BAB I PENDAHULUAN.. Hari gini siapa yang tidak kenal narkoba, hampir setiap hari kita disuguhkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN.. Hari gini siapa yang tidak kenal narkoba, hampir setiap hari kita disuguhkan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Hari gini siapa yang tidak kenal narkoba, hampir setiap hari kita disuguhkan berita di televisi tentang penangkapan pengedar atau pengguna narkoba. Sadisnya lagi peredarannya yang semakin marak tanpa mengenal batas kota atau desa dan menyentuh semua lapisan masyarakat baik dari kelas atas hingga kelas menengah ke bawah.. Dari semboyan tersebut di atas menunjukkan bahwa penyalahgunaan dan peredaran narkotika (dulu narkoba) merupakan suatu problematika tersendiri bagi pemerintah Indonesia khususnya aparat penegak hukum (Polri, BNN, Kejaksaan dan Pengadilan), sehingga problematika tersebut menjadi sebuah pekerjaan rumah (PR) besar bagi aparat penegak hukum. Penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia sudah pada taraf yang mengkhawatirkan. Bukan hanya di kalangan remaja di perkotaan, bahkan sudah menjalar ke kalangan anak-anak di daerah pedesaan. Dari hasil penelusuran penulis, 1 pada tahun 2015 penyalahguna narkotika di Indonesia sudah mencapai 1,5% penduduk Indonesia atau sekitar 3,3 juta orang. Dari 80% pemuda, sudah 3% yang mengalami ketergantungan pada berbagai jenis narkotika. Bahkan menurut Kalakhar BNN, setiap harinya ada 40 orang meninggal dunia di negeri ini akibat over dosis narkotika. Angka ini bukanlah jumlah yang sebenarnya dari penyalahguna narkotika. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar yaitu sepuluh kali lipat dari jumlah penyalahguna yang 1 Taat Subekti, Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia: Pandangan dari Sisi Pengembangan Modal Insani, diunduh dari search terakhir tanggal 30 April

2 2 ditemukan. Oleh karenanya, penyalahgunaan dan peredaran narkotika ini bagaikan fenomena gunung es. Dari data di atas menunjukkan bahwa penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia sudah marak, meskipun sudah banyak tersangka pengedar narkotika yang divonis hukuman mati dan bahkan telah menjalani eksekusi mati di lapangan tembak Limusbuntu, pulau Nusakambangan. Namun pelaksanaan eksekusi mati tidak mempengaruhi semangat para tersangka pengedar narkotika untuk menjalankan pekerjaan haramnya dengan memasukkan (meng-import) narkotika ke Indonesia dan mengedarkan narkotika ke seluruh wilayah pelosok Indonesia terutama kota-kota besar. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, ada beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya peredaran narkotika di Indonesia, meliputi: 2 1. Berlakunya hukum pasar supply and demand. Selama demand (permintaan) masih ada, maka selama itu supply (penyediaan) akan berusaha ada. Dalam kata lain, selama pemakai dan pembeli masih ada, maka selama itu penjual akan selalu ada. Sehingga ada atau tidaknya peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di seluruh dunia termasuk di Indonesia, adalah tergantung dari masyarakat di dunia dan rakyat Indonesia itu sendiri. 2. Hukum dan kekuatan-kekuatan sosial, Kekuatan uang sangatlah berpengaruh, untuk menutupi keperluan hidup yang tidak mencukupi dari gaji yang didapat, dan sebagian untuk menyamakan gaya hidupnya dengan gaya hidup orang lain yang lebih mapan. Bahkan kekuasaan yang berlandaskan hukum dipakai untuk mendapatkan uang. Jika diperhatikan dari fakta sosial, aparatur hukum di Indonesia belum sepenuhnya professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tidak jarang terjadi aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya untuk kepentingan pribadi, banyak diantara aparat penegak hukum membuka jalan untuk melanggar hukum dan menimbulkan korupsi dan pungli. Sebagai contoh kasus Jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita yang diduga menggelapkan barang bukti sebanyak 343 butir ekstasi. Dalam kasus ini aparat hukum bertindak merugikan Negara demi mencari keuntungan pribadi untuk memenuhi gaya hidupnya dan sangat ironis seorang penegak hukum di Indonesia yang seharusnya menjadi penegak hukum justru melakukan tindakan yang mencoreng citra dan kewibawaan lembaga penegak hukum. 2 Budi Setioko, Faktor Penyebab Pengedaran Narkoba di Indonesia dilihat dari Aspek Sosiologi Hukum, diunduh dari search terakhir tanggal 18 September 2009.

