IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA TANGERANG
|
|
- Susanti Pranoto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DI KOTA TANGERANG Penulis : Marcelina Resti Permata Pembimbing : Sri Susilih Program Studi : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik ABSTRAK Penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas secara menyeluruh. Dalam rangka mencegah dan memberantas pelanggaran terhadap praktekpraktek prostitusi di Kota Tangerang, maka Pemerintah Daerah Kota Tangerang menetapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Hal ini juga tercermin dari motto Kota Tangerang yaitu Akhlakul Karimah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan studi pustaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Hasil dari penelitian ini bahwa implementasi dari Perda ini telah berhasil memberantas tindakan prostitusi di Kota Tangerang. Namun demikian, masih banyak ditemukan indikasi dari perbuatan yang melanggar Perda tersebut yaitu dalam bentuk kasus perselingkuhan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi yang mengatur tentang perbuatan perselingkuhan. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational Procedur) yang ditentukan, meskipun terdapat fenomena baru yaitu maraknya kasus perselingkuhan yang terjadi di Kota Tangerang. Berdasarkan kesimpulan tersebut penulis memberikan saran sebaiknya Kota Tangerang memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang terbukti sebagai seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain itu, Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan; Pelarangan Pelacuran; Peraturan Daerah. ABSTRACT There are many features of social deviance in almost all countries is prostitution or acts of prostitution. Prostitution has always existed in society since thousands of years ago. The act of prostitution is a negative reflection of the society, because it is one of social disease that is difficult to eradicate completely. In order to prevent infraction of the practice of prostitution in Tangerang, thus Tangerang Government then assign a policy contained in the Regional Regulation No. 8 of 2005 about the Prohibition of Prostitution. This is also reflected bytangerang motto is "akhlakul Karimah". This research used a qualitative approach with in-depth interviews and literature. Results from this research that the implementation of this regulation has been successfully eradicate prostitution in Tangerang. However, there are
2 2 many indications of an act that violates the law is in the form of affair cases. This is due to the absence of sanctions governing act of affair cases. Keywords: Local Regulation; Policy Implementation; Prohibition of Prostitution. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Di antara penyimpangan sosial yang banyak terdapat pada hampir seluruh negara adalah prostitusi atau tindakan pelacuran. Prostitusi sudah ada dalam kehidupan masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu. Tindakan prostitusi merupakan cerminan negatif dari masyarakat, sebab hal tersebut merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas secara menyeluruh. Fenomena yang sering terjadi di masyarakat adalah prostitusi selalu identik dengan wanita, dikarenakan wanita sebagai simbol keindahan, maka setiap yang indah biasanya menjadi target pasar yang selalu dijadikan komoditi yang mampu menghasilkan uang. Untuk memerangi perdagangan perempuan dan prostitusi di Indonesia, beberapa daerah di Indonesia menerapkan Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya para wanita. Salah satu kota yang telah lama gencar menerapkan suatu kebijakan dalam rangka menekan dan membasmi angka pelacuran atau pelaku prostitusi adalah kota Tangerang. Pada dasarnya Peraturan Daerah (Perda) menghasilkan suatu kebijakan yang diperlukan oleh suatu daerah tertentu untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentunya Perda yang dibuat harus mewakili kepentingan masyarakat. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kota Tangerang dengan tujuan melestarikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek-praktek prostitusi di Kota Tangerang. Kota Tangerang memiliki motto Akhlakul Karimah, yang berasal dari kata akhlak dan memiliki arti seperti budi pekerti atau kelakuan yang baik. Motto tersebut menjadi pedoman bahwa akhlak yang baik harus selalu dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Apabila disesuaikan dengan motto Kota Tangerang, maka keberadaan Perda Nomor 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran sudah sejalan. Namun hal terpenting dalam kesuksesan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Seperti yang dikemukakan oleh Nugroho, bahwa rencana adalah 20% dari keberhasilan, implementasi adalah 60%, dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Dalam rangka mensukseskan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran di Kota Tangerang diperlukan
3 3 kerjasama dan partisipasi dari Pemerintah Daerah selaku pembuat kebijakan serta seluruh masyarakat setempat. Selain itu, tersedianya sumber daya yang mendukung proses implementasi Perda tersebut baik dalam bentuk materil maupun sumber daya manusia. Untuk menegakkan perda tersebut, Satpol PP Kota Tangerang telah menjadwalkan kegiatan razia atau operasi pelarangan pelacuran yang dilakukan sebanyak empat kali dalam sebulan. Razia terus dilakukan secara rutin, agar Kota Tangerang benar-benar terbebas dari tindakan prostitusi. Untuk itu, operasi lebih banyak dilakukan di hotel-hotel Kota Tangerang, antara lain Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang. Operasi ini lebih fokus dilakukan di beberapa hotel sebab pelaku asusila menganggap bahwa hotel merupakan tempat yang aman untuk melakukan tindakan tersebut. para pengguna hotel yang tidak memiliki kartu nikah atau identitas yang sama akan dicurigai telah melanggar Perda Nomor 8 Tahun Keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini masih terus diterapkan secara ketat sebagai kebijakan yang mendukung program Pemerintah Kota Tangerang dalam memberantas HIV Aids ( diunduh pada tanggal 22 Oktober 2012). Dalam pelaksanaan operasi, petugas Satpol PP menjunjung tinggi Standar Operating Procedure (SOP) yang telah dimiliki dalam hal mekanisme operasi. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan yang dilakukan dalam proses operasi serta mekanisme operasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya SOP yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penertiban, seharusnya tidak ada lagi masalah-masalah yang ditakutkan oleh beberapa masyarakat khususnya kaum wanita dan implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 dapat berjalan secara efektif. Berikut merupakan data jumlah pelaku prostitusi dari hasil penertiban yang dilakukan oleh petugas Satpol PP Kota Tangerang dalam rangka penertiban Perda Nomor 8 Tahun 2005 : Tabel 1.1 Rekapitulasi Jumlah Wanita Tuna Susila di Kota Tangerang pada Tahun Tahun Jumlah PSK Orang Orang
