SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma"

Transkripsi

1 INVESTIGASI PARAMETER ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR TERHADAP MODEL CIRCLE DAN SQUARE NOZZLE PADA PERUBAHAN NXP MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Disusun Oleh : FELICIANUS OCHATANI NIM : PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016 i

2 INVESTIGATION OF ENTRAINMENT RATIO PARAMETERS OF CIRCLE AND SQUARE NOZZLE STEAM EJECTOR MODEL WITH NXP CHANGES NOZZLE USING COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS FINAL PROJECT Submitted In Partial Fullfillment of The Requirements To Achieve Undergraduate Engineering Degree Mechanical Engineering By : FELICIANUS OCHATANI Student Number : DEPARTMENT OF MECHANICAL ENGINEERING FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2016 ii

3

4

5

6

7 ABSTRAK Steam ejector adalah alat yang digunakan di berbagai industri untuk proses pencampuran, peningkatan tekanan, proses refrigerasi dengan memanfaatkan waste heat. Steam ejector mempunyai permasalahan kompleks dalam pengoperasiannya. Parameter yang mempengaruhi performa ejector adalah fluida kerja, geometri, dan operating condition. Nozzle Exit Position (NXP), panjang throttle, sudut converging section adalah salah satu parameter geometri yang berpengaruh signifikan terhadap performa steam ejector. Primary pressure, secondary pressure dan outlet pressure adalah parameter dari operating condition juga menjadi penentu performa steam ejector. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai entrainment ratio optimal pada variasi yang ditentukan. Pada penelitian ini digunakan metode Computational Fluid Dynamics (CFD). CFD digunakan untuk mengetahui pengaruh 5 variasi NXP (Nozzle Exit Position) pada variasi model nozzle. Model nozzle yang digunakan adalah Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Selain itu juga menggunakan 5 variasi perubahan primary pressure. Hasil dari penelitian pada peningkatan primary pressure menyebabkan nilai entrainment ratio menurun. Pada model CNSE maupun SNSE, entrainment ratio tertinggi terdapat pada NXP Plus. Keseluruhan nilai entrainment ratio dari model CNSE mempunyai performa lebih tinggi dibandingkan model SNSE. Nilai optimum dari penelitian yang sudah dilakukan yaitu 0,96 pada NXP Minus 5 untuk primary pressure 140 kpa. Keyword : steam ejector, entrainment ratio, CFD, NXP vii

8 ABSTRACT Steam ejector is a tool applied to various industries for mixing process, increasing pressure, refrigeration process by utilising waste heat. Steam ejector has complex problems in its operational. The significant parameter that affects the ejector s performance are working fluid, geometry, and operating condition. Nozzle exit position (NXP), long of throttle, converging angle section are the parameters of geometry. Primary pressure, secondary pressure and outlet pressure are the parameters of operating condition which are also the most affected factor for the performance of steam ejector. The purpose of this research is to get an optimal entrainment ratio in determined variation. This research uses the Computational Fluid Dynamics (CFD) method to understand influence of the 5 NXP variations on nozzle models. The nozzle model are Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) and Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). In addition, 5 variations on primary pressure bas applied. The result show that increasing of primary pressure cause entrainment ratio decrease. The highest entrainment ratio was took place on NXP Plus in bot models. The total overall value of CNSE entrainment ratio model has higher than SNSE model. The optimum value of the research which has already been done was 0,96 on NXP Minus 10 for a primary pressure 140 kpa. Keyword : steam ejector, entrainment ratio, CFD, NXP viii

9 Karya Ilmiah ini penulis persembahkan kepada: Bapak dan Ibuku tercinta yang telah banyak berkorban untuk masa depanku Adikku Agustina Rosa Iriani yang masih Semester 5 Calon Pendamping hidupku Sahabat-sahabat di Kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan banyak pembelajaran Urip iku Urup ix

10 KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang maha Esa, yang telah melimpahkan kasih dan berkatnya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul INVESTIGASI PARAMETER ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR TERHADAP MODEL CIRCLE DAN SQUARE NOZZLE PADA PERUBAHAN NXP MENGGUNAKAN COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS. Penyusunan Skripsi ini dimaksud untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan telah mendapat bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Sudi Mungkasi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma. 2. Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T, selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma yang memberika arahan dan saran-saran kepada penulis. 3. Andreas Prasetyadi, S.Si., M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik dan selaku dosen pembimbing I skripsi yang membimbing serta mengarahkan dengan penuh kesabaran dan perhatian selama masa perkuliahan. 4. Stefan Mardikus, S.T, M.T, selaku dosen pembimbing II skripsi yang membimbing dengan penuh kesabaran dan perhatian serta bantuan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Petrus Claver Supriyanto sebagai ayah dari penulis yang penuh kasih sayang serta dukungan moral dan materi mendukung penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini sehingga dapat mencapai gelar sarjana Teknik Mesin. x

11

12 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i TITLE PAGE... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iiiv HALAMAN PENGESAHAN... iv HALAMAN PERNYATAAN... v HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii HALAMAN PERSEMBAHAN... ix KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xix DAFTAR TABEL... xxxiv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xxxv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Batasan Masalah Manfaat Penelitian BAB II DASAR TEORI Steam Ejector Bagian-bagian Steam Ejector Aplikasi Steam Ejector Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) Advanced Ejector Refrigeration System xii

13 2.4.3 Combined Steam Ejector Refrigerator System Evaluation Parameter Steam Ejector Definisi Fluida Klasifikasi Aliran Fluida Aliran Viscous dan Non-viscous Aliran Laminar dan Turbulen Aliran Kompresibel dan Inkompresibel Aliran Ekternal dan Internal Persamaan Dasar Aliran Fluida dan Perpindahan Kalor Persamaan Kekekalan Massa Persamaan Kekekalan Momentum Tiga Dimensi Persamaan Kekekalan Energi Tiga Dimensi Perubahan Partikel Fluida pada Elemen Fluida Computational Fluid Dynamics (CFD) Skema Numerik Metode Solusi Pressure-based Model Turbulen (Turbulence Modeling) Model turbulen k-ε Metode Numerik pada ANSYS Fluent Solver Coupled BAB III METODOLOGI PENELITIAN Diagram Alir Penelitian Diagram Alir Prosedur Simulasi Skematik Steam Ejector Steam Ejector Geometri Ejector Model dan Geometri Nozzle Nozzle Exit Position Boundary Condition Meshing Spesifikasi Working Fluid xiii

14 3.8 Variabel Penelitian Prosedur Simulasi Convergence Criteria BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Variasi Nozzle Exit Position Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Nol Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure Menggunakan Variasi Model Nozzle xiv

15 4.2.1 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Square Nozzle Steam Ejector Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass flow Rate Primary dan Secondary Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Variasi Model Nozzle Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass Flow Rate Primary Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass Flow Rate Secondary Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector Analisis Kontur Tekanan, Temperatur dan Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejectoor pada Variasi Nozzle Exit Position Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus xv

16 4.4.3 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Square Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus xvi

17 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus xvii

18 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure Menggunakan Model SNSE 120 pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xviii

19 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Skema arus distribusi energi di Indonesia tahun Gambar 1.2 Sektor-sektor konsumsi energi di Indonesia Gambar 2.1 Liquid ejector (kiri), steam jet liquid ejector (kanan) ( 12 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Skema ejector (Chunnanond dan Aphornaratana, 2004).... Karakteristik tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector [Chunnanond dan Aphornaratana, 2004] Gambar 2.4 Siklus refrigerasi ( 15 Gambar 2.5 Diagram eksperimen chiller steam ejector dengan memanfaatkan panas matahari [Pollerberg, 2008] Gambar 2.6 Ejector pada pressure vessel di pembangkit listrik tenaga panas bumi ( 16 Gambar 2.7 Skema oil production ( 16 Gambar 2.8 Proses pencampuran bahan kimia dalam kondisi vakum Gambar 2.9 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h Diagram [Chen dkk, 2015] Gambar Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector; (b) Skema sistem; (c) P-h Diagram [Chen dkk, 2015] Gambar 2.11 Combined Steam Ejector Refrigeration System [Chen dkk, 2015] Gambar 2.12 Efek dari (a) benda padat (solid) dan (b) fluida (fluid), jika diberikan gaya geser yang konstan [Fox, 2011] Gambar 2.13 Flowchart klasifikasi aliran di Computaional Fluid Dynamics [Jiyuan, 2008] Gambar Pembagian daerah aliran viskos pada plat rata [Holman, 1998] Gambar Tipe profil kecepatan di dalam pipa (a) Aliran laminar (b) Aliran turbulen [White, 2011] xix

20 Gambar (a) High-viscosity, low Reynolds number, laminar flow (b) Low-viscosity, high Reynolds number, turbulent flow [White, 2011] Gambar 2.17 Kondisi batas pada permasalahan aliran internal [Jiyuan, 2008] Gambar 2.18 Kondisi batas pada permasalahan aliran eksternal [Jiyuan, 2008] Gambar 2.19 Skema satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Gambar 2.20 Skema aliran massa yang keluar dan masuk pada satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Gambar 2.21 Skema komponen tegangan yang terdapat pada setiap permukaan dari satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Gambar 2.22 Komponen tegangan pada arah x [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Gambar 2.23 Pembacaan persamaan energi [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Gambar 2.24 Komponen dari vektor heat flux [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Gambar 2.25 Ilustrasi pembacaan relasi (2.20) [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Gambar 2.26 Tiga elemen utama yang ada di dalam Computational Fluid Dynamic [Jiyuan, 2008] Gambar 2.27 Tiga elemen utama yang ada di dalam CFD (Jiyuan, 2008) Gambar 2.28 Skema metode solusi pressure-based [ANSYS, Inc., 2013] Gambar 2.29 Skema metode solver coupled (ANSYS, Inc., 2013) Gambar 3.1 Diagram alir penelitian Gambar 3.2 Diagram alir prosedur simulasi xx

21 Gambar 3.3 Skematik penggunaan steam ejector pada sistem refrijerasi Gambar 3.4 Skema steam ejector Gambar 3.5 Ukuran geometri steam ejector Gambar 3.6 Ukuran geometri model Circle Nozzle Steam Ejector Gambar 3.7 Ukuran geometri model Square Nozzle Steam Ejector Gambar 3.8 Variasi penempatan NXP Gambar 3.9 Boundary condition pada steam ejector Gambar 3.10 Tampilan meshing steam ejector Gambar 3.11 Tampilan bentuk meshing tetrahedral Gambar 4.1 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus Gambar 4.2 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus Gambar 4.3 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Gambar 4.4 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus Gambar 4.5 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus Gambar 4.6 Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada model CNSE Gambar 4.7 Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada model SNSE Gambar 4.8 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary pada variasi primary pressure di model CNSE Gambar 4.9 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary pada variasi primary pressure di model SNSE Gambar 4.10 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary pada variasi primary pressure di model CNSE xxi

22 Gambar 4.11 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary pada variasi primary pressure di model SNSE Gambar 4.12 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.13 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.14 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.15 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa Gambar 4.16 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.17 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.18 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.19 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.20 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa Gambar 4.21 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.22 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.23 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.24 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.25 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa xxii

23 Gambar 4.26 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.27 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.28 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.29 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.30 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa Gambar 4.31 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.32 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.33 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.34 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.35 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa Gambar 4.36 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.37 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.38 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.39 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.40 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa xxiii

24 Gambar 4.41 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.42 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.43 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.44 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.45 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa Gambar 4.46 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.47 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.48 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.49 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.50 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa Gambar 4.51 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Gambar 4.52 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa Gambar 4.53 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa Gambar 4.54 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa Gambar 4.55 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa xxiv

25 Gambar 4.56 Gambar 4.57 Gambar 4.58 Gambar 4.59 Gambar 4.60 Gambar 4.61 Gambar 4.62 Gambar 4.63 Gambar 4.64 Gambar 4.65 Gambar 4.66 Gambar 4.67 Gambar 4.68 Gambar 4.69 Gambar 4.70 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa xxv

26 Gambar 4.71 Gambar 4.72 Gambar 4.73 Gambar 4.74 Gambar 4.75 Gambar 4.76 Gambar 4.77 Gambar 4.78 Gambar 4.79 Gambar 4.80 Gambar 4.81 Gambar 4.82 Gambar 4.83 Gambar 4.84 Gambar 4.85 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Nol Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa xxvi

27 Gambar 4.86 Gambar 4.87 Gambar 4.88 Gambar 4.89 Gambar 4.90 Gambar 4.91 Gambar 4.92 Gambar 4.93 Gambar 4.94 Gambar 4.95 Gambar 4.96 Gambar 4.97 Gambar 4.98 Gambar 4.99 Gambar Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa xxvii

28 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Nol Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa xxviii

29 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa xxix

30 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa xxx

31 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa xxxi

32 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa xxxii

33 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa xxxiii

34 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Nilai input yang relevan untuk [Versteeg dan Malalasekera, 1995] Tabel 3.1 Properties dari primary fliuid (nist.webbook.gov/ chemistry) Tabel 3.2 Properties dari secondary fluid Tabel 3.3 Tipe yang digunakan pada setiap discretization xxxiv

35 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG Singkatan Kepanjangan Pemakaian pertama pada halaman AC Air Conditioning 9 CAD Computer Aided Design 41 Conventional Ejector Refrigeration CERS 18 System CFD Computational Fluid Dynamics 7 CNG Compressed Natural Gas 5 CNSE Circle Nozzle Steam Ejector 10 CO Carbonmonoksida 6 COP Coefficient of Performance 7 DEN Departemen Energi Nasional 2 DES Detached Eddy Simulation 46 EDN Energi Data Nasional 5 ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral 3 KEN Kebijakan Energi Nasional 2 LES Large Eddy Simulation 46 LNG Liquid Natural Gas 5 LPG Liquid Petroleum Gas 5 MBOE Million Barrels of Oil Equivalent 5 MFG Multi Function Generator 20 NXP Nozzle Exit Position 10 PDE Partial Differential Equation 40 PDB Pertumbuhan Domestik Bruto 3 RNG Renormalization-group 46 RSM Reynold Stress Model 46 SNSE Square Nozzle Steam Ejector 10 xxxv

36 Lambang Arti Satuan Pemakaian pertama pada halaman Ar Luas m 2 9 a Kecepatan suara m/s 29 c p Kalor spesifik J/kg. K 22 c v Volume spesifik J/kg.K 22 du dy Gradien kecepatan m/s 26 ER Entrainment Ratio Dimensionless 21 E g Energi Percepatan Gravitasi J m/s 2 24 h Enthalpy J/kg 22 k Konduktifitas termal fluida W/m.K 22 L Panjang atau jarak m 28 m s Mass flow rate secondary kg/s 21 m p Mass flow rate primary kg/s 21 Ma Mach number Dimensionless 29 P Tekanan Pa 22 p Tegangan normal Pa 32 q Heat flux W/m 2 36 Re Bilangan Reynolds Dimensionless 28 R Konstanta gas ideal m 2 /s 2.K 29 R Konstanta gas Universal kg.m 2 /kmol.s 2.K 29 T Temperatur K 22 u Kecepatan pada arah x m/s 32 V Kecepatan m/s 28 v Viskositas kinematik m 2 /s 22 v Kecepatan pada arah y m/s 32 xxxvi

37 Lambang Arti Satuan Pemakaian pertama pada halaman x Koordinat kartesian m 32 y Koordinat kartesian m 32 z Koordinat kartesian m 32 δ Tebal boundary layer m 32 ε Disipasi J 47 ρ Densitas kg/m 3 22 µ Viskositas dinamik Pa.s 22 η Tegangan viscous Pa 31 yx Tegangan geser N/m2 26 Spesific Weights m/s 2 24 Ф Nilai rata-rata Dimensionless 38 θ Converging angle o 40 xxxvii

38 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, banyak energi yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga maupun untuk kebutuhan industri. Beberapa energi yang sudah dimanfaatkan yaitu energi fosil, energi panas bumi, energi surya, dan energi air (hydropower). Pada skema arus distribusi energi di Indonesia (Gambar 1.1), energi fosil yang mendominasi pemanfaatan energi saat ini. Energi fosil diklasifikasikan menjadi crude oil, coal dan natural gas. Energi fosil digunakan untuk pembangkit listrik hingga untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Energi panas bumi juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Walaupun di Indonesia mempunyai potensi energi panas bumi yang besar tetapi dalam pemanfaatannya belum dikelola secara baik. Namun dalam kurun waktu belakangan ini, mulai dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di beberapa daerah. Energi surya juga dimanfaatkan masih dalam skala kecil di Indonesia, karena membutuhkan alat yang cukup mahal dalam pemanfaatannya menjadi sumber pembangkit listrik. Hydro power dalam pemanfaatannya kurang lebih sama dengan energi panas bumi belum dimanfaatkan secara baik. Berbagai sumber energi diatas dalam pemanfaatannya perlu didukung ilmu pengetahuan. Pemanfaatan energi dan ilmu pengetahuan harus berjalan beriringan, agar energi tersebut dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan energi juga harus ditinjau efek negatif dampak bagi lingkungan. Kebijakan energi Indonesia ke depan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (Perpres) 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menggantikan Peraturan Presiden (Perpres) 05/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan pengelolaan energi didasarkan pada prinsip keadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional [Dewan Energi Nasional, 2014]. Penggunaan energi berprinsip pada wawasan lingkungan sehingga energi ramah lingkungan yang diperlukan. Dalam pemanfaatnya energi memerlukan sebuah alat atau sistem supaya lebih efisien. 1

39

40 2 Efisiensi energi dapat didefinisikan sebagai semua metode, teknik, dan prinsip-prinsip yang memungkinkan untuk dapat menghasilkan penggunaan energi lebih efisien dan membantu penurunan permintaan energi global [Indoenergi, 2016]. Data Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menyebutkan Usaha untuk mencapai pemakaian energi yang efisien di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Data Statistik Ekonomi Energi Kementerian ESDM menunjukkan elastisitas pertumbuhan konsumsi energi terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) rata-rata dalam rentang tahun mencapai 2,02. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan PDB masih bergantung pada pertumbuhan konsumsi energi yang besar (elastisitas energi yang diharapkan kurang dari 1, yang menunjukkan tingkat efisiensi tinggi). Walaupun intensitas penggunaan energi relatif tinggi, namun konsumsi energi per kapita di Indonesia relatif rendah. Indeks intensitas energi Indonesia mencapai 470, sementara konsumsi energi per kapita adalah 0,467. Bandingkan dengan Jepang, intensitas energi 92,8 sementara konsumsi energi per kapita-nya adalah 4,14. Angka tersebut memperkuat gambaran bahwa penggunaan energi di Indonesia belum produktif dan belum merata. Untuk mengembangkan efisiensi energi, selain mendorong pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga harus mengurangi pertumbuhan konsumsi energi. Pengurangan angka pemakaian energi adalah dengan melakukan langkah efisiensi, konservasi dan diversifikasi energi. Hal ini menuntut peran semua pihak secara luas, terutama sektor-sektor yang mengkonsumsi energi dalam skala besar. Data tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa penggunaan energi perlu adanya efisiensi, karena tingkat konsumsi di Indonesia yang masih tinggi [ESDM, 2016]. Efisiensi energi dapat berjalan dengan peran serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Peranan ilmu pengetahuan berpengaruh dalam menciptakan teknologi yang menggunakan konsumsi energi yang rendah pada suatu sistem ataupun alat. Teknologi akan mampu menjawab masalah yang sedang dihadapi masyarakat maupun industri. Teknologi yang menunjang industri dalam proses produksi maupun dalam efisiensi pekerjaan adalah salah satu cara untuk mencapai efisiensi

41 3 energi. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya riset dan penelitian supaya dapat menjawab tantangan pemanfaatan energi yang efisien. Energi menjadi kebutuhan yang primer untuk proses produksi maupun yang menunjang proses produksi. Di Industri, energi digunakan untuk membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, efisien waktu dan biaya. Karena adanya energi maka industri dapat beroperasi dan proses produksi dapat berlangsung. Setelah itu, produk hasil industri didistribusikan ke konsumen juga memerlukan energi yaitu energi fosil yang sudah diolah menjadi bahan bakar. Gambar 1.1 Skema arus distribusi energi di Indonesia tahun 2011 (Compendium of The National Energy Management of Indonesia, 2012). Energi fosil adalah energi yang didapatkan dari hasil alam yang mengandung hidrokarbon seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Energi fosil terjadi karena adanya timbunan mineral yang sangat lama sehingga energi fosil digolongkan menjadi energi tidak dapat diperbaharui. Energi fosil didapatkan dari fosil yang ada dibawah permukaan bumi maupun di bawah laut. Jumlah

42 4 pemanfaatan energi fosil luas, mulai dari rumah tangga hingga industri. Pemanfaatan energi fosil di alam seperti batubara, minyak bumi, natural gas diolah menjadi energi listrik, bahan bakar, LPG, LNG, CNG, dll. Presentase terbesar penggunaan energi fosil didominasi untuk pembangkit tenaga listrik dan bahan bakar. Pada tahun 2013 total konsumsi energi listrik domestik mencapai 188 TWh atau meningkat 40% dari tahun Konsumsi listrik diperkirakan akan terus meningkat hingga 287 TWh pada tahun 2018 dan 386 TWh pada tahun 2022, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun 8,3%. Pada Gambar 1.2, tahun 2011 di Indonesia penggunaan energi terbesar pada sektor industri yaitu 38,06% dan terbesar kedua di sektor transportasi dengan 33,45%. Energi fosil yang diolah menjadi bahan bakar digunakan di sektor transportasi dan pembangkit listrik. Bahan bakar dapat diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan. Karena keberagaman jenis bahan bakar yang digunakan untuk transportasi, maka perlu adanya pengolahan hingga menjadi produk jadi. Teknologi mampu memberikan solusi dari energi primer menjadi energi final [Purnomo, 2014]. Energi primer adalah energi yang diberikan oleh alam dan belum mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Energi final adalah energi yang langsung dapat dikonsumsi oleh pengguna akhir. Teknologi pemanfaatan energi fosil sering dijumpai inefisiensi. Inefisiensi dapat ditemukan pada proses pembakaran. Proses pembakaran menghasilkan sebuah usaha. Pada proses pembakaran selain menghasilkan usaha juga menghasilkan panas yang cukup besar. Dalam kendaraan bermotor, panas yang dihasilkan tidak dimanfaatkan lagi untuk proses tertentu. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran dibuang begitu saja ke lingkungan. Untuk mengatasi inefisiensi tersebut, panas dapat dimanfaatkan untuk menyuplai panas (kalor) di sistem refrijerasi. Sistem refrigerasi adalah penyerapan kalor oleh suatu zat pendingin yang disebut refrigeran. Refrigeran adalah fluida yang mempunyai titik didih yang rendah dan mempunyai titik beku yang tinggi. Ketika temperatur refrijeran lebih rendah dengan lingkungan maka, refrijeran mudah menyerap kalor dari

