BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengamanahkan Peta Rupa Bumi Indonesia sebagai Peta Dasar diselenggarakan mulai pada skala 1 : sampai dengan skala 1 : Peta dengan skala 1:5000 sangat dibutuhkan untuk perencanaan tata ruang seperti Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RDTR) tersebut sesuai dengan yang diregulasikan pada Peraturan Pemerintah Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun Ketelitian yang dibutuhkan untuk RDTR dan RTRW untuk ketelitian dengan kelas paling minimal yaitu kelas 3 adalah 2,5 meter baik untuk akurasi vertikal maupun akurasi horizontal pada skala 1:5000. Pemilihan kelas 3 tersebut mempertimbangkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada pada daerah menurut Peraturan Pemerintah no 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep dan Implementasinya. Tingkat ketelitian peta skala 1:5.000 yang memenuhi spesifikasi teknis telah ditentukan dalam Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Ketelitian skala 1:5000 tersebut terbagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Kelas 1 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1 meter, kelas 2 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 1,5 meter dan kelas 3 mensyaratkan nilai ketelitian akurasi minimal 2,5 meter. Tingkat ketelitian tersebut dapat dicapai menggunakan beberapa metode pemetaan. Beberapa metode tersebut yaitu secara fotogrametris (menggunakan foto udara stereo sebagai sumber data) serta metode terestris (melakukan pengukuran langsung terhadap objek yang akan dipetakan menggunakan alat ukur total station, waterpass, dll). Dua metode tersebut merupakan metode yang menghasilkan tingkat ketelitian baik. Metode tersebut jika ditinjau dari faktor biaya tergolong mahal serta waktu yang lama. Solusinya diperlukan alternatif metode lain yang salah satunya adalah metode ekstraterristris (Anonim, 2015). Pekerjaan pemetaan skala besar dengan menggunakan metode ekstrateristris yaitu memakai citra satelit resolusi tinggi sebagai sumber data. Metode ekstraterristris ini dapat dipergunakan sebagai alternatif (Anonim, 2015). Citra satelit resolusi tinggi tersebut terlebih dahulu harus melalui proses koreksi geometrik yang salah satunya adalah proses ortorektifikasi. Proses ortorektifikasi adalah salah satu proses menegakkan citra satelit karena

2 adanya faktor pergeseran. Faktor pergeseran (displacement) yang diakibatkan posisi miring pada satelit dan variasi topografi saat pengambilan data membuat lokasi pada citra belum sesuai dengan lokasi sebenarnya. Proses ortorektifikasi akan memberikan indikator kualitas berupa nilai RMS Error. Nilai RMS Error tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai akurasi citra. Nilai akurasi citra yang dihasilkan dari proses ortorektifikasi tersebut dapat tergantung dari berbagai faktor. Salah satunya adalah variasi kondisi titik kontrol tanah (TKT). Dari penelitian sebelumnya variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi berdasarkan jumlah titik kontrol tanah dan distribusi pada terrain citra. Variasi yang paling berpengaruh yaitu variasi distribusi terrain pada citra (Omer dkk, 2014). Variasi lain yang berpengaruh yaitu variasi persebaran titik kontrol tanah yang merata atau tidak merata (Eltohamy dkk, 2009). Konfigurasi yang diinginkan pada penelitian ini yaitu konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal. Konfigurasi optimal adalah konfigurasi dimana titik kontrol tanah dapat menghasilkan nilai akurasi yang akurat namun tetap memperhatikan efisiensi biaya. Efisiensi biaya tersebut berkaitan dengan jumlah titik kontrol tanah yang dipakai. Pada skripsi ini akan dilakukan evaluasi terhadap tiga variasi kondisi titik kontrol tanah yaitu variasi berdasarkan jumlah titik kontrol tanah, variasi berdasarkan persebaran titik kontrol tanah dan variasi titik kontrol tanah mewakili terrain citra. I.2. Identifikasi Masalah Nilai ketelitian pada masing-masing titik kontrol tanah (TKT) yang terukur pasti berbeda-beda. Faktor faktor yang berpengaruh perlu dipertimbangkan sebagai salah satu proses evaluasi dari nilai akurasi ortorektifikasinya. Faktor-faktor tersebut merupakan variasi kondisi titik kontrol tanah. Semua titik kontrol tanah tersebut terletak pada posisi yang berbedabeda (seperti dataran tinggi atau dataran rendah) serta jarak yang berada pada kisaran 3,5 4 km satu dengan yang lainnya (titik tersebar secara merata yang mewakili kondisi terrain keseluruhan). Kegiatan pengukuran titik kontrol tanah (TKT) di lapangan memerlukan waktu dan biaya sehingga perlu diidentifikasi konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal. Kondisi yang diinginkan merupakan kondisi dimana jumlah titik kontrol tanah seminimal mungkin jumlahnya dan nilai akurasinya memenuhi standar spesifikasi Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000.

3 Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diidentifikasi adalah pemakaian banyak jumlah titik kontrol tanah membuat biaya pengukuran yang semakin tinggi. Efisiensi biaya akuisisi data dan jumlah titik dipertimbangkan untuk mengetahui apa pengaruh dari jumlah titik yang dibuat bervariasi, titik kontrol tanah yang sebarannya dibuat merata serta titik yang mewakili terrain citra terhadap nilai akurasi hasil proses ortorektifikasi citra. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini yaitu : 1. Kondisi dan variasi titik kontrol tanah seperti apakah yang optimal untuk koreksi ortorektifikasi citra Worldview-2 dalam penelitian ini? 2. Apakah akurasi citra satelit WorldView-2 tersebut memenuhi standar ketelitian menurut Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar untuk skala 1:5000? I.4. Batasan Masalah Kegiatan dalam penelitian ini yaitu: 1. Data yang digunakan citra satelit resolusi tinggi Worldview-2 untuk wilayah kota Semarang sebanyak 2 scene. 2. Titik kontrol tanah sebanyak 40 titik untuk dua buah scene tersebut yang telah diukur di lapangan dengan menggunakan GPS geodetik metode RTK (Real Time Kinematic) untuk input koordinat X, Y nya serta DEM (Digital Elevation Model) untuk koordinat Z nya dalam proses ortorektifikasi. 3. Batasan variasi kondisi pada penelitian ini yaitu : a. Variasi Jumlah Titik : variasi ini hanya mempersoalkan jumlah titik saja b. Variasi Persebaran Distribusi Titik : variasi ini hanya mempersoalkan pola distribusi saja c. Variasi Titik Mewakili Terrain : variasi ini hanya mempersoalkan titiktitik terletak sesuai topografi area

4 I.5. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengevaluasi nilai akurasi hasil dari proses ortorektifikasi citra resolusi tinggi Worldview-2 berdasarkan variasi konfigurasi titik kontrol tanah. Variasi konfigurasi titik kontrol tanah tersebut adalah : 1. Variasi konfigurasi jumlah titik kontrol tanah. 2. Variasi konfigurasi persebaran titik kontrol tanah merata serta tidak merata, 3. Variasi konfigurasi distribusi titik kontrol tanah yang mewakili terrain. I.6. Manfaat Penelitian ini memiliki manfaat yaitu: Mengetahui konfigurasi titik kontrol tanah yang optimal tanpa memakai terlalu banyak titik kontrol tanah sehingga biaya akuisisi data dapat lebih efisien Tinjauan Pustaka Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mengevaluasi akurasi citra satelit Worldview-2 dengan memperhatikan variasi kondisi jumlah titik, persebaran titik, serta titik kontrol tanah (TKT) yang mewakili terrain. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2011) meneliti mengenai sebaran titik kontrol tanah terhadap ketelitian peta citra hasil ortorektifikasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa banyak titik kontrol tanah (TKT) yang digunakan dalam proses ortorektifikasi citra sangat berpengaruh terhadap ketelitian hasil koreksi geometrik yang ditunjukkan melalui harga Root Mean Square Error (RMSE). Uji coba dengan banyak titik kontrol tanah tersebut digunakan jumlah dengan variasi dimulai dari 6, 8, 9, 13, dan 15 buah TKT dan sebaran yang merata. Faktor pengaruh kondisi terrain citra dikemukakan oleh Bidang Produksi Data Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010). Penelitian tersebut menyatakan bahwa koreksi ortorektifikasi merupakan koreksi geometrik untuk memperbaiki distorsi geometri. Distorsi geometri tersebut disebabkan oleh karakteristik sensor, arah penginderaan dan pergeseran relief yang mengakibatkan arah penginderaan memiliki proyeksi perspektif. Kondisi ini dapat terjadi pada citra dengan variasi topografi yang sangat tinggi seperti lembah hingga puncak gunung dan bukit. Akurasi dari proses koreksi geometrik bergantung utamanya pada jumlah TKT yang dipilih, fitur yang diidentifikasi pada citra (persimpangan jalan, perpotongan jalan bandara,

5 lengkungan pada sungai dan fitur-fitur lainnya), dan distribusi dari TKT yang dipilih pada area citra yang terdistorsi yang dinyatakan oleh Eltohamy dan Hamza (2009) pada papernya. Paper tersebut menyebutkan jumlah TKT yang digunakan yaitu 20 TKT untuk dua scene citra. Penelitian lain oleh Omer, Murat dan Haci (2014) menyatakan dalam papernya mengenai efek dari jumlah TKT dan distribusinya pada permukaan diinvestigasi pada citra stereo WorldView- 2. Variasi kondisi yang berpengaruh adalah variasi distribusi titik kontrol pada terrain dan variasi jumlah titik kontrol tanah. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain terlihat lebih efektif daripada efek jumlah TKT melihat pada hasil adjustment. Penelitian oleh Omer, Murat dan Haci tersebut menggunakan variasi jumlah TKT mulai dari jumlah 31, 26, 21, 16, 11, 6, 4 TKT untuk dua scene citra. Data DEM (Digital Elevation Model) tidak digunakan dalam kedua penelitian tersebut. Evaluasi hasil ortorektifikasi citra diperlukan untuk dapat mengetahui kondisi apakah yang paling mempengaruhi nilai akurasi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2011) menyebutkan bahwa nilai RMSE dipengaruhi oleh jumlah titik TKT dengan pola sebaran merata dan sejalan dengan Eltohamy dan Hamza (2009) yang menyatakan faktor jumlah TKT dan distribusi TKT memiliki pengaruh pada nilai akurasi citra. Pada penelitian ini selain variasi jumlah titik TKT ditambahkan variasi dengan jumlah TKT yang sama namun pola sebaran selain dibuat merata juga dibuat tidak merata. Variasi kondisi lain yaitu variasi TKT yang mewakili terrain citra. Titik kontrol tanah diletakkan pada daerah bukit (terrain tinggi) serta daerah dekat pantai (terrain rendah) untuk meminimalisir distorsi geometri yang sebelumnya telah dinyatakan oleh Bidang Produksi Data Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (2010) akibat variasi topografi pada citra yang diteliti. Hal serupa dikemukakan oleh Omer, Murat dan Haci (2014) mengenai efek distribusi titik kontrol pada terrain. Variasi distribusi titik kontrol pada terrain lebih efektif atau berpengaruh daripada variasi jumlah TKT.

