BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN 2.1 Pengertian Implementasi Arti kata implementasi berasal dari bahasa inggris to implement yang berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi sebagai : those actions by public or private individuals or group that are directed at the achievement of obyectives set forth in prior policy decitions (tindakantindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan) Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit. 40 Andi Zainal Abidin adalah salah seorang ahli hukum pidana indonesia yang tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak pidana. 41 Ada pun alasannya sebagai berikut: 39 Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung, h Ibid. 29

2 30 a. Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana. b. Ditinjau dari segi bahasa indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat. c. Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van hetwelk een persoon stafbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan. 42 Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai definisi strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu : 1. Perbuatan pidana Moelyatno menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 43 Dapat diartikan demikian karena kata perbuatan lebih menunjuk pada sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). 44 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai 42 Ibid, h Moljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h Ibid.

3 31 pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang Peristiwa pidana Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam perundang-undangan formal indonesia, istilah peristiwa pidana pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14 ayat (1) secara substansif, 46 pengertian dari istilah peristiwa pidana lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam Delik Delik adalah suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materieel diisyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan, yang melawan hukum formil materieel, dan tidak adanya dasar yang membenarkan perbuatan itu Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, h Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h Ibid. 48 Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 222.

4 32 4. Tindak pidana Pengertian tindak pidana, menurut simons adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie tijdelijke byzondere straf bepalingen S dan Undang-Undang R.1. (dahulu) No. 8 tahun 1948 Pasal Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman (Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951, tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, 19,21,22). 51 Pendapat beberapa ahli mengenai tindak pidana yaitu : a. Menurut Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, (selanjutnya disebut Sudarto II), h Ibid. 52 Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 182.

5 33 b. Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. 53 c. Menurut Utrecht, strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). 54 Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa pembentuk undangundang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. 55 Pendapat Prof. Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat. 56 Setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum) Ibid, h Ibid, h Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 56 Ibid. 57 Ibid, h. 50.

6 34 Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dapat dikemukakan menurut pendapat para ahli, yaitu: a. Menurut simons, unsur-unsur Strafbaar Feit adalah 1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak-berbuat atau membiarkan). 2. Diancam dengan pidana. 3. Melawan hukum. 4. Dilakukan dengan kesalahan. 5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 58 b. Loebby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi: 1. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif 2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana pidana oleh undangundang. 3. Perbuatan itu dianggap melawan hukum. 4. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan. 5. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. 59 c. EY. Kanter dan SR. Sianturi, unsur-unsur tindak pidana adalah 1. Subjek. 2. Kesalahan. 3. Bersifat Melawan Hukum 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana. 58 Sudarto II, Loc.Cit. 59 Loebby Loqman, 2010, Tentang Tindak Pidana dan Beberapa Hal Penting dalam Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.

7 35 5. Waktu, tempat, dan keadaan. 60 d. Van Hamel, unsur-unsur Starafbaar Feit adalah: 1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang. 2. Melawan hukum. 3. Dilakukan dengan kesalahan dan 4. Patut dipidana. 61 Kanter dan Sianturi menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Menurut Loebby Loqman, terdapat tiga kemungkinan dalam perumusan tindak pidana: pertama, tindak pidana dirumuskan baik nama maupun unsurunsurnya. Kedua, adalah tindak pidana yang hanya dirumuskan unsurnya saja, dan ketiga, tindak pidana menyebutkan namanya saja tanpa menyebutkan unsurunsurnya. 62 Bagi tindak pidana yang tidak menyebutkan unsur-unsurnya atau tidak menyebut namanya, maka nama serta unsurnya dapat diketahui melalui doktrin. 63 Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsurunsur tindak pidana, yaitu : 60 EY. Kanter dan R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni, Bandung, h Sudarto II, Loc.Cit. 62 Loebby Loqman, Loc.Cit. 63 Loebby Loqman, Loc.Cit.