3 3 3. Efektivitas hukum dalam masyarakat. Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Sudah sejauhmana hukum itu diterapkan, apakah sanksi yang diberikan oleh aparat penegak hukum sudah mempunyai efek jera kepada para pelaku kejahatan narkoba?. Berapa tahun sanksi yang diberikan kepada orang yang terlibat dalam kasus narkoba baik itu pemakai maupun pengedar, tapi masih saja marak peredaran narkoba tersebut. Ini membuktikan bahwa hukum belum berjalan efektif karena banyaknya sanksi yang dijatuhkan tidak semuanya tegas, malah kadang selesai sebelum sampai diperiksa di pengadilan. Berbicara mengenai efektivitas hukum yang ditentukan oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum termasuk para penegaknya, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa.taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Selain adanya beberapa faktor yang mempengaruhi maraknya peredaran narkotika, faktor lain yang lebih membahayakan yaitu dampak yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkotika, yaitu kecanduan narkotika. Hal ini sebagaimana disampaikan Togar M. Sianipar, sebagai berikut: 3 Dampak yang terlihat jelas yaitu timbulnya gangguan kesehatan seperti gangguan sistem saraf yang menyebabkan sakit kepala, mual, muntah, kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi, insomnia, dan sebagainya. Dampak lainnya adalah tertular penyakit berbahaya seperti penyakit kelamin, penyakit kulit, HIV/AIDS, dan hepatitis B serta berpotensi mengalami overdosis yang mengakibatkan kematian. Pengaruh secara psikis dapat dilihat dengan adanya perubahan pada kehidupan mental emosional berupa gangguan perilaku yang tidak wajar, penurunan kemampuan berpikir, depresi, perubahan persepsi sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah, penurunan kepercayaan diri, kurang konsentrasi, penurunan kemampuan tubuh, kecenderungan untuk berbuat kasar, dan menyakiti diri sendiri (bunuh diri). Dalam kehidupan sosial, pemakai narkoba yang mengalami gangguan tidak bisa menjalankan fungsinya ditengah-tengah masyarakat sehingga berpotensi untuk dikucilkan/dikeluarkan dari tempat ia bekerja, rusaknya hubungan dalam keluarga, dan akan terjadi anti sosial, asusila, atau tindak kejahatan lainnya. 3 Togar M. Sianipar, 2004, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. (Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia), hlm.89.

4 4 Mengingat begitu bahayanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka penanganan atau proses penyidikannya wajib diprioritaskan dari proses penanganan perkara pidana lainnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut bunyinya: 4 Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya. Selanjutnya bahwa proses pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selain Pasal 74 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, maka dalam pelaksanaan penegakan hukum (mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan), penyidik Polri khususnya penyidik Satuan Narkoba berpedoman pada pertama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) 5 ; kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 6 ; dan ketiga, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terutama Pasal 81, Pasal 82 ayat (1) dan (2), Pasal 87 ayat (1) dan (2), dan Pasal 88 ayat (1) dan (2). Dari beberapa payung hukum tersebut di atas, penyidik Polri cq. Satuan Narkoba memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap barang bukti narkotika dan alat angkut berupa kendaraan bermotor yang digunakan untuk membawa/mengangkut narkotika. Penyitaan dimaksud menurut Pasal 1 angka 16 KUHAP, merupakan 4 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 5 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). 6 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

5 5 serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Penyitaan atau perampasan benda sebagaimana dimaksud di atas, merupakan salah satu bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada terhukum dimana semua alat-alat atau benda-benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dirampas oleh negara. 7 Untuk itu, penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) maka sesuai ketentuan Pasal 38 KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun dalam keadaan mendesak, penyitaan dapat dilakukan penyidik lebih dahulu dan kemudian setelah itu wajib segera dilaporkan ke Ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh persetujuan. Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan yaitu: 8 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; 2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; 4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Arti penting masalah penyitaan tercermin dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, walaupun dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik harus segera bertindak dan dapat melakukan penyitaan hanya atas 7 Salim HS, 2006, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, cetakan ketiga, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