4 Orang Orang Orang Orang Orang Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun (Telah diolah kembali) Tabel diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 saat pertama kali Perda Nomor 8 Tahun 2005 diterapkan, terdapat cukup banyak Wanita Tuna Susila atau PSK di Kota Tangerang yang tertangkap dalam operasi penertiban yaitu berjumlah 445 Orang PSK. Jumlah tersebut mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya yaitu ditemukan sejumlah 269 Orang PSK di tahun 2006, 114 Orang PSK di tahun 2007, 91 Orang PSK di tahun 2008, 51 Orang PSK di tahun 2009, 40 Orang PSK di tahun 2010, 1 Orang PSK di tahun 2011, serta di tahun 2012 petugas Satpol PP tidak menemukan satu orangpun PSK saat operasi penertiban dilaksanakan. Penurunan jumlah PSK yang ditemukan tersebut cukup signifikan dan menunjukkan bahwa keberadaan Perda Nomor 8 Tahun 2005 yang diimplementasikan melalui operasi penertiban dapat mengurangi jumlah pelaku prostitusi atau PSK di Kota Tangerang. Namun keberhasilan Perda ini tidak hanya dilihat dari berkurangnya jumlah pelaku prostitusi yang ditemukan, tetapi juga dilihat bagaimana proses implementasi serta adanya fenomena lain yang timbul seperti kasus perselingkuhan dan tindakan prostitusi secara terselubung. Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah pokok yang dipilih adalah bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan? Untuk itu, berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang menurut Standar Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Tinjauan Teoritis Sebelum berbicara mengenai implementasi kebijakan, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi kebijakan dan kebijakan publik yang menjadi teori dasar
5 5 munculnya teori evaluasi kebijakan. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan (Suharto, 2005:7). Menurut Shore dan Wright dalam Marzali, Kebijakan atau policy berkaitan dengan perencanaan, pengambilan dan perumusan keputusan, pelaksanaan keputusan, dan evaluasi terhadap dampak dari pelaksanaan keputusan tersebut terhadap orang banyak yang menjadi sasaran kebijakan (kelompok target). Kebijakan merupakan suatu alat atau instrumen untuk mengatur perubahan dari atas ke bawah, dengan cara memberi rewards dan sanction dengan cara intrinsik, kebijakan adalah instrumen teknis dan rasional untuk menyelesaikan masalah (Marzali, 2012: 14). Analisis kebijakan sangat berperan penting untuk mengetahui efektivitas perumusan dan pelaksanaan kebijakan, sehingga pada akhirnya dapat dibuat kesimpulan apakah kebijakan dapat terus berjalan, berjalan disertai dengan perbaikan baik penambahan atau pengurangan peraturan, ataupun mencabut kebijakan karena sudah tidak relevan dengan situasi yang ada untuk kemudian menggantinya dengan kebijakan yang lebih relevan dengan kondisi saat ini. Menurut pendapat Dye dalam Wahab, analisis kebijakan merupakan upaya mengetahui apa yang dilakukan pemerintah, kenapa mereka melakukan hal itu, dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya berbeda-beda (Wahab, 1990:2). Sementara itu pendapat Dunn dalam Darwin, analisis kebijakan merupakan proses menghasilkan pengetahuan mengenai proses kebijakan untuk menyediakan informasi kepada pengambil kebijakan untuk memikirkan kemungkinan pemecahan masalah kebijakan (Darwin, 1998:35). Sedangkan dalam bukunya yang lain Dunn mendefinisikan analisis kebijakan sebagai suatu aktivitas intelektual dan praktis untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan (Dunn, 1999:44). Dari kedua pendapat Dunn dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan bertujuan untuk memberikan informasi, kritik, serta rekomendasi kepada para pembuat serta pelaksana kebijakan untuk menjalankan kebijakan dengan tepat sehingga tujuan utama perumusan kebijakan yakni untuk mengatasi permasalahan dapat dilaksanakan dengan baik. Implementasi Kebijakan Salah satu kajian tentang kebijakan publik terkait dengan implementasi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Nawawi, implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk
6 6 tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Nawawi, 2009:131).). Dalam premisnya, Jones mengemukakan implementasi kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan (Jones, 1991:295). Ada beberapa model yang menggambarkan suatu proses implementasi kebijakan, antara lain : 1. Model Van Meter dan Van Horn Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. 2. Model Mazmanian dan Sabatier Model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Nugroho yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Duet Mazmanian Sabatier mengklasifiaksikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses impelmentasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar (Nugroho, 2011:630). 3. Model Grindle Model Merilee S. Grindle dikemukakan oleh Wibawa dalam Nugroho. Model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut : 1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan 2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan 3. Derajat perubahan yang diinginkan 4. Kedudukan pembuat kebijakan
7 7 5. Siapa pelaksana program Metode Penelitian Pendekatan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Denzin dan Lincoln dalam Moleong menyatakan bahwa pendekatan penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Moleong, 2007:5). Dalam Jannah dan Prasetyo, jenis-jenis penelitian diklasifikasikan menjadi empat jenis berdasarkan manfaat penelitian, tujuan penelitian, dimensi waktu dan klasifikasi berdasar teknik pengumpulan data. Berdasarkan pada manfaat penelitian, jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian murni karena dilakukan dalam kerangka akademis dan ditujukan bagi pemenuhan keinginan atau kebutuhan peneliti di mana peneliti memiliki kebebasan untuk menentukan permasalahan yang akan diteliti (Jannah dan Prasetyo, 2005:38-39). Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut Jannah dan Prasetyo, penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena (Jannah dan Prasetyo, 2005:42). Dilihat dari dimensi waktu, penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan penelitian cross sectional karena penelitian ini hanya dilakukan dalam satu waktu tertentu dan peneliti tidak akan melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan. Jannah dan Prasetyo menjelaskan bahwa pengertian satu waktu tertentu tidak dapat hanya dibatasi pada hitungan minggu, bulan, atau hitungan tahun saja (Jannah dan Prasetyo, 2005:45). Tidak ada batasan yang baku untuk menunjukkan satu waktu tertentu. Akan tetapi, yang digunakan adalah bahwa penelitian itu telah selesai. Selain itu, Neuman dalam Kumar mengatakan bahwa cross-sectional research adalah any research that examines information on many cases at one point in time (Kumar, 1999:36). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam. Wawancara mendalam atau wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dengan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2007:74). Wawancara dilakukan kepada orang-orang yang terlibat langsung dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang
8 8 Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang sehingga peneliti dapat memperoleh informasi secara langsung dari narasumber terkait, seperti: 1. Kepala Sub Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang; 2. Staf Bagian Hukum Kantor Pemerintah Daerah Kota Tangerang 3. Kepala Seksi Bidang Operasional Satpol PP Kota Tangerang; 4. Kepala Bagian Masalah Sosial, Kementerian Pemberdayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI; 5. Masyarakat Kota Tangerang, 6. Petugas hotel di Wilayah Kota Tangerang; 7. Staf Bagian Penanganan Masalah Dinas Sosial Kota Tangerang 8. Kepala RT 03, Keluran Cikokol, Kecamatan Tangerang. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca, serta menelaah berbagai literatur atau artikel terkait penelitian baik melalui media massa, buku, dan internet. Data yang terkait dengan penelitian ini adalah: 1. Produk kebijakan terkait dengan penerapan kebijakan Pelarangan Pelacuran di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya dan di Kota Tangerang pada khususnya, baik dalam bentuk undang-undang maupun perda; 2. Data dalam bentuk kasus yang terjadi saat implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005; 3. Data lain yang terkait. Dalam penelitian ini, yang menjadi lokasi penelitian adalah Kota Tangerang. Kota Tangerang merupakan salah satu kota yang menjunjung tinggi nilai sosial dan keagamaan sesuai dengan motto yang diterapkan, yaitu Akhlaktul Karimah. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian, penulis menggambarkan bahwa keseluruhan hasil analisis menyimpulkan implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 cukup dapat dikatakan berhasil dengan berkurangnya tindakan prostitusi di Kota Tangerang walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan ini sangat sulit untuk dapat diberantas secara menyeluruh. Hal ini dilihat dari adanya beberapa pernyataan dan persepsi berbeda antara Satpol PP selaku implementor utama dari kebijakan ini. Petugas Satpol PP menyimpulkan bahwa rekapitulasi data hasil penertiban PSK pada tahun 2012 menunjukkan jumlah kosong yang artinya tidak ditemukan seorangpun PSK dalam proses razia. Namun dari artikel surat kabar yang penulis dapatkan, terdapat PSK yang ditemukan saat penertiban walaupun pelaku tersebut merupakan wajah lama yang
9 9 tertangkap kembali dan kemudian kembali dibawa ke Panti Rehabilitasi. Untuk itu penulis merasa bahwa data yang di dapat dari Satpol PP masih diragukan tingkat keakuratannya. Selain itu, terjadi maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan. Jika dirangkum, jumlah PSK dan jumlah pasangan selingkuh di Kota Tangerang sejak Perda Nomor 8 Tahun 2005 diimplementasikan, yaitu dari tahun 2006 hingga 2012 adalah sebagai berikut : Tabel 4.10 Hasil Operasi Penertiban Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran Tahun Jumlah PSK Jumlah Pasangan Selingkuh orang 275 orang orang 455 orang orang 312 orang orang 326 orang orang 146 orang orang 250 orang orang Sumber : Sub Dinas Polisi Pamong Praja pada Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang Tahun Dari data hasil penertiban diatas tentu dapat dibandingkan bahwa jumlah PSK di Kota Tangerang semakin berkurang setelah diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Namun demikian, kasus yang muncul mengenai pasangan selingkuh tetap marak dengan jumlah yang fluktuatif setiap tahunnya. Pembahasan Sumber Daya Manusia yang Terlibat dalam Proses Implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 :
10 10 1. Camat, Lurah, dan RT/RW Camat, Lurah, dan RT/RW merupakan salah satu aktor pelaksana yang memahami wilayah mana yang perlu dijadikan target operasi. Oleh karena itu, tugas dari pelaksana tersebut yakni memberikan informasi mengenai lokasi yang menjadi target operasi serta turut mendampingi proses pelaksanaan operasi di wilayah mereka. 2. Dinas Sosial Dinas Sosial berperan dalam menunjang pelaksanaan kebijakan mengenai pengawasan dan pengendalian kependudukan khususnya dalam bentuk kegiatan pengawasan di lapangan. Dinas Sosial memiliki tugas dan peran yaitu mengatasi warga PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Dalam hal implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini, Dinas Sosial Kota Tangerang memiliki tugas menyalurkan wanita yang sudah terbukti sebagai PSK ke panti rehabilitasi milik Dinas Sosial DKI Jakarta. 3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) ini bertugas untuk melakukan proses penyidikan terhadap masyarakat yang terlibat atau terindikasi melakukan proses prostitusi. Selain itu, PPNS juga bertugas dalam hal melakukan pemberkasan berita acara pemeriksaan. 4. Satpol PP Kota Tangerang Sumber daya manusia yang terlibat langsung dalam proses implementasi Perda ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang. Satpol PP merupakan pihak penanggungjawab terkait keamanan dan ketertiban pelaksanaan pengawasan di lapangan. Satpol PP memiliki tugas dan peran dalam mengupayakan keamanan dan ketertiban jalannya suatu kebijakan. Dalam implementasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, Satpol PP berperan mengamankan jalannya Perda ini melalui proses operasi atau razia di tempat-tempat yang terindikasi adanya tindakan prostitusi. Satpol PP pada awalnya dibantu oleh petugas Trantib di tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Petugas Trantib di Kecamatan dan Kelurahan diberi mandat oleh Camat atau Lurah untuk melakukan operasi di Kecamatan dan Kelurahan sekitar. Tim operasi pemberantasan tindakan prostitusi oleh petugas Trantib memiliki tugas-tugas, antara lain : 1. Melaksanakan pendataan tempat-tempat pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang. 2. Mengadakan operasi penertiban pelacuran di wilayah Kecamatan Tangerang.
11 11 3. Menyita dan mengumpulkan barang bukti hasil operasi serta menyerahkan kepada yang berwajib. 4. Mengevaluasi hasil kegiatan dan melaporkan secara periodik setiap bulan kepada Walikota Tangerang melalui Camat Tangerang. Sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005 Pada tanggal 9 Desember 2005, Walikota Tangerang mengeluarkan suatu instruksi yang tertuang dalam Instruksi Walikota Tangerang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Sosialisasi Perda Nomor 7 Tahuun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol dan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Instruksi tersebut ditujukan kepada Camat dan Lurah se-kota Tangerang, dimana perintahnya adalah : a) Memberikan penjelasan langsung dan/atau melalui surat edaran kepada pemilik hotel, restoran, tempat hiburan, panti pijat, toko/warung jamu, RT/RW dan masyarakat serta para penjual minuman beralkohol lainnya; b) Memasang spanduk di tempat-tempat yang strategis dengan tema/kalimat yang tercantum dalam lampiran instruksi ini. Dalam instruksi ini Walikota Tangerang menugaskan Camat dan Lurah se-kota Tangerang untuk melakukan sosialisasi dan memberikan laporan mengenai lokasi/tempat-tempat yang dijadikan tempat pelacuran/berbuat mesum. Tidak lama surat instruksi tersebut diturunkan, beberapa Kecamatan dan Kelurahan di Kota Tangerang segera melakukan instruksi tersebut, antara lain Wilayah Kecamatan Periuk, Wilayah Kecamatan Ciledug, Wilayah Kecamatan Tangerang Kota. Melalui instruksi ini Pemerintah Daerah juga menghimbau kepada seluruh kalangan pengusaha di Kota Tangerang baik kepada perusahaan, pemilik toko, pemilik salon, pemilik restauran, pemilik hotel maupun pemilik panti pijat untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan dan stake holder bahwa akan diterapkannya Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Untuk itu para pengusaha dihimbau untuk memasang billboard dan spanduk dalam rangka sosialisasi Perda tersebut kepada masyarakat dan seluruh elemen terkait. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengirimkan surat perintah sosialisasi Perda Nomor 8 Tahun 2005, antara lain kepada PT. Citra Sarana Promosindo, PT. Bardie Puritama, PT. Aneka Karya, PT. Indo Promo, PT. Sinar Kreasi Utama, PT. Citra Nuansa Media, dan PT. Adipati Kencana.
12 12 Mekanisme Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun Pemilihan dan Penentuan Wilayah Sasaran/Objek Operasi Penyusunan rencana operasi di lapangan didasari pada pemilihan lokasi yang akan dioperasi, salah satunya dengan menyusuri hotel-hotel melati yang sebelumnya sudah terbukti adanya indikasi perbuatan pelacuran atau mesum. Selain itu, petugas juga mendapat laporan dari masyarakat. Untuk itu partisipasi dan kerjasama dari masyarakat dalam hal memberantas tindakan prostitusi sangat dibutuhkan. 2. Standar Operating Procedure (SOP) SOP yang dimiliki oleh Satpol PP dalam hal melakukan operasi pelarangan pelacuran ini sama dengan SOP yang digunakan dalam operasi kebijakan lain di Kota Tangerang. SOP (Standard Operational Procedure) dalam hal implementasi Peraturan Daerah di Kota Tangerang terlihat melalui gambar berikut ini : PROSEDUR PENEGAKAN PERATURAN DAERAH OPERASIONAL PENEGAKAN PERDA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG SATPOL PP KOTA TANGERANG TAHAP I SOSIALISASI : Surat Pemberitahuan Edaran TAHAP II PEMBINAAN: Peringatan I Peringatan II Peringatan III Tahap III PENEGAKAN DAN PENINDAKAN 1. Dalam bentuk fisik Penyetopan Penutupan Pembongkaran Penyitaan Pemusnahan 2. Dalam bentuk Administrasi Sidang Tipiring Pelimpahan Pengadilan Keputusan (JPU) Gambar diatas menunjukkan alur prosedur penegakan semua Peraturan Daerah di Kota Tangerang oleh Satpol PP termasuk penegakan Perda Nomor 8 Tahun Pada Tahap I, kebijakan berupa Perda disosialisasikan dengan membuat surat pemberitahuan dan suarat edaran kepada masyarakat melalui Camat dan Lurah setempat juga oleh petugas Satpol PP
13 13 yang langsung mensosialisasikannya kepada masyarakat. Pada Tahap II petugas Satpol PP melakukan pembinaan dengan memberikan peringatan satu sampai dengan tiga sebelum pada akhirnya masuk pada tahap Penegakan dan Penindakan di Tahap III baik penindakan dalam bentuk fisik maupun administrasi. Pada mulanya rencana operasi diketahui oleh pejabat tingkat Kepala Seksi (Kasi), Kepala Bidang (Kabid), hingga Sekretaris. Rencana operasi penertiban pelacuran atau PSK tersebut tertuang dalam Nota Dinas yang dibuat oleh Kepala Bidang Penertiban kepada Kepala Satpol PP. Dengan persetujuan dari Kepala Satpol PP, maka proses operasi akan dapat dilaksanakan. Isi dari Nota Dinas tersebut antara lain menggambarkan : 1) Dasar dilakukan penertiban, dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dan berdasarkan hasil pengawasan atau pemantauan dan Ketertiban Umum dari operasi sebelumnya. 2) Waktu dan Tempat Pelaksanaan Operasi, dalam hal ini yang dipaparkan adalah waktu, Lokasi, dan sasaran. Lokasi yang sering dijadikan target operasi antara lain : Taman Kota, Pintu Air Sewan, Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang. Sasaran : Hotel, Wisma, Kontrakan, dan di pinggir jalan (ruas jalan) di Wilayah Kota Tangerang. 3.) Pola Operasi, petugas Satpol PP memiliki Pola Operasi yang diturunkan dari SOP penertiban yang telah ada dalam pelaksanaan operasi atau penertiban. Hal ini dilakukan agar proses operasi berjalan dengan baik tanpa mengganggu ketentraman masyarakat juga pihak yang menjadi target operasi. Sebelum melaksanakan pola operasi, petugas melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mencari tau lokasi dan sasaran saat dilakukan penertiban nanti. Biasanya yang melakukan penindakan adalah petugas intel dari Satpol PP. Petugas intel tanpa mengenakan seragam Satpol PP memasuki tempat sasaran berupa hotel, wisma, kontrakan, dan taman kota untuk melakukan pendataan kepada oknum yang terindikasi melakukan pelanggaran Perda Nomor 8 Tahun Pola Operasi yang ditetapkan secara tertulis oleh Satpol PP Kota Tangerang menjadi pedoman dalam mengimplementasikan Perda Nomor 8 Tahun Hal tersebut berisi :
14 14 Melakukan Apel dan Persiapan Operasi Apel dilakukan untuk mempersiapkan para petugas sebelum melakukan operasi dengan diberi pengarahan agar para petugas bertindak dengan penuh tanggung jawab dan menjunjung tinggi etika. Apel ini dipimpin secara bergantian oleh Kepala Bidang Penertiban maupun Kepala Seksi Operasi. Struktur kegiatan yang dilaksanakan saat Apel sebelum pelaksanaan operasi adalah dengan pembacaan doa dan pengarahan bahwa petugas dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap target operasi. Selain itu para petugas diingatkan untuk menjunjung tinggi SOP yang telah disepakati Proses Apel dan Persiapan Sebelum Operasi Sumber : Dokumentasi Satpol PP Melaksanakan Penindakan Penindakan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP berupa Pendataan terhadap pasangan selingkuh, pelacuran dan waria. Penindakan berupa operasi ini dilakukan pada hotel-hotel dan ruas jalan yang sering terindikasi sebagai tempat prostitusi, seperti Taman Kota, Pintu Air Sewan, Hotel Merdeka I, Hotel Merdeka II, Hotel Mentari, Hotel Tangerang, Wisma Anggrek, Wisma PKPN, Hotel Mandala, Hotel Flamboyan, Wisma Warna Alam, dan Hotel Al Amin yang berada di wilayah Kota Tangerang. Petugas Satpol PP mendatangi tempat sasaran berupa hotel dengan membawa Surat Tugas atau Surat Perintah Melakukan Operasi yang ditunjukkan kepada petugas hotel atau resepsionis. Petugas satpol PP dengan didampingi petugas hotel lalu menyusuri kamar-kamar yang berisi tamu hotel. Operasi atau razia dilakukan secara
15 15 sopan sebab petugas Satpol PP sebelumnya telah diberi pengarahan untuk mengedepankan etika dalam melakukan operasi. Hal tersebut ditunjukan bahwa petugas selalu mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kamar hotel agar target operasi dapat diajak bekerjasama dengan baik. Proses Operasi/Razia di Hotel Flamboyan Sumber : Dokumentasi Satpol PP Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa petugas Satpol PP yang melakukan razia sudah cukup mengikuti arahan dan SOP yang ditentukan. Target yang terindikasi PSK ataupun pasangan selingkuh segera diminta menunjukkan kartu identitas dan kemudian dibawa ke Kantor Satpol PP untuk dimintai keterangan lebih lanjut dengan menggunakan mobil operasi Satpol PP. Dalam sekali razia, jumlah personil yang digerakan kurang lebih 20 orang. Dalam kegiatan operasi, masing-masing unit melakukan tugas pokok dan fungsinya. Para target yang terindikasi sebagai PSK ataupun pasangan selingkuh yang telah dibawa ke Kantor Satpol PP segera ditempatkan dalam suatu ruangan untuk dimintai keterangannya satu persatu disamping diberikan penjelasan dan penyuluhan tentang Perda Nomor 8 Tahun 2005 oleh petugas Satpol PP. Setelah diberikan pengarahan, tersangka yang terkena kasus perselingkuhan serta PSK diminta untuk mengisi Surat Keterangan yang berisi identitas lengkap serta pernyataan bahwa bersedia untuk di proses menurut Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran atau sesuai dengan hukum yang berlaku.
16 16 Tersangka diberi Pengarahan oleh Kabid Pembinaan dan Penyuluhan Sumber : Dokumentasi Satpol PP Jika tersangka terbukti telah melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2005, yang dalam hal ini adalah pelaku PSK, maka Satpol PP dan pihak kepolisian bekerja sama dengan Dinas Sosial di DKI Jakarta melakukan rehabilitasi terhadap pelaku prostitusi tersebut. Kota Tangerang tidak memiliki Panti Rehabilitasi yang diperuntukan bagi para PSK yang hendak dibina, untuk itu Pemerintah Kota bekerjasama dengan dinas sosial di DKI Jakarta untuk menempatkan para PSK asal Kota Tangerang pada Panti Rehabilitasi yang terletak di Kelurahan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Melakukan Apel dan Evaluasi Pasca Operasi Penertiban. Para petugas yang telah selesai menjalankan tugas operasi kembali melakukan apel sebagai laporan bahwa kegiatan operasi telah terlaksana. Setelah itu, diadakan evaluasi mengenai proses dan hasil dari operasi yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan oleh seluruh tim yang bertugas dalam operasi tersebut di hadapan Kepala Seksi Operasional dan Kepala Bidang Ketertiban untuk di dokumentasikan dan sebagai pembelajaran dalam kegiatan operasi selanjutnya. Hambatan dalam Implementasi Kebijakan Perda Nomor 8 Tahun Secara keseluruhan, pelaksanaan sebuah kebijakan tidak selalu berjalan dengan lancar dan selalu sesuai dengan perencanaan dan tujuan yang akan dicapai. Secara garis besar implementasi Perda ini memang mampu mengurangi adanya tindakan prostitusi di Kota Tangerang. Namun dalam proses implementasinya tidak terlepas dari beberapa hal yang menjadi hambatan dan kendala dalam proses implementasi, antara lain :
17 17 1. Adanya Sikap Kontra dari Masyarakat saat Awal Implementasi Perda Nomor 8 Tahun Dalam pembentukan suatu kebijakan publik, tentu ada pihak yang memberikan dukungan juga sanggahan atas implementasi Perda tersebut. Walaupun tujuan awalnya sangat mulia, tetapi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda dari masyarakat ketika ada ketidaksesuaian dalam substansi kebijakan dengan proses implementasi. Tidak terkecuali pada kebijakan Perda Nomor 8 Tahun 2005 ini. Sikap kontra dari masyarakat muncul dikarenakan adanya beberapa kaum wanita yang takut untuk keluar di malam hari. Pada Pasal 4 ayat 1 yang bertuliskan : Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, dirumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah. Isi dari Perda tersebut sempat dianggap multitafsir karena petugas lalu dapat mencurigai setiap wanita yang memenuhi kriteria diatas meskipun wanita tersebut bukanlah pelacur atau pelaku tindakan prostitusi. Berita yang dikutip dari surat kabar Suara Pembaruan, pada hari Kamis, 10 Maret 2006 menjelaskan bahwa seorang karyawati Hotel Ibis Tamarin sempat mengusahakan meminta surat keterangan dari perusahaan tempatnya bekerja yang menyebutkan bahwa ia memang pekerja hotel yang harus pulang malam. Hal lain juga dijelaskan oleh Siti Istikharoh, aktivis pada Serikat Pekerja Nasional (SPN) yang menjelaskan bahwa kebijakan ini juga dianggap akan membawa dampak buruk bagi investasi karena makin tingginya tuntutan buruh yang menyulitkan perusahaan seperti tuntutan untuk menyediakan bus bagi karyawan yang pulang di malam hari. Sikap kontra tersebut tentunya menjadi perhatian Pemerintah Daerah Kota Tangerang selaku perumus Perda tersebut. Namun demikian hal tersebut tidak menyurutkan langkah Pemerintah Daerah untuk terus melanjutkan kebijakan ini. Untuk itu, Pemerintah mengambil langkah dengan cara melakukan sosialisasi atas implementasi Perda ini hingga akhirnya terbentuk himpunan pro dari masyarakat yang sepakat bahwa Perda ini terus dijalankan.
18 18 2. Tidak Tersedianya Sarana Panti Rehabilitasi di Kota Tangerang Selama ini Dinas Sosial Kota Tangerang bekerjasama dengan Dinas Sosial DKI Jakarta dalam rangka menempatkan pelaku yang telah terbukti sebagai seorang PSK. Dinas Sosial Kota Tangerang mengantarkan pelaku tersebut ke Panti Rehabilitasi Sosial Karya Wanita Mulya di Wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tidak tersedianya sarana Panti Rehabilitasi ini membuat Dinas Sosial Kota Tangerang harus melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Dinas Sosial DKI Jakarta mengenai penempatan PSK yang akan dikirim ke Panti Rehabilitasi tersebut. Walaupun demikian, Dinas Sosial Kota Tangerang tetap melakukan pengawasan terkait PSK asal dari Kota Tangerang yang sedang menjalani rehabilitasi. 3. Adanya Perlawanan dari Tersangka Tidak jarang petugas Satpol PP merasa kesulitan dalam operasi penertiban PSK ini. Target operasi seringkali menolak untuk dimintai keterangan mengenai identitas dan menolak untuk dilakukan pendataan. Sebagian besar dari mereka yang melakukan perlawanan pada umumnya pelaku tindakan perselingkuhan. Karena merasa malu maka mereka menolak untuk dimintai keterangan dan dibawa ke kantor Satpol PP. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, dapat disimpulkan bahwa penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Tangerang telah mengikuti SOP (Standard Operational Procedur) yang ditentukan, oleh sebab itu kegiatan operasi atau razia yang dilakukan selama empat kali dalam sebulan di hotel-hotel serta ruas jalan telah dapat mengurangi jumlah pelacur atau PSK di Kota Tangerang sejak tahun 2006 hingga tahun Hasil penertiban Perda Nomor 8 Tahun 2005 menunjukkan tingkat pelacuran atau prostitusi berkurang sejak tahun 2006 hingga 2012 meskipun terjadi perbedaan persepsi antara data tersebut dengan hasil penelitian penulis di lapangan pada narasumber berbeda yang menunjukkan bahwa tahun 2012 terjadi operasi penertiban yang menghasilkan beberapa PSK wajah lama diciduk kembali. Selain itu, hasil penertiban yang dilakukan oleh petugas satpol PP menunjukan fenomena maraknya kasus perselingkuhan. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan perda tersebut justru tidak membuat pelaku perselingkuhan merasa jera. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa Perda tersebut belum efektif mengurangi jumlah kasus
19 19 perselingkuhan yang juga melanggar norma agama dan norma susila. Hal ini disebabkan karena Perda tersebut tidak mengatur adanya sanksi dari tindakan perselingkuhan. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, penulis memberikan saran sebagai berikut : 1. Untuk lebih mengoptimalisasi efektivitas dari Perda ini, sebaiknya Kota Tangerang memiliki pusat rehabilitasi bagi pelaku prostitusi sehingga tersangka yang positif sebagai seorang PSK dapat selalu diawasi perkembangannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. 2. Perlu adanya substansi dalam Perda yang mengatur kasus perselingkuhan karena hal tersebut sangat banyak ditemui dalam operasi. Selain itu tindakan perselingkuhan merupakan suatu penyakit masyarakat yang harus diberantas, oleh karena itu pelakunya juga perlu untuk diberi sanksi agar merasa jera. Kepustakaan Dunn, William N Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Samodra Wibawa, dkk, Penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Marzali, Amri Antropologi&Kebijakan publik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Moleong, Lexy J Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung: Rosdakarya. Jones, Charles, O. 1991, Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: Rajawali Press. Nugroho, Riant Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Prasetyo, Bambang & Jannah, Lina Miftahul Metode Penulisan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. Suharto, Edi Analisis Kebijakan Publik (Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial). Bandung: CV Alfabeta.
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, Menimbang : a. bahwa Pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan
Lebih terperinciDBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG
DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa pelacuran
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOLAKA UTARA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2011 T E N T A N G PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT
PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a. bahwa Kota Serang
Lebih terperinciDengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :
WALIKOTA JAMBI PERATURAN DAERAH KOTA JAMBI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DAN PERBUATAN ASUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI, Menimbang a. bahwa pelacuran dan perbuatan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DI KABUPATEN KENDAL
PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HULU NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PELARANGAN DAN PENERTIBAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ROKAN HULU, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Rokan
Lebih terperinciWALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang : a. bahwa keberadaan Penyelenggaraan
Lebih terperinciEVALUASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA
EVALUASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PEDAGANG KAKI LIMA SIMPANG LIMA SEMARANG Oleh : Christine Gitta Candra Puspita,
Lebih terperinciWALIKOTA TANGERANG SELATAN
WALIKOTA TANGERANG SELATAN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR TETAP OPERASIONAL SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG SELATAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN, Menimbang
Lebih terperinciLAMPIRAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG
LAMPIRAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NO: 4 2010 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 4 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 25 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PEMBEBANAN BIAYA PAKSAAN PENEGAKAN HUKUM
PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR 25 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PEMBEBANAN BIAYA PAKSAAN PENEGAKAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciPELAKSANAAN TUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM MENERTIBKAN PEDAGANG MOBIL KELILING
223 PELAKSANAAN TUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM MENERTIBKAN PEDAGANG MOBIL KELILING Fadil Muhammad Program Magister Ilmu Administrasi Fisip Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km 12.5 Simpang Baru
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PROSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PROSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU Menimbang : a. bahwa Prostisusi
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2005 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciWALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,
WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam mewujudkan rumah kos sebagai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG, Menimbang : a. bahwa dengan
Lebih terperinciWALIKOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 24 TAHUN 2011
WALIKOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE,
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN JEMBER
PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG RUMAH PEMONDOKAN KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a. bahwa dengan semakin
Lebih terperinciWALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 88 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 88 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA BATU
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO
PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang : a.
Lebih terperinciWALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT
WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 52 TAHUN 2014 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,
Lebih terperinciWALIKOTA TANGERANG SELATAN
SALINAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Satuan Polisi Pamong
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 2 2008 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG ANTI PERBUATAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG,
PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG, Menimbang : a. bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Subang telah
Lebih terperinci4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of
BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa praktik
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciWALIKOTA BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDUNG,
WALIKOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA BANDUNG NOMOR 1401 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, WEWENANG, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 19 TAHUN : 1999 SERI : C.1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMYU
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 19 TAHUN : 1999 SERI : C.1. PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMYU NOMOR 7 TAHUN 1999 T E N T A N G P R O S T I T U S I DENGAN
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN TANGERANG
1 PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN TANGERANG BUPATI TANGERANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan pasal 136,
Lebih terperinciWALIKOTA MADIUN PERATURAN WALIKOTA MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA WALIKOTA MADIUN,
WALIKOTA MADIUN PERATURAN WALIKOTA MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2013 TENTANG RINCIAN TUGAS DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kota
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR
PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOST DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAKASSAR, Menimbang : a. bahwa dengan perkembangan Kota Makassar yang semakin
Lebih terperinciPROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG
PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG
BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2007 NOMOR 15 SERI D PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 15 TAHUN 2007 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN
PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciWALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PONDOKAN
WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a.
Lebih terperinciWalikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN WALI KOTA TASIKMALAYA NOMOR 107 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KOMPLEK DADAHA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA TASIKMALAYA, Menimbang : a.
Lebih terperinciBUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 104 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 104 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciRANCANGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG
RANCANGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
PEMERINTAH KOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG
PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kota Padang merupakan salah-satu daerah di Sumatera Barat dengan roda ekonomi dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Padang merupakan salah-satu daerah di Sumatera Barat dengan roda ekonomi dan kehidupan yang bergerak cukup cepat serta berkembang semakin maju, sehingga dibutuhkan
Lebih terperinciWALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH KOS
2015 DRAFT RAPERDA WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MALANG
PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT BUPATI MALANG, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN, Menimbang Mengingat : : a.
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2006 NOMOR 4 SERI D
LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2006 NOMOR 4 SERI D PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA SEMARANG DENGAN
Lebih terperinciBUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN PEMADAM
Lebih terperinciBUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN SIDOARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO,
Lebih terperinciBUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG
BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LARANGAN MENGGUNAKAN BANGUNAN / TEMPAT UNTUK PERBUATAN ASUSILA SERTA PEMIKATAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN ASUSILA DI KABUPATEN SIAK
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG
LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2006 NOMOR 4 SERI D PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA SEMARANG DENGAN
Lebih terperinciBUPATI WAY KANAN PROVINSI LAMPUNG
-1- BUPATI WAY KANAN PROVINSI LAMPUNG PERATURAN BUPATI WAY KANAN NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN WAY KANAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002
PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEK KOMERSIAL DALAM WILAYAH KOTA SAMARINDA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA W A L I K O T A S A M A R
Lebih terperinciPENEGAKAN PERATURAN DAERAH, PEMBINAAN TRANTIBUM DAN LINMAS TRANTIBUM DAN LINMAS. Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lamongan
PENEGAKAN PERATURAN DAERAH, PEMBINAAN TRANTIBUM DAN LINMAS TRANTIBUM DAN LINMAS Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lamongan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
Lebih terperinci2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce
No.1753, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Pengawasan Ketenagakerjaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Lebih terperinciWALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 42 TAHUN 2016 TENTANG
WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 42 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SATUAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN LINGKUNGAN MASYARAKAT
SALINAN NOMOR 3/E, 2008 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN MADIUN
PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN MADIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang :
Lebih terperinciINDIKATOR KINERJA INDIVIDU
1. JABATAN : PENGADMINISTRASI PERSURATAN 2. TUGAS : Melakukan administrasi surat masuk dan surat keluar, menyampaikan disposisi pimpinan kepada pihak terkait. 3. FUNGSI : a. Menerima, mencatat dan meregister
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2007 NOMOR 9 SERI D
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2007 NOMOR 9 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
Lebih terperinciBUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA RUMAH KOS
1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : BUPATI BANYUWANGI, a. bahwa guna
Lebih terperinci- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG
- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA
Lebih terperinciW A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 88 TAHUN 2008 TENTANG
W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 88 TAHUN 2008 TENTANG FUNGSI, RINCIAN TUGAS DAN TATA KERJA DINAS KETERTIBAN KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciWALIKOTA BEKASI WALIKOTA BEKASI
WALIKOTA BEKASI PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 04 TAHUN 2005 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI JABATAN STRUKTURAL PADA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PEMERINTAH KOTA BEKASI WALIKOTA BEKASI Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI KEPAHIANG NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN KEPAHIANG
PERATURAN BUPATI KEPAHIANG NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN KEPAHIANG DENGAN RAKMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPAHIANG, Menimbang : a.
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO
PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciWALIKOTA BUKITTINGGI
s WALIKOTA BUKITTINGGI PERATURAN DAERAH KOTA BUKITTINGGI NOMOR : 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BUKITTINGGI NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
Lebih terperinciWALIKOTA PALANGKA RAYA
WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, TUNA SUSILA DAN ANAK JALANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA
Lebih terperinciBUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI BARITO UTARA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS DAN URAIAN TUGAS JABATAN PADA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN PEMADAM KEBAKARAN KABUPATEN BARITO
Lebih terperinciWALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR
WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 68 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
Lebih terperinciBUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG
BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG LARANGAN MENGGUNAKAN BANGUNAN / TEMPAT UNTUK PERBUATAN ASUSILA SERTA PEMIKATAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN ASUSILA DI KABUPATEN SIAK
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM WILAYAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciTAHUN : 2005 NOMOR : 04
LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2005 NOMOR : 04 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 04 TAHUN 2005 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN ORGANISASI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN SIDOARJO
Lebih terperinciPEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI JAWA TIMUR
PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG
BH INNEKA TU NGGAL IKA BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI GROBOGAN NOMOR 71 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS POKOK, FUNGSI, URAIAN TUGAS JABATAN DAN TATA KERJA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN ILIR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN ILIR,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN ILIR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IZIN RUMAH KOS DAN, ATAU RUMAH SEWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN ILIR, Menimbang : a. bahwa usaha penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk kepentingan masyarakat, demikian juga halnya dengan daerah-daerah yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sehubungan dengan pemberlakuan otonomi daerah saat ini, maka di berbagai daerah diberi kesempatan untuk melakukan percepatan pembangunan untuk kepentingan
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 06 TAHUN 2006 T E N T A N G PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL
PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 06 TAHUN 2006 T E N T A N G PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,
S A L I N A N NOMOR 4/E, 2006 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa Kota Malang
Lebih terperinciSALINAN LANDAKK NOMOR TENTANG. Landak. berbagai perdagangan sehingga. maupun tertentu. t. dengann. rumah dan/atau. kost. membantu meningka.
SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAKK NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH SEWA DAN RUMAH KOST DENGANN RAHMATT TUHAN YANG MAHA ESAA BUPATI LANDAK, Menimbang Mengingat : a. bahwa dengan perkembangan
Lebih terperinciBUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT
Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Landasan Hukum
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Penjabaran Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah ( Renstra SKPD ) Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Jembrana Tahun 2011-2016 untuk Tahun Anggaran 2014
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM
PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM, Menimbang Mengingat :
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI
LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 4 2013 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang
Lebih terperinci2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU
No.547, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DPR-RI. Kode Etik. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DENGAN
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG URAIAN TUGAS UNSUR UNSUR ORGANISASI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN TAPIN
BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG URAIAN TUGAS UNSUR UNSUR ORGANISASI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI TAPIN,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2018 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2018 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciIMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DI KOTA SAMARINDA
ISSN 0000-0000, ejournal.an.fisip-unmul.ac.id Copyright2017 IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 18 TAHUN 2002 TENTANG PENERTIBAN DAN PENANGGULANGAN PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DI KOTA SAMARINDA Bayu Puspogoro
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU
Lebih terperinciINDIKATOR KINERJA INDIVIDU
1. JABATAN : SEKRETARIS 2. TUGAS : Mengelola administrasi umum meliputi penyusunan program, ketatalaksanaan, ketatausahaan, keuangan, kepegawaian, urusan rumah tangga, perlengkapan, kehumasan dan kepustakaan
Lebih terperinciBUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 81 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI WONOSOBO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOSOBO NOMOR 81 TAHUN 2016 TENTANG RINCIAN TUGAS SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO,
Lebih terperinciBUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,
Lebih terperinciBUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BANYUWANGI
1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA UNSUR ORGANISASI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,
Lebih terperinciURAIAN TUGAS DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA MADIUN No Jabatan Tugas :
URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA MADIUN No 1. Kepala Satuan Memimpin, merumuskan, mengatur, membina, mengendalikan, mengkoordinasikan dan mempertanggungjawabkan kebijakan teknis
Lebih terperinciTUGAS DAN FUNGSI KECAMATAN TAMAN
TUGAS DAN FUNGSI KECAMATAN TAMAN Susunan organisasi Kecamatan Taman berdasarkan Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 3 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan kelurahan, terdiri
Lebih terperinci