V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Situ dan Perubahan Luas Situ di Kota Depok. Situ merupakan sumberdaya air permukaan yang penting bagi kehidupan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Situ dan Perubahan Luas Situ di Kota Depok. Situ merupakan sumberdaya air permukaan yang penting bagi kehidupan"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Situ dan Perubahan Luas Situ di Kota Depok Situ merupakan sumberdaya air permukaan yang penting bagi kehidupan manusia. Namun akibat perubahan lingkungan menyebabkan ekosistem situ terganggu. Permasalahan yang umum terjadi pada ekosistem situ di Kota Depok adalah terjadinya sedimentasi, eutrofikasi, pengurugan dan alih fungsi lahan. Salah satu indikasi bahwa situ tersebut mengalami gangguan terlihat dari semakin berkurangnya daya tampung air situ sehingga luas situ menurun. Gambar 8 menunjukkan bahwa ketujuh situ (Situ Citayam, Cilangkap, Rawa Kalong, Jatijajar, Cilodong,Tipar dan Pedongkelan) mengalami penurunan luas Luas (Ha Tahun Citayam Cilangkap Rawa Kalong Jatijajar Cilodong Tipar Pedo ngkelan Sumber: hasil analisis data Inventarisasi Situ (Dinas PU Kab. Bogor, 2000) Gambar 8. Perubahan Luas Situ Selama 10 Tahun ( Tahun ) Kondisi umum ketujuh situ di Kota Depok ditunjukkan pada Lampiran 11. Dari ketujuh situ tersebut hanya Situ Cilodong dan Situ Jatijajar yang memiliki kondisi yang relatif baik. Hal ini didukung oleh masih adanya vegetasi di Daerah 46

2 Tangkapan Air (DTA) situ, sedangkan permukiman hanya sebagian kecil yang berdekatan dengan jalan raya. Sedangkan Situ Citayam, Cilangkap, Tipar dan Situ Pedongkelan didominasi oleh permukiman dan lahan terlantar. Ketersediaan air situ sangat tergantung dengan kondisi lingkungannya terutama yang berada pada DTA situ. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan air situ adalah faktor tata guna lahan, fisik (curah hujan) dan aktivitas manusia (pengurugan, pembuangan limbah dan lain-lain). Penggunaan lahan yang mengarah pada aktivitas perkotaan dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sistem hidrologi. Ketika musim hujan, pada daerah ini terjadi semakin besarnya aliran permukaan sedangkan proses infiltrasi semakin berkurang, sehingga berimplikasi terjadinya pengikisan tanah (top soil) menuju ke daerah yang lebih rendah yaitu kawasan situ. Tanah yang terbawa oleh air mengakumulasi membentuk sedimentasi. Pola sedimentasi yang terjadi di areal situ, di awali dari pinggiran situ sehingga lama kelamaan menuju ke arah dalam situ. Proses ini menyebabkan situ mengalami pendangkalan. Proses pendangkalan akan cepat terjadi apabila intensitas perubahan penggunaan lahan ke arah perkotaan semakin tinggi. Disamping proses sedimentasi, percepatan pendangkalan situ dapat terjadi apabila terjadi eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan indikator bahwa suatu ekosistem perairan mengalami gangguan. Pada kondisi ini terjadi peledakan pertumbuhan suatu organisme akibat melimpahnya nutrien (zat makanan) bagi organisme tersebut. Faktor yang memungkinkan terjadinya eutrofikasi di perairan situ adalah akibat aktivitas perikanan dimana banyaknya pakan ikan yang masuk ke dalam perairan situ. Disamping itu juga akibat buangan limbah rumah tangga 47

3 ataupun industri yang mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh organisme tersebut. Pada perairan situ, tumbuhan yang berkembang biak dengan cepat adalah eceng gondok dan teratai. Tumbuhan ini memiliki sistem perakaran yang panjang sampai ke dasar situ kemudian mengikat lumpur sehingga mempercepat proses sedimentasi. Akibat terjadinya pendangkalan maka situ yang menjadi daratan banyak dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian maupun untuk kawasan permukiman sehingga mengancam eksistensi situ. Untuk mempertahankan ketersediaan air situ, diperlukan areal yang dapat memasok air ke dalam situ yaitu areal yang didominasi oleh vegetasi. Vegetasi ini mampu mengurangi aliran air permukaan karena pada waktu hujan air sebagian tertahan di pohon, sebagian yang lain mengalami infiltrasi ke dalam tanah. Air yang masuk ke dalam tanah sebagian menjadi air tanah dan sebagian yang lain diikat oleh akar tumbuhan. Sehingga kawasan ini merupakan kawasan resapan air. Ditinjau dari skala Daerah Aliran Sungai (DAS), ketujuh situ yang telah disebutkan di atas berada di bagian timur dan selatan Kota Depok. Kawasan tersebut tercakup dalam DAS Ciliwung karena seluruh situ bermuara ke Sungai Ciliwung. Kota Depok merupakan wilayah yang berada di bagian tengah DAS Ciliwung sedangkan bagian hulu adalah Kawasan Puncak dan Bogor dan bagian hilir adalah DKI Jakarta. Oleh karena itu situ merupakan salah satu kawasan resapan air bagi DKI Jakarta. Dapat dikatakan bahwa situ merupakan komponen sistem hidrologis yang perlu dilestarikan karena memiliki fungsi sebagai kawasan konservasi air dan tanah. Dengan melihat kecenderungan situ mengalami penyusutan dari waktu ke waktu perlu adanya pengendalian penggunaan lahan di DTA situ yang dalam hal 48

4 ini terkait dengan tataruang wilayah dan perlunya keterlibatan masyarakat terutama yang berada di sekitar situ dalam pengelolaan situ sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia Analisis Estimasi Analisis Estimasi Perubahan Luas Situ Untuk menduga perubahan luas situ dari tahun ke tahun digunakan continuous time model (model linier) dengan asumsi bahwa perubahan laju pertumbuhan relatif konstan. Analisis ini digunakan karena keterbatasan data dimana data yang ada hanya dua titik waktu (Lampiran 3a). Tabel 8 menunjukkan perubahan luas situ yang memiliki kecenderungan menurun dimana luas situ mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Situ Jatijajar merupakan situ yang sangat cepat mengalami perubahan dengan rata-rata laju penurunan -4.22% per tahun dengan luas 8,95 ha pada tahun 1991 mengalami penurunan menjadi 5,45 ha pada tahun Rata-rata laju pengurangan yang paling rendah dari tujuh lokasi situ adalah Situ Cilodong sebesar -0,51% per tahun. Tabel 8. Rata-rata Laju Penambahan/Pengurangan Luas pada Tujuh Situ di Kota Depok tahun No Nama Situ Luas (ha) Perubahan Luas Tahun (ha/th) Rata-rata Penambahan/ Pengurangan pertahun (%/tahun) Citayam 7,84 7,21 6,79-1,05-1,37 3 Cilangkap 6,80 6,08 5,60-1,20-1,59 5 Rawa Kalong 10,31 8,51 7,31-3,00-2,75 4 Jati Jajar 8,95 6,85 5,45-3,50-4,22 2 Cilodong 9,35 9,05 8,85-0,50-0,51 6 Tipar 14,13 11,73 10,13-4,00-2,72 7 Pedongkelan 7,74 6,42 5,54-2,20-2,65 Sumber: hasil analisis data Inventarisasi Situ (Dinas PU Kab. Bogor, 2000) tanda negatif (-) menyatakan laju pengurangan luas areal (%) 49