6 1.8. Landasan Teori I Citra Satelit Worldview-2 Citra merupakan masukan data atau hasil observasi dalam proses penginderaan jauh (Hornby, 1974). Penginderaan Jauh atau Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena tersebut. Citra merupakan gambaran yang tampak dari suatu obyek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau/sensor, baik optik, elektrooptik, optik-mekanik maupun elektromekanik (Simonett dkk, 1983). Citra memerlukan proses interpretasi atau penafsiran terlebih dahulu dalam pemanfaatannya. Citra satelit adalah hasil dari pemotretan/perekaman alat sensor yang dipasang pada wahana satelit ruang angkasa dengan ketinggian lebih dari 400 km dari permukaan bumi. Kemampuan sensor dalam merekam obyek terkecil pada tiap pikselnya ini disebut dengan resolusi spasial. Berdasarkan tingkatan resolusinya citra satelit dibedakan menjadi 3 macam, yaitu (Sutanto,1994) : Citra resolusi rendah, memiliki resolusi spasial antara 15 m s/d 30 m Citra resolusi sedang, memiliki resolusi spasial 2.5 m s/d 10 m Citra resolusi tinggi, memiliki resolusi spasial 0.5 m s/d 1 m Tingkat resolusi spasial citra satelit ini dipengaruhi oleh kemampuan sensor dalam merekam objek yang terkecil, Satelit Landsat TM mampu merekam obyek terkecil dilapangan sebesar 30 x 30 meter, Satelit Ikonos merekam dengan obyek terkecilnya 1 x 1 meter. QuickBird dengan ukuran obyek terkecilnya 0,6 x 0,6 meter. Citra satelit terbentuk dari serangkaian matrik elemen gambar yang disebut dengan piksel. Piksel merupakan unit terkecil dari sebuah citra. Piksel sebuah citra pada umumnya berbentuk segi empat dan mewakili suatu area tertentu pada citra. Jika sebuah sensor memiliki resolusi spasial 20 meter dan citra dari sensor tersebut menampilkannya secara penuh, maka masing-masing piksel akan mewakili area seluas 20 x 20 meter. Citra yang menampilkan area dengan cakupan yang luas biasanya memiliki resolusi spasial yang rendah. Pada penelitian ini digunakan citra satelit WorldView-2 dengan level produk yang digunakan yaitu level 2A yang

7 tidak memiliki relief topografi sehingga untuk proses ortorektifikasi dapat digunakan nilai elevasi dari sumber lain dalam hal ini yaitu DEM (Digital Elevation Model) menurut Omer, Murat dan Haci (2014). Gambar 1.1 berikut menunjukkan ilustrasi bentuk dari satelit resolusi tinggi Worldview-2. Gambar 1.1. Ilustrasi Satelit Resolusi Tinggi WorldView-2 (Sumber : I Ketelitian Peta Ketelitian peta adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara posisi dan atribut sebuah objek di peta dengan posisi dan atribut sebenarnya. Root Mean Square Error (RMSE) adalah akar kuadrat dari rata-rata kuadrat selisih antara nilai koordinat data dan nilai koordinat dari sumber independent yang akurasinya lebih tinggi.

8 Ketelitian peta dasar tersebut meliputi : a. Ketelitian Geometri adalah nilai yang menggambarkan ketidakpastian koordinat posisi suatu objek pada peta dibandingkan dengan koordinat posisi objek yang dianggap posisi sebenarnya. Komponen ketelitian geometri terdiri atas: 1. Akurasi horizontal. 2. Akurasi vertikal. b. Ketelitian atribut/semantik adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian atribut sebuah objek di peta dengan atribut sebenarnya. c. Ketelitian Geometri Peta RBI Ketentuan untuk standar ketelitian geometri Peta RBI yang dihasilkan tertera pada tabel di bawah ini : Tabel 1.2 Standar ketelitian geometri Peta RBI (Sumber : Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar ) Pada penelitian ini digunakan standar ketelitian untuk kelas 3 dengan nilai akurasi horizontal dan akurasi vertikal masing-masing sebesar 2,5 meter untuk skala 1:5000 karena menyesuaikan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada di daerah mengacu PP no 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, Konsep dan Implementasinya yang telah disebutkan pada latar belakang sebelumnya.

9 Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1.2 adalah nilai CE90 (Circular Error) untuk ketelitian horizontal dan LE90 (Linear Error) untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan 90%. CE90 merupakan ukuran ketelitian geometrik horizontal yang didefinisikan sebagai radius lingkaran yang menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau perbedaan posisi horizontal objek di peta dengan posisi yang dianggap sebenarnya tidak lebih besar dari radius tersebut. LE90 merupakan ukuran ketelitian geometrik vertikal (ketinggian) yaitu nilai jarak yang menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau perbedaan nilai ketinggian objek di peta dengan nilai ketinggian sebenarnya tidak lebih besar dari nilai jarak tersebut. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada standar US NMAS (United States National Map Accuracy Standards) sebagai berikut: CE90 = 1,5175 x RMSEr LE90 = 1,6499 x RMSEz dimana : RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal) RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal) dengan rumus RMSE sebagai berikut : RMSE= Σ(X2 X1) n Keterangan : RMSE = Root Mean Square Error X1 X2 n = nilai sebenarnya = nilai hasil ukuran = banyak ukuran yang digunakan I Ortorektifikasi Citra Satelit Citra satelit memiliki distorsi geometrik absolut berkisar 10 hingga ratusan meter. Hal ini terjadi karena proses perekamannya dilakukan di antariksa berjarak ratusan kilometer dari bumi, pada wahana satelit yang bergerak dengan posisi yang tidak selalu tegak lurus terhadap permukaan bumi. Kesalahan geometrik juga terjadi dari efek topografi muka bumi. Kualitas

