GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei DAN DIBERI INFUSA Artemisia annua Linn. SEPTI RUBIYANI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei DAN DIBERI INFUSA Artemisia annua Linn. SEPTI RUBIYANI"

Transkripsi

1 GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei DAN DIBERI INFUSA Artemisia annua Linn. SEPTI RUBIYANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi Plasmodium berghei dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn. adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2011 Septi Rubiyani NIM B

3 ABSTRAK SEPTI RUBIYANI. Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi Plasmodium berghei dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn. Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian infusa Artemisia annua Linn. terhadap persentase diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Hewan coba yang digunakan adalah mencit jantan dan mencit betina (Mus musculus) yang diinfeksi dengan P. berghei. Rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan digunakan pada penelitian ini. Mencit dibagi dalam lima kelompok yaitu 1) kontrol normal (tidak diinfeksi dan tidak diberi infusa A. annua L.), 2) kontrol negatif (diinfeksi dan tidak diberi infusa A. annua L.), 3) AR1 (infusa A. annua L. dengan pengenceran ), 4) AR2 (infusa A. annua L. dengan pengenceran ), dan 5) AR3 (infusa A. annua L. dengan pengenceran ). Hasil menunjukkan bahwa pemberian infusa A. annua L. mempengaruhi rata-rata persentase neutrofil, monosit dan limfosit. Pada mencit jantan, rata-rata persentase neutrofil tertinggi adalah pada AR3 hari ke-8 setelah infeksi (45.33%), rata-rata persentase monosit tertinggi adalah pada AR1 hari ke-11 setelah infeksi (18%), dan rata-rata persentase limfosit tertinggi adalah AR1 hari ke-6 setelah infeksi (67.67%). Pada mencit betina, rata-rata persentase neutrofil tertinggi adalah AR1 hari ke-10 setelah infeksi (37.67%), rata-rata persentase monosit tertinggi adalah AR1 hari ke-2 setelah infeksi (13%), dan rata-rata limfosit tertinggi adalah AR2 hari ke-9 setelah infeksi (76.50%). Kata kunci: infusa Artemisia annua Linn., leukosit, mencit, Plasmodium berghei.

4 ABSTRACT SEPTI RUBIYANI. Leucocyte Profile of Mice (Mus musculus) was Infected by Plasmodium berghei and Given Artemisia annua Linn. Infusion. Under direction of UMI CAHYANINGSIH. This research was conducted to determine the effect of Artemisia annua Linn. infusion to the percentage of differential leucocyte mice that was infected by Plasmodium berghei. This research used totally 30 mice such as male and female mice (Mus musculus), the mice then completely randomized devided into 5 groups and was design using three replication. The five groups were 1) normal control group, 2) negative control group, 3) AR1 group (A. annua L. infusion with dilutions of ), 4) AR2 group (A. annua L. infusion with dilutions of ), and 5) AR3 group (infusa A. annua L. with dilutions of ). In male mice, highest percentage of neutrophil was AR3 on 8 th day after infection (45.33%), highest percentage of monocyte was AR1 on 11 th day after infection (18%), and highest percentage of lymphocyte was AR1 on 6 th day after infection (67.67%). In female mice highest percentage of neutrophil was AR1 on 10 th day after infection (37.67%), highest percentage of monocyte was AR1 on 2 nd day after infection (13%), and highest percentage of lymphocyte was AR2 on 9 th day after infection (76.50%). Keywords: Artemisia annua Linn. infusion, leucocyte, mice, Plasmodium berghei.

5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT (Mus musculus) YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei DAN DIBERI INFUSA Artemisia annua Linn. SEPTI RUBIYANI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 Judul Skripsi Nama NIM : Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi Plasmodium berghei dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn. : Septi Rubiyani : B Disetujui, Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing Diketahui, Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir (skripsi) yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut pertanian Bogor. Penelitian pada skripsi ini telah dilaksanakan dari Bulan Februari sampai Juli Skripsi ini berjudul Persentase Diferensial Leukosit Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi Plasmodium berghei dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn. Atas selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu (baik secara langsng maupun tidak langsung) selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini: 1. Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya yang berharga untuk mengarahkan, memberikan motivasi, membagi ilmu dan senantiasa sabar dalam membimbing penulis. 2. Drh. Titiek Sunartatie, MSi selaku dosen pembimbing akademik (PA) yang selalu member semangat dan nasehat kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan IPB. 3. Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD, APVet dan drh Usamah Affif, MSi sebagai dosen penilai dan dosen moderator dalam seminar penulis atas saran dan koreksi dalam penulisan skripsi ini. 4. Dr. drh. Sus Derthi, MSi dan drh. Adi Winarto, PhD, APVet sebagai dosen penguji dalam ujian akhir sarjana atas koreksi dan masukan, demi kesempurnaan skripsi ini. 5. Ayah dan Ibu tersayang, Sukur dan Sri Widadi, yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 6. Adikku tersayang, Toto Rubiyanto atas dukungan dan doanya. 7. Keluarga besarku tercinta yang selalu member dukungan, doa dan semangat 8. Kak Mieke, Reky dan Wenny yang memberikan semangat dan masukan tentang penelitian ini. 9. Apriani Sosilawati dan Nanda Amelia Andarina sebagai teman sepenelitian atas kerjasama dan semangat yang diberikan selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 10. Aston Grimaldi yang senantiasa memberikan dukungan dan semangatnya. 11. Al-Qudsers tercinta (Arum, Ria, Wike) sebagai teman sepermainan yang selalu menemani penulis setiap hari. Terima kasih atas bantuan dan saran kalian selama ini. 12. Sahabat dan teman dekatku tercinta (Made Fera, Yuvita, Gita Rima, Melati, Tri Yulianti, Izzah, dan Miranti) atas dukungan dan doanya. 13. Pegawai Laboratorium Protozoologi dan Helminthologi FKH IPB atas bantuannya. 14. Angkatan 43 (Aesculapius) sebagai teman seperjuangan di FKH IPB. 15. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9 Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2011 Septi Rubiyani

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dengan nama lengkap Septi Rubiyani dilahirkan di Pontianak pada tanggal 14 September 1988 dari ayah Sukur dan ibu Sri Widadi. Penulis di lahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dan sekarang menjadi anak tertua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SD Muhammadiyah 1 Pontianak pada tahun 2000 dan kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN 3 Pontianak serta lulus pada tahun Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan studi dari SMAN 1 Pontianak dan kemudian pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah mengikuti Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis memilih mayor Fakultas Kedokteran Hewan. Selama masa perkuliahan di fakultas, penulis aktif sebagai anggota HIMPRO RUMINANSIA Divisi Infokom ( ) FKH IPB.

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Malaria... 4 Kejadian Malaria... 4 Agen, Vektor dan Induk Semang Malaria... 4 Patogenesa Malaria pada Manusia... 7 Mencit (Mus musculus)... 9 Sel Darah Putih (Leukosit) Granulosit Neutrofil Eosinofil Basofil Agranulosit Limfosit Monosit Artemisia annua Linn Morfologi Kandungan Artemisia annua Linn Artemisinin BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Cara Kerja Preparasi Hewan Coba Desain Penelitian Penyimpanan dan Pembuatan Stok P. berghei Dosis Parasit pada Stok P. berghei Pembuatan Infusa A. annua L Infeksi P. berghei Pembuatan Preparat Ulas Darah Perhitungan Leukosit Analisa Data... 23

12 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Neutrofil pada Mencit Jantan Neutrofil pada Mencit Betina Monosit pada Mencit Jantan Monosit pada Mencit Betina Limfosit pada Mencit Jantan Limfosit pada Mencit Betina Eosinofil pada Mencit Jantan Eosinofil pada Mencit Betina Basofil pada Mencit Jantan Basofil pada Mencit Betina Pembahasan BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xi

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit protozoa genus Plasmodium pada sel darah merah. Penyakit ini masuk ke dalam tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi parasit (WHO 2006). Plasmodium berghei merupakan salah satu jenis Plasmodium pada rodensia. Zuckerman (1970) menyatakan bahwa Plasmodium pada rodensia (khususnya P. berghei dan P. vinckei) adalah model yang banyak digunakan untuk penelitian mengenai immunologi pada malaria yang menyerang mamalia. Kardinan (2006) menyatakan bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit malaria dan sampai saat ini, penyakit malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan angka kejadian penyakit yang cukup tinggi, terutama di daerah Indonesia Timur. Jumlah kasus yang terjadi pada tahun 1967 sebanyak kasus malaria per juta penduduk menjadi kasus malaria per juta penduduk pada tahun Penekanan kejadian penyakit malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor dan pengobatan, baik terhadap orang yang diduga malaria ataupun penderita malaria yang terbukti positif secara laboratorium. Tan dan Kirana (2007) menyatakan bahwa obat tertua untuk menangani malaria adalah kuinin. Kuinin pertama kali diekstrak dari kulit pohon kina pada tahun Pada tahun-tahun selanjutnya, ditemukan beberapa antimalaria selain kuinin, yaitu: mekaprin (1832); klorokuin (1944); proguanil (1946); primakuin (1948); derivate klorokuin berupa amodiakuin (1950), pirimetamin (1952), meflokuin (1981), halofantrin (1985); artemeter (1991), dan pironaridin. Obat antimalaria yang tersedia di dunia umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: obat anti malaria kelompok kuinolin (klorokuin, kina, primakuin, amodiakuin, meflokuin, dan halofantrin), obat malaria anti-folat (sulfadoksin, pirimetamin, proguanil, klorproguanil, dan dapson), dan kelompok obat antimalaria baru (artemisinin, lumefantrin, atovakuon, tafenoluin, pironaridin, piperakuin, artemison, dan antibiotik) (Tjitra 1993). Sejak tahun 1820,