8 36 a. Unsur objektif Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari: 1) Sifat melanggar hukum. 2) Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. 3) Kausalitas Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. b. Unsur subyektif Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari: 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa). 2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. 3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

9 37 4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. 5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP. Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum pidana. Salah satu pihak berpendapat bahwa masalah ini merupakan unsur tindak pidana, di pihak lain berpendapat bukanlah merupakan unsur tindak pidana, masalah tersebut adalah: a) Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana (Bijkomende voor waarde straftbaarheid); contoh: Pasal 123, 164, dan Pasal 531 KUHP. b) Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak pidana(voorwaarden van vervolg baarheid); contoh: Pasal 310, 315, dan 284 KUHP. Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat timbulnya kejadian atau peristiwa. Ada pihak lain yang berpendapat ini merupakan unsur tindak pidana, oleh karena itu jika syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen perbuatan pidana terdiri dari: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan). Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang

10 38 dimaksud pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya adalah seorang PNS. b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaan yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan dilakukan di muka umum. c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seorang terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun. d. Unsur melawan hukum yang obyektif. Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan. e. Unsur melawan hukum yang subyektif. Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat

11 39 dengan maksud kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik, contohnya mengambil barang untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu mengambil barang untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian. 64 Sehubungan dengan pengertian pidana itu, penjatuhan sanksi berupa tindakan diterapkan di dalam hal-hal tertentu, dengan syarat-syarat yang ditentukan ini terutama diterapkan kepada anak-anak, dan terhadap orang-orang yang jiwanya terbelakang atau terganggu karena penyakit. Tindakan-tindakan ini tidak dimaksudkan untuk menerapkan penderitaan, melainkan bermaksud untuk memperbaiki, menyembuhkan dan mendidik orangorang tertentu guna melindungi masyarakat. 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masalah tindakan ini penerapannya hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya tumbuh dengan tidak sempurna atau karena terganggu kejiwaannya (sakit jiwa). Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan 64 Teguh Prasetyo, 2011, Op.Cit, h Muladi dan Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 24.

12 40 kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidana/sanksi tersebut. Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. 66 Tindak pidana tersebut dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan, misalnya dalam konsep KUHP yang menyatakan bahwa: (1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan, perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. (2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. (3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar. Penempatan kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu sifat melawan hukum, yaitu hukum tak tertulis merupakan jembatan hukum agar penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dapat menjangkau keadilan substantif atau keadilan materiil. Penempatan sifat melawan hukum materiil tersebut juga untuk menjangkau keseimbangan dalam kehidupan 66 Barda Nawawi Arief, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 49.

13 41 masyarakat, karena menurut Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat Jenis-Jenis Tindak Pidana Di bawah ini akan disebut pelbagai pembagian jenis tindak pidana : 1. Kejahatan dan Pelanggaran. KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan. 68 Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum ialah perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan dengan keadilan 69, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. 70 Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala in se, artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. misalnya : pembunuhan, 67 Muladi, Op.Cit, h Teguh Prasetyo, Op.Cit, h Jan Remmenlink, 2003, Hukum Pidana, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 101.

14 42 pencurian. 71 Sedangkan wetsdelict atau pelanggaran adalah perbuatanperbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undangundang mengancam dengan sanksi pidana. 72 Selain perbedaan kualitatif tersebut, jonkers sebagaimana dikutip zainal abidin menyebut adanya perbedaan kuantitatif yang berdasarkan kriminologi, yaitu pelanggaran dipandang tidak begitu berat daripada kejahatan. Pandangan dari segi kriminologi tersebut bukanlah pandangan memori van Toelichting yang membedakan delik hukum dan delik undang-undang 73, tetapi pertamatama diperkuat dengan hal bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada sanksi pembuat kejahatan. Kedua diperkuat dengan hal bahwa percobaan untuk melakukan pelanggaran dan pembantuan dalam pelanggaran tidak merupakan delik (Pasal 54 dan Pasal 60 KUHP) Delik Formil dan Delik Materiil Atas dasar cara perumusannya, delik dibedakan antara delik formil dan delik materiil. Delik formil menekankan pada dilarangnya perbuatan, sedangkan delik materiil menekankan pada dilarangnya akibat dari perbuatan. 75 Contohnya adalah pembunuhan sebagai delik materiil, peristiwa dianggap telah terjadi jika ada yang mati. Berbeda dengan pencurian yang merupakan delik formil, peristiwa dianggap telah terjadi bukan pada apakah 71 Erdianto Effendi, Op.Cit, h Mahrus Ali, Loc.Cit. 73 Zainal Abidin Farid, Op.Cit, h Zainal Abidin Farid, Loc.Cit. 75 Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 101.