10 geometrik suatu citra merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembuatan peta. Geometrik citra yang tidak presisi akan berdampak pada kesalahan dalam pengukuran parameter jarak, luas, atau sudut pada peta yang dihasilkan. Koreksi geometrik lebih tepat dilakukan pada citra satelit dan bukan pada peta vektor karena proses koreksi akan jauh lebih efisien dan presisi jika dilakukan pada citra dari pada koreksi geometrik pada peta vektor. Metode koreksi geometrik yang berpengaruh untuk mengurangi distorsi geometrik citra satelit adalah dengan metode ortorektifikasi. Piksel pada citra di posisikan ulang sesuai koordinat sebenarnya dengan acuan horizontal dari data GPS (Global Potitioning System) dan koreksi efek topografi serta distorsi perekaman dengan data DEM (Digital Elevation Model). Metode ortorektifikasi ada beberapa,yaitu orbital modeling (menggunakan Rigorous Model), Polinomial, Thin Plate Spline, dan fungsi matematis. Tiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan tertentu. Daerah berelief tinggi sebaiknya mengkombinasikan beberapa metode tersebut secara bertahap agar dapat diperoleh hasil yang memuaskan. Algoritma ortorektifikasi yang dilakukan pada penelitian ini dijelaskan dalam diagram alir berikut : DEM Citra Satelit Titik Kontrol Tanah Ortorektifikasi Ekstraksi Nilai Z dari DEM Pemilihan Model Matematis Pemilihan Titik Kontrol dan Cek Pembentukan Orthoimage I Model Matematika Toutin s Model Model matematika yang digunakan pada penelitian ini merupakan model matematika teliti (Rigorous Model) yang dikembangkan di Canada Centre for Remote Sensing. Model ini dapat menyajikan keadaan fisik sebenarnya serta telah mengintegrasikan semua distorsi yang muncul selama akuisisi gambar. Distorsi yang dihasilkan tersebut mampu ditangani oleh Toutin s Model termasuk distorsi karena platform, sensor, Bumi, serta proyeksi kartografis (Toutin dan Cheng, 2002).

11 Model matematika Rigorous ini dipilih berdasarkan hasil penelitian oleh A.O. Ok dan M.Turker (2006) dimana hasil yang didapatkan merupakan hasil dengan nilai akurasi terbaik dibandingkan model matematika lainnya seperti RPC (Rational Polynomial Coefficien), RF (Rational Function) dan lain-lain. Penelitian lain yang dilakukan oleh Aguilar dkk (2005) juga memberikan hasil serupa dimana pada penelitian tersebut akurasi terbaik adalah model Toutin. Pertimbangan lain dalam pemilihan model Toutin karena citra WorldView-2 yang digunakan merupakan level 2A yang sudah memiliki parameter RPC sehingga tidak perlu lagi menggunakan model RPC. I Titik Kontrol Tanah Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Brock Adam McCarty pada website mengenai Geospatial Frequently Asked Question What is Ground Control pada tahun 2014, titik kontrol tanah merupakan titik yang lokasinya berada pada permukaan bumi yang memiliki nilai X,Y serta Z. Penggunaan titik kontrol tanah dalam ortorektifikasi citra satelit resolusi tinggi mengharuskan titik-titik tersebut dapat diidentifikasi secara jelas. Titik-titik yang dapat terlihat jelas tersebut berarti harus dapat diamati pada citra satelit yang sedang dikerjakan (misalnya : citra tidak tertutup awan). Jumlah titik kontrol tanah yang digunakan untuk keperluan ortorektifikasi dapat didapatkan dengan rumus yang telah dirumuskan oleh McCarty sebagai berikut: Jumlah Titik Kontrol = 10 + (Luas Citra dalam km 2 / 25) + (2 x Jumlah Overlap Citra) Perlu diketahui bahwa rumusan tersebut tidak akurat untuk daerah dengan landscape yang sangat bergunung atau dalam hal ini perbedaan elevasi yang sangat tajam. Jumlah titik kontrol minimal dari persamaan di atas dapat dijadikan acuan dengan minimal jumlah titik kontrol yang dibutuhkan. Model matematika yang digunakan membutuhkan 7 titik kontrol tanah minimal pada penelitian ini.

12 I DEM (Digital Elevation Model) DEM merupakan data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat (Tempfli, 1991). DEM adalah suatu sistem, model, metode, dan alat dalam mengumpulkan, prosessing, dan penyajian informasi medan. Susunan nilai-nilai digital yang mewakili distribusi spasial dari karakteristik medan, distribusi spasial di wakili oleh nilai sistem koordinat horisontal X Y dan karakteristik medan diwakili oleh ketinggian medan dalam sistem koordinat Z (Doyle, 1991). DEM khususnya digunakan untuk menggambarkan relief medan. Gambaran model relief rupabumi tiga dimensi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata (real world) divisualisaikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan teknologi virtual reality (Mogal, 1993). Struktur data DEM terdiri dari Grid, TIN, dan Kontur. Grid atau Lattice menggunakan sebuah bidang segitiga teratur, segiempat, atau bujursangkar atau bentuk siku yang teratur grid. Perbedaan resolusi grid dapat digunakan, pemilihannya biasanya berhubungan dengan ukuran daerah penelitian dan kemampuan fasilitas komputer. Data dapat disimpan dengan berbagai cara, biasanya metode yang digunakan adalah koordinat Z berhubungan dengan rangkaian titiktitik sepanjang profil dengan titik awal dan spasi grid tertentu (Moore dkk., 1991). TIN adalah rangkaian segitiga yang tidak tumpang tindih pada ruang tak beraturan dengan koordinat x, y, dan nilai z yang menyajikan data elevasi. Model TIN disimpan dalam topologi berhubungan antara segitiga dengan segitiga didekatnya, tiap bidang segitiga digabungkan dengan tiga titik segitiga yang dikenal sebagai facet. Titik tak teratur pada TIN biasanya merupakan hasil sampel permukaan titik khusus, seperti lembah, igir, dan perubahan lereng (Mark 1975). Kontur dibuat dari digitasi garis kontur yang disimpan dalam format seperti DLGs (Digital Line Graphs) koordinat (x, y) sepanjang tiap garis kontur yang menunjukkan elevasi khusus. Kontur paling banyak digunakan untuk menyajikan permukaan bumi dengan simbol garis.

