makalah sarasehan februari 2011 PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH? PERLUKAH? -

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "makalah sarasehan februari 2011 PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH? PERLUKAH? -"

Transkripsi

1 makalah sarasehan februari 2011 PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH? PERLUKAH? - Heddy Shri Ahimsa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

2 Makalah disampaikan dalam Sarasehan Profetik 2011, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011 DAFTAR ISI I. PENGANTAR II. ILMU (SOSIAL) PROFETIK : PANDANGAN KUNTOWIJOYO 1. Asal-Muasal Gagasan Ilmu (Sosial) Profetik, Transformatif di UGM 2. Ilmu Sosial Profetik, Ilmu Sosial Transformatif 3. Wahyu : Basis Epistemologis dan Implikasinya a. Sumber Pengetahuan : Wahyu - Akal b. Pendekatan : Strukturalisme Transendental c. Analisis / Tafsir : Sintetik - Analitik 4. Etika: Humanisme-Teosentris 5. Tujuan : Humanisasi / Emansipasi, Liberasi / Pembebasan, Transendensi 6. Telaah Kritis atas Pandangan Kuntowijoyo III. PARADIGMA PROFETIK : APA ITU? 1. Paradigma : Sebuah Definisi 2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions) - (1) b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2) c. Model-model (Models) - (3) d. Masalah Yang Diteliti/Yang Ingin Dijawab - (4) e. Konsep-konsep Pokok (Main Concepts, Key Words) - (5) f. Metode-metode Penelitian (Methods of Research) - (6) g. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis) - ( 7 ) h. Hasil Analisis / Teori (Results of Analysis / Theory) - (8) i. Representasi (Etnografi) - (9) 3. Skema Paradigma 4. Paradigma Profetik dan Islam a. Al Qur an dan Sunnah Rasul b. Rukun Iman 1

3 c. Rukun Islam IV. BASIS EPISTEMOLOGIS PARADIGMA PROFETIK 1. Asumsi Dasar tentang Basis Pengetahuan a. Indera b. Kemampuan Strukturasi dan Simbolisasi (Akal) c. Bahasa (Pengetahuan Kolektif) d. Wahyu - Ilham e. Sunnah Rasulullah s.a.w. 2. Asumsi Dasar tentang Obyek Material 3. Asumsi Dasar tentang Gejala Yang Diteliti 4. Asumsi Dasar tentang Ilmu Pengetahuan 5. Asumsi Dasar tentang Ilmu Sosial dan/atau Alam Profetik 6. Asumsi Dasar tentang Disiplin Profetik V. ETOS PARADIGMA PROFETIK 1. Basis Semua Etos : Penghayatan 2. Etos : Pengabdian a. Pengabdian kepada Allah s.w.t. b. Untuk Pengetahuan (Ilmu) c. Untuk Diri Sendiri d. Untuk Sesama e. Untuk Alam 3. Etos Kerja Keilmuan a. Pengembangan Unsur Paradigma b. Pengembangan Paradigma Baru 4. Etos Kerja Kemanusiaan a. Kejujuran b. Keseksamaan / Ketelitian c. Kekritisan d. Penghargaan VI. MODEL PARADIGMA PROFETIK 1. Model (Struktur) Rukun Iman dan Transformasinya 2. Model (Struktur) Rukun Islam dan Trasformasinya VII. IMPLIKASI EPISTEMOLOGI PROFETIK 1. Implikasi Permasalahan 2. Implikasi Konseptual 2

4 3. Implikasi Metodologis Penelitian 4. Implikasi Metodologis Analisis 5. Implikasi Teoritis 6. Implikasi Representasional (Etnografis) VIII. IMPLIKASI PARADIGMA PROFETIK 1. Transformasi Individual 2. Transformasi Sosial (Kolektif) IX. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA ooooo 3

5 PARADIGMA PROFETIK - MUNGKINKAH? PERLUKAH? - Heddy Shri Ahimsa-Putra Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada I. PENGANTAR Kira-kira sembilan tahun yang lalu, tepatnya 2 Nopember 2002, sebuah sarasehan ilmu-ilmu profetik digelar di UGM di gedung Pascasarjana. Sejumlah makalah dari berbagai disiplin dipresentasikan, di antaranya dari bidang Ilmu Humaniora, Ilmu MIPA dan Teknik, Ilmu Sosial, Ilmu Pertanian dan Ilmu Kesehatan. Tidak semua makalah berupa makalah yang ditulis secara rinci dan jelas. Ada yang hanya berisi butir-butir pemikiran yang juga tidak mudah dimengerti maksudnya; ada yang ditulis dengan panjang lebar, tetapi isi dan arah pembicaraan juga tidak sepenuhnya jelas, sehingga setelah membaca makalah-makalah tersebut saya tidak memperoleh gambaran yang cukup jelas tentang apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu profetik itu sendiri. Singkatnya kelemahan-kelemahan dalam berbagai makalah tersebut dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, makalah-makalah itu belum memaparkan dengan jelas, mengapa ilmu profetik perlu dibangun. Kedua, belum memaparkan secara sistematis apa yang dimaksud dengan profetik, dan bagaimana mewujudkannya dalam kegiatan keilmuan, agar kemudian dapat terbangun ilmu-ilmu yang profetik. Ketiga, belum memaparkan dengan cukup jelas kerangka pemikiran tentang ilmu pengetahuan dengan berbagai unsurnya, sehingga ilmu profetik yang ingin dibangun juga tidak dapat diketahui sosoknya secara jelas. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa pemikiran tentang ilmu profetik tidak ada. Seingat saya, gagasan mengenai ilmu profetik di Indonesia ini pada mulanya berasal dari Prof. Dr. Kuntowijoyo, guru besar sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Gagasan ini dituangkan lebih lengkap oleh beliau dalam bukunya yang berjudul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, yang diterbitkan pada tahun Jadi belum begitu lama. Meskipun demikian, pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo -yang selanjutnya akan saya sebut Mas Kunto, sapaan akrab saya untuk beliau- mengenai ilmu profetik tersebut bibit-bibitnya sudah ditebar lebih awal dalam bukunya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Mizan, 1991). Saya tidak tahu apa persisnya reaksi pu- 4

6 blik cendekiawan Indonesia ketika buku-buku tersebut terbit, karena saat itu saya mash di Amerika Serikat, menyelesaikan s-3. Saya sendiri pada awalnya tidak banyak menaruh perhatian pada pemikiran-pemikiran mas Kunto, yang lebih saya kenal sebagai sejarawan. Apalagi perhatian saya sedang saya curahkan pada persoalan bagaimana strategi yang tepat dan mudah untuk dapat mengembangkan antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Topik ini tentu saja membawa saya pemikiran-pemikiran dari Thomas Kuhn mengenai revolusi ilmu pengetahuan, yang dituangkan dalam bukunya yang memicu perdebatan panjang di kalangan ilmuwan di Barat, The Structure of Scientific Revolutions. Kemudian suatu hari saya di-sms oleh mas Indra Bastian dari fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM. Dia minta saya menulis makalah tentang Strukturalisme Transendental. Saya agak terkejut. Memang saya banyak menulis tentang paradigma Strukturalisme dalam antropologi, tetapi bukan strukturalisme transendental. Akhirnya setelah saya bertemu dengan mas Indra dan pak Edimeyanto dari fakultas Farmasi, dan mereka menjelaskan kepada saya mengapa mereka menghubungi saya, barulah saya memahami apa yang mereka inginkan dari saya 1 ). Hasil dari pertemuan tersebut adalah saya sepakat untuk membahas kembali masalah ilmu-ilmu profetik, yang pernah dibahas oleh mas Kunto, tetapi dengan perspektif saya sendiri tentu saja. Dalam makalah ini saya mencoba memaparkan kembali secara ringkas pandanganpandangan mas Kunto mengenai ilmu sosial profetik -karena mungkin tidak banyak yang tahu dengan cukup mendalam pandangan-pandangan tersebut-, dan kemudian membahasnya dengan agak kritis. Atas dasar beberapa kelemahan yang masih terdapat dalam pemikiran mas Kunto, saya mencoba untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan mas Kunto untuk membangun paradigma profetik yang lebih jelas komponennya lebih kokoh dasarnya, dan juga lebih jelas sosoknya. Tentu saja, karena terbatasnya ruang di sini, tidak semua komponen paradigma profetik akan saya ulas. Bagian yang akan saya ulas terutama adalah bagian tentang epistemologi. II. ILMU (SOSIAL) PROFETIK : PANDANGAN KUNTOWIJOYO Di Indonesia, pandangan mengenai ilmu sosial profetik -dan ini bisa juga kita artikan sebagai ilmu alam profetik- yang cukup komprehensif terdapat pada tulisan-tulisan mas Kunto, karena beliaulah yang secara sadar bermaksud membangun sebuah paradigma baru ilmu pengetahuan, yakni ilmu pengetahuan yang profetik, dengan agama Islam sebagai landasannya. Apa yang digagas oleh mas Kunto pada dasarnya bukanlah hal yang sama sekali baru dalam jagad pemikiran Islam. Dari tulisan-tulisannya kita dapat menemukan tokoh-tokoh pemikir Islam yang banyak mempengaruhi dan memberikan inspirasi pada mas Kunto. 1. Asal-Muasal Gagasan Ilmu (Sosial) Profetik, Transformatif di UGM Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet, yang berarti nabi. Menurut Oxford Dictionary prophetic adalah (1) Of, pertaining or proper to a prophet or prophecy ; having the character or function of a prophet ; (2) Characterized by, containing, or ) ) Alhamdulillah, saya dipertemukan oleh Allah s.w.t. dengan mas Indra Bastian dan pak Edimeyanto, sehingga saya terlibat dalam membangun pemikiran mengenai ilmu (sosial) profetik, transformatif. Saya berterimakasih kepada mas Indra dan pak Edimeyanto yang telah mengajak saya terlibat dalam pergulatan pemikiran mengenai ilmu profetik ini. 5

