DAFTAR LAMPIRAN. xiii

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR LAMPIRAN. xiii"

Transkripsi

1 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Komponen Penginderaan Jauh Gambar 2.2 Karakteristik respon spektal vegetasi hijau Gambar 2.3 Kerangka penelitian Gambar 3.1 Diagram alir metode penelitian Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian Gambar 5.1 Peta Sampel Lapangan Citra Resolusi Tinggi...62 Gambar 5.2 Titik kontrol (GCP) pada koreksi geometrik Gambar 5.3Pertampalan vektor sebelum dan sesudah Koreksi Geometrik Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit warna Gambar 5.5 Kenampakan citra satelit ALOS AVNIR-2 komposit Gambar 5.6 Peta Satuan Pemetaan Kerapatan Vegetasi Gambar 5.7 Pembuatan ROI dari blok kerapatan vegetasi Gambar 5.8 Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan vegetasi Gambar 5.9 Grafik hubungan antara NDVI dengan kerapatan vegetasi Gambar 5.10 Grafik hubungan antara TVI dengan kerapatan vegetasi Gambar 5.11 Grafik hubungan antara MSAVI dengan kerapatan vegetasi Gambar 5.12 Peta Kerapatan Kanopi Hutan Interpretasi Hibrida xi

2 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Produk Data Standar ANVIR Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual dan digital...25 Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan Tabel 3.1 Tingkat hubungan koefisien korelasi Tabel 3.2 Kelas kerapatan vegetasi Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik...49 Tebel 5.1 Hasil identifikasi kerapatan vegetasi di lapangan Tabel 5.2 Titik GCP pada koeksi geometrik Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR Tabel 5.4 Citra hasil transformasi dan perbandingan nilai spektralnya Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual untuk Satuan Pemetaan Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi pada Transformasi Indeks Vegetasi (RVI, NDVI, TVI dan MSAVI) Tabel 5.7 Korelasi nilai rata-rata tiap saluran dengan nilai kerapatan Tabel 5.8 Formula kerapatan vegetasi Tabel 5.9 Luas kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida Tabel 5.10 Uji akurasi interpretasi hibrida xii

3 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Nilai rata-rata satuan pemetaan kerapatan kanopi vegetasi pada citra NDVI Lampiran 2. Header Citra Satelit ALOS AVNIR Lampiran 3. Peta Kerapatan Kanopi Vegetasi Interpretasi Citra resolusi Tinggi Lampiran 4. Citra RVI Lampiran 5. Citra NDVI Lampiran 6. Citra TVI Lampiran 7. Citra MSAVI Lampiran 8. Peta Inversi Regresi xiii

4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi (Lindgren, 1985 dalam Sutanto 1986). Hasil dari rekaman tersebut berupa data penginderaan jauh yang dalam penerapannya disebut citra penginderaan jauh. Ada dua macam citra yang dihasilkan dari produk penginderaan jauh, citra foto dan citra nonfoto (satelit). Citra foto dihasilkan dari pemotretan foto udara dengan sensor berupa kamera. Sensor tersebut di pasang pada wahana seperti pesawat terbang, balon udara, atau bahkan pesawat tanpa awak (remote control). Adapun citra nonfoto adalah citra yang dihasilkan dari pemotretan dengan satelit sebagai wahananya. Citra hasil rekaman sensor penginderaan jauh memuat berbagai macam informasi objek di permukaan bumi. Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, maka citra ini harus diterjemahkan dalam bentuk informasi tentatif objek. Setiap objek di permukaan bumi memiliki nilai reflektansi yang berbeda-beda. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan objek di permukaan bumi inilah yang nantinya dijadikan dasar pengenalan objek. Tahap awal pengenalan citra inilah yang disebut dengan interpretasi citra. Estes dan Simonette (1975 dalam Sutanto, 1986) mengatakan bahwa interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan unsur-unsur pengenal objek ataupun gejala yang terekam pada citra. Unsur-unsur inilah yang dinamakan unsur interpretasi. Ada 9 jenis unsur interpretasi, rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi (Estes et al., 1983 dalam Sutanto 1986). Tidak mutlak ke 9 unsur interpretasi tersebut digunakan secara serentak untuk menginterpretasi objek. Melaui latihan 1

5 menginterpretasi citra baik di laboratrium maupun observasi lapangan secara langsung akan dapat dikenali unsur-unsur interpretasi apa saja yang paling berperan dalam identifikasi objek di permukaan bumi. Unsur interpretasi yang paling berperan inilah yang kemudian disebut kunci interpretasi. Menurut (Sabins, 1997), kunci interpretasi adalah karakteristik atau kombinasi karakteristik (dalam hal ini diwakili oleh unsur-unsur interpretasi) yang memungkinkan suatu objek pada citra dapat dikenali. Interpretasi citra pada dasarnya terdiri dari dua proses, yakni proses perumusan identitas objek dan elemen yang dideteksi pada citra dan proses untuk menemukan arti pentingnya objek dan elemen tersebut (Lo, dalam Sutanto 1986). Hasil dari proses inilah yang kemudian dikelompokkan berdasarkan homogenitasnya, jadi dapat dikatakan bahwa proses interpretasi pada dasarnya adalah mengelompokkan karakteristik/fenomena di permukaan bumi berdasarkan kemiripan/homogenitasnya membentuk suatu pola tertentu. Menurut Sutanto (1986) interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara visual atau manual dan interpretasi secara digital. Manual dengan memanfaatkan penginderaan melalui citra sedangkan interpretasi digital dilakukan dengan mendasarkan pada informasi spektralnya. Proses interpretasi yang untuk selanjutnya dilakukan klasifikasi adalah elemen yang sangat penting dalam menentukan sukses tidaknya proses pemetaan. Banyak metode klasifikasi yang masih digunakan hingga saat ini, terutama untuk klasifikasi digital. Beberapa metode klasifikasi digital yang umum digunakan antara lain klasifikasi multispektral, jaringan saraf tiruan, logika samar, klasifikasi berorientasi obyek. Sejauh ini hanya dikenal dua proses interpretasi, yakni manual dan digital. Masing-masing dari interpretasi tersebut pastilah memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dalam rangka mereduksi kekurangan dan mengoptimalkan kelebihannya maka dikembangkanlah satu teknik interpretasi dengan menggabungan baik interpretasi digital maupun interpretasi manual untuk mengidentifikasi objek tertentu di permukaan 2

6 bumi. Teknik interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan interpretasi hibrida. Adapun interpretasi hibrida menurut Suharyadi (2010) adalah teknik yang mengkombinasikan antara interpretasi visual untuk delineasi objek, dan menggunakan prinsip-prinsip pola pengenalan spektral secara digital untuk identifikasi objeknya. Penggunaan berbagai metode interpretasi baik visual maupun digital sebenarnya sama-sama untuk mempermudah dalam pengenalan objek di permukaan bumi. Namun bagaimana kemudian metode tersebut nantinya dapat diterima dan dimanfaatkan untuk analisis keruangan. Hal ini erat kaitannya dengan kualitas data spasial yang dihasilkan. menurut Guptill dan Morrison (1995) dalam Danoedoro (2012) kualitas data spasial adalah suatu keadaan data yang harus diinformasikan keada pengguna data tersebut agar mereka dapat memanfaatkannya secara proporsional; dan juga kepada para praktisi atau peneliti yang dalam pekerjaannya menghasilkan keluaran berupa peta atau citra agar mencantumkan informasi tentang keadaan data yang dihasilkan sehingga data dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Banyak aspek yang mempengaruhi kualitas data spasial, antara lain lineage/riwayat data, akurasi posisi, akurasi atribut, kelengkapan, konsistensi logis, akurasi semantik, dan informasi temporal (Guptil dan Morrison, 1995 dalam Danoedoro 2012). Kualitas data yang dibicarakan pada penelitian kali ini adalah kualitas data hubungannya dengan akurasi semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik peta. Akurasi ini menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan. Semakin tinggi akurasinya, semakin baik data/peta yang dihasilkan. Produk penginderaan jauh yang disebut citra penginderaan jauh saat ini sudah banyak dimanfaatkan untuk kajian penutup dan atau penggunaan lahan, tata ruang wilayah, hingga studi kebencanaan. Masing-masing citra penginderaan jauh memiliki tingkat kedetilalan informasi yang disadap, hal ini erat kaitannya dengan resolusi. Ada empat resolusi yakni resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometeri, dan resolusi temporal (Sutanto, 1986). Menurut Swain dan Davis (1978) resolusi adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi 3

7 secara spasial (keruangan) berdekatan atau secara spektral (sinar) mempunyai kemiripan. Resolusi spasial merupakan petunjuk kualitas sensor, semakin kecil objek yang dapat direkam olehnya, semakin detil informasinya. Resolusi spektral adalah kemapuan sensor dalam membedakan objek berdasarkan pantulan spektral dari objek itu sendiri. Resolusi temporal terkait dengan waktu, yakni kemampuan sensor untuk merekam ulang daerah yang sama. Sedangkan resolusi radiometri adalah kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral objek. Konsep resolusi berkaiatan erat dengan kualitas data spasial dalam penginderaan jauh. Tidak semua data dapat digunakan begitu saja, tergantung tujuan penggunaannya, dan output yang dihasilkan.. Citra-citra skala kecil dengan resolusi yang kecil, NOAA misalnya digunakan untuk analisis hingga tingkat regional dengan cakupan wilayah yang luas. Sedangkan Landsat atau ASTER tingkat kedetilannya hanya terbatas pada skala menengah begitu pula dengan ALOS. Lain halnya dengan IKONOS atau QuickBird, citra ini dapat mencapai tingkat kedetilan tinggi karena memiliki resolusi spasial yang tinggi pula. Kaitannya dengan hal tersebut, maka penelitian yang dilakukan di sebagian Kabupaten Gunungkidul ini menggunakan citra satelit resolusi menengah ALOS untuk kajian kerapatan vegetasi sehingga output yang dihasilkan nanti dapat sesuai dengan apa yang diharapkan. Variasi panjang gelombang yang dimiliki oleh citra ALOS dengan sensor AVNIR-2 inilah yang dijadikan dasar dalam pengenalan objek vegetasi di permukaan bumi. Dari sekian banyak metode interpretasi vegetasi, transformasi indeks vegetasi masih dipercaya sebagai metode yang memiliki keakuratan yang baik untuk pengenalan vegetasi di permukaan bumi. Pemetaan kerapatan vegetasi untuk penelitian kali ini dilakukan di Kabupaten Gunungkidul dengan objek kajian berupa hutan. Berdasarkan data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008 menyebutkan bahwa Kabupaten Gunungkidul menduduki peringkat tertinggi di Yogyakarta atas wilayah hutannya dengan total luasnya mencapai ,50 Ha. Kondisi ini tentunya membutuhkan 4

8 manajemen hutan yang baik agar tetap menjadi hutan yang lestari. Ada banyak parameter yang dapat diangkat guna optimalisasi potensi hutan, dan salah satunya adalah kerapatan tegakan. Sebagaimana disebutkan oleh Davis dan Johson (1986) dalam Sahid (2005) bahwa dua macam kegunaan pengukuran tegakan hutan yaitu pertama untuk menunjukkan tegakan dalam model yang digunakan untuk menaksir jumlah pertumbuhan dan hasil di masa yang akan datang, dan kedua untuk memutuskan prestasi tegakan jika dibandingkan dengan kriteria-kriteria tujuan pengelolaan. Hutan dalam penelitian kali ini merujuk pada hutan jenis tegakan. Menurut Undang- Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan tegakan menurut Howard (1991) adalah suatu agregasi pohon yang cukup seragam komposisinya yang dapat dibedakan dari tanaman di dekatnya. Berdasarkan dari rumusan tegakan yang dikemukakan oleh Howard (1991) tersebut, maka proses pemetaan vegetasi dapat diidentifikasi memalui perbedaan tekstur tegakan pada citra penginderaan jauh. 1.2 Rumusan Masalah Managemen pengelolaan hutan yang baik akan selalu membutuhkan informasi mengenai pertumbuhan hutan yang dikelola baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Informasi ini dapat diperoleh melalui pengamatan secara berkala, namun hal ini tidak dapat diterapkan pada daerah yang luas mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Oleh karena itu pendekatan melalui penginderaan jauh sangat tepat diterapkan untuk kajian kehutanan. Ilmu penginderaan jauh dalam analisis keruangan mutlak diperlukan, termasuk dalam hal pengelolaan hutan. Berbagai metode interpretasi hingga saat inipun berkembang kian pesat seiring dengan perkembangan teknologi yang mengikutinya. Salah satu metode interpretasi yang kian berkembang saat ini adalah metode interpretasi hibrida. Prinsip dari interpretasi hibrida 5

9 adalah dengan menggabungkan dua metode interpretasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Purwadi (2001) mengatakan bahwa metode yang sering digunakan untuk interpretasi hibrida adalah dengan menggabungan antara klasifikasi terselia (klasifikasi terkontrol) dan tak terselia (klasifikasi tak terkontrol). Klasifikasi terselia, operator, analisis, atau pengguna bertindak sebagai pengontrol kriteria klasifikasi seperti halnya pada klasifikasi manual. Sebaliknya, klasifikasi tak terselia merupakan metode klasifikasi yang sepenuhnya diputuskan secara otomatis oleh komputer tanpa ada campur tangan manusia. Seiring dengan perkembangannya, interpretasi hibrida dapat pula dilakukan dengan menggabungkan antara interpretasi digital dan interpretasi visual seperti yang dilakukan oleh Suharyadi (2010) dengan hasil yang dapat dipercaya. Tingkat kepercayaan dari interpretasi hibrida ini cukup tinggi yakni di atas 80%. Hal inilah yang membuat interpretasi hibida menjadi salah satu metode interpretasi yang mulai banyak digunakan dalam penelitian penginderaan jauh untuk analisis objeknya. Aplikasi penginderaan jauh dalam perkembangannya banyak menggunakan respon spektral untuk identifikasi objek tertentu di permukaan bumi. Salah satu metode yang memanfaatkan respon spektral dalam identifikasi objek yakni transformasi cira. Transformasi citra yang dilakukan adalah dengan membuat selisih dari beberapa saluran. Untuk kajian vegetasi, ada beberapa teknik transformasi yang umum digunakan, antara lain Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Teknik transformasi tersebut samasama memanfaatkan respon spektral yang diberikan dengan memanipulasi beberapa saluran guna menonjolkan objek vegetasi. Meskipun transformasi indeks vegetasi yang disebutkan di atas sama-sama memanfaatkan saluran merah dan inframerah dekat, namun antar satu dengan yang lain menghasilkan julat indeks vegetasi yang berbeda karena menggunakan algoritma yang berbeda pula. Untuk itu, perlu adanya suatu penelitian yang 6

10 mengkaitkan antara indeks vegetasi yang digunakan dengan akurasi yang diharapkan. Berawal dari asumsi bahwa setiap objek di permukaan bumi memiliki pola spektral yang berbeda-beda, maka keberadaan vegetasi di permukaan bumi pun dapat dideteksi dari citra penginderaan jauh. Salah satu aplikasi dari penginderaan jauh untuk analisis vegetasi adalah dengan melihat tingkat kerapatan kanopinya. Tingkat kerapatan konopi menggambarkan seberapa rapat tutupan tajuk dari vegetasi pada suatu wilayah (bukan jumlah vegetasi). Apabila dilihat melalui citra penginderaan jauh maupun foto udara tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi memperkecil kemungkinan terlihatnya objek tanah ataupun objek lain di bawahnya. Dengan demikian, semakin banyak tutupan vegetasi, semakin banyak pula nilai piksel murni vegetasi yang tergambarkan dalam analisis citra. Merujuk pada permasalahan di atas, maka penggunaan metode interpretasi hibrida untuk meningkatkan hasil akurasi penelitian yang berkaitan dengan identifikasi kerapatan vegetasi di permukaan bumi menjadi salah satu solusi dalam mempermudah interpretasi. Interpretasi hibrida dalam penelitian kali ini dilakukan dengan menggabungkan antara interpretasi manual/visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual dengan menggunakan citra satelit resolusi tinggi, sedangkan interpretasi digital dengan menggunakan beberapa indeks vegetasi. Hasil dari teknik interpretasi visual digunakan sebagai masukan dalam analisis piksel dari setiap indeks vegetasi yang digunakan, harapannya agar hasil yang didapat lebih akurat untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi. Berdasarkan uraian di atas, maka muncul pertanyaan penelitian yang melatarbelakangi pelaksanaan penelitian ini, yaitu : 1. Apakah tehnik interpretasi hibrida antara data berbasis visual dan digital mampu memberikan akurasi yang baik untuk pemetaan kerapatan kanopi vegetasi? 2. Bagaimana kondisi kerapatan kanopi tegakan hutan di sebagian Kabupaten Gunungkidul? 7