6 6 benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan guna mendapatkan persetujuan. Penyitaan sangat erat hubungannya dengan hak-hak asasi manusia. Dalam melakukan suatu penyitaan harus diusahakan adanya imbangan yang layak. Imbangan antara kepentingan instansi dalam melakukan penyitaan terhadap orang yang disangka telah melakukan tindak kejahatan di satu pihak, dengan kepentingan orang itu sendiri di lain pihak serta untuk kepentingan masyarakat dimana orang tersebut memegang peranan penting dalam proses penyidikan tindak pidana. 9 Penyitaan dengan surat perintah merupakan syarat objektif, yang dapat diuji kebenarannya oleh orang lain, misalnya hakim waktu mengeluarkan perintah melakukan penyitaan atas permintaan jaksa dan waktu menerima pengaduan dari terdakwa. Banyaknya aturan tentang penyitaan memberi petunjuk adanya usaha dari pembentuk Undang-undang untuk membatasi tindakan penyitaan pada keadaankeadaan yang secara objektif dirasa sangat perlu sehingga hak asasi manusia tetap dijunjung tinggi. Meskipun demikian dapat ditemukan beberapa kekurangan dalam hal penyitaan ini, misalnya polisi tidak menunjukkan surat perintah penyitaan dalam melakukan penyitaan sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang; atau hakim dalam hal ini dapat memberi atau menolak ijin perpanjangan waktu penyitaan, tidak diwajibkan untuk menyelidiki perkaranya dengan mempertimbangkan alasanalasannya, maka untuk itu penyitaan terhadap barang bukti dilakukan semata-mata untuk dapat mempermudah pelaksanaan pengusutan. 10 Seiring dengan Pasal 39 KUHAP tersebut, maka salah satu benda atau barang bukti yang dapat disita oleh penyidik Satuan Narkoba yaitu alat angkut berupa 9 Leden Marpaung, 2002, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm Ibid., hlm.84

7 7 kendaraan bermotor roda dua (R2) atau roda empat (R4), dalam tulisan ilmiah ini difokuskan pada kendaraan bermotor roda empat (R4). Dalam pelaksanaannya, seringkali barang bukti berupa alat angkut kendaraan bermotor yang digunakan untuk membawa/mengangkut narkotika yang disita penyidik Satuan Narkoba, merupakan bukan milik pribadi pelaku tindak pidana, melainkan milik pihak ketiga yang didasarkan atas suatu hubungan hukum yang sah, seperti pihak ketiga mempunyai hubungan hukum yang sah atas barang yang menjadi barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Misalnya hubungan berdasarkan sewa-menyewa yang dimiliki oleh perusahaan sewa kendaraan, hubungan leasing maupun hubungan hutang piutang dimana barang yang menjadi barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika tersebut adalah barang jaminan fidusia. 11 Dalam konteks barang bukti, Pasal 194 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang, barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Berkenaan dengan pihak yang paling berhak atau pemilik sah dari benda yang disita oleh penyidik, maka mekanisme pengembalian benda sitaannya diatur dalam Pasal 46 KUHAP, yaitu : Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

8 8 (1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. (2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Dalam ketentuan Pasal 194 ayat (1) KUHAP juga mengatur : Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Seiring dengan barang yang dimiliki bersama dengan orang lain, maka ada 2 (dua) pendapat yang berbeda, yaitu ada yang mengatakan tidak dapat dirampas, ada pula yang berpendapat dapat dirampas. Dalam hal ini, Noyon-Langemeijer mengatakan tidak dapat dirampas, hal tersebut menurut Andi Hamzah karena merupakan suatu hak yang tidak dapat dirampas, sedangkan milik bersama ini adalah suatu hak. 13 Pada prinsipnya menurut M. Yahya Harahap kecuali mengenai benda sitaan yang sifatnya terlarang atau dilarang mengedarkan, benda sitaan harus dikembalikan kepada orang dari siapa benda itu disita atau kepada mereka "yang paling berhak" baik dalam wewenang pengadilan maupun dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan, sama dengan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada instansi penyidik dan 13 Andi Hamzah, 2006, Sistem Peradilan Pidana dari Retribusi ke Reformasi, (Jakarta: Pradnya Paramita), hlm.51

