II. ARAH MASA DEPAN KEHUTANAN. A. Pengantar

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. ARAH MASA DEPAN KEHUTANAN. A. Pengantar"

Transkripsi

1 A. Pengantar II. ARAH MASA DEPAN KEHUTANAN Sektor kehutanan telah memainkan peran yang menonjol dalam perekonomian nasional melaui perolehan devisa, penyediaan papan dan bahan baku industri, pembukaan wilayah, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan pengembangan wilyah. Kontribsusi sektor kehutanan secara riil ditunjukan, pendapatan negara disumbangkan dari sektor kehutanan sekitar 7-8 milyar USD per tahu, penerimaan pajak dan non pajak, penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 4 juta orang (dengan multiplier effeknya sebanyak juta orang), pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah provinsi (PDRB) berkisar antara persen, pembukaan wilayah melalui jalan tercatat sepanjang 46 ribu km di seluruh Indonesia serta fasilitas umum lainnya seperti sekolah, tempat ibadah serta yang lainnya. Namun demikian kinerja sektor kehutanan cenderung menurun akibat konsentasi orientasi pengembangan yang tidak seimbang, orinetasi pengembangan yang hanya terpusat pada kayu telah menyisisakan berbagai permasalahan misalnya okupasi lahan, penurunan kuantitas dan kualitas SDH, produktiftas menurun serta berbagai permaslahan sosial yang semakin banyak muncul ke permukaan. Hal ini didorong oleh belum mantapnya tata pemerintahan baru, akibat euphoria repormasi yang tidak dapat dikendalikan dan dihindari. Menyadari hal tersebut paradigma penyelenggaraan pembangunan kehutanan ke depan berubah dari orientasi timber forest management menjadi forest resources management, yang diharapkan dapat menjamin terhadap pengelolan hutan yang lesatri untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut telah diterjemahkan dalam visi pembangunan kehutanan, yakni Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat Pembangunan kehutanan yang diarahkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat tersebut, akan memposisikan SDH sebagai bagian penting bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Peningkatan produktivitas SDH hutan selain berdampak terhadap peningkatan kesejahteraaan masyarakat, juga REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 1

2 meningkatkan efisiensi pengelolaan SDH. Peningkatan produktivitas SDH akan meningkatkan produksi hasil hutan, sehingga memperluas kesempatan usaha di sektor kehutanan. Dengan tingkat efisiensi yang tinggi, maka daya saing produk hasil hutan Indonesia akan bersaing di pasar domestik maupun pasar global. Dengan demikian revitalisasi industri kehutanan akan mempercepat upaya memposisikan SDH dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, perluasan peluang usaha di sektor kehutanan dan meningkatkan daya saing produk hasil hutan. Arah revitalisasi industri kehutanan sejalan dengan arah pembangunan kehutanan kedepan sesuai dengan visi pembangunan kehutanan, yang dijabarkan ke dalam misi pembangunan kehutanan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 41 tahun 1999 sebagai berikut: 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau. 2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem perairan yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk mencapai manfaat lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari. 3. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). 4. Mendorong peran serta masyarakat. 5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. 6. Memantapkan koordinasi antara pusat dan daerah. Pembangunan kehutanan ke depan ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari yang dapat memberikan kesejahteraan masyarakat yang secara umum tercermin pada kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Dengan memperhatikan kondisi sumberdaya hutan saat ini, kondisi umum yang diinginkan adalah: 1. Sumberdaya hutan dikelola secara optimal sesuai dengan daya dukungnya; REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 2

3 2. Ekonomi masyarakat terutama pada masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan meningkat sampai dengan taraf sejahtera; 3. Produk hukum di bidang kehutanan yang berkeadilan ditegakan dan diterapkan secara konsisten; 4. Kewenangan dan tanggungjawab di bidang kehutanan didelegasikan secara bertahap kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan di bidang kehutanan ; 5. Pengelolaan sumberdaya hutan yang optimal didukung dengan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sumberdaya manusia yang profesional dan sarana/prasarana yang memadai. B. Posisi Kehutanan dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia Masa Depan. Sumberdaya hutan mempunyai multi fungsi baik yang bersifat langsung (tangible benefit) seperti hasil hutan kayu dan non kayu, maupun yang tidak langsung (intangible benefit), seperti oksigen, kualitas lingkungan, ketersediaan air untuk irigasi (pengairan), dll. Posisi SDH dalam kehidupan masyarakat Indonesia kedepan antara lain: 1. Keberadaan sumber daya hutan mempunyai peran yang sangat penting daalm struktur pembangunan kehutanan, pertanian maupun nasional. Sampai dengan akhir tahun 2004 pemerintah mengklaim keberadaan hutan dapat dipertahankan sebagai kawasan hutan negara seluas 120,35 juta ha. Dari luasan tersebut, yang telah ditunjuk dan dikukuhkan oleh pemerintah seluas 109,9 juta ha, dengan komposisi : hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta ha. 2. Berdasarkan hasil-hasil penelitian, hutan dan perairan Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang tinggi, tercermin dengan keanekaragaman, ekosistem, jenis satwa dan flora. Sejauh ini kekayaan tersebut diindikasikan dengan jumlah mamalia 515 jenis (12 % dari jenis mamalia dunia), REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 3