5 Luas situ sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang saling terkait antara satu dengan lainnya yang terdapat di DTA situ. Faktor lingkungan yang dimaksud adalah faktor biofisik (vegetasi, perubahan penggunaan lahan, ketinggian, aksesibilitas dan lain-lain); sosial (pertumbuhan penduduk, perilaku manusia seperti pembuangan limbah, kebijakan peruntukan lahan) serta faktor ekonomi (jenis pekerjaan). Perubahan penggunaan lahan di areal Situ Cilodong tidak banyak mengalami perubahan (Lampiran 1). Selama periode tahun vegetasi campuran masih mendominasi di kawasan ini dengan proporsi 9,35 ha (60,31%) dari luas total DTA Situ Cilodong sebesar 15,51 ha pada tahun 1991 dan mengalami pengurangan menjadi 8,71 ha (56,91%) dari total luas lahan pada tahun Disamping itu karakteristik wilayah DTA situ ini lebih alami bila dibandingkan dengan Situ Jatijajar. Kondisi air situ ini lebih jernih, tidak berbau dan berpotensi sebagai tempat tujuan wisata. Hal ini menyebabkan kondisi alami situ, baik kualitas maupun kuantitas airnya, lebih dapat dipertahankan Analisis Estimasi Jumlah Penduduk Diketahui bahwa jumlah penduduk merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan lingkungan termasuk perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan hasil analisis estimasi selama kurun waktu 10 tahun ( ) terlihat bahwa adanya kecenderungan peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun seperti yang disajikan pada Gambar 9. Adapun analisis estimasi dilakukan 50

6 terhadap jumlah penduduk disebabkan oleh keterbatasan data jumlah penduduk per desa/kelurahan. Analisis estimasi jumlah penduduk dalam kurun waktu tahun terhadap ke-7 kelurahan di wilayah penelitian dengan menggunakan pendekatan model pendugaan pertumbuhan eksponensial dan regresi linier sederhana disajikan pada Lampiran 4. Pemilihan model yang tepat untuk menduga variabel tujuan adalah nilai koefisien determinasi yang cukup tinggi (R 2 mendekati 1) Jiwa B.P. Terong Cilangkap Curug Jatijajar Kalibaru Mekarsari Tugu Tahun Sumber: Dianalisis dari data Podes Kabupaten Bogor (1990,1996); Podes Kota Depok (2000); Kecamatan Dalam Angka (1992,1993,1998,2001) Gambar 9. Pertumbuhan Penduduk selama kurun waktu tahun Rata-rata laju pertumbuhan penduduk periode tahun pada tujuh kelurahan lokasi penelitian tertera pada Tabel 9. Kelurahan Curug (Situ Rawa Kalong) merupakan daerah yang sangat tinggi laju pertumbuhan penduduknya (5,44% per tahun). Secara spasial, wilayah ini didominasi oleh penggunaan lahan permukiman terutama kawasan industri seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Juga didukung oleh adanya sarana dan prasarana dimana daerah ini berada pada jalur utama transportasi antara Bogor dan Jakarta sehingga daerah ini menjadi kawasan yang padat. 51

7 Berdasarkan data statistik (Kecamatan Cimanggis Dalam Angka, 2001) Kelurahan Curug merupakan sentra industri terbesar, diikuti Kelurahan Tugu dan Mekarsari di Kecamatan Cimanggis dengan jumlah 15 industri berskala besar dan sedang. Secara otomatis kondisi ini banyak menyerap tenaga kerja yaitu sebesar orang. Tabel 9. Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk pada Tujuh Kelurahan Periode Tahun No Kelurahan Nama Situ Jumlah(jiwa) Rata-rata Penambahan/ Pengurangan (%/tahun) Bojong P. Terong Citayam ,44 2 Cilangkap Cilangkap ,73 3 Curug Rawa Kalong ,44 4 Jatijajar Jatijajar ,00 5 Kalibaru Cilodong ,77 6 Mekarsari Tipar ,59 7 Tugu Pedongkelan ,71 Sumber: Podes Kabupaten Bogor dan Kota Depok, Tahun 1993, 1996, Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Air Situ Perubahan Penggunaan lahan Berdasarkan hasil analisis perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 10 tahun ( ) pada tujuh daerah tangkapan air situ (DTA situ) di wilayah Kota Depok yaitu Situ Citayam, Cilangkap, Rawa Kalong, Jatijajar, Cilodong,Tipar dan Pedongkelan nampak bahwa situ hampir di seluruh lokasi mengalami perubahan. Rincian perubahan penggunaan lahan disajikan dalam Lampiran 1. Lahan yang mengalami perubahan besar adalah vegetasi campuran. Proporsi vegetasi campuran terbesar terdapat di DTA Situ Jatijajar yaitu 84,67% (13.17 ha) dari luas total sebesar 15,56 ha pada tahun 1991 mengalami perubahan menjadi 9,24 ha (61,55%). 52

8 Proporsi perubahan penggunaan selama periode tahun lahan permukiman yang tercakup di seluruh wilayah penelitian mengalami peningkatan luas, kemudian diikuti lahan terlantar (Lampiran 1). Peningkatan luas permukiman terbesar terdapat pada DTA Situ Pedongkelan sebesar 46% selama kurun waktu 10 tahun dengan proporsi 1,6 ha (13,64%) pada tahun 1991 tetapi menjadi 6,91 ha (59,65%) pada tahun Selanjutnya perubahan luas lahan terlantar terbesar terdapat pada DTA Situ Cilangkap dengan luas 0,83 ha (5,06%) pada tahun 1991 meningkat menjadi 5,40 ha (37,49) pada tahun Tidak demikian halnya dengan lahan tegalan dan vegetasi campuran yang cenderung mengalami penurunan luas, sedangkan lahan sawah tidak memiliki kecenderungan yang nyata. Penurunan luas lahan tegalan terbesar terdapat pada DTA Situ Tipar dengan proporsi luas 20,81% (3,11 ha) pada tahun 1991 menurun menjadi 0,64 ha (4,31%) dari luas lahan total pada tahun Selanjutnya periode tahun luas vegetasi campuran memiliki kecenderungan menurun. Secara parsial, diketahui bahwa lahan vegetasi campuran mengalami penurunan terbesar terjadi di DTA Situ Tipar yakni sebesar 3,24 ha atau 21,65% dari total luas DTA Situ (Gambar 10). Penurunan tipe lahan ini menaikkan luas lahan permukiman sebesar 13.69%. Berbeda dengan yang terjadi di DTA Situ Citayam, luasan lahan terlantar mengalami peningkatan sebesar 2,03 ha (9,89%) selama periode tahun

9 80% 60% 40% % Perubaha 20% 0% -20% -40% Citayam Cilangk ap R aw a Kalong Jatijajar C ilo don g Tipar/Cic ada s Pedon gkela n -60% -80% N ama Situ P emukim an Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vege tasi Campuran Ket: % perubahan adalah % luas perubahan jenis penggunaan lahan terhadap luas DTA Situ tanda positif (+) menyatakan luas lahan bertambah, tanda negatif (-) menyatakan luas lahan berkurang Gambar 10. Persentase Perubahan Penggunaan Lahan pada Tujuh DTA Situ Tahun % 4 0% 2 0% % Perubah 0% -2 0% Citayam C ila ng kap R awa Kalong Jatijajar Cilo do ng Tipar/C icadas P ed on gk ela n -4 0% -6 0% Nama Situ P em ukim an Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vege tasi Campuran Ket: % perubahan adalah % luas perubahan jenis penggunaan lahan terhadap luas DTA Situ tanda positif (+) menyatakan luas lahan bertambah, tanda negatif (-) menyatakan luas lahan berkurang 54

