PROFIL KEMISKINAN DI PERDESAAN
|
|
- Hendra Kartawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Info URDI Vol. 14 PROFIL KEMISKINAN DI PERDESAAN Oleh : Tatag Wiranto Direktur Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas I. Pendahuluan Strategi besar pembangunan di masa lalu adalah mencapai pertumbuhan yang cepat dengan melakukan trade-off terhadap pemerataan. Dalam atmosfer strategi ini, memunculkan budaya konglomerasi yang diharapkan akan menghasilkan trickle down effect kepada lapisan ekonomi di bawahnya. Pendekatan ini memfokuskan diri pada pembagunan industri secara besar-besaran, dimana kedudukan pemerintah memainkan peran mendorong kekuatan entrepreneur. Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down effcts, dimana mekanisme tersebut sebenarnya sangat diyakini akan terbentuk sejalan dengan meningkatnya akumulasi kapital dan perkembangan institusi ekonomi yang mampu menyebarkan ksejahteraan yang merata. Dengan kata lain, di satu sisi penerapan pendekatan ini berhasil membangun akumulasi kapital yang cukup besar, namun di sisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara simultan, baik kesenjangan desa oleh kota, maupun kesenjangan antar kelompok dimasyarakat. Proses perkembangan ekonomi perdesaan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pendekatan tersebut, meskipun demikian terdapat elemen-elemen dasar yang menjadi penentu ekonomi perdesaan dan sumberdaya alam sebagai primer-movernya dan menjadi pola dasar kehidupan masyarakat perdesaan. Kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat pada dasarnya diakibatkan oleh faktor (1) sosialekonomi rumah-tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah-tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam & lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Salah satu issu yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah penurunan kualitas hidup, ketersediaan sarana dan prasarana, ketidakmampuan institusi ekonomi menyediakan kesempatan usaha, lapangan kerja, serta pendapatan yang memadai, yang saling berkaitan dan sangat kompleks. Dengan demikian untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, perlunya peningkatan produktivitas yang sesuai dengan karakteristik perdesaan. Sedangkan pertumbuhan dan perkembangan wilayah perdesaan berkaitan dengan bidang usaha pertanian yang mendominasi perdesaan. Dalam dua dekade terakhir ini terdapat perubahan struktur lapangan usaha di bidang pertanian, sehingga terjadi kecenderungan penurunan di sektor pertanian, terutama dari segi lapangan usaha penduduk dan ketanagakerjaan. Dari kondisi ini maka akan membawa perubahan struktur di bidang sosial-ekonomi dan kelembagaan masyarakat perdesaan. Hambatan dalam pengembangan ekonomi perdesaan tidak saja dihadapkan pada pergesaran dari pertanian ke non pertanian yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat perdesaan, tetapi 1
2 juga modernisasi pola usaha tani secara terpadu serta pengembangan institusi ekonomi perdesaan yang belum sepenuhnya dibangun secara konsisten. Persoalan institusi ekonomi perdesaan bukan menjadi faktor satu-satunya, faktor modal juga menjadi kendala dalam mendukung pengembangan investasi perdesaan. Masalah pokok yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah proses kemiskinan masyarakat perdesaan sebagai akibat kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung. II. Pendekatan untuk keluar dari Proses Kemiskinan masyarakat di Beraneka ragam teori telah berupaya mencari penjelasan mengapa terjadi proses pemiskinan. Secara garis besar, kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah (Nasution, 1996). Kemiskinan struktural sering disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty). Baik langsung maupun tidak langsung kemiskinan kategori ini umumnya disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup tidak hanya tatanan organisasi tetapi juga mencakup masalah aturan permainan yang diterapkan. Sedangkan kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Pada kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam lemah/terbatas, peluang produksi relatif kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah. Beranjak dari kedua tipe kemiskinan itu, berbagai teori telah dikembangkan dalam upaya untuk memahami aspek-aspek yang menentukan terjadinya kemiskinan secara lebih mendalam. Keanekaragaman teori yang telah dikembangkan itu menggambarkan adanya perbedaan sudut pandang diantara pemerhati masalah kemiskinan. Secara umum teori-teori yang menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan, dapat dibedakan menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis pada pendekatan sosio -antropologi, khususnya tentang budaya masyarakat. Teori yang berbasis pada teori ekonomi antara lain melihat kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi, kegagalan kepemilikan, kebijakan yang bias ke perkotaan, perbedaan kualitas sumberdaya manusia, serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Disisi lain, pendekatan sosio -antropologis menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural). Di sisi lain terdapat pandangan proses pemiskinan sebagai akibat kebijakan yang bias perkotaan. Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep urban bias dalam menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan di negara sedang berkembang. Menurut Lipton dan Vyas: Small, interlocking urban elites comprising mainly businessmen, politicians, bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of professionals, academics and intelectuals can in a modern state substantially control the distribution of resources. Bias perkotaan ini dipercaya oleh Lipton, karena menurutnya memang terdapat antagonisme antara pend uduk perdesaan dan perkotaan, dimana yang pertama ditandai dengan kemiskinan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pembangunan yang hanya diarahkan ke perkotaan akan mengakibatkan semakin memburuknya kehidupan penduduk miskin di perdesaan. Untuk mengatasi kecenderungan yang negatif seperti itu, Lipton berpendapat bahwa negara sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya ke sumberdaya utama yang mereka miliki yakni pertanian yang padat karya (labour intensive). Dalam rangka dukungannya untuk mengurangi bias perkotaan, Lipton dan Vyas berpendapat bahwa sektor perdesaan adalah pengguna investasi terbatas yang lebih responsif dari pada sektor perkotaan. Sejauh ini gagasan Lipton tersebut telah mendapat banyak kritik namun juga dukungan di kalangan pemerhati masalah ekonomi pembangunan. 2
3 Tabel 1 Batas, Persentase dan Jumlah Penduduk, Kota Desa Kota + Desa Penduduk Penduduk Penduduk Tahun Garis Kemiskinan Garis Kemiskinan (%) (%) (Rp/kapita/bulan) (Juta (Rp/kapita/bulan) (Juta (Juta (%) Jiwa) Jiwa) Jiwa) ,0 8,.3 9,5 9,3 9,3 9,7 9,4 8,7 7,2 9,6 17,6 15,64 Catatan : * Menggunakan Standar ,8 30,8 29,0 28,1 23,1 20,1 16,8 13,4 9,7 13,6 21,9 19, III. Pentingnya Informasi tentang Profil Kemiskinan di 44,2 38,9 32,8 31,3 25,7 20,3 17,8 17,2 15,3 24,9 31,9 32,33 40,4 33,4 28,4 26,5 21,2 16,4 14,3 13,8 12,3 19,9 25,7 26,0 54,2 47,2 42,3 40,6 35,0 30,0 27,2 25,9 22,5 34,5 49,5 47,97 Informasi tentang profil kemiskinan di perdesaan sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan terutama untuk penanganan masalah kemiskinan. Keterangan mengenai jenis persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi berbagai jenis segmen penduduk miskin dapat membantu perencana program dalam menentukan program-program yang tepat. Dengan mengetahui profil kemiskinan di perdesaan, pengambil kebijakan bisa lebih memfokuskan pada program pengentasan kemiskinan di perdesaan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut. Berbagai program pengentasan kemiskinan yang didasari pemahaman menyeluruh mengenai karakteristik sosial demografi dan dimensi ekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan, pelaksanaan, dan hasil target yang baik. Karena, salah satu prasyarat keberhasilan program program pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target group dan target area. Dalam program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannya tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa sebenarnya si miskin tersebut dan di mana si miskin itu berada. Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil kemiskinan. Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik karakteristik ekonominya seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/ pengeluaran, tingkat beban tanggungan dan lain lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan sebagainya. Sebagai contoh, permasalahan yang dihadapi penduduk miskin dari segmen petani gurem bisa berakar dari asetnya yang justru terlalu kecil, atau dari persoalan alam dan infrastruktur dalam bentuk irigasi yang tidak mendukung, dan sebagainya. Akar permasalahan pengrajin kecil, pengangguran, buruh musiman, dan sebagainya bisa berbeda. Jika permasalahan yang membuat mereka sulit keluar dari kemiskinan itu dapat diidentifikasi dengan baik, maka program yang tepat akan dapat dirumuskan. Akar permasalahan seperti itu, entah itu berasal dari orangnya, masalah infrastruktur/struktural atau masalah ketrampilan, dan sebagainya, mestinya tersaji dalam profil kemiskinan di perdesaan. Namun demikian, 40,1 33,3 28,6 26,9 21,6 17,4 15,1 13,7 11,3 17,7 24,2 23,4 3