7 of the nature of prophecy; predictive. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi kenabian. Akan tetapi, adakah ilmu sosial kenabian? Ilmu sosial seperti apa ini? Mas Kunto menulis bahwa Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Mas Kunto banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena mas Kunto adalah seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial. Dikatakan oleh mas Kunto bahwa gagasan mengenai ilmu sosial profetik yang dikemukakannya dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di situ, yakni kubu teologi konvensional, yang mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik dengan kubu teologi transformatif, yang memaknai teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris (83). Menurut mas Kunto, perbedaan pandangan ini sulit diselesaikan, karena masing-masing memberikan makna yang berbeda terhadap konsep paling pokok di situ, yaitu konsep teolo-gi itu sendiri. Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan digantinya istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif. Peristiwa lain yang menjadi pemicu gagasan mas Kunto tentang ilmu profetik adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober Ketika itu ada pemakaian istilah Islamisasi pengetahuan, yang menggelisahkan mas Kunto, karena makna istilah tersebut kemudian diplesetkan ke arah Islamisasi non-pri, yang dihubungkan dengan sunat secara Islam, atau tetakan (bhs.jawa). Tentu saja saya sakit hati dengan penyamaan itu, meskipun ada benarnya juga begitu tulisa mas Kunto, Saya sakit hati karena sebuah gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh karena itu saya tidak lagi memakai istilah Islamisasi pengetahuan, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti Islamisasi pengetahuan menjadi Pengilmuan Islam. Dari reaktif menjadi proaktif (2006: vii-viii). Mas Kunto kemudian menghimpun gagasan-gagasan yang masih terserak di sanasini menjadi sebuah nonbuku darurat, nonbuku comat-comot -begitu dia menyebut buku kecilnya- yang diberi judul Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Menurut mas Kunto Pengembangan Paradigma Islam itu merupakan langkah pertama dan strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban. Dengan demikian Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan bagi non-muslim (2006: ix). Apa yang mas Kunto lakukan adalah sebuah langkah awal untuk mewujudkan sebuah Paradigma Islam dalam jagad ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini umumnya menggunakan basis paradigma dari dunia Barat. 6

8 Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan wacana filsafat ilmu pengetahuan, paparan mas Kunto dalam buku tersebut masih termasuk sulit dipahami, meskipun mas Kunto tampaknya telah berusaha untuk menggunakan bahasa yang semudah mungkin, agar apa yang diuraikannya dapat dimengerti oleh banyak orang. Paparan mas Kunto masih tidak mudah dicerna karena selain mengandung sejumlah konsep yang tidak selalu jelas maknanya bagi setiap orang, butir-butir yang dipaparkannya juga tidak tersusun dengan runtut dan sistematis. Beberapa gagasan yang mestinya dijelaskan di awal buku ternyata muncul di bagian tengah atau agak akhir. Selain itu, gagasan-gagasan tersebut juga tidak semuanya telah cukup lengkap untuk disajikan, sehingga keterkaitan satu gagasan dengan gagasan yang lain seringkali tidak sangat jelas. Di sini saya mencoba untuk memaparkan kembali apa yang telah dijelaskan oleh mas Kunto dalam bukunya secara lebih ringkas. Mudah-mudahan berbagai butir pemikiran mas Kunto kemudian lebih dapat dipahami dan dikembangkan di kemudian hari. Jika penjelasan saya ini, tafsir saya ini, ternyata tidak membuat pemikiran mas Kunto bertambah jelas dan mudah dimengerti oleh orang lain, maka itu sepenuhnya adalah kesalahan saya sebagai penafsir. 2. Ilmu Sosial Profetik, Ilmu Sosial Transformatif Sebenarnya paradigma Islam untuk ilmu pengetahuan ayng dikembangkan oleh mas Kunto akan mencakup juga ilmu-ilmu alam, tetapi karena mas Kunto adalah ahli sejarah, yang berarti juga ilmuwan sosial, maka gagasan mas Kunto lebih terfokus pada upaya mengembangkan ilmu sosial profetik, yang pada dasarnya juga merupakan ilmu sosial yang transformatif. Menurut mas Kunto Ilmu Sosial Transformatif adalah ilmu yang didasarkan pada hasil elaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Sasaran utamanya adalah rekayasa untuk transformasi sosial. Oleh karena itu ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal.. (p.85) Ilmu Sosial Transformatif, tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial namun juga berupaya untuk mentransformasikannya. Masalahnya kemudian adalah, ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan penjelasannya. Oleh karena itu, Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah etik yang mana, dan profet (nabi) yang mana? Sebagai seorang Muslim, tentu saja mas Kunto kemudian menengok ke agama Islam. Akan tetapi, bukan hanya ini saja alasannya. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak adanya agama-agama lain yang dijadikan basis bagi ilmu pengetahuan yang kita geluti sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang kita warisi dari masyarakat dan pandangan hidup Barat adalah ilmu pengetahuan yang telah kehilangan roh spiritualnya. 7

9 Menurut mas Kunto, kita perlu memahami Al Qur an sebagai paradigma, dan paradigma yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah paradigma sebagaimana yang dimaksud oleh Kuhn. Katanya, Dalam pengertian ini, paradigma Al Qur an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al Qur an memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al Qur an pertamatama dengan tujuan agar kita memiliki hikmah yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al Qur an, baik pada level moral maupun pada level sosial. Tetapi rupanya, konstruksi pengetahuan ini juga memungkinkan kita untuk merumuskan desain besar mengenai sistem Islam, termasuk dalam hal ini sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, di samping memberikan gambaran aksiologis, paradigma Al Qur an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis (p11). Sehubungan dengan itu mas Kunto terlihat sangat setuju dengan pandangan Roger Garaudy. Garaudy -sebagaimana dikutip oleh mas Kunto- mengatakan bahwa filsafat Barat (filsafat kritis) tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara dua kubu, idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat Barat (filsafat kritis) itu lahir dari pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Dia [Garaudy] menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: bagaimana wahyu itu dimungkinkan.. (2006: 97). Garaudy berpendapat bahwa Filsafat Barat sudah membunuh Tuhan dan manusia. Oleh karena itu dia menyarankan supaya umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam (Garaudy, 1982: ) dengan mengakui wahyu (2006: 98). 3. Wahyu : Basis Epistemologis dan Implikasinya Gagasan Garaudy mengenai wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan rupanya sangat menarik perhatian mas Kunto, karena ini merupakan sebuah alternatif yang ditawarkan oleh Garaudy untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam ilmu pengetahuan empiris. Bagaimana wahyu ini harus dimasukkan dalam sistem ilmu pengetahuan profetik? a. Sumber Pengetahuan : Wahyu - Akal Menurut Kuntowijoyo Wahyu itu sangat penting, tulisnya. Unsur wahyu inilah yang membedakan epistemologi Islam dengan cabang-cabang epistemologi Barat yang besar seperti Rasionalisme atau Empirisme, yang mengakui sumber pengetahuan sebagai hanya berasal dari akal atau observasi saja. Dilihat dari perspektif Islam, epistemologi Rasionalisme dan Epirisme menurut Kuntowijoyo menja-di tampak.terlalu sederhana (17). Dalam epistemologi Islam menurut Kuntowijoyo, unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. Wahyu menempati posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas, sebab wahyu diakui sebagai ayat-ayat Tuhan yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim. Dalam konteks ini, wahyu lalu menjadi unsur konstitutif di dalam paradigma Islam (p.17). Dalam Islam wahyu yang dianggap paling sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi adalah Al Qur an. Al Qur an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini diturunkan oleh Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada manusia yang dipilih oleh Allah s.w.t. untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia, 8