43 5 lingkungan. Refrijeran bertemperatur lebih rendah dari temperatur lingkungan terjadi proses perpindahan kalor (heat transfer). Perbedaan temperatur tersebut, refrigeran akan menguap karena menyerap panas dari lingkungan, sehingga temperatur di lingkungan menjadi dingin. Ketika refrijeran diberi tekanan yang rendah akan mudah untuk membeku. Perbedaan temperatur yang tinggi dalam proses refrigerasi dapat menaikan efisiensi sistem refrigerasi tersebut. Panas sisa (waste heat) hasil proses pembakaran dapat digunakan untuk membantu proses refrijerasi agar lebih efisien. Dengan begitu selain menghasilkan usaha, panas hasil proses pembakaran dapat dimanfaatkan dan tidak merusak lingkungan. Gambar 1.2 Sektor-sektor konsumsi energi di Indonesia [Compendium of The National Energy Management of Indonesia, 2012]. Panas yang dihasilkan dari industri dan kendaraan yang dibuang ke udara bebas dapat menyebabkan polusi udara dan menimbulkan efek pemanasan global. Pemanasan global terjadi karena gas CO yang dihasilkan dari proses pembakaran dapat merusak lapisan ozon. Lapisan ozon yang rusak menyebabkan radiasi ultraviolet dapat masuk ke permukaan bumi. Ultraviolet yang masuk ke bumi tidak dapat keluar lagi, sehingga membuat suhu bumi bertambah panas. Dalam menjaga lingkungan agar tetap baik walaupun banyak industri, perlu adanya penanganan terhadap waste heat. Waste heat dapat dimanfaatkan untuk keperluan

44 6 yang dapat menghemat energi yang diperlukan industri. Steam ejector dapat menjadi solusi dalam masalah yang sedang dihadapi. Steam ejector dapat mereduksi biaya dan dapat mengubah gas buang tersebut menjadi kompresi [Subramanian, 2014]. Steam ejector dapat bersaing dengan peralatan konvensional lain seperti kompresor. Meskipun kompresor dapat meningkatkan kompresi yang baik dan Coefficient of Performance (COP) yang tinggi, akan tetapi kompresor membutuhkan perawatan yang rutin dan suplai tenaga listrik yang besar. Kelebihan steam ejector dibandingkan kompresor yaitu tidak memerlukan tenaga listrik dan mudah dalam perawatannya. Pemanfaatan waste heat dari suatu sistem pada kendaraan dan industri diperlukan untuk menjaga lingkungan agar tetap baik. Selain itu, penggunaan bahan bakar yang efisien dapat menjaga kelestarian lingkungan serta mereduksi biaya produksi yang tinggi. Beberapa alat yang dapat membantu dalam proses efisiensi dan menjadi kelestarian lingkungan adalah venturi scrubber, converter, dan steam ejector. Alat-alat tersebut mempunyai kelebihan masing-masing dalam penggunaan tergantung masalah yang dihadapi. Dalam proses pemanfaatan waste heat, steam ejector mempunyai banyak kelebihan. Steam ejector mempunyai kelebihan yaitu tahan uji, mempunyai bentuk yang simpel, dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, biaya yang murah, dapat digunakan di beberapa refrigeran, perawatannya mudah, dan dapat digunakan pada refrigeran air. Air adalah refrigeran yang mudah didapat dan ramah lingkungan. Steam ejector mempunyai sebutan lain yaitu injector, jet pump, thermo compressor. Ejector pada sistem refrijerasi terbagi menjadi 4 golongan yaitu: conventional ejector refrigeration systems, advanced ejector refrigeration systems, combined refrigeration systems dan ejector enhanced vapor compression systems. Masing masing golongan mempunyai fungsi dan kegunaan masing-masing tergantung masalah yang sedang dihadapi di lapangan (Chen, 2015). Steam ejector adalah alat yang dapat digunakan untuk memompa cairan, gas atau campuran cairan, gas dan padat [Shah, 2011]. Steam ejector cocok untuk menghisap dan memompa cairan yang beracun di industri. Steam ejector juga

45 7 digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan air di lokomotif dan armada laut serta sebagai steam jet air ejector di pengisian gas pada kondensor turbin. Selain itu, steam ejector juga digunakan di industri minyak dan gas untuk meningkatkan produksi. Dalam kurun waktu beberapa tahun belakang ini, steam ejector menjadi pusat penelitian komputasi maupun eksperimen oleh banyak peneliti yaitu Aybar dan Beithou, 1999; Dumaz dkk, 2005; Garcia del Valle dkk, 2015, serta Yan dkk, Peneliti tersebut mencari performa dari steam ejector. Untuk kedepannya, steam ejector dapat digunakan untuk pendinginan pada keadaan darurat dan sistem pemasok pendinginan di reaktor nuklir. Kebutuhan masing-masing penggunaan, steam ejector tidak terlepas dari model. Model yang baik dapat membantu proses pencampuran fluida secara menyeluruh dan mengurangi back pressure. Geometri dari mixing chamber dan panjang dari throttle, serta sudut dan tinggi dari converging section sangat mempengaruhi performa dari steam ejector (Henzler, 1983). Penelitian Varga dkk tahun 2009 adalah jarak optimum dari keluaran primary nozzle hingga masuk dalam mixing chamber untuk pencampuran dua fluida. Pada penelitian Fahris, 2010 menyatakan kelemahan dari steam ejector pada refrigerasi adalah nilai COP dan kapasitas pendinginan yang rendah. Maka berbagai eksperimen dari steam ejector dikembangkan untuk meningkatkan nilai COP. Entrainment ratio berpengaruh langsung terhadap nilai COP pada suatu sistem. Entrainment ratio sangat dipengaruhi oleh bentuk geometri steam ejector dan operating conditions. Refrigerasi steam ejector merupakan sistem refrigerasi dengan memanfaatkan waste heat sebagai sumber energi utamanya. Pada penelitian Mohammad Subri, 2013 menyatakan steam ejector berperan sebagai pengganti kompresor pada siklus kompresi uap. Refrigerasi steam ejector memiliki COP yang rendah, sehingga perlu dilakukan penelitian karakteristik dari steam ejector. Penelitian yang dilakukan adalah dengan membuat desain geometri steam ejector untuk mendapatkan hasil yang paling optimal. Kinerja steam ejector dapat dilihat dari besarnya nilai entrainment ratio. Entrainment ratio adalah perbandingan mass flow rate secondary dengan mass flow rate primary.

46 8 Meningkatnya nilai entrainment ratio dapat meningkatkan nilai COP sistem refrigerasi. Penelitian ini, C.Li, Y.Z. Li, 2011, Investigation of entrainment behavior and characteristics of gas-liquid ejector based on CFD simulation. Mempelajari gas-liquid ejectors yang diaplikasikan pada natural circulation precooling of cryogenic propellant rocket engine system. Data yang hasil eksperimen digunakan untuk validasi pada simulasi dengan menggunakan Computational Fluid Dynamic (CFD). CFD digunakan untuk mengetahui secara detail pengaruh yang terjadi dengan memvariasikan bentuk geometri, spesifikasi fluida dan operating condition pada 2 fase fluida. Mass flow rate secondary menurun bersamaan dengan naiknya perbedaan tekanan pada ΔP (primary pressure dan secondary pressure). Ketika ΔP dan secondary pressure konstan menjadikan mass flow rate secondary secara berlahan meningkat seiring dengan meningkatnya primary pressure. Selain itu panjang pipa pencampuran (throttle) menjadi parameter yang penting dalam performa ejector. Maksimum panjang throttle pada gas liquid ejectors adalah mempunyai rasio 1-2 kali dari diameter pipa pencampuran untuk mendapatkan entrainment ratio yang optimum. Untuk hasil optimum dari panjang throttle dibanding diameter throttle untuk satu fasa ejector adalah antara 5-7. Jianyong Chen, Sad Jarall dan Hans Havtun tahun 2015 dengan jurnal yang berjudul A review on versatile ejector aprimary pressurelications in refrigeration system menunjukkan performa dari sistem tergantung dari tipe dari refigeran, operating conditions dan geometri ejector tersebut. Area ratio (Ar) dan Nozzle Exit Position (NXP) adalah bagian dari parameter geometri ejector. Performa yang maksimum dari ejector tidak mudah didapatkan. Beberapa sistem refrigerasi ejector untuk mendapatkan hasil maksimum, yaitu: conventional ejector refrigeration systems, advanced ejector refrigeration systems, combined refrigeration systems dan ejector enhanced vapor compression systems. Pada conventional ejector refrigeration performance mempunyai beberapa hal yang istimewa, yaitu membutuhkan konsumsi listrik lebih rendah daripada vapor compression system. Advanced ejector refrigeration system digunakan untuk meningkatkan efisiensi, meningkatkan COP dan menghilangkan pompa dengan

47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 memanfaatkan panas saja. Advanced ejector refrigeration system cocok digunakan pada Air Conditioning (AC) dan pembuatan es batu yang memanfaatkan panas matahari. Untuk combined refrigeration systems, refrigeration system digunakan dengan memanfaatkan waste heat untuk proses pendinginan. Ejector enhanced vapor compression system digunakan untuk sistem refrigerasi di supermarket, kulkas dan pompa kalor. Randheer L. Yadav dan Ashwin W.Patwardhan, 2008, Design aspects of ejectors: effects of suction chamber geometry. Ruang pencampur (suction chamber) adalah tempat dua aliran yaitu primary fluid dan secondary fluid bertemu. Suction chamber menjadi bagian yang penting dari ejector untuk mengoptimalisasikan performa ejector. Pada penelitian tersebut, peneliti menyelidiki tentang (i) perbandingan (LTN/DT), LTN jarak dari ujung nozzle ke bagian throat dan DT adalah diameter throat, (ii) Diameter dari suction chamber (Ds), dan (iii) sudut dari converging section (θ). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa diameter dari suction chamber lebih besar mempengaruhi kapasitas entrained fluid yang masuk ke mixing chamber. Sudut dari converging section (θ) yang optimum berada pada rentang 5⁰-15⁰, serta nilai optimum entrainment ratio yang dihasilkan pada area ratio (Ar) 6,6. Dalam simulasi steam ejector, peneliti menggunakan simulasi Computational Fluid Dinamics (CFD) ANSYS Fluent 14. CFD digunakan untuk mengurangi biaya dan efisiensi waktu dalam membuat prototype pada sebuah rancangan. Penggunaan CFD dapat memprediksi kontur tekanan, temperatur dan kecepatan yang terjadi pada sistem, dengan memberikan boundary condition pada prototype [Bartosiewicz, 2005]. CFD dapat menganalisa permasalahan aliran yang komplex, seperti entrainment ratio dan proses pencampuran di dalam ejector. CFD juga dapat mengetahui kontur arah aliran. Pada sistem yang sulit untuk dibuat prototype maupun dalam pengujian, CFD memberikan pemahaman mendalam mengenai efek yang akan terjadi.

48 Perumusan Masalah Masalah yang akan dibahas oleh peneliti pada penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana pengaruh variasi primary pressure terhadap nilai entrainment ratio di dalam steam ejector? 2. Bagaimana pengaruh variasi Nozzle Exit Position (NXP) terhadap nilai entrainment ratio di dalam steam ejector? 3. Pengaruh model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE) terhadap nilai entrainment ratio di dalam steam ejector. 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui nilai entrainment ratio dari variasi primary pressure. 2. Mengetahui nilai entrainment ratio dari variasi Nozzle Exit Position (NXP). 3. Mengetahui dan menganalisa nilai entrainment ratio dari variasi model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). 1.4 Batasan Masalah Batasan-batasan yang ditentukan dalam simulasi steam ejector pada penelitian ini adalah: 1. Simulasi di lakukan pada aliran steady dan 3 dimensi. 2. Menggunakan steam untuk primary fluid dan udara untuk secondary fluid. 3. Primary fluid disimulasikan pada tekanan 140 kpa, 155kPa, 170 kpa. 185 kpa dan 200 kpa. 4. Model nozzle yang digunakan Circle Nozzle dan Square Nozzle. 5. Menggunakan variasi Nozzle Exit Position (NXP). 6. Menggunakan geometri steam ejector yang sudah ditentukan. 7. Tidak memperhitungkan rugi-rugi gesekan dengan dinding (inviscid).

49 11 8. Tidak terjadi perpindahan panas dengan lingkungan (adiabatic). 9. Menggunakan model turbulen realizable k-ε. 1.5 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pemanfaatan gas buang terhadap efisiensi energi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Menambah kajian ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan waste heat. 3. Mengetahui nilai efisiensi penggunaan steam ejector yang baik dengan model steam ejector yang sudah ditentukan oleh peneliti. 4. Penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai pemanfaatan waste heat terhadap efisiensi penggunakan energi untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitar. 5. Supaya peneliti dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik Mesin.

50 BAB II DASAR TEORI 2.1 Steam Ejector Steam ejector pertama kali ditemukan oleh Le Blance dan Charles Parsons tahun Pada tahun 1930, steam ejector mulai dikenal dan digunakan pada AC untuk gedung-gedung. Steam ejector bekerja dengan memanfaatkan waste heat dari sistem pembangkit daya, ruang pembakaran dan pada mesin industri untuk menghasilkan proses refrigerasi. Pada Gambar 2.2, steam jet ejector secara umum terdiri lima bagian yaitu: nozzle, suction chamber, mixing chamber, throttle dan diffuser (diverging section) [Chunnanond dan Aphornratana, 2004]. Keuntungan menggunakan steam ejector yaitu tidak ada part yang bergerak, tidak membutuhkan pelumasan dalam proses kerjanya, relatif murah dalam pembuatannya, dalam pengoperasiannya juga simpel, tangguh dan mempunyai biaya perawatan sangat rendah dibanding kompresor. Gambar 2.1 Liquid ejector (kiri), steam jet liquid ejector (kanan) ( Suction chamber Gambar 2.2 Skema ejector (Chunnanond dan Aphornaratana, 2004). 12

51 13 Gambar 2.3 dapat dilihat proses yang terjadi di dalam steam ejector. Uap bertekanan rendah dan bertemperatur tinggi dari boiler masuk ke primary nozzle dan keluar menuju daerah mixing chamber dengan kecepatan supersonic sehingga akan menghisap secondary fluid yang bertekanan tinggi dan temperatur lebih rendah dari suction chamber. Ketika primary fluid dan secondary fluid mengalami pencampuran pada mixing chamber, kecepatan fluida menjadi aliran subsonik. Setelah fluida melewati throttle dan menuju ke diverging section tekanan fluida meningkat karena adanya perluasan penampang pada diverging section. Peranan steam jet ejector adalah sebagai pengganti kompresor pada siklus kompresi uap yaitu menaikkan tekanan aliran dari evaporator melalui suction chamber (Fahris, 2010). Gambar 2.3 Karakteristik tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector [Chunnanond dan Aphornaratana, 2004]. 2.2 Bagian-bagian Steam Ejector Penelitian ini menggunakan steam ejector. Bagian steam ejector terdiri dari nozzle, suction chamber, mixing chamber, throttle dan diverging section.

52 14 a. Nozzle Nozzle terbagi menjadi 2 bagian yaitu converging nozzle dan diverging nozzle. Aliran fluida yang mengalir melalui nozzle disebut primary flow. Penampang nozzle yang menyempit bertujuan agar aliran yang masuk ke dalam nozzle mengalami peningkatan kecepatan menjadi subsonic maupun supersonik. b. Suction chamber Suction chamber mempunyai penampang yang luasannya konstan dan berbentuk tabung. Bagian ini terjadi pencampuran primary fluid dan secondary fluid pada variasi Nozzle Exit Position (NXP) Minus. Bagian ini didominasi oleh secondary fluid, karena secondary fluid mengalir di bagian ini sebelum bercampur dengan primary fluid. c. Mixing chamber Mixing chamber terdapat di daerah converging section, dimana dua fluida bertemu secara langsung pada variasi Nozzle Exit Position (NXP) Plus. Mixing chamber dapat disebut sebagai jantung/pusat dari ejector. Hal tersebut dikarenakan terjadi proses termodinamika, proses hisap, proses pencampuran kedua fluida, perpindahan massa, momentum, dan transfer energi. Secondary flow mengalami perubahan kecepatannya menjadi sonic karena momentum yang dihasilkan oleh primary flow. Karena terkondensasi oleh steam primary fluid, fluida hasil akhir adalah subcooled water mempunyai tekanan yang relatif tinggi. d. Throttle Bagian throttle adalah bagian yang mempunyai diameter dan luasan penampang yang konstan. Di bagian ini kedua fluida mengalami pencampuran secara terus menerus. Pada beberapa penelitian yang ada, throttle menjadi bagian yang sangat mempengaruhi nilai entrainment ratio. e. Diffuser Diffuser merupakan bagian diverging section yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan. Fluida yang mengalir di bagian ini adalah aliran

53 15 campuran dari energi kinetik diubah menjadi tekanan, sehingga membuat kecepatan dari aliran berkurang dan tekanan akan bertambah. 2.3 Aplikasi Steam Ejector Di dalam proses refrijerasi (Gambar 2.4), steam ejector digunakan meningkatkan efisiensi untuk membuat efek pendinginan dengan memanfaatkan waste heat dari proses di industri dan maupun otomotif. Gambar 2.4 Siklus refrigerasi ( Gambar 2.5 Diagram eksperimen chiller steam ejector dengan memanfaatkan panas matahari [Pollerberg, 2008].

54 16 Steam ejector digunakan dalam pendinginan dan mengeringkan makanan sebelum disajikan atau pada waktu proses pengiriman. Pengaplikasian steam ejector juga dapat menggunakan kalor dari energi terbarukan, contohnya panas matahari (Gambar 2.5). Gambar 2.6 Ejector pada pressure vessel di pembangkit listrik tenaga panas bumi ( Gambar 2.7 Skema oil production ( Selain itu steam ejector juga digunakan untuk proses kompresi uap yang membutuhkan performa sistem yang baik serta mempunyai efisiensi energi yang tinggi. Steam ejector dapat digunakan di pressure vessel pada pembangkit listrik

55 17 tenaga panas bumi (Gambar 2.6). Ejector pada pressure vessel berfungsi untuk meningkatkan tekanan sehingga aliran fluida yang masuk untuk memutar turbin/generator dapat lebih maksimal. Namun kekurangan yang dimiliki steam ejector adalah mempunyai efisiensi yang relatif kecil dan sulit dalam menentukan desain yang cocok. Oleh karena itu, steam ejector masih menjadi topik yang banyak diteliti untuk mengetahui karakteristik, cara kerja serta cara untuk meningkatkan performanya. Steam ejector digunakan dalam industri perminyakan (Gambar 2.7). Pada proses pengambilan minyak mentah, ejector digunakan supaya kerja dari pompa penghisap tidak berat. Pada proses ini, ejector mengalirkan steam/nitrogen ke bawah permukaan bumi hingga di daerah lapisan minyak mentah. Volume steam yang dimasukan akan memenuhi lapisan minyak mentah. Tekanan di lapisan minyak mentah meningkat karena tekanan steam, maka minyak mentah akan bergerak menuju saluran oil production (Gambar 2.7). Selain itu, ejector juga digunakan pada proses farmasi, contohnya untuk mencampur senyawa/fluida. Ejector cocok untuk proses pencampuran membutuhkan kondisi vakum (Gambar 2.8). Ejector juga digunakan dalam dunia otomotif untuk proses pencampuran bahan bakar. Dari berbagai contoh tersebut, ejector menjadi alat yang sangat diperlukan di berbagai bidang. Gambar 2.8 Proses pencampuran bahan kimia dalam kondisi vakum ( Tingkat kevakuman yang dapat dicapai oleh steam ejector bervariasi antara 0,13 bar untuk single stage sampai dengan 0,03 bar untuk two stage steam jet

56 18 ejector. Kebutuhan uap untuk motive steam tergantung dari jumlah aliran gas yang akan diekstraksi. Kondisi motive steam harus uap kering dan jenuh. Jika terdapat moisture dalam steam, separator dan steam trap dapat ditambahkan untuk meningkatkan kualitas steam. Minimum dryness steam yang dianjurkan adalah 99.5%. Kualitas uap yang buruk tidak akan membahayakan sistem, tetapi dapat menyebabkan erosi di steam nozzle dan diffuser [Chen dkk, 2015]. 2.4 Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System Penggolongan tipe-tipe ejector system oleh Jianyong Chen dkk, 2015 yang menyebutkan 3 tipe dibawah ini : Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) Gambar 2.9 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h Diagram [Chen dkk, 2015]. Dalam Gambar 2.9 menunjukkan sistem refrijerasi konvensional dan diagram P-h dengan dua model ejector yang digunakan dalam teknologi refrijerasi. Dua model ejector adalah model konstan area pencampuran dan model konstan tekanan pencampuran. Secara umum sistem tersebut mempunyai penggunaan energi yang kecil (Qg) yang disalurkan di generator untuk penguapan. Tekanan tinggi yang dihasilkan oleh generator (primary flow) dan tekanan rendah dari evaporator (secondary flow) masuk ke ejector. Selanjutnya, pencampuran dari kedua fluida tersebut masuk menuju ke condensor untuk proses pelepasan

57 19 panas ke lingkungan (Qc). Fluida yang mencair akan dipompakan ke generator dan sisa uap akan masuk ke katub ekspansi lalu disalurkan ke evaporator. Yang mempengaruhi efek dari performa sistem adalah temperatur dari generator (Tg), temperatur condensor (Tc), temperatur evaporator (Te), perbedaan temperatur yang ada di primary flow (ΔTp) dan secondary flow (ΔTs), geometri ejector, Area ratio (Ar), Nozzle Exit Position (NXP), converging angle (θ) dari mixing chamber, dan panjang throttle. Nilai COP dan entrainment ratio yang baik berpengaruh pada fluida kerja, kondisi pengoperasian, dimensi ejector dan semua parameter, sehingga untuk mendapatkan kondisi yang benar-benar bagus bukan hal yang mudah. Area ratio dan NXP adalah yang paling berpengaruh terhadap entrainment ratio. Untuk divergent-convergent angle dan diffuser hanya sedikit mempengaruhi entrainment ratio [Chen dkk, 2015]. Conventional ejector refrigeration system (CERS) diteliti selama kurun waktu 100 tahun terakhir dan masih menjadi topik menarik untuk penelitian. Penelitian yang dapat menjawab fenomena aliran di ejector. Selain fenomena aliran, desain geometri sangat mempengaruhi performa ejector. Karena memang banyak faktor yang mempengaruhi performa dari ejector, yaitu fluida kerja, dimensi ejector, operating condition terutama temperatur. Meskipun CERS sangat sedikit dalam konsumsi listrik, CERS mempunyai kekurangan ketika dibandingkan dengan absorption refrigeration system. Absorption refrigeration system mempunyai COP rendah dan sulit untuk digunakan pada operating condition yang berbeda [Chen dkk, 2015] Advanced Ejector Refrigeration System Dalam menyikapi CERS yang mempunyai nilai COP yang rendah maka, peneliti mencoba untuk mencari Advanced Ejector Refrigeration System yang mempunyai nilai COP yang tinggi. Penelitian dilakukan dengan simulasi dan eksperimen. Cara untuk memperoleh nilai COP yang tinggi dengan mengubah konfigurasi/struktur dari ejector. Konfiguasi ejector dengan menggunakan multistage ejector dan tidak menggunakan pompa mekanik dalam pengoperasian

58 20 sistem. Konfiguasi juga dapat menggunakan regenerasi dan/atau pre-cooler [Chen, 2015]. Gambar Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector; (b) Skema sistem; (c) P-h Diagram [Chen dkk, 2015]. Pengoperasian conventional refrigeration system menggunakan pompa istrik. Selain itu, masalah yang sering ditemui dalam penggunaannya adalah terdapat rongga di dalam sistem, kebocoran refrigeran, getaran dan malfunction. Untuk menyikapi hal itu diperlukan solusi dari masalah yang terjadi. Nguyen tahun 2001 menggunakan ejector yang memanfaatkan grafitasi bumi dalam pengoperasiannya. Huang tahun 2006 menggunakan Multi Function Generator (MFG) untuk memompa panas pengganti pompa mekanik Combined Steam Ejector Refrigerator System Ejector dapat dikombinasikan dengan tipe sistem refrijerasi yang lain contohnya: vapor compression refrigeration system, absorption system dan

59 21 adsorbtion system, heat pipe and power generation system. Combined steam ejector refrigeration system digunakan khusus pada kondisi lingkungan tertentu agar tercapai efisiensi yang baik [Chen, 2015]. Gambar 2.11 Combined Steam Ejector Refrigeration System [Chen dkk, 2015]. 2.4 Evaluation Parameter Steam Ejector Dalam melakukan analisa performa dari steam ejector diperlukan parameter yang merepresentasikan karakteristik. Analisa aliran fluida pada steam ejector dilakukan menggunakan entrainment ratio. Berikut ini persamaannya: entrainment ratio m s m p (2.1) dimana, m s m p = mass flow rate secondary (kg/s) = mass flow rate primary (kg/s) 2.5 Definisi Fluida Fluida terbagi menjadi 3 jenis yaitu benda padat, cair dan gas. Jika suatu benda padat dimasukkan kedalam suatu wadah (container) tertutup yang lebih besar maka, bentuk benda padat tersebut tidak akan berubah bentuk menyesuaikan wadah. Namun jika zat cair dimasukkan ke dalam wadah, maka zat cair tersebut akan berubah bentuk dan akan menyesuaikan bentuk dengan wadah. Dan jika gas

60 22 yang dimasukkan ke dalam wadah maka, akan memenuhi wadah secara keseluruhan [Fox, 2011]. Kata fluida digunakan untuk merepresentasikan baik benda cair ataupun gas. Fluida didefinisikan sebagai zat yang dapat terdeformasi secara terus menerus jika diberikan tegangan geser, walaupun gaya geser yang diberikan tersebut relatif kecil seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12(b). Deformasi benda padat (solid) akan terjadi jika dikenai geseran, tetapi deformasi pada benda padat tidak berlangsung secara terus menerus seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12(a). Gambar 2.12 Efek dari (a) benda padat (solid) dan (b) fluida (fluid), jika diberikan gaya geser yang konstan [Fox, 2011]. Ketika berbicara tentang kecepatan fluida (V), hal-hal yang perlu diketahui adalah data properti termodinamika dari fluida tersebut. Ada 3 hal yang paling penting yang dipunyai fluida ketika berbicara vektor kecepatan fluida yaitu tekanan, densitas dan temperatur. Selain itu,yang dapat mempengaruhi sifat dari fluida adalah viskositas kinematik (v), viskositas dinamik ( ), entalpi (h), kondutifitas termal (k), kalor spesifik (Cp), volume spesifik (Cv) dll. (P,T ) h h(p,t ) (P,T ) a. Densitas Densitas dilambangkan dengan simbol Yunani (rho), didefinisikan sebagai massa fluida per satuan volume. Densitas biasanya digunakan untuk mengkarakteristikan massa sebuah sistem fluida. Untuk satuan British menggunakan satuan slugs/ft, dalam satuan SI menggunakan kg/m 3. Nilai

61 23 kerapatan dapat bervariasi cukup besar diantara fluida yang berbeda. Zat cair pada variasi tekanan dan temperatur umumnya hanya memberikan pengaruh kecil terhadap nilai rho. Tidak seperti gas, kerapatan sebuah gas sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperaturnya. Fluida yang mempunyai densitas paling tinggi adalah Mercury dengan kg/m 3, yang mempunyai densitas terendah adalah Hydrogen dengan 0,0838 kg/m 3. b. Viskositas Viskositas merupakan ukuran kekentalan fluida yang menyatakan besar kecilnya gesekan di dalam fluida. Semakin besar viskositas suatu fluida, maka semakin sulit fluida mengalir dan semakin sulit benda bergerak dalam fluida tersebut. Di dalam zat cair viskositas dihasilkan dari gaya kohesi antar molekul zat cair. Di dalam gas, viskositas timbul sebagai akibat tumbukan antara molekul gas. c. Entalpi Entalpi adalah istilah dalam termodinamika yang menyatakan jumlah energi suatu sistem termodinamika. Entalpi terdiri dari energi dalam sistem, termasuk satu dari lima potensial termodinamika dan fungsi keadaan, juga volume dan tekanannya. Dalam satuan SI, entalpi mempunyai satuan Joule. Total entalpi (h) tidak bisa diukur secara langsung. Sama seperti pada mekanika klasik, hanya perubahannya dapat dinilai. Entalpi merupakan potensial termodinamika, maka untuk mengukur entalpi suatu sistem, harus menentukan titik referensi terlebih dahulu, sehingga dapat diukur perubahan entalpinya. Untuk proses dengan tekanan konstan, perubahan entalpi sama dengan perubahan energi dalam sistem ditambah kerja yang dilakukan sistem pada lingkungan. Perubahan entalpi pada kondisi ini adalah panas yang diserap atau dilepas melalui reaksi kimia atau perpindahan panas eksternal. d. Entropi Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang tidak dapat digunakan untuk melakukan

62 24 usaha. Manifestasi yang paling umum dari entropi adalah ketika entropi dalam sistem tertutup selalu naik dan pada kondisi transfer panas, energi panas berpindah dari temperatur lebih tinggi ke temperatur lebih rendah. Pada suatu sistem entropi berjalan searah (bukan reversible/bolak-balik). Pada proses termodinamika, entropi suatu sistem diukur untuk menentukan bahwa energi tidak dapat dipakai untuk melakukan usaha. Pada termodinamika klasik, konsep entropi didefinisikan pada hukum kedua termodinamika, yang menyatakan entropi juga dapat menjadi ukuran kecenderungan suatu proses. Satuan entropi adalah Joule/Kelvin. e. Spesific Weight ( ) Spesific weight mempunyai simbol yaitu lowercase Greek gamma. Spesifik weight adalah berat per unit volume. Rumus untuk menentukan spesific weight adalah: g (2.2) Satuan dari spesific weight adalah berat per satuan volume yaitu lbf/ft 3 atau N/m 3. Standar percepatan gravitasi di bumi adalah 32,174 ft/s 2 atau 9,807 m/s 2. Spesific weight banyak digunakan dalam aplikasi tekanan hydrostatic. 2.6 Klasifikasi Aliran Fluida Computational Fluid Dynamic (CFD) fluida dapat diklasifikasikan dalam berbagai bentuk. Masalah klasifikasi aliran sering ditemukan di industri dari yang simpel hingga komplek. Dalam analisa aliran fluida, densitas merupakan poin yang terpenting untuk diperhitungkan dan fluida diasumsikan sebagai partikel yang terus bergerak terhadap ruang dan waktu. Dengan begitu fluida dapat dikatakan sebagai continuum, yaitu asumsi bahwa terdapat jarak antar molekul yang sangat jauh jika dibandingkan dengan ukuran molekulnya tetapi tidak akan mempengaruhi sifat molekulnya secara signifikan [Atkins, 2013]. Secara umum aliran fluida dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

63 25 Gambar 2.13 Flowchart klasifikasi aliran di Computaional Fluid Dynamics [Jiyuan, 2008] Aliran Viscous dan Non-viscous Pengindikasian utama fluida pada jenis aliran viscous dan inviscid. Aliran dimana efek viskositas diabaikan disebut aliran inviscid. Pada aliran inviscid, viskositas fluida (µ) dianggap nol (µ = 0). Pada kenyataannya fluida dengan viskositas nol tidak ada. Banyak permasalahan yang mengabaikan viskositas untuk penyederhanaan dalam menganalisa dan untuk memperoleh hasil Gambar Pembagian daerah aliran viskos pada plat rata [Holman, 1998].

64 26 yang lebih berguna. Aliran viskos adalah aliran dimana efek viskositas sangat penting. Daerah aliran viskos merupakan daerah yang dipengaruhi oleh tegangan geser. Pada Gambar 2.14, plat terbentuk suatu daerah dimana pengaruh gaya viskos (viscous force) makin meningkat. Hubungan viskositas dengan tegangan geser (shear stress) pada aliran viskos satu-dimensi adalah sebagai berikut : YX du dy (2.3) v (2.4) dimana: yx du dy μ v = tegangan geser (N/m 2 ) = gradien kecepatan (m/s) = viskositas dinamik (Pa.s) = viskositas kinematis (m 2 /s) ρ = densitas (kg/m 3 ) Aliran Laminar dan Turbulen Berdasarkan struktur alirannya, aliran fluida dibedakan menjadi aliran laminar dan aliran turbulen. Untuk aliran laminar mempunyai kecepatan pada suatu titik akan tetap terhadap waktu. Sedangkan aliran turbulen kecepatannya akan mengindikasikan suatu fluktuasi yang acak. Dalam aliran turbulen, profil kecepatan pada suatu titik dihasilkan dari gerak acak partikel fluida berdasarkan waktu dalam jarak dan arah. Jika kita mengambil kecepatan rata-rata terhadap waktu, maka kecepatan sesaat dapat dihitung dengan menambahkan kecepatan rata-rata dengan kecepatan fluktuasi.

65 27 Gambar Tipe profil kecepatan di dalam pipa (a) Aliran laminar (b) Aliran turbulen [White, 2011]. (a) Gambar (a) High-viscosity, low Reynolds number, laminar flow (b) Lowviscosity, high Reynolds number, turbulent flow [White, 2011]. (b) Bilangan Reynolds merupakan parameter tak-berdimensi yang sangat terkenal dalam ilmu mekanika fluida. Nama ini diberikan sebagai penghargaan bagi Osborne Reynolds ( ), insinyur dari Inggris yang pertama kali mendemonstrasikan kombinasi dari variabel-variabel dapat digunakan sebagai suatu patokan untuk membedakan aliran laminar dengan aliran turbulen. Pada persoalan aliran fluida, akan kita dapati panjang karakteristik dan kecepatan, demikian juga kerapatan fluida dan viskositas, merupakan variabel-variabel yang

66 28 relevan dalam sebuah persoalan. Dengan variabel tersebut, Bilangan Reynolds (Re) adalah: 0 < Re < 1 : Laminar yang sangat tinggi 1 < Re < 100 : Laminar, tergantung Reynold number 100 < Re < 10 3 : Laminar, menggunakan teori kondisi batas 10 3 < Re < 10 4 : Transisi ke turbulen 10 4 < Re < 10 6 : Turbulen, yang tidak terlalu extrem 10 6 < Re < : Turbulen, sedikit sekali tergantung Reynold number Re VL (2.5) dimana: ρ : densitas fluida (kg/m 3 ) V L μ : kecepatan rata-rata fluida (m/s) : diameter pipa (m) : viskositas fluida (kg/m.s) Secara alamiah muncul dari suatu analisa dimensional bahwa bilangan Reynold adalah ukuran rasio gaya inersia pada suatu elemen fluida terhadap gaya viskositas elemen [Fox, 2011] Aliran Kompresibel dan Inkompresibel Aliran dimana variasi atau perubahan densitas (ρ) fluida diabaikan maka aliran disebut aliran inkompresibel dan berlaku untuk sebaliknya jika variasi densitas tidak diabaikan maka aliran itu disebut aliran kompresibel. Contoh yang paling umum aliran kompresibel adalah aliran gas, sementara itu aliran fluida diperlakukan sebagai aliran inkompresibel. Aliran gas yang mengabaikan perpindahan panas bisa juga dianggap sebagai aliran inkompresibel dengan persyaratan kecepatan aliran relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan kecepatan suara. Perbandingan kecepatan aliran (V) terhadap kecepatan lokal suara (a) pada gas didefinisikan sebagai Bilangan Mach (Ma).

67 29 dimana: Ma V a V = kecepatan aliran (m/s) a = kecepatan suara (m/s) (2.6) didefinisikan: Sedangkan kecepatan suara (a) merupakan fungsi dari temperatur dan a krt (2.7) dimana: a R R Ma = kecepatan suara (m/s) (2.8) c p k = rasio spesifik panas ( k ) c v T R = Temperatur (K) = konstanta gas universal (8314 kg.m 2 /kmol.s 2.K) R = konstanta gas ideal (m 2 /s 2.k ) Mach number menjadi parameter yang dominan dipakai di dalam analisa aliran kompresibel, dengan efek perbedaan besarannya. Mach number dapat di klasifikasikan sebagai berikut [White, 2012]: Ma < 0,3: Aliran inkompresible, dimana pengaruh dari densitas (density) dihiraukan. 0,3 < Ma <0,8: Aliran subsonik, dimana pengaruh dari densitas menjadi penting tetapi tidak terjadi shock waves. 0,8 < Ma < 1,2: Aliran transonik, dimana saat pertama kali shock waves terjadi, memisahkan daerah subsonik dan supersonik di dalam aliran. Mengontrol penerbangan pada daerah transonik sangatlah sulit karena bentuk dari aliran yang rumit.

68 30 1,2 < Ma < 3,0: Aliran supersonik, dimana pada saat terjadi shock waves tetapi tidak ada daerah subsonik. 3,0 < Ma: Aliran hipersonik, dimana shock waves dan aliran lainnya berubah menjadi lebih kuat Aliran Ekternal dan Internal Gambar 2.17 Kondisi batas pada permasalahan aliran internal [Jiyuan, 2008]. Gambar 2.18 Kondisi batas pada permasalahan aliran eksternal [Jiyuan, 2008].

69 31 Aliran fluida yang terjadi di lingkungan sekitar kita menunjukkan kondisi batas dari masalah tentang aliran fluida. Ketika menggunakan CFD pendefinisian fluida harus pada kondisi nyata. Pada aliran fluida yang komplek, Computational Fluid Dynamic dapat menghitungnya dengan kondisi batas yang ada. Gambar 2.16 diharapkan dapat memproyeksikan kondisi batas yang akan dimasukan dalam proses simulasi. Gambar 2.16 dan Gambar 2.17 terdapat dua jenis aliran yang disebutkan yaitu aliran internal dan aliran eksternal. Aliran internal adalah aliran fluida yang dibatasi oleh permukaan benda atau cassing. Oleh karena itu lapisan batas tidak dapat berkembang tanpa dibatasi oleh permukaan. Eksternal flow adalah aliran fluida yang tidak dibatasi oleh permukaan benda, namun seakan-akan permukaan bendalah yang dibatasi oleh aliran fluida tersebut. 2.7 Persamaan Dasar Aliran Fluida dan Perpindahan Kalor Persamaan aliran fluida merepresentasikan pernyataan matematika dari hukum kesetimbangan. Massa fluida adalah tetap, besarnya perubahan momentum sama dengan jumlah total gaya pada partikel fluida (Hukum Newton ke II), dan perubahan energi sama dengan jumlah total kalor yang ditambahkan dan kerja Gambar 2.19 Skema satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. yang dilakukan oleh partikel fluida (Hukum I Termodinamika). Fluida akan dianggap sebagai satu kesatuan atau satu rangkaian. Pada analisa aliran fluida secara makroskopis ( 1 µm), struktur molekul fluida dapat diabaikan [Versteeg

70 32 dan Malalasekera, 1995]. Karakteristik fluida secara makroskopis dapat ditentukan melalui kecepatan, tekanan, densitas dan temperatur, serta turunan ruang dan waktu. Suatu elemen fluida dapat digambarkan sebagai berikut : Karena ukuran elemen fluida sangat kecil maka karakteristik fluida pada permukaannya dapat diperhitungkan dengan cukup akurat. Misalnya saja tekanan pada permukaan E dan W, yang jaraknya 1/2δx dari pusat elemen dapat dituliskan sebagai berikut p p 1 x x 2 dan p p 1 x x Persamaan Kekekalan Massa Persamaan kesetimbangan massa adalah dengan menuliskan kesetimbangan massa fluida, yaitu meningkatnya massa elemen fluida sama dengan neto aliran massa ke elemen fluida. Besarnya peningkatan massa elemen fluida adalah : ( x y z) x y z (2.9) t t Secara singkat persamaan kekekalan massa dapat dituliskan sebagai berikut: u v w x y z 0 (2.10) Gambar 2.20 Skema aliran massa yang keluar dan masuk pada satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995].

71 Persamaan Kekekalan Momentum Tiga Dimensi Hukum Newton yang ke dua menyatakan besarnya perubahan momentum dari satu partikel fluida sama dengan jumlah total gaya yang diterima partikel tersebut. Besarnya peningkatan momentum x, y, dan z per satuan volume dituliskan sebagai berikut Du, Dt dapat dibedakan menjadi dua tipe: Dv Dt dan 1. Gaya-gaya permukaan a. Gaya tekan b. Gaya viscous 2. Body Force a. Gaya gravitasi b. Gaya sentrifugal c. Gaya Coriolis d. Gaya elektromagnetik Dw. Gaya pada partikel fluida Dt Pada Gambar 2.20, tegangan yang dialami elemen fluida didefinisikan sebagai tekanan dan sembilan komponen tegangan viscous. Tekanan adalah tegangan normal yang dinotasikan dengan p dan tegangan viscous dinotasikan dengan η. Notasi ηxy digunakan untuk mengindikasikan arah dari tegangan viscous. Akhiran x dan y pada ηxy mengindikasikan komponen tegangan tersebut bekerja dengan arah y dan tegak lurus dengan arah x. Gambar 2.21 Skema komponen tegangan yang terdapat pada setiap permukaan dari satu elemen fluida [Versteeg dan Malalasekera, 1995]

72 34 Gambar 2.22 Komponen tegangan pada arah x [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. Komponen x dari persamaan momentum adalah besarnya perubahan momentum x partikel fluida sama dengan total gaya arah x pada elemen berdasarkan gaya permukaan ditambah besarnya peningkatan momentum x berdasarkan sumbernya: Du p xx yx zx S Mx (2.11a) Dt x y z Komponen y dari persamaan momentum dapat dituliskan Dv xy yy p zy S Dt x y z My (2.11b) Komponen z dari persamaan momentum adalah Dw xz yz p zz S Mz (2.11c) Dt x y z

73 35 Tanda disesuaikan dengan keadaan tekanan yang arahnya berkebalikan dari arah tegangan viscous normal. Hal tersebut dikarenakan tanda yang biasanya digunakan untuk tegangan tarik adalah tegangan normal positif, jadi tekanan yang didefinisikan sebagai tegangan normal tekan memiliki tanda negatif [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. Pengaruh tegangan permukaan dihitung secara eksplisit. Nilai (SMx), (SMy) dan (SMz) pada persamaan (2.11a-c) dihitung berdasarkan gaya bidang saja. Sebagai contoh, gaya bidang berdasarkan gravitasi dapat dimodelkan menggunakan nilai S Mx 0, S My 0 dan S Mz g Persamaan Kekekalan Energi Tiga Dimensi Persamaan energi diturunkan dari hukum pertama termodinamika yang menyatakan besarnya perubahan energi dari partikel fluida sama dengan besarnya kalor yang ditambahkan ke partikel fluida ditambah dengan besarnya kerja yang dilakukan pada partikel. Gambar 2.23 Pembacaan persamaan energi [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. Total kerja yang dilakukan per satuan volume pada partikel fluida oleh semua gaya permukaan adalah jumlah total dari gaya-gaya permukaan dibagi dengan volume x y z. Tekanan dapat diperhitungkan bersama dengan persamaan gaya-gaya permukaan (x, y dan z) dan dapat dituliskan dalam bentuk vektor yang sederhana: up vp wp x y z div pu (2.12)

74 36 Persamaan di atas turut mempengaruhi total kerja yang dilakukan pada partikel fluida oleh gaya-gaya permukaan: div pu u xx u yx u zx xy v x y z x v v w w w yy zy xz yz zz y z x y z Energy Flux Berdasarkan Konduksi Elemen Fluida Total besarnya kalor yang masuk pada partikel fluida per satuan volume berdasarkan aliran fluida yang melewatinya adalah jumlah total dari neto besarnya perpindahan kalor berdasarkan arah aliran fluida (x, y, dan z) dibagi volume x y z menjadi: q x q y q z div q (2.13) x y z Dapat dituliskan dalam bentuk vektor menjadi: q k grad T (2.14) Heat flux vektor q memiliki tiga komponen q x, q y dan q z

75 37 Gambar 2.24 Komponen dari vektor heat flux [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. Persamaan Energi Kesetimbangan energi partikel fluida diperhitungkan dari besarnya perubahan energi partikel fluida untuk menjumlahkan neto besarnya kerja yang dilakukan pada partikel fluida, neto besarnya kalor yang ditambahkan ke fluida dan besarnya peningkatan energi berdasarkan sumbernya. Persamaan energi dapat dituliskan : DE u div pu xx u yx u zx u xy u yy Dt x y z x y u u u z x y zy xz yz zz u z div k grad T S E (2.15) Untuk aliran compressible, persamaan (2.15) dapat dirombak kembali untuk memperhitungkan entalpi. Entalpi spesifik h dan total entalpi spesifik h 0 dari fluida didefinisikan sebagai berikut h i p dan h h 0 1 u 2 v 2 w 2 2 Dengan menyatukan dua definisi di atas dan energi spesifik E, maka didapatkan: h i p 0 1 u 2 2 v 2 w 2 E p (2.16)

76 38 Persamaan entalpi total: h 0 p u div h u div k grad T xx u yx u zx 0 t t x y z v xy v yy v zy x y z w w xz yz zz w S x y z h (2.17) Perubahan Partikel Fluida pada Elemen Fluida Hukum kekekalan momentum dan energi berhubungan dengan perubahan karakteristik partikel fluida. Karakteristik suatu partikel fluida dinyatakan dengan fungsi posisi (x, y, z) dan waktu t dari partikel itu sendiri. Nilai karakteristik per satuan massa dinotasikan sebagai. Turunan terhadap waktu pada satu partikel fluida dituliskan sebagai berikut : D dx dy dz Dt t x t y t z t (2.18) untuk mengilustrasikan hubungan persamaan 2.18 dengan turunan nilai substantif dari maka dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut: D div u u grad div u t t t Dt (2.19) Hasil dari perhitungan t div u sama dengan nol dikarenakan kekekalan massa. Dapat dituliskan bahwa relasi (2.19) menyatakan : Gambar 2.25 Ilustrasi pembacaan relasi (2.20) [Versteeg dan Malalasekera, 1995].

77 39 Untuk membangun tiga komponen persamaan momentum dan energi, nilai input yang relevan untuk dan besarnya perubahan per satuan volume yang dituliskan pada Tabel 2.1. Seluruh bentuk konservatif dan non-konservatif dari besarnya perubahan yang terjadi dapat digunakan untuk menyatakan kesetimbangan kuantitas secara fisis. Tabel 2.1 Nilai input yang relevan untuk [Versteeg dan Malalasekera, 1995]. x-momentum U Du Dt u t div uu y-momentum V Dv Dt v t div vu z-momentum W Dw Dt w t div wu Energy E DE Dt E t div Eu 2.8 Computational Fluid Dynamics (CFD) Computational Fluid Dynamics adalah ilmu yang mempelajari tentang analisa aliran fluida, perpindahan panas dan fenomena yang berkaitan dengan reaksi kimia dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika dengan bantuan simulasi komputer, misalnya: fenomena meteorologi (angin, hujan dan badai), zat-zat berbahaya bagi lingkungan, aliran kompleks pada pertukaran panas dan reaktor kimia. Persamaan-persamaan aliran fluida dapat dideskripsikan dengan persamaan differensial parsial yang tidak dapat dipecahkan secara analitis kecuali dengan kasus yang spesial. Sehingga kita membutuhkan suatu metode pendekatan untuk menentukan suatu hasil. CFD mampu menganalisis dan memprediksi dengan cepat dan akurat. Computational artinya segala secuatu yang berhubungan dengan matematika dan metode numerik atau komputasi, sedangkan fluid dynamic artinya dinamika dari segala sesuatu yang mengalir. Ditinjau dari istilah diatas, CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan peneliti untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat-zat yang mengalir.

78 40 Pada dasarnya, persamaan pada fluida dibangun dan dianalisis berdasarkan persamaan-persamaan diferential parsial (PDE = Partial Differential Equation) yang mempresentasikan [Tuakia, 2008].: 1. Hukum konservasi massa (persamaan kontinuitas), 2. Hukum II Newton (persamaan momentum), 3. Hukum Kekekalan Energi (persamaan energi). Sebuah perangkat lunak CFD memberikan peneliti kekuatan mensimulasikan aliran fluida, perpindahan panas, perpindahan massa, bendabenda bergerak, aliran multifasa, reaksi kimia, interaksi fluida dengan struktur, dan sistem akustik dengan memodelkan di komputer. Dengan menggunakan software ni peneliti dapat membuat virtual prototype dari sebuah sistem atau alat yang ingin peneliti analisis dengan menerapkan kondisi nyata di lapangan. Software CFD akan memberikan peneliti data-data, gambar-gambar, atau kurvakurva yang menunjukan prediksi dari performansi keandalan sistem yang peneliti desain. Hasil CFD sering berupa prediksi kualitatif meski terkadang kuantitatif (tergantung dari persoalan dan data yang di-input). CFD memungkinkan peneliti untuk melakukan percobaan numerik di dalam laboratorium virtual. Manfaat CFD adalah insight (pemahaman mendalam), foresight (prediksi menyeluruh), dan efficiency (efisiensi waktu dan biaya). CFD memiliki pengaplikasian yang luas baik dibidang industri maupun non industri, misalnya: a. Aerodinamika pada kendaraan: drag and lift. b. Pembakaran pada internal combustion engine. c. Pendinginan pada sirkuit elektrik. d. Arsitek dalam mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman. e. Desainer kendaraan dalam meningkatkan karakter aerodinamiknya. f. Insinyur petrokimia untuk strategi optimal dari oil recovery. g. Dokter atau ahli bedah untuk mengobati penyakit arterial (computational hemodynamics). h. Ahli safety dalam mengurangi risiko kesehatan akibat radiasi dan zat berbahaya.

79 41 i. Organisasi militer untuk mengembangkan senjata dan mengestimassi seberapa besar kerusakan yang diakibatkan. j. Aliran darah yang melewati pembuluh arteri dan vena. Engineering (Fluid dynamics) Computational Fluid Dynamics (CFD) Matematics Computer Science Gambar 2.26 Tiga elemen utama yang ada di dalam Computational Fluid Dynamic [Jiyuan, 2008]. Sebenarnya Computational Fluid Dynamics dapat menjadi satu cabang baru tidak hanya di bidang matematika tetapi juga ditambah pengetahuan tentang komputer (Gambar 2.25). Dalam mengerjakan persamaan matematika, sudah diubah ke komputerisasi dengan perangkat komputer yang mempunyai spek tinggi. CFD banyak sekali digunakan dalam dunia industri. Konsep CFD dapat melakukan analisa terhadap suatu sistem dengan mengurangi biaya dan waktu yang panjang dalam melakukan eksperimen. Dalam proses design engineering tahapan yang harus dilakukan menjadi lebih pendek. Hal lain yang mendasari pemakaian konsep CFD adalah pemahaman lebih dalam akan suatu masalah. Pemahaman lebih dalam mengenai karakteristik aliran fluida dengan melihat hasil berupa grafik, vektor, kontur dan bahkan animasi. Perangkat CFD berisikan algoritma numerik sehingga dapat mengatasi masalah aliran fluida. Untuk memudahkan dalam pengoperasian paket CFD dalam proses input data dan pemeriksaan hasil, maka paket CFD terdiri dari tiga bagian yaitu : pre-processor, solver, dan post-processor (ANSYS, 2009).

80 42 Dalam membuat sebuah objek yang ingin dijadikan model untuk diteliti pertama-tama peneliti harus membuat geometri dan mesh di ANSYS Worksbench. k. Pre-Processor l. Membuat geometri m. Meshing n. Material Properties o. Boundary Condition Govering equations solve on a mesh Transport Equation Massa Momentum Energi Other transport variables Equation of state Primary pressure physical model Physical Model Turbulensi Pembakaran Radiasi Proses lainnya Post-Processor X-Y graphs Contour Velocity vectors Others Solver Settings Initialization Solusi kontrol Monitoring Solution Convergence Criteria Gambar 2.27 Tiga elemen utama yang ada di dalam CFD (Jiyuan, 2008). Alternatif lain adalah dengan menggunakan Computer Aided Design (CAD) software seperti Fluent, Unigraphics, ProE, SolidWorks dan lainnya. Setelah geometri, geometri tersebut dibuat meshing yang disediakan oleh software Gambit, ICEM, maupun Fluent. Sedikit perbedaan dari modeling dan analisis aliran adalah tergantung dari turbulence modeling, k-ε, dan Y+. Turbulence modeling dipakai untuk memodelkan aliran turbulen. Aliran turbulen mempunyai ciri khas yaitu mempunyai fluktuasi yang acak terhadap kecepatan dan tekanan di dalam suatu ruang dan waktu. Fluktuasi ini terjadi karena ketidakstabilan karena terpengaruh

81 43 oleh temperatur yang mempengaruhi viskositas fluida. Tingkat turbulen suatu aliran tergantung dari nilai Reynolds Number. Untuk mengetahui persamaan aliran untuk aliran turbulen adalah dengan 2 bagian, direct numerical simulation dan k-ε [Cornell University, Introduction to CFD Basics]. Direct numerical simulation dapat dihitung dengan persamaan Navier-Strokes. k-ε, Reynolds Number untuk turbulence parameter. Turbulen parameter adalah turbulence kinetic (k) dan turbulence dissipation rate ( ). k 1 (u' 2 2 v' 2 w' 2 ) (2.20) v u' 2 x u' u' v' v' v' y z x y z w' w' w' x y z (2.21) CFD menjadi alat yang cocok untuk mendapatkan solusi di dalam permasalahan yang komplek di aliran fluida, hasil yang didapatkan dari CFD juga harus ada validasi secara teori maupun jurnal lain supaya data yang dihasilkan menjadi akurat. Contohnya, masalah yang adalah aliran laminar mengalir di dalam pipa, hasil dari kecepatan fluida di validasi dengan teori data. Untuk steady state (aliran yang tidak berubah karena waktu) aliran laminar di pipa berpenampang lingkaran dapat menggunakan teori Navier-Stokes untuk menyelesaikannya. Untuk inkompresible, persamaan Navier-Stokes di koordinat Cartesian adalah: x-direction: 2 u u u u p u 2 u 2 u u v w g x 2 t x y z x x 2 y 2 z (2.22) y-direction 2 v v v v p v 2 v 2 v u v w g y 2 t x y z y x 2 y 2 z (2.23)

82 44 z-direction 2 w w w w p w 2 w 2 w u v w g z (2.24) t x y z z x 2 y 2 z Skema Numerik Secara umum ada 2 metode numerik yang dipakai dalam Computational Fluid Dynamic (CFD), yaitu solver pressure based dan solver density based. CFD memecahkan persamaan integral umum untuk kekekalan massa, momentum, energi serta besaran skalar lain seperti turbulensi. Kedua metode ini menggunakan teknik berbasis volume kendali yang terdiri dari: a. Pembagian daerah asal (domain) ke dalam volume kendali diskrit dengan menggunakan grid komputasi. b. Integrasi persamaan umum pada volume kendali untuk membangun persamaan aljabar variabel tak bebas yang tidak diketahui seperti kecepatan, tekanan, temperatur, dan sebagainya. c. Linearisasi persamaan terdiskritisasi dan solusi sistem persamaan linear resultan untuk menghasilkan nilai-nilai taksiran variabel tak-bebas. Dua metode numerik di atas menggunakan proses diskritisasi yang sama yaitu volume hingga (finite volume). Perbedaannya hanyalah terletak pada pendekatan yang digunakan untuk melinearisasikan dan memecahkan persaman terdiskritisasi Metode Solusi Pressure-based Metode solusi pressure-based menyelesaikan persamaan umum secara terpisah satu sama lain. Pendekatan yang digunakan adalah memecahkan suatu medan variabel tunggal dengan mempertimbangkan seluruh sel pada waktu yang sama. Selanjutnya memecahkan medan variabel berikutnya dengan tetap mempertimbangkan seluruh sel pada waktu yang sama, dan begitu seterusnya. Karena persamaan diferensial umum adalah non-linear, beberapa iterasi harus dilakukan sebelum solusi yang konvergen diperoleh. Untuk iterasi terdiri dari tahapan-tahapan seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 2.28 :

83 45 Meng-update sifat-sifat fluida Memecahkan persamaan momentum Memecahkan persamaan koreksi tekanan (kontinuitas). Mengupdate tekanan dan laju aliran massa Memecahkan persamaan energi, turbulensi, dan persamaan skalar lain Konvergen? Stop Gambar 2.28 Skema metode solusi pressure-based [ANSYS, Inc., 2013]. a. Sifat-sifat fluida diperbarui berdasarkan solusi yang ada. Untuk perhitungan awal, sifat-sifat ini diperbarui berdasarkan solusi awal (initialized solution). b. Persamaan momentum u, v dan w dipecahkan dengan menggunakan nilai-nilai tekanan dan fluks massa sisi. c. Karena kecepatan yang diperoleh dalam tahap yang pertama tidak mungkin memenuhi persamaan kontinuitas secara lokal, persamaan Poisson type untuk koreksi tekanan diturunkan dari persamaan kontinuitas dan persamaan momentum linear. Persamaan koreksi tekanan ini kemudian dipecahkan untuk memperoleh koreksi yang dibutuhkan untuk medan tekanan dan kecepatan serta fluks massa sampai kontinuitas dipenuhi. d. Menyelesaikan persamaan-persamaan untuk besaran skalar seperti turbulensi, energi, radiasi dengan menggunakan nilai-nilai variabel lain yang di-update. e. Cek konvergensi persamaan

84 46 Tahapan-tahapan ini dilanjutkan sampai kriteria konvergensi tercapai Model Turbulen (Turbulence Modeling) Aliran turbulen dikenali dengan adanya medan kecepatan yang berfluktuasi. Fluktuasi kecepatan tersebut membawa berbagai besaran seperti momentum, energi, dan konsentrasi partikel yang ikut berfluktuasi. Fluktuasi tersebut dapat terjadi pada skala kecil dan mempunyai frekuensi yang tinggi sehingga terlalu rumit dan berat untuk dihitung secara langsung pada perhitungan rekayasa praktis meskipun dengan menggunakan komputer yang canggih sekalipun. Oleh karena itu, persamaan yang berhubungan dapat dirata-ratakan atau dimanipulasi untuk menghilangkan fluktuasi skala kecil. Dengan demikian persamaan-persamaan tersebut dapat lebih mudah untuk dipecahkan. Namun, pada persamaan yang telah dimodifikasi tersebut terdapat tambahan variabel yang tidak diketahui sehingga dibutuhkan model turbulensi untuk menentukan variablevariabel tersebut. ANSYS Fluent menyediakan beberapa model pilihan model turbulensi, yaitu : a. Model Spalart-allmaras b. Model k-epsilon (k-ε) 1. Standard 2. Renormalization-group (RNG) 3. Realizable c. Model k-ω 1. Standard 2. Shear-Stress Transport (SST) d. Model v2-f (addon) e. Model Reynold Stress (RSM) f. Model Detached Eddy Simulation (DES) g. Model Large Eddy Simulation (LES)

85 Model turbulen k-ε Model ini merupakan model semi empiris yang dikembangkan oleh Launder & Spalding. Model k-epsilon merupakan model turbulensi yang cukup lengkap dengan dua persamaan yang memungkinkan kecepatan turbulen (turbulen velocity) dan skala panjang (length scales) ditentukan secara independen. Kestabilan, ekonomis (dari sisi komputasi), dan akurasi yang memadai untuk berbagai jenis aliran turbulen membuat model k-epsilon sering digunakan pada simulasi aliran fluida dan perpindahan panas. Untuk meningkatkan keandalan model k-epsilon telah terdapat beberapa varian dari model ini, dua diantaranya terdapat pada FLUENT, yaitu: model k-ε standard, model RNG k-epsilon dan model realizable k-epsilon. Model k-ε standard merupakan model turbulensi semi empiris yang lengkap. Walaupun masih sederhana, memungkinkan untuk dua persamaan yaitu kecepatan turbulen (turbulent velocity) dan skala panjang (length scale) ditentukan secara bebas (independent). Model ini dikembangkan oleh Jones dan Launder. Model k-ε standard merupakan model semi empiris berdasarkan persamaan transport untuk energi kinetik (k) dan laju disipasi (ε). Model persamaan transport untuk energi kinetik turbulen k adalah turunan dari persamaan eksak, sedangkan persamaan transport untuk disipasi ε diperoleh dengan alasan fisis dan mempunyai kemiripan dengan penyelesaian matematis eksak. Dalam penurunan model k-ε diasumsikan bahwa aliran turbulen penuh (fully develop) dan pengaruh viskositas molekular diabaikan. Model ini hanya cocok untuk aliran turbulen penuh. Energi kinetic turbulen, (k) dan laju disipasi (ε) diperoleh dari persamaan transport berikut: k t k ku i G k G b y m s k (2.26) t x i x j x j t x i u i x j t x j C 1 k (G k G 3 G b ) C 2 k 2 s k (2.27)

86 48 Dalam persamaan ini, Gk menunjukkan generasi energi kinetik turbulen karena adanya gradien kecepatan rata-rata. Gb menunjukkan generasi energi kinetik turbulen karena adanya gaya apung. Sedangkan Ym menunjukkan kontribusi dilatasi yang berfluktuasi dalam turbulensi kompresibel ke laju disipasi. C1ε, C2ε keseluruhan adalah konstanta, yang besarnya berturut-turut adalah 1,44 dan 1,92. Sedangkan ζk dan ζε adalah bilangan Prandtl yang masing-masing besarnya adalah 1,0 dan 1,3. Viskositas turbulen, µε dihitung dengan mengkombinasikan k dan ε sebagai berikut: k 2 t C (2.28) C adalah konstanta yang besarnya adalah 0,09 Energi sesaat k(t) aliran turbulen merupakan jumlah rata-rata energi kinetik K 1 (U 2 2 V 2 W 2 ) 2 dan energi kinetik turbulen k 1 (u' v' 2 w' 2 ). 2 Hubungan antara energi kinetik turbulen k dan intensitas turbulensi dinyatakan pada persamaan berikut: berikut: k 2 (u a vg 3 l ) 2 (2.29) Hubungan antara skala panjang l dan epsilon ε dinyatakan pada persamaan 3 C 4 3 k 2 l (2.30) Model k-ε standard merupakan model turbulen paling banyak digunakan dan diaplikasikan dalam sebuah simulasi numerik aliran turbulen. Model ini memiliki beberapa keunggulan yaitu model turbulen yang paling simpel dimana hanya kondisi batas maupun awal saja yang perlu dimasukkan, memiliki performa yang sangat baik pada simulasi aliran yang digunakan industri-industri, dan merupakan model turbulen yang telah teruji dan divalidasikan secara luas.

87 49 Kekurangan dari model k-ε standard antara lain lebih mahal untuk diimplementasikan. Model k-ε standard dengan model mixing length, memiliki performa yang kurang baik untuk kasus seperti beberapa aliran terbatas, aliran dengan regangan yang besar, aliran berputar, dan aliran berkembang penuh untuk saluran non-cicular [Beithou dan Aybar, 2000]. Model RNG k-epsilon diturunkan dengan menggunakan metode statistik yang diteliti (teori renormalisasi kelompok). Bentuk persamaan yang digunakan sama dengan model k-epsilon standard tetapi melibatkan beberapa perbaikan: a. Model RNG mempunyai besaran tambahan pada persamaan laju disipasi, epsilon, yang dapat meningkatkan akurasi untuk aliran yang terhalang secara tiba-tiba. b. Efek putaran pada turbulensi juga terdapat pada model RNG sehingga meningkatkan akurasi untuk aliran yang berputar (swirl flow). c. Model RNG menyediakan formula analitis untuk bilangan Prandtl turbulen, sementara model k-epsilon standar menggunakan nilai bilangan Prandtl yang konstan (ditentukan oleh pengguna). d. Model k-epsilon standar merupakan model untuk kasus dengan bilangan Reynolds tinggi, sedangkan model RNG menyediakan formula untuk bilangan Reynolds rendah. Model realizable k-epsilon merupakan pengembangan model yang relatif baru dan berbeda dengan k-epsilon dalam dua hal, yaitu: a. Pada model realizable k-epsilon terdapat formulasi baru untuk memodelkan viskositas turbulen. b. Sebuah persamaan untuk epsilon telah diturunkan dari persamaan untuk menghitung fluktuasi vortisitas rata-rata. Istilah realizable mempunyai arti bahwa model tersebut memenuhi beberapa batasan matematis pada bilangan Reynolds, konsistensi dengan bentuk fisik aliran turbulen. Kelebihan dari model realizable k-epsilon adalah lebih akurat untuk memprediksi laju penyebaran fluida dari pancaran jet/nosel. Model ini juga memberikan performa yang bagus untuk aliran yang melibatkan putaran, lapisan batas yang mempunyai gradien tekanan yang besar, separasi, dan resirkulasi.

88 50 Model persamaan transport realizable k-epsilon : t k K K u i G k Y M (2.31) t x i x j k x j u i t C S 2 C C t x i x j x j K v K C G 3 b (2.32) Dimana: C max 0.43 SK (2.33) 1 5 Salah satu keterbatasan model realizable k-epsilon ialah terbentuknya viskositas turbulen non-fisik pada kasus dimana domain perhitungan mengandung zona fluida yang diam dan berputar (multiple reference frame, sliding mesh). Oleh karena itu, penggunaan model ini pada kasus multiple reference dan sliding frame harus lebih hati-hati Metode Numerik pada ANSYS Fluent ANSYS Fluent mempunyai 2 solver yaitu pressure-based solver dan density-based couple solver (DBCS). Pressure-based solver menyediakan dua pilihan metode numerik, yaitu: a. Solver segregated. b. Solver coupled. ANSYS Fluent memecahkan persamaan integral untuk kekekalan massa, momentum dan energi (governing integral equation) serta besaran skalar lainnya seperti turbulensi. Kedua metode ini menggunakan teknik berbasis volume kendali (control volume) yang terdiri dari: a. Pembagian daerah asal (domain) kedalam volume kendali diskrit dengan menggunakan grid komputasi.

89 51 b. Integrasi persamaan umum pada volume kendali untuk membangun persamaan aljabar variabel tak bebas yang tidak diketahui seperti kecepatan, tekanan, suhu dan sebagainya. c. Linearisasi persamaan terdiskritisasi dan solusi sistem persamaan linear resultan untuk menghasilkan nilai-nilai taksiran variabel tak bebas. Pada dasarnya solver segregated dan coupled memiliki persamaan dalam proses diskritisasi yaitu volume berhingga (finite volume), tetapi memiliki perbedaan pada cara pendekatan yang digunakan untuk melinearisasi dan memecahkan permasalahan. [ANSYS, 2009] Solver Coupled Pendekatan yang dilakukan oleh metode coupled adalah dengan memecahkan persamaan kekekalan massa, momentum dan energi secara bersamaan (simultaneously). Karena persamaan tersebut merupakan persamaan non-linear, maka proses iterasi harus dilakukan sebelum solusi yang konvergen diperoleh. a. Sifat-sifat fluida di-update, berdasarkan solusi yang ada. Untuk perhitungan awal, sifat-sifat ini di-update berdasarkan solusi awal b. Persamaan kontinuitas, momentum, dan energi jika ada serta besaranbesaran tertentu lainnya dipecahkan secara serempak. c. Jika ada persamaan-persamaan skalar seperti turbulensi dan radiasi maka akan dipecahkan dengan menggunakan nilai yang di-update sebelumnya berdasarkan variabel-variabel lain. d. Mengecek konvergensi persamaan. Tahapan-tahapan ini dilanjutkan sampai kriteria konvergen tercapai.

90 52 Meng-update sifat-sifat fluida Memecahkan persamaan kontinuitas, momentum dan energi secara serempak koreksi tekanan (kontinuitas) Meng-update fluks massa Memecahkan turbulensi dan skalar lainnya Tidak Konvergen? Ya Stop Gambar 2.29 Skema metode solver coupled (ANSYS, Inc., 2013).

91 53 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Pada penelitian ini, langkah-langkah penelitian mengacu pada Gambar 3.1 berikut: diagram alir START Studi pustaka dan perencanaan kasus simulasi Konsultasi kasus simulasi kepada pembimbing Disetujui No Yes Melakukan pemodelan menggunakan Solidworks dan simulasi menggunakan ANSYS Fluent Pengambilan data hasil simulasi sekaligus mengolahnya menjadi grafik, visualisasi kontur tekanan, kecepatan dan temperatur Analisa dan pembahasan Kesimpulan Selesai Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.

92 Diagram Alir Prosedur Simulasi Pada penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian seperti di gambarkan dalam diagram alir simulasi berikut ini: Mulai Studi literatur: data geometri, sifat material dan boundary condition dari kasus yang disimulasikan Pembuatan geometri dengan Solidworks dan pada Desain Modeler di ANSYS Pendefinisian boundary condition dan Penggenerasian meshing dengan ANSYS Meshing pada geometri steam ejector Pengecekan mesh Mesh baik? Tidak Check: Densitas Viskositas Standard- Entalpi Under relaxation Ya Penentuan operating condition di primary, secondary dan outlet ejector Proses Numerik Ya Iterasi eror? Tidak Plot grafik dengan Origin dan plot kontur distribusi tekanan, temperatur dan kecepatan Selesai Gambar 3.2 Diagram alir prosedur simulasi.

93 55 1. Studi literatur Sebelum menentukan geometri steam ejector, terlebih dahulu mencari referensi untuk data properti fluida, boundary condition, model geometri. Studi literatur dilakukan untuk mencari materi dan teori yang berhubungan dengan penelitian ini dan memudahkan dalam menentukan proses yang akan dilakukan selama penelitian. Studi literatur didapat dari jurnal maupun buku-buku. 2. Pembuatan Geometri. Geometri dari steam ejector diambil dari studi literatur jurnal peneliti sebelumnya untuk memudahkan proses validasi. Software Solidworks digunakan untuk menggambar bentuk steam ejector geometri 3D. Hasil desain ditransfer ke Desain Modeler ANSYS Penggenerasian Mesh dan pemasukan boundary condition. Langkah ini dilakukan supaya geometri dari steam ejector yang sebelumnya mempunyai jumlah cell tak terhingga menjadi cell hingga, sehingga dapat dikerjakan pada penghitungan matematis. Boundary condition (kondisi batas) dimasukan dengan variabel yang sudah di tentukan oleh peneliti. Variabel tersebut didapatkan dari studi literatur berupa tekanan dan temperatur. 4. Pengecekan mesh Langkah ini menentukan keberhasilkan proses iterasi. Ketika meshing mempunyai kualitas yang kurang baik maka, proses simulasi lama dan menghasilkan data yang tidak akurat. 5. Operating condition Bagian ini mendefinisikan boundary condition dengan data properti fluida dan pemilihan model turbulensi. 6. Proses Numerik Melakukan simulasi pada ANSYS Fluent dengan penggabungan metode pendekatan Eulerian. 7. Konvergensi kriteria Eulerian

94 56 Kriteria konvergensi untuk Eulerian yang digunakan adalah apabila nilai residual absolute yaitu sudah mencapai 0,001 untuk semua persamaan. 8. Plot kontur temperatur, tekanan dan kecepatan Dilakukan pengeplotan kontur temperatur, tekanan dan kecepatan sepanjang steam ejector untuk mengetahui fenomena yang terjadi di dalam steam ejector. 3.3 Skematik Steam Ejector Steam ejector digunakan di banyak bidang, salah satunya digunakan dalam sistem refrigerasi. Berikut adalah bagan penggunaan steam ejector: Gambar 3.3 Skematik penggunaan steam ejector pada sistem refrijerasi.

95 Steam Ejector Pada penelitian kali ini menggunakan desain steam ejector sebagai berikut: Gambar 3.4 Skema steam ejector (Ajmah, 2011) Geometri Ejector Gambar 3.5 menunjukkan ukuran geometri yang ada di steam ejector. Berikut ini adalah detail ukuran steam ejector dalam satuan mm pada penelitian ini: Gambar 3.5 Ukuran geometri steam ejector (Ajmah, 2011) Model dan Geometri Nozzle Pada penelitian kali ini menggunakan 2 model nozzle yaitu Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). CNSE adalah model nozzle yang menggunakan penampang pada ujung nozzle berbentuk

96 58 lingkaran. Sedangkan SNSE mempunyai penampang persegi. Di bawah ini adalah detail ukuran dalam satuan mm dari kedua model nozzle (Yang,2012): Gambar 3.6 Ukuran geometri model Circle Nozzle Steam Ejector. Gambar 3.7 Ukuran geometri model Square Nozzle Steam Ejector. 3.4 Nozzle Exit Position Penelitian ini memvariasikan Nozzle Exit Position (NXP). Pada Gambar 3.8 ditampilkan posisi nozzle pada variasi NXP bergeser dengan satuan mm yaitu: Gambar 3.8 Variasi penempatan NXP.

97 Boundary Condition Boundary condition adalah penamaan pada masing-masing bagian steam ejector untuk mendukung proses simulasi. Berikut ini penamaan masing-masing bagian: Gambar 3.9 Boundary condition pada steam ejector. 3.6 Meshing Pada penelitian ini peneliti menggunakan program meshing yang ada software ANSYS 14. Setelah setting boundary condition lalu langkah berikutnya adalah penggenerasian mesh pada steam ejector. Meshing yang baik adalah tidak terdapat skewness yang tinggi. Skewness adalah bentuk meshing yang tidak wajar/tidak beraturan. Skewness menyebabkan penghitungan dari cell ke cell tidak dapat berjalan dengan baik. Untuk penelitian kali ini meshing menggunakan bentuk meshing tetrahedral atau tetrahedron. Pada variasi Nozzle Exit Position (NXP) akan menghasilkan jumlah cell yang berbeda. Berikut adalah tampilan meshing yang digunakan:

98 60 Gambar 3.10 Tampilan meshing steam ejector. Gambar 3.11 Tampilan bentuk meshing tetrahedral. 3.7 Spesifikasi Working Fluid Dalam penelitian kali ini peneliti menggunakan fluida water vapor (uap air) dan air (udara). Spesifikasi primary fluid dan secondary fluid pada variasi tekanan terukur dan temperatur terukur adalah: Tabel 3.1 Properties dari primary fluid (nist.webbook.gov/chemisry). Fluida : Uap Air (watervapor) Tekanan (kpa) Temperatur (K) 382,44 385,49 388,30 390,91 393,36

99 61 Sifat uap air (watervapor) yang didapatkan dari database ANSYS 14 adalah : 1. Densitas : 0,5542 kg/m 3 2. Konduktifitas Termal : 0,0261 W/m.K 3. Viskositas : 1,34e-05 kg/m.s 4. Berat molekular : 18,01534 kg/kmol Untuk secondary fluid yaitu udara dianggap gas ideal mempunyai sifat fluida: Tabel 3.2 Properties dari secondary fluid. Fluida : Udara Temperatur: 283 K Tekanan absolut (kpa) 99,392 Mach Number 0,2 Densitas (kg/m 3 ) 1,225 Konduktivitas Termal (W/m.K) 0,0242 Viskositas (kg/m.s) 1,7894e-05 Berat molekular (kg/kmol) 28, Variabel Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memilih variabel bebas dan variabel terikat sesuai dengan referensi penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Variabel Bebas : a. Primary pressure 140 kpa, 165 kpa, 170 kpa, 185 kpa, dan 200 kpa. b. Secondary pressure 99,392 kpa pada temperatur 283 K. c. Model nozzle : Circle Nozzle dan Square Nozzle. d. NXP Minus 10, NXP Minus 5, NXP 0, NXP Plus 5, dan NXP Plus 10 (pengertian Minus 10 adalah -10 mm). Variabel terikat : a. Nilai entrainment ratio. b. Mass flow rate primary. c. Mass flow rate secondary.

100 62 d. Kontur distribusi tekanan. e. Kontur distribusi temperatur. f. Kontur distribusi kecepatan. 3.9 Prosedur Simulasi Peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini adalah : a. Komputer dengan spesifikasi Windows 8.1 Intel (R) core (TM) i CPU@ 3.60GHz, RAM 16.0 GB dan Nvidia GeForce GTX 750, Memory 4019 MB. b. Perangkat lunak ANSYS 14.0; FLUENT, Microsoft Office Word 2013, Microsoft Office Excel 2013, Origin, Solidworks Pada dasarnya ANSYS Fluent menggunakan metode control volume untuk mengubah general scalar transport equation menjadi sebuah persamaan tersendiri atau discrete yang dapat diselesaikan secara numerik. Tabel 3.3 Tipe yang digunakan pada setiap discretization. Discretization Pressure-Velocity Coupling Gradient Volume fraction Momentum Turbulent Kinetic Energy Turbulent Dissipation Rate Energy Type Phase coupled SIMPLE Least squares cell based First Order Upwind Second Order Upwind Second Order Upwind Second Order Upwind Second Order Upwind Pada Pressure-Velocity Coupling dipilih tipe SIMPLE algorithm karena pada algoritma tersebut digunakan relasi antara kecepatan dan koreksi tekanan pada persamaan kesetimbangan massa untuk mendapatkan fenomena tekanan

101 63 yang terjadi pada kasus yang diteliti. Volume Fraction digunakan tipe First Order Upwind karena persamaan ordo satu dapat memenuhi kebutuhan perhitungan yang dilakukan pada bagian tersebut. Untuk Momentum, Turbulent Kinetic Energy, Turbulent Dissipation Rate Momentum dan Energy dipilih tipe Second Order Upwind karena dibutuhkan hasil data yang lebih akurat. Perhitungan momentum dan energi yang berupa hasil data fenomena kecepatan aliran dan distribusi temperatur Convergence Criteria Setiap persamaan yang dijalankan dalam simulasi memiliki residual yang terus berubah dan semakin menurun nilainya. Semakin kecil residual yang didapatkan maka menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Tetapi pada pengaplikasiannya, angka residual akan terus ada dan terus mengalami fluktuasi. Oleh karena itu perlu diputuskan saat yang tepat untuk menyelesaikan perhitungan dengan menentukan convergence criteria pada setiap residual dari persamaanpersamaan yang dijalankan. Pada simulasi ini, convergence criteria yang digunakan pada setiap residual adalah sebesar 1e-3. Nilai nilai tersebut adalah nilai yang tepat karena dapat menghasilkan data yang valid.

102 BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI Penelitian ini membahas hasil simulasi pengaruh dari model primary nozzle, Nozzle Exit Position (NXP) dan primary pressure. Simulasi dilakukan pada pressure secondary dan pressure outlet dalam keadaan konstan. Pressure secondary kpa dengan temperatur 283 K dan pressure outlet 87 kpa. Simulasi dilakukan untuk mendapatkan data mass flow rate dan kontur aliran. Data mass flow rate meliputi mass flow rate primary dan mass flow rate secondary yang akan ditampilkan pada variasi primary pressure dan NXP. Primary pressure yang digunakan yaitu 140 kpa, 155 kpa, 170 kpa, 185 kpa dan 200 kpa. NXP yang digunakan yaitui NXP Minus 10, NXP Minus 5, NXP 0, NXP Plus 5 dan NXP Plus 10. Kemudian akan dibahas investigasi kontur aliran untuk mengetahui fenomena aliran yang terjadi di dalam steam ejector. Kontur yang akan ditampilkan adalah kontur tekanan, kontur temperatur dan kontur kecepatan. 4.1 Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Variasi Nozzle Exit Position Nilai entrainment ratio digunakan untuk merepresentasikan performa dari steam ejector. Nilai entrainment ratio berkaitan erat dengan mass flow rate primary dan mass flow rate secondary [Chen dan Chong, 2013]. Mass flow rate primary dan mass flow rate secondary dipengaruhi oleh densitas fluida, kecepatan fluida dan luas penampang. Densitas fluida dipengaruhi oleh temperatur fluida, sedangkan kecepatan fluida dipengaruhi oleh pressure. Karena penelitian ini menggunakan variasi primary pressure maka akan mempengaruhi mass flow rate primary dan mass flow rate secondary. Selain primary pressure, penelitian ini mengunakan model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Model nozzle yang mempunyai bentuk penampang berbeda, akan membentuk aliran berbeda yang keluar dari nozzle [Yang dkk, 2012]. Variasi primary pressure dan model nozzle disimulasikan pada variasi 64

103 Entrainment Ratio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65 Nozzle Exit Position (NXP). Variasi NXP digunakan untuk mengetahui performa optimum ejector Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 10 1,2 0,9 CNSE NXP Minus 10 S S 0,6 0,3 0,0-0, Primary Pressure (kpa) Gambar 4.1 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus 10. Gambar 4.1 menunjukkan nilai entrainment ratio menurun seiring dengan meningkatnya primary pressure. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida meningkat. Karena di primary nozzle terjadi penyempitan penampang maka terjadi penurunan tekanan yang drastis, sehingga temperatur fluida tinggi tetapi densitas fluida meningkat. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat dan densitas meningkat menyebabkan mass flow rate primary meningkat [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011]. Pada Nozzle Exit Position (NXP) Minus 10, model nozzle menyebabkan perbedaan nilai entrainment ratio yang signifikan. Nilai entrainment ratio pada

104 66 model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) lebih besar dibandingkan model Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Nilai entrainment ratio optimum untuk model CNSE pada primary pressure 140 kpa adalah 0.956, sedangkan model SNSE adalah pada primary pressure 140 kpa. Nilai entrainment ratio pada primary pressure 155 kpa untuk model CNSE adalah 0.626, sedangkan model SNSE adalah Secara berurutan nilai entrainment ratio pada variasi primary pressure 170 kpa, 185 kpa dan 200 kpa adalah 0.435, dan untuk model CNSE, sedangkan model SNSE adalah , dan Pada Gambar 4.1, nilai entrainment ratio pada model CNSE lebih besar dibandingkan entrainment ratio pada model SNSE karena, bentuk penampang nozzle yang berupa lingkaran membuat rugi-rugi aliran menjadi kecil [Yang, 2012] Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Minus 5 Gambar 4.2 menunjukkan penurunan nilai entrainment ratio pada peningkatan primary pressure. Primary pressure mempengaruhi temperatur fluida. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida meningkat. Peningkatan temperatur fluida akan menyebabkan densitas fluida menurun. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat menyebabkan mass flow rate primary meningkat. nilai entrainment ratio semakin menurun ketika peningkatan primary pressure [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011]. Pada Gambar 4.2 menunjukkan perbedaan nilai entrainment ratio yang signifikan yang terjadi pada model CNSE dan SNSE di Nozzle Exit Position (NXP) Minus 5. Model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum pada tekanan 155 kpa. Model SNSE mempunyai nilai entrainment optimum pada tekanan 140 kpa. Pada model CNSE, nilai entrainment ratio terendah terjadi pada primary pressure 185 kpa. Pada model SNSE, nilai entrainment ratio terendah pada primary pressure 170 kpa. Secara berurutan nilai entrainment ratio model CNSE untuk variasi primary pressure 140

105 Entrainment Ratio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 1,2 0,9 CNSE NXP Minus 5 S S 0,6 0,3 0,0-0, Primary Pressure (kpa) Gambar 4.2 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Minus 5. kpa hingga 200 kpa yaitu 1.048, 0.702, 0.5, dan Nilai entrainment ratio model SNSE adalah 0.443, 0.191, 0.034, dan Pada Gambar 4.2, nilai entrainment ratio pada model CNSE lebih besar daripada model SNSE karena bentuk penampang nozzle yang berupa lingkaran membuat rugi-rugi aliran menjadi kecil [Yang, 2012] Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Nol Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) mempunyai nilai entrainment ratio yang lebih tinggi daripada Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Hal tersebut dikarenakan CNSE mempunyai penampang nozzle berbentuk lingkaran yang men yebabkan rugi -rugi aliran menjadi kecil [Yang, 2012]. Gambar 4.3 menunjukkan nilai entrainment ratio pada model CNSE dan SNSE mempunyai perbedaan yang tidak signifikan dibandingkan Gambar 4.1 dan pada variasi NXP Minus 10 dan Gambar 4.2 pada variasi NXP Minus 5. Hal tersebut dikarenakan

106 Entrainment Ratio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 1,2 0,9 CNSE NXP 0 0,6 0,3 0,0-0, Primary Pressure (kpa) Gambar 4.3 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP 0. mass flow rate primary pada model CNSE tinggi, sehingga mempengaruhi entrainment ratio menurun cukup signifikan. Pada tekanan 140 kpa pada model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum 0,710 sedangkan model SNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum 0,565. Untuk nilai entrainment ratio terendah model CNSE pada primary pressure 185 kpa yaitu 0,090 dan SNSE pada primary pressure 185 kpa dengan nilai 0,002. Secara berurutan nilai entrainment ratio untuk variasi primary pressure 140 kpa hingga 200 kpa pada model CNSE adalah 0.710, 0.397, 0.215, dan , sedangkan model SNSE adalah 0.565, 0.291, 0.119, dan Gambar 4.3 menunjukkan nilai entrainment ratio menurun pada peningkatan primary pressure. Primary pressure mempengaruhi temperatur fluida. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida meningkat. Peningkatan temperatur fluida akan menyebabkan densitas fluida menurun. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat menyebabkan mass

107 Entrainment Ratio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 flow rate primary meningkat. Karena mass flow rate secondary konstan maka, nilai entrainment ratio semakin menurun ketika peningkatan primary pressure [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011] Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 5 1,2 0,9 CNSE NXP Plus 5 SNSE NXP Plus 5 0,6 0,3 0,0-0, Primary pressure (kpa) Gambar 4.4 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 5. Gambar 4.4 menunjukkan tendensi penurunan nilai entrainment ratio pada peningkatan primary pressure. Primary pressure mempengaruhi temperatur fluida. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida meningkat. Peningkatan temperatur fluida akan menyebabkan densitas fluida menurun. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat menyebabkan mass flow rate primary meningkat. Karena mass flow rate secondary konstan maka, nilai entrainment ratio semakin menurun ketika peningkatan primary pressure [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011].

108 70 Pada Gambar 4.4, nilai entrainment ratio pada model CNSE lebih besar dibandingkan entrainment ratio pada model SNSE, karena bentuk penampang nozzle yang berupa lingkaran membuat rugi-rugi aliran menjadi kecil [Yang, 2012]. Pada Gambar 4.4 juga menunjukkan perbedaan nilai entrainment ratio yang signifikan dari model CNSE dan SNSE. Model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum pada primary pressure 155 kpa. Model SNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum pada primary pressure 140 kpa. Model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio terendah 0.36 pada primary pressure 200 kpa. Model SNSE mempunyai nilai entrainment ratio terendah pada primary pressure 185 kpa. Secara berurutan nilai entrainment ratio pada primary pressure 140 kpa hingga 200 kpa di model CNSE adalah 1.188, 0.828, 0.606, dan 0.361, sedangkan model SNSE adalah 0.625, 0.340, 0.160, dan Pengaruh Primary Pressure Terhadap Nilai Entrainment Ratio Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector pada Nozzle Exit Position Plus 10 Pada Gambar 4.5, nilai entrainment ratio mempunyai perbedaan yang signifikan dari perbandingan model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE). Primary pressure mempengaruhi temperatur fluida. Jika primary pressure meningkat menyebabkan temperatur fluida meningkat. Peningkatan temperatur fluida akan menyebabkan densitas fluida menurun. Selain itu, peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Pada luas penampang yang sama ketika kecepatan fluida meningkat menyebabkan mass flow rate primary meningkat. Karena mass flow rate secondary konstan maka, nilai entrainment ratio semakin menurun ketika peningkatan primary pressure [Subramanian, 2014, Mazzelli, 2015, Shah, 2011]. Untuk model CNSE pada variasi primary pressure yang sama memiliki nilai entrainment ratio lebih tinggi dibandingkan model SNSE, karena bentuk penampang nozzle yang berupa lingkaran membuat rugi-rugi menjadi kecil [Yang, 2012]. Model CNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum pada

109 Entrainment Ratio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71 primary pressure 155 kpa, sedangkan model SNSE mempunyai nilai entrainment ratio optimum pada primary pressure 140 kpa. Nilai entrainment ratio 1,2 0,9 CNSE NXP Minus 10 SNSE NXP Minus 10 0,6 0,3 0,0-0, Primary Pressure (kpa) Gambar 4.5 Grafik pengaruh model nozzle terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada NXP Plus 10. terendah pada model CNSE yaitu di primary pressure 200 kpa, sedangkan model SNSE pada primary pressure 185 kpa. Secara berurutan nilai entrainment ratio pada variasi primary pressure 140 kpa hingga 200 kpa adalah 1.191, 0.837, 0.618, dan pada model CNSE, sedangkan model SNSE adalah 0.697, 0.398, 0.210, dan Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure Menggunakan Variasi Model Nozzle Untuk mengetahui performa dari steam ejector dapat dilihat dari nilai entrainment ratio. Nilai entrainment ratio sangat berhubungan erat dengan mass flow rate primary maupun mass flow rate secondary. Nilai mass flow rate tergantung pada primary pressure maupun pressure secondary. Nilai primary pressure maupun pressure secondary akan menghasilkan mass flow rate yang

110 Entrainment Ratio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 beragam. Selain itu, Nozzle Exit Position (NXP) juga menjadi salah satu yang berpengaruh signifikan dalam efisiensi kerja steam ejector. Variasi NXP dapat mengetahui kerja optimum dari ejector. Di bawah ini akan dibahas pengaruh dari variasi NXP dan variasi primary pressure untuk model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) dan Square Nozzle Steam Ejector (SNSE) Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector 1,2 0,9 0,6 CNSE NXP Minus 10 NXP Minus 5 NXP 0 NXP Plus 5 NXP Plus 10 0,3 0,0-0, Primary Pressure (kpa) Gambar 4.6 Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada model CNSE. Pada Gambar 4.6, variasi NXP menyebabkan perbedaan nilai entrainment ratio pada model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE). Pada NXP Plus 10 dan NXP Plus 5 mempunyai nilai entrainment ratio hampir sama dan cenderung lebih tinggi daripada NXP yang lain. Hal ini menunjukkan nozzle yang digeser ke daerah mixing chamber akan meningkatkan nilai entrainment ratio pada model CNSE [Yapici, 2008]. Gambar 4.6 menunjukkan model CNSE mengalami penurunan nilai entrainment ratio yang signifikan pada NXP 0. Penurunan nilai

111 Entrainment Ratio PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73 entrainment ratio tersebut dikarenakan di diverging nozzle mempunyai kecepatan yang tinggi. Kecepatan yang tinggi menyebabkan mass flow rate primary meningkat. Karena mass flow rate primary tinggi menyebabkan nilai entrainment ratio menurun. Ketika nozzle digeser ke daerah suction chamber, nilai entrainment ratio lebih rendah daripada nozzle digeser ke daerah mixing chamber Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Nilai Entrainment Ratio pada Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Square Nozzle Steam Ejector Gambar 4.7 menunjukkan perbedaan NXP menyebabkan perubahan nilai entrainment ratio. Pada NXP Minus 10 menunjukkan nilai entrainment ratio terendah dibandingkan variasi NXP yang lain untuk semua variasi primary pressure. Nilai entrainment ratio tertinggi terdapat pada variasi NXP Plus 10 untuk semua variasi primary pressure. Secara bertahap nilai entrainment ratio akan meningkat ketika nozzle digeser ke daerah mixing chamber. Hal tersebut 1,2 0,9 0,6 SNS E NXP Minus 10 NXP Minus 5 NXP 0 NXP Plus 5 NXP Plus 10 0,3 0,0-0, Primary Pressure (kpa) Gambar 4.7 Grafik pengaruh NXP terhadap nilai entrainment ratio dengan variasi primary pressure pada model SNSE.

112 74 karena di mixing chamber yang mempunyai penampang menyempit. Penampang yang menyempit menyebabkan temperatur meningkat karena proses kompresi. Peningkatan temperatur menyebabkan densitas fluida menurun. Penyempitan penampang juga menyebabkan kecepatan fluida menurun. Karena densitas dan kecepatan menurun menyebabkan mass flow rate primary menurun. Menurunnya mass flow rate primary menyebabkan nilai entrainment ratio meningkat. Ketika nozzle digeser ke daerah suction chamber menyebabkan nilai entrainment ratio menurun. Hal tersebut dikarenakan daerah diverging nozzle berpenampang kecil mempunyai tekanan yang kecil. Penampang kecil menyebabkan kecepatan tinggi. Selain itu temperatur yang rendah keluar nozzle menyebabkan densitas meningkat. Kecepatan yang tinggi dan densitas meningkat menyebabkan mass flow rate primary meningkat. Karena mass flow rate primary tinggi menyebabkan nilai entrainement ratio rendah. Hasil tersebut mengindikasi dalam mendesain steam ejector, Nozzle Exit Position sangat berpengaruh untuk mendapatkan performa steam ejector yang optimum [Zhu, 2009]. 4.3 Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass flow Rate Primary dan Secondary Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Variasi Model Nozzle Nozzle Exit Position (NXP) divariasikan untuk mengetahui performa optimum steam ejector. Variasi NXP berpengaruh pada mass flow rate primary maupun mass flow rate secondary. Mass flow rate primary dan mass flow rate secondary mempengaruhi nilai entrainment ratio Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass Flow Rate Primary Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector Gambar 4.8 menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan mass flow rate primary meningkat. Model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) mempunyai mass flow rate primary optimum terjadi pada NXP 0. Ketika NXP Minus 5 dan NXP Minus 10 mempunyai mass flow rate primary lebih tinggi

113 Mass flow rate primary (kg/s) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75 dibandingkan NXP Plus 5 dan NXP Plus 10. Hal ini menunjukkan, ketika nozzle digeser ke daerah mixing chamber maka, mass flow rate primary akan mempunyai nilai lebih kecil. Nozzle digeser ke daerah suction chamber mempunyai mass flow rate primary lebih besar. 0,0105 0,0090 0,0075 CNS E NXP Minus 10 NXP Minus 5 NXP 0 NXP Plus 5 NXP Plus 10 0,0060 0, Primary pressure (kpa) Gambar 4.8 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary pada variasi primary pressure di model CNSE. Pada Gambar 4.9 menunjukkan grafik yang sedikit berbeda dengan grafik dari Gambar 4.8. Model Square Nozzle Steam Ejector (SNSE) memiliki mass flow rate primary optimum pada NXP Minus 10. Mass flow rate primary terendah didapat pada variasi NXP Plus 10. Pada NXP Plus 10, mass flow rate primary yang dihasilkan lebih rendah daripada NXP Minus 10. Hasil yang sama juga dialami model CNSE pada Gambar 4.8, mass flow rate primary pada NXP Plus 10 mempunyai nilai yang rendah daripada variasi NXP lain. Pada NXP 0 untuk model CNSE dan SNSE yang mempunyai perbedaan signifikan. Mass flow rate primary pada NXP 0 untuk model CNSE mempunyai nilai tertinggi daripada variasi NXP lain. Sedangkan mass flow rate primary tertinggi untuk model SNSE

114 Mass flow rate primary (kg/s) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76 pada NXP Minus 10. Mass flow rate primary pada model SNSE lebih tinggi pada NXP 0. Nozzle digeser ke daerah mixing chamber maka, nilai mass flow rate 0,0105 0,0090 0,0075 SNS E NXP Minus 10 NXP Minus 5 NXP 0 NXP Plus 5 NXP Plus 10 0,0060 0, Primary pressure (kpa) Gambar 4.9 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate primary pada variasi primary pressure di model SNSE. daripada mass flow rate primary pada model CNSE. Untuk mendapatkan mass flow rate primary yang tinggi pada model CNSE adalah dengan menggeser nozzle primary akan menurun. Jika nozzle digeser ke daerah suction chamber maka, nilai mass flow rate primary akan meningkat. Variasi NXP digunakan untuk mencari performa optimum dari ejector pada operating condition yang sama [Aphornratana dan Eames, 1997] Pengaruh Nozzle Exit Position Terhadap Mass Flow Rate Secondary Menggunakan Variasi Primary Pressure pada Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejector Pada Gambar 4.10, peningkatan primary pressure menyebabkan tendensi nilai mass flow rate secondary semakin menurun untuk semua variasi Nozzle Exit Position (NXP). Pada model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE), mass flow rate secondary tertinggi pada NXP Plus 5 dan NXP Plus 10. Sedangkan mass flow

115 Mass flow rate secondary (kg/s) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77 rate secondary terendah pada variasi NXP 0. Pada NXP 0 terjadi penurunan nilai mass flow rate secondary yang signifikan karena mass flow rate primary yang 0,0060 0,0045 0,0030 0,0015 0,0000-0,0015 CNS E NXP Minus 10 NXP Minus 5 NXP 0 NXP Plus 5 NXP Plus Primary Pressure (kpa) Gambar 4.10 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary pada variasi primary pressure di model CNSE. tinggi. Jika nozzle digeser ke daerah mixing chamber maka, mass flow rate secondary akan meningkat. Jika nozzle digeser ke daerah suction chamber maka, mass flow rate secondary menurun. Hal tersebut dikarenakan primary pressure yang tinggi menyebabkan kecepatan meningkat di diverging nozzle (Gambar sampai dengan Gambar 4.151). Pada Gambar 4.11 menunjukkan perbedaan nilai entrainment ratio pada variasi Nozzle Exit Position (NXP). Mass flow rate secondary terendah berada pada variasi NXP Minus 10. Mass flow rate secondary tertinggi berada pada variasi NXP Plus 10. Hal ini menunjukkan nozzle digeser ke daerah mixing chamber meningkatakan nilai entrainment ratio.. Jika nozzle digeser ke daerah suction chamber maka, nilai mass flow rate secondary akan menurun. Perbedaan yang signifikan antara model CNSE dan SNSE adalah pada variasi NXP 0. Pada model SNSE pada NXP 0 tidak menunjukkan penurunan nilai yang signifikan

116 Mass flow rate secondary (kg/s) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78 untuk mass flow rate secondary. Secara keseluruhan mass flow rate secondary yang dihasilkan model CNSE lebih tinggi daripada model SNSE pada variasi primary pressure dan variasi NXP yang sama. 0,0060 0,0045 0,0030 SNS E NXP Minus 10 NXP Minus 5 NXP 0 NXP Plus 5 NXP Plus 10 0,0015 0,0000-0, Primary Pressure (kpa) Gambar 4.11 Grafik pengaruh NXP terhadap mass flow rate secondary pada variasi primary pressure di model SNSE. 4.4 Analisis Kontur Tekanan, Temperatur dan Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector dan Square Nozzle Steam Ejectoor pada Variasi Nozzle Exit Position Pada bagian ini akan ditampilkan kontur tekanan, temperatur dan kecepatan pada variasi model nozzle, variasi primary pressure dan variasi Nozzle Exit Position (NXP). Pembahasan akan diawali untuk model Circle Nozzle Steam Ejector (CNSE) lalu model Square Nozzle Steam Ejector (SNSE) pada setiap kontur tekanan, temperatur dan kecepatan. Kontur yang ditampilkan untuk mengetahui bentuk aliran yang berada di dalam steam ejector. Kontur juga mendukung hasil grafik. Kontur akan ditampilkan pada NXP yang sama dengan

117 79 variasi primary pressure. Pada variasi primary pressure akan diketahui perbedaan kontur yang terjadi, sehingga dapat diambil kesimpulan untuk tiap variasi NXP Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Circle Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP Minus 10 Pada Gambar 4.12 sampai dengan Gambar 4.16, daerah converging nozzle memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan diverging nozzle. Hal tersebut dikarenakan diverging nozzle memiliki penampang yang kecil. Pada Gambar 4.12, diverging nozzle mempunyai tekanan yang sama dengan daerah suction chamber. Pada Gambar 4.13 sampai dengan Gambar 4.16, diverging nozzle cenderung memiliki tekanan yang lebih tinggi daripada suction chamber. Hal tersebut dikarenakan primary pressure yang tinggi menyebabkan daerah diverging nozzle mempunyai tekanan lebih tinggi daripada suction chamber. Fenomena yang terjadi pada Gambar 4.13 sampai dengan Gambar 4.16 yaitu tekanan keluar nozzle primary terjadi penurunan cukup signifikan. Hal tersebut dikarenakan tekanan diverging nozzle lebih tinggi bergerak ke tekanan yang lebih rendah di suction chamber [Bartosiewicz, 2005] [Rusly, 2005]. Peningkatan primary pressure pada variasi NXP Minus 10 untuk model CNSE menggeser letak perubahan kontur yang terjadi di dalam steam ejector. Pada Gambar 4.13, perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Pada Gambar 4.14, perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle yang mendekati diverging section. Pada Gambar 4.15, perubahan kontur tekanan terjadi di diverging section. Gambar 4.16 menunjukkan perubahan kontur terjadi di diverging section. Gambar 4.12 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa.

118 80 Gambar 4.13 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.14 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.15 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.16 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa.

119 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 5 Gambar 4.17 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.18 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.19 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.17 sampai dengan Gambar 4.21 menunjukkan primary pressure menyebabkan daerah converging nozzle memiliki tekanan yang tinggi. Setelah melewati converging nozzle, fluida mengalami penurunan tekanan ketika di diverging nozzle. Hal tersebut karena nozzle mengalami penyempitan penampang di daerah diverging nozzle. Pada penampang yang kecil menyebabkan tekanan menurun. Pada Gambar 4.17, diverging nozzle mempunyai tekanan sama dengan

120 82 daerah suction chamber. Pada Gambar 4.18 dan Gambar 4.19, diverging nozzle mempunyai tekanan yang lebih besar daripada daerah suction chamber. Hal tersebut karena primary pressure 155 kpa dan 170 kpa menyebabkan tekanan di daerah nozzle lebih tinggi walaupun sudah melewati penyempitan penampang. Pada Gambar 4.20 dan Gambar 4.21, daerah diverging section mempunyai tekanan yang sama dengan daerah suction chamber. Hal tersebut dikarenakan, tekanan di daerah suction chamber meningkat. Peningkatan primary pressure pada variasi NXP Minus 5 untuk model CNSE dapat menggeser perubahan kontur tekanan yang terjadi di dalam steam ejector. Gambar 4.20 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.21 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol Gambar 4.22 sampai dengan Gambar 4.26 menunjukkan perbedaan kontur tekanan yang signifikan dari variasi primary pressure. Gambar 4.22 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah mixing chamber. Gambar 4.23 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.24

121 83 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging section. Gambar 4.25 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging section yang berdekatan dengan daerah outlet ejector. Gambar 4.26 menunjukkan perubahan tekanan terjadi di daerah mixing chamber tetapi mempunyai nilai tekanan yang lebih tinggi. Pada Gambar 4.22 daerah diverging nozzle terjadi fenomena yang menarik pada variasi NXP Nol ini, karena pada primary pressure yang sama di daerah diverging nozzle mengalami penurunan tekanan yang drastis. Peningkatan tekanan dapat mempengaruhi distribusi aliran di dalam steam ejector. Gambar 4.22 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.23 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.24 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa.

122 84 Gambar 4.25 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.26 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 5 Peningkatan primary pressure menyebabkan keberagaman kontur tekanan di dalam steam ejector. Gambar 4.27 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah mixing chamber dan daerah diverging nozzle mempunyai tekanan yang sama dengan daerah suction chamber. Gambar 4.28 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.29 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle yang mendekati daerah diverging section. Gambar 4.27 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa.

123 85 Gambar 4.28 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.29 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.30 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.31 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa.

124 86 Gambar 4.30 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging section. Gambar 4.28 sampai dengan Gambar 4.30 di daerah diverging nozzle mempunyai tekanan yang sama dengan daerah suction chamber. Gambar 4.31 menunjukkan tekanan di daerah diverging nozzle lebih kecil daripada daerah suction chamber Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 10 Gambar 4.32 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.33 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.34 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa.

125 87 Gambar 4.35 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.36 Kontur tekanan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa. Gambar 4.32 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah mixing chamber dan di diverging nozzle mempunyai tekanan yang sama dengan daerah suction chamber. Gambar 4.33 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle dan terdapat perbedaan kontur tekanan di mixing chamber. Hal tersebut dikarenakan peningkatan primary pressure menyebabkan tekanan di daerah mixing chamber meningkat. Gambar 4.34 daerah diverging section mempunyai tekanan yang berbeda dengan suction chamber. Gambar 4.35 dan Gambar 4.36 menunjukkan peningkatan primary pressure mengakibatkan tekanan di suction chamber dan mixing chamber dapat meningkat Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model Square Nozzle Steam Ejector pada Variasi NXP Minus 10 Peningkatan variasi primary pressure menyebabkan keberagaman kontur di dalam steam ejector. Pada Gambar 4.37 hingga Gambar 4.41, variasi primary

126 88 pressure menyebabkan perubahan kontur tekanan mendekati outlet ejector. Pada Gambar 4.37 menunjukkan perubahan kontur tekan terjadi di daerah mixing chamber dan diverging section. Gambar 4.38 pada peningkatkan primary pressure menyebabkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Pada Gambar 4.39 perubahan kontur tekanan terjadi di throttle yang mendekati daerah diverging section. Gambar 4.40 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging section. Gambar 4.41 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging section yang mendekati outlet ejector. Gambar 4.37 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.38 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.39 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa.

127 89 Gambar 4.40 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.41 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 5 Peningkatan primary pressure menyebabkan keberagaman kontur tekanan pada setiap variasi. Gambar 4.42 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah diverging section dan daerah mixing chamber semakin meningkat. Gambar 4.43 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah mixing chamber. Gambar 4.44 hingga 4.46 menunjukkan perubahan kontur tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.42 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa.

128 90 Gambar 4.43 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.44 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.45 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.46 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa.

129 Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol Gambar 4.47 sampai dengan Gambar 4.51 menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan daerah mixing chamber memiliki tekanan lebih tinggi daripada di diverging section. Tekanan pada mixing chamber lebih tinggi adalah karena outlet pressure yang konstan menyebabkan daerah tersebut yang mengalami perubahan tekanan. Gambar 4.47 menunjukkan kontur perubahan Gambar 4.47 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.48 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.49 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa.

130 92 Gambar 4.50 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.51 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa. tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.48 menunjukkan kontur perubahan tekanan terjadi di daerah diverging section dan di daerah converging section mulai mengalami peningkatan tekanan. Gambar 4.49 peningkatan tekanan pada mixing chamber mengalami perluasan kontur tekanan. Pada Gambar 4.50, peningkatan tekanan pada mixing chamber menunjukkan pengaruh peningkatan variasi tekanan primary. Gambar 4.51 menunjukkan daerah suction chamber dan mixing chamber mengalami peningkatan tekanan karena primary pressure tinggi Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 5 Gambar 4.52 menunjukkan kontur perubahan tekanan terjadi di daerah throttle, tetapi di daerah mixing chamber tidak terjadi peningkatan tekanan. Pada Gambar 4.53, kontur perubahan tekanan terjadi di diverging section dan di mixing chamber. Gambar 4.54 sampai dengan Gambar 4.56 menunjukkan perluasan kontur perubahan tekanan pada mixing chamber pada peningkatan primary pressure.

131 93 Gambar 4.52 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.53 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.54 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.55 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa.

132 95 Gambar 4.56 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Tekanan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 10 Peningkatan variasi tekanan primary menyebabkan daerah diverging nozzle mempunyai nilai tekanan yang semakin menurun. Peningkatan variasi primary pressure mengakibatkan kontur perubahan kontur tekanan terjadi mendekati outlet ejector. Gambar 4.58 menunjukkan kontur perubahan tekanan terjadi di daerah converging section. Gambar 4.59 menunjukkan kontur perubahan tekanan terjadi di daerah throttle. Gambar 4.60 menunjukkan kontur perubahan Gambar 4.57 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.58 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa.

133 94 Gambar 4.59 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.60 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.61 Kontur tekanan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa. tekanan terjadi di diverging section. Pada Gambar 4.61, kontur perubahan tekanan tidak terjadi, karena kontur tekanan yang terjadi di sepanjang daerah converging section hingga throttle mempunyai nilai yang sama Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 10 Daerah mixing chamber terjadi penurunan temperatur disebabkan oleh interaksi fluida primary dengan fluida secondary yang mempunyai temperatur

134 96 lebih rendah. Gambar 4.64 menunjukkan perubahan temperatur mulai terjadi di daerah suction chamber. Hal tersebut dikarenakan peningkatan primary pressure menyebabkan primary temperatur meningkat. Peningkatan primary temperatur juga menyebabkan outlet temparatur meningkat. Gambar 4.65 menunjukkan perluasan perubahan temperatur di daerah suction chamber. Pada Gambar 4.66 dan Gambar 4.67 meningkatnya tekanan menyebabkan kontur temperatur di Gambar 4.62 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10. Gambar 4.63 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.64 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.65 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa.

135 97 Gambar 4.66 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.67 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa. converging section meningkat dan perluasan daerah perubahan kontur temperatur di suction chamber. Hal tersebut dikarenakan primary pressure yang tinggi menyebabkan temperatur meningkat. Temperatur yang meningkat menyebabkan perpindahan temperatur di daerah suction chamber Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 5 Gambar 4.68 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5. Gambar 4.69 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa.

136 98 Gambar 4.70 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.71 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.72 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.73 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa. Pada Gambar 4.69 menunjukkan perubahan temperatur terfokus di daerah mixing chamber. Pada Gambar 4.69 terjadi perubahan temperatur yang baik antara kedua fluida. Perubahan temperatur yang baik adalah terjadi transfer temperatur di daerah mixing chamber. Gambar 4.70 menunjukkan perubahan kontur temperatur

137 99 yang terjadi merata tetapi temperatur yang keluar outlet ejector cukup tinggi. Gambar 4.71 menunjukkan perubahan kontur temperatur yang terjadi di dalam steam ejector tidak merata. Hal tersebut dikarenakan primary pressure yang meningkat menyebabkan peningkatan temperatur. Gambar 4.71 menunjukkan perubahan temperatur di daerah suction chamber. Gambar 4.72 menunjukkan perubahan temperatur yang cukup merata tetapi, outlet temperature masih tinggi. Gambar 4.73 menunjukkan perubahan temperatur yang terjadi tidak baik. Pada bagian mixing chamber hingga outlet ejector masih mempunyai temperatur yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan, primary pressure tinggi mengakibatkan primary temperatur meningkat Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol Pada Gambar 4.75 hingga Gambar 4.79 menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan Tp di nozzle meningkat. Gambar 4.75 menunjukkan kontur perubahan temperatur yang baik. Bagian nozzle yang mempunyai temperatur tinggi setelah keluar nozzle mengalami perubahan temperatur yang signifikan. Perubahan temperatur yang signifikan ditandai dengan warna yang ada. Hal tersebut juga dikarenakan kedua fluida pencampurannya terfokus di daerah mixing chamber. Gambar 4.76 menunjukkan peningkatan temperatur di daerah mixing chamber. Outlet temperature masih cukup tinggi disebabkan primary temperature meningkat. Gambar 4.77 menunjukkan kontur perubahan temperatur yang kurang baik. Daerah suction chamber mulai mengalami perubahan temperatur karena primary temperature cukup tinggi. Gambar 4.78 menunjukkan outlet temperature masih tinggi. Outlet temperature yang masih tinggi menyebabkan kerja steam ejector tidak maksimal. Pada kontur daerah suction chamber mengalami perubahan ketika mengalami peningkatan variasi primary pressure. Gambar 4.79 menunjukkan semakin luas daerah suction chamber yang mengalami perubahan temperatur. Hal tersebut mengindikasi fluida secondary sebelum sebelum masuk ke mixing chamber sudah mengalami kenaikan temperatur.

138 100 Gambar 4.74 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Nol. Gambar 4.75 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.76 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.77 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.78 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa.

139 101 Gambar 4.79 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 5 Gambar 4.81 menunjukkan kontur perubahan temperatur yang signifikan terjadi di daerah mixing chamber. Hal tersebut dikarenakan, fluida secondary dapat menurunkan temperatur fluida primary yang mempunyai temperatur yang tidak terlalu tinggi. Gambar 4.82 hingga Gambar 4.85 menunjukkan kontur perubahan temperatur yang terjadi cukup baik. Walaupun primary temperature meningkat namun perubahan temperatur masih cukup baik. Hal tersebut dikarenakan perubahan temperatur terfokus di daerah mixing chamber dan daerah suction chamber tidak mengalami perubahan temperatur sehingga proses termodinamika terfokus di mixing chamber. Pada Gambar 4.85, daerah ujung diverging section mengalami peningkatan temperatur karena daerah tersebut mengalami perluasan penampang yang menyebabkan tekanan meningkat. Gambar 4.80 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5. Gambar 4.81 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa.

140 102 Gambar 4.82 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.83 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.84 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.85 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 10 Pada Gambar 4.87 hingga 4.91 menunjukkan peningkatan tekanan primary menyebabkan perubahan temperatur fluida di dalam steam ejector. Pada NXP Plus 10, primary temperature tidak mempengaruhi secondary temperatur di

141 103 daerah suction chamber. Pada semua kontur menunjukkan perubahan temperatur terfokus di daerah mixing chamber. Gambar 4.87 menunjukkan penurunan temperatur primary yang signifikan. Pada Gambar 4.88 menunjukkan peningkatan temperatur primary menyebabkan temperatur outlet ejector lebih tinggi dibandingkan kontur pada Gambar Gambar 4.89 menunjukkan daerah mixing chamber mengalami sedikit peningkatan temperatur tetapi, pada daerah outlet ejector memiliki temperatur yang sama dengan Gambar Gambar 4.90 menunjukkan temperatur di daerah mixing chamber hingga outlet ejector meningkat karena peningkatan Primary pressure. Gambar 4.91 menunjukkan meningkatnya primary pressure menyebabkan temperatur di daerah converging section masih cukup tinggi. Gambar 4.86 Skala kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10. Gambar 4.87 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.88 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa.

142 105 Gambar 4.89 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa. Gambar 4.90 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.91 Kontur temperatur pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 10 Pada Gambar 4.93 hingga Gambar 4.97, variasi primary pressure menyebabkan distribusi temperatur yang terjadi di dalam steam ejector bervariasi. Gambar 4.93 menunjukkan kontur perubahan temperatur yang baik tetapi, daerah suction chamber sudah mengalami perubahan temperatur. Gambar 4.94 menunjukkan daerah mixing chamber mengalami kenaikan temperatur. Hal tersebut dikarenakan, primary pressure tinggi menyebabkan primary temperatur meningkat. Gambar 4.95 menunjukkan kenaikan temperatur pada mixing chamber dan menyebabkan temperatur outlet ejector masih mempunyai temperatur yang cukup tinggi. Gambar 4.96 dan Gambar 4.97 menunjukkan kenaikan primary

143 104 pressure menyebabkan daerah suction chamber mempunyai perubahan temperatur. Gambar 4.92 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10. Gambar 4.93 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar 4.94 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar 4.95 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa.

144 106 Gambar 4.96 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar 4.97 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 5 Gambar 4.99 menunjukkan perubahan temperatur yang signifikan terjadi di mixing chamber. Hal tersebut menunjukkan terjadi perubahan temperatur antara primary fluid dengan secondary fluid di mixing chamber. Outlet temperature mengalami peningkatan karena terjadi peluasan penampang pada diverging section. Gambar menunjukkan perubahan temperatur di daerah mixing chamber lebih tinggi daripada Gambar Hal tersebut dikarenakan peningkatan primary pressure yang menyebabkan primary temperature meningkat. Gambar menunjukkan di suction chamber mengalami perubahan kontur temperatur. Gambar menunjukkan kontur temperatur yang keluar nozzle tidak mengalami perubahan temperatur yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan temperatur di nozzle tinggi. Gambar dan Gambar menunjukkan daerah suction chamber mengalami perubahan kontur tekanan, sehingga di mixing chamber tidak mengalami perubahan temperatur yang signifikan. Peningkatan primary pressure menyebabkan perluasan kontur temperatur di daerah suction chamber.

145 107 Gambar 4.98 Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5. Gambar 4.99 Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa.

146 108 Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol Gambar Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Nol. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa.

147 109 Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa. Gambar dan Gambar menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan perbedaan perubahan kontur temperatur di dalam steam ejector. Gambar terjadi penurunan tekanan di daerah mixing chamber. Pada Gambar terjadi perubahan kontur temperatur yang lebih luas. Pada Gambar hingga Gambar menunjukkan di daerah suction chamber mengalami perubahan kontur temperatur. Hal tersebut dikarenakan, peningkatan primary pressure menyebabkan peningkatan primary temperature. Ketika di suction chamber mengalami perubahan kontur temperatur menyebabkan outlet temperature meningkat.

148 Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 5 Gambar Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa.

149 111 Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa. Pada Gambar dan Gambar menunjukkan perubahan kontur temperatur hanya terjadi di daerah mixing chamber. Pada Gambar hingga Gambar menunjukkan daerah suction chamber mengalami perubahan kontur temperatur karena peningkatan primary pressure menyebabkan primary temperatur meningkat. Daerah suction chamber yang mengalami perubahan kontur temperatur dapat mengurangi performa dari steam ejector. Peningkatan primary pressure menyebabkan outlet temperatur meningkat Analisis Kontur Temperatur Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 10 Gambar hingga Gambar menunjukkan perubahan kontur temperatur terfokus di mixing chamber. Gambar menunjukkan primary temperatur menurun signifikan di mixing chamber. Penurunan signifikan dikarenakan terjadi proses perpindahan panas yang baik dari temperatur primary fluid ke temperatur secondary fluid. Perpindahan panas di mixing chamber mengakibatkan outlet temperature rendah. Gambar menunjukkan perbedaan kontur temperatur yang terjadi di daerah mixing chamber. Gambar 4.119

150 112 menunjukkan temperatur nozzle mempunyai nilai yang sama hingga daerah outlet ejector. Gambar 4.20 menunjukkan penurunan kontur temperatur yang tidak signifikan terjadi di mixing chamber. Gambar primary pressure meningkat menyebabkan perluasan perubahan kontur temperatur yang terjadi di suction chamber. Gambar hingga Gambar menunjukkan temperatur nozzle mempunyai nilai yang sama dengan outlet ejector. Gambar Skala kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa.

151 113 Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur temperatur pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 10 Peningkatan primary pressure mempengaruhi primary velocity yang terjadi di dalam steam ejector. Pada Gambar 4.123, diverging nozzle mempunyai kecepatan yang lebih tinggi daripada daerah steam ejector lain. Di daerah throttle yang mempunyai penampang kecil menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Daerah throttle untuk Gambar mempunyai kecepatan cukup rendah dikarenakan primary pressure rendah. Fluida primary di converging nozzle yang mempunyai tekanan tinggi. Diverging nozzle yang mempunyai penampang kecil menyebabkan kecepatan fluida meningkat. Setelah fluida primary melewati diverging nozzle, maka terjadi shock yang menyebabkan kecepatan fluida menurun. Shock terjadi karena diverging nozzle yang mempunyai tekanan tinggi berinteraksi dengan daerah suction chamber yang mempunyai tekanan lebih rendah. Primary fluid terhisap ke daerah yang mempunyai tekanan lebih kecil. Pada Gambar 4.124, di throttle belum mengalami peningkatan kecepatan seperti terlihat pada Gambar hingga Gambar Pada Gambar hingga

152 114 Gambar dapat dibandingkan peningkatan primary pressure menyebabkan daerah nozzle dan throttle mempunyai peluasan kontur kecepatan yang signifikan. Gambar Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa.

153 115 Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Minus 5 Kontur kecepatan pada Gambar menunjukkan kecepatan di dalam ejector yang mempunyai penampang lebih besar memiliki kecepatan fluida yang rendah. Kecepatan di throttle meningkat yang ditandai dengan perubahan kontur kecepatan. Perubahan kontur kecepatan tersebut dapat dilihat di Gambar hingga Gambar Pada Gambar dan Gambar 4.132, peningkatan primary pressure mempengaruhi luas kontur kecepatan dan perubahan warna kontur di dalam nozzle. Gambar kontur di nozzle mengindikasi kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan Gambar Gambar peningkatan primary pressure menyebabkan perluasan kontur kecepatan di nozzle maupun throttle. Gambar Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5.

154 116 Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa.

155 118 Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Nol Gambar Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa.

156 117 Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa. Peningkatan primary pressure mempengaruhi kontur kecepatan fluida di dalam steam ejector. Gambar menunjukkan kontur kecepatan terendah yang berada di dalam nozzle. Pada Gambar menunjukkan di mixing chamber terjadi mengalami penurunan kontur kecepatan karena primary pressure yang rendah. Daerah throttle karena ada penyempitan penampang menunjukkan kontur kecepatan meningkat. Gambar menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan kontur kecepatan di dalam nozzle lebih tinggi daripada Gambar Pada Gambar hingga Gambar 4.139, di throttle mulai mengalami peningkatan kecepatan. Selain itu, pada peningkatan primary pressure di daerah nozzle mengalami perluasan kontur kecepatan tinggi.

157 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 5 Gambar Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa.

158 120 Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa. Gambar menunjukkan daerah nozzle mempunyai kecepatan yang rendah daripada variasi primary pressure yang lain. Gambar menunjukkan daerah mixing chamber mengalami penurunan kontur kecepatan karena primary pressure yang rendah. Pada Gambar 4.142, kontur kecepatan di dalam nozzle mengalami peningkatan dan di daerah mixing chamber tidak mengalami penurunan kecepatan yang signifikan. Gambar menunjukkan di daerah throttle mengalami peningkatan kecepatan. Pada Gambar dan Gambar 4.145, di nozzle maupun di throttle mengalami peningkatan kontur kecepatan karena peningkatan primary pressure Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model CNSE pada Variasi NXP Plus 10 Gambar Skala kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10.

159 121 Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa.

160 122 Gambar Kontur kecepatan pada model CNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa. Gambar menunjukkan perubahan kontur yang terjadi di mixing chamber. Pada Gambar hingga Gambar menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan perubahan kontur di daerah nozzle dan throttle. Di throttle terjadi perubahan kontur kecepatan pada fluida yang berdekatan dengan dinding. Hal tersebut dikarenakan, tekanan outlet ejector yang cukup tinggi mengakibatkan tekanan di tengah ejector tinggi. Tekanan di tengah ejector tinggi menyebabkan kecepatan juga tinggi Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 10 Gambar Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 140 kpa.

161 123 Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 10 di primary pressure 200 kpa. Gambar menunjukkan kecepatan di daerah diverging nozzle lebih tinggi daripada model CNSE. Walaupun daerah diverging nozzle memiliki kecepatan yang tinggi tetapi, daerah mixing chamber mengalami penurun kecepatan yang signifikan. Pada Gambar 4.153, daerah throttle tidak mengalami

162 perubahan kontur kecepatan. Gambar menunjukkan perubahan kontur kecepatan di mixing chamber. Gambar menunjukkan di diverging nozzle mengalami peningkatan kontur kecepatan lebih tinggi. Gambar menunjukkan perluasan kontur kecepatan tinggi pada diverging nozzle maupun throttle. Gambar dan Gambar menunjukkan perluasan kontur kecepatan pada daerah throttle karena peningkatan primary pressure Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Minus 5 Gambar Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 155 kpa.

163 125 Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Minus 5 di primary pressure 200 kpa. Pada Gambar 4.159, mixing chamber mengalami perubahan kecepatan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan Primary pressure yang rendah menghasilkan kecepatan yang rendah. Walaupun di diverging nozzle mempunyai kecepatan tinggi ketika berinteraksi dengan fluida secondary di mixing chamber mengalami penurunan kecepatan. Gambar peningkatan Primary pressure menyebabkan luas kontur kecepatan di diverging nozzle meningkat dan perubahan kontur kecepatan mulai terjadi di daerah throttle. Pada Gambar hingga Gambar menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan kecepatan di diverging nozzle meningkat dan perluasan kontur kecepatan di daerah throttle

164 Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Nol Gambar Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 170 kpa.

165 127 Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP 0 di primary pressure 200 kpa. Gambar menunjukkan kontur kecepatan di dalam nozzle lebih rendah daripada Gambar hingga Gambar Peningkatan primary pressure menyebabkan kontur kecepatan di diverging nozzle meningkat. Gambar menunjukkan perubahan kontur kecepatan meningkat di daerah throttle. Gambar hingga Gambar menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan perubahan kontur kecepatan di diverging nozzle dan di daerah throttle Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 5 Gambar Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5.

166 Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 170 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 185 kpa.

167 129 Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 5 di primary pressure 200 kpa. Gambar menunjukkan perubahan kontur kecepatan yang dihasilkan rendah. Gambar menunjukkan peningkatan kontur kecepatan di diverging nozzle karena peningkatan primary pressure. Gambar menunjukkan perluasan kontur kecepatan di dalam nozzle serta di daerah throttle mulai mengalami perubahan kontur kecepatan. Gambar dan Gambar menunjukkan perubahan kontur kecepatan di throttle semakin luas. Hal tersebut menunjukkan pengaruh yang signifikan yang diberikan variasi primary pressure. primary pressure yang diberikan ke sistem mempengaruhi performa dari steam ejector Analisis Kontur Kecepatan Terhadap Variasi Primary Pressure Menggunakan Model SNSE pada Variasi NXP Plus 10 Gambar menunjukkan pengaruh primary pressure terhadap kontur kecepatan di diverging nozzle yang rendah. Gambar menunjukkan tidak terjadi penurunan kontur kecepatan di mixing chamber. Hal tersebut menunjukkan nozzle yang digeser ke mixing chamber dapat mengurangi penurunan kecepatan di mixing chamber. Pada Gambar 4.178, peningkatan primary pressure menyebabkan kontur kecepatan di nozzle meningkat. Gambar hingga Gambar menunjukkan peningkatan primary pressure menyebabkan kontur kecepatan di nozzle dan throttle meningkat.

168 Gambar Skala kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 140 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 155 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 170 kpa.

169 131 Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 185 kpa. Gambar Kontur kecepatan pada model SNSE dengan variasi NXP Plus 10 di primary pressure 200 kpa.

ANALISA PENGARUH POSISI KELUARAN NOSEL PRIMER TERHADAP PERFORMA STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH POSISI KELUARAN NOSEL PRIMER TERHADAP PERFORMA STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi ANALISA PENGARUH POSISI KELUARAN NOSEL PRIMER TERHADAP PERFORMA STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD Tony Suryo Utomo*, Sri Nugroho, Eflita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (K. Chunnanond S. Aphornratana, 2003)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (K. Chunnanond S. Aphornratana, 2003) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Refrigerasi ejektor tampaknya menjadi sistem yang paling sesuai untuk pendinginan skala besar pada situasi krisis energi seperti sekarang ini. Karena refregerasi ejector

Lebih terperinci

SIMULASI PERPINDAHAN PANAS GEOMETRI FIN DATAR PADA HEAT EXCHANGER DENGAN ANSYS FLUENT

SIMULASI PERPINDAHAN PANAS GEOMETRI FIN DATAR PADA HEAT EXCHANGER DENGAN ANSYS FLUENT SIMULASI PERPINDAHAN PANAS GEOMETRI FIN DATAR PADA HEAT EXCHANGER DENGAN ANSYS FLUENT Gian Karlos Rhamadiafran Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Teknologi ejector refrigeration telah lama diketahui dan dikembangkan, pertama kali ditemukan oleh Charles Parsons awal tahun 1900. Ejector pertama kali digunakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... xi. DAFTAR GRAFIK...xiii. DAFTAR TABEL... xv. NOMENCLATURE... JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iv... vi DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR GRAFIK...xiii DAFTAR TABEL... xv NOMENCLATURE... xvi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan

Lebih terperinci

KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH ANGLE MIXING CHAMBER TERHADAP UNJUK KERJA STEAM EJECTOR REFRIGERATION

KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH ANGLE MIXING CHAMBER TERHADAP UNJUK KERJA STEAM EJECTOR REFRIGERATION KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH ANGLE MIXING CHAMBER TERHADAP UNJUK KERJA STEAM EJECTOR REFRIGERATION Bachtiar Setya Nugraha Dosen Program Studi S1 Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus E-mail:

Lebih terperinci

ANALISIS AERODINAMIKA PADA MOBIL SEDAN DENGAN VARIASI SUDUT DIFFUSER DAN SUDUT BOAT TAIL MENGGUNAKAN CFD (COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS)

ANALISIS AERODINAMIKA PADA MOBIL SEDAN DENGAN VARIASI SUDUT DIFFUSER DAN SUDUT BOAT TAIL MENGGUNAKAN CFD (COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS) ANALISIS AERODINAMIKA PADA MOBIL SEDAN DENGAN VARIASI SUDUT DIFFUSER DAN SUDUT BOAT TAIL MENGGUNAKAN CFD (COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Lebih terperinci

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN VARIASI PANJANG PIPA PEMASUKAN DAN VARIASI TINGGI TABUNG UDARA MENGGUNAKAN CFD

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN VARIASI PANJANG PIPA PEMASUKAN DAN VARIASI TINGGI TABUNG UDARA MENGGUNAKAN CFD SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN VARIASI PANJANG PIPA PEMASUKAN DAN VARIASI TINGGI TABUNG UDARA MENGGUNAKAN CFD SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Mesin pendingin atau kondensor adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang

Lebih terperinci

PERNYATAAN. Yogyakarta, 17 Agustus Immawan Wahyudi Ahyar. iii

PERNYATAAN. Yogyakarta, 17 Agustus Immawan Wahyudi Ahyar. iii PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir dengan judul ANALISIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) TERHADAP PROFIL TEMPERATUR UNTUK KONDENSASI STEAM

Lebih terperinci

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik HERTO

Lebih terperinci

OPTIMALISASI DESAIN TURBIN PLTA PICO- HYDRO UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DAYA DENGAN BANTUAN SOFTWARE CFD DAN KONSEP REVERSE ENGINEERING

OPTIMALISASI DESAIN TURBIN PLTA PICO- HYDRO UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DAYA DENGAN BANTUAN SOFTWARE CFD DAN KONSEP REVERSE ENGINEERING OPTIMALISASI DESAIN TURBIN PLTA PICO- HYDRO UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DAYA DENGAN BANTUAN SOFTWARE CFD DAN KONSEP REVERSE ENGINEERING Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR NOTASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)

INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) Mirza Quanta Ahady Husainiy 2408100023 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER INLET TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER INLET TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER INLET TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD Bachtiar Setya Nugraha Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muria

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH JARAK NOSEL DENGAN CONSTANT AREA SECTION PADA PERFORMANSI STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH JARAK NOSEL DENGAN CONSTANT AREA SECTION PADA PERFORMANSI STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD TUGAS SARJANA BIDANG KONVERSI ENERGI ANALISA PENGARUH JARAK NOSEL DENGAN CONSTANT AREA SECTION PADA PERFORMANSI STEAM EJECTOR MENGGUNAKAN CFD Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata

Lebih terperinci

SIMULASI NUMERIK PENINGKATAN PERPINDAHAN PANAS PADA PENUKAR KALOR DENGAN RECTANGULAR- CUT TWISTED TAPE INSERT

SIMULASI NUMERIK PENINGKATAN PERPINDAHAN PANAS PADA PENUKAR KALOR DENGAN RECTANGULAR- CUT TWISTED TAPE INSERT SIMULASI NUMERIK PENINGKATAN PERPINDAHAN PANAS PADA PENUKAR KALOR DENGAN RECTANGULAR- CUT TWISTED TAPE INSERT SKRIPSI Diajukan sebagai slah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Oleh : FIRGO

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH VARIASI PANJANG THROAT SECTION TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH VARIASI PANJANG THROAT SECTION TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD A.6. Analisa Pengaruh Variasi Panjang Throat Section Terhadap Entrainment Radio... (Mohamad Fahris) ANALISA PENGARUH VARIASI PANJANG THROAT SECTION TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-192 Studi Numerik Pengaruh Baffle Inclination pada Alat Penukar Kalor Tipe Shell and Tube terhadap Aliran Fluida dan Perpindahan

Lebih terperinci

SIMULASI DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA SUATU RUANGAN BERATAP GENTENG BERBAHAN KOMPOSIT PLASTIK-KARET MENGGUNAKAN ANSYS FLUENT

SIMULASI DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA SUATU RUANGAN BERATAP GENTENG BERBAHAN KOMPOSIT PLASTIK-KARET MENGGUNAKAN ANSYS FLUENT SIMULASI DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA SUATU RUANGAN BERATAP GENTENG BERBAHAN KOMPOSIT PLASTIK-KARET MENGGUNAKAN ANSYS FLUENT SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi yang begitu pesat dewasa ini sangat mempengaruhi jumlah ketersediaan sumber-sumber energi yang tidak dapat diperbaharui yang ada di permukaan

Lebih terperinci

(Studi Kasus PT. EMP Unit Bisnis Malacca Strait) Dosen Pembimbing Bambang Arip Dwiyantoro, ST. M.Sc. Ph.D. Oleh : Annis Khoiri Wibowo

(Studi Kasus PT. EMP Unit Bisnis Malacca Strait) Dosen Pembimbing Bambang Arip Dwiyantoro, ST. M.Sc. Ph.D. Oleh : Annis Khoiri Wibowo Studi Numerik Peningkatan Cooling Performance pada Lube Oil Cooler Gas Turbine Disusun Secara Seri dan Paralel dengan Variasi Kapasitas Aliran Lube Oil (Studi Kasus PT. EMP Unit Bisnis Malacca Strait)

Lebih terperinci

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin BELLA TANIA Program Pendidikan Fisika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya May 9, 2013 Abstrak Mesin

Lebih terperinci

SIMULASI AERODINAMIS DAN TEGANGAN PROPELER PESAWAT TIPE AIRFOIL NACA M6 MELALUI ANALISA KOMPUTASI DINAMIKA MENGGUNAKAN MATERIAL PADUAN (94% Al-6% Mg)

SIMULASI AERODINAMIS DAN TEGANGAN PROPELER PESAWAT TIPE AIRFOIL NACA M6 MELALUI ANALISA KOMPUTASI DINAMIKA MENGGUNAKAN MATERIAL PADUAN (94% Al-6% Mg) SIMULASI AERODINAMIS DAN TEGANGAN PROPELER PESAWAT TIPE AIRFOIL NACA M6 MELALUI ANALISA KOMPUTASI DINAMIKA MENGGUNAKAN MATERIAL PADUAN (94% Al-6% Mg) SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat

Lebih terperinci

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI 3.1 KONDISI ALIRAN FLUIDA Sebelum melakukan simulasi, didefinisikan terlebih dahulu kondisi aliran yang akan dipergunakan. Asumsi dasar yang dipakai

Lebih terperinci

INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO SKRIPSI

INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO SKRIPSI INVESTIGASI EKSPERIMENTAL EFEK NOZZLE EXIT POSITION STEAM EJECTOR TERHADAP PARAMETER ENTRAINMENT RATIO DAN EXPANSION RATIO SKRIPSI Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata

Lebih terperinci

PENGARUH DIAMETER SHOULDER DAN BENTUK PIN TERHADAP DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA FRICTION STIR WELDING DENGAN MENGGUNAKAN PEMODELAN CFD TIGA DIMENSI

PENGARUH DIAMETER SHOULDER DAN BENTUK PIN TERHADAP DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA FRICTION STIR WELDING DENGAN MENGGUNAKAN PEMODELAN CFD TIGA DIMENSI PENGARUH DIAMETER SHOULDER DAN BENTUK PIN TERHADAP DISTRIBUSI TEMPERATUR PADA FRICTION STIR WELDING DENGAN MENGGUNAKAN PEMODELAN CFD TIGA DIMENSI SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penggunaan energi surya dalam berbagai bidang telah lama dikembangkan di dunia. Berbagai teknologi terkait pemanfaatan energi surya mulai diterapkan pada berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Refrigeran merupakan media pendingin yang bersirkulasi di dalam sistem refrigerasi kompresi uap. ASHRAE 2005 mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja

Lebih terperinci

ANALISA VARIASI PANJANG THROAT SECTION TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR REFRIGERASI DENGAN MENGGUNAKAN CFD

ANALISA VARIASI PANJANG THROAT SECTION TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR REFRIGERASI DENGAN MENGGUNAKAN CFD ANALISA VARIASI PANJANG THROAT SECTION TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR REFRIGERASI DENGAN MENGGUNAKAN CFD Mohamad Fahris Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sultan Fatah

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER INLET TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER INLET TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER INLET TERHADAP ENTRAINMENT RATIO PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD 1 ABSTRACT Ejector tool that used to move fluid by way of make use fluid flow other.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Besaran dan peningkatan rata-rata konsumsi bahan bakar dunia (IEA, 2014)

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Besaran dan peningkatan rata-rata konsumsi bahan bakar dunia (IEA, 2014) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era modern, teknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini akan mempengaruhi pada jumlah konsumsi bahan bakar. Permintaan konsumsi bahan bakar ini akan

Lebih terperinci

PENGARUH DENSITAS DAN VISKOSITAS TERHADAP PROFIL KECEPATAN PADA ALIRAN FLUIDA LAMINAR DI DALAM PIPA HORIZONTAL

PENGARUH DENSITAS DAN VISKOSITAS TERHADAP PROFIL KECEPATAN PADA ALIRAN FLUIDA LAMINAR DI DALAM PIPA HORIZONTAL PENGARUH DENSITAS DAN VISKOSITAS TERHADAP PROFIL KECEPATAN PADA ALIRAN FLUIDA LAMINAR DI DALAM PIPA HORIZONTAL BONI SENA bonisena@mail.ugm.ac.id 085692423611 Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN GEOMETRI EJECTOR PADA PERFORMA SISTEM REFRIGERASI STEAM EJECTOR

KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN GEOMETRI EJECTOR PADA PERFORMA SISTEM REFRIGERASI STEAM EJECTOR KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH PERUBAHAN GEOMETRI EJECTOR PADA PERFORMA SISTEM REFRIGERASI STEAM EJECTOR Rudy Kurniawan 1), MSK Tony Suryo Utomo 2), Saiful 2) 1)Magister Teknik Mesin Program Pasca Sarjana

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH BILANGAN REYNOLD TERHADAP KECEPATAN SUDUT TURBIN GORLOV HYDROFOIL NACA SUDUT KEMIRINGAN 45 TUGAS AKHIR

UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH BILANGAN REYNOLD TERHADAP KECEPATAN SUDUT TURBIN GORLOV HYDROFOIL NACA SUDUT KEMIRINGAN 45 TUGAS AKHIR UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH BILANGAN REYNOLD TERHADAP KECEPATAN SUDUT TURBIN GORLOV HYDROFOIL NACA 0012-34 SUDUT KEMIRINGAN 45 TUGAS AKHIR ZEVO PRIORY SIBERO L2E 006 096 FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air dari suatu bahan [1]. Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan

Lebih terperinci

STUDI NUMERIK PENGARUH PENAMBAHAN OBSTACLE BENTUK PERSEGI PADA PIPA TERHADAP KARAKTERISTIK ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS.

STUDI NUMERIK PENGARUH PENAMBAHAN OBSTACLE BENTUK PERSEGI PADA PIPA TERHADAP KARAKTERISTIK ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS. TUGAS AKHIR KONVERSI ENERGI STUDI NUMERIK PENGARUH PENAMBAHAN OBSTACLE BENTUK PERSEGI PADA PIPA TERHADAP KARAKTERISTIK ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS. Dosen Pembimbing : SENJA FRISCA R.J 2111105002 Dr. Eng.

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN EVAPORATOR UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1PK SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi

RANCANG BANGUN EVAPORATOR UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1PK SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi RANCANG BANGUN EVAPORATOR UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1PK SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik TYSON MARUDUT MANURUNG NIM

Lebih terperinci

Analisis Tegangan Pada Beberapa Jenis Ejektor Uap Bagus Budiwantoro 1, a, I Nengah Diasta 2, b, dan Reinaldo Sahat Samuel Hutabarat 1, c

Analisis Tegangan Pada Beberapa Jenis Ejektor Uap Bagus Budiwantoro 1, a, I Nengah Diasta 2, b, dan Reinaldo Sahat Samuel Hutabarat 1, c Analisis Pada Beberapa Jenis Ejektor Uap Bagus Budiwantoro, a, I Nengah Diasta, b, dan Reinaldo Sahat Samuel Hutabarat, c Lab. EDC FTMD Institut Teknologi Bandung, Jln. Ganesa No.0 Bandung. Indonesia.

Lebih terperinci

IRVAN DARMAWAN X

IRVAN DARMAWAN X OPTIMASI DESAIN PEMBAGI ALIRAN UDARA DAN ANALISIS ALIRAN UDARA MELALUI PEMBAGI ALIRAN UDARA SERTA INTEGRASI KEDALAM SISTEM INTEGRATED CIRCULAR HOVERCRAFT PROTO X-1 SKRIPSI Oleh IRVAN DARMAWAN 04 04 02

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya terbatas untuk peningkatan kualitas dan kenyamanan hidup, namun juga telah

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-659

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: ( Print) B-659 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5 No. 2 (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-659 Rancang Bangun dan Studi Eksperimen Alat Penukar Panas untuk Memanfaatkan Energi Refrigerant Keluar Kompresor AC sebagai Pemanas

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER TERHADAP ENTRAINMENT RATIO DAN DISTRIBUSI TEKANAN PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER TERHADAP ENTRAINMENT RATIO DAN DISTRIBUSI TEKANAN PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD ANALISA PENGARUH VARIASI SUDUT MIXING CHAMBER TERHADAP ENTRAINMENT RATIO DAN DISTRIBUSI TEKANAN PADA STEAM EJECTOR DENGAN MENGGUNAKAN CFD Bachtiar Setya Nugraha, ST Program Magister Teknik Mesin Universitas

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi Pasteurisasi ialah proses pemanasan bahan makanan, biasanya berbentuk cairan dengan temperatur dan waktu tertentu dan kemudian langsung didinginkan secepatnya. Proses

Lebih terperinci

STUDI KOMPUTASIONAL NACA 2412 PADA VARIASI SUDUT PENGGUNAAN SINGLE SLOTTED FLAP DAN FIXED SLOT DENGAN SOFTWARE FLUENT

STUDI KOMPUTASIONAL NACA 2412 PADA VARIASI SUDUT PENGGUNAAN SINGLE SLOTTED FLAP DAN FIXED SLOT DENGAN SOFTWARE FLUENT STUDI KOMPUTASIONAL NACA 2412 PADA VARIASI SUDUT PENGGUNAAN SINGLE SLOTTED FLAP DAN FIXED SLOT DENGAN SOFTWARE FLUENT 6.2.16 Skripsi Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Strata 1 (S1) Disusun

Lebih terperinci

The Analysis of Velocity Flow Effect on Drag Force by Using Computational Fluid Dynamics

The Analysis of Velocity Flow Effect on Drag Force by Using Computational Fluid Dynamics The Analysis of Velocity Flow Effect on Drag Force by Using Computational Fluid Dynamics Ridwan Abdurrahman 1), Benny Dwika Leonanda 2,*) 1 Indah Kiat Pulp & Paper Corp Tbk Jl. Raya Minas Perawang Km.

Lebih terperinci

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN 1 Amrullah, 2 Zuryati Djafar, 3 Wahyu H. Piarah 1 Program Studi Perawatan dan Perbaikan Mesin, Politeknik Bosowa, Makassar 90245,Indonesia

Lebih terperinci

PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSETUJUAN PUBLIKASI PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSETUJUAN PUBLIKASI Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Roy Mukhlis Irawan NIM : 20120130124 Program studi : Teknik Mesin Fakultas : Teknik Jenis karya : Skripsi Judul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan terhadap energi merupakan hal mendasar yang dibutuhkan dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat. Seiring dengan meningkatnya taraf hidup serta kuantitas

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS STEAM EJECTOR TINGKAT PERTAMA DI PLTP LAHENDONG UNIT 2

EFEKTIVITAS STEAM EJECTOR TINGKAT PERTAMA DI PLTP LAHENDONG UNIT 2 EFEKTIVITAS STEAM EJECTOR TINGKAT PERTAMA DI PLTP LAHENDONG UNIT 2 Brian Deril Kemur 1), Frans Sappu 2), Hengky Luntungan 3) Jurusan Teknik Mesin Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Steam ejector tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 Mesin Refrigerasi Secara umum bidang refrigerasi mencakup kisaran temperatur sampai 123 K Sedangkan proses-proses dan aplikasi teknik yang beroperasi pada kisaran temperatur

Lebih terperinci

MAKALAH KOMPUTASI NUMERIK

MAKALAH KOMPUTASI NUMERIK MAKALAH KOMPUTASI NUMERIK ANALISA ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA SIRKULAR DAN PIPA SPIRAL UNTUK INSTALASI SALURAN AIR DI RUMAH DENGAN SOFTWARE CFD Oleh : MARIO RADITYO PRARTONO 1306481972 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN TINGGI AIR JATUH 2.3 M DENGAN MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK CFD Herto Mariseide Marbun 1, Mulfi Hazwi 2 1,2 Departemen Teknik Mesin, Universitas Sumatera Utara,

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN KOMPRESOR DAN PIPA KAPILER UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1 PK SKRIPSI

RANCANG BANGUN KOMPRESOR DAN PIPA KAPILER UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1 PK SKRIPSI RANCANG BANGUN KOMPRESOR DAN PIPA KAPILER UNTUK MESIN PENGERING PAKAIAN SISTEM POMPA KALOR DENGAN DAYA 1 PK SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik ZAKARIA

Lebih terperinci

Lampiran A: Gambar Bagian- bagian dari Alat Penukar Kalor Berdasarkan Standar TEMA

Lampiran A: Gambar Bagian- bagian dari Alat Penukar Kalor Berdasarkan Standar TEMA Lampiran A: Gambar Bagian- bagian dari Alat Penukar Kalor Berdasarkan Standar TEMA (Sumber: Lit. 1 hal. 2) Lampiran B: Tabel Tebal Shell Minimum (Sumber: Lit. 1 hal. 30) Lampiran C: Tabel Diameter Ruang

Lebih terperinci

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 Suroso, I Wayan Sukania, dan Ian Mariano Jl. Let. Jend. S. Parman No. 1 Jakarta 11440 Telp. (021) 5672548

Lebih terperinci

Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur

Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur Nur Rima Samarotul Janah, Harsono Hadi dan Nur Laila Hamidah Departemen Teknik Fisika,

Lebih terperinci

STUDI NUMERIK DISTRIBUSI TEMPERATUR DAN KECEPATAN UDARA PADA RUANG KEDATANGAN TERMINAL 2 BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA

STUDI NUMERIK DISTRIBUSI TEMPERATUR DAN KECEPATAN UDARA PADA RUANG KEDATANGAN TERMINAL 2 BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA STUDI NUMERIK DISTRIBUSI TEMPERATUR DAN KECEPATAN UDARA PADA RUANG KEDATANGAN TERMINAL 2 BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA Disusun Oleh: Erni Zulfa Arini NRP. 2110 100 036 Dosen Pembimbing: Nur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pemanasan atau pendinginan fluida sering digunakan dan merupakan kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang elektronika. Sifat

Lebih terperinci

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS 2.1 Konsep Dasar Perpindahan Panas Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya beda temperatur antara dua bagian benda. Panas akan mengalir dari

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Penyimpanan Energi Termal Es merupakan dasar dari sistem penyimpanan energi termal di mana telah menarik banyak perhatian selama beberapa dekade terakhir. Alasan terutama dari penggunaan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 RANCANG BANGUN GENERATOR PADA MESIN PENDINGIN MENGGUNAKAN SIKLUS ABSORPSI MEMANFAATKAN PANAS BUANG MOTOR BAKAR DENGAN PASANGAN REFRIJERAN - ABSORBEN AMONIA-AIR Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat

Lebih terperinci

MODIFIKASI DAN PENGUJIAN EVAPORATOR MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA

MODIFIKASI DAN PENGUJIAN EVAPORATOR MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA MODIFIKASI DAN PENGUJIAN EVAPORATOR MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik JUNIUS MANURUNG NIM.

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Sistem Heat pump Heat pump adalah pengkondisi udara paket atau unit paket dengan katup pengubah arah (reversing valve) atau pengatur ubahan lainnya. Heat pump memiliki

Lebih terperinci

Maka persamaan energi,

Maka persamaan energi, II. DASAR TEORI 2. 1. Hukum termodinamika dan sistem terbuka Termodinamika teknik dikaitkan dengan hal-hal tentang perpindahan energi dalam zat kerja pada suatu sistem. Sistem merupakan susunan seperangkat

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SCRAPER DAN ANALISIS PENGARUH SCRAPER TERHADAP PERFORMA ICE SLURRY GENERATOR SKRIPSI

RANCANG BANGUN SCRAPER DAN ANALISIS PENGARUH SCRAPER TERHADAP PERFORMA ICE SLURRY GENERATOR SKRIPSI RANCANG BANGUN SCRAPER DAN ANALISIS PENGARUH SCRAPER TERHADAP PERFORMA ICE SLURRY GENERATOR SKRIPSI Oleh KUSWANTORO 04 03 02 046 7 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP 2007/2008

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem refrigerasi kompresi uap Sistem refrigerasi yang umum dan mudah dijumpai pada aplikasi sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga, komersial dan industri adalah sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 8 BAB I PENDAHULUAN 11 Latar Belakang Energi memiliki peranan penting dalam menunjang kehidupan manusia Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan akan energi pun terus meningkat Untuk dapat memenuhi

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Disusun Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

TUGAS AKHIR. Disusun Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta TUGAS AKHIR ANALISA AERODINAMIKA FLAP DAN SLAT PADA AIRFOIL NACA 2410 TERHADAP KOEFISIEN LIFT DAN KOEFISIEN DRAG DENGAN METODE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC Disusun Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Lebih terperinci

STUDI NUMERIK VARIASI INLET DUCT PADA HEAT RECOVERY STEAM GENERATOR

STUDI NUMERIK VARIASI INLET DUCT PADA HEAT RECOVERY STEAM GENERATOR JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2014) ISSN: 2301-9271 1 STUDI NUMERIK VARIASI INLET DUCT PADA HEAT RECOVERY STEAM GENERATOR Bayu Kusuma Wardhana ), Vivien Suphandani Djanali 2) Jurusan Teknik Mesin,

Lebih terperinci

PENGUJIAN PERBANDINGAN UNJUK KERJA ANTARA SISTEM AIR-COOLED CHILLER

PENGUJIAN PERBANDINGAN UNJUK KERJA ANTARA SISTEM AIR-COOLED CHILLER TUGAS SARJANA PENGUJIAN PERBANDINGAN UNJUK KERJA ANTARA SISTEM AIR-COOLED CHILLER MENGGUNAKAN REFRIGERAN R-22 DENGAN REFRIGERAN HCR-22, PADA TEMPERATUR KELUAR KONDENSOR 28 S.D 29 C, DAN ANALISA PRESSURE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara Sistem pengkondisian udara adalah suatu proses mendinginkan atau memanaskan udara sehingga dapat mencapai temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA SIMULASI PENGARUH KEMIRINGAN BAFFLES TERHADAP KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS DAN EFEKTIVITAS PADA ALAT PENUKAR KALOR TIPE SHELL AND TUBE MENGGUNAKAN SOLIDWORKS SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH SUDUT CONVERGING DUCT PADA PERFORMANSI CONSTANT PRESSURE THERMO VAPOR COMPRESSOR MENGGUNAKAN CFD

ANALISA PENGARUH SUDUT CONVERGING DUCT PADA PERFORMANSI CONSTANT PRESSURE THERMO VAPOR COMPRESSOR MENGGUNAKAN CFD Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi ANALISA PENGARUH SUDUT CONVERGING DUCT PADA PERFORMANSI CONSTANT PRESSURE THERMO VAPOR COMPRESSOR MENGGUNAKAN CFD 1) MSK Tony Suryo

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SUDU TERHADAP UNJUK KERJA SAVONIUS WATER TURBINE PADA ALIRAN AIR DALAM PIPA

PENGARUH JUMLAH SUDU TERHADAP UNJUK KERJA SAVONIUS WATER TURBINE PADA ALIRAN AIR DALAM PIPA PENGARUH JUMLAH SUDU TERHADAP UNJUK KERJA SAVONIUS WATER TURBINE PADA ALIRAN AIR DALAM PIPA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Oleh: IMRON HAMZAH NIM. I1414022

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Refrigerasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan saat ini terutama bagi masyarakat perkotaan. Sistem refrigerasi kompresi uap paling umum digunakan di antara

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3 BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Fluida Fluida dapat didefinisikan sebagai zat yang berubah bentuk secara kontinu bila terkena tegangan geser. Fluida mempunyai molekul yang terpisah jauh, gaya antar molekul

Lebih terperinci

STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ARUS LAUT MENGGUNAKAN HORIZONTAL AXIS TURBIN DENGAN METODE CFD

STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ARUS LAUT MENGGUNAKAN HORIZONTAL AXIS TURBIN DENGAN METODE CFD EKO RENDI SETIAWAN NRP 4205 100 060 STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ARUS LAUT MENGGUNAKAN HORIZONTAL AXIS TURBIN DENGAN METODE CFD TUGAS AKHIR LS 1336 STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kolektor Surya Pelat Datar Duffie dan Beckman (2006) menjelaskan bahwa kolektor surya adalah jenis penukar panas yang mengubah energi radiasi matahari menjadi panas. Kolektor surya

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi fluida

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi fluida BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi fluida Fluida dapat didefinisikan sebagai zat yang berubah bentuk secara kontinu bila terkena tegangan geser. Fluida mempunyai molekul yang terpisah jauh, gaya antar molekul

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM KONVERSI ENERGI RGTT200K UNTUK MEMPEROLEH KINERJA YANG OPTIMUM ABSTRAK

PEMODELAN SISTEM KONVERSI ENERGI RGTT200K UNTUK MEMPEROLEH KINERJA YANG OPTIMUM ABSTRAK PEMODELAN SISTEM KONVERSI ENERGI RGTT200K UNTUK MEMPEROLEH KINERJA YANG OPTIMUM Ign. Djoko Irianto Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir (PTRKN) BATAN ABSTRAK PEMODELAN SISTEM KONVERSI ENERGI

Lebih terperinci

Simulasi Numerik Aliran Melewati Nozzle Pada Ejector Converging Diverging dengan Variasi Diameter Exit Nozzle

Simulasi Numerik Aliran Melewati Nozzle Pada Ejector Converging Diverging dengan Variasi Diameter Exit Nozzle Jurnal! "## $ ' ( ')) * +, + ) + - ( ) %& & &./' ) 0 1 http://dx.doi.org/ & Simulasi Numerik Aliran Melewati Nozzle Pada Ejector Converging Diverging dengan Variasi Diameter Exit Nozzle Novi Indah Riani,

Lebih terperinci

SIMULASI CFD PADA VARIASI TEKANAN INLET NOZZLE EJECTOR TERHADAP TINGKAT KE-VACUUM-AN STEAM EJECTOR DI UNIT PEMBANGKITAN LISTRIK TENAGA PANAS BUMI

SIMULASI CFD PADA VARIASI TEKANAN INLET NOZZLE EJECTOR TERHADAP TINGKAT KE-VACUUM-AN STEAM EJECTOR DI UNIT PEMBANGKITAN LISTRIK TENAGA PANAS BUMI SIMULASI CFD PADA VARIASI TEKANAN INLET NOZZLE EJECTOR TERHADAP TINGKAT KEVACUUMAN STEAM EJECTOR DI UNIT PEMBANGKITAN LISTRIK TENAGA PANAS BUMI Dian Safarudin dan Prabowo Jurusan Teknik Mesin, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Perpindahan Kalor Perpindahan kalor terjadi karena adanya perbedaan suhu, kalor akan mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat suhu rendah. Perpindahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat Penelitian Pada Penelitian ini dilakukan secara numerik dengan metode Computer Fluid Dynamic (CFD) menggunakan software Ansys Fluent versi 15.0. dengan menggunakan

Lebih terperinci

ANALISIS CASING TURBIN KAPLAN MENGGUNAKAN SOFTWARE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS/CFD FLUENT

ANALISIS CASING TURBIN KAPLAN MENGGUNAKAN SOFTWARE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS/CFD FLUENT ANALISIS CASING TURBIN KAPLAN MENGGUNAKAN SOFTWARE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS/CFD FLUENT 6.2.16 Ridwan Arief Subekti, Anjar Susatyo, Jon Kanidi Puslit Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI Komplek LIPI,

Lebih terperinci

PENGERING PADI ENERGI SURYA DENGAN VARIASI TINGGI CEROBONG

PENGERING PADI ENERGI SURYA DENGAN VARIASI TINGGI CEROBONG PENGERING PADI ENERGI SURYA DENGAN VARIASI TINGGI CEROBONG TUGAS AKHIR Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajad sarjana S-1 Diajukan oleh : P. Susilo Hadi NIM : 852146 Kepada PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi kendaraan bermotor di negara-negara berkembang maupun di berbagai belahan dunia kian meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh mobilitas dan pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a

Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a Pengaruh Debit Udara Kondenser terhadap Kinerja Mesin Tata Udara dengan Refrigeran R410a Faldian 1, Pratikto 2, Andriyanto Setyawan 3, Daru Sugati 4 Politeknik Negeri Bandung 1,2,3 andriyanto@polban.ac.id

Lebih terperinci

Perancangan Termal Heat Recovery Steam Generator Sistem Tekanan Dua Tingkat Dengan Variasi Beban Gas Turbin

Perancangan Termal Heat Recovery Steam Generator Sistem Tekanan Dua Tingkat Dengan Variasi Beban Gas Turbin JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-132 Perancangan Termal Heat Recovery Steam Generator Sistem Tekanan Dua Tingkat Dengan Variasi Beban Gas Turbin Anson Elian dan

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT MIXING CHAMBER TERHADAP UNJUK KERJA STEAM EJECTOR REFRIGERATION TUGAS AKHIR

UNIVERSITAS DIPONEGORO KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT MIXING CHAMBER TERHADAP UNJUK KERJA STEAM EJECTOR REFRIGERATION TUGAS AKHIR UNIVERSITAS DIPONEGORO KAJI EKSPERIMENTAL PENGARUH SUDUT MIXING CHAMBER TERHADAP UNJUK KERJA STEAM EJECTOR REFRIGERATION TUGAS AKHIR PRIYO HUTOMO L2E 005 477 FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK MESIN SEMARANG

Lebih terperinci

PERNYATAAN. Yogyakarta, Februari Penulis. Achmad Virza Mubarraqah. iii

PERNYATAAN. Yogyakarta, Februari Penulis. Achmad Virza Mubarraqah. iii PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir ini adalah asli hasil karya saya dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di Perguruan Tinggi dan sepanjang

Lebih terperinci

Pratama Akbar Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK ITS

Pratama Akbar Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK ITS Pratama Akbar 4206 100 001 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK ITS PT. Indonesia Power sebagai salah satu pembangkit listrik di Indonesia Rencana untuk membangun PLTD Tenaga Power Plant: MAN 3 x 18.900

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Perangkat Penelitian Penelitian ini menggunakan perangkat sebagai berikut : 1. Laptop merk Asus tipe A45V dengan spesifikasi, 2. Aplikasi CFD Ansys 15.0 3.2 Diagram Alir

Lebih terperinci

FakultasTeknologi Industri Institut Teknologi Nepuluh Nopember. Oleh M. A ad Mushoddaq NRP : Dosen Pembimbing Dr. Ir.

FakultasTeknologi Industri Institut Teknologi Nepuluh Nopember. Oleh M. A ad Mushoddaq NRP : Dosen Pembimbing Dr. Ir. STUDI NUMERIK PENGARUH KELENGKUNGAN SEGMEN KONTUR BAGIAN DEPAN TERHADAP KARAKTERISTIK ALIRAN FLUIDA MELINTASI AIRFOIL TIDAK SIMETRIS ( DENGAN ANGLE OF ATTACK = 0, 4, 8, dan 12 ) Dosen Pembimbing Dr. Ir.

Lebih terperinci

PRESENTASI TUGAS AKHIR. Oleh: Zulfa Hamdani. PowerPoint Template NRP :

PRESENTASI TUGAS AKHIR. Oleh: Zulfa Hamdani. PowerPoint Template NRP : PRESENTASI TUGAS AKHIR SIMULASI NUMERIK (CFD) ALIRAN DUA FASE GAS-SOLID (UDARA- SERBUK BATUBARA) PADA COAL PIPING DI PT. PETROKIMIA GERSIK Oleh: Zulfa Hamdani PowerPoint Template NRP : 2109106008 www.themegallery.com

Lebih terperinci

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR Untuk mengenalkan aspek-aspek refrigerasi, pandanglah sebuah siklus refrigerasi uap Carnot. Siklus ini adalah kebalikan dari siklus daya uap Carnot. Gambar 1.

Lebih terperinci

STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI

STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI STUDI KOMPARASI KINERJA MESIN BERBAHAN BAKAR SOLAR DAN CPO DENGAN PEMANASAN AWAL SKRIPSI Oleh : ASKHA KUSUMA PUTRA 0404020134 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI ANALISIS AERODINAMIKA PADA AHMED BODY CAR DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD) http://www.gunadarma.ac.id/ Disusun Oleh:

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN TUGAS HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN MOTTO KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN TUGAS HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN MOTTO KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN TUGAS HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN MOTTO KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Lebih terperinci