13 Gambar 1.2. Struktur Data DEM : TIN (Sumber : ESRI ArcGIS 10.x Desktop Help) Gambar 1.2. Struktur Data DEM : Grid Gambar 1.4. Struktur Data DEM : Kontur (Sumber : mathworld.wolfram.com) (Sumber : Gemcom Surpac 6.5.1) I Radargrametri pada Terrasar-X Digital Elevation Model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu produk dari Terrasar-X. Metode akuisisi datanya menggunakan radargrametri (teknik pengukuran atau mendeteksi objek dengan memakai radar). Metode ini berbasis pada amplitudo data dan menggunakan dua buah akuisisi data dengan sudut pengambilan yang berbeda-beda (datar dan curam). Data Terrasar-X tersebut dihasilkan dari dua buah wahana yang melakukan penyiaman secara bersamaan. Ilustrasi mengenai pengambilan data dengan metode radargrametri pada Terrasar-X tersebut dapat dilihat pada gambar 1.5.

14 Gambar berikut merupakan gambar akuisisi Terrasar-X dengan radargrametri : Sudut Pengambilan Datar Sudut Pengambilan Curam (20 ) Gambar 1.5. Radargrametri pada Terrasar-X (Sumber : ) I Sistem Koordinat Titik Kontrol Tanah Sistem koordinat yang digunakan yaitu sistem koordinat kartesian (X,Y,Z) dengan sistem proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator) dan datum yang digunakan yaitu WGS (World Geodetic System) UTM merupakan sistem proyeksi silinder yang membungkus ellipsoid dengan kedudukan sumbu silindernya tegak lurus sumbu tegak ellipsoid (sumbu perputaran bumi) sehingga garis singgung ellipsoid dan silinder merupakan garis yang berhimpit dengan garis bujur pada ellipsoid (Prihandito, 1988). Sistem proyeksi UTM didefinisikan posisi horizontal dua dimensi (x,y) menggunakan proyeksi silinder, transversal, dan konform yang memotong bumi pada dua meridian standar. Seluruh permukaan bumi dibagi atas 60 bagian yang disebut dengan UTM zone. Setiap zona dibatasi oleh dua meridian sebesar

15 6 dan memiliki meridian tengah sendiri. Contoh, zona 1 dimulai dari 180 BB hingga 174 BB, zona 2 di mulai dari 174 BB hingga 168 BB, terus kearah timur hingga zone 60 yang dimulai dari 174 BT sampai 180 BT. Batas lintangnya 80 LS hingga 84 LU. Setiap bagian derajat memiliki lebar 8 yang pembagiannya dimulai dari 80 LS kearah utara. Bagian derajat dari bawah (LS) dinotasikan dimulai dari C,D,E,F, hingga X (huruf I dan O tidak digunakan). Bagian derajat 80 LS hingga 72 LS diberi notasi C, 72 LS hingga 64 LS diberi notasi D, 64 LS hingga 56 LS diberi notasi E, dan seterusnya. Pembagian zona di wilayah Indonesia dibagi menjadi 9 zona yaitu dimulai dari zona 46 (90 BT) sampai zona 54 (144 BT). Gambar 1.6. Pembagian zona UTM di Indonesia (Sumber : Ketentuan ketentuan dalam proyeksi UTM yaitu (Prihandito, 1988) : 1. Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut meridian standar dengan faktor skala Lebar zone 6 dihitung dari 180 BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180 BT dengan nomor zone 60. Tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri. 3. Perbesaran di meridian tengah = 0, Batas paralel tepi atas dan tepi bawah adalah 84 LU dan 80 LS.

16 Sedangkan ciri-ciri proyeksi UTM adalah (Prihandito, 1988): 1. Proyeksi bekerja pada setiap bidang ellipsoid yang dibatasi cakupan garis meridian dengan lebar yang disebut zone. 2. Proyeksi garis meridian pusat (Meridian Sentral) merupakan garis vertikal pada bidang tengah poyeksi. 3. Proyeksi garis lingkar ekuator merupakan garis lurus horizontal di tengah bidang proyeksi. 4. Grid merupakan perpotongan garis-garis yang sejajar dengan dua garis proyeksi pada butir dua dan tiga dengan interval sama, jadi garis pembentukan grid bukan hasil dari garis Bujur atau Lintang Ellipsoid (kecuali garis Meridian Pusat dan Ekuator). 5. Penyimpangan arah garis meridian terhadap garis utara grid di Meridian Pusat sama dengan atau garis arah meridian yang melalui titik luar Meridian Pusat tidak sama dengan garis arah Utara Grid Peta yang disebut Konvegerensi Meridian. Tampilan simpangan ini dapat diabaikan dalam luasan dan skala tertentu karena kecil. I.9. Hipotesis Perbedaan konfigurasi titik pasti menghasilkan beda nilai akurasi. Nilai akurasi dipengaruhi konfigurasi jumlah titik kontrol tanah, persebaran titik yang merata serta titik yang mewakili terrain citra. Konfigurasi optimal yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan efisiensi biaya dan nilai akurasi memenuhi standar akurasi Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Ketelitian Peta Dasar tingkat ketelitian kelas 3 adalah konfigurasi persebaran titik merata serta konfigurasi titik yang mewakili terrain citra.

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang : a. bahwa dalam penetapan standar ketelitian peta

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) A411 Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) Wahyu Teo Parmadi dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

K NSEP E P D A D SA S R

K NSEP E P D A D SA S R Mata Kuliah : Sistem Informasi Geografis (SIG) Perikanan. Kode MK : M10A.125 SKS :2 (1-1) KONSEP DASAR DATA GEOSPASIAL OLEH SYAWALUDIN A. HRP, SPi, MSc SISTEM KOORDINAT DATA SPASIAL SUB POKOK BAHASAN 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia wilayahnya membentang dari 6⁰ Lintang Utara sampai 11⁰08 Lintang Selatan dan 95⁰ Bujur Timur sampai 141⁰45 Bujur Timur. Indonesia merupakan negara kepulauan yang

Lebih terperinci

Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST

Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) TEKNIS PENGUKURAN DAN PEMETAAN KOTA Surabaya, 9 24 Agustus 2004 Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT

Lebih terperinci

By. Y. Morsa Said RAMBE

By. Y. Morsa Said RAMBE By. Y. Morsa Said RAMBE Sistem Koordinat Sistem koordinat adalah sekumpulan aturan yang menentukan bagaimana koordinatkoordinat yang bersangkutan merepresentasikan titik-titik. Jenis sistem koordinat:

Lebih terperinci

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA Proyeksi Peta dan Skala Peta 1. Pengertian Proyeksi peta ialah cara pemindahan lintang/ bujur yang terdapat pada lengkung permukaan bumi ke bidang datar. Ada beberapa ketentuan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah memerlukan acuan arah dan informasi geospasial. Diperlukan peta dasar pendaftaran dan peta kerja yang dapat dijadikan

Lebih terperinci

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Dasar Hukum FUNGSI RDTR MENURUT PERMEN PU No 20/2011 RDTR dan peraturan

Lebih terperinci

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Nama : Muhamad Aidil Fitriyadi NPM : 150210070005 Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Jenis proyeksi yang sering di gunakan di Indonesia adalah WGS-84 (World Geodetic System) dan UTM (Universal

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita.

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita. DAFTAR PUSTAKA 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita. 2. Abidin, Hasanuddin Z.(2002). Survey Dengan GPS. Cetakan Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita. 3. Krakiwsky, E.J.

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA REKONSTRUKSI/KOREKSI Rekonstruksi/Restorasi Koreksi geometri Mosaik Koreksi radiometri/koreksi topografi TRANSFORMASI Penajaman citra Transformasi spasial/geometri : merubah

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Georeferencing dan Resizing Enggar Budhi Suryo Hutomo 10301628/TK/37078 JURUSAN S1 TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015 BAB

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Iva Nurwauziyah, Bangun Muljo Sukojo, Husnul Hidayat Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2012

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2012 Sistem Proyeksi Peta Arif Basofi PENS 2012 Tujuan Sistem Proyeksi Peta Jenis Proyeksi Peta Pemilihan Proyeksi Peta UTM (Universal Transverse Mercator) Sistem Proyeksi Peta Bentuk bumi berupa ruang 3D yg

Lebih terperinci

Modul 13. Proyeksi Peta MODUL KULIAH ILMU UKUR TANAH JURUSAN TEKNIK SIPIL POLIBAN. Modul Pengertian Proyeksi Peta

Modul 13. Proyeksi Peta MODUL KULIAH ILMU UKUR TANAH JURUSAN TEKNIK SIPIL POLIBAN. Modul Pengertian Proyeksi Peta MODUL KULIAH Modul 13-1 Modul 13 Proyeksi Peta 13.1 Pengertian Proyeksi Peta Persoalan ditemui dalam upaya menggambarkan garis yang nampak lurus pada muka lengkungan bumi ke bidang datar peta. Bila cakupan

Lebih terperinci

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Bab II TEORI DASAR 2.1 Batas Daerah A. Konsep Batas Daerah batas daerah adalah garis pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah administrasi adalah wilayah

Lebih terperinci

Bab ini memperkenalkan mengenai proyeksi silinder secara umum dan macam proyeksi silinder yang dipakai di Indonesia.

Bab ini memperkenalkan mengenai proyeksi silinder secara umum dan macam proyeksi silinder yang dipakai di Indonesia. BAB 7 PENDAHULUAN Diskripsi singkat : Proyeksi Silinder bila bidang proyeksinya adalah silinder, artinya semua titik di atas permukaan bumi diproyeksikan pada bidang silinder yang kemudian didatarkan.