4 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia), 1531 jenis burung (17 % jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2827 jenis binatang tak bertulang, dan jenis tumbuhan. 3. Pemanfaatan hutan secara komersial terutama di hutan alam, yang dimulai sejak tahun 1967, telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional. Indonesia telah berhasil merebut pasar ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor kayu bulat, kayu kergajian, kayu lapis, dan produk kayu lainnya. Selama tercatat devisa sebesar US$ 16.0 milyar, dengan kontribusi terhadap PDB termasuk industri kehutanan rata-rata sebesar 3,5 %. Sungguhpun demikian masa keemasan industri kehutanan dari sisi produksi dan pengolahan hasil hutan kayu dari hutan alam mulai tahun 1990 mengalami penurunan. 4. Penurunan kontribusi industri kehutanan diimbangi dengan peningkatan hasil hutan bukan kayu. Kontribusi hasil hutan bukan kayu (rotan, arang dan damar) tahun 1999 tercatat US$ 8,4 juta dan pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 19,74 Juta. Sedangkan kontribusi perdagangan satwa dan tumbuhan pada tahun 1999 sebesar US $ 61,3 ribu, meningkat tajam menjadi US$ 3,34 juta pada tahun Peran sektor kehutanan dalam pengembangan wilayah telah tercatat mampu mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi regional daerah pedalaman terpencil antara lain tercermin dari sumbangan terhadap infrastruktur daerah khsusnya dalam membuka sarana transportasi dan sarana pendidikan diwilayah pedalaman. Dengan demikian sektor kehutanan secara langsung maupun tidak langsung telah membantu terwujudnya proses integrasi sosial kultural berbagai komunitas. 6. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga menunjukkan angka yang menjanjikan walaupun proses pelaksanaannya relatif lambat. Mulai tahun 1989 sampai dengan tahun 2003 tercatat sebanyak 96 unit HTI yang diberi ijin areal seluas 5,4 juta ha. Tetapi sampai dengan Tahun 2004 realisasi REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 4

5 penanaman HTI tercatat hanya mencapai 3,12 juta Ha. 7. Peningkatan kapasitas pembangunan hutan tanaman dimasa yang akan datang diperlukan untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri kehutanan yang semula tergantung dari produksi hutan alam. Secara bertahap pemenuhan bahan baku industri kehutanan akan dipenuhi dari hasil hutan tanaman. Pembangunan hutan tanaman secara bertahap akan berbasis masyarakat, sehingga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat, dan membuka peluang berkembangnya kegiatan ekonomi skala mikro. 8. Pada tahun 2000, penyerapan tenaga kerja pada sektor kehutanan mulai dari penanaman, pemanfaatan sampai dengan industri tercatat sekitar 3 juta orang, dengan rata-rata pendapatan pekerja di HPH sebesar Rp. 7,3 juta/tahun/orang, dan untuk di industri Rp. 3.3 juta/tahun/orang. 9. Dari sisi konservasi Sumberdaya alam hayati (SDAH), permintaan pasar terhadap aneka ragam SDAH di masa mendatang akan terus meningkat. Sejauh ini pada tataran global dan nasional pemanfaatan SDAH ternyata belum seiring dengan prinsip kelestarian sehingga jumlah jenis SDAH yang terancam punah meningkat dari tahun ke tahun. Sampai dengan tahun 2004, IUCN dan CITES mencatat 614 jenis satwa dan 1,104 jenis tumbuhan, yang berada di Indonesia, kedalam kelompok terancam kepunahan. Kenyataan ini memaksa pemerintah untuk secara bertahap dan konsisten melaksanakan konservasi SDAH baik secara Insitu dan Exsitu. 10. Ekosistem hutan selain berfungsi menjadi habitat berbagai jenis SDAH juga berfungsi untuk mengatur tata air yang berguna untuk beragam keperluan di daerah hilir seperti iragasi pertanian dan energi listrik. Dalam upaya menciptakan masa depan pertanian yang tangguh dan negara yang mandiri, sumber air yang berada di daerah aliran sungai (DAS) yang berfungsi sebagai catchment area harus terjaga dan berfungsi secara optimal. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 5