9 9 penuntut umum. 14 Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada setiap instansi penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan atas benda sitaan, pada hakikatnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP. Dari uraian yang dimuat dalam latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dan dianalisis yaitu pertama, barang bukti berupa kendaraan bermotor yang disita oleh penyidik Satuan Narkoba, ada juga statusnya masih sewa pakai (leasing) sehingga hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam hal mekanisme permohonan pengambilan/pengembalian barang bukti yang disita/dirampas untuk proses penyidikan tindak pidana narkotika. Kedua, belum adanya ketentuan biaya dalam proses pengambilan barang bukti kendaraan bermotor yang statusnya masih leasing. Ketiga, pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dalam memutus perampasan dan pengembalian barang bukti kendaraan bermotor yang digunakan untuk membawa dan/atau mengangkut narkotika. Dari ketiga permasalahan tersebut dipandang perlu untuk mengkaji secara normatif empiris terutama dalam hal kepastian hukum. Karenanya dalam tulisan ilmiah (Tesis) ini, penulis sengaja merumuskan judul Kajian Hukum Atas Disitanya Objek Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Roda 4 (Empat) Dalam Perkara Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika. B. Perumusan Masalah Berlandaskan pada latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mendorong penulis untuk merumuskan permasalahan, berikut ini Apakah langkah-langkah konstruktif yang dapat dilakukan oleh pihak leasing setelah mengetahui bahwa objek jaminan fidusia yang disita dan dirampas sebagai barang bukti dalam perkara penyalahgunaan dan peredaran narkotika?. 14 M. Yahya Harahap, 2004, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi ke-2, cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm.313

10 10 C. Tujuan Penelitian Tujuan merupakan arah dari suatu penelitian. Tujuan penelitian harus disesuaikan dengan rumusan masalah. Bila permasalahan mempertanyakan hal-hal yang belum diketahui, maka tujuan merinci apa saja yang ingin diketahui, sehingga jika permasalahan sudah terjawab maka tujuan penelitian sudah tercapai. Karenanya, tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengkaji dan menganalisis langkah-langkah konstruktif pihak leasing setelah mengetahui bahwa objek jaminan fidusia yang disita dan dirampas sebagai barang bukti dalam perkara penyalahgunaan dan peredaran narkotika. D. Manfaat Penelitian Dari tujuan penelitian dimaksud, sehingga dapat diketahui bahwa manfaat dari penelitian ini terdiri atas 2 (dua) manfaat, sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis, diharapkan dapat dijadikan : a. Sumber ilmu pengetahuan tambahan bagi para peneliti baik peneliti yang berasal dari program PascaSarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun dari perguruan tinggi lainnya. b. Sumber referensi tambahan baik untuk perpustakaan kampus PascaSarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun perpustakaan umum, yang diharapkan melalui penelitian ini dapat menambah wawasan bagi mahasiswa dan akademisi di bidang hukum berkenaan dengan perlindungan hukum bagi pemegang jaminan fidusia atas disitanya objek fidusia (alat angkut berupa kendaraan) sebagai barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika.

11 11 2. Manfaat Praktis, diharapkan dapat dijadikan : a. Sebagai studi banding bagi perusahaan pembiayaan, praktisi hukum dan penegak hukum dalam perkara perlindungan hukum bagi pemegang jaminan fidusia atas disitanya objek fidusia sebagai barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika. b. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tambahan bagi peneliti sendiri maupun masyarakat umum yang berkeinginan untuk mengetahui bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh pemegang jaminan fidusia dalam perolehan kembali barang miliknya (alat angkut berupa kendaraan) yang disita dan dirampas sebagai barang bukti dalam tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran narkotika. E. Keaslian Penelitian Dari hasil penelusuran kepustakaan, baik perpustakaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) maupun penelusuran melalui media google, menunjukkan bahwa penelitian mengenai Kepastian Hukum atas Disitanya Objek Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Roda 4 (Empat) dalam Perkara Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika, tidak ada satupun peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian sejenis. Menurut penulis, hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya tingkat kesulitan penelitian penulis yang membahas mengenai Kepastian Hukum atas Disitanya Objek Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Roda 4 dalam Perkara Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika, yang begitu sangat sulit. Untuk itu, diharapkan penelitian penulis dapat memberikan kontribusi yang begitu berarti bagi semua pihak yang terkait.

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana umum maupun pidana khusus, seperti kasus korupsi seringkali mengharuskan penyidik untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika pada hakekatnya sangat bermanfaat untuk keperluan medis dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada umumnya mengatur secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sidang pengadilan. Penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. sidang pengadilan. Penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri untuk memperoleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum tindak pidana narkotika, dimulai dari penyelidikan kemudian dilanjutkan penyidikan sebelum dilaksanakan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015 PEMBUKTIAN SUATU TINDAK PIDANA BERDASARKAN BARANG BUKTI MENURUT PASAL 183 KUHAP 1 Oleh: Giant K. Y. Sepang 2 Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana status barang bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan- peraturan yang menentukan perbuatan apa saja yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS Setio Agus Samapto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Didalam kecelakaan lalu - lintas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang terus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material berdasarkan Pancasila dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Bahaya narkotika di Indonesia saat ini semakin mengkhawatirkan bangsa-bangsa beradab hingga saat ini. Sehingga Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya Indonesia merupakan Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan dan Undang-undang Dasar 1945 menghendaki adanya persamaan hak,tanpa membeda-bedakan Ras,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya,narkotika berkembang sangat pesat. ketergantungan bahkan ada yang meninggal akibat Narkotika

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya,narkotika berkembang sangat pesat. ketergantungan bahkan ada yang meninggal akibat Narkotika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitentis maupun semi sitentis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan

C. Penggeledahan Definisi Penggeledahan rumah penggeledahan badan Tujuan Pejabat yang berwenang melakukan penggeledahan Tata cara penggeledahan C. Penggeledahan Definisi Menurut M. Yahya Harahap, penggeledahan yaitu adanya seorang atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang, kemudian petugas memeriksa segala sudut rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.901,2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Tahanan. Pengeluaran. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-24.PK.01.01.01 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan fisik maupun pembangunan mental spiritual

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal ini

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5 Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) 3.5.1 Kewenangan Penyidikan oleh BNN Dalam melaksanakan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang bersifat merusak, baik merusak mental maupun moral dari para pelakunya, terlebih korban yang menjadi sasaran peredaran

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam setiap pelanggaran hukum yang menjadi perhatian adalah pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus pelanggaran hukum tersebut.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana Sebagaimana yang telah diuraikan oleh banyak pakar hukum mengenai hukum pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat kejahatan terhadap harta benda orang banyak sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap kepentingan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang praperadilan menurut hukum acara pidana dan bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1 I. PENDAHULUAN Sebagai akibat aktivitas perekonomian dunia, akhir-akhir ini pemanfaatan hutan menunjukkan kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T No. 339, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pencucian Uang. Asal Narkotika. Prekursor Narkotika. Penyelidikan. Penyidikan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELIDIKAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL HSL RPT TGL 13 JULI 2009 PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Negara Indonesia secara konstitusional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata materiil dan spiritual

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana narkoba ini, diperlukan tindakan tegas penyidik dan lembaga

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana narkoba ini, diperlukan tindakan tegas penyidik dan lembaga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini peredaran narkoba semakin merajalela, dan dalam menjalankan aksinya pun para pengedar menggunakan berbagai macam cara. Untuk mengatasi tindak pidana

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan 78 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian akibat tidak sahnya penangkapan dan penahanan melalui proses praperadilan, maka dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkotika melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMUSNAHAN BARANG BUKTI NARKOTIKA DITINJAU DARI UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 1 Oleh : Yosia Herman 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

Lebih terperinci

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik 1 Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik Novelina M.S. Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Penyidikan suatu tindak pidana adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia dikenal dengan Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertujuan mewujudkan

Lebih terperinci