10 Gambar 11. Persentase Perubahan Penggunaan Lahan pada Tujuh DTA Situ Tahun Gambar 11 menunjukkan persentase perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 4 (empat) tahun (tahun ). Vegetasi campuran mengalami penurunan, sebaliknya, permukiman dan lahan terlantar mengalami penambahan luas. Hal ini dapat diketahui dari proporsi penggunaan lahan secara keseluruhan yang didominasi oleh permukiman dan lahan terlantar. Seperti pada DTA Situ Rawa Kalong dan Pedongkelan lebih dari separuhnya dari luas lahan total adalah permukiman masing-masing sebesar 72,68% dan 59,65% pada tahun Terkait dengan peningkatan kawasan perumahan di kota Depok, Rustiadi et al., (1999) menjelaskan bahwa pada proses suburbanisasi di Jakarta adanya fenomena pertambahan penduduk sehingga penduduk asal Jakarta mencari lahan untuk rumah tinggal yang lebih murah. Pada sisi lain, suburbanisasi seringkali tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan riil lahan untuk aktivitas urban, terutama kebutuhan perumahan tetapi seringkali hanya merupakan ajang pemenuhan spekulasi dan investasi penduduk golongan menengah ke atas. Menurut Leaf (1996) dalam Rustiadi et al., (1999), apabila dipandang pada sisi kebijakan pemerintah, proses suburbanisasi di sekitar Jakarta (dalam hal ini Kota Depok) pada dasarnya adalah juga sebagai dampak dari adanya kebutuhan politis pemerintah untuk membangun kota metropolitan modern. Sedangkan peningkatan lahan terlantar terjadi juga akibat proses suburbanisasi. Proses terjadinya suburbanisasi memiliki implikasi peningkatan nilai lahan (land rent) karena tingginya kebutuhan akan lahan. Diduga bertambahnya lahan terlantar disebabkan karena kepemilikan lahan tersebut sudah berpindah tangan ke masyarakat DKI Jakarta. Menurut informasi masyarakat di 55

11 lokasi penelitian menyebutkan bahwa lahan terlantar tersebut banyak dimiliki oleh pejabat pemerintah dan kelompok masyarakat menengah ke atas yang berdomisili di Jakarta. Akhirnya penggunaan lahan yang memiliki nilai ekonomi rendah, yang dalam hal ini vegetasi campuran mengalami konversi menjadi lahan terlantar pemukiman yang bernilai ekonomi lebih tinggi Laju Pengurangan dan Penambahan Luas Lima Jenis Penggunaan Lahan Laju penambahan dan pengurangan penggunaan lahan selama kurun waktu tahun disajikan pada Tabel 10. Dari Tabel 10 diketahui jenis penggunaan lahan terlantar di DTA Situ Jatijajar mengalami peningkatan yang sangat besar dengan rata-rata laju penambahan sebesar 15,76% per tahun. Sedangkan rata-rata laju penambahan permukiman tertinggi sebesar 7,66% per tahun dijumpai di DTA Situ Pedongkelan. Sebaliknya, tegalan dan vegetasi campuran justru mengalami penurunan yang cukup besar dengan rata-rata laju penurunan luas berturut-turut sebesar -12,71% dan -12,28% per tahun. Hal yang sama juga terjadi pada lahan sawah dengan rata-rata laju penurunan sebesar - 5,68% di DTA Situ Pedongkelan. Kondisi ini sangat logis terjadi karena DTA Situ Pedongkelan merupakan salah satu kawasan industri dan memiliki aksesibilitas dan kegiatan ekonomi yang tinggi karena berbatasan langsung dengan Propinsi DKI Jakarta. Dalam hal ini ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi seperti makin banyaknya kawasan industri. Hal ini menjadi faktor pendorong terjadinya peningkatan pertumbuhan penduduk yang pada gilirannya meningkatkan kebutuhan lahan areal permukiman, industri dan jasa. 56

12 Tabel 10. Rata-rata Laju Penambahan/Pengurangan Lima Jenis Penggunaan Lahan di Beberapa DTA Situ Kota Depok tahun No Nama Situ Rata-rata Penambahan/Pengurangan (%/tahun) Permukiman Lahan terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran 1 Citayam 3,14 7,14 0,80-5,17-3,10 2 Cilangkap 4,34 10,54 6,20 0,97-8,08 3 Rawa Kalong 0,58 8,04 4,90-8,25-7,85 4 Jatijajar 4,72 15,76 5,84-4,33-1,58 5 Cilodong 7,25 6,08-0,44-2,21-0,29 6 Tipar 7,41 2,97 4,03-7,57-8,35 7 Pedongkelan 7,66 8,44-5,68-12,71-12,28 Rata-rata 5,01 8,42 2,23-5,61-5,93 CV (Koefisien Variasi) 0,52 0,47 1,93-0,79-0,73 Ket: tanda positif (+) menyatakan laju penambahan luas areal (%), tanda negatif (-) menyatakan laju pengurangan luas areal (%) Pada Gambar 12a sampai dengan Gambar 12g merupakan laju penambahan/pengurangan penggunaan lahan di Daerah Tangkapan Air di ketujuh lokasi situ yang diteliti. Di seluruh DTA situ antara tahun dan yang mengalami peningkatan adalah lahan permukiman dan lahan terlantar, sedangkan vegetasi campuran mengalami penurunan. Pada Situ Citayam jenis penggunaan lahan permukiman telihat peningkatan yang paling besar pada periode tahun dengan laju sebesar 7,85%/tahun (Gambar 12a). Berbeda halnya dengan lahan terlantar terlihat bahwa laju penambahan terbesar terjadi pada periode tahun sebesar 9,89%/tahun. Pada periode yang sama vegetasi campuran terjadi penurunan yang cukup besar juga dengan laju sebesar 12,50%/tahun. Fenomena ini terkait dengan perembetan kenampakan dimana pada perubahannya diawali dengan adanya lahan pertanian (tegalan dan lahan pertanian lainnya) ataupun lahan bervegetasi lainnya mengalami konversi karena kepemilikan lahan banyak yang beralih ke masyarakat perkotaan (DKI Jakarta) seiring dengan pertumbuhan penduduk sehingga lahan ini berubah menjadi permukiman. 57

13 Perubahan (%) Perubahan (%) Permukiman Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Gambar 12a. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Luas Situ Citayam Perubahan (%) Perubahan (%) Permukiman Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Gambar 12b. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Cilangkap Perubahan (%) Permukiman Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Perubahan (%) Gambar 12c. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Rawa Kalong Perubahan (%) Permukiman Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Gambar 12d. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Jatijajar Perubahan (%)

14 Perubahan (%) Perubahan (%) -20 Permukiman Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Gambar 12e. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Cilodong Perubahan (%) Perubahan (%) Permukiman Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Gambar 12f. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Tipar Perubahan (%) Perubahan (%) Permukiman Lahan Terlantar Lahan Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Gambar 12g. Penambahan/Pengurangan Penggunaan Lahan di DTA Situ Pedongkelan 47 59

15 Lahan permukiman yang terdapat di DTA Cilangkap (Gambar 12b) terlihat mengalami peningkatan yang besar pada periode tahun sebesar 4,43% dan pada periode tahun mengalami laju penambahan lagi sebesar2,23%. Pada periode terakhir ini terlihat bahwa peningkatan permukiman tidak sebesar sebelumnya karena kawasan ini sudah mengalami suburbanisasi sebelumnya sehingga lahannya telah didominasi oleh kawasan permukiman. Pada DTA Situ Rawa Kalong terlihat lahan permukiman dan lahan terlantar meningkat sebesar 9,68%/tahun dan 11,94%/tahun periode waktu , sedangkan periode sebelumnya ( ) vegetasi campuran mengalami penurunan dengan laju sebesar 9,56%. Situ Cilodong merupakan situ yang paling banyak didominasi oleh lahan bervegetasi yaitu vegetasi campuran, tegalan dan lahan sawah, namun yang paling besar perubahannya adalah tegalan dengan laju penurunan sebesar 20,8%/tahun ( ). Terhadap laju penambahan lahan sawah terlihat perubahan yang tidak konsisten di ketujuh situ. Hal ini diduga dalam analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) lahan sawah tersebut sebenarnya adalah lahan yang dimanfaatkan untuk sawah ketika situ mengalami pendangkalan atau pinggiran situ tertutup gulma karena gulma tumbuh diawali dari pinggir danau. Tegalan hampir di ketujuh situ mengalami penurunan luas dengan kisaran laju penurunan sebesar 20,82-0,29%, kecuali yang berada di DTA Situ Jatijajar mengalami peningkatan laju pada tahun sebesar 4,48% dan 6,54% pada Situ Rawa Kalong periode tahun Hal ini diduga lahan kosong yang berada di lokasi tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat secara temporal untuk kegiatan pertanian lahan kering. 60