6 DAS yang menjadi andalan sumber air bersih, sumber energi listrik dan pertanian modern seperti DAS Cirata, Citarum, dan Asahan dalam keadaan kritis. Sejauh ini pemerintah telah menetapkan 282 DAS prioritas yang harus direhabilitasi dan dikelola secara optimal dari 458 DAS di seluruh Indonesia. 11. Dalam dua puluh tahun medatang kompetisi di bidang kehutanan secara global akan semakin tinggi. Disisi lain sumber daya hutan Indonesia dan kemampuan pulihnya semakin berkurang. Selama ini pemerintah belum benar-benar berupaya mengembangkan ilmu dan teknologi (Iptek) yang tepat guna dan berorientasi kepada teknologi modern sehingga pemanfaatan sumberdaya hutan belum efisien dan belum menghasilkan produk yang bervariasi dan berkualitas tinggi. C. Arah masa depan kondisi masyarakat (petani) pengelola hutan Indonesia. Penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar hutan jumlahnya cukup besar. Keberadaan mereka di dalam dan sekitar hutan, bukanlah semata karena pilihan, melainkan keadaan yang mengharuskan mereka tinggal disana. Tingkat pendidikan, pengetahuan dan akses yang rendah terhadap alternatif sumber pendapatan, mengharuskan mereka menggantungkan kehidupannya terhadap SDH. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan berdampak pada rendahnya produktivitas dalam pengelolaan SDH, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Dengan demikian revitalisasi industri kehutanan, dilakukan melalui peningkatan produktivitas SDH, peningkatan kapasitas masyarakat, penguatan kelembagaan dan memberikan akses yang lebih luas terhadap SDH. Deskripsi arah masa depan masyarakat yang terlibat dalam proses produksi industri kehutanan antara lain: 1. Manfaat hutan meningkat dan terdistribusi secara adil dan merata terutama terhadap masyarakat yang kehidupannya bergantung kepada sumberdaya hutan, REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 6

7 melalui pemanfaatan yang produktif; Pendapatan riil masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan terutama yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan meningkat melalui peningkatan pendapatan masyarakat yang lebih layak; - CIFOR (2004) dan BPS (2000) menggambarkan bahwa kurang lebih 48.8 juta jiwa dari 220 juta penduduk Indonesia tinggal di sekitar kawasan hutan, dan sekitar 10.2 juta diantaranya tergolong dalam katagori miskin, sedangkan data terkahir dengan mengambil sampel di 7 provinsi diperkirakan 38,5 juta orang merupakan penduduk sekitar hutan yang miskin. - Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar 6 juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang diantaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Secara tradisi, pada umumnya masyarakat tersebut memiliki mata pencaharian dengan memanfaatkan produk-produk hutan, baik kayu maupun bukan kayu (al. rotan, damar, gaharu, lebah madu). 2. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan meningkat secara proporsional sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki; - Pola-pola uang telah dilakukan untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan, antara lain melalui: Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) oleh 169 pemegang HPH (di luar jawa), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani (di Jawa), serta Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pada tahun 2003 tercatat pelaksanaan PMDH sebanyak 267 desa ( KK), dan HKm seluas ha. - Pengelolaan hutan ke depan, terutama kawasan hutan dengan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang tinngi, diarahkan mellaui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pola ini diupayakn untuk meningkatkan peran serta masyarakat melaui pemebrian hak kepada masyarakat untuk mengelola industri kehutanan. Masyarakat diberi lahan pengelolaan REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 7

8 hutan, dengan pola tumpang sari yang memanfaatkan pola tanam tanaman hutan dan non hutan (jagung, padi atau tanaman non kehutanan yang komersial lainya), pengembangan kelembagaan kelompok tani, pengelolaan komponen-komponen produksi hutan selama daur melalui pola bagi hasil yang proporsional dan berkedilan, ataupun pla-pola lainnya yang memungkinkan. - Program Social Forestry yang telah dicanangkan Presiden 2 Juli 2003 di Palangkaraya, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Social Forestry dikembangkan untuk meningkatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui pengembangan kelola lahan, kelola usaha dan kelola kelembagaan. Social Forestry ini dapat dikembangkan di berbagai fungsi kawasan hutan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Konservasi dengan tanpa merubah fungsi dan status kawasannya. - Kemitraan usaha dengan masyarakat yang berusaha dibidang industri pengolahan kayu dalam skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM) seperti industri furniture dan wood working, dilakukan dengan memberikan jaminan supply bahan baku sebagai bagian atau dalam kerangka pengelolaan hutan lestari. Pola kemitraan masyarakat dengan usaha besar di sekitar kawasan hutan produksi melalui pengelolaan usha hutan skala besar didorong antara lain melalui bentuk kemitraan intiplasma, pelaku dan penyedia bibit tanaman untuk keperluan usaha pembangunan hutan tanaman skala besar dengan pembinaan dari perusahan penampung. - Pada kawasan konservasi akse-akses masayarakat dalam pemanfaatan hutan didorong pada pola-pola yang sesuai dan tepat sejalan denagn arah pengembangan kawasan hutan konservasi. Masyarakat disekitar kawasan konservasi (Taman Wisata Alam), masyarakat (petani hutan konservasi) dapat dibina dan diberi kewenangan REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 8

9 untuk mengelola jasa pemanduwisataan, pengusaha jasa akomodasi penginapan, penjualan produksi barang-barang souvenir, maupun pengelolaan jasa penelitian pada kawasan konservasi lainnya. - Pada areal-areal di luar kawasan hutan, khususnya di tanah milik masyarakat, produktifitas masyarakat daalm usaha kehutanan didorong melalui peningkatan dan pengembangan hutan rakyat (tree farming) yang memanfaatkan tanaman/komoditas kehutanan unggulan di lahan masyarakat. Program ini pula akan medorong usaha-usaha terkait lainnya seperti pembibitan, dan industri-industri kecil serta yang lainnya. Pada akhirnya diharapkan dengan sinergisitas yang tinggi dengan sektor-sektor yang land based oriented lainnya, secara sinergis dapat mengembangkan landscaping usaha pertanian yang variatif dalan saling mendukung satu sama lainnya. 3. Keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat di dalam dan sekitar hutan diakui sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan taraf kehidupannya meningkat; 4. Kualitas kesejahteraan masyarakat (pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, perumahan dan lingkungan) yang bergantung pada sumberdaya hutan terutama yang berada di dalam dan sekitar hutan meningkat. D. Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya PPK Indonesia Sektor kehutanan, yang pernah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan mendorong pengembangan wilayah, dewasa ini sedang menghadapi permasalahan yang sangat berat dengan skala multi dimensional yang disebabkan oleh praktek penebangan liar (illegal logging), penyelundupan kayu, konflik kawasan, perambahan hutan, tumpang tindih peraturan perundangan, sehingga menyisakan lahan kritis (terdegradasi) seluas 42,1 juta hektar. Untuk tetap mencapai cita-cita kondisi hutan lestari yang mampu mensejahterakan masyarakat, maka arah pembangunan kehutanan ke depan ditekankan pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Keberadaan hutan terjamin dan berjalan sesuai fungsinya (konservasi, lindung dan produksi); Kawasan REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 9

10 hutan dapat dipertahankan dan berfungsi secara optimal, proporsional dan adil, yang menjamin terhadap keberlangsungan produksi, perlindungan dan mampu menyangga kehidupan masyarakat. Luas kawasan hutan dapat dipertahankan sedikitnya seluas 120,35 juta Ha, dan terkelola secara mantap, yang dapat menjamin terlaksana pengelolaan hutan lestari. 2. Proses ekosistem esensial berjalan optimal dan keanekaragaman hayati sumberdaya hutan terjaga.; Keanekaragaman sumberdaya hutan terjaga dan terlindungi Pengembangan Usaha-usaha Konservasi SDAH di Indonesia harus dipadukan dengan prinsip pemanfaatan yang lestari dan mendapat dukungan dari para pihak, dan dijadikan salah satu alat diplomasi Indonesia dalam meningkatkan citra negara, kerjasama teknologi global, dan perekonomian negara sesuai dengan target pembanguan global yang berkelanjutan (MDGs). 3. Daerah Aliran Sungai (DAS) dikelola secara optimal agar fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan terpelihara. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) serta pengelolaan DAS prioritas harus dapat menjamin kelangsungan tata air sehingga dapat dihindari bencana alam, banjir, dan tanah longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau. RHL dan pengelolaan DAS harus dapat menjamin suply air bersih untuk masyarakat dan industri di daerah hilir, dan pengembangan kelistrikan yang berbasis hyrdropower. RHL dan pengelolaan DAS juga harus menjamin optimalnya pengembangan dan pemeliharaan ekosistem hutan bagi habitat tumbuhan dan satwa serta industri jasa lingkungan. 4. Pengembangan industri kehutanan harus dipadukan dengan prinsip PHL dan berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Industri kehutanan harus efisien, menghasilkan produk yang variatif, ramah lingkungan dan kompetitif secara global. 5. Bahan baku industri kehutanan yang semula bergantung pada hutan alam secara bertahap akan dipenuhi dari hutan tanaman dan hutan rakyat. Pembangunan hutan tanaman secara bertahap akan berbasis masyarakat sehingga diharapkan mendapatkan dukungan dari masyarakat, sekaligus REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 10

11 pembangunan ini bermanfaat bagi masyarakat. Pemerintah akan mendorong berkembangnya hutan rakyat dan memfasilitasi berkembangnya industri kehutanan non kayu dan jasa lingkungan, memfasilitasi permodalan, menjamin kelancaran bahan baku industri sehingga diharapkan dalam jangka menengah industri ini dapat mandiri dan bersaing secara global. 6. Pemerintah mendorong dan memfasilitasi pelaksanaan RHL dan pengelolaan DAS untuk dilaksanakan bersama masyarakat. RHL dan pengelolaan DAS harus menjamin meningkatnya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan melalui berbagai usaha hasil hutan terutama yang berbasis non kayu dan jasa lingkungan RHL dan pengelolaan DAS tidak merupakan tanggung jawab semata sektor kehutanan, perlu didukung penuh dari sektor lain sehingga pelaksanaannya harus mendapat dukungan penuh dari sektor lain terutama sektor yang mendapat manfaat dari DAS seperti pertanian, kelistrikan, industri dan perhubungan. 7. Pengembangan IPTEK dibidang kehutanan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi industri kehutanan. Pengembangan SDM kehutanan akan berorientasi kepada SDM lebih produktif, kreatif, dan inovatif, menguasai IPTEK, responsif terhadap perubahan dan memahami isu nasional dan global. 8. Sektor kehutanan bersama sektor lain akan bekerjasama dalam menangani masalah kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang mencakup peningkatan perekonomian, pendidikan, kesehatan dan sanitasi serta akses terhadap wilayah di sekitarnya. Sektor kehutanan melalui program Perhutanan Sosial (PMDH, PHBM, Hkm), akan konsisten mendorong dan memfasilitasi kegiatan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Sektor kehutanan bersama sektor lain yang terakit dengan kehutanan akan mendorong dan memfasilitasi lahirnya lembaga keuangan alternatif (LKA) yang dapat membantu permodalan usaha masyarakat sekitar hutan. REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 11

12 E. Arah Masa Depan Produk dan Bisnis Kehutanan Meskipun peran pembangunan sektor kehutanan sedang mengalami masalah dan penurunan kinerja, namun pembangunan sektor kehutanan masih berpotensi menjadi salah satu tulang punggung pembangunan nasional untuk periode yang akan datang. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah penguatan kembali (revitalisasi) beberapa kegiatan pengembangan pembangunan kehutanan seperti: 1. Kontribusi sektor kehutanan terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) baik dari kayu, bukan kayu dan jasa lingkungan meningkat secara proporsional dan bertahap; 2. Sektor kehutanan berperan nyata dalam pembangunan dan pengembangan wilayah; 3. Industri kehutanan berskala besar, mulai dari pemanfaatan sampai dengan pengolahan hasil hutan berkembang secara efisien, berkelanjutan dan berdaya saing tinggi yang didorong iklim usaha yang kondusif. - Percepatan pembangunan hutan tanaman untuk mendukung pasokan (supply) bahan baku industri pengolahan kayu (plywood, sawmill, pulp, pulp dan kertas, dll) yang mampu bersaing dipasaran nasional, regional, maupun global. Kebutuhan kayu untuk pasokan industri pulp dan kertas di dalam negeri masih belum terpenuhi dari produksi kayu hutan tanaman yang ada saat ini. Produksi kayu dari hutan tanaman dianggap sebagai recycled resources sehingga diterima di pasaran global. Dengan demikian pembangunan hutan tanaman sangat menjanjikan untuk usaha dibidang industri kehutanan dimasa yang akan datang, selain untuk memulihkan fungsi hutan pada kawasan hutan yang telah terdegradasi, dan diharapkan mampu memulihkan kembali kontribusi sektor kehutanan dalam peningkatan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan hutan tanaman kedepan juga tidak hanya untuk mendukung industri pulp dan kertas dari jenis-jensi cepat tumbuh (fast growing species) dan berdaur pendek, tetapi harus diproyeksikan untuk jenis-jenis mediun dan slow growing yang mempunyai nilai ekonomi, konservasi, dan keunggulan komparatif, serta mampu mendukung REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 12

