Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu"

Transkripsi

1 Laporan Penelitian ABSTRAK Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu Nancy Sendra, Frederick George Kuhuwael, AmsyarAkil, Robertus Boy Arfandy Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar - Indonesia Latar belakang: Rinitis akibat kerja (RAK) diperkirakan mengenai sekitar 15% pekerja di seluruh dunia yang kebanyakan pekerja industri. Terjadinya RAK dapat melalui mekanisme alergi atau refleks neurogenik. Diagnosis RAK ditegakkan dengan pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung, pemeriksaan nasal peak-flowmetry, rinometri, mucociliary clearance time, tes kulit alergi dan lain-lain. Tujuan: Untuk mengetahui dampak pajanan debu kayu terhadap peningkatan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung. Metode: Penelitian potong lintang pada pekerja di suatu perusahaan penggergajian kayu di Makassar, dari bulan November sampai Desember 7. Dilakukan anamnesis dan pengambilan kerokan mukosa hidung, kemudian preparat kerokan mukosa tersebut diwarnai dengan pewarnaan Hansel dan kadar eosinofil dihitung di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 1x. Untuk analisis statistik digunakan program SPSS 11.5 for Windows. Di dalam analisis data, perbedaan relatif antara masing-masing kelompok diestimasi dengan uji Pearson Chi square α 5%. Hasil: Prevalensi pekerja penggergajian kayu dengan hasil eosinofil kerokan mukosa hidung positif adalah 35,7%. Eosinofil yang ditemukan positif pada kerokan mukosa hidung memiliki korelasi yang tidak bermakna dengan beratnya gejala hidung (p>,5). Intensitas pajanan debu kayu pada tempat kerja tidak berhubungan dengan peningkatan kadar eosinofil (p>,5), dan lamanya masa kerja di penggergajian tidak berhubungan dengan peningkatan kadar eosinofil (p>,5). Akan tetapi, pekerja yang sudah ada riwayat atopi, intensitas pajanan debu kayu akan meningkatkan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung secara signifikan (p<,5). Kesimpulan: Intensitas pajanan debu kayu dapat meningkatkan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pada individu yang atopi. Kata kunci: rinitis akibat kerja, hitung eosinofil, kerokan mukosa hidung ABSTRACT Background: Occupational rhinitis is estimated affecting about 15% of global workers, which mostly are industrial workers. Occupational rhinitis could occur through allergic or neurogenic reflex mechanism. The diagnosis of occupational rhinitis could be established by eosinophils counts from nasal mucosal scrapping, nasal peak-flowmetry, rhinometry, mucociliary clearance time, allergy skin test, etc. Purpose: To find out the effect of wood dust exposure upon the eosinophil counts in nasal mucosa. 1

2 Methods: A cross sectional research was carried out in a sawmill which processed teak wood in Makassar from November to December 7. The workers were interviewed about their nasal complaints in their workplace and their atopic history, and underwent mucosal scraping procedure. The specimens were stained with Hansel s and the eosinophils were counted under light microscope (1x). The statistical analyzes used SPSS for windows The relative differences between groups were estimated with Pearson Chi square test a 5%. Results: The prevalence of positive eosinophil count was 35.7% among workers. The amount of eosinophils had no correlation to the severity of nasal symptoms (p>.5). The intensity of wood dust exposure didn t affect the increment of eosinophils (p>.5). As to the duration of employment, it also didn t affect the eosinophil count (p>.5). However, in workers with atopic history, the intensity of wood dust exposure would increase the eosinophil count (p<.5). Conclusion: The intensity of wood dust exposure will increase the eosinophils of nasal mucosa in atopic workers. Key words: occupational rhinitis, eosinophils count, nasal mucosa scrapping Alamat korespondensi: Nancy Sendra, Bagian Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. orlunhas@indosat.net.id PENDAHULUAN Rinitis akibat kerja adalah rinitis yang diakibatkan oleh substansi yang dibawa melalui udara di tempat kerja dan mempunyai gejala-gejala yang dapat diperantarai baik oleh mekanisme alergi maupun non-alergi. Gejala-gejala tersebut, berupa bersin-bersin, beringus dan atau hidung tersumbat, mungkin baru timbul beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun setelah pajanan pertama. Gejala hidung tersebut dapat dicurigai sebagai rinitis akibat kerja bila mempunyai hubungan waktu dengan saat kerja dan membaik gejalanya bila tidak berada di tempat kerja. 1-4 Menurut penelitian, diperkirakan 15% pekerja di seluruh dunia menderita rinitis akibat kerja. Pekerja industri adalah pekerja terbanyak yang menderita rinitis akibat kerja (48%), disusul oleh pekerja administrasi (9%) dan pekerja pengolah bahan jadi (13%). Jenis pekerjaan yang diketahui berisiko tinggi adalah petani, pekerja laboratorium farmasi, tukang kayu atau cat, pekerja industri makanan dan pekerja kesehatan. Peningkatan konsentrasi substansi dan lamanya waktu pajanan semakin meningkatkan risiko menderita rinitis akibat kerja.,4,5 Menurut penelitian, bahan yang diduga menyebabkan rinitis akibat kerja dibagi menjadi senyawa berberat molekul besar (protein) dan berberat molekul rendah.

3 Contoh dari senyawa berberat molekul besar adalah antigen binatang, biji kopi, biji jarak, enzim proteolitik, gandum dan kontaminannya, antigen serangga, gum Arabic/gum acacia, psyllium, dan lateks. Sedangkan contoh senyawa berberat molekul rendah adalah diisosianat, asam anhidrida, colophony dan asam plikatik. 1,5 Mekanisme terjadinya rinitis akibat kerja dapat melalui mekanisme alergi atau refleks neurogenik. Pada mekanisme alergi, pajanan IgE pada individu yang telah tersensitisasi dengan alergen yang terdapat di lingkungan kerja dapat mengakibatkan degranulasi mastosit/ basofil dan selanjutnya melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, triptase, leukotrien dan sitokin. Efek dari mediator ini adalah sekresi kelenjar (rinorea), kemotaksis (inflamasi), dan vasodilatasi. Pada mekanisme refleks neurogenik, bahan iritan yang terdapat di tempat kerja dapat menstimulasi reseptor aferen saraf trigeminus, sehingga terjadi refleks parasimpatis dan refleks akson yang melepaskan neuropeptida substansi-p dari cabang aferen saraf trigeminus. 6-8 Pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung merupakan salah satu cara pemeriksaan untuk diagnosis rinitis akibat kerja, selain dari pemeriksaan nasal peakflowmetry, rhinometry, mucociliary clearance time, tes kulit alergi dan lain-lain. Untuk pemeriksaan eosinofil, spesimen mukosa dapat diambil dengan teknik kerokan, usapan kapas lidi, bilasan, brushing dan imprint. Pewarnaan spesimen dengan cara Hansel sangat sensitif untuk melihat eosinofil pada mukosa Penelitian ini bertujuan mengetahui dampak intensitas pajanan debu kayu dan lamanya masa kerja terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergajian kayu, mengetahui korelasi antara beratnya gejala hidung dan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung, serta mengetahui dampak riwayat atopi terhadap peningkatan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung. METODE Metode penelitian ini adalah potong lintang dengan pendekatan observasional. Penelitian dilakukan dari bulan November sampai dengan Desember 7 di sebuah penggergajian kayu jati PT. X di Makassar, provinsi Sulawesi Selatan dan laboratorium Patologi Klinik RS Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel pekerja diambil dengan cara simple random sampling dan memenuhi kriteria inklusi penelitian. Pekerja kemudian dikelompokkan menurut intensitas pajanannya terhadap debu kayu, yaitu intensitas tinggi adalah pekerja berada pada ruang penggergajian kayu halus yang tertutup (kadar debu 1,473 mg/m 3 diukur 3

4 dengan alat low volume dust sampler); intensitas sedang adalah pekerja yang berada pada ruang penggergajian kayu kasar dengan bukaan udara yang luas (kadar debu 11,1 mg/m 3 ); dan intensitas rendah adalah pekerja administrasi, petugas kebersihan kantor, dan petugas kantin yang masih terdapat dalam wilayah pabrik (kadar debu 1,556 mg/m 3 ). Seluruh pekerja dilakukan anamnesis meliputi umur, jenis kelamin, keluhan gejala beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat saat bekerja, rerata waktu pajanan per minggu terhadap debu kayu, lama masa kerja di penggergajian dan riwayat atopi. Kemudian dilakukan pemeriksaan klinis THT, pengambilan kerokan mukosa hidung, pengambilan sampel feses. Pengukuran kadar debu total dilakukan pada beberapa titik di lokasi tempat kerja. Sampel kerokan mukosa hidung diambil dengan melakukan kerokan pada permukaan konka inferior menggunakan sengkelit, selanjutnya sampel yang diperoleh dipindahkan ke object glass dan disebarkan dengan ukuran apusan minimal berdiameter 1,5 cm. Preparat lalu difiksasi di atas api kemudian dipulas dengan reagen Hansel selama menit (Etil alkohol 95%:4 bagian, Methylen Blue 1%: bagian, Eosin 1%:1 bagian). Preparat dicuci dua kali masing-masing dengan air dan etil alkohol 95% dan akhirnya dikeringkan di udara. Hitung eosinofil dilakukan di bawah mikroskop dengan objektif 1x dan diperiksa pada sepuluh lapangan pandang. Eosinofil tampak mempunyai bentuk bundar dengan sitoplasma berwarna kemerahan. Penilaian gradasi eosinofil dilakukan dengan kriteria Naclerio, yaitu: negatif (-) bila tidak dijumpai eosinofil/sepuluh lapangan pandang; positif (+1) bila ditemukan 1-5 eosinofil/sepuluh lapangan pandang; positif (+) bila ditemukan 6-15 eosinofil/sepuluh lapangan pandang; positif (+3) bila ditemukan 16- eosinofil/sepuluh lapangan pandang; dan positif (+4) bila ditemukan > eosinofil/sepuluh lapangan pandang. 9 Pemeriksaan sampel tinja dilakukan di laboratorium Patologi Klinik rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo. Bila ditemukan cacing dalam feses, maka preparat eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja tersebut diekslusi dari penelitian. Untuk analisis statistik digunakan program SPSS 11.5 for Windows. Di dalam analisis data, perbedaan relatif antara masing-masing kelompok diestimasi dengan uji Pearson Chi square α 5%. HASIL Dari orang pekerja, didapatkan 11 orang yang memenuhi kriteria inklusi sebagai sampel, terdiri dari pria 4 orang (37,5%) dan wanita 7 orang (6,5%). Usia termuda 15 tahun dan tertua 61 tahun dengan rerata usia 6,6 ±8,69 tahun dengan 4

5 rerata lama masa kerja di penggergajian adalah 4,8 ±3,74 tahun. Gejala hidung yang paling sering dikeluhkan adalah bersinbersin sebesar 6,7%, hidung buntu 56,5% dan beringus 5%. Beberapa orang memiliki satu, dua bahkan ketiga-tiganya keluhan hidung. Terdapat korelasi yang tidak bermakna antara beratnya gejala hidung dan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung (p>,5). Sembilan dari 6 orang yang tanpa gejala hidung (34,6%), ternyata memiliki kadar eosinofil positif pada kerokan mukosa hidung. Sedangkan pada 55 dari 7 orang dengan kerokan eosinofil negatif (76,3%) didapatkan adanya keluhan gejala hidung. Tabel 1. Distribusi gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung menurut intensitas pajanan di tempat kerja Gradasi Eosinofil Intensitas pajanan di tempat kerja Tinggi Sedang Rendah Total ditemukan pada pekerja yang bekerja di lokasi berintensitas pajanan tinggi, sedang maupun rendah. Sementara derajat eosinofil tinggi (+3 dan +4) hanya ditemukan pada pekerja yang berada di tempat kerja berintensitas pajanan sedang. Dampak intensitas pajanan di tempat kerja terhadap gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung dengan pengujian statistik uji Pearson Chi square diperoleh hasil yang tidak bermakna (p>,5). Tabel. Distribusi gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung menurut lamanya masa kerja Gradasi Eosinofil negatif 5 Lamanya masa kerja di penggergajian 1-5 th th 1.1- >15th 68,5% +1 7,4% ,4% 8,6% 1% Total 7 64,3% 34 3,4% ,7% negatif ,3% 67,5% 63,6% 64,3% 1,4%,8% ,1% 36,4% 3,4%,7% 1,8% Total ,6% 5,%,7% 1% 1% 1% 1% ,5% 1,9% Masa kerja terbanyak adalah pada +4 periode 1-5 tahun di mana gradasi eosinofil 5,% 1,8% positif yang terbanyak ditemukan adalah TOTAL 61 1% 4 1% 11 1% 11 1% derajat +1 (7,4%), disusul oleh derajat +3 (1,4%) dan derajat +4 (,7%). Pada masa kerja lebih dari 15 tahun, hanya ada dua Gradasi eosinofil positif terbanyak adalah pada derajat +1 (3,4%) dan dapat orang pekerja dan keduanya dengan gradasi eosinofil negatif. Dengan uji statistik, 5

6 dampak lamanya masa kerja terhadap gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung adalah tidak bermakna (p>,5). Pada pekerja dengan riwayat atopi diperoleh gradasi eosinofil positif pada intensitas tinggi-sedang sebesar 5 orang (86,6%) dan hanya 6 orang (19,4%) yang gradasi eosinofilnya negatif. Sedangkan pada pekerja yang tanpa riwayat atopi diperoleh gradasi eosinofil positif pada intensitas tinggi-sedang hanya 11 orang (15,7%) dan sebesar 59 orang (84,3%) adalah gradasi eosinofil negatif. Dengan uji statistik, diperoleh hasil yang bermakna (p<,5) pada kelompok yang atopi. Sedangkan pada kelompok yang tanpa riwayat atopi, hasil uji statistik tidak bermakna (p>,5). Tabel 3. Distribusi gradasi eosinofil kerokan mukosa hidung menurut intensitas pajanan dan riwayat atopi Intensitas Eosinofil Pajanan positif Atopi (+) Tinggi-sedang 5 86,6% Rendah 1 Atopi (-) Tinggi-sedang 11 15,7% Rendah 3 5 Eosinofil Total negatif ,4% 1% % ,3% 1% % DISKUSI Kadar eosinofil dalam darah dan jaringan relatif rendah, kecuali pada pasien atopi dan infeksi parasit. Walaupun tidak diketahui memiliki surface marker, eosinofil dapat diidentifikasi pada darah dan jaringan melalui afinitas granul sitoplasmiknya terhadap zat warna anilin seperti eosin. Karena eosinofil sulit dideteksi dalam jaringan setelah degranulasi, pewarnaan immunologis untuk protein yang spesifik untuk eosinofil, terutama major basic protein (MBP) dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan adanya eosinofil teraktivasi dalam jaringan. 1 Pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung merupakan salah satu cara pemeriksaan rinitis akibat kerja yang murah dan mudah dilakukan. Arjana dkk. 11 dan Alimah 1 telah menggunakan pemeriksaan eosinofil kerokan mukosa hidung untuk mendeteksi rinitis alergi, di mana dilaporkan sensitivitasnya 7% dan spesifisitasnya 94%. Kelemahan dari pemeriksaan ini adalah tidak dapat menyaring peningkatan kadar eosinofil yang disebabkan oleh investasi parasit dan non-alergic rhinitis with eosinophylia syndrome (NARES). Pada penelitian ini, pasien yang ditemukan adanya investasi parasit dalam feses akan diekslusi sebagai percontoh penelitian. 11,1 Prevalensi pekerja dengan hasil kerokan mukosa hidung positif eosinofil adalah 35,7% dari jumlah seluruh sampel pekerja yang diperiksa kadar eosinofil 6

7 kerokan mukosa hidungnya. Adanya eosinofil dalam kerokan mukosa hidung menunjukkan adanya minimal persistance inflammation, walaupun pada pekerja yang tanpa gejala hidung. Eosinofil dapat menimbulkan hiper-responsivitas mukosa hidung, sehingga dengan rangsangan yang minimal telah dapat menimbulkan iritasi pada jalan napas. 6,8 Efek lain dari adanya eosinofil pada mukosa hidung adalah terlepasnya protein berberat molekul rendah yang tersimpan dalam granula sitoplasmiknya, yaitu MBP, eosinophil derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dan ECP bersifat toksik dengan merusak membran sel target melalui interaksi yang diperantarai muatan elektrolit (charge-mediated interaction). MBP juga mengaktivasi trombosit, sel mast dan basofil, yang akhirnya menghasilkan histamin. MBP dapat menginduksi hiper-responsivitas jalan napas dengan secara kompetitif menghambat pengikatan reseptor muskarinik kolinergik (M ) pada saraf parasimpatis, sehingga penghambatan reseptor ini oleh MBP akan mempercepat pelepasan asetilkolin pada jalan napas. Pada rinitis akibat kerja, beratnya gejala hidung yang dikeluhkan oleh pekerja tidak berbanding lurus dengan kadar eosinofil kerokan mukosa hidungnya. Berbeda dengan penelitian Madiadipoera dkk. 13 yang menyatakan bahwa semakin tinggi akumulasi sel eosinofil di mukosa hidung, semakin berat gejala rinitis alergi. Diduga rinitis akibat kerja yang disebabkan oleh debu kayu jati (Tectona grandis) tidak diperantarai oleh mekanisme alergi, tetapi oleh mekanisme non-alergi, yaitu refleks neurogenik yang menimbulkan refleks parasimpatis dan refleks aksonal. 5,13 Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p>,5) antara intensitas pajanan debu kayu dengan peningkatan gradasi eosinofil mukosa hidung. Tidak bermaknanya dampak intensitas pajanan diduga disebabkan oleh jenis kayu yang digunakan adalah jenis kayu Jati (Tectona grandis) yang diduga kurang mempunyai potensi alergenik. Jenis kayu yang pernah dilaporkan mengakibatkan rinitis akibat kerja adalah kayu obeche, west red cedar dan pinus. Pada ketiga jenis kayu tersebut, ditemukan kandungan asam abietik dan asam plikatik yang merupakan protein berberat molekul ringan yang bersifat alergenik. 3,5 Faktor lain yang diduga berperan adalah hasil pengukuran kadar debu total pada lokasi pabrik tidak terlalu tinggi melampaui nilai ambang batas yang dianjurkan, yaitu 1,473 mg/m 3 dan 11,1 mg/m 3 (nilai ambang batas 1 mg/m 3 ). Lamanya masa kerja di penggergajian dan peningkatan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung tidak bermakna berdasarkan 7

8 uji statistik (p>,5). Pekerja yang dimasukkan ke dalam sampel sudah dibatasi hanya yang masa kerjanya minimal satu tahun, tetapi adanya mutasi lokasi pekerjaan dalam satu perusahaan tidak dapat dihindari. Sehingga intensitas pajanan tidak konstan selama masa kerja. Pada pekerja yang mempunyai riwayat atopi ditemukan intensitas pajanan debu kayu mempunyai korelasi bermakna terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung (p<,5). Artinya pada pekerja yang mempunyai riwayat atopi tampak bahwa semakin kuat intensitas pajanan semakin meningkat kadar eosinofil mukosa hidung. Riwayat atopi pada pekerja hanya diketahui melalui anamnesis riwayat salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, dermatitis atopi atau sudah pernah didiagnosis atopi oleh dokter perusahaannya. Pada penelitian Talini et al 14 yang meneliti pekerja furnitur yang sudah ada riwayat atopi (dibuktikan dengan tes kulit positif) juga memiliki kecenderungan rinitis daripada pekerja yang hasil tes kulitnya negatif. Demikian juga Schlunssen 15 pada penelitiannya tentang rinitis dan asma akibat kerja melaporkan bahwa individu yang atopi, dengan hasil tes cukit kulit positif, lebih cenderung mengalami hiper-responsivitas jalan napas daripada individu yang non-atopi. Untuk menilai beratnya gejala yang ditimbulkan oleh rinitis akibat kerja, sebaiknya di samping melakukan pemeriksaan sitologi hidung (hitung sel pada kerokan mukosa) juga menyertakan salah satu pemeriksaan fisiologi hidung seperti nasal-peak flowmetry, rhinomanometry, mucociliary clearance time, dan Doppler nasal blood flowmetry, sehingga efek sebenarnya dari iritasi atau alergi akibat substansi di lingkungan kerja dapat diukur secara kuantitatif. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa pemeriksaan kadar eosinofil kerokan mukosa hidung dengan pewarnaan Hansel, dapat digunakan sebagai alat pemeriksaan yang murah dan mudah dilakukan untuk rinitis akibat kerja. Didapati bahwa intensitas pajanan terhadap debu kayu dan lama masa kerja tidak bermakna terhadap peninggian kadar eosinofil kerokan mukosa hidung. Individu dengan riwayat atopi akan memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan kadar eosinofil mukosa hidung bila bekerja pada tempat yang tinggi intensitas pajanan debu kayu daripada orang yang tanpa riwayat atopi. Dianjurkan pemakaian alat proteksi diri (masker) untuk menghindari pajanan debu kayu di tempat kerja, terutama bagi pekerja yang sudah ada riwayat atopi. DAFTAR PUSTAKA 1. Arandelovic, Stankovic, Juvanovic, Borisov, Stankovic S. Allergic rhinitis possible occupational disease-criteria suggestion. 8

9 Acta Dac Med Naiss 4; 1(): Dykewicz, Fineman S. Diagnosis and management of rhinitis complete guidelines of the joint task force on practice parameters in allergy, asthma and immunology. Ann Allergy Asthma Immunol 1998; 81(): Mc. Cunney RJ. A Practical approach to occupational and enviromental medicine. 3 rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; IFC international guidelines for occupational health and safety: enviromental and social guidelines for occupational health and safety. New York: Springer; La Dou J. Current occupational and enviromental medicine. 3 rd ed. Boston: McGraw Hill; Bailey BJ, Calhoun KH, Deskin RW. Head and neck surgery otolaryngology. Philadelphia: Lippincott-Raven; p Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Bousquet J, Cauwenberge P, Khaltev N. World health organisation in initiative Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA). J Allergy Clin Immunol 1; 18(5): Naclerio RM, Durham S, Mygind N. Rhinitis mechanism and management. New York: Marcel Decker; Parslow TG, Stites DP, Terr AI, Imboden JB. Medical immunology. 1 th ed. Boston: McGraw Hill; Arjana IM, Rianto BU, Sudarman K. Eosinofil usapan mukosa hidung kajian terhadap validitas sebagai kriteria diagnostik rinitis alergi. ORLI 1; 31(4): Alimah Y. Hubungan jumlah eosinofil mukosa hidung dengan durasi dan beratnya gejala rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA WHO. Tesis. Makassar: Program Pendidikan Dokter Spesialis THT-KL Fakultas Kedokteran. UNHAS; Madiadipoera T, Surachman, Sumarman I, Boesoerie T. Parameter keberhasilan pengobatan rinitis alergi. ORLI 3; 33(): Talini D, Monteverdi A, Benvenuti A, Petrozzino M, Di Pede F. Asthma-like syndrome, atopy and bronchial responsiveness in furniture workers. Occup Environ Med [serial online] [cited 8 Jan 5]; 55: Available from: ct/55/. 15. Schlunssen V, Schaumburg I, Andersen NT, Sigsgard T, Pedersen OF. Nasal patency is related to dust exposure in woodworkers. Occup Environ Med [serial online]. [cited 8 Jan 5]; 59:3-9. Available from: 9/. 9

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

Risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu

Risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu Laporan Penelitian Risiko terjadinya rinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu Emanuel Quadarusman, Sutji Pratiwi Rahardjo, Abdul Qadar Punagi, Riskiana Djamin Departemen Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 31 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan leher 4.2. Rancangan Penelitian Desain penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

Correlation between Wheat Flour Dust Exposures and the Quality of life for Patients with Occupational Rhinitis

Correlation between Wheat Flour Dust Exposures and the Quality of life for Patients with Occupational Rhinitis JURNAL KEDOKTERAN YARSI 18 (1) : 051-062 (2010) Hubungan pajanan debu terigu terhadap kualitas hidup penderita Rinitis akibat kerja Correlation between Wheat Flour Dust Exposures and the Quality of life

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang disebabkan mediasi oleh reaksi hipersensitifitas atau alergi tipe 1. Rhinitis alergi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir

Lebih terperinci

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI 67 68 69 70 Lampiran 4 KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI Nama Jenis kelamin : L/P Pendidikan ANAMNESIS Berilah tanda silang (X) pada salah satu jawaban dari pertanyaan berikut : 1. Keluhan yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam

BAB I PENDAHULUAN. batu kapur merupakan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan material dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pencemaran udara sering terjadi karena eksploitasi sumber daya alam, baik secara tradisional maupun modern. Penggalian atau penambangan berupa pasir, batu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER 2012 1 Elia Reinhard 2 O. I. Palandeng 3 O. C. P. Pelealu Kandidat skripsi Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

ARTIKEL ASLI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PABRIK ROTI

ARTIKEL ASLI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PABRIK ROTI ARTIKEL ASLI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PABRIK ROTI Setiawathi NP, Sudipta M, Sagung Puteri AA, Sari Wulan DS Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL Karya Tulis Ilmiah Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada anak yang memiliki atopi yang sebelumnya telah terpapar

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian ini diberikan kuesioner ISAAC tahap 1 diberikan kepada 143 anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan kuesioner yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi adalah salah satu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai oleh immunoglobulin E dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran

Lebih terperinci

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN

PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN PREVALENSI GEJALA RINITIS ALERGI DI KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2007-2009 Oleh: ILAVARASE NADRAJA NIM: 070100313 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi 29 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Jumlah Sampel Penelitian Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi Semarang, didapatkan 44 penderita rinitis alergi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

Relationship between the Degree of Severity Atopic Dermatitis with Quality of Life Patiens in Abdul Moeloek Hospital Lampung

Relationship between the Degree of Severity Atopic Dermatitis with Quality of Life Patiens in Abdul Moeloek Hospital Lampung Relationship between the Degree of Severity Atopic Dermatitis with Quality of Life Patiens in Abdul Moeloek Hospital Lampung Archietobias MA, Sibero HT, Carolia N Medical Faculty of Lampung University

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup keilmuan adalah THT-KL khususnya bidang alergi imunologi. 2. Ruang lingkup tempat adalah instalasi rawat jalan THT-KL sub bagian alergi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penyakit alergi merupakan masalah kesehatan serius pada anak. 1 Alergi adalah reaksi hipersentisitivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. 2 Mekanisme alergi

Lebih terperinci

FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL PENGGUNA CAT SEMPROT (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang)

FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL PENGGUNA CAT SEMPROT (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang) FAKTOR RISIKO RINITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL PENGGUNA CAT SEMPROT (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang) Andhita Restu Damayanti 1, Willy Yusmawan 2, Zulfikar Naftali

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2012-2013 Rinitis alergi bukan merupakan penyakit fatal yang mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan penurunan

Lebih terperinci

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013 PROFIL PASIEN RHINITIS ALERGI DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013 SKRIPSI OLEH: Regita Binar Samanta NRP: 1523011041 PRODI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2014 PROFIL PASIEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat ringan, sedang-berat dengan rerata usia subyek 26,6 ± 9,2 tahun, umur

Lebih terperinci

Kualitas hidup lansia dengan gangguan pendengaran

Kualitas hidup lansia dengan gangguan pendengaran Laporan Penelitian Kualitas hidup lansia dengan gangguan pendengaran Riskiana Djamin Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL Samuel, 2007 Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr.,sp.p. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Imunopatogenesis Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. 1 Imunopatogenesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konjungtivitis adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva secara umum dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab endogen maupun eksogen seperti bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Urtikaria adalah suatu kelainan yang berbatas pada bagian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. observasional analitik dengan desain cross sectional study dimana pengukuran

BAB III METODE PENELITIAN. observasional analitik dengan desain cross sectional study dimana pengukuran BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode observasional analitik dengan desain cross sectional study dimana pengukuran variable hanya

Lebih terperinci

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA SUSPECTED RISK FACTORS OF PEDIATRIC PATIENTS WITH ALLERGIC RHINITIS IN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO HOSPITAL,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinitis Alergi (RA) merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi alergen yang sama

Lebih terperinci

Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten

Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten Laporan Penelitian Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten Novina Rahmawati, Suprihati, Muyassaroh Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memajukan sektor industri. Banyak dibangun dan beroperasinya pabrik-pabrik

BAB I PENDAHULUAN. memajukan sektor industri. Banyak dibangun dan beroperasinya pabrik-pabrik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dan sedang berusaha memajukan sektor industri. Banyak dibangun dan beroperasinya pabrik-pabrik industri dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE)

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN. Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN. Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA 120100267 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN 2015 ii ABSTRAK Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan. Dermatitis alergika yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari adalah dermatitis atopik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan disebut dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi kulit yang bersifat kronik berulang, disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu dan didasari oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak,

BAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debu terdiri atas partikel destrimen yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa makanan, serbuk sari, skuama, bakteri, jamur dan serangga kecil (Sungkar, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperemia konjungtiva dan keluarnya discharge okular (Ilyas, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperemia konjungtiva dan keluarnya discharge okular (Ilyas, 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konjungtivitis adalah inflamasi pada konjungtiva yang ditandai dengan hiperemia konjungtiva dan keluarnya discharge okular (Ilyas, 2013). Penyakit ini dapat dialami

Lebih terperinci

PREVALENSI WHITE DERMOGRAPHISM PADA DERMATITIS ATOPIK DI POLI ANAK KLINIK PRATAMA GOTONG ROYONG SURABAYA

PREVALENSI WHITE DERMOGRAPHISM PADA DERMATITIS ATOPIK DI POLI ANAK KLINIK PRATAMA GOTONG ROYONG SURABAYA PREVALENSI WHITE DERMOGRAPHISM PADA DERMATITIS ATOPIK DI POLI ANAK KLINIK PRATAMA GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI Oleh: Nama : Lu Kwan Hwa NRP : 1523012030 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS KATOLIK

Lebih terperinci

PROFIL PENDERITA ALERGI DENGAN HASIL SKIN PRICK TEST TDR POSITIF DI POLIKLINIK ALERGI-IMUNOLOGI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE

PROFIL PENDERITA ALERGI DENGAN HASIL SKIN PRICK TEST TDR POSITIF DI POLIKLINIK ALERGI-IMUNOLOGI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE PROFIL PENDERITA ALERGI DENGAN HASIL SKIN PRICK TEST TDR POSITIF DI POLIKLINIK ALERGI-IMUNOLOGI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE 007-009 1 Novitasari Angle Sorisi G.J.P Wahongan 1 Kandidat Skripsi

Lebih terperinci

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH UNIVERSITAS ANDALAS HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH 1050310202 FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama 72 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Insiden Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama kehidupan adalah 10,9%. Moore, dkk. (2004) mendapatkan insiden dermatitis atopik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat masa awal kanak-kanak dimana distribusi lesi ini sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh mekanisme imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated allergy). 1,2

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran,

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran, BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran, khususnya bagian ilmu kesehatan anak divisi alergi & imunologi dan fisiologi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan suatu penyakit kronik yang mengenai jalan napas pada paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa batuk kronik,

Lebih terperinci

Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten

Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten Laporan Penelitian 1 Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten Novina Rahmawati, Suprihati, Muyassaroh Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya Periode 16 Juni. 2. Pada 6 orang pasien yang memiliki riwayat Rinitis Alergi,

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya Periode 16 Juni. 2. Pada 6 orang pasien yang memiliki riwayat Rinitis Alergi, BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Riwayat Atopi pada pasien dengan Keluhan Gatal di Poli Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya Periode

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi asma di berbagai negara sangat bervariasi, namun perbedaannya menjadi menyempit karena meningkatnya prevalensi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah,

Lebih terperinci

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI PERBEDAAN TITER TROMBOSIT DAN LEUKOSIT TERHADAP DERAJAT KLINIS PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya

Lebih terperinci

DETERMINAN KEJADIAN RINITIS AKIBAT KERJA DI PT. DUNIA KIMIA UTAMA INDRALAYA TAHUN 2014

DETERMINAN KEJADIAN RINITIS AKIBAT KERJA DI PT. DUNIA KIMIA UTAMA INDRALAYA TAHUN 2014 DETERMINAN KEJADIAN RINITIS AKIBAT KERJA DI PT. DUNIA KIMIA UTAMA INDRALAYA TAHUN 2014 MANUSKRIF SKRIPSI OLEH ULVA YULIANTI 10101001015 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2014 DETERMINAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1

Lebih terperinci

JUMLAH EOSINOFIL DARAH TEPI DAN MUKOSA HIDUNG PADA PENDERITA RHINITIS ALERGIKA DI RS Dr MUWARDI SURAKARTA

JUMLAH EOSINOFIL DARAH TEPI DAN MUKOSA HIDUNG PADA PENDERITA RHINITIS ALERGIKA DI RS Dr MUWARDI SURAKARTA JUMLAH EOSINOFIL DARAH TEPI DAN MUKOSA HIDUNG PADA PENDERITA RHINITIS ALERGIKA DI RS Dr MUWARDI SURAKARTA Dwi Arini Ernawati 1, Susiana Candrawati 2 1,2 Jurusan Kedokteran FKIK Universitas Jenderal Soedirman

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PERBANDINGAN TINGKAT KELENGKAPAN PENGISIAN FORMULIR DAN ADEKUASI HASIL APUSAN PAP SMEAR

KARYA TULIS ILMIAH PERBANDINGAN TINGKAT KELENGKAPAN PENGISIAN FORMULIR DAN ADEKUASI HASIL APUSAN PAP SMEAR KARYA TULIS ILMIAH PERBANDINGAN TINGKAT KELENGKAPAN PENGISIAN FORMULIR DAN ADEKUASI HASIL APUSAN PAP SMEAR ANTARA PERAWAT DENGAN DOKTER SPESIALIS OBSTETRI-GINEKOLOGI DI LABORATORIUM CITO YOGYAKARTA Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit alergi merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. darah, efek terhadap paru, kekebalan tubuh hingga sistem reproduksi. 1 Meski

BAB I PENDAHULUAN. darah, efek terhadap paru, kekebalan tubuh hingga sistem reproduksi. 1 Meski 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok telah diketahui menjadi salah satu faktor risiko dari beberapa macam penyakit. Efek yang paling banyak ditimbulkan seperti pada sistem kardiovaskuler yang

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori Genetik Alergen inhalan Polutan (NO, CO, Ozon) Respon imun hipersensitifitas tipe 1 Rinitis alergi Gejala Pengobatan

Lebih terperinci

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS Ardo Sanjaya, 2013 Pembimbing 1 : Christine Sugiarto, dr., Sp.PK Pembimbing 2 : Ronald Jonathan, dr., MSc., DTM & H. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, secara otomatis tubuh akan memberi tanggapan berupa respon imun. Respon imun dibagi menjadi imunitas

Lebih terperinci

PERANAN ION NEGATIF PADA TERAPI ASMA BRONKIALE ABSTRAK

PERANAN ION NEGATIF PADA TERAPI ASMA BRONKIALE ABSTRAK PERANAN ION NEGATIF PADA TERAPI ASMA BRONKIALE Jelly 2005; Pembimbing : Diana Krisanti Jasaputra, dr, M.Kes ABSTRAK Asma bronkiale masih me~adi salah satu masalah kesehatan di masyarakat. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL 4.1.1. Gambaran Umum Penelitian ini dilakukan di Klinik Alergi Bagian THT-KL RS Dr. Kariadi Semarang, dari Bulan April 2004 sampai dengan Bulan Oktober 2005. Semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH 1 HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI ASSOCIATION BETWEEN ALLERGIC RHINITIS WITH PEAK EXPIRATORY FLOW MEASUREMENT ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 Kedokteran Umum

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 Kedokteran Umum PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KUNYIT (Curcuma longa) TERHADAP JUMLAH EOSINOFIL DI JARINGAN PARU PADA PENYAKIT ALERGI Studi Eksperimental pada Mencit BALB/c yang Diinduksi Ovalbumin LAPORAN HASIL PENELITIAN

Lebih terperinci