11 3. Transformasi indeks vegetasi apa yang paling baik digunakan untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi dengan metode hibrida? Mengacu pada permasalahan penelitian di atas, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul: Kajian Akurasi Interpretasi Hibrida Menggunakan Empat Indeks Vegetasi untuk Pemetaan Kerapatan Kanopi di Kawasan Hutan Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Interpretasi hibrida untuk mengoptimalkan kelebihan dan meminimalisasi kekurangan yang ada pada metode interpretasi visual maupun digital. 2. Memetakan kerapatan kanopi di kawaan hutan sebagian Kabupaten Gunungkidul. 3. Mengkaji korelasi empat transformasi indeks vegetasi dengan data kerapatan kanopi vegetasi untuk mendapatkan formula hibrida terbaik. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Pengaplikasian dan pengembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan kerapatan vegetasi menggunakan citra satelit resolusi menengah. 2. Sebagai bahan masukan bagi pemegang kebijakan daerah setempat terkait pembuatan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Gunungkidul khususnya yang berkaitan dengan kehutanan. 8

12 BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Batasan dan Pengertian Penginderaan Jauh Penginderaan jauh dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, mulai dari sistem perekaman hingga data yang dihasilkan. Kemampuannya dalam merepresentasikan permukaan bumi mulai dari skala kecil hingga skala besar menjadikan ilmu penginderaan jauh sebagai salah satu alat analisis dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Lillesand dan Kiefer (1999) mendefenisikan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji. Untuk itu penginderaan jauh sederhananya dapat diartikan sebagai pengambilan atau pengukuran data / informasi mengenai sifat dari sebuah fenomena, obyek atau benda dengan menggunakan sebuah alat perekam tanpa berhubungan langsung dengan objek kajian. Penginderaan jauh mampu menghasilkan data spasial (keruangan) yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari permukaan bumi dalam jumlah banyak dan waktu yang cepat. Keadaan ini membutuhkan suatu sisitem pengolahan dan penanganan data yang tepat agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Terkait dengan hal tersebut, beberapa komponen utama yang mendasari penginderaan jauh antara lain sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga elektromagnetik dengan objek, sensor dan wahana, pengolahan data, dan pengguna. Komponen-komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1). 9

13 Gambar 2.1 Komponen Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994) Pemanfaatan penginderaan jauh baik dilihat dari jumlah penggunaan maupun frekuensinya selama enam dasawarsa terakhir ini meningkat tajam (Sutanto, 1986). Hal ini dilandasi oleh beberapa faktor, antar lain : 1. Citra dapat menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di permukaan bumi dengan ujud dan letak obyek yang mirip di permukaan bumi, lengkap dalam menggambarkan kenampakan permukaan bumi, meliputi daerah yang luas dan permanen; 2. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga dimensional apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang disebut stereoskop; 3. Karakteristik objek yang tampak dapat diwujidkan dalam bentuk citra sehingga dapat dimungkinkan pengenalan objeknya; 4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi secara terrestrial; 5. Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana; 6. Citra merupakan alat yang baik untuk memantau (monitoring) perubahan penggunaan lahan. Kemampuan penginderaan jauh dalam mengumpulkan informasi di permukaan bumi tidak diragukan lagi. Seperti yang diungkapkan pula oleh Purbowaseso (1996), penginderaan jauh diaplikasikan guna mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk mengartikan berbagai macam komponen lingkungan kita yang lebih baik. 10

14 2.2 Karakteristik Pantulan Spektral Vegetasi dan Hubungannya dengan Penginderaan Jauh Respon spektral objek yang terbaca oleh sensor penginderaan jauh berkaitan dengan sifat energi elektromagnetik objek. Besarnya energi elektromagnetik yang yang terpancar dari setiap objek di permukaan bumi yang kemudian ditangkap oleh sensor penginderaan jauh tergantung dari sifat fisik maupun otik objek itu sendiri. Menurut Myers (1983), parameter yang mempengaruhi pantulan kanopi vegetasi antara lain. 1. Sifat transmisi dedaunan. 2. Jumlah dan susunan keruangan daun. 3. Karakteristik aspek vegetasi yang meliputi aspek batang, tangkai, dan dahan. 4. Karakteristik latar belakang vegetasi tumbuh. 5. Sudut azimuth, sudut pandang dan sudut zenith matahari. Tiga objek utama yang dapat di kenali secara langsung melalui citra penginderaan jauh adalah vegetasi, tanah, dan air. Ke tiga objek ini jika dilihat dari kurva pantulan spektralnya memiliki perbedaan kurva yang cukup signufikan sehingga mudah dalam identifikasinya. Dari ketiga objek tersebut, vegetasi paling banyak memiliki variasi pantulan spektralnya yakni tinggi pada saluran hijau, rendah pada saluran biru dan merah, dan sangat tinggi pada saluran inframerah dekat. Berikut grafik kurva pantulan spektral khusus untuk vegetasi (Gambar 2.2) 11

15 Gambar 2.2 Karakteristik respon spektal vegetasi hijau (Hoffer dalam Swain Davis 1978) Secara umum informasi vegetasi dapat diperoleh pada wilayah spektral antara 0,4 µm 2,6 µm dengan karakteristik sebagai berikut (Swain Davis, 1978): 1. Gelombang tampak (0,4 µm 0,7 µm) ; pigmentasi mendominasi respon spektral pada wilayah ini. 2. Inframerah dekat (0,8 µm 1,2 µm) ; pantulan gelombang pada panjang gelombang ini tampak meningkat secara jelas karena daun hijau menyerap sangat sedikit energi pada wilayah ini. 3. Inframerah tengah (1,3 µm 2,6 µm) ; air menyerap energi dengan kuat khususnya pada panjang gelombang ini. Semakin berkurang tingkat kelembaban pada daun, pantulan yang terjadi justru semakin tnggi. Ketiga aspek tersebut di atas menjadi ciri khas pengenalan objek vegetasi di permukaan bumi melalui pendekatan panjang gelombang. Sedangkan tinggi rendahnya pantulan vegetasi pada berbagai panjang gelombang dipengaruhi oleh struktur internal daun, pigmen warna (klorofil), 12

16 dan kandungan air. Serapan yang tinggi pada saluran merah dan biru inilah yang membuat mata manusia menagkap warna hijau pada daun sehat karena saluran hujau memiliki daya serap rendah. Lain halnya dengan daun yang layu atau tidak sehat. Kandungan klorofil yang sedikit, otomatis mengakibatkan serapan tenaga pun berkurang sehingga dengan sendirinya pantulan saluran merah justru akan bertambah. Kondisi inilah yang mengakibatkan daun yang tidak sehat berwarna pucat kekuningan. Untuk saluran inframerah dekat kurva pantulan akan sangat tinggi untuk daun sehat. Hal ini sebagai akibat dari berkurangnya serapan energy dan bertambahnya pantulan yang justru didominasi oleh kandungan air. Karena daun hijau memiliki kandungan air yang tinggi maka pantulan pada saluran inframerah dekat inipun sangat dominan, bahkan lebih tinggi dari saluran hijau. Dengan demikian daun sehat memiliki pantulan tinggi pada saluran hijau dan sangat tinggi pada saluran inframerah dekat. Sebagaimana disebutkan bahwa tiga objek yang dapat secara langsung dikenali melalui penginderaan jauh adalah vegetasi, tanah, dan air. Ketiga objek ini memberikan variasi kurva pantulan yang berbeda namun samasama kuat pada kisaran panjang gelombang 0,7µm 1,3µm. Seiring dengan perkembangan ilmu penginderaan jauh, maka saat ini telah dikembangan berbagai teknik untuk mempermudah pengenalan objek di permukaan bumi termasuk vegetasi. Terdapat beberapa macam cara untuk menonjolkan aspek vegatasi yakni dengan transformasi digital, diantaranya penisbahan saluran, pengurangan saluran, dan indeks vegetasi. Transformasi ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) transformasi yang dapat mempertajam informasi tertentu, namun sekaligus menghilangkan atau menekan informasi yang lain; (b) transformasi yang meringkas informasi dengan cara mengurangi dimensionalitas data (Danoedoro, 2012). Dari ketiga transformasi digital untuk vegetasi tersebut, indeks vegetasilah yang sering digunakan dalam berbagai penelitian. Danoedoro, 2012 menyebutkan bahwa indeks vegetasi mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomasaa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil dan sebagainya. 13

17 2.3 Sistem Satelit ALOS ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit buatan Jepang yang berhasil diluncurkan pada 24 Januari 2006 dengan pesawat peluncur roket H-IIA dari lokasi peluncuran Tanegashima Space Jepang bagian selatan (JAXA, 2006). Misi utama satelit ini selain untuk pengamatan daratan adalah untuk memberikan kontribusi terhadap aplikasi kartografi. Pergerakan satelit ALOS yang sinkron matahari ini berada pada ketinggian 691,65 km di atas ekuator, dengan inklinasi 98,16 º dan resolusi temporal 46 hari. Dengan massa kurang lebih 4000 kg, satelit ALOS hanya dirancang untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun pada orbitnya. Satelit ALOS dilengkapi dengan 4 kelebihan untuk misi pemetaan, yakni 1) menghasilkan DEM (Digital Elevation Model) dengan akurasi ketinggian 3-5 m dalam resolusi 2,5 m; 2) menghasilkan pemetaan tanpa titik control tanah, atau yang biasa disebut GCP (Ground Control Point); 3) mampu menghasilkan daerah pemetaan yang luas, dengan lebar liputan hingga 70 m; 4) dan memiliki kapasaitas penanganan data yang besar. Kelebihan-kelebihan di atas tersebut didukung dengan kemampuan satelit ALOS sendiri yang dilengkapi dengan 3 sensor sekaligus, terdiri dari 2 sensor optik yakni PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (Advence Visible and Near Infrared Radimeter type-2), dan sebuah sensor gelombang mikro yakni PALSAR (Phased Array type L-Band Syntetic Aperture Radar). Sensor PRISM membawa kamera pankromatik dengan resolusi spasial 2,5m pada nadir. Sensor ini terdiri dari 3 buah sistem optik, forward; nadir dan backward yang masing-masing sistem optik membawa 3 cermin dan beberapa detector CCD. Sensor yang bergerak dengan metode pushbroom ini memiliki kemampuan pengarah sensor melintang jejak satelit kurang leih 1,5º sehingga mampu mencakup area dengan lebar 70 km untuk nadir dan 35 km untuk forward dan backward. AVNIR-2 merupakan bentuk sempurna dari generasi sebelumnya, yakni AVNIR yang semula menghasilkan resolusi spasial 16 meter menjadi 14

18 10 meter. Citra yang dihasilkan dari perekaman oleh sensor AVNIR-2 terdiri dari 4 band, 3 band pada saluran tampak antara lain saluran biru (0,45 µm 0,52 µm), saluran hijau (0,52 µm 0,60 µm), merah (0,63 µm 0,69 µm) dan 1 band inframerah dekat (0,76 µm 0,89 µm). Karena keunggulannya inilah maka citra hasil perekaman AVNIR-2 diibaratkan sebagai QuickBird atau WorldView-2-nya DigitalGlobe. Kemudian sensor ALOS yang terakhir adalah PALSAR. Sensor ini merupakan sensor radar yang memiliki resosusi spasial 10 meter hingga 100 meter. Bergerak pada kisaran frekuensi 1,27 GHz dan merupakan misi lanjutan dari Synthetic Aperture Radar (SAR) dalam bentuk yang lebih sempurna dari apa yang sudah dipasanga pada satelit JERS-1 (Japanase Earth Resources Satellite-1). Kelebihan dari sensor ini adalah dapat menembus awan dan hujan, dengan kata lain terbebas dari gangguan cuaca. Penelitian kali ini memanfaatkan citra satelit ALOS dengan sensor AVNIR-2 yang sangat mendikung untuk kajian vegetasi di permukaan bumi. Berikut produk data standar AVNIR-2 yang disajikan dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Produk Data Standar ANVIR-2 Level Defenisi Susunan data digital yang belum dipadatkan yang dilengkapi dengan koefisienkalibrasi radiometrik dan koefisien koreksi geometrik. Data dengan pengambilan miring-maju, tegak dan miring-mundur IA disimpan dalam masing-masing file tersendiri IB1 Data yang sudah dikalibrasi secara radiometrik pada masukan sensor 1B2 Data yang sudah dikoreksi geometrik secara sistematis 2.4 Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Hubungannya dengan Interpretasi Vegetasi di Indonesia Citra satelit ALOS merupakan salah satu satelit sumberdaya alam yang banyak dimanfaatkan untuk kajian di darat, perairan, maupun atmosfer. Dengan sensor AVNIR-2nya yang memiliki resolusi spasial mencapai 10 meter, citra ini mampu menyajikan kenampakan di permukaan bumi secara jelas dengan saluran multispektralnya yang terdiri dari 4 band 15

19 (visible dan Inframerah). Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh saat ini, pemanfaatan citra satelit ALOS AVNIR-2 sudah mulai berkembang sebagai alat analisis dalam bidang kehutanan kerana kemampuan resolusinya spasialnya yang tinggi tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terbaik dunia tentunya membutuhkan suatu kebijakan tersendiri dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Seperti yang tertulis dalam PP No.24 tentang perlindungan hutan dalam pasal 1 menyebutkan bahwa Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hakhak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Dengan keunggulannya tersebut citra satelit ALOS AVNIR-2 dapat menjadi salah satu sarana untuk managemen hutan di Indonesia. Sebaimana kita ketahui bahwa setiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik pantulan spektral yang berbeda-beda, begitupun vegetasi. Secara umum pantulan spektral vegetasi akan tinggi pada panjang gelombang 0,7µm 1,3µm. Karena ALOS AVNIR-2 memiliki julat panjang gelombang yang diperlukan untuk identifikasi vegetasi maka banyak penelitian memanfaatkan citra ini untuk kajian vegetasi. Seperti yang dilakukan oleh Anisa Pambudi dkk yang menggunakan citra ALOS AVNIR-2 untuk meneliti keberadaan stok karbon hutan di sebagian Kabupaten Kutai Barat. Variasi panjang gelombang yang dimiliki citra ALOS AVNIR-2 inilah yang memungkinkan dapat dilakukan berbagai macam penelitian dengan menurunkan informasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses pengenalan dan pemetaan objek dipermukaan bumi khususnya yang berkaitan dengan kerapatan vegetasi hutan pada penelitian kali ini tentunya membutuhkan citra dengan resolusi spasial yang baik. Citra ALOS AVNIR-2 menjadi salah satu pilihan dalam melakukan hal tersebut. 16

20 Berdasarkan citra satelit ALOS AVNIR-2 saluran hujau (0, µm) dan inframerah dekat (0, µm) dapat diturunkan informasi kerapatan vegetasi. Baik secara visual maupun dengan memanfaatkan keunggulan tiap saluran ALOS ANVIR-2 tersebut. Tiap-tiap saluran citra satelit peka terhadap respons spektral objek pada julat panjang gelombang tertentu. Hal inilah yang menyebabkan nilai piksel pada berbagai saluran spektral sebagai cerminan tanggapan spektral dari objek pun bervariasi. Adanya variasi tanggapan spektral yang terdapat pada citra multispektral ALOS AVNIR-2 inilah yang menjadi salah satu kelebihannya. 2.5 Interpretasi Citra Interpretasi Visual Data penginderaan jauh yang disebut dengan citra penginderaan jauh adalah hasil dari interaksi antara tenaga elektromagnetik dengan objek di permukaan bumi. Untuk dapat menyadap informasi tertentu dari citra ada tiga tahap, yakni deteksi, identifikasi dan menilai arti pentingnya obyek. Ke tiga tahap tesebut termasuk dalam proses interpretasi (Sutanto, 1986). Menurut Sutanto, 1986 interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Ada sembilan unsur interpretsi seperti yang dikemukakan oleh Sutanto (1986), meliputi rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Berikut penjelasannya. 1. Rona dan warna Adalah tingkat kegelapan/kecerahan objek pada citra, dengan demikian rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Sedangkan warna adalah wujud yang tampak pada mata, menunjukkan tingkat kegelapan yang beragam. Mata kita menangkap warna hijau merah ataupun biru karena pantulan dari objek yang diamati. Pada citra penginderaan jauh khususnya untuk identifikasi kerapatan vegetasi rona dan warna ini sangat penting 17

21 karena dapat menunjukkan tingkat kerapatan kanopinya. Semakin gelap warna akan semakin rapat vegetasi. 2. Bentuk Merupakan variabel kualitatif yang memberikan kerangka suatu objek. Dalam konteks ini bentuk dapat berupa bentuk yang tampak dari luar (umum). Misalnya dalam hal ini bentuk sungai akan berbeda dengan bentuk jalan. Bentuk gunung akan berbeda dengan bentuk lembah, dan sebagainya. 3. Ukuran Merupakan atribut objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Ukuran objek di permukaan bumi berbeda-beda dan hal ini dapat diamati melalui citra penginderaan jauh. Ukuran juga berkaitan dengan skala, semakin detil skala semakin besar dan jelas objek yang diamati. Ukuran gedung bertingkat otomatis akan berbeda dengan pabrik. Ukuran vegetasi tegakan akan berbeda denfan vegetasi berupa semak belukar. 4. Tekstur Biasa dinyatakan dalam wujud kasar, halus, ataupun bercak-bercak. Tekstur ini merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona. Tekstur dari sawah berbeda dengan tekstur dari tegalan pada citra penginderaan jauh. 5. Pola Merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek buatan manusia dan beberapa objek alamiah yang membentuk susunan keruangan. Mengerucut pada suatu susunan, misalnya pola teratur pada pemukiman mewah dan pola tidak teratur pada pemukiman liar. 6. Bayangan Objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan umumnya tidak tampak sama sekali ayau tampak samar-samar. Namun demikian, bayangan merupakan faktor penting untuk mengamati objek-objek yang tersembunyi. Biasanya unsur interpretasi bayangan digunakan untuk mengamati objek yang tinggi. Vegetasi yang tinggi cenderung akan membentuk bayangan ketimbang vegetasi yang lebih rendah. 18

22 7. Situs Merupakan hasil pengamatan dari hubungan antar objekdi lingkungan sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain. Penting dalam identifikasi objek vegetasi, karena jenis vegetasi tertentu berada pada lokasi tertentu. 8. Asosiasi Keterkaitan antara objek satu dengan yang lain, berdasarkan asosiasi ini apabila telah dikenali suatu objek tertentu maka dapat dijadikan petunjuk bagi pengenalan objek yang lain. Sebagai contoh sawah irigasi pasti berasosiasi dengan sungai atau dekat dengan sumber mata air karena digunakan sebagai pengairan sawah tersebut. Namun demikian tidak serta merta ke sembilan unsur interpretasi tersebut digunakan secara serentak dalam identifikasi objek di permukaan bumi. Ada unsur-unsur interpretasi yang kadang tidak perlu digunakan ketika sudah teridentifikasi. Semakin banyak unsur interpretasi yang dikenali maka semakin mengerucut pada satu informasi objek tertentu. Selain ke sembilan unsur interpretasi tersebut di atas, sebenarnya tingkat keberhasilan interpretasi bersifat subjektif, artinya tergantung pada si penafsir. Menurut Lillesand et al (2007) keberhasilan interpretasi tergantung pada pengetahuan dan pengalaman penafsir, sifat objek yang dikaji, dan kulitas citra yang digunakan Pre-prosesing Citra Citra hasil rekaman dari sensor penginderaan jauh tidak ada yang sempurna. Kondisi atmosfer saat perekaman, efek gerakan sensor, dan konfigurasai permukaan bumi mengakibatkan citra hasil rekaman sensor tersebut banyak mengalami kesalahan. Kesalahan inilah yang selanjutnya perlu dikoreksi agar dapat mendukung kegiatan pemetaan dan kajian kewilayahan lainnya. Beberapa parameter kualitas citra yang sring digunakan oleh para praktisi antara lain (Danoedoro, 2012); (a) tutupan 19

23 awan dan gangguan kabut, (b) korelasi antar saluran, (c) kesalahan geometri, dan (d) kesalahan radiometri. Proses perbaikan kualitas citra agar menghasilkan citra yang siap pakai untuk aplikasi tertentu disebut restorasi citra yang dalam penerapannya proses ini sering disebut dengan tahap pre-prosesing citra karena dilakukan sebelum melakukan pengolahan citra lebih lanjut. Pada penelirtian kali ini dilakukan dua tahap pre-prosesing citra antara lain koreksi radiometri dan geometri citra Koreksi Geometri Koreksi geometri adalah perbaikan kemencengan, rotasi, dan perspektif citra akibat bentuk permukaan bumi yang melengkung, ketidakstabilan satelit, maupun karena arah pengamatan yang tidak tegak lurus permukaan bumi (sudut sensor tidak nol atau tidak ke arah nadir) hingga citra memiliki orientasi, proyeksi, dan anotasi sesuai dengan yang ada pada peta. Menurut Danoedoro, 1996 koreksi geometri adalah penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek di permukaan bumi yang terekam sensor. Koreksi geometri ini dapat dilakukan dengan dua cara pertama dengan menggunakan data dari wahana (model geometri orbital) dan pengetahuan mengenai distorsi internal, kedua dengan transformasi berdasarkan GCP (Ground Control Points) (Mather 2004, dalam Danoedoro 2012). Pada dasarnya setiap metode koreksi geometri citra baik bersumber dari wahana maupun transformasi GCP sama-sama membutuhkan titik kontrol lapangan atau GCP. GCP adalah suatu lokasi pada permukaan bumi yang dapat diidentifikasi pada citra dan sekaligus dikenali posisinya pada peta (Jansen, 2005). Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan dalam koreksi geometri adalah menentukan titik kontrol (GCPs = Ground Control Points). Titik kontrol ini berupa obyek yang terlihat pada citra sekaligus terlihat pada peta rujukan yang digunakan dalam koreksi geometri. Titik kontrol tersebut dapat berupa persimpangan antara sungai dengan jalan 20

24 ataupun persimpangan jalan, dan beberapa obyek lain yang tampak dengan jelas pada citra maupun pada peta rujukan. Sebaran titik GCP yang digunakan dalam koreksi geometri bersifat subjektif, dapat berbeda-beda setiap orang. Namun pada dasarnya nilai GCP ini tetap terkontrol dengan adanya RMSE (Root Mean Square Error). RMSE digunakan untuk mengukur distorsi. Menurut Jansen (2005) RMSE yang diperbolehkan adalah <0,5. Semakin kecil RMSE semakin tinggi tingkat kedetilan peta Koreksi Radiometri Koreksi radiometri ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel agar sesuai dengan yang seharusnya dengan mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya. Nilai pantulan menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan. Metodemetode sederhana yang sering digunakan untuk menghilangkan efek atmosfer antara lain metode pergeseran histogram (histogram adjustment), metode regresi, dan metode kalibrasi bayangan. Mather (2004) dalam Danoedoro (2012), menyatakan bahwa ada lima faktor yang berpengaruh terhada sinyal yang diterima oleh objek (dan dicatat) oleh detektor pada sensor, yaitu : 1. Pantulan atau reflektansi objek, 2. Bentuk dan besaran interaksi atmosfer, 3. Kemiringan arah hadap lereng (aspect) tempat objek berada, relatif terhadap azimuth matahari, 4. Sudut pandang sensor, 5. Sudut kemiringan matahari. Koreksi radiometri pada penelitian kali ini dilakukan sampai tahap kalibrasi sensor (at sensor radiance). Setiap sensor dan detektor memiliki kemampuan untuk mendeteksi nilai radiansi minimum dan maksimum 21

25 objek. Nilai tersebut dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut hubungan antara nilai piksel, gain, dan offset. L λ = Offset λ + Gain λ *(BV) λ... (1) Dimana Gain λ = L λ(maks) - L λ(min) / BV λ(maks)... (2) Pengolahan Citra Digital Data penginderaan jauh yang disebut citra, tidak begitu saja dapat digunakan tanpa adanya proses pengolahan terlebih dahulu. Untuk menurunkan informasi dari citra penginderaan jauh agar dapat dimanfaaatkan untuk berbagai keperluan saat ini telah banyak perangkat lunak yang memberikan fasilitas pengolah citra baik untuk analisi citra, analisis tambahan ataupun analisis berbasis SIG. Salah satu cara untuk menurunkan informasi tertentu pada citra satelit yakni dengan teknik klasifikasi. Ada dua macam teknik klasifikasi dalam penginderaan jauh, klasifikasi digital atau klasifikasi multispektral dan klasifikasi manual atau visual. Klasifikasi multispektral atau digital merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria tertentu, dan biasanya kriteria yang digunakan yakni nilai spektral atau nilai kecerahan pada beberapa saluran sekaligus. Sedang klasifikasi manual mengandalkan pada unsur-unsur interpretasi. Pada penelitian kali ini, teknik klasifikasi yang digunakan untuk menurunkan informasi berupa kerapatan vegetasi selain menggunkan teknik interpretasi manual adalah klasifiaksi digital yakni dengan transformasi indeks vegetasi. Pada dasarnya ada beberapa macam cara untuk menentukan nilai indeks vegetasi yakni dengan membandingkan beberapa saluran (citra rasio, normaslisasi, dan transformasi), dengan membuat selisihnya (diferent vegetation index), dan tasseled cap. Namun yang digunakan dalam penelitian kali ini metode yang digunakan adalah dengan membandingakan beberapa saluran pada citra satelit ALOS AVNIR-2 menggunakan beberapa tranformasi indeks vegetasi. Beberapa metode trasnsformasi indeks vegetasi yang umum digunakan antara lain transformasi NDVI (Normalized 22

26 Different Vegetation Index), RVI (Ratio Vegetation Index), TVI (Transformation Vegetation Index), dan MSAVI (Modified Soil Adjusted Vegetation Index) Indeks Vegetasi Indeks vegetasi merupakan hasil informasi nilai spektral dari beberapa saluran untuk menonjolkan nilai spektral vegetasi. Dengan demikian indeks vegetasi mampu dijadikan sebagai dasar dalam analisis tingkat kerapatan vegetasi masupun analisis lain yang berhubungan dengan aspek vegetasi. Donoedoro (1996) menuliskan beberapa bentuk trasnsformasi indeks vegetasi, antara lain sebagai berikut. Ratio Vegetation Indeks (RVI), merupakan salah satu indeks vegetasi yang paling sederhana. Memiliki formula sebagai berikut. RVI =NIR/red. (3) Normalized Difference vegetation Index (NDVI), merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Saluran yang digunakan dalam transformasi NDVI ini adalah saluran merah dan inframerah dekat. Saluran merah dengan julat panjang gelombang antara 0,4-0,7µm akan memberikan serapan maksimal pada cahaya yang datang akibat dari adanya klorofil pada proses fotosintesis. Sedangkan saluran inframerah dekat (0,7-1,2 µm) justru memberkan pantulan yang tinggi sebagai akibat adanya jaringan mesophyll daun. Formula NDVI yang dikembangkan oleh Meijerink et al. (1994) sebagai berikut: NDVI = (NIR-red) / (NIR+red)... (4) Transformed Vegetation Index (TVI), adalah transformasi yang dikembangkan untuk menghindari hasil negative pada NDVI. Formulanya adalah sebagai berikut. TVI = {(NIR-Red) / (NIR+Red)} + 0,5.. (5) Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI), merupakan suatu transformasi indeks vegetasi yang dikembangkan dari trasnsformasi NDVI untuk meminimalkan pengaruh pantulan nilai tanah pada NDVI, dengan formula sebagai berikut. 23

27 MSAVI = (2 (NIR) (2(NIR)²+8(NIR-Red))/2... (6) 2.6 Interpretasi Hibrida Klasifikasi objek di permukaan bumi selain dengan interpretasi visual dan digital, dapat pula dilakukan dengan menggabungkan dua metode tersebut sekaligus yang dinamakan dengan interpretasi hibrida. Metode interpretasi hibrida yang dilakukan oleh Lo and Choi (2004) adalah dengan menggabungakan klasifikasi terselia dan tak terselia. Menurutnya, metode tersebut dapat meningkatkan hasil akurasi. Berbeda dengan Lo dan Choi, Suharyadi (2010) melakukan penelitian menggunakan interpretasi hibrida untuk densifikasi bangunan di kota Yogyakarta dengan mengkombinasikan antara interpretasi visual dan interpretasi digital. Hasilnya ternyata memberikan tingkat ketelitian hingga 84,31 %. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharyadi (2010), penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunungkidul ini mengkombinasikan antara interpretasi visual dan digital namun untuk identifikasi kerapatan vegetasi. Mengingat interpretasi visual dan digital sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, diharapkan dengan menggabungkan kedua metode interpretasi tersebut dapat meningkatkan tingkat akurasi hasil baik dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitas citra tersebut. Berikut ini perbandingan antara metode interpretasi visual dan digital (tabel 2.2). 24

28 Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual dan digital Metode Interpretasi interpretasi visual Kelebihan 1. Lebih optimal, karena selain rona atau warna juga mempertimbangkan unsur interpretasi lainnya, seperti tekstur, bentuk, ukuran, asosiasi dsb. 2. Hasil interpretasi lebih mudah digunakan untuk analisis lebih lanjut, seperti pemodelan spasial. 3. Tidak terlalu terpengaruh gangguan/kerusakan pada citra sepanjang tidak terlalu parah, seperti kabut awan atau stripping (kerusakan berupa garis-garis pada citra). Kekurangan 1. konsistensi rendah, jangankan orang yang berbeda, satu orang yang sama ketika melakukan interpretasi dua kali pada citra yang sama hasilnya bisa berbeda. 2. Kurang efisien jika dihadapakan pada wilayah yang luas. 3. Kualitatif dan subyektif, sangat tergantung kemampuan dan pengalaman interpreter. interpretasi digital 1. Kuntitatif dan lebih objektif, karena didasarkan pada analisis data numerik (nilai piksel) menggunakan algoritma statistik. 2. Efisien dihadapkan pada daerah yang luas. Hanya perlu menunjuk wilayah-wilayah tertentu sebagai sampel, bahkan pada metode klasifikasi tak terselia tidak perlu menunjuk sampel sama sekali. Sumber : Samruni, 2009 dalam Gunawan, Kurang optimal karena hanya mempertimbangkan rona dan warna, sehingga apabila ada objek yang berbeda tetapi mempunyai rona atau warna akan terklasifikasikan menjadi satu kelas. 2. Hasil klasifikasi umumnya sulit digunakan untuk analisis lebih lanjut seperti pemodelan spasial, hal ini dikarenakan jumlah poligon yang terlalu banyak. 3. Memerlukan kondisi citra yang benarbenar bebas dari gangguan kabut, awan, dsb. Tanpa mengurangi tingkat kepercayaan dari interpretasi hibrida seperti yang telah disebut di atas, penelitian kali ini mencoba menerapkan 25

29 teknik interpretasi hibrida dengan menggabungkan antara interpretasi visual dan digital. Interpretasi visual dengan citra resolusi tinggi sedangkan interpretasi digital mengggunakan beberapa transformasi indeks vegetasi pada citra satelit ALOS AVNIR-2. Selama ini metode interpretasi hibrida yang dilakukan oleh beberapa peneliti telah banyak diterapkan untuk kajian daerah perkotaan. Penelitian kali ini mencoba menerapkan metode interpretasi hibrida dengan menggabungkan antara interpretasi citra penginderaan jauh resolusi tinggi secara visual dengan interpretasi digital menggunakan beberapa indeks vegetasi untuk kajian kerapatan hutan di Kabupaten Gunungkidul yang notabene Kabupaten tersebut masih didominasi oleh tutupan lahan berupa hutan. Salah satu penelitian yang juga menggunakan metode interpretasi hibrida untuk kajian kanopi vegetasi pernah dilakukan oleh Gunawan (2009) di Kabupaten Kulonprogo dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu penelitian kali ini mencoba melakukan apa yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan memasukkan unsur interpretasi citra resolusi tinggi kemudian menganalisis hasilnya. 2.7 Akurasi Interpretasi Berbicara akurasi berarti berbicara tentang kualitas data spasial. Seberapa layak data spasial yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam analisis keruangan. Akurasi menjadi sangat penting karena menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan selain aspek kualitas data spasial lainnya, yakni presisi, metadata, skala dan standar. Aspek kulaitas data spasial baik akurasi, persisi, metadata, skala dan standar menjadi sangat penting dalam analisis data penginderaan jauh. Namun pada penelitian kali ini kualitas data spasial yang menjadi sorotan adalah tentang akurasi semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik yang dihasilkan pada peta. Akurasi semantik dari peta yang dihasilkan dapat diterima oleh pengguna jika mencaai ambang batas nilai akurasi keseluruhan, yakni 85%. 26

30 Hal ini senada dengan pernyataan Campbell (2002) dalam Suharyadi (2010), bahwa standar minimum bagi penutup/penggunaan lahan berbasis penginderaan jauh mempunyai ambang batas nilai akurasi keseluruhan sebesar 85%. Harapannya dalam penelitian kali ini, tingkat akurasi yang dihasilkan bisa lebih baik dari standar tersebut mengingat metode interpretasi yang digunakanpun merupakan kombinasi dari metode interpretasi visual dan digital. 2.8 Kajian Vegetasi Vegetasi erat kaitannya dengan lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana vegetasi tersebut sangat mempengruhi berbagai aspek di permukaan bumi. Kehutanan berhubungan dengan vegetasi, ruang terbuka hijau berbicara tentang vegetasi, hingga pertanian pun sangat dekat dengan apa yang namanya vegetasi. Vegetasi dalam bahasan kali ini tidak hanya dipandang sebagai individu, namun merupakan kumpulan tanaman yang homogen yang meliputi wilayah tertentu di permukaan bumi. Penelitian kali ini tidak memfokuskan pada tipe vegetasi, melainkan liputan vegetasi khususnya kerapatan hutan. Bagaimana kondisi kerapatan liputan vegetasi hutan di daerah kajian. Hal ini penting dilakukan mengingat kondisi hutan di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan menurut data dari FWI & GFW (2001) dalam Sahid (2005) laju kerusakan hutan pada tahun 1990-an tidak kurang dari dua juta hektar per tahun atau dua kali lebih cepat dibandingkan laju kerusakan hutan pada tahun 1980-an. Jika kondisi ini tetap dibiarkan maka tidak heran bila Indonesia yang dikenal karena hutan tropisnya yang kaya sekarang bisa jadi dikemudian hari hanya tinggal sejarah. Salah satu jalan untuk meminimalisasi kerusakan hutan yang terus meluas dari tahun ke tahun ini adalah dengan melakukan survei, pengukuran, dan pemetaan hutan. Dengan begitu bisa dilihat bagaimana status kawasan hutan, potensi, serta sebaran sumberdaya hutan sehingga pengelolaan hutan akan semakin optimal. 27

31 2.9 Penelitian Sebelumnya Y. Hirose dkk melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemetaan vegetasi dengan menggunakan metode hybrid pada tahun Metode hybrid yang dimaksud disini adalah metode interpretasi citra dengan mengggabungan antara hasil analisa klasifikasi secara segmen based dan image based melalui pendekatan nilai piksel dengan metode maksimum likelihood. Adanya gangguan yang muncul ketika menggunakan metode klasifikasi maksimum likelihood seperti kenampakan objek yang sangat kecil justru menjadi kunci penting dalam penggunaan metode ini. Gangguan tersebut dijadikan dasar dalam penggabungan antara klasifikasi berbasis objek dengan klasifikasi berbasis piksel (maksimum likelihood). Penelitan lain yang dilakukan oleh A. Rahman As-Syukur dan I.W. Sandi Adnyana tahun 2009 juga mengkaji tentang vegetasi, bagaimana kaitan antara indeks vegetasi yakni NDVI, SAVI dan MSAVI dengan persentasi vegetasi. Hasilnya transformasi NDVI dan MSAVI memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan SAVI. Lo dan Choi dalam penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Citra Satelit landsat ETM+ untuk Pemetaan Penutup/Penggunaan Lahan di Kota Metropolitan Atlanta Negara Bagian Georgia Amerika Serikat menggunakan pendekatan hibrida dalam interpretasi objek kajian. Metode interpretasi hibrida yang digunakan yakni dengan menggabungkan antara pendekatan supervised dan unsupervised dari data citra satelit Landsat ETM+. Hasil yang didapat menyebutkan bahwa pendekatan hibrida mempunyai akurasi keseluruhan 91,50 persen. Penelitian lain yang menggunakan metode hibrida dilakukan pula oleh Suharyadi tahun Berbeda dengan penelitian sebelumnya, kali ini Suharyadi menggabungkan antara interpretasi visual citra satelit resolusi tinggi dengan interpretasi digital citra satelit resolusi menengah untuk kajian densifikasi bangunan di daerah perkotaan Yogyakarta. Prinsip dari metode hibrida yang dilakukan oleh Suharyadi ini adalah dengan mengkombinasikan antara kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh interpretasi visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual unggul dalam 28

32 hal kedetilan objek namun tingkat konsistensi interpretasi rendah sedangkan interpretasi digital mampu mengenali objek secara homogen namun kurang untuk objek yang heterogen dengan tingkat konsisitensi tinggi. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh beliau menyebutkan bahwa metode hybrid ini memiliki tingkat akurasi ketelitian pemetaan sebesar 84,31 persen. Penggunaan metode hibrida untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi pernah dilakukan oleh Endra Gunawan tahun 2010 yakni dengan interpretasi secara visual untuk membedakan variable fotomorfik dan interpretasi digital menggunakan beberapa transformasi indeks vegetasi, antara lain NDVI, SAVI dan MSAVI. Dalam penelitian ini Endra lebih menekankan pada analisis nilai spektral dari citra yang digunakan (ASTER) dengan tingkat kerapatan vegetasi. Penelitian lain yang menggunakan trasnformasi indeks vegetasi juga dilakukan oleh Candra Djati Kartika pada tahun 2010 di Kabupaten Malang Selatan. Penelitian yang mengkaji tentang lahan kritis ini memanfaatkan transformasi indeks vegetasi yakni FCD, NDVI, RVI, DVI dan MSAVI sebagai salah satu masukan dalam pembuatan peta liputan lahan yang juga menjadi salah satu parameter dalam penentuan lahan kritis. Dari hasil klasifikasi liputan lahan hasil ekstraksi citra Landsat ETM+ dengan beberapa metode trasnformasi indeks vegetasi tersebut di atas selanjutnya di uji tingkat akurasinya berdasarkan hasil uji lapangan. Mengacu pada penelitian-penelitian tersebut di atas terutama yang berkaitan dengan metode hibrida dan trasnsformasi indeks vegetasi, maka penelitian yang akan dilakukan oleh Monica Mayda Pratiwi (2012) mencoba menerapkan metode hibrida yang dilakukan oleh Suharyadi (2010) untuk pemetaan kerapatan tegakan hutan di Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini menggunakan citra satelit resolusi tinggi untuk menentukan kelas kerapatan vegetasi dan citra satelit resolusi menengah untuk ekstraksi data mengenai indeks vegetasinya. Kunci interpretasi hibrida untuk menentukan tingkat kerapatan vegetasi diperoleh setelah dilakukan analisi korelasi antara hasil transformasi indeks vegetasi dengan nilai kerapatan hasil lapangan. 29

33 Perbedaan maupun persamaan penelitian kali ini dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel Kerangka Pemikiran Citra satelit penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh banyak kalangan harus diinterpretasi terlebih dahulu. Ada banyak metode yang digunakan untuk menurunkan informasi dari citra penginderaan jauh yang pada dasarnya sama-sama digunakan untuk mempermudah identifikasi dan analisis objek tertentu di permukaan bumi. Tingkat kepercayaan dari setiap metode interpretasi sangat penting, untuk itu diperlukan suatu informasi yang dapat dijadikan dasar pembuatan peta agar siap pakai. Informasi bantu ini berupa data lapangan. Sensor penginderaan jauh merekam informasi objek di permukaan bumi dengan menerjemahkannya dalam bentuk piksel. Karena setiap objek memiliki karakteristik spektral yang berbeda, maka nilai piksel yang terbaca pun berbeda. Dasar inilah yang dijadikan sebagai patokan dalam melakukan pembedaan antar objek di permukaan bumi terutama untuk analisis penginderaan jauh digital. Salah satu objek di permukaan bumi yang dapat secara langsung disadap melalui citra penginderaan jauh adalah vegetasi. Kajian mengenai vegetasi belakangan ini menjadi lebih sering dilakukan mengingat perkembangan fisik wilayah yang begitu cepat memberikan dampak buruk bagi keberadaan vegetasi. Biar bagaimanapun vegetasi memberikan pengaruh besar bagi kemakmuran masyarakat, jika ternyata keberadaan vegetasi dari tahun ke tahun cenderung berkurang maka akan berdampak negatif bagi masyrakat itu sendiri. Perkembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh menjadi alat yang sangat efektif dalam menyajikan fenomena vegetasi di permukaan bumi. Kemampuannya dalam memberikan informasi secara cepat sangat sesuai digunakan untuk analisis sebaran vegetasi ataupun yang berkaitan dengan informasi vegetasi lainnya seperti informasi kerapatan tegakan hutan. 30

34 Citra satelit ALOS AVNIR-2 merupakan salah produk dari satelit penginderaan jauh ALOS yang menggunakan saluran biru (0, µm), saluran hijau (0,52-0,6 µm), merah (0,61-0,64 µm) dan inframerah dekat (0,76-0,89 µm). Sehingga citra satelit dengan sensor ANIR-2 ini tergolong ke dalam citra multispektral. Melihat pada julat panjang gelombang yang disajikan oleh citra ALOS AVNIR-2 ini maka sangat dimungkinkan untuk melakukan kajian mengenai vegetasi, karena vegetasi itu sendiri sangat peka terhadap saluran inframerah dekat. Terlebih dengan keunggulan ALOS AVNIR-2 yang memiliki resolusi spasial 10 meter, maka untuk kajian vegetasi tentu saja hasilnya akan lebih baik. Transformasi indeks vegetasi adalah salah satu metode yang dapat diterapkan pada citra satelit ALOS AVNIR-2 untuk menonjolkan objek vegetasi serta mengetahui persebarannya. Ini merupakan teknik manipulasi citra yang menggunakan beberapa saluran sekaligus dalam teknik analisisnya. Transformasi indeks vegetasi menghasilkan nilai kecerahan yang mempresentasikan objek vegetasi, semakin tinggi nilai kecerahannya maka semakin banyak pula tutupan kanopi vegetasinya. Untuk mendapatkan nilai kecerahan ini ada beberapa transformasi indeks vegetasi yang digunakan antara lain Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Lain halnya dengan citra satelit Google Earth. Citra ini tergolong ke dalam citra satelit resolusi tinggi setara dengan citra satelit QuickBird. Kualitas spasial dari gambar yang dihasilkan inilah yang menyebabkan citra resolusi tinggi banyak dimanfaatkan dalam kajian keruangan termasuk vegetasi. Melalui citra satelit ini, objek vegetasi dapat terlihat dengan jelas baik sebaran maupun kerapatannya. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh citra satetit seperti yang tersebut di atas, melalui analisis citra penginderaan jauh dapat dikombinasikan untuk mendapatkan hasil akhir yang maksimal, khususnya kajian tentang vegetasi. Analisis piksel vegetasi dilakukan menggunakan metode transformasi citra pada citra ALOS AVNIR-2 sedangkan untuk 31

35 mengetahui kerapatan vegetasi menggunakan analisis visual citra yang bersumber dari Google Earth. Metode tersebut dirancang untuk mendapatkan hasil akurasi yang baik, sama halnya dengan metode interpretasi hibrida. Interpretasi hibrida yang dilakukan pada penelitian kali ini yakni dengan mengkombinasikan antara interpretasi visual dan digital dengan maksud mendapatkan hasil akurasi pemetaan yang lebih baik. Teknik interpretasi dengan menggunakan metode transformasi citra menghasilkan nilai kecerahan indeks vegetasi, sedangkan untuk memaksimalkan hasil analisis kerapatan vegetasi digunakanlah teknik interpretasi citra resolusi tinggi. Hasil dari interpretasi visual citra resolusi tinggi adalah tingkat kerapatan vegetasi. Dari sini kemudian diambil contoh sampel guna dicocokkan dengan hasil transformasi indeks vegetasi sebagai dasar penyusunan algoritma untuk mempermudah klasifikasi kerapatan vegetasi. Algoritma untuk kerapatan vegetasi yang didapat dari proses interpretasi hibrida tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan peta kerapatan vegetasi. 32

36 Managemen Pengelolaan Hutan yang Buruk Perkembangan Ilmu dan Teknologi Penginderaan Jauh Pemetaan Kerapatan vegetasi Citra Satelit Penginderaan Jauh ALOS AVNIR-2 Interpretasi Citra Interpretasi Digital Interpretasi Manual NDVI RVI TVI MSAVI Citra Satelit Resolusi Tinggi Interpretasi Hibrida Analisis Korelasi Klasifikasi Kerapatan Kanopi Vegetasi dengan Korelasi Terbaik Peta Kerapataan Kanopi Vegetasi Gambar 2.3 Karangka pemikiran 33

37 Sejalan dengan perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) maka berdampak pula pada perkembangan model dan metode penelitian. Guna menghindari adanya overlap antar satu peneliti dengan peneliti yang lain, di bawah ini disajikan tabel 2.3 yang menggambarkan perbandingan penelitian yang sudah dilaksanakan dan penelitian yang adan dilaksanakan. 34

38 Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan No. Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi Penelitian Sumber Data Tujuan Metode Hasil 1. Lo dan Choi, 2004 Pemanfaatan Citra Satelit Landsat ETM+ untuk Pemetaan Penutup Lahan/Penggunaan Lahan 2. Suharyadi, 2010 Interpretasi Hibrida Citra Satelit Resolusi Spasial Menegah untuk Kajian Densifikasi Bangunan Daerah Perkotaan di Daerah Perkotaan Yogyakarta 3. Endra Gunawan, A. Rahman As Syukur dan Penggunaan Metode Hybrid untuk Identifikasi dan Klasifikasi Kerapatan Kanopi di Kabupaten Kulonprogo Analisis Indeks Vegetasi Kota Metropolitan Atlanta, Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat Kota Yogyakarta Sebagian Kabupaten Kulonprogo Yogyakarta Denpasar Bali Citra Satelit Lansat ETM+ Data Lapangan Citra Landsat TM tahun 1994, 1996, 1998, citra Landsat ETM+ tahun 2001, 2003, dan citra Aster tahun 2006 Citra Satelit ASTER tahun perekaman 2006 Peta RBI Data Lapangan Citra ALOS AVNIR-2 tahun Memetakan penutup/penggunaan lahan dengan menggunakan pendekatan hybrid 1. Mengembangkan teknik interpretasi hibrida untuk menyadap informasi kepadatan bangunan dari citra satelit resolusi spasial menengah di daerah perkotaan Yogyakarta. 2. Pemetaan kepadatan bangunan daerah perkotaan Yogyakarta secara temporal 3. Mengkaji karakteristik densifikasi bangunan di daerah perkotaan Yogyakarta 1. Menggabungakan kelebihan-kelebiahn yang ada pada metode interpretasi manual dan digital 2. Mengetahui hubungan antara jumlah nilai piksel murni dari vegetasi dengan tingkat kerapatan kanopi daun 3. Menyusun suatu rumusan statistik berdasarkan nilai piksel untuk memudahkan identifikasi dan klasifikasi tingkat kerapatan kanopi daun Evaluasi tata ruang kota Denpasar berdasarkan peta Metode hibrida dengan pendekatan supervised dan unsupervised Pendekatan hibrida yakni, menggunakan kombinasi interpretasi visual untuk deliniasi bloks bangunan, dan analisis digital untuk identifikasi kepadatan bangunan 1.Transformasi indeks vegetasi 2. Analisis korelasi Transformasi NDVI, SAVI, dan Peta penutup lahan dan penggunaan lahan Serial peta kepadatan bangunan menggunakan pendekatan hibrida sesuai dengan tahun perekaman 1. Peta kerapatan kanopi di sebagian daerah Kulonprogo 2. Tabel hubungan antara nilai spektral dengan kerapatan kanopi Hubungan indeks vegetasi dengan 35

39 I.W. Sandy, Candra Sari Djati Kartika, Y.Hirose, M.Mori, Y. A. Kamatsu, dan Y.Li 7. Monica Mayda Pratiwi, 2012 Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 dan Sistem Informasi Geografis untuk Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar Perbandingan Forest Canopy Density Model dengan Beberapa Indeks Vegetasi Sebagai Masukan dalam Penentuan Lahan Kritis di Kabupaten Malang Selatan Vegetation Cover Mapping Using Hybrid Analysis of IKONOS Data Kajian Akurasi Interpretasi Hibrida Menggunakan Empat Indeks Vegetasi untuk Pemetaan Kerapatan Kanopi di Kawasan Hutan Kabupaten Gunungkidul Kabupaten Malang Selatan Sebagian daerah Altran Sungai Niyodo Jepang Sebagian Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta perekaman 2006 Peta tata ruang kota Denpasar Citra Landsat ETM+ tahun 2001 Peta RBI Peta Tematik klas erosi Citra IKONOS -Citra ALOS AVNIR-2 tahun Citra resolusi tinggi (Google earth) -Peta RBI persebaran vegetasi Membandingan metode FCD dengan beberapa indeks vegetasi untuk mengetahui liputan lahan sebagai bahan masukan penentuan lahan kritis Pemetaan lahan kritis di Kabupaten Malang Selatan Pengembangan metode pemetaan vegetasi untuk menghasilkan metode survey yang hemat biaya dan waktu 1. Mengetahui tingkat akurasi interpretasi hibrida yang ditunjukkan oleh citra satelit ALOS AVNIR-2 menggunakan beberapa transformasi indeks vegetasi untuk identifikasi kerapatan vegetasi 2. Mengetahui transformasi MSAVI serta overlay FCD, NVDI, RVI, DVI, MSAVI untuk liputan lahan dan overlay parameter (liputan lahan, tingkat erosi, lereng, dan manajemen lahan) untuk klasifikasi lahan kritis Segmen Based Classification Pixel Based Classification Hybrid (antara segmen based dan objek based classification) melalui pixel based Metode hibrida (menggabungkan antara interpretasi visual dengan interpretasi digital beberapa transformasi vegetasi citra ALOS AVNIR-2) tutupan vegetasi untuk NDVI, SAVI, dan MSAVI Peta sebaran vegetasi berdasarkan atas tutupannya di kota Denpasar Peta liputan lahan kritis di Kabupaten Malang Selatan Peta klasifikasi vegetasi dengan metode segmen based, pixel based dan hybrid 1. Informasi statistik citra hasil korelasi antar saluran dalam bentuk tabel, diagram, dan peta. 2. Tabel uji akurasi hasil interpretasi 36

40 indeks vegetasi yang paling sesuai diterapkan untuk pemetaan kerapatan vegetasi menggunakan teknik interpretasi hibrida 3. Pemetaan kerapatan vegetasi di Kabupaten Gunungkidul hibrida citra satelit ALOS ANVIR-2 3. Peta kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida dengan akurasi terbaik skala 1:

41 2.11 Batasan Operasional Akurasi : menunjukan kedekatan antara nilai prediksi/model dengan nilai aktual (real). Citra : gambaran suatu obyek atau suatu perujudan; suatu image pada umumnya berupa sebuah peta, gambar, atau foto (Ford, 1979 dalam Sutanto 1986). Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-undang Kehutanan No.41, 1999). Indeks Vegetasi : suatu bentuk trasnformasi spektral yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspel kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan sebagainya (Danoedoro, 2012). Interpretasi : perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Sutanto, 1986). Interpretasi hibrida : metode interpretasi citra penginderaan jauh dengan menggabungan antara interpretasi visual untuk delineasi objek dan interpretasi digital dengan menggunakan prinsip-prinsip pola pengenalan spektral secara digital untuk identifikasi objeknya (Suharyadi, 2010). Kanopi : kenampakan luar suatu vegetasi yang terdiri dari satu atau beberapa layer pada suatu area tertentu. Piksel : data yang mempunyai aspek (ukuran luas yang terwakili) dan aspek spektral (besarnya nilai pantulan yang tercatat) (Danoedoro, 2012) 38

42 Resolusi : (disebut juga resolving power = daya pisah) adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral mempunyai kesamaan (Swain dan Davis, 1978 dalam Danoedoro, 2012) Transformasi : perubahan atau perpindahan bentuk yang jelas. Vegetasi : semua spesies tumbuhan yang terdapat dalam suatu wilayah yang luas yang memperlihatkan pola distribusi ruang dan waktu (widoretno) 39

43 BAB III METODE PENELITIAN Metode merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi interpretasi citra penginderaan jauh secara manual dan digital, kerja lapangan untuk mengecek hasil akurasi interpretasi, dan interpretasi hibrida. Berikut adalah penjabaran masing-masing metode tersebut. 3.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi : Bahan Penelitian 1. Citra Sateliti ALOS AVNIR-2 Kabupaten Gunungkidul, 4 saluran spektral (biru, hijau, merah, inframerah dekat) dengan resolusi spasial 10 m dan tanggal perekaman 20 Juli Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang mencakup Kecamatan Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan Paliyan, dan Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul skala 1: tahun Citra resolusi tinggi untuk interpretasi visual kerapatan vegetasi Alat Penelitian 1. Seperangkat komputer yang kompatibel dengan perangkat lunak yang digunakan. 2. Perangkat lunak yang mendukung penelitian (ENVI 4.5, Arc GIS 9.3). 3. Printer Hp Disket D2466 (untuk mencetak naskah dan peta). 4. GPS (Global Positioning Sistem). 5. Meteran. 6. Kamera digital. 40

44 7. Software pengolah kata dan data (Ms.Word, Ms.Powerpoint, Ms.Exel) 8. Tabel lapangan. 3.2 Pemilihan Daerah Penelitian Penelitian untuk mengetahui kerapatan tegakan hutan ini dilakukan di Kabupaten Gunungkidul berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun Kurang lebih ada 12 Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang termasuk dalam wilayah KPH, namun penelitian kali ini hanya mengambil 5 Kecamatan, Kecamatan Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan Paliyan, dan Kecamatan Wonosari. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan kondisi hutan yang masih baik. Selain itu ada beberapa kecamatan yang khusus dijadikan sebagai kawasan hutan wisata maupun hutan pendidikan. Kedua kawasan hutan ini memiliki fungsi penting bagi masyarakat setempat maupun wisatawan. Selain merupakan ekosistem karst dengan singkapan batuan kapur yang spesifik, kawasan hutan di beberapa Kecamatan tersebut di atas letaknya juga strategis karena memiliki potensi ekowisata untuk tujuan penelitian dan pendidikan (arboretum, penangkaran rusa, pabrik penyulingan minyak kayu putih) serta menjadi obyek wisata yang prospektif seperti rest area dan camping ground. Terlebih sejak tahun 2004 pemerintah melalui Kementrian Kehutanan Republik Indonesia telah menetapkan kawasan hutan bunder di Kecamatan Playen sebagai taman hutan raya. Kondisi ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian di daerah tersebut untuk melihat bagaimana sebaran vegetasi serta tingkat kerapatan tegakannya. 41

45 3.3 Pengumpulan dan Perolehan Data Pengumpulan Data Informasi kerapatan vegetasi hasil interpretasi visual citra satelit resolusi tinggi serta beberapa indeks vegetasi hasil transformasi digital dari citra satelit ALOS-AVNIR Perolehan Data Data diperoleh dari interprteasi visual dan digital serta hasil cek lapangan untuk melihat tingkat ketelitian dari interpretasi. 3.4 Pengolahan Data Data penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh banyak kalangan harus diolah terlebih dahulu. Ada beberapa tahap pengolahan citra yang dilakukan pada penelitian kali ini antara lain koreksi citra (geometri dan radiometri), transformasi citra (NDVI, RVI, TVI, MSAVI), interpretasi visual citra resolusi tinggi dan tahap interpretasi hibrida. Berikut penejelasannya Koreksi Citra Koreksi Geometri Citra Satelit Resolusi Tinggi Koreksi citra pada citra resolusi tinggi ini diperlukan untuk mendapatkan posisi sesuai dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Citra perlu dikoreksi karena akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan sampel pada tahapan interpretasi hibrida. Metode yang dilakukan dalam koreksi geometri citra ini yakni dengan rektifikasi citra ke peta RBI yang sudah terkoreksi geometri Koreksi Geometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Selain koreksi geometri yang dilakukan pada citrasatelit resolusi tinggi yang diperoleh dengan bantuan Google Earth, koreksi geometri juga dilakukan pada citra ALOS AVNIR-2. Koreksi ini penting dilakukan karena citra ALOS AVNIR-2 merupakan data utama yang digunakan dalam proses interpretasi 42

46 citra khususnya dalam menentukan indeks vegetasi. Untuk itu diperlukan referensi data yang sama sehingga menghasilkan keluaran data yang berkualitas. Proses koreksi geometri ini mengacu pada Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), sama halnya seperti apa yang dilakukan pada koreksi radiometri citra satelit QuickBird Koreksi Radiometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Koreksi radiometri diperlukan untuk meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh gangguan atmosfer. Citra ALOS AVNIR-2 dengan level koreksi 1B2 menandakan bahwa citra ini sudah terkoreksi baik geometri maupun radiometrinya secara sistematis, namun untuk memastikan citra tersebut telah benar-benar terkoreksi radiometri maka dilakukan pengecekan. Objek yang tidak memberikan respon spektran sama sekali seharusnya bernilai nol, jika tidak bernilai 0 maka dilakukan koreksi radiometri dengan penyesuaian histogram. Prinsip dari penyesuaian histogram adalah mengembalikan nilai piksel terendah pada satu liputan citra sehingga bernilai 0. Jika nilai terendah piksel tidak sama dengan 0, maka nilai tersebut dihitung sebagai bias. Koreksi radiometri penyesuaian histogram dilakukan dengan mengurangkan seluruh nilai piksel tersebut dengan nilai bias, sehingga nilai piksel yang memiliki pantulan terendah kembali ke nilai pantulan aslinya, yakni 0. Koreksi radiometri pada penelitian kali ini dilakukan sampai tahap kalibrasi sensor (at sensor radiance). Setiap sensor dan detektor memiliki kemampuan untuk mendeteksi nilai radiansi minimum dan maksimum objek. Nilai tersebut dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut hubungan antara nilai piksel, gain, dan offset. L λ = Offset λ + Gain λ *(BV) λ...(7) Dimana Gain λ = L λ(maks) - L λ(min) / BV λ(maks)...(8) 43

47 3.4.2 Transformasi Indeks Vegetasi Transformasi indeks vegetasi yang diterapakan pada citra satelit ALOS AVNIR-2 ini digunakan untuk mengubah nilai piksel agar menghasilkan suatu nilai yang merepresentasikan dalam menyajikan fenomena yang berkaitan dengan vegetasi. Teknik trasnformasi indeks vegetasi yang digunakan untuk menurunkan informasi mengenai kerapatan vegetasi dalam penelitian kali ini, diantaranya Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Berikut penjelasnnya Transformasi RVI (Ratio Vegetation Index) Transformasi indeks yang pertama adalah RVI (Ratio Vegetation Index). Transformasi ini juga menghasilkan efek yang sama terhadap keberadaaan vegetasi. Menggunakan formula sebagi berikut. RVI = NIR/red (9) Penggunaan transformasi RVI dalam peneltian kali ini dikarenakan daerah kajian memiliki topografi beragam, mulai datar hingga bergunung. Transformasi RVI mampu meminimalisasi gangguan akibat perbedaan topografi tersebut dengan menggunakan ratio saluran inframerah dekat dan saluran merah Transformasi NDVI (Normalized Different Vegetation Index) Model trasnsformasi ini mengkombinasikan antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Hasil transformasi ini nantinya menghasilkan nilai indeks vegetasi dengan kisaran -1 samapai +1 yang mana nilai +1 mempresentasikan objek vegetasi sedangkan -1 bukan vegetasi. Semakin mendekati nilai +1 berarti semakin banyak objek vegetasi yang terdeteksi dan semakin menjauhi +1 objek vegetasi semakin berkurang. Formulanaya adalah sebagai berikut. NDVI = (NIR-red) / (NIR+red)... (10) 44

48 Berbagai penelitian yang menggunakan model transformasi ini menunjukkan hasil yang paling baik ketimbang model transformaasi lainnya. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan tahun 2010 untuk objek kajian yang sama, yakni kerapatan vegetasi. Kombinasi antara teknik penisbahan dan teknik pengurangan citra mamu menonjolkan objek vegetasi khususnya pada daerah dengan vegetasi yang hampir seragam Transformasi TVI (Transformed Vegetation Index) Transformasi ini dikembangkan untuk menghilangkan nilai negatif pada transformasi NDVI. Salah satu dampak penghilangan angka negatif ini adalah dapat menstabilkan variasi data NDVI sehingga dapat memperbaiki data saat dilakukan analisis statistikformulanya adalah sebagai berikut. TVI = {(NIR-Red) / (NIR+Red)} + 0,5... (11) Transformasi MSAVI (Modified Soil Adjusted Vegetation Index) Berbeda dengan transformasi sebelumnya, model transformasi ini dikembangkan untuk menekan gangguan latar belakang tanah. Vegetasi pada daerah kajian memiliki karakteristik yang berbeda sehingga kemungkinan perbedaan jenis tanah pun sangat besar. Adanya gangguan yang berupa vaariasi respon spektral tanah saat proses identifikasi vegetasi inilah yang menjadi latar belakang penggunaan transformasi ini. Berikut adalah formula yang digunakan. MSAVI = (2 (NIR) (2(NIR)²+8(NIR-Red))/2...(12) Interpretasi Kerapatan Vegetasi Secara Visual Interpretasi kerapatan vegetasi dilakukan secara visual menggunakan citra satelit resolusi tinggi. Karena citra yang yang digunakan memiliki format digital maka interpretasi ini dilakukan dengan digitasi on screen. Tiap-tiap tipe kerapatan vegetasi yang berbeda di citra didelineasi, hal ini untuk 45

49 mempemudah dalam pengambilan sampel di lapangan. Dari kelas satuan pemetaan kerapatan vegetasi tersebut kemudian diambil blok-blok kecil untuk selanjutnya dilakukan cek lapangan. 3.5 Penentuan Titik Sampel dan Cek Lapangan Uji lapangan diperlukan untuk mengontrol hasil interpretasi serta untuk penyusunan algoritma kerapatan vegetasi. Uji lapangan dilakukan pada setiap satuan pemetaan kerapatan vegetasi yang dihasilkan dari metode interpretasi visual. Setiap satuan pemetaan berupa kelas kerapatan vegetasi yang berbeda di citra dibedakan, kemudian selanjutnya dilakukan cek lapangan. Penentuan sampel untuk uji lapangan pada penelitian kali ini menggunakan teknik purposif sampling. Teknik ini dipilih berdasarkan tujuan penelitian, yakni untuk memperoleh informaasi mengenai kerapatan vegetasi. Hasil dari cek lapangan satuan pemetaan kerapatan vegetasi hutan tersebut dijadikan sebagai bahan masukan untuk memperoleh kunci interpretasi hibrida. Peta hasil re-interpretasi setelah uji lapangan, dianggap mampu mewakili kondisi sebenarnya di lapangan sehingga dapat menjadi peta referensi dalam uji keakuratan hasil interpretasi hibrida. 3.6 Analisis Korelasi dan Regresi untuk Menyusun Kunci Interpretasi Hibrida Analisis korelasi dan regresi adalah metode yang digunakan untuk mengukur hubungan antar dua variabel. Korelasi bertindak sebagai pengukur bentuk hubungan sedangkan regresi adalah pengukur kuat tidaknya hubungan tersebut. Pada penelitian kali ini variabel yang akan diuji korelasi adalah indeks vegetasi dan satuan kelas kerapatan tegakan hutan. Analisis korelasi yang digunakan untuk melihat hubungan antara kedua variabel tersebut adalah analisis korelasi linear sederhana. Apabila kenaikan variabel yang satu berbanding lurus dengan kenaikan variabel yang lain maka kedua variabel 46

50 dikatakan memiliki korelasi positif (+), sebaliknya jika kenaikan variabel yang satu justru menyebabkan penurunan terhadap variabel yang lain maka hubungan antara keduanya dinyatakan dengan korelasi negatif (-). Berikut ini adalah tabel yang digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat hubungan korelasi antar parameter. Tabel 3.1 Tingkat hubungan koefisien korelasi Interval koefisien Tingkat hubungan 0,00 1,999 Sangat rendah 0,20 0,399 Rendah 0,40 0,599 Sedang 0,60 0,799 Kuat 0,80 1,000 Sangat kuat Sumber : Munir, (2007) Masing-masing indeks vegetasi yang mencakup RVI, NDVI, TVI dan MSAVI dilakukan analisis uji korelasi dengan kelas kerapatan tegakan hutan hasil lapangan. Saluran yang menghasilkan korelasi paling baik kemudian dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan kunci interpretasi. Kunci interpretasi diperoleh melalui bentuk persamaan regrasi yang dihasilkan antara indeks vegetaasi dan satuan kelas kerapatan hutan. Kunci interpretasi ini selanjutnya digunakan untuk mempermudah pemetaan kerapatan tegakan hutan di daerah kajian. Kunci interpretasi ini berupa nilai atau rumusan yang merepresentasikan kerapatan vegetasi pada masing-masing kelas yang telah ditentukan. Berikut ini adalah bentuk fungsi persamaan regresi yang digunakan, dimana Y adalah variabel terikat dan X adalah variabel bebas. Y = a + bx... (13) 47

51 3.7 Interpretasi Hibrida Ada beberapa tahap yang dilakukan pada proses interpretasi hibrida antara lain: (a) interpretasi visual untuk menentukan satuan pemetaan kerapatan hutan sekaligus sebagai acuan pengambilan data di lapangan menggunakan citra satelit resolusi tinggi; (b) interpretasi digital dengan menggunakan metode transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2009; (c) membangun kunci interpretasi hibrida dengan pendekatan analisis parameter statistik dari dua metode interpretasi tersebut di atas. (d) menerapkan hasil kunci interpretasi hibrida yang memiliki hasil korelasi terbaik pada citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2009 yang sebelumnya telah dilakukan interpretasi terhadap satuan pemetaan tegakan hutan. Interpretasi hibrida sesungguhnya terletak pada tahapan (c) dan (d). Cara menggabungkan dua metode interpretasi yang berbeda ini (visual dan digital) yakni dengan membuat hubungan parameter statistik pada masing-masing transformasi indeks vegetasi dengan tingkat kerapatan yang didapat dari hasil interpretasi visual citra satelit resolusi tinggi yang telah dilakukan cek lapangan. Algoritma yang di dapat dari analisis parameter statistik tersebut kemudian dijadikan sebagai kunci interpretasi hibrida dalam klasifikasi kerapatan kanopi tegakan hutan. Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan kelas kerapatan tegakan hutan pada interpretasi hibrida mengacu pada klasifikasi Howard (1991), yakni sebagai berikut (Tabel 3.2). 48

52 Tabel 3.2 Kelas kerapatan vegetasi Hutan sangat rapat > 80 % Agak lebat/lebat % Terbuka % Hutan jarang 2 10 % Sedikit/tidak ada pohon < 2 % Sumber : Howard, Uji Akurasi Interpretasi Tipe data pada penelitian kali ini adalah ordinal, artinya data yang nilainya memiliki tingkatan dan tidak sejajar. Nilai kerapatan yakni sangat rapat, agak rapat, jarang, terbuka, hingga sedikit merupakan bentuk dari data ordinal. Metode uji akurasi yang dilakukan pada tipe data jenis ini dalam ilmu penginderaan jauh lebih dikenal dengan nama tabel confusion matrix. Tabel ini merupakan tabel matrix yang menghubungkan antara piksel hasil klasifikasi dan ground truth data yang informasinya dapat diambil dari data lapangan maupun peta yang sudah diverifikasi. Beberapa informaasi yang dapat diambil dari erhitungan menggunakan tabel confusion matix antara lain overall accuracy, producer accuracy, user accuracy, kappa coefficient, dan tau coefficient. Terdapat dua metode uji akurasi secara statistik, pertama dengan mengandalkan data seampel yang diambil sebagai sumber referensi penilaian akurasi dan uang kedua dengan mengandalkan sumber data yang independen, yang tidak pernah digunakan dalam pengambilan sampel (Danoedoro, 2012). Uji akurasi dalam penelitian kali ini dilakukan dengan merujuk pada tehnik uji akurasi yang kedua, yakni dengan menggunkan data independen sebagai sumber referensi. Data independen yang dimaksud adalah peta kerapatan vegetasi citra resolusi tinggi yang telah diverifikasi, sedangkan data yang diuji 49

53 kelas adalah peta hasil interpretasi hibrida. Metode uji akurasi ini dilakukan dengan menumangsusunkan setiap poligon referensi dengan poligon hasil interpretasi. Tabel 3.3 dibawah ini adalah contoh perhitungan uji akurasi dengan confusion matrix. Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik pasir terumbu karang makro alga lamun laut total user accuracy (%) error comission (%) pasir ,5 12,5 terumbu karang ,82 18,18 makro alga ,42 78,58 Lamun ,5 12,5 Laut ,5 37,5 Total producer accuracy (%) , overall accuracy 73,46 error omission (%) ,32 0 Kappa 0,6222 Sumber: Wicaksono, 2011 Overall accuracy (%) =... (14) Producer Accuracy (%) =... (15) User Accuracy (%) =... (16) Keterangan: Jb : jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar Js Jssb Jss Jskt : jumlah sampel uji akurasi : jumlah sampel uji akurasi suatu kelas yang terklasifikasi secara benar : jumlah sampel uji akurasi pada suatu kelas : jumlah sampel uji akurasi yang terklasifikasi sebagai kelas tersebut 50

54 Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Daerah Gunungkidul Citra Satelit Resolusi Tinggi daerah Gunungkidul Koreksi Citra Koreksi Geometrik Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) skala 1: Koreksi Geometrik Koreksi Radiometrik (level 1B) Citra ALOS AVNIR-2 Terkoreksi Citra Terkoreksi Interpretasi Digital (Membandingkan Antar Saluran) Interpretasi Visual Interpretasi Visual Transformasi Indeks vegetasi NDVI RVI TVI MSAVI Blok Sampel Uji Lapangan Analisis Piksel Hasil Transformasi dengan Satuan Kerapatan Kanopi Hutan Hasil Lapangan Analisis Korelasi Satuan Pemetaan Kerapatan Vegetasi Kerapatan Kanopi Vegetasi Hasil Interpretasi Citra Resolusi Tinggi Saluran dengan Korelasi Terbaik Kunci Interpretasi Hibrida Reklasifikasi Peta Kerapatan Tegakan Hutan Hasil Interpretasi Hibrida skala 1: Gambar 2.1 Diagram Alir Metode Penelitian

55 BAB IV DESKRIPSI WILAYAH 4.1 Letak, Batas, Luas Daerah Penelitian Daerah kajian dalam penelitian interpretasi hibrida pemetaan kerapatan kanopi hutan dibatasi berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia tahun Penelitian dilakukan di Batas Daerah Hutan (BDH) Kabupaten Gunungkidul yang mencakup Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Playen, Paliyan, dan Panggang di beberapa kecamatan antara lain Kecamatan Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan Paliyan, dan Kecamatan Wonosari dengan luas 5888,04 ha yakni sekitar 4% dari total luas Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten Gunungkidul sendiri terletak di antara 07º º LS dan 110 º º BT. Gunungkidul merupakan salah satu dari lima kabupaten di wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang wilayahnya paling luas yakni kurang lebih 46% dari luas wilayah DIY atau sekitar 1.485,36 km 2. Ibu kota kabupaten adalah Wonosari yang terletak sekitar 39 km di sebelah selatan kota Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul memiliki 18 kecamatan, 144 desa dan 1536 dusun. Berikut ini adalah batas wilayah Kabupaten Gunungkidul. Batas wilayah Kabupaten Gunungkidul: Sebelah Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman (Propinsi DIY) Sebelah Utara : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo (Propinsi Jawa Tengah) Sebelah Timur : Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah) Sebelah Selatan : Samudera Hindia 52

56 Wilayah Kabupaten pada umumnya berbukit dan setengah dari luas wilayahnya memiliki kemiringan lebih dari 15%. Berdasarkan kondisi topografinya, wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi ke dalam tiga zone, yaitu daerah perbukitan di bagian Utara dan sisi Timur yang disebut sebagai Zone Baturagung, wilayah pegunungan karst di bagian Selatan yang disebut dengan Zone Gunung Seribu dan daerah yang relatif datar di bagian tengah yang disebut dengan Zone Ledok Wonosari (Soeharto, 2008). Daerah yang menjadi fokus kajian kali ini berada pada zona Baturagung yang rata-rata memiliki kemiringan lebih dari 15%. Zona ini membentang mulai dari arah Barat Laut Kota Wonosari hingga Utara. 4.2 Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Penataan wilayah hutan di DIY telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda. Kebijakan pemerintah ketika itu mengharuskan adanya pengelolaan hutan untuk kelestarian lingkungan. Sistem pengelolaan hutan yang ketika itu bernama Houtvesterij mulai berkembang dari satu saerah ke daerah lain. Hingga akhirnya satu demi satu hutan di Jawa menganut sistem tersebut termasuk DIY. Setelah masa penjajahan Belanda selesai, kegiatan penataan hutan mengalami kemandekan, baru berjalan kembali setelah diakuinya Kemerdekaan RI sekitar tahun Dari tahun ketahun sistem pengelolaan hutan terus diperbaharui, berkembang dan akhirnya terbentuklah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di setiap daerah. Menurut P No. 6 tahun 2007 dan P No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan Pasal 12 dijabarkan bahwa kegiatan penataan hutan di wilayah KPH meliputi penataan batas, inventarisasi sumber daya hutan, pembagian dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan pemetaan. Kabupaten Gunugkidul selain memiliki luas wilayah terbesar di DIY, juga merupakan satu-satunya Kabupaten dengan luas wilayah hutan paling 53

57 besar yakni mencapai ,50 ha. Ini artinya, Gunungkidul menduduki peringkat pertama untuk luas hutan terbesar di DIY. Berdasarkan pengamatan secara visual dari citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2007 komposit 321 (true colour) hutan di Kabupaten Gunungkidul tersebar merata hampir diseluruh bagian wilayahnya dengan di dominasi oleh tegakan jenis Jati (Tectona grandis), Akasia (Acasia sp.), Mahoni (Swietenia macrophylla), Kayu Putih (Eucalyptus globulus) dan Sengon (Albizia falcatana). Namun demikian, batasan wilayah hutan dalam penelitian kali ini merujuk pada Batas Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia tahun BDH tersebut membawahi Resort Pengelolaan Hutan (RPH). Di DIY terdapat 6 BDH, untuk Kabupaten Gunungkidul sendiri memiliki 4 BDH antara lain BDH Karangmojo, Playen, Paliyan, dan Panggang. Sisanya adalah BDH Yogyakarta dan BDH Kulonprogo. 4.3 Karakteristik Hutan di Daerah Kajian Penelitian ini mengambil beberapa kawasan hutan berdasarkan Batas Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2010, antara lain pada BDH Playen, BDH Panggang, dan BDH Paliyan. Ketiga BDH tersebut mencakup kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan tanaman hutan raya. Hutan Produksi mendominasi sebagian BDH Playen dan Paliyan antara lain pada RPH Banaran, Bunder, Wonolagi, Gubugrubuh, Menggaran, Kedungwalu, Kepek, Karangmojo, dan Menggoro. Hutan lindung terdapat di sebagian BDH Panggang dan Paliyan tepatnya pada RPH Kedungwalu dan Bibal. Sementara untuk tanaman hutan raya hanya terdapat pada BDH Playen yang membawahi kawasan hutan buder dan banaran. Jenis tanaman pada BDH kajian antara lain Jati, Kayu Putih, Mahoni, Kleresede (Glirecidea sp.), Sono (Dalbergia latifolia), dan Akasia. Meskipun jenis tanaman yang mendominasi adalah jenis tanaman hutan produksi namun 54

58 pada dasarnya tetap mempunyai blok yang berfungsi sebagai blok pemanfaatan terbatas yang juga berfungsi sebagai zona penyangga. Seperti yang tersebut dalam aturan penetapan wilayah/blok kesatuan pengelolaan hutan Yogyakarta, salah satu permasalahan yang dihadapi pengelolaan hutan saat ini adalah semakin meningkatnya dinamika permasalahan sosial ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan tersedianya kebutuhan pangan, sandang, dan lapangan pekerjaan berdampak meningkatnya jumlah keluarga miskin dan lonjakan jumlah pengangguran. Apabila kondisi ini terjadi di desadesa sekitar hutan, akan berdampak pada peningkatan interaksi penduduk dengan sumber daya hutan baik bersifat konstruktif maupun destruktif. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan di Yogyakarta tahun 2009, jumlah desa hutan dan/atau desa sekitar hutan paling banyak terdapat di Kabupaten Gunungkidul yakni 13 Kecamatan. Dengan adanya blok pemanfaatan zona terbatas untuk hutan produksi yang berlokasi di sekitar desa hutan diharapkan mampu menjadi pelindung bagi hutan itu sendiri sehingga kelestariannya tetap terjaga. 4.4 Kondisi Fisik Daerah Penelitian Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu dari 5 Kabupaten di DIY yang wilayahnya didominasi oleh perbukitan. Berdasarkan dari peta Geologi yang dikeluarkan oleh BAPEDDA Kabupaten Gunungkidul tahun 2002 lahan di Kabupaten Gunungkidul mimiliki tingkat kemiringan bervariasi,19% diantaranya merupakan daerah datar dengan tingkat kemiringan 0-2, sedangkan daerah dengan tingkat kemiringan antara sebesar 39,54% dan untuk kemiringan lebih dari lebih dari 40 sebesar 15,95%. Sementara jika dilihat dari topografi, jenis batuan, jenis tanah, ketinggian, dan keadaan hidrologi/sumber air, wilayah Kabupaten Gunungkidul terbagi menjadi tiga zona wilayah sebagai berikut: 55

59 1. Zona Utara (Zona Baturagung) Berada pada ketinggian mdpal. Zona ini didominasi oleh penggunaan lahan berupa hutan dengan kondisi lereng yang berbukit-bukit. Sebagian besar tanahnya adalah latosol dengan dominasi tekstur lempung hingga berpasir. Tanah jenis ini terbentuk dari batuan gunung api tua yang telah mengalami pelapukan lebih lanjut dan terendapkan (sedimentasi). Berwarna merah, coklat sampai kekuning-kuningan. Vegetasi jenis Jati, Akasia, Mahoni, Kayu Putih, maupun Sengon banyak tumbuh di kawasan ini. Tumbuhan tersebut di atas sama-sama mampu bertahan dalam kondisi kering sekalipun, pada tanah lempung berpasir dan dengan iklim yang tegas antara kemarau dan penghujan. Daerah yang menjadi kajian penelitian ini paling banyak berada pada Zona Utara melihat persentase hutan dari data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) tahun 2007 untuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta wilayah Gunungkidul paling tinggi berada pada Zona Utara. Tidak heran mengapa pada zona ini idenifikasi keberadaan vegetasi tidak sulit dilakukan. Sebagaimana terlihat pada halaman lampiran, bagaimana rona piksel yang ditunjukkan oleh salah satu transformasi indeks vegetasi pada zona utara ini sebagian besar adalah cerah. Semakin cerah rona nilai piksel artinya semakin banyak tutupan vegetasinya. 2. Zona Tengah (Ledok/Basin Wonosari) Zona ini berada pada ketinggian mdpal.dikelilingi oleh perbukitan, dimana sebelah selatan dibatasi oleh perbukitan karst sedangkan sebelah utara oleh perbukitan struktural. Tanah pada Ledok Wonosari ini merupakan hasil pelapukan dan sedimentasi material dari daerah disekitarnya, sehingga meskipun jenis tanahnya adalah mediteran atau terra rosa namun lapisan tanahnya tebal dan subur. Penggunaan lahan digunakan untuk tegalan, pertanian sistem tumpang sari dan pertanian semusim. Sehingga Ledok Wonosari ini termasuk dalam kawasan yang paling berkembang, baik dari sisi fisik maupun sosial ekonominya. Wilayah kajian tidak banyak mengambil pada zona ini melihat kondisi vegetasi yang minim. 56

60 Rona piksel salah satu transformaasi indeks vegetasi pada halaman lampiran pun sebagian besar menunjukkan rona gelap karena didominasi oleh lahan terbangun. 3. Zona Selatan (Pegunungan Seribu) Terletak pada ketinggian mdpal dengan batuan penyusunnya berupa batu kapur. Banyak terdapat bentukan lahan kars, berupa kerucut kars, dome,danau-danau kars hingga sungai bawah tanah. Vegetasi pada kawasan ini terdiri atas tumbuhan yang tumbuh secara alami dan tumbuhan yang dibudidayakan untuk kepentingan ekonomi. Tanahnya terdiri atas endapan batu gamping, berwarna merak kecoklatan hingga coklat kemerahan yang disebut dengan terra rosa. Tipisnya lapisan tanah ( m) dengan sifat lempung hingga pasiran, sedikit aliran air permukaan serta melimpahnya kandungan kalsium menyebabkan hanya tanaman lahan kering yang mampu bertahan. Kondisi inilah yang menyebabkan wilayah zona selatan didominasi oleh tanaman jati. Namun penelitian kali ini tidak mengambil zona selatan sebagai wilayah kajian. Batas daerah kajian yang digunakan mengacu pada Batas Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun Kaitannya dengan iklim, Kabupaten Gunungkidul termasuk daerah yang beriklim tropis. Curah hujan rata-rata 1.954,43 mm/tahun dengan jumlah hujan rerata harian 103 hari/tahun. Bulan basah 7 bulan dan bulan kering 5 bulan. Wilayah Gunungkidul bagian Utara memiliki curah hujan paling tinggi jika dibandingkan dengan wilayah tengah dan selatan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa hutan cukup berkembang di wilayah utara. Suhu udara rata-rata harian 27,7º C, suhu minimal 23,2º C, dan suhu masksimum 32,4º C. Kelembapan nisbi berkisar antara 80% - 85%, tidak terlalu dipengruhi oleh tinggi tempat melainkan oleh musim. Gambar 3.1 berikut merupakan peta lokasi penelitian untuk interpretasi hibrida. 57

61 58

62 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemrosesan Citra Digital Resolusi Tinggi Koreksi Geometri Citra Resolusi Tinggi Citra satelit resolusi tinggi yang digunakan dalam penelitian kali ini diperoleh dengan memanfaatkan data dari Google Earth, untuk itu informasi yang didapat hanya terbatas pada informasi visualnya. Dengan menggunakan zoom level 17, kenampakan visual citra yang bersumber dari data Google Earth setara dengan kenampakan visual yang ada pada citra satelit Quickbird sehingga untuk identifkasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan baik. Koreksi geometri citra mengacu pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: Perbedaan resolusi spasial antara keduanya menjadi hambatan dalam koreksi ini. Namun karena output akhirnya nanti mengacu pada satu sumber yang sama yakni peta RBI maka untuk koreksi geometri citra resolusi tinggi ini tetap mengacu pada peta RBI. Metode yang dilakukan dalam koreksi geometri citra resolusi dari data citra satelit Google Earth adalah penyamaan koordinat, yakni dengan rektifikasi citra ke peta. Peta yang digunakan sebagai base map adalah RBI, asumsinya peta ini sudah memiliki koordinat maupun sistem proyeksi yang benar sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk koreksi geometri citra. Dalam koreksi geometri ini, citra hanya dipandang sebagai image sehingga sama sekali tidak mempertimbangkan posisi piksel, hasilnya pun berupa data yang berbasis vektor sehingga dalam mentransformasikan titik-titik koordinat peta ke citra bisa dilakukan tanpa mengalami kesulitan. Yang dibutuhkan dalam koreksi geometri ini adalah tingkat ketelitian yang tinggi, bagaimana memposisikan objek di citra agar sama dengan koordinat peta acuan. 59

63 5.1.2 Interpretasi Visual Citra Resolusi Tinggi Citra resolusi tinggi pada penelitian kali ini digunakan sebagai data input dalam interpretasi hibrida. Informasi yang diambil dari citra resolusi tinggi ini berupa data kerapatan kanopi vegetasi di area hutan pada daerah kajian. Nilai kerapatan kanopi tersebut diperoleh dari interpretasi visual digitasi on screen dengan mengandalkan unsur-unsur interpretasi. Unsur interpretasi yang digunakan sebagai kunci interpretasi dalam mengambil nilai kerapatan vegetasi antara lain warna/rona, tekstur, bentuk, pola, dan asosiasi. Karena citra yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari Google Earth maka format citra sudah bukan format asli sehingga hanya bisa digunakan untuk analisis secara visual. Interpretasi citra dimulai dengan melakukan pengamatan secara menyeluruh pada daerah kajian. Kunci interpretasi digunakan untuk mempermudah dalam penarikan batas antara kerapatan vegetasi satu dengan yang lain. Kunci interpretasi warna/rona merupakan unsur yang paling dominan. Semakin hijau semakin rapat. Selain itu ada tekstur, bentuk, pola, dan asosiasi. Antara kunci interpretasi satu dengan yang saling saling mempengaruhi. Misalnya warna/rona hijau, tekstur kasar, bentuk dan pola menggerombol serta berasosiasi dengan sungai tergolong dalam vegetasi tegakan sangat rapat. Jadi interpretasi visual disini hanya bertujuan membagi darah penelitian menjadi blok-blok kerapatan tertentu tanpa nilai kuantitatif. Blok kerapatan belum memiliki nilai kerapatan sebelum dilakukan cek lapangan Penentuan Blok Sampel untuk Cek Lapangan Pengambilan sampel bloks kerapatan vegetasi dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu sampel ditentukan berdasarkan tujuan penelitian. Sampel diambil dengan mempertimbangkan kenampakan kerapatan vegetasi secara visual, cara pengambilan sampel acak namun tetap beraturan. Setiap blok 60

64 sampel kerapatan diambil beberapa sampel yang selanjutnya dilakukan cek lapangan. Jumlah sampel yang ditentukan untuk cek lapangan adalah 30 sampel. Tersebar merata mulai dari sisi utara hingga selatan pada daerah kajian. Peta di bawah ini adalah sebaran sampel kerapatan vegetasi pada daerah kajian. Gambar 5. berikut adalah citra resolusi tinggi yang digunakan untuk interpretasi visual beserta sebaran titik sampel uji lapangan. Daerah yang dibatasi garis putih merupakan daerah kajian penelitian. Sedangkan hasil kerapatan aktual di lapangan untuk setiap sampel disajikan dalam tabel 5. 61

65 62

66 Tebel 5.1Hasil identifikasi kerapatan vegetasi di lapangan No. Sampel Kerapatan (%) Foto lapangan Koordinat X = ,2339 Y = , X = ,5466 Y = , X = ,9112 Y = , X = ,8124 Y = , X = ,776 Y = , X = ,8222 Y = , X = ,8772 Y = ,177 63

67 X = ,2119 Y = , X = Y = X = Y = X = Y = X = Y = X = Y = X = Y =

68 X = Y = X = Y = X = Y = X = Y = X = Y =

69 X = Y = X = Y = X = ,7567 Y = , X = ,0941 Y = , X = Y = X = Y =

70 X = Y = X = Y = X = Y = X = Y = X = Y =

71 5.2 Pemrosesan Citra Satelit ALOS AVNIR Koreksi Geometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Citra satelit ALOS AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah citra dengan level koreksi 1B2, ini artinya citra tersebut sudah terkoreksi geometri secara sistematis. Namun tetap harus dilakukan koreksi geometri kembali, disesuaikan dengan data vektor yang digunakan dalam penelitian ini. Peta yang digunakan sebagai acuan dalam koreksi geometri citra satelit ALOS AVNIR-2 sama dengan peta yang digunakan untuk koreksi pada citra resolusi tinggi, yakni RBI. Penggunaan acuan peta yang sama ini untuk mempermudah dalam melakukan analisis citra. Metode yang diguanakan yakni image to image, meskipun yang digunakan sebagai base adalah peta RBI namun dalam prakteknya peta RBI tersebut tetap terbaca sebagai image bukan sebagai map.tahap awal dalam koreksi geometri citra satelit ALOS AVNIR-2 yakni melakukan pemotongan citra yang mencakup daerah kajian. Luasnya daerah kajian ditambah pula dengan topografinya yang beragam (bergunung hingga dataran) menjadi alasan penggunaan algoritma polynomial orde 3. Titik kontrol point atau GCP tersebar merata di seluruh bagian citra dengan jumlah 33. Semakin banyak titik GCP asumsinya semakin akurat hasil koreksi geometri. Objek yang dijadikan sebagai titik kontrol merupakan objek yang sifarnya relatif tetap seperti bangunan, jalan, dan jembatan. Algoritma yang digunakan dalam koreksi geometri ini adalah nearest neighbour, dengan tujuan agar nilai piksel asli tidak berubah. Keakuratan hasil koreksi geometri dapat dilihat dari RMS errornya, semakin kecil nilainya akan semakin akurat hasilnya dalam arti semakin mendekati titik sebenarnya di lapangan. Kendalanya, untuk mendapatkan nilai RMS errror kecil dibutuhkan objek yang tetap dan terlihat dengan jelas baik pada citra ALOS AVNIR-2 maupun peta RBI. Sedangkan pada citra maupun peta tersebut objek yang dimaksud sangat minim dengan persebaran yang tidak merata. Tabel 5.2 dibawah ini menyajikan sebaran titik GCP disertai RMS 68

72 errornya dimana rata-rata RMS error yang diperoleh dari 33 GCP sebesar 0,89. Ini artinya dengan resolusi spasial citra 10 m maka di lapangan citra tersebut mengalami pergeseran sebesar 8,89 m untuk tiap piksel. Nilai RMS error yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa hasil koreksi geometrik untuk dearah kajian tidak sempurna. Padahal nilai yang disarankan oleh Jansen tahun 2005 adalah < 0,5. Hal ini dikarenakan kondisi fisik daerah pemelitian yang sebagian besar didominasi oleh perbukitan dan pegunungan serta sulitnya menemukan objek yang tetap meskipun pengambilan titik GCP telah dilakukan berulangulang. 69

73 Tabel 5.2 Jumlah GCP (Ground Control Point) pada koreksi geometri Sumber : Koreksi geometri citra satelit ALOS AVNIR-2,

74 a b Gambar 5.2(a) Persebaran titik kontrol pada citra ALOS AVNIR-2 5.2(b) Persebaran titik kontrol peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Penggunaan algoritma polinomial tidak hanya mempengaruhi perubahan posisi piksel saja, melainkan juga menyebabkan perubahan nilai spektralnya. Proses resampling digunakan untuk tetap mempertahankan nilai spektral pada tiap piksel. Metode resampling yang digunakan dalam koreksi ini adalah nearest neightbour, dengan pertimbangan jenis resampling ini tetap mempertahankan nilai piksel meskipun posisi piksel berubah. Perubahan pergeseran citra sebelum dan sesudah koreksi dapat dilihat pada gambar 5.3 (a) dan 5.3 (b). Dari pertampalan vektor pada citra, terlihat bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan antara citra sebelum dan sesudah koreksi. Ini artinya, meskipun kualitas citra berada pada level 1B2 namun belum tentu memiliki posisi sebenarnya terhadap acuan yang digunakan. 71

75 a b Gambar 5.3(a) Pertampalan vektor sebelum koreksi geometri citra 5.3(b) Pertampalan vektor sesudak koreksi geometri citra Koreksi Radiometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Koreksi radiometri dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra baik secara visual maupun yang berkaitan dengan nilai pikselnya. Citra ALOS AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian kali ini memiliki level koreksi 1B2 sehingga sudah terkoreksi geometri dan radiometri secara sistematis. Kualitas citra yang dimaksud disini berkaitan dengan tujuan penelitian itu sendiri. Untuk penelitian kali ini kualitas citra tidak hanya berhenti pada informasi dalam citra sendiri melainkan juga mempertimbangkan faktor-faktor luar yang berpengaruh terhadap kesalahan informasi citra. Sehingga tahapan koreksi radiometri yang dilakukan pada penelitian kali ini mencapai tahap kalibrasi sensor (at sensor radiance). Nilai kepekaan yang tertangkap sensor pada masing-masing saluran dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut adalah algoritma yang digunakan beserta hasil koreksinya. L λ = Offset λ + Gain λ *(BV) λ... (17) Dimana Gain λ = L λ(maks) - L λ(min) / BV λ(maks)... (18) 72

76 Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR-2 No. Saluran Gain Offset 1 Saluran 1 0,5946 0,95 2 Saluran 2 0,5541 0,84 3 Saluran 3 0,4730 0,81 4 Saluran 4 0,6689-0,00 Sumber: Header cittra ALOS AVNIR-2 tahun Transformasi Indeks Vegetasi Perolehan informasi mengenai sebaran vegetasi dilakukan dengan transformasi indeks vegetasi pada citra satelit ALOS AVNIR-2. Ada 4 jenis transformasi citra yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Pemilihan trasnformasi tersebut didasarkan pada kapasitas citra satelit ALOS AVNIR-2 yang hanya terdiri dari 4 band yakni saluran biru (0,45 0,52µm), saluran hijau (0,52 0,60µm), saluran merah (0,63 0,69µm), dan saluran inframerah dekat (NIR) (0,76 0,89µm). Sehingga anadalan pada model trasnformasi yang diterapkan pada citra satelit ALOS AVNIR-2 ini hanya pada saluran merah dan inframerah dekat. Penggunaan saluran merah dan NIR pada sebagaian besar transformasi indeks vegetasi didasarkan pada nilai tertinggi pantulannya. Vegetasi memberikan pantulan tertinggi pada NIR, namun karena mata manusia hanya terbatas pada panjang gelombang visibel maka daun sehat tampak hijau. Sehingga kombinasi dari dua pantulan (merah dan inframerah dekat) mampu memberikan nilai/indeks kaitannya dengan keberadaan vegetasi. Nilai indeks ini dapat bervariasi, tidak selalu sama tergantung dari algoritma transformasi yang digunakan. Berikut hasil dari masing-masing transformasi tersebut. 73

77 RVI Transformasi indeks vegetasi paling sederhana yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah RVI (Ratio Vegetation Index). Indeks yang dihasilkan merupakan rasio dari saluran merah dan inframerah dekat dengan nilai minimal 0,204109, maksimal 4, dan rata-rata 1, Objek vegetasi dari hasil transformasi ini menunjukkan rona yang cerah, sedangkan non vegetasi memiliki rona gelap. Algoritma RVI yang digunakan hanya mengandalkan kemampuan saluran merah dan inframerah dekat yang memang unggul dalam nenonjolkan objek vegetasi, sehingga hanya ada dua kemungkinan objek yang dapat diidentifikasi. Pertama objek vegetasi dan kedua non vegetasi. Semakin besar nilai indeks yang dihasilkan, semakin cerah ronanya, dan semakin besar pula kemungkinan keberadaan vegetasi NDVI Indeks vegetasi selanjutnya adalah NDVI (Normalized Different Vegetation Index). Sama seperti RVI, NDVI pun menggunakan saluran merah dan inframerah dekat namun dengan algoritma yang berbeda. Kisaran nilai yang dihasilkan antara -1 sampai 1. Dimana -1 non vegetasi dan 1 vegetasi. Hasil trasnformasi NDVI pada daerah kajian menunjukkan rentang nilai antara sampai Semakin mendekati 1 rona yang terlihat pada citra semakin cerah, dan semakin cerah kenampakannya akan menunjukkan daerah kajian semakin banyak tutupan vegetasi. Pada daerah penelitian nilai maksimal indeks berada pada Ini artinya, tidak ada objek yang benar-benar murni vegetasi. Bisa terjadi karena ada pantulan tanah atau air yang berada diantara vegetasi mengingat resolusi spasial citra ALOS ANVIR-2 sebesar 10 m yang berarti luasan dipermukaan bumi 100 meter persegi. Dimana akan sangat sulit menemukan tutupan objek vegetasi yang secara utuh menutupi permukaan bumi tanpa celah sedikitpun. 74

78 TVI Transformasi indeks ketiga yang digunakan adalah TVI (Transformed Vegetation Index). Model transformasi ini dikembangkan untuk menghilangkan nilai negatif pada transformasi NDVI. Masih menggunakan saluran yang sama, yakni merah dan inframerah dekat maka dihasilkan nilai indeks dengan minimal , maksimal dan rata-rata Nilai indeks tersebut merepresentasikan tutupa vegetasi pada daerah kajian. Dimana nilai indeks kecil memiliki rona gelap yang mengindikasikan tutupan vegetasi sedikit dan nilai indeks besar memiliki rona cerah yang mengindikasikan tutupan vegetasi rapat MSAVI Terakhir adalah transformasi MSAVI (Modified Soil Adjusted Vegetation Index). Model transformasi ini memiliki keunggulan mampu menekan latar belakang tanah meskipun dengan menggunakan tipe saluran yang sama seperti pada transformasi sebelumnya yakni merah dan inframerah dekat. Tanah untuk kajian tutupan vegetasi dianggap sebagai gangguan karena mempengaruhi nilai asli dari pantulan objek vegetasi. Nilai indeks yang dihasilkan oleh transformasi ini yakni minimal maksimal dan rata-rata Indeks yang dihasilkan ini tidak memiliki acuan nilai tertentu karena persamaan yang digunakan bukan merupakan persamaan yang telah dinormalisasi seperti pada transformasi NDVI. Nilai indeks yang dihasilkan tergantung dari nilai spektral saluran yang digunakan. Tabel 5.4 di bawah ini menggambarkan perbandingan informasi spktral masing-masing transformasi yang digunakan. 75

79 Tabel 5.4 Citra hasil transformasi dan perbandingan nilai spektralnya No. Jenis trasnformasi informasi spectral maks Min rata-rata st.dev 1 RVI 4, , , , NDVI 0, , , , TVI 1, , , , MSAVI 1, , , , Interpretasi Visual Citra Satelit ALOS ANVIR-2 Interpretasi visual citra satelit ALOS AVNIR-2 bertujuan untuk menyusun satuan pemetaan kerapatan kanopi hutan dalam interpretasi hibrida. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan ketika melakukan interpretasi visual selain unsur-unsur interpretasi adalah penyusunan citra komposit. Penyusunan citra komposit bertujuan untuk menonjolkan objek tertentu sehingga mempermudah pengenalan suatu objek. Komposit warna memanfaatkan tiga saluran pada citra, dimana saluran yang digunakan adalah saluran-saluran yang peka terhadap objek vegetasi. Saluran tersebut antara lain saluran hijau (0,52-0,6 µm), merah (0,61-0,64 µm) dan inframerah dekat (0,76-0,89 µm) dengan komposit 432 (inframerah dekat, merah, hijau). Gambar 5.4 di bawah ini adalah 76

80 grafik histogram citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan komposit warna 432 pada daerah penelitian. Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit warna 432 Grafik berwarna hitam adalah band 4, grafik berwarna merah band 3, dan grafik berwarna hijau band 2. Masing-masing grafik menggambarkan pesebaran jumlah nilai piksel pada rentang nilai kecerahan citra antara berarti sangat gelap dan 255 sangat cerah. Dari histogram tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada piksel yang benar-benar bernilai 0 maupun 255. Jumlah piksel terbanyak dari 3 jenis saluran tersebut justru berada pada kisaran nilai kecerahan Ini artinya persentase nilai piksel gelap lebih dominan daripada nilai piksel cerah. Semakin gelap berarti semakin banyak energi yang terserap, karena 3 saluran tersebut memiliki pola yang sama dalam memberikan respon pantulan vegetasi maka semakin gelap citra semakin banyak persentasi vegetasi pada daerah kajian. Nilai inilah yang dijadikan pedoman untuk mengetahui distribusi nilai piksel yang menunjukkan keberadaan objek vegetasi. Komposit saluran 432 yang digunakan untuk interpretasi visual menghasilkan kenampakan objek vegetasi yang sangat jelas. Saluran 4 (inframerah dekat) dengan panjang gelombang 0,76-0,89 µm peka terhadap objek vegetasi dan tanah. Saluran 3 (merah) yang memiliki panjang gelombang 0,61-0,64 µm peka terhadap pantulan vegetasi, sedangkan saluran 2 yang 77

81 berada pada kisaran panjang gelombang 0,52-0,60 µm merupakan puncak dari pantulan vegetasi. Kombinasi komposit dari ketiga saluran tersebut di atas menghasilkan kenampakan citra dengan dominan warna merah adan cyan. Merah menunjukkan objek vegetasi dan cyan menunjukkan objek tanah. Interpretasi visual citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan komposit 432 sangat membantu dalam indentifikasi objek. Proses pengenalan objek yang berkaitan dengan vegetasi dilakukan secara fotomorfik, yakni menggunakan unsur interpretasi citra. Pengenalan objek dilakukan untuk membedakan kelas kerapatan tegakan hutan daerah kajian berdasarkan unsur interpretasi citra. Sehingga tidak semua unsur interpretaasi digunakan secara serentak, beberapa unsur interpretasi yang dijadikan kunci interpretasi antara lain warna/rona, tekstur, pola, bentuk, dan asosiasi. Secara visual tampilan citra ALOS AVNIR- 2 dengan resolusi spasial 10m cukup baik untuk membedakan antara vegetasi lebat hingga jarang. Kenampakan citra ALOS ANVIR-2 dengan komposit 432 dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut. Gambar 5.5 Kenampakan citra satelit ALOS AVNIR-2 komposit 432 Gambar tersebut di atas merupakan tampilan visual citra daerah kajian dengan komposit 432. Dominan warna yang terlihat pada citra adalah warna 78

82 merah dan warna cyan, dimana objek vegetasi berwarna merah dan warna cyan untuk objek tanah. Delineasi objek dilakukan secara Digitasi on Screen dengan tanpa meninggalkan kunci interpretasi yang digunakan. Karena daerah kajian pada penelitian ini berada pada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia tahun 2007, maka asumsinya adalah kawasan tersebut meskipun pada kenyataanya banyak terdapat blok-blok nonvegetasi namun tetap dikatagorikan sebagai hutan. Sehingga dalam proses interpretasi, tidak lagi membagi daerah penelitian menjadi hutan dan nonhutan melainkan membagi menjadi blok-blok kecil yang menggambarkan perbedaan tingkat kerapatannya. Unsur interpretasi warna/rona menjadi aspek yang paling dominan dalam melakukan interpretasi. Warna merah menunjukkan objek vegetasi, semakin gelap ronanya mengindikasikan bahwa semakin rapat vegetasi. Sebaliknya semakin cerah ronanya semakin jarang vegetasi. Delineasi objek dilakukan dengan membedakan tingkat kecerahan rona yang terlihat. Selanjutnya ada unsur interpretasi tekstur. Tekstur memudahkan dalam membedakan objek vegetasi pada tingkat ketinggian yang berbeda. Perbedaan ketinggian dapat menunjukkan perbedaan kerapatan vegetasi tegakan. Terakhir adalah pola dan bentuk. Pada daerah kajian sebagian besar bentuk blok-blok vegetasi tidak beraturan begitupun dengan polanya. Mengerombol pada beberapa lokasi dan sangat jarang lokasi tertentu. Hal ini tidak lepas dari unsur interpretasi yakni asosiasi. Vegetasi rapat sebagian besar berasosiasi dengan sungai-sungai besar. Seperti terlihat pada sisi utara daerah kajian. Sungai Oyo yang memotong sisi utara daerah kajian menjadi salah satu sumber kehidupan bagi vegetasi disekitarnya. Tidak heran mengapa Kabupaten Gunungkidul yang terkenal gersang justru menyiman potensi hutan yang luar biasa. Berikut ini disajikan Tabel 4.4 mengenai beberapa contoh hasil delineasi objek hutan untuk setiap kerapatan yang berbeda. Sementara peta satuan pemetaan kerapatan kanopi daerah penelitin disajikan dalam Gambar 4.6 berikut. 79

83 Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual untuk Satuan Pemetaan Nama Objek Ciri pengenalan Kerapatan 1 - Warna/rona: cyan, biru muda, merah pudar - Bentuk tidak teratur - Tekstur halus Kenampakan pada cita ALOS AVNIR-2 Kerapatan 2 - Warna/rona: merah cerah, merah kehitaman - Bentuk tidak teratur - Tekstus halus-kasar - Asosiasi sungai Kerapatan 3 - Warna/rona: merah muda, keputihan - Bentuk tidak teratur - Tekstur halus Kerapatan 4 - Warna/rona: merah pudar, kehitaman, gelap - Bentuk tidak teratur - Tekstur kasar - Asosiasi sungai Kerapatan 5 - Warna/rona: merah gelap, kehitaman, - Bentuk tidak teratur - Tekstur kasar - Asosiasi sungai Kerapatan 6 - Warna/rona: merah pudar, cyan, biru muda, biru, coklat muda - Bentuk tidak teratur - Tekstur kasar - Aosiasi lahan terbangun 80

84 81

85 5.3 Pemetaan Kerapatan Vegetasi dengan Interpretasi Hibrida Analisis Statistik Nilai Rata-Rata Sampel Blok Vegetasi pada Citra Hasil Transformasi Indeks Vegetasi Nilai indeks yang dihasilkan dari beberapa transformasi belum bernilai apa-apa sebelum dikaitkan dengan data lapangan. Salah satu cara untuk menghubungan antara nilai indeks dengan data lapangan adalah dengan analisis statistik. Analisis statistik yang digunakan untuk penyusunan formula kepadatan bangunan yakni dengan menggunakan nilai rata-rata blok sampel kerapatan vegetasi. Blok bangunan diperoleh dari hasil interpretasi citra resolusi tinggi yang telah memiliki nilai kepadatan. Analisis nilai rata-rata blok kerapatan vegetasi dilakukan pada citra hasil transformasi indeks vegetasi antara lain RVI, NDVI, TVI, dan MSAVI. Nilai rata-rata indeks vegetasi diperoleh dengan cara menumpangsusunkan antara blok sampel vegetasi (dalam bentuk vektor) dengan masing-masing indeks vegetasi (dalam bentuk raster). Karena yang digunakan adalah rata-rata nilai piksel maka diambil beberapa piksel di bagian tengah blok vegetasi dengan membat ROI (Region of Interest). Gambar 5.6 berikut ini adalah contoh pembuatan ROI pada salah satu trasnformasi indeks. 82

86 Gambar 5.6 Pembuatan ROI dari blok kerapatan vegetasi Adapun Tabel 5.6 berikut menyajikan hasil tumpang susun antara blok kerapatan vegetasi pada masing-masing indeks yang digunakan. Untuk melihat hubungan antara parameter kerapatan dengan indeks vegetasi dilakukanlah analisis statistik yakni korelasi dan regresi. Nilai kerapatan vegetasi tersebut dikorelasikan dengan nilai rata-rata transformasi RVI, NDVI, TVI, dan MSAVI. Hasil korelasi inilah yang menentukan indeks vegetasi apa yang paling baik digunakan untuk pemetaan kerapatan vegetasi. 83

87 Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi pada Transformasi Indeks Vegetasi (RVI, NDVI, TVI dan MSAVI) No. Nilai Mean No.sampel kepadatan RVI NDVI TVI MSAVI 1 80, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,08948 Sumber : Pengolahan statistik citra tiap indeks vegetasi Analisis Korelasi RVI dengan Kerapatan RVI adalah salah satu model transformasi yang paling sederhana. Berdasarkan analisis korelasi yang dilakukan antara RVI dengan nilai kepadatan diperoleh korelasi sebesar 0,782. Gambar 4.8 adalah grafik 84

88 hubungan antara kerapatan di lapangan dengan transformasi RVI. Sumbu x mewakili nilai kerapatan di lapangan sedangkan y adalah hasil transformasi RVI. Nilai koefisien determinasi tersebut mendekati 1, artinya antara RVI dengan kerapatan memiliki hubungan positif. Semakin besar atau semakin mendekati 1 maka semkin rapat nilai kerapatan vegetasinya. Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan dapat dilihat pada gambar 5.7 berikut. Gambar 5.7 Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan vegetasi Analisis Korelasi NDVI dengan Kerapatan Selanjutnya adalah NDVI. Indeks vegetasi ini paling umum digunakan dalam berbagai penelitian yang berkaitan dengan vegetasi. Berdasarkan analisis korelasi antara kedua parameter tersebut diperoleh korelasi sebesar 0,784. Nilai koefisien korelasi tersebut paling tinggi jika dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi yang lain. Artinya variabel NDVI memiliki hubungan paling kuat dengan nilai kerapatan vegetaasi. Nilai ini menunjukkan arah hubungan positif, semakin tinggi indeks yang dihasilkan maka semakin tinggi pula kerapatan vegetasinya. Gambar 5.8 menggambarkan hubungan antara NDVI dan kerapatan. Sama halnya dengan transformasi indeks lain yang digunakan dalam penelitian kali ini, ada beberapa point penting yang menjadi perhatian terkait grafik hubungan dua variabel. Antara lain nilai kerapatan yang tergambar pada sumbu x, nilai indeks pada sumbu y, sebaran sampel, dan garis linear antara dua variabel terkait. 85

89 Gambar 5.8 Grafik hubungan antara NDVI dengan kerapatan vegetasi Analisis Korelasi TVI dengan Kerapatan TVI dikembangkan untuk menghilangkan nilai negatif pada NDVI. Dari empat indeks vegetasi yang digunakan, TVI memiliki nilai korelasi paling rendah dengan kerapatan vegetasi. Koefisien korelasi antara TVI dan kerapatan adalah 0,489. Menurut Munir (2007) nilai tersebut memiliki tingkat hubungan dengan kategori sedang. Pada Gambar 5.9 terlihat bahwa sebaran sampel kerapatan untuk nilai TVI memiliki pola menyebar, sehingga garis linear yang terbentuk kurang sempurna. Gambar 5.9 Grafik hubungan antara TVI dengan kerapatan vegetasi 86

90 Analisis Korelasi MSAVI dengan Kerapatan Indeks terakhir yang digunakan untuk analisis kerapatan vegetasi adalah MSAVI. Dengan melihat pada gambar 5.10 dapat diketahui bahwa koefisien korelasi yang dihasilkan dari dua variabel tersebut adalah 0,75. Indeks yang bernilai negatif (-) pada MSAVI menunjukkan tingkat hubungan yang paling jauh. Semakin jauh letak sampel kerapatan pada rentang indeks yang digunakan terhadap garis linearnya, menunjukkan sebaran data yang semakin tidak merata. Gambar 5.10 Grafik hubungan antara MSAVI dengan kerapatan vegetasi Tabel 5.7 berikut merupakan tabel perbandingan koefisien korelasi yang dihasilkan melalui analisis statistik nilai kerapatan dengan indeks vegetai yang digunakan Tabel 5.7 Korelasi nilai rata-rata tiap saluran dengan kerapatan Transformasi No. indeks R 2 1 RVI 0,782 2 NDVI 0,784 3 TVI 0,489 4 MSAVI 0,750 Sumber: Analisis statistik citra Nilai r pada tabel 4.7 adalah nilai korelasi dari masing-masing indeks vegetasi yang digunakan. Koefisien korelasi terendah dihasilkan dari transformasi TVI, meskipun sebenarnya transformasi TVI dirumuskan untuk 87

91 menghilangkan nilai negatif pada transformasi NDVI namun pada penelitian kali ini justru koefisien korelasi dari kedua transformasi tersebut memiliki selisih yang cukup jauh. Artinya, perubahan nilai indeks dari transformasi TVI dan NDVI sangat berpengaruh pada perubahan statistiknya. Sedangkan untuk transformasi RVI, NDVI, dan MSAVI selisih koefisien korelasinya tidak terlalu jauh. RVI bekerja dengan baik pada topografi yang beragam seperti pada daerah kajian, MSAVI menekan gangguan latar belakang tanah sedangkan NDVI merupakan kombinasi yang paling baik untuk identifikasi keberadaan vegetasi. Tidak heran mengapa ketiga jenis transformaasi tersebut menghasilkan koefisien korelasi yang tinggi. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa korelasi paling tinggi ternyata pada transformasi NDVI sebesar 0,784. Artinya, kerapatan vegetasi memiliki hubungan positif dan paling kuat pada trasnformasi NDVI ketimbang jenis transformasi indeks lainnya. Jadi, untuk pemetaan kerapatan vegetasi metode hibrida, transformasi yang digunakan adalah transformasi NDVI dengan rumus fungsinya adalah Y= 0,004x 0, Formula Kerapatan Vegetasi untuk Interpretasi Hibrida Indeks terpilih yang digunakan untuk penyusunan formula kerapatan vegetasi adalah indeks yang memiliki koefisien korelasi tertinggi, dan indeks tersebut adalah NDVI. Dari nilai NDVI inilah kemudian dibagi menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi yakni hutan sangat rapat, agak lebat/lebat, terbuka, jarang, dan sedikit/tidak ada pohon. Tabel 5.8 merupakan formula kerapatan vegetasi untuk interpretasi hibrida hasil tumpangsusun antara sampel kerapatan dengan nilai rata-rata NDVI. Nilai 0,276; 0,116 hingga -0,037 merupakan rentang nilai transformasi NDVI yang dihasilkan dari persamaan regresi Y=0,004x 0,045, dengan x adalah nilai kerapatan vegetasi 2%, 10%, 40%, dan 80%. Setiap perbedaan kerapatan vegetasi menunjukkan perbedaan kelas kerapatannya. 88

92 Tabel 5.8 Formula kerapatan vegetasi No Kelas Formula kerapatan vegetasi Kerapatan vegetasi 1 I NDVI 0,276 Hutan sangat rapat 2 II NDVI 0,116 AND NDVI 0,275 Hutan agak lebat/lebat 3 III NDVI (-0,004) AND NDVI 0,115 Terbuka 4 IV NDVI (-0,038) AND NDVI (-0,004) Jarang 5 V NDVI (-0,037) Sedikit/tidak ada pohon Sumber : Pengolahan citra, 2013 Kelas I mewakili hutan sangat rapat dengan nilai indeks lebih besar sama dengan dari 0,276. Kelas II hutan agak rapat/lebat berada pada rentang nilai 0,116 sampai 0,275. Kelas III, IV, dan V berdasarkan formula kerapatan vegetasi mulai terdapat indeks yang bernilai negatif dengan kerapatan berturutturut yakni terbuka, jarang, dan sedikit/tidak ada pohon. Nilai negatif tersebut sebagai akibat dari adanya objek non vegetasi yang berada di area hutan pada wilayah kajian, seperti pemukiman, lahan kosong, maupun tubuh air Interpretasi Hibrida Proses interpretasi hibrida dilakukan setelah setiap poligon satuan pemetaan kerapatan vegetasi memiliki rata-rata nilai pada citra NDVI. Nilai rata-rata tersebut akan digunakan untuk identifikasi tingkat kerapatan vegetasi tiap poligon satuan pemetaan. Perolehan nilai rata-rata tiap satuan pemetaan kerapatan vegetasi yakni dengan cara menumpangsusunkan poligon hasil interpretasi visual dengan citra NDVI. Proses perhitungan nilai rata-rata tersebut diperoleh dengan bantuan software pengolah data citra ENVI 4.5. Setiap poligon yang telah ditumpangsusunkan dengan citra NDVI dilakukan analisis statistik untuk memperoleh rata-rata nilai indeksnya. Setelah setiap poligon memperoleh nilai rata-rata pada citra NVDI, maka formula kerapatan vegetasi sudah bisa diterapkan. 89

93 Formula hibrida untuk kerapatan vegetasi yang telah diterapkan pada masing-masing poligon satuan pemetaan otomatis menghasilkan poligonpoligon dengan kelas kerapatan vegetasi tertentu. Hasil dari perhitungan tersebut dapat dilihat pada lampiran 1. Kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida dikelompokkan ke dalam 5 kelas, antara lain hutan sangat lebat, agak lebat, terbuka, jarang, dan sedikit atau tidak ada sama sekali. Tabel 5.9 berikut merupakan hasil interpretasi hibrida untuk kerapatan vegetasi disertai luasannya. Tabel 5.9 Luas kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida No. Kelas kerapatan Persentase Kerapatan Luas (ha) 1. Hutan sangat rapat > 80 % 1082,92 2. Agak lebat/lebat % 2541,76 3. Terbuka % 2062,32 4. Hutan jarang 2 10 % 201,04 5. Sedikit/tidak ada pohon < 2 % - Dari 5 kelas tersebut, ternyata pada kelas sedikit/tidak ada sama sekali jumlah luasan hutan adalah 0, ini artinya pada daerah kajian jumlah minimal tegakan hutan diatas 2%. Peta di bawah ini adalah peta hasil interpretasi hibrida. 90

94 91

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

KAJIAN AKURASI INTERPRETASI HIBRIDA MENGGUNAKAN EMPAT INDEKS VEGETASI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN KANOPI DI KAWASAN HUTAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL

KAJIAN AKURASI INTERPRETASI HIBRIDA MENGGUNAKAN EMPAT INDEKS VEGETASI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN KANOPI DI KAWASAN HUTAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL KAJIAN AKURASI INTERPRETASI HIBRIDA MENGGUNAKAN EMPAT INDEKS VEGETASI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN KANOPI DI KAWASAN HUTAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL Monica Mayda Pratiwi monica.m.pratiwi@gmail.com Hartono hartonogeografi@yahoo.co.id

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi Usahatani merupakan organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi lapangan pertanian (Hernanto, 1995). Organisasi

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. i HALAMAN PENGESAHAN DISERTASI. ii PERNYATAAN. iii PRAKATA. iv DAFTAR ISI. vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN. xxiii INTISARI. xxiv

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara

Cara memperoleh Informasi Tidak kontak langsung dari jauh Alat pengindera atau sensor Data citra (image/imagery) a. Citra Foto Foto udara PENGINDERAAN JAUH (INDERAJA) remote sensing (Inggris), teledetection (Prancis), fernerkundung (Jerman), distantsionaya (Rusia), PENGERTIAN. Lillesand and Kiefer (1994), Inderaja adalah ilmu dan seni untuk

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan

Lebih terperinci

APLIKASI CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK ESTIMASI VOLUME TEGAKAN PINUS DI WILAYAH KOPENG. Hanafiah Yusuf

APLIKASI CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK ESTIMASI VOLUME TEGAKAN PINUS DI WILAYAH KOPENG. Hanafiah Yusuf APLIKASI CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK ESTIMASI VOLUME TEGAKAN PINUS DI WILAYAH KOPENG Hanafiah Yusuf yusuf@gmail.com Sigit Heru Murti BS sigit@geo.ugm.ac.id ABSTRACT Remote sensoring with spatial and spectral

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci