pembangunan sosial dapat didefinisikan sebagai suatu strategi kolektif dan terencana dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Pembangunan sosial dituangkan dalam bentuk berbagai kebijakan sosial yang mencakup sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan, jaminan sosial, dan penanggulangan kemiskinan. Moeljarto dalam Prayitno (2009:9) menerangkan bahwa makna pembangunan sosial setidaknya mencakup 3 (tiga) kategori, yaitu: 1. Pembangunan sosial sebagai pengadaan pelayanan masyarakat; 2. Pembangunan masyarakat sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi; dan 3. Pembangunan sosial sebagai upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat. 24

25 Dina Martiany Lebih lanjut, Widowati (2009) berpendapat bahwa konsep pembangunan sosial (social development) berbeda dengan pembangunan manusia (human development) dan pembangunan kesejahteraan sosial (social welfare development), meskipun saling berkaitan satu sama lain. Pembangunan sosial berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti luas. Fokus pembangunan kesejahteraan sosial sedikit lebih luas, mencakup peningkatan modal sosial (social capital), yang dapat dilihat dari indikator keberfungsian sosial dalam hal: pemenuhan kebutuhan dasar; melaksanakan peran sosial; dan kemampuan menghadapi permasalahan sosial. Sementara itu, fokus pembangunan manusia terletak pada peningkatan kualitas manusia, yang dilihat dari sisi modal manusia (human capital), dengan melihat pada dua indikator, yaitu: kesehatan dan pendidikan. Pembangunan sosial menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia, untuk mencapai hidup yang lebih berkualitas. Dengan tercapainya peningkatan kualitas hidup manusia, maka akan berpengaruh secara signifikan pada pembangunan ekonomi. III. Perspektif Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Sosial Rencana Strategis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun menyebutkan bahwa pada tahun 2009, populasi penduduk di Indonesia mencapai sekitar 231 juta, dan 49.9% dari jumlah itu adalah perempuan. Persentase populasi tersebut sesungguhnya merupakan aset yang sangat potensial untuk menyumbangkan kontribusi yang besar dalam pembangunan sosial. Aset yang harus dikelola dan dilibatkan secara optimal. Perwujudan kesetaran gender dalam pembangunan merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan, agar perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam partisipasi dan menikmati hasil pembangunan. Hal tesebut dilakukan terintegrasi dalam setiap tahapan pembangunan, dimulai dari masa perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Ada berbagai macam konsep yang dapat membantu dalam memahami kesetaraan gender. CIDA (Canadian International Development Agency) menyebutkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki atau kesetaraan gender mempromosikan partisipasi perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan; mendukung perempuan dan anak perempuan sehingga mereka dapat sepenuhnya memperoleh hak mereka; dan mengurangi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam hal akses dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat 25

26 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik dari pembangunan. Sementara itu, AusAid mendefinisikan kesetaraan gender adalah kesetaraan nilai peran antara perempuan dan laki-laki. Kesetaraan gender bekerja untuk mengatasi hambatan stereotipe dan prasangka sehingga kedua jenis kelamin mampu secara sama-sama berpartisipasi dan mengambil manfaat dari perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan politik dalam masyarakat. Ketika perempuan dan laki-laki memiliki kesetaraan relatif, ekonomi tumbuh lebih cepat dan terjadinya praktik korupsi berkurang. ( Selama ini, data dan angka menunjukkan bahwa perempuan belum sepenuhnya terlibat dalam pembangunan. Target pencapaian kesetaraan gender masih jauh dari harapan. Dari sekitar 1,2 miliar manusia yang hidup dalam kemiskinan absolut, 70 % di antaranya adalah perempuan. Pendidikan untuk anak perempuan selama ini masih dinomor-duakan. Sementara itu, di bidang ketenagakerjaan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan lebih rendah dibandingkan dengan TPAK laki-laki. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan dari tahun 2004 sampai tahun 2009, TPAK perempuan tidak menunjukkan peningkatan, hanya berkisar sekitar 50 %. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan TPAK laki-laki yang rata-rata 84 %. Di bidang politik, hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 menunjukkan keterwakilan perempuan di DPR-RI belum sesuai harapan, yaitu hanya sebesar 17,9% sedikit meningkat dari periode sebelumnya (11,3%). Tingkat Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi 228 per kelahiran hidup (2007). Berdasarkan analisa Bappenas tahun 2010 target pencapaian penurunan AKI hingga 102 per kelahiran hidup masih sulit direalisasikan. (Martiany, 2010) Pencapaian kesetaraan gender termasuk dalam menjadi tolok ukur dalam peningkatan kualitas hidup manusia, yang menjadi tujuan utama pembangunan sosial. Salah satu langkah yang harus dilakukan oleh semua pihak untuk mewujudkan kesetaraan gender, sejalan dengan upaya peningkatan HDI (Human Development Index), GDI (Gender Development Index), GEM (Gender Equality Measure) di Indonesia, adalah melalui pemberdayaan perempuan. Peningkatan pemberdayaan perempuan melalui berbagai program dan kegiatan dilakukan dengan kesadaran bahwa betapa pentingnya peran posisi perempuan dalam pembangunan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Pemberdayaan merupa- 26

27 Dina Martiany kan metode intervensi sosial dalam pembangunan sosial. Perempuan sebagai salah satu entitas dalam pembangunan sosial yang selama ini masih banyak mengalami ketidakadilan gender, perlu diberikan intervensi baik pada tingkat individu, komunitas, maupun pemerintah/kebijakan. 3.1 Pemberdayaan dalam Pembangunan Sosial Istilah empowerment, dalam bahasa Indonesia pemberdayaan, berasal dari kata dasar empower yang berarti: increasing the spiritual, political, social, or economic strength of individuals and communities. Atau sebagai suatu proses meningkatkan kekuatan ekonomi individu dan komunitas. Proses pemberdayaan juga termasuk mengembangkan kepercayaan diri terhadap kapasitas individu. ( Selain itu, pemberdayaan juga diartikan sebagai: to invest with power, especially legal power or officially authority, atau to equip or supply with an ability. Jadi empowerment adalah tentang hal menguasakan, memberi kuasa, atau memberikan wewenang sehingga si objek memiliki kekuasaan dalam artinya luas. Dari konsep aslinya, empower adalah proses dimana orang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran (conscientisation) untuk mengkritisi dan menganalisa situasi yang dihadapi, kemudian mengambil keputusan dan tindakan yang tepat untuk merubah kondisi tersebut. Dengan demikian, terjadi proses dimana orang-orang didorong dan diyakinkan untuk memperoleh penuh keterampilan, kemampuan, dan kreatifitas. Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang sangat sering digunakan dalam pembangunan tetapi memiliki berbagai definisi, tergantung pada sudut pandang dalam memaknainya. Ife (1995) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti mempersiapkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian bagi masyarakat, demi untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat tersebut, dalam menentukan masa depan mereka, serta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakatnya. ( com/doc/ /proposal-penelitian) Selain itu, Payne yang dikutip Adi (2003) menjelaskan pemberdayaan sebagai upaya dalam membantu suatu pihak agar berdaya dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer kemampuan dan kesempatan dari lingkungan sekitar. Akar utama dalam konsep pemberdayaan adalah power atau kekuasaan. 27

28 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Secara umum, kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang (subyek) terhadap orang atau kelompok lain (obyek) untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Rowlands (1995) mengatakan bahwa kekuasaan dapat ditempatkan dalam proses pengambilan keputusan, konflik, kekuatan, bahkan dapat digambarkan sebagai zerosum, yaitu semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh suatu pihak, semakin rendah kekuasaan pihak yang lainnya. Dalam hal ini kekuasaan dianggap berhubungan dengan kepatuhan atau power over, dimana suatu pihak harus melakukan pengawasan (control) atau mempengaruhi (influence over) pihak lain. Kekuasaan yang dimiliki oleh pihak yang menjadi subyek lebih dominan daripada yang menjadi obyek. Selain itu, konsep mengenai kekuasaan subyek yang aktif dan obyek yang pasif terkait erat dengan relasi kekuasaan yang terbentuk secara sistematis. Ketidakberdayaan dapat terjadi karena kondisi eksternal (penindasan struktur sosial) dan karena kondisi internal (persepsi negatif terhadap kemampuan sendiri). Dalam suatu komunitas, ketika ada pihak yang terbiasa dianggap sebagai pihak yang lemah, tidak berdaya, tidak memiliki kekuasaan, dan bahkan berada di bawah kekuasaan oleh kelompok yang dominan, maka mereka akan selalu merasa sebagai pihak yang teropresi. Secara tidak langsung, hal tersebut akan terinternalisasi di dalam diri mereka dan dianggap sebagai sesuatu yang memang wajar terjadi karena segala keterbatasan yang dimilikinya (internalised oppression). Sehingga, tidak ada kesadaran (conscientisation) yang muncul bahwa dirinya memiliki kekuasaan (power within) untuk melakukan berbagai kontribusi dan partisipasi dalam pembangunan sosial. Lebih lanjut, sesuai konteks tulisan ini pemberdayaan utamanya dilihat sebagai upaya yang bertujuan untuk merubah persepsi negatif masyarakat terhadap ketidakberdayaannya (power within), meningkatkan kesadaran dan kemampuan akan potensi yang dimilikinya, serta memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu (power to). Suharto (2009:58) mengatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu hal yang tercipta dalam relasi sosial, sehingga dapat berubah. Pemberdayaan merupakan suatu proses perubahan, yang tergantung pada dua hal: bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, maka pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan cara apapun; dan bahwa kekuasaan dapat diperluas. 28

29 Dina Martiany 3.2 Perspektif Pemberdayaan Perempuan Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam pembangunan sosial adalah dengan melakukan pemberdayaan perempuan, sebagai bentuk intervensi sosial. Perempuan selama ini dianggap sebagai kelompok yang lemah secara struktural. Sebagai pihak yang tidak berdaya dan perlu diberdayakan, namun menerapkan perspektif pemberdayaan yang menguasai (power over). Perempuan sebagai obyek yang pasif bukan subyek/agen yang aktif. Perempuan dikuasai oleh pihak yang dominan dalam kehidupannya, baik pada tingkat relasi individual (suami/ayah/saudara laki-laki); tingkat relasi komunitas (masyarakat yang patriarki); dan tingkat kebijakan (terbitnya berbagai peraturan yang bias-gender). Perempuan berada jauh dari kekuasaan yang bersifat generatif, yang dapat memampukan perempuan memiliki kesadaran akan potensi, kemampuan, hak, dan kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan sosial. Dalam perspektif feminis, interpretasi mengenai kekuasaan pihak lain atas perempuan (power over), dapat dilihat dengan memahami dinamika terjadinya opresi oleh struktur dan internalisasi opresi dalam diri perempuan sendiri. Pelaksanaan pemberdayaan harus mampu mempengaruhi kemampuan perempuan sebagai kelompok yang less-powerful untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan formal dan informal; mengusahakan dapat memberikan pengaruh positif, sehingga perempuan memiliki persepsi baru mengenai dirinya sebagai kelompok yang memiliki kemampuan dan perbuatan yang berpengaruh bagi lingkungan sekitarnya. Rowlands (1995:102) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan sesungguhnya lebih luas daripada sekedar memperluas akses perempuan terhadap sumber daya dan proses pengambilan keputusan. Pemberdayaan melainkan harus termasuk proses yang dapat mendorong kesadaran perempuan (conscientisation) bahwa dirinya mampu dan berhak menjadi bagian dari pembangunan. Konsep power from within merupakan inti dari pemberdayaan perempuan untuk mewujudkan perubahan sosial. Persepsi perempuan mengenai kemampuan yang dimiliki dirinya merupakan konstruksi sosial. Salah satunya adalah adanya pembagian peran gender, yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan domestik. Sehingga, apabila perempuan bekerja di ruang publik, seringkali dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Upah pekerja perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan banyak perem- 29

30 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik puan yang bekerja di sektor informal dan domestik, selain mendapatkan upah yang rendah, dianggap tidak berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Perempuan teropresi dan diposisikan menjadi warga negara kelas dua. Konstruksi sosial membentuk persepsi personal, publik dan negara, bahwa perempuan adalah kelompok yang tidak berdaya, pendamping, dinomorduakan, dan tidak berkontribusi aktif dalam pembangunan. Persepsi ini pula yang menjadikan posisi start perempuan untuk aktif dalam proses pembangunan sosial menjadi tertinggal. Seharusnya, pemberdayaan perempuan tidak membuat suatu konstruksi sosial yang negatif, sehingga perempuan memiliki kesadaran yang tinggi dan percaya diri akan kemampuannya. Pemberdayaan perempuan memandang perempuan sebagai entitas yang memiliki potensi dalam dirinya dan mampu berperan aktif sebagai agen perubahan. Pemikiran feminis mengutamakan pemberdayaan struktural dan kolektif dengan mengkonsepsikan pemberdayaan sebagai kekuasaan atau kekuatan dari dalam diri sendiri (power within). Charmes dan Wieringa (2003) dalam Johannessen (2007) mendefinisikan Matriks Pemberdayaan Perempuan yang terdiri dari enam dimensi, yaitu: fisik, sosial-budaya, agama, ekonomi, politik, dan hukum, serta enam level, yang terdiri dari: individual, rumah tangga, komunitas, negara, agama, dan global. Pemberdayaan perempuan semestinya mencakup keenam dimensi tersebut dan dilakukan di seluruh tingkatan, agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Pendapat mengenai power within merupakan suatu bagian yang penting dalam pemberdayaan perempuan dan mengacu pada kesadaran terhadap realitas eksternal. Townsend dalam Johannessen (2007) mengatakan bahwa proses pemberdayaan diri sendiri (self-empowerment) sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kesadaran dan pilihan yang tidak dapat dipengaruhi oleh pihak lain. Kesadaran dalam diri ini memang harus didukung dengan beberapa faktor pendukung, seperti pendidikan, informasi, dan komunikasi. Sementara itu, konsep conscientisation dianggap sebagai titik utama dalam konsep pemberdayaan perempuan. Kesadaran atau conscientisation merupakan istilah yang dikembangkan oleh Freire, seperti yang terdapat dalam Rowlands (1995:103) dimana pusatnya adalah individu yang mampu menjadi subyek dalam kehidupannya sendiri dan membangun kesadaran kritis (critical consciousness). Pemberdayaan perempuan pada umumnya dilakukan di dalam kelompok atau komunitas, dengan pendamping yang sifatnya hanya menjadi fasilitator. 30

31 Dina Martiany Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial merupakan suatu proses dimana perempuan dapat memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya sendiri untuk meningkatkan kemandirian, dan menegaskan hak kemerdekaan mereka dalam membuat pilihan dan memegang kontrol terhadap sumber daya, sehingga akan membantu mengeliminasi diskriminasi dan ketidakadilan gender yang mereka alami. Dengan adanya konsep kesadaran Freire, maka pelaksanaan pemberdayaan perempuan akan berpengaruh pada perubahan sosial. Konsep ini merupakan strategi aktif untuk mewujudkan perubahan sosial dan politik, serta mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam pembangunan sosial. Carr dalam Johannessen (2007) mengatakan bahwa konsep conscientisation adalah proses yang analitikal, konstruktif, dan memobilisasi dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan. Aspek yang dianggap problematic dalam upaya pemberdayaan perempuan adalah kenyataan bahwa pemberdayaan itu harus dimulai dari dalam diri perempuan itu sendiri. Kabeer (2005) mendukung kenyataan tersebut, dikatakan olehnya bahwa proses pemberdayaan seringkali dimulai dari dalam diri perempuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rowlands (1995) yang menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan proses yang melibatkan perubahan psikologis dan proses psiko-sosial yang fundamental. Inti dari kedua hal tersebut adalah pengembangan kepercayaan diri dan harga diri perempuan, kesadaran untuk menjadi agen perubahan sosial, serta kesadaran diri dalam arti yang lebih luas. Ketika perempuan yang sebelumnya diposisikan sebagai powerless-group menyadari arti kesetaraan hak dan partisipasi, maka perempuan akan lebih percaya diri untuk berpartisipasi dalam pembangunan sosial. Berangkat dari berbagai pemahaman konsep pemberdayaan perempuan dalam pembangunan sosial, selanjutnya akan ditelaah lebih mendalam beberapa tingkatan pemberdayaan perempuan yang dapat diterapkan dalam pembangunan sosial di Indonesia. Menurut Sara Longwe (Pemberdayaan perempuan yang dilakukan pada komunitas masyarakat harus mencakup kelima level di bawah ini: 1. Kesejahteraan/pemenuhan kebutuhan dasar (Welfare); 2. Keterbukaan akses, antara lain: pendidikan, keterampilan, informasi, dan kredit (Access); 3. Kesadaran kritis (Conscientisation); 31