10 yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat Islam Muhammad s.a.w. adalah seorang Nabi dan utusan Allah (Rasulullah). b. Pendekatan : Strukturalisme Transendental Menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan juga mempunyai implikasi lebih jauh, yaitu pengakuan adanya struktur transendental yang dapat menjadi referensi untuk menafsirkan realitas; Pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang sumbernya berada di luar diri manusia; suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang berdirisendiri dan bersifat transendental. Hal ini juga berarti mengakui bahwa Al Qur an harus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transendental, suat orde, suatu sistem gagasan yang otonom dan sempurna. Mengapa pengakuan itu diberikan? Oleh karena pesan utama Al Qur an, menurut mas Kunto, sesungguhnya bersifat transendental, dalam arti melampaui zaman. Untuk itu diperlukan metodologi yang mampu mengangkat teks (nash) Al Qur an dari konteksnya. Bagaimana caranya? Tidak lain adalah dengan mentransendensikan makna tekstual dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya (p.18). Dengan begitu kita akan dapat menangkap kembali makna teks -yang seringkali merupakan respons terhadap realitas historis- kepada pesan universal dan makna transendentalnya, sekaligus membebaskan penafsiran-penafsiran terhadapnya dari bias-biasa tertentu akibat keterbatasan situasi historis.. (p.18). Apa implikasi dari pandangan adanya struktur yang bersifat transenden tersebut? Tidak lain adalah pandangan bahwa Al Qur an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berfikir. Cara berfikir inilah yang kita namakan paradigma Al Qur an, paradigma Islam.. (p.24). Lantas, seperti apa kirakira struktur transendental Al Qur an tersebut kira-kira? Menurut mas Kunto, Struktur Transendental Al Qur an adalah suatu ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka ba-gi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam, yaitu mengaktualisa-sikan misinya menjadi khalifah di bumi. Selain itu, mas Kunto memilih strukturalisme untuk mendekati Al Qur an karena menurutnya tujuan kita bukanlah memahami Islam, tetapi bagaimana menerapkan ajaranajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya (p.28). Dalam hal ini mas Kunto banyak mendapat inspirasi dari strukturalisme yang dikembangkan oleh ahli antropologi Prancis, Claude Lévi-Strauss Saya tidak akan memaparkan lebih lanjut strukturalisme dari Lévi-Strauss, karena terlalu jauh dari topik sekarang ini, tetapi kita perlu tahu apa gagasan mas Kunto mengenai ilmu (sosial) profetik yang diilhami oleh strukturalisme Lévi-Strauss 2 ). Oleh mas Kunto konsep-konsep innate structuring capacity, deep structure dan surface structure dalam strukturalisme ditransformasikan ke dalam sistem Islam, sehingga muncul model sebagai berikut (yang merupakan transformasi dari model yang ada dalam buku Lane (1970) (lihat halaman berikut). 2 ) Tampaknya pandangan mas Kunto mengenai strukturalisme transendental inilah yang kemudian membuat mas Indra dan pak Edimeyanto menghubungi saya untuk menulis tentang strukturalisme transendental, karena saya telah menulis buku tentamng strukturalisme Lévi-Strauss (lihat Ahimsa-Putra, 2008). 9

11 Bagian yang bagi saya paling tidak jelas dari paparan mas Kunto setelah ini adalah uraiannya mengenai strukturalisme transendental. Mas Kunto masih berada pada jalur pemikiran yang bisa dimengerti ketika menggunakan konsep transformasi untuk membuat paradigma Islam tetap relevan dengan masa kini dengan memanfaatkan konsepkonsep pokok dalam strukturalisme sebagaimana terlihat pada model di atas. Akan tetapi uraiannya mengenai strukturalisme transendental menjadi begitu membingungkan ketika menjelaskan perlunya ada perluasan pada muamalah dalam Islam, karena di situ tidak terlihat sama sekali hubungan antara struktur yang transenden dengan perluasan muamalah yang diusulkannya. Skema 1. Struktur dalam Islam Tauhid < innate structuring capacity Akidah Ibadah Akhlak Syariat Muamalah < deep structure Keyakinan Sholat/ Moral/ Perilaku Perilaku < surface structure Puasa/ Etika Normatif Sehari- Zakat/ hari Haji Perluasan muamalah tersebut menurut mas Kunto berupa enam macam kesadaran, yaitu: (1) kesadaran adanya perubahan; (2) kesadaran kolektif; (3) kesadaran sejarah; (4) kesadaran adanya fakta sosial; (5) kesadaran adanya masyarakat abstrak; (6) kesadaran perlunya objektifikasi. Gagasan tentang perluasan kesadaran ini menarik, tetapi sayang sekali mas Kunto tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa kesadaran-kesadaran itu yang disodorkannya, dan perluasan tersebut sebaiknya terjadi di kalangan ilmuwan Islam -yang mengusung paradigma baru, paradigma Islam/profetik-, atau di kalangan umat Islam? Akibat ketidak-jelasan ini, perluasan muamalah menjadi enam macam kesadaran tersebut menjadi tidak banyak artinya dalam kerangka pemikiran ilmu (sosial) profetik. Pertanyaan lebih lanjut adalah: bagaimana kita menganalisis dan menafsir sistem wahyu (Al Qur an) dalam kerangka berfikir ilmu (sosial) profetik? c. Analisis / Tafsir : Sintetik - Analitik Mas Kunto menawarkan pendekatan sintetik-analitik terhadap Al Qur an, yang memandang kandungan Al Qur an terbagi menjadi dua, yakni (a) konsep-konsep dan (b) kisah-kisah sejarah dan amtsal (p.12). Kandungan ini dapat dikatakan sebagai sumber pengetahuan, karena konsep-konsep, sejarah dan amtsal tersebut memang menunjuk pada realitas-realitas tertentu dalam kehidupan manusia. Konsep-konsep ini menunjuk pada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah, atau singkatnya pernyataan-pernyataan, itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al Qur an diturunkan, atau bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya 10

12 konsep-konsep etiko-religius yang ingin dikenalkannya. Istilah-istilah itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan-pandangan dunia Al Qur an, dan secara demikian lalu menjadi konsep-konsep otentik. (p.12). Konsep-konsep ini ada yang menunjuk pada hal-hal yang abstrak, tidak empiris, seperti misalnya konsep Allah, malai kah, akhirah, ma ruf, munkar dan sebagainya. Ada pula yang menunjuk apda hal-hal yang empiris, kongkret, dan dapat diamati, seperti misalnya konsep fukara, dhu afa, dhalimun, kafirun, mufsidun, dan sebagainya (p.12-13). Konsep-konsep ini memiliki makna-makna tertentu. Ada yang bersifat umum dan mudah dimengerti, ada pula yang bersifat khusus, dan memiliki sejumlah makna juga. Menurut mas Kunto, Kesemua konsep itu menjadi memilki makna bukan saja karena keunikannya secara semantik, tetapi juga karena kaitannya dengan matriks struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan Al Qur an dipahami. Dalam kaitan ini, konsep-konsep Al Qur an bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam, dan lebih jauh lagi tentang pandangan dunianya (p.13) Berbeda lagi halnya dengan bagian kedua, yang berisi sejarah dan amtsal. Bagian ini menurut mas Kunto mengajak manusia untuk melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom (hikmah). Dengan merenungkan berbagai kejadian yang ada dalam sejarah kehidupan manusia sebagaimana diceriterakan dalam Al Qur an, dan juga metafor-metafornya, manusia diajak untuk merenungkan hakekat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam itu, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol (p.13). Dalam bagian yang berisi kisah dan amtsal kata mas Kunto, kita diajak untuk mengenali arche-type tentang kondisi-kondisi yang universal, misalnya tentang kesabaran nabi Ayyub, kedhaliman Fir aun, kedhaliman kaum Tsamud, keyakinan nabi Ibrahim, dan sebagainya. Penggambaran arche-type ini dimaksudkan agar umat manusia dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat universal dan abadi. Bukan bukti obyektif-empirisnya yang ditonjolkan, akan tetapi ta wil subyektif-normatifnya (p.13-14). Memahami pesan-pesan Al Qur an dengan cara inilah yang oleh mas Kunto dikatakan sebagai memahami secara sintetik, karena di sini kita lebih merenungkan pesan-pesan moral Al Qur an dalam rangka mensintesiskan penghayatan dan pengalaman subyektif kita dengan ajaran-ajaran normatif (p.14) Pendekatan sintetis akan dapat menghasilkan transformasi psikologis yang berlangsung pada tingkat individu. Diakui oleh mas Kunto bahwa hal ini memang penting, tetapi belum lengkap, karena Islam tidak hanya ditujukan untuk hal semacam itu. Islam diturunkan dengan tujuan juga mengubah masyarakat, melakukan transformasi sosial. Untk menangkap pesan transformatif sosial inilah mas Kunto menawarkan pendekatan analitik terhadap wahyu-wahyu yang telah diturunkan, yakni Al Qur an. Dengan pendekatan ini maka konsep-konsep normatif yang terdapat dalam Al Qur an akan dapat dioperasionalkan menjadi obyektif dan empiris (p.15). Dengan pendekatan ini sebagian kandungan Al Qur an akan dapat diperlakukan sebagai data, sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Menurut pendekatan ini ayat-ayat Al Qur an yang sebenarnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif perlu dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang obyektif, bukan subyektif. Artinya, di sini ayat-ayat Al Qur an perlu dirumuskan dalam 11

13 bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan Al Qur an akan menghasilkan konstruk-konstruk teorits Al Qur an. Elaborasi terhadap konstrukkonstruk teoritis Al Qur an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur anic theory building, yaitu perumusan teori Al Qur an. Dari sinilah akan dapat lahir kemudian paradigma Al Qur an, paradigma Islam. 4. Etika: Humanisme-Teosentris Dalam kerangka yang dibuat oleh mas Kunto untuk membedakan antara Ilmu Barat dengan Ilmu Islam, salah satu unsur atau aspek yang dijadikan patokan adalah etika. Empat aspek yang lain adalah: periode, sumber pengetahuan, proses sejarah dan sifat ilmu. Menurut mas Kunto, Ilmu Barat berada dalam periode Modern, sedang Ilmu Islam berada pada periode Pasca Modern. Sumber pengetahuan Ilmu Barat adalah Akal, sedang sumber pengetahuan Ilmu Islam adalah Wahyu dan Akal. Etika Ilmu Barat adalah Humanisme, sedang etika Ilmu Islam adalah Humanisme-Theosentris.. Proses sejarah dalam Ilmu Barat adalah differensiasi, sedang dalam Ilmu Islam dedifferensiasi. Ilmu Barat bersifat sekular dan otonom, sedang Ilmu Islam bersifat integralistik Dari lima aspek tersebut, empat di antaranya dijelaskan dengan panjang lebar oleh mas Kunto. Sayangnya satu aspek -yang menurut saya tidak kalah pentingnya dengan yang lain- yaitu aspek etika tidak dia jelaskan. Oleh karena itu, kita tidak tahu dengan pasti apa yang dimaksud oleh mas Kunto sebagai Humanisme-Teosentris. Meskipun sedikit banyak saya tahu tentang Humanisme dan makna Teosentris, tetapi saya merasa lebih baik tidak menjelaskannya di sini, karena mas Kunto memang tidak menjelaskannya. 5. Tujuan : Humanisasi / Emansipasi, Liberasi / Pembebasan, Transendensi Menurut mas Kunto, ilmu sosial saat ini tengah mengalami kemandegan, sehingga muncul kemudian ilmu Sosial Transformatif. Transformasi sosial seperti apa yang dibayangkan oleh mas Kunto dapat diwujudkan oleh ilmu Islam atau paradigma Islam? Ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai-nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Menurut Kuntowijoyo hal itu berarti bahwa perubahan tersebut didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi (humanization/emancipation), liberasi/pembebasan (liberation) dan transendensi (transcendence). Ini merupakan cita-cita profetik yang diturunkan dari misi historis Islam sebagaimana yang dianggap terdapat pada ayat 110 dari surat Ali Imran (3), yang berbunyi, Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah. Tiga muatan nilai itulah -yakni menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah -, kata mas Kunto yang mengkarakterisasikan ilmu sosial profetik. Di sini kita lihat mas Kunto telah mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial menjadi humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi artinya memanusiakan manusia ; menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan 12

14 kebencian manusia. Ini merupakan implementasi dari nilai perubahan amar ma ruf. Liberasi atau pembebasan merupakan implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensi merupakan implementasi dari nilai tu minuuna billaah (p.98) Saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut pandangan-pandangan mas Kunto tentang tiga hal tersebut, karena penjelasan mas Kunto dalam bukunya cukup panjang dan relatif mudah dimengerti. Mereka yang ingin mengetahui lebih lanjut pandangan mas Kunto dapat membaca bukunya. 6. Telaah Kritis atas Pandangan Kuntowijoyo Dari paparan di atas -yang tentu saja tidak sangat rinci, namun menurut saya sudah mencakup elemen-elemen yang pokok- kita melihat bahwa mas Kunto telah mengembangkan pemikiran tentang ilmu profetik secara serius. Alasan-alasan yang penting mengenai perlunya dibangun ilmu (sosial) profetik, transformatif, telah dikemukakannya dengan baik. Beberapa asumsi dasar penting dalam ilmu tersebut juga telah dipaparkannya, sehingga kalau kita tidak cukup kritis maka kita akan merasa bahwa pandangan mas Kunto tentang ilmu profetik tersebut sudah cukup lengkap, dan kita bisa segera melaksanakan atau mengimplementasikannya. Tidak demikian halnya jika kita mau bersikap lebih kritis dan memperhatikan bagianbagian kecil dari pandangan tersebut. Ada beberapa kelemahan yang segera terlihat di situ. Pertama adalah tidak adanya konsepsi tentang apa itu paradigma dengan berbagai komponennya. Akibatnya, banyak bagian-bagian dari paradigma yang luput dari pembahasan mas Kunto, sehingga paradigmanya terlihat sekali lubang-lubangnya di sana-sini. Paradigma yang dibangun oleh mas Kunto kemudian terlihat sangat rapuh, dan mudah sekali dirontokkan oleh mereka yang kritis. Kedua, implikasi transformasional yang dibahas oleh mas Kunto masih terfokus pada transformasi sosial. Belum ada di situ pembahasan tentang transformasi individual, padahal transformasi individual berlangsung mendahului transformasi sosial. Bagaimana seseorang akan mampu mengubah masyarakatnya, jika dia sendiri belum berubah atau masih seperti warga masyarakat yang lain? Selain itu, realitas empiris dari masyarakat tidak lain adalah individu-individu dengan berbagai macam perilaku dan tindakannya, sehingga tanpa transformasi di tingkat individu sebenarnya tidak akan pernah dapat terjadi transformasi di tingkat masyarakat. Tanpa transformasi individual tidak akan terjadi transformasi sosial. Mas Kunto tampaknya lupa untuk memperhatikan hal ini. Jika kita sepakat dengan Thomas Kuhn bahwa revolusi ilmu pengetahuan tidak lain adalah perubahan paradigma, perubahan pada mode of thought, pada mode of inquiry, maka kita akan sampai pada pendapat bahwa inti ilmu pengetahuan tidak lain adalah paradigma (Ahimsa-Putra, 2007). Jika demikian, maka apa yang seharusnya dibahas dan dibangun terlebih dahulu oleh mas Kunto adalah sebuah konsepsi atau pandangan mengenai paradigma, mengenai sebuah kerangka pemikiran. Oleh karena ini belum dilakukan oleh mas Kunto, maka dengan sendirinya pemikiran mas Kunto mengenai ilmu profetik masih jauh dari lengkap. Fondasi filosofisnya masih rapuh. Oleh karena itu pula adanya dua kelemahan di atas -di samping beberapa kelemahan yang sudah saya sebut dalam paparan tentang pemikiran mas Kunto- sudah cukup kiranya menjadi alasan 13

15 bagi kita untuk membangun sebuah paradigma profetik yang lebih lengkap unsurnya dan lebih kokoh fondasinya. III. PARADIGMA PROFETIK : APA ITU? Sebelum istilah paradigma menjadi sebuah konsep yang populer, para ilmuwan sosial-budaya telah menggunakan beberapa konsep lain dengan makna yang kurang lebih sama, yakni: kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Kini istilah paradigma sudah mulai banyak digunakan oleh ilmuwan sosial-budaya. Meskipun begitu, istilah-istilah lama tersebut juga tetap akan digunakan di sini, dengan makna yang kurang-lebih sama dengan paradigma (paradigm). Penggunaan konsep paradigma yang semakin lazim kini tidak berarti bahwa makna konsep tersebut sudah jelas atau telah disepakati bersama. Thomas Kuhn (1973) telah berbicara panjang lebar tentang pergantian paradigma, namun sebagaimana telah kita lihat, dia sendiri tidak menjelaskan secara khusus dan rinci tentang apa yang dimaksudnya sebagai paradigma, dan tidak menggunakan konsep tersebut secara konsisten dalam tulisan-tulisannya. Hal ini tampaknya merupakan akibat tidak langsung dari topik pembahasannya, yakni pergantian paradigma dalam ilmu-ilmu alam (Ahimsa-Putra, 2007). Kuhn tidak menyinggung tentang ilmu-ilmu sosial-budaya. Ada kemungkinan karena dia merasa tidak perlu membedakan dua jenis ilmu pengetahuan tersebut, mengingat dua-duanya adalah ilmu pengetahuan. Ada kemungkinan pula karena dia menganggap ilmu sosial-budaya belum merupakan ilmu pengetahuan (science), karena dari perspektif tertentu status sains (ilmu) memang belum berhasil dicapai oleh cabang ilmu tersebut (Kuhn, 1977). Kelalaian Kuhn untuk menjelaskan secara rinci apa yang dimaksudnya sebagai paradigma telah menyulitkan kita. Untuk mengatasi kesulitan ini saya mencoba di sini memaparkan apa yang saya maksud dengan paradigma. 1. Paradigma : Sebuah Definisi 3 ) Paradigma -menurut hemat saya- dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi. Berikut adalah penjelasan frasa-frasa dalam definisi ini. Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk suatu kerangka pemikiran... Kata seperangkat menunjukkan bahwa paradigma memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuah paradigma juga merupakan kumpulan makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian. Kumpulan konsepkonsep ini merupakan sebuah kesatuan, karena konsep-konsep ini berhubungan secara logis, yakni secara paradigmatik, sintagmatik, metonimik dan metaforik sehingga dapat dikatakan sebagai seperangkat konsep, seperti halnya peralatan pada orkestra 3 ) Uraian mengenai paradigma ini saya ambil dari makalah saya di tahun 2009 (Ahimsa-Putra, 2009). 14

16 gamelan atau unsur-unsur pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan dan seperangkat pakaian. Tentu, relasi-relasi pada gejala-gejala empiris ini tidak sama dengan relasi-relasi antarunsur dalam paradigma. Relasi antarunsur dalam paradigma berada pada tataran logika, pada tataran pemikiran, sedang relasi antarunsur pada perangkat pakaian dan gamelan berada pada tataran fungsi, atau bersifat fungsional. Selanjutnya, karena makna dan hubungan antar-makna ini adanya dalam pikiran, maka kumpulan konsep yang membentuk kerangka itu disebut juga sebagai kerangka pemikiran....yang berfungsi untuk memahami dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi. Dalam pikiran manusia, kerangka pemikiran ini digunakan untuk tujuan tertentu, sehingga kerangka pemikiran ini memiliki fungsi, yakni untuk memahami kenyataan, mendefinisikan kenyataan, menentukan kenyataan yang dihadapi, menggolongkannya ke dalam kategori-kategori, dan kemudian menghubungkannya dengan definisi kenyataan lainnya, sehingga terjalin relasi-relasi pada pemikiran tersebut, yang kemudian membentuk suatu gambaran tentang kenyataan yang dihadapi. Kenyataan yang dihadapi menimbulkan berbagai akibat atau reaksi dalam pikiran manusia. Salah satu di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan atau rasa tidak puas karena kenyataan yang dihadapi tidak dapat dipahami dengan menggunakan kerangka pemikiran yang telah ada, atau kurang sesuai dengan yang diharapkan. Pertanyaan dan ketidakpuasan ini selanjutnya mendorong manusia untuk menjawab pertanyaan tersebut atau mencari jalan guna mengatasi ketidakpuasan yang ada dalam dirinya. Ini berarti bahwa paradigma tidak hanya ada di kalangan ilmuwan saja, tetapi juga di kalangan orang awam, di kalangan semua orang, dari semua golongan, dari semua lapisan, dari semua kelompok, dari semua sukubangsa. Meskipun demikian, hal itu berarti bahwa setiap orang menyadari kerangka pemikirannya sendiri. Bahkan, sebagian besar orang sebenarnya tidak menyadari betul atau tidak mengetahui seperti apa kerangka pemikiran yang dimilikinya, yang digunakannya untuk memahami situa-si dan kondisi kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini hanya dapat muncul dari kalangan mereka yang dapat melakukan refleksi atas apa yang mereka pikirkan sendiri, yang mengetahui dan dapat menggunakan metode-metode dan prosedur yang harus digunakan dalam proses refleksi tersebut. Bagi upaya pengembangan dan pembuatan paradigma baru, pendefinisian konsep paradigma saja belum cukup. Lebih penting daripada pendefinisian adalah penentuan unsur-unsur yang tercakup dalam pengertian paradigma. Definisi di atas belum memberikan keterangan lebih lanjut tentang isi dari kerangka pemikiran itu sendiri. Seperangkat konsep barulah sebuah gambaran umum tentang isi dari kerangka pemikiran tersebut, sedang kenyataannya konsep-konsep ini tidak sama kedudukan dan fungsinya dalam kerangka pemikiran dan karena itu juga memiliki nama yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang komponen-komponen konseptual yang membentuk kerangka pemikiran atau paradigma tersebut. Berbagai pembahasan tentang paradigma di kalangan ilmuwan Barat berada di seputar masalah (a) konsepsi tentang paradigma; (b) ada tidaknya paradigma dalam suatu disiplin tertentu, dan (c) unsur-unsur paradigma. Sayangnya, dari berbagai pembahasan itu tidak berhasil dicapai sebuah kesepakatan tentang definisi yang cukup prak- 15

17 tis dan strategis mengenai paradigma. Apalagi kesepakatan mengenai unsur-unsur paradigma. Akibatnya, kita mengalami kesulitan untuk memanfaatkan rintisan pemikiran yang dilontarkan oleh Kuhn. Untuk itu kita perlu membangun sebuah konsepsi (pandangan) tentang paradigma, yang berisi bukan hanya definisi, tetapi juga elemen-elemen pokok yang terdapat dalam sebuah paradigma. Dari berbagai kelemahan dan kelebihan gagasan-gagasan tentang paradigma yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan Barat (lihat Ahimsa-Putra, 2008; 2009), saya mencoba di sini untuk mengemukakan gagasan saya tentang paradigma, yang mencakup definisi dan unsur-unsur pokok yang terdapat di dalamnya. Konsepsi tentang paradigma ini saya bangun setelah saya menelaah secara kritis berbagai buku dan artikel para ilmuwan Barat (karena dari Indonesia saya tidak menemukan pembahasan-pembahasan ini) mengenai paradigma, baik yang teoritis, filosofis maupun yang aplikatif. Pertanyaan pokok saya ketika itu adalah: apa yang dimaksud dengan paradigma? apa saja komponen-komponen konseptual atau unsur-unsur pemikiran yang membentuk sebuah paradigma dalam sebuah cabang ilmu pengetahuan, terutama ilmu sosialbudaya, dan lebih khusus lagi antropologi budaya? 2. Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat dibedakan satu sama lain atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan dasarnya tentang obyek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan, konsep-konsep, metode-metode serta teori-teori yang dihasilkannya. Pendapat yang dilontarkan oleh Cuff dan Payne (1980:3) ini merupakan pendapat yang dapat membawa kita kepada pemahaman tentang paradigma dalam ilmu sosial-budaya. Dalam pendapat ini tersirat pandangan bahwa sebuah perspektif atau pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai paradigma - memiliki sejumlah unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (basic assumption -Cuff dan Payne menyebutnya bedrock assumption-, konsep, metode, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan. Jika perspektif adalah juga paradigma, maka unsur-unsur tersebut dapat dikatakan sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun demikian, menurut saya, pandangan Cuff dan Payne tentang unsur-unsur perspektif tersebut masih belum lengkap. Masih ada elemen lain yang juga selalu ada dalam sebuah paradigma ilmu sosial-budaya, namun belum tercakup di dalamnya, misalnya model. Selain itu, unsur metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan Payne juga masih belum menjelaskan bagaimana kira-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut dalam sebuah paradigma atau kerangka berfikir tertentu, sehingga posisi masing-masing unsur terhadap yang lain tidak kita ketahui. Lebih dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu menjelaskan makna dari konsepkonsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimaksudkannya. Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne, sebuah paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-budaya menurut hemat saya terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-masalah yang diteliti (4) model; (5) konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis; (8) hasil analisis atau teori dan (9) representasi (etnografi). Berikut ini adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma ini, yang menurut saya 16

18 perlu diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan tentang paradigma yang membahas komponen-komponen tersebut serta menjelaskannya dengan rinci. a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions) - (1) Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya. Pandangan ini merupakan titik-tolak atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena pandangan-pandangan tersebut dianggap benar atau diyakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama. Jika asumsi ini berasal dari pandangan filosofis dan reflektif, pandangan ini biasanya lantas mirip dengan 'ideologi' si ilmuwan, dan ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh karena itu, muncul kini pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada "obyektivitas" dalam ilmu sosial-budaya, sebab apa yang selama ini dianggap sebagai "obyektivitas" ternyata juga didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis tertentu, yang tidak berbeda dengan 'ideologi'. Asumsi-asumsi dasar biasanya terlihat dengan jelas dalam rumusanrumusan tentang hakekat sesuatu atau definisi mengenai sesuatu, dan ini biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan "Apa itu...?". Misalnya saja, "Apa itu kebudayaan?"; "Apa itu masyarakat?"; "Apa itu karya sastra?", dan sebagainya. Dalam dunia ilmu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan sangat menentukan langkah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya. Dari paparan di atas terlihat bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah disiplin atau bidang keilmuan, atau dasar dari sebuah kerangka pemikiran, dan seperti halnya fondasi sebuah gedung yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Suatu kerangka teori dalam ilmu sosial-budaya biasanya mempunyai banyak asumsi dasar. Akan tetapi, tidak semua asumsi dasar ini selalu dikemukakan secara eksplisit. Bahkan kadang-kadang malah tidak dipaparkan sama sekali, karena semua orang dianggap telah mengetahuinya. Banyak di antara kita misalnya yang mengetahui teori evolusi masyarakat dan kebudayaan dari tokoh-tokoh seperti L.H.Morgan, H.Spencer, E.B.Tylor, H. Maine dan sebagainya, namun tidak banyak di antaranya yang mengetahui asumsi-asumsi dasar yang ada di balik berbagai macam teori tersebut. Hal ini mungkin karena di kalangan kita mempelajari berbagai teori ilmu sosial-budaya biasanya masih diartikan sebagai upaya mengetahui dan kemudian menghapalkan berbagai teori atau pendapat yang dikemukakan oleh ilmuwan lain tentang suatu persoalan, dan tidak berusaha menukik lebih dalam, menuju ke tataran asumsi-asumsi dasarnya, yang lebih implisit. Mengapa digunakan istilah asumsi, bukan dalil atau hukum, jika memang kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi? Karena tindakan tidak lagi mempertanyakan kebenaran ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang lain malah bisa sangat tidak setuju atau sangat mempertanyakan kebenaran yang tidak dipertanyakan itu tadi. Jadi, kebenaran di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat jika 17

19 kebenaran yang relatif itu disebut sebagai asumsi, anggapan, saja, bukan dalil atau hukum. b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2) Setiap kegiatan ilmiah juga selalu didasarkan pada sejumlah kriteria atau patokan yang digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Patokan-patokan inilah yang biasa disebut nilai atau etos. Dinyatakan atau tidak nilai-nilai selalu ada di balik setiap kegiatan ilmiah, karena di situ selalu ada persoalan benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Dengan patokan inilah seorang ilmuwan akan menilai hasil penelitian ilmuwan yang lain, kinerja mereka atau produktivitas mereka. Dalam sebuah paradigma nilai-nilai ini paling tidak mengenai: (a) ilmu pengetahuan (b) ilmu sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d) analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini selalu ada dalam setiap cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan dan keeksplisitannya berbeda-beda. Ada cabang ilmu pengetahuan yang nilainya lebih menekankan pada manfaat ilmu, tetapi lebih bersifat implisit, sedang pada disiplin lain nilai ini dibuat sangat eksplisit. Nilai-nilai mana yang ditekankan oleh suatu komunitas atau organisasi ilmuwan bisa berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat tempat para ilmuwan tersebut menjalankan aktivitas keilmuan mereka. Meskipun nilai-nilai ini pada umumnya menyatakan tentang hal-hal yang baik, yang seharusnya, tetapi sebenarnya nilai-nilai juga berkenaan dengan yang tidak baik, yang buruk. Oleh karena itu, bisa pula nilai yang dibuat eksplisit bukanlah yang baik, tetapi yang buruk. Hal ini dilakukan mungkin dengan tujuan agar para ilmuwan dapat lebih terjaga dari melakukan hal-hal yang buruk. Nilai yang baik berkenaan dengan ilmu pengetahuan misalnya adalah nilai yang mengatakan, ilmu pengetahuan yang baik adalah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia ; atau ilmu pengetahuan yang baik adalah yang teori-teorinya bisa bersifat universal ; atau ilmu pengetahuan yang baik adalah yang diperoleh dengan menggunakan metode dan prosedur tertentu yang dapat mencegah masuknya unsur subyektivitas peneliti, dan sebagainya. Nilai-nilai yang buruk misalnya adalah, ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang tidak memberikan manfaat kepada umat manusia ; atau ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang membuat manusia semakin jauh dari Sang Pencipta. Nilai-nilai yang berkenaan dengan ilmu sosial-budaya misalnya adalah nilai yang mengatakan, ilmu sosial-budaya yang baik adalah yang dapat membuat masyarakat dan budayanya lebih baik keadaannya dari waktu ke waktu ; atau ilmu sosial-budaya yang baik adalah yang dapat memperluas wawasan kemanusiaan warga masyarakat pada umumnya ; atau ilmu sosial-budaya yang baik adalah yang dapat membuat warga masyarakat memahami dan menghargai kebudayaan, serta berani bersikap terbuka terhadap budaya lain, dan sebagainya. Nilai yang buruk misalnya adalah, ilmu sosial-budaya yang buruk adalah yang memungkinkan pihak tertentu menindas pihak lain yang lebih lemah, atau ilmu sosial-budaya yang buruk adalah yang membuat pihal tertentu merasa lebih baik daripada yang lain, dan sebagainya. Nilai-nilai yang baik tentang penelitian ilmiah misalnya adalah nilai yang mengatakan, penelitian ilmiah yang baik adalah yang dilakukan dengan prosedur yang runtut 18

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas,

BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO. Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, 78 BAB IV ANALISIS APLIKASI KONESP EKSISTENSI PROFETIK KUNTOWIJOYO Dunia yang senantiasa berkembang, berkonsekuensi pada perubahan realitas, baik yang tampak ataupun tidak tampak. Manusia pun mau tidak

Lebih terperinci

PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA

PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA makalah kuliah umum 2009 PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA - SEBUAH PANDANGAN - (pengutipan sebagian dari tulisan ini harus dengan menyebutkan sumbernya, yakni tulisan ini) Heddy Shri Ahimsa-Putra Antropologi

Lebih terperinci

DIMENSI FILSAFAT DALAM WAHYU

DIMENSI FILSAFAT DALAM WAHYU l Edisi 019, September 2011 P r o j e c t DIMENSI FILSAFAT DALAM WAHYU i t a i g k a a n D Pradana Boy ZTF Edisi 019, September 2011 1 Edisi 019, September 2011 Dimensi Filsafat dalam Wahyu Posisi wahyu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling memerlukan adanya bantuan dari orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia dituntut untuk saling

Lebih terperinci

Penelitian di Bidang Manajemen

Penelitian di Bidang Manajemen Penelitian di Bidang Manajemen Frans Mardi Hartanto Fmhartanto@gmail.com Bandung Manajemen - Ilmu Hibrida yang Multidisipliner 1 Ilmu manajemen adalah hasil perpaduan dari berbagai ilmu yang berbeda namun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Invaliditas aplikasi..., Bio In God Bless, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Invaliditas aplikasi..., Bio In God Bless, FIB UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sains bersifat naturalistis juga bersifat empiristis. Dikatakan bersifat naturalistis dalam arti penjelasannya terhadap fenomena-fenomena alam selalu berada dalam wilayah

Lebih terperinci

PARADIGMA PROFETIK: Pembaruan Basis Epistemologi Ilmu Hukum di Indonesia

PARADIGMA PROFETIK: Pembaruan Basis Epistemologi Ilmu Hukum di Indonesia Kode / Nama Rumpun Ilmu : 596 / lmu Hukum LAPORAN PENELITIAN DISERTASI DOKTOR PARADIGMA PROFETIK: Pembaruan Basis Epistemologi Ilmu Hukum di Indonesia N a m a : Kelik Wardiono,S.H.,M.H N.I.D.NN : 0026126801

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU DAN CABANG FILSAFAT. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 02Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

FILSAFAT ILMU DAN CABANG FILSAFAT. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 02Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA Modul ke: 02Fakultas Dr. PSIKOLOGI CABANG FILSAFAT H. SyahrialSyarbaini, MA. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id CABANG- CABANG FILSAFAT Standar Kompetensi Setelah perkualiahan

Lebih terperinci

PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM. Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I

PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM. Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) PENGANTAR METODOLOGI STUDI ISLAM Tabrani. ZA., S.Pd.I., M.S.I ISBN: 978-602-71453-0-6 Editor

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam Modul ke: Pendidikan dan Kompetensi Fakultas PSIKOLOGI Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Dian Febrianingsih, M.S.I Pengantar Islam yang terdiri dari berbagai dimensi ajaran

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan 1. Secara Umum Konsep pendidikan yang Islami menurut Mohammad Natsir menjelaskan bahwa asas pendidikan Islam adalah tauhid. Ajaran tauhid manifestasinya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

TULI SAN POPULER & ARTI KEL I LMI AH

TULI SAN POPULER & ARTI KEL I LMI AH JURNAL ILMIAH, DAN METODOLOGI PELATI HAN PENULI SAN ARTI KEL I LMI AH Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2008 PRI

Lebih terperinci

Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Oleh : Agustina Abdullah *) Arti dan Pentingnya Filsafat Ilmu Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam latar belakang ini, ada beberapa hal yang akan disampaikan penulis. hal tersebut terkait masalah yang diangkat. masalah atau isu yang diangkat tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam, kepada tiap-tiap golongan umat pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi dilengkapi dengan perangkat lain yang menunjang segala kehidupan makhluk- Nya di muka bumi.

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan 344 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian tesis berjudul Konstruksi Eksistensialisme Manusia Independen dalam Teologi Antroposentris Hassan Hanafi, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi

BAB I PENDAHULUAN. Al-Ghazali (w M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Al-Ghazali (w. 1111 M) adalah salah satu tokoh pemikir paling populer bagi umat Islam hingga saat ini. Montgomerry Watt (Purwanto dalam pengantar Al- Ghazali,

Lebih terperinci

Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer U á Å ÄÄt{ ÜÜt{ÅtÇ ÜÜt{ Å Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Kontemporer Oleh: Sarjuni, S.Ag., M.Hum. 1 Sain Tidak Bebas Nilai (Not Values-Free) 1. Ilmu yang di dalam peradaban Barat diklaim sebagai bebas nilai,

Lebih terperinci

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain. TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. tesis ini yang berjudul: Konsep Berpikir Multidimensional Musa Asy arie. dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam, sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. tesis ini yang berjudul: Konsep Berpikir Multidimensional Musa Asy arie. dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam, sebagai berikut: 254 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penulis menganggap bahwa, makna tidak selalu merujuk pada kesimpulan-kesimpulan yang dibuat. Namun demikian, kesimpulan menjadi sebuah prasyarat penting dari sebuah penulisan

Lebih terperinci

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba

dengan mencermati bahwa praktik dan gagasan seni rupa Islam di nusantara ternyata bisa dimaknai lebih terbuka sekaligus egaliter. Kesimpulan ini terba BAB V KESIMPULAN Seni rupa modern Islam Indonesia adalah kenyataan pertumbuhan dan praktik seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. Pada dasarnya semangatnya merangkul prinsip-prinsip baik pada nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

MODUL 1 KONTRAK PERKULIAHAN RUANG LINGKUP MATA KULIAH AGAMA ISLAM

MODUL 1 KONTRAK PERKULIAHAN RUANG LINGKUP MATA KULIAH AGAMA ISLAM MODUL 1 KONTRAK PERKULIAHAN RUANG LINGKUP MATA KULIAH AGAMA ISLAM DISKRIPSI MATA KULIAH ENJELASKAN TENTANG GAMBARAN PROSES PEMBELAJARAN YANG AKAN ISAMPAIKAN DALAM 1 SEMESTER. KOMPETENSI EMAHAMI GAMBARAN

Lebih terperinci

RESENSI BUKU MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERSPEKTIF INTEGRATIF

RESENSI BUKU MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERSPEKTIF INTEGRATIF RESENSI BUKU MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERSPEKTIF INTEGRATIF Theresia Octastefani Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Email:

Lebih terperinci

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK 31 Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, Maret 2017, hlm 31-36 PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK Fadhil Hikmawan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada fadhil_hikmawan@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008 31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU. Irnin Agustina D.A.,M.Pd

FILSAFAT ILMU. Irnin Agustina D.A.,M.Pd FILSAFAT ILMU Irnin Agustina D.A.,M.Pd am_nien@yahoo.co.id Definisi Filsafat Ilmu Lewis White Beck Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine

Lebih terperinci

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI Oleh NIM : Boni Andika : 10/296364/SP/23830 Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan RESENSI BUKU

Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan RESENSI BUKU RESENSI BUKU Judul : Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan Penulis : Mohammad Muslih Penerbit : Belukar Yogyakarta Cetakan : I, 2005 Tebal : XI + 269 halaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik, dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak rintangan dalam masalah kualitas pendidikan, salah satunya dalam program pendidikan di Indonesia atau kurikulum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan pelanggan dengan potensi profitable dengan membangun sebuah

BAB I PENDAHULUAN. kesinambungan pelanggan dengan potensi profitable dengan membangun sebuah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pelanggan merupakan kunci keberhasilan bisnis. Oleh sebab itu, perusahaan melakukan berbagai cara untuk membuat pelanggan meningkat dan tetap setia, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN KAJIAN KETERBACAAN DAN NILAI KARAKTER TEKS ARTIKEL HARIAN KOMPAS SERTA UPAYA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR MEMBACA KRITIS

BAB I PENDAHULUAN KAJIAN KETERBACAAN DAN NILAI KARAKTER TEKS ARTIKEL HARIAN KOMPAS SERTA UPAYA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR MEMBACA KRITIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca merupakan salah satu keterampilan yang berkaitan erat dengan keterampilan dasar terpenting manusia yaitu berbahasa. Oleh karena itu, keterampilan membaca

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU

PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA Modul ke: 09Fakultas Dr. PSIKOLOGI PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU H. SyahrialSyarbaini, MA. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id KONSEP PENGETAHUAN Dalam Encyclopedia of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,

Lebih terperinci

URGENSI FILSAFAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR SISWA. Dr. Y. Suyitno MPd Dosen Filsafat Pendidikan UPI

URGENSI FILSAFAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR SISWA. Dr. Y. Suyitno MPd Dosen Filsafat Pendidikan UPI URGENSI FILSAFAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS DALAM UPAYA PENINGKATAN KUALITAS BELAJAR SISWA Dr. Y. Suyitno MPd Dosen Filsafat Pendidikan UPI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KONSEP HUMANISME RELIGIUS SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDURRAHMAN MAS UD

BAB IV ANALISIS KONSEP HUMANISME RELIGIUS SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDURRAHMAN MAS UD BAB IV ANALISIS KONSEP HUMANISME RELIGIUS SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABDURRAHMAN MAS UD Berbagai pengertian dan pengembangan pendidikan Islam yang disampaikan oleh beberapa ahli pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut kurikulum KTSP SD/MI tahun 2006 Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melalui pembahasan dan analisis dari bab I sampai bab IV, maka ada beberapa hal yang sekiranya perlu penulis tekankan untuk menjadi kesimpulan dalam skripsi ini, yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Sesuai dengan karakteristik objek penelitian berupa berbagai peristiwa di masa lampau, maka metode penelitian yang dilakukan oleh penulis untuk menyusun karya ilmiah ini,

Lebih terperinci

Etika dan Filsafat. Komunikasi

Etika dan Filsafat. Komunikasi Modul ke: Etika dan Filsafat Komunikasi Pokok Bahasan Fakultas Ilmu Komunikasi Pengantar Kepada Bidang Filsafat Dewi Sad Tanti, M.I.Kom. Program Studi Public Relations www.mercubuana.ac.id Pengantar Rasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Buku merupakan jendela ilmu. Dengan membaca buku akan banyak pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan yang dikuasai dengan menuliskannya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan umum dan khusus, implikasi, dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi

Lebih terperinci

KONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL. Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si

KONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL. Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si KONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si Pendahuluan Saat ini, dimanapun di dunia ini, klien berjuang di dalam berbagai lembaga untuk menemui pekerja sosial. Barangkali

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang juga memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah

BAB I PENDAHULUAN. yang juga memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang juga memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bahasa merupakan cerminan, ide, gagasan, sikap, nilai dan ideologi penggunanya. Bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia. Bahasa berperan

Lebih terperinci

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam kehidupan pasti tidak akan terlepas untuk melakukan komunikasi dengan individu lainnya. Dalam berkomunikasi diperlukan adanya sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel merupakan salah satu jenis media dimana penyampaianya berupa teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh tertentu ataupun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bagian terakhir ini penulis berusaha untuk menyimpulkan dari

BAB V PENUTUP. Pada bagian terakhir ini penulis berusaha untuk menyimpulkan dari BAB V PENUTUP Pada bagian terakhir ini penulis berusaha untuk menyimpulkan dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan secara panjang lebar, guna untuk mempermudah dalam memahami isi yang terkandung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN DALAM AKUNTANSI: PENGANTAR KULIAH

METODE PENELITIAN DALAM AKUNTANSI: PENGANTAR KULIAH METODE PENELITIAN DALAM AKUNTANSI: PENGANTAR KULIAH INFORMASI DOSEN Nama: Dr. Aji Dedi Mulawarman, MSA. Alamat rumah: Perum Persada Bhayangkara Singhasari Blok G-6, Pagentan, Singosari, Malang, 65153.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar pemeluk agama, misalnya Hindu, Islam, dan Sikh di India, Islam, Kristen dan Yahudi di Palestina,

Lebih terperinci

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik)

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik) Kesalahan Umum Penulisan Disertasi (Sebuah Pengalaman Empirik) Setelah membimbing dan menguji disertasi di sejumlah perguruan tinggi selama ini, saya memperoleh kesan dan pengalaman menarik berupa kesalahan-kesalahan

Lebih terperinci

Kurikulum Bahasa Arab Berbasis Kompetensi Oleh Syihabuddin *)

Kurikulum Bahasa Arab Berbasis Kompetensi Oleh Syihabuddin *) Kurikulum Bahasa Arab Berbasis Kompetensi Oleh Syihabuddin *) Pengantar Kurikulum merupakan cerminan dari filosofi, keyakinan, dan cita-cita suatu bangsa. Melalui dokumen tersebut, seseorang dapat mengetahui

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Berbicara mengenai filsafat, yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009 BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Berangkat dari sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa Estetika sebagai logika, mengantarkan saya untuk mencoba mendalami dan menelusuri tentang keduanya, serta

Lebih terperinci

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( ) FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE (1866-1952) Filsafat Sejarah Croce (1) Benedetto Croce (1866-1952), merupakan pemikir terkemuka dalam mazhab idealisme historis. Syafii Maarif mengidentifikasi empat doktrin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abdurrachman Mas ud dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 139.

BAB I PENDAHULUAN. Abdurrachman Mas ud dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 139. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Islam merupakan suatu proses pengembangan potensi kreatif peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berkepribadian muslim,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan kreatif yang objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya (Semi,1989:8).

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. skripsi yang berjudul Pemikiran Gus Dur Tentang Pluralisme Agama Di

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. skripsi yang berjudul Pemikiran Gus Dur Tentang Pluralisme Agama Di BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini merupakan penguraian mengenai metode penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan skripsi yang berjudul Pemikiran Gus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Karya satra merupakan hasil dokumentasi sosial budaya di setiap daerah. Hal ini berdasarkan sebuah pandangan bahwa karya sastra mencatat kenyataan sosial budaya

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. didapatkan keterkaitan dalam membuka dan menjelaskan penelitian ini.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. didapatkan keterkaitan dalam membuka dan menjelaskan penelitian ini. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk sedikit mengkaitkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sehingga nantinya akan

Lebih terperinci

KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT

KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT Prof. Dr. Almasdi Syahza,, SE., MP Peneliti Senior Universitas Riau Email : asyahza@yahoo.co.id syahza.almasdi@gmail.com Website : http://almasdi.staff.unri.ac.id Pengertian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penulis angkat dalam mengkaji pendidikan ekologi dalam perspektif Islam,

BAB V PENUTUP. penulis angkat dalam mengkaji pendidikan ekologi dalam perspektif Islam, 161 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana telah diuraikan dalam bab pendahuluan, bahwa penelitian ini akan diarahkan guna menjawab rumusan masalah yang telah penulis angkat dalam mengkaji pendidikan

Lebih terperinci

1. Sebagai pihak penyelenggara, bisakah dijelaskan visi dan misi konferensi IC-THuSI ini?

1. Sebagai pihak penyelenggara, bisakah dijelaskan visi dan misi konferensi IC-THuSI ini? 1. Sebagai pihak penyelenggara, bisakah dijelaskan visi dan misi konferensi IC-THuSI ini? Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada anda dan rekan-rekan semuanya. Berdasarkan Kitab Suci Al Qur

Lebih terperinci

EKSPLORASI PEMIKIRAN TENTANG PARADIGMA, KONSEP, DALIL, DAN TEORI

EKSPLORASI PEMIKIRAN TENTANG PARADIGMA, KONSEP, DALIL, DAN TEORI EKSPLORASI PEMIKIRAN TENTANG PARADIGMA, KONSEP, DALIL, DAN TEORI Apa Itu Paradigma? Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut paradigme, istilah tersebut berasal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an

BAB IV ANALISA. masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an BAB IV ANALISA Melihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa mayoritas masyarakat Jemur Wonosari yang beragama Islam meyakini bahwa al-qur an merupakan acuan moral untuk memecahkan problem

Lebih terperinci

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN Modul ke: 14Fakultas Dr. PSIKOLOGI SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN BAB XIII Metode Penelitian KUALITATIF Antonius Dieben Robinson Manurung, MSi Program Studi PSIKOLOGI Menurut Banister, dkk (1994) penelitian

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA STRUKTUR KURIKULUM Struktur kurikulum PS S3 PBI terdiri atas: 1. Matakuliah Landasan Keilmuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Pembahasan masalah nilai etika dalam kaitannya dengan naskah ADK menjadi topik penting yang selalu dibicarakan, karena masalah ini menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dipahami serta dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca. Karya sastra memberikan kesenangan dan pemahaman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

SILABUS. III. Skema Perkuliahan No Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Kegiatan Perkuliahan 1.1 Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik

SILABUS. III. Skema Perkuliahan No Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Kegiatan Perkuliahan 1.1 Mendeskripsikan Ilmu Sosial Profetik SILABUS Fakultas : Ilmu Sosial Mata Kuliah & Kode : Ilmu Sosial Profetik Jumlah SKS : 2 SKS Dosen : I. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini akan membahas tentang konsep-konsep dasar Ilmu Sosial Profetik

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU S2- MM-UIGM. Kuliah Ke-4

FILSAFAT ILMU S2- MM-UIGM. Kuliah Ke-4 FILSAFAT ILMU S2- MM-UIGM Kuliah Ke-4 HUBUNGAN EPISTEMOLOGI & METODOLOGI RISET KEILMUAN Paham Kebenaran: Humanisme-Rasionalisme-Empirisme-Positivisme Metode Ilmiah suatu Disiplin Ilmu Metodologi Riset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia mendapatkan pembelajaran secara kognitif, afektif dan psikomotor yang kemudian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai perbandingan konsep pendidikan Islam menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajiner menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan,

BAB I PENDAHULUAN. imajiner menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat ide, pikiran dan perasaan seorang pengarang. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan

Lebih terperinci

Seminar Pendidikan Matematika

Seminar Pendidikan Matematika Seminar Pendidikan Matematika TEKNIK MENULIS KARYA ILMIAH Oleh: Khairul Umam dkk Menulis Karya Ilmiah adalah suatu keterampilan seseorang yang didapat melalui berbagai Latihan menulis. Hasil pemikiran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik praktis artinya tidak terlibat dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan segala problematikanya yang begitu beragam. Fenomena-fenomena

BAB I PENDAHULUAN. dan segala problematikanya yang begitu beragam. Fenomena-fenomena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah karya sastra yang baik tidak dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan, mempunyai keterkaitan dengan masalah kehidupan manusia, dan segala problematikanya

Lebih terperinci

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim Jika Tuhan itu ada, Mahabaik, dan Mahakuasa, maka mengapa membiarkan datangnya kejahatan?

Lebih terperinci

PARADIGMA ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL (Studi Pemikiran Kuntowijoyo) Oleh

PARADIGMA ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL (Studi Pemikiran Kuntowijoyo) Oleh PARADIGMA ISLAM DAN TRANSFORMASI SOSIAL (Studi Pemikiran Kuntowijoyo) Oleh Sidik STAIN Datokarama Palu, Jurusan Ushuluddin Abstract Kuntowijoyo is one of Indonesian intellectuals who is very concerned

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mempelajari bidang sastra tidak terlepas dengan kajian-kajian serta peroses terbentuknya suatu karya sastra. Karya sastra yang dikaji biasanya berkaitan

Lebih terperinci

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AXIOLOGI ADMINISTRASI PENDIDIKAN Oleh: Pipin Piniman (Program Pasca Sarjana Universitas Galuh)

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AXIOLOGI ADMINISTRASI PENDIDIKAN Oleh: Pipin Piniman (Program Pasca Sarjana Universitas Galuh) ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AXIOLOGI ADMINISTRASI PENDIDIKAN Oleh: Pipin Piniman (Program Pasca Sarjana Universitas Galuh) A. Rumusan Konsep 1. Rumusan Konsep Ontologi Menurut bahasa, ontologi ialah berasal

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

LANDASAN TEORI KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS LANDASAN TEORI KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN Yang diampu oleh Bpk. Gusnar Mustapa, S.E., M.M. Disusun oleh Kelompok III: EVI ARISTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada akhir abad 19, mulai berkembang sebuah disiplin ilmu baru yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Pada awal perkembangannya ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI, BAB IV. PENUTUP 4. 1. Kesimpulan Pada bab-bab terdahulu, kita ketahui bahwa dalam konteks pencerahan, di dalamnya berbicara tentang estetika dan logika, merupakan sesuatu yang saling berhubungan, estetika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Menurut Moeliono (2002:701) kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Selanjutnya Menurut Moenir (2001:16) kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang jika

Lebih terperinci