13 pasokan kekurangan kayu dari hutan alam untuk industri plywood dan sawmill. - Pengembangan industri hutan rakyat untuk menampung pengolahan kayu rakyat. Pembangunan industri hutan rakyat khususnya di Jawa Tengah mempunyai peluang yang cukup baik, mengingat dari potensi produksi kayu rakyat sebesar 6,8 juta m3, akan digunakan sebesar 1,9 juta m3 untuk pasokan 24 industri hutan rakyat yang ada. Dengan jaminan potensi yang ada, maka industri hutan rakyat akan mendapat dukungan pasokan kayu yang berkelanjutan. 4. Aneka usaha kehutanan berskala kecil dan menengah dapat berjalan dan terjamin keberlanjutanya mulai dari pemenuhan bahan baku sampai pemasaran; Pengembangan aneka usaha non kayu berupa usaha perlebahan, pengolahan rotan dan rotan jernang, penanaman dan pengolahan bambu, pengolahan dan pemasaran madu, usaha persuteraan alam terpadu, budidaya jelutung, budidaya tanaman mimba dan produk mimba, pengembangan tanaman penghasil seedlak, serta pengembangan usaha biofarmaka (tanaman obat). Pengembangan produk-produk aneka usaha non kayu tersebut pada umumnya merupakan kegiatan budidaya, sehingga untuk pemasaran eksport diharapkan tidak mengalami hambatan (boikot), dan pengembangannya banyak melibatkan petani hutan. a) Pengembangan usaha perlebahan diselenggarakan melalui perkayaan tanaman pakan lebah yang dilaksanakan dengan berbagai program penanaman dan pengamanan hasil RHL, sehingga akan mampu menciptakan kelestarian lingkungan dan memberi manfaat ekologis. b) Pengembangan usaha rotan didukung oleh potensi rotan yang cukup besar yang terdapat pada hutan alam, disamping potensi dari budidaya rotan. Potensi rotan belum dimanfaatkan secara optimal. Industri-industri pengolahan rotan belum mampu menyerap potensi bahan baku yang ada, sehingga masih banyak yang diselundupkan ke negaranegara yang menjadi pesaing Indonesia untuk produk rotan di pasar internasional. Indonesia menjadi pemasok 80% kebutuhan rotan dunia, REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 13

14 sehingga mempunyai peluang yang cukup baik untuk dikembangkan. Jenis rotan tertentu menghasilkan resin (dragon blood) yang bernilai tinggi. c) Pengembangan usaha budidaya bambu diselenggarakan untuk memasok kebutuhan industri bambu berupa industri kertas, bambu lamina, partcle board, chopsteek, dll. Budidaya bambu juga dapat melestarikan lahan dari sisi konservasi tanah. d) Pengembangan usaha tanaman Mimba (Azadirachta indica) diarahkan untuk digunakan melalui produk-produk sabun, pasta gigi, serta berbagai obat baik berasal dari daun, biji, ataupun akar. Seluruh bagian tanaman dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Tanaman mimba dapat tumbuh dengan baik pada daerah panas, atau lahan kering (zona arid) dan mampu tumbuh pada lahanlahan kritis. Dengan demikian pengembangan tanaman mimba diarahkan pada daerah kering seperti NTT, NTB, Bali, dan Bangka-Belitung. Pohon mimba mulai berbunga pada umur 4 tahun. e) Pengembangan usaha getah tanaman jelutung (Dyera costulata) diarahkan untuk mendukung industri permen karet, perekat, laka, lanolic, vernis, ban mobil, water proofing, bahan isolator, barang kerajinan, dan cat. Usaha dilakukan melalui penyadapan getah jelutung pada pohon jelutung yang berumur lebih dari 8 tahun. f) Pengembangan usaha seedlak diarahkan untuk mendukung kebutuhan industri rumah tangga dan farmasi antara lain membuat politur, semir sepatu, piringan hitam, benda-benda isolasi listrik, industri batik dan topi, roda gerinda, lak segel, bahan kosmetik, bahan peledak, gagang telepon, dan pembungkus obat. Seedlak dihasilkan oleh sejenis kutu lak (Lacciifer lacca Kerr) yang bersarang pada pohon mahoni yang dipelihara. Produksi seedlak dihasilkan pada tahun ke 12. g) Pengembangan usaha budidaya tanaman biofarmaka sebagian besar diarahkan untuk bahan industri obat/jamu. Jenis-jenis yang ditanam antara lain: jahe, kunyit, lengkuas, kapulaga, temulawak, REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 14

15 dll. Produksi tanaman biofarmaka tercatat dari tahun ke tahun terus meningkat. h) Pengembangan sutera alam terpadu diarahkan untuk memperbaharui mesin pemintalan benang sutera agar lebih efisien dan meningkakan kualitas produksi benang sutera, sehingga mampu bersaing dengan sutera produksi negara lain. i) Beberapa produk usaha non kayu hasil penelitian dan pengembangan juga ditawarkan untuk dikembangkan seperti industri perekat tanin, produk arang dan cuka kayu, pengembangan industri bambu lamina, serta produksi arang kompos bio aktif (ARKOBA). 5. Pengembangan pengusahaan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam meningkat dan mampu menggerakan produktifitas sektor kehutanan, yang secara perlahan akan mampu meningkatkan kompartif pemanfatan sumberdaya hutan secara lebih luas; Pengembangan pemanfaatan produk jasa lingkungan diarahkan bagi pemanfaatan sumber daya air untuk kepentingan komersial, seperti untuk memasok Perusahaan Air Minum (PAM), hotel, serta pemanfaatan arus deras pada sungai-sungai dalam kawasan konservasi untuk olah raga arung jeram. Pemanfaatan sumber daya air dari kawasan konservasi bagi kepentingan komersial, merupakan sumber daya yang potensial dalam mendukung pendapatan negara bukan pajak yang layak untuk dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan pengusahaan wisata alam dan Pengembangan bentang alam yang memanfaatkan keunikan dan kekhasan yang komplementer dengan potensi keanekaragaman hayati, ekosistem dan sumber generik yang sangat tinggi. Potensi tersebut berupa keunikan ekosistem, keindahan alam, potensi flora dan fauna langka, keadaan yang masih alami, gejala alam yang fenomental, dan udara yang bersih. Pengembangan wisata alam dan bentang alam dapat secara kuat dikembangkan di kawasan Konservasi, yang tersebar secara luas di seluruh Indonesia. Melalui kegiatan ini dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat luas REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 15

16 untuk dapat mengenal, mempelajari, dan menikmati keindahan alam tersebut melalui kegiatan wisata alam. Melalui pengelolaan yang profesional, maka kegiatan tersebut dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar kawasan, pendapatan daerah dan pendapatan pemerintah yang diperoleh melalui retribusi pengunjung. Pengembangan resort carbon, hutan merupakan salah satu komponen utama yang berperan penting dalam pemanasan global. Kondisi penutupan hutan yan baik, diyakini mampu menyerap karbon dan menjaga terhadap perubahan iklim yang secara dramatik berubah-ubah pada dekade terakhir ini. Komunitas global menaruh perhatian yang tinggi terhadap upaya-upya penurunan fungsi ozone. Resort karbon dapat dikembangkan secara paralel di rural amaupun di urban area. Pada urban area resort karbon ini secara efektif akan dapat memberikan keseimbangan terhadap polusi yang terjadi di perkotaan. 6. Penyerapan tenaga kerja di bidang pemanfaatan hutan, pembangunan hutan tanaman, pengolahan hasil hutan, konservasi dan jasa lingkungan meningkat; 7. Dalam upaya menjamin kesimbangan produksi, sosial dan lingkungan diarahkan untuk mnginternalisasikan biaya kelola sosial dan kelola lingkungan ke dalam biaya produksi. F. Arah Masa Depan Kelembagaan Kehutanan Kondisi kelembagaan yang diinginkan dimasa yang akan datang sebagai berikut: 1. Organisasi Kehutanan berjalan secara efektif, efisien dan optimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, yang mampu menjamin berlangsungnya pengurusan hutan yang lestari, dan berjakan melalui penerapan ketatalaksanaan yang baik. 2. Kelembagaan unit-unit pengelolaan pada Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi (Kesatuan Pengalolaan Hutan Konservasi/KPHK, Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung/KPHL, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi) terbentuk dan berjalan, REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 16

17 yang menjamin terhadap terciptanya prakondisi untuk pengelolaan hutan lestari; 3. Regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan pengurusan hutan dan kehutanan serta pemberdayaan masyarakat yang berkeadilan tersedia, simplified, dapat dilaksanakan, untuk menjamin terselenggaranya perlindungan dan pelayanan terhadap masayarakat/publik; 4. Organisasi non pemerintah yang berkaitan dengan kehutanan dapat berkembang dan menjadi mitra (partner) dan pelaku, katalisator dan kontrol yang efisien dan efektif bagi penyelenggaraan kehutanan; 5. Sumber Daya Manusia (SDM) kehutanan yang profesional tersedia dan terdistribusi secara proporsional terutama di wilayah-wilayah unit pengelolaan hutan serta didukung dengan sistem karier dan insentif yang memadai; 6. Jejaring kerja yang berkaitan dengan kehutanan terbina dan secara bertahap berkembang secara efektif dan harmonis; 7. Sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembangunan kehutanan tersedia dan memadai dan mampu mendorong produktifitas pengelolaan hutan; 8. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kehutanan berjalan efektif serta didukung oleh pengawasan masyarakat; 9. Anggaran dan investasi untuk penyelenggaraan kehutanan tersedia dan memadai serta terjadwal dengan baik, yang tertata dalam sistem pembiayaan yang kondusif dan berkelanjutan. REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) 2005 II - 17

RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG KEHUTANAN RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG PEMBANGUNAN KEHUTANAN

RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG KEHUTANAN RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG PEMBANGUNAN KEHUTANAN RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG KEHUTANAN RANCANGAN AWAL RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG PEMBANGUNAN KEHUTANAN A. PENGANTAR 1. Memenuhi amanat Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB 2 Perencanaan Kinerja BAB 2 Perencanaan Kinerja 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kean Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENSTRA-KL) DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN

RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENSTRA-KL) DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Pebruari 2005: RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA (RENSTRA-KL) DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2005-2009 A. LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

III. KEBIJAKAN DAN STRATEGI

III. KEBIJAKAN DAN STRATEGI III. KEBIJAKAN DAN STRATEGI A. Pelajaran dari Strategi dan Kebijakan Umum sebelumnya. Pencapaian pembangunan sektor kehutanan dewasa ini, telah mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal tersebut tercermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN

MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN MANAJEMEN SUMBER DAYA HUTAN 8.1. Pendahuluan Sumber daya hutan dan kehutanan mendapat perhatian tersendiri dalam pembicaraan mengenai Manajemen Sumber Daya Alam atau Ekonomi Sumber Daya Alam. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang bermanfaat bagi kelangsungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Visi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah adalah Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat. Pelayanan

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS BAB II PERENCANAAN STRATEGIS 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan di Jawa Timur, sampai dengan saat ini masih belum dapat mencapai ketentuan minimal luas kawasan sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 41

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI MALUKU

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI MALUKU KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI MALUKU Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku I. PENDAHULUAN P embangunan kehutanan diselenggarakan berdasarkan azas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang I. PENDAHUL'CJAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM Jakarta Food Security Summit 2012 Feed Indonesia Feed The World Jakarta, Selasa, 7 Februari 2012 I. PENDAHULUAN Pangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA KEMITRAAN PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak ternilai harganya dan dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik

1. PENDAHULUAN. Kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih diserahkan kepada daerah melalui Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN, KRITERIA DAN STANDAR PEMANFAATAN HUTAN DI WILAYAH TERTENTU PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN

Lebih terperinci

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN) BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA (2014 - KEDEPAN) Gambar 33. Saluran Listrik Yang Berada di dalam Kawasan Hutan 70 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara Foto : Johanes Wiharisno

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar,

I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tourism Center adalah 10,1%. Jumlah tersebut setara dengan US$ 67 miliar, 34 I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki sekitar 17.504 pulau, dengan panjang garis pantai kurang lebih 91.524 km, dan luas perairan laut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Berdasarkan penyelenggaraan pelayanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Pengembangan Kelembagaan Ekonomi dan Iklim Usaha Kondusif 1. Peningkatan Iklim Investasi dan Realisasi Investasi Mendukung terciptanya kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) 1 seluas 140,4 juta hektar terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Pembangunan Kehutanan

Pembangunan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan Kehutanan Sokoguru Pembangunan Nasional Berkelanjutan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA (Sekretaris Jenderal) Disampaikan dalam Seminar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumberdaya alam yang siap dikelola dan dapat memberikan manfaat ganda bagi umat manusia baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Manfaat hutan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 1. Pendahuluan Sektor pertanian merupakan tumpuan ekonomi dan penggerak utama ekonomi nasional dan sebagian besar daerah, melalui perannya dalam pembentukan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur XII Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur Globalisasi ekonomi menuntut produk Jawa Timur mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA 5 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.36/MENHUT-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEHUTANAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Salah satunya adalah kekayaan sumber daya alam berupa hutan. Sebagian dari hutan tropis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan hutan lindung, khususnya hutan yang menjadi perhatian baik tingkat daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa keberadaan

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa

Lebih terperinci