32 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 4. Pergerakan (Mobilization) atau partisipasi dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat rumah tangga, kehidupan bermasyarakat, dan area publik/politik; dan 5. Kontrol terhadap sumber daya, implementasi dalam pengambilan keputusan, dan termasuk keterwakilan dalam lembaga pengambilan keputusan (Control). Pada level pertama, kesejahteraan (welfare) diartikan sebagai intervensi pembangunan sosial pada level yang paling rendah, untuk dapat memperkecil adanya gender-gap. Kesejahteraan hanya merupakan peningkatan status sosial-ekonomi, pendapatan, kondisi gizi dan kesehatan, dan tempat tinggal. Intervensi ini terbatas mengenai penyediaan kesejahteraan bagi perempuan, bukannya mendorong kemampuan perempuan untuk memproduksi atau memberikan keuntungan bagi mereka sendiri. Perempuan dianggap sebagai obyek yang pasif dari program pembangunan yang bersifat memberikan bantuan dan jaminan penyediaan layanan. Selama ini, apabila kita cermati berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan yang dirumuskan oleh pemerintah, cenderung memiliki perspektif pada level ini. Perempuan belum dianggap sebagai agen pembangunan yang dapat berperan aktif. Sementara itu, akses didefinisikan sebagai level pertama dari pemberdayaan perempuan. Level pemberdayaan ini dimulai semenjak perempuan mengembangkan status mereka dibandingkan dengan laki-laki, baik dilakukan melalui pekerjaan mereka sendiri maupun dengan bantuan organisasi/pendamping dengan meningkatkan akses perempuan ke sumber daya. Sebagai contoh, perempuan petani mengembangkan produksi dan kesejahteraan mereka dengan meningkatkan akses terhadap air, lahan pertanian, pasar, pelatihan keterampilan, dan informasi. Perluasan akses ini merupakan salah satu bentuk pemberdayaan yang paling dasar dilakukan oleh pemerintah dalam relasi kekuasaan (power over) terhadap perempuan. Meskipun demikian, dengan terbukanya akses perempuan terhadap sumber daya dan kesejahteraan dasarnya, setidaknya dapat menjadi proses awal timbulnya kesadaran mereka untuk menganalisa dan memahami permasalahan hidup mereka sendiri, dan menentukan langkah untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang dialami. Kesadaran kritis (conscientisation) dianggap sebagai suatu proses dimana perempuan semakin menyadari akan keterbatasan status dan kesejahteraan me- 32

33 Dina Martiany reka, jika dibandingkan dengan laki-laki. Termasuk di dalamnya ada kesadaran akan kenyataan bahwa keterbatasan akses perempuan terhadap sumber daya timbul karena diskriminasi dan patriarki yang dialaminya. Selama ini, laki-laki lebih diprioritaskan untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya, sehingga perempuan selama ini terpinggirkan. Pemberdayaan pada level conscientisation menitikberatkan pada desakan kolektif untuk melakukan perubahan konstruksi sosial yang diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini menjadi kesempatan yang strategis untuk mengembangkan informasi dan komunikasi, sehingga memungkinkan terjadinya conscientisation. Perempuan mulai memegang kendali akan kehidupannya sendiri, pemenuhan kebutuhannya, dan pemahaman terhadap hambatan yang dihadapinya, bahkan mampu untuk mengidentifikasi strategi penyelesaian hambatan tersebut. Setelah proses pemberdayaan berhasil menumbuhkan kesadaran, maka perlu ditindaklanjuti dengan suatu aksi pergerakan. Dimulai dengan kondisi dimana perempuan mengakui dan menganalisa permasalahannya, mengidentifikasi strategi, dan kemudian menyusun suatu pergerakan atau aksi untuk merubah konstruksi sosial yang diskriminatif terhadap perempuan. Pemberdayaan perempuan pada tahapan ini tidak hanya semata-mata mengaktifkan komunikasi diantara sekelompok kecil perempuan, namun lebih luas dan saling berinteraksi dengan gerakan yang lebih besar. Misalnya pada tingkat komunitas, perempuan bersama-sama bahu-membahu dalam meningkatkan perekonomian keluarga melalui dana bergulir. Di tingkat yang lebih tinggi, perempuan tergabung dalam suatu gerakan yang mengusung isu tertentu untuk diperjuangkan di hadapan pengambil kebijakan (di semua level). Selanjutnya, kontrol merupakan tingkatan tertinggi dalam upaya pemberdayaan perempuan. Situasi ini dapat dikatakan tercapai ketika perempuan telah melakukan aksi pergerakan, sehingga terwujud kesetaraan gender dalam proses pengambilan kebijakan mengenai akses terhadap sumber daya. Perempuan dapat meraih kontrol terhadap akses sumber daya secara langsung. Mereka dapat meraih dengan sendirinya apa yang menjadi haknya dengan tidak hanya menempatkan perempuan sebagai obyek dalam pembangunan sosial. Pemberdayaan perempuan berhasil mendorong perempuan sebagai agen pembangunan sosial yang aktif, dan mampu untuk mewujudkan perubahan sosial. 33

34 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik VI. Kesimpulan dan Saran Pembangunan sosial sebagai upaya dalam mencapai peningkatan kualitas hidup manusia, baik laki-laki dan perempuan, merupakan suatu proses yang membutuhkan keterlibatan aktif keduanya. Pemberdayaan perempuan menjadi suatu hal yang krusial untuk mencapai kesetaraan gender sebagai salah satu indikator kualitas hidup manusia. Pemberdayaan perempuan yang dilakukan dalam pembangunan sosial semestinya adalah pemberdayaan yang bersifat mendorong kesadaran perempuan akan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Perempuan harus memposisikan diri sebagai agen perubahan sosial degan meningkatkan partisipasi dalam pembuatan keputusan, baik di tingkat individu, keluarga, komunitas, organisasi, dan negara. Proses pemberdayaan ini dimulai dari proses pemenuhan kebutuhan dasar, perluasan akses, munculnya kesadaran kritis (conscientisation), sehingga perempuan kemudian terlibat dalam pergerakan/aksi, dan memiliki kontrol atas sumber daya dan pengambilan keputusan. Situasi di mana conscientisation perempuan muncul merupakan situasi yang menjadi titik tolak keberhasilan pemberdayaan perempuan. Conscientisation melibatkan kesadaran kritis dan kemampuan untuk menganggap diri sendiri sebagai subyek, bukan hanya sebagai obyek dalam pembangunan sosial dan merupakan pemberdayaan yang dapat mewujudkan perubahan sosial. Proses munculnya kesadaran kritis perempuan (conscientization), pemberdayaan dan juga keterlibatan aktif perempuan dalam pembangunan sosial, merupakan tujuan yang sangat krusial dalam mencapai kesetaraan gender sebagai salah satu komponen peningkatan kualitas hidup manusia. Sehingga, perspektif pemberdayaan perempuan yang dapat diterapkan dalam pembangunan sosial adalah sebagaimana yang diuraikan dalam konsep Sara Longwe di atas, yaitu tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan dasar, dan keterbukaan akses, namun sampai dengan timbulnya kesadaran kritis, aksi mobilisasi, serta memegang kontrol atas kehidupannya sendiri dan sumber daya yang ada. ******* 34

35 Dina Martiany Daftar Pustaka Adi, Isbandi Rukminto Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Edisi Revisi. Jakarta : Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Bahri, Efri.S. Alternatif Strategi Pembangunan Sosial untuk Indonesia, artikel suara pembaca pada tanggal 18 Agustus 2010, diakses pada tanggal 19 Agustus 2010, dari /471/alternatif-strategi-pembangunan-sosial-untuk-Indonesia. Desai, Manisha. July Hope in Hard Times: Women s Empowerment and Human Development. Human Development Research Paper 2010/14 dikeluarkan oleh United Nation Development Programme (UNDP). Johannessen, Astrid-Margrete Women s Empowerment as a Foundation For Social Change, esai penelitian tentang Gender and the Development of Peace. Diakses pada tanggal 16 November 2010, dari halaman Kabeer, Naila Reverses Realities: Hierarchies in Development Thought. Cetakan baru tahun London, New York: Verso. Kabeer, Naila Gender Equality and Women s Empowerment: A critical Analysis of the third Millennium Deveopment Goal. Dalam Jurnal Gender and Development, Vol. 13, Number 1. Diakses pada tanggal 15 November 2010, dari halaman /art00003 Longwe, Sara. The Five Levels of the Women s Empowerment Framework, dalam The Process of Women s Empowerment, diakses pada tanggal 15 November 2010, dari halaman Martiany, Dina Percepatan Pencapaian MDG s dan Kesetaraan Gender. Info Singkat Vol.II, 18/II/P3DI//September Jakarta: P3DI Setjen DPR-RI. 35

36 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Mosser, Caroline Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training. London, New York: Routledge. Prayitno, Ujianto Singgih Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial: Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat, dalam buku Tantangan Pembangunan Sosial, Jakarta: P3DI Setjen DPR-RI. Rowland, Jo Empowerment Examined, dalam Jurnal Development in Practice, Volume 5, Number 2, May UK, Ireland: Oxfam. Sen, A., Woman s Agency and Social Change dalam Development as Freedom. New York: Oxford University Press. Suharto, Edi Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama. Widiowati, Didiet Kata Penyunting dalam buku Tantangan Pembangunan Sosial, Jakarta: P3DI Setjen DPR-RI. Women Empowerment And Child Protection: Strategic Planning , Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, Gender Equality Vs. Gender Equity: Concept Paper 2, diakses pada tanggal 17 September 2010 dari alamat gender-and-development/concept-paper-2-gender-equality-gender-equity/ Wikipedia online Wikipedia online ******* 36

37 Herlina Astri PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MENJADI ESENSI DASAR PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Herlina Astri I. PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu isu aktual yang berkembang saat ini disela-sela perbaikan ekonomi yang dihadapi pemerintah. Berbagai macam cara dilakukan untuk kembali meningkatkan daya masyarakat guna mendukung stabilitas ekonomi Indonesia. Berbagai macam institusi baik lokal maupun internasional berlomba-lomba mengadakan program-program pemberdayaan. Tidak mau ketinggalan, pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab untuk mengusahakan dan merealisasikan kesejahteraan hidup orang banyak juga melakukan hal yang sama. Berkaitan dengan hal tersebut maka dibutuhkan pula pola manajemen pemberdayaan masayarakat yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan di atas. Proses pemberdayaan tidak terlepas dari peran para fasilitator, yang akan banyak bekerja dengan masyarakat untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan dan mengawasi, jalannya program-program tersebut. Pada dasarnya pemberdayaan memberikan tiga hal utama untuk dikaji yaitu masyarakat, fasilitator dan proses fasilitasi (manajemen). Keberadaan fasilitator dalam mendampingi program-program pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk memilah dan memilih sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Kemandirian masayarakat merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, memutuskan, serta melakukan se- 37

38 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik suatu yang dipandang tepat dalam pencapaian pemecahan masalah. Keputusan yang diambil menggunakan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor masyarakat, dengan mengerahkan sumber-sumber daya dalam lingkungan internalnya. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah bentuk kemampuan individu untuk menjadi satu dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari segala bentuk pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk memeratakan pembangunan. Bahkan pada beberapa aspek kehidupan, pemberdayaan sangat bermanfaat untuk menjaga stabilitas pembangunan. Masyarakat akan menjadi lebih siap untuk menghadapi kondisi apapun, tanpa mengharapkan pertolongan terus menerus. Pemanfaatan pemberdayaan masyarakat ini juga tidak terlepas dari peran para fasilitator dan sistem-sistem sumber, yang sekiranya dapat dijadikan mitra untuk mengoptimalkan setiap tujuan yang diharapkan. II. TINJAUAN TEORITIS A. Pembangunan Kesejahteraan Sosial Misi pembangunan nasional yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat GBHN mengatakan antara lain: Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan vang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Konsep pembangunan merupakan suatu proses aksi sosial dimana masyarakat : 1. Mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan. 2. Merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan, baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama. 38

39 Herlina Astri 3. Membuat rencana-rencana didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki. 4. Melengkapi secara teknis dan material dengan memanfaatkan bantuan dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah. Pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perbaikan kondisi ekonomi, sosial, kebudayaan dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa. Selain itu pembangunan masyarakat juga ditujukan untuk memberdayakan mereka, agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional. ( dataworks-indonesia.com/resource/article/index.php?act=article&id=254&ti tle=community&title2=community%20development%20program) Pembangunan seringkali diartikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang. Hal ini mengandung dua sisi yaitu : Pertama, pembentukan kemampuan manusia seperti tercermin dalam kesehatan, pengetahuan dan keahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuan yang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmati kehidupan atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan, sosial, dan politik. Ginandjar Kartasasmita menyampaikan bahwa pembangunan merupakan sebuah konsep yang holistik mempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatan produktivitas; (2) pemerataan kesempatan; (3) kesinambungan pembangunan; serta (4) pemberdayaan manusia. Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP, yang mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Indeks ini merupakan indikator komposit/ gabungan yang terdiri dari 3 ukuran, yaitu kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge) dan tingkat pendapatan riil (sebagai ukuran living standards). Sedangkan untuk memahami konsep pembangunan kesejahteraan sosial, dibutuhkan pendalaman mengenai konsep sejahtera itu sendiri. Edi Suharto (2008) mengemukakan empat makna yang terkandung dalam pengertian kesejahteraan sosial sebagai berikut : 39

40 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 5. Kondisi Sejahtera, konsep ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material; dan non material. Midgley, et al (2000) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai a condition or state of human well-being. Kondisi sejahtera terjadi ketika manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan memperoleh perlindungan dari ancaman manapun. 6. Pelayanan Sosial, pelayanan sosial umumnya mencakup 5 bentuk yakni jaminan sosial, pelayanan kesehatan, perumahan dan pelayanan sosial personal. 7. Tunjangan Sosial, diperuntukkan bagi orang-orang miskin, cacat, dan orangorang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. 8. Proses atau Usaha Terencana, dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembag sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah, untuk meningkatkan kualitas hidup dan menyelenggarakan pelayanan sosial. Penggunaan istilah kesejahteraan diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia. Namun sejatinya istilah kesejahteraan tidak perlu menggunakan kata sosial, sebab sudah jelas menunjukkan sektor atau bidang yang termasuk dalam wilayah pembangunan sosial. Sedangkan dalam konteks pembangunan nasional, pembangunan kesejahteraan sosial dapat diidentikkan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan civil society, untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia. Pembanguan kesejahteraan sosial memiliki arti strategis bagi pembangunan nasional. Berdasarkan hal tersebut Edi Suharto (2009) mengemukakan sedikitnya ada empat fungsi penting pembangunan kesejahteraan sosial antara lain : 1. Mempertegas Peran Penyelenggara Negara Fungsi ini menujuk penyelenggara negara dalam melaksanakan mandat/ kewajiban negara untuk melindungi warganya, terutama ketika menghadapi resiko-resiko sosial-ekonomi yang tidak terduga. Selain itu juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan berkualitas. 2. Mewujudkan Cita-cita Keadilan Sosial Secara Nyata Pembangunan kesejahteraan sosial yang dilandasi prinsip solidaritas dan kesetiakawanan sosial pada dasarnya merupakan sarana redistribusi kekayaan 40

41 Herlina Astri suatu daerah, dari kelompok berpenghasilan kuat kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Melalui mekanisme perpajakan, pemerintah daerah dapat mengatur dan menyalurkan sebagian pendapatannya untuk menjadi warga masyarakat yang tertinggal atau terpinggirkan. Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan kesejahteraan sosial memberi kontribusi terhadap penyiapan tenaga kerja, stabilitas sosial, ketahanan masyarakat dan keterlibatan sosial. Stabilitas sosial merupakan pondasi bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi, karena masyarakat yang menghadapi konflik sosial sulit menjalankan kegiatan pembangunan. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia Fokus pembangan kesejahteraan sosial adalah pembangunan manusia dan kualitas Sumber Daya Manusia, melalui penyelenggaraan perlindungan sosial, pendidikan dan kesehatan masyarakat, khususnya penduduk miskin. B. Masyarakat Dalam arti sempit masyarakat menunjuk pada sekelompok orang yang tinggal dan berinteraksi yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu. Arti sempit ini merujuk masyarakat pada istilah komunitas/ community. Sedangkan dalam arti luasnya masyarakat menunjuk pada interaksi kompleks sejumlah orang yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama meskipun tidak bertempat tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu. Umumnya artian masyarakat secara luas menggunakan istilah sosietas/ society. Masyarakat dilengkapi dengan begitu banyak kekayaan intelektual, kearifan lokal dan gudang pengetahuan yang tak terbatas. Sekolah dan lembagalembaga pendidikan formal dapat dijadikan miniatur dari sebagian aspek kehidupan dalam masyarakat. Umumnya nilai-nilai,pengetahuan, wawasan dan keterampilan, akan menjadi kaya ketika seseorang telah berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Sama halnya ketika seorang fasilitator berupaya untuk memahami masyarakat, tanpa disadarinya ia juga belajar banyak dari masyarakat itu sendiri. Netting, Kettner dan Mcmurty (2004 : 129) membedakan masyarakat dalam tiga tipe berdasarkan batasan geografis; identifikasi dan kepentingan; serta relasi kolektif antar individu dalam masyarakat itu sendiri. 41