4 dengan melihat perbedaan karakteristik-karakteristik rumahtangga miskin dan membandingkannya dengan rumahtangga tidak miskin, beberapa catatan mengenai persoalan kemiskinan dapat diungkap. Wilayah Tabel 2 Jumlah dan Persentase Penduduk menurut Wilayah, Daerah a. Menggunakan Standar 1996 Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase Penduduk Feb '96 Des '98 Ags '99 Feb '96 Des '98 Ags ' ,10 13,05 8,58 Jawa-Bali ,24 17,82 12, ,45 15,65 10, ,77 11,11 8,07 Sumatera ,75 14,02 10, ,15 13,08 9, ,61 26,19 11,61 Lainnya ,15 31,81 18, ,46 30,28 16,42 b. Menggunakan Standar ,34 22,68 15,44 Jawa-Bali ,45 25,48 20, ,33 24,20 17, ,33 16,25 12,76 Sumatera ,38 17,94 13, ,18 17,40 13, ,35 25,35 16,30 Lainnya ,68 34,44 27, ,58 31,97 24,13 4
5 IV. Perkembangan Kemiskinan di Pesatnya laju pembangunan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi harga selama periode , tingkat kemiskinan mengalami penurunan yang dramatis. Jumlah penduduk miskin menurun dari 54,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 40,6 juta jiwa pada tahun 1981, dan turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan 25,9 juta jiwa pada tahun Penurunan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan ternyata jauh lebih cepat dari penurunan jumlah penduduk miskin daerah perkotaan. Dalam kurun waktu tersebut jumlah penduduk miskin daerah perdesaan menurun dari 44,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 31,3 juta jiwa pada tahun 1981, 17,8 juta jiwa pada tahun 1990, dan 17,2 juta jiwa pada tahun Sementara itu jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang dari 10 juta jiwa pada tahun 1971 menjadi 9,3 juta jiwa pada tahun 1981, 9,4 juta jiwa pada tahun 1990, dan 8,7 juta jiwa pada tahun Dampak langsung dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 menjadi 47,97 juta jiwa (15,64 juta jiwa di perkotaan dan 32,33 juta jiwa di perdesaan). Persentase penduduk miskin pada tahun 1999 ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1978 dan Dengan kata lain, krisis ekonomi menyebabkan kemajuan dalam kondisi kemiskinan pembangunan mengalami kemunduran lebih dari 15 tahun. Persebaran penduduk miskin menurut wilayah menunjukkan bahwa lebih dari 59% berada di Jawa- Bali, 16% di Sumatera dan 25% di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Pemusatan kantong kemiskinan di Jawa-Bali erat kaitannya dengan pola persebaran penduduk yang sebagian besar berada di Jawa-Bali. Dengan pemusatan kantong kemiskinan di Jawa-Bali, penduduk di Jawa- Bali juga rentan terhadap krisis ekonomi sehingga berpengaruh terhadap kenaikan jumlah penduduk miskin. V. Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Dampak krisis ekonomi juga tercermin pada meningkatnya tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan. Tingkat kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index) menunjukkan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Tingkat keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index) menunjukkan penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan juga intensitas kemiskinan. Tabel 3 Tingkat Kedalaman kemiskinan dan tingkat Keparahan Kemiskinan a. Menggunakan Standar 1996 *) Tingkat Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index) Tingkat Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity IndexI) 1996 Desember 1998 Agustus ,588 2,514 1,448 1,803 3,683 2,479 0,406 0,655 0,378 0,425 1,034 0,716 5
6 b. Menggunakan Standar 1998 **) 1996 Desember 1998 Agustus ,548 4,351 2,671 3,529 5,005 3,876 0,709 1,267 0,743 0,956 1,475 1,171 Dengan menggunakan standar 1998, menurut data BPS, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di perdesaan lebih besar dibanding perkotaan. Data BPS juga menunjukkan bahwa indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan meningkat dari 2,548 pada 1996 (sebelum krisis) menjadi 4,351 pada 1998 (saat krisis), dan di perdesaan meningkat dari 0,709 menjadi 1,267. Indeks keparahan di perkotaan meningkat dari 3,529 menjadi 5,005, dan di perdesaan dari 0,956 menjadi 1,475. Meskipun terjadi perbaikan pada Agustus 1999, tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan masih belum kembali ke posisi sebelum krisis. Dilihat dari aspek regional, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya ternyata lebih besar dari Jawa-Bali dan Sumatera. Hal ini menyiratkan bahwa tingkat dan pola pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial yang terjadi di masing-masing wilayah berbeda satu sama lain. Oleh sebab itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus memperhatikan struktur kemiskinan, karakteristik sosial-budaya dan kapasitas masyarakat setempat. Tabel 4 Tingkat Kedalaman kemiskinan dan tingkat Keparahan Kemiskinan Wilayah Daerah Tingkat Kedalaman Kemiskinan Tingkat Keparahan Kemiskinan Feb '96 Des '98 Ags '99 Feb '96 Des '98 Ags '99 a. Menggunakan Standar 1996 Jawa-Bali 1,691 1,689 2,251 2,893 1,316 2,252 0,435 0,394 0,574 0,710 0,334 0,609 Sumatera Lainnya 1,270 1,651 1,691 2,783 1,480 2,189 5,438 7,034 1,384 1,704 2,068 3,529 0,302 0,397 0,461 0,730 0,328 0,509 1,660 2,304 0,367 0,417 0,604 1,104 b. Menggunakan Standar 1998 Jawa-Bali Sumatera 2,724 3,297 1,688 2,535 4,622 4,366 2,533 2,945 2,675 3,776 2,409 1,984 0,763 0,857 0,414 0,646 1,383 1,150 0,608 0,723 0,726 1,074 0,699 0,487 6
7 Lainnya 2,794 5,287 5,291 8,560 3,127 6,424 0,832 1,557 1,606 2,948 0,938 2,171 2,548 Indonesia 3,529 4,351 5,005 2,671 3,876 0,709 0,956 1,267 1,475 0,743 1,171 VI. Karakteristik Rumahtangga Hasil pendataan BPS pada tahun 1999 menunjukkan sebagian besar dari rumahtangga miskin mempunyai 4,9 anggota rumahtangga. Jumlah rata rata anggota rumahtangga ini lebih besar dibanding jumlah rata rata anggota rumahtangga tidak miskin. Ini menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibanding rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di daerah perkotaan rata rata mempunyai 5,1 anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga miskin di daerah perdesaan rata rata mempunyai 4,8 anggota rumahtangga. Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup ternyata lebih besar daripada rumahtangga miskin di daerah perdesaan. Tabel 5 Karakteristik Rumah Tangga dan Tidak 1996, 1998 dan 1999 Karakteristik Tidak a. Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tangga 1. Kota 5,30 4,37 4,84 3,88 Tidak 5,10 4,0 Tidak 2. Desa 5,16 4,09 4,70 3,76 4,80 3,8 3. Kota+Desa 5,20 4,19 4,75 3,81 4,90 3,9 b. Persentase Wanita sebagai Kepala Rumah tangga 1. Kota 13,03 12,81 9,43 9,01 13,08 14,59 2. Desa 10,34 12,14 8,19 7,72 11,27 12,88 3. Kota+Desa 11,97 12,3 8,63 8,24 11,85 13,58 c. Rata-rata Usia Kepala Rumah Tangga (tahun) 1. Kota 44,34 44,03 42,93 44,57 46,4 44,3 2. Desa 45,45 46,16 45,57 46,16 46,0 46,1 3. Kota+Desa 45,03 45,29 44,43 45,54 46,1 46,4 7
8 d. Rata-rata Lama Pendidikan Kepada Rumah Tangga (tahun) 1. Kota 4,53 8,57 5,89 9,13 6,3 9,4 2. Desa 3,27 5,01 3,99 5,73 5,1 6,4 3. Kota+Desa 3,67 6,30 4,66 7,11 5,5 7,7 Tabel 6 Karakteristik Rumah Tangga dan Tidak 1996, 1998 dan 1999 Kategori Rumah Tangga Pertanian Industri Jasajasa Penerimaan Pendapatan Pertanian Industri Jasajasa Penerimaan Pendapatan 1. Desa 80,15 4,30 13,52 2,03 75,97 4,45 18,18 1,40 2. Kota 26,29 10,90 58,10 4,71 21,14 12,91 63,12 2,83 3. Desa+Kota Tidak 63,01 6,40 27,71 2,88 56,67 7,43 34,00 1,90 1. Desa 56,86 6,58 32,39 4,17 58,66 5,46 33,17 2,71 2. Kota 7,37 12,46 70,24 9,93 6,29 13,16 73,04 7,51 3. Desa+Kota 38,96 8,71 46,08 6,25 37,48 8,58 49,30 4,65 Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57,02% rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 31,38% dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan SD. Ciri ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumahtangga miskin di perkotaan lebih tinggi dibanding kepala rumahtangga di perdesaan. Ciri rumah tangga miskin yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah sumber penghasilan. Menurut data BPS, pada tahun 1996 penghasilan utama dari 63,0% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima pendapatan. Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami pergeseran. Dengan membedakan menurut daerah dapat dicatat bahwa sebagian besar atau sekitar 75,7% rumahtangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Lebih 8
9 dari 75% rumahtangga miskin di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian dan hanya 24,0% rumahtangga miskin mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Kegiatan ekono mi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula bagi rumahtangga miskin di perkotaan. VII. Penutup Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Sebagai dasar utama untuk menyusun strategi besar pembangunan nasional tersebut adalah politik ekonomi yang berpihak terhadap kaum miskin dan berkeadilan. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven dimana rakyat akan menjadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis. Untuk mensukseskan hal itu diperlukan pelaksanaan perubahan paradigma yang meredefinisi peran pemerintah yang akan lebih memberi otonomi pada rakyat, adanya transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif, dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Mengingat hutang pemerintah kita yang sangat besar dan setiap rakyat harus ikut menanggungnya padahal sebagian dari mereka adalah kaum miskin yang tidak mengetahui pemanfaatan dari hutang tersebut, maka hal tersebut menyentuh rasa keadilan kita. Oleh karenanya upaya permintaan debt relief dari para donor perlu ditempuh sebagai upaya alternatif untuk lebih mempercepat pengurangan kemiskinan. Dalam upaya memperjuangkan kepentingan kelompok miskin tersebut, pemerintah telah membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan yang akan mengembangkan diskursus setara kepada semua stakeholders tentang perlunya menjadikan si miskin menjadi aktor utama untuk menanggulangi kemiskinannya. Komite Penanggulangan Kemiskinan akan menjalankan fungsi mediasi, katalisasi, advokasi, fasilitasi dan koordinasi. 9
BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Masih tingginya angka kemiskinan, baik secara absolut maupun relatif merupakan salah satu persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini. Kemiskinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesenjangan Antar Daerah Menurul Cornelis Lay dalam Lia (1995), keterbelakangan dan kesenjangan daerah ini dapat dibagi atas empat pemikiran utama yaitu keseimbangan regional
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang dinamis dalam mengubah dan meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Ada tiga indikator keberhasilan suatu pembangunan dalam
Lebih terperinciPENGARUH PDB DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PERIODE
Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Jurnal Paradigma Ekonomika Vol.1, No.4 Oktober 2011 PENGARUH PDB DAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA PERIODE 1990-2008 Candra Mustika Dosen
Lebih terperinciV. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN
V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan
Lebih terperinciI.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan
I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi
Lebih terperinciMengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data
Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Disampaikan oleh: DeputiMenteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan pada Peluncuran Peta Kemiskinan dan Penghidupan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan desa mempunyai peranan yang penting dan bagian yang tidak terpisahkan
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut
16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola
Lebih terperinciPEMBAHASAN TENTANG KEMISKINAN Menurut Andre Bayo Ala, 1981 kemiskinan itu bersifat multi dimensional. Artinya kebutuhan manusia itu bermacam macam
KEMISKINAN Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata
Lebih terperinciBAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati
BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati Kondisi Kemiskinan di Indonesia Isu kemiskinan yang merupakan multidimensi ini menjadi isu sentral di Indonesia
Lebih terperinci2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah
8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini bangsa Indonesia harus menghadapi perubahan internal dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dengan berbagai masalah yang belum tuntas terpecahkan
Lebih terperinciProgram Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan
Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan I. PENDAHULUAN Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan
Lebih terperinciGambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,
Kemiskinan Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada
Lebih terperinciKemiskinan di Indonesa
Kemiskinan di Indonesa Kondisi Kemiskinan Selalu menjadi momok bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia Dulu hampir semua penduduk Indonesia hidup miskin (share poverty), sedangkan sekarang kemiskinan
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Batas Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Masyarakat Miskin ( ) Presentase Penduduk Miskin. Kota& Desa Kota Desa
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang pasif dan bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata. Peranan utama pertanian dianggap hanya sebagai
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2013
No. 39/07/15/Th.VII, 1 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2013 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jambi pada bulan Maret 2013 sebesar 266,15
Lebih terperincipendapatan yang semakin merata. Jadi salah satu indikator berhasilnya pembangunan adalah ditunjukkan oleh indikator kemiskinan.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan selalu menjadi masalah bagi setiap negara, terutama negara berkembang tidak terkecuali di Indonesia. Pembangunan dikatakan berhasil jika terjadi pertumbuhan
Lebih terperinciSEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.
SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan
Lebih terperinci5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA
86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian
Lebih terperinciKINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *
KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi memiliki pengertian yang sangat luas. Menurut akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai suatu fenomena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan berusaha keras untuk mencapai
Lebih terperincisebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya
BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/11/33.08/Th.I, 08 November 2016 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2015 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 2015 MENCAPAI 13,07 PERSEN Jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah Negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu daerah didasarkan pada bagaimana suatu daerah dapat meningkatkan pengelolaan serta hasil produksi atau output dari sumber dayanya disetiap
Lebih terperinciPERKEMBANGAN PENCAPAIAN
BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan
Lebih terperinciJakarta, 10 Maret 2011
SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DALAM ACARA TEMU KONSULTASI TRIWULANAN KE-1 TAHUN 2011 BAPPENAS-BAPPEDA PROVINSI SELURUH INDONESIA Jakarta,
Lebih terperinciIII. KERANGKA PEMIKIRAN
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah ditemukan dimanamana. Fakta kemiskinan baik menyangkut individu maupun masyarakat akan mudah dilihat,
Lebih terperinciPeningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender
XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan
Lebih terperinciDINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN
IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan
Lebih terperinciBAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN
05/01/Th.XII, 03 JANUARI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan September
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang mencakup berbagai aspek kehidupan baik aspek politik, ekonomi, idiologi, sosial budaya
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR
BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan sebagai suatu masalah sosial ekonomi telah merangsang banyak kegiatan penelitian yang dilakukan berbagai pihak seperti para perencana, ilmuwan, dan masyarakat
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVI, 02 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini
Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK
BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015
Lebih terperinciKemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia
Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Capaian Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan indikator dan faktor-faktor penyebab kemiskinan Mahasiswa mampu menyusun konsep penanggulangan masalah kemiskinan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan
16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN
38/07/Th. XX, 17 JULI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2017
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang
Lebih terperinciBAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN
BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I. VISI Pembangunan di Kabupaten Flores Timur pada tahap kedua RPJPD atau RPJMD tahun 2005-2010 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008
BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016
No. 50/07/71/Th. X, 18 Juli 2016 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei Sosial
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,
Lebih terperinciIV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian
Lebih terperinciASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
ASPEK STRATEGIS PENATAAN RUANG KAWASAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh: Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Disampaikan pada Pembahasan RPP Penataan
Lebih terperinciAnalisis Isu-Isu Strategis
Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu
Lebih terperinciNo : 03/07/7325/Th. II, 25 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI LUWU TIMUR KEADAAN MARET TAHUN 2016 RINGKASAN Pengukuran kemiskinan oleh BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016
BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 42/07/76/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 SEBANYAK 152,73 RIBU JIWA Persentase penduduk miskin
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014
No. 42/07/71/Th. VIII, 1 Juli 2014 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan lewat pengolahan
Lebih terperinciKementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas. Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Bahan Konferensi Pers Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Jakarta, 18 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI 2 Rencana Pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan telah menjadi masalah internasional, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan yang ingin dicapai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011
BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2011 MENCAPAI 29,89 JUTA ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pun manusia dan bangsa di dunia ini yang tidak membutuhkan kehidupan yang sedang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kehidupan yang baik merupakan kehendak manusia yang paling hakiki. Tiada satu pun manusia dan bangsa di dunia ini yang tidak membutuhkan kehidupan yang sedang dijalaninya
Lebih terperinciPERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Kondisi Ketenagakerjaan Aceh kembali membaik, terlihat dari TPAK yang menunjukkan peningkatan dari 61,77% pada Agustus 2012 menjadi 65,56% per Februari
Lebih terperinciANALISIS HASIL PENELITIAN
69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan di masa lalu telah menumbuhkan suatu kesenjangan yang besar, dimana laju pertumbuhan ekonomi tidak seimbang dengan peningkatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,
27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4)
Lebih terperinciMENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1
MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luas wilayah lautan atau perairan di provinsi Riau 235.366.Km2 atau 71,33% dari luas total wilayah provinsi Riau. Bahkan jika mengacu pada Undang- Undang Nomor 5 tahun
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender
Lebih terperinciKEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak
KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA Abstrak Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Pengalokasian anggaran
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009
BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah
Lebih terperincisebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se
BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/06/33.08/Th.II, 15 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN 2016 SEBESAR 12,67 PERSEN Jumlah penduduk miskin
Lebih terperinci