Lebih terperinci

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP Oleh A. Suradji, GH Anto, Gunawan Jaya, Enda Latersia Br Pinem, dan Wulansih 1 INTISARI Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A375 Analisis Ketelitian Geometric Citra untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

Proyeksi Peta. Tujuan

Proyeksi Peta. Tujuan Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Setelah menyelesaikan bab ini, anda diharapkan dapat: Memahami tentang bentuk permukaan bumi Memahami proyeksi dari peta bumi (3D) ke peta topografi

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM 3.1 Tahap Persiapan Pada tahap persiapan, dilakukan langkah-langkah awal berupa : pengumpulan bahan-bahan dan data, di antaranya citra satelit sebagai data primer, peta

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

Nur Meita Indah Mufidah

Nur Meita Indah Mufidah Pengantar GIS (Gographical Information System) Nur Meita Indah Mufidah Meita153@gmail.com Lisensi Dokumen: Copyright 2003-2006 IlmuKomputer.Com Seluruh dokumen di IlmuKomputer.Com dapat digunakan, dimodifikasi

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 25/PRT/M/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT PROSEDUR

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) A703 Analisa Ketelitian Geometrik Citra Pleiades 1A dan Worldview-2 untuk Pembuatan Peta Dasar Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Pusat) Ricko Buana Surya, Bangun Muljo Sukojo,

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok ANALISIS PENELITIAN Materi penelitian akan dianalisis secara keseluruhan dalam bab ini. Pertama kali analisis mengenai karakteristik peta blok yang digunakan dalam penelitian, kemudian analisis mengenai

Lebih terperinci

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13 Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota Adipandang Yudono 13 Definisi Peta Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di

Lebih terperinci

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2015

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2015 Sistem Proyeksi Peta Arif Basofi PENS 2015 Contents 1 Proyeksi Peta 2 Jenis Proyeksi Peta 3 Pemilihan Proyeksi Peta 4 Sistem Proyeksi Peta Indonesia Proyeksi Peta Peta : representasi dua-dimesional dari

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

Isfandiar M. Baihaqi

Isfandiar M. Baihaqi ASPEK PERPETAAN UNTUK PENYUSUNAN RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Isfandiar M. Baihaqi 0813

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

APA ITU ILMU UKUR TANAH?

APA ITU ILMU UKUR TANAH? APA ITU ILMU UKUR TANAH? Merupakan ilmu, seni dan teknologi untuk menyajikan bentuk permukaan bumi baik unsur alam maupun unsur buatan manusia pada bidang yang dianggap datar. ILMU UKUR TANAH (DEFINISI)

Lebih terperinci

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25

REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25 REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25.000 BERDASARKAN PERATURAN KEPALA BIG NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG KETELITIAN PETA DASAR (Studi Kasus: Pekerjaan Pemetaan RBI Aceh Paket

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah memiliki arti penting bagi kelangsungan hidup manusia, baik sebagai faktor produksi dan barang konsumsi maupun sebagai ruang ( space ) tempat melakukan kegiatan.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS Danang Budi Susetyo, Aji Putra Perdana, Nadya Oktaviani Badan Informasi Geospasial (BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong 16911 Email: danang.budi@big.go.id

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN JURNAL TEKNIK ITS Vol. 4, No. 1, (2015) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A-399 PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 Sistem Informasi Geografis Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 5 Cara Memperoleh Data / Informasi Geografis 1. Survei lapangan Pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR i Daftar isi Daftar isi... 1 Prakata... 3 1 Ruang lingkup... 4 2 Istilah dan definisi... 4 2.1 Istilah Teknis Perpetaan... 4 2.2 Istilah Tata Ruang... 5 3 Penyajian Muka

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Planimetris Citra Quickbird Guna Menunjang Kegiatan Administrasi Pertanahan (Studi Kasus: Kabupaten Gresik, 7 Desa Prona)

Analisa Ketelitian Planimetris Citra Quickbird Guna Menunjang Kegiatan Administrasi Pertanahan (Studi Kasus: Kabupaten Gresik, 7 Desa Prona) F182 Analisa Ketelitian Planimetris Citra Quickbird Guna Menunjang Kegiatan Administrasi Pertanahan (Studi Kasus: Kabupaten Gresik, 7 Desa Prona) Theo Prastomo Soedarmodjo 1), Agung Budi Cahyono 1), Dwi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat BAB II DASAR TEORI Pada bab II ini akan dibahas dasar teori mengenai sistem referensi koordinat, sistem koordinat dan proyeksi peta, yang terkait dengan masalah penentuan posisi geodetik. Selain itu akan

Lebih terperinci

Analisis Pengaruh Sebaran Ground Control Point terhadap Ketelitian Objek pada Peta Citra Hasil Ortorektifikasi

Analisis Pengaruh Sebaran Ground Control Point terhadap Ketelitian Objek pada Peta Citra Hasil Ortorektifikasi Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Analisis Pengaruh Sebaran Ground Control Point terhadap Ketelitian Objek pada Peta Citra Hasil Ortorektifikasi BAMBANG

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

ORTHOREKTIFIKASI CITRA RESOLUSI TINGGI UNTUK KEPERLUAN PEMETAAN RENCANA DETAIL TATA RUANG Studi Kasus Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur

ORTHOREKTIFIKASI CITRA RESOLUSI TINGGI UNTUK KEPERLUAN PEMETAAN RENCANA DETAIL TATA RUANG Studi Kasus Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur Orthorektiffikasi Citra Resolusi Tingggi untuk Keperluan... (Apriyanti dkk.) ORTHOREKTIFIKASI CITRA RESOLUSI TINGGI UNTUK KEPERLUAN PEMETAAN RENCANA DETAIL TATA RUANG Studi Kasus Kabupaten Nagekeo, Provinsi

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA PERPETAAN - 2 KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan Extra

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

BAB IV. Ringkasan Modul:

BAB IV. Ringkasan Modul: BAB IV REKTIFIKASI Ringkasan Modul: Pengertian Rektifikasi Menampilkan Data Raster Proses Rektifikasi Menyiapkan Semua Layer Data Spasial Menyiapkan Layer Image Menambahkan Titik Kontrol Rektifikasi Menggunakan

Lebih terperinci

Adipandang YUDONO

Adipandang YUDONO Pengenalan Kartografi Adipandang YUDONO 11 E-mail: adipandang@yahoo.com Outline Apa itu Kartografi? Peta Definisi Peta Hakekat Peta Syarat-syarat yang dikatakan peta Fungsi peta Klasifikasi peta Simbol-simbol

Lebih terperinci

Jadi huruf B yang memiliki garis kontur yang renggang menunjukkan kemiringan/daerahnya landai.

Jadi huruf B yang memiliki garis kontur yang renggang menunjukkan kemiringan/daerahnya landai. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.2 1. Kemiringan lereng kontur huruf B seperti pada gambar mempunyai http://www.primemobile.co.id/assets/uploads/materi/8.2.1.jpg

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis BAB I KONSEP SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1.1. Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No. 3 Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Juli September 2010 Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m BAMBANG RUDIANTO Jurusan Teknik

Lebih terperinci

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan III. METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan laporan kembali dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2009. Pengamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang American Society of Photogrammetry (Falkner dan Morgan, 2002) mendefinisikan fotogrametri sebagai seni, ilmu dan teknologi mengenai informasi terpercaya tentang objek fisik

Lebih terperinci

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 Sistem Koordinat Parameter SistemKoordinat Koordinat Kartesian Koordinat Polar Sistem Koordinat

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data... DAFTAR ISI 1. BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian... 4 1.4 Tujuan Penelitian... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 4 2. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

Lebih terperinci

Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi Teknik Geomatika, FTSP-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia

Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi Teknik Geomatika, FTSP-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia KAJIAN KETELITIAN PLANIMETRIS CITRA RESOLUSI TINGGI PADA GOOGLE EARTH UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1: 10000 KECAMATAN BANJAR TIMUR KOTA BANJARMASIN Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi

Lebih terperinci

Mekanisme Penyelenggaraan Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi Sesuai Inpres Nomor 6 Tahun 2012

Mekanisme Penyelenggaraan Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi Sesuai Inpres Nomor 6 Tahun 2012 Mekanisme Penyelenggaraan Citra Satelit Tegak Resolusi Tinggi Sesuai Inpres Nomor 6 Tahun 2012 Eli Juniati, Elyta Widyaningrum, Ade Komara M. Staf Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial

Lebih terperinci

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara) Geoid Vol. No., Agustus 7 (8-89) ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) Agung Budi Cahyono, Novita Duantari Departemen Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang SURVEI HIDROGRAFI Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang Tahapan Perencanaan Survey Bathymetri Pengukuran bathimetri dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK 65 ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK A. TUJUAN: 1) Mahasiswa mampu melakukan koreksi geometric pada foto udara maupun citra satelit dengan software ENVI 2) Mahasiswa dapat menemukan berbagai permasalahan saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik (2014), Indonesia memiliki 17.504 pulau dan luas daratan mencapai 1.910.931,32 km 2. Karena kondisi geografisnya yang

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan (studi kasus : Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo) Arwan Putra Wijaya 1*, Teguh Haryanto 1*, Catharina N.S. 1* Program

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG

PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG PROSES REKOMENDASI BIG LAMPIRAN PETA RDTR PUSAT PEMETAAN TATA RUANG DAN ATLAS, BIG KONSEP ONE MAP POLICY 1 Standard Referensi Satu georeferensi yang sama Satu Pedoman yang sama Geoportal Basisdata Standar

Lebih terperinci

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521 Sistem Koordinat Parameter SistemKoordinat Koordinat Kartesian Koordinat Polar Sistem Koordinat Geosentrik Sistem Koordinat Toposentrik Sistem Koordinat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1343, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Daerah. Aliran Sungai. Penetapan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.59/MENHUT-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat

METODE. Waktu dan Tempat Dengan demikian, walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut bersifat rentan terhadap proses longsor, namun jika terdapat pada lereng yang tidak miring, maka proses longsor

Lebih terperinci

Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging

Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging C182 Analisa Data Foto Udara untuk DEM dengan Metode TIN, IDW, dan Kriging Juwita Arfaini, Hepi Hapsari Handayani Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data spasial yang menyatakan bentuk topografi suatu wilayah, umumnya digunakan untuk manajemen penggunaan lahan, pembangunan

Lebih terperinci

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA Edisi : I Tahun 2003 KERJASAMA ANTARA DEPARTEMEN DALAM NEGERI DENGAN BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAAN NASIONAL Cibogo, April 2003 MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA Oleh:

Lebih terperinci

UJI KETELITIAN HASIL REKTIFIKASI CITRA QUICKBIRD DENGAN PERANGKAT LUNAK GLOBAL MAPPER akurasi yang tinggi serta memiliki saluran

UJI KETELITIAN HASIL REKTIFIKASI CITRA QUICKBIRD DENGAN PERANGKAT LUNAK GLOBAL MAPPER akurasi yang tinggi serta memiliki saluran UJI KETELITIAN HASIL REKTIFIKASI CITRA QUICKBIRD DENGAN PERANGKAT LUNAK GLOBAL MAPPER akurasi yang tinggi serta memiliki saluran Arfian Setiadi*, Ir. Bambang Sudarsono, pankromatik MS**, L.M Sabri, dan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 11 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu mengenai penerapan teknologi penginderaan jauh citra resolusi tinggi sebagai media untuk memetakan suatu daerah antara

Lebih terperinci