42 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik 1. Geografis, masyarakat merupakan sebuah komunitas yang diikat atau dibatasi oleh sebuah wilayah geografis. Contoh : desa, kota, kelurahan, kampung atau rukun tetangga, dll. 2. Identifikasi dan kepentingan, masyarakat terhubung dengan kepentingan dan komitmen untuk selalu bersama menghadapi masalah apapun yang dianggap mengancam. Contoh : kelompok-kelompok aksi politik, keagamaan, ilmu pengetahuan, dll. 3. Relasi Kolektif Antar individu, masyarakat memiliki konstelasi relasi antar individu yang memberi makna dan identitas. Contoh : kelompok-kelompok profesional, pertemanan atau persahabatan, dll. Selain itu masih menurut Netting, Kettner dan Mcmurty (2004 : ), meskipun memiliki tipe yang berbeda tetapi masyarakat umumnya tidak mengubah fungsi mereka. Adapun lima fungsi masyarakat yaitu : 1. Fungsi Produksi, Distribusi dan Konsumsi ; Kegiatan-kegiatan masyarakat dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan sejenisnya. 2. Fungsi Sosialisasi ; Masyarakat meneruskan atau mewariskan norma-norma, tradisi-tradisi, dan nilai-nilai, yang selama ini dianut oleh orang-orang yang berinteraksi dalam masyarakat. 3. Fungsi Pengawasan ; Masyarakat senantiasa mengharapkan warganya untuk mentaati norma-norma dan nilai-nilai yang dianut melalui penetapan hukum, peraturan dan sistem-sistem penegakannya. 4. Fungsi Partisipasi Sosial ; masyarakat menyediakan wahana bagi para anggotanya untuk mengekspresikan aspirasi-aspirasi dan kepentingan-kepentingannya, guna terbangunnya jaringan dukungan dan pertolongan melalui interaksi dengan warga masyarakat, yang tergabung dalam kelompok-kelompok, asosiasi-asosiasi dan organisasi-organisasi. 5. Fungsi Gotong royong ; Sebuah masyarakat umumnya merupakan gabungan dari keluarga-keluarga, teman-teman, para tetangga, kelompok sukarela, dan asosiasi-asosiasi profesional, yang salin berinteraksi untuk tolong menolong memenuhi kebutuhan setiap anggotanya. 42

43 Herlina Astri C. Proses Pemberdayaan (Manajemen Pemberdayaan) Edi Suharto (2006:1) menyatakan bahwa : Sebagai sebuah proses, pemberdayaan merupakan serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemapuan personal, interpersonal atau politik, sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya. Sedangkan sebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yaitu keberdayaan atau keberkuasaan yang mencakup state of mind dan reallocation of power. Dalam hal ini pemberdayaan mencakup perasaan berharga dan mampu mengontrol kehidupan, serta dapat memodifikasi struktur sosial sehingga tidak menjadi monoton atau jenuh. Proses pemberdayaan tidak hanya mencakup peningkatan kemampuan seseorang atau sekelompok orang, melainkan juga memiliki daya untuk merubah sistem dan stuktur sosial. Kemampuan-kemampuan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, politik, menjadi sasaran utama pemberdayaan. Sebab pemberdayaan masyarakat memang ditujukan untuk memberikan kekuatan pada setiap anggotanya dalam menyikapi dan mengambil tindakan yang tepat, untuk keberlangsungan hidup mereka secara berkelanjutan. Pada prinsipnya, pendekatan pemberdayaan masyarakat akan didampingi oleh fasilitator untuk memecahkan masalahnya sendiri dengan mengakses dan memanfaatkan sumber daya setempat. Pemecahan masalah dalam masyarakat menuntut kemandirian agar tidak selalu bergantung dengan pihak luar. Pada sumber website dikatakan bahwa pendampingan pada dasarnya merupakan upaya untuk menyertakan masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki sehingga mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memfasilitasi pada proses pengambilan keputusan berbagai kegiatan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, membangun kemampuan dalam meningkatkan pendapatan, melaksanakan usaha yang berskala bisnis serta mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang partisipatif. Dapat diilustrasikan dalam konsep pemberdayaan, jika penyakit yang telah disembuhkan suatu saat kambuh lagi, maka dapat ditanggulangi secara man- 43

44 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik diri dengan memanfaatkan cara dan potensi yang dimiliki. Proses pemberdayaan masyarakat cenderung diwarnai oleh pola pikir yang kurang mendukung pelaksaan program-program pelayanan. Modal berupa uang adalah salah satu alasan utama yang seringkali dikemukakan oleh masyarakat, manakala dilakukan pemberdayaan. Masyarakat cenderung masih menengadahkan tangan dan berhadap dari pihak luar. Prinsip pemberdayaan adalah jangan melihat ke luar, tetapi cari dan lihatlah ke dalam. Penggalian potensi yang ada di masyarakat merupakan modal terbesar dan terkuat yang dapat disandingkan dengan dukungan dari pihak luar tersebut. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka memiliki kekuatan atau kemampuan (daya) potensi, sumber daya manusia, kearifan lokal, yang dapat digunakan untuk bertahan, berkembang dan mampu memecahkan persoalannya sendiri. Pemberdayaan pada prinsipnya memiliki 3 strategi utama, yang akan menjadi perhatian saat melakukan pendampingan pada masyakat. Menurut Edi Suharto (2009:66) strategi pemberdayaan meliputi : 1. Aras Mikro Pemberdayaan dilakuikan terhadap seseorang secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, dan crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih seseorang dalam menjalankan tugastugas kehidupannya. Model ini seringkali disebut sebagai pendekatan yang berpusat pada tugas (task centered approach). 2. Aras Mezzo Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok seseorang, dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai teknik dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap seseorang. Tujuannya utamanya adalah untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 3. Aras Makro Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar, sebab sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masayarakat, manajemen konflik, merupakan beberapa teknik yang digunakan dalam pendekatan ini. Aras makro memandang seseorang sebagai individu yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi 44

45 Herlina Astri mereka sendiri, serta dapat memilih dan menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Pemahaman mengenai pemberdayaan menuntut setiap orang untuk mengenali pula kelompok-kelompok mana yang harus diberdayakan. Edi suharto (2009:60) mengkategorikan kelompok tidak berdaya/ lemah sebagai berikut : 1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender maupun etnis. 2. Kelompok lemah khusus, misalnya : manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing. 3. Kelompok lemah secara personal, yaitu mereka yang mengalami masalah pribadi dan atau keluarga. Pada prinsipnya tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (persepsi mereka sendiri) maupun karena kondisi eksternal (ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil). Edi Suharto (1997: ) menjabarkan pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan tersebut melalui 5 tahapan sebagai berikut : 1. Pemungkinan Tahap ini ditujukan untuk menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat. 2. Penguatan Tahap ini ditujukan untuk memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka. 3. Perlindungan Tahap ini ditujukan untuk melindungi masyarakat terutama kelompokkelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat), antara yang kuat dan lemah, serta mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. 45

46 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Penyokongan Tahap ini ditujukan untuk memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah (terpinggirkan). Pemeliharaan Tahap ini ditujukan untuk memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. D. Fasilitator Parsons, Jorgesen dan hernandez (1994:188) mengatakan bahwa peran sebagai fasilitator seringkali disebut juga pemungkin (enabler), dimana keduanya dipertukarkan satu sama lain. Barker (1987:49) memberi definisi fasilitator sebagai tanggung jawab untuk membantu seseorang menjadi mampu menangani tekanan situasional atau transisional. Kemudian ia melanjutkan bahwa strategi-strategi khusus dalam pencapaian tujuan tersebut meliputi: 1. Pemberian harapan, 2. Pengurangan penolakan dan ambivalensi, 3. Pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, 4. Pengidentifikasian dan pendorongan kekuatan-kekuatan sosial serta asetaset sosial, 5. Pemilahan masalah menjadi beberapa bagian, sehingga lebih mudah dipecahkan, dan 6. Pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya. Kemudian Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994: ) memberikan kerangka acuan yang menjadi tugas-tugas seorang fasilitator antara lain: 1. Mendefinisikan keanggotaan atau siapa saja yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan. 2. Mendefinisikan tujuan keterlibatan. 3. Mendorong komunikasi dan relasi, serta mengharagai pengalaman dan perbedaan-perbedaan. 46

47 Herlina Astri Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem; menemukan kesamaan dan perbedaan. Memfasilitasi pendidikan; membangun pengetahuan dan keterampilan. Memberikan model atau contoh dalam memfasilitasi pemecahan masalah bersama; mendorong kegiatan kolektif. Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan. Memfasilitasi penetapan tujuan. Merancang solusi-solusi alternatif. Mendorong pelaksanaan tugas. Memelihara sistem. Memecahkan konflik. Peran fasilitator untuk menjadikan masyarakat mau dan mampu melakukan sendiri hal-hal berkaitan dengan kesejahteraan hidupnya, dapat dijadikan sebagai indikator untuk menguji kebutuhan masyarakat akan adanya fasilitator. Namun esensinya tetap tidak menimbulkan ketergantungan pada masyarakat, sehingga potensi dan sumber-sumber yang dibutuhkan dapat optimal digunakan. Umumnya masyarakat memiliki cara-cara tersendiri untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan dapat menciptakan kehidupannya secara lebih baik. Fasilitator kemudian akan membantu memelihara potensi tersebut dan meningkatkan daya masyarakat untuk menggunakannya. Potensi yang dimiliki masyarakat berupa budaya dan kearifan lokal, secara tidak langsung sebenarnya dapat mengatasai persoalan-persoalan yang dihadapi selama ini. Hal ini dapat diartikan sebagai daya hidup yang memberikan kekuatan pada masyarakat untuk bertahan dan terus berkembang. Oleh karena itu kedudukan seorang fasilitator merupakan outsiders, bukan pemeran utama dalam sebuah proses pemberdayaan. Fasilitator dapat dijadikan kekayaan oleh masyarakat, yang akan mendampingi masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan budaya yang mereka miliki. Prinsipnya seorang fasilitator tidak membawa sesuatu yang baru dan asing dari luar komunitas masyarakat setempat, tetapi mulai dengan apa yang masyarakat miliki. Seringkali fasilitator terjun ke masyarakat tanpa bekal pengetahuan yang cukup mengenai kondisi dalam masyarakat itu sendiri beserta problematikanya. Sebaiknya seorang fasilitator memiliki pemahaman dasar yang benar mengenai masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan pemberdayaan. Ini akan banyak 47

48 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik menolong setiap langkah dan tahapan proses pemberdayaan yang akan dilakukan. Intinya seorang fasilitator yang sedang bekerja mendampingi masyarakat harus memiliki daya rasa, cipta dan karsa yang sehat tentang kondisi maupun situasi yang ada dalam masyarakat tersebut. Proses berpikir, berasa dan berupaya, akan menjadi dasar yang kuat bagi seorang fasilitator dalam mendampingi masyarakat. Ketiga hal tersebut akan mampu memunculkan alur berpikir yang benar dan dapat mengaplikasikan fasilitas yang benar pula, begitupun sebaliknya. Sensitivitas rasa yang kurang diperhatikan dalam proses fasilitasi terkadang menjadikan masyarakat sebagai tong sampah yang bisa menampung segala sesuatu yang dibuat dan dikatakan fasilitator. Oleh karena itu seorang fasilitator semestinya memperlakukan masyarakat sederajat, sehingga tidak terjadi jurang pemisah yang akan menghambat pelaksanaan program. Jadi, dapat dikatakan bahwa aktivitas berpikir dan berasa seorang fasilitator, akan sangat menentukan dalam proses dan tahapan suatu program pemberdayaan masyarakat. Namun, alur atau proses berpikir fasilitator ini kadang susah dipahami secara mendalam, baik itu oleh fasilitator sendiri maupun pihak manajemen sebagai supervisor dari fasilitator bersangkutan. Dan juga jarang sekali alur berpikir fasilitator didalami selama proses pengembangan kapasitas baik melalui pelatihan-pelatihan maupun praktik dalam sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat. III. PEMBAHASAN Pemberdayaan yang diartikan membangun dan mengembangkan mekanisme yang menjadikan masyarakat, pada akhirnya berperan sebagai pelaku utama semua kegiatan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dan tindak lanjut. Sejak awal mekanisme itu mestinya dibentuk oleh masyarakat sendiri, sehingga dapat menjadi esensi dari keberlanjutan program pemberdayaan. Hal ini akan menjadi lebih sederhana dengan pendefinisian sebagai berikut, keberlanjutan hidup sebagai kemampuan masyarakat untuk mengamankan dan mengelola sumber daya yang memadai sehingga memungkinkan untuk memenuhi misinya secara efektif dan konsisten sepanjang waktu tanpa ketergantungan yang berlebihan pada orang luar. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks GBHN dan Propenas dipandang sebagai koreksi atas kekeliruan strategi pembangunan pada masa sebelumnya. 48

49 Herlina Astri Pada akhirnya dengan pemberdayaan dapat memberikan akses dan kemampuan bagi masyarakat untuk mengambil wewenang dan pelayanan yang ada. Dalam hal ini masyarakat akan memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam empat bidang pembangunan yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya dan ketahanan nasional. Dubois dan Miley (1992:211) memberikan beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik dalam menerapkan pemberdayaan masyarakat yaitu : 1. Membangun relasi pertolongan yang, a) merefleksikan respon empati; b) menghargai pilihan dan hak seseorang untuk menentukan nasibnya sendiri; c) menghargai perbedaan dan keunikan individu; dan d) menekankan kerja sama antarperorangan. 2. Membangun komunikasi yang, a) menghormati martabat dan harga diri klien; b) mempertimbangkan keragaman individu; c) berfokus pada penanganan orang yang bermasalah; dan d) menjaga kerahasiaan setiap masalah yang ditangani. 3. Berpartisipasi dalam pemecahan masalah yang, a) memperkuat partisipasi masyarakat dalam semua aspek pemecahan masalah ; b) menghargai hakhak seseorang; c) merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan hakhak perorangan; serta d) melibatkan setiap orang dalam pembuatan keputusan dan evaluasi. 4. Merefleksikan sikap dan nilai profesi melalui, a) ketaatan terhadap kode etik profesi; b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, penelitian dan perumusan kebijakan; c) penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi dalam isu-isu publik; d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketideksetaraan kesempatan. Namun demikian, pemberdayaan masyarakat tidak hanya sekedar membentuk dan membangun struktur kelembagaan dan mekanisme kerja masyarakat saja tetapi juga berupaya membangun nilai-nilai, memberi makna baru pada struktur-struktur tradisional tersebut. Inilah salah satu tantangan para fasilitator dalam program pemberdayaan masyarakat. Dalam hal pendampingan kelompok sasaran maupun anggota, fasilitator juga perlu memikirkan strategi duplikasi jaringan dan pengembangan hubungan dengan lembaga lain. Dimana hal tersebut dapat dijadikan sebagai strategi pengembangan jaringan, terutama dalam memelihara hasil pemberdayaan tersebut. Selain itu duplikasi jaringan yang kurang mendapatkan perhatian dalam program-program pemberdayaan, 49

50 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sebaiknya mulai dilakukan untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan. Melakukan duplikasi jaringan dalam setiap program pemberdayaan dapat digunakan untuk menjadi wadah yang dapat melayani kelompok sasaran yang ada. Terbentuknya jaringan akan mampu mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selama ini belum terpenuhi. Selain memberikan keuntungan pada masayarakat, pemberdayaan dengan memperhatikan perluasan jaringan kerja akan sangat mendukung proses pemerataan pembangunan saat ini. Oleh karena itu pendampingan fasilitator sebaiknya ditekankan pada pengembangan dan pembinaan kelembagaan bagi kelompok sasarannya. Pengembangan hubungan dengan lembaga lain menjadi esensial manakala kelompok sasaran maupun jaringan membutuhkan hubungan dengan pihak luar. Hal ini juga termasuk hubungan kelompok sasaran dengan dengan jaringan kelompok masyarakat di wilayah lain. Peran seorang fasilitator bersama dengan kader lain dari wadah yang dibentuk akan memfasilitasinya dengan memperkenalkan, mendampingi proses hubungan dan proses kerja sama antar kelompok tersebut. Cara ini setidaknya mampu menghubungkan kelompok sasaran maupun jaringannya secara perlahan dengan pihak-pihak lain, meskipun suatu saat tanpa bantuan fasilitator. Dalam keberlanjutan pemberdayaan masyarakat, pengembangan fasilitator lapis kedua adalah hal yang penting untuk ditindaklanjuti. Selama program pemberdayaan berlangsung, para fasilitator datang dari luar wilayah atau komunitas masyarakat setempat, maka setelah program pemberdayaan selesai harus ada fasilitator lokal yang menindaklanjuti segala sesuatu yang telah dilakukan. Fasilitator lapis kedua adalah para fasilitator lokal yang sudah dipersiapkan untuk melakukan peran atau fungsi-fungsi pemberdayaan setelah para fasilitator lapis pertama (fasilitator dari luar) menyelesaikan tugas pedampingannya di desa bersangkutan. ( Walaupun demikian program keberlanjutan pemberdayaan masyarakat masih dipandang sebelah mata oleh para pelaksana program pemberdayaan, terutama bila mendapatkan pendampingan. Padahal sejak awal, seorang fasilitator akan terlibat dan ikut memikirkan tahap keberlanjutan pelaksanaan program pemberdayaan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak ketergantungan dan memungkinkan masyarakat berani mengambil keputusan me- 50

51 Herlina Astri nyangkut keberlangsungan hidupnya. Kondisi tersebut dapat disikapi dengan menyiapkan orang-orang lokal untuk dilatih secara khusus dalam menangani bagian-bagian tertentu dari proses pemberdayaan tersebut. Pelibatan mereka secara langsung maupun tidak langsung juga merupakan proses pembelajaran untuk berkenalan dan mendalami pemberdayaan masyarakat dalam konteks fasilitator lokal. Penyiapan fasilitator lapis kedua sangat dimungkinkan saat dilakukan oleh kerja oleh seorang fasilitator. Pendekatan kerja seorang fasilitator bukan top-down maupun bottom-up, tetapi midlle-up down. Fasilitator tidak hanya menjembatani konteks mikro ke dalam konteks makro, tetapi juga menerjemahkan konteks makro ke dalam konteks mikro. Jenis relasi kerja yang dibangun oleh seorang fasilitator adalah pola partisipatif. Pola inilah yang nantinya akan menghasilkan para fasilitator lokal. Intinya masyarakat bukanlah penerima manfaat (beneficiaries) dan fasilitator bukanlah pemberi manfaat (benefactor), tetapi keduanya merupakan mitra yang harus bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. ( Strategi pemberdayaan masyarakat dipandang cocok untuk mengatasi kesulitan akses dan penurunan kapasitas ekonomi, menunjang demokratisasi lewat otonomi daerah, menciptakan integrasi sosial untuk mengatasi konflik-konflik di pusat dan di daerah, sekaligus mendukungnya dengan etika atau nilai baru dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain, memberdayakannya. Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Hal ini diharapkan dapat memberikan kesempatan pada masyarakat dan lingkungannya untuk berpartisipatif menghasilkan sesuatu bagi hidupnya. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan yang mencerminkan paradigma baru yaitu people-centered, participatory, empowering, and sustainable (Chambers:1992). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata 51

52 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari sesuatu, dimana oleh Friedman dalam Ginandjar Kartasamita (1995) disebut alternative development,yang menghendaki inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity. Ginandjar Kartasasmita (1997) mengemukakan bahwa dalam kerangka pikiran tersebut, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu : 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena, kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkahlangkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. 3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam meng- hadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. 52

53 Herlina Astri IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Esensi pembangunan adalah keseluruhan aktivitas yang berjalan simultan, meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi guna mencapai tujuan ke arah perubahan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Seluruh aktivitas tersebut didukung oleh kebijakan pembangunan, sehingga menjadi pedoman yang representatif dalam meningkatkan nilai tambah dalam upaya pencapaian perubahan tersebut. Peningkatan kesiapan masyarakat dalam menerima dan menjadi berdaya adalah salah satu esensi pembangunan yang membutuhkan perhatian ekstra dari semua pihak. Hal ini diasumsikan sebagai pemberian kepercayaan pada masyarakat untuk menentukan dan memilih kegiatan usahanya, untuk melanjutkan hidup. Salah satu contoh adalah pembangunan prasarana di pedesaan, dimana melibatkan anggota masyarakat di dalamnya. Kondisi tersebut sekiranya akan mampu meningkatkan nilai tambah dari relasi aparat pemerintah dengan masyarakat, sehingga mampu menciptakan investasi berupa sumber daya manusia dan modal. Namun perlu juga diperhatikan tentang pengendalian, penyusunan informasi dasar yang lengkap, operasional dan evaluasi, bagi penyempurnaan program yang akan datang. Pemberdayaan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah guna mewujudkan pembangunan yang merata. Penyempurnaan mekanisme pembangunan pada akhirnya akan membutuhkan partisipasi masyarakat, terutama dalam memelihara dan mendukung seluruh program-program pembangunan. Penajaman sasaran pembangunan dengan pengertian bahwa investasi pemerintah melalui bantuan dana, prasarana dan sarana, harus benar-benar mencapai kelompok sasaran yang paling memerlukan. Ketentuan ini setidaknya akan mampu meningkatkan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat secara berkesinambungan. Kelancaran dan kecepatan penyaluran dana serta pembangunan prasarana dan sarana, sangat bermanfaat untuk segera digunakan sepenuhnya oleh kelompok masyarakat sesuai dengan jangka waktu yang disediakan. B. Rekomendasi Upaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat merupakan hal yang menjadi perhatian pemerintah. Kondisi ini menuntut setiap 53

54 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik anggota msayarakat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sistem-sistem sumber. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat harus melibatkan segenap potensi yang ada dalam masyarakat. Peranan pemerintah teramat penting. Berarti birokrasi pemerintah harus dapat menyesuaikan dengan misi ini. Dalam rangka ini ada beberapa rekomendasi yang ditujukan sebagai perbaikan antara lain : 1. Pemerintah sebaiknya memahami aspirasi, partisipasi dan peka terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini berarti pemerintah sebaiknya memberikan kepercayaan pada rakyat untuk memperbaiki dirinya sendiri. Aparat pemerintah membantu memecahkan masalah yang tidak dapat diatasi oleh masyarakat sendiri. 2. Meningkatakan pengetahuan maupun cara kerja pemberdayaan, agar upaya tersebut dapat dilakukan dengan. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk membangun dengan kemandirian. 3. Keterbukaan sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran ( awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat. Keterbukaan dalam setiap pelaksanaan program-program pemberdayaan sangat diharapkan mampu memecahkan rasa tidak percaya masayarakat terhadap pemerintah. 4. Pemerintah harus mulai membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri. Tanggung jawabnya berkaitan dengan menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah. 54

55 Herlina Astri Daftar Pustaka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kebijakan Strategis Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta Badan Pusat Statistik Laporan Sosial Indonesia 1998: Kemiskinan, Pengangguran dan Setengah Pengangguran. BPS : Jakarta. Barker, R.L The Social Work Dictionary. Silver Spring, MD: National Association of Social Workers. Bauzon, Kenneth E (ed), Development and Democratization in the Third World: Myths, Hopes and Realities. Crane Russak : Washington. Chambers, Robert. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York University Press : New York. Kartasasmita, Ginandjar Ekonomi Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan; CIDES : Jakarta. Kartasasmita, Ginandjar Konsep yang Berakar pada Masyarakat (disampaikan pada: Sarasehan DPD Golkar Tk. I Jawa Timur tanggal 14 Maret 1997). Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen dan Santos H. Hernandez The Intergration of Social Work Practice. California:Brooks/Cole. Suharto, Edi Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangaunan STKS (LPS-STKS). Suharto, Edi Filosofi dan Peran Advokasi dalam Mendukung Program Pemberdayaan Masyrakat. (Disampaikan pada Pelatihan Pemberdayaan Peran serta Pesantren Daarut Tauhiid dalam Menangani Kemiskinan di Jawa Barat). Suharto, Edi Kebijakan Sosial : Sebagai Kebijakan Publik. CV Alafabeta : Bandung. 55

56 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Suharto,Edi Mambangun Masyarakat Memberdayakan Masyarakat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan sosial & Pekerjaan Sosial. PT. Refika Aditama : Bandung. Netting, F.Ellen, Peter M. Kettner & Steven L. Mcmurty. (2004) Social Work Macro Practice (third edition). Boston : Allyn and Bacon. Rondinelli, Dennis A., Development Projects as Policy Experiments: An Adaptive Approach to Development Administration. Routledge : New York. UNDP Human Development Report Oxford University Press : New York. &id =254&title= Community&title2=Community%20Development%20 Program (diakses tanggl 21 Juni 2010). (diakses tanggal 19 September 2010) (diakses tanggal 19 September 2010) (diakses tanggal 10 oktober 2010). (diakses tanggal 18 November 2010) 56

57 Mohammad Teja Peradilan Anak di Indonesia Mohammad Teja Pendahuluan Setiap detik sekitar empat anak lahir di dunia ini, hanya saja tempat dimana mereka lahir bagaikan undian, kita tidak pernah akan tahu dimana mereka lahir, siapa orang tua mereka, di negara mana mereka akan dibesarkan, apakah mereka beruntung mendapatkan orang tua yang dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhannya secara finansial dan psikisnya, bahkan di negara mana ia akan lahir, apakan negara kaya, maju, miskin berkembang, demokrasi dan otoriter. Ketersediaan sarana kesehatan, tunjangan kesejahteraan dari pemerintah, pendidikan terjangkau akan diterima oleh anak yang lahir di negara-negara maju, tetapi ada juga yang tidak seberuntung itu, anak yang lahir dalam kondisi kelaparan, kurang gizi, kepala keluarga berpenghasilan rendah, konflik sosial sering terjadi akan menemani anak tumbuh sampai ia dewasa. Persoalan ini menjadi bertambah sulit disaat pemerintah dan parlemennya tidak menempatkan persoalan anak menjadi prioritas utama sebagai indikator penting kemajuan bangsa ke depan. Pada tahun 2000 Gordon Brown mengatakan, Action on child poverty is the obligation this generation owes to the next: to millions of children who should not be growing up in poverty: children who because of poverty, deprivation and the lack of opportunity have been destined to fail even before their life s journey has begun, children for whom we know unless we act life will never be fair. Children in deprived areas who need, deserve and must have a government on their side, a government committed to and fighting for social justice. (Brown, 2000 dalam Lucinda Platt, 2005) 57

58 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Anak merupakan aset yang berharga bagi setiap zaman yang lebih dulu dewasa dan tua, merupakan salah satu kewajiban orang dewasa untuk memberikan perlindungan bagi anak, karena anak memang rentan terhadap kekerasan, perlakuan tidak baik, pelecehan. Dalam beberapa fase pertumbuhan anak terdapat fase mencontoh (modeling) orang dewasa (Albert Bandura), pada tahap ini anak akan selalu menirukan segala tingkah laku orang dewasa yang ada di dekatnya, ini juga termasuk lingkungan dimana ia tinggal dan melakukan segala aktifitas sosialnya. Keadaan lingkungan yang seharusnya menjadi contoh untuk kepentingan terbaik anak, tugas dari pemerintah dan masyarakatlah untuk menciptakan suasana yang kondusif, aman dan tentunya melindungi hakhak anak Indonesia. Sebagai pewaris generasi, anak menjadi aset yang sangat berharga, berbagai berita yang sekarang ini terjadi, keadaan perlindungan anak sangat rentan, mulai dari masalah kekerasan terhadap anak (child abus), pekerja anak (child labor), perdagangan anak (trafficking), pelecehan seksual dan tak kalah pentingnya adalah Anak yang Bermasalah dengan Hukum menjadi masalah yang mengkhawatirkan di negara Indonesia ini. Sebagai generasi muda dan salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Semua masalah di atas tidak lepas dari keadaan kesejahteraan masyarakatnya, keadaan yang selalu menjadi permasalahan setiap bangsa di dunia ini. Selain itu latar belakang pendidikan dan kecukupan pangan dan sandang menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat perkembangan anak. Keadilan sosial menjadi sangat penting bagi setiap manusia Indonesia, keadilan tidak hanya milik sebagian orang yang memiliki kekuatan finansial saja, tetapi negara memiliki kewajiban untuk menjamin setiap warga negaranya memiliki kesempatan untuk hidup layak. Persoalan keadilan sosial selalu bersinggungan dengan masalah layak dan tidak layak. Dalam masalah-masalah anak di Indonesia persoalan yang selalu muncul adalah bagaimana keluarga memenuhi kebutuhan mereka seperti kebutuhan rumah tangga, kesehatan, juga pendidikan, psikologis dan sosial untuk seluruh anggota keluarganya. Memang, keadaan memprihatinkan mengenai permasalahan seputar anak tidak hanya ada di negara-negara miskin dan berkembang saja, masalah ini juga 58

59 Mohammad Teja masih ada di negara-negara maju, hanya saja memang kemungkinan masalahmasalah anak sangat kecil di negara-negara tersebut, ini menunjukkan bahwa keadaan dan kepastian hukum telah diusahakan sebaik-baiknya oleh pemerintah negara tersebut. Secara luas diakui bahwa konsep anak merupakan sebuah konstruksi sosial daripada hasil dari pembangunan, secara menyeluruh dan universal dapat dikatakan keadaan yang berbeda dapat ditemukan pada ruang dan waktu berbeda pula (Archard, 1993; Cunningham, 1995; Hendrick, 1997). Dalam membangun sebuah kebijakan sosial yang menyangkut anak, negara seharusnya memberikan ruang terpisah bagi anak-anak yang pastinya memiliki kebutuhan khusus pula, ini bukan berarti masalah anak ditangani oleh hanya satu undang-undang ataupun badan/kementerian, tetapi dalam semua kebijakan yang dibuat dalam pemerintahan ataupun di Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat legislasi haruslah tersentuh dan ramah terhadap anak. Sementara itu, status dan devinisi mengenai masa kanak-kanak masih terus diusahakan, tidak hanya itu kebutuhan akan campur tangan pemerintah semakin diperlukan dalam hal memenuhi ketersediaan pendidikan yang layak juga subsidi untuk kepentingan terbaik anak. Hal ini juga termasuk di dalamnya ketaatan menjalani kebijakan yang telah ada, tentunya yang berlaku untuk anak. Keadaan ideal seperti ini mengharuskan pemerintah dan wakil rakyat dituntut untuk lebih peka terhadap isu-isu kepentingan terbaik anak. Diperlukannya penelitian yang konferhensif dan undang-undang yang semakin membatasi mengenai akhir masa kanak-kanak tetapi juga termasuk di dalamnya bayi, masa kanak-kanak, dan pemuda, hal ini perlu karena tanggungjawab tiap-tiap tingkatan sangat berbeda dan selalu akan berdampak psikis anak terutama untuk anak yang masih dalam tahap perkembangan. Permasalahan anak merupakan masalah yang fenomenal, di dalamnya selalu tersangkut dalam situasi yang kompleks dan multidimensional, menjadi kewajiban setiap warga negara untuk ikut bertanggung jawab untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat yang kurang beruntung, khususnya dalam permasalahan anak. Sebenarnya kesulitan ekonomi dan masyarakat berpenghasilan rendah di negara yang kaya sumber daya alam seakan menjadi kutukan untuk negara yang seperti ini (Richard Auty, 1993). Untuk melihat permasalahan anak di Indonesia harus dilihat secara menyeluruh, ini berarti bukan hanya anak menjadi fokusnya, kemiskinan harus dilihat sebagai manusia, keluarga, kelompok sosial termasuk di dalamnya material, kebudayaan dan hubungan 59

60 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sosial yang dimemilikinya, dengan segala keterbatasan dalam memenuhi standar minimun kelayakan hidup disuatu negara tersebut (Commission of the European Communities, 1994 dalam Koen Vleminckx (eds), 2003). Persoalan standar hidup juga menjadi masalah, keanekaragaman suku di Indonesia juga ikut menentukan pola kebudayaan hidup yang berbeda pula. Negara menjadi pendorong bagi tiap-tiap daerah untuk melakukan perbaikan pendapatan ekonomi bagi seluruh rakyatnya dimanapun ia berada, memberikan akses kemudahan dalam memberikan peluang-peluang meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Terlebih lagi, dampak dari tingkat kemiskinan terhadap anak dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, pendidikan dan angka hidup anak itu sendiri. Kesempatan masyarakat untuk mendapatkan income yang layak merupakan tanggung jawab yang dapat disediakan pemerintahan dan juga kekuatan sebuah komunitas untuk membangun masyarakatnya sendiri. Miskin akan keberpihakan kebijakan-kebijakan sosial, politik dan ekonomi adalah faktor penting yang memang harus mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dan badan legislatif. Kepentingan terbaik anak saling bergantung pada kebijakan yang dibuat orang dewasa, karena anak masih dalam posisi rentan untuk melindungi dirinya sendiri. Itu sebabnya, perlakuan salah terhadap anak tidak ditentukan oleh faktor tunggal, misalnya kemiskinan, tetapi merupakan beberapa variasi gabungan dari berbagai masalah-masalah yang sudah berakumulasi, baik kebijakan, lingkungan dan tak kalah pentingnya orang tua itu sendiri. Saat ini jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit berdasarkan data dari Kementerian Sosial RI adalah sebanyak 17,7 Juta (Kompas, 23 Februari 2010). Anak-anak yang berada di dalam situasi sulit ini meliputi juga anak-anak yang telantar, anak-anak yang dieksploitasi dan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus termasuk anak cacat, anak-anak yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan, anak-anak yang berada di dalam panti asuhan dan juga anak-anak yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini kemampuan negara untuk mengatasinya hanya 4% setahun atau lebih kurang anak, ini artinya negara baru mampu menyelesaikan masalah anak anak yang berada dalam situasi sulit ini selama 25 tahun atau seperampat abad ke depan. Jumlah anak-anak yang berada dalam situasi sulit ini belum termasuk anak-anak yang suku terasing, 60

61 Mohammad Teja anak-anak yang menderita HIV/AIDS, anak-anak yang terdiskriminasi karena berbagai alasan seperti suku, agama dan ras. Karena itu upaya dan langkah masih sangat panjang untuk bisa mengatasi masalah anak ini. (Ahmad Sofian, Harian Kompas, 23 Februari 2010). 1 Keadaan seperti ini terus akan terjadi selama kebijakan pemerintah negara tersebut tidak berpihak kepada si miskin. Keadaan tersebut bertambah parah karena seluruh anggota keluarga ikut ambil bagian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sampai di sini anak akhirnya menjadi korban, akhirnya dampak yang paling mengkhawatirkan jumlah pekerja anak di Indonesia ternyata masih cukup tinggi. Menurut Koordinator International Labor Organization (ILO) Bidang Penanganan Pekerja Anak, mengatakan jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa, padahal Undang Undang telah melarang anak untuk bekerja. 2 Permasalahan Kemiskinan yang terjadi dapat merupakan sebuah titipan, keturunan atau warisan dari generasi yang lebih dahulu dan dapat pula terjadi karena rendahnya upah di negara tertentu, tidak berjalan dengan semestinya mengenai kebijakan pemberdayaan masyarakat miskin. Tulisan ini memang tidak membahas semua permasalahan anak yang semakin kompleks di Indonesia, pembatasan masalah anak pada tulisan ini hanya yang berfokus pada kasus anak yang bermasalah dengan hukum, Bagaimana situasi penanganan kasus-kasus masalah anak yang terlibat dengan hukum, dan bagaimana kondisi anak yang di hukum dalam penjara yang sama dengan orang dewasa dan perlunya memberikan kelonggaran batasan umur kepada anak yang bermasalah dengan hukum? Kerangka Teori Pemerintah Indonesia sejak tahun 1990 telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres 36/1990. Yang merupakan tonggak awal dari perlindungan anak di Indonesia. Selanjutnya pasca diratifikasinya Konvensi ini, disusunlah berbagai upaya untuk memetakan berbagai persoalan anak baik dilakukan oleh Pemerintah sendiri maupun bekerjasama dengan berbagai lembaga PBB yang memiliki mandat untuk melaksanakan perlindungan anak. Selanjutnya 1 Ahmad Sofian, Kekerasan Mengintai Anak-Anak Kita Harian Kompas, 23 Februari 2010, politik.kompasiana.com/2010/04/29/perlindungan-anak-di-indonesia-dan-solusinya/ 2 Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Masih Tinggi, 04/30/brk, ,id.html 61

62 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik tahun 1997 Indonesia telah memiliki undang-undang khusus yang mengatur masalah anak yang berkonflik dengan hukum, Undang-Undang No. 3/1997 memberikan perhatian dan spesikasi khusus bagi anak-anak yang disangka melakukan tindak pidana, undang-undang ini juga memberikan kekhususan baik dalam penyidikan, penahanan, penuntutan, peradilan hingga penempatan di lembaga pemasyarakatan anak. Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang. Perkembangan jaman, dan kebutuhan akan perlindungan anak yang semakin besar mendesak kita untuk memikirkan secara lebih, akan hak-hak anak karena di bahu merekalah, masa depan dunia tersandang. Dalam menyiapkan generasi penerus bangsa, anak merupakan asset utama. Tumbuh kembang anak sejak dini adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan negara. Namun dalam proses tumbuh kembang anak banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural, yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak anak. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak telah disahkan Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu: UU No. 23 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, sehat, cerdas, berahlak mulia dan sejahtera. Sebagai puncak dari upaya legislasi dan Undang-undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini memberikan nuansa yang lebih komprehensif dalam upaya negara memberikan perlindungan pada anak di Indonesia. Selanjutnya nomenklatur perlindungan anak dimasukkan dalam APBN sehingga memberikan jaminan bagi upaya perlindungan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia. 3 Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH melibatkan anak dalam proses hukum, mela

63 Mohammad Teja lui suatu peradilan khusus (sistem peradilan formal) berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat. 4 Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat manusianya, juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya, dipisahkan dari orang-orang dewasa, secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak, menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannya, berhak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarganya, mengupayakan penanganan tanpa harus menempuh jalur hukum. Setiap anak yang disangka atau dituduh telah melanggar hukum pidana mempunyai setidak-tidaknya jaminan dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan kesalahannya menurut hukum, secepatnya dan secara langsung diberitahukan mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, memperoleh keputusan tanpa ditunda-tunda, tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengakui kesalahan, memeriksa atau menyuruh memeriksa saksi-saksi yang memberatkan, dan memperoleh peran serta dan pemeriksaan saksi-saksi yang meringankan, keputusan dan setiap tindakan yang dikenakan berhak ditinjau kembali oleh pejabat yang lebih tinggi, dan dihormati sepenuhnya kehidupan pribadinya dalam semua tahap proses pengadilan. 4 diakses pada: 21 oktober

64 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Negara berupaya meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga-lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh, atau dinyatakan melanggar hukum pidana. Pemeliharaan, perintah pemberian bimbingan dan pengawasan; pemberian nasehat, masa percobaan, pemeliharaan anak, program-program pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan alternatif-alternatif lain di luar memasukkan anak ke dalam lembaga perawatan harus disediakan. Meningkatkan pemulihan rohani dan jasmani, dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat, setiap anak yang menjadi korban dari setiap bentuk penelantaran, eksploitasi atau penganiayaan; penyiksaan atau bentuk perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. (Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak di Indonesia, 2000; 19) Penanganan Kasus Anak Yang Bermasalah dengan Hukum di Indonesia Menurut catatan UNICEF (2009) jumlah anak yang bermasalah dengan hukum telah mencapai lebih dari 4000 orang anak per tahun, data yang berbeda dikemukakan oleh KPAI bahwa sekitar 7300 anak di Indonesia telah masuk dalam masalah-masalah hukum. Keadaan yang memprihatinkan seperti ini akan terus berlangsung jika tidak ditangani pemerintah dengan baik. Undangundang No. 23 Tahun 2009, mendefinisikan anak pada Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kondisi yang terjadi memang terkadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, keadaan terbalik sering diterima oleh anak-anak yang memang memiliki masalah dengan hukum, keadaan yang tidak dapat terelakkan dengan kondisi anak yang memang secara ekonomi keluarga mereka yang miskin dan kurangnya pendidikan akibat keadaan memaksa untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Kondisi ini diperparah dengan anak-anak yang harus mencukupi kebutuhan keluarga mereka, bekerja, mengemis dan dieksploitasi tenaga dan umur mereka oleh orang dewasa. Belum lagi masalah yang diperparah oleh kondisi lingkungan yang memang tidak mendukung proses tumbuh kembangnya anak, seperti kondisi lingkungan yang memang mempengaruhi proses psikologis anak. Seperti contoh kasus 10 orang anak yang ditangkap karena bermain judi di bandara Soekarno- Hatta beberapa waktu yang lalu, sebagian besar dari mereka adalah pelajar SD 64

65 Mohammad Teja negeri Rawa Rengas dan pekerjaan mereka sehari-hari adalah menjadi penyemir sepatu di kawasan bandara Soekarno-Hatta yang rata-rata usia anak tersebut antara tahun seharusnya mendapatkan perlakuan khusus dari pihak kepolisian dan pengadilan setempat. Tak heran jika KPAI meminta untuk proses pengadilan ke 10 anak tersebut dilakukan secara maraton dan divonis bebas, selain itu KPAI juga meminta kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang telah menghukum mereka untuk meminta maaf. 5 Dampak atas perbuatan yang dilakukan anak-anak tersebut, mereka didakwa melanggar Pasal 303 kesatu butir kedua KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengenai perjudian yang ancaman hukumannya 10 tahun. Selain itu, para terdakwa (anak) didakwa dengan dakwaan subsider, yakni melakukan perjudian yang melanggar Pasal 303 bis KUHP. Hal ini terlihat ketika adanya proses persidangan terhadap anak-anak tersebut yang dilakukan pada sidang pertama hari senin tanggal 13 Juli 2009, dimana mereka disangka, dituduh telah melanggar Undang-undang pidana. Jelas proses hukum yang dilakukan selama ini melanggar Pasal 16 dan 62 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keadaan yang selalu merugikan korban (anak itu sendiri) sangat mengganggu kondisi psikologis anak itu sendiri di masa depan. Kejadian yang memprihatinkan dalam proses perlindungan masih banyak yang terjadi, malang nasib anak yang masih berumur 16 tahun, akibat ulah iseng yang dilakukannya disebuah warung di sekitar museum Fatahillah ia harus meringkuk di tahanan polisi karena mengambil sebatang rokok. Padahal setelah tim pengacara dari Lembaga bantuan Hukum datang dan meminta korban bercerita, sebenarnya ia hanya ingin mengambil makanan untuk memenuhi rasa laparnya karena telah dua hari ia tidak makan. Dan karena perbuatannya tersebut ia juga dipaksa untuk mendekam di Rutan Pondok Bambu yang notabenenya adalah penjara untuk orang dewasa. Hal ini juga diperparah dengan proses pengadilan yang harus ditunggunya untuk waktu yang tidak singkat dengan dakwaan pasal 363 KUHP yang itu berarti mendapatkan hukuman pidana penjara selama 7 tahun. Keadaan yang dialami seorang anak yang dipaparkan di atas jika dilihat dari kacamata kemanusiaan dan sosiologis, mereka (anak) bukanlah pelaku dari kejahatan itu sendiri, melainkan korban dari kondisi lingkungan, kurang- 5 isi-anak-dalam-sebuah-peradilan&catid=148:info&itemid=189 65

66 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik nya pendidikan dan kasih sayang orang tua mereka. Bayangkan, karena, ketidaktahuan, perbuatan iseng, dan kepolosan yang pada akhirnya membawa mereka duduk diam dibalik jeruji besi penjara. Padahal UU PA telah mengamanatkan kepada pemerintah dalam melakukan proses hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, perlakuan khusus harus dilakukan dan diketahui oleh aparat penegak hukum. Salah satu bentuk perlindungan khusus tersebut adalah berupa penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak. Hal ini tidak lain karena anak merupakan tunas bangsa yang masih mempunyai harapan masa depan, masih dapat tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, mental, spiritual dan sosial. 6 UU PA menjamin agar anak terlindung dari penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Dalam proses hukum, hak anak pun harus tetap terlindungi. Tindakan penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara terhadap anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir, setelah upaya lainnya seperti dikembalikan kepada orang tua atau diserahkan kepada Kementerian Sosial, tidak dapat dilakukan. Dapat dibayangkan bagaimana terganggunya perkembangan psikologis anak yang melakukan kejahatan, ketika dihadapkan dengan proses hukum, bahkan langsung dikenakan penahanan. Di titik ini penderitaan anak bermula. Anak dimasukkan ke dalam sel tahanan. Lalu, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan, terputus komunikasi dengan orang tua, keluarga dan teman, sehingga tidak ada tempat baginya mengadu dan meminta perlindungan terhadap hal yang dirasakan dan dialaminya. 7 Sebagai penegak hukum, seharusnya mereka lebih peka terhadap kebutuhan terbaik anak dalam proses penangkapan, penahanan, peradilan dan seharusnya pengetahuan aparatur penegak hukum dibekali secara lebih detail dalam masalah-masalah anak berhadapan dengan hukum itu sendiri. Alternatif peng-hukuman untuk anak dapat dicarikan jalan keluar yang lebih baik untuk kepentingan anak itu sendiri. Anak dan Orang Dewasa dalam Penjara Sebelum mambahas soal anak yang di penjara bersama orang dewasa perlu diketahui anak dalam proses peradilan juga mengalami perampasan hak kebe- 6 Gloria Tamba SH, Kepala Divisi Non-litigasi LBH Mawar Saron com/2010/07/22/anak-di-mata-hukum-mencuri-sebatang-rokok-tujuh-tahun-penjara/ 7 Ibid,. 66

67 Mohammad Teja basannya, biasanya kejaksaan menitipkan anak-anak yang bermasalah dengan hukum di sebuah rutan yang ditunjuk oleh kejaksaan sambil menunggu proses yang biasanya memakan waktu cukup lama hingga anak duduk di kursi pesakitan. Kondisi ini sering terjadi dalam sistem peradilan anak yang menambah beban mental psikis sang anak. Persoalan tidak selesai hanya dalam proses penangkapan dan peradilan anak saja, seakan tak berujung, permasalahan penahanan anak dalam penjara juga terjadi dan seakan tak pernah selesai. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, saat ini terdapat anak yang bermasalah dengan hukum. Jumlah tersebut dinilai memprihatinkan. Sebanyak dari anak itu kini ditahan 16 lembaga pemasyarakatan anak. Sementara sisanya ada di Lapas Dewasa dan tempat tahanan lainnya. 8 Beberapa kasus yang sempat dirilis oleh surat kabar elektronik dan cetak adalah kisan 2 orang anak yang berusia 13 dan 14 tahun ditahan pada lembaga permasyarakatan dewasa di LP Muaro Padang, dengan polosnya kedua anak tersebut menceritakan kenapa mereka sampai berada dibalik jeruji besi, pasalnya mereka mencuri beberapa slop rokok dan satu jerigen minyak nilam. Karena orang tua yang belum mengirimkan uang untuk sekolah dan makan mereka hal ini akhirnya mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam penanganan kasus ini, pihak penegak hukum juga tidak segan untuk mengintimidasi dan melakukan kontak fisik kepada anak-anak ini, menurut korban, mereka saat diintrogasi, polisi sering menampar dan mengebrak meja sehingga membuat anak-anak ini ketakutan. Tidak hanya itu, keadaan diperparah saat anak-anak dititipkan oleh kejaksaan di LP Muaro yang satu sel dengan 23 tahanan orang dewasa. Keadaan intimidasi dan eksploitasi anak terjadi dalam ruangan tahanan tersebut, pekerjaan yang menjadi rutinitas anakanak ini adalah memijit tahanan dewasa lainnya, jika tidak tamparan dan makian yang akan diterima mereka. Pelecehan seksual juga diterima dari tahanan orang dewasa yang sudah jelas akan menggangu kesehatan mental anak-anak tersebut content&view=article&id=248:-7300-di-tahananpemerintah-diminta-hapus-penjara-anak&catid=39:demokrasi-dan-ham&itemid=79&lang=in, di akses tanggal 4 Desember diakses tanggal 21 Oktober

68 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Data yang tersedia dalam kurun waktu (Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak di Indonesia, 2000; 132) sebanyak 562 anak ditahan pada tahun 1999 dan pada tahun 2000 meningkat sebanyak 756, menurut Kementerian Hukum dan HAM terdapat anak dengan kenakalan diajukan ke pengadilan, dan anak di antaranya (71,05%) diputus pidana dan pada tahun 2009 kasus tindak pidana anak yang diajukan ke meja hijau pengadilan meningkat menjadi anak, di antaranya (70, 82%) diputus pidana. Angka seluruh kasus anak mungkin jauh lebih besar karena angka di atas hanya bersumber dari 29 Bapas yang memberi laporan, padahal di seluruh Indonesia terdapat 62 Bapas (Badan Permasyarakatan). Jika dihitung secara rata-rata kasar, tiap Bapas tahun 2009 melaporkan 231 anak diajukan ke meja hijau dan 163 anak di antaranya diputus pidana maka diperkirakan kini terdapat sekitar anak yang diajukan ke persidangan dan anak telah diputus pidana, alias menjadi narapidana, tinggal meringkuk dalam sel-sel Bapas. 10 Di Solo, berdasarkan hasil beberapa kali pengamatan di Pengadilan Negeri Solo 11, terdapat beberapa anak yang dihadapkan ke persidangan. Salah satunya anak berinisial BT 15 tahun, karena mencuri sandal. Atau juga DSW, 14 tahun yang disidang karena melakukan pemerasan terhadap teman sekolahnya. Karena kasus-kasus itu, keduanya harus mengenyam udara di Rumah Tahanan (Rutan) Solo beberapa bulan. Proses hukum yang harus mereka jalani di usia yang sangat panjang dan melelahkan ini pastilah mengganggu mental si anak, dari proses penahanan, penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan sampai keputusan yang dibacakan oleh hakim dan juga pelaksanaan putusan hakim. Selain itu, situasi dalam tahanan memberikan beban mental berlipat bagi si anak. Ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dalam persidangan sebagai pesakitan. Selain psikis mereka yang terluka, akses pendidikan bagi anak-anak yang ditahan pun terbatas. Dari sekitar 20 anak usia sekolah yang berada di Rutan Solo, hanya satu anak yang sempat merasakan ujian akhir semester tahun 2009 di Rutan. Hasil riset UNICEF 12 menunjukkan, sembilan dari 10 anak yang diadili (ada anak) setiap ta diakses tanggal 21 Oktober diakses tanggal 21 Oktober diakses tanggal 21 Oktober

69 Mohammad Teja hun berakhir di penjara. Umumnya mereka dicampur dengan orang dewasa, mereka berada di ruang sempit dan penuh sesak, dengan hanya sedikit udara, bahkan tanpa akses ke fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun hiburan yang layak, kondisi yang sangat mengkhawatirkan untuk anak dimasa depannya. Padahal, anak-anak akan menjadi beban masyarakat jika mereka belajar menjadi penjahat yang andal di penjara karena tidak menutup kemungkinan di dalam penjara menjadi bertambah ahli dalam berbuat kejahatan di masa depannya dan karena mereka juga terintimidasi oleh para tahanan dewasa hal ini juga tidak menutup kemungkinan anak-anak yang berada di dalam tahanan orang dewasa akan berbuat hal yang sama di dalam ataupun di luar penjara. Kondisi anak sebelum mendapatkan kepastian putusan hukuman dari hakim yang dititipkan di rumah tahanan bersama orang dewasa menjadi permasalahan tersendiri, proses traumatik mendalam pastilah akan diterima oleh mereka. Kondisi rumah tahanan yang dipenuhi orang dewasa dan anak berada di dalamnya akan membuat anak menjadi objek dari peng-eksploitasian bagi mereka yang dewasa. Kondisi anak yang pada umur 18 tahun ke bawah yang tentunya sangat mudah menyerap segala perilaku orang dewasa tentunya akan menjadi model bagi diri si anak dalam bertindak dikemudian hari. Seharusnya anak yang berstatus tahanan (yaitu anak yang masih menunggu proses peradilan lebih lanjut, artinya, belum memiliki ketetapan hukum atas perkaranya) harus dinyatakan dan diperlakukan sebagai manusia yang tidak bersalah. Karena mereka adalah anak-anak, yang juga seharusnya harus dipisahkan dari anak-anak yang dihukum. Ketentuan mengenai keharusan tahanan anak berada di dalam tempat penahanan yang khusus bagi anak (terpisah dengan orang-orang dewasa) tercantum dalam Konvensi Hak Anak (Artikel 37.c), Peraturan-Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan terhadap Narapidana (Bagian 8 Pemisahan Kategori, Butir d), The Beijing Rules (Butir 13.4), yang menegaskan kewajiban negara untuk memisahkan tahanan anak dan tahanan dewasa. Begitu juga dengan Peraturan-Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Pasal 28 dan 29), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 66.5) dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sementara itu pada peraturan perundangan yang lebih rendah yakni Peraturan Menteri Kehakiman No. M.04- UM Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan dan Pendaftaran Tahanan, dinyatakan bahwa: 69

70 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Rutan adalah tempat bagi tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Tempat tahanan dibagi berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan. Tahanan yang tidak memiliki pakaian sendiri, akan diberikan oleh pihak Rutan. Tahanan berhak akan perlengkapan tidur dan makan yang layak. Tahanan berhak memperoleh perawatan kesehatan, melakukan rekreasi, memperoleh kunjungan dari keluarga dan orang lain. Kenyataannya, sebagian besar anak ditahan di tempat penahanan bersama dengan tahanan dewasa dan narapidana dewasa. Sebagian anak-anak ini berada di Rumah Tahanan Negara, sebagian di Lembaga Pemasyarakatan Dewasa dan Pemuda, sebagian yang lain berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak. Pada periode antara bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2002 ditandai dengan tingginya jumlah tahanan anak yang ditempatkan di Rumah Tahanan dan Lapas Dewasa. Pada bulan Januari, sejumlah 463 anak berada di Rutan dan Lapas Dewasa. Untuk waktu yang sama, angka penempatan anak di Lapas Anak mencapai 296 orang atau 38.99%. Menjadi menarik untuk dicermati adalah pada bulan-bulan berikutnya penempatan anak di Rutan dan Lapas Dewasa masih cenderung lebih tinggi dibandingkan di Lapas Anak. Artinya, peningkatan prosentase angka penempatan anak di Lapas Anak tidak diikuti dengan penurunan angka penempatan anak di Lapas Dewasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa prioritas kebijakan penempatan anak di dalam lembaga tidak ada kemajuan, karena sebagian besar anak tetap di tempatkan bersama dengan pelanggar hukum dewasa di Lapas Dewasa. Data ini memberi gambaran seberapa buruk kondisi anak-anak yang berstatus sebagai tahanan rentan atas segala tindak kekerasan dan terancam pembelajaran perilaku kriminal dari orang-orang dewasa. Memang tidak semua anak-anak ini ditahan bersama disatu ruangan dengan orang-orang dewasa. Tetapi anak-anak ini berada dalam bangunan yang sama, yang sepanjang pagi hingga sore hari, mereka dapat berbaur dan melakukan kontak dengan orangorang dewasa. (Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak di Indonesia, 2000; 140). Masalah lainnya seperti pengabaian dari orang tua si anak pada saat anak menjalani proses hukuman, jauhnya tempat tinggal orang tua, keterbatasan 70

71 Mohammad Teja ekonomi, sampai pada orang tua yang memang sudah jenuh atas kenakalan anak-anaknya. Kondisi seperti ini akan menurunkan rasa percaya diri anak untuk memperbaiki perilaku mereka. Belum lagi minimnya fasilitas dan rendahnya keberpihakan personel dan institusi yang berwenang dalam penanganan anak dalam lembaga terhadap kepentingan terbaik anak. Terhadap anak yang diabaikan oleh keluarganya, proses reintegrasi pada masyarakat tentunya akan menjadi halangan yang cukup berat bagi mereka, yang menyebabkan anak tidak tahu harus kemana setelah ia bebas yang membuat mereka kembali lagi kepada lingkungan tempai ia dahulu melakukan tindak kenakalan, tentunya ditambah pengalaman saat mereka di dalam penjara dan kembali terjebak dalam aktifitas kriminal dan karena pengalaman yang bertambah sewaktu mereka dalam penjara orang dewasa membuat mereka semakin serius melakukan tindakan kejahatan. Keadaan yang merugikan seperti tulisan di atas, merupakan gambaran betapa pentingnya pemisahan antara korban anak dan tahanan dewasa dalam rumah penjara. Pentingnya penanganan anak yang bermasalah dengan hukum yang mengunakan perspektif kepentingan terbaik anak sangatlah mendesak, akibat-akibat yang dapat diprediksi mengenai tumbuh kembang anak yang dapat terganggu di masa mendatang merupakan pekerjaan rumah pemerintah dan badan legislatif Republik ini untuk ditangani secara tepat dan cepat, tentunya dengan kerja keras dan keseriusan. Sebuah keadaan bagi rehabilitas anak yang mampu membentuk mental dan keahlian bagi kehidupan yang lebih baik bagi mereka di masa depan yang tentunya dijamin oleh negara. Batasan Umur Anak yang Behadapan dengan Hukum. Dalam deklarasi hak anak diyatakan anak belum matang jasmani dan mentalnya, anak memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran. Anak dikelompokkan orang lemah dan rawan, sangat beresiko karena sifatnya tergantung kepada orang dewasa, karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral dan spiritualnya belum matang, anak belum bisa berpikir seperti orang dewasa berpikir, belum mampu membuat keputusan (adjustment) mana yang baik dan kurang baik, kendati dalam batas tertentu telah memiliki pendirian atau pilihan namun karena keadaan mental dan fisik belum matang, menyebabkan perbuatan atau keputusannya dianggap belum dapat dipertanggungjawabkan. 71

72 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Sebagai penerus masa depan bangsa, anak merupakan aset yang sangat berharga bagi orang dewasa di masanya, anak memiliki sifat dan ciri khusus dalam perjalanannya menuju dewasa. Dalam memahami dunia, sikap dan perilakunya pun berbeda dengan orang dewasa dan karenanya, anak sangat perlu mendapatkan perlakuan khusus untuk memberikan perlindungan dan rasa nyaman kepada anak-anak. Perubahan kebudayaan, cepatnya arus informasi dan teknologi harus berbanding sama dengan perubahan bentuk perlindungan anak. Keadaan tidak terpenuhinya kebutuhan hak anak, baik biologis, psikis, sosial, ekonomi maupun kultural. Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH melibatkan anak dalam proses hukum, melalui suatu peradilan khusus (sistem peradilan formal) berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang salah satu isi dari UU tersebut adalah batasan umur anak, yaitu 8-18 tahun. Dibawah 8 tahun anak diproses penyidikannya namun dapat diserahkan kembali pada orang tuanya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada Departemen Sosial. Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat. Dalam berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal, sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum. Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Penegak hukum harus mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses penegakan hukum. Salah satunya dengan menggunakan alternatif hukuman lain 72

73 Mohammad Teja selain pidana formal. Misalnya dengan mengembalikan kepada orang tua atau menempatkan mereka di pusat-pusat pembinaan. Jadi anak yang tertangkap tangan melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, ditahan dan diajukan ke pengadilan, tetapi harus menjalani proses-proses tertentu seperti pendampingan dan konseling untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan terbaik bagi mereka. 13 Usia yang ditetapkan untuk seorang anak mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukan di Indonesia minimal usia 8 tahun, sebuah ketetapan dari kesepakatan pemerintah dan legislasi. Pada usia anak saat itu mereka sedang asik-asiknya bermain, meniru dan belajar, sepertinya tidak teramat pantas orang dewasa yang menentukan dan menetapkan batas umur minimal anak 8 tahun sudah dapat dijerat hukuman yang terkadang juga tidak masuk akal, yang berarti masa anak-anak dihabiskan dalam lembaga penjara yang terkadang disatukan dengan orang dewasa, padahal tindakan dan perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana jarang sekali di lakukan. Di banyak negara usia pertanggungjawaban pidana antara tahun, ini berarti pada anak yang berhadapan dengan hukum pada usia 8 tahun dituntut kehati-hatian dalam bertindak bagi aparat hukum yang terkait. Idealnya, anak-anak sedapat mungkin dipisahkan dari hukum kriminal, atau dapat juga dibuatkan hukum khusus yang menyangkut masalah anak dengan pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, misalnya anak dianggap sebagai korban dari tindakan melawan hukum itu sendiri, karena keterbatasan pengetahuan itu sendiri dan banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Memang, setiap negara memiliki batasan pertanggungjawaban tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak, misalnya tindakan untuk mempertanggungjawabkan tindakan kriminalitas anak di negara-negara Eropa seperti di bawah ini; 13 di akses tanggal 4 Desember

74 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Umur Pertanggungjawaban Tindak Kriminal di Eropa Austria 14 Belgium 18 Denmark 15 England and Wales 10 Finland 15 France 13 Germany 14 Greece 12 Ireland 12 Italy 14 Luxemburg 18 Netherland 12 Northen Ireland 10 Norwey 15 Portugal 16 Scotland 8 Spain 14 Sweden 15 Turkey 12 *John Muncie, 2004:253 Batasan umur anak yang tercantum dalam UU no.3 tahun 1997, dalam undang-undang tersebut, pasal 4 ayat 1 menyebutkan batas usia seorang anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah kurang dari 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah menikah. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan, terhadap anak yang belum mencapai usia 8 tahun dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik jika ia diduga melakukan tindak pidana. Keadaan serba membingungkan bagi si anak jika ia dianggap melanggar atas sebuah kasus yang ia tidak paham dan belum mengerti akan menyebabkan sang anak semakin tertekan. Pada usia di bawah 8 tahun sampai ia akil balig kemampuan berpikir anak masih sangat lemah, masih dapat dipengaruhi pikiran-pikiran orang lain yang memungkinkan orang dewasa memanfaatkan atau memberikan contoh hal-hal yang tidak baik kepada sang anak. Jika pada saat itu anak melakukan tindakan kriminal, apakah tidak terlalu berlebihan sampai mengganggu waktu ia bermain dan melakukan aktifitas pendidikan di sekolah ataupun di luar sekolah, sehingga proses dari awal sampai 74

75 Mohammad Teja akhir dapat membuat traumatik yang mendalam bagi masa depan anak. Sebenarnya, dalam proses perkembangan anak banyak hal yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi penentuan batasan umur anak dapat diajukan ke depan pengadilan, diproses oleh penegak hukum, menjadi saksi dan lain sebagainya. Faktor yang harus diperhatikan adalah kepentingan terbaik untuk anak harus selalu menjadi prioritas utama penegakan hukum bagi anak tentunya. Menyeret anak dihadapan pengadilan bukanlah tindakan yang akan menyadarkan anak tersebut untuk jera dan tidak melakukan hal yang sama dikemudian hari, keadaan yang lebih parah juga bukan tidak mungkin akan terjadi. Sebenarnya yang harus lebih difokuskan bukan dalam proses hukum untuk mecari dan membuktikan apakah seorang anak terbukti bersalah, tetapi yang harus dicarikan pembuktiannya adalah kenapa sampai anak melakukan kesalahan tersebut, sejauh mana pemerintah, keluarga dan lingkungan sosial memberikan perhatian terhadap perkembangan yang lebih baik bagi sang anak. Kesimpulan Indonesia masih memiliki kerumitan mengenai persoalan anak yang hingga saat ini belum terselesaikan secara menyeluruh dan komprehensif. Betapa banyaknya anak-anak yang mengalami gizi buruk, anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS, anak-anak cacat, anak-anak yang harus bekerja siang dan malam, anak-anak yang menjadi prostitusi dan objek pornographi, anak-anak yang hidup dalam penjara-penjara yang kumuh, kotor dan berdesak-desakan, dan sejumlah masalah anak lainnya yang dengan sangat mudah kita bisa jumpai. Semakin majunya arus informasi dan teknologi, kemajuan perkembangan globalisasi yang pesat menjadikan bangsa ini harus semakin jelas melakukan perlindungan bagi masyarakatnya. Padatnya jumlah populasi tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan fasilitas pemerintah menjadi satu masalah yang lain. Kebutuhan akan kejelasan peyelesaian kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum dan menjalankan perintah UU No. 3 Tahun 1997 mengenai Peradilan Anak merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk turut ambil bagian demi tumbuh kembang anak yang lebih baik. Keadaan yang dapat mempengaruhi kondisi mental dan psikis anak yang berhadapan dengan hukum sedapat mungkin diminimalkan dengan memberikan penanganan kasus-kasus anak dalam lembaga yang lebih mengerti dan peka terhadap kepentingan terbaik anak. Kasus-kasus anak yang ditempatkan bersa- 75

76 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik ma orang dewasa diharapkan menjadi prioritas utama dalam mencari alternatif tempat yang lebih manusiawi, mengingat mereka adalah korban dari kejahatan yang dilakukan itu sendiri. Jika memungkinkan dibuat sebuah lembaga yang menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum yang memenuhi segala kebutuhan anak, misalnya sarana pendidikan, sarana pelatihan pengembangan diri dan kemampuan keterampilan, sebuah lembaga yang memfasilitasi anak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak itu sendiri. Perlunya kajian ulang mengenai UU No. 3 Tahun 1997, khususnya mengenai batasan umur anak dapat dihadapkan di depan hukum. Sementara ini Indonesia masih mengacu pada usia anak 8 tahun sudah dapat diminta pertanggung jawaban secara hukum, meskipun dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur seperti sejak mulai penyidikan, penangkapan sampai kepada keputusan peradilan yang harus mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak. Kajian yang mendalam untuk batasan usia merupakan keutamaan dalam menentukan masa depan seorang anak. Penjatuhan pidana haruslah sebagai pilihan terakhir bagi anak, dalam pasal 5 dinyatakan, anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, juga harus dipertimbangkan kembali. 76

77 Mohammad Teja Daftar Pustaka Lucinda Platt, DISCOVERING CHILD POVERTY, The creation of a policy agenda from 1800 to the present, The Policy Press, University of Bristol, Bristol, UK, 2005 Koen Vleminckx and Timothy M. Smeeding (eds), CHILD WELL-BEING, CHILD POVERTY AND CHILD POLICY IN MODERN NATIONS, What do we know?, The Policy Press, University of Bristol, Bristol, UK, 2003 John Muncie, Youth and Crime, Sage Publication Ltd, London, 2004 Purnianti, dkk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, Unicef, Koran Artikel Ahmad Sofian, Kekerasan Mengintai Anak-Anak Kita Harian Kompas, 23 Februari 2010, Internet Jumlah Pekerja Anak di Indonesia Masih Tinggi, com/2010/04/29/perlindungan-anak-di-indonesia-dan-solusinya/ diakses pada: 21 oktober diakses pada: 21 oktober Perlindungan Anak di Indonesia dan Solusinya, com/2010/04/29/perlindungan-anak-di-indonesia-dan-solusinya/, diakses pada: 21 oktober

78 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik Tips, Penegakan Hukum Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum, kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/57-tips-penegakkan-hukumbagi-anak-yang-berkonflik-dengan-hukum.html diakses pada: 21 oktober Definisi anak dalam Sebuah Peradilan, org/index.php?option=com_content&view=article&id=860:definisi-anakdalam-sebuah-peradilan&catid=148:info&itemid=189, diakses pada: 21 oktober Anak di Mata Hukum, Mencuri Sebatang Rokok, Tujuh Tahun Penjara, Gloria Tamba SH, Kepala Divisi Non-litigasi LBH Mawar Saron diakses pada: 21 oktober Di Tahanan, Pemerintah diminta hapus Penjara Anak, home/index.php?option=com_content&view=article&id=248:-7300-di-tahanan-pemerintah-diminta-hapus-penjara-anak&catid=39:demokrasi-danham&itemid=79&lang=in, di akses tanggal 4 Desember Bocah dipenjara Bersama Napi Dewasa, 18/340/313904/kisah-2-bocah-di-penjara-bersama-napi-dewasa, diakses tanggal 21 Oktober 2010 Kriminalisasi atas Anak, diakses tanggal 21 Oktober 2010 Anak-anak Dibalik Terali Besi, com_content&view=article&id=444:anak-anak-di-balik-terali-besi&catid =56:artikel&Itemid=77, diakses tanggal 21 Oktober diakses tanggal 21 Oktober

79 Teddy Prasetiawan Adaptasi Perubahan Iklim Teddy Prasetiawan A. Latar Belakang Fenomena perubahan iklim, beberapa ahli lingkungan menyebutnya dengan istilah anomali iklim atau kekacauan iklim, oleh sebagian kecil masyarakat telah menjadi pemahaman umum. Namun apakah masyarakat Indonesia telah memahami upaya apa yang diperlukan dalam menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar. Perubahan iklim secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan terhadap sistem fisik dan biologis bumi, yang ditunjukkan melalui peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola angin, perubahan pola presipitasi dan salinitas air laut, atau beberapa penelitian menyebutkan terjadi pula perubahan masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, dan dampak lainnya yang tidak lain disebabkan oleh pemanasan global yang turut pula menyebabkan kenaikan perubahan air laut 1. Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, yakni sebagai negara kepulauan yang memiliki ± pulau kecil, memiliki garis pantai sepanjang km, daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir, memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam dan kejadian cuaca ekstrim, memiliki tingkat polusi yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh (fragile) seperti area pegunungan dan lahan gambut, kegiatan ekonomi yang masih 1 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal:1. 79

80 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik sangat tergantung pada bahan bakar fosil dan produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk alih bahan bakar ke bahan bakar alternatif. Perubahan iklim juga telah mengubah pola presipitasi dan evaporasi sehingga berpotensi menimbulkan banjir di beberapa lokasi dan kekeringan di lokasi yang lain. Hal ini sangat mengancam berbagai bidang mata pencaharian di tanah air, terutama pertanian dan perikanan 2. Empat dampak yang terjadi berkaitan dengan fenomena perubahan iklim antara lain: (i) meningkatnya temperatur udara, (ii) meningkatnya curah hujan, (iii) kenaikan muka air laut, dan (iv) meningkatnya intensitas kejadian ekstrim. Serangkaian kejadian yang diperkirakan menjadi akibat langsung dari perubahan iklim pun sudah sering terjadi di Indonesia, seperti kejadian bencana akibat perubahan air di atmosfer atau cuaca ekstrim yang berkaitan dengan El-Niño- Southern Oscilation (ENSO) 3. Sementara itu, dampak turunan yang dirasakan dari perubahan tersebut sangat beragam dan mengancam berbagai sendi kehidupan bangsa. Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2006 menyatakan bahwa dalam kurun waktu telah terjadi bencana di Indonesia, dan 53% merupakan bencana hydro-meteorological 4. Dari jumlah tersebut, 34% banjir, 16% longsor. Laporan United Nation Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA, 2006) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rentan terhadap bahaya bencana terkait iklim 5. Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir ( ) yang dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai ha dengan luas lahan puso/gagal panen mencapai ha atau setara dengan kehilangan ton gabah kering giling (GKG). Sedangkan yang terlanda 2 Ibid. Hal:3. 3 ENSO adalahsuatu keadaan yang tidak normal (anomali) dari suhu permukaan air laut dan tekanan atmosfer di Samudra Pasifik daerah tropis yang terjadi kira-kira setiap tujuh tahun dan dapat menyebabkan perubahan dalam curah hujan musiman di wilayah tertentu di planet bumi (sebagian besar di Afrika, Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Pasifik). Siklus ENSO meliputi El Nino dan La Nina. 4 Hydro-meteorological adalah cabang ilmu meteorologi yang mempelajari kejadian atau perubahan air di atmosfer (Kamus Webster, 2010). 5 Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2006, sebagaimana dikutip dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal:1. 80

81 Teddy Prasetiawan banjir seluas ha dengan luas lahan puso ha atau setara dengan ton GKG. Selanjutnya dalam periode bulan Januari hingga Juli tahun 2007, tercatat bahwa luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah ha, ha diantaranya mengalami puso. Hal tersebut berimplikasi pada penurunan produksi padi hingga ton GKG 6. Penurunan curah hujan akibat variabilitas iklim maupun perubahan musiman disertai dengan peningkatan temperatur telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun kejadian ENSO, volume air di tempat penampungan air menurun cukup berarti, khususnya selama musim kering, yaitu pada bulan Juni hingga September. Banyak pembangkit listrik memproduksi listrik jauh dibawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk di Pulau Jawa menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian ENSO pada tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006 kebanyakan pembangkit listrik yang dioperasikan di 8 waduk tersebut memproduksi listrik dibawah kapasitas normal 7. Peningkatan temperatur air laut khususnya saat El Niño 1997 juga menyebabkan masalah serius pada ekosistem terumbu karang. Wetlands International melaporkan bahwa El Niño pada tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di kedalaman 25 m sebagian telah mengalami pemutihan 8. Variasi cuaca seperti ENSO, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, kolera, dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan di atas normal dan dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat cuaca berganti menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembangbiakan nyamuk dengan cepat. Di Indonesia, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun 6 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia, Opcit. Hal:5. 7 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Indonesia Country Report, sebagaimana dikutip dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal:5. 8 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia, Opcit. Hal:5. 81

82 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik La Niña. Kasus demam berdarah dengue (DBD) juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun ini. Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian DBD di Pulau Jawa dari tahun 1992 sampai 2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Country Report, 2007) 9. Sebanyak kurang labih 30 penyakit baru dan beberapa penyakit lama yang telah dapat dikendalikan kembali mengancam kehidupan manusia dalam 25 hingga 30 tahun belakangan ini 10. Kenyataan tentang perubahan iklim sangatlah tidak mengenakkan yang menuntut kita untuk mengubah cara kita dalam menjalani hidup 11. Pada dasarnya perubahan iklim terjadi melalui proses yang membutuhkan waktu lama. Begitu pula dengan proses memperbaiki kualitas lingkungan dan usaha mengurangi penyebab perubahan iklim. Upaya apapun yang dilakukan untuk mengurangi lajunya tidak akan menghindarkan kita dari dampak negatif yang terus ditimbulkan saat ini dan saat mendatang. Untuk itu perlu bagi kita meningkatkan kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan yang ada. Selain itu dibutuhkan pemahaman yang lebih tentang kondisi dan kesiapan Indonesia dalam konteks perubahan iklim dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia. B. Permasalahan Dalam rangka mewujudkan kesiapan indonesia menghadapi dampak perubahan iklim, dibutuhkan pemahaman terhadap kerentanan Indonesia serta pemahaman terhadap potensi yang dimiliki Indonesia guna meningkatkan ketahanan atau kemampuan adaptasi. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dikaji pada tulisan ini adalah: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kerentanan suatu negara terhadap perubahan iklim? 2. Bagaimana respon Indonesia terhadap isu adaptasi perubahan iklim? 9 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia, Opcit. Hal:5. 10 Al Gore. An Inconvenient Truth: The Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do about It London. Hal: Ibid. Hal:

83 Teddy Prasetiawan C. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya yang dibutuhkan guna meningkatkan ketahanan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim melalui kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanannya. Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, antara lain kegunaan praktis dan kegunaan akademis. Sebagai kegunaan praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi DPR RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan legislasi, terutama bagi komisi yang membidangi permasalahan perubahan iklim. Sebagai kegunaan akademis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan ketahanan Indonesia terhadap perubahan iklim. D. Kerangka Pemikiran Dua pendekatan yang dikenal luas dalam menghadapi perubahan iklim adalah mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berorientasi kepada upaya menurunkan tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di berbagai sektor. Sementara adaptasi berorientasi kepada upaya meningkatkan ketahanan manusia dalam menghadapi dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Mitigasi perubahan iklim sudah tentu mutlak dilakukan, mengingat daya dukung lingkungan yang menurun akibat dari beragam aktivitas manusia yang tidak henti-hentinya terus dilakukan dalam rangka membangun. Dunia internasional, termasuk Indonesia, terkesan lebih mengutamakan tindakan mitigasi dibandingkan dengan adaptasi. Hal ini dapat dilihat melalui forum-forum internasional yang lebih memberikan ruang pembahasan kepada usaha mitigasi diberbagai sektor, seperti kehutanan, pertanian, energi, dan lain sebagainya. Namun, disadari pula bahwa membangun ketahanan manusia dalam menghadapi dampak perubahan iklim pun merupakan tindakan yang secara beriringan perlu dilakukan. Melalui wawancara yang dilakukan dengan Farhan Helmy, selaku anggota kelompok kerja mitigasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) saat wawancara penelitian, disebutkan bahwa upaya penanggulangan perubahan iklim memiliki prioritas yang mengedapankan alternatif yang murah dan mudah (salah satu yang ramai dibicarakan adalah skema Reduction of Emmisions from Deforestration and Degradation/REDD+ dalam sektor kehutanan). Sementara itu, menyikapi permasalahan kesenjangan perhatian antara mitigasi dan adaptasi dikembalikan 83

84 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik lagi kepada prioritas Indonesia. Upaya mitigasi akan lebih dekat dengan isu-isu potensi dan peluang. Sementara pada upaya adaptasi memposisikan kita pada posisi yang pasif (menerima), sehingga banyak negara donor yang beranggapan hal tersebut menjadi urusan masing-masing negara. Tingkat kerentanan suatu masyarakat maupun negara terhadap dampak perubahan iklim sangat beragam dan ditentukan oleh tiga faktor utama: (i) tingkat bahaya bencana yang terjadi (climatic hazards), (ii) sensitivitas terhadap perubahan/ bencana (sensitivity), dan (iii) kapasitas adaptasi (adaptive capacity) 12. Tingkat bahaya bencana yang telah dipaparkan sebelumnya membawa kita pada kesimpulan bahwa frekuensi dan intensitas bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim semakin meningkat akhir-akhir ini. Kenyataan bahwa dampak perubahan iklim sulit diprediksi menuntut kita untuk selalu berada dalam kondisi siaga. Di sisi lain, sensitivitas terhadap perubahan/bencana akan sangat ditentukan oleh jumlah populasi. Suatu daerah dengan populasi tinggi akan lebih lebih sensitif terhadap perubahan/bencana 13. Untuk itu perlu dibuat skala prioritas dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Dalam presentasinya Emil Salim membedakan kapasitas adaptasi menjadi tiga kelompok utama: (i) sosio-ekonomi, (ii) teknologi, dan (iii) infrastruktur. Terdapat satu hal lagi yang terinternalisasikan ke dalam ketiganya, yaitu faktor budaya 14. Mengenai peran dari kelompok utama diatas akan dijelaskan pada bagian pembahasan. Mengingat begitu rentannya Indonesia dalam menghadapi dampak negatif perubahan iklim, maka diperlukan upaya sistematis dalam meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Upaya sistematis yang dimaksud tidak lain adalah transformasi dari kerentanan menuju ketahanan iklim yang dapat dicapai melalui adaptasi perubahan iklim. E. Metodologi Penelitian Penelitian ini memiliki judul Respon Indonesia terhadap Dampak Perubahan Iklim Global yang diselenggarakan oleh Tim Hubungan Internasional Pusat 12 Kuki, S dan Tezza, N Strategi dan Kebijakan Adaptasi: Pendekatan Sosial Ekonomi dalam Menghadapi Perubahan Iklim, dalam Iwan Jaya dkk, (ed), Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. PT Gramedia. Jakarta. Hal Ibid. Hal: Emil Salim Climate Change Adaptation Measurement in Developing Country. Presentasi dalam Cornference on Climate Insecurities, Human Securitiy, and Social Resilience, Agustus Singapura. 84

85 Teddy Prasetiawan Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P 3 DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Peneliti yang tergabung dalam Tim Kesejahteraan Sosial diikutsertakan dalam penelitian tersebut. 1. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data di penulisan ini pertama-tama dilakukan melalui studi kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Setelah memperoleh data yang diperlukan, penelitian dilanjutkan dengan wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dan memiliki informasi dan data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Studi kepustakaan dilakukan di Jakarta melaui penelusuran informasi beserta pengumpulan data tertulis yang diperoleh melalui buku-buku dan jurnal ilmiah serta laporan-laporan penelitian sebelumnya, dan juga melalui artikel surat kabar dan situs internet. 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah DKI Jakarta melalui wawancara dengan berbagai pihak yang terdiri dari kementrian teknis, lembaga pemerintahan, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dalam lingkup tugasnya berhubungan langsung dengan permasalahan yang akan dikaji, yaitu adaptasi perubahan iklim. 3. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan tentang adaptasi perubahan iklim di wilayah Indonesia melalui analisis data primer dan sekunder. Data primer merupakan hasil-hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap beberapa informan yang dipilih secara purposif. Sedangkan data sekunder adalah bahan-bahan tertulis yang dikumpulkan dan dikaji melalui studi kepustakaan. Adapaun sifat penelitian ini yaitu deskriptif dengan menuliskan ataupun menggambarkan secara jelas jawaban atas permasalahan tersebut di atas. F. Hasil dan Pembahasan Pengertian Adaptasi Perubahan Iklim Adaptasi adalah pengaturan dalam sistem alam dan manusia menuju lingkungan baru atau mengubah lingkungan. Adaptasi terhadap perubahan iklim mengarah pada pengaturan sistem alam dan manusia dalam merespon rangsangan alam yang aktual atau yang diperkirakan atau pengaruh-pengaruhnya, yang mung- 85

86 Pembangunan Sosial: Wacana, Implementasi, dan Pengalaman Empirik kin bersifat setengah merusak atau memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan. Berbagai jenis adaptasi dapat dibedakan menjadi adaptasi antisipatif dan reaktif, adaptasi pemerintah dan pihak swasta, adaptasi otonomi dan terencana. Adaptasi antisipatif adalah adaptasi yang terjadi sebelum dampak dari perubahan iklim teramati. Disebut juga dengan adaptasi proaktif. Adaptasi otonomi adalah adaptasi yang tidak menuntut respon yang disengaja terhadap rangsangan iklim, tetapi dipicu oleh perubahan-perubahan ekologi dalam sistem alam dan oleh pasar atau perubahan-perubahan keselamatan dalam sistem manusia. Adaptasi otonomi disebut juga sebagai adaptasi spontan. Adaptasi terencana adalah adaptasi yang merupakan hasil keputusan kebijakan yang disengaja, berdasarkan kepedulian terhadap kondisi yang berubah atau tentang perubahan dan tindakan yang diperlukan untuk mengembalikan, mengelola, atau mencapai negara yang diingikan 15. Laporan Penilaian ketiga Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengacu pada adaptasi sebagai suatu penyesuaian dalam sistem manusia atau alam terhadap lingkungan baru atau pergantian lingkungan 16. Menurut penulis, adaptasi dapat digambaran sebagai katalis yang dapat mempercepat proses transformasi dari kondisi kerentanan menuju ketahanan terhadap perubahan iklim (lihat bagan alir pada Gambar 1). Peningkatan upaya adaptasi akan menciptakan masyarakat dan lingkungan yang selalu dapat menyesuaikan perubahan yang ada. Sebagai contoh, upaya adaptasi yang diimplementasikan pada masyarakat pesisir pantai akan meningkatkan kewaspadaan serta kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana, seperti badai tropis atau ancaman tsunami. Adaptasi tidak mengurangi frekuensi dan intensitas kejadian bencana, namun dapat mengurangi kerugian akibat bencana terutama dalam menekan jumlah korban meskipun potensi bencana akan selalu ada. Keuntungan yang dapat diambil oleh Indonesia bila mempersiapkan rencana adaptasi tidak lain adalah jaminan terhadap pelaksanaan pembangunan dari gangguan yang tidak terduga. 15 Neeraj Prasad dkk Opcit. Hal: IPCC Climate Change 2007: Synthesis Report Summary for Policymakers, sebagaimana dikutip dalam Neeraj Prasad dkk, Kota Berketahanan Iklim: Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap Bencana. Salemba Empat. Jakarta Hal:27. 86

87 Teddy Prasetiawan Gambar 1 Hubungan antara biaya perubahan iklim dan adaptasi Sementara itu, Gambar 2 menunjukkan hubungan antara biaya perubahan iklim dan adaptasi. Adaptasi dapat mengurangi biaya perubahan iklim dengan cara mengurangi kerusakan karena kejadian perubahan iklim meskipun tidak mempengaruhi peningkatan suhu global. Manfaat bersih dari adaptasi tetap ada bahkan setelah ditambahkan dengan biaya adaptasi, menggambarkan bahwa adaptasi selalu menguntungkan 17. Gambar 1 Hubungan antara biaya perubahan iklim dan adaptasi Sumber: Stern, N. Stern Review on the Economic of Climate Change (Cambridge : Cambride University Press, 2006) Konsentrasi GRK dan pemanasan atmosfer memberikan akibat langsung terhadap naiknya permukaan air laut, peningkatan suhu di atmosfer, peningkatan intensitas curah hujan, serta meningkatnya kejadian ekstrim. Sektor yang di- 17 Neeraj Prasad dkk Kota Berketahanan Iklim: Pedoman Dasar Pengurangan Kerentanan terhadap Bencana. Salemba Empat. Jakarta. Hal:

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003 MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003 MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM) 1. Menanggulangi Kemiskinan

Lebih terperinci

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator Page 1 Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Uraian Jumlah Jumlah Akan Perlu Perhatian Khusus Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 12 9 1 2 Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua

Lebih terperinci

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan Dr. Hefrizal Handra Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang 2014 Deklarasi MDGs merupakan tantangan bagi negara miskin dan negara berkembang untuk mempraktekkan good governance dan komitmen penghapusan

Lebih terperinci

pendapatan masyarakat. h. Jumlah Rumah Tangga Miskin status kesejahteraan dapat dilihat pada tabel 2.42.

pendapatan masyarakat. h. Jumlah Rumah Tangga Miskin status kesejahteraan dapat dilihat pada tabel 2.42. Tabel 2.41. Perhitungan Indeks Gini Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Kelompok Jumlah Rata-rata % Kumulatif Jumlah % Kumulatif Xk-Xk-1 Yk+Yk-1 (Xk-Xk-1)* Pengeluaran Penduduk Pengeluaran Penduduk Pengeluaran

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS LAMPIRAN 39 40 Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS 41 42 43 Lampiran 2 TUJUAN, TARGET, DAN INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA No Tujuan Target Indikator 1 Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. program darurat bagian dari jaring pengaman sosial (social safety net), namun

BAB I PENDAHULUAN. program darurat bagian dari jaring pengaman sosial (social safety net), namun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Raskin merupakan program bantuan yang sudah dilaksanakan Pemerintah Indonesia sejak Juli 1998 dengan tujuan awal menanggulangi kerawanan pangan akibat krisis moneter

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER Kerjasama Penelitian : BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana penyelesaian masalah tersebut. Peran itu dapat dilihat dari sikap

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana penyelesaian masalah tersebut. Peran itu dapat dilihat dari sikap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran pemerintah sangat penting dalam merancang dan menghadapi masalah pembangunan ekonomi. Seberapa jauh peran pemerintah menentukan bagaimana penyelesaian

Lebih terperinci

PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN

PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN By : Suyatno, Ir. MKes Office : Dept. of Public Health Nutrition, Faculty of Public Health Diponegoro University, Semarang Contact : 081-22815730 / 024-70251915

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 3205011.32 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2016 Katalog BPS : 3205011.32 No. Publikasi : 32520.1701 Ukuran Buku : 18,2 cm

Lebih terperinci

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA (Disampaikan dalam Diplomat Briefing, Jakarta 11 Maret 2013) Kata Pengantar Refleksi tentang Pencapaian MDG ini merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini

Lebih terperinci

BPS KABUPATEN ASAHAN No. 02/12/1208/Th. XVII, 21 Desember 2015 PROFIL KEMISKINAN ASAHAN TAHUN 2014 Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Asahan tahun 2014 sebanyak 76.970 jiwa (10,98%), angka ini berkurang

Lebih terperinci

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber I. Pendahuluan Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dari delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 adalah mendorong kesetaraan gender dan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA CIREBON

BERITA DAERAH KOTA CIREBON BERITA DAERAH KOTA CIREBON 2 NOMOR 51 TAHUN 2009 PERATURAN WALIKOTA CIREBON NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA KELUARGA / RUMAH TANGGA MISKIN KOTA CIREBON Menimbang : WALIKOTA CIREBON, a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbukaan sosial dan ruang bagi debat publik yang jauh lebih besar. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. keterbukaan sosial dan ruang bagi debat publik yang jauh lebih besar. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia kini adalah negara dengan sistem demokrasi baru yang bersemangat, dengan pemerintahan yang terdesentralisasi, dengan adanya keterbukaan sosial dan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU UTARA SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU UTARA SEPTEMBER 2014 BADAN PUSAT STATISTIK No. 05 / 01 / 82 / Th. XIV, 02 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU UTARA SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2014 BERTAMBAH 2,2 RIBU ORANG

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2015 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 58/09/12/Th. XVIII, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2015 MARET 2015, JUMLAH PENDUDUK MISKIN SUMATERA UTARA NAIK 103.070 ORANG DIBANDING SEPTEMBER

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011 No. 07/01/62/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan)

Lebih terperinci

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah STRATEGI DAN INOVASI PENCAPAIAN MDGs 2015 DI INDONESIA Oleh Dr. Afrina Sari. M.Si Dosen Universitas Islam 45 Bekasi Email: afrina.sari@yahoo.co.id ABSTRACT Indonesia telah berhasil mengurangi kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

BAB I. PENDAHULUAN. perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 34/07/33/Th. IV, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi Angka kematian ibu per kelahiran hidup turun drastis

dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi Angka kematian ibu per kelahiran hidup turun drastis dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi kewenangan pemerintah pusat. Angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup turun drastis pada tahun 2011, hal ini karena kasus kematian ibu

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007

TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007 BADAN PUSAT STATISTIK No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007 TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan yang dihadapi negara yang berkembang memang sangat kompleks. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA MARET 2016 No. 40/07/82/Th. XV, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN MALUKU UTARA MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA KEADAAN MARET 2016 SEBANYAK 74,68 RIBU ORANG ATAU SEBESAR 6,33 PERSEN Jumlah penduduk

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014 No. 42/07/71/Th. VIII, 1 Juli 2014 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan lewat pengolahan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes.

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes. KATA PENGANTAR Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia sepakat untuk mengadopsi Deklarasi

Lebih terperinci

PRO POOR BUDGET. Kebijakan anggaran dalam upaya pengentasan kemiskinan.

PRO POOR BUDGET. Kebijakan anggaran dalam upaya pengentasan kemiskinan. PRO POOR BUDGET Kebijakan anggaran dalam upaya pengentasan kemiskinan. Mengapa Anggaran Pro Rakyat Miskin Secara konseptual, anggaran pro poor merupakan bagian (turunan) dari kebijakan yang berpihak pada

Lebih terperinci

No. 09/15/81/Th. XVII, 15 September 2015 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan TUJUAN 3 Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 43 Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Sensus penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 05/01/33/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 4,705 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0)

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0) Lampiran 1. Penjelasan Singkat Mengenai IPM dan MDGs I. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 1 Sejak 1990, Indeks Pembangunan Manusia -IPM (Human Development Index - HDI) mengartikan definisi kesejahteraan secara

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 No. 44/09/36/Th. IX, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 702,40 RIBU ORANG Pada bulan 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan pokok yang dialami oleh semua negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah kehilangan kesejahteraan

Lebih terperinci

KEMISKINAN OLEH HERIEN PUSPITAWATI

KEMISKINAN OLEH HERIEN PUSPITAWATI KEMISKINAN OLEH HERIEN PUSPITAWATI KRITERIA KEMISKINAN BPS GARIS KEMISKINAN Kota Bogor tahun 2003: Rp 133 803/kap/bln Kab Bogor tahun 2003: Rp 105 888/kap/bln UNDP US 1/kap/day tahun 2000 US 2/kap/day

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VIII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2012 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... DAFTAR TABEL Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan... 40 Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon... 54 Tabel IV.3 Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan...

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 No. 47/07/71/Th. XX, 17 Juli 2017 KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kemiskinan yang dihadapi, terutama, oleh negara-negara yang sedang berkembang, memang sangatlah kompleks. Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 02 / 07 Th.XI / Juli PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010 RINGKASAN Meskipun Penduduk miskin Provinsi NTT pada Maret 2010 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Maret

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 6/07/33/Th. III/1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar

Lebih terperinci

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun 3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat di Mandar 2007-2009 Indikator 2 3 4 5 6 7 8 9 0 2 3 4 5 6 7 8 9 20 Tujuan Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Menurunkan Proporsi

Lebih terperinci

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN BPS PROVINSI SULAWESI TENGGARA 07/01/Th. X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015 No. 05/01/15/Th X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 311,56 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

MENGUKUR PENDAPATAN DAN KEMISKINAN MULTI-DIMENSI: IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN

MENGUKUR PENDAPATAN DAN KEMISKINAN MULTI-DIMENSI: IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN MENGUKUR PENDAPATAN DAN KEMISKINAN MULTI-DIMENSI: IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN Sudarno Sumarto Policy Advisor - National Team for the Acceleration of Poverty Reduction Senior Research Fellow SMERU Research

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 6/07/33/Th. II/1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2008 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Tengah pada

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN RAPAT KERJA TEKNIS TKPK TAHUN 2015 KERANGKA ANALISIS SITUASI KEMISKINAN KOMPONEN ANALISIS Perubahan akibat intervensi

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 125/07/21/Th. III, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015 No. 64/09/71/Th. IX, 15 September 2015 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/01/53/Th.XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR September 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN September 2016 MENCAPAI 1.150,08 RIBU ORANG (22,01 PERSEN) Jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 No. 07/07/62/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS. Fatia Fatimah Tati Rajati Andriyansah. UPBJJ-UT Padang

MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS. Fatia Fatimah Tati Rajati Andriyansah. UPBJJ-UT Padang MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS Fatia Fatimah (fatia@ut.ac.id) Tati Rajati Andriyansah UPBJJ-UT Padang Abstrak Pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 khususnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Evaluasi (penilaian) suatu program biasanya dilakukan pada suatu waktu tertentu atau pada suatu tahap tertentu (sebelum program, pada proses pelaksanaan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 No. 05/01/33/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 4,863 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2015 PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2015 No. 63/09/51/Th. IX, 15 September 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 196,71 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per

Lebih terperinci

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 7 TAHUN 2014 PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN MERAUKE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Capaian Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan indikator dan faktor-faktor penyebab kemiskinan Mahasiswa mampu menyusun konsep penanggulangan masalah kemiskinan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan.

Lebih terperinci

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut :

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut : 4. Sistem Informasi pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Provinsi yang belum tepat waktu Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah DAFTAR ISI Hal Daftar Isi... ii Daftar Tabel dan Gambar... xii Daftar Singkatan... xvi Bab I Pendahuluan... 1 1.1. Kondisi Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Jawa Tengah... 3 Tujuan 1. Menanggulangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia, sepakat untuk mengadopsi deklarasi Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pertumbuhan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2010 No. 27/ 07/91/Th. IV, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2010 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua Barat pada tahun 2009 sebanyak 256.840 jiwa (35,71 persen) turun menjadi

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 30/07/31/Th XVIII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2016 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah.

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014 No. 05 /1 /13/Th. XVIII / 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada September 2014 adalah 354.738 jiwa. Dibanding Maret

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009

TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009 No. 29/07/51/Th. III, 1 Juli 2009 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009 Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2009 tercatat sebesar 181,7 ribu orang, mengalami penurunan sebesar 33,99 ribu orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan sebagai suatu masalah sosial ekonomi telah merangsang banyak kegiatan penelitian yang dilakukan berbagai pihak seperti para perencana, ilmuwan, dan masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA POLOBOGO

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA POLOBOGO BAB IV GAMBARAN UMUM DESA POLOBOGO 4. 1. Kondisi Geografis 4.1.1. Batas Administrasi Desa Polobogo termasuk dalam wilayah administrasi kecamatan Getasan, kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI DKI JAKARTA Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Dibandingkan dengan Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen), jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 No. 49/07/33/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 4,507JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2014

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2014 No. 05/01/81/Th. XVII, 02 Januari 2015 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN

Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN 1. Simpang Siur Data Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional. Karakter ini menyebabkan diskusi mengenai kemiskinan hampir selalu

Lebih terperinci

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 2.1 2.2 2.3 Target MDGs Status Sumber 2015 Angka Partisipasi 90,0202 95,74 100%

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 No. 05/01/17/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 322,83 RIBU ORANG (17,16 PERSEN) - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2015

Lebih terperinci

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN MDGs dirumuskan pada tahun 2000, Instruksi Presiden 10 tahun kemudian (Inpres No.3 tahun 2010 tentang Pencapaian Tujuan MDGs) Lesson Learnt:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan berusaha keras untuk mencapai

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2014 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 40/07/76/Th.VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 SEBANYAK 153,9 RIBU JIWA Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam 10 BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pengarusutamaan Gender Terkait dengan Pengarusutamaan Gender (PUG), terdapat beberapa isitilah yang dapat kita temukan, antara lain

Lebih terperinci

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 No. 05/01/75/Th.IX, 2 Januari 2015 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 Pada September 2014 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,41 persen. Angka ini turun dibandingkan

Lebih terperinci