14 2 telah banyak ditemukan antimalaria, namun sampai saat ini penyakit malaria masih menjadi masalah di masyarakat. Acang (2002) menyatakan bahwa beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya resistensi Plasmodium spp. terhadap beberapa obat, diantaranya adalah terhadap kuinin yang berasal dari tanaman kina dan telah digunakan lebih dari 20 tahun di Indonesia. Acang (2002) juga menyatakan bahwa resistensi Plasmodium spp. terhadap klorokuin juga telah dilaporkan sejak tahun Selain kuinin dan klorokuin, WHO (2006) menyatakan bahwa adanya resistensi P. Falciparum resisten terhadap amodiakuin, meflokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Selain itu, P. vivax juga mengalami resistensi terhadap sulfadoksin-pirimetamin, dan klorokuin. Resistensi Plasmodium spp. terhadap beberapa obat yang umum digunakan mendorong para peneliti untuk mencari alternatif obat dari tanaman untuk menangani malaria. Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan untuk mengatasi masalah malaria antara lain: Artemisia annua Linn. (Khomsan 2006), tanaman bandotan (Ageratum conyzoides L.), daun dari bunga matahari (Helianthus annus L.), sirih tanah (Piper sarmentosu) (Permadi 2008), tanaman tapak dara (Catharanthus roseus) (Hidayat 2008), kulit batang dari nimba (Azadirachta indica) (Rukmana et al 2002). A. annua L. merupakan tanaman subtropis yang berasal dari daerah Cina dan banyak tersebar di Vietnam dan Indonesia. Hasil penelitian tahun 1972 di Cina menemukan bahwa A. annua L. mengandung bahan aktif utama, yaitu artemisinin yang sangat efektif terhadap P. falciparum (Khomsan 2006). WHO (2006) menyatakan bahwa A. annua L. merupakan salah satu alternatif obat malaria yang telah digunakan diberbagai negara di dunia, terutama di Afrika dan Asia. WHO (2006) juga menyatakan bahwa artemisinin tidak dianjurkan untuk digunakan secara tunggal. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya resistensi Plasmodium spp. terhadap artemisinin. Keunggulan dari artemisinin antara lain adalah: kemampuan menurunkan parasitemia lebih cepat 10 kali dari pada obatobat anti malaria lainnya, efek samping yang minimal, efek toksisitas yang rendah, cepat diabsorbsi secara oral, dapat diberikan secara intravena ataupun intramuskuler dengan pemberian 1 kali sehari, dapat mengurangi karier gametosit

15 3 pada manusia, dan belum adanya resistensi Plasmodium spp. terhadap artemisinin walaupun telah lama digunakan di Negara Cina (Anonim 2003). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian infusa A. annua L. terhadap gambaran leukosit mencit yang diinfeksi dengan P. berghei. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang pengaruh pada mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. terhadap respon kekebalan dilihat dari gambaran leukosit. 3

16 TINJAUAN PUSTAKA Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit protozoa Plasmodium spp. pada sel darah merah. Penyakit ini masuk ke dalam tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk Anopheles spp. betina yang telah terinfeksi parasit (WHO 2006). Kejadian Malaria Penyebaran kejadian malaria di dunia sangat luas, yakni antara 61ºLU (Rusia) dan 32ºLS (Argentina) yang meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis. Ketinggian yang dimungkinkan terjadinya penyakit ini adalah 100 m di bawah permukaan laut (Laut Mati dan Kenya) dan 2000 m di atas permukaan laut (Bolivia) (Depkes RI 1990). WHO (2006) menyatakan bahwa tingkat penularan malaria dapat berbeda-beda, tergantung faktor setempat, seperti: pola curah air hujan, jarak antara lokasi perkembangbiakan nyamuk dengan manusia, dan jenis nyamuk di wilayah tersebut. Setiap tahun, kasus malaria di dunia berjumlah juta dan mengakibatkan juta kematian, terutama di Afrika subsahara. Wilayah dunia yang kini telah bebas malaria adalah Eropa, Amerika Utara, sebagian besar Timur Tengah, sebagian besar Karibia, sebagian besar Amerika Selatan, Australia dan Cina (Harijanto 2000). Di Indonesia, daerah yang memiliki kasus malaria klinis tinggi dilaporkan terdapat pada Kawasan Timur Indonesia, antara lain: Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah (Suprapto 2010). Agen, Vektor dan Induk Semang Malaria Agent penyebab malaria adalah parasit (protozoa) Plasmodium spp. Plasmodium spp. menggunakan nyamuk Anopheles spp. betina sebagai inang antara dan media penyebaran Plasmodium spp. ke induk semang. Pada manusia, terdapat empat jenis Plasmodium sp. penyebab malaria, yaitu: P. vivax (penyebab vivax), P. falciparum (penyebab malaria tropika atau malaria falciparum), P. malariae (penyebab malaria kuartana atau malaria malariae), dan

17 5 P. ovale (penyebab malaria ovale) (Anies 2006; Natadisastra & Ridad 2009). P. falciparum dan P. vivax merupakan jenis yang paling sering dijumpai, namun yang paling mematikan adalah jenis P. falciparum (WHO 2006). Tampubolon (2004) mengemukakan bahwa penyebab malaria pada unggas adalah P. gallinaceum, P. juxtanucleare, P. durae, P. relictum, P. circumflexum, dan P. fallax. Pada rodensia, terdapat empat spesies Plasmodium spp. yang dapat menyebabkan malaria, yaitu: P. vinckei, P. chabaudi, P. yoelli, dan P. berghei. P. berghei merupakan species Plasmodium sp. yang umum dan baik digunakan sebagai model untuk studi eksperimental malaria pada manusia. P. berghei telah terbukti mirip dengan penyebab malaria pada manusia dalam fisiologi dan siklus hidupnya (Janse 2010). Menurut Levine (1990), klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut: kingdom : Animalia filum : Protozoa subfilum : Apicomplexa kelas : Sporozoasida subkelas : Coccidiasina ordo : Eucoccidiorida subordo : Haemospororina famili : Plasmodiidae genus : Plasmodium species : Plasmodium berghei Pada preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa, salah satu tahap hidup P. berghei di dalam sel darah merah dapat terlihat seperti gambar berikut: Gambar 1 P. berghei. [Sumber: LUMC 2010]

18 6 P. berghei memiliki dua tahapan dalam setiap siklus hidupnya, yaitu: fase seksual (sporogoni) dan fase aseksual (skizogoni) (Choidini 2001). Fase Seksual (Sporogoni) Fase seksual terjadi di dalam tubuh nyamuk Anopheles dureni betina. Nyamuk ini merupakan vektor biologis dari P. berghei. Natadisastra dan Ridad (2009) menyatakan bahwa pada saat nyamuk menghisap darah penderita malaria, semua stadium yang ada di dalam darah akan terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Tetapi, hanya stadium gametosit (makrogametosit dan mikrogametosit) yang dapat bertahan dan melanjutkan siklusnya. Fase seksual dimulai dari masuknya gametosit (mikrogametosit dan makrogametosit) ke dalam tubuh vektor saat vektor menghisap darah induk semang terinfeksi P. berghei. Di dalam lambung vektor, makrogametosit mengalami maturasi menjadi makrogamet (betina) sedangkan mikrogametosit mengalami exflagelasi menjadi mikrogamet (jantan). Makrogamet dan mikrogamet mengalami fertilisasi dan terbentuk zigot (Choidini 2001). Zigot tersebut aktif dan bergerak masuk ke dalam dinding usus tengah nyamuk. Parasit pada stadium ini dinamakan ookinet. Di bawah epitel usus, ookinet membulat membentuk kista dan disebut dengan ookista (Noble & Glenn 1989). Ookista berkembang di dalam dinding usus tengah dan menghasilkan sporozoit (fase infektif) yang akan dilepas dengan pecahnya ookista. Sporozoit bersifat motil dan akan bergerak ke seluruh tubuh vektor, khususnya kelenjar saliva. Sporozoit ini akan menginfeksi induk semang saat vektor menghisap darah induk semang (Choidini 2001). Fase Aseksual (Skizogoni) Fase aseksual terjadi di dalam tubuh induk semang (rodensia). Pada fase ini terjadi dua siklus, yaitu siklus pre-eritrositik (terjdi di dalam sel-sel hati) dan siklus eritrositik (terjadi di dalam eritosit). Sporozoit akan menuju sel-sel hati saat masuk tubuh hospes. Di dalam sel hati, sporozoit akan matang membentuk skizon kemudian pecah dan mengeluarkan merozoit. Merozoit memulai siklus eritrositik dengan masuk ke dalam eritrosit dan membentuk tropozoit. Sebagian tropozoit akan mengalami pematangan membentuk skizon yang kemudian pecah dan mengeluarkan merozoit. Merozoit dapat 6

19 7 menginfeksi eritrosit yang lain. Sedangkan sebagian tropozoit lainnya akan mengalami gametositik membentuk makrogametosit dan mikrogametosit. Saat nyamuk A. dureni menghisap darah induk semang, gametosit ini akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan mengalami fase seksual (Choidini 2001). Siklus hidup P. berghei secara umum mirip dengan siklus hidup Plasmodium spp. pada manusia. Fase seksual dan fase aseksual dari P. berghei dapat digambarkan dengan skema berikut ini. Patogenesa Malaria pada Manusia Gambar 2 Siklus hidup P. bergei. [sumber: CDC 2010] Natadisastra dan Ridad (2009) mengemukakan bahwa malaria diawali gejala prodromal yang tidak spesifik, diantaranya: lesu, sakit kepala, anoreksi, nousea, dan vomitus, bahkan terjadi demam yang tidak teratur. Kemudian diikuti gejala demam yang khas, splenomegali dan anemi yang dikenal sebagai trias malaria. Demam Malaria Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya skizon), pengaruh glycosyl phosphatidylinositol (GPI) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya (Harijanto et al. 2000). Harijanto et al. (2000) juga menyatakan bahwa setelah sporozoit masuk ke dalam tubuh melalui gigitan vektor, maka akan terjadi serangan pertama (first attack). Tiap serangan terdiri atas beberapa serangan demam yang merupakan gejala utama 7

20 8 dari malaria. Demam timbul secara periodik, bersamaan dengan sporulasi. Pembagian demam menurut puncak demam, antara lain adalah: demam remitten (berulangnya demam tanpa ditemukan periode suhu normal), demam intermitten (jika diantara serangan demam tersebut terdapat periode suhu normal), dan demam kuotidiana (jika demam terjadi setiap hari) (Natadisastra & Ridad 2009). Serangan demam malaria umumnya terjadi selama 2-12 jam. Demam khas terdiri dari 3 stadium, yaitu: stadium rigoris (menggigil), stadium akme (puncak demam), dan stadium sudoris. Pada stadium rigoris, penderita menggigil seperti kedinginan walaupun suhu terus-menerus naik. Stadium ini berlangsung selama menit. Pada Stadium akme, suhu tetap tinggi (mencapai 41ºC) dan berlangsung selama 2-6 jam. Suhu mulai turun sampai mencapai suhu normal pada stadium sudoris, penderita banyak berkeringat, dan berlangsung selama 2-4 jam. Kemudian dilanjutkan dengan stadium tanpa demam (stadium apyrexia), ditandai dengan normalnya suhu tubuh. Namun, dua tiga hari kemudian terulang kembali serangan demam dengan stadiumstadium yang sama (Natadisastra & Ridad 2009). Timbulnya demam pada malaria dihubungkan dengan sporulasi (pecahnya eritrosit dan keluarnya merozoit ke dalam cairan darah) sehingga parasit beserta partikel lainnya yang merupakan antigen akan masuk cairan darah. Selanjutnya akan terjadi reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan demam (Natadisastra & Ridad 2009). Splenomegali dan Hepatomegali Natadisastra dan Ridad (2009) menyatakan bahwa terjadinya kongesti aliran darah serta hipertropi dan hiperplasi sistem retikuloendotelial (RES) menyebabkan pembesaran limpa (splenomegali), terkadang disertai pembesaran hati (hepatomegali). Sel makrofag dalam darah bertambah, dan terjadi monositosis. Anemi Anemi dalam hal ini disebabkan oleh hancurnya eritrosit sewaktu sporulasi. Derajat fagositosis RES meningkat, akibatnya lebih banyak eritrosit yang dihancurkan. Umur eritrosit menjadi lebih pendek dan terjadi depresi eritropoiesis (Natadisastra & Ridad 2009). 8

21 9 Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologis yang terkarakterisasi dengan baik. Mencit dapat mencapai umur 2-3 tahun, tetapi terdapat perbedaan besar dalam usia maksimum dari berbagai galur mencit. Terutama karena perbedaan dalam kepekaan terhadap penyakit. Organ limpa pada mencit jantan 50% lebih besar dibandingkan yang betina (Malole & Pramono 1989). Gambar di bawah ini merupakan contoh mencit (Mus musculus) yang umum digunakan sebagai hewan coba di laboraturium. kingdom filum subfilum kelas ordo suborder famili subfamili genus species Gambar 3 Mencit (Mus musculus). [sumber: Jaxmice 2010] Klasifikasi mencit menurut ADW (2010) adalah sebagai berikut: : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Rodentia : Miorpha : Muridae : Murinae : Mus : Mus musculus Mencit yang digunakan dalam laboraturium umumnya ditempatkan di kotak dari metal atau plastik dan diberi alas kandang secukupnya. Alas kandang biasanya terdiri dari kertas, serutan kayu atau serbuk gergaji yang bersifat nonalergi, bebas debu, nontoksik, steril dan kering. Mencit membutuhkan makan berkadar protein di atas 14% (dapat dipenuhi dari pakan ayam petelur, memiliki protein 17%). Seekor mencit dewasa membutuhkan 15 gr makanan dan 15 ml air 9

22 10 per 100 gr berat badan per hari. Tingkat konsumsi makanan dan air minum bervariasi menurut temperatur kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan (Malole & Pramono 1989). Sel Darah Putih (Leukosit) Leukosit adalah sel darah tidak berwarna, berinti, dan memiliki berfungsi utama melindungi tubuh dari serangan organisme asing. Leukosit melindungi tubuh dengan dua cara, yaitu: mekanisme fagositosis dan sistem humoral (Besa 1992). Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid. Melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos diantara selsel endotel dan menembus ke dalam jaringan (Effendi 2003). Selain melindungi tubuh, sel darah putih juga berfungsi sebagai pengangkut zat lemak dari dinding usus melalui limpa, lalu ke pembuluh darah (Handayani & Andi 2008). Leukosit secara umum terbagi menjadi polimorfonuklear granular dan mononuklear agranular. Jenis sel darah putih terbanyak dalam sirkulasi darah adalah granulosit. Sel granulosit muda memiliki inti berbentuk seperti sepatu kuda, yang akan berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel (Ganong 2002). Ganong (2002) juga menyatakan bahwa sebagian besar sel granulosit mangandung granula netrofilik (neutrofil), sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat warna asam (eosinofil), dan sebagian lagi mangandung granula basofilik (basofil). Sedangkan sel agranulosit terdiri dari limfosit yang memiliki inti bulat besar, dan monosit yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk seperti ginjal. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfa. Di bawah berbagai kondisi abnormal, jumlah total mungkin meningkat atau menurun atau proporsinya yang relatif berubah. Perhitungan diferensial leukosit menggambarkan persentase tiap jenis leukosit dari total jumlah leukosit. Gambaran persentase tersebut dapat digunakan untuk mengetahui jenis penyakit yang terdapat pada tubuh individu (Fischbach & Marshall 2009). 10

23 11 Di bawah ini adalah nilai fisiologis leukosit mencit menurut Hawkey (1975) serta Malole dan Pramono (1989). Tabel 1 Nilai fisiologis darah mencit Jenis Sel Darah Rata-rata Kisaran Normal Leukosit * Neutrofil (%) Limfosit (%) Monosit (%) Eosinofil (%) Basofil (%) * Leukosit: leukosit x 10 3 /c.mm darah Granulosit (Polimorfonuklear Leukosit) Pada granulosit yang telah matang, terdapat tiga jenis sel, yaitu: neutrofil, eosinofil dan basofil. Ketiga jenis sel ini dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan jenis granul sitoplasma yang muncul pada tahap mielosit. Granul tersebut dapat berwarna biru sampai merah keunguan. Tiap sel yang matang tidak akan menunjukkan lebih dari satu jenis granul, walaupun pada tahap promielosit dan mielosit (tahap awal dari sel tersebut) mungkin terlihat lebih dari satu jenis granul pada satu sel (Brown 1980). Sel granulosit memiliki nukleus yang berlobulasi dan tidak beraturan. Tiap segmen dari lobus nukleus sering dihubungkan hanya dengan filamen tipis. Neutrofil Giemsa. Berikut ini adalah gambar neutrofil pada ulas darah dengan pewarnaan Gambar 4 Neutrofil [sumber: UC 2009] 11

24 12 Neutrofil adalah tipe leukosit yang penting dalam tubuh pada proses inflamasi, terutama yang disebabkan oleh mikroba. Pemusnahan mikroba oleh neutrofil dilakukan dengan cara endositosis (fagositosis) dan eksositosis (Ganong 2002). Ganong (2007) juga menyatakan bahwa sumsum tulang akan diransang untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah besar neutrofil jika dicurigai adanya sel tubuh yang rusak. Sel-sel tubuh yang rusak atau dirusak oleh mikroba akan membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang (kemotaksis). Neutrofil akan memasuki jaringan yang terinfeksi, merusak, dan menelan mikroba. Proses menelan mikroba (fagositosis) didahului oleh proses opsonisasi. Mikroba yang telah diselubungi oleh opsonin akan berikatan dengan reseptor pada membran sel neutrofil. Neutrofil akan membentuk suatu penonjolan (pseudopodia) yang mengelilingi mikroorganisme selama proses menelan. Pseudopodia tersebut akan melebur dan membentuk suatu vakuola fagositik yang mengandung mikroba (fagosom). Fagosom akan memisahkan diri dan memasuki sitoplasma. Selanjutnya, melalui mekanisme eksositosis, granula neutrofil dilepaskan ke dalam fagosom yang berisi bakteri. Granula tersebut mengandung beragam protease, serta protein anti mikroba yang disebut defensin. Pengaktifan neutrofil untuk melakukan fagositosis meningkatkan konsumsi oksigen. Metabolit oksigen yang dihasilkan bersifat sangat toksik bagi mikroba. Gabungan metabolit oksigen toksik dan enzim proteolitik dari dalam granula menjadikan sel neutrofil sebagai mesin pembunuh yang sangat efektif. Neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka merusak mikroba (Ganong 2002; Campbell et al. 2004). Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Effendi 2003). Eosinofil Eosinofil memiliki diameter antara µm. Nukleus eosinofil terlihat lebih kasar daripada neutrofil dan hanya memiliki dua sampai tiga lobus ketika dewasa. Eosinofil terdiri dari nukleus polimorfik yang sedikit padat dan 12

25 13 bersegmen (Dellmann & Jo 1998) serta sitoplasmanya mengandung granula yang bersifat eosinofilik. Berikut ini adalah gambar eosinofil pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa. Gambar 5 Eosinofil [sumber: UC 2009] Eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh berperan pada reaksi alergi karena penyakit infeksius, dan parasit yang berukuran besar, seperti cacing. Eosinofil akan memposisikan dirinya melawan dinding eksternal parasit dan melepaskan enzim-enzim perusak dari granula sitoplasmik. Sel eosinofil memiliki aktifitas fagositik yang terbatas (Campbell et al. 2004). Basofil Basofil adalah jenis sel leukosit yang sangat jarang. Basofil memiliki nukleus yang kasar dan polimorfik. Sitoplasma dari sel ini memiliki banyak granula basofilik yang kasar. Sitoplasma besar dengan inti sel yang tidak begitu jelas terlihat dan berwarna biru tua sampai ungu (Dellman & Brown 1992), serta granulanya bersifat basofilik dan akan terwarnai dengan pewarnaan alkohol. Basofil bukan merupakan sel fagosit. Basofil akan melepaskan senyawa seperti heparin, serotonin dan histamin ke dalam darah. Jika terjadi luka, basofil akan mengeluarkan histamin. Histamin akan memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler di dekatnya (Campbell et al. 2004). Selain itu, Campbell et al. (2004) juga menyatakan bahwa leukosit dan sel-sel jaringan yang rusak akan mengeluarkan prostaglandin yang selanjutnya akan meningkatkan aliran darah ke tempat luka. Peningkatan aliran darah dan permeabilitas pembuluh akan membantu pengiriman unsur penggumpalan ke daerah yang luka. Berikut ini adalah gambar basofil pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa. 13

26 14 Gambar 6 Basofil [sumber: UC 2009] Agranulosit (Leukosit Mononuklear) Limfosit Diameter limfosit rata-rata 10 µm. Limfosit memiliki nukleus berukuran besar dan kaya akan kromatin. Nukleus umumnya berbentuk bulat, tapi juga dapat berbentuk seperti kacang (pada limfosit dewasa). Nukleus dikelilingi oleh lapisan tipis sitoplasma yang bersifat basofilik. Trautmann (1957) menyatakan bahwa jumlah limfosit lebih banyak daripada neutrofil pada rodensia laboratorium, ruminansia, dan unggas. Namun, jumlah neutrofil lebih banyak pada manusia, kuda, babi, anjing, dan kucing. Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan. Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi bagian terbesar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang. Selain beredar dalam darah, limfosit terdapat dalam jaringan limfoid (tonsil, nodus limfe, limpa, thymus, sumsum tulang, appendix, dan Peyer s patche usus halus). Pada umumnya, limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe. Setiap saat, hanya sekitar 2% dari seluruh limfosit dalam tubuh terdapat di darah perifer. Sebagian besar sisanya terdapat di organ limfoid (Ganong 2002). Ganong (2002) menyatakan bahwa limfosit terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu limfosit B (sel B dan limfosit T (sel T). Kedua jenis sel ini melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi. Sel T merupakan sel limfosit yang mengalami pematangan di timus, sedangkan sel B merupakan sel limfosit yang pematangannya tetap berada di sumsum tulang. Sel B adalah sel 14

27 15 yang berperan dalam pembentukan antibodi jika berhadapan dengan antigen tubuh (Campbell et al 2004). Berikut ini adalah gambar limfosit pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa. Gambar 7 Limfosit [sumber: UC 2009] Monosit Monosit memiliki diameter rata-rata 16 µm pada ulas darah. Monosit memiliki sitoplasma yang berlimpah (besar), dan berwarna sedikit basofilik. Warna nukleus tidak segelap nukleus pada limfosit, dan kromatin terlihat lebih samar dan berbentuk seperti tapal kuda ataupun ginjal (Campbell et al 2004). Berikut ini adalah gambar monosit pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa. Gambar 8 Monosit [sumber: UC 2009] Daya motilitas monosit sangat baik, dan dapat melakukan fagositosis. Monosit menyediakan pertahanan fagositik yang lebih baik daripada leukosit walaupun persentasenya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan persentase leukosit. Monosit baru bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam, 15

28 16 kemudian bermigrasi ke dalam jaringan dan berkembang menjadi makrofag jaringan (Campbell et al. 2004). Sel makrofag akan diaktifkan oleh limfokin dari limfosit T. Makrofag yang aktif akan bermigrasi sebagai respon terhadap randang kemotaksik, selanjutnya menelan dan membunuh bakteri melalui proses yang umumnya serupa dengan neutrofil (Ganong 2002). Ganong (2002) menyatakan bahwa proses perlekatan, penelanan, dan pencernaan mikroba dalam makrofag secara umum serupa dengan neutrofil, meskipun terdapat beberapa perbedaan penting. Makrofag mempunyai kemampuan untuk merubah bentuk permukaannya. Makrofag tidak menghasilkan metabolit oksigen yang sangat toksik dan senyawa protease yang terdapat pada makrofag berbeda dengan yang ada pada neutrofil. Artemisia annua Linn. A. annua L. atau Qing Hao (Cina) atau sweet wormwood (Inggris) atau anuma (Indonesia) adalah tanaman herbal yang berasal dari Cina. A. annua L. termasuk ke dalam famili Asteraceae. USDA (2010) menyatakan bahwa klasifikasi A. annua L. adalah sebagai berikut: kingdom : Plantae subkingdom : Tracheobionta superdivisi : Spermatophyta divisi : Magnoliophyta kelas : Magnoliopsida subkelas : Asteridae ordo : Asterales famili : Asteraceae genus : Artemisia species : Artemisia annua L. Tanaman ini umum digunakan di Cina sebagai antipiretik dalam mengobati panas dingin dan gejala demam akibat malaria, serta gejala demam karena sebab lain sejak jaman dahulu. A. annua L. mengandung zat aktif, seperti: arteannuin dan artemisinin. Artemisinin pertama kali diisolasi dan diidentifikasi pada tahun 1971 sebagai senyawa baru yang mewakili seskuiterpen lakton endoperoksida. Artemisinin (baik yang alami ataupun derivat sintetik) bersifat skizontisida darah dengan tingkat toksisitas rendah terhadap induk semang (Wright 2002). 16

29 17 Morfologi A. annua L. memiliki ciri-ciri batang tegak, berwarna hijau kecoklatan, dan akar berjenis serabut dengan warna putih kekuning-kuninngan. Tanaman dengan ini dapat mencapai tinggi cm. Daun A. annua L. berbentuk oval, lonjong, runcing pada bagian ujungnya, dan pangkal yang tumpul. Panjang daun sekitar cm dan lebar 5-15 cm (Anonim 2009). A. annua L. yang sekarang dikembangkan sebagai alternatif obat malaria dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 9 A. annua L. [sumber: CHOL 2010] A. annua L. dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi ( m di atas permukaan laut), iklim dengan curah hujan minimal mm/tahun, dan intensitas cahaya rendah. Walaupun tanaman ini berasal dari daerah subtropis (Cina), tanaman ini juga dapat tumbuh di daerah tropis melalui pemuliaan (seleksi adaptasi dan hibridisasi) (Gusmaini & Hera 2007). Negara Asia selain Cina yang telah mengembangkan Artemisia spp. di lahan-lahan dataran tinggi pada areal yang luas dan mampu memproduksi obat malaria secara mandiri adalah Vietnam dan Jepang (Kardinan 2006). Kandungan A. annua L. A. annua L. merupakan satu-satunya jenis Artemisia spp. yang mengandung artemisin dengan kadar yang cukup tinggi (Ferreira et al. 2005). Daun A. annua L. mengandung sekitar 89% dari total artemisinin yang terkandung pada tanaman dan tersebar di 1/3 daun bagian atas (41.7%); 1/3 daun bagian tengah (25%), 17

30 18 dan 1/3 daun bagian bawah (22.2%). Tetapi, pendapat lain menyatakan bahwa kandungan artemisinin cukup tinggi pada bagian bunga, bahkan dapat disetarakan dengan kandungan artemisinin pada daun (Khomsan 2006). Laughlin (1995) mengemukakan bahwa kandungan maksimal artemisinin dari A. annua L. terjadi pada saat bunga mekar ataupun sesaat sebelum bunga mekar, hal ini tergantung dari tempat tumbuh tanaman tersebut. Di daerah tropis, dimana waktu siang lebih pendek daripada di daerah subtropis, tanaman ini dapat berbunga pada umur yang lebih muda. Selain terkenal dengan kandungan artemisininnya, A. annua L. sering dimanfaatkan minyak atsirinya. Minyak atsiri tersebut mengandung sedikitnya 40 komponen yang bersifat volatil (mudah menguap) dengan salah satu komponen utamanya adalah thujone (70%). Thujone bersifat antioksidan, anti bakteri, dan anti jamur (Kardinan 2008). Kardinan (2008) juga menyatakan bahwa di Eropa, minyak atsiri tanaman ini digunakan sebagai bahan aromatika (untuk indusri parfum), bahan campuran pada minuman bir atau minuman lainnya, atau dengan pemanfaatan aroma daunnya sebagai pewangi minuman. Minyak atsirinya juga dapat digunakan sebagai tonik (Kardinan 2008). Artemisinin Artemisinin umumnya dikenal sebagai antimalaria. Namun, artemisinin telah digunakan selama lebih dari 30 tahun di Vietnam dan Cina untuk menanggulangi kanker. Beberapa pasien yang menderita berbagai jenis kanker, dari mulai kanker kulit, payudara tumor pada paru-paru berhasil disembuhkan (Kardinan 2008). Harijanto (2006) menyatakan bahwa terdapat tiga derivat artemisinin sebagai antimalaria yang dibuat secara semisintetik, yaitu: a. Artesunat. Sediaan ini diberikan secara IV, IM, peroral atau sebagai suppositoria. Artesunat dalam bentuk bubuk yang disertai dengan pelarutnya. b. Artemeter. Sediaan ini larut dalam minyak dan diberikan secara IM atau peroral. c. Artemisinin dalam bentuk suppositoria (artesunat, dihidroartemisinin, dan artemisinin). Bentuk suppositoria dapat dipakai sebagai obat malaria berat, 18

31 19 khususnya pada anak-anak atau kasus muntah-muntah. Artemisinin dan dihidroartemisinin dapat diberikan secara peroral. Derivat artemisinin tersebut adalah obat antimalaria dengan kerja sangat cepat. Obat ini bekerja dengan waktu paruh kira-kira 2 jam dan bekerja sebagai obat skizontisida darah (Harijanto 2006). Kardinan (2006) menyatakan bahwa hingga saat ini, dampak negatif dari penggunaan A. annua L. sebagai obat antimalaria belum banyak ditemui. Namun demikian, artemisinin dapat meningkatkan produksi asam lambung dan meransang menstruasi, sehingga dilarang digunakan oleh wanita hamil. Pemanfaatan minyak atsiri dengan kandungan utama thujone dari tanaman ini perlu hati-hati, karena pada pamakaian dosis tinggi, thujone dapat menyebabkan halusinasi (Kardinan 2008). 19

32 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai Juli 2010 di Laboratorium Protozoologi dan Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bahan dan alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah hewan coba berupa mencit putih, P. berghei, infusa A. annua L., pakan mencit (pelet ikan), kertas saring, heparin, NaCl fisiologis, gliserol, metanol, pewarna Giemsa, phosphate buffer saline (PBS), xylol, minyak emersi, dan tissue. Alat yang digunakan adalah mikrohematokrit (tabung kapiler), syringe 1 ml, syringe 10 ml, gelas objek, microtube, cawan penguap, gelas ukur, mortar, sonde lambung, kandang mencit, timbangan listrik, mikroskop cahaya, dan lemari pendingin. Cara kerja a. Preparasi hewan coba Penelitian ini menggunakan 30 ekor mencit putih (Mus musculus albinus) yang terdiri dari 15 ekor mencit jantan dan 15 ekor mencit betina. Mencit memiliki berat kurang lebih 25 gram. Mencit tersebut dipelihara di dalam 10 kandang yang cukup untuk 3-5 mencit. Kandang terbuat dari plastik yang ditutup dengan ram kawat dan lantainya dialasi dengan sekam padi. Pakan dan air minum mencit diberikan secara ad libitum. Pakan yang digunakan untuk hewan coba ini yaitu berupa pelet ikan yang sudah diatur komposisinya sehingga memenuhi nilai nutrisi. b. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima kelompok perlakuan yaitu 1) kontrol normal (tidak diinfeksi dan tidak diberi infusa A. annua L.), 2) kontrol negatif (diinfeksi tetapi tidak diberi infusa

33 21 A. annua L.), 3) AR1 (diinfeksi dan diberi infusa A. annua L. dengan pengenceran ), 4) AR2 (diinfeksi dan diberi infusa A. annua L. dengan pengenceran ), dan 5) AR3 (diinfeksi dan diberi infusa A. annua L. dengan pengenceran ). Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap kelompok perlakuan. Mencit diinfeksi dengan P. berghei secara intraperitoneal dengan menyuntikkan /µl darah mengandung parasit. Setiap kelompok perlakuan, kecuali kontrol normal dan negatif, diberikan infusa A. annua L. secara peroral menggunakan sonde lambung. Infusa A. annua L. diberikan sebanyak satu kali sehari selama 4 hari berturut-turut. Pemberian infusa A. annua L. dimulai pada hari pertama setelah infeksi. Darah mencit diambil dan dibuat preparat ulas darah setiap hari sampai hari ke-11 setelah infeksi. Pengamatan gambaran leukosit mencit dilakukan pada preparat hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 9, 10, dan 11 setelah infeksi. c. Penyimpanan dan Pembuatan Stok P. berghei Stok P. berghei diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P. berghei tersebut telah diinfeksi selama lima hari pada mencit albino. Darah mencit yang tersinfeksi diambil menggunakan mikrohematokrit atau tabung kapiler yang sudah berisi antikoagulan melalui intraorbital mata. Darah yang terdapat pada tabung kapiler kemudian dialirkan ke microtube yang sudah diberikan heparin. Darah yang terdapat di dalam microtube ditambah dengan gliserol agar darah tidak lisis dan rusak ketika disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -70 ºC (Jekti et al. 1996). Sediaan ini digunakan untuk menginfeksi mencit-mencit disetiap perlakuan. d. Dosis Parasit pada Stok P. berghei P. berghei diinfeksikan pada mencit dengan dosis /µl darah mengandung parasit. Dosis parasit per µl darah diketahui dengan menghitung jumlah sel darah merah dan menghitung persentase parasit. Jumlah sel darah merah dihitung dengan terlebih dahulu mengencerkan darah menggunakan larutan Hayem. Darah yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam Improved Neubauer Counting Chamber. Sel darah merah yang dihitung adalah sel darah merah yang terdapat dalam lima kotak kecil dibagian tengah

34 22 kotak hitung. Jumlah sel darah merah dibagi dengan volume bilik hitung (0.02) dan dikali dengan faktor pengenceran (200) untuk mendapatkan jumlah sel darah merah per µl. Persentase parasit diketahui dari ulasan darah yang sudah diwarnai dengan Giemsa. Pada preparat ulas, jumlah parasit per jumlah sel darah merah dihitung untuk mengetahui persentase parasit. Jumlah parasit per µl darah diketahui dengan mengalikan persentase parasit dan jumlah sel darah merah. e. Pembuatan Infusa A. annua L. A. annua L. yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian. Infusa diperoleh dengan merebus batang dan daun A. annua L. yang telah dikeringkan sebelumnya pada suhu 90 C selama menit (Wintarsih et al 2009). Perbandingan A. annua L. dan larutan yang akan direbus adalah 25:100. Hasil rebusan disaring untuk memisahkan ampas dan filtrat. Filtrat akan digunakan sebagai infusa. Kadar infusa diketahui dengan menguapkan 1 ml infusa di dalam rotarievaporator. Berat filtrat setelah diuapkan ditimbang dan didapat kadar infusa tersebut adalah 0.96 g/ml. Penelitian ini menggunakan tiga pengenceran yaitu , , dan Pengenceran didapat dengan menambahkan 1 ml fitrat ke dalam 99 ml aquades, kemudian dilakukan pengocokan manual sebanyak 170 kali pengocokan per menit. Pengenceran didapat dengan menambahkan 1 ml infusa dengan pengenceran ke dalam 99 ml aquades. Pengenceran didapat dengan menambahkan 1 ml infusa dengan pengenceran ke dalam 99 ml aquades. Kadar infusa yang diberikan untuk tiap pengenceran adalah 4.8 mg/0.5 ml (infusa dengan pengenceran ), mg/0.5 ml (infusa dengan pengenceran ), dan mg/0.5 ml (infusa dengan pengenceran ). f. Infeksi P. berghei P. berghei diinfeksikan pada mencit jantan dan mencit betina secara intraperitoneal. Darah mencit mengandung parasit yang telah dihitung dosis parasitnya disuntikkan pada semua kelompok mencit, kecuali kelompok normal. 22

35 23 Dosis P. berghei yang diinfeksikan pada mencit adalah 0.25 mengandung parasit /µl darah g. Pembuatan Preparat Ulas Darah Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan cara mengambil darah dari ekor mencit dan kemudian diteteskan pada objek gelas. Darah diulas pada objek gelas, kemudian dilakukan fiksasi dengan metanol selama 3-5 menit. Pewarnaan Giemsa dilakukan selama 30 menit pada ulas darah yang telah difiksasi dengan metanol. Perbandingan pewarna Giemsa yang digunakan adalah 1 bagian Giemsa dan 1 bagian phosphate buffer saline (PBS). Preparat yang telah diwarnai dicuci menggunakan air mengalir dan dikering udarakan. h. Perhitungan Leukosit Perhitungan leukosit dari preparat ulas darah dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000x. Preparat ulas tersebut ditetesi dengan minyak emersi untuk memperjelas pengamatan. Jumlah leukosit yang dihitung adalah sebanyak 100 leukosit untuk setiap preparat. Keseratus leukosit tersebut dikelompokkan berdasarkan perbedaan ukuran, warna, jumlah dan granulasi sitoplasma, bentuk kromatin dan inti ke dalam lima kelompok yaitu: neutrofil, monosit, limfosit, eosinofil dan basofil. Nilai relatif setiap jenis leukosit dinyatakan dalam satuan persen. Nilai relatif tersebut didapat dengan membagi jumlah sel leukosit dalam satu jenis leukosit dengan 100, kemudian dikali dengan 100% (Sastradipradja 1989). i. Analisis Data Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan uji ANOVA (Analysis of Varian) SPS System 17.0 lalu dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test dengan taraf 5% untuk mengetahui perbedaan perlakuan yang diberikan (Mattjik & Sumertajaya 2002). 23

36 HASIL DAN PEMBAHASAN Neutrofil pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 2, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan infusa A. annua L. dari hari ke-2 sampai hari ke-8 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan KN. Pada hari ke-10 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil kelompok AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 2, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 10 di bawah ini Persentase KNO KN AR1 AR2 AR Hari Pengamatan Gambar 10 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Neutrofil pada Mencit Betina Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit betina disajikan pada Tabel 3. Diagram batang dari Tabel 3 disajikan pada Gambar 11.

37 25 Tabel 2 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. Hari Pengamatan (Setelah Infeksi) Perlakuan KNO ± abcd ± 0.00 bcd ± 8.92 bcd ± 3.79 abcd ± bcd ± bcd ± abcd ± 5.00 abc KN ± 8.54 abcd ± 1.53 abcd ± 5.03 abcd ± 2.65 a ± 8.72 abcd ± bcd ± 3.06 abcd ± abcd AR ± 8.66 abcd ± 0.00 abcd ± abcd ± 2.52 ab ± abcd ± 6.11 abcd ± abcd ± 1.00 abcd AR ± 6.66 abcd ± 2.08 abcd ± 3.61 abcd ± 4.36 abcd ± 1.53 abcd ± 7.37 abcd ± 9.61 abcd ± cd AR ± 7.50 abcd ± 3.21 abcd ± 5.86 d ± 4.36 abcd ± 0.00 cd ± 5.51 abcd ± 2.89 cd ± 9.29 abcd *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Tabel 3 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. Hari Pengamatan (Setelah Infeksi) Perlakuan KNO ± 3.21 abcdefghi ± abcdefghij ± 6.56 abcdefghij ± 5.29 cdefghij ± 4.51 j ± 3.21 abcdefghij ± 6.03 abcdefghij ± j KN ± 1.53 abcdefghi ± 2.08 ghij ± 9.07 abcd ± 9.54 ghij ± 3.21 hij ± 1.50 j ± 1.00 ij ± 0.00 j AR ± 4.93 abcdefg ± 8.39 defghij ± 3.51 bcdefghij ± efghij ± 2.00 abcdefghij ± 2.00 efghij ± 4.62 fghij ± 8.50 defghij AR ± 2.65 efghij ± defghij ± 7.00 ab ± abcdef ± 7.00 defghij ± 2.50 a ± 3.50 bcdefghij ± 3.00 abcdefghi AR ± 0.56 abcdefg ± 8.08 j ± 1.53 abcde ± 6.11 abcdef ± 2.51 abcd ± 6.87 abc ± abcdefgh ± abcdefghij *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml).

38 26 Pada hari ke-2 setelah infeksi (Tabel 3), hanya AR3 yang memiliki persentase rata-rata neutrofil lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-4 setelah infeksi, rata-rata persentase kelompok perlakuan AR1 dan AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Rata-rata persentase neutrofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-6 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN Persentase KNO KN AR1 AR2 AR Hari Pengamatan Gambar 11 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Monosit Pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 4, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Hal sebaliknya terjadi pada hari ke-4 setelah infeksi, persentase rata-rata monosit ketiga kelompok perlakuan A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-6 dan ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-9 dan ke-10 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit AR3 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN, sedangkan kelompok 26

39 27 perlakuan AR1 dan AR2 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit dari berbagai kelompok perlakuan di mencit jantan disajikan pada Tabel 4, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 12 di bawah ini.. 20 Persentase 10 KNO KN AR1 AR2 AR Hari Pengamatan Gambar 12 Rata-rata persentase monosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Monosit pada Mencit Betina Berdasarkan Tabel 5, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-4 setelah infeksi, hanya AR2 yang memiliki rata-rata persentase monosit lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hari ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata persentase kelompok KN. Rata-rata persentase monosit AR3 pada hari ke-9 dan ke-10 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit dari mencit betina disajikan pada Tabel 5, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar

40 28 Tabel 4 Rata-rata persentase monosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. Hari Pengamatan (Setelah Infeksi) Perlakuan KNO 4.00 ± 2.65 ab ± 4.51 abc 8.33 ± 2.08 abc 4.67 ± 4.62 ab ± 7.57 abc ± 3.21 abc ± 5.00 abc ± 2.00 abc KN 2.33 ± 0.57 a ± 5.13 abc 7.67 ± 4.51 abc 8.33 ± 4.93 abc 3.67 ± 1.54 ab 6.33 ± 8.39 ab 5.00 ± 6.25 ab 3.33 ± 1.53 a AR ± 2.08 ab ± abc ± 1.00 abc 7.67 ± 4.73 abc 9.67 ± 6.11 abc 8.33 ± 4.04 abc ± 6.08 bc ± 7.00 d AR ± 1.53 a 3.67 ± 1.53 ab ± 3.05 abc 4.67 ± 2.08 ab 2.67 ± 1.53 a 9.67 ± 4.73 abc 9.67 ± 7.51 abc 9.67 ± 5.77 abc AR ± 6.5 abc 3.33 ± 2.52 a ± 6.43 bcd ± 8.72 abc ± 3.46 abc 3.67 ± 3.05 ab 4.33 ± 2.08 ab ± abc *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Tabel 5 Rata-rata persentase monosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. Hari Pengamatan (Setelah Infeksi) Perlakuan KNO 3.00 ± 1.73 abcd 6.33 ± 1.53 abcdefghi 9.00 ± 8.54 defghi ±1.53 ghi 8.33 ± 2.31 bcdefghi 9.33 ± 3.06 defghi 9.67 ± 4.13 defghi 6.00 ± 2.00 abcdefghi KN 1.67 ± 0.58 abc 3.33 ± 2.31 abcde 6.00 ± 4.36 abcdefghi 8.67 ± 3.06 cdefghi 5.67 ± 5.69 abcdefgh 3.00 ± 1.00 abcd 8.00 ± 2.00 abcdefghi 9.50 ± 0.50 defghi AR ± 1.53 abcde ± 3.61 i 1.00 ± 1.00 a 4.00 ± 3.61 abcdef 1.33 ± 0.58 ab 1.33 ± 0.58 ab 9.00 ± 3.61 defghi ± 2.89 hi AR ± 3.21 abcdef 6.00 ± 3.61 abcdefghi 8.50 ± 0.50 bcdefghi 5.50 ± 1.50 abcdefgh 8.50 ± 7.50 bcdefghi 5.50 ± 4.50 abcdefgh 6.50 ± 0.50 abcdefghi 6.50 ± 2.50 abcdefghi AR ± 3.79 abcdef ± 1.00 fghi 5.33 ± 1.53 abcdefg 6.33 ± 7.51 abcdefghi 5.33 ± 4.61 abcdefg 9.33 ± 6.43 defghi ± 4.16 efghi 8.67 ± 3.79 cdefghi *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). 28

41 29 20 Persentase 10 KNO KN AR1 AR2 AR Hari Pengamatan Gambar 13 Rata-rata persentase monosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Limfosit pada Mencit Jantan Rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi berdasarkan Tabel 6 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-8 dan ke-10 setelah infeksi, kelompok AR2 memiliki rata-rata persentase limfosit paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Pada hari ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, dan kelompok AR3 memiliki rata-rata persentase limfosit tertinggi dibandingkan dua kelompok perlakuan infusa A. annua L. lainnya. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase limfosit dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 6, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 14 berikut ini. 29

42 30 Persentase KNO KN AR1 AR2 AR Hari Pengamatan Gambar 14 Rata-rata persentase limfosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Limfosit pada Mencit Betina Berdasarkan Tabel 7, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit kelompok AR2 dan AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit kelompok AR1 dan AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan A. annua L. pada hari ke-9 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase limfosit dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 7, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar

43 31 Tabel 6 Rata-rata persentase limfosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. Hari Pengamatan (Setelah Infeksi) Perlakuan KNO ± abcde ± 4.16 abcde ± abcd ± 3.00 abcde ± abcd ± abc ± abcde ± 3.00 abcde KN ± 9.54 cde ± 6.81 abcde ± 9.81 abcde ± 7.02 e ± 9.54 bcde ± abcde ± abcde ± abcde AR ± abcde ± abcde ±10.69 abcde ± 7.51 de ± abcde ± 6.93 abcde ± abcd ± 7.51 abc AR ± 6.66 abcde ± 2.52 abcde ± 2.52 abcde ± 5.57 bcde ± 0.58 cde ± 8.33 abcde ± 8.66 abcde ± 8.08 abcde AR ± abcde ± 5.86 abcde ± 4.72 a ± 9.64 abcde ± 8.50 ab ± 4.58 bcde ± 2.52 abcde ± 6.66 abcde *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Tabel 7 Rata-rata persentase limfosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. Hari Pengamatan (Setelah Infeksi) Perlakuan KNO ± 2.89 fghijk ± bcdefghijk ±12.17 abcdefghij ± 2.00 abcde ± 4.36 abc ± 1.73 abcdefghij ± 5.51 bcdefghijk ± abcd KN ±1.15 jk ± 3.46 abcdefghij ± hijk ± ab ± 4.04 abcdefghi ± 3.00 abcdefghi ± 2.50 abcd ± 1.00 ab AR ± 5.03 ghijk ± 5.51 abcde ± 2.08 cdefghijk ± abcdefghij ± 2.51 fghijk ± 3.00 abcdefghij ± 7.37 abcdefg ± 7.81 abcdef AR ± 7.57 abcdefghij ± abcdefghij ± 8.00 ijk ± ghijk ± 0.00 abcdefgh ± 1.50 k ± 3.50 abcdefghijk ± 6.00 efghijk AR ± 3.78 ghijk ± 9.71 a ± 1.53 hijk ± 9.71 ghijk ± 3.51 hijk ± 7.23 jk ± 6.66 defghijk ± 8.72 abcdefghijk *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). 31

44 32 Persentase KNO KN AR1 AR2 AR Hari Pengamatan Gambar 15 Rata-rata persentase limfosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Eosinofil pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 8, rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan disemua hari pengamatan, kecuali hari ke-0 dan ke-8 setelah infeksi, cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-2, ke-4 dan ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil kelompok AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kedua perlakuan infusa A. annua L. lainnya. Pada hari ke-8 setelah infeksi, hanya kelompok AR3 yang memiliki rata-rata persentase eosinofil lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 8, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 16 berikut ini. 32

45 33 10 Persentase KNO KN AR1 AR2 AR Hari Gambar 16 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). Eosinofil pada Mencit Betina Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 9, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar Persentase KNO KN AR1 AR2 AR Hari Pengamatan Gambar 17 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran (9.6 mg/ml), (0.096 mg/ml), ( mg/ml). 33

TINJAUAN PUSTAKA Malaria Kejadian Malaria Agen, Vektor dan Induk Semang Malaria

TINJAUAN PUSTAKA Malaria Kejadian Malaria Agen, Vektor dan Induk Semang Malaria TINJAUAN PUSTAKA Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit protozoa Plasmodium spp. pada sel darah merah. Penyakit ini masuk ke dalam tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Neutrofil pada Mencit Jantan Berdasarkan Tabel 2, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan infusa A. annua L. dari hari ke-2 sampai hari ke-8 setelah infeksi cenderung lebih

Lebih terperinci

Tanaman Artemisia Penakluk Penyakit Malaria

Tanaman Artemisia Penakluk Penyakit Malaria Tanaman Artemisia Penakluk Penyakit Malaria Ir. Agus Kardinan, M.Sc. Ahli Peneliti Utama di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyebab Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk anopheles betina. 5,15 Ada lima spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria masih menjadi masalah kesehatan di dunia baik di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit malaria telah menjangkiti 103 negara di dunia. Populasi orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh penduduk di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO (2010), terdapat sebanyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Malaria

TINJAUAN PUSTAKA Malaria 4 TINJAUAN PUSTAKA Malaria Malaria merupakan penyakit yang diakibatkan oleh parasit darah yakni Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Zein 2005; NIAID 2007; Nahrevanian et

Lebih terperinci

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

DENY HERMAWAN. SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan ii EFEKTIFITAS EKSTRAK SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees) DENGAN PELARUT AIR HANGAT TANPA EVAPORASI DAN KAJIAN DIFFERENSIAL LEUKOSIT PADA AYAM YANG DIINFEKSI DENGAN Eimeria tenella DENY HERMAWAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kuning ( Coscinium fenestratum Klasifikasi Morfologi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kuning ( Coscinium fenestratum Klasifikasi Morfologi 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Kuning (Coscinium fenestratum) Kayu kuning atau akar kuning (Coscinium fenestratum) merupakan salah satu tumbuhan obat yang sering digunakan masyarakat sebagai obat tradisional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit Malaria merupakan infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Ada empat spesies Plasmodium penyebab malaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi penyakit endemis di beberapa daerah tropis dan subtropis dunia. Pada tahun 2006, terjadi 247 juta kasus malaria,

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui nyamuk yang terinfeksi protozoa obligat intraseluler dari

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS MALARIA BALAI LABORATORIUM KESEHATAN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013 TUJUAN Mampu membuat, mewarnai dan melakukan pemeriksaan mikroskpis sediaan darah malaria sesuai standar : Melakukan

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia.

Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. A. WAKTU BEKU DARAH Tujuan Praktikum Menentukan waktu beku darah (waktu koagulasi darah) dari seekor hewan/manusia. Prinsip Darah yang keluar dari pembuluh darah akan berubah sifatnya, ialah dari sifat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Elly Herwana Departemen Farmakologi dan Terapi FK Universitas Trisakti

Elly Herwana Departemen Farmakologi dan Terapi FK Universitas Trisakti Elly Herwana Departemen Farmakologi dan Terapi FK Universitas Trisakti SIKLUS HIDUP PARASIT PLASMODIUM: P. vivax, P. ovale, P. falciparum, P. malariae, P. knowlesi (zoonosis) SIKLUS SEKSUAL dalam tubuh

Lebih terperinci

A. Pengorganisasian. E. Garis Besar Materi

A. Pengorganisasian. E. Garis Besar Materi Pokok Bahasan : Malaria Sub Pokok : Pencegahan Malaria Sasaran : Ibu/Bapak Kampung Yakonde Penyuluh : Mahasiswa PKL Politeknik Kesehatan Jayapura Waktu : 18.30 WPT Selesai Hari/tanggal : Senin, 23 Mei

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria ditularkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Leucocytozoon caulleryi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA Leucocytozoon caulleryi Morfologi TINJAUAN PUSTAKA Leucocytozoon caulleryi Leucocytozoon merupakan parasit darah dan jaringan yang telah ditemukan pada unggas sejak 200 tahun yang lalu oleh Danilewsky pada tahun 1884. Pertama kalinya,

Lebih terperinci

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan Plasmodium, dimana proses penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa parasit

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN

HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN HASIL PENELITIAN UJI EFIKASI OBAT HERBAL UNTUK MENINGKATKAN KADAR HEMOGLOBIN, JUMLAH TROMBOSIT DAN ERITROSIT DALAM HEWAN UJI TIKUS PUTIH JANTAN PUSAT STUDI OBAT BAHAN ALAM DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Identifikasi Tanaman Identifikasi/determinasi dari bagian-bagian batang, daun, buah yang dilakukan oleh Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI menyatakan tanaman ini memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya kesehatan transfusi darah adalah upaya kesehatan berupa penggunaan darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan. Sebelum dilakukan transfusi darah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah LeukositTotal Leukosit merupakan unit darah yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi serangan agen-agen patogen, zat racun, dan menyingkirkan sel-sel rusak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari pengamatan diferensial leukosit pada mencit yang diinfeksi dengan P.berghei setelah pemberian ekstrak akar kayu kuning (C. fenestratum) dengan pelarut etanol yaitu sebagai

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian 3 METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. 19 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2015. Penginduksian zat karsinogen dan pemberian taurin kepada hewan uji dilaksanakan di

Lebih terperinci

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit intraseluler Protozoa, yaitu genus Plasmodium, menginfeksi 500 juta dan membunuh lebih dari 1 juta jiwa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akar Kayu Kuning ( Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr.) Klasifikasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akar Kayu Kuning ( Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr.) Klasifikasi 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Akar Kayu Kuning (Coscinium fenestratum (Gaertn.) Colebr.) Klasifikasi Taksonomi tanaman akar kayu kuning menurut Dey (1984 dalam Joy 1998) adalah : Kingdom : Plantae Subdivisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksius. yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksius. yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit infeksius disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit menjadi penyakit endemis di negara-negara tropis, salah penyertanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari genus plasmodium yang dapat ditularkan melalui cucukan nyamuk anopheles betina. Penyakit

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS)

MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS) MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS) Oleh: Dr.rer.biol.hum. dr. Erma Sulistyaningsih, M.Si NAMA :... NIM :... FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Bila Darah Disentifus

Bila Darah Disentifus Judul Fungsi Darah Bila Darah Disentifus Terdiri dari 3 lapisan yaitu : Darah di sentrifuse q Lapis paling bawah (merah) 45% adalah Eritrosit atau hematokrit q Lapis tengah (abu-abu putih) 1 % adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang. masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang. masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih menjadi masalah di negara tropis dan subtropis termasuk Indonesia. Penyebab penyakit malaria ini adalah parasit

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

PENGARUH EKSTRAK AKAR KAYU KUNING (Coscinium fenestratum) DENGAN PELARUT ETANOL TERHADAP GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei

PENGARUH EKSTRAK AKAR KAYU KUNING (Coscinium fenestratum) DENGAN PELARUT ETANOL TERHADAP GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei PENGARUH EKSTRAK AKAR KAYU KUNING (Coscinium fenestratum) DENGAN PELARUT ETANOL TERHADAP GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT YANG DIINFEKSI Plasmodium berghei ARIEF PURWO MIHARDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei

ABSTRAK. PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei ABSTRAK PENGARUH SARI BUAH MERAH (Pandanus conoideus Lam.) TERHADAP PARASITEMIA PADA MENCIT JANTAN STRAIN BALB/c YANG DIINOKULASI Plasmodium berghei Lisa Marisa, 2009 Pembimbing I : Dr. Susy Tjahjani,

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan tubuh nyamuk.

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan tubuh nyamuk. 6 BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Malaria Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia dan tubuh nyamuk. Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kesakitandan angka kematian terutama pada negara

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kesakitandan angka kematian terutama pada negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kesakitandan angka kematian terutama pada negara berkembang seperti Indonesia masih disebabkan oleh penyakit infeksi. 1 Penyakit infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sediaan Malaria Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa penyakit malaria dapat dilakukan dengan banyak metoda. Salah satu metoda yang paling diyakini dapat menemukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular utama di sebagian wilayah Indonesia seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. World Malaria Report - 2008,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 (lima) kelompok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi dan pembuatan ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

Rickettsia prowazekii

Rickettsia prowazekii Rickettsia prowazekii Nama : Eva Kristina NIM : 078114026 Fakultas Farmasi Sanata Dharma Abstrak Rickettsia prowazekii adalah bakteri kecil yang merupakan parasit intraseluler obligat dan ditularkan ke

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuantitatif. Pada penelitian ini terdapat manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test only control group design. Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan post test only control group design. Penelitian 22 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan rancangan post test only control group design. Penelitian dilakukan dengan beberapa

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA. Ar11l ELVIEN LAHARSYAH

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA. Ar11l ELVIEN LAHARSYAH /' Ar11l fv\a'-af2-'al.~ CA E SA L ". {t PI r1ll1 CE: At. ELVIEN LAHARSYAH UJI AKTIVITAS ANTIMALARIA EKSTRAK METANOL KAYU SECANG (CAESALPINlA SAPPAN LINN.) TERHADAP PLASMODIUM BERGHEI SECARA IN VIVO PADA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus mengalami peningkatan sehingga permintaan akan ketersediaan makanan yang memiliki nilai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2015 di Laboratorium

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2015 di Laboratorium 24 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2015 di Laboratorium Zoologi dan Kimia Dasar FMIPA Universitas Lampung. Untuk pembuatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepadatan Ayam Petelur Fase Grower Ayam petelur adalah ayam yang efisien sebagai penghasil telur (Wiharto, 2002). Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. motilitas spermatozoa terhadap hewan coba dilaksanakan di rumah hewan,

BAB III METODE PENELITIAN. motilitas spermatozoa terhadap hewan coba dilaksanakan di rumah hewan, 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pemeliharaan, perlakuan, pengamatan jumlah, morfologi, viabilitas, dan motilitas spermatozoa terhadap hewan coba dilaksanakan di rumah hewan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) TINJAUAN PUSTAKA Kuda Gambar 1 Kuda (Dokumentasi) Kuda (Equus caballus) masih satu famili dengan keledai dan zebra, berjalan menggunakan kuku, memiliki sistem pencernaan monogastrik, dan memiliki sistem

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Eritrosit Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plasmodium merupakan penyebab infeksi malaria yang ditemukan oleh Alphonse Laveran dan perantara malaria yaitu nyamuk Anopheles yang ditemukan oleh Ross (Widoyono, 2008).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Jatinangor

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji Bak ukuran 40x30x30cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara acak dan diberi

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel darah yaitu obyek glass, cover glass, Haemicitometer, jarum suntik, pipet kapiler, mikroskop monokuler. Vitamin E

Lebih terperinci

AKTIVITAS ANTIPLASMODIUM FRAKSI SEMIPOLAR EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP Plasmodium berghei SECARA In Vivo SKRIPSI

AKTIVITAS ANTIPLASMODIUM FRAKSI SEMIPOLAR EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP Plasmodium berghei SECARA In Vivo SKRIPSI AKTIVITAS ANTIPLASMODIUM FRAKSI SEMIPOLAR EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU MANGGA (Curcuma mangga Val.) TERHADAP Plasmodium berghei SECARA In Vivo SKRIPSI Oleh: INDRIAWAN NUR CHOLIS K 100 050 241 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA SEDIAAN APUS DARAH

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA SEDIAAN APUS DARAH LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI MANUSIA SEDIAAN APUS DARAH DISUSUN OLEH: Anis Rachmawati (3415080201) Fina Lidyana (3415081961) Kusfebriani (3415081962) Rani Rahmahdini (3415083253) R.A Nurhikmah Annisa

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba 17 III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar Superoksida Dismutase (SOD) dan Malondialdehide (MDA)

Lebih terperinci

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) DANI WANGSIT NARENDRA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK DANI

Lebih terperinci

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus) TINJAUAN PUSTAKA Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari mencit liar yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, yaitu sekitar

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

Malaria merupakan penyakit yang terdapat di daerah Tropis. Penyakit ini. sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk

Malaria merupakan penyakit yang terdapat di daerah Tropis. Penyakit ini. sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk A. PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit yang terdapat di daerah Tropis. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembangbiak dan berpotensi melakukan

Lebih terperinci