16 5.4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas Situ Analisis ini menggunakan pendekatan model regresi linier berganda seperti yang tersaji pada Tabel 11. Namun untuk menghindari multikolinieritas dalam analisis regresi linier berganda dilakukan terlebih dahulu analisis korelasi terhadap masing masing variabel bebas (Lampiran 7). Berdasarkan uji analisis korelasi ternyata tidak satupun variabel bebas (sembilan variabel) yang saling berkorelasi. Artinya persyaratan analisis regresi terpenuhi sehingga dapat dilanjutkan analisis regresi linier berganda. Maka pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi laju perubahan luas situ dapat diterangkan oleh satu persamaan regresi saja. Tabel 11. Parameter Persamaan Regresi Linier Berganda Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Penurunan Luas Situ Variabel Satuan Persamaan Regresi Persen Penurunan Luas Situ (Y) Konstanta - -5,44** Jarak Desa ke Ibukota Kab. yang Membawahi (X1) km 0,18** Jarak Desa ke Ibukota Kab. Terdekat (X2) km -0,06** Laju Pertumbuhan Penduduk (X3) orang/km 2 0,04 Laju Perubahan Luas Permukiman (X4) %/th 0,08* Laju Perubahan Luas Lahan Terlantar (X5) %/th -0,05* Laju Perubahan Luas Lahan Sawah (X6) %/th -0,04* Laju Perubahan Luas Tegalan (X7) %/th 0,02 TN Laju Perubahan Luas Vegetasi Campuran (X8) %/th 0,01 TN Kelas Kelerengan (X9) % 1,5* R2 0,90 Ket: *) : nyata pada á 0,05 **) : nyata pada á 0,1 T N) : tidak nyata -) tidak termasuk dalam persamaan Dari persamaan model ini menunjukkan bahwa koefisien determinasi sebesar 0,90. Dari angka ini memberikan indikasi bahwa parameter (variabelvariabel penduga) yang dimasukkan ke dalam model regresi cukup mampu menerangkan perilaku dari variabel laju perubahan luas situ sebesar 90%. Jadi model yang dibangun sudah representatif karena mampu menerangkan pengaruh yang berarti terhadap laju penurunan luas situ. 61

17 Hasil analisis regresi linier berganda terhadap laju penurunan luas situ menunjukkan bahwa variabel jarak desa tempat situ berada ke kabupaten yang membawahi berpengaruh nyata positif pada taraf nyata 5% seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Hal ini berarti bahwa semakin jauh letak situ dari ibukota kabupaten yang membawahi (Kota Depok) menyebabkan laju penurunan luas situ luas situ semakin besar pula. Diduga fakta ini terjadi karena adanya kaitan dengan pengawasan lembaga / institusi terkait. Semakin jauh lokasi situ dari pusat pemerintahan (ibukota) kabupaten maka kontrol dalam pengawasan baik dalam pengelolaan maupun pemeliharaan situ menjadi berkurang, sehingga laju penurunan luas situ semakin cepat. Penjelasan lebih lanjut, mekanisme mengapa proses penurunan luas situ makin cepat terjadi karena jauhnya lokasi situ memungkinkan semakin berkurangnya perhatian ataupun kepedulian dalam memonitor eksistensi situ. Berdasarkan tinjauan lapangan, kepedulian pemerintah (dinas terkait) berupa pengendalian dan penertiban kepemilikan lahan oleh pihak yang berwenang di Daerah Tangkapan Air (DTA) situ menjadi milik pribadi sehingga memperkecil DTA situ. Sedangkan berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1998 (Anonimous, 1998) bahwa kawasan situ (termasuk DTA situ) merupakan kawasan lindung yang merupakan milik negara. Disamping kurangnya penertiban kepemilikan lahan, juga pembersihan situ dari gulma dan sampah lainnya dan pengerukan situ tidak dilakukan secara berkala oleh dinas terkait sehingga proses pendangkalan situ semakin cepat terjadi. Situ yang tidak terawat atau tidak adanya pemeliharaan untuk kelestariannya memiliki kondisi yang jelek, banyak 62

18 ditumbuhi oleh gulma serta banyaknya kawasan permukiman di DTA situ lama kelamaan situ mengalami pendangkalan sehingga luas situ menyusut. Variabel jarak desa ke kabupaten terdekat berpengaruh negatif pada taraf nyata 5% terhadap laju penurunan luas situ. Hal ini berarti bahwa semakin dekat lokasi situ terhadap ibukota kabupaten terdekat, mempercepat laju penurunan luas situ. Hal ini diduga karena akesibilitas dengan kabupaten terdekat lebih lancar dengan sarana dan prasarana transportasi yang memadai menyebabkan akses terhadap ekosistem situ lebih mudah sehingga mempercepat penurunan kualitas situ terutama terhadap luas situ. Artinya, kedekatan aksesibilitas terhadap situ menyebabkan semakin besarnya intensitas dan besaran aktifitas sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan ini akan berdampak terhadap lingkungan situ. Kegiatan yang berdampak negatif adalah pembuangan limbah ke lingkungan perairan situ akibat semakin banyaknya lahan terbangun untuk hunian, industri dan jasa lainnya, pengurugan terhadap lahan di badan air situ dan DTA situ akibat pendangkalan, sedimentasi, eutrofikasi dan lain-lain. Penumpukan limbah terutama sampah di areal situ juga memungkinkan luas situ semakin bekurang. Variabel fisik lain yang berrpengaruh terhadap laju penurunan luas situ adalah faktor kelerengan. berdasarkan analisis regresi linier berganda, kelerengan berpengaruh positif pada taraf nyata 1% terhadap laju penurunan luas situ. Semakin tinggi kelas kelerengan di DTA situ mempercepat penurunan luas situ. Tingkat kelerengan yang semakin besar menunjukkan semakin curam suatu daerah. Kelerengan yang curam mempercepat terjadinya erosi. Proses erosi semakin besar terjadi bila berada pada kelerengan DTA situ yang semakin curam 63

19 karena erosi yang membawa sedimen (transpor sedimen) ke tempat yang lebih rendah (ke arah badan air situ) lebih banyak sehingga terjadi sedimentasi sehingga proses penurunan luas situ semakin cepat. Laju penambahan/pengurangan lahan permukiman berpengaruh positif terhadap laju penurunan luas situ pada taraf nyata 10%. Hal ini berarti semakin tinggi laju penambahan luas lahan permukiman menyebabkan semakin tinggi pula laju penurunan luas situ. Fenomena ini diduga terjadi karena penambahan permukiman yang berada pada DTA situ tidak berpengaruh baik terhadap ketersediaan air di areal situ. Peningkatan luas lahan permukiman merupakan gejala proses suburbanisasi (pengembangan wilayah ke arah perkotaan), sehingga lahan-lahan yang tadinya lahan hijau yang dimanfaatkan untuk aktifitas pertanian dan lahan bervegetasi lainnya yang dimanfaatkan juga sebagai kawasan resapan air banyak beralih fungsi menjadi lahan terbangun / lahan permukiman seperti kawasan perumahan, industri, jasa dan lain sebagainya. Berkenaan dengan peningkatan lahan permukiman di DTA situ dengan ketersediaan air situ dapat dijelaskan bahwa lahan permukiman tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan air karena tidak adanya vegetasi yang dapat menyimpan / meresapkan air. Kondisi ini mempercepat terjadinya erosi karena ketika hujan turun, air limpasan lebih besar, sedangkan air yang meresap ke dalam tanah lebih kecil. Erosi ini membawa lapisan atas air tanah (top soil) ke dalam situ sehingga terjadi sedimentasi yang akhirnya situ mengalami pendangkalan. Disamping itu, fenomena lainnya akibat peningkatan lahan permukiman adalah aktifitas masyarakat sekitar di areal situ seperti tempat buangan limbah rumah tangga, limbah industri dan kegiatan perikanan serta aliran sungai / anak 64

20 sungai ke dalam situ yang banyak membawa zat-zat ataupun material lainnya yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme yang terdapat di dalam situ sehingga terjadi eutrofikasi. Eutrofikasi adalah berkembangnya suatu jenis organisme secara tidak terkendali (blooming) akibat melimpahnya zat makanan bagi organisme tersebut. Berdasarkan pengamatan lapangan, indikator yang menyebabkan areal situ mengalami eutrofikasi adalah tumbuhnya gulma terutama jenis eceng gondok dan teratai. Tumbuh-tumbuhan ini dapat ditemui pada hampir keseluruhan situ. Akar tumbuh-tumbuhan kemudian mengikat sedimen (lumpur) yang berada di dasar perairan situ, sehingga proses sedimentasi semakin cepat terjadi akhirnya pendangkalan situ semakin cepat pula. Implikasi dari proses tersebut menyebabkan luas cakupan badan air (water body) situ semakin berkurang. Sedangkan jenis penggunaan yang berpengaruh negatif terhadap laju penurunan luas situ adalah laju perubahan lahan terlantar. Hal ini berarti bahwa laju peningkatan luas lahan terlantar dapat mempertahankan ketersediaan air situ. Diduga karena lahan terlantar yang memiliki karakteristik berupa rerumputan dan semak masih mampu mengurangi air limpasan hujan bila dibandingkan dengan lahan permukiman. Kondisi ini dapat mengurangi erosi kemudian berimplikasi terhadap berkurangnya proses sedimentasi sehingga proses penurunan luas situ menjadi lebih kecil. Hal yang sama juga terjadi pada jenis penggunaan lahan sawah. Laju perubahan lahan sawah berpengaruh negatif terhadap laju penurunan luas situ pada taraf nyata 10%. Artinya, semakin tinggi laju peningkatan / penambahan luas lahan sawah akan memperkecil laju penurunan luas situ. Hal ini juga berkaitan 65

21 dengan stabilitas kondisi fisik lingkungan areal situ terutama terhadap kondisi tanah dan air. Dengan adanya lahan sawah yang ada di DTA situ akan mempertahankan ketersediaan air situ. ketika musim hujan lahan sawah dapat menjadi areal penampungan sementara bagi air sebelum langsung mengalir ke dalam situ. Kondisi ini dapat memperlambat terjadinya erosi yang banyak membawa material-material tanah / lumpur sehingga dapat mengurangi pendangkalan situ. Menurut Asdak (2002) menyatakan bahwa vegetasi yang memiliki tumbuhan yang tinggi kurang memiliki kontrribusi yang nyata terhadap penurunan erosi bila dibandingkan dengan vegetasi yang rendah. Vegetasi rendah yang dimaksud adalah lahan yang didominasi oleh semak, rerumputan dan tumbuhan perdu lainnya. Vegetasi ini lebih tahan terhadap percikan air hujan sehingga erosi dapat dikurangi. Berkaitan dengan hipotesisi penelitian, hasil analisis regresi linier berganda membuktikan bahwa lahan bervegetasi yang dalam hal ini jenis penggunaan lahan terlantar dan lahan sawah mempengaruhi penurunan luas situ. Berarti hipotesis penelitian (Ho) yang pertama telah terbukti (Ha diterima). Sedangkan hipotesis penelitian (Ho) kedua yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk mengakibatkan situ mengalami penurunan. Ternyata dengan melakukan analisis linier berganda penurunan luas situ tidak dipengaruhi oleh kepadatan penduduk sehingga Ho ditolak. Pada Gambar 13a sampai dengan Gambar 13g memperlihatkan hubungan antara luas situ (ha) dengan luas jenis penggunaan lahan (ha) pada masing-masing DTA situ. Di seluruh situ yang diteliti terlihat bahwa luas situ memiliki 66

22 kecenderungan menurun pada periode waktu tahun dan , seiring dengan penambahan luas penggunaan lahan permukiman dan lahan terlantar. Sebaliknya, pada periode waktu yang sama vegetasi campuran mengalami penurunan luas. Penurunan luas vegetasi campuran yang cukup besar terjadi di DTA Situ Cilangkap, Situ Tipar dan Situ Pedongkelan (Gambar 13b, 13f, dan 13g) masing - masing tahun 1991 sebesar 12,33 ha, 6,81 ha, dan 6,36 ha menjadi 2,02 ha, 1,18 ha, dan 0,46 ha pada tahun Apabila dilihat dari proporsi luas penggunaan lahan di seluruh situ yang diteliti terlihat bahwa vegetasi campuran yang paling dominan terdapat di DTA Situ Jatijajar dan Situ Cilodong (Gambar 13d dan 13e), walaupun tetap mengalami penurunan luas dari waktu ke waktu seiring dengan penurunan luas situ masing - masing sebesar 13,17 ha dan 9,3 ha pada tahun 1991 menjadi 9,24 ha dan 8,71 ha pada tahun Pada Situ Jatijajar, jenis penggunaan lahan tegalan juga mngalami penurunan luas sebesar 0,54 ha dibarengi juga dengan penurunan luas situ sebesar 3,5 ha selama kurun waktu 10 tahun ( ). Berbeda halnya dengan lahan terlantar yang terdapat di DTA Situ Cilodong ternyata memiliki kecenderungan meningkat dimana pada tahun 1991 hanya 0,28 ha menjadi 0,92 ha tahun Pada Situ Rawa Kalong terlihat bahwa luas situ mengalami penurunan sebesar 3 ha selama kurun waktu 10 tahun dimana pada tahun 1991 seluas 10,31 ha menjadi 7,31 ha tahun 2001, begitu juga dengan vegetasi campuran yang berada pada DTA situ tersebut mengalami penurunan luas pada tahun 2001 (0,82 ha), sedangkan tahun 1991 memiliki luas sebesar 4,03 ha. Namun permukiman merupakan tipe lahan yang dominan di DTA Situ Rawa Kalong bila 67

23 dibandingkan dengan penggunaan lahan yang lain dengan kecenderungan yang makin luas selama kurun waktu 10 tahun dimana pada tahun 1991 sebesar 11,78 ha meningkat menjadi 13,89 ha pada tahun 2001 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13c. Sedangkan jenis penggunaan lahan sawah dan tegalan tidak memiliki kecenderungan perubahan yang jelas. Hal yang menarik dari perubahan penggunaan lahan adalah pada DTA Situ Tipar dan Pedongkelan terlihat terjadinya perubahan luas penggunaan lahan yang cukup besar (Gambar 13g). Terutama vegetasi campuran mengalami penurunan yang tajam dimana pada tahun 1991 masing-masing luasnya sebesar 6,81 dan 6,36 ha, kemudian pada tahun 1997 mengalami penurunan masing-masing sebesar 3,2 dan 2 ha, tahun 2001 hanya tersisa sebesar 1,18 dan 0,46 ha. Sementara luas Situ Tipar dan Pedongkelan ini juga mengalami penurunan dimana pada tahun 1991 masing-masing sebesar 14,13 dan 7,74 ha menjadi 10,13 dan 5,54 ha pada tahun

24 L u as Penggunaan Lahan (H a ) Tah u n P ermu k i ma n L ah an Terlantar S a w ah Teg al an Veg et as i Campuran S itu Citayam 8,0 0 7,5 0 7,0 0 6,5 0 6,0 0 L u as Situ (Ha) Luas Penggunaan Lahan (Ha) Tahun Permukiman Lahan Terlantar Sawah Tegalan Vegetasi Campuran Situ Cilangkap 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 Luas Situ (Ha) 1,00 0,00 Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Citayam dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Cilangkap dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun , ,0 0 L u a s Penggunaan Lahan (H a) Ta h u n 1 0,00 8,0 0 6,0 0 4,0 0 2,0 0 0,0 0 P e mu k i ma n L a h a n Terlantar S a w a h Te g a l a n V e g e t a s i Campuran S i t u Rawa K along L u a s Situ (Ha) L u as Penggunaan Lahan (Ha) Ta h u n P emu k i ma n L ah a n Terlantar S a w ah Te g al an Veg e t as i Campuran S itu Jatijajar 8,0 0 6,0 0 4,0 0 2,0 0 0,0 0 L u as Situ (Ha) Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Rawa Kalong dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Jatijajar dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun

25 L u a s Penggunaan Lahan (Ha) T a h un P em u k im an L ah an Terlantar Saw ah T egalan V eget as i C am p uran Sit u Cilodong 9,4 0 9,3 0 9,2 0 9,1 0 9,0 0 8,9 0 8,8 0 8,7 0 8,6 0 L u a s Situ (Ha) L u as Penggunaan Lahan (Ha) T ah un P e m uk im a n T e ga la n L a h a n Terlantar Ve ge t a si Cam p uran Sa wa h Sit u T ipar 1 6,00 1 4,00 1 2,00 1 0,00 8,0 0 6,0 0 4,0 0 2,0 0 0,0 0 L u as Situ (Ha) Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Cilodong dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Tipar dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun Luas Penggunaan Lahan (Ha) T ahun 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Luas Situ (Ha) Pemukiman Lahan Terlantar Sawah T egalan Vegetasi Campuran Situ Pedongkelan Gambar 13a. Hubungan Luas Situ Pedongkelan dengan Penggunaan Lahan Periode Tahun

26 5.5. Analisis Pemahaman dan Pemanfaatan Situ oleh Masyarakat Analisis pemahaman dan pemanfaatan situ bagi masyarakat di sekitar situ dilakukan dengan analisis uji t dan uji beda khi kuadrat pada 2 (dua) karakteristik situ yang berbeda. Pertama, situ yang masih tergolong alami dengan ciri-ciri secara fisik warna air yang masih jernih, di sekitarnya masih didominasi oleh vegetasi campuran dan tegalan serta permukiman yang jarang. Kedua, situ yang sudah terpengaruh oleh aktivitas manusia (tidak alami) dengan karakteristik kualitas air yang keruh, disekitar situ didominasi oleh permukiman dan atau industri. Berdasarkan pendapat masyarakat terhadap kondisi situ berdasarkan uji beda ( 2 ) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara rumah tangga yang berada di sekitar situ yang dikategorikan masih alami dengan situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia (Tabel 12 ). Hal ini didukung oleh sebagian besar (57,7%) masyarakat menyatakan kondisi situ masih baik di sekitar situ yang masih alami namun bila dibandingkan dengan masyarakat di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia hanya sebagian kecil (28,7%) yang menjawab kondisi situ masih baik. Sebaliknya mayoritas responden menyatakan kondisi situ buruk pada situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia. T abel 12. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi Kuadrat ( 2 ) terhadap Kondisi Situ pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia 2 Jumlah Persen Frekwensi Persen Baik 22 57, ,7 0,911* Buruk 16 42, ,3 Total Ket: *) nyata pada á

27 Berdasarkan observasi di lokasi penelitian, situ yang relatif alami memiliki air yang lebih jernih, tidak berbau pada musim kering serta jenis dan kerapatan vegetasi pada daerah tangkapan air situ lebih tinggi dibandingkan dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia. Sebaliknya kondisi fisik situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia menunjukkan airnya keruh dan kadang-kadang pada musim kemarau airnya berbau karena limbah rumah tangga dan limbah industri masuk ke badan air situ. Contoh kasus yang terjadi di Situ Rawa Kalong dan Tipar yang berdekatan dengan kawasan industri dimana sebagian masyarakat tidak lagi memanfaatkan situ untuk budidaya ikan karena situ tidak layak lagi menjadi tempat hidup ikan. Kalaupun ikan bisa dibudidayakan namun hasilnya tidak optimal karena tercemar oleh limbah terutama oleh limbah industri Karakteristik Rumah Tangga Responden Hasil uji beda nilai rata-rata umur responden di kedua kelompok situ yaitu situ yang relatif alami dan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia menunjukkan rata-rata umur responden pada kedua kedua kelompok situ tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa usia pada kedua kelompok situ tersebut relatif tidak jauh berbeda dengan rata-rata usia responden di wilayah situ yang relatif alami 57 tahun sedangkan rata-rata usia responden di situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia 54 tahun. Namun Lebih rendahnya rata-rata usia di wilayah situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia cukup logis karena di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia telah terjadi suburbanisasi dimana tingkat pertumbuhan jumlah permukiman dan industri mulai berkembang. Hal ini berarti, pertumbuhan industri 72

28 dan perumahan berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan tenaga kerja. Angkatan kerja ini didominasi oleh kelompok umur yang masih produktif (relatif muda). Tabel 13. Uji Beda Nilai Rata-rata Usia Responden pada Dua Kelompok Situ Variabel Situ Alami Situ yang Terpengaruh oleh Kegiatan Manusia p-level Jumlah Nilai Tengah Jumlah Nilai Tengah Usia (th) ,168 Ket: *) nyata pada á 0.05 Selanjutnya faktor umur dapat menjadi pertimbangan bagi besaran pendapatan seseorang. Ketika umur masih muda (produktif) maka energi dan semangat bekerja lebih besar maka kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik akan lebih besar sehingga otomatis memperoleh pendapatan yang tinggi pula. Tingkat pendapatan responden ternyata memiliki perbedaan antara situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia dengan menggunakan uji beda khi kuadrat pada taraf nyata 5% seperti yang tersaji pada Tabel 14. Dengan melihat distribusi tingkat pendapatan responden di kedua kelompok situ terlihat bahwa pendapatan masyarakat di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia lebih besar dibandingkan dengan situ alami. Hal ini diduga karena sebagian besar masyarakat disekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia memiliki sumber penghasilan dari aktivitas urban seperti sektor industri, dagang dan sektor jasa, sedangkan masyarakat yang berada di sekitar situ yang relatif alami sumber penghasilan utamanya lebih banyak dari aktivitas sektor pertanian. Adapun jenis pertanian yang dimiliki mereka adalah pertanian lahan kering (sayur-sayuran, buah-buahan), sawah, perikanan (jaring apung dan pemancingan). 73

29 Hasil wawancara dengan penduduk di wilayah penelitian menunjukkan pendapatan di sektor pertanian kurang mencukupi kebutuhan hidup mereka karena hasil panen komoditi pertanian bernilai jual rendah. Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan masyarakat menjual lahan pertaniannya untuk kebutuhan hidup sehingga banyak yang menganggur dan bekerja pada sektor non formal (kerja serabutan) karena minimnya pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. T abel 14. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi Kuadrat ( 2 ) Pendapatan Responden/bulan pada Dua Kelompok Situ Kategori Alami Tercemar 2 Jumlah Persen Jumlah Persen < Rp ,4 Rp , ,4 3,402* > Rp , ,2 Total Ket: *) nyata pada á 0.05 Pendapatan rumah tangga juga ditentukan oleh jenis sumber pendapatan (pekerjaan). Sumber pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini terdiri dari sumber pendapatan utama dan sumber pendapatan tambahan. Sumber pendapatan utama masyarakat di kedua kelompok situ tertera pada Tabel 15. Dari Tabel 15 nampak bahwa proporsi terbesar sumber pendapatan utama masyarakat pada situ yang relatif alami yaitu sektor pertanian yaitu 42,1%, sedangkan pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia hanya 17,8%. Sebaliknya, pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia sebagian besar (51,9%) sumber pendapatan utama penduduk dari kegiatan nonpertanian, sedangkan di sekitar situ yang relatif alami hanya 15,8%. 74

30 T abel 15. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi Kuadrat ( 2 ) Sumber Pendapatan Utama pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia 2 Jumlah Persen Jumlah Persen Sektor pertanian 16 42, ,8 11,839* Sektor nonpertanian 6 15, ,9 Campuran, pertanian sebagai 8 21, ,0 sumber utama Campuran, bukan petanian 8 21, ,3 sebagai sumber utama Total Ket: *) nyata pada á 0.05 Kondisi ini erat kaitannya dengan tipologi wilayah yang sudah mengarah pada proses suburbanisasi dimana pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia telah menimbulkan gejala sosial ekonomi yang komplek seperti konversi lahan pertanian ke aktivitas urban, spekulasi lahan dan lain-lain (Rustiadi et al., 1999). Mengenai sumber pendapatan masyarakat yang mengarah pada aktivitas urban maka sumber pendapatan yang sebelumnya berasal dari pertanian akibat konversi lahan beralih pada sektor non pertanian. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan kebanyakan responden beralih profesi sebagai buruh pabrik dan sektor non formal. Gejala ini berkaitan erat dengan pertumbuhan struktur ekonomi wilayah yang banyak bergerak di bidang manufaktur dan jasa. Multiplier effect yang timbul adalah semakin bertambahnya jenis pekerjaan baru dan banyaknya angkatan kerja yang terserap seperti buruh pabrik, berdagang, karyawan swasta, wiraswasta, dan bidang jasa lainnya. Hal yang kontras terjadi pada situ yang relatif alami bahwa sumber pendapatan utama sebagian besar responden adalah sektor pertanian. Hal ini dimungkinkan karena masih luasnya lahan pertanian di sekitar situ yang relatif alami dan juga pemanfaatan situ yang relatif alami masih dominan dengan adanya 75

31 budidaya perikanan air tawar. Disamping, itu situ masih mampu mensuplai air untuk pengairan lahan pertanian, meski dari waktu ke waktu lahan pertanian semakin sempit. Jenis pekerjaan dapat menjadi indikator tingkat pendidikan. Artinya, penduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi banyak berprofesi tidak menggunakan tenaga fisik, tetapi menggunakan kemampuan berfikir. Sebaliknya, penduduk yang berpendidikan lebih rendah atau tidak mengecap pendidikan formal kebanyakan bekerja menggunakan kemampuan tenaga fisik, seperti buruh. Dapat dikatakan pendidikan merupakan wahana yang ampuh untuk mengangkat manusia dari berbagai ketertinggalan dan sebagai salah satu jalan yang cukup efektif untuk melakukan mobilitas sosial dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Para ahli menyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pendapatan dan tingkat pendidikan (Ananta,1988). Maksudnya adalah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang mempunyai kecenderungan semakin tinggi pula pendapatan. Tabel 16 menggambarkan komposisi tingkat pendidikan masyarakat yang berada pada kedua jenis situ. T abel 16. Proporsi dan Hasi l Uji Beda K hi Kuadrat ( 2 ) Tingkat Pendidikan Responden pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia 2 Jumlah Persen Jumlah Persen Maksimal SD 24 63, ,3 3,69* Pendidikan di atas SD 14 36, ,7 Total Ket: *) nyata pada á 0.05 Tabel 16 menunjukkan bahwa mayoritas (63,7%) rumah tangga yang berpendidikan maksimal SD terdapat di sekitar area situ alami. Sebaliknya, lebih dari setengah (54,7%) dari total responden pada situ yang terpengaruh oleh 76

32 kegiatan manusia memiliki penddidkan di atas SD. Berdasarkan uji beda khi kuadrat terdapat perbedaan yang nyata tingkat pendidikan masyarakat antara situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia. Data tersebut menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan pada kedua lokasi situ disebabkan karena rumah tangga yang berada di sekitar situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia lebih maju dan modern sehingga mereka menganggap penting pendidikan. Fenomena ini seiring dengan permintaan industri yang memerlukan tenaga kerja yang berkeahlian, sehingga diperlukan pendidikan yang lebih tinggi. Berbeda dengan rumah tangga yang berada di situ alami, lebih banyak bekerja dibidang pertanian yang tidak memerlukan keahlian khusus Pemahaman Masyarakat terhadap Eksistensi Situ Terhadap pengetahuan masyarakat tentang pengurangan luas situ pada dua kelompok situ yaitu situ yang relatif alami dan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia, hasil pengujian beda khi kuadrat menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan proporsi pendapat masyarakat sebagian besar menjawab bahwa situ telah mengalami pengurangan luas baik pada situ yang relatif alami maupun tercemar masing-masing sebesar 63,2% dan 69,8% (Tabel 17). 77

33 Tabel 17. Proporsi dan Hasil Uji Beda Khi Kuadrat ( 2 ) Pendapat Masyarakat tentang Terjadinya Pengurangan Luas Situ pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia 2 Jumlah Persen Jumlah Persen Ya (Terjadi Penyusutan) 24 63, ,8 0,500 Tidak (tidak Terjadi Penyusutan) 14 36, ,2 Total Ket: *) nyata pada á 0.05 Menurut responden, seluruh situ di wilayah penelitian sebagian besar telah mengalami penyusutan. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dapat diketahui bahwa pendangkalan situ juga dipicu oleh aliran sungai yang membawa lumpur masuk ke dalam situ. Akibatnya selain terjadinya pendangkalan juga terjadi eutrofikasi karena lumpur yang terbawa banyak mengandung bahan organik. Selain itu, menurut pendapat masyarakat bahwa adanya pengurugan situ memperkecil luas situ. Sebagian besar masyarakat berpendapat situ pernah diurug di kedua kelompok situ yaitu masing-masing sebesar 76,3% pada situ yang relatif alami dan 64,3% pada situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 18. Namun hasil uji beda khi kuadrat terhadap pernyataan masyarakat tentang areal situ pernah diurug menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pendapat masyarakat di sekitar situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh aktivitas manusia. Hasil observasi di lokasi penelitian menunjukkan pengurugan situ dilakukan oleh masyarakat sendiri, namun ada juga yang dilakukan oleh investor (swasta) untuk kawasan perumahan. Pengurugan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar akibat situ yang mengalami pendangkalan sehingga sebagian menjadi daratan. Kawasan ini diklaim menjadi hak milik. Sedangkan pengurugan yang 78

34 dilakukan oleh swasta dilakukan berdasarkan izin aparat setempat. Kondisi ini akan berakibat buruk terhadap eksistensi situ. Daerah tangkapan air situ menjadi mengecil sehingga semakin sedikit daya tampung air oleh situ. Apabila tidak dilakukan upaya penertiban areal situ kemungkinan akan terjadi penurunan luas situ dan mungkin situ berubah menjadi daratan. T abel 18. Proporsi dan Hasil Uji Beda K hi Kuadrat ( 2 ) Pendapat Masyarakat terhadap Apakah Situ Pernah Diurug pada Dua Kelompok Jenis Situ Kategori Situ Relatif Alami Situ yang Terpengaruh oleh Manusia 2 Jumlah Persen Jumlah Persen Ya 29 76, ,3 2,081 Tidak 9 23, ,7 Total Ket: *) nyata pada á 0.05 Hasil uji beda khi kuadrat terhadap pendapat masyarakat tentang konversi lahan memiliki pengaruh terhadap eksistensi situ menunjukkan respon yang berbeda nyata antara masyarakat di sekitar situ yang relatif alami dengan situ yang terpengaruh oleh kegiatan manusia (Tabel 19). Indikator yang mendukung pernyataan ini adalah besarnya proporsi pendapat masyarakat yang menyatakan situ dipengaruhi oleh konversi lahan yaitu 69% pada lokasi situ yang tercemar, sedangkan situ yang relatif alami sebesar 60,5%. Artinya, konversi lahan berpengaruh langsung terhadap kondisi situ. Lebih lanjut, menurut pendapat masyarakat semakin luasnya lahan perumahan dan pembangunan sarana dan prasarana telah menyebabkan kualitas situ semakin buruk. Jika dibandingkan dengan sebelum dibangunnya kawasan permukiman, kondisi situ masih baik sehingga banyak dimanfaaatkan untuk berbagai kebutuhan oleh masyarakat sekitar. Artinya situ yang disekitarnya masih ditumbuhi oleh vegetasi pohon relatif lebih baik dengan dengan situ yang disekitarnya merupakan kawasan perumahan dan industri. Kebanyakan jenis tanaman yang tumbuh di sekitar situ 79

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan November 2003 sampai dengan Bulan Mei 2004. Lokasi penelitian dilaksanakan di Kota Depok (Gambar 4).

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) ROSNILA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEBERADAAN SITU (STUDI KASUS KOTA DEPOK) Oleh : ROSNILA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 4 ABSTRAK Rosnila. Perubahan Penggunaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta dan menerima cukup banyak pengaruh dari aktivitas ibukota. Aktivitas pembangunan ibukota tidak lain memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan adalah jatuhnya air hujan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam wujud cair maupun es. Hujan merupakan faktor utama dalam pengendalian daur hidrologi di suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh makhluk hidup baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan dasar. Oleh karena itu, keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik yang saling terkait satu sama lain. di bumi ada dua yaitu ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR Oleh: EVA SHOKHIFATUN NISA L2D 304 153 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Pengelolaan Situ Rawa Badung. akibat pembangunan jalan dan pemukiman (lihat Gambar 3).

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Pengelolaan Situ Rawa Badung. akibat pembangunan jalan dan pemukiman (lihat Gambar 3). VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Deskripsi Pengelolaan Situ Rawa Badung Situ Rawa Badung merupakan salah satu situ DKI Jakarta yang terbentuk secara alami. Semula luas Situ Rawa Badung mencapai 5 Ha, namun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan

BAB I PENDAHULUAN. dan binatang), yang berada di atas dan bawah wilayah tersebut. Lahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi yang meliputi semua benda penyusun biosfer (atmosfer, tanah dan batuan induk, topografi, air, tumbuhtumbuhan dan binatang),

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D

KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D KINERJA PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN RAWA DI KOTA PALEMBANG TUGAS AKHIR Oleh: ENDANG FEBRIANA L2D 306 007 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan lahan yang sangat intensif serta tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan menimbulkan adanya degradasi lahan. Degradasi lahan yang umum terjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan. Aliran permukaan sendiri memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas air yang dimilikinya selain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan

I. PENDAHULUAN. pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Lampung yang selalu bertambah pada setiap tahunnya juga berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan otonomi daerah, serta pertambahan

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 Indonesia dilanda berbagai bencana alam meliputi banjir, tanah longsor, amblesan tanah, erupsi gunung api, dan gempa bumi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Manusia sangat bergantung pada lingkungan yang memberikan sumberdaya alam untuk tetap bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik

Lebih terperinci

3.1 Metode Identifikasi

3.1 Metode Identifikasi B A B III IDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR DAS PENYEBAB KERUSAKAN KONDISI WILAYAH PESISIR BERKAITAN DENGAN PENGEMBANGAN ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT PESISIR 3.1 Metode Identifikasi Identifikasi adalah meneliti,

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG (Studi Kasus: Kelurahan Mangunharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan) T U G A S A K H I R Oleh : LYSA DEWI

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: HENDRA WIJAYA L2D 307 014 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 i ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara dengan jumlah kepulauan terbesar didunia. Indonesia memiliki dua musim dalam setahunnya, yaitu musim

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR

KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR KAJIAN PELUANG PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN HUTAN KOTA SRENGSENG JAKARTA BARAT TUGAS AKHIR Oleh : Elfin Rusliansyah L2D000416 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang

I. PENDAHULUAN. Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan ruang terbuka hijau saat ini mengalami penurunan yang disebabkan oleh konversi lahan. Menurut Budiman (2009), konversi lahan disebabkan oleh alasan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang

PENDAHULUAN. rumah tangga dapat mempengaruhi kualitas air karena dapat menghasilkan. Rawa adalah sebutan untuk semua daerah yang tergenang air, yang 16 PENDAHULUAN Latar Belakang Rawa sebagai salah satu habitat air tawar yang memiliki fungsi yang sangat penting diantaranya sebagai pemancingan, peternakan, dan pertanian. Melihat fungsi dan peranan rawa

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesadaran masyarakat dan adanya hubungan timbal balik terhadap

BAB I PENDAHULUAN. kesadaran masyarakat dan adanya hubungan timbal balik terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan industri yang ada di kota-kota telah menimbulkan kesadaran masyarakat dan adanya hubungan timbal balik terhadap pencemaran, kesehatan dan lingkungan

Lebih terperinci

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang SUMBER DAYA AIR S alah satu isu strategis nasional pembangunan infrastruktur SDA sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian PU 2010 2014 adalah mengenai koordinasi dan ketatalaksanaan penanganan SDA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan ruang darat yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia memanfaatkan lahan dalam wujud penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sistem penggunaan lahan dalam daerah aliran sungai (DAS), berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erosi merupakan proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh tenaga erosi (presipitasi, angin) (Kusumandari, 2011). Erosi secara umum dapat disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Deskripsi Daerah Daerah hulu dan hilir dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak pada 110 33 00

Lebih terperinci

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan DIPRESENTASIKAN OLEH : 1. MAGDALENA ERMIYANTI SINAGA (10600125) 2. MARSAHALA R SITUMORANG (10600248) 3. SANTI LESTARI HASIBUAN (10600145) 4. SUSI MARIA TAMPUBOLON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muka bumi yang luasnya ± 510.073 juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 148.94 juta Km 2 (29.2%) dan lautan 361.132 juta Km 2 (70.8%), sehingga dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Uraian Umum Banjir besar yang terjadi hampir bersamaan di beberapa wilayah di Indonesia telah menelan korban jiwa dan harta benda. Kerugian mencapai trilyunan rupiah berupa rumah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) 1 Pendahuluan Sungai adalah salah satu sumber daya alam yang banyak dijumpai

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang, baik sektor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pariwisata. Hal tersebut tentunya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1 BAB I. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1 BAB I. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan peristiwa alam yang tidak bisa dicegah namun bisa dikendalikan. Secara umum banjir disebabkan karena kurangnya resapan air di daerah hulu, sementara

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi 2 TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi Infiltrasi didefinisikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Umumnya, infiltrasi yang dimaksud adalah infiltrasi vertikal, yaitu gerakan ke

Lebih terperinci

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

PERANAN LAHAN BASAH (WETLANDS) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) 1 Makalah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KTMK 613) Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi Manjemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Pengampu

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci