IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4.1 Karakteristik Teknik Reaktor Uji Performansi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara garis besar proses produksi biodiesel yang dilakukan terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap proses (pemanasan awal dan transesterifikasi), tahap pemisahan (pengendapan) dan purifikasi. Selama proses transesterifikasi yang berlangsung 9 menit diambil sampel (Gambar 17) untuk dianalisis mutunya sesuai standard SNI No (Lampiran 14). Produk yang dihasilkan selama pembuatan biodiesel melalui proses transesterefikasi dengan menggunakan reaktor static-mixer selanjutnya diendapkan (Gambar 18). Biodiesel yang dihasilkan pada tahap proses adalah biodiesel kasar yang bercampur dengan gliserol, sabun, sisa katalis, dan sebagainya. Pengendapan dilakukan untuk memudahkan proses pemisahan etil ester dan gliserol dan bahan lain yang memiliki massa jenis lebih besar dari metil ester. Pada lapisan atas terdapat campuran metil ester dengan metanol, sedangkan lapisan bawah yang berwarna kecoklatan dan lebih kental adalah gliserol (Gambar 16). Gliserol kemudian dialirkan melalui corong pada bagian bawah tangki pemisah. Dari gambar terlihat biodiesel kasar yang masih mengandung metanol dan sabun berada pada lapisan atas. Biodiesel kasar terlihat berwarna kuning keemasan. Sedangkan gliserol yang berada pada lapisan paling bawah memiliki warna merah kecoklatan. Biodiesel kasar Gliserol kasar Gambar 17. Sampel produk biodiesel selama proses transesterifikasi 47

2 Biodiesel kasar Gliserol kasar Gambar 18. Produk hasil pengendapan Pada saat awal pencucian biodiesel kasar, air hasil pencucian akan berwarna putih susu, seperti pada Gambar 19. Pencucian dilakukan beberapa kali sampai air pencucian berwarna bening. Setelah pencucian dilanjutkan dengan pengeringan yang dilakukan untuk menghilangkan kandungan metanol dan menurunkan kadar air biodiesel yang terikut dalam proses pencucian. Pengeringan dilakukan dengan cara memanaskan biodiesel pada suhu 11 C dan waktu yang diperlukan selama 3 menit. Biodiesel Air pencucian Gambar 19. Proses pencucian 48

3 Biodiesel hasil pengeringan akan berwarna lebih mengkilap. Penampilan selama proses transesterifikasi, hasil pencucian, dan pengeringan disajikan pada Gambar 2. Gambar 2a adalah biodiesel pada tahap reaksi transesterifikasi pada proses produksi pada suhu 7 C. Gambar 2b merupakan biodiesel hasil pencucian dengan air bersuhu 9 C dan hasil pencucian terlihat agak sedikit keruh karena kadar air biodiesel meningkat (biodiesel masih mengandung air pencucian). Gambar 2c merupakan biodiesel hasil pengeringan dengan cara pemanasan pada suhu 11 C. (a) (b) (c) Gambar 2. Perbandingan biodiesel pada tahap transesterifikasi, pencucian, dan pengeringan Hasil uji alat reaktor static-mixer disajikan dalam Tabel 7. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembuatan biodiesel dengan reaktor staticmixer menghasilkan rendemen rata-rata sebesar 98,7 % w/w setelah melewati proses transesterifikasi 9 menit yang merubah TG dari minyak goreng kelapa sawit menjadi metil ester. Dari proses reaksi antara 1,1 kg minyak goreng dengan 4,35 kg metanol dihasilkan volume biodisel kasar rata-rata 9,24 kg dan volume gliserol rata-rata 3,81 kg. Massa rata-rata biodiesel rata-rata yang diperoleh setelah proses pencucian dan pengeringan adalah sebanyak 8,78 kg. Analisis keseimbangan massa pembuatan biodiesel setelah dilakukan perhitungan konversi volume hasil pengamatan disajikan pada Tabel 8. Perhitungan 49

4 keseimbangan massa tersebut disajikan dalam Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis keseimbangan massa tersebut terlihat massa ouput lebih kecil yaitu 13,5 kg yang berkurang sebanyak 1,41 kg. Kekurangan ini dimugkinkan karena terdapat produk yang tersisa dalam reaktor (tercecer). Gliserol kasar yang diperoleh 3,81 kg dan jumlah ini relatif masih mengandung metanol yang berlebih. Kemungkinan lain adalah adanya penguapan massa MeOH selama proses transesterifikasi Air pendingin diperlukan untuk mempercepat terjadinya proses kondensasi uap metanol menjadi bentuk cair di dalam kondensor. Air digunakan sebagai media penukar panas untuk memindahkan panas dari uap ke air pendingin. Dari hasil pengukuran didapatkan laju konsumsi air pendingin adalah 15 ml/detik untuk proses selama 9 menit atau 54 detik. Table 7. Hasil uji coba reaktor static-mixer Tahap- hasil Suhu reaksi ( o C) 5 o C 55 o C 6 o C 65 o C 7 o C Pemanasan awal 11 liter RBDPO atau TG (menit) Transesterifikasi (menit) Persentase metil ester (%) ,5 96,5 97,35 Biodiesel kasar (kg) 9,25 9,24 9,24 9,24 9,23 Debit air kondensor (ml/detik) Jumlah air untuk pencucian (liter) Tabel 8. Keseimbangan masa rata-rata pengolahan biodiesel dengan static-mixer (kg) Komponen Masa input Masa ouput Minyak (TG) 1,1 MeOH 4,35 KOH,1 Produk biodiesel 9,24 Lapisan bawah (gliserol kasar) 3,81 (ouput) 13,5 Loss 1,41 TOTAL (total input) 14,46 (total ouput) 14,46 5

5 4.1.2 Analisis Parameter Uji Biodiesel yang dihasilkan secara visual memiliki warna kuning jernih dan terlihat encer. Penampakan biodiesel ini berbeda dengan minyak kelapa sawit yang berwarna lebih pekat dan terlihat kental. Hasil samping reaksi transesterifikasi adalah gliserol yang berwarna cokelat gelap dan lebih kental dibanding metil ester serta terdapat di lapisan bagian bawah. Parameter utama dalam penelitian ini adalah kadar metil ester karena menunjukkan besarnya perubahan TG menjadi metil ester. Dalam penentuannya dengan metode SNI dibutuhkan nilai bilangan asam, angka penyabunan, dan kadar gliserol total. Selain itu, keberhasilan produksi biodiesel dilihat dari viskositasnya karena tujuan transesterifikasi adalah memperoleh ester dengan kekentalan yang menyerupai bahan bakar solar. Viskositas sendiri berkaitan erat dengan densitas. Oleh karena itu, pengujian sifat fisik dan kimia pada biodiesel yang telah dimurnikan meliputi metil ester, bilangan asam, kadar gliserol total, kadar metil ester, densitas, dan viskositas. Nilai-nilai parameter ini dibandingkan dengan nilai SNI biodisel yang dipersyaratkan Metil ester Metil ester yang terdapat dalam biodiesel memiliki kisaran yaitu 98,- 98,65 (% w/w). Perolehan ini berada di atas standar biodiesel SNI yaitu 96,5 (% w/w). Rendemen metil ester yang tinggi pada pembuatan biodiesel dapat disimpulkan karena berasal dari bahan baku dengan karakteristik yang baik, yaitu nilai bilangan asam minyak kelapa sawit yang rendah (,4 mg KOH/g minyak). Biodiesel yang dihasilkan berupa metil ester karena dalam reaksi transesterifikasi menggunakan metanol. Kadar metil ester tidak dapat langsung ditentukan, tapi dihitung melalui perolehan bilangan penyabunan, bilangan asam, dan kadar gliserol total sehingga analisis penentuan bilangan penyabunan juga dilakukan. 51

6 99 Metil ester (%, w/w) T 6⁰C T 65⁰C T 7⁰C SNI Waktu (menit) Gambar 21. FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 6, 65 dan 7 o C Secara figuratif pada Gambar 21 dapat dilihat sedikit peningkatan kadar metil ester terjadi dengan semakin tingginya suhu pada waktu reaksi yang sama. Konversi yang semakin besar juga didapat dengan semakin lamanya waktu reaksi. Peningkatan yang tajam terlihat pada awal reaksi dan beranjak landai atau cenderung stabil pada waktu transesterifikasi yang lebih lama. Penyebab lain adalah adanya proses pemurnian mengakibatkan biodiesel tidak lagi atau hanya sedikit mengandung air dan gliserol. Metanol yang digunakan dalam kondisi berlebih (3,83 kali stoikiometri) dan katalis KOH juga bekerja dengan baik dalam mempercepat laju transesterifikasi Angka Asam Hasil transesterifikasi minyak kelapa sawit secara umum memiliki angka asam yang rendah dan memenuhi standar biodiesel berdasarkan SNI (,8 mg KOH/g). Perolehan angka asam yang rendah ini dikarenakan karakteristik minyak kelapa sawit yang digunakan sudah cukup baik dengan angka asam,41 mg KOH/g minyak dan kadar asam lemak bebas yang kecil yaitu,1 %. Nilai angka asam pada contoh biodiesel dari percobaan static-mixer secara umum mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu reaksi pada semua kisaran suhu seperti terlihat pada Gambar 22. Pada suhu yang lebih tinggi bilangan asam juga menunjukkan nilai yang lebih kecil. Dari hasil pengamatan 52

7 terlihat angka asam mengalami penurunan selama proses transesterifikasi hal ini sangat dimungkinkan karena asam lemak metil ester akan semakin banyak dengan bertambahnya waktu reaksi transesterifikasi sehingga keasamannya akan semakin rendah. Angka asam (mg KOH/g) T 5 ⁰C T 6 ⁰C T 7 ⁰C SNI Waktu (menit) Gambar 22. Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 5, 6 dan 7 o C Gliserol Total Gliserol total pada biodiesel mengalami penurunan dengan lamanya waktu reaksi dan terjadinya peningkatan suhu seperti terlihat pada Gambar 23. Hal ini terjadi karena jumlah gliserol terikat (TG, DG, dan MG) dalam contoh biodiesel yang semakin mengecil. Beberapa contoh biodiesel memiliki kadar gliserol total yang tinggi, yaitu melewati batas maksimum untuk gliseol total SNI , yaitu,24 %. Kadar gliserol total memenuhi standar dimulai pada menit ke 15, 2, 3, dan seterusnya untuk suhu 7 o C secara berurutan. sedangkan untuk suhu 5 dan 6 o C masih di atas batas yang ditentukan. Hal ini terjadi karena pada awal reaksi masih banyak trigliserida dalam minyak kelapa sawit yang belum terkonversi menjadi metil ester. Konversi tersebut memenuhi standar pada waktu reaksi yang lebih cepat dengan kondisi suhu yang lebih tinggi, karena panas yang diberikan membantu mempercepat reaksi. 53

8 Kadar gliserol total biodiesel yang diproses pada suhu 5 dan 6 C tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh SNI , hal ini dimungkinkan oleh kurangnya panas (suhu) reaksi yang diberikan serta adanya reaksi balik yang memungkinkan sebagian produk berubah kembali menjadi reaktan (TG). Gliserol total (% w/w) Waktu (menit) T 5 ⁰C T 6 ⁰C T 7 ⁰C SNI Gambar 23. Gliserol total FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 5, 6 dan 7 o C Viskositas Biodiesel harus memiliki kisaran viskositas 2,3 6, cst pada suhu 4 o C sesuai SNI biodiesel yang ditentukan. Biodiesel yang dihasilkan memiliki viskositas yang beragam pada berbagai macam waktu dan suhu seperti pada Gambar 24. Beberapa contoh memiliki viskositas yang besar, terutama pada awal reaksi, sehingga nilainya tidak memenuhi standar biodiesel. Namun, nilai viskositas biodiesel mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu reaksi dan semakin meningkatnya suhu. 54

9 Nilai viskositas memenuhi standar SNI dimulai pada menit ke 5 untuk suhu 7 o C dan menit ke 2 dan seterusnya untuk suhu 5 dan 6 o C secara berturut-turut. Perolehan ini menunjukkan bahwa pada waktu yang lama, biodiesel akan lebih encer pada semua kisaran suhu, karena semakin banyak minyak kelapa sawit yang bereaksi dengan metanol. Nilai viskositas tinggi pada menit ke-1 pada suhu 5, 6 dan 7 o C dan pada menit ke 5 pada suhu 5 dan 6 o C karena waktu yang relatif singkat dan suhu yang rendah trigliserida masih banyak yang belum terkonversi menjadi metil ester Viskositas (cst) Waktu (menit) T 5 ⁰C T 6 ⁰C T 7 ⁰C SNI Gambar 24. Viskositas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 5, 6 dan 7 o C Densitas Biodiesel yang dihasilkan secara umum memenuhi kisaran densitas SNI , yaitu 85, 89, kg/m 3, kecuali beberapa contoh pada menitmenit awal reaksi berlangsung seperti terlihat pada Gambar 25. Nilai densitas biodiesel mengalami penurunan dengan semakin tingginya suhu dan lamanya waktu reaksi. Interaksi antara waktu dan suhu dengan densitas terbesar adalah menit ke-1 pada suhu 5 dan 6 o C. Nilai densitas pada menit ke-1 dan ke-2 tidak memenuhi standar SNI Hal ini dikarena waktu yang pendek menyebabkan reaktan yang terkonversi masih sedikit. Dengan demikian, proporsi trigliserida yang berbobot molekul besar dalam produk lebih banyak dibanding 55

10 metil ester dengan bobot molekul lebih kecil. Pada lampiran 15 disajikan hubungan parameter mutu biodiesel dengan waktu hasil percobaan Denitas (kg/m 3 ) T 5 C T 6 C T 7 C SNI SNI Waktu (menit) Gambar 25. Densitas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 5, 6 dan 7 o C 4.2 Kinetika Reaksi Kajian kinetika reaksi yang disajikan dari penelitian ini meliputi hasil pembahasan dari laju reaksi, kajian static-mixer dan blade agitator, energi aktivasi (Ea), dan frekuensi tumbukan (A) Laju Reaksi Kurva konsentrasi dalam reaksi transesterifikasi menggunakan staticmixer dan blade agitator disajikan dalam Gambar 26 dan 27. Dalam gambar tersebut diperlihatkan perubahan proses transesterifikasi selama 9 menit waktu reaksi. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan produksi metil ester dengan menggunakan static-mixer lebih cepat dibanding menggunakan blade agitator pada periode awal proses. Dalam lampiran 16 disajikan hasil pengukuran kandungan metil ester dengan static-mixer dan blade agitator. Hasil percobaan tersebut juga menunjukkan bahwa static-mixer memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengurangi waktu reaksi untuk mencapai kandungan asam lemak metil ester (fatty acid methyl ester-fame) yaitu 96.5% dibandingkan 56

11 dengan menggunakan blade agitator. Waktu reaksi transesterifikasi dengan static-mixer jauh lebih singkat dari pada waktu reaksi dengan blade agitator pada setiap tingkat perlakuan suhu. Efektifitas pengadukan dengan static-mixer juga diperkuat dengan hasil pengamatan penurunan gliserol terikat (lihat pembahasan konstanta laju rekasi Bab ), penurunan viskositas dan angka asam biodiesel untuk kedua sistem tersebut seperti diperlihatkan dalam Gambar 28 dan Metil ester (% w/w) Waktu (menit) T5 C T55 C T6 C T65 C T7 C Gambar 26. Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan staticmixer 12 Metil ester (% w/w) Waktu (menit) T 5 C T 55 C T 6 C T 65 C T 7 C Gambar 27. Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan blade agitator 57

12 3 25 Viskositas (cst) Waktu (menit) Blade agitator Static-mixer Gambar 28. Viskositas FAME yang dihasilkan dengan staticmixer dan blade agitator pada suhu 65 o C.45 Angka asam (mg KOH/g) Waktu (menit) Blade Agitator Static-mixer Gambar 29. Angka asam FAME yang dihasilkan dengan staticmixer dan blade agitator pada suhu 65 o C 58

13 Pada Gambar 3 dan 31 ditunjukkan efektifitas pengadukan dari staticmixer dan blade agitator pada suhu yang lebih spesifik. Gambar 3 diperlihatkan pengaruh pengadukan static-mixer pada suhu yang rendah yaitu 5 o C lebih signifikan dibandingkan blade agitator ketika reaksi transesterifikasi berlangsung. Pembentukan metil ester berlangsung sangat cepat pada 5 menit pertama untuk static-mixer dan 6 menit pertama untuk blade agitator kemudian lajunya menurun dan selanjutnya mencapai keseimbangan (laju pembentukan konstan dan kecil). Pembentukan ester dari asam-asam lemak (FAME) menjadi tidak terlalu signifikan bila reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 7 o C. Dalam keadaan tersebut laju reaksi terutama dipengaruhi oleh suhu reaksi dan ditunjukkan dengan jelas oleh kemiringan kurva yang dihasilkan. Penurunan jumlah reaktan mempengaruhi pembentukkan jumlah produk yang dihasilkan. Gambar 3 memperlihatkan fenomena bahwa kurva produksi metil ester baik yang dihasilkan dengan static-mixer maupun blade agitator hampir mendekati. Pada Lampiran 17 disajikan hasil pengamatan hubungan parameter mutu FAME dengan waktu selama proses transesterifikasi berlangsung pada berbagai tingkat suhu. Perbedaan jarak kurva pembentukan metil ester dengan static-mixer dan blade agitator pada suhu 5 o C dan 7 o C dikarenakan pembentukan metil ester pada blade agitator sangat dipengaruhi oleh suhu transesterifikasi yang berlangsung di mana semakin tinggi suhu maka produksinya akan semakin cepat. Hal ini ditunjukkan semakin tinggi suhu proses mengakibatkan kemiringan kurva pembentukan metil ester akan semakin besar seperti yang terjadi pada Gambar 3. 59

14 12 Metil ester (% w/w) Waktu (menit) Blade agitator Static-mixer Gambar 3. Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 5 o C 12 Metil ester (% w/w) Waktu (menit) Blade agitator Static-mixer Gambar 31. Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 7 o C 6

15 4.2.2 Perbandingan Reaksi menggunakan Static-mixer dan Blade agitator Waktu reaksi transesterifikasi untuk mencapai kandungan metil ester dengan static-mixer lebih singkat dengan blade agitator. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal : 1) Pengaruh elemen static-mixer Di dalam elemen dalam rumahan (casing) static-mixer fluida (reaktan) dipecah menjadi beberapa lapisan. Jumlah lapisan yang terbentuk setara dengan 2n di mana n adalah jumlah elemen (Paul, 23; Oldshoe, 1983). Di dalam penelitian ini elemen yang dirancang berjumlah 5 elemen, jadi jumlah lapisan yang dihasilkan adalah 1 lapisan. Pada tahap awal fluida dipecah dalam elemen pertama untuk membentuk lapisan, dan lapisan yang dihasilkan kemudian diputar 18 o. Setiap lapisan dipecah kembali dan diputar 18 o dalam arah yang berlawanan. Posisi elemen diatur sedemikian rupa sehingga membentuk sudut 9 o. Di dalam setiap elemen atau (mixing chamber), setiap lapisan akan mengalami proses (1) pemecahan, (2) pemutaran, (3) pembalikan, dan (4) penggabungan lapisan aliran reaktan yang terjadi secara reversal. Secara teoritis semakin banyak elemen maka akan meningkatkan jumlah perputaran (travel) dan jumlah lapisan yang dihasilkan serta menghasilkan tegangan geser lapisan dan tumbukan antara molekul reaktan yang lebih tinggi pula. Nilai laju pengurangan reaktan yang dalam static-mixer dinyatakan dalam dc A /dt = k r C A - k l C A sesuai persamaan [16] akan semakin besar. Nilai dc A /dt akan tinggi terutama pada saat awal reaksi di mana jumlah TG, DG, dan MG masih banyak dan langsung terkonversi menjadi FAME dan GL. Berdasarkan persamaan [11] pula jumlah FAME yang terbentuk (C Me ) sebanyak 3 konsentrasi awal TG (1- e -k t ). Nilai dc A /dt akan semakin mengecil sejalan dengan berkurangnya jumlah gliserol terikat tersebut dan akan mencapai nilai mendekati keseimbangan ketika gliserol terikat hampir semua terkonversi menjadi FAME. Dari hasil kurva Gambar 26 tersebut, pengaruh suhu reaksi terhadap waktu reaksi tidak terlalu besar bila menggunakan static-mixer. 61

16 2) Pengaruh sirkulasi aliran Adanya sirkulasi aliran dalam pipa saluran reaktan baik sebelum dan seseudah elemen static-mixer sedikit banyak juga akan mempengaruhi proses laju rekasi pembentukan produk (ME dan GL) atau laju jumlah reaktan yang bereaksi (TG dan MeOH). Aliran reaktan selama melalui saluran akan mempercepat laju reaksi yang dimungkinkan akibat pengaruh panas dari dinding pipa saluran. Di samping itu pengaruh pompa sentrifugal yang digunakan juga dimungkinkan untuk mempengaruhi laju reaksi karena reaktan di dalam pompa sentrifugal akan diputar sebelum dialirkan ke dalam elemen static-mixer. Mekanisme lain yang berpengaruh adalah pada saat reaktan melalui tangki utama sebelum menuju pompa sentrifugal dan elemen static-mixer terjadi reaksi secara kimiawi karena pengaruh aliran dari atas ke bagian bawah tangki dan karena pengaruh panas. 3) Blade agitator Di sisi lain penggunaan sistem pengadukan blade agitator terlihat dipengaruhi oleh suhu reaksi (lihat Gambar 27). Hal ini dimungkinkan karena dalam mekanisme pengadukan blade agitator menghasilkan aliran melingkar dalam tangki dengan arah aksial dan tangensial, serta memberikan turbulensi yang minimal (Paul et al., 23 ). Intensitas reaksi antar molekul atau reaktan tidak begitu tinggi serta laju reaksi dan waktu reaksi transesterifikasi lebih lambat. Kondisi ini akan mempengaruhi frekuensi tumbukan yang tidak sebesar pada static-mixer sehingga akan mengakibatkan laju reaksi yang relatif rendah. Dalam skala laboratorium, produksi metil ester dengan rendemen tertinggi diperoleh pada suhu 6 o C setelah 1 jam menggunakan katalis basa (Vicente et al., 24, Meher et al., 26, Hazkil, 28). Di samping itu menurut Livenspiel (1972), bila reaktan yang berbeda dicampur ( terlebih lagi bila reaktan bersifat immiscible) dengan menggunakan blade agitator dan bila terjadi reaksi, maka reaksi yang terbentuk berada pada suatu zona reaksi sekitar as pengaduk blade agitator, di samping itu akan terbentuk pula zona non-homgen di mana terdapat reaktan yang masih belum bereaksi. Untuk memperbesar zona reaksi maka diperlukan jumlah putaran yang tinggi (vigorous stirring). 62

17 4.2.3 Konstanta Laju Reaksi (k) Perbedaan laju reaksi sebenarnya dapat diklarifikasi melalui kajian kinetika reaksi. Pada dasarnya reaksi transesterifikasi meliputi 3 tahap yaitu pada tahap pertama TG bereaksi dengan MeOH untuk digliserida (DG), yang dilanjutkan pada tahap kedua DG dengan MeOH bereaksi menghasilkan monogliserida (MG). Pada tahap akhir MG bereaksi dengan MeOH menghasilkan gliserida (GL). Pada setiap tahap reaksi, satu molekul metil ester (ME) akan dihasilkan untuk setiap satu molekul MeOH yang bereaksi. Kusdiana dan Saka (21) menyederhanakan model matematik untuk ketiga tahap proses tersebut dalam suatu proses transesterifkasi secara keseluruhan dengan mengabaikan reaksi intermediate (DG) dan (MG), sehingga ketiga tahap proses tersebut dapat disajikan seperti persamaan [23] beikut; TG + 3 MeOH k 3 ME + GL... [23] Di mana k adalah konstanta laju reaksi secara keseluruhan reaksi transesterifikasi. Diasumsikan bahwa reaktan jumlah MeOH tidak berubah karena MeOH diberikan dalam jumlah berlebih di samping itu reaksi juga diasumsikan mengikuti reaksi orde pertama. Konstanta laju reaksi dapat ditentukan berdasarkan penurunan jumlah reaktan misal TG dalam interval waktu tertentu (Barrow, 1973; Steinfeld et al, 1989). Dalam penelitian ini, laju reaksi diprediksi dari pengurangan jumlah TG sehingga persamaan konstanta reaksinya dapat ditulis dengan persamaan [24]. G Laju reaksi [24] Dalam proses transesterifikasi tidak semua TG dapat bereaksi. Selain TG terdapat produk antara yang tidak bereaksi yaitu DG, MG, dan asam lemak. Reaktan yang tidak bereaksi tersebut disebut sebagai unmethyl esterified compound (ume), sehingga persamaan [24] dapat ditulis dengan persamaan [25]. Nilai ume (gliserol terikat) diperoleh dari jumlah total gliserol dikurangi dengan gliserol bebas. 63

18 Laju reaksi ME, atau ME k ume [25] Dengan mengasumsikan konsentrasi awal ume, pada t= adalah ume, dan turun menjadi ume, t pada waktu t, maka integrasi persamaan [25] menjadi persamaan [26] dan [27] dan k dapat dihitung berdasarkan persamaan [28] ume, ume t, ume ume k dt...[26] ln ume, k t...[27] ume, k ume,t ume,...[28] Hasil pengamatan penurunan ume disajikan dalam Gambar 32 hingga Gambar 36. Dalam static-mixer, karena penurunan ume jauh lebih cepat pada tahap awal proses maka laju reaksi dievaluasi dalam 2 tahap yaitu laju reaksi awal dengan konstanta laju reaksi k 1 (dari waktu sampai 1 menit) dan laju reaksi akhir dengan konstanta laju reaksi k 2 (dari waktu 1 hingga 9 menit). Perubahan dari laju reaksi awal menuju laju raeaksi akhir terlihat naik turun, akan tetapi hasil masih menunjukkan konsistensi penurunan. Penurunan ume pada proses transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator menunjukkan pola yang stabil sehingga laju reaksi dievaluasi dalam satu tahap. Hasil nilai k menggunakan static-mixer dan blade agitator ditunjukkan dalam Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat secara jelas laju reaksi awal (k 1 ) dengan static-mixer lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan blade agitator. Meskipun demikian konstanta laju reaksi dengan blade agitator lebih tinggi dibandingkan dengan konstanta laju reaksi k 2 menggunakan static-mixer, hal ini beralasan karena pada tahap akhir jumlah reaktan dalm reaktor blade agitator masih tinggi dibandingkan dengan menggunakan static-mixer pada waktu yang sama. 64

19 Tabel 9. Konstanta laju reaksi transesterifikasi dengan static-mixer dan blade agitator T ( o C) k 1 (menit -1 ) 3,912 3,995 4, 4,6 4,51 Static-mixer Blade agitator R 2 (%) k 2 R 2 (%) k R 2 (%) (menit -1 ) (menit -1 ) 1,16 93,4,45 94,7 1,21 9,1,49 97,7 1,22 9,8,54 97,6 1,23 94,4,52 95,1 1,24 95,1,57 91,7 5 ln ume (% w/w) y = x R² = 1 y = -.52x R² = y = -.16x R² = Waktu (menit) ume tahap awal static-mixer ume tahap akhir static-mixer ume blade agitator Gambar 32. Hubungan konsentrasi ume selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 5 o C 65

20 ln ume (% w/w) y = x R² = 1 y = -.21x R² =.91 y = -.49x R² = Waktu (menit) ume tahap awal static-mixer ume tahap akhir static-mixer ume blade agitator Gambar 33. Hubungan konsentrasi ume selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 55 o C ln ume (% w/w) y = -4.x R² = 1 y = -.22x R² =.98 y = -.54x R² = Waktu (menit) ume tahap awal static-mixer ume tahap akhir static-mixer ume blade agitator Gambar 34. Hubungan konsentrasi ume selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 6 o C 66

21 5 4 ln ume (% w/w) 3 y = -4.6x R² = y = -.23x R² = y = -.52x R² = Waktu (menit) ume tahap awal static-mixer umetahap akhir static-mixer ume blade agitator Gambar 35. Hubungan konsentrasi ume selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 65 o C 5 4 ln ume (% w/w) y = -4.51x R² = 1 y = -.24x R² =.951 y = -.57x R² = Waktu (menit) ume tahap awal static-mixer ume tahap akhir static-mixer ume blade agitator Gambar 36. Hubungan konsentrasi ume selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 7 o C 67

22 4.2.4 Energi Aktivasi (Ea) dan Frekuensi Tumbukan (A) Menurut persamaan Arhenius (Atkins, 1986), hubungan antara konstanta laju, energi aktivasi, dan frekuensi tumbukan dapat dinyatakan dalam persamaan [29]: ln k = ln A Ea/RT. [29] di mana Ea adalah energi aktivasi (kj/mol), R adalah konstanta gas (.813 kj mol -1 K -1 ) dan A adalah frekuensi tumbukan (menit -1 ). Data pada Tabel 11 digunakan untuk menentukan Ea dan A dengan melakukan plot antara ln k dengan kebalikan suhu absolute (1/T) seperti tersaji dalam Gambar 37, 38 untuk staticmixer dan Gambar 39 untuk blade agitator. Energi aktivasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) yang dihitung berdasarkan persamaan [29] baik tahap awal dan akhir reaksi dalam static-mixer serta E dan A hasil reaksi dalam blade agitator disajikan dalam Tabel 1. Tabel tersebut juga menunjukkan hasil dari percobaan yang dilakukan oleh penelitian lain /T (x 1 3 K) ln k (min 1) y =.161x R² = Gambar 37. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k 1 ) tahap awal dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer 68

23 1/T (x 1 3 K) ln k (min 1) y = 2.13x R² =.87 Gambar 38. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k 2 ) tahap akhir dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer 1/T (x 1 3 K) ln k (min 1) y = 1.265x +.83 R² = Gambar 39. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan blade agitator 69

24 Table 1. Perbandingan Energi aktivasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) Hasil Percobaan Ea (J/mol) A (menit -1 ) Tahap percobaan Waktu ( menit) 1,33 6,48 Tahap awal static-mixer ,71 8,89 Tahap akhir static-mixer 1-9 1,49 2,29 blade agitator - 9 Hasil Penelitian lain Ea (J/mol) A (menit -1 ) Metode Referensi,26 - batch reaktor (katalitik) Darnoko dan Cheryan (2a) 69, x superkritik MeOH (non-katalitik) Kusdiana dan Saka 31, x 1 3 4,2 reaktor kolom gelembung (superheated/non-katalitik) (21) Joelianingsih et al. (28) Energi aktivasi (Ea) adalah energi minimum yang diperlukan untuk melangsungkan terjadinya suatu reaksi. Dalam reaksi transesterifikasi Ea adalah energi minimum untuk menghasilkan FAME dan gliserol dari reaktan TG dan MeOH. Jika partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang lebih rendah dari energi aktivasi (Ea) maka fluida yang diproses masih dalam bentuk reaktan (TG dan MeOH) dan tidak akan terjadi reaksi transesterifikasi. Dalam percobaan static-mixer, nilai Ea dan A pada tahap awal lebih kecil dari Ea dan A tahap akhir yaitu 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48, menit -1 dan 8,89 menit -1. Hal ini menunjukkan energi minimum yang digunakan untuk memecah beberapa ikatanikatan TG, DG, dan MG menjadi ME dan GL realatif kecil. Kondisi ini dikarenakan jumlah TG dan produk intermediate (DG dan MG) masih berada dalam jumlah yang cukup banyak. Akan tetapi ketika jumlah reaktan tersebut berada dalam jumlah yang sedikit pada tahap akhir reaksi di mana sebagian sudah terkonversi menjadi produk (ME dan GL) energi untuk memecahnya akan semakin besar (meningkat 15,38 J/mol). Fekuensi tumbukan (A) dapat diartikan sebagai persentase tumbukan antara bahan yang bereaksi, semakin besar A semakin besar kecepatan reaksi. Dalam percobaan static-mixer, nilai A pada tahap akhir terlihat semakin besar dan meningkat dari 6,48 menit -1 menjadi 8,89 menit -1, hal ini menunjukkan bahwa tumbukkan yang terjadi antar molekul zat pereaksi semakin banyak. Pada tahap 7

25 akhir ini jumlah TG, MG, dan DG semakin minimal sehingga untuk melangsungkan laju reaksi diperlukan A semakin besar. Intensitas tumbukan yang tinggi juga sangat diperlukan dikarenakan reakssi transesterifikasi ini juga termasuk reaksi balik (reversible) yang memungkinkan reaksi mengarah ke kiri. Untuk membandingkan kedua hasil tersebut dengan hasil yang ditemukan dari hasil penelitian lain tidak mudah dikarenakan terdapat adopsi dua tahap laju reaksi dalam penelitian ini. Konstanta laju reaksi untuk non katalis untuk transesterifikais minyak rapseed dalam kondisi superkritik yang dilakukan Kusdiana and Saka (21) adalah,41 menit -1 pada suhu 543 o K dan tekanan 2 MPa, sedangkan Ea and A adalah 69 kj/kmol and 6936 menit -1. Nilai Ea dan A tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai hasil percobaan dengan hasil percobaan static-mixer. Perbedaan hasil percobaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi reaksi yang dicoba. Pada percobaan Kusdiana dan Saka dilakukan reaksi pada tekanan 4 MPa di mana polaritas MeOH akan menurun. Sebagai akibatnya TG yang bersifat non-polar dapat disolfasi dengan MeOH superkritik untuk mengubah fase tunggal dari minyak nabati/meoh. Pada Tabel 1 disajikan nilai Ea dan A hasil penelitian static-mixer yang dilakukan dan dari hasil peneliti lain. Penelitian Ea dan A juga dilakukan oleh Joelianingsih et al. (28) untuk transesterifikasi minyak sawit dalam reaktor kolom gelembung sistem batch secara non-katalis. Di dalam hasil penelitiannya, reaksi transesterifikasi dilangsungkan dalam tekanan atmosfir, MeOH superheated, dan tanpa pengadukan (stirring). Nilai EA dan A yang rendah dihasilkan masing-masing 31 kj/mol and 4,2 menit -1. Percobaan tersebut dilakukan dengan gelembung MeOH yang disebar ke dalam fase minyak serta sistem terdiri dari dua fase. Laju reaksi dibawah kendali/pengaruh pindah masa antara fase gas dan liquid. Mekanisme pengadukan seperti ini tentunya akan mempengaruhi besar nilai k, Ea, A, dan waktu reaksi. 71

26 4.3 Analisis Energi Analisis Kehilangan Panas Pada saat proses produksi berlangsung, dilakukan pengukuran suhu pada reaktor. Pengukuran suhu dilakukan terhadap 13 titik pengukuran, yakni suhu pada : 1) uap MeOH keluar, 2) tutup atas 3) kran sampel atas 4) kran sampel tengah, 5) heater, 6) tutup bawah, 7). kran sampel bawah, 8) dinding luar, 9) glasswool, 1) dinding static-mixer, 11) dinding dalam, 12) pipa, 13) lingkungan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Hasil sebaran suhu pengukuran suhu pada setiap bagian reaktor disajikan dalam Gambar 41, 42, dan 43. Pada lampiran 17 dan 18 disajikan data hasil pengukuran sebaran suhu reaktor static-mixer. Gambar 4. Posisi pengukuran suhu pada reaktor, static-mixer 72

27 Suhu ( C) Waktu (menit) Tutup atas Uap keluar Heater Kran atas Gambar 41. Sebaran suhu pada tutup atas, uap keluar, heater,dan kran atas Suhu ( C) Waktu (menit) Pipa Dinding luar Static-mixer Kran bawah Gambar 42. Sebaran suhu pada pipa sirkulasi, dinding luar, static-mixer, dan kran bawah 73

28 7 6 5 Suhu ( C) Waktu (menit) Tutup bawah Dinding dalam Glass wool Lingkungan Kran tengah Gambar 43. Sebaran suhu pada tutup bawah, dinding dalam, glas wool, dan kran tengah Sebaran suhu hasil pengukuran di dalam tangki untuk kondisi proses pada suhu 7 C dapat dilihat pada Gambar 41. Suhu heater yang dimaksud adalah suhu campuran di sekitar heater. Sebagai daerah yang lebih dekat dengan sumber panas, pada saat awal pompa dihidupkan dan campuran reaktan disirkulasikan melewati static-mixer terlihat bahwa suhu heater memang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di titik pengukuran lainnya. Berdasarkan grafik pada Gambar 41, 42 dan 43 pada menit ke- suhu heater tercatat sebesar 67 C, sedangkan suhu kran bawah adalah 66 C, kran tengah 67 C, dan kran atas yang jauh lebih dari sumber panas bersuhu 66 C. Pada saat proses sirkulasi berlangsung, campuran pada bagian dasar tangki yang bersuhu lebih tinggi mengalir melewati pipa dan static-mixer dan kembali lagi ke tangki utama melewati pipa penyebaran. Setelah keluar dari pipa penyebaran, campuran akan menyentuh kran bagian atas terlebih dahulu, kemudian baru turun perlahan-lahan ke bagian dasar tangki. Akibatnya walaupun pada saat awal suhu 74

29 di sekitar heater lebih tinggi, setelah beberapa menit proses berlangsung, suhu pada kran sampel atas lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada bagian lain. Perpindahan panas yang diamati pada reaktor berhubungan dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi. Pindah panas konduksi terjadi pada dinding tangki bagian atas dan bawah, dan pada pipa-pipa saluran serta dinding static-mixer. Sedangkan pindah panas secara konveksi yang diamati adalah pindah panas dari dinding bagian luar tangki ke udara luar (lingkungan). Pindah panas secara konduksi pada plat datar dapat dihitung dengan persamaan Fourier (Bacon, 199) Pada reaktor static-mixer, kehilangan panas merupakan gabungan kehilangan panas secara konduksi dan koveksi. Kehilangan panas yang diamati terjadi pada dinding tangki, tutup atas, tutup bawah, pipa, dan dinding static-mixer. Dengan mengetahui suhu pada daerah-daerah tersebut dan sifat-sifat udara di sekitarnya, kehilangan panas gabungan dapat dihitung. Kehilangan panas yang terjadi sebanding dengan perbedan suhu yang terjadi dan luasan daerah yang mengalami proses perpindahan panas. Sebaran suhu pada pipa, dinding tangki tutup atas, tutup bawah, dan dinding static-mixer ditampilkan pada Gambar 44. Kehilangan panas yang terjadi dapat dihitung dengan menghitung pindah panas pada dinding tangki utama (q 1 ), kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar (q 2 ), kehilangan panas dari pipa ke udara luar (q 3 ), kehilangan panas melalui dinding static-mixer (q 4 ), kehilangan panas memalui tutup atas (q 5 ), dan kehilangan panas melalui tutup bawah (q 6 ). Persamaan pindah panas tersebut didasarkan pada pindah panas secara konveksi, dengan bentuk umum : q n = h Ad (t d t u )...[3] h = N Nu k /Dd...[31] N Gr N pr = N Nu...[32] N Nu =,53 (N Gr N pr ),25...[33] N Gr = (Dd)3 (gßρ2/µ) T...[34] 75

30 Keterangan : q n = kehilangan panas (kj), n =1, 2, 3,..., h = koefisien pindah panas konveksi (W/m 2 K), Ad = luas / penampang (m 2 ), td = temperatur dinding luar ( K), tu = suhu udara luar ( K), Dd = diameter (m), N Nu = bilangan Nusselt (tidak berdimensi), N pr = bilangan Prandtl (tidak berdimensi), N Gr = bilangan Grashoff (tidak berdimensi), g = percepatan gravitasi m/dt 2, ρ = kerapatan udara (kg/m 3 ), µ = viskositas (poise), ß = koefisien muai volume (1/K) Cara perhitungannya disajikan pada Lampiran 19 sampai dengan Suhu (oc) Pipa Dinding tangki Tutup atas Static-mixer Tutup bawah Komponen reaktor Gambar 44. Sebaran suhu rata-rata pada reaktor Berdasarkan Gambar 44, disajikan grafik penyebaraan suhu dan terlihat bahwa pipa dan tutup tangki bagian atas memiliki suhu paling tinggi. Keduanya memiliki suhu rata-rata 57,37 C dan 57,5 C. Dinding static-mixer juga memiliki suhu yang relatif tinggi. Sedangkan dinding dan tutup bagian bawah tangki (dasar) memiliki suhu rata-rata yang lebih rendah. Pipa, tutup atas, dan dinding static-mixer memiliki suhu yang lebih tinggi pada bagian luarnya karena ketiga daerah tersebut tidak dilapisi oleh bahan isolator, sehingga panas dari bahan langsung berpindah ke dinding yang terbuat dari baja tahan karat, dan diteruskan ke lingkungan luar. Sedangkan pada dinding dan dasar tangki terdapat 76

31 ruang isolasi yang berisi glasswool. Jumlah energi yang hilang dalam bentuk panas (dalam kj) pada kelima daerah tersebut dapat dilihat dari grafik pada Gambar 45. Dari grafik pada Gambar 45 terlihat bahwa kehilangan panas terbesar terjadi pada pipa yang berfungsi sebagai saluran sirkulasi reaktan. Pada pipa, selain suhu yang relatif lebih tinggi luasan permukaan pipa yang berhubungan dengan udara luar juga mempengaruhi besarnya kehilangan panas yang terjadi. Luasan pipa bagian luar dari hasil perhitungan didapatkan sebesar,12 m². Sehingga kehilangan panas yang terjadi pada pipa adalah sebesar 116,57 kj. Walaupun dinding memiliki luasan permukaan yang cukup besar dibandingkan daerah lainnya, namun karena fungsi bahan isolasi yang memberikan keuntungan dengan mencegah perpindahan panas yang terlalu besar ke lingkungan, perpindahan panas pun tidak terlalau besar. Pada lampiran 19 hingga 24 disajikan perhitungan pindah panas pada pipa, dinding tangki, tutup atas-bawah, dan static-mixer. Kehilangan panas (kj) pipa dinding tangki Tutup atas Static-mixer Tutup bawah Komponen reaktor Gambar 45. Kehilangan panas pada reaktor Luasan dinding dari hasil perhitungan adalah sebesar,53 m², sedangkan kehilangan panasnya adalah sebesar 76,22 kj. Tutup tangki bagian atas tidak terlalu luas, mengalami kehilangan panas yang cukup besar jika dibandingkan 77

32 dengan tutup bagian bawah tangki. Dengan luasan yang sama yaitu,47m², kehilangan panas penutup tangki bagian atas adalah 38,13 kj, sedangkan kehilangan panas yang terjadi pada penutup tangki bagian bawah hanya 8,38 kj. Besarnya kehilangan panas yang terjadi pada tutup tangki bagian atas disebabkan oleh tidak adanya bahan isolasi yang dapat mencegah perpindahan panas dari dinding penutup tangki ke lingkungan luar. Metanol yang menguap juga menyebabkan suhu pada dinding penutup atas tangki cukup tinggi. Pemberian bahan isolasi pada dinding penutup bagian bawah memberikan kehilangan panas yang minimal. Dari kelima daerah yang mengalami kehilangan panas, dinding penutup tangki bagian bawah mengalami kehilangan panas paling kecil. Kemudian static-mixer juga mengalami kehilangan panas yang cukup kecil, karena dengan tinggi 3 cm, luasnya hanya,3 m², dan kehilangan panas hanya sebesar 27,71 kj. Bila dihitung dalam persen maka terlihat bahwa kehilangan panas terbesar terjadi pada pipa saluran sebesar 44 persen dari total kehilangan panas pada alat. Dinding menempati urutan ke dua dengan presentase sebesar 28 persen, kemudian tutup atas sebesar 14 persen, dinding static-mixer sebesar 11 persen, dan terakhir tutup bawah sebesar 3 persen. Kehilangan panas ke lingkungan luar tentu saja tidak diinginkan karena akan meningkatkan kebutuhan energi untuk pemanasan bahan. Pemberian bahan isolator pada bagian-bagian yang membuat kehilangan panas menjadi tinggi dapat mengatasi pemborosan energi Kebutuhan Energi untuk Proses Transesterifikasi Hasil pengukuran energi pemanasan awal dan proses transesterifikasi disajikan dalam Tabel 11. Pengaruh suhu terhadap konsumsi energi dalam proses transesterifikasi untuk setiap suhu disajikan dalam Gambar 46. Peningkatan suhu cenderung akan mengurangi energi yang dibutuhkan untuk proses transesterifikasi. Berdasarkan gambar tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi transesterifikasi dengan blade agitator lebih besar dibandingkan dari energi menggunakan static-mixer pada temperature yang sama. Hasil percobaan menunjukkan bahwa static-mixer dapat mengurangi secara signifikan kebutuhan 78

33 energi transesterifikasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, efektifitas energi pengadukan dari reaktan (TG dan MeOH) menjadi metil ester (biodiesel) dalam static-mixer jauh lebih besar dibanding dalam blade agitator Table 11. Kebutuhan energi untuk setiap tahap produksi biodiesel T Static-mixer (kj/kg) Blade agitator (kj/kg) ( o C) Pemana san awal Transesteifikasi Purifika si Total (Qin) Pemana san awal Transesterifikasi Purifika si Total (Qin) 5 16,94 119, ,86 181,45 16,94 529, ,86 222, ,52 99, ,96 187,77 182,52 493, ,96 222, ,9 78, ,96 181,79 196,9 519, , , ,48 56,1 1529,86 184,35 218,48 478, , , ,6 68, , ,66 24,6 399, , ,63 Ratarata 199,78 84, ,3 1812,6 199,78 484, ,3 2212,32 6 Energi transesterifikasi (kj/kg) Suhu ( C) Static-mixer Blade-agitator Gambar 46. Kebutuhan energi transesterifikasi yang dibutuhkan untuk static-mixer dan blade agitator Kebutuhan Energi Untuk Pemanasan Awal dan Purifikasi Distribusi energi input (Q in ) dalam produksi biodiesel menggunakan static-mixer dan blade agitator dapat dilihat dalam Gambar 47 dan 48. Energi 79

34 input berasal dari: 1) energi panas dari heater untuk pemanasan awal RBDPO dan MeOH, 2) energi panas dari heater untuk proses transesterifikasi dan energi dari motor untuk sirkulasi (static-mixer), dan 3) energi panas dari heater untuk memanaskan air yang digunakan untuk pencucian dan pengeringan serta energi motor untuk mengalirkan air panas dan produk dari tangki utama ke tangki pencucian. Dari Gambar 47 dan 48 menunjukkan bahwa penurunan energi untuk proses transeterifikasi dengan peningkatan suhu reaksinya dikompensasi dengan energi untuk pemanasan awal RBDPO. Penggunaan energi untuk pemanasan awal RBDPO lebih besar untuk suhu yang lebih tinggi. Konsumsi energi pada setiap tahap proses produksi disajikan dalam Tabel 12. Dalam penelitian ini, purifikasi biodiesel dilangsungkan dengan menggunakan pencucian air panas. Metode purifikasi dengan pencucian seperti ini mempunyai kelemahan yaitu proses dilakukan dengan waktu yang relatif lama hingga mencapai waktu 2,5 jam serta membutuhkan jumlah air yang cukup banyak. Di samping itu dibutuhkan proses evaporasi air dalam biodiesel hasil pencucian Energi (kj/kg) C 55 C 6 C 65 C 7 C Pemanasan awal Transesterifikasi Purifikasi Gambar 47. Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor static-mixer 8

35 Energi (kj/kg) C 55 C 6 C 65 C 7 C Pemanasan awal Transesterifikasi Purifikasi Gambar 48. Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor blade agitator Rasio Energi Rasio energi (Er) dihitung berdasarkan persamaan [27]. Secara garis besar hasil perhitungan Er biodiesel dengan static-mixer dan blade agitator disajikan dalam Tabel 12. Dari hasil pengukuran tersebut dapat dilihat bahwa suhu reaksi tidak begitu memberikan pengaruh yang jelas terhadap rasio energi. Hal ini dikarenakan kecenderungan adanya kompensasi dari energi transesterifikasi terhadap energi pemanasan awal. Fenomena ini terjadi baik untuk penggunaan static-mixer dan blade agitator. Dalam Gambar 49 dan 5 disajikan gambar atau pola perubahan Er untuk yang tanpa melibatkan energi purifikasi dan memasukan energi purifikasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa Er rata-rata untuk memproduksi biodiesel dari RBDPO dengan menggunakan static-mixer adalah 3,63 dan nilai ini lebih tinggi dibandingkan rasio energi rata-rata yang dihasilkan menggunakan blade agitator yaitu 1,51. Pemasukan energi purifikasi dalam perhitungan mengakibatkan Er rata-rata menurun dengan nilai,57 dan,46 masing-masing untuk static-mixer dan blade agitator. Dengan mempertimbangkan definisi Er yang digunakan dalam 81

36 dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa nilai Er yang tinggi memerlukan input energi yang rendah untuk meningkatkan energi biodiesel dari kandungan energi bahan baku yang diolah. Pada lampiran 26 hingga 3 disajikan data dan hasil perhitungan Er untuk suhu 5, 55, 6, 65, dan 7 o C. Tabel 12. Perhitungan Rasio Energi (Er) T ( o C) Er (Static-mixer) Er (Blade agitator) Q in (kj/kg) Er dengan purifikasi Er tanpa purifikasi Q in (kj/kg) Er dengan purifikasi Er tanpa purifikasi 5 181,45,57 3,67 222,36,46 1, ,77,57 3,65 222,39,47 1, ,79,57 3, ,24,46 1, ,35,57 3, ,98,46 1, ,66,56 3, ,63,47 1,61 Rata-rata 1812,6,57 3, ,32,46 1,51 Keterangan : Er : (Q 2 -Q 1 )/Qin Q in : jumlah energi pemanasan awal, transesterifikasi, dan purifikasi (kj, lihat Tabel 12) Q 2 : nilai kalor biodiesel dari RBDPO sebesar 37,8 MJ/kg (Pischinger et al.,1982) Q 1 : nilai kalor RBDPO sebesar 36,7 MJ/kg (Gros, 29) 4 Rasio energi Suhu ( o C) Static-mixer Blade agitator Gambar 49. Rasio energi produksi biodiesel dengan tanpa melibatkan energi purifikasi pada saat nilai ME mencapai 96,5 % w/w 82

37 2 1.6 Rasio energi Suhu ( o C) Static-mixer Blade agitator Gambar 5. Rasio energi produksi biodiesel dengan melibatkan energi purifikasi pada saat nilai ME mencapai 96,5 % w/w Pada Tabel 13 disajikan hasil perhitungan dari penelitian lain tentang Er yang dioperasikan pada kondisi yang berbeda. Terdapat disparitas nilai Er dari hasil penelitian yang ada, Kinast (23) and Lurgi (28) menghasilkan pehitungan Er pengolahan biodiesel dari minyak sawit yang dioperasikan pada suhu 6 o C sebesar 31,8 and 32,3 (lihat Tabel 14). Nilai rasio energi tersebut jauh lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan, akan tetapi nilai-nilai tersebut diperoleh dengan dasar perhitungan yang berbeda yaitu dengan membandingkan energi biodiesel terhadap energi proses serta tanpa melibatkan kandungan energi yang terdapat dalam minyak sawit sebesar 36,7 MJ/kg (Gros, 29) serta dalam perhitungan tidak melibatkan energi input dari pupuk yang dikonsumsi dan transportasi. Sagara (26) juga melaporkan nili Er yang diperoleh dari pengolahan biodiesel dari minyak sawit menggunakan metoda non-catalytic bubble column reaktor sebesar 6,3. Nilai rasio energi tersebut juga diperoleh dengan dasar perhitungan yang sama tanpa melibatkan kandungan energi minyak sawit yang nilainya cukup besar 36,7 MJ/kg dan energi input atau pupuk selama penanaman sawit 83

38 Di lain pihak hasil penelitian Er yang dilakukan oleh Pimentel dan Patzek (25) adalah,79. Dalam penelitian tersebut nilai Er didasarkan pada persamaan yang tidak komprehensif dan hanya didasarkan pada perbandingan nilai energi biodiesel terhadap jumlah energi untuk penanaman kedelai dan pengolahan kedelai menjadi biodiesel dan tepung kedelai. Sheehan et. al. (1998) melaporkan penelitian Er dengan lebih detail dengan melibatkan fraksi biodiesel dan produk lain sehingga dihasilkan nilai yang lebih jelas dan komprehensif. Nilai Er dari perhitungan ini dengan melibatkan energi untuk kultivasi, penggilingan, transesterifikasi dan transportasi serta nilai Er yang dihasilkan adalah 3,21. Ahmed (1994), dan Hill et. al. (26) juga melaporkan perhitungan Er biodiesel dari minyak kedelai masing-masing sebesar 2,51, dan 1,93. Dalam perhitungannya dilibatkan nilai kalori co-product biodiesel (gliserol dan tepung kedelai). Nilai-nilai Er tersebut di atas cukup beragam karena diperoleh dengan perhitungan (persamaan) yang berbeda. Dalam perhitungan-perhitungan Er tersebut, nilai energi input berasal dari pupuk dilibatkan (tanpa melibatkan input sinar matahari), energi listrik dan boiler untuk pengolahan biodiesel, pengurangan energi yang terkandung dalam tepung biji kedelai (soybean meal), energi untuk pengangkutan/transportasi. Di samping itu masing-masing percobaan digunakan reaktor dengan kapasitas dan kondisi proses yang berbeda (molar rasio, suhu, tekanan, dan kecepatan pengadukan). Tabel 13. Hasil perhitungan rasio energi (Er) Rasio Sumber Persamaan energi (Er) 3,63 Hasil penelitian Pers. [27]* 1,51 Hasil penelitian Pers. [27]**,79 Pimentel and Patzek (25) Er = E b /(E s +E p ) 3,21 Sheehan et al. (1998) Er=E b /(E 1 f 1 + E 2 f 2 + E 3 f 3 ) 2,51 Ahmed et al. (1994) Er = (E b +E c )/(E 1 +E 2 +E 3 ) 1,93 Hill et al. (26) Er = (E b +E c )E tp 32,3 Lurgi (28) Er = E b /E tp 31,8 Kinast (23) Er = E b /E tp 6,3 Sagara (26) Er = E cb /E tp keterangan: *: tanpa energi purifikasi, **: dengan energi purifikasi 84

39 Eb: energi biodiesel (kj / kg) Es: energi untuk pemanenan kedelai tanpa energi untuk transportasi (kj / kg) Ep: energi input pengolahan biodiesel dan tepung kedelai tanpa energi transportasi (kj/kg) Ec: nilai kalori biodiesel co-products (glycerol and soy flour) (kj / kg) E cb : nilai kalori biodiesel (kj/kg) E s : energi supply dalam reaktor (kj/kg) E1: energi inputs untuk kultivasi and transportasi (kj / kg) E2: energi input untuk penggilingan dan transportasi (kj / kg) E3: energi input untuk transesterifikasi dan transportasi (kj / kg) Etp : energi transesterifikasi dan purifikasi (kj/kg) f 1, 2,3 : fraksi dari energi input biodiesel (%) 85

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kebutuhan Daya Static Mixing Reactor Alat penelitian dirancang dan dibangun tanpa perhitungan rancangan struktural yang rinci. Meskipun demikian, perhitungan lebih rinci untuk

Lebih terperinci

III. METODA PENELITIAN

III. METODA PENELITIAN III. METODA PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro (BBIA), Jalan Ir. H. Juanda No 11 Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Maret

Lebih terperinci

METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Surya bagian Teknik Energi Terbarukan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 Juni 2011.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dibagi menjadi: biofuel (5%), panas bumi (5%), biomasa nuklir, tenaga air dan tenaga angin (5%), batu bara cair (2%)

I. PENDAHULUAN. Dibagi menjadi: biofuel (5%), panas bumi (5%), biomasa nuklir, tenaga air dan tenaga angin (5%), batu bara cair (2%) 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Bahan bakar minyak berbasis fosil seperti solar, premium (bensin), premix dan minyak tanah sangat memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan energi nasional antara

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Alat Penukar Panas Alat penukar panas yang dirancang merupakan tipe pipa ganda dengan arah aliran fluida berlawanan. Alat penukar panas difungsikan sebagai pengganti peran

Lebih terperinci

ABSTRACT Study on Mixing Process Using Static-mixer Method to Increase Transesterification Efficiency of Refined Palm Oil into Biodiesel.

ABSTRACT Study on Mixing Process Using Static-mixer Method to Increase Transesterification Efficiency of Refined Palm Oil into Biodiesel. ABSTRACT RIZAL ALAMSYAH. Study on Mixing Process Using Static-mixer Method to Increase Transesterification Efficiency of Refined Palm Oil into Biodiesel. SUPERVISORS: ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Data metode Joback

Lampiran 1 Data metode Joback Lampiran 1 Data metode Joback Non ring increments Tc Pc Vc Tb Tf H G a b c d CH 3 1.41E-02-1.20E-03 65.00 23.58-5.10-76.45-43.96 19.50-8.08E-03 1.53E-04-9.67E-08 >CH 2 1.89E-02 0.00E+00 56.00 22.88 11.27-20.64

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Merujuk pada hal yang telah dibahas dalam bab I, penelitian ini berbasis pada pembuatan metil ester, yakni reaksi transesterifikasi metanol. Dalam skala laboratorium,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Minyak Goreng Bekas. Minyak goreng bekas yang digunakan dalam penelitian adalah yang berasal dari minyak goreng bekas rumah tangga (MGB 1), minyak goreng

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian 17 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Juni 2011, bertempat di Laboratorium Surya, Bagian Teknik Energi Terbarukan, Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI BAB 2 DASAR TEORI Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang diproduksi dari sumber nabati yang dapat diperbaharui untuk digunakan di mesin diesel. Biodiesel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

BAB II DISKRIPSI PROSES

BAB II DISKRIPSI PROSES 14 BAB II DISKRIPSI PROSES 2.1. Spesifikasi Bahan Baku dan Produk 2.1.1. Spesifikasi bahan baku a. CPO (Minyak Sawit) Untuk membuat biodiesel dengan kualitas baik, maka bahan baku utama trigliserida yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dapat dilaporkan dalam dua analisa, yakni secara kuantitatif dan kualitatif. Data analisa kuantitatif diperoleh dari analisa kandungan gliserol total, gliserol

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Variabel Terhadap Warna Minyak Biji Nyamplung Tabel 9. Tabel hasil analisa warna minyak biji nyamplung Variabel Suhu (C o ) Warna 1 60 Hijau gelap 2 60 Hijau gelap

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga, 24 BAB III METODA PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semua alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil & Pembahasan 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Biodiesel dari Mikroalga Chlorella sp Pada penelitian ini, digunakan mikroalga Chlorella Sp sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Penelitian ini

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Produksi Biodiesel

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Produksi Biodiesel 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Produksi Biodiesel Lee et al. (2007) menyatakan salah satu sumber energi yang menjadi perhatian adalah bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui sehingga ketersediaannya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Bahan Baku Minyak Minyak nabati merupakan cairan kental yang berasal dari ekstrak tumbuhtumbuhan. Minyak nabati termasuk lipid, yaitu senyawa organik alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN 4.1 Data Bahan Baku Minyak Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak jarak. Minyak jarak sendiri memiliki karakteristik seperti Densitas, Viskositas, Flash

Lebih terperinci

Kinetika Reaksi Transesterifikasi CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak

Kinetika Reaksi Transesterifikasi CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak Kinetika Reaksi Transesterifikasi CPO terhadap Produk Metil Palmitat dalam Reaktor Tumpak Tania Surya Utami, Rita Arbianti, Doddy Nurhasman Departemen Teknik Kimia,Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT. SKRIPSI/TUGAS AKHIR APLIKASI BAHAN BAKAR BIODIESEL M20 DARI MINYAK JELANTAH DENGAN KATALIS 0,25% NaOH PADA MOTOR DIESEL S-111O Nama : Rifana NPM : 21407013 Jurusan Pembimbing : Teknik Mesin : Dr. Rr. Sri

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

RASIO MOL DAN RASIO ENERGI PROSES PRODUKSI BIODIESEL MINYAK JELANTAH SECARA NON-KATALITIK DENGAN REAKTOR KOLOM GELEMBUNG

RASIO MOL DAN RASIO ENERGI PROSES PRODUKSI BIODIESEL MINYAK JELANTAH SECARA NON-KATALITIK DENGAN REAKTOR KOLOM GELEMBUNG RASIO MOL DAN RASIO ENERGI PROSES PRODUKSI BIODIESEL MINYAK JELANTAH SECARA NON-KATALITIK DENGAN REAKTOR KOLOM GELEMBUNG Oleh: NERA CANDRA CHOIRUNNISA F14104082 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR Jurnal Rekayasa Produk dan Proses Kimia JRPPK 2015,1/ISSN (dalam pengurusan) - Astriana, p.6-10. Berkas: 07-05-2015 Ditelaah: 19-05-2015 DITERIMA: 27-05-2015 Yulia Astriana 1 dan Rizka Afrilia 2 1 Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Perpindahan Kalor Perpindahan kalor terjadi karena adanya perbedaan suhu, kalor akan mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat suhu rendah. Perpindahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Hasil penentuan asam lemak bebas dan kandungan air Analisa awal yang dilakukan pada sampel CPO {Crude Palm Oil) yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Dipresentasikan oleh : 1. Jaharani (2310100061) 2. Nasichah (2310100120) Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP. Laporan Tesis PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED Oleh : Yanatra NRP. 2309201015 Pembimbing : Prof. Dr. Ir. HM. Rachimoellah, Dipl. EST

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan Kimia Dan Peralatan. 3.1.1. Bahan Kimia. Minyak goreng bekas ini di dapatkan dari minyak hasil penggorengan rumah tangga (MGB 1), bekas warung tenda (MGB 2), dan

Lebih terperinci

Rerkayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati Menjadi Biodiesel 1

Rerkayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati Menjadi Biodiesel 1 Rerkayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati Menjadi 1 Rizal Alamsyah 2, Armansyah H.Tambunan 3, Y. Aris Purwanto 3, Dadan

Lebih terperinci

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Disusun oleh : Dyah Ayu Resti N. Ali Zibbeni 2305 100 023

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.8. Latar Belakang Indonesia mulai tahun 2007 dicatat sebagai produsen minyak nabati terbesar di dunia, mengungguli Malaysia, dengan proyeksi produksi minimal 17 juta ton/tahun di areal

Lebih terperinci

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang)

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang) KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang) atau kaliki (Banten), merupakan salah satu jenis tanaman yang berpotensi

Lebih terperinci

LAMPIRANA DIAGRAM ALIR METODE PENELITIAN

LAMPIRANA DIAGRAM ALIR METODE PENELITIAN LAMPIRANA DIAGRAM ALIR METODE PENELITIAN Tilupl Gambar A.1 Diagram Alir Metode Penelitian A-1 LAMPIRAN B PROSEDUR PEMBUATAN COCODIESEL MELALUI REAKSI METANOLISIS B.l Susunan Peralatan Reaksi metanolisis

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

BAB 3 PEMODELAN TANGKI REAKTOR BIODIESEL

BAB 3 PEMODELAN TANGKI REAKTOR BIODIESEL BAB 3 PEMODELAN TANGKI REAKTOR BIODIESEL 3.1. Proses Reaksi Biodiesel Dari serangkaian proses pembuatan biodiesel, proses yang terpenting adalah proses reaksi biodiesel yang berlangsung di dalam tangki

Lebih terperinci

Reaksi Transesterifikasi Multitahap-Temperatur tak Seragam untuk Pengurangan Kadar Gliserol Terikat

Reaksi Transesterifikasi Multitahap-Temperatur tak Seragam untuk Pengurangan Kadar Gliserol Terikat PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411-4216 Reaksi Transesterifikasi Multitahap-Temperatur tak Seragam untuk Pengurangan Kadar Gliserol Terikat Tirto Prakoso, Tatang H Soerawidjaja

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli September 2013 bertempat di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli September 2013 bertempat di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli September 2013 bertempat di Laboratorium Pengolahan Limbah Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan April September 2013 bertempat di Laboratorium Kimia dan Biokimia, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

c. Kenaikan suhu akan meningkatkan konversi reaksi. Untuk reaksi transesterifikasi dengan RD. Untuk percobaan dengan bahan baku minyak sawit yang

c. Kenaikan suhu akan meningkatkan konversi reaksi. Untuk reaksi transesterifikasi dengan RD. Untuk percobaan dengan bahan baku minyak sawit yang KESIMPULAN Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1. Studi eksperimental pembuatan biodiesel dengan Reactive Distillation melalui rute transesterifikasi trigliserida

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010

PEMBUATAN BIODIESEL. Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu Tanggal : 27 Oktober 2010 PEMBUATAN BIODIESEL Disusun oleh : Dhoni Fadliansyah Wahyu 109096000004 Kelompok : 7 (tujuh) Anggota kelompok : Dita Apriliana Fathonah Nur Anggraini M. Rafi Hudzaifah Tita Lia Purnamasari Tanggal : 27

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR

PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR PEMBUATAN BIODIESEL SECARA SIMULTAN DARI MINYAK JELANTAH DENGAN MENGUNAKAN CONTINUOUS MICROWAVE BIODISEL REACTOR Galih Prasiwanto 1), Yudi Armansyah 2) 1. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Jelantah Dengan Menggunakan Metil Asetat Sebagai Pensuplai Gugus Metil. Oleh : Riswan Akbar ( )

Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Jelantah Dengan Menggunakan Metil Asetat Sebagai Pensuplai Gugus Metil. Oleh : Riswan Akbar ( ) Karakteristik Biodiesel Dari Minyak Jelantah Dengan Menggunakan Metil Asetat Sebagai Pensuplai Gugus Metil Oleh : Riswan Akbar (4207 100 091) Latar Belakang Terjadinya krisis energi, khususnya bahan bakar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melihat cadangan sumber minyak bumi nasional semakin menipis, sementara konsumsi energi untuk bahan bakar semakin meningkat. Maka kami melakukan penelitian-penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari,Nani Wahyuni Dosen Tetap Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Malang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Karakteristik Bahan Baku Biodiesel. Propertis Minyak Kelapa (Coconut Oil)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Karakteristik Bahan Baku Biodiesel. Propertis Minyak Kelapa (Coconut Oil) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Bahan Baku Minyak Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini diantaranya yaitu minyak Jarak dan minyak Kelapa. Kedua minyak tersebut memiliki beberapa karakteristik

Lebih terperinci

PENGARUH RASIO REAKTAN DAN JUMLAH KATALIS TERHADAP PROSES PEMBENTUKAN METIL ESTER DARI PALM FATTY ACID DISTILLATE (PFAD)

PENGARUH RASIO REAKTAN DAN JUMLAH KATALIS TERHADAP PROSES PEMBENTUKAN METIL ESTER DARI PALM FATTY ACID DISTILLATE (PFAD) PENGARUH RASIO REAKTAN DAN JUMLAH KATALIS TERHADAP PROSES PEMBENTUKAN METIL ESTER DARI PALM FATTY ACID DISTILLATE (PFAD) LEILY NURUL KOMARIAH, ST.MT JURUSAN TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS SRIWIJAYA Jl. Raya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Energi Departemen Teknik Mesin dan Biosistem dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu Teknologi

Lebih terperinci

LAPORAN SKRIPSI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT BERPROMOTOR GANDA DALAM REAKTOR FIXED BED

LAPORAN SKRIPSI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT BERPROMOTOR GANDA DALAM REAKTOR FIXED BED LAPORAN SKRIPSI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT BERPROMOTOR GANDA DALAM REAKTOR FIXED BED Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Achmad Roesyadi, DEA Oleh : M Isa Anshary 2309 106

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Pembuatan pelumas..., Yasir Sulaeman Kuwier, FT UI, 2010.

LAMPIRAN A. Pembuatan pelumas..., Yasir Sulaeman Kuwier, FT UI, 2010. LAMPIRAN A Transesterifikasi Transesterifikasi ini merupakan tahap awal pembuatan pelumas bio dengan mereaksikan minyak kelapa sawit dengan metanol dengan bantuan katalis NaOH. Transesterifikasi ini bertujuan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Mesin pendingin atau kondensor adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang

Lebih terperinci

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT KALOR BIODIESEL DARI HASIL ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS PdCl 2 DAN TRANSESTERIFIKASI DENGAN KATALIS KOH MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum) Oleh : Muhibbuddin Abbas 1407100046 Pembimbing I: Ir.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA 9 PENDAHULUAN Departemen Energi Amerika Serikat dalam International Energy utlook 2005 memperkirakan konsumsi energi dunia akan meningkat sebanyak 57% dari tahun 2002 hingga 2025. Di lain pihak, persediaan

Lebih terperinci

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving

Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving PERPINDAHAN PANAS Panas berpindah dari objek yang bersuhu lebih tinggi ke objek lain yang bersuhu lebih rendah Driving force perbedaan suhu Laju perpindahan = Driving force/resistensi Proses bisa steady

Lebih terperinci

kimia LAJU REAKSI 1 TUJUAN PEMBELAJARAN

kimia LAJU REAKSI 1 TUJUAN PEMBELAJARAN KTSP & K-13 kimia K e l a s XI LAJU REAKSI 1 TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami konsep molaritas. 2. Memahami definisi dan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi Pasteurisasi ialah proses pemanasan bahan makanan, biasanya berbentuk cairan dengan temperatur dan waktu tertentu dan kemudian langsung didinginkan secepatnya. Proses

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU

LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU LAMPIRAN 1 DATA BAHAN BAKU L1.1 KOMPOSISI ASAM LEMAK BAHAN BAKU CPO HASIL ANALISIS GCMS Tabel L1.1 Komposisi Asam Lemak CPO Dari perhitungan, maka diperoleh berat molekul rata-rata FFA CPO sebesar 272,30

Lebih terperinci

Tegangan Tembus (kv/2,5 mm) Jenis Minyak RBD FAME FAME + aditif

Tegangan Tembus (kv/2,5 mm) Jenis Minyak RBD FAME FAME + aditif Hasil Pengujian Tegangan Tembus : Tegangan Tembus (kv/2,5 mm) Jenis Minyak RBD FAME FAME + aditif ASTM D3487 Minyak Zaitun 60 60 54 Minyak kanola 27 36 30 Minyak Jagung 28 34 29 >30 Minyak Kedelai 30 48

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai

lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui (renewable), dapat terurai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini bahan bakar minyak bumi merupakan sumber energi utama yang digunakan di berbagai negara. Tingkat kebutuhan manusia akan bahan bakar seiring meningkatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Solar Menurut Syarifuddin (2012), solar sebagai bahan bakar yang berasal dari minyak bumi yang diproses di tempat pengilangan minyak dan dipisah-pisahkan hasilnya berdasarkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES KARYA TULIS ILMIAH Disusun Oleh: Achmad Hambali NIM: 12 644 024 JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Hasil Pengujian Variasi sudut kondensor dalam penelitian ini yaitu : 0 0, 15 0, dan 30 0 serta aliran air dalam kondensor yaitu aliran air searah dengan laju uap (parallel

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN TABEL DATA HASIL PENELITIAN Tabel 1. Perbandingan Persentase Perolehan Rendemen Lipid dari Proses Ekstraksi Metode Soxhlet dan Maserasi Metode Ekstraksi Rendemen Minyak (%) Soxhletasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan jaman, kebutuhan manusia akan bahan bakar semakin meningkat. Namun, peningkatan kebutuhan akan bahan bakar tersebut kurang

Lebih terperinci

PRODUKSI BIOFUEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT CaO/γ-Al 2 O 3 dan CoMo/γ-Al 2 O 3

PRODUKSI BIOFUEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT CaO/γ-Al 2 O 3 dan CoMo/γ-Al 2 O 3 PRODUKSI BIOFUEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT CaO/γ-Al 2 O 3 dan CoMo/γ-Al 2 O 3 Maya Kurnia Puspita Ayu 238.1.66 Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Achmad Roesyadi, DEA 2. Ir. Ignatius Gunardi,

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi

Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 2, No. 2, Mei 2011 79 Sintesis Metil Ester dari Minyak Goreng Bekas dengan Pembeda Jumlah Tahapan Transesterifikasi Wara Dyah Pita Rengga & Wenny Istiani Program Studi Teknik

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO Dosen Pembimbing : Dr. Lailatul Qadariyah, ST. MT. Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA. Safetyllah Jatranti 2310100001 Fatih Ridho

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Reaksi Saponifikasi tripalmitin

Gambar 2.1 Reaksi Saponifikasi tripalmitin I. JUDUL : Kinetika Reaksi Saponifikasi Etil Asetat II. TANGGAL PERCOBAAN : Rabu, 16 November 2011 III. TUJUAN : 1. Untuk memberikan gambaran bahwa reaksi penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml) LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi Berat Mikroalga Kering (gr) Volume Pelarut n-heksana Berat minyak (gr) Rendemen (%) 1. 7821 3912 2. 8029 4023 20 120 3. 8431

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak jelantah merupakan salah satu bahan baku yang memiliki peluang untuk produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data statistik menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci