BAB IV BATAS USIA CAKAP HUKUM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. A. Ketentuan Cakap Hukum dalam Hukum Islam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV BATAS USIA CAKAP HUKUM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. A. Ketentuan Cakap Hukum dalam Hukum Islam"

Transkripsi

1 BAB IV BATAS USIA CAKAP HUKUM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Ketentuan Cakap Hukum dalam Hukum Islam Dalam Islam, kecakapan hukum merupakan kepatuhan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan serta kepatutan seseorang dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum. 1 Kecakapan hukum di sini berkaitan dengan ahliyah al-wujud (kemampuan untuk memiliki dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk berbuat hukum secara utuh yang dalam istilah fiqh disebut ahliyah al-ada (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain). Oleh karena itu, ulama ushul fiqh mendefinisikan kecakapan bertindak sebagai kepatutan seseorang untuk timbulnya suatu perbuatan (tindakan) dari dirinya menurut cara yang ditetapkan oleh syara. 2 Usia pra baligh atau yang lebih dikenal dengan sebutan usia sebelum baligh adalah merupakan suatu istilah yang banyak digunakan oleh ahli fiqh maupun ahli psikolog, karena itu adalah sebutan yang erat kaitannya dengan usia seseorang. Dalam fiqh usia baligh ini dijadikan sebagai syarat untuk menjadi seorang mukallaf yaitu seseorang yang sudah dikenai hukum. 3 Baligh merupakan istilah dalam hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa arab yang 1 Ade Manan Suherman, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), hal Djauharah Bawazir dalam Majalah Umi (Kenakalan Remaja karena Salah Ibu, Edisi ke- XI), hal.14 3 Rasyid Rhidha, Fiqh Islam, (Jakarta: At-thahiriyah, 1999), cet. XVII, hal

2 82 secara bahasa memiliki arti sampai maksudnya telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan. 4 B. Periode Penentuan Aqil Baligh Dalam Hukum Islam Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa dasar adanya taklif (pembebanan hukum) terhadap seorang mukallaf adalah akal )العقل( dan pemahaman.)الفهم( Seorang mukallaf dapat dibebani hukum apabila seseorang telah berakal dan dapat memahami taklif secara baik yang ditujukan kepadanya. Oleh karena itu orang yang tidak atau belum berakal tidak dikenai taklif karena mereka dianggap tidak dapat memahami taklif dari al-syar i. Termasuk kedalam kategori ini adalah orang yang sedang tidur, anak kecil, gila, mabuk, khilaf dan lupa. 5 Selanjutnya, Ulama Usul Fiqh memberi kesimpulan bahwa syarat seseorang itu dikenai taklîf atau masuk sebagai predikat mukallaf terdapat dua syarat beruapa: 6 1. Orang tersebut harus mampu memahami dalil-dalil taklif. Ini dikarenakan taklif itu adalah khitab, sedangkan khitab orang yang.(محال) tidak memiliki akal dan tidak faham itu jelas tidak mungkin Kemampuan memahami itu hanya dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menemukan ide.(اإلدراك) Hanya saja akal itu adalah sebuah perkara yang abstrak.(الخفية) Maka al-syâri sudah menentukan batas taklif dengan perkara lain yang jelas dan berpatokan (منضبط) yaitu sifat 25 4 Ningrum Puji Lestari,Hukum Islam, (Bandung: Logos Wacana Ilmu, 2005), hal. 5 Chaerul Umam, Ushul Fiqh I, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal Amir Syariffuddin, Ushul Fiqh Jilid I...., hal

3 83 baligh seseorang. Sifat baligh itu adalah tempat pemikiran akal yaitu mengetahui baik, buruk, manfaat, dan bahaya. Maka orang yang gila dan anak kecil tidak termasuk mukallaf karena tidak memiliki kemampuan akal yang mencukupi untuk memahami dalil taklîf. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk. ). أهلية) 2. Seseorang telah mampu mempunyai kecakapan hukum Secara istilah, ahliyyah didefinisikan sebagai kepatutan seseorang untuk memiliki beberapa hak dan melakukan beberapa transaksi. Maka atas dasar ini para ulama membagi sifat ahliyyah menjadi dua jenis, yaitu: Ahliyyah Wujub dan Ahliyyah Ada. Penjelasan yang lebih rinci adalah sebagai berikut: a. Ahliyyah Wujub Definisi Ahliyyah Wujub adalah kepantasan menerima taklif, 7 yakni sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya tetapi belum cukup untuk dibebani seluruh kewajiban. Kecakapan semacam ini menurut ulama Fiqh disebut, ذمة yaitu suatu sifat yang secara hukum menjadikan seseorang dapat bertindak dan menerima kewajiban tertentu. Untuk menentukannya adalah berdasarkan sifat kemanusiaannya (إنسانية) yang tidak dibatasi umur, baligh atau tidak, cerdas atau tidak. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat kecakapan ini. Kecakapan ini akan hilang apabila nyawanya hilang atau meninggal 7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., hal. 357

4 84 dunia. Para ulama usul fiqh membagi Ahliyah al-wujub ini menjadi dua bagian: 8 1). Ahliyyah al-wujub al-naqishah الوجوب الناقصة),(أهلية yaitu ketika seseorang masih berada di dalam kandungan ibunya. Janin dianggap memiliki Ahliyyah al-wujûb yang belum sempurna karena hak-hak yang harus diterimanya belum dapat menjadi miliknya secara sempurna sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat. Terdapat empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu: a). Hak keturunan ayahnya. b). Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. c). Wasiat yang ditujukan kepadanya. d). Harta wakaf yang ditujukan kepadanya. 2). Ahliyyah al-wujub al-kamilah ( أهلية الوجوب الكاملة ), yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan berakal walaupun masih kurang sempurna. Pada periode ini, seseorang telah menerima kewajiban-kewajiban tertentu, seperti kewajiban untuk menjaga harta orang tuanya, kewajiban agama yang berkaitan dengan hartanya seperti zakat, dan kewajiban membayar ganti rugi yang diambil dari hartanya apabila ia telah merusakkan harta orang lain. 3). Ahliyyah al-ada, yaitu orang yang memiliki kecakapan atau kelayakan untuk melaksanakan hukum dengan kata lain adalah Persada, 2002), hal Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

5 85 kepantasan manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakan baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah memiliki akibat hukum. Kecakapan berbuat hukum terdiri dari tiga bagian yaitu: 9 a). Adim al-ahliyah, yaitu hal keadaan tidak cakap sama sekali, yakni manusia sejak lahir sampai mencapoai umur tamyiz. Manusia dalam batas umur ini belum dituntut untuk melaksanakan hukum. Oleh karena itu ia tidak wajib untuk melaksanakan shalat, puasa, dan lainnya. Disamping perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenakan hukum maka semua akibat pelanggaran yang merugikan orang lain ditanggung oleh orang tua. b). Ahliyyah al-ada` al-naqishah ( الناقصة األداء أهلية ), yaitu kecakapan berbuat hukum secara lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini maka sebahagian tindakannya dikenakan hukum dan sebahagian lagi tidak dikenakan hukum. Maka dalam hal ini setiap tindakan, perkataan dan perbuatan mempunyai akibat hukum antara lain: (1). Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya seperti menerima pemberian hibah dan wasiat, maka semua tindakan dalam hal ini dikatakan sah tanpa harus persetujuan wali 9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh..., hal. 359

6 86 (2). Tindakan yang semata-mata mengurangi hak yang ada padanya dengan pemberian yang dilakukan dalam bentuk hibah, sadaqah, pembebasan hutang jual beli atau sesuatu yang belum pantas, maka bentuk tindakan tersebut tidak sah (3). Tidakan yang mengandung keuntungan dan kerugian umpama jual beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya. Maka tindakan yang dilakukan dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak. Tindakan mumayyiz dalam hubungannya dengan ibadah adalah sah karena ia cakap dalam melakukan ibadah, tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa. c). Ahliyyah al-ada` al-kamilah ( الكاملة األداء أهلية ), yaitu kecakapan berbuat hukum secara sempurna. Yakni manusia yang telah mencapai usia dewasa yang memungkinkan untuk melaksanakan segala pembebanan hukum karena ia sudah mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa syara tidak bermaksud membebani manusia bila masih berada di luar batas kesanggupan untuk mengerjakan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu segala hukum yang dibebankan terhadap mukallaf dimaksudkan hanya bagi seseorang yang telah sempurna dalam pandangan hukum. Yakni seseorang yang aqil baligh dan cerdas. Hal ini dimaksudkan untuk terwujudnya kemaslahatan dan kebaikan bagi mukallaf sendiri baik di dunia maupun di

7 87 akhirat. Selanjutnya orang-orang yang dianggap belum mencapai aqil baligh tidak dituntut melainkan telah memiliki kecakapan secara fisik untuk melakukan berdasarkan batas umur baligh secara maklum. Terhadap seseorang yang dinyatakan belum mencapai usia aqil baligh, hukum Islam dalam kadar tertentu masih memberikan kelonggaran. Sebagaimana yang disyariatkan oleh hadis yang menyatakan ketidak berdosaan (raf ul kalam) seorang anak hingga mencapai aqil baligh yang ditandai dengan ihtilam atau timbulnya mimpi berhubungan layaknya suami istri pada laki-laki dan haid pada perempuan. 10 C. Kriteria Cakap Hukum (Aqil Baligh) Perspektif Madzhabul Arba ah Cakap hukum atau dalam Islam disebut aqil baligh merupakan suatu istilah yang banyak digunakan oleh ahli fiqh karena hal itu adalah sebutan yang erat kaitanya dengan usia seseorang. Usia baligh dalam prespektif ulama fiqh yang dijadikan sebagai standarisasi usia anak untuk menjadi seorang mukallaf tentunya hal itu tidak akan keluar dari konteks definisi usia baligh yang dimunculkan oleh ulama Hadis dalam kitab Hadis sendiri. Kesimpulan hukum itu tidak lepas dari konteks Hadis yang menjadi istimbat hukum para Ulama mereka sebagai marji kedua setelah al-qur an. Hal ini semakin jelas dengan adanya definisi usia baligh yang terdapat dalam Hadis Nabi di riwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya menerangkan 10 Abdurrahman al-jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-arba ah, Cet. Ke-I, (Beirut: Dar al-fikr, T. th.), hal. 11

8 88 tentang batasan-batasan usia anak baligh maupun pra baligh. Berikut penjelasan tentang definisi tersebut: 11 Aku menawarkan diriku kepada Rasulullah saw. Untuk ikut berperang dalam perang uhud, waktu itu aku berumur empat belas tahun, tetapi Rasul Saw tidak mempekenankan diriku. Dan aku kembali menawarkan diriku pada waktu perang khandaq sedangkan aku( pada saat itu) berumur lima belas tahun, maka Rasul SAW memperkanankan diriku. Nafi menceritakan, lalu aku datang kepada Umar Ibnu Abdul Aziz yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah, dan aku ceritakan kepadanya Hadis ini, maka ia berkata, sesungghunya hal ini merupakan batas antara usia anak-anak dengan usia dewasa. Kemudian ia menginstruksikan kepada semua gubernur agar mereka menetapkan kepada orang yang telah mencapai usia lima belas tahun (sebagaimana layaknya orang dewasa), dan orang yang usianya di bawah itu hendaknya mereka di kategorikan sebagai anak-anak. Selanjutnya keterangan hadis di atas dapat dipahami bahwa kriteria usia anak yang menentukan aqil baligh baik menurut ahli hadis maupun ahli fiqh 1996), hal Imam Muslim, Shahih Muslim, juz II, (Beirut, Libanon : Dar al-kutub al-ilmiyah,

9 89 secara esensial mempuyai satu pemahaman yang sama yaitu usia anak yang belum sampai pada umur lima belas tahun, karena dalam hadis di atas memandang bahwa umur lima belas tahun adalah umur pembatas antara anakanak dan remaja (baligh). Akan tetapi pemahaman mengenai kriteria batasan usia anak dianggap baligh menurut ahli hadis dan ahli fiqh walau secara esensial memiliki pemahaman yang sama, secara sisi historis dan retorika terjadi perbedaan pandangan diantara para ulama. Menurut jumhur ulama umur dewasa itu adalah lima belas tahun bagi laki-laki dan perempuan. Menurut abu hanifah umur dewasa bagi anak laki-laki adalah 18 tahun sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Maka bila seseorang belum mencapai umur tersebut maka belum berlaku beban hukum. Secara lebih rinci, pembatasan usia aqil baligh menurut para ulama adalah sebagai berikut: menurut mayoritas/jumhur ulama anak telah bermimpi sehingga mengeluarkan air mani (ihtilam) bagi laki-laki dan datangnya haid bagi anak perempuan, 13 usia anak telah genap mencapai umur 15 tahun. 2. Imam Abu Hanifah memberikan batasan usia baligh minimal yaitu bagi laki-laki berumur serendah rendahnya 12 tahun. Kriteria baligh bagi lakilaki yaitu ihtilam yaitu mimpi keluar mani dalam keadaan tidur atau terjaga, 12 Al Dardiri, al Syarh al Kabir Hasiyah Dasuki, Jilid III, (Mesir: Al Babi al Halabi, t.thn.), hal Al Imam Jalaluddin al Mahaly dan Jalaluddin as Suyuthi, Tafsir al Qur`an al Karim, Juz I, (Beirut: Daar al Fikr, 1998), hal. 98

10 90 keluarnya air mani karena bersetubuh atau tidak, dan bagi perempuan berumur usia 9 tahun ( usia wanita yang biasanya wanita sudah haid ) Menurut Imam Malik, batasan umur baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu genap 18 tahun atau genap 17 tahun memasuki usia 18 tahun. Tiga batasan baligh ini menggunakan prinsip mana yang dahulu dicapai atau dipenuhi oleh si anak. Lebih terinci lagi Madzhab Malikiyyah memberikan kriteria baligh ada 7 macam. Yang 5 yaitu bagi laki-laki dan perempuan, sedangkan yang 2 macam khusus bagi perempuan. Kriteria baligh khusus bagi perempuan adalah haidh dan hamil. Sedangkan kriteria baligh yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan adalah: a. keluar air mani baik keadaan tidur atau terjaga b. tumbuhnya rambut di sekitar organ intim c. tumbuhnya rambut di ketiak d. indra penciuman hidung menjadi peka e. perubahan pita suara. Apabila karena sesuatu hal sehingga kriteria baligh tersebut tidak muncul maka batasan usia yang dipakai adalah umur genap 18 tahun atau usia genap 17 tahun memasuki usia 18 tahun. Terkait tumbuhnya rambut pada area organ intim yang menjadi tanda balighnya seseorang, terjadi ihtilaf Ulama. Madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut pada organ intim bukan merupakan 14 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubhi, al Jami` li Ahkam al Qur`an, Jilid V, (Beirut: Daar al Fikr, t.thn.), hal. 37

11 91 tanda baligh secara mutlak. Madzhab Hanabilah dan satu riwayat dari Abu Yusuf dari madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut pada organ intim merupakan tanda baligh secara mutlak. Madzhab Malikiyyah terpecah menjadi dua pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa tumbuhnya rambut pada organ intim merupakan tanda baligh secara mutlak, dan inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Malikiyyah. Pendapat kedua mengatakan bahwa tumbuhnya ranbut pada area organ intim merupakan tanda baligh yang menyangkut hak-hak anak Adam dalam beberapa hukum seperti qadzaf (menuduh wanita baik-baik telah berbuat zina), potong tangan, dan pembunuhan. Adapun yang menyangkut hak-hak kepada Allah ta ala, maka tumbuhnya rambut pada area organ intim bukanlah sebagai tanda baligh. Madzhab Syafi iyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut pada organ intim merupakan tanda baligh untuk orang kafir. Adapun bagi muslimin, maka mereka berbeda pendapat. Satu pendapat mengatakan bahwa hal tersebut merupakan tanda baligh sebagaimana orang kafir, dan pendapat lain mengatakan bahwa hal tersebut bukan tanda baligh. 15 D. Implementasi Aqil Baligh Dalam Hukum Islam Korelasi antara kriteria aqil baligh setiap orang menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan praktik-praktik ibadah mahdhah maupun ubudiah, ibadah yang terkait hubungannya antara manusia dengan Allah ataupun 15 Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al Mukhtar `ala Dur al Mukhtar, Jilid V, (Mesir: Al Babi al Halabi, t. thn)., hal. 107

12 92 manusia dengan manusia lainnya. Karena dari segi aqil baligh inilah selanjutnya dapat dijadikan sebagai suatu parameter apakah seseorang dapat dibebani tanggung jawab hukum seperti kewajiban shalat, zakat, haji dan lain sebagainya. Berangkat dari hal inilah yang kemudian menjadikan para ulama mengkaji dasar hukum dari al-qur an dan hadis untuk memperoleh kejelasan hukum mengenai batas usia seseorang dapat dinyatakan baligh sehingga dapat dijadikan hujjah bagi kaum muslim. Namun karena dalam penggalian hukum tersebut, setiap ulama memiliki metode penggalian hukum (istinbat) yang berbeda-beda, maka faktor inilah yang kemudian menjadikan perbedaan pendapat diantara kalangan ulama dalam penentuan batas usia aqil baligh seseorang untuk dapat dibebani suatu perkara atau tanggung jawab hukum. Diantara salah satu perbedaan pendapat tersebut adalah ihtilaf ulama terkait praktik dimana seseorang dinyatakan dapat memperoleh harta berkenaan dengan kriteria batasan umurnya. Perbedaan tersebut berakar dari perbedaan ulama dalam memahami firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 6:

13 93 Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaknya kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu). 16 Golongan ulama di kalangan Imam asy-syafi i mengatakan bahwa menyerahkan harta kepada orang yang sudah baligh hanya dapat dilakukan setelah mencapai tingkat cerdas, maka tidak diberikan meskipun telah lanjut usia. Golongan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa harta baru dapat diserahkan hanya kepada orang dewasa yakni setelah mencapai usia 25 tahun meskipun belum memiliki tanda-tanda kecerdasan. Atas pandangan Abu Hanifah berargumen bahwa ayat tersebut di atas disebutkan dalam bentuk nakirah (umum). Jadi bila syarat tersebut telah ada secara nyata dalam satu bentuk maka wajiblah berlaku apa yang disyaratkan. Hal ini dikuatkan lagi oleh pengikutnya degan berargumen bila seseorang telah sampai usia dewasa dan telah diperhitungkan secara hukum mengenai iman dan kafirnya, maka telah sampai untuk melakukan ikhtiarnya sendiri sehingga dengan batas umur 25 tahun menjadi usia matang dalam mengelola harta. 17 Selain perbedaan pendapat mengenai batas usia seseorang hal Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahannya, (Jakarta: t., p., t., th.) 17 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Empat Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2001),

14 94 diperbolehkan untuk mengelola harta, para Ulama juga membahas beberapa hal terkait batas usia kecakapan dari segi munakahat, muamalah, dan jinayah. 1. Ketentuan Batas Usia Cakap Dalam Munakahat Mengenai ketentuan batas usia seseorang diperbolehkan menikah memang tidak dapat ditemukan ayat Al-Qur an yang secara jelas menyebutkan mengenai batasan usia seseorang diperbolehkan untuk menikah. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah dalam surat an-nisa ayat 6 di atas. Namun Berdasarkan keterangan sejarah bahwa Abu Bakar menikahkan Aisyah kepada Nabi sewaktu usianya masih enam tahun, kemudian Nabi baru mencampurinya ketika Aisyah berusia sembilan tahun, semua itu menunjukkan bahwa ayah lebih berhak untuk menikahkan anak gadisnya sendiri. 18 Bolehnya seorang bapak untuk menikahkan anak gadis kecilnya yang telah baligh merupakan ijma ulama, atau minimal ijma shohabat. Beberapa atsar menunjukkan bahwa para shahabat biasa menikahkan anaknya pada usia dini tanpa ada yang saling mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian para sahabat tidak memandang hal tersebut sebagai larangan Nabi SAW, di antara atsar tersebut adalah: 19 a. Ali bin Abi Tholib menikahkan anaknya Ummu Kultsum dengan Umar bin al-khattab ra pada saat umurnya belum baligh. 18 Syifa al iyyi bi tahqiq musnad al imam asy-syafi i, jilid II, (t.t., t. th.), hal Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia), (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 20

15 95 b. Zubair menikahkan anak perempuannya yang masih kecil ketika dilahirkan. Walaupun pada kenyataannya hukum Islam tidak membatasi usia seseorang diperbolehkan menikah, namun kebolehan ini harus dipandang secara integral dan holistik. Hukum Islam dengan jelas mengkonsep pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah dengan tujuan bersifat langgeng, terjalin keharmonisan diantara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi sehingga masingmasing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Pembolehan bagi seorang bapak kandung (wali) untuk menikahkan anak gadisnya yang masih kecil tentunya harus mempertimbangkan maslahat dan hikmah dari pernikahan tersebut. Kemaslahatan disini dimaksudkan adalah kemaslahatan bagi anak gadis tersebut, yaitu berupa tercapainya tujuantujuan pernikahan sebagaimana yang disebut di atas. Perlu diketahui bahwa pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah pada usia dini adalah pernikahan yang penuh dengan hikmah dan tujuan yang agung. Di antara hikmah pernikahan tersebut yaitu Rasulullah SAW menyiapkan istrinya sebagai da iyah, muballighoh, dan murabbiyah yang membantu kesuksesan dakwah dan penyampaian risalah. Aisyah ra memiliki kecerdasan yang tinggi di usia yang masih muda adalah masa yang tepat untuk belajar karena hafalan lebih kokoh dan kemampuan merekam pelajaran lebih maksimal. Di samping sebagai pendamping hidup Rasulullah, Aisyah adalah murid dalam madrasah kenabian. Nabi

16 96 mengajarkan Aisyah secara khusus berbagai permasalahan agama terutama berkaitan dengan urusan prifat rumah tangga dan fiqih kewanitaan. Peran Aisyah kemudian adalah menjadi juru bicara Nabi (da iyah) yang menjelaskan hal tersebut kepada shahabat pada umumnya dan pada shohabiyah khususnya serta para tabi in (generasi setelah shahabat) yang belajar kepada beliau. Sejarah membuktikan peran dan kontribusi Aisyah dalam mewariskan sunnah Rasulullah dengan meriwayatkan sebanyak 2210 hadis. Hikmah lain pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW adalah untuk memperkuat hubungan kekerabatan dan kedekatan keluarga antara beliau SAW dengan shahabat beliau yang paling utama yaitu Abu Bakar as-shiddiq Implementasi Cakap Hukum Dalam Muamalah Perspektif Ulama Pada mayoritas masyarakat, melibatkan anak-anak yang belum aqil baligh dalam urusan muamalah telah menjadi sesuatu yang umum. Seperti jual-beli, peristiwa tersebut berlangsung begitu saja dan seolaholah menjadi hal yang sangat wajar. Kemudian bagaimanakah hukum Islam mengatur muamalah yang dikaitkan dengan keterlibatan anak-anak yang tergolong belum aqil baligh di dalamnya menurut ulama. Berikut ini akan dijabarkan dengan rinci: Ibid., hal Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hal 73

17 97 a. Menurut madzhab Syafi iyyah, transaksi yang dilakukan anak kecil tidak sah hukumnya, baik seorang anak tersebut telah mencapai batas tamyis atau belum, mendapat izin dari wali atau tidak. b. Sufyan as Sauri, Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa transaksi tersebut hukumnya sah jika di sertai izin dari wali. Bahkan menurut pendapat Ahmad dan Ishaq menyatakan bahwa transaksi yang di lakukan anak kecil hukumnya sah meski tanpa izin dari wali. 22 Anak kecil diperbolehkan dan sah dalam melakukan transaksi dalam dua kondisi yaitu: 23 1). Transaksi jual beli barang yang nilainya murah. Transaksi ini sah meski anak tersebut belum baligh. Contoh barang yang nilai murah adalah sepotong kue dan permen. 2). Transaksi yang dilakukan dengan seizin orang tua. Menurut pendapat madzhab Hanbali yaitu kecuali jual beli barang yang nilainya remeh, misalnya satu potong kue, satu ikat sayuran, atau satu biji permen. Jika bukan barang yang nilainya remeh, transaksi yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz itu sah, asalkan orang tuanya mengizinkannya. 3. Implementasi Batas Usia Cakap Hukum Dalam Jinayah (Pidana Islam) Jinayah merupakan sebutan bagi tindak pidana dalam Islam. Menurut etimologi jinayah berarti melukai, berbuat dosa, dan kesalahan. 22 Ibid., hal Ibid., hal. 76

18 98 Sedangkan secara terminologi jinayah ialah larangan-larangan syara yang diancamkan oleh Allah dengan jenis hukuman had atau ta zir. 24 Akan tetapi hukuman had dan takzir tersebut hanya diberlakukan bagi orang yang telah mukallaf. dalam kitab-kitab fiqh ditegaskan bahwa tidak dibenarkan menyeret anak ke meja hijau. Namun apabila seorang anak melakukan kesalahan, seorang anak harus tetap dihukum dengan hukuman yang berbeda dengan orang dewasa. Dalam bahasa fiqh disebut ta dib (pembinaan), bukan ta zir atau had. 25 Hukum Islam memberikan hak kepada wali al-amr (penguasa) untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandangannya. Para fuqaha menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai hukuman mendidik. 26 Dalam menentukan hukuman, penguasa berhak menjatuhkan hukuman sebagai berikut: a. Memukul Si anak b. Menegur dan mencelanya c. Menyerahkan kepada wali d. Menaruh anak pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal e. Menempatkannya pada suatu tempat dengan pengawasan khusus Persaksian anak Pra Baligh Dalam Ketentuan Jinayah (Pidana Islam) 24 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hal Abdurrahman al-jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Madzahib Al-arba ah, (Beirut: Dar al- Fikr, t. th.), hal Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, )Jakarta: PT. Ichtiar Saru Islam Hoeve, 1997), hal Ibid., hal. 258

19 99 Hukum acara dalam jinayah diatur dalam fiqh murafa at. Dalam fiqh murafa at diatur mengenai ketentuan-ketentuan tentang tata cara bagaimana seseorang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan hukum. Fiqh Murafa at merupakan salah satu bagian dari fiqh Islam yang memiliki pokok bahasan tentang permasalahan hukum-hukum peradilan, tuntutan hukum, persaksian, sumpah, dan lain-lain. Tujuannya mengatur prosedur penegakan keadilan antara manusia dengan syaria at Islam. 28 Dalam suatu hukum acara persidangan, kehadiran saksi merupakan salah satu komponen penting yang harus ada. Karena dari persaksian inilah kemudian akan diperoleh keterangan-keterangan yang mengarahkan pada suatu fakta peristiwa yang sebenarnya. Terkait dengan pentingnya peran saksi dalam hukum acara persidangan, hukum Islam memandang baligh merupakan salah satu syarat mutlak diterimanya persaksian seseorang. karena seorang anak kecil tidak sah menjadi wali, apalagi menjadi wali orang lain sehingga persaksian mereka tidak dapat diterima. 29 Pendapat yang sama juga terdapat pada madzhab Hanbali juga menyatakan bahwa persaksian anak-anak walaupun telah mumayyiz tetap ditolak. Sedangkan menurut pendapat Imam Malik, kesaksian anak yang telah mumayyiz diterima terbatas pada perkara penganiayaan, akan tetapi 28 Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan I, (Pengantar Ilmu Fiqh), (Jakarta: DU Publishing, 2011). hal Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 246

20 100 dengan syarat seorang anak tersebut belum meninggalkan tempat menyaksikan perkara tersebut. 30 Berdasarkan beberapa pandangan ulama dalam menentukan batas usia kecakapan hukum (baligh) yang telah diuraikan di atas, baik implemementasinya dilihat dari sudut munakahat, muamalah ataupun jinayah, maka pertanggungjawaban dalam hukum Islam untuk berbuat dan memikul kewajiban menggunakan beberapa kriteria yaitu `aqil, baligh, mumayyiz, fahmul mukallaf dan ikhtiyar, sedangkan untuk menerima hak seseorang hanya disyaratkan masih mempunyai nyawa, berlaku sejak berwujud janin di dalam rahim dengan mempertimbangkan kemanfaatan, kemaslahatan, dan keadilan. Sejauh ini perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan batas usia baligh seseorang tidaklah menimbulkan masalah dikarenakan adanya ketentuan taqlid terhadap pendapat ulama yang diyakini pendapatnya. Akan tetapi perbedaan pendapat tersebut akan menjadi masalah apabila adanya talfiq atau penggabunga pendapat beberapa ulama madzhab dalam satu amalan untuk mencari-cari pendapat yang mudah (tatabbu ar-rukhash) dengan sengaja. Karena dikhawatirkan akibat dari talfiq yang seperti demikian akan terjadinya mafsadah yang berupa pengabaian tuntutan-tuntutan syara. Maka dari itu, perbedaan ulama terkait batasan seseorang dikatakan cakap hukum (baligh) harus disikapi dengan baik untuk mempertimbangkan kemaslahatan. 30 Ibid., hal

BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN. sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1

BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN. sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1 17 BAB II TEORI TENTANG ASH SHIHHAH WA AL BUTHLAN A. Shihhah (Sah) Kata shihhah berasal dari bahasa Arab yang secara bahasa berarti sehat, tidak sakit, sembuh, benar dan selamat. 1 Adapun dalam istilah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN A. Analisis terhadap ketentuan mengenai batasan usia anak di bawah umur 1. Menurut Hukum

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum

Lebih terperinci

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Wasiat Kepada Non Muslim Perspektif Hukum Islam. 1. Syarat-syarat Mushii a. Mukallaf (baligh dan berakal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU. Khairuddin Tahmid., Moh Bahruddin, Yusuf Baihaqi, Ihya Ulumuddin,

BAB IV ANALISIS. A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU. Khairuddin Tahmid., Moh Bahruddin, Yusuf Baihaqi, Ihya Ulumuddin, BAB IV ANALISIS A. Batasan Usia dan Hukuman Penjara Bagi Anak Menurut Ulama NU Lampung Berkaitan dengan siapa yang dimaksud dengan anak, dari semua pendapat yang didapat oleh penulis dari para narasumber

Lebih terperinci

BAB V KOMPARASI BATAS USIA CAKAP HUKUM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB V KOMPARASI BATAS USIA CAKAP HUKUM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM BAB V KOMPARASI BATAS USIA CAKAP HUKUM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM Kecakapan hukum merupakan suatu hal yang dianggap memiliki tingkat urgensi terkait korelasinya dengan batas usia seseorang

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan Waris Beda Agama Kewarisan beda agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang. mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang. mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai subyek hukum pada dasarnya dipandang mempunyai kecakapan yang berfungsi untuk mendukung hak dan kewajiban sejak manusia menjadi dewasa. Dengan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH A. Persamaan Pendapat Mazhab H{anafi Dan Mazhab Syafi i Dalam Hal Status Hukum Istri Pasca Mula> anah

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS TERHADAP PASAL 18 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH

BAB III ANALISIS TERHADAP PASAL 18 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH BAB III ANALISIS TERHADAP PASAL 18 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH A. Implementasi Ketentuan Pasal 18 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Dengan Hukum Positif

Lebih terperinci

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN 1 TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparatif Pandangan Imam Hanafi dan Imam Syafi i dalam Kajian Hermeneutika dan Lintas Perspektif) Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Harta Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI A. Abdul Wahab Khallaf 1. Biografi Abdul Wahab Khallaf Abdul Wahab Khallaf merupakan seorang merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM 62 BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM CUKUP UMUR DI DESA BARENG KEC. SEKAR KAB. BOJONEGORO Perkawinan merupakan suatu hal

Lebih terperinci

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf

I TIKAF. Pengertian I'tikaf. Hukum I tikaf. Keutamaan Dan Tujuan I tikaf. Macam macam I tikaf I TIKAF Pengertian I'tikaf Secara harfiyah, I tikaf adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Dengan demikian, I tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Syariat Islam telah menjadikan pernikahan menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan pada kenyataannya merupakan sudut penting bagi kebutuhan manusia. Bahkan perkawinan adalah hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa meninggal dunia di dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB IV HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH. Dispensasi Nikah Bagi Wanita Hamil Diluar Nikah

BAB IV HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH. Dispensasi Nikah Bagi Wanita Hamil Diluar Nikah BAB IV ANALISIS MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM DISPENSASI NIKAH BAGI WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH A. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BATAS UMUR ANAK DAN PEMENJARAAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB IV ANALISIS BATAS UMUR ANAK DAN PEMENJARAAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK BAB IV ANALISIS BATAS UMUR ANAK DAN PEMENJARAAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK A. Analisis Batas Umur Anak dalam Hukum Islam dan Undang-Undang No. 3 Tahun

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN A. Analisis Terhadap Hibah Sebagai Pengganti Kewarisan Bagi Anak Laki-laki dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO A. Analisis Penarikan Kembali Hibah Oleh Ahli Waris Di Desa Sumokembangsri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah) maupun hubungan manusia dengan sesama atau lingkungannya (habl min

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya (habl min Allah) maupun hubungan manusia dengan sesama atau lingkungannya (habl min 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin, di dalamnya berisi ajaran dan tuntunan mengenai kehidupan manusia baik yang menyangkut hubungan manusia dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sanksi hukum bagi seorang ayah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak kandungnya, berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia, ia dapat dijerat dengan pasal-pasal

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM A. Pengertian Harta Dalam Perkawinan Islam Menurut bahasa pengertian harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. Sebagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ A. Analisis Pendapat Tentang Iddah Wanita Keguguran Dalam Kitab Mughni Al-Muhtaj Dalam bab ini penulis akan berusaha

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON A. Analisis Hukum Islam terhadap Alasan KUA Melaksanakan Pernikahan dengan Menggunakan Taukil Wali Nikah via Telepon Setelah mengetahui

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK A. Analisis Terhadap Prosedur Pernikahan Wanita Hamil di Luar Nikah di Kantor Urusan Agama

Lebih terperinci

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar 29 BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR A. Pengertian Ijbar Ijbar berarti paksaan, 1 yaitu memaksakan sesuatu dan mewajibkan melakukan sesuatu. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 62 BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 A. ANALISA TERHADAP HUKUM PEKERJA ANAK MENURUT FIQH JINAYAH 1. Analisis Batasan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid

BAB IV ANALISIS. A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid BAB IV ANALISIS A. Persamaan dan Perbedaan Pendapat Mazhab Syafi i dan Mazhab Hanbali Tentang Hukum Menjual Reruntuhan Bangunan Masjid Mazhab Syafi i dan mazhab Hanbali berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy- Syafi i telah diuraikan dalam bab-bab yang lalu. Dari uraian tersebut telah jelas mengungkapkan

Lebih terperinci

Hadits Tentang Wanita Lemah Akal dan Lemah Iman

Hadits Tentang Wanita Lemah Akal dan Lemah Iman Hadits Tentang Wanita Lemah Akal dan Lemah Iman )) : 1 P a g e (( )) : : )) : : ((, (( Dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah, sesungguhnya beliau bersabda, Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK KEPEMILIKAN LOGAM MULIA (KLM) DI PT. BRI SYARIAH KCP SIDOARJO

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK KEPEMILIKAN LOGAM MULIA (KLM) DI PT. BRI SYARIAH KCP SIDOARJO BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRODUK KEPEMILIKAN LOGAM MULIA (KLM) DI PT. BRI SYARIAH KCP SIDOARJO A. Produk Kepemilikan Logam Mulia (KLM) di PT. BRI Syari ah KCP Sidoarjo Memiliki logam mulia (LM)

Lebih terperinci

Munakahat ZULKIFLI, MA

Munakahat ZULKIFLI, MA Munakahat ZULKIFLI, MA Perkawinan atau Pernikahan Menikah adalah salah satu perintah dalam agama. Salah satunya dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 32 : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara

Lebih terperinci

BAB IV. A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Hukuman Kumulatif. Dari Seluruh Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, menunjukkan bahwa

BAB IV. A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Hukuman Kumulatif. Dari Seluruh Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, menunjukkan bahwa 55 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI KUMULATIF MENGENAI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PUTUSAN NOMOR 382/ PID. SUS/ 2013/ PN. MKT. DI PENGADILAN NEGERI MOJOKERTO A. Pandangan Hukum Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aksara, 1992, h Said Agil al-munawar, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi

BAB I PENDAHULUAN. Aksara, 1992, h Said Agil al-munawar, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman terhadap nas al-quran atau as-sunnah untuk mengatur kehidupan manusia. 1 Prinsip dalam hukum Islam

Lebih terperinci

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI BAB IV ANALISIS TERHADAP PANDANGAN IMAM SYAFI I DAN SYI> AH IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI PEWARIS NON MUSLIM A. Persamaan Pandangan Imam Syafi i dan Syi> ah Ima>miyah tentang Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 280. h Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru algensindo, 2013), h.

BAB I PENDAHULUAN 280. h Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru algensindo, 2013), h. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menjadikan manusia yang masingmasing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ 59 BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ A. Kedudukan Mediator dan Hakam Dalam Menyelesaikan Perkara Syiqaq 1) Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PASAL 19 AYAT 2 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH

BAB IV ANALISIS TERHADAP PASAL 19 AYAT 2 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH BAB IV ANALISIS TERHADAP PASAL 19 AYAT 2 PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH A. Analisis Hukum Positif Terhadap Ketentuan Batas Usia Baligh Syarat Saksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan

BABI PENDAHULUAN. iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan 1 BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puasa Ramadhan adalah suatu pokok dari rangkaian pembinaan iman.puasa adalah suatu sendi (rukun) dari sendi-sendi Islam. Puasa di fardhukan atas umat islam yang mukallaf

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang

BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang 59 BAB IV ANALISA DATA A. Praktek Gadai Sawah di Kelurahan Ujung Gunung Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang Berdasarkan Landasan teori dan Penelitian yang peneliti peroleh di Kelurahan Ujung Gunung

Lebih terperinci

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: APAKAH ITU MAHRAM Beberapa waktu yang lalu di berita salah satu televisi swasta nasional menayangkan kontak pemirsa. Di sana ada penelpon yang menyebutkan tentang kegeli-annya terhadap tingkah pejabat-pejabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mafqud (orang hilang) adalah seseorang yang pergi dan terputus kabar beritanya, tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah dia masih hidup atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tidak mau seorang manusia haruslah berinteraksi dengan yang lain. Agar kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang akan saling membutuhkan satu sama lain sampai kapanpun, hal tersebut dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan. Maka dari itu mau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS 23 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS A. Pengertian Waris Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris dikarenakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALIH FUNGSI WAKAF PRODUKTIF KEBUN APEL DI DESA ANDONOSARI KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALIH FUNGSI WAKAF PRODUKTIF KEBUN APEL DI DESA ANDONOSARI KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALIH FUNGSI WAKAF PRODUKTIF KEBUN APEL DI DESA ANDONOSARI KECAMATAN TUTUR KABUPATEN PASURUAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan disajikan pada bab III,

Lebih terperinci

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang sudah meninggal, sama seperti mematahkan tulangnya dikala hidupnya (Riwayat Abu Dawud 2/69, Ibnu Majah 1/492, Ibnu

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG 54 BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG MENYEBABKAN KECELAKAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS

Lebih terperinci

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR A. Deskripsi Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Agama merupakan matakuliah wajib fakultas yang diberikan kepada mahasiswa pada semeter VI, setelah mahasiswa menempuh

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH 75 BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH A. Analisis Pendapat Hakim Tentang Status Istri Setelah

Lebih terperinci

Rasulullah SAW suri teladan yang baik (ke-86)

Rasulullah SAW suri teladan yang baik (ke-86) MAJLIS TAFSIR AL-QUR AN (MTA) PUSAT http://www.mta-online.com e-mail : humas_mta@yahoo.com Fax : 0271 661556 Jl. Serayu no. 12, Semanggi 06/15, Pasarkliwon, Solo, Kode Pos 57117, Telp. 0271 643288 Ahad,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama 54 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Pernikahan poligami hanya terbatas empat orang isteri karena telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

Lebih terperinci

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam

Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam Istilah addin al-islam Tercantum dalam Al-Qur an Surat al-maaidah (5) ayat 3, mengatur hubungan manusia dengan Allah (Tuhan), yang bersifat vertikal, hubungan manusia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN A. Analisis Status Anak Dari Pembatalan Perkawinan No: 1433/Pdt.G/2008/PA.Jombang Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Menurut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF Salah satu dampak menurunnya moral masyarakat, membawa dampak meluasnya pergaulan bebas yang mengakibatkan banyaknya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama 58 BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara Dan Relevansinya Dengan Sistem Kewarisan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL Penulis telah memaparkan pada bab sebelumnya tentang pusaka (waris), baik mengenai rukun, syarat, penghalang dalam

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Dan Dasar Hukum Hakim. Berdasarkan keterangan pemohon dan termohon serta saksi-saksi dari

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Dan Dasar Hukum Hakim. Berdasarkan keterangan pemohon dan termohon serta saksi-saksi dari BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM HAKIM TENTANG STATUS QABL AL-DUKHU

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS GUGATAN SUAMI DALAM HAL MENGINGKARI KEABSAHAN ANAK YANG DILAHIRKAN ISTRINYA

BAB IV ANALISIS GUGATAN SUAMI DALAM HAL MENGINGKARI KEABSAHAN ANAK YANG DILAHIRKAN ISTRINYA BAB IV ANALISIS GUGATAN SUAMI DALAM HAL MENGINGKARI KEABSAHAN ANAK YANG DILAHIRKAN ISTRINYA A. Analisis Proses Gugatan Pengingkaran Terhadap Keabsahan Anak yang Dilahirkan Istrinya. Anak kandung adalah

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS 64 BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS A. Implikasi Yuridis Pasal 209 KHI Kedudukan anak angkat dan orang tua angkat dalam hokum kewarisan menurut KHI secara

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab 1 B A B I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Masalah Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti : Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksuil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN. penting sebagai salah satu alat bukti apabila alat bukti lain dirasa atau tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN. penting sebagai salah satu alat bukti apabila alat bukti lain dirasa atau tidak BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN A. Pengertian Saksi Nikah Kedudukan saksi dalam pengadilan mempunyai peranan yang sangat penting sebagai salah satu alat bukti apabila alat bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan cara yang paling tepat untuk menyalurkan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan cara yang paling tepat untuk menyalurkan kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam mengajak dan menganjurkan umatnya untuk menikah karena itu merupakan cara yang paling tepat untuk menyalurkan kebutuhan biologis seseorang. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM A. Hal-Hal Yang Melatarbelakangi Paradigma Sekufu di dalam Keluarga Mas Kata kufu atau kafa ah dalam perkawinan mengandung arti

Lebih terperinci

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang MAJLIS TAFSIR AL-QUR AN (MTA) PUSAT http://www.mta-online.com e-mail : humas_mta@yahoo.com Fax : 0271 661556 Jl. Serayu no. 12, Semanggi 06/15, Pasarkliwon, Solo, Kode Pos 57117, Telp. 0271 643288 Ahad,

Lebih terperinci

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Analisis implementasi Hukum Islam terhadap ahli waris non-muslim dalam putusan hakim di Pengadilan Agama

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH A. Pengertian Maslah}ah} Maslah}ah} berasal dari kata s}alah}a yang secara arti kata berarti baik lawan dari kata buruk atau rusak. Maslah}ah} adalah kata masdar s}alah}

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH 59 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH A. Analisis terhadap Peran USG terhadap Iddah Tidak sedikit ulama yang mencoba mendefinisikan atau mencari alasan pemberlakuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyaknya mahasiswa dan pegawai pabrik di Ngaliyan yang merupakan pendatang dari luar daerah, mengakibatkan banyaknya pula rumah kos dan kontrakan di Ngaliyan.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang penulis paparkan dapat disimpulkan: 1. Konsep batasan usia perkawinan menurut Fiqh dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. a. Konsep batasan usia perkawinan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 69 BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur 1. Faktor-Faktor Kawin di Bawah Umur Penyebab terjadinya faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN. 1) Mengetahui atau mengepalai, 2) Memenangkan paling banyak, 3) 12 A. Terminologi Pemimpin BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMIMPIN Pemimpin dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti: 1) Orang yang memimpin. 2) Petunjuk, buku petunjuk (pedoman), sedangkan Memimpin artinya:

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN IZIN POLIGAMI TANPA ADANYA SYARAT ALTERNATIF PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA MALANG NO. 913/Pdt.P/2003/PA.Mlg A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang

Lebih terperinci

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK LELANG UNDIAN DALAM PENYEWAAN TANAH KAS DESA DI DESA SUMBERAGUNG KECAMATAN NGRAHO KABUPATEN BOJONEGORO Dari bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TENAGA KERJA DI BAWAH UMUR PADA LPK CINTA KELUARGA SEMARANG

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TENAGA KERJA DI BAWAH UMUR PADA LPK CINTA KELUARGA SEMARANG 49 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TENAGA KERJA DI BAWAH UMUR PADA LPK CINTA KELUARGA SEMARANG Setelah penulis mengulas tentang tenaga kerja di bawah umur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama yang sempurna, agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai bagi ummat manusia didalam

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Batas usia cakap hukum perspektif hukum positif. dianggap telah dewasa atau cakap hukum antara substansi hukum yang satu

BAB VI PENUTUP. 1. Batas usia cakap hukum perspektif hukum positif. dianggap telah dewasa atau cakap hukum antara substansi hukum yang satu BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Batas usia cakap hukum perspektif hukum positif Aturan batas usia cakap hukum dalam hukum positif memiliki ketentuan yang berbeda-beda dalam menentukan kualifikasi usia

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORITIS. serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai dari satu generasi kepada generasi

BAB III KERANGKA TEORITIS. serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai dari satu generasi kepada generasi BAB III KERANGKA TEORITIS Menurut Soekandar Wiriaatmaja, tradisi pernikahan merupakan suatu yang dibiasakan sehingga dapat dijadikan peraturan yang mengatur tata pergaulan hidup didalam masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PASAL 106 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI TANAH MILIK ANAK YANG DILAKUKAN OLEH WALINYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PASAL 106 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI TANAH MILIK ANAK YANG DILAKUKAN OLEH WALINYA BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN PASAL 106 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG JUAL BELI TANAH MILIK ANAK YANG DILAKUKAN OLEH WALINYA A. Analisis Pelaksanaan Transaksi Jual Beli Tanah Milik Anak yang Dilakukan

Lebih terperinci

Ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir Senin, 08 Juni :59 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 16 September :24

Ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir Senin, 08 Juni :59 - Terakhir Diperbaharui Jumat, 16 September :24 Ada anggapan bahwa dalam literatur Islam klasik, dasar hukum tentang larangan lebih mudah ditemukan daripada sebaliknya. Tetapi, dalam sejarah awal Islam ada realitas bahwa Siti Aisyah, isteri baginda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia sendiri diciptakan berpasang-pasangan. Setiap manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang disebut dengan lembaga perkawinan. merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam). 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan seorang wanita dan seorang laki-laki, ada rasa saling tertarik antara satu sama

Lebih terperinci

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 17 Tahun 2013 Tentang BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN (MUI), setelah : MENIMBANG : a. bahwa dalam Islam, pernikahan adalah merupakan bentuk ibadah yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN A. Analisis Terhadap Sanksi Pidana Pelanggaran Hak Pemegang Paten Menurut UU.

Lebih terperinci

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Waris Tanpa Anak WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006) Pertanyaan: Kami lima orang bersaudara: 4 orang laki-laki

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI A. Analisis Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika

Lebih terperinci

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG

INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG INTENSIFIKASI PELAKSANAAN ZAKAT Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya pada tanggal 1 Rabi'ul Akhir 1402 H, bertepatan

Lebih terperinci

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry : Article Review Judul Artikel : Perubahan Sosial dan Kaitannya Dengan Pembagian Harta Warisan Dalam Perspektif Hukum Islam Penulis Artikel : Zulham Wahyudani Reviewer : Anna Rizki Penerbit : Jurnal Ilmiah

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK 60 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK Salah satu asas kewarisan Islam adalah asas bilateral yang merupakan perpaduan dari dua

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP UCAPAN ISTINSHA@ DALAM IKRAR TALAK A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan Istinsha> dalam Ikrar Talak Hukum Islam

Lebih terperinci

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA A. Analisis Tradisi Pelaksanaan Kewarisan Tunggu Tubang Adat Semende di

Lebih terperinci

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam

Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam Biografi Singkat Empat Iman Besar dalam Dunia Islam *Biografi Singkat Empat Imam Besar dalam Dunia Islam* *Imam Hanafi (80-150 H)* Beliau dilahirkan pada tahun 80 H dan meninggal dunia di Bagdad pada tahun

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara

Lebih terperinci