15 43 suatu benda dimaksudkan untuk dipinjam atau dimiliki, proses pindahnya suatu benda telah cukup membuat dianggap selesainya suatu tindak pidana formil Delik Comisi dan Delik Omisi a. Delik comisi: terjadinya delik dengan melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu peraturan hukum pidana. 77 b. Delik omisi : terjadinya delik dengan tidak melakukan perbuatan, padahal seharusnya melakukan perbuatan. Misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka persidangan seperti yang tercantum dalam Pasal 522 KUHP Delik dolus dan delik culpa a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, seperti dengan sengaja atau diketahuinya. 79 misalnya : Pasal-pasal 162,197, 310, 338 KUHP. b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur. 80 misalnya : Pasal-pasal 195, 359, 360 KUHP. 5. Delik tunggal dan delik berganda. a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. Delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan. Misalnya: pencurian, penipuan dan pembunuhan Erdianto Effendi, Loc.Cit. 77 Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h Ibid. 79 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h Sudarto II, Op.Cit, h Mahrus Ali, Op.Cit, h. 102.

16 44 b. Delik berganda : delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya: Pasal 480 KUHP yang menentukan bahwa untuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan, maka penadahan itu harus dilakukan dalam beberapa kali Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus. a. Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misalnya: delik merampas kemerdekaan seseorang dalam Pasal 333 KUHP. Delik ini maksudnya selama orang yang dirampas kemerdekaannya belum dilepas, maka selama itu pula delik itu masih berlangsung terus menerus. 83 b. Delik yang tidak berlangsung terus: delik yang memiliki ciri, bahwa keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus-menerus seperti pencurian dan pembunuhan Delik aduan dan Delik Biasa. a. Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, misal penghinaan (Pasal 310 KUHP), perzinahan (Pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, Pasal 335 ayat 1 sub 2 KUHP yo. ayat 2). 85 Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, yaitu: 82 Mahrus Ali, Loc.Cit. 83 Jan Remmelink, Op.Cit, h Jan Remmelink, Loc.Cit. 85 Sudarto II, Op.Cit, h. 59.

17 45 Delik aduan yang absolut adalah delik yang mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk penuntutan seperti pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP. 86 Delik aduan relatif, disebut relatif, karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena. Misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan (3) KUHP). 87 b. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya. Misalnya: pembunuhan, pencurian, dan penggelapan Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya. a. Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan seperti dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. 89 b. Delik yang dikualifikasi adalah delik dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi diperberat, seperti dalam Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP yang merupakan bentuk kualifikasi dari delik pencurian dalam Pasal 362 KUHP Mahrus Ali, Op.Cit, h Teguh Prasetya, Op.Cit, h Mahrus Ali, Loc.Cit. 89 Zainal Abidin, Op.Cit, h Jan Remmelink, Op.Cit, h. 82.

18 Pengertian Tindak Pidana Kehutanan Pengertian tindak pidana kehutanan, tidak kita temukan dalam undangundang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan baik dalam pasal-pasal bersangkutan maupun penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun Kendatipun dalam Undang-Undang Kehutanan tidak ditemukan pengertian tindak pidana kehutanan, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tindak pidana di muka, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang tindak pidana kehutanan yang tentu saja tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Adapun jenis-jenis tindak pidana kehutanan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yaitu: 1. Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan: a. Tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan. b. Tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. c. Secara tidak sah. 2. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan

19 47 3. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. 4. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. 5. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja: a. Mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara. b. Menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara. 6. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya: a. Menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar. b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

20 48 c. Menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. 7. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja: a. Melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan. b. Memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu. c. Melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. 8. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja: a. Melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. 9. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

21 Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja: a. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. b. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin. 11. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja : a. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan. b. Membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. 12. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya: a. Mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. b. Menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. c. Membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

22 Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja: a. Menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. b. Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. c. Mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, secara langsung atau tidak langsung sah. d. Mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sah. 14. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya: a. Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya. b. Menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. c. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahuinya atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan

23 51 atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. 15. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja: a. Memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. b. Menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan. c. Memindahtangankan atau menjual izin yang di keluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan menteri. 16. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya: a. Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan. b. Merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara, yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan. 17. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. 18. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja dan karena kelalaiannya menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

24 Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. 20. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi 21. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja menghalanghalangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. 22. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Selain ketentuan tersebut di atas, khusus untuk pejabat yaitu orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa: Setiap pejabat yang: 1. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya;

25 53 2. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 4. Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 5. Melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; 6. Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; dan/atau 7. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. 8. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (sepuluh miliar rupiah).

26 Pengertian Sanksi Pidana Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Kehutanan. Menurut M.W. Patti Peilohy 91 istilah pembayaran uang pengganti kurang begitu dikenal oleh masyarakat kita. Dalam penghidupan dan pergaulan masyarakat lebih sering dikenal dengan penyebutan uang ganti rugi atau dengan kata lain lebih sering dengan istilah uang ganti rugi dari pada istilah uang pengganti. Masyarakat hukum adat masalah ganti rugi bukanlah sesuatu yang baru, bahkan delik-delik adat masalah uang ganti rugi memegang peranan sedemikian pentingnya sebagai salah satu usaha umtuk menyeimbangkan lagi suatu keadaan seperti semula, jadi ganti rugi itu dihubungkan karena adanya pelanggaran. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ganti rugi itu menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan, yaitu ada perbuatan yang menimbulkan kerugian dan kerugian ini perlu diseimbangkan lagi dan untuk keseimbangan itu perlu dilakukan pergantian sebagai suatu reaksi. Jadi ketidakseimbangan itu adalah karena adanya suatu perbuatan yang melanggar atau suatu gangguan. Ganti rugi itu berhubungan dengan adanya suatu gangguan dan gangguan ini adalah karena suatu perbuatan melanggar, sehingga terjadi ketidakseimbangan dan bentuk reaksi terhadap adanya ketidakseimbangan tersebut adalah adanya ganti rugi. Adanya ganti rugi ini dapat mengembalikan ketidakseimbangan itu. Dapat pula disimpulkan bahwa suatu ganti rugi itu berhubungan dengan suatu perbuatan, baik perbuatan itu menganggu keseimbangan kebendaan maupun 91 M.W. Patti Peilohy, 1994, Antara Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan Hakim/Pengadilan Mengenai pembayaran Uang Penganti Bagian I, Dipajaya, Ujung Pandang, h. 7.

27 55 keadaan. Jadi dengan demikian menunjukkan bahwa suatu ganti rugi adalah reaksi terhadap aksi dan aksi ini adalah perbuatan yang melanggar atau menganggu tadi. Ganti rugi menunjuk pada penghukuman, yaitu karena ada yang terganggu, maka yang menyebabakan ketidakseimbangan karena gangguan itu harus menyeimbangkan lagi keadaan seperti semula, yaitu harus memberi ganti rugi. Perkembangan masyarakat lebih lanjut bahkan yang eksterm ini diwujudkan dalam nilai tukar, sehingga nampak pada hakekatnya uang selain sebagai nilai tukar, juga berfungsi sebagai suatu penutup atau perdamaian, yaitu dengan memberikan sejumlah uang pada yang dirugikan, yang bermakna bahwa sesuatu yang sebelumnya adalah suatu kerugian kini telah ditutup, didamaikan dengan memberikan jumlah uang dan uang ini berfungsi sebagai ganti terhadap kerugian tersebut. Kalau konsep ini dikaitkan dengan pembayaran penganti dalam perkara tindak pidana kehutanan, maka yang dirugikan adalah negara sebagai akibat perbuatan tindak pidana kehutanan, dan harus diseimbangkan lagi kerugian tersebut, yaitu pelakunya harus membayar sejumlah uang sebanding dengan kerugian yang diderita negara akibat kerusakan hutan yang ditimbulkannya. Menurut Joko Prakoso 92, tuntutan ganti kerugian ini timbul tidak dapat dilepaskan dengan masalah lainnya, yaitu adanya perbuatan yang menyebabkan terjadinya kerugian, yang dipihak lain menimbulkan kewajiban untuk menggantikan kerugian tersebut. Dengan demikian kita berbicara tentang tanggung jawab atas perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Salah satu hal 92 Joko Prakoso, 1998, Masalah Ganti Rugi dalam KUHP, Balai Pustaka, Jakarta, h. 10.

28 56 menonjol menyangkut masalah pemberian ganti kerugian ini adalah terdapat atau tidaknya unsur kesalahan. Dengan demikian kepada pihak yang menyebabkan kerugian itulah beban pertanggung jawaban diletakkan atau disandarkan. Tentang masalah ganti rugi Oemar Seno Adji 93 berpendapat bahwa terdapat beberapa persoalan mengenai ganti rugi dalam perkara pidana ialah disamping ganti rugi setelah herzeining ada ganti rugi yang bergandengan dengan pemahaman yang bertentangan dengan hukum, serta ganti rugi yang diberikan kepada mereka yang menjadi korban dari suatu pelanggaran hukum (victim of crime atau beledigde party), maka kemungkinan untuk meminta ganti rugi dalam proses pidana meliputi 3 hal, yaitu : - Ganti rugi setelah herzeining - Ganti rugi karena terdapat penahanan yang bertentangan dengan undangundang - Ganti rugi yang diberikan kepada mereka yang termasuk ataupun menjadi korban kejahatan. Menurut Arief Gosita ganti kerugian adalah hasil interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Jadi dalam rangka memahami ganti rugi, maka harus dilakukan interaksi yang terlihat dalam adanya ganti kerugian tersebut. 94 Sahetapy berpendapat bahwa pembicaraan mengenai 93 Oemar Seno Adji, 2001, Herzening, Ganti Rugi, Suap dan Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta, h Arief Gosita, 1997, Viktimologi dan KUHAP, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 23.

29 57 pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan, ada kaitannya dengan disiplin ilmu viktimologi, yaitu yang membahas permasalahan korban dari segala aspeknya. 95 Patti Peilohy berpendapat bila dihubungkan dengan tindak pidana kehutanan, dimana negara yang menderita kerugian, sehingga negara dari sudut viktimologi adalah juga korban dan yang menyebabkan pelaku tindak pidana kehutanan dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah UU Nomor 18 Tahun 2013 adalah uang pengganti. 96 Menurut Barda Nawawi Ariel 97) perlindungan korban dalam proses pidana tentunya tidak lepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindunan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Hukum pidana positif (materiil dan formil) memberi perhatian juga kepada korban secara langsung. Antara lain terlihat dalam ketentuan-ketentuan berikut ini : 1. Hakim menjatuhkan pidana bersyarat, yang menurut Pasal 14 c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian (semua/sebagian) yang ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi disini seolah-olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok. 95 JE Sahetapy, 1997, Viktomologi Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h M.W.Patty Peilohy, Op.Cit, h Barda Nawawi Arief, 1998, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol.I/No.1, h

30 58 2. Pasal 8 sub d. UUTPE (UU No.7 Drt. 1955) memberi kemungkinan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi tindakan tata tertib berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat, yang semuanya atas biaya terhukum. 3. Pasal 18 ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) juga memberi peluang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, yang jumlahnya maksimal sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, Bab XIII (Pasal ) KUHAP (UU No.8/1981) memberi kemungkinan penggabungan perkara gugatan kerugian dalam perkara pidana, 4. Pasal 108 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga mengatur pengenaan uang pengganti terhadap si Pelaku yang melanggar ketentuan Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106 dari UU No. 18 Tahun 2013 yang apabila tidak terpenuhi, terdakwa dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Muladi berpendapat bahwa dewasa ini pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan belum menampakkan pola yang jelas. Dari segi hukum materiil dapat kita lihat antara ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 c KUHP. Dalam Pasal tersebut disebutkan

31 59 adanya syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan, yaitu kewajiban bagi terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh pihak pidana dalam waktu tertentu. Selanjutnya dalam UU No.18 tahun 2013 terdapat pidana berupa pembayaran uang pengganti yang harus dibayar kepada korban dalam hal ini bukan individu melainkan negara. 98 Dihubungkan pula dengan perbuatan perusakan hutan, dimana negara yang mengalami/dan menderita kerugian sehingga negara dari sudut viktimologi adalah pula korban, dan yang menyebabkannya (yaitu terdakwa di depan sidang Pengadilan) dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah UU No. 18 tahun 2013 adalah Uang Pengganti, nampak negara adalah sebagai korban, dan dengan UU No 18 tahun 2013 negara sebagai korban telah terlebih dahulu diperhatikan kepentingannya dalam suatu proses pidana. Pada hakekatnya ganti rugi bukan lagi monopoli proses perdata semata-mata, tetapi juga sudah menjadi pengertian yang terletak dalam lapangan hukum publik yaitu dalam hal ini dalam lapangan hukum pidana. Berdasarkan pemikiran yang demikian dapat disimpulkan bahwa istilah uang pengganti menurut Pasal 108 UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sesungguhnya adalah pula suatu pengertian ganti rugi menurut proses perdata, yang oleh UU No 18 tahun 2013 pengertian dan proses perdata ini dimasukkan ke dalam menjadi proses pidana, sebagaimana halnya dengan penempatannya dalam Pasal 108 UU No 18 tahun 2013 sebagai suatu sanksi pidana. 98 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung (Selanjutnya disebut Muladi dan Barda Nawawi Arief II), h. 87.

32 60 Ada beberapa istilah mengenai ganti rugi yaitu uang ganti rugi dan uang pengganti, hal demikian bisa dilihat dalam beberapa ketentuan sebagai herikut: 1) Pasal 34 c UU No.3 tahun 1971 : Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. 2) Pasal 14 c (1) KUHP : dalam perintah yang tersebut Pasal 14 a, kecuali dalam hal dijatuhkan hukuman denda, maka bersama-sama dengan perjanjian umum bahwa si terhukum tidak akan melakukan perbuatan yang dapat dihukum, maka Hakim boleh mengadakan perjanjian istimewa bahwa si terhukum akan mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan yang dapat dihukum itu, semuanya atau sebagian saja yang ditentukan dalam tempo yang akan ditetapkan, yang kurang lamanya dari tempo percobaan itu 3) Pasal 108 UU No 18 Tahun 2013 : selain penjatuhan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106 dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi, terdakwa dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. 4) Pasal 95 KUHAP : (1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan

33 61 lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindak lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan sebagaimana dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus di sidang pra peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada Pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1), Ketua Pengadilan sejauh mungkin menunjukkan hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. (5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara pra peradilan. 5) Pasal 98 KUHAP: (1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri, menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

34 62 Demikian juga dalam Pasal-Pasal 99 s.d. 101 KUHAP tentang penggabungan perkara gugatan ganti rugi juga ditemui istilah ganti kerugian, antara lain sebagai berikut: Pasal 99 : (1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut, (2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang telah dirugikan. (3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Pasal 100 : (1) Apabila terjadi penggabungan perkara antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.

35 63 (2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenakan. Pasal 101 : Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain. Dengan demikian kita temui istilah : - Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggunakan istilah uang pengganti. - Dalam KUHP, UU No 14 Tahun 1970, maupun KUHAP menggunakan istilah mengganti kerugian ataupun ganti kerugian. - Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juga menggunakan istilah uang pengganti Jadi undang-undang sendiri ada menyebutkan tentang uang pengganti maupun uang ganti rugi atau ganti kerugian. Istilah-istilah ini mana yang paling tepat, maka karena UU No 18 tahun 2013, Pasal 108 tidak menggunakan istilah uang ganti rugi atau ganti kerugian, tetapi menggunakan istilah uang pengganti, dan inilah yang tepat bila kita berbicara tentang UU No 18 tahun 2013 dengan demikian istilah uang pengganti ada juga dalam Pasal 108 UU No. 18 tahun 2013 selain Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

36 64 Menurut patti peilohy 99), ada persamaan dan perbedaan antara pengertian uang pengganti dan uang ganti rugi. Perbedaannya bahwa : 1. Bila yang menyebabkan kerugian itu adalah seseorang dan ditujukan kepada kerugian negara, maka disebut membayar uang pengganti dan bukan membayar uang ganti rugi (Pasal 108 UU No 18 tahun 2013). 2. Bila yang menyebabkan kerugian adalah : - Negara/Pejabat/Petugas karena lalai memenuhi ketentuan KUHP. maka disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal 95 KUHAP), - Seseorang pada orang lain, yang sebenarnya merupakan proses dan tuntutan perdata, tetapi oleh KUHAP diperkenankan melakukan penggabungan dengan proses dan tuntutan pidana, maka disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal 95 KUHP). 3. Baik pada orang maupun pada negara, yaitu pembayaran ini dilakukan karena syarat khusus yang diperjanjikan dalam putusan hakim, bila tidak dipenuhi disebut membayar ganti rugi dan bukan membayar uang pengganti (Pasal 14 c angka 1 KUHP). 99 M.W. Patti Peilohy, Op.Cit, h. 21.

37 65 Persamaannya adalah bahwa baik uang pengganti maupun uang ganti rugi dilihat dari tujuan dan fungsinya adalah sama, yaitu ; - Tujuannya sebagai suatu pergantian, yaitu memberikan pergantian terhadap suatu kerugian yang telah terjadi, untuk mencapai keseimbangan seperti semula, - Fungsinya : Dari segi fungsinya adalah sama yaitu sama-sama berfungsi sebagai suatu penghukuman yaitu uang pengganti merupakan suatu hukuman pokok sebagaimana tersebut dalam Pasal 108 UU No. 18 tahun 2013, uang ganti rugi sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 KUHAP adalah sebagai hukuman terhadap pejabat/petugas negara yang dalam tugasnya lalai memenuhi ketentuan perundangan, kekeliruan tentang orangnya maupun tentang penerapan hukumnya. Demikian juga uang ganti rugi dalam Pasal 98 KUHAP adalah sebagai hukuman yang dijatuhkan Pengadilan disamping hukuman pidana, demikian pula uang ganti rugi dalam Pasal 14 c angka 1 KUHP adalah juga sebagai suatu hukuman karena lalai memenuhi syarat khusus dalam suatu putusan Pengadilan. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dan akibat tindak pidana kehutanan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.

38 66 Karena hutan merupakan aset negara yang apabila rusak juga dibutuhkan uang dari negara untuk mengembalikan bentuk hutan seperti keadaan semula. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) pokok dalam tindak pidana kehutanan. Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim diwajibkan selalu menjatuhkan pidana pokok tersebut. sehingga juga perlu diperhatikan oleh hakim untuk memutuskan pembayaran uang pengganti tersebut berkaitan dengan kerugian keuangan negara yang timbul akibat dari kerusakan hutan ini, walaupun kerugian keuangan negara itu secara tidak langsung. Dalam hal ini kerugian negara tersebut harus dipulihkan, salah satu cara yang dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana kehutanan untuk mengembaiikan kepada negara hasil kejahatan kehutanannya tersebut dalam wujud uang pengganti. Terdakwa perkara kejahatan kehutanan yang telah terbukti dan meyakinkan melakukan tindak pidana kehutanan terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan nilai komersil dari hasil hutan yang dirusak yang dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati hasil komersil hasil hutan tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017 22 SANKSI PIDANA TERHADAP KORPORASI AKIBAT MELAKUKAN PEMBALAKAN LIAR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN 1 Oleh: Anjas B. Pratama 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di kenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah I. PEMOHON 1. Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, sebagai Pemohon I; 2. Edi Kuswanto, sebagai Pemohon

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017 TINJAUAN YURIDIS PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA MENURUT KUHP 1 Oleh : Chant S. R. Ponglabba 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana unsur-unsur tindak pidana dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan dunia saat ini yang telah memasuki era globalisasi, maka aktivitas manusia di segala bidang juga semakin meningkat. Meningkatnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232] BAB III TINDAK PIDANA TERORISME Pasal 6 Setiap orang yang dengan sengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana di dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut telah

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK. Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK A. Tindak Pidana Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

Lebih terperinci

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain, (WJS. Poerwadarminta,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164] BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut

Lebih terperinci

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF A. Pencurian Dengan Kekerasan Dalam KUHP 1. Pengertian Pencurian Dengan Kekerasan Pencurian dengan kekerasan adalah suatu tindakan yang menyimpang.

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI Diajukan Oleh: Nama : MUHAMMAD YUSRIL RAMADHAN NIM : 20130610273 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKATA 2017

Lebih terperinci

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA ABTRAKSI SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana, karena hakekat dari hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang tindak pidana, yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Uraian Teori 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari 9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA PENJARA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN Diajukan Oleh : Nama : Yohanes Pandu Asa Nugraha NPM : 8813 Prodi : Ilmu

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan

Ahmad Afandi /D Kata Kunci : Penyertaan Dalam Tindak Pidana Perusakan Hutan 1 PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN Ahmad Afandi /D 101 10 440 Abstrack Hutan